LAPORAN AKHIR UJIAN PENELUSURAN PUSTAKA FORMULASI SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2015/2016 4-7 JANUARI 2016
SOAL UJIAN BENTUK SEDIAAN FARMASI JAWER KOTOK UNTUK WASIR Disusun Oleh NAMA : CARISSA P. PURABAYA NPM : 260112150107 NOMOR UNDIAN : 147
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016
DAFTAR ISI BAB I TINJAUAN FARMAKOLOGI..................................................................1 1.1
Golongan Obat Berdasarkan Farmakologi Terapi....................................1
1.2
Indikasi.....................................................................................................1
1.3
Mekanisme Kerja Sebagai Anti Wasir......................................................2
1.4
Farmakokinetik.........................................................................................2
1.5
Dosis..........................................................................................................3
1.6
Cara Pemberian.........................................................................................3
1.7
Kontra Indikasi.........................................................................................3
BAB II ASPEK KIMIA........................................................................................6 2.1
Tinjauan Umum Zat Aktif dan Aspek Kimia............................................6
2.2
Analisis Bahan Baku.................................................................................7
2.2.1 2.3.
Analisis Simplisia.............................................................................7
Metode Analisis Sediaan.........................................................................15
BAB III PENGEMBANGAN FORMULA..........................................................17 3.1
Contoh sediaan yangg beredar di pasaran..............................................17
3.2
Pra-Formulasi dan Alasan Pemilihan Eksipien.......................................17
3.3
Formulasi, Metode dan Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan....................20
3.3.1
Formulasi.........................................................................................20
3.3.2
Metode Pembuatan Sediaan............................................................21
3.3.3
Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan...................................................22
3.4
Pengujian Stabilitas................................................................................22
3.5.
Up-Scalling..............................................................................................24
BAB IV MANUFAKTUR DAN QUALITY CONTROL.....................................26 4.1.
Aspek-Aspek CPOTB yang Terkait Proses Produksi..............................26
4.2.
Desain In Process Control (IPC).............................................................31
4.3.
Pemilihan Mesin Produksi.......................................................................35
4.4
Validasi Proses Produksi.........................................................................36
4.5
Pengemasan.............................................................................................38
4.6.
Penyimpanan...........................................................................................39
BAB V REGULASI DAN PERUNDANGAN.....................................................40 5.1
Registrasi Obat Jadi..................................................................................40
5.1.1
Prosedur Pendaftaran Obat Tradisional.............................................41
5.1.2
Persyaratan Administrasi Pendaftaran Obat Tradisional Lokal.........41
5.1.3
Persyaratan Teknis Pendaftaran Obat Tradisional Lokal...................42
5.1.4
Alur Proses Registrasi Obat Tradisional............................................43
5.2
Penandaan Sesuai Undang-Undang..........................................................44
5.3
Distribusi Obat Jadi..................................................................................48
BAB VI INFORMASI OBAT............................................................................... 50 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................52
BAB I TINJAUAN FARMAKOLOGI
1.1 Golongan Obat Berdasarkan Farmakologi Terapi Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
1.2 Indikasi Obat wasir, peluruh haid, penambah nafsu makan (stomakik), antiradang, antibakteri, dan antidiare (Marpaung, 2014). Indikasi dari Jawer kotok diduga mengandung senyawa flavonoid yang memiliki sifat relaksan otot dan dapat melebarkan pembuluh darah sehingga memiliki kemampuan untuk menurunkan tekanan darah. Dengan pembuluh darah yang melebar maka kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh akan berkurang (Medical Health Guide 2011). Selain itu flavonoid juga dapat digunakan untuk mengatur berbagai enzim dan hormon yang ada di dalam tubuh manusia, sebagai contoh pada pengobatan kelenjar tiroid yang rusak. Daun jawer kotok juga dapat digunakan dalam mengobati pasien glaukoma. Glaukoma merupakan kondisi
1
2
dimana terjadi gangguan pada cairan di mata yang meningkatkan tekanan di mata. Apabila tidak segera diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen saraf dan menyebabkan kebutaan. Penggunaan jawer kotok ini mampu menurunkan tekanan intra okular secara signifikan dalam waktu lima jam (Medical Health Guide, 2011). Mekanisme jawer kotok yang meningkatkan AMP siklik mampu memberikan efek relaksan otot polos yang menyebabkan bronkial menjadi dilatasi. Peningkatan AMP siklik ini dapat mengurangi histamin yang ada di dalam tubuh (Medical Health Guide, 2011).
1.3 Mekanisme Kerja Sebagai Anti Wasir Senyawa yang diduga memiliki mekanisme kerja dari tanaman jawer kotok sebagai antiwasir yaitu senyawa flavonoid. Mekanisme kerja flavonoid sebagai anti wasir adalah dengan meningkatkan aktivitas enzimatik yaitu pengaktifkam adenilat siklase, sehingga meningkatkan kadar intraselular Adenosin Monofosfat Siklik (AMPc). Peningkatan ini akan mempengaruhi sel pada otot polos menyebabkan relavation sehingga meringankan terjadinya inflamasi (Wiart, 2006).
1.4 Farmakokinetik Distribusi sediaan ini serupa dengan sediaan infus (t1 / 2α) sebesar 3,9 ± 1, 1 menit, metabolisme paruh (t1 / 2β) adalah 1,9 ± 0,7 jam, dan paruh eliminasi (t1 / 2γ) adalah 95,3 ± 15,2 jam. Volume distribusi sebesar 2689,2 ± 450,6 ml/kg. Kadar metabolit aktif menurun dengan cepat menjadi kurang dari 1,0 ng/ml dalam
3
10 menit pertama (Mutsuhito, 2004). Farmakokinetik bentuk ekstrak yang dikapsulkan belum diketahui secara pasti.
1.5 Dosis Table 1.1 Dosis dan Cara Pemberian Indikasi
Pasien
Dosis
Hemoroid
Dewasa (70 kg)
250 mg/Kg BB (Henderson, 2005)
Berdasarkan data di atas, maka akan dibuat kapsul jawer kotok dengan kekuatan sediaan ekstrak jawer kotok sebesar 250 mg per kapsul. Sediaan kapsul ini dipilih karena penggunaannya ditujukan untuk pasien dewasa.
