Jarit Batik untuk Kinasih Oleh: Rahmy Madina
Tidak ada yang pernah menyangka kalau Kinasih akan mati muda. Dari balik pintu rumah bercat merah, aku memandang jasad Kinasihyang seakan tinggal tulang terbalut kulit, berbaring di atas bilik kayu sederhana peninggalan almarhumah sang ibu.Penyakit menggerogoti semua yang dia punya. Aku menahan perih begitu mendengar lantunan ayat-ayat Tuhan yang mengiringi kepergian perempuan itu. Sungguh, aku tak menyangka akan secepat ini dia pergi. Meninggalkan suami dan bocah kecil yang masih membutuhkan sosok dia sebagai peneduh, juga meninggalkan aku. Aku masih ingat isak tangis Kinasih beberapa hari lalu, saat dia mengaku lelah dengan rasa sakit, merengek minta segera sembuh. Seandainya aku punya kuasa atas dia, kuangkat semua rasa sakit yang bersarang di tubuh itu. Melemparkan ke Kali Loji, tempat kami biasa bermain semasa kecil. Sayangnya aku bukan Tuhan yang mampu secara gampang memenuhi ingin Kinasih. Semua kenangan akan perempuan itu masih kusimpan rapi di dalam ingatan, tidak ada yang tercecer barang secuil. Kuhimpun semua seperti aksara yang meramu puisidan cerita. Aku tidak menyangkal,dia adalah cerita terindah yang pernah Tuhan berikan kepadaku.Perempuan ayu yang lincah dan pantang menyerah. Andai rasa terima kasih mampu membangunkan dia, akan kuberikan semua tanpa sisa. Kinasih perempuan yang baik. Aku mengenal dia, sefasih dia mengenal batik. Ya, semua yang ada pada Kinasih, selalu membuatku mengingat batik. Perempuan kurus berambut hitam panjang yang ayu itu gemar betul membatik. Mewariskan peninggalan nenek moyang katanya. Rasa cinta yang dituangkan oleh ibu dan nenek Kinasih pada lembaran kain batik, menurun kepadanya. Bahkan sampai ajal menjemput, rasa cinta itu tetep melekat pada diri Kinasih. Entah penghargaan macam apa yang pantas dia terima. “Batik, banyak titik. Batik itu cantik. Bisa menggambarkan karakter orang yang membuatnya,” begitu Kinasih pernah mengungkapkan,saat kami tengah membatik bersama di halaman sekolah.
Di SMP kami dulu, ada pelajaran khusus membatik. Mulai dari mengenal berbagai macam jenis batik, alat-alat yang digunakan untuk membatik, juga cara membatik. Aku bisa membaca semangat Kinasih lewat gambar dan warna yang dia poles pada kain mori miliknya. Rapi dan berani. Membuat dia menyandang julukan gadis kain batik karena selalu mendapat nilai tertinggi di kelas. “Apa kamu suka batik gara-gara kamu tinggal di Pekalongan?” tanyaku basabasi. Dia sontak cemberut. “Tentu saja tidak!” jawab Kinasih yang seketika berhenti memoleskan warna pada kain miliknya. “Kan sudah aku bilang, batik itu cantik. Aku suka batik karena kain batik itu cantik,” sambung Kinasih. “Kalau sudah besar, aku mau jadi pembatik. Sama seperti Ibu dan Nenek.”
