JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004
LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI) 2004
1
JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA : Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004
Daftar Isi
Halaman Pendahuluan
I
Memprediksi Hasil Pemilu
II
Pengalaman Gallup Poll dan Social Weather Stations
III
Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 1999
IV
Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 2004
V
Kesulitan dan Tantangan Jajak Pendapat di Indonesia
VI
Exit Poll dan Quick count
VII
Jajak Pendapat Non Ilmiah
VIII
Penutup
Daftar Pustaka
2
PENDAHULUAN
Pemilihan umum bukan hanya hari penentuan bagi partai politik tetapi juga bagi lembaga jajak pendapat. Kami di Lembaga Survei Indonesia (LSI) kerap berkelakar, Pemilu akan menjadi ajang apakah LSI akan lolos electoral treshold ataukah tidak. Istilah ini kami pakai sekedar kelakar apakah ramalan jajak pendapat LSI mendekati atau tidak dengan hasil aktual Pemilu 5 April lalu. Jika ramalan LSI gagal atau tidak sesuai dengan kenyataan aktual Pemilu, tentu kredibilitas kami sebagai lembaga jajak pendapat akan berkurang. LSI sendiri melakukan jajak pendapat (survei) nasional tiap tiga bulan sekali untuk merekam opini publik yang berkembang saat itu.Menghadapi Pemilu, selain survei bulan Agustus dan November 2003, kami membuat survei nasional di bulan Maret 2004. Data lapangan dikumpulkan dari tanggal 8-20 Maret 2004. Tentu ada alasan pokok kenapa kami melakukan wawancara lapangan mendekati hari Pemilu. Kami ingin merekam pendapat publik sampai masa akhir menjelang hari pencoblosan. Kami juga ingin mengetahui efek kampanye di kalangan pemilih. Wawancara lapangan itu, dengan bantuan dan dedikasi pewawancara lapangan sebanyak 350 orang, bisa diselesaikan tepat waktu.
Sekarang tinggal publikasi hasil jajak
pendapat itu. Ketika memutuskan mempublikasikan hasil survei, kami diliputi perasaan was-was. Sejumlah kolega menyarankan agar hasil survei itu disimpan dulu di laci meja, menunggu hari Pemilihan. Publikasi hasil jajak pendapat menjelang hari pemilihan rawan terhadap tuduhan mempengaruhi pemilih.1 Hasil jajak pendapat itu baru dikeluarkan setelah pencobloan dan dipakai sekedar menjelaskan preferensi pemilih. Sejumlah orang juga menyarakan agar menunda publikasi hasil, tetapi dengan alasan menjada kredibilitas LSI. Sebagai lembaga yang baru berdiri ( pertengahan tahun 2003), LSI sebaiknya tidak ikut meramalkan atau memprediksi hasil Pemilu. Sebab jika gagal, orang tidak akan mempercayai lagi hasil jajak pendapat LSI. 1
Efek ini kerap disebut sebagai bandwagon effect. Secara sederhana efek ini dapat digambarkan sebagai berikut. Hasil jajak pendapat dapat mempengaruhi pilihan pemilih, karena orang cenderung mengikuti penapat mayoritas. Jika partai A disebut oleh lembaga jajak pendapat memenangkan Pemilu, pemilih akan cenderung memilih partai A. Ini karena hasil jajak pendapat akan mengesankan pertama kalai kalau partai A populer, dan popularitas partai itu akan mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada partai populer----ini terutama terjadi pada pemilih yang sampai menjelang hari pemilihan masih bimbang akan memilih partai mana.
3
Profesi pollster sendiri kerap disamakan dengan dokter. Kredibilitas seorang dokter diukur dari apakah dokter bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit seorang pasien. Diagnosa yang baik akan menentukan obat dan jenis tindakan yang akan dilakukan untuk penyembuhan. Pollster, lewat riset dan metode yang dipakai juga berusaha untuk mendiagnosa ( merumuskan) pendapat masyarakat. Kredibilitas pollster dan lembaga jajak pendapat akhirnya dikur dari apakah hasilnya sama taau tidak dengan hasil Pemilu. Berbeda dengan survei pemasaran, survei politik bisa dengan mudah hasilnya dikonfirmasi dengan hasil aktual Pemilu. Jika dalam jajak pendapat partai A memenangkan Pemilu, publik dengan mudah akan menilai apakah hasil aktual Pemilu juga menghasilan partai A sebagai pemenang.
Rasa was-was itu juga dipicu oleh perkembangan politik yang dinamis dan sukar diprediksikan menjelang hari pencoblosan 5 April. Survei yang kami lakukan pada bulan Agustus dan November 2003 secara konsisten menempatkan Golkar sebagai pemenang Pemilu menggeser PDI Perjuangan. Survei sejenis sampai akhir tahun 2003 ( seperti yang dilakukan oleh CESDA-LP3ES, IRI, IFES, Balitbang PDIP) juga menempatkan
Golkar
sebagai
pemenang
dengan
angka
cukup
signifikan
meninggalkan PDIP. Tetapi menjelang kampanye bulan Maret 2004, partai Golkar yang semula muncul dengan ide inovatif berupa konvensi, tampil kurang menggigit. Sebaliknya, PDIP memanfaatkan kampanye Pemilu untuk memperbaiki citra dengan konsolidasi besar-besar dan penayangan iklan yang masih di media massa. Menjelang kampanye, politik Indonesia juga ditandai dengan kemunculan Partai Demokrat, partai yang semula kurang diperhitungkan. Setelah pendiri Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono keluar dari kabinet, popularitas partai ini tampak naik yang ditandai dengan kampanye Partai Demokrat yang selalu dihadiri banyak simpatisan. Peristiwa politik yang dinamis itu membuat prediksi pemenang Pemilu makin sulit dilakukan dibandingkan dnegan masa sebelum kampanye. Kami akhirnya memutuskan mempublikasikan hasil jajak pendapat itu lewat sebuah konferensi pers tanggal 2 April di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta.2 Publikasi itu tentu bukan dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilih. Kami memilih tanggal itu sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis kepada publik. Konferensi pers itu dimuat oleh sejumlah suratkabar keesokan harinya, dan menjadi bahan laporan utama
2
Lihat materi konferensi pers 2 April 2004, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004.
4
sebuah majalah berita. Lewat publikasi yang dekat dengan hari pencoblosan 5 April itu, orang akan dengan mudah membandingkan hasil survei LSI itu dengan hasil aktual Pemilu. Orang bisa menilai secara terbuka apakah ramalan LSI mendekati atau tidak dengan kenyataan aktual Pemilu. Tentu ada perbedaan mendasar antara ramalan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat dengan ramalan seorang paranormal. Ramalan dari paranormal bersumber dari intuisi dan perasaan, sementara lembaga jajak pendapat mendasarkan ramalannya pada riset dan data lapangan. Sama seperti politisi yang menunggu dengan perasaan berdebar apakah namanya lolos atau tidak sebagai anggota DPR, kami juga menunggu hasil Pemilu itu dengan perasaan berdebar. Hasil Pemilu yang diumumkan 5 Mei menunjukkan ramalan LSI tepat. Ketepatan itu bukan hanya pada pemenang Pemilu dan komposisi pemenang tetapijug prediksi perolehan suara yang tidak jauh berbeda dengan angka aktual yang bisa dicapai partai politik. Ini bukan hanya keberhasilan LSI. Ini adalah keberhasilan lembaga jajak pendapat di Indonesia. Buku ini mendokumentasikan kinerja lembaga jajak pendapat dalam meramal hasil Pemilu. Argumen yang diusung oleh buku ini, jika jajak pendapat dilakukan dengan metode yang benar maka hasilnya bisa dengan tepat bisa memprediksi pemenang Pemilu. Jajak pendapat di Indonesia bisa mengikuti jejak lembaga jajak pendapat di negara-negara Barat yang telah menempati posisi penting karena terbukti tepat dalam merekam opini publik. Buku ini disusun tentu saja tidak dimaksudkan sebagai media gagah-gagahan. Buku ini hanya memberi ilustrasi dan gambaran bahwa jajak pendapat bisa menjadi alat ukur yang terpercaya. Jajak pendapat harus diakui masih barang baru di Indonesia. Tidak semua orang percaya dengan jajak pendapat. Argumen yang sering dilontarkan mereka yang tidak percaya dengan jajak pendapat adalah, metode ini hanya cocok di negara Barat dan mustahil diterapkan di Indonesia.
3
Sejumlah orang bahkan acapkali melontarkan
penilaian miring terhadap lembaga jajak pendapat, seperti lembaga jajakpendapat dibayar oleh partai A dengan sengaja untuk mendongkrak suara partai itu. Lembaga jajak pendapat, kami tentu saja tidak bisa menghalangi penilaian seperti itu. 3 Politisi juga tidak mendasarkan kegiatan dan kebijakan berdasarkan hasil jajak pendapat. Dukungan terhadap partai atau tokoh politik tertentu misalnya masih dilihat dari cara yang tradisional, seperti berapa banyak pawai atau kampanye terbuka dihadiri oleh simpatisan.
5
Lembaga jajak pendapat justru harus membuktikan dirinya kepada publik, bahwa hasil riset yang dilakukan bisa dengan tepat merekam opini publik. Buku ini hadir diantaranya sebagai bukti bahwa jika dilakukan dengan benar, jajak pendapat bisa dengan
tepat
merekam
pendapat
masyarakat.
Buku
ini pertama
kali
akan
menguaraikan pengalaman jajak pendapat dan Pemilu di negara lain, dalam hal ini Amerika dan Filipina. Bagaimana di dua negara itu jajak pendapat telah menjadi alat yang terpercaya untuk merekam pilihan masyarakat saat Pemilu. Dilanjutkan dengan tinjauan jajak pendapat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
6
I.MEMPREDIKSI HASIL PEMILU Pemilu adalah pertaruhan bagi lembaga jajak pendapat. Lewat Pemilu, publik bisa menilai apakah ramalan lembaga jajak pendapat benar atau tidak. Pertanyaan penting untuk diajukan adalah, apakah jajak pendapat perolehan suara Pemilu di Indonesia bisa diandalkan? Apakah hasil jajak pendapat itu bisa memprediksikan dengan tepat hasil Pemilu yang sesungguhnya? JAJAK PENDAPAT PEMILU MASA ORDE BARU Jajak pendapat terutama mengenai Pemilu adalah barang baru. Selama puluhan tahun masa Orde Baru kegiatan ini
bisa dikatakan mati. Memang ada beberapa
lembaga jajak pendapat yang mengadakan survei tentang berbagai hal. Tetapi tidak ada yang berbicara tentang Pemilu. Sekurang-kurangnya ada dua alasan kenapa kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu tidak berkembang semasa Orde Baru. Pertama, kegiatan mengukur opini publik terutama yang berhubungan dengan masalah
politik
masih
tabu
dilakukan,
kalau
tidak
seseorang
bisa
dituduh
menggulingkan pemerintahan atau subversif. Pengalaman SUBURI. Jajak pendapat mengenai politik adalah barang baru di Indonesia. Usaha untuk mengetahui poendapat umum yang berkembang akan selalu dihalang-halangi. Titik balik dari kemunduran jajak pendapat politik adalah peristiwa survei PT SUBURI di tahun 1972. 4Lembaga survei ini didirikan tahun 1967. Sejarahnya, saat itu Sjarif Thajib, Duta Besar Indonesia di Amerika, menyatakan perlunya lembaga riset di Indonesia. Thajib tampaknya terpesona dengan suburnya lembaga penjaringan opini publik ini di Amerika. Kesempatan itu datang ketika Asia Research Organization yang berpusat di Manila menawarkan diri masuk dan menjalankan bisnis riset di Indonesia. Masuknya SUBURI ke Indonesia juga dibantu oleh Panitia Penanaman Modal Asing ( saat itu diketuai oleh Prof Sadli dari Universitas Indonesia ) yang merasa di Indonesia perlu adanya biro riset. Meski baru berdiri, SUBURI mendapat banyak proyek penelitian terutama dari lembaga dan departemen pemerintah serta kedutaan asing. 5SUBURI misalnya mendapat kontrak penelitian dengan pemerintah
4
Tinjauan menarik mengenai kasus survei SUBURI dan survei lain sepanjang Orde Baru, lihat Daniel Dhakidae,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993 5 Mengenai sejarah PT SUBURI, lihat Tempo 17 Juni 1972
7
Jakarta tentang perbaikan kampung dan departemen penerangan mengenai TVRI. Lembaga riset ini juga pernah membuat penelitian mengenai pendidikan dan keluarga berencana dari pemerintah. Dinas Penerangan AS
(USIS) telahd ua kali
memakai jasa PT SUBURI. Yang pertama soal pendapat pendengar radio Suara Amerika dan kedua soal bacaan berbahasa Inggris yang dikeluarkan oleh USIS.
6
Lembaga ini mati untuk selamanya, setelah membuat survei mengenai politik di tahun 1972. Survei politik sebenarnya bukan hal baru bari SUBURI. Sebelumnya, di tahun 1969 lembaga ini pernah membuat Pre Election Survey (PES) dengan dana dari BAKIN. Survei tahun 1972 yang menghebohkan itu ingin mengukur pendapat masyarakat mengenai persoalan ekonomi dan sosial. Survei dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta. Ada 53 buah pertanyaan yang diajukan, tetapi yang akhirnya menyulut kontroversi adalah pertanyaan nomor 38. Pertanyaan itu berbunyi: “ Sekarang kami mohon sudilah Bapak memberi penilaian pada beberap orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam menjalnkan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10. Dengan catatan 1 terendah dan 10 tertinggi”. Nama-nama itu adalah 1. Gubernur Jawa Bart Solihin, 2. Menteri Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono, 3. Presiden Soeharto, 4. Jenderal Nasuition, 5. Gubernur Jakarta Ali Sadikin, 6. Menteri Luar Negeri Adam
Malik,
7.