1.6 Cara Pemberian Ekstrak diminum secara peroral sebanyak 250mg 2 kali sehari (Henderson, 2005).
1.7 Kontra Indikasi 1) Pada wanita hamil dan menyusui Penggunaan jawer kotok dalam dosis tinggi memungkinkan terjadinya perlambatan dan penghentian pertumbuhan
4
2) Pada pasien yang mengalami masalah pendarahan Tanaman ini dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan 3) Pada pasien yang mengonsumsi obat tekanan darah tinggi Terjadinya efek sinergis karena tanaman ini dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan sehingga diharapkan tidak digunakan secara bersamaan dengan obat antihipertensi (Medical Health Guide, 2011).
a. Efek Samping dan Toksisitas Efek samping yang ditimbulkan dari ekstrak jawer kotok diantaranya dapat menyebabkan efek halusinogen dan dapat memperburuk ulkus lambung (Duke, 2002). Uji toksisitas jawer kotok (Plectranthus scutellarioides (L.) Benth dengan sinonim Coleus scutellarioides (L.) Benth menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethaly Test) menunjukan ekstrak jawer kotok bersifat tidak toksik dengan nilai LC50 > 1000ppm bila nilai LC50>1000ppm dapat bersifat toksik, yaitu menyebabkan keracunan pada perut (stomach poisioning) (Duengo, 2014).
b. Interaksi Obat Interaksi jawer kotok dapat terjadi dengan: 1. Obat warfarin dan heparin Jawer kotok dapat memperburuk pendarahan sehingga tidak dapat digunakan apabila pasien mengalami masalah kesehatan akibat dari
5
pendarahan. Penggunaan jawer kotok harus digunakan secara hatihati dan dengan pengawasan medis yang ketat. 2. Obat untuk tekanan darah tinggi Penggunaan jawer kotok harus diawasi ketika pasien sedang mengonsusmsi obat untuk tekanan darah tinggi. Gejala hipotensi seperti mual dan pusing dapat terjadi akibat tekanan darah yang turun terlalu rendah (Medical Health Guide, 2011).
BAB II ASPEK KIMIA
2.1
Tinjauan Umum Zat Aktif dan Aspek Kimia a. Klasifikasi Tanaman Dari sistem sistematika taksonomi, tanaman jawer kotok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Devisi : Spermatophyta Class : Dicotylendonae Ordo : Solanales Family : Lamiaceae Gens : Plectranthus Speises :Plectranthus scutellaroides [L.]R.Br. (Sudde, 2004). b. Sinonim Beberapa sinonim Plectranthus scutellaroides [L.]R.Br ditemukan namun salah satu yang sering digunakan untuk efek serupa adalah Coleus scutellarioides [L] Benth (Marpaung, et al., 2014). c. Kandungan Daun Jawer Kotok (Coleus scutellarioides [L] Benth) memiliki kandungan flavonoid, tanin, triterpenoid, steroid dan minyak atsiri yang mampu memberikan efek. Metabolit yang diduga memberikan efek pada
6
7
anti-inflamasi dan wasir pada ekstrak daun jaawer kotok merupakan flavonoid. (Marpaung, et al., 2014) 2.2
Analisis Bahan Baku
2.2.1 Analisis Simplisia a. Makroskopik Daun tunggal berwarna ungu kecoklatan sampai ungu kehitaman, helaian daun lancip, pinggir daun beringgit, permukaan atas rata, agak mengkilat, warna ungu kecoklatan sampai ungu kehitaman, tulang daun menyirip jelas, berupa jalur yang membentuk gambaran serupa jala; rambut halus terdapat terutama pada permukaan atas dan bawah ibu tulang daun, daun bertangkai, panjang tangkai 3 cm sampai 4 cm, berambut halus, pada penampang melintang terlihat tangkai daun berbentuk hampir setengah lingkaran, pada tiap bagian tepi terdapat rusuk membujur, pada permuakaan atas dan permukaan bawah berdekatan dengan rusuk terdapat jalur membujur (Depkes RI, 1989)
Gambar 2.1 Tanaman Jawer Kotok b. Mikroskopik
8
Pada penampang melintang melalui tulang daun tampak epidermis atas terdiri dari 1 lapis sel terbentuk bulat panjang, dinding tipis; kutikula tipis, mengandung zat berwarna ungu; mempunyai stomata, terdapat 2 tipe rambut kelenjar, pertama rambut kelenjar yang terbentuk memanjang dengan 1 sel tangkai dan 1 atau 2 sel kepala yang berwarna kuning kecoklatan, kedua rambut kelenjar tipe Lamiaceae dengan 1 sel tangkai dan 4 sel kepala yang kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan; terdapat 2 tipe rambut penutup, pertama rambut penutup yang berbentuk kerucut pendek, lurus, sel pangkal agak lebar, terdiri dari 1 sampai 3 sel, kedua rambut penutup yang panjang ramping kadang-kadang agak membengkok, terdiri dari 1 sampai 5 sel; rambut mengandung zat berwarna ungu, berdinding agak tebal (Depkes RI, 1989).
Gambar 2.2 Gambar serbuk daun dan penampang batang tanaman Jewer Kotok c. Penapisan Fitokimia Metode penapisan fitokimia menurut Harborne (1987) adalah sebagai berikut:
9
1. Alkaloid Sampel dibasakan dengan amonia 10% kemudian ditambahkan
kloroform,
dan
digerus
kuat-kuat.
Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, lalu ke dalamnya ditambahkan larutan asam klorida 2 N, campuran dikocok kuat sehingga terbentuk dua lapisan.
Lapisan
asam
dipipet
kemudian
dibagi
menjadi tiga bagian a. Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer. Terjadinya
endapan
putih
atau
kekeruhan
diamati. Bila terjadi kekeruhan atau endapan berwarna
putih,
menunjukan
kemungkinan
sampel mengandung alkaloid. b. Bagian kedua ditambahkan pereaksi Dragendorf. Terjadinya endapan atau kekeruhan diamati. Bila terjadi
endapan
berwarna
jingga
coklat,
menunjukan kemungkinan sampel mengandung alkaloid. c. Bagian ketiga digunakan sebagi blanko. 2. Senyawa Tanin dan Polifenolat Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dipanaskan dengan penangas air, kemudian disaring panas-panas. pereaksi
besi
Kemudian (III)
ditambahkan
klorida
kedalam
larutan filtrat.
Terbentuknya warna biru-hitam menunjukkan adanya senyawa tanin dan polifenolat. Sebagian kecil filtrat
10
diuji ulang dengan penambahan larutan gelatin 1%. Adanya endapan putih menunjukan bahwa dalam simplisia terdapat tanin. 3. Flavanoid Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dicampur dengan serbuk magnesium dan asam klorida 2 N. Campuran dipanaskan di atas penangas air, lalu disaring. Kemudian filtrat dalam tabung reaksi ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuatkuat. Adanya flavanoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning hingga merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol. 4. Monoterpenoid dan Sesquiterpenoid Sejumlah kecil sampel dicampur dengan eter, kemudian dipipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, lalu dibiarkan menguap hingga
mengering.
Hasil
pengeringan
filtrat
ditambahakan larutan vanilin 10% dalam asam sulfat pekat. Terjadinya warna-warna menunjukan adanya senyawa monoterpenoid dan sesquiterpenoid. 5. Steroid dan Triterpenoid Sejumlah kecil esktrak dicampur dengan eter, kemudian dipipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan menguap hingga
mengering.
Liebermann-Burchard.
