JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN
REVIEW : PP NO. 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UU NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG PERMENDAGRI NO. 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN
Oleh : I’ANAH E352080111
MAYOR MANAJEMEN EKOWISATA DAN JASA LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR, 2009
REVIEW PP NO.63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA
PP no.63 tahun 2002 merupakan pelaksanaan dari pasal 9 undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan pemerintah perlu menetapkan hutan kota. PP ini terdiri dari delapan bab dan 40 pasal. Yang menjadi pertimbangan dalam PP ini bahwa Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Lahan-lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi (jalan, jembatan, terminal) serta sarana dan prasarana kota lainnya. Keadaan lingkungan perkotaan menjadi berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Kondisi demikian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan, yang berupameningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (seperti meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, Tujuan dari penyelenggaraan hutan kota tersebut dimaksudkan untuk : a. menekan/mengurangi peningkatan suhu udara di perkotaan; b.menekan/mengurangi pencemaran udara (kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang dan debu); c. mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah; dan d. mencegah terjadinya banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air. meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah. Keadaan tersebut menyebabkan hubungan masyarakat perkotaan dengan lingkungan-nya menjadi tidak harmonis. Menyadari ketidakharmonisan tersebut dan mempertimbangkan dampak negatif yang akan terjadi, maka harus ada usaha-usaha untuk menata dan memperbaiki lingkungan melalui pembangunan hutan kota.
Dari review PP Nomor 63 tahun 2002 Tentang Hutan Kota terdapat beberapa kelemahan bila dikaitkan dengan implikasi dan kondisi riil pengelolaan hutan kota saat ini, kelemahan dan perbaikan PP No 63 Tahun 2002 sebagai berikut : No 1.
Bab/Bagian/Paragraf Bab 1/Pasal 1 : Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Fungsi hutan kota adalah untuk : a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. Meresapkan air; c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan d. Mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia
2.
Bab.2/2 :Lokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH), dapat berada pada tanah negara atau tanah hak. Penunjukan lokasi dan luas hutan kota didasarkan pada pertimbangan : luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran, dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 Ha. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% wilayah perkotaan
Kelemahan dan Saran Perbaikan Disini masih ada kekurangan dalam mengfungsikan hutan kota, hutan kota belum memberikan manfaat secara ekonomi oleh karena itu kondisi riil yang ada hutan kota dalam pembangunnya jarang mendapat dukungan dari masyarakat bahkan menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Manfaat ekonomi ini akan menjadi bergening posisi hutan kota bila dibandingkan dengan pemanfaatan ruang lain. Sebagai contoh jika hutan kota memberikan manfaat riil seperti kayu, maupun produk lain yang bisa menambah pendapatan daerah. Dalam penetapan hutan kota tidak mempertimbangkan kondisi ekologis kota, dan presentase 10% atau luasan 0,25 ha belum berdasarkan kajian ilmiah. Seharusnya dilakukan kajian lebih terpadu dengan pemanfaatan ruang lain dimana masing-masing daerah akan berbeda. Karena dengan penentuan luas yang hanya berdasarkan pertimbangan batas minimal, kondisi riil yang ada pembangunan hutan kota banyak yang tidak memenuhi luasan hutan kota baik secara parsial maupun global. Oleh karena itu kriteria dan standar tentang lokasi dan luasan hutan kota seharusnya diatur oleh menteri
3.
Bab.2/2(2) Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari : a. tipe kawasan permukiman; b. tipe kawasan industri; c. tipe rekreasi; d. tipe pelestarian plasma nutfah; e. tipe perlindungan; dan f. tipe pengamanan.
4.