Direktur
Perdagangan
Soemitro.
Menurut
Utam Pertamina pengakuan
Ibnu
Sutowo,
pengelola
8. Menteri
SUBURI,
Soeharto
dicantumkan dalam urutan tiga karena dalam metodologi penelitian pertanyaan harus oibyektif dan tidak memberi sugesti kepada responden. Karena itu tokoh yang dianggap penting selalu ditempatkan pada tempat yang tidak mencolok.
7
Pertanyaan SUBURI itu tidak ada yang aneh dan tidak ada yang salah secara metodologi. Tetapi ketika dinilai secara politik, pertanyaan itu dicurigai macammacam. Survei itu pertamakali dipersoalkan ketika tenaga peneliti lapangan yang mewawancari
penduduk
di
Semarang.
Satuan
Tugas
Intelejen
Kodam
VII
menangkap tenaga pewawancara lapangan. Kodam VII di Semarang mencurigai kegiatan survei itu sebagai spionase.
8
Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud
6
Tempo, 1 Juli 1972 Tempo, 1 Juli 1972 8 Pejabat militer di Kodam VII mengatakan ada tiga macam bentuk kegiatan intelejen: intelejen perang, intelejen teknis dan intelejen strategis. Apa yang dilakukan oleh PT SUBURI oleh Kodam VII dikategorikan sebagai bentuk intelejen strategis. Kodam VII menuduh PT 7
8
menuduh SUBRI melakukan tindakan subversi yang bisa mengganggu ketertiban dan kemanan masyarakat.
9
Tidak begitu jelas, siapa yang membiayai
penelitian ini.
Majalah Tempo yang mewawancari sejumlah sumber menegarai partai Golkar yang menyewa PT SUBURI untuk melakukan penelitian tersebut. Karena riset ini, lembaga ini ditutup dan dicabut ijinnya. Direkturnya, John M. Digregorio diminta angkat kaki dari Indonesia.
10
Peristiwa survei SUBURI ini bukan hanya menutup perusahaan
riset tertua ini, tetapi juga menjadi sinyal matinya survei opini publik di Indonesia. Penelitian mengenai masalah sosial dan politik menjadi sulit untuk dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak menyentuh soal partai, Pemilu atau presiden kalau tidak ingin dicap melakukan kegiatan subversi. Ijin melakukan survei juga diperketat. Setelah kasus SUBURI, dan berlaku hingga masa Orde Baru, setiap penelitian harus seizin Gubernur dan Laksus Kopkamtibda. Sebelum ijin keluar, Laksus Kopkamtibda akan meneliti terlebih dahulu kegiatan penelitian dan instrumen yang dipakai.
11
Pasca jajak pendapat SUBURI, sangat sedikit survei atau jajak pendapat mengenai politik di Indonesia. Sebagaian besar penelitian itu dilakukan untuk keperluan studi di perguruan tinggi. Selain karena birokrasi penelitian, minimnya pengukuran opini publik mengenai politik ini diperparah oleh sikap pemerintah dan pejabat yang tidak senang kalau hasil kinerjanya dinilai. Apalagi kalau penelitian itu hasilnya buruk bagi pemerintah. Kegiatan penelitian karena itu tidak dianggap sebagai mengetahui kelemahan dan antisipasi
cermin untuk
langkah masa depan. Penelitian sebaliknya
acap dipandang menyebarluaskan keburukan kepada masyarakat.
Selain survei
mengenai Pemilu, survei soal korupsi atau kemiskinan misalnya bisa dengan mudah dituduh
oleh 12
masyarakat.
pejabat
pemerintah
menyebarluaskan
kebohongan
kepada
Karena berbagai kendala itu, tidak mengherankan jikalau riset yang
SUBURI menjual hasil survei kepada negara blok Barat atau blok Timur. Tujuannya adalah memata-matai Indonesia. Lihat Tempo, 17 Juni 1972 9 Tempo, 1 Juli 1972; Tempo, 24 Juni 1972 10 Tempo, 30 September 1972; Tempo, 14 Oktober 1972 11 Tempo, 8 Juli 1972 12 Peristiwa unik mengenai ini adalah penelitian mengenai peta kemiskinan yang dibuat oleh Bappenas tahun 1993. Peta itu mengkategorikan 1.236 kecamatan di Indonesia ( atau 34 persen) sebagai miskin atau sangat miskin. Peta itu dibuat dari data di tingkat desa. Ukuran yang dipakai ada tujuh indikator, yang salah satunya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data itu diambil dan dikalkulasikan Kantor Bangdes di kabupaten, terus dinaikkan ke tingkat provinsi. Peta itu menjadi ramai dan digugat bukan karena hasilnya, tetapi karenanya datanya dianggap memalukukan oleh sejumlah kepala daerah. Sejumlah gubernur dan bupati protes karena peta itu membuat malu daerah, dan merak ramai-ramai menolakj peta yang dibuat oleh Bappenas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana penelitian dengan indikator dan ukuran tertentu dinilai bukan dari kadar penelitiannya, tetapi dari aspek di luar penelitian itu
9
banyak berkembang semasa Orde Baru
adalah survei non politik, seperti survei
pemasaran yang tumbuh sejak tahun 1970-an. Alasan kedua kenapa jajak pendapat mengenai politik ( lebih spesifik Pemilu) lama absen dikarenakan sifat Pemilu di Indonesia sendiri. Sepanjang Orde Baru, Golkar muncul sebagai kekuatan mayoritas dengan suara di atas 70%. Karena itu, meramal siapa pemenang Pemilu menjadi kegiatan yang sia-sia karena hasil Pemilu memang sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilakukan. Pemilu masa Orde Baru juga ditandai dengan mobilisasi besar-besaran untuk mendukung dan memenangkan Golkar. Mobilisasi itu bisa formal (dengan mengerahkan dukungan birokrasi dan dana) juga informal. Pemilu masa Orde Baru itu sendiri tidaklah benar-benar merupakan Pemilu dalam arti sesungguhnya, karena memang sejak awal sudah didesain untuk memenangkan Golkar. Pemilu itu juga diwarnai banyak kecurangan dan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti. Melakukan jajak pendapat tentang pemilu sama sekali tidak berguna, karena hasil jajak pendapat pasti tidak bisa dibandingkan dengan hasil Pemilu. JAJAK PENDAPAT PEMILU PASCA ORDE BARU Kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu itu baru berkembang setelah Pemilu yang demokratis tahun 1999. Jajak pendapat mengenai Pemilu makin marak pada Pemilu 2004. Kalau soal Pemilu relatif baru, kegiatan jajak pendapat untuk tema lain sebenarnya sudah marak sejak tahun 1990-an. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak tahun 1992 aktif melakukan jajak pendapat
dengan berbagai tema. Sejumlah peneliti LP3ES mempelajari metode
jajak pendapat ini di beberapa lembaga jajak pendapat di Amerika dan Filipina. Topik yang diangkat LP3ES pada tahap awal belum menyentuh politik, tetapi soal sosial seperti
kebebasan
pers,
komitmen
nasional
dan
sebagainya.
LP3ES
juga
bekerjasama dengan beberapa media ( seperti majalah Tajuk ) membuat jajak pendapat secara rutin dari berbagai isu aktual yang berkembang saat itu. Selain LP3ES, Litbang Kompas juga lembaga yang bisa dicatat aktif melakukan jajak pendapat sejak tahun 1990-an. Litbang Kompas mengangkat berbagai jajak pendapat lewat telepon mengenai isu-isu kebijakan publik.
sendiri---seperti menghina atau memalukan daerah. Lihat mengenai kasus peta kemiskinan ini dalam Tempo, 8 Mei 1993; Tempo, 15 Mei 1993.
10
LP3ES membuat jajak pendapat mengenai Pemilu sejak tahun 1997. Hasil jajak pendapat itu memperoleh angka presisi yang baik. Dua tahun kemudian, LP3ES membuat jajak pendapat dengan populasi wilayah Jawa.13 Di tahun 1999 ini, selain LP3ES tercatat ada 3 lembaga jajak pendapat lain yang menyelenggarakan survei mengenai Pemilu, yakni RPC (Resource Productivity Center), IFES (International Foundation for Election Systems), Litbang
Kompas dan Komite Pemberdayaan
Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI. RPC adalah lembaga yang bergerak dalam bidang survei dan penelitian. Selain soal politik, RPC melakukan sejumlah jajak pendapat lain dengan beragam tema. RPC juga menyelenggarakan riset pemasaran dan survei khalayak di sejumlah media. IFES adalah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang mengkhususkan diri pada reformasi sistem Pemilu di banyak negara. Jajak pendapat adalah salah satu lini kegiatan IFES selain kegiatan lain seperti diskusi rancangan undang-undang Pemilu, pendidikan pemilih dan sebagainya. Pada Pemilu 2004, lebih banyak lagi lembaga yang membuat jajak pendapat mengenai Pemilu. Selama satu tahun (April 2003-Maret 2004) paling tidak ada 7 lembaga yang membuat jajak pendapat soal Pemilu. Selain LP3ES dan IFES, ada 5 lembaga baru yang membuat jajak pendapat
yakni Badan Penelitian dan
Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research Institute), IRI (International Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Balitbang PDIP adalah organ resmi dari PDIP yang bertanggungjawab dalam melakukan kajian dan masukan kepada Dewan Pimpinan Pusat PDIP. IRI adalah lembaga nirlaba yang menginduk pada partai Republik Amerika. Sama seperti IFES, kegiatan survei adalah salah satu dari sejumlah kegiatan IRI selain pendidikan politik, pemberdayaan pemilih. Sementara DRI adalah badan di bawah Danareksa. Survei ini adalah bagian dari survei lain yang dilakukan oleh DRI mengenai ekonomi.
Meski sejak lama
menjalankan riset, survei mengenai politik baru dilakukan oleh DRI menjelang Pemilu 2004. Lembaga baru lain adalah Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS). Lembaga ini didirikan tahun 1998 dan sejak 1999 melakukan jajak pendapat atas sejumlah isu diantaranya soal etnis Tionghoa, Soeharto dan sebagainya. SSS pada awalnya banyak bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Politik UI dalam menyelenggarakan jajak 13
pendapat.
Pada
Pemilu
2004,
SSS
melakukan
seri
jajak
pendapat
Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004.
11
untukmengukur sentimen publk. Total ada 8 jajak pendapat yang dilakukaan SSS dari Mei 2002 hingga April 2004.14 Lembaga jajak pendapat lain yang baru adalah LSI (Lembaga Survey Indonesia). LSI adalah lembaga yang mengkhususkan diri pada survei opini publik di Indonesia. Lembaga ini baru didirikan pada pertengahan tahun 2003, dan mulai melakukan survei nasional sejak Agustus 2003. Secara rutin, LSI melakukan survei tiap tiga bulan sekali untuk merekam sentimen publik. URGENSI RAMALAN PEMILU Soal maramal hasil Pemilu adalah sesuatu yang krusial bagi lembaga jajak pendapat. Kenapa? Kita bisa tengok pendapat tokoh jajak pendapat, George Gallup. Menurut Gallup, jajak pendapat adalah upaya untuk mengetahui opini publik tetapi tidak dilakukan dengan menanyakan kepada semua orang ( seperti halnya Pemilu atau referendum). Opini publik itu diketahui lewat sejumlah orang yang dikenal sebagai sampel. Teknik ilmiah dan metode statistik yang modern menurut Gallup bisa menjamin bahwa sampel yang diambil representasi dengan suara semua anggota masyarakat. Lembaga jajak pendapat tidak perlu bertanya kepada semua anggota masyarakat, cukup mengambil sampel ( dengan dasar dan metode ilmiah), dan hasilnya bisa mencerminkan suara seluruh masyarakat.
Dengan sampel, menurut
Gallup, jajak pendapat bisa dilakukan tiap hari dengan biaya yang murah. Kita bisa tahu suara publik dari hari ke hari. Pemerintah bisa mendapatkan informasi apa saja masalah yang dikeluhkan oleh publik dengan data yang lebih akurat.15 Logika pemakaian sampel itu justru letak pangkal soalnya. Bagaimana kita yakin bahwa sampel mewakili populasi? Bagaimana kita bisa yakin bahwa pendapat dari 2.000 orang responden sama dengan pendapat 147 juta pemilih Indonesia? Pemilu adalah satu-satunya jalan bagi lembaga jajak pendapat untuk menguji akurasi dari suatu sampel. Lewat Pemilu, lembaga jajak pendapat bisa membuktikan, bahwa dengan metode penarikan sampel yang benar dan ketat, suara dari 2.000 orang sama dengan suar 147 juta pemilih. Jika Pemilu adalah populasi (masyarakat yang telah aktual menggunakan hak pilihnya), maka jajak pendapat adalah sampel (orang yang dipilih sebagai sampel). Kalau prinsip acak (random) bekerja, kalau teknik
14
Wawancara Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated, 4 Mei 2004. Lebih lanjur lihat George Gallup, “ Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed), Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California,Wadsworth & Brooks Inc,1985. 15
12
penarikan sampel dilakukan secara ketat, seharusnya hasil sampel secara statistik tidak berbeda jauh dengan populasi. PEMILU POPULASI
JAJAK PENDAPAT SAMPEL
147 pemilih
1000-5000 responden
Di negara Barat, seperti Amerika, jajak pendapat Pemilu dipakai untuk membuktikan kepada
publik
bahwa
teknik
penarikan
sampel
yang
mereka
pakai
bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buktinya, hasil survei mereka sama persis dengan hasil Pemilu aktual. Di Indonesia, sampai saat ini masih banyak suara sumbang mengenai akurasi lembaga jajak pendapat. Pemilu adalah kesempatan bagi lembaga jajak pendapat untuk belajar sekaligus membuktikan kepada publik Indonesia bahwa apa yang telah mereka kerjakan bisa dipertanggungjawabkan. Caranya sederhana, bandingkan antar hasil jajak pendapat dengan hasil Pemilu. Kalau hasilnya sama, maka metode yang yang dipakai oleh lembaga jajak pendapat tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Meski sederhana, cara itu mengandung resiko yang berat. Lembaga yang gagal memprediksi pemenang Pemilu, bisa kehilangan kredibilitasnya. Di Amerika bahkan kesalahan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat sering berujung pada penghentian kegiatan jajak pendapat oleh lembaga. Pertanyaan kemudian adalah, ukuran apa yang dipakai untuk menilai jajak pendapat berhasil dan gagal? Kriteria apa yang bisa dipakai untuk memvonis apakah lembaga jajak pendapat benar atau salah? Menurut Daniel Dhakidae, ada dua kriteria yang bisa dipakai untuk menilai kualitas dari lembaga jajak pendapat yang memprediksi hasil Pemilu.