Lalu
ditambahkan
Terjadinya
warna
pereaksi ungu
11
menunjukan adanya senyawa triterpenoid sedangkan warna
hijau
biru
menunjukan
adanya
senyawa
steroid. 6. Kuinon Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dipanaskan di atas penangas air, kemudian disaring. Lalu
ke
dalam
filtrat
ditambah
larutan
kalium
hidroksida 5%. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya larutan berwarna kuning hingga merah. 7. Saponin Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dipanaskan di atas penangas air, kemudian disaring. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok kuat secara vertikal selama sekitar 5 menit, dan ditambahkan asam klorida. Terbentuknya busa yang mantap dan tidak hilang selama 30 menit dengan tinggi busa minimal 1 cm menunjukan adanya saponin. d. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pada 2 mg serbuk daun tambahkan 5 tetes asam klorida encer P; terjadi warna coklat merah. Pada 2 mg serbuk
daun
hidroksida
P
tambahkan 5%
b/v;
5
tetes
larutan
natrium
terjadi
warna
kuning.
Mikrodestilasikan 20 mg serbuk daun pada suhu 240˚C
12
selama 90 detik menggunakan Tanur TAS, tempatkan hasil mikrodestilasi pada titik pertama lempeng KLT. Timbang 300 mg serbuk daun, campur dengan 5 ml metanol P secukupnya sehingga diperoleh 5 ml filtrat. Pada titik kedua lempeng KLT tutulkan 40µl filtrat dan pada titik ketika tutulkan 10µl zat warna 1 LP. Eluasi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm, keringkan lempeng di udara selama 10 menit, eluasi lagi dengan benzena P dengan arah eluasi dan jarak rambat yang sama. Amati dengan sinar biasa dan dengan sinar ultraviolet
366
nm.
Semprot
lempeng
dengan
anisaldehida-asam sulfat LP, panaskan pada suhu 110˚C selama 10 menit. Amati dengan sinar biasa dan dengan sinar ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak bercak dengan warna dan hRx sebagai berikut: Tabel 2.1 Hasil warna kromatogram
No.
hRx
Dengan sinar biasa Tanpa Dengan perea pereaksi ksi
1
7-13
Hijau
Ungu
2
15-25
Hijau
Biru muda
3
43-50
Hijau
Kuning
4
54-61
-
Lembayu
Dengan sinar tampak Tanpa pereaksi Merah jambu Merah jambu Merah jambu -
Dengan pereaksi Ungu Biru muda Kuning Lembayun
13
5
65-69
-
6
85-92
-
7 8
158165 192197
-
ng Biru muda Lembayu ng Biru muda lembayu ng
g -
Hijau Lembayun g Merah jambu Merah jambu (Depkes, 1989)
e. Susut Pengeringan Susut pengeringan adalah pengurangan berat bahan setelah dikeringkan dengan cara yang telah ditetapkan. Prosedur : timbang seksama 1 sampai 2 g simplisia dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan dan ditara. Ratakan bahan dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 sampai 10 mm, masukkan dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup dalam eksikator hingga suhu ruang. Persyaratan : tidak lebih dari 10 % (Depkes RI, 1989) f. Penetapan Kadar Abu Penetapan Kadar Abu Total Penetapan kadar abu dengan cara lebih kurang timbang 3 g simplisia dengan seksama kedalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan-lahan. Kemudian suhu dinaikan secara bertahap hingga 600 + 250C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu.
14
Kadar AbuTotal ( ) =
Berat AbuTotal ×100 Berat Simplisia
Persyaratan : Tidak lebih dari 8% (Depkes RI, 1989).
Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Penetapan kadar abu tidak larut asam dilakukan dengan cara abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 mL asam klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut asam, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar AbuTotal ( ) = Persyaratan
Berat AbuTidak Larut Asam ×100 Berat Simplisia
: Tidak lebih dari 2% (Depkes RI, 1989).
g. Penetapan Kadar Sari Larut Air Timbang saksama lebih kurang 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara. Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL air jenuh kloroform, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105o dan ditara, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut air. Persyaratan
: Tidak kurang dari 22 % (Depkes RI, 1989).
h. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol Timbang saksama lebih kurang 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara. Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL
15
etanol 95% P, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindarkan penguapan etanol, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105o dan ditara, panaskan sisa pada suhu 105o hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut etanol. Persyaratan : Tidak kurang dari 5 % (Depkes RI, 1989). 2.3.
Metode Analisis Sediaan a. Spektrofotometri UV-Vis Serapan molekul di dalam daerah ultra violet yang dapat dilihat dari spektrum bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul. Penyerapan sejumlah energi menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereksitasi. Dalam prakteknya spektrofotometri dibatasi
oleh
ultraviolet
sistem
untuk
terkonjugasi.
sebagian Suatu
besar
spetrum
ultraviolet diperoleh secara langsung dari suatu alat sederhana yang memetakan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intesitas serapan (Silverstain, 1984). Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri atas dua pita pada
16
rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan relatif rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.
Tabel 2.2 Rentang serapan spektrum UV-Visibel golongan flavonoid
(Markham, 1988)
BAB III PENGEMBANGAN FORMULA
3.1 Contoh sediaan yangg beredar di pasaran Nama dagang
Pabrik
Bentuk sediaan
PT Medicom Prima
Kapsul
Gambar
Ambeven Coleus atropurpureus folia .....10%
3.2
Pra-Formulasi dan Alasan Pemilihan Eksipien Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin tetapi dapat juga terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (FI IV, 1995).
