Jaringan Sosial dan Variasi Pekerjaan Para Migran di Kota Samarinda Atiyatul Izzah Rural Urban Migration China Indonesia (RIMCI), Universitas Gajah Mada Email:
[email protected]
Abstract Migration in Samarinda has always had an important role in longterm changes within social processes; corresponding to historical and political trends rather than just to short-term economic calculation. In Indonesia, migration was seen as a crucial survival strategy. Migration has been a crucial factor contributing to economic growth and poverty reduction either in the origin and the destination. Moreover, it has been known that within Samarinda, peasants tend to keep social ties with the place of their origin using circular migration as a transitional step to explore opportunities in urban settings and to expand livelihood security during the transitional periods before possible permanent migration is established. Samarinda growthits as represent of new city character In Indonesia.
Kata kunci: Samarinda, migrasi desa-kota, pekerja migran, ikatan sosial
158 |
ATIYATUL IZZAH
PE N DA H U LUA N
Samarinda merupakan salah satu kota baru1 di Indonesia yang berkembang pesat sejak dekade 197-0an. Ia menjadi kota penting di Kalimantan karena kaya dengan sumberdaya alam dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. Jumlah penduduk kota Samarinda pada tahun 2010 sekitar 726 ribu dengan laju pertumbuhan penduduk dalam periode 2000-2010 sekitar 3,36% per tahun (pertumbuhan penduduk nasional hanya sekitar 1,49% per tahun) (BPS, 2010). Kota ini banyak memikat para migran (terutama desa-kota) dari berbagai pulau di Indonesia. Seperti dilaporkan Dinas Kependudukan Kota Samarinda 2, pertambahan penduduk kota Samarinda kebanyakan berasal dari para migran dari luar daerah. Para migran memberi warna kebudayaan dan dinamika sosial ekonomi beragam bagi perkembangan Samarinda sebagai sebuah kota. Sudah menjadi pengetahuan bersama jika pembentukan sebuah kota dipengaruhi oleh para migran (lihat Gilbert dan Gugler 1996; Evers dan Korff 2002; Castles 1967: 153-204). Akan tetapi, sebagai sebuah kota, Samarinda memiliki proses tersendiri. Terutama strategi para migran beradaptasi dengan dinamika perkembangan kota. Jaringan sosial para migran mendukung proses interaksi dan hubungan sosial di kota Samarinda. Implikasi dari interaksi itu memunculkan kantong-kantong komunitas dan pengelompokan berdasarkan etnis dan pekerjaan. Ini yang menjadi fokus tulisan ini. Migrasi desa-kota seringkali mengindikasikan salah satu gejala pertumbuhan ekonomi perkotaan terutama di negara-negara berkembang (lihat Gugler dan Gilbert 1996:46). Keberadaanya menjadi simbol bagi konsentrasi modernitas, paradoks gedunggedung tinggi maupun kantong-kantong pekampungan kumuh di perkotaan atau ekonomi tradisional dan ekonomi modern. 1 Kota Baru biasa disebut dalam sejarah pembentukan kota. Pembangunan kota baru dari waktu ke waktu tentunya sesuai kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, baik macamnya, jumlahnya maupun kualitasnya. Ada kota baru yang diperlukan karena berkembangnya pemerintahan, ada yang diperlukan untuk menunjang pemanfaatan sumber daya alam, ada yang diperlukan untuk menunjang perkembangan industri manufaktur dan ada pula yang bertujuan mengatasi persoalan kota besar. Lihat lebih lanjut dalam Colombijn, Freek, et al, (2005, X-XXX). 2 Diunduh dari http://samarindakota.go.id/index.php?&page=10&id=1552. Tanggal akses 10 Oktober 2010. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 159
Pembangunan ekonomi perkotaan berpengaruh pada perubahan sosial, politik, dan budaya. Di Indonesia, rangkaian proses transformasi budaya dari kehidupan agraris ke industri, kemudian ke dalam era industri jasa dapat diamati pada kota-kota besar, seringkali berlangsung secara simultan, dan terutama terjadi pasca kemerdekaan dalam kurun waktu tiga dekade terakhir (lihat Gugler dan Gilbert, 1996:46). Kesenjangan ekonomi desa dan kota, disebut-sebut sebagai alasan kuat para migran datang ke kota (lihat ibid:55). Perkemba nga n kota-kota modern memperkena lkan dan menempatkan moda-moda ekonomi sebagai faktor yang begitu determinan. Ini sekaligus telah mengangkut motif modernisasi dalam pelbagai fasetnya: industri, birokratisasi, dan kosmopolitanisme. Industri menyebabkan hubungan antarmanusia lebih fungsional daripada sebelumnya. Adanya birokrasi mendorong perencanaan suatu wilayah lebih tertata, terprediksi, dan terkontrol. Ia mengatur yang privat dan yang publik, mewujudkan suatu lingkup administratif, merapikan segala sesuatu yang tadinya karut-marut. Sedangkan kosmopolitanisme berarti bahwa kota sebagai tempat bertemu dan proses berbaurnya berbagai kebudayaan. Akibatnya, kota mengaburkan berbagai batas-batas kebudayaan. Perkembangan kota Samarinda agak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Perbedaan tersebut disebabkan oleh proses pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur, yang tidak dimulai dari pengembangan agraria laiknya kota-kota di Jawa. Penduduk di Kalimantan Timur lebih banyak terkonsentrasi di perkotaan karena potensi industri dan kekayaan alam yang menyebar di pedalaman, sehingga merangsang muncul kota-kota, seperti Balikpapan, Bontang, Sangata, dan Tenggarong. Kota-kota itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan eksplorasi sumberdaya alam. Itu yang menyebabkan di Kalimantan Timur proporsi penduduk yang bermukim di perkotaan lebih besar dibanding dengan di perdesaan. Menurut Data Supas BPS tahun 2005, Populasi Desa Kota Indonesia menunjukkan angka populasi lebih besar di desa daripada di kota (kota 43,1 persen, sedangkan desa 56,9 persen). Sedangkan Kalimantan Timur memiliki populasi sebaliknya yaitu kota 56,4 persen, sementara desa 43,6 persen (lihat Gambar 1). Kota-kota di Kalimantan Timur bermunculan untuk menunjang pemanfaatan sumber daya alam, terutama setelah dibukanya lahan sebagai tempat-tempat industri tambang dan perkebunan. Ini kemudian memunculkan sistem ekonomi kota-kota Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
16 0 |
ATIYATUL IZZAH
baru di provinsi tersebut. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kota, proses migrasi penduduk dari desa ke kota juga terus berlangsung. Kota Samarinda memiliki daya tarik bagi para pendatang terutama karena statusnya sebagai pusat administratif dan pendidikan. Tulisan ini memfokuskan analisis pembentukan Kota Samarinda sebagai kota yang “dibesarkan” oleh para migran. Gelombang migrasi ke Kota Samarinda memiliki beberapa karakteristik sesuai kontekstualisasi sosial politik di zamannya. Studi ini menunjukkan bahwa migrasi penduduk membawa implikasi luas bagi pertumbuhan sebuah kota. Penekanan ditujukan kepada migran sebagai aktor yang banyak mewarnai, terutama karakteristik jaringan sosial dan implikasinya bagi eksistensi para migran di Kota Samarinda. Grafik 1. Jumlah Penduduk Desa-Kota Indonesia danKalimantan Timur Tahun 2005
Sumber: Supas BPS, 2005
Siapakah M igran di S amarinda ?