16
Pertama, akurasi, yakni sejauh mana lembaga jajak pendapat secara
benar memprediksi partai pemenang Pemilu dan komposisi peringkat pemenang Pemilu. Akurasi berkaitan dengan benar tidaknya ramalan lembaga jajak pendapat (correctness).
Jika
lembaga
jajak
pendapat
memprediksi
partai
A
yang
memenangkan Pemilu, maka ramalan itu baru bisa dianggap presisi jika hasil Pemilu memang memposisikan partai A sebagai pemenang. Akurasi
yang lebih baik jika
lembaga jajak pendapat bukan hanya bisa memprediksi partai A sebagai pemenang 16
Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Agustus 1999.
Kompas,14
13
tetapi juga bisa memprediksi urutan pemenang, dari partai A sampai E misalnya masing-masing dengan urutan 1 sampai sekian. Kedua, presisi. Jika akurasi berkaitan dengan correctness, maka presisi berkaitan dengan ketepatan (exactness). Lembaga jajak pendapat dituntut bukan hanya tepat dalam memprediksi pemenang Pemilu, tetapi juga memprediksi perolehan suara masing-masing partai. Makin dekat ramalan perolehan partai dengan hasil perolehan partai yang sebenarnya di Pemilu, maka makin bagus pula kinerja dari lembaga jajak pendapat.
AKURASI
PRESISI
Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa dengan tepat memprediksi pemenang Pemilu dan struktur (posisi) peringkat partai pemenang Pemilu
Sejauh mana lembaga jajak pendapat bisa memprediksi perolehan suara masing-masing partai
14
II. PENGALAMAN GALLUP POLL DAN SOCIAL WEATHER STATIONS Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak percaya dengan jajak pendapat. Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah suara dari sampel yang hanya 2.000 orang bisa menggambarkan suara pemilih di Indonesia yang mencapai 147 juta orang? Apakah mungkin suara pemilih sebanyak itu bisa tergambar lewat sampel yang hanya berjumlah ribuan saja. Kegiatan jajak pendapat lalu dipandang sebagai usaha sia-sia, kalau tidak sebagai usaha buang-buang waktu. Jajak pendapat di Indonesia belum dianggap sebagai alat ukur yang terpercaya untuk mengetahui pendapat umum. Celakanya, ketidakpercayaan pada jajak pendapat ini bukan hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga akademisi atau politisi. Banyak diantara mereka yang pernah mengecap pendidikan di luar negeri. Debat mengenai jajakpendapat di Indonesia, acapkali bahkan diwarnai dengan perdebatan yang tidak bermutu seperti siapa orang di belakang lembaga jajak pnedapat atau agenda apa yang dibawa oleh lembaga jajak pendapat. Jika di Indonesia orang masih berdebat apakah jajak pendapat bisa dipercaya atau tidak, atau apakah sampel menggambarkan populasi atau tidak, di negeri Barat perdebatan ini sudah usai sebelum perang Dunia II. Tidak pernah terdengar pernyataan politisi atau akademisi yang meragukan atau tidak mempercayai jajak pendapat. Bahkan karena percaya bahwa jajakpendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum, di Amerika jajakpendapat dianggap sebagai pilar kelima demokrasi----setelah yudikatif, eksekutif, legislatif, dan pers. Kepercayaan pada jajak pendapat ini memang tidak timbul satu malam. Kunci kepercayaan itu adalah lembaga jajak pendapat sendiri yang berhasil membuktikan diri bahwa metode dan alat yang mereka pakai akurat dan tepat. Di Indonesia masih banyak orang mempertanyakan kebenaran jajakpendapat, mungkin karena belum banyak bukti keberhasilan jajak pendapat dalam menggambarkan opini yang berkembang di masyarakat. GALLUP POLL Gallup Poll acapkali dijadikan sebagai ukuran lembaga jajak pendapat yang berhasil. Lembaga ini bukan hanya bisa akurat memprediksi presiden terpilih tetapi juga
15
secara presisi memproyeksikan perolehan suara presiden. Dari tahun 1936 hingga 2000, rata-rata selisih prediksi Gallup hanya berada pada kisaran angka 1.5 %. 17
Artinya, jika Gallup memprediksikan kandidat A mendapat 40% suara, angka
sebenarnya ( hasil Pemilu) tidak lebih besar atau lebih kecil dari angka itu. Pada tahun-tahun tertentu (seperti tahun 1972), selisih antara angka prediksi dan hasil aktual hanya 0.2%.
18
Keberhasilan ini tidak terjadi pada satu malam. Setelah
melewati proses jatuh bangun, Gallup Poll bisa membangun suatu sistem yang terpercaya dan bisa mengukur dengan valid opini publik yang berkembang di Amerika. Gallup Poll berdiri tahun 1930-an. dikenal. Lembaga jajak pendapat
19
Saat itu lembaga ini terbilang kecil bahkan tidak yang dikenal saat itu adalah majalah Literary
Digest. Majalah ini hanyakah salah satu dari sekian puluh media yang menjamur dengan kegiatan jajak pendapat. Media yang melakukan jajak pendapat bisa terangkat gengsinya, apalagi kalau berhasil meramal dengan benar siapa presiden Amerika. Tetapi prinsip statistik modern dengan pemakaian sampel probabilitas belum dikenal luas saat itu. Lembaga jajak pendapat di tahun-tahun itu berpikir linear, semakin banyak orang yang diwawancarai maka semakin baik. Lembaga jajak pendapat lalu berlomba membuat jajak pendapat dengan jumlah sampel puluhan juta orang. Gengsi lembaga jajak pendapat bahkan diukur dari berapa banyak orang yang berhasil diwawancarai atau memasukkan jawabannya. Karena banyaknya suara yang masuk itu, jajak pendapat ini sering dikenal sebagai pemilihan tidak resmi (straw vote). Majalah Literary Digest sendiri adalah lembaga yang paling menonjol era ini karena dikenal mampu menghimpun suara puluhan juta. Lembaga ini memulai jajak pendapat dari tahun 1916. Pada tahun 1920, Literary Digest memakai 11 juta suara.
17
Lihat Herbert F Weisberg, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996, hal. 151 18 Memang Gallup Poll pernah membuat kesalahan prediksi, tetapi kesalahan itu masih bisa dimaafkan. Yang paling terkenal adalah pemilihan tahun 2000 lalu. Gallup memprediksi Gore yang menang, padahal yang menang adalah George W. Bush. Tetapi kesalahan ini dimaafkan karena basis jajak pendapat Gallup adalah popular vote, bulan electoral vote. Dan memang kalau dilihat perolehan suara nasional (popular vote), Gore mendapat suara lebih besar dari Bush. 19 Profil dan sejarah Gallup ( dan sejumlah organisasi jajak pendapat besar di Amerika) lihat David W.Moore, The Superpollster:How They Measure and Manipulate Public Opinion in America, Second Edition,New York,Four Walls Eight Windows,1995.
16
Angka ini bertambah di tahun 1920 dengan 16.5 juta suara. Sampai tahun 1932, Literary Digest selalu akurat memprediksi siapa pemenang Pemilu di Amerika. Ramalan yang benar ini bukan hanya membuat citra Literary Digest makin bagus tetapi juga mendorong Digest untuk menambah jumlah suara yang ikut menjawab presiden pilihan. Tetapi sebuah musibah menimpa Literary Digest pada tahun 1936.20 Digest salah memprediksi kemenangan presiden yang membuat majalah ini menghentikan kegiatan jajak pendapat untuk selamanya. Saat itu ada dua calon yakni Alfred M.Landon ( Republik) dan Franklin D.Roosevelt (Demokrat). Literary Digest
memprediksi
Alfred
M.Landon
yang
memenangkan
Pemilu.
Pemilu
sesungguhnya justru Roosevelt yang menang. Kenapa Digest bisa mengalami kesalahan prediksi padahal sampel yang dipakai mencapai 10 juta orang? Kesalahan utama Literary Digest adalah pada teknik pengambilan sampel. Sampel Digest diambil dari buku telepon dan pendaftaran mobil---semacam STNK.Tahun 1936 di Amerika ditandai dengan masa malaise, dengan pengangguran yang tinggi.Lebih banyak
orang
berkecukupan.
yang
yang
Mereka
ini
tidak
makmur
diabaikan
dibandingkan
dalam
jajak
dengan
pendapat
warga
Literary
yang
Digest.
Akibatnya, suara publik yang miskin yang lebih condong memilih Roosevelt tidak bisa diprediksikan oleh Digest. Kesalahan Digest ini membawa efek sampingan. Ahli jajak pendapat mulai memikirkan teknik statistik yang bisa dipakai untuk meramalkan suara pemilih. Kegagalan Digest itu juga membuat publik Amerika mulai terbiasa dengan satu nama, Gallup Poll. Lembaga dengan pendiri George Gallup ini, sama sekali tenggelam di bawah kebesaran nama Digest
salah
memprediksi,
Gallup
Literary Digest. justru
berhasil
Di tahun 1936 itu, ketika memprediksi
kemenangan
Roosevelt. Yang dilakukan Gallup saat itu adalah membuat sampel yang menjamin tercapainya reporesentasi dengan memperhitungkna terlebih dahulu proporsi untuk partai Demokrat dan Republik. Keberhasilan Gallup ini membuat publik Amerika mulai menoleh kepada lembaga-lembaga baru. Selain Gallup, nama lain yang muncul saat itu adalah Ropper dan Crosley. Pemilihan presiden Amerika tahun 1940 dan 1944 juga berhasil diprediksikan oleh Gallup dan lembaga jajak pendapat baru ini.
20
Analisis lebih terperinci mengenai peristiswa tahun 1936 ini lihat Mervin D.Field,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983, hal.198-208.
17
Tabel : Ramalan Gallup dan Hasil Pemilu Aktual di AS 1972-2000 TAHUN 2000
1996
1992
1988 1984 1980
1976
1972 1968
1964 1960
Hasil Aktual Survei Selisih Gallup Pemilu Bush 48 47.9 0.1 Gore 46 48.4 -2.4 Nader 4 2.7 1.3 Clinton 52 50.1 1.9 Dole 41 41.4 -0.4 Perot 7 8.5 -1.5 Clinton 49 43.3 5.7 Bush 37 37.7 -0.7 Perot 14 19 -5 Bush 56 53 2.1 Dukakis 44 46.1 -2.1 Reagan 59 59.2 -0.2 Mondale 41 40.8 0.2 Reagan 47 50.8 -3.8 Carter 44 41 3 Anderson 8 6.6 1.4 Other 1 1.6 -0.6 Carter 48 50.1 -2.1 Ford 49 48.1 0.9 McCarthy 2 0.9 1.1 Other 1 0.9 0.1 Nixon 62 61.8 0.2 McGovern 38 38.2 -0.2 Nixon 43 43.5 -0.5 Humphrey 42 42.9 -0.9 Wallace 15 13.6 1.4 Johnson 64 61.3 2.7 Goldwater 36 38.7 -2.7 Kennedy 51 50.1 0.9 Nixon 49 49.9 -0.9 Rata-rata kesalahan Gallup Poll 1960-2000 = 1.5 Kandidat
Rata-Rata Kesalahan 1.3
1.3
3.8
2.1 0.2 2.2
1.1
0.2 0.9
2.7 0.9
Tetapi lembaga jajak pendapat ini mengalami ujian berat, ketika tahun 1948 kembali mengalami kegagalan seperti halnya yang terjadi di tahun 1936. Saat itu dua kandidat yang bertarung memperebutkan kursi presiden adalah Harry S. Truman (Demokrat) dan Thomas E. Dewey (Republik). Semua lembaga jajak pendapat (Gallup,
Ropper
dan
Crosley)
memprediksi
Thomas
E.