a
Plectranthus scutellarioides Mengandung senyawa flavonoid dalam bentuk bebas dan dalam bentuk glikosida (berikatan dengan gula). Proses hidrolisis asam atau basa akan mengubah bentuk glikosida menjadi bentuk aglikon (semyawa fenolat bebas). Proses hidrolisis ini diduga dapat mengurangi aktivitas inhibisi disebabkan tidak ada lagi bagian yang dapat dihidrolisis oleh enzim alfa-glikosidase. Pembuktian laboratoris terhadap teori ini telah dibuktikan dengan cara membandingkan hasil analisis aktivitas inhbisi enzim alfa glukosidase dari
17
18
ekstrak daun jawer kotok dan ekstrak yang telah diperlakukan dengan reaksi hidrolisis ikatan glikosidanya (Cahyono, 2014). b
Maize Starch Kegunaan
:Berfungsi sebagai anti adheren dan lubrikan dengan
Pemerian Kelarutan
konsentrasi (3-10%) : Granul putih atau hampir putih, tidak berasa, tidak berasa :Tidak larut dalam etanol (96%) dan dalam air. Maize Starch larut 5-10% pada suhu 378 oC; larut sebagian dalam
dimetilsulfoksida dan dimetilformamida Inkompatibilitas: Dengan senyawa senyawa pengoksidasi kuat, perubahan warna dengan iodine (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 2009) c
Magnesium Stearat
Kegunaan
:Berfungsi sebagai lubrikan dengan konsentrasi 0,25% – 5% untuk meningkatkan laju alir sediaan (Handbook of
Pemerian
Pharmaceutical Excipients, 2006). :Serbuk berwarna putih, berbau seperti asam stearat yang
Kelarutan
khas. :Praktis tidak larut dalam etanol, etanol 95%, eter dan air;
sedikit larut dalam benzen dan etanol 95%. Inkompatibilitas:Dengan asam kuat, alkalis dan garam besi. Tidak dapat digunakan pada produk yang mengandung aspirin, beberapa vitamin dan kebanyakan garam alkaloid (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 2006). d
Aerosil
19
Fungsi Pemerian
:Sebagai glidan (0,1-1%) :Serbuk yang sangat halus, berat jenis kecil, berwarna putih
Kelarutan
terang, memiliki bau seperti asam stearat dan rasa yang khas. :Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air, dan asam, kecuali asam fluorida; larut dalam larutan alkali panas hidroksida. :Koloid silikon dioksida bersifat higroskopis tapi dapat
Stabilitas
mengadsorbsi sejumlah besar air tanpa meleleh. Inkompatibilitas: Inkompatibel dengan dietilstilbestrol. Alasan pilihan :Bersifat inert dan non toksik serta kompatibel dengan bahanbahan lain. Memiliki ukuran partikel kecil dan luas permukaan spesifik yang besar memberikan karakteristik aliran
yang
diinginkan
yang
dimanfaatkan
untuk
memperbaiki sifat aliran serbuk. Aerosil memiliki sifat lekat, daya alir dan daya sebar yang sangat baik juga memiliki daya serap yang tinggi terhadap air dan minyak tanpa mengurangi daya alirnya. Aerosil bisa digunakan sebagai pelincir (Handbook of Pharmaceutical Excipients, 2006). 3.3
Formulasi, Metode dan Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan
3.3.1
Formulasi Berdasarkan data analisis farmakologi dan preformulasi zat aktif, maka akan dibuat sediaan kapsul Plectranthus
scutellarioides dengan
kekuatan sediaan sebanyak 250 mg/kapsul dengan bobot per kapsul adalah 279,34 mg sebanyak 30.000 kapsul. Sediaan tersebut akan dibuat berdasarkan formula sebagai berikut:
20
Data Formulasi Pembuatan Sediaan 30.000 kapsul Plectranthus scutellarioides No .
Bahan Baku
1 kapsul
30.000 kapsul
Ekstrak 250 mg 7.500 g Plectranthus scutellarioides 2 Aerosil (0.5%) 1,48 mg 44,4 g 3 Maize Starch (10%) 29,59 mg 887,7 g 4 Magnesium Stearat (5%) 14,79 mg 443,7 g Total 295,86 mg 8.875,8 g Perhitungan penimbangan sesuai jumlah sediaan yang akan dibuat (30.000 kapsul) 1
Ekstrak Plectranthus scutellarioides Aerosil sebagai glidan Maize Starch sebagai pengisi Magnesium Stearat sebagai pelincir
250 mg x 30.000 = 7.500 g 1,40 mg x 30.000 = 44,4 g 13,97 mg x 30.000 = 887,7 g 13,97 mg x 30.000 = 443,7 g
3.3.2 Metode Pembuatan Sediaan a. Ekstraksi Sampel berupa potongan-potongan kecil dari daun tanaman jawer kotok diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Maserasi dilakukan selama 3x24 jam. Setiap 24 jam ekstrak disaring dan dimaserasi lagi dengan etanol yang baru. Filtrat etanol di evaporasi sehingga diperoleh ekstrak kental etanol. b. Pembuatan Produk Jadi Cara pembuatan sediaanya adalah sebagai berikut: Pengerjaan dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan.
21
Zat aktif dan eksipien dihitung sesuai kebutuhan untuk 30.000 kapsul Plectranthus scutellarioides dengan timbangan yang telah dikalibrasi
3.3.3
dan ditara. Campurkan aerosil, maize starch dan magnesium stearat dengan
menggunakan alat pencampur (mixer) hingga homogen. Tambahkan ekstrak Plectranthus scutellarioides kedalam campuran
sebelumnya dan diaduk kembali hingga homogen. Melakukan IPC penentuan kadar zat aktif pada hasil campuran serbuk Hasil campuran 295,86 mg diisikan kedalam cangkang kapsul gelatin
keras 0,3 gram dengan menggunakan mesin filling kapsul. Melakukan IPC keseragaman bobot dan waktu hancur sediaan. Dilakukan polishing pada mesin polishing yang bertujuan untuk
membersihkan kapsul dari debu-debu sisa serbuk. Dilakukan kegiatan pengemasan pada kemasan primer. Dilakukan kegiatan pengemasan pada kemasan sekunder. Melakukan IPC penampilan, kelengkapan dan penandaan.
Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan Kapsul adalah bentuk sediaan obat yang terbungkus cangkang kapsul keras atau lunak (Depkes RI, 1995). Kapsul juga dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan atau bahan inert lainnya dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 1989). Kapsul memiliki beberapa keuntungan diantaranya mudah untuk ditelan, mudah dalam penyiapan karena hanya sedikit bahan tambahan dan tekanan yang dibutuhkan serta bahan obat dapat terlindung dari pengaruh luar seperti cahaya dan kelembaban (Augsburger, 2000). Selain itu untuk
22
menghindari bau dan rasa yang tidak enak dari ekstrak jawer kotok maka sediaan dibuat dalam bentuk kapsul. 3.4 Pengujian Stabilitas Untuk menguji stabilitas suatu produk, setiap Negara memiliki kondisi iklim yang berbeda sehingga penyimpanannya berbeda. Klasifikasi iklim tersebut adalah sebagai berikut : (ICH, 2013)
Berdasarkan The International Conference on Harmonisation (ICH), Indonesia termasuk ke dalam zona iklim IV. Oleh karena itu kondisi penyimpanan untuk uji stabilitas mengikuti standar yang telah ditentukan oleh ICH, yaitu sebagai berikut.:
23
(GMPUA, 2012) Menentukan stabilitas dari molekul zat aktif dan pengaruh faktor lingkungan seperti temperatur, kelembapan, cahaya, komponen formulasi, dan wadah. Menggunakan uji stabilitas dipercepat dan diperpanjang sama seperti tablet konvensional. Uji dilakukan untuk menentukan penyimpanan dan waktu paruh kapsul. 3.5.
