SELEKSI PERFORMANS INDUK SAPI BALI SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN POPULASI DASAR PADA PROGRAM PEMBIBITAN DAN PEMURNIAN SAPI BALI DI KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN (Performans selection of Bali cattle cows an effort to devolping basic population in breeding stock area in Barru South Sulawesi) Andi Baso Lompengeng Ishak1, A. Nurhayu1, A. Ella1, M. Sariubang1 dan T. Rahmawati3 1Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Jl. Perintis Kemerdekaan Km 17 Sudiang Makassar, Email :
[email protected] 3Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No 10 Bogor, Email :
[email protected]
ABSTRAK Suatu penelitian yang dilakukan berupa seleksi induk untuk pembentukan populasi dasar di kecamatan Taneteriaja yang merupakan wilayah pembibitan dan pemurnian sapi Bali sekaligus sebagai wilayah pendampingan PSDSK 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui performans induk sebagai penghasil bibit dan bakalan bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan kabupaten Barru. Materi yang digunakan berupa 739 ekor induk sapi Bali yang tersebar di 20 kelompok. Parameter yang digunakan adalah bobot badan induk dan ukuran linear tubuh, hasil penelitian dianalisis secara deskriptif. Hasil pengukuran tinggi gumba antara 101,39 ± 3,32 cm dan 109,44 ± 2,97 cm, tinggi punggung antara 108,98 ± 5,34 cm dan 102,27 ± 4,11 cm, lingkar dada antara 146,1 ± 10,4 cm dan 138,2 ± 8,36 cm, panjang badan antara 119,5 ± 6,19 cm dan 111,6 ± 9,2 cm. Berdasarkan ukuran tubuh calon induk sapi Bali sesuai SNI 73558 : 2008 terpilih 604 ekor, didominasi induk yang yang masuk kategori kelas II. Kata kunci : Sapi Bali, calon induk, pembibitan PENDAHULUAN Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan berhasil meningkatkan populasi dari target sejuta ekor (2008-2013) selanjutnya target tersebut akan ditingkatkan dua juta ekor (2013-2018) dengan asumsi pertumbuhan populasi 8 % per tahun. Beberapa arah program dan indikator capaian efisiensi reproduksi dan produktifitas ditetapkan pada wilayah pengembangan (kabupaten/kota) yang mengacu pada potensi wilayah serta Agro Ekologi Zona. Salah satu wilayah kabupaten yang menjadi sentra pengembangan sapi Bali adalah kabupaten Barru dan ditetapkan sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian sapi Bali. Pentingnya pengembangan populasi sapi Bali dan pemurniannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain bahwa sapi Bali merupakan sapi asli dan plasma nutfah Indonesia. Sapi Bali yang merupakan domestikasi dari Banteng (Pane, 1990; Pane, 1991; Namikawa et al, 1983; Talib, 2002) bahkan telah diakui secara internasional bahwa sapi Bali sebagai sapi asli Indonesia (Mohammad et al, 2009; Martodjo, 2012; Purwantara et al, 2012). Hal lain menyebabkan pentingnya pembibitan sapi Bali dan
59
pemurniannya adalah tingginya adaptasi terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik (Masudana, 1990), dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah (Sastradipradja, 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate (CR) yang sangat baik (Oka & Darmadja, 1996), persentase karkas yang tinggi yaitu antara 52 % sampai dengan 57.7%, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%), serta tahan terhadap parasit internal maupun eksternal (Payne & Hodges, 1997). Menyandang lokasi pembibitan maka perlu suatu upaya perbaikan mutu genetik diwilayah pembibitan mengingat beberapa tahun terakhir terjadi penurunan mutu genetik sapi Bali akibat perkawinan sedarah (in breeding) dan seleksi negatif seperti tingginya pemotongan betina produktif dan penggunaan pejantan yang tidak memenuhi kriteria layak pejantan dalam populasi. Talib (2002) dan Samariyanto (2004) mengatakan bahwa pada wilayah pembibitan diperlukan sistem peremajaan bibit yang diikuti pola seleksi dan culling yang baik sehingga menghasilkan performa bibit yang baik sehingga bibit betina dan jantan hasil seleksi dipergunakan untuk memperbaiki mutu genetik sapi yang ada di populasi. Program pembibitan dan pemurnian sapi lokal terutama sapi Bali dengan segala keterbatasan harus tetap dilakukan untuk memperbaiki kualitas genetiknya, dimana perencanaannya harus berfokus pada seleksi dan culling. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi performans induk sapi Bali dalam upaya perbaikan mutu genetik di wilayah pembibitan dan pemurnian. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan diwilayan program pendampingan PSDSK 2014 Badan Litbang Pertanian di kecamatan Taneteriaja yang juga merupakan lokasi program pembibitan dan pemurnian sapi Bali. Materi yang digunakan sebanyak 739 ekor betina milik peternak yang tersebar di 20 kelompok. Parameter yang diamati berupa ukuran morfometri sesuai SNI 73558 : 2008, calon induk sapi Bali untuk bibit: berat badan, panjang badan, tinggi gumba, tinggi punggung, lingkar dada (Tabel 1). Data penelitian dianalisis secara dekskriptif. dekskripsi wilayah diambil dari data sekunder dan wawancara pihak terkait. HASIL DAN PEMBAHASAN Agroekosistem wilayah penelitian Berdasakan zonasi iklim kabupaten Barru masuk wilayah iklim tropis pola pesisir pantai barat Sulawesi Selatan. Tipe iklimnya tipe C yang mempunyai bulan basah berturut-turut 5-6 bulan (Oktober-Maret) dan bulan kering berturut-turut kurang dari dua bulan (April-September). Temperatur rata-rata antara 20oC sampai 35oC. Total hujan selama setahun rata-rata 94 hari dengan curah hujan sebesar 2.646 mm. Curah hujan berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember dan Januari dengan curah hujan rata-rata 423 mm dan 453 mm (Disnak & Keswan Kabupaten Barru, 2013). Luas wilayah kabupaten Barru 117.472 km2 yang didominasi lahan pertanian (15.958 ha), perkebunan (18.586 ha), tambak (2.905 ha) dan hutan & pertambangan (25.189 ha). Jenis tanah mediteran (27,68%), regosol (35,12%), litosol (24,72 %), aluvial (12,48%). Populasi sapi di kabupaten Barru pada tahun 2008 (45.083 ekor) – 2011
60
(53.201 ekor) atau mengalami pertumbuhan 6,7 % per tahun, sedang pada tahun 2013 (61.212 ekor) (BPS Kabupaten Barru, 2013). Tabel 1. Standar ukuran (cm) tubuh calon induk sapi Bali No.
Umur (bulan)
1
18 - < 24
2
≥ 24
Parameter
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Lingkar dada minimum
138
130
125
Tinggi pundak minimum
105
99
93
Panjang badan minimum Lingkar dada minimum
107 147
101 135
95 130
Tinggi pundak minimum
109
103
97
Panjang badan minimum
113
107
101
Daya dukung pakan di kabupaten Barru tergambar dari sistem/pola pemberian pakan yaitu penggembalaan (16,7%), tebang angkut (25,1 %), gabungan dari keduanya (58,1 %). Namun dari jenis pakan diberikan umumnya peternak memberikan rumput gajah (Pennisetum purpudeus) (78,3%), jerami padi (14,3%) dan rumput alam + leguminosa (Gliricidia sepium) (7,4%) (Disnak & Keswan Kabupaten Barru, 2013). Penanaman rumput gajah dilahan kurang produktif, pematang sawah, dilahan bertopografi miring umumnya dilakukan dan bertujuan untuk mengantisipasi kekurangan pakan di musim tanam padi dan musim kemarau. Pada musim tanam padi di kabupaten Barru sangat mempengaruhi areal penggembalan karena padang penggembalan sedang ditanami tanaman pangan. Demikian pula pada musim kemarau, umumnya sapi diberi pakan jerami yang disimpan atau digembalakan diwilayah pinggir hutan yang masih mempunyai rumput liar dan semak (ISHAK et al, 2013). Performans sapi Bali induk Kondisi performans induk sapi Bali di lokasi pengamatan menunjukan bahwa rata-rata bobot hidup sebesar, panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada disajikan pada Tabel 2. Rataan bobot badan (kg) induk sapi di lokasi penelitian antara 174,09 ± 27,7 dan 217,96 ± 46,7, rataan ini lebih rendah dibandingkan dengan Hartati et al, (2007) melaporkan bahwa bobot badan sapi Bali induk di wilayah breeding stock BPTU Bali 246,51 ± 79,93 kg. Hasil tersebut juga lebih rendah dibandingkan Talib (1984) melakukan penelitian di Sulawesi Selatan melaporkan bahwa bobot badan induk sapi Bali umur 5 tahun 280 kg, di NTT 295 – 478 kg, di Bali 329 kg. Perbedaan bobot badan sapi Bali induk di BPTU Bali (kabupaten Tabanan dan Bangli) dibandingkan dengan yang di kabupaten Barru disebabkan karena populasi BPTU Bali telah mengalami seleksi dalam waktu yang cukup lama, populasi tertutup, dan penggunaan pejantan pada populasi merupakan pejantan terseleksi yang akan diuji performans. Perbedaan bobot badan sapi Bali diberbagai tempat juga sangat dipengaruhi oleh lingkungannya sebagai manifestasi dari daya adaptasi. Siregar et al, (2000) melaporkan bahwa pada padang penggembalaan di Sulawesi Selatan ditemukan bobot induk 120 – 150 kg. Rendahnya bobot badan sapi Bali sangat dipengaruhi oleh kondisi pakan dimana dia berada, hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (1990), Talib dan Siregar (1991)
61
rendahnya bobot badan induk sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif di NTT dipengaruhi oleh fluktuasi ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Tabel 2. Performans sapi Bali Induk di kecamatan Taneteriaja kabupaten Barru Hasil pengukuran morfometri (rata-rata) Nama Kelomok (*)
Berat Badan (kg)
Kondo Kondoe ( n=34) 205,47 ± 84,7 Sabbang (n=19) 202,26 ± 44,9 Seppa’e (n=35) 203,28 ± 38,3 Mappdeceng (n=30) 197,91 ± 32,7 Jakula (n=42) 190,89 ± 29,2 Kading Putra (n=37) 119,18 ± 31,5 Botto II (n=35) 214,78 ± 41,6 Leppangeng (n=32) 212,25 ± 32,5 Botto Tawang (n=30) 189,72 ± 33,9 Butinani (n=30) 209,11 ± 36,5 Makkawaru (n=32) 217,96 ± 46,7 Lalle III (n=39) 223,10 ± 33,9 Leppang B (n= 30) 206,56 ± 45,8 Bua (n=35) 174,09 ± 27,7 Sikapa (n=40) 205,48 ± 30,8 Siporennu (n=42) 199,7 ± 30,1 Beringin Jaya I (n=30) 213,7 ± 48,4 Beringin Jaya (n=30) 192,9 ± 38,3 Mabbuli Sibatang (n=35) 211,5 ± 31,7 Kenrang (n=35) 202,9 ± 36,4 Panincong (n=37) 188,24 ± 28,3 Ket * n = jumlah individu yang diukur.
Tinggi Gumba (cm) 102,12 ± 3,42 105,63 ± 5,11 108,66 ± 9,11 103,97 ± 4,23 105,27 ± 9,62 102,35 ± 3,62 102,37 ± 4,34 105,08 ± 3,94 102,48 ± 4,41 108,97 ± 9,9 107,81 ± 7,13 107,31 ± 4,49 104,57 ± 5,51 101,39 ± 3,32 103,36 ± 3,83 103,92 ± 5,71 109,44 ± 2,97 103,95 ± 5,20 105,26 ± 4,08 103,27 ± 4,83 104,14 ± 4,75
Tinggi Punggung (cm) 107,15 ± 17,5 105,95 ± 5,14 106,37 ± 3,72 104,33 ± 4,16 105.21 ± 3,88 102,46 ± 3,11 102,69 ± 4,9 108,66 ± 13,7 102,93 ± 4,27 108,98 ± 5,34 105,75 ± 3,99 107 13 ±4,78 103,97 ± 5,51 102,27 ± 4,11 104,85 ± 3,72 107,8 ± 15,9 105,8 ± 4,65 104,3 ± 5,08 105,7 ± 5,1 103,54 ± 4,30 103,8 ± 4,58
Lingkar Dada (cm)
Panjang Badan (cm)
142,21 ± 22,2 138,26 ± 11,4 142,71 ± 9,9 144,66 ± 8,19 139 ± 7,91 140,35 ± 7,51 143,4 ± 10,1 146,5 ± 7,01 138,2 ± 8,36 144,8 ± 10,8 145,7 ± 11,2 146,1 ± 10,4 144,1 ± 12,1 138,9 ± 12,7 144,2 ± 8,42 140,5 ± 9,66 147,8 ± 9,8 140,5 ± 10,8 144,8 ± 8,2 141,8 ± 8,97 140,1 ± 9,37
113,2 ± 5,2 117,3 ± 17,3 115,3 ± 6,45 119,7 ± 14,6 119 ± 9,51 114 ,8 ± 6,7 117,5 ± 7,65 119,5 ± 6,19 119,4 ±11,5 115,5 ± 6,8 114,6 ± 9,98 115,1 ± 7,1 115,9 ± 10,7 111,6 ± 9,2 117,2 ± 8,9 117,1 ± 11,3 117,7 ± 6,41 115,3 ± 7,53 113,1 ± 8,6 112,3 ± 6,7 113,6 ± 10,6