Dewey
yang
akan
memenangkan pemilihan. Kenyataannya, Truman menang atas Dewey dengan selisih suara 5 persen. Kesalahan itu sangat memalukan karena suratkabar yang terbit di hari pemilihan memuat analisis dan prediksi lembaga jajak pendapat yang menempatkan Dewey sebagai pemenang. Lembaga jajak pendapat mengalami krisis
18
kedua setelah tahun 1936. Kepercayaan publik makin turun terhadap jajak pendapat. Untungnya, kejadian tahun 1948 itu tidak diikuti dengan pembubaran secara massal lembaga jajak pendapat seperti terjadi di tahun 1936. Lembaga jajak pendapat seperti Gallup mulai menerapkan prionsip probabilitas dalam pengambilan sampel. Dengan prinsip probabilitas ini, sampel yang diambil lebih terjamin derajat representasinya. Lewat pengambilan sampel yang ketat, lembaga jajak pendapat tidak perlu mewawancarai puluhan atau ratusan ribu orang. Cukup dengan sampel sebanyak 2.000 hingga 5.000 orang asal diambil secara acak (random) dan dengan prinsip pengambilan sampel benar, hasilnya bisa menggambarkan suara pemilih. Sejak 1948 itu, kesalahan prediksi lembaga jajak pendapat menjadi lebih kecil. Lembaga jajak pendapat bukan hanya berhasil memprediksikan siapa yang akan memenangkan Pemilu tetapi juga memprediksi dengan tepat berapa perolehan suara masing-masing kandidat. Sehingga muncul adagium, presiden di Amerika sudah diketahui sebelum rakyat Amerika datangke biliksuara dan menentukanpresiden pilihan mereka. SOCIAL WEATHER STATIONS Tidak benar kalau dikatakan jajak pendapat ini hanya cocok di negara maju. Jajak pendapat asal dilakukan dengan hati-hati bisa memprediksi hasil Pemilu seperti halnya di Amerika. Kita bisa mengacu kepada jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Social Weather Stations (SWS) di Filipina. Perlu dicatat, kegiatan jajak pendapat dan prediksi pemenang Pemilu mempunyai tradisi yang panjang di Filipina. Sejak tahun 1946, kegiatan ramal meramal siapa pemenang Pemilu lewat jajak pendapat ini sudah dikenal oleh publik Filipina. Tetapi baiknya, Ferdinand Marcos di tahun 1972 membuat kegiatan jajakpendapat ini praktis terhenti. Filipina mengalami era baru sistem otoriterisme dimana segala hal yang berbau politik dan berurusan dengan negara dilarang. Tumbangnya Marcos di tahun 1983, membuat kegiatan jajak pendapat yang pernah tenggelam kembali muncul ke permukaan. Social Weather Stations lahir pada era ini. Lembaga ini berdiri tahun 1985 sebagai organisasi non profit dan non partisan. Kegiatan utamanya adalah membuat survei dengan metode statistik modern isu-isu nasional termasuk Pemilu. SWS membuat laporean secara berkala indikator kepercayaan
19
publik atas kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sejak tahun 1992, lembaga ini membuat jajak pendapat pemilihan presiden, dan secara tepat memprediksi pemenang Pemilu.
21
Pemilihan presiden di Filipina sendiri mempunyai sistem yang unik. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung tiap enam tahun sekali. Berbeda dengan di Indonesia dimana presiden dan wakil presiden merupakan pasangan satu paket, di Filipina presien dan wakil presiden dipilih secara terpisah. Bisa terjadi kemungkinan, presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang berbeda. Selain Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, Pemilu juga dilakukan untuk memilih 24 anggota senat (senator).
Berbeda dengan di Indonesia atau Amerika dimana
senator berasal dari daerah pemilihan tertentu, di Filipina tidak dikenal daerah pemilihan atau senator dari negara bagian tertentu. Calon anggota senat bersaing secara nasional memperebutkan 24 kursi. Karena itu jajak pendapat untuk meramalkan siapa anggota senat yang lolos relatif sulit. Meski demikian, SWS terbukti berhasil meramal dengan tepat pemenang Pemilu di Filipina semenjak tahun 1992. Di tahun 1992 lembaga ini juga bisa memprediksi Fidel Ramos sebagai presiden dan tahun 1998 dengan presiden Joseph Estrada. Pemilihan anggota senat di tahun 1987, 1992, 1995, 1998 dan 2001 juga telah dapat diprediksi oleh SWS satu minggu sebelum hari pemungutan suara.
22
Dalam setiap surveinya, SWS memakai sampel sebesar 1.000 responden. Jumlah sampel sebesar ini cukup untuk memprediksi suara pemilih Filipina yang berjumlah sekitar 23 juta suara. Medan yang dihadapi oleh SWS hampir mirip dengan di Indonesia, dimana lembaga jajak pendapat dihadapkan pada populasi yang heterogen dengan suku bangsa yang beraneka, dan jenjang sosial pendidikan yang berlainan pula. Prediksi SWS bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Rata-rata kesalahan prediksi SWS hanya berkisar pada angka 2.5%. Kebenaran prediksi SWS
21
Mengenai SWS dan sejarah jajak pendapat di Filipina, lihat tulisan Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. 22 Tinjauan umum mengenai survei SWS dan Pemilu di Filipina lihat Mahar Mangahas, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
20
ini turut membuat bukan hanya pamor SWS naik tetapi juga kepercayaan publik terhadap jajak pendapat.
23
Tabel:Prediksi SWS dan Hasil Aktual Pemilu di Filipina Tahun 1992-1998
PRESIDEN 1992 Ramos Santiago Cojuanco Mitra Marcos Salonga Laurel Kesalahan Absolut WAKIL PRESIDEN 1992 Estrada Fernan Osmena R. Magsaysay Pimentel V. Magsaysay Kalaw Kesalahan Absolut PRESIDEN 1998 Estrada De Venecia Roco Osmena Lim De Villa Santiago Kesalahan Absolut
Hasil Survei (26 Aktual Pemilu April-4 Mei) % Rank % Rank 26.8 1 23.6 1 25 2 19.7 2 16.2 3 18.2 3 14.1 4 14.6 4 6.5 5 10.3 5 8 6 10.2 6 3.3 7 3.4 7 Rata-Rata Survei SWS= 2.4 Hasil Survei (26 Aktual Pemilu April-4 Mei) % Rank % Rank 30.6 1 33 1 21.3 2 21.7 2 18.9 3 16.5 3 15.1 4 14.2 4 9 5 9.9 5 3.1 6 3.4 6 2 7 1.3 7 Rata-Rata Survei SWS= 1.2 Hasil Survei (2-4 Aktual Pemilu Mei) % Rank % Rank 33 1 39.9 1 15 2 15.9 2 11 3 13.8 3 11 4 12.4 4 10 5 8.7 5 6 6 4.9 6 2 8 3 7 Rata-Rata Survei SWS= 2.2
Selisih % 3.3 5.3 -2 -0.6 -3.7 -2.3 -0.1 Selisih % -2.4 -0.4 2.5 0.9 -0.9 -0.3 0.7 Selisih % -6.9 -0.9 -2.8 -1.4 1.3 1.1 -1
23
Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh SWS membuktikan kepercayaan publik Filipina atas jajak pendapat. Lima dari enam warga Filipina percaya bahwa prediksi pemenang Pemilu yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat selalu benar.Lebih dari itu publik di Filipina juga percaya bahwa sampel 1.000orang yang diambil secara tepat dapat merefleksikan seluruh populasi.Lihat Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.
21
Hasil Survei (2-4 Aktual Pemilu Mei) % Rank % Rank Arroyo 42 1 49.6 1 Angara 18 2 22.1 2 Orbos 10 4 13 3 Osmena 11 3 9.2 4 Tatad 2 5 2.9 5 Sueno 2 6 2.1 6 Santiago 2 7 0.9 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.6 WAKIL PRESIDEN 1998
Selisih % -7.6 -4.1 -3 1.8 -0.9 -0.1 1.1
22
III. JAJAK PENDAPAT DAN RAMALAN PEMILU 1999 Pemilu 1999 adalah tantangan pertama bagi lembaga jajak pendapat di Indonesia. Inilah untuk pertama kalinya, sejak tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum secara terbuka dan demokratis. Jika disebut tantangan, paling tidak karena dua alasan berikut. Pertama, pada Pemilu tahun 1999 itu sebanyak 48 partai politik bersaing secara terbuka memperebutkan pemilih. Dengan jumlah partai sebanyak itu, peta politik
menjadi
sangat
terfragmentasi
(tersebar).
Lembaga
jajak
pendapat
dihadapkan pada pilihan untuk meramal partai pemenang Pemilu dari partai sebanyak itu. Ini ditambah dengan tidak adanya peta awal kekuatan politik yang ada. Hasil Pemilu sebelum 1999 sama sekali tidak bisa dijadikan dasar dan patokan untuk meramal hasil Pemilu. Kedua, lembaga jajak pendapat bukan hanya dihadapkan pada kelangkaan peta partai politik, tetapi juga kelangkaan dalam standar survei di Indonesia. Seperti telah disinggung di muka, kegiatan jajak pendapat selama Orde Baru terutama mengenai Pemilu bisa dikatakan mati. Lembaga jajak pendapat tidak punya data pembanding bagaimana melakukan jajak pendapat di wilayah yang sedemikian luas sedemikian terbagi dalam struktur sosiologis yang berbeda pula. Fakta menunjukkan, lembaga jajak pendapat di Indonesia bisa melewati dua hambatan tersebut. Meskipun kegiatan jajak pendapat relatif baru, hasil dari lembaga jajak pendapat itu sangat menggembirakan dan mengangumkan. Lembaga jajak pendapat berhasil memprediksi dengan benar pemenang Pemilu tahun 1999. Saat Pemilu tahun 1999 itu, paling tidak ada lima lembaga yang mengadakan jajak pendapat mengenai Pemilu---masing-masing RPC (Resource Productivity Center), IFES (International Foundation for Election Systems), LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Litbang
Kompas dan Komite
Pemberdayaan Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI. RPC melakukan survei bulan Desember 1998-Januari 1999. Lembaga ini melakukan kerjasama dengan harian The Jakarta Post dan mempublikasikan hasil survei di suratkabar
berbahasa
Inggris
tersebut.
Survei
RPC
tidak
secara
langsung
menanyakan pilihan partai. Survei itu lebih dimaksudkan untuk mengetahui pandangan publik mengenai berbagai hal mengenai Pemilu dan isu penting lain
23
seperti dwi fungsi ABRI. Hasil survei RPC itu dimuat (secara ekskusif) di harian The Jakarta Post edisi 23 Januari 1999. IFES melakukan survei bulan Desember 1998Februari 1999. Survei yang dilakukan oleh IFES juga tidak secara spesifik sebenarnya ingin mengetahui perolehan suara masing-masing partai. Survei itu ingin menggali pandangan publik mengenai situasi nasional saat ini, arti dan pengetahuan publik mengenai Pemilu serta penilaian atas kinerja lembaga negara dan lembaga penyelenggara Pemilu. Di luar itu, IFES menanyakan pengetahuan mengenai partai peserta Pemilu dan penilaian atas partai. Jika RPC dan IFES tidak secara spesifik menanyakan partai pilihan, sebaliknya Litbang Kompas, LP3ES dan KPP-Lab Politik UI melakukan survei untuk mengetahui popularitas dan kekuatan partai. Survei Litbang Kompas dilakukan pada 17-27 April. Hasil survei itu dimuat di harian
Kompas tanggal 12 Mei 1999. Survei ini adalah
bagian dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas menjelang Pemilu 1999. Sejak pertengahan 1998, Litbang
Kompas melakukan jajak pendapat lewat
telepon mengenai berbagai hal soal Pemilu seperti persiapan Pemilu, pengetahuan mengenai Pemilu, isu penundaan Pemilu dan sebagainya. Khusus mengenai prediksi Pemilu ini, Litbang
Kompas tidak melakukan lewat telepon tetapi melakukan
wawancara secara langsung ( face to face) di lima kota. LP3ES juga melakukan survei untuk memprediksi kekuatan partai politik menjalang Pemilu 1999. Hasil survei LP3ES itu dimuat hampir semua suratkabar nasional di bulan Mei 1999. KPPLab Politik UI juga secara spesifik membuat jajak pendapat mengenai partai dan calon presiden populer tahun 1999. Hasil jajak pendapat KPP-Lab Politik UI ini dimuat di sejumlah media bulan April 1999. Lembaga RPC IFES
Periode Pengambilan Data Desember-Januari Desember 1998-Februari 1999
LP3ES Litbang Kompas KPP-Lab Politik UI
Mei 1999 17-27 April 1999 April 1999
Publikasi Jakarta Post edisi 23 Januari 1999 Pres release dan upload di internet Maret 1999 ( www.ifes.og) Pres release Mei 1999 Kompas, 12 Mei 1999 Pres release April 1999 dan berita media bulan April 1999
Penilaian atas prediksi lembaga jajak pendapat ini didasarkan pada prediksi atas 7 partai politik dengan suara terbesar ( PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN dan PK). Sementara prediksi atas 35 partai lain tidak diikutsertakan. Hal ini karena keterbatasan data publikasi hasil jajak pendapat. Semua lembaga jajak pendapat
24
(RPC, IFES, LP3ES, Litbang Kompas dan KPP-Lab Politik UI) tidak ada satu pun yang melakukan prediksi perolehan suara dari 48 partai. Publikasi umumnya hanya 5 atau 7 partai dengan suara terbesar. Partai lain hanya dilaporkan dengan kategori partai lainnya. Demi alasan keseragaman, supaya data bisa diperbandingkan, analisis hanya dibatasi pada prediksi lembaga jajak pendapat atas 7 partai saja. PREDIKSI LEMBAGA JAJAK PENDAPAT Lima lembaga jajak pendapat tersebut berani membuat survei dengan berbagai keterbatasannya. Bagaimana hasil jajak pendapat itu harus dinilai? Daniel Dhakidae, ketua Litbang pendapat ini.