Up-Scalling Up-scalling merupakan peningkatan skala produksi di industri. 300.000 kapsul ekstrak Plectranthus scutellarioides merupakan produksi skala pilot. Perubahan ukuran batch dari skala pilot ke skala produksi harus memenuhi syarat yaitu batch baru yang akan diproduksi
menggunakan pengujian dan peralatan yang sesuai dengan CPOTB. Pertimbangan penting dalam studi skala pilot adalah: Evaluasi bahan baku: uji bahan baku berbagai pemasok, penyusunan spesifikasi, kesinambungan pemasok
24
Evaluasi
persyaratan proses (CPOTB), dan kemasan Konfirmasi stabilitas dan keseragaman produk: stabilitas fisika dan kimia
bahan, stabilitas, stabilitas dalam wadah akhir, dan metode analisis Proses dalam kecepatan penuh, artinya standar produk harus memenuhi
syarat Denah fisik: lay out produksi Laporan pertanggungjawaban: evaluasi tahapan proses produksi dan
formulasi
dan
peralatan:
tetapkan
modifikasi,
kendala,
kendala yang dihadapi selama proses serta hasil pengamatan. Dari skala pilot selanjutnya akan ditingkatkan menjadi skala industri (produksi maksimum 10 kali lipat dari skala pilot dan diperlukan penyesuaian formulasi). Tahapan ini meliputi modifikasi dan validasi alat dan proses, penerapan SOP, dokumentasi, dan monitoring. Selama peningkatan
skala,
kemungkinan
terpaksa
dilakukan
penggantian
alat/teknologi manufaktur dan penyesuaian formulasi karena peningkatan ini kemungkinan tidak bersifat linier dengan proses sebelumnya. Sebuah proses scale up harus mempertimbangkan proses berikut ini: Menentukan hasil proses produksi yang diinginkan Menentukan kriteria scale up awal, sebagai parameter yang membuat hasil
proses yang diinginkan sesuai dengan skala sebelumnya Menentukan kriteria keduanya (secondary criteria) untuk proses scale up, yaitu perubahan secara mekanik dan fisik pada skala yang harus diketahui berdasarkan kriteria utama scale up
Jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk scale up ke skala produksi yaitu : No . 1 2 3
Bahan Baku Ekstrak Plectranthus scutellarioides Aerosil (0.5%) Maize Starch (5%)
300.000 kapsul
1 kapsul
30.000 kapsul
250 mg
7.500 g
75.000 g
1,48 mg 29,59 mg
44,4 g 887,7 g
444 g 8877 g
25
4
Magnesium Stearat (5%) Total
14,79 mg 295,86 mg
443,7 g 8.875,8 g
4437 g 88.758 g
BAB IV MANUFAKTUR DAN QUALITY CONTROL
4.1.
Aspek-Aspek CPOTB yang Terkait Proses Produksi Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa
agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. CPOTB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. Adapun aspek-aspek CPOTB yang terkait proses produksi adalah sebagai berikut (CPOTB, 2011) :
A. Personalia Industri
obat
tradisional
hendaklah
memiliki
personil
yang
terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai. Tiap personil tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindari risiko terhadap mutu obat tradisional. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOTB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.
26
27
Selain itu, industri obat tradisional juga harus memiliki struktur organisasi.
Struktur
organisasi industri
obat tradisional
hendaklah
sedemikian rupa sehingga bagian produksi, manajemen mutu (pemastian mutu)/pengawasan mutu dipimpin oleh orang berbeda serta tidak saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain. Masing-masing personil hendaklah diberi wewenang penuh dan sarana yang memadai yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Personil kunci yaitu kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu dan kepala
bagian
manajemen
mutu
harus
menjalankan
tugas
dan
tanggungjawabnya dengan baik sesuai dengan ketentuan CPOTB. Industri obat tradisional hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk. Pelatihan yang diberikan yaitu pelatihan dasar mengenai teori dan praktek CPOTB serta pelatihan spesifik sesuai tugas dan tanggungjawabnya. B. Bangunan, Fasilitas dan Peralatan Bangunan, fasilitas dan peralatan untuk pembuatan obat tradisional hendaklah memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, dan memudahkan pembersihan, sanitasi dan
28
perawatan
yang
efektif
untuk
menghindarkan
pencemaran
silang,
penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat tradisional. Karena berpotensi untuk terdegradasi dan terserang hama serta sensitivitasnya terhadap kontaminasi mikroba maka produksi dan terutama penyimpanan bahan yang berasal dari tanaman dan binatang memerlukan perhatian khusus. Area penimbangan,
area
produksi,
area
penyimpanan,
area
pengawasan mutu dan area sarana pendukung harus disesuaikan dengan ketentuan CPOTB. Peralatan untuk pembuatan obat tradisional hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat tradisional terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan. C. Sanitasi dan Higiene Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat tradisional. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Karena sumbernya, bahan obat tradisional dapat mengandung cemaran mikrobiologis; di samping itu, proses pemanenan/pengumpulan dan proses produksi obat tradisional sangat mudah tercemar oleh mikroba.
29
Untuk menghindarkan perubahan mutu dan mengurangi kontaminasi, diperlukan penerapan sanitasi dan higiene berstandar tinggi. Higiene perorangan dan sanitasi bangunan, fasilitas, dan perlatan harus memenuhi ketentuan CPOTB. D. Dokumentasi Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.
E. Produksi Produksi hendaklah dilaksanakan mengikuti prosedur tervalidasi yang telah ditetapkan, memenuhi ketentuan CPOTB yang menjamin produk memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin registrasi. Klasifikasi bangunan yang berlaku untuk area produksi bahan obat kemungkinan tidak bisa digunakan untuk pengolahan bahan alam. Pengendalian bahan dari spesies dan varietas yang berbeda untuk mencegah kontaminasi. Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan,
30
peralatan atau mesin produksi dan bila perlu diberi label atau penandaan. Akses ke bangunan dan fasilitas produksi hendaklah dibatasi hanya untuk personil yang berwenang. F. Pengawasan Mutu Merupakan bagian yang esensial dari CPOTB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Sistem pengawasan mutu hendaklah dirancang dengan tepat untuk memastikan bahwa tiap produk mengandung komponen dengan mutu yang memenuhi syarat dan dibuat pada kondisi sesuai. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan melakukan investigasi yang diperlukan. Penilaian produk jadi hendaklah mencakup semua faktor yang relevan, termasuk kondisi produksi, hasil pengujian selama proses, pengkajian dokumen produksi, pemenuhan spesifikasi produk jadi dan pemerikasaan kemasan akhir. G. Inspeksi Diri Mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri obat tradisional memenuhi ketentuan CPOTB dan untuk menentukan tindakan perbaikan yang diperlukan. Dibuat daftar periksa inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan seragam. Dibentuk tim inspeksi diri minimal 3 orang yang berpengalaman dalam bidang produksi baik dari dalam atau luar industri. Frekuensi inspeksi diri
31
perbagian dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Laporan inspeksi diri mencakup: hasil inspeksi diri, evaluasi, kesimpulan dan saran tindakan korektif. 4.2.