***
Impian lugu Kinasih terwujud juga. Setelah lulus SMA, dia langsung bekerja di pabrik batik.Makin lama, keahlian Kinasih dalam membatik makin meningkat, cantik bukan main. Motif-motif yang dia tuangkan pada kain beragam dan detail. Tangan perempuan itu bukan hanya bermain di wilayah colet, ikat celup,dan remekan, tapi juga menguasai motif kawung, jlamprang, atau motif batik tulis yang sulit dan butuh konsentrasi tinggi.Bukan itu saja, selain pandai meracik dan membubuhkan warna, dia juga makin akrab dengan canting dan cairan malam panas. Sesekali, gadis itu malah ikut ngelorot kain-kain batik bersama pekerja laki-laki. Rasa cinta Kinasih pada batik dia buktikan secara total. Kain-kain hasil batikan Kinasih sudah merambah bukan hanya di Grosir Setono atau IBC, tapi juga sudah menembus pasar internasional seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Tidak jarang pula, kain-kain itu dipajang pada etalase-etalase pameran batik, atau dipakai oleh model-model parade, bahkan diminta oleh Museum Batik Pekalongan sebagai koleksi. “Wah, makin lincah saja caramu membatik, Sih! Tak heran kalau sekarang kain batik buatanmu banyak diminati.Sudah terkenal rupanya,” ledekku, ketika aku bertandang ke tempat dia biasa membatik di pabrik.
Gadis itu terkekeh. “Ah, kamu ini!” jawabnya sambil tersipu. “Yang berasal dari hati akan kembali ke hati, Geng. Aku membatik karena cinta pada seni batik. Itu sebabnya, rasa cintaku sampai ke hati mereka, sehingga mereka menyukai kain batik buatanku.” Aku makin terkesima mendengar jawaban perempuan itu. “Wah, aku terlalu lugu menilai, bukan hanya membatik, kamu juga pandai merangkai kata.” Pipi Kinasih sontak merah padam. “Aduh, Geng. Jangan berlebihan memuji. Bisa terbang aku!” “Aku tidak sedang memuji, Sih. Aku berbicara fakta.” Tegasku sambil mengelilingi kain yang dibentang pada kotakan kayu, yang tengah digarap oleh Kinasih. Memang benar, batik yang dibuat Kinasih berbeda. Melihat dia membatik seakan dia tengah bercerita, bahwa mereka para pembatik, ingin menyuguhkan cinta mereka kepada sesama. Goresan demi goresan yang gemulai seakan menggambarkan kemurnian warisan budaya. Aku mengenal kelembutan dan keteguhan hati Kinasih lewat batik-batik buatannya. Bagiku, dialah keindahan dan kecantikan seni batik Pekalongan itu sendiri. Tidak peduli sejauh mana kain batik itu melejit, Kinasih tetap berdiri di tempat yang sama sebagai perempuan yang sederhana. Ketenaran kain batik buatnya tidak lantas membuat dia lupa diri. “Asalkan ada yang mau memakainya saja, aku sudah bahagia,” tukas Kinasih lembut dan tulus. Membuatku tersenyum kagum.
*** “Berhentilah, Sih! Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri!” Tugas Mbak Yul, Kakak pertama Kinasih. “Sudah beberapa hari ini dia sakit kepala. Suruh dia jangan terlalu mengikis diri, Geng. Kamu juga, Herman! Jangan diam saja. Sebagai suami harusnya kamu yang menjadi tulang punggung keluarga.” “Jangan salahkan Herman, Mbak. Dia juga sudah bekerja,” Jawab Kinasih sambil nyengir menahan sakit. Sebelah tangan perempuan itu memijit-mijit pelipisnya. Sementara Gilang, anak semata wayang mereka, memilih untuk tidak ikut campur dengan bermain telepon genggam baru miliknya di pelataran rumah.