Kompas membuat ulasan yang bagus dan lengkap lembaga jajak 24
Bab ini hanya melengkapi tulisan Daniel Dhakidae tersebut dan
mengulas apa yang belum dipaparkan oleh Daniel Dhakidae dalam tulisannya tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menilai kualitas jajak pendapat adalah akurasi dan presisi. Di negara yang mempunyai tradisi panjang jajak pendapat (seperti Amerika atau Eropa), lembaga jajak pendapat bukan lagi berkutat pada akurasi tetapi presisi. Berbagai lembaga jajak pendapat umumnya bisa dengan tepat memprediksi siapa partai atau presiden yang akan memenangkan Pemilu. Gengsi antar lembaga jajak pendapat karenanya bukan diukur dari akurasi, tetapi seberapa kecil selisih antara prediksi perolehan suara partai atau kandidat presiden dengan perolehan aktual dalam Pemilu. Tetapi di negara dengan tradisi jajak pendapat yang pendek, seperti Indonesia, masalah akurasi ini masih tetap menghantui lembaga jajak pendapat. Tabel menyajikan data mengenai prediksi lembaga survei dan hasil aktual Pemilu 1999. Dari sudut presisi, kelima lembaga jajak pendapat itu telah benar memprediksi PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999. Di luar berbagai kesulitan, lembaga jajak pendapat berhasil membuktikan bahwa jajak pendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur opini publik. Selain berhasil memprediksi PDIP sebagai pemenang Pemilu, lembaga jajak pendapat ini juga secara keseluruhan menemukan adanya 5 partai besar dari 48 partai yang ikut dalam Pemilu---masing-masing PDIP, Golkar, PKB, PPP dan PAN. Tetapi jika dilihat lebih ke dalam dari aspek akurasi ini, sebagian besar lembaga jajak pendapat tidak berhasil meramalkan komposisi urutan
24
Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Agustus 1999.
Kompas,14
25
pemenang Pemilu. Dari lima lembaga jajak pendapat itu, hanya IFES yang berhasil dengan akurat memprediksi 7 partai dengan urutan masing-masing dari partai dengan perolehan suara besar ke kecil: PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN, PBB dan PK. Sementara lembaga jajak pendapat lain gagal secara tepat memprediksi komposisi pemenang ini. Survei RPC memprediksi PAN di urutan dua, disusul oleh PKB, Golkar, PBB dan PK. KPP-Lap Politik UI juga menemukan komposisi Pemanang Pemilu yang mirip dengan RPC, yakni PAN di urutan 2 partai dengan perolehan suara terbanyak. Kesamaan dari dua survei ini adalah suara PAN yang besar, sementara suara PKB dan Golkar lebih kecil. Sebaliknya, survei LP3ES menemukan suara PKB yang lebih besar dari Golkar. LP3ES secara akurat berhasil memotret perolehan suara PPP dan PAN yang lebih kecil dari PKB dan Golkar. Sementara survei Litbang Kompas, justru menemukan suara PPP yang besar, lebih besar dari Golkar dan PKB. Tetapi survei ini berhasil memprediksikan perolehan suara PBB dan PK yang tidak besar. Selain komposisi pemenang Pemilu, lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini juga kurang berhasil dalam memotret perolehan suara masing-masing partai. Tabel itu juga menyajikan skor kesalahan prediksi dari masing-masing lembaga jajak pendapat dari tabel terlihat, hanya IFES dan L3ES yang mempunyai skor kesalahan rata-rata prediksi di bawah 5 %. Skor kesalahan terbesar dicapai oleh KPP-Lab Politik UI dengan kesalahan prediksi sebesar 9.31%. Jika dibandingkan dengan Social Weather Stations di Filipina, maka kesalahan prediksi ini masing terbilang tinggi. Apalagi jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat seperti Gallup yang rata-rata kesalahan prediksi di bawah 2%. Hasil Aktual Pemilu RPC Survei % Rank % Rank PDIP 30.7 1 33.7 1 Golkar 16.7 4-5 22.4 2 PKB 19.2 3 12.6 3 PPP 16 4-5 10.7 4 PAN 22.6 2 7.1 5 PBB 7.6 1.9 6 6-7 PK 7.7 1.4 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei RPC = 6.87
IFES
Hasil Survei % Posisi
Aktual Pemilu %
Posisi
Selisih (Aktual PemiluHasil Survei) % 3 5.7 -6.6 -5.3 -15.5 -5.7 -6.3
Selisih %
26
PDIP 29 Golkar 23 PKB 20 PPP 17 PAN 16 PBB 3 PK 2 Kesalahan Absolut Rata-Rata
1 2 3 4-5
33.7 1 22.4 2 12.6 3 10.7 4 7.1 5 1.9 6 6-7 1.4 7 Survei IFES= 4.23
4.7 -0.6 -7.4 -6.3 -8.9 -1.1 -0.6
Selisih Aktual Pemilu Hasil Survei % % Posisi % Posisi PDIP 27.8 1 33.7 1 5.9 Golkar 23.6 3 22.4 2 -1.2 PKB 25 2 12.6 3 -12.4 PPP 8.3 10.7 4 2.4 4-5 PAN 8.3 7.1 5 -1.2 PBB 1.9 6 PK 1.4 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES = 4.62 Keterangan: Dalam publikasi di media, perolehan suara PBB dan PK digabung menjadi satu bersama dengan partai lain ( dengan label : partai lainnya). Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kesalahan absolut ratarata dihitung hanya dari 5 partai ( minus PBB dan PK). LP3ES
Selisih Aktual Pemilu Hasil Survei % % Posisi % Posisi PDIP 24.1 1 33.7 1 9.6 Golkar 14.3 3-4 22.4 2 8.1 PKB 4.6 5 12.6 3 8 PPP 16.7 2 10.7 4 -6 PAN 12.8 3-4 7.1 5 -5.7 PBB 1.9 6 PK 1.4 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Litbang Kompas = 7.48 Keterangan: Perolehan suara PBB dan PK digabung oleh Litbang Kompas bersama partai lain dengan lebel: partai lainnya. Jadi tidak diketahui secara persis perolehan suara untuk PBB dan PK. Kealahan absolut rata-rata karenanya dihitung hanya dari 5 partai (minus PBB dan PK). LITBANG KOMPAS
KPP-LAB POLITIK FISIP UI PDIP Golkar
Hasil Survei % Posisi 19.5 1 9.3 3
Aktual Pemilu % 33.7 22.4
Posisi 1 2
Selisih % 14.2 13.1
27
PKB 1.8 PPP 4 PAN 15.8 PBB 2 PK 3 Kesalahan Absolut Rata-Rata
5-7 4 2 5-7
12.6 3 10.8 10.7 4 6.7 7.1 5 -8.7 1.9 6 -0.1 1.4 7 -1.6 Survei KPP-Lab Politik UI = 9.31
Meski tidak secara presisi memprediksi perolehan suara partai, apa yang sudah dikerjakan oleh lembaga jajak pendapat tahun 1999, layak mendapat apresiasi. Salah satu alasannya, di tengah aneka macam kesulitan dan keterbatasan ( baik dana, uang maupun tenaga), lembaga jajak pendapat itutelah berhasil secara kurat memprediksi partai Pemenang Pemilu. Usaha yang tidak mudah karena lembaga jajak pendapat harus menemukan satu partai di tengah 48 partai yang ikut berlaga dalam Pemilu 1999. Tetapi perlu penjelasan, kenapa lembaga jajak pendapat berhasil
secara
akurat
memprediksi
pemenang
Pemilu
tetapi
gagal
dalam
memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Faktor apa juga yang menyebabkan lembaga jajak pendapat belum berhasil secara presisi menebak perolehan suara masing-masing partai. AKURASI Lembaga jajak pendapat memang berhasil meramal PDIP sebagai pemenang Pemilu, tetapi sebagian besar lembaga jajak pendapat ( kecuali IFES) salah dalam memprediksi Golkar, PKB dan PAN. Ada dua kesalahan yang umum yang ditemukan dalam hal prediksi komposisi pemenang Pemilu ini. Pertama, sejumlah lembaga jajak pendapat yang memprediksi PAN akan menempati posisi atas dalam Pemilu 1999. Padahal kenyataannya, PAN hanya menempati posisi 5 dari urutan partai pemenang Pemilu. RPC dan KPP-Lab Politik UI misalnya memprediksi PAN akan menempati posisi 2 di bawah PDIP. Yang menarik, jika RPC dan KPP-Lab Politik UI gagal memprediksi posisi PAN, LP3ES dan Litbang
Kompas berhasil memprediksi posisi
PAN, yang berada di kisaran posisi 4-5. Kedua, sejumlah lembaga jajak pendapat juga gagal dalam meramal posisi Golkar. Di luar IFES, Golkar diprediksikan oleh lembaga jajak pendapat itu berada di urutan 3 ke atas. Bahkan dalam survei RPC, Golkar menempati pososi nomor 4. Bagaimana menjelaskan kesalahan ini? Faktor penjelas yang paling mungkin diberikan adalah populasi dari masing-masing lembaga jajak pendapat. Lembaga jajak pendapat di Indonesia menghadapi medan geografis yang luas. Ini ditambah dengan kekuatan partai politik yang tidak merata
28
di semua wilayah Indonesia. Ada partai yang sangat kuat di Jawa ( seperti PDIP dan PKB).Tetapi ada partai yang justru sangat kuat di luar Jawa ( seperti Golkar dan PPP). Dengan kondisi populasi yang luas itu, makin besar populasi dari lembaga jajak pendapat, makin akurat pula lembaga jajak pendapat itu dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Tidak mengherankan jikalau dalam prediksi Pemilu 1999 ini hanya IFES yang secara tepat memprediksi komposisi pemenang Pemilu. IFES adalah satu-satunya lembaga jajak pendapat yang saat itu melakukan survei secara nasional. Dari 27 provinsi yang ada saat itu, semua disurvei kecuali 5 provinsi dengan alasan keamanan ( Timor Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah) serta alasan akses yang sulit ( Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur). Dengan populasi tersebut, sampel IFES mencakup hampir 92% suara nasional. Dengan populasi yang luas tersebut, tidak mengherankan jikalau IFES dengan akurat memprediksi posisi Golkar yang masih berada di urutan dua di bawah PDIP. Sejatinya, meski banyak digugat Golkar masih merupakan kekuatan yang signifikan terutama di luar Jawa. Dengan populasi yang luas di luar pulau Jawa, IFES bisa menangkap fenomena tersebut. Hasil survei LP3ES juga memperkuat argumen bagaimana populasi yang diambil oleh masing-masing lembaga jajak pendapat turut menentukan akurasi hasil jajak pendapat. LP3ES hanya melakukan survei di Pulau Jawa. Jika dilihat data populasi BPS, Pulau Jawa menyumbang 59% populasi, sementara wilayah luar Jawa 41%. Lembaga jajak pendapat yang melakukan survei hanya di Pulau Jawa, mengabaikan suara dari 41% populasi tersebut. Akibatnya suara Golkar yang besar justru diluar Jawa juga tidak bisa diprediksikan oleh LP3ES. Sebaliknya, dengan populasi Jawa, survei ini menemukan suara untuk PKB yang besar, berada diposisi 2 di bawah PDIP. Hasil ini juga tidak terlampau mengherankan jikalau diingat partai dengan tokoh Abdurrahman Wahid ini sangat kuat di pulau Jawa, utamanya Jawa Timur. PARTAI
PDIP Golkar PKB PPP PAN PBB
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT RPC IFES LP3ES Litbang KPP-Lab Kompas Politik UI 1 1 1 1 1 4-5 2 3 3-4 3 3 3 2 5 5-7 4-5 4-5 4-5 2 4 2 3-4 2 6-7 6-7 5-7
29
PK
-
-
Selain cakupan Jawa Luar Jawa, aspek penting dari populasi jajak pendapat adalah, apakah mereka memasukkan masyarakat desa kota ataukah hanya masyarakat kota saja. Jika kita menengok data populasi yang dikuarkan oleh BPS tahun 2000, populasi masyarakat desa mencapai 58%, sedangkan masyarakat kota berjumlah 42% dari total populasi. Proporsi masyarakat desa dan kota ini memang banyak mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan data sensus BPS tahun 1990. Pada tahun 1990, komposisi penduduk desa kota ini baru berjumlah 64% untuk masyarakat desa dan 36% masyarakat kota. Kendati banyak mengalami perubahan komposisi penduduk, fakta yang tidak bisa ditampik adalah masih banyaknya penduduk Indonesia yang berada di desa. Lembaga jajak pendapat yang tidak menyertakan masyarakat desa sebagai populasi, mengabaikan suara dari 58% populasi. Dari lembaga jajak pendapat tahun 1999 ini, hanya IFES dan LP3ES saja yang menyertakan masyarakat desa dan kota dalam kerangka populasinya. Sementara Litbang
Kompas, RPC dan KPP-Lab Politik UI hanya menyertakan
masyarakat kota saja. Akibatnya akan terasa dalam ramalan berbagai lembaga jajak pendapat itu ketika harus memprediksikan komposisi pemenang Pemilu. IFES dan LP3ES berhasil memetakan fenomena Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai kota. Partai ini sangat kuat di masyarakat terpelajar di kota. Setelah kejatuhan Soeharto, popularitas PAN dan Amien Rais memang meroket. Tetapi gegap gempita berita mengenai Amien Rais hanya dirasakan oleh masyarakat perkotaan yang relatif mudah dalam akses informasi. Sementara di kalangan masyarakat desa, dinamika politik ini tidak berhasil diikuti. Tidaklah mengherankan jikalau survei RPC dan KPPLab Politik UI menempatkan PAN di posisi 2 di bawah PDIP. Dalam jajak pendapat KPP-Lab Politik UI, perolehan suara PAN bahkan terpaut beberapa angka saja dari PDIP. Ketidakakuratan dalam memprediksi fenomana PAN sebagai partai kota, juga diikuti dengan ketidakakuratan dalam memprediksi PKB sebagai partai desa. Karena tidak menyertakan masyarakat desa yang menjadi basis suara PKB, dua lembaga survei ini juga gagal meramal posisi PKB. Dalam jajak pendapat KPP-Lab Politik UI, perolehan suara PKB bahkan diprediksi lebih kecil dari pada PBB dan PK. Sebaliknya, LP3ES berhasil memprediksi fenomena PAN dan PKB karena menyertakan populasi dari desa dan kota.