Desain In Process Control (IPC) 1. Menurut Permenkes No. 661 tahun 1994, persyaratan serbuk simplisia : a. Kadar air tidak lebih dari 10% b. Angka lempeng total tidak lebih dari 10 c. Angka kapang dan khamir tidak lebih dari 10 d. Mikroba patogennya negatif e. Aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj) f. Wadah dan penyimpanan: dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari. 2. Karakteristik ekstrak encer a. Nilai PH dan organoleptik b. Pola dinamolisis c. Pola kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, KCKT, GC d. Pola spektroskopi: uv-vis 3. Karakteristik ekstrak kental (Farmakope Herbal, 2008): a. Rendemen ekstrak: tidak kurang dari 12,2%, b. Pemerian ekstrak: Ekstrak kental, hijau kehitaman, bau khas, rasa agak pahit dan kelat. c. kadar air tidak lebih dari 10% d. kadar abu tidak lebih dari 10,1% e. kadar abu tidak larut asam: tidak lebih dari 0,8%, 4. Analisis obat jadi : a. Evaluasi massa kapsul Evaluasi massa kapsul dilakukan untuk mengetahui kelayakan dari massa kapsul untuk dapat dijadikan sebagai sediaan kapsul. Evaluasi massa kapsul meliputi : Uji Kadar Air Pustaka : Farmakope Indonesia Edisi IV Syarat : Kadar air tidak boleh lebih dari 10%. Kadar air ditetapkan dengan metode titrimetri berdasarkan reaksi kuantitatif antara ion H+ dalam air dengan pereaksi Karl Fischer yaitu
32
larutan anhidrat belerang dioksida dan iodium yang dilarutkan dalam piridin dan metanol. Titrasi dilakukan secara titrasi kembali, yaitu sejumlah pereaksi berlebih ditambahkan pada zat uji, dibiarkan beberapa lama sampai reaksi sempurna dan kelebihan pereaksi dititrasi kembali dengan larutan baku air dalam pelarut metanol. Metode titrasi kembali lebih sering digunakan, karena dapat mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi pada titrasi langsung akibat zat melepaskan airnya perlahan-lahan. Prosedur penetapan kadar air dilakukan dengan titrasi Karl Fischer adalah sebagai berikut: Sebanyak 25 ml metanol P. dimasukkan ke dalam labu titrasi, kemudian dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir secara elektrometrik. Kemudian kurang lebih 25 mg sampel yang ditimbang seksama ditambahkan ke dalam labu titrasi, dilanjutkan titrasi sampai titik akhir secara elektrometrik.
Penentuan kecepatan alir dan sudut istirahat Tujuan : menjamin keseragaman pengisian ke dalam kapsul yang dapat mempengaruhi variasi bobot kapsul dan dosis Prinsip : digunakan metode corong untuk penetapan jumlah serbuk yang mengalir melalui alat tersebut selama waktu tertentu Alat : Flaw tester Penafsiran hasil : aliran sebuk/granul dikatakan baik jika waktu yang diperlukan untuk mengalirkan 10 gram serbuk adalah 1 detik (Aulton,
2002). b. Evaluasi kapsul Evaluasi kapsul dilakukan untuk mengetahui kualitas dan kapsul, yang meliputi (FI IV, 1995) : Uji Keseragaman Bobot
33
Pustaka
: Kepmenkes No. 661/Menkes/SK/VII/1994
Prosedur : Keseragaman bobot Timbang 20 kapsul. Timbang masing masing kapsul secara saksama dan diberi identitas. Keluarkan isi semua kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul kosong dan timbang masing masing cangkang kapsul kosong. Hitung bobot isi kapsul dan bobot rata rata tiap isi kapsul. Perbedaan dalam persen bobot isi setiap kapsul terhadap bobot rata rata tiap isi kapsul tidak boleh lebih dari yang ditetapkan oleh kolom A dan setiap 2 kapsul tidak lebih dari yang ditetapkan kolom B Bobot rata rata isi kapsul 120 mg atau lebih dari 120 mg (FI III, 1979)
Perbedaan bobot isi kapsul dalam % A B ± 10% ± 7,5%
Waktu hancur Masukkan 1 kapsul pada masing-masing tabung dari keranjang. Gunakan kasa berukuran 10 mesh yang ditempatkan pada permukaan lempengan atas dari rangkaian keranjang. Jalankan alat gunakan air bersuhu 37o±2o sebagai media. Amati kapsul selama 15 menit. Semua kapsul harus hancur, kecuali bagian dari cangkang kapsul. Bila 2 kapsul tidak hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 kapsul lainnya : tidak kurang 16 dari 18 kapsul yang diuji harus hancur sempurna. (FI IV hal 1087)
± 20% ± 15%
34
Adapun persyaratan batas maksimal (waktu hancur maksimal) yang tertera pada FI IV untuk kapsul, yaitu < 15 menit 4.3.
Pemilihan Mesin Produksi Mesin yang dibutuhkan untuk produksi kapsul ekstrak daun jewer kotok mulai dari simplisia hingga produk jadi adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
ekstraktor maserator alat penguap vakum putar freeze-dryer penimbangan mesin filler pengemasan Pemilihan mesin-mesin tersebut didasarkan pada kegunaan, prinsip
kerjanya dan kapasitas produksinya
4.4
Validasi Proses Produksi Proses produksi hendaknya divalidasi untuk membuktikan bahwa prosedur yang dilakukan telah sesuai, dapat dilaksanakan secara rutin, serta membuktikan bahwa proses telah ditetapkan dengan menggunakan bahan dan peralatan yang ditentukan sehingga akan selalu dihasilkan produk yang bermutu. Studi validasi proses produksi harus memperkuat pelaksanaan CPOTB dan hasil validasi harus didokumentasikan. Segala perubahan signifikan seperti perubahan pada alat atau bahan yang terjadi pada saar proses pembuatan harus divalidasi karena dapat memengaruhi
35
mutu produk atau reprodusibilitas proses produksi. Validasi ulang harus dilakukan secara periodik (BPOM,2012). Validasi proses terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Validasi prospektif
: merupakan jenis validasi proses yang dilakukan
sebelum produk dipasarkan. b. Validasi retrospektif : validasi proses yang sudah berjalan/dilakukan c. Validasi konkuren : validasi yang dilakukan selama proses produksi rutin. Dilakukan validasi proses prospektif karena produk yang dibuat merupakan produk baru yang belum dipasarkan pada industri farmasi bersangkutan. Proses validasinya membutuhkan 3 batch berturut – turut (skala produksi). Sebelum dilakukan validasi proses, harusnya dipastikan bahwa telah dilakukan validasi metode analisa kandungan senyawa aktif , validasi bahan awal, dan peralatan yang digunakan telah terkualifikasi dan terkalibrasi. Validasi prospektif hendaklah mencakup: a. Uraian singkat suatu proses b. Ringkasan tahap kritis proses pembuatan yang harus diinvestigasi c. Daftar peralatan/fasilitas yang digunakan termasuk alat ukur, pemantau d. e. f. g.
dan pencatat serta status kalibrasinya Spesifikasi produk jadi untuk diluluskan Daftar metode analisis yang seharusnya Usul pengawasan selama-proses dan kriteria penerimaan Pengujian tambahan yang akan dilakukan termasuk kriteria penerimaan
h. i. j. k.