Sejarah migrasi ke Samarinda tidak berbeda dengan sejarah migrasi di kota-kota lain di Indonesia. Awal mulanya, sejarah pembentukan sebuah kota diawali oleh pendatang baru. Mereka membuka lahan dan mengembangkan usaha. Para pendatang tersebut bertemu untuk kepentingan ekonomi ataupun lainnya hingga muncul bentuk kualitas interaksi yang lain. Hubungan-hubungan dalam organisasi sosial sampai kepada bentuk pernikahan, sehingga secara perlahan terjadi proses asimilasi sosial dan kultural. Para pendatang membangun jaringan sosial berdasarkan hubungan sosial yang
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 161
terjalin lama dari daerahnya. Mereka kemudian membentuk kantongkantong di daerah-daerah baru yang mereka datangi. Samarinda, pertama kali dibangun oleh para pendatang yang berasal dari Bugis. Suku yang berasal dari pulau Celebes (Sulawesi) tersebut terkenal sebagai perantau dan pelaut yang ulung. Mereka datang lebih dahulu daripada para transmigran yang datang pada akhir tahun 1960-an. Tidak mengherankan jika kehadiran suku Bugis memberi warna mendalam bagi pembentukan kota Samarinda. Gelombang migrasi orang Bugis ke Kalimantan Timur dimulai setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya 3 antara Sultan Hasanudin dan Belanda. Perjanjian itu menyebabkan perpecahan di kalangan kubu Hasanudin. Sebagian yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memilih untuk meninggalkan Pulau Celebes. Mereka berlayar mencari daerah baru. Orang Bugis tiba di Kalimantan Timur pada 21 Januari 1668. Waktu kedatangan orang Bugis ini kemudian dijadikan sebagai ulang tahun kota Samarinda. Hal tersebut menunjukkan pentingnya suku Bugis bagi proses perkembangan kota Samarinda. Para migran Bugis tersebut mendapatkan tanah suaka dari Sultan Kutai, di daerah Samarinda seberang (seberang Sungai Mahakam). Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan orangorang Bugis diberi lokasi sekitar kampung sepanjang daerah dataran Sungai Mahakam, daerah dataran rendah yang subur dan baik untuk usaha pertanian dan perikanan. Sesuai dengan perjanjian, mereka kemudian dapat bermukim di daerah itu dan sebagai imbalan, orangorang Bugis Wajo itu harus bersedia membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh. Di daerah itu, para migran Bugis membuat rumah rakit di atas air tepian sungai Mahakam. Rumah-rumah itu harus sama tinggi antara satu dengan yang lainnya. Ini melambangkan bahwa semua orang “sama” derajatnya. Lokasi pemukiman ini berada di sekitar muara sungai dan di kiri-kanan sungai daerah daratan rendah. Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA (sama rendah) dan lama-kelamaan ejaan itu menjadi “SAMARINDA” (lihat Abidin 1983:56). 3 Beberapa orang Bugis Wajo yang tidak setuju penandatanganan perjanjian Bongaya lari dari Makassar sesudah kekalahan sultan Hasanudin dengan Belanda(1667). Lihat Lombard (1996:60) Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
162 |
ATIYATUL IZZAH
Mereka yang yang tinggal, terutama di Samarinda Seberang adalah para migran Bugis lama. Sebagian besar dari mereka adalah golongan Bugis Wajo (lihat Tirtosudarmo 2008:101-111) yang menjalin hubungan kekerabatan yang kuat. Di salah satu kompleks, daerah kampung Baka dan Mesjid, komunitas ini terlihat masih sangat kuat dan mengembangkan kerajinan Sarung Tenun Samarinda (periksa Tabel 3). Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa Suku Bugis telah lebih dari tiga abad berdiam di Samarinda. Mereka telah tinggal dan membangun keluarga bertingkat dalam beberapa generasi. Dengan demikian, sebagian besar para migran Bugis gelombang awal telah menjadi non-migran dalam konsep penelitian ini. Dari sini dapat dibedakan ada tiga kategori migran 4 . Tabel 2 memuat informasi komposisi status migrasi menurut etnis berdasar tempat lahir migran. Penulis membuat pendekatan tempat lahir para migran untuk melihat asal etnis. Tempat lahir di Pulau Jawa menandakan status suku Jawa dan Madura, Pulau Nusa Tenggara sebagian besar berstatus suku Bima, Pulau Sulawesi meyatakan kedekatan status dengan suku Bugis, Pulau Kalimantan berdekatan dengan suku Banjar, Dayak dan Melayu Kutai. Para pendatang etnis Jawa tergolong pendatang lebih belakangan daripada Bugis. Arus migrasi etnis Jawa ke pulau-pulau lain berlangsung sejak akhir 1960-an. Orang-orang Jawa datang ke pulaupulau itu, mengisi beberapa kesempatan kerja yang ada di tempat tersebut. Di Kota Samarinda sekitar 47,6 persen migran berasal dari perdesaan Jawa (lihat Tabel 2). Lebih spesifik lagi, sebagian besar dari mereka merupakan pendatang dari Jawa Timur. Mereka berasal dari Madura, pesisir Utara Jawa Timur, Magetan, Madiun, dan Blitar. Pilihan bermigrasi etnis Jawa ke Kalimantan disebabkan berbagai kemungkinan. Selain ada kaitan dengan program transmigrasi pemerintah, para migran, terutama dalam dekade belakangan ini, 4 Dalam penelitian ini, dibedakan tiga kategori responden berdasarkan lama/jangka waktu pindah. Non-migran adalah Responden yang lahir di kota dan tidak pernah tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum umur 12 tahun atau hingga lulus Sekolah Dasar. Life Time Migran adalah responden yang tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum lulus SD dan tinggal di kota ini termasuk di kota lainnya lebih dari lima tahun. Recent Migran adalah responden yang tinggal di desa selama minimal lima tahun berturut-turut sebelum lulus SD(<12 tahun) dan tinggal di kota ini termasuk kota lain kurang dari lima tahun. Keterangan lebih lanjut lihat Resosudarmo, Yamauci dan Effendi (2010: 222-243). Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 163
bermigrasi ke Samarinda terkait dengan keterjangkauan akses dari perjalanan laut. Rute tersebut relatif dekat dan ongkos perjalanan lebih terjangkau (ekonomis). Ini tidak terlalu memberatkan bagi para migran dari Jawa untuk datang ke Samarinda, bahkan apabila migrasi dilakukan dengan cara swadaya. Tabel 2. Migran berdasarkan etnis menurut status migrasi di Samarinda Etnis
Jawa Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Sumatera Total
Status Migrasi (%) LM Semua Status Migrasi N % 37,2 51,6 223 47,6 31,0 20,4 109 23,3 17,1 4,7 38 8,1 12,4 22,4 92 19,7 2,3 0,9 6 1,3 % 27,6 72,4 100 N 129 339 468 Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010 RM