30
LEMBAGA
POPULASI
RPC
5 kota besar (Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan) Nasional, memasukkan 22 provinsi. Provinsi yang tidak disertakan dengan alasan teknis dan keamanan adalah Timor Timur, Irian Jaya, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Seluruh Jawa
IFES
LP3ES Litbang Kompas KPP-Lab Politik UI
5 kota besar ( Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, dan Ujungpandang) 6 kota ( Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Banda Aceh, Medan dan Ujung Pandang)
CAKUPAN WILAYAH Hanya menyertakan kota besar Menyertakan desa dan kota
PSU
Menyertakan desa dan kota Hanya menyertakan kota besar Hanya menyertakan kota besar
Desa /kelurahan
Desa /kelurahan Desa /kelurahan
Desa /kelurahan Pemilik telepon
PRESISI Lembaga jajak pendapat di Indonesia dihadapkan pada populasi yang sedemikian luas dan heterogen. Mengabaikan populasi yang heterogen itu akan berakibat pada ramalan yang tidak akurat. Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh lembaga jajak pendapat. Tetapi mereka harus berkompromi dengan dana, waktu, dan tenaga. Kalau populasi yang luas harus dicover, dibutuhkan banyak dana , tenaga dan waktu. Pilihan yang kemudian diambil oleh sejumlah lembaga jajak pendapat itu adalah mengambil sejumlah wilayah dengan pertimbangan metodologis tertentu. Pilihan
ini
terbukti
berhasil
dalam
memprediksi
pemenang
Pemilu
tetapikurang tepat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu.
(PDIP), Di luar
masalah populasi itu adalah soal jumlah sampel yang akan diambil. Aspek ini juga sekali lagi bersinggungan dengan waktu, dana dan tenaga. Makin banyak sampel yang diambil, maka makin banyak tenaga pewawancara, makin lama proses pengumpulan data dan makin banyak uang harus dikeluarkan. Secara teoritis, jumlah sampel berkaitan dengan presisi. Jumlah sampelmenentukan berapa kesalahan yang terjadi karena pengambilan sampel ( sampling error). Hasil suatu
survei
yang
berdasarkan
data
sampel,
harus
selalu
dibaca
dengan
memperhitungkan besar kecilnya sampling error. Taruhlah misalnya atau survei menemukan partai A mendapat 25 % suara, dimana sampling error survei itu sebesar 2%. Maka hasil sesungguhnya dari perolehan suara partai A tersebut harus
31
dibaca berada di interval ± 4 %. Atau berada di antara 21% -29%. Jika lembaga jajak pendapat ingin agar hasilnya lebih mendekati kenyataan, maka angka sampling error harus diperkecil. Misalnya dengan memakai sampling error 2%. Jika angka ini yang dipakai, prediksi perolehan suara partai A berada di kisaran interval 23%-27%. Tetapi memperkecil sampling error secara otomatis akan menambah jumlah sampel. Besar kecilnya sampling error ini bisa ditentukan sebelum survei dikerjakan. Yang perlu dicatat, persoalan jumlah sampel dan sampling error ini hanyalah satu soal saja dari kesalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan survei. Masalah yang cukup pelik justru pada soal kesalahan di luar pengambilan sampel (non sampling error),misalnya apakah wawancara telah dilakukan dengan benar,apakah pertanyaan telah dibacakan cukup akurat, dan sebagainya. Persoalan jumlah sampel dan akurasi ini akan terlihat ketika lembaga jajak pendapat berusaha memprediksikan perolehan suara dari masing-masing partai. Lembaga jajak pendapat bisa memprediksi PDIP, tetapi kesulitan ketika memprediksi suara perolehan partai tengah ( PKB, PAN dan PPP). Hasil aktual Pemilu menunjukkan selisih di antara ketiga partai itu tidak lebih dari 5%. Dengan selisih yang kecil tersebut, lembaga jajak pendapat tidak cukup aman untuk menentukan mana yang tertinggi perolehan suaranya di antara ketiga partai tersebut. Kesulitan ini terlihat misalnya dalam survei RPC ketika harus memprediksi suara PK dan PBN karena perbedaan suara yang relatif kecil. Atau dalam survei Litbang Kompas yang sukar membedakan posisi antara PKB dan PAN. Yang menarik dari semua survei ini adalah IFES. Lembaga survei ini (hanya) memakai sampel sebanyak 1.507. Meski jumlah sampel ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan lembaga jajak pendapat lain, IFES ternyata berhasil memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Ini membuktikan sebetulnya jumlah sampel adalah soal sekunder dalam survei di Indonesia. Yang menjadi soal primer adalah populasi yang luas dan teknik penarikan sampel yang tepat. Jika hal ini bisa dikerjakan dengan benar, hasil dari sampel sejumlah 1.500 responden sudah cukup dalam memprediksi hasil Pemilu. LEMBAGA
TEKNIK PENARIKAN SAMPEL
RPC
Stratified random sampling. Sampel ditarik secara random dari 5 kota yang dipilih. Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan
IFES
JUMLAH SAMPEL 1.250
TEKNIK WAWANCARA Wawancara langsung
1.507
Wawancara langsung
32
LP3ES
Litbang Kompas KPP-Lab Politik UI
jenis kelamin. Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin. Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random menyertakan 52 kelurahan, 104 RW dan 208 RT. Sampel diambil secara random dari Buku Petunjuk Telepon
2.970
Wawancara langsung
1.500
Wawancara langsung
2.000
Wawancara telepon
Sekarang kita akan meninjau lebih detil soal presisi dari lembaga jajak pendapat ini dalam meramal hasil Pemilu 1999. Yang menarik dari ramalan perolehan suaraini adalah lembaga jajak pendapat berhasil meramal dengan tepat perolehan suara dari partai kecil ( di luar PDIP, PKB, PPP,Golkar dan PAN). Suara dari partai PBB dan PKS bisa diramal dengan baik. Rata-rata kesalahan peramalan dari lima lembaga ini di bawah 3%. PDIP dan Golkar juga bisa diramal dengan baik meski rata-rata kesalahan masih di atas 5%. Lembaga IFES, LP3ES dan RPC berhasil meramal perolehan suara partai Golkar dengan selisih di bawah 6%. Demikian juga dengan perolehan suara PDIP yang berhasil diramal dengan baik oleh RPC, IFES, LP3ES dan Litbang Kompas. Hanya KPP-Lab Politik UI yang gagal meramal dengan baik perolehan suara PDIP dan Golkar. Ini ditandai dengan kesalahan absolut yang besar ( di atas 12%). SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK RataPENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI Rata Selisih RPC IFES LP3ES Litbang KPP-Lab PARTAI Kompas Politik UI PDIP 3 4.7 5.9 9.6 14.2 7.48 Golkar 5.7 -0.6 -1.2 8.1 13.1 5.02 PKB -6.6 -7.4 -12.4 8 10.8 -1.52 PPP -5.3 -6.3 2.4 -6 6.7 -1.7 PAN -15.5 -8.9 -1.2 -5.7 -8.7 -8 PBB -5.7 -1.1 -0.1 -2.3 PK -6.3 -0.6 -1.6 -2.83 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 5 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+)atau negatif (-) diabaikan. Kalau PDIP dan Golkar relatif bisa diramal dengan selisih tidak begitu besar, tidak demikian halnya dengan PKB, PPP dan PAN. Rata-rata kesalahan lima lembaga ini dalam meramal suara ketiga partai di atas 7%.
Perolehan suara PKB yang paling
33
sulit diramalkan. Lembaga RPC, IFES dan LP3ES meramalkan perolehan suara PKB lebih besar dari yang aktual didapat saat Pemilu. Sebaliknya Litbang Kompas dan KPP-Lab Politik UI meramalkan perolehan suara PKB di bawah dari yang berhasil didapatkan PKB dalam Pemilu. Kesalahan paling besar dalam meramal
PKB
dilakukan oleh LP3ES dengan selisih suara 12.4%. Yang menarik, kalau LP3ES gagal dalam meramal perolehan suara PKB, lembaga ini justru sangat berhasil dalam meramal perolehan suara PPP dan PAN. Tingkat kesalahan LP3ES dalam meramal perolehan suara dua partai ini paling kecil dibandingkan dengan empat lembaga jajak pendapat lain. Alasan yang bisa diberikan untuk menjelaskan kesalahan dalam meramalkan perolehan suara ini adalah soal sampel yang didapatkan masing-masing lembaga jajak pendapat. Indonesia bukan hanya negeri dengan penduduk yang tersebar dari ribuan pulau, tetapi juga berbeda dalam karakteristik sosial. Ada perbedaan yang besar
antara
masyarakat
yang
berpendidikan
tinggi
dengan
masyarakat
berpendidikan rendah. Ada jurang lebar antara masyarakat berpenghasilan tinggi dengan rendah. Celakanya, karakteristik yang beragam itu menentukan pilihan partai. Karena itu sampel yang didapatkan tidak hanya harus merepresentasikan keragaman wilayah ( Jawa-Luar Jawa dan desa kota) tetapi juga harus merefleksikan keragaman karakteristik sosial seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat penghasilan dan sebagainya. sampeldari
lembaga jajak
membandingkan
apakah
Cara paling mudah untuk mengecek apakah
pendapat representatif atau tidak adalah dengan ciri-ciri
karakter
dari
sampel
(seperti
pendidikan,
penghasilan, suku bangsa, pekerjaan dan sebagainya) identik atau tidak dengan data populasi. Representasi ini penting karena ada partai yang kuat di satu kelompok tertentu tetapi ada juga partai yang tidak kuat di kelompok masyarakat lain. Berbagai survei ( diantaranya oleh IRI dan LSI) menunjukkan hanya PDIP dan Golkar saja yang bisa disebut sebagai partai mirip miniatur Indonesia. Basis pendukung dari dua partai ini kuat di segala segmen lapisan masyarakat (dari lapisan tinggi, menengah atau rendah). Sementara partai lain ada yang sangat kuat di lapisan menengah dan tinggi (seperti PAN), tetapi ada juga yang berakar dari lapisan masyarakat bawag (seperti PKB). Karakter pemilih seperti itu mengakibatkan lembaga survei harus mendapatkan sampel yang seakurat dan sedekat mungkin dengan gambaran populasi. Jika sampel yang didapat
lebih banyak dari kalangan
34
masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan tinggi misalnya, maka hasilnya akan bias kepada partai dengan basis massa dari kelompok itu. Demikian juga sebaliknya. LEMBAGA
KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)
RPC
KARAKTER SAMPEL (%)
Lulus SMP/dibawah: 79 % Lulus SLTA: 18 Lulus S1 / di atasnya: 4% IFES Lulus SMP/dibawah: 79 % 58 Lulus SLTA: 18 30 Lulus Akademi / di atasnya: 4% 12 Litbang Lulus SMP/dibawah: 79 % 39 Kompas Lulus SLTA: 18 42 Lulus S1 / di atasnya: 4% 19 LP3ES Lulus SMP/dibawah: 79 % Lulus SLTA: 18 Lulus S1 / di atasnya: 4% KPP-Lab Lulus SMP/dibawah: 79 % Politik UI Lulus SLTA: 18 Lulus S1 / di atasnya: 4% Keterangan: Survei RPC, KPP dan LP3ES seperti menyertakan profil pendidikan responden. Karena dinilai deviasi antara karakter populasi dan sampel.
DEVIASI (Karakter PopulasiSampel (%) 21 -12 -8 40 -24 -15 dpublikasikan di media tidak keterbatasan data, tidak bisa
Karakter pemilih semacam itu bisa menjelaskan kesalahan lembaga jajak pendapat dalam meramalkan perolehan suara masing-masing partai. Golkar dan PDIP bisa diramalkan dengan seleisuh tidak besar karena secara karakter pemilih kedua partai ini memang terseber secara merata. Sampel yang bias ke kelompok masyarakat tertentu misalnya tidak berakibat jauh kepada perolehan suara dari masing-masing partai. Tetapi akan sangat terasa ketika lembaga jajak pendapat meramal terutama PKB dan PAN. Kedua partai ini berbeda secara diametral. PKB didirikan oleh sejumlah ulama Nahdatul Ulama dan didukung oleh massa NU yang tersebar di desa-desa terutama Jawa. Sebaliknya PAN didirikan oleh sejumlah intelektual dan akademisi. Basis massa PAN adalah warga perkotaan. IFES dan Litbang
Kompas meramal perolehan suara PKB lebih kecil dari yang
sebenarnya didapatkan PKB dengan selisih di atas 7%. Jika dilihat karakter sampel kedua lembaga ini, memang agak bias kekelompok berpendidikan menengah. Jumlah mereka yang berpendidikan rendah (lulus SD dan SMP atau di bawahnya) lebih kecil dari populasi. Jika kita mengacu kepada data BPS tahun 2000, jumlah
35
mereka yang berpendidikan SMP atau di bawahnya ini adalah mayoritas, mencapai 79%. Sementara sampel Litbang
Kompas, hanya 39%. Dengan jumlah sampel
berpendidikan rendah lebih sedikit, tidak mengherankan jikalau suara PKB mengecil alam temuan lembaga jajak pendapat tersebut. Penjelasan karakter sampel ini hanya salah satu penjelas. Untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentu saja perlu tinjauan dan penelitian lebih mendalam. Karena penjelas ini juga tidak cukup memuaskan untuk menjelaskan berbagai fenomena lain. Seperti suara PKB di survei IFES. Meskipun karakter sampel berpendidikan rendah di IFES tidak proporsional (hanya 58%), ternyata suara PKB cukup besar dalam prediksi IFES.