dan validasi metode analisisnya, bila diperlukan Pola pengambilan sampel (lokasi dan frekuensi) Metode pencatatan dan evaluasi hasil Fungsi dan tanggung jawab Jadwal yang diusulkan
36
Dengan menggunakan prosedur (termasuk komponen spesifik) yang telah ditetapkan, bets berurutan dapat diproduksi dalam kondisi rutin. Secara teoritis, jumlah proses produksi dan pengamatan yang dilakukan sudah cukup menggambarkan variasi dan menetapkan tren sehingga dapat memberikan data yang cukup untuk keperluan evaluasi. Secara umum, 3 (tiga) bets berurutan yang memenuhi parameter yang disetujui dapat diterima telah memenuhi persyaratan validasi proses. Ukuran bets yang digunakan dalam proses validasi hendaklah sama dengan ukuran bets produksi yang direncanakan. Jika bets validasi akan dipasarkan, kondisi pembuatannya hendaklah memenuhi ketentuan CPOTB, hasil validasi tersebut hendaklah memenuhi spesifikasi dan sesuai izin edar. 4.5
Pengemasan Tablet ekstrak daun jewer kotok dikemas dalam botol plastik (kemasan
primer) yang tiap botolnya berisi 60 tablet, setiap 1 botol dikemas dalam 1 dus (kemasan sekunder). Setiap botol dimasukkan silika gel yang telah dikemas dalam kemasan kecil dengan tujuan untuk menjaga kelembaban di dalam botol. Botol plastik dipilih karena praktis dan dapat menjaga sediaan tablet tetap stabil serta terlindung dari cahaya. Botol plastik kemudian dilapisi dengan plastik bening untuk mencegah masuknya udara luar ke dalam botol. Dus besar dipilih sebagai kemasan sekunder dengan tujuan untuk menjaga atau melindungi kemasan primer dan sediaan dari hal-hal yang tak diinginkan selama distribusi obat dilakukan. Adapun kemasan primer dan sekunder yang digunakan yaitu sebagai berikut:
37
Kemasan primer
Kemasan sekunder
38
4.6.
Penyimpanan Sediaan disimpan dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar (25o-30oC), di tempat yang kering dan terlindung dari sinar matahari untuk menjaga stabilitas sediaan.
BAB V REGULASI DAN PERUNDANGAN
5.1 Registrasi Obat Jadi Menurut Permenkes RI No 007 tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
menyebutkan bahwa obat tradisional yang diedarkan di wilayah
Indonesia wajib memiliki izin edar yang di berikan oleh Kepala Badan POM. Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu; b. Dibuat dengan menerapkan CPOTB; c. Memenuhi persyaratan Farmakope persyaratan lain yang diakui; d. Berkhasiat yang dibuktikan
secara
Herbal empiris,
Indonesia turun
atau
temurun,
dan/atau secara ilmiah; dan e. Penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan. Berdasarakan peraturan kepala BPOM RI Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan khasiat dan keamanannya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Sediaan farmasi jawer kotok dapat didaftarkan mengikuti kategori
39
40
pendaftaran obat baru kategori 4 yaitu pendaftaran obat herbal terstandar. Pendaftaranya dilakukan dalam dua tahap yaitu pra penilaian dan penilaian.
5.1.1 Prosedur Pendaftaran Obat Tradisional Untuk mendaftarkan Produk Obat Tradisional, Pemohon harus melengkapi persyaratan yang telah ditentukan serta mengisi formulir pendaftaran yang tersedia di Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, kemudian menyerahkan kembali dengan cara (BPOM RI, 2010): a. Langsung diserahkan ke loket pendaftaran b. Dikirimkan melalui jasa pos/paket 5.1.2 Persyaratan Administrasi Pendaftaran Obat Tradisional Lokal Persyaratan administrasi pendaftaran obat tradisional lokal yang harus dipenuhi yaitu meliputi (BPOM RI, 2010): a. Fotokopi izin usaha industri obat tradisional/industri kecil obat tradisional b. Fotokopi ijazah, surat izin kerja Apoteker penanggung jawab teknis yang telah divisum, atau surat penugasan dari kantor wilayah Depkes RI c. d. e. f.
setempat dimana industri tersebut berada. Surat pernyataan apoteker sebagai penanggung jawab teknis Contoh obat tradisional yang didaftarkan Rancangan penandaan siap cetak Contoh bahan baku/simplisia
5.1.3 Persyaratan Teknis Pendaftaran Obat Tradisional Lokal a. Formulasi/khasiat (BPOM RI, 2010) Komposisi : nama bahan baku & jumlahnya Khasiat/kegunaan : khasiat/kegunaan obat tradisional, didukung khasiat/kegunaan bahan baku yang ditunjang daftar pustaka
41
Cara pemakaian (terperinci)
: cara pemakaian dan takaran/dosis obat tradisional termasuk
meliputi
peringatan,
perhatian,
pantangan/anjuran, lama pemakaian b. Mutu dan Teknologi (BPOM RI, 2010) Cara Pembuatan: jumlah produk yang direncanakan untuk satu kali pembuatan lengkap dengan jumlah bahan baku yang digunakan, semua tahap pembuatan/Prosedur Operasional Standar; alat atau mesin yang
digunakan Sumber perolehan bahan baku Penilaian Mutu Bahan Baku; pemerian/organoleptik, makroskopik, mikroskopik dan uji fisika-kimia disesuaikan dengan jenis bahan baku
(simplisia atau ekstrak) Penilaian Mutu Produk Jadi: sertifikat analisa produk jadi meliputi
pemeriksaan fisika, kimia, cemaran mikroba dan cemaran logam Metoda dan Hasil Pengujian Stabilitas/Keawetan
5.1.4 Alur Proses Registrasi Obat Tradisional Berikut adalah alur proses registrasi obat tradisional di Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik:
42
Gambar 5.1 Alur Proses Registrasi Obat Tradisional (BPOM RI, 2010)
5.2
Penandaan Sesuai Undang-Undang Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional, penandaan adalah tulisan atau gambar yang dicantumkan pada pembungkus, wadah atau etiket dan brosur yang disertakan
43
pada obat tradisional, yang memberikan informasi tentang obat tradisional tersebut. Penandaan yang tercantum pada pembungkus, wadah, etiket dan atau brosur harus berisi informasi tentang : a. Nama obat tradisional atau nama dagang b. Komposisi c. Bobot, isi atau jumlah obat tiap wadah d. Dosis pemakaian e. Khasiat atau kegunaan f. Kontra indikasi (bila ada) g. Kedaluwarsa h. Nomor pendaftaran i. Nomor kode produksi j. Nama industri atau alamat sekurang-kurangnya nama kota dan kata “INDONESIA” sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran. Penandaan harus tidak rusak oleh air, gosokan atau pengaruh sinar matahari. Ketentuan penandaan obat tradisional kelompok Jamu menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.2411 tentang ketentuan pokok pengelompokkan dan penandaan obat bahan alam indonesia pasal (5) yakni : a. Kelompok Jamu sebagaimana dimaksud untuk pendaftaran baru harus mencantumkan logo dan tulisan “JAMU” sebagaimana contoh :
44
Gambar 5.2 Logo Jamu
b. Logo sebagaimana dimaksud dalam poin (1) berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur : c. Logo (ranting daun dalam lingkaran) sebagaimana dimaksud pada poin (2) dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan logo d. Tulisan “JAMU” sebagaimana dimaskud pada poin (1) harus jelas dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”