Hasil pengukuran tinggi gumba antara 101,39 ± 3,32 cm dan 109,44 ± 2,97 cm, tinggi punggung antara 108,98 ± 5,34 cm dan 102,27 ± 4,11 cm, lingkar dada antara 146,1 ± 10,4 cm dan 138,2 ± 8,36 cm, panjang badan antara 119,5 ± 6,19 cm dan 111,6 ± 9,2 cm. Berdasarkan ukuran tubuh calon induk sapi Bali sesuai SNI 73558 : 2008 terpilih 603 ekor, didominasi induk yang yang masuk kategori kelas II, hasil tersebut disajikan pada Tabel 3. Kelas I calon induk sapi Bali paling tinggi ditemukan di kelompok Butinani 9 ekor, kelas II di kelompok Kading Putra dan Sikapa masing masing 30 ekor, dan kelas III di kelompok Bua dan Kading Putra. Tabel 3. Jumlah dan klasifikasi induk Lokasi Taneteriaja
Kelas
Jumlah 603
I
II
III
84
489
30
Chamdi, (2005) dan Sariubang et al, (1998) melaporkan bahwa masalah utama yang dihadapi pada program pembibitan sapi Bali terutama di peternakan rakyat adalah kualitas bibit yang diduga faktor in breeding dan manajemen pemeliharaan yang ekstensif. In breeding akan berpengaruh pada daya tahan tubuh ternak, tingkat kesuburan dan bobot lahir ternak. Hasil pengukuran ukuran tubuh ternak di lokasi penelitian yang merupakan calon induk lebih rendah dari hasil penelitian sebelumnya. Rasyid et al, (2005) melakukan stratifikasi induk berdasarkan ukuran tubuh sapi calon
62
induk sapi Bali di BPTU Bali melaporkan bahwa bobot badan rata rata 282,44, panjang badan, tinggi badan dan lingkar dada masing masing 121, 143,3 ,162,4. Melihat kondisi di lokasi penelitian mengenai kelangkaan pejantan, ataupun penggunaan penjantan yang sedarah dengan induk, menyebabkan menurunnya kualitas genetik yang tergambar pada bobot lahir, bobot badan 1 tahun dan bobot induk saat melahirkan. Mikema, (1987) melaporkan bahwa pengaruh silang dalam dapat meningkatkan proporsi lokus-lokus genetik yang heterosigot, bersamaan dengan itu akan terjadi "depresi persedarahan" yang berakibat pada berkurangnya daya tahan, kesuburan dan bobot lahir ternak, selanjutnya Warwick et al, (1983) melaporkan bahwa perkawinan silang dalam pada ternak sapi potong mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 2,5-5,0 kg setiap kenaikan 10% silang dalam. Introduksi pejantan unggul yang memenuhi persyaratan untuk intensifikasi kawin alam (InKA) dan inseminasi buatan menggunakan semen dari pejantan yang teruji merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas genetik calon induk diwilayah pembibitan dan pemurnian. Hal ini sesuai dengan Sariubang et al, (1998) melaporkan bahwa di kabupaten Barru pernah dilakukan introduksi pejantan ternyata dapat meningkatkan bobot lahir rata-rata 1,92 kg pada turunan pertama (F1). Selanjutnya dilaporkan bahwa terdapat korelasi ukuran tubuh pada saat mencapai umur bibit (2 tahun), hal ini terbukti bahwa pertumbuhan pedet lebih tinggi yang berasal dari turunan pejantan luar dibandingkan dengan pedet turunan pejantan lokal. KESIMPULAN Induk sapi Bali yang terjaring seleksi berdasarkan SNI 73558 : 2008 sebagai calon induk di lokasi pembibitan dan pemurnian di kabupaten Barru lebih dominan masuk kategori kelas II (81,09%), kelas III (4,97%) dan kelas I (13,9%). Introduksi pejantan yang memenuhi persyaratan untuk intensifikasi kawin alam (InKA) dan introduksi IB menggunakan smen dari pejantan unggulperlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas bibit yang dihasilkan dilokasi pembibitan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas pembiayaan program pendampingan PSDSK tahun 2014 sumber data makalah. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Barru atas bantuan teknis pengambilan data di lapangan. DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Barru, 2013. Barru dalam angka 2012. Biro Pusat Statistik Kabupaten Barru. Chamdi A N, 2005. Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya. Review. Jurnal Bidiversitas. 6 : 70 – 75. Disnak dan Keswan Kabupaten Barru. 2013. Grand Desain Sistem Pembibitan dan Pemurnian Sapi Bali di Kabupaten Barru. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Barru. Tidak dipulkasi.