Urutan kedua, komposisi migran di Samarinda sekitar 23,3 persen ditempati oleh penduduk dari desa-desa di Kalimantan (etnis Melayu Kutai, Banjar dan Dayak). Selain mencari peruntungan ekonomi, mereka juga menempuh pendidikan di Samarinda. Samarinda memiliki beberapa pendidikan tingkat tinggi negeri, salah satu yang paling populer adalah Universitas Mulawarman. Samarinda menjadi kota tujuan para pendatang di wilayah sekitar Kalimantan Timur. Dengan adanya fasilitas pendidikan tersebut, para migran berdatangan untuk tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Masih bertautan dengan cerita di depan, para migran berasal dari Sulawesi; sebagian dari mereka adalah suku Bugis gelombang baru. Para migran Bugis ini datang ke Samarinda dengan motif sosialekonomi pasca kemerdekaan. Jumlahnya 19,7 persen, menempati urutan ketiga komposisi etnis yang bermukim di Samarinda. Tirtosudarmo (2008:108) menempatkan para migran Bugis tersebut sebagai Bugis baru, gelombang migrasi suku Bugis pasca kemerdekaan (lihat Tabel 2). Urutan etnis berikutnya adalah para pendatang dari Nusa Tenggara disinyalir merupakan etnis Bima dari Nusa Tenggara Barat sekitar 17,1 persen. Mereka bagian dari gelombang terakhir dalam rentetan sejarah para migran di Samarinda. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
16 4 |
ATIYATUL IZZAH
Sementara itu, komposisi migran Jawa di Samarinda memberi implikasi luas bagi politik-ekonomi lokal kota tersebut. Secara tidak langsung, para migran terbanyak memberi warna dominan bagi kehidupan kota, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam dinamika kehidupan di Samarinda, migran Jawa saling berebut ”posisi” dengan etnis lainnya, Bugis dan suku asli; Dayak, Melayu Kutai, dan Banjar. Komposisi etnis dalam percaturan politik dan kebudayaan kota Samarinda ada nuansa persaingan untuk mencapai derajat tertentu. Ini misalnya, dapat dilihat dari pentingnya identitas etnis dalam pemilihan jabatan politik. Akan tetapi, realitas yang dapat diungkapkan dalam tulisan ini tidak lain sebagai identitas etnis di lorong-lorong kecil dinamika kehidupan sosial-ekonomi para migran. Untuk selanjutnya para migran itu berjuang menelisik dalam ruang-ruang sempit peluang pekerjaan yang tersedia di Kota Samarinda. J aringan S osial dan K antong -kantong Para M igran
Interaksi para migran di perkotaan biasanya bergerombol membentuk kampung-kampung kota. Mereka membuat kantong etnis di perkotaan, berdasarkan kedekatan primordial5. Para migran merasa terhubung dengan sebuah jaringan sosial tertentu. Di bagian ini saya memfokuskan ulasan pada jaringan etnis dengan pendekatan tempat lahir para migran serta implikasinya terhadap pengelompokan tempat tinggal secara geografis dan pilihan terhadap lapangan pekerjaan yang mereka geluti. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kota Samarinda sebagian besar terkosentrasi di Kecamatan Samarinda Utara sebanyak 25 persen, disusul Kecamatan Samarinda Ilir 18 persen, Kecamatan Samarinda Ulu 17,5 persen, Kecamatan Samarinda Seberang sebanyak 15,6 persen, Kecamatan Sungai Kunjang sebesar 16,3 persen dan yang paling rendah di Kecamatan Palaran 7,2 persen (BPS, Samarinda).6 Berdasarkan penyebaran penduduk Kota Samarinda itu dapat 5 Kajian etnis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan tempat lahir para migran. Kajian lebih lanjut mengenai etnisitas, Geertz berpendapat primordial ties berarti assumed blood, race, language, region, religion and custom. Baca Geertz, Clifford, (1996: 43-44) 6 Bisa dilihat dengan mengakses http://www.bpssamarinda.netai.com. Tanggal akses 30 November 2010. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 165
diketahui bahwa sebagian besar penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan, yaitu di wilayah Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, dan Samarinda Utara. Konsentrasi penduduk sebagian besar berada di daerah perkotaan yang merupakan pusat pemerintahan dan lokasi kegiatan industri, perdagangan, dan jasa. Pemukiman pada pusat kota juga menjadi semakin padat, selain sebab pertumbuhan penduduk juga karena kegiatan ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian terpusat di sana. Studi mengenai bagaimana adaptasi para migran di kota yang semakin padat pernah dilakukan Jellinek pada tahun 1971-1981 di perkampungan Jakarta. Pendekatan intensif dan spesifik di salah satu kampung Jakarta waktu itu menunjukkan karakteristik hubungan sosial para pendatang. Munculnya pondok komunal adalah sebagai sarana tempat tinggal sementara para migran asal desa yang mencari naf kah di kota. Mereka tinggal secara komunal dan menjalin ikatan sosial yang kuat selama bertahan hidup di kota. Ikatan sosial tersebut mengurangi beban segala ketidakpastian bekerja di sebuah daerah baru. Tabel 3. Persebaran Tempat Tinggal Migran menurut Etnis di Kota Samarinda Kecamatan Jawa Kalimantan
Tempat lahir migran (%) Nusa Tenggara Sulawesi Sumatera
Total N
%
Palaran
14,8
3,5
4,8
10,0
20,0
25
10,5
Samarinda Ilir
9,6
10,5
9,5
10,0
0,0
23
9,7
Samarinda seberang Sungai Kunjang
13,0
15,8
61,9
50,0
20,0
58
24,4
18,3
26,3
4,8
10,0
20,0
42
17,6
Samarinda Ulu
17,4
10,5
0,0
0,0
0,0
26
10,9
64
26,9
Samarinda Utara Total
27,0
33,3
19,0
20,0
40,0
%
100
100
100
100
100
N
115
57
21
40
5
100 238
Sumber: Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010
Aktivitas mencari nafkah yang padat dan rasa komunal (Jellinek 1994:57-86) dalam komunitasnya itu menghalangi para migran berbaur secara sosial dengan para anggota masyarakat lain. Mereka, migran dari desa, menjalin hubungan kuat layaknya hubungan kekerabatan seperti saat masih di desa. Strategi bertahan para Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
16 6 |
ATIYATUL IZZAH