1. Nomor Registrasi Nomor registrasi sediaan farmasi jawer kotok adalah TR 16 1 3 0001 1 Keterangan: TR 16 1 3 0001
: Obat tradisional lokal : Tahun mulai produk tersebut terdaftar di BPOM : Obat ini diproduksi oleh pabrik farmasi : Menunjukkan bentuk sediaan kapsul : Menunjukkan nomor urut jenis produk yang terdaftar
45
1
: Menunjukkan jenis kemasan terakhir
X
: kode huruf
TR
: obat tradisional lokal
TI
: obat tradisional impor
TL
: obat tradisional lisensi
FF
: fitofarmaka
QD/QL
: produk kuasi dalam/luar
Kotak 1,2 : menunjukkan tahun mulai produk tersebut terdaftar pada departemen kesehatan atau badan POM Kotak 3
: menunjukkan bentuk perusahaan 1 : menunjukkan pabrik farmasi 2 : pabrik jamu (IOT) 3 : perusahaan jamu (IKOT)
Kotak 4
: menunjukkan bentuk sediaan 1 : bentuk rajangan 2 : bentuk serbuk 3 : bentuk kapsul 4 : bentuk pil, granul, boli, pastiles dan jenang 5 : bentuk dodol, majun, tablet, kaplet 6 : bentuk cairan
46
7 : bentuk salep, krim 8 : bentuk plester, koyo 9 : bentuk lain, dupa, ratus, mengir, permen Kotak 5,6,7,8 : menunjukkan nomor urut jenis produk yang terdaftar Kotak 9
: menunjukkan jenis macam kemasan yang keberapa
2. Nomor Batch Menurut surat Dirjen POM No 13650/D/SE/73, penomoran batch diserahkan pada perusahaan masing-masing. Nomor batch sediaan farmasi jawer kotok adalah 01160101. Keterangan : 01 : Produk diproduksi pada bulan Januari 16 : Produk diproduksi pada tahun 2016 01 : Bentuk sediaan kapsul 01 : Nomor urut pembuatan
5.3
Distribusi Obat Jadi Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan pasal 15, penyaluran (distribusi) sediaan farmasi diatur sebagai berikut : 1. Penyaluran sediaan farmasi* dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh: a. badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat kesehatan;
47
b. badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin (1) dikecualikan bagi perorangan untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika dengan jumlah komoditi yang terbatas dan/atau diperdagangkan secara langsung kepada masyarakat. *Pada pasal (1) disebutkan bahwa Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
BAB VI INFORMASI OBAT
6.1 Pelayanan Informasi Obat Informasi yang harus diberikan kepada pasien atau tenaga medis adalah: 1. Memberitahukan bahwa ekstrak jawer kotok tidak boleh diberikan kepada wanita hamil dan menyusui, dikarenakan dosis tinggi ekstrak jawer kotok dapat menghambat atau menghentikan pertumbuhan. 2. Memberitahukan bahwa ekstrak jawer kotok tidak boleh diberikan kepada pasien yang mengalami masalah pendarahan, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan pada beberapa orang. 3. Memberitahukan bahwa pemberian ekstrak jawer kotok bersama dengan obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan dan dapat menyebabkan gejala hipotensi seperti pusing, mual dan muntah, sehingga diharapkan tidak digunakan secara bersamaan. 4. Menginformasikan bahwa penggunakaan ekstrak jawer kotok bersama dengan warfarin dan heparin dapat memperburuk pendarahan dan tidak diperbolehkan menggunakan ekstrak jawer kotok ketika mengalami masalah pendaraha. 5. Memberitahukan bahwa ekstrak jawer kotok dapat menyebabkan efek halusinogen dan dapat memperburuk ulkus lambung.
48
49
2. Brosur Obat
DAFTAR PUSTAKA Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Penerbit UI. Jakarta Augsburger, L.L. 2000. Modern Pharmaceutics : Hard and Soft Gelatin Capsules. (Ed.2). New York : Mercel Dekker Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2010. Acuan Sediaan Herbal, Volume V, Edisi I, 112-11. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Cahyono, Bambang dkk. 2014. Efek Hidrolisis Ekstrak Daun Iler (Coleus scutellarioides) terhadap Aktivitas Inhibisi Enzim Alfa-Glukosidase. Jurnal Sains dan Matematika Vol.22(1) : 15-19(2014) Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatam Republik Indonesia. 1989, Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatam Republik Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Duengo, Suleman, Yuszda K. Salimi, dan Lian Ahmad. 2014. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Miana (Coleus scutellarioides) Asal Gorontalo. Kumpulan Jurnal Universitas Negeri Gorontalo. Vol.1 , No.1 : 93 – 100. Duke, James A. 2002. Handbook of Medicinal Herbs 2nd Edition. New York : CRC Press. GMPUA. 2012. Stability testing. Tersedia di http://www.gmpua.com/ World/GMPManual/daten/autorenteil/kapitel_14/14_g.htm Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Edisi II. Penerbit ITB. Bandung. Henderson, Shonteh; et,al. 2005. Effects of Coleus Forskohlii Supplementation on Body Composition and Hematological Profiles in Mildly Overweight Women. Tersedia secara online di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2129145/ ICH. 2013. ICH Q1(R2) Stability testing Guidelines: Stability Testing of New Drug Substances and Products.
50
Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoida. Terjemahan Kosasi. Marpaung, Prataya N. S, Adeanne C. Wullur , dan Paulina V. Y. Yamlean. 2014. Uji Efektivitas Sediaan Salep Ekstrak Daun Miana (Coleus scutellarioides [L] Benth.) untuk Pengobatan Luka yang Terinfeksi Baketri Staphylococcus aureus pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Pharmacon – Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 3, No. 3 : 1-6. Medical Health Guide. 2011. Coleus Health Benefits. Available online at http://www.medicalhealthguide.com/herb/coleus.htm [ Accesed on 4th January 2016 ]. Mutsuhito Kikura, Koji Morita, Shigehito Sato, Pharmacokinetics and a simulation model of colforsin daropate, new forskolin derivative inotropic vasodilator, in patients undergoing coronary artery bypass grafting, Pharmacological Research, Volume 49, Issue 3, March 2004, Pages 275-281, ISSN 1043-6618, http://dx.doi.org/10.1016/j.phrs.2003.09.012. Rowe, R.C. et.al. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients 5th ed. London: The Pharmaceutical Press. Rowe, R.C. et.al. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th ed. London: The Pharmaceutical Press. Silverstein, R.M. 1984. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Terjemahan A.J. Hatomo dan Any Viktor Purba. Edisi Keempat. Pernerbit Erlangga. Jakarta Sudde, S. et al. 2004. A taxonomic revision of tribe Ocimeae Dumort. (Lamiaceae) in continental South East Asia II. Plectranthinae. Kew Bull. 59:411–412 Wiart, Christophe. 2006. Medicinal Plants Of The Asia Pacific : Drugs for the future. Singapore : World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
51