36
IV. JAJAK PENDAPAT DAN RAMALAN PEMILU 2004 Setiap masa punya tantangan yang berbeda. Pada Pemilu 1999, lembaga jajak pendapat ditantang menghasilkan temuan yang akurat. Lembaga jajak pendapat berhasil menjawab tantangan itu dengan menemukan hasil pemenang Pemilu yang sama dengan hasil aktual Pemilu, yakni PDIP. Pada Pemilu 2004, tantangan lembaga jajak pendapat tidak hanya berhenti sampai di situ. Lembaga jajak pendapat dituntut bukan hanya akurat tetapi juga presisi---sesuatu yang belum bisa dicapai oleh lembaga jajak pendapat tahun 1999. Tantangan besar dari lembaga tahun 2004 ini bukan hanya bisa meramalkan siapa pemenang Pemilu, tetapi juga secara
presisi
meramalkan perolehan suara masing-masing partai. Pada Pemilu 2004 ini, kegiatan jajak pendapat
marak dilakukan. Suratkabar,
dotcom dan televisi membuat aneka jajak pendapat baik lewat telepon maupun SMS. Meski banyak sekali jajak pendapat, hanya beberapa jajak pendapat saja yang bisa kita pertimbangkan. Ada sejumlah kriteria untuk menyaring jajak pendapat. Jajak pendapat itu haruslah dilakukan dengan metode ilmiah yang ketat dan dengan prinsip pengambilan sampel yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu, jajak pendapat lewat in call atau lewat SMS tidak disertakan dalam analisis di bab ini. Jajak pendapat tersebut tidak berpretensi ilmiah. Karena tidak berpretensi ilmiah, hasilnya tentu saja tidak bisa dipakai untuk melakukan generalisasi suara pemilih. Aneka jajak pendapat itu hanya bisa dilihat semata sebagi hiburan, karena hasilnya sama sekali tidak bisa dipakai untuk menggambarkan populasi masyarakat pemilih Indonesia. Dalam konteks Pemilu di Indonesia, jajak pendapat itu harus dilakukan secara langsung, lewat wawancara langsung (face to face). Berbagai jajak pendapat lewat telepon atau internet tidak dimasukkan karena bisa yang besar antara sampel dengan populasi. Telepon dan internet masih dimiliki oleh segelintir orang, selain sampel yang dimabil dari telepon atau internet relatif hanya memasukkan responden kota. Padahal, berbicara Pemilu adalah berbicara tentang kota dan desa. Ketiga, jajak pendapat itu dimaksudkan untuk menggambarkan suara nasional. Dari tiga syarat tersebut paling tidak ada 7 survei yang bisa ditinjau dan diperbandingkan: LP3ES ( Lembaga Penelitian Penerbitan Ekonomi dan Sosial), Badan Penelitian dan
37
Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research Institute), IFES (International Foundation for Election Systems), IRI (International Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Ketujuh survei tersebut dilakukan satu tahun terakhir. Jika ada lembaga jajak pendapat yang dalam satu tahun terakhir membuat jajak pendapat lebih dari sekali ( LSI, IFES dan IRI), maka yang dianalisis adalah hasil jajak pendapat yang paling dekat dengan hari pencoblosan tanggal 5 April.
25
Ada dua catatan bagaimana penilaian atas hasil jajak pendapat ini dilakukan. Pertama, akurasi maupun presisi lembaga jajak pendapat hanya didasarkan pada ramalan atas 7 partai politik dengan suara terbesar (Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS dan PAN).
Kesalahan absolut rata-rata karenanya juga dihitung dari 7 partai
tersebut. Idealnya kinerja lembaga jajak pendapat itu dilihat dari prediksi mereka atas 24 partai yang ikut berlaga dalam Pemilu 2004. Tetapi karena keterbatasan data, perhitungan hanya bisa dilakukan atas prediksi 7 partai itu.
26
Kedua, lembaga
jajak pendapat bisa jadi tidak mendesain survei yang mereka lakukan untuk tujuan prediksi Pemilu. Dalam analisis ini, tujuan jajak pendapat dikesampingkan. Yang menjadi perhatian adalah apakah dalam jajak pendapat itu ada pertanyan mengenai pilihan partai atau tidak.
27
25
Khusus untuk LP3ES, selain survei bulan Mei 2003, lembaga ini juga membuat jajak pendapat di bulan Maret 2004. Hanya saja, jajak pendapat terakhir ini dilakukan lewat telepon. Meski dua jajak pendapat itu dilakukan secara serius dan dengan metode yang ketat, kerangka sampel diambil dari Buku Telepon. Jadi yang dipakai adalah jajak pendapat di bulan Mei 2003. 26 Keterbatasan data itu meliputi dua hal. Pertama, sejumlah survei dilakukan sebelum bulan Desember 2003 ( LP3ES, IRI, Balitbang PDIP, dan DRI). Padahal, partai peserta Pemilu baru ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum tanggal 7 Desember 2003. Pada tanggal itu, KPU mengumumkan partai mana saja yang lolos verifikasi dan berhak menjadi peserta Pemilu 2004. Sebelum tanggal 7 Desember, hanya ada 6 partai yang sudah diketahui sebagai peserta Pemilu karena lolos electoral treshold yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PAN dan PBB. Itu artinya, jajak pendapat yang dilakukan sebelum 7 Desember 2003 tidak bisa mengukur popularitas atau pilihan kepada partai baru---seperti Partai Pelopor, Partai Bintang Reformasi, Partai Karya Peduli Bangsa dan sebagainya. Hanya jajak pendapat LSI, IFES dan SSS yang dilakukan setelah Desember 2003 dan karenanya ada data lengkap pilihan atas 24 partai. Kedua, dalam publikasi resmi lembaga jajak pendapat ( baik dalam konferensi pers atau laporan penelitian), prediksi perolehan suara dari 24 partai jarang ditampilkan. Lembaga jajak pendapat umumnya hanya menampikkan 5 atau 7 partai dengan perolehan suara terbesar. Partai lain dilaporkan dalam satu ketegori: partai lainnya. Supaya seragam dan bisa diperbandingkan antara satu lembaga jajak pendapat dengan lembaga jajak pendapat lain, dipilih prediksi atas 7 partai saja. 27 Survei IFES (International Foundation for Election Systems) misalnya. Survei berkala yang dilakukan oleh IFES tidak dimaksudkan untuk mengukur kekuatan partai. Survei terutama ditujukan untuk pendidikan pemilih seperti pengetahuan mengenai sistem Pemilu dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu. Tetapi karena dalam survei itu ada pertanyaan mengenai partai dan presiden, dimasukkan dalam analisis.
38
Dari 7 lembaga jajak pendapat, mereka menemukan struktur partai pemenang Pemilu yang mirip, yakni peralihan kekuasaan dari PDIP ke Golkar. Lembaga jajak pendapat tersebut juga menemukan naiknya suara secara signifikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bersama dengan Partai Demokrat, PKS diprediksikan akan lolos electoral treshold dan masuk dalam partai papan tengah. Jajak pendapat juga menemukan turunnya perolehan suara Partai Bulan Bintang. Sampai hari ini kita belum bisa mengecek apakah ramalan lembaga jajak pendapat tersebut benar atau salah. Perhitungan yang lebih cermat untuk mengetahui apakah lembaga jajak pendapat itu akurat atau tidak dalam memprediksi hasil Pemilu bisa kita lakukan tanggal 5 Mei
2004 ----saat perhitungan resmi berakhir. Sebagian besar lembaga
jajak pendapat berhasil memprediksi 3 besar pemenang Pemilu---Golkar. PDIP dan PKB. Hasil ini menunjukkan, meski lembaga jajak pendapat itu menggunakan sampel kecil antar 1.250-5000 orang responden dengan tepat bisa memprediksi suara Pemilih yang mencapai 146 juta orang. Survei LP3ES Hasil Aktual Pemilu Selisih Partai Pemilu (Mei 2003) 2004 % Posisi % Posisi % 3.58 Golkar 18 1 21.58 1 11.53 PDIP 7 2 18.53 2 8.57 PKB 2 10.57 3 3-5 3.15 PPP 5 8.15 4 PD 7.45 5 PKS 7.34 6 2.44 PAN 4 3-5 6.44 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LP3ES= 5.85 Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh LP3ES dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.
Partai 2004 Golkar PDIP PKB PPP PD PKS PAN
Pemilu
Survei Balitbang PDIP (Juni 2003) % Posisi 28.7 1 21.2 2 11.2 3- 4 12.5 9 5
Hasil Aktual Pemilu % 21.58 18.53 10.57 8.15 7.45 7.34 6.44
Posisi 1 2 3 4 5 6 7
Selisih % -7.12 -2.67 -0.63 -4.35 -2.56
39
Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Balitbang PDIP= 3.47 Keterangan: pilihan partai untuk PKS dijadikan satu oleh Balitbang PDIP dengan partai lain dalam label: partai lainnya. Jadi, tidak bisa diperoleh angka pasti perolehan suara PKS. Sementara untuk Partai Demokrat, saat survei dijalankan belum terbentuk. Kesalahan absolut rata-rata dihitung dari 5 partai.
Survei IRI Hasil Aktual Pemilu Selisih (Desember 2003) Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 24 1 21.58 1 -2.42 PDIP 19 2 18.53 2 -0.47 PKB 10 3 10.57 3 0.57 PPP 7 4 8.15 4 1.15 PD 7.45 5 PKS 3 6 7.34 6 4.34 PAN 5 5 6.44 7 1.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IRI= 1.73 Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.
Survei DRI Hasil Aktual Pemilu (Oktober 2003) Selisih Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi % Golkar 21.9 1 21.58 1 -0.32 PDIP 9.6 2 18.53 2 8.93 PKB 6.6 10.57 3 3.97 3-4 PPP 5.7 8.15 4 2.45 PD 7.45 5 PKS 2 6-7 7.34 6 5.34 PAN 5.2 5 6.44 7 1.24 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei DRI = 3.71 Keterangan: Saat survei dilakukan, Partai Demokrat belum terbentuk ( belum diverifikasi oleh KPU). Kesalahan absolut rata-rata survei dihitung dari 6 partai.
Survei LSI (Maret Hasil Aktual Pemilu Partai Pemilu 2004 ) 2004 % Posisi % Posisi Golkar 23.2 1 21.58 1 PDIP 17.5 2 18.53 2 PKB 9.5 3 10.57 3 PPP 5.7 8.15 4 PD 4.9 7.45 5 5-7 PKS 5.5 7.34 6 PAN 7.4 4 6.44 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei LSI= 1.64
Selisih % -1.62 1.03 1.07 2.45 2.55 1.84 -0.96
40
Survei IFES Hasil Aktual Pemilu (Maret 2004 ) Partai Pemilu 2004 % Posisi % Posisi Golkar 22.2 1 21.58 1 PDIP 11.5 2 18.53 2 PKB 6.6 3 10.57 3 PPP 5 8.15 4 PD 4.1 7.45 5 5-7 PKS 3.6 7.34 6 PAN 6.4 4 6.44 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei IFES = 3.13 Survei SSS (Februari-Maret Hasil Aktual Pemilu Partai Pemilu 2004 ) 2004 % Posisi % Posisi Golkar 15.8 2 21.58 1 PDIP 20.7 1 18.53 2 PKB 12.4 3-4 10.57 3 PPP 5.7 6 8.15 4 PD 3.2 7-8 7.45 5 PKS 10.6 5 7.34 6 PAN 13.5 3-4 6.44 7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SSS= 3.83
Selisih % -0.62 7.03 3.97 3.15 3.35 3.74 0.04
Selisih % 5.78 -2.17 -1.83 2.45 4.25 -3.26 -7.06
AKURASI Membandingkan hasil antara jajak pendapat satu dengan jajak pendapat lain memang terkesan tidak adil. Karena jajak pendapat satu mempunyai instrumen, sampel, dan rumusan pertanyaan yang berbeda. Tetapi disini sesungguhnya masalahnya.
Jajak
pendapat
pada
dasarnya
tergantung
kepada
bagaimana
pengambilan sampel, rumusan pertanyaan, tujuan, dan metode wawancara. Populasi dan teknik penarikan sampel yang berbeda, metode wawancara yang berbeda dan rumusan pertanyaan yang berbeda akan menghasilkan “temuan” yang berbeda pula. Dari 7 jajak pendapat Pemilu 2004 yang dianalisis dan diperbandingkan dalam bab ini perlu diberi catatan khusus.
Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan
Danareksa Institute karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ( lebih dari enam bulan) berbeda dengan jajak pendapat IFES, IRI, LSI dan SSS. Jajak pendapat yang pertama dilakukan ketika orang (mungkin) belum punya pilihan. Sementara jajak pendapat kedua dilakukan menjelang pemilihan, dan orang kemungkinan sudah mempunyai pilihan partai. Tidak mengherankan jikalau jajak pendapat yang kedua, lebih mendekati kenyataan hasil aktual Pemilu dibandingkan dengan jajak pendapat
41
yang pertama. Selain itu, jajak pendapat pertama karena dilakukan jauh sebelum Pemilu, peristiwa-peristiwa penting menjelang Pemilu, atau perubahan opini sebelum Pemilu tidak bisa diakomodasi dalam jajak pendapat. Lembaga LP3ES
Periode Pengambilan Data 1-12 Mei 2003
Balitbang PDIP DRI
Mei-Juni 2003
IFES
21-24 Maret 2004
IRI
7-22 Desember 2003
LSI
18-24 Maret 2004
SSS
Februari-Maret 2004
Oktober 2003
Publikasi Laporan penelitian, konferensi pers bulan Mei, berita media bulan Mei 2003 dan website LP3ES (www.lp3es.or.id) Laporan penelitian, dan berita media bulan Juni 2003 Newsletter Danareksa edisi bulan Oktober 2003 Berita suratkabar bulan Maret 2004, website ifes (www.ifes.org) Konferensi pers Januari 2004 dan website IRI ( www.iri-indonesia.org) Konferensi pers 2 April 2004, berita media edisi 3 April 2004 dan website LSI (www.lsi.or.id) Laporan penelitian, berita suratkabar edisi bulan Maret 2004 dan website SSS (www.sss-csp.or.id)
Dari 7 jajak pendapat tersebut, ternyata menghasilkan temuan yang hampir mirip satu sama lain. Tabel memperlihatkan hasil jajak pendapat berbagai lembaga soal partai pilihan. Jajak pendapat menghasilkan Golkar sebagai pemenang Pemilu dan PDIP tergeser di urutan kedua. Yang agak berbeda dari 7 jajak pendapat tersebut hanyalah Soegeng Sarjadi Syndicated saja yang gagal meramalkan Golkar sebagai pemenang Pemilu. Perhatian sekarang kita arahkan kepada empat jajak pendapat ( DRI, LSI, IRI, IFES). Meskipun angka prosentasenya berbeda, keempat lembaga itu menghasilkan urutan pilihan partai yang akan dicoblos oleh responden tiga besar adalah: Golkar, PDIP, dan PKB. Posisi 4 hingga delapan agak berbeda antara lembaga jajak pendapat. Pada jajak pendapat IFES urutan 4 hingga 8 masingmasing: PAN, PPP, PD, PKS dan PBB. Di LSI, berturut-turut PAN, PPP, PKS, PD, dan PBB. Sementara dalam jajak pendapat di IRI, urutan 4-8 masing-masing: PPP, PAN, PKS dan PBB. Meski urutan posisi 4 hingga 8 berbeda
antara masing-masing
lembaga jajak pendapat, tetapi perbedaan itu masih bisa ditolerir secara statistik. Karena selisih partai dengan posisi 4 hingga 8 sangat tipis, masih berada di bawah margin of error dari masing-masing lembaga jajak pendapat yang berkisar di angka 1 hingga 2.5%.
42
Hasil jajak pendapat ini yang mirip ini menunjukkan jika jajak pendapat dilakukan dengan metode yang sama maka hasilnya juga sama. Dari 7 lembaga jajak pendapat tersebut, IRI, IFES dan LSI memakai metode penarikan sampel yang sama (multistage random sampling). Dan seperti terlihat dalam tabel, metode yang sama ini menghasilkan temuan yang mirip.
Yang agak berbeda adalah Soegeng Sarjadi
Syndicated. Tetapi diantara lembaga survei yang lain, metode penarikan sampel SSS ini yang berbeda. Sehingga hasilnya berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang lain. PARTAI
Golkar PDIP PKB PPP PD PKS PAN
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT LP3ES Balitbang IRI DRI LSI PDIP 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3-5 3-4 3 3 3- 4 4 5-7 6 6-7 3-5 5 5 5 4
MENURUT IFES
SSS
1 2 3
2 1 3-4 6 7-8 5 3-4
5-7 4
Komposisi Aktual Hasil Pemilu 1 2 3 4 5 6 7
Jika dibandingkan dengan prediksi lembaga jajak pendapat Pemilu 1999, maka prediksi yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat Pemilu 2004 ini lebih baik. Mereka bukan hanya berhasil meramalkan pemenang Pemilu, tetapi juga tiga sampai lima besar partai dengan perolehan suara terbanyak. Dari 7 lembaga jajak pendapat, tiga lembaga ( IFES, IRI dan LSI) yang menghasilkan temuan mirip dengan struktur kemenangan partai. Sementara lembaga yang lain, hanya urutan 1-3 yang sama sementara urutan ke bawahnya agak berbeda dengan hasil aktual Pemilu. Salah satu penjelas kenapa tiga lembaga tersebut yang bisa memprediksi dengan mirip komposisi pemenang Pemiliu, karena tiga lembaga itu menjangkau populasi paling luas. Dengan populasi yang luas, derajat keragaman masyarakat Indonesia bisa diakomodasi dalam survei. IFES dan LSI yang menyertakan semua provinsi di Indonesia (100 % dari populasi). Meskipun tidak menyertakan semua wilayah provinsi di Indonesia, IRI juga melakukukan jajak pendapat nasional, tetapi populasi yang diambil 94% dari populasi. Ada 9 provinsi yang tidak diikutsertakan dalam survei IRI, dengan berbagai alasan ( alasan keamanan, akses dan sedikitnya populasi) yakni Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo,
43
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat.
Berbeda dengan keempat lembaga
tersebut adalah DRI dan Soegeng Sarjadi Syndicated.
Mengingat
keragaman
masyarakat Indonesia, makin banyak provinsi yang dimasukkan makin bagus. Dalam konteks Pemilu, ada satu faktor kunci kenapa keragaman provinsi ini penting. Partaipartai politik umumnya mempunyai basis wilayah masing-masing. Di tempat lain bisa jadi partai politik kalah, tetapi di wilayah basis massa-nya, partai politik itu mendapat dukungan luas. Golkar secara tradisi sangat kuat di wilayah Sulawesi Selatan, PKB kuat (sekali) di Jawa Timur, PAN di Sumatera Barat, PDIP di Bali. Partai-partai dengan basis massa penganut Kristen yang di Jawa tidak mendapat tempat, di wilayah Maluku atau Nusa Tenggara justru bisa berjaya. Yang perlu mendapat catatan adalah Danareksa Research Institute (DRI). Jajak pendapat DRI hanya didasarkan pada 5 wilayah terpilih yakni Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara----wilayah-wilayah ini umum diambil sebagai sampel dalam survei-survei pemasaran dan ekonomi. Hasil survei DRI selama ini memang tidak terlampu berbeda dibandingkan dengan survei nasional yang dilakukan berbagai lembaga. Tetapi kelamahan DRI adalah cakupan wilayah yang terbatas. Satu wilayah dihilangkan misalnya akan mengubah struktur hasil secara keseluruhan.
28
Teknik Penarikan Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga Lembaga
Populasi
PSU
LP3ES
13 provinsi di Indonesia yang diambil secara random (Jabotabek, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, jawa Barat, jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali,
Desa
Teknik Penarikan Sampel Multistage random sampling. Sampel ditarik secara random dari 13 provinsi, dengan proporsi jenis kelamin (laki-laki perempuan) seimbang, 50%.
Jumlah Sampel 3.000
28
Taruhlan pilihan partai politik. Prosentase Golkar yang besar sangat besar disumbang oleh responden yang berasal dari Sukawesi Selatan. Dalam survei Dri bulan Juli lalu misalnya, 34 persen responden di Sulawesi Selatan memilih Golkar . Bandingkan dengan pilihan responden atas partai lain yang hanya berkisar di bawah 5%. Jika Sulawesi Selatan dihilangkan (misalnya), akan mengubah proporsi angka-angka ini secara keseluruhan. Atau kandidat presiden Yusuf Kalla. Di Sulawesi Selatan, ia didukung oleh 22% responden. Padahal di wilayah lain, paling besar hanya 4%. Fenomena yang sama untuk partai PKB di Jawa Timur. Dengan kata lain, dengan cakupan wilayah yang terbatas, DRI mendapatkan wilayah yang sangat Golkar, atau wilayah yang sangat PDI dan sangat PKB.
44
Balitbang PDIP
DRI
dan Nusa Tenggara Timur) 18 provinsi yang diambil secara random (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua ) 5 provinsi di Indonesia (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan)
Desa
Multistage random sampling. Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin.
2.500
Desa
Stratified random sampling. Sampel ditarik dari 5 provinsi berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi. Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin. Probability Proportional to Size (PPS). Sampel diambil secara random dan proporsional sesuai dengan populasi provinsi
1.700
Multistage Random Sampling (MRS). Sampel diambil secara random atas dasar provinsi, proporsi desa kota, dan jenis kelamin. Stratified random sampling.
2.760
IFES
32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)
Desa
IRI
23 provinsi. 9 provinsi yang tidak diikutsertakan adalah Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat 32 provinsi (termasuk Aceh, Maluku dan Papua)
Kecamatan
15 Provinsi ( terdiri atas 19 kota dan 14 kabupaten)
Kabupaten/ kotamadya
LSI
SSS
Desa
1.250
2.540
5.000
45
PRESISI Ukuran kedua yang bisa dipakai untuk menilai lembaga jajak pendapat adalah presisi, apakah lembaga jajak pendapat bisa meramalkan dengan benar perolehan suara partai.
Yang menarik, dari 7 lembaga yang ditinjau, bisa memprediksi
perolehan suara dengan selisih tidak besar.
Rata-rata kesalahan absolut lembaga
jajak pendapat dalam memprediksi suara 7 partai di bawah 6%. Kesalahan absolut survei berturut-turut dari besar ke kecil adalah sebagai berikut: LP3ES (5.85%), Balitbang PDIP (3.47%), SSS (3.83%), DRI (3.71%), IFES (3.13%), IRI (1.73%) dan LSI (1.64%). Yang
perlu
dicatat
dari
prediksi
perolehan
suara
partai
ini
adalah
waktu
penyelenggaraan jajak pendapat. Survei yang dilakukan enam bulan sebelum Pemilu lebih besar tingkat kesalahan prediksi suara dibandingkan dengan survei yang dilakukan menjelang Pemilu. Pada survei yang dilakukan hampir setahun sebelum Pemilu ( LP3ES atau Balitbang PDIP), bisa dipastikan suara pemilih belum mengkristal. Orang masih menimbang-nimbang partai apa yang akan dipilih. Besarnya orang yang masih menimbang-nimbang dan belum menentukan partai pilihan ini pada gilirannya akan berimbas pada perolehan suara partai yang ditemukan oleh lembaga jajak pendapat. Jajak pendapat LP3ES, Balitbang PDIP dan DRI karena dilakukan jauh sebelum Pemilu ditandai dengan selisih yang masih besar dengan perolehan riil partai. Masalah itu tidak banyak dialami oleh jajak pendapat yang dilakukan menjelang hari pencoblosan. Pemilih secara teoritis sudah punya partai pilihan. Jumlah pemilih yang belum memutuskan atau masih menimbangnimbang partai pilihan, makin berkurang.
Pada gilirannya, prediksi suara lebih
mendekati kenyataan. Lebih dalam kita bisa menilai bagaimana
capaian yang berhasil didapat oleh
lembaga jajak pendapat dalam memprediksi suara masing-masing partai. Tabel itu menunjukkan berapa selisih ( deviasi) perbedaan antara hasil survei dengan hasil aktual Pemilu. Angka plus minus bisa dikesampingkan. Makin kecil angka selisih, makin dekat prediksi dengan hasil aktual. Ada beberapa temuan yang menarik dari data ini. Pertama, lembaga jajak pendapat berhasil memprediksi dengan selisih suara kecil partai pemenang Pemilu ( Golkar). Total dari 7 lembaga jajak pendapat bila di rata-rata, hanya 3.1%. Yang paling mendekati adalah DRI dengan selisih 0.32%, IFES dengan selisih 0.62%, dan LSI dengan selisih 1.62%.
46
Jika perolehan suara partai Golkar bisa diprediksi dengan selisih kecil, sebaliknya PDIP angka selisihnya masih besar. Rata-rata dari 7 lembaga jajak pendapat ini, selisih prediksi suara PDIP mencapai 4.8%. Lembaga yang paling dekat dalam memprediksi perolehan suara PDIP adalah IRI dengan selisih 0.47% dan LSI dengan selisih 1.03%. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Balitbang PDIP dan Soegeng Sarjadi Syndicated juga berhasil memprediksikan perolehan suara partai PDIP dengan selisih masing-masing 2.67% dan 2.17%. Yang menggembirakan adalah dari 7 partai dengan perolehan suara terbesar, bisa diprediksikan dengan baik oleh lembaga jajak pendapat. Semuanya bisa diprediksi dengan kesalahan di bawah 5%. Dari 8 partai itu, yang paling besar derajat perbedaan adalah prediksi atas Partai Demokrat (PD). Kesalahan dalam memprediksi suara PDI ini bisa terjadi karena besarnya suara yang pindah menjelang pemilihan. Lembaga jajak pendapat yang tidak mengamati perpindahan suara itu sampai kampanye Pemilu, tidak akan berhasil dengan cermat memprediksi munculnya Partai Demokrat (PD). PARTAI
SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA JAJAK RataPENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN PARTAI Rata LP3