migran tersebut, memberi sebuah gambaran tentang masyarakat “berpagar”. Para migran cenderung menggunakan strategi bertahan dengan menggunakan jaringan sosial kelompoknya. Mereka seakan membuat sebuah ”pagar” sosial dalam ikatan kelompok, baik secara geografis maupun pemilihan terhadap pekerjaan. Semakin kuat jaringan sosial etnis para migran semakin memudahkan urusan sosial ekonomi, terutama untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Realitas pengelompokan tempat tinggal para migran berdasarkan etnis seperti digambarkan oleh Jellinek di Jakarta itu juga tampak dalam kehidupan para migran di Kota Samarinda (lihat Tabel 3). Data yang tercantum dalam Tabel 3, menunjukkan persebaran migran berdasarkan tempat tinggal. Data itu tidak bisa memberi penjelasan spesifik seperti yang dilakukan Jellinek. Namun, data tersebut dapat membantu untuk mendapatkan gambaran secara umum kantong-kantong migran berdasar etnis. Para pendatang dari Jawa cenderung menyebar, sedangkan para migran dari Nusa Tenggara cenderung berkumpul. Terlihat dari persebaran angkaangka para migran dari Jawa memiliki persebaran yang kurang lebih sama untuk tiap kecamatan. Kantong-kantong migran Jawa di Bukuan Palaran merupakan salah satu contoh migran yang bermigrasi pada fase 80-an. Mereka datang dengan kesadaran dan biaya sendiri. Kemudian banyak bekerja di industri Kayu. Di antara mereka ada yang kena dampak krisis kayu dan di-PHK setelah tahun 2000-an. Mereka mencoba bertahan hidup dengan membuka membuka warung sembako atau warung kelontong. Di daerah Palaran, migran Jawa itu sekitar 14,8 persen (Tabel 3), sebagian besar merupakan lifetime migrant. Semakin meluasnya kegiatan pembangunan di berbagai daerah, perpindahan penduduk dan tenaga kerja secara spontan mengalami peningkatan. Saat penelitian berlangsung, peneliti menemukan beberapa keluarga berasal dari Magetan, Provinsi Jawa Timur tinggal di Bukuan. Mereka memiliki hubungan keluarga dan tetangga sewaktu di desa asalnya. Untuk memperkuat jaringan sosial di perantauan para migran itu membentuk ikatan paguyuban Magetan di Samarinda (lihat Gambar 1). Ikatan-ikatan berdasar jaringan primordial ini merupakan sebuah realitas dengan moral ganda. Di satu sisi, ikatan sosial berdasarkan hubungan primordial tidak saja menjadi media silaturahmi dan pelestarian kebudayaan, tetapi juga sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan eksistensi para Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 167
migran di rantau. Di sisi lain, ikatan sosial itu dikhawatirkan dapat menjadi pemicu sentimen kedaerahan. Contoh di lapangan, tampak terlihat gerakan masyarakat Kalimantan yang mulai menggeliat dengan organisasi etnis lokal. Sedangkan pendatang dari Jawa tersebar di Samarinda Utara sebanyak 27 persen dan sebagian besar bermigrasi ke Samarinda di tahun 80-an ikut dalam program transmigrasi 7. Migran Jawa yang bermukim di daerah ini agak berbeda dengan migran Jawa yang datang kemudian. Migran Jawa yang datang dengan program transmigrasi berpendidikan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang bermigrasi kemudian (Lihat Tabel 4). Survei ini mencatat bahwa migran dari Sulawesi lima puluh persen bermukim di Samarinda Seberang. Ini menguatkan cerita sejarah mengenai migrasi Suku Bugis yang telah diuraikan di bagian sebelumnya. Para migran ini tinggal dalam kantong-kantong membentuk sebuah kampung yang khas. Pemukiman Bugis di Samarinda Seberang dibangun dalam petak-petak rumah rakit di atas rawa-rawa. Konsentrasi etnis itu banyak terlihat secara nyata seperti adanya kampung-kampung Bugis Samarinda Seberang di daerah kampung Baka dan kampung Mesjid. Selain migran Bugis dan Jawa, di Samarinda ada para migran Nusa tenggara yang sebagian besar dari suku Bima sebesar 61,9 persen. Etnis asal Bima ini terkonsentrasi di Samarinda Seberang di wilayah yang lebih utara, tepatnya di daerah Sengkotek. Seperti yang diamati oleh penulis selama di lapangan, konsentrasi migran Bima di Sengkotek cenderung menjalin hubungan primordial yang kuat. Selain memilih hidup bergerombol, migran Nusa Tenggara juga cenderung memilih profesi yang sama yaitu pekerja di perusahaan kayu. Sebagian besar para migran dari Nusa Tenggara tersebut bekerja di perusahaan kayu (bandingkan dengan melihat Tabel 5).
7 Transmigrasi merupakan program pemerintah ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja bagi petani yang tidak mempunyai tanah atau tanahnya amat sempit di daerah-daerah padat penduduk di Jawa. Di samping itu, di darah tujuan secara tidak langsung, kegiatan transmigrasi turut pula membuka dan memperluas kesempatan kerja di bidang-bidang lain seperti konstruksi dan sebagainya. Dengan cara demikian usaha transmigrasi merupakan pendorong ke arah terciptanya pusat-pusat pengembangan di daerah-daerah jarang penduduknya dan langka tenaga kerja. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
16 8 |
ATIYATUL IZZAH
Tabel 4. Persebaran Tempat Tinggal Migran menurut Etnis di Kota Samarinda Tingkat pendidikan per Kecamatan
Jawa Kalimantan
Etnis (%) Nusa Tenggara Sulawesi Sumatera
Semua Etnis N
%
14
11,9
SD-SMP Palaran
14,7
8,3
0,0
5,3
33,3
S. Ilir
10,3
12,5
0,0
5,3
0,0
11
9.4
S.Seberang
14,7
12,5
33,3
57,9
33,3
26
22.2 18.8
S. Kunjang
16,2
33,3
0,0
10,5
33,3
22
S. Ulu
11,8
8,3
0,0
0,0
0,0
10
8.5
S. Utara
32,4
25,0
66,7
21,1
0,0
34
29,1
117
68
24
3
19
3
%
Sub Total
N
100
100
100
100
100
SMA/SMK Palaran
15,6
0,0
6,7
16,7
0,0
9
9.4
S. Ilir
9,4
10,0
6,7
16,7
0,0
9
9.4
100
S.Seberang
15,6
20,0
73,3
50,0
0,0
29
34.1
S. Kunjang
21,9
30,0
6,7
0,0
0,0
14
16.5
S. Ulu
25,0
10,0
0,0
0,0
0,0
10
11.7
S. Utara
12,5
30,0
6,7
16,7
0,0
14
16.4
85
Sub Total
N
%
32
20
15
18
0
100
100
100
100
100
100
D1-Sarjana Palaran
13,3
0,0
0,0
0,0
0,0
2
5.5
S. Ilir
6,7
7,7
33,3
0,0
0,0
3
8.3
S.Seberang
0,0
15,4
33,3
0,0
0,0
3
8.3
S. Kunjang
20,0
7,7
0,0
66,7
0,0
6
16.6
S. Ulu
26,7
15,4
0,0
0,0
0,0
6
16,6
S. Utara
33,3
53,8
33,3
33,3
100,0
16
44.4
15
13
3
3
2
36
100
100
100
100
100
Sub Total %
N
100
Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010
Kantong-kantong para migran cenderung membentuk kantongkantong etnis bukanlah sebuah penemuan baru. Fenomena itu sudah eksis bersamaan dengan proses migrasi di kota-kota Indonesia. Fenomena pengelompokan para migran itu adalah salah satu cara beradaptasi dengan kehidupan baru di Kota. Strategi itu penting Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 169