Aku menatap prihatin perempuan yang terduduk lemas di atas sofa hijau itu. Bingung harus berbuat apa, sementara Herman lebih berhak bicara.Herman lelaki penurut. Aku sendiri yang mengenalkan Kinasih kepada laki-laki itu, ketika kuajak dia tandang ke rumah perempuan itu. Kedatanganku kali ini pun atas permintaan Herman, karena Mbak Yul dua hari ini terus menyalahkan dia atas sakit yang diderita Kinasih. “Iya, tapi kamu yang lebih mendominasi, Sih!” Jawab Mbak Yul makin meradang. Herman menghela napas sambil menjawab pasrah. “Aku sudah meminta dia istirahat, Mbak.” “Bukan cuma minta dia istirahat! Kerja keras biar Kinasih nggak perlu kerja!” “Mbak!” sergah Kinasih yang mulai menitikan air mata. “Jangan keterlaluan! Aku bekerja atas kemauanku sendiri. Mbak Yul kalau masih emosi mending pulang saja. Kinasih pusing, Mbak!” rengek Kinasih, membuatku makin iba. Diam sesaat, sebelum akhirnya Mbak Yul melenggang pulang dengan raut wajah kecewa. Ada yang aneh dengan Kinasih beberapa hari ini. Aku bisa membaca dia lewat kain batik yang dia tunjukkan kepadaku terakhir kali. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang bisa aku rasakan dari goresan-goresan bunga pada kain itu. Baru sekarang aku tahu apa penyebabnya. “Jaga Kinasih, Man. Aku mengenal Kinasih sejak kecil. Sebagai sahabat, aku tahu dia yang terbaik yang bisa aku titipkan kepadamu,” ujarku sambil menepuk bahu Herman. Mencoba menyalurkan kekuatan kepada mereka berdua. Memberikan kepercayaan, bahwa dia bisa melakukan yang terbaik untuk keluarga. “Sugeng,” panggil Kinasih lembut. Masih kulihat sisa air mata di pipi perempuan itu. “Terima kasih.” Aku mengangguk. Yakin kalau dia pasti baik-baik saja.
***
Sakit Kinasih bukan membaik, malah bertambah parah. Hari demi hari, daya tahan tubuh perempuan itu makin melemah. Sel-sel tumor yang bersarang di hidung dan bagian belakang mata Kinasih makin membesar. Diduga kuat penyebab utama dari sakit yang dia derita adalah zat kimia yang mengendap di dalam tubuhnya. Dugaan itu main
kuat setelah aku melihat orang-orang pabrik tempat Kinasih bekerja membuang limbah batik seenaknya. Bukan hanya aliran sungai atau got-got disekitar pabrik, tapi sumur tempat penampungan air yang biasa digunakan untuk minum pekerja juga berbuit dan menimbulkan bau yang menyengat. Tiada upayaku yang paling kuat untuk Kinasih selain berdoa.Pun aku tak punya daya kalau harus menutup atau melaporkan pabrik itu kepada aparat penegak hukum. Sungguh, aku tidak berdaya. Semakin hari, Kinasih makin tak berdaya. Segala macam upaya kami kerahkan demi kesembuhan perempuan itu. Sepanjang hidupku, aku selalu berusaha membaca dia lewat batik. Kali ini, semua batik buatan Kinasih seakan bungkam, ikut merasakan apa yang penciptanya rasakan. Usai menangis dan merengek di hadapanku meminta lekas sembuh, Kinasih tiba-tiba diam merasakan tenang bersama Tuhan. Seketika itu mendung menggelantung. Langit menyimpan tangis kami yang tertahan melihat Kinasih terkulai lemas di atas ranjang. Tubuh perempuan itu habis dilumat sakit. Mata teduh yang biasa bersemangat kini tiada memikat. Ditemani selembar jarit batik yang dia genggam erat, Kinasih membungkam perih yang dia rasakan. Rambut panjang yang dulu indah terawat, kini habis tergerus radiasi obat puluhan kali. “Relakan aku, Mas.” Begitu pinta Kinasih tiba-tiba.Suara perempuan itu lirih hampir seperti bisikan. “Aku lelah.” Herman diam sambil merintih. Kugenggam tangan mereka seraya merapal doa. “Berjuanglah, Sih.” Pintaku seraya menggenggam erat tangan Kinasih yang gemetar. “Tahukah kamu, Tuhan tengah memelukmu erat tiada berjarak.” “Sugeng,” panggil Kinasih yang kembali menangis, namun tetap berusaha tenang. “Aku lelah,” dia menegaskan dengan suara yang makin lemah. Membuat air mata Herman sontak berlinang. Aku mendengar tangis Mbak Yul di balik pintu. Rasa kehilangan akan Kinasih memadamkan amarah yang selama ini dia tumpahkan. “Mas, rasakan cintaku pada tiap lembar kain batik yang aku buatkan untukmu. Sebesar itulah perasaanku untukkamu, Mas.” Ucap Kinasih berbalut tangis, yang membuat Herman sontak merengkuhnya erat. Tak ingin maut memisahkan mereka. Disertai dengan ribuan prajurit langit yang turun membasahi bumi, Kinasih terpejam. Selembar kain batik yang dia genggam seakan memeluk perempuan itu dalam
tidur abadi. Aku menunduk menahan nyeri. Biarpun Kinasih telah pergi, tapi karyanya tidak akan pernah mati.