Pasal 20 (1) Perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Per-kotaan serta ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, perubahan peruntukan hutan kotasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang
5
Pasal 22 (1) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah negara dapat dilakukan oleh : a. Pemerintah Daerah; dan atau b. masyarakat. (2) Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak. (3) Pengelolaan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat bukan pemegang
Pada ayat ini menyatakan tipe hutan kota masih sebatas memberikan manfaat lingkungan, oleh karena itu perlu adanya penambahan tipe hutan kota untuk produksi yang memberikan hasil maupun pendapatan.dan pemanfaatan hutan kota secara ekonomi perlu ditambahkan dalam pasal ini. Contoh hutan kota dapat disewakan untuk pesta, kegiatan outbound. Dengan demikian juga akan mendorong masyarakat kota untuk berpartisipasi di tanah miliknya. Pasal 20 ini menunjukan posisi hutan kota sangat lemah, ini bisa menimbulkan perubahan hutan kota berdasarkan rencana tata ruang wilayah, seharusnya hutan kota harus tetap dipertahankan.Apalagi kalau sudah dikaitkan untuk fungsi publik dan ekonomi biasanya hutan kota akan selalu dinomor duakan.
Perlu adanya aturan khusus untuk pengelolaan hutan kota pada tanah negara untuk pengelolaan masyarakat baik hak dan kewajibannya bagi pihak pengelola yang dillakukan masyarakat. Tidak ada pengaturan pemanfaatan yang khusus pada hutan kota dari tanah hak, adanya pemanfaatan produksi / budidaya hasil hutan kayu karena tanah hak tentunnya
6.
hak atau Pemerintah Daerah harus mendatangkan manfaat melalui perjanjian dengan ekonomi langsung pada pemegang hak. pemiliknya tapi harus ada pengaturan yang jelas dan bijaksana Pasal 28 Selama ini kegiatan pemantauan (1) Pemantauan dan evaluasi dan evaluasi untuk penilaian sebagaimana dimaksud dalam kinerja pengelolaan hutan kota Pasal 21 ayat (2) huruf e belum berjalan, karena belum dimaksudkan untuk ada kelembagaan yang meningkatkan kinerja pengelola difungsikan untuk melakukan ini. melalui penilaian kegiatan Seharusnya kegiatan pengelolaan secara pemantauan dan evaluasi menyeluruh. diakukan ditingkat nasional (2) Hasil penilaian kegiatan melalui kelembagaan setingkat pengelolaan sebagaimana menteri. dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan sebagai bahan penyempurnaan terhadap pengelolaan hutan kota. (3) Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara periodik.
7.
Pasal 34 (1) Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui : a. pendidikan dan pelatihan; b. penyuluhan; c. bantuan teknis dan insentif. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pengaturan pemberian bantuan teknis dan insentif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Daerah.
Belum ada pengaturan secara jelas tentang insentif dan disinsentif, persoalan insentif dan disinsentif mestinya tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah tetapi juga Pemerintah Pusat.
8.
Pasal 36 Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.
Menurut pendapat saya seharusnya pembangunan hutan kota menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baru nanti pengelolaannya ditingkat nasional. Begitu juga dengan pembiayaan. Untuk pembiayaan hutan kota seharusnya tidak hanya dari APBD saja tapi juga sharing dengan APBN. Karena
9.