bagi para migran baru, terutama jika mereka tidak memiliki akses sumberdaya padahal harus bertahan hidup di daerah yang baru didatangi (Evers dan Korff 2002:6). Minimnya akses sumberdaya bisa dilihat dari tingkat pendidikan, keterampilan, hingga kepemilikan modal kapital maupun sosial. Pendidikan sebagai modal sosial memiliki harga bagi kompetensi dalam persaingan kerja di kota. Evers dan Korff (2002) mengemukakan bahwa kantong-kantong antar etnis cenderung semakin terjadi bila akses sumberdaya tidak terbuka. Para migran memiliki kecenderungan untuk mempererat jaringan primordial agar memperkuat aksesnya. Pendapat itu tampaknya bisa dipinjam untuk menjelaskan kantong-kantong migran Sulawesi di Samarinda. Para migran Sulawesi dengan latar belakang pendidikan SD-SMP 57,9 persen dan SMA 50 persen tinggal berkelompok di Samarinda Seberang. Tidak ditemukan migran Sulawesi berpendidikan di atas SMA di Samarinda Seberang. Realitas tersebut menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kompetensi pendidikan rendah cenderung hidup berkelompok. Mereka membuat jaringan kuat dengan tinggal berdekatan dalam satu kampung pemukiman. Bermukim secara berkelompok merupakan salah satu strategi bertahan hidup para migran di tengah persaingan yang cukup tinggi di Kota Samarinda. Fenomena itu tidak hanya terjadi pada para migran asal Sulawesi tetapi juga pada migran asal Jawa dan Nusa Tenggara. Seperti yang tampak terlihat pada Tabel 4, para migran Jawa dengan pendidikan SD-SMP terkonsentrasi di Samarinda Utara sebanyak 32,4 persen. Realitas itu menggambarkan kebijakan transmigrasi pemerintah yang memusatkan migran di daerah tersebut. Sebagian besar migran menempati wilayah Samarinda Utara. Para migran bertahan hidup berkelompok untuk memperoleh rasa aman. Dalam perkembangannya, Samarinda Utara menjadi wilayah yang berkembang pesat. Banyak pembangunan di wilayah tersebut, misalnya, terdapat pendidikan tinggi negeri dan bandara. Ketersediaan fasilitas publik di Samarinda Utara menyebabkan karakter migran berubah. Beberapa migran Jawa bermukim di Samarinda Utara yang datang tahun terakhir berpendidikan lebih tinggi, terlihat 33,3 persen berpendidikan D1/Sarjana. Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa 73,3 persen migran Nusa Tenggara berlatar belakang pendidikan SMA terkonsentrasi Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
170 |
ATIYATUL IZZAH
di Samarinda Seberang. Mereka sebagian besar suku Bima yang memilih untuk tinggal berkelompok untuk memperkuat jaringan sosial. Mereka sebagian besar datang ke kota untuk bekerja di pabrik kayu dengan rekrutmen melalui jaringan pertemanan atau keluarga. Hidup berkelompok merupakan strategi bagi mereka yang memiliki modal sosial kecil. Ini memperkuat argumentasi bahwa hubungan jaringan etnis menjadi modal penting bagi para migran untuk mempertahan eksistensi di Kota Samarinda. Pengelompokan Pekerjaan Berdasarkan E tnis
Iklim keterbukaan dan swadaya ekonomi semakin meningkat sejak adanya industri dan perdagangan, yang terlihat dari menggeliatnya industri kayu dan tambang yang mendorong kegiatan perdagangan dan sektor jasa di Kalimantan Timur. Kegiatan-kegiatan itu memunculkan kehidupan perkotaan modern yang tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial dan kultural, baik gesekan berdasarkan etnis ataupun kelas sosial. Aktivitas ekonomi yang semakin meningkat itu menjadi medium yang membuka interaksi baik melalui aktivitas perdagangan maupun industri. Sudut pandang tersebut menjelaskan kajian hubungan sosial yang terbentuk dalam komunitas migran. Terciptanya komunitas majemuk dalam sebuah kota, seperti yang digambarkan Furnival (2009:472) dalam ekonomi majemuk, memberi peluang hadirnya keanekaragaman. Ilustrasi tersebut menyatakan bahwa aktivitas ekonomi memberi efek bagi terbukanya hubungan sosial yang kosmopolit. Melewati berbagai tantangan status sosial, etnis dan agama dalam integrasi ekonomi majemuk yang kosmopolit, keanekaragaman tersebut mengisyaratkan sebuah spektrum keterbukaan menuju masyarakat yang kosmopolit dalam pasar ekonomi. Namun demikian, perspektif Furnival tidak bisa dilihat dalam kacamata tunggal. Ekonomi majemuk memang membuka jalan bagi interaksi sosial dalam aktivitas ekonomi, akan tetapi terdapat hubungan sosial yang lebih tradisional yaitu hubungan-hubungan primordial. Hubungan primordial merupakan tatanan sosial yang menjadi tantangan bagi ekonomi majemuk terutama terkait cita-cita untuk hidup berdampingan. Ini karena jaringan primordial masih sangat dominan, bahkan dalam intervensi rekrutmen tenaga kerja. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 171
Sementara itu, Castells (1976) yang menyamakan urbanisasi sebagai modernisasi dan masyarakat modern ekuivalen dengan masyarakat kapitalisme industrial, luput dari realitas perkembangan kota di negara dunia ketiga terutama kota Samarinda yang menggunakan persaudaraan atau jaringan sosial dalam industri (lihat Tabel 6). Urbanisasi di negara dunia ketiga belum mewakili kapitalisme industri laiknya dalam pendapat Castells. Menurut Castells, aktivitas ekonomi perkotaan modern juga menciptakan sebuah batas yaitu sistem industri. Batas yang dimaksudkan adalah sebuah pemilahan kelas sosial yang terbentuk dalam arus sistem perkotaan yang industrial. Migran dari desa berharap penghidupan layak dari silainya industri. Padahal di era industri, manusia merupakan unsur dari gegap gempita sistem produksi sebagai tenaga kerja, salah satu dari alat produksi yang lain laiknya modal, SDA, dan teknologi. Cita-cita mengenai ekonomi majemuk ala Furnival digagalkan dengan adanya pembatasan sesuai kelas sosial dalam sistem industri. Belum lagi, gambaran tentang hubungan etnis dalam jaringan sosial para migran menunjukkan implikasi tidak sederhana bagi kajian sosial ekonomi perkotaan. Komposisi etnis pada populasi perkotaan menjadi simbol batas ”kelas” selain batas kelas ekonomi. Deskripsi jaringan sosial para pendatang memberi pengaruh tidak hanya bagi tempat tinggal komunal, tetapi juga terhadap cara mendapatkan pekerjaan. Pengelompokan para migran berdasarkan etnis pada pekerjaan tertentu diungkapkan dalam beberapa penelitian (Graeme, 1978, Pelly, 1994 dan Jellinek,1994). Para migran di Samarinda bisa dikenal melalui pekerjaan yang dipilihnya. Misalnya para penenun sarung di Kelurahan Mesjid wilayah Samarinda Seberang merupakan para migran dari Bugis lama. Penjual toko kelontong dan warungwarung makanan merupakan pekerjaan yang banyak dipilih oleh migran Jawa. Pembagian etnis di sektor perdagangan juga eksis (Tirtosudarmo 2002). Banyak migran dari Jawa Timur, misalnya, yang bekerja ngampas8. Tidak berbeda dengan pasar kerja di kota-kota Indonesia, di Samarinda kompetisi paling terbuka di sektor perdagangan dan 8 Ngampas adalah distributor barang-barang kebutuhan sehari-hari. Yang dipasok ke warung-warung yang memesan kebutuhan sehari-hari. Biasanya mereka mengantar komiditi tersebut dengan menggunakan sepeda motor. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