***
Begitu ada kesempatan masuk kembali ke dalam rumah, aku duduk di samping jasad Kinasih yang telah terbalut kain kafan. Menatap perempuan itu sambil menanggung sesal yang mendesak-desak sanubari. Dalam tidurnya yang panjang, Kinasih tetap ayu, seperti goresan batik yang selama ini dia ciptakan.Tidak dia sangka, kecintaan Kinasih pada batik justru menjadi petaka. Hanya dalam waktu tiga bulan, Kinasih tidak bisa diselamatkan. “Maafkan aku, Man.” Ucapku penuh sesal, sambil merangkul Herman dan Gilang erat-erat. Herman mengangguk, masih bersimbah tangis. “Kamu nggak salah, Geng. Sudah takdir Kinasih.” Kudekap Gilang dan mengecup singkat kepala bocah itu, yang belum juga berhenti menangis, minta ikut sang ibu. “Sabar ya, Nak.” Ucapku sama kehilangannya. “Doakan Ibu, relakan kepergiannya. Biar Ibu tenang.” “Ibu, Om.” Ucap gilang sesegukkan. Makin kudekap, tangis bocah itu justru makin kencang. Lantunan ayat-ayat Quran masih terdengar. Suasa duka begitu kental menyelimuti rumah Kinasih yang kini sudah berpulang. Kutatap sekali lagi wajah Kinasih yang seakan tak rela aku tinggalkan. Kuambil kain jarit terakhir yang dibuat Kinasih dari dalam tas, melepaskan Gilang dari pelukanku, meminta Herman mendekap bocah itu, lalu menutupkan jarit ke tubuh Kinasih. “Semoga kau tenang, Kinasih. Aku dan kain batik ini menjadi saksi bahwa kamu luar biasa. Apa adanya.” Ucapku lirih. Sebelum akhirnya melarung doa, melepas kepergian Kinasih. Dalam perjalanan pulang, aku berhenti di Jembatan Loji. Menatap aliran air yang makin keruh. Dulu Loji begitu jernih. Aku dan Kinasih kerap bermain di sana. Berenang-renang sambil tertawa lepas. Tak pernah terbayang kepada siapa dulu maut akan merampas. Kali Loji tidak seperti dulu. Kini dia menjadi kali ajaib yang bisa
berubah menjadi warna apa saja dan kapan saja mereka mau. Pagi merah, siang biru, malam kelabu.Ada maut yang mengalir bersama deras air itu. Ada duka Kinasih yang ikut larut bersama air mataku. Begitu sampai di rumah aku masuk ke kamar Bapak yang masih asyik membaca tabloid batik internasional. Duduk santai di atas King Bed, berbekal kopi kental. Lelaki itu sontak menatapku, menanggalkan kaca mata dan menyalipkan salah satu jemari ke tabloid itu sebagai pembatas. Pelan, dia bertanya. “Bagaimana, Kinasih?” Aku duduk di pinggir tempat tidur. Terdiam sebelum mampu menjawab. “Dia sudah tenang di sisi Tuhan.” “Innalilahi.” Ucap Bapak sambil mengelus dada dengan tangan yang tidak sedang memegang tabloid. “Tidak Bapak sangka, kita akan kehilangan Kinasih secepat ini. Dia pekerja pabrik kita yang paling gigih.” Ujar Bapak penuh haru. “Pikirkan lagi sumur-sumur dan Loji! Jangan menunggu sampai Kinasih yang lain menyusul mati!”