bagi daerah yang APBDnya rendah mereka akan lebih memperioritaskan pembangunan-pembangunan lain diluar hutan kota Pasal 37 1. Tidak diatur sanksi yang dapat Pelanggaran terhadap membuat jera baik bagi pelaku ketentuan Pasal 26 dikenakan tindak pidana terhadap hutan sanksi yang diatur lebih lanjut kota dengan Peraturan Daerah. 2. Tidak ada sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak membangun hutan kota. 3. Disini juga terjadi ambiguitas, pelaksananya penyelenggara hutan kota Pemda dan yang memberikan sanksi juga pemda, seharusnya pemberian sanksi terhadap tindak pidana terhadap hutan kota perlu diatur secara pasti dan jelas dalam PP dan tidak diserahkan sepenuhnya pengaturannya pada Peraturan Daerah dan Perlu ada pengaturan sanksi terhadap Pemerintah Daerah yang tidak memperhatikan hutan kota
REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG (YANG TERKAIT DENGAN RUANG TERBUKA HIJAU)
No
Bag/Bab/Pasal Kelemahan Dan Saran VI / Kesatu / 5 / 28 – 31 - Dalam tata ruang terutama Perencanaan tata ruang wilayah kota sama yang terkait dengan ruang dengan perencanaan tata ruang wilayah terbuka hijau, RTH belum kabupaten dengan tambahan : menjadi suatu tatanan ruang a. Rencana penyediaan dan pemanfaatan yang penting dalam suatu ruang terbuka hijau; kawasan perkotaan, Dalam b. Rencana penyediaan dan pemanfaatan tata ruang ini masih ruang terbuka nonhijau; dan mengutamakan ego sektoral, c. Rencana penyediaan dan pemanfaatan sehingga ini yang prasarana dan sarana jaringan pejalan menyebabkan sering kaki, angkutan umum, kegiatan sektor terjadinya permasalahan informal, dan ruang evakuasi bencana, dalam pembagiaan tata yang dibutuhkan untuk menjalankan ruang. Seharusnya kawasan fungsi wilayah kota sebagai pusat perkotaan mendapatkan pelayanan sosial ekonomi dan pusat proporsi yang penting untuk pertumbuhan wilayah. mengtasi permasalahanpermasalahan lingkungan Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud yang penting dalam terdiri dari ruang terbuka hijau publik - Dalam RTH juga belum dan ruang terbuka hijau privat. diperhatikan masalah yang Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah berkaitan dengan hutan kota kota paling sedikit 30% luas wilayah kota (proporsi ruang terbuka hijau public paling sedikit 20% luas wilayah kota. Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.
REVIEW PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN TERKAIT DENGAN HUTAN KOTA No Bab/Bagian/Pasal 1. III. Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang alam berdasar aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika yang mencerminkan karakter alam dan/ataubudaya setempat yang bernilai ekologis, historik, panorama yang khas dengan tingkat penerapan teknologi
2.
3.
Kelemahan dan Saran Pembentukan RTHKP tidak memperhatikan aspek ekonomi
Hutan kota tidak diatur secara khusus sebagai jenis spesifik RTHKP Perlu ada pengaturan dan porsi khusus hutan kota dalam Jenis-jenis RTHKP (23 jenis) termasuk di RTHKP mengingat PP No. 63 dalamnya Hutan Kota Tahun 2002 sebagai aturan yang lebih tinggi mempersyaratkan luasan hutan kota dan mengatur hutan kota secara khusus. Sesuai UU No. 26 tahun 2007, proporsi RTHKP (public dan privat) paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan proporsi RTHKP publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. RTHKP lebih menitik beratkan pada Pertamanan kota IV / Keempat Belum ada prosedur Lingkup pengendalian RTHKP meliputi : pengamanan RTHKP agar a. target pencapaian luas minimal; tidak diganggu oleh oknum b. fungsi dan manfaat; dan pemberian sanksi yang c. luas dan lokasi; dan diberikan bagi yang d. kesesuaian spesifikasi konstruksi mengganggu maupun dengan desain teknis. mengalihfungsikan RTHKP untuk fungsi lain Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perizinan, pemantauan, pelaporan dan penertiban VIII. Biaya penyelenggaraan RTHKP Perlu ada sharing pembiayaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan dari Pemerintah Pusat karena Belanja Daerah keterbatasan anggaran APBD atau sumber dana lainnya yang sah. dan pengelolaan hutan kota
termasuk dalam katagori pelestarian lingkungan yang sifatnya universal tidak hanya untuk kepentingan daerah Catatan : 1. Perlu adanya Pengaturan mekanisme insentif yang diatur dalam Peraturan Daerah 2. Perlu adanya revisi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan mengingat Permendagri dimaksud terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. (UU No. 26 Tahun 2007 : 30% ; Permendagri No. 1 Tahun 2007 : 20%)