172 |
ATIYATUL IZZAH
tenaga upahan yang tidak terampil. Para migran dari perdesaan biasa menjalani aktivitas agraris yang tidak lagi ditemukan dalam sebagian besar jenis pekerjaan di kota, sehingga jenis pekerjaan tidak terampil merupakan pilihan paling terbuka bagi para migran asal perdesaan. Di Samarinda sebagian besar migran, 50,3 persen (Survei RUMiL 2010), bekerja pada pekerjaan tergolong tidak terampil. Sektor perdagangan, dan tenaga upahan kasar banyak dimasuki oleh para migran. Mereka membuka warung kelontong dan makanan, buruh pembuat batu bata, kuli angkut di pabrik batubara, hingga tukang lem di pabrik plywood (triplek). Tabel 5. Lapangan Pekerjaan Migran Menurut Tempat Lahir di Kota Samarinda TLapangan Pekerjaan Utama Jawa Kalimantan Pertanian
Etnis (%) Nusa Semua Migran Tenggara Sulawesi Sumatera N %
5,7
6,1
10,7
14,3
0,0
24
7,7
Industri, pertambangan 21,7 dan minyak galian Bangunan 8,3
6,0
57,2
17,8
33,3
65
20,7
Perdagangan, restoran 31,8 dan hotel Transportasi dan 5,7 komunikasi Jasa 26,8 Total
6,1
7,1
7,1
0,0
23
7,4
33,3
14,3
28,6
33,3
93
30,0
4,5
3,6
16,1
33,3
23
7,4
82
26,4
43,9
7,1
16,1
0,0
N
100
100
100
100
100
%
157
66
28
56
3
100 310
Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat lapangan kerja yang digeluti para migran. Sejumlah 31,8 persen migran asal Jawa bekerja di lapangan perdagangan, restoran, dan hotel. Sektor ini sebagian besar bekerja sebagai penjual makanan atau pemilik warung makanan atau juga pemilik warung sembako. Sedangkan 26,8 persen migran dari Jawa bekerja di sektor jasa. Mereka biasa bekerja menjadi guru dan buruh bangunan. Sedangkan para migran dari desa Kalimantan 43,9 persen bekerja pada sektor jasa, atau lebih tepatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil. Angka yang signifikan ditemukan pada para migran Nusa Tenggara 57,2 persen yang bekerja sebagai buruh industri. Para migran ini banyak menjadi pekerja kasar/tidak terampil di industri kayu, seperti menjadi kuli angkut kayu dan pekerja lem plywood. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
| 173
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
Para pekerja Nusa Tenggara di sektor industri kayu ini menempati posisi mayoritas. Hal tersebut menjelaskan jaringan sosial yang kuat berdasarkan etnis bagi variasi pekerjaan para migran. Peran J aringan S osial dalam M endapatkan Pekerjaan
Data penelitian ini menunjukkan bahwa jaringan keluarga atau pertemanan cukup signifikan terjadi dalam jaringan sosial lapangan pekerjaan industri. Ini agak mengejutkan karena asumsinya industri merupakan sektor formal yang cenderung menjalankan rekrutmen modern. Kenyataan hubungan keluarga dan pertemanan di lapangan pekerjaan industri memberi bukti kuatnya jaringan sosial etnisitas di Samarinda. Para migran menyadari pentingnya hubungan sosial informal dengan kerabat atau teman yang berpengalaman di kota. Realitas tersebut terlihat pada migran asal Nusa Tenggara yang memiliki kedekatan primordial pertemanan atau kekerabatan. Mereka sebagian besar terserap di sektor industri tidak terampil dan kebanyakan berpendidikan SMP/SMA serta bekerja di perusahaan kayu. Tabel 6. Cara Mendapatkan Pekerjaan Menurut Lapangan Pekerjaan Etnis di kota Samarinda TLapangan Pekerjaan Utama
Pertanian
Jawa
Industri Usaha sendiri/ melamar 59,3
Perdagangan
Jaringan keluarga/ teman 48,4
Jasa
Usaha Jaringan sendiri/ keluarga/ melamar teman 53,0 42,9
N
%
Usaha sendiri/ melamar 55,0
Jaringan keluarga/ teman 43,2 31,8
Kalimantan
7,4
9,7
25,8
16,7
30,0
Nusa Tenggara
14,8
24,2
6,1
4,8
1,7
2,3
Sulawesi
14,8
17,7
15,2
31,0
13,3
20,5
Sumatera
3,7
0,0
0,0
4,8
0,0
2,3
Total
N
27
62
66
42
60
44
%
100
100
100
100
100
100
Cara mendapatkan pekerjaan menurut sektor %
30,3
69,6
61,1
38,8
57,6
42,3
Sumber: Survei RUMiI Samarinda 2010 Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
174 |
ATIYATUL IZZAH
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sekitar 69,6 persen pekerja industri mendapatkan pekerjaan melalui jalur informal, lewat hubungan keluarga atau pertemanan. Para migran masuk bekerja dalam perusahaan dengan jaringan sosial yang dimiliki. Mereka mengandalkan hubungan saling percaya untuk merekrut karyawan baru. Cara informal dalam mendapatkan pekerjaan dapat dijalankan jika kualifikasi keterampilan tenaga kerja tidak tinggi. Itulah penyebab sistem rekrutmen lewat jaringan keluarga atau pertemanan masih bisa dilakukan di Samarinda karena kebanyakan para pekerja industri yang digeluti para migran masih dalam kualifikasi tidak terampil. Sementara itu, 48,2 persen migran Jawa di sektor industri mendapatkan pekerjaan dengan jaringan pertemanan dan keluarga. Dari hasil penelusuran di lapangan, didapatkan informasi bahwa beberapa migran Jawa bekerja di industri rumah tangga. Misalnya, ada tiga belas orang migran Jawa bekerja sebagai pembuat batu bata dalam industri rumah tangga. Industri rumah tangga memungkinkan cara rekrutmen melalui jaringan etnis. Proporsi menonjol 24,2 persen didapatkan dari migran Nusa Tenggara. Para migran Nusa Tenggara sebagian bekerja di pabrik kayu PT Samtraco. Mereka dipekerjakan dengan sistem borongan. Rekrutmen sistem borongan dipercayakan kepada seorang mandor berasal dari Nusa Tenggra Barat (Bima). Mandor ini kemudian banyak merekrut para pekerja berasal dari satu desa dengannya. Inilah yang menyebabkan di pabrik kayu ini banyak berasal dari satu etnis. Kualifikasi yang dibutuhkan adalah tenaga tidak terampil dengan rekrutmen sistem getok tular antar jaringan sosial. Para pekerja dikenakan sistem borongan yang tidak terikat. Kualifikasi rekrutmen yang tidak ketat juga memiliki implikasi terhadap kendurnya jaminan sosial. Dari sudut pandang tersebut perusahaan terbebas biaya jaminan sosial pekerja. Sedangkan bagi para pekerja, jaringan etnis merupakan modal dalam mencari pekerjaan di pabrik dengan kualifikasi yang mereka miliki. Temuan tersebut telah dinyatakan oleh Hugo (2008:54) bahwa para mandor, calo dan taikong menjadi penghubung utama para pekerja baik di sektor formal maupun informal. Realitas menunjukan bahwa mayoritas para migran mendapatkan pekerjaan lewat jaringan sosial bahkan di sektor industri. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 175