63
Hartati D, Wijono B, Siswanto M. 2007. Performans Sapi Bali induk sebagai penyedia bibit/bakalan di wilayah breeding stock BPTU Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007. 258 – 263. Namikawa, T., Takenaka, O., Takahashi, K., 1983. Hemoglobin Bali (Bovine) A18(BI) Lys His One of the Missing Links Between beta and beta B of Domestic Cattle Exists in the Bali Cattle Bovinae Bos banteng (Namikawa 1983). Biochemical Genetics, Vol. 21, Nos. 7/8, 1983 Ishak, A B L., Nurhayu A., Ella A, Sariubang M, Nurjadid, Basri H, 2013. Laporan Pelaksanaan Program Pendampingan PSDSK 2013. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Oka IGL, Darmadja D. 1996 . History and development of Bali Cattle . Proc. seminar on Bali cattle, a special spesies for the dry tropics, held by Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), 21 September 1996 Udayana University. Bukit Jimbaran, Bali. Pane, I. 1990. Upaya meningkatkan mutu genetik sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali 20–22 September. hlm: A42. Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Proc.Seminar Nasional Sapi Bali 2–3 September. hlm: 50. Payne WJA, Hodges J. 1997. Tropical Cattle: Origin, Breeds and Breeding Policies . Blackwell Science Purwantara B, Noor R R, Andeson G, Martinez HR. 2012. Banteng and Bali cattle in Indonesia: Status and Forecasts. Rep Dom Anim 47 : 2 – 6 Martojo H. 2012. Indigenous Bali Cattle is Most Suitable for Sustainable Small Farming in Indonesia. Reprod Dom Anim. 47 : 10 – 14 Mohammad K, Olsson M, Helena Ta, Mikko S, Vlamings BH, Andeson G, Martinez HR, Purwantara B, Paling Rw, Colenbrander B, Lestra JA. 2009. On the origin of Indonesian cattle. J Plos one 4 :1 – 6 Masudana, I. W. 1990. Pengembangan sapi Bali di Bali dalam sepuluh tahun terakhir (19801990). Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September 1990. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar . hlm. A-1 I-A-30. Mikema, D. 1987. Dasar Genetik dalam Pembudidayaan Ternak. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Rasyid A, Affandhy Wijono D B, Londra M, Siregar, A R, 2005. Stratifikasi induk dan pembinaan kelompok sebagai bagian dalam perbaikan mutu genetik sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005. Sariubang M, Pasambe D, Chalidjah, 1998. Pengaruh kawin silang terhadap performans hasil turunan pertama (F1) pada sapi Bali di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998
64
Sastradiparadja D. 1990. Potensi internal sapi Bali sebagai salah satu sumber plasma nutfah untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak kerja secara nasional. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September. Denpasar: Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Hlm. A-47-A-54. Samariyanto. 2004. Alternatif kebijakan perbibitan sapi potong dalam era otonomi daerah. Lokakarya Sapi Potong. Siregar, A. R., Chalijah, M. Sariubang, dan C. Talib. 2000. Penyebab kematian dini pada pedet sapi Bali pada pemeliharaan ekstensif. Tidak dipublikasikan. Talib, C. and A. R. Siregar. 1991. Productivity of Bali cattle in Timor's Savanna. (Produktivitas sapi Bali di Savana, Timor, NTT). In Proc. Improving the Productivity of Animal Husbandry and Fisheries. National Seminar, Diponegoro University. Indonesia. p: 112.. Talib, C. 1984. Kekhasan sapi Bali di Sulawesi Selatan. Buletin Teknik dan Pengembangan Peternakan IV: 16: 10. Talib C, 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Jurnal Wartazoa. 12 : 100 – 107. Warwick, E.J., J.M. Astutik dan W. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Wirdahayati, R.B. dan A. Bamualim. 1995. Parameter fenotipik dan genetik sifat produksi dan reproduksi sapi Bali pada Proyek Pembibitan dan Pengembangan sapi Bali (P3Bali) di Bali. Thesis Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
65