Sama halnya dengan sistem rekrutmen, sistem pemutusan hubungan kerja 9 juga terjadi dengan ”borongan”. Tahun kedua penelitian ini, sembilan responden dari suku Bima tidak bisa dihubungi lagi. Mereka kembali ke daerahnya karena kehilangan pekerjaan di kota. Mereka terkena pemutusan hubungan kerja dari pabriknya. Rekrutmen melalui jaringan etnis tidak selalu menguntungkan bagi para migran. Karena sistem rekrutmen tidak melalui jalur formal yaitu dengan getok tular jaringan etnis, maka pemutusan hubungan kerja terjadi ”bergerombol”. Saat mandor diberhentikan, maka pekerja migran Bima yang direkrut olehnya juga diberhentikan. Sektor perdagangan, 38,8 persen cara mendapatkan usahanya dibantu oleh kerabat atau teman. Akan tetapi ada kecenderungan perbedaan dalam pemilihan komoditas perdagangan secara etnis. Pemilihan barang dagangan yang dijual berasal dari jaringan-jaringan primordial antaretnis. Misalnya suku Bugis cenderung menjual sembako, pakaian, dan alat-alat elektronik, suku Jawa membuka warung kelontong dan makanan di pinggir jalan. Suku Dayak dan Banjar menjual souvenir hasil kerajinan. Gambaran ini menunjukkan adanya variasi komoditas perdagangan antaretnis. Berbeda dengan pedagang migran pada umumnya, 31 persen migran Sulawesi dalam perdagangan dibantu oleh keluarga atau teman. Sedangkan 15,2 persen berdagang secara mandiri. Peran jaringan etnis para pedagang suku bugis pun sangat menonjol. Para migran Bugis berdagang dengan bantuan komunitas etnis, menyuplai kebutuhan pertanian dari hasil panen pada musim tertentu. Tirtosudarmo memaparkan strategi perdagangan suku Bugis di 9 Temuan survei tahun kedua, 2009, sembilan responden dari Bima terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dari perusahaan kayu yang gulung tikar atau merampingkan tenaga kerja perusahaan. Sebagian besar dari mereka terkena PHK dari perusahaan kayu yang gulung tikar atau mengurangi jumlah pekerjanya. Pemutusan hubungan kerja terjadi karena aktivitas industri kayu telah menurun drastis. Sejak tahun 2000 industri kayu menurun karena desakan berbagai pihak atas penebangan hutan yang dikhawatirkan menggangu ekosistem dunia. Berbagai pihak termasuk aktivis lingkungan, mendesak negara untuk mengurangi pemanfaatan hasil hutan. Demi menjaga kelestarian ekosistem dunia. Reaksi publik tersebut mengurangi aktivitas industri kayu di Kalimantan. Termasuk melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Nasional—tidak akan mampu mengejar laju kerusakan hutan (http://nasional.kompas.com/read/2008/09/20/07201186, 20/09/2008 diakses tanggal 12 November 2010). Selain itu, krisis ekonomi 2008 tampaknya sedikit banyak mengganggu permintaan ekspor kayu, sehingga mengurangi secara signifikan aktivitas produksi industri kayu. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
176 |
ATIYATUL IZZAH
Samarinda sebagai penyalur permintaan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Saat masyarakat Samarinda membutuhkan beras, para pedagang Bugis membawa komoditi tersebut dari hasil pertanian kampung halaman, di Sulawesi Selatan. Para responden yang bekerja di sektor jasa mendapatkan pekerjaan dengan bantuan teman atau keluarga sebanyak 42,3 persen. Sedangkan 57,6 persen mendapatkan pekerjaan dengan cara melamar mandiri. Sebagian besar pekerja sektor jasa di Samarinda adalah pegawai negeri sipil (PNS). Rekrutmen yang ketat untuk PNS membuat hubungan pertemanan atau keluarga tidak terlalu menonjol di sektor ini. Dengan demikian, jaringan primordial merupakan modal sosial paling penting bagi para migran selain kualifikasi SDM; pendidikan atau keterampilan. Akan tetapi, realitas ini dilihat perusahaan sebagai celah untuk memangkas biaya rekrutmen dan jaminan sosial pekerja. Sistem rekrutmen getok tular dan sistem tidak terikat, kerja borongan, merupakan salah satu potret sistem ketenagakerjaan di Samarinda. Di sana para migran berjuang memperoleh penghasilan dari ketatnya persaingan kerja. PE N U T U P
Analisis di atas menggambarkan karakteristik etnis migran di Samarinda yang didominasi oleh migran Jawa. Sampai saat ini Jawa masih merupakan pulau pemasok para migran ke pulau Kalimantan dan pulau lain di Indonesia sejak pasca-kemerdekaan. Ini tidak mengherankan karena populasi Jawa menempati 57,4 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia (SENSUS 2010). Pesatnya populasi di Jawa menjadi alasan masuk akal mengapa migran Jawa menempati posisi mayoritas di Samarinda. Walaupun dalam sejarah pembentukan kota, migran di Samarinda tidak bisa dilihat dari penelitian ini semata. Migran Bugis telah datang dan mewarnai kota Samarinda jauh sebelum kebijakan transmigrasi diterapkan di Indonesia. Jaringan sosial para migran terbukti memberi implikasi secara sosial-ekonomi. Penting bagi para migran menjalin hubungan sosial dengan keluarga atau teman yang telah berpengalaman di kota. Strategi tersebut mengurangi kecemasan migran terhadap kotakota baru yang didatanginya. Pertama, mereka cenderung memiliki Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 17 7
tempat tinggal komunal sesuai hubungan keluarga atau pertemanan, sehingga menimbulkan kantong kampung-kampung desa di kota. Sebagai migran, bertempat tinggal dengan orang yang telah dipercaya dan dikenal lebih menciptakan rasa aman. Kedua, mereka juga terhubung dalam pemilihan pekerjaan karena jaringan etnis sangat membantu migran dalam mendapatkan pekerjaan. Selain itu, dapat pula diklasifikasikan tiga karakteristik umum migran di Samarinda. Pertama, golongan migran generasi pertama yang memiliki motivasi karena alasan tradisional. Seperti yang diceritakan sebelumnya, para migran Bugis bermigrasi karena konflik politik. Kedua, golongan migran yang datang karena gerakan rekayasa sosial atau transmigrasi. Arus kebijakan pemerataan penduduk melalui program transmigrasi memiliki implikasi terhadap realitas demografis kota Samarinda. Ketiga adalah golongan migran sukarela yang bermigrasi karena dorongan kesenjangan atas ketersediaan lapangan pekerjaan. Golongan ketiga ini yang bergerak dinamis hampir dua dekade terakhir. Dorongan bermigrasi disebabkan karena motif ekonomi yang kuat. Gejala ini juga menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang timpang antara lapangan kerja dan tenaga kerja potensialnya. Sebagai kota migran, Samarinda merupakan representasi kota baru di Indonesia, setidaknya untuk menggambarkan kondisi kota sejak tren industri kayu dan pertambangan meningkat. Sektor perdagangan dan jasa juga secara simultan mengikuti pergerakan manusia di kota. Gerakan migrasi menunjukkan bentuk-bentuk upaya para tenaga kerja dalam berkompetisi di lapangan kerja yang lebik baik. Sementara itu, jaringan primordial memberi sudut pandang berbeda bagi studi hubungan sosial di perkotaan. Hubungan sosial berdasar primordial tidak secara langsung bisa membuka kosmopolitanisme seperti optimisme Furnival. Menurutnya, ekonomi majemuk merupakan suatu sistem ekonomi yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat yang hidup berdampingan satu dan lainnya. Jaringan primordial digunakan untuk jalan pintas mendapatkan pekerjaan bahkan di sektor industri . Keberadaan multietnis dalam pasar ekonomi justru memiliki tantangan konflik yang menganga. Sekaligus ini tidak bisa semuram Castells yang menyatakan sekat-sekat kebudayaan industri dalam sistem perkotaan, yang menempatkan manusia sebagai faktor produksi dalam sistem industri. Pernyataan itu menempatkan manusia pada determinasi Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
178 |
ATIYATUL IZZAH
kelas sosial tertentu. Jaringan primordial di Samarinda menunjukkan ada “manusia” dalam sistem industri yang direkrut dengan metode tradisional. Optimisme Furnival maupun skeptisisme Castells berada pada perspektif paradoks dalam analisis hubungan sosial sistem perkotaan. Ekonomi tidak sepenuhnya bisa membuka masyarakat majemuk ala Furnival, terbukti adanya jaringan primordial dalam rekrutmen pekerjaan menunjukkan “konf lik” etnis. Dan, tidak sepenuhnya pula berpagar ala Castells karena jaringan primordial menyebabkan munculnya kantong-kantong etnis. Deskripsi komposisi migran dan kenyataan tradisional tentang hubungan primordial memungkinkan analisis selanjutnya tentang jaringan etnis di perkotaan. Daftar Pustaka
“Hutan Dihabisi, Banjir Makin Menjadi-jadi.” 2010. Diakses tanggal 12 November 2010 (http://nasional.kompas.com/ read/2008/09/20/07201186) “SUPAS”. 2005. Diakses tanggal 24 Desember 2010 (http://www. datastatistik-indonesia.com/component/option,com_supas/kat,1/ idtabel,1/Itemid,952/) Abidin, Andi Zainal. 1986. Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara, dan Dunia Luar. Bandung: Penerbit Alumni. Anonim. 2010a. Diakses tanggal 20 November 2010 (http://www. akdn.org/architecture/information.asp). ------. 2010b. Diakses tanggal 10 Oktober 2010 (http://samarindakota. go.id/index.php?&page=10&id=1552). Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota: Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Breman, Jan. 1985. “Sistem Tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik terhadap Konsep Sektor Informal.” Dalam Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, diedit oleh Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Castles, Lance. 1967. “The Ethnic Profile of Jakarta.” Indonesia Journal. Vol 3, April:153-204
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
J A R I NG A N S O S I A L DA N VA R I A S I PE K E R J A A N M IG R A N
| 179
Castells, Manuel. 1976a. “Theory and Ideology in Urban Sociology.” Hlm. 60-84 dalam A Paper in Urban Sociology: Critical Essays, diedit oleh C. G. Pickvance. UK: Palgrave Macmillan. ------. 1976b. “Theoretical Proposition An Experimental Study of Social Movement.” Hlm. 147-173 dalam A Paper in Urban Sociology: Critical Essays, diedit oleh C. G. Pickvance. UK: Palgrave Macmillan Colombijn, Freek, et al. 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah KotaKota di Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Evers, Hans Dieters. 1982. Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES. Evers, Hans Dieters dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor. Furnivall, J. S. 2009. Hindia Belanda: Studi Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedeom Institute. Geertz, Clifford. 1996. “Primordial Ties.” Pp. 40-63 in Etnicity edited by Smith and Hutchinson. United Kingdom: Oxford University Press. Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana. Hugo, Graeme J. 2008. Migration in Indonesia: Recent Trend and Implications. Melbourne: Monash Asia Institute. Hugo, Graeme J. 1985. “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat.” Dalam Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, diedit oleh Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ismono. 2010. “Hak Kaltim Terganjal di Pemerintah Pusat.” Diakses tanggal 29 Oktober 2010 (http://www.bappeda.samarinda.go.id/ berita.php?id=1026) Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung. Jakarta: LP3ES. Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid 2). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Resosudarmo, Budi et al. 2010. “Rural-Urban Migration in Indonesia: Survey Design and Implementation.” Hlm. 222-243 dalam The Great Migration: Rural-Urban Migration in China and Indonesia, diedit oleh Xin Meng et al. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180
18 0 |
ATIYATUL IZZAH
Tirtosudarmo, Riwanto. 2008. “Bugis Migration to Samarinda, East Kalimantan: Establishing A Colony?” Hlm. 101-112 dalam Horizons of Home: Nation, Gender and Migracy in Island Southeast Asia, diedit oleh Penelope Graham. Melbourne: Monash Asia Institute.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 16, No. 2 , Ju li 2011: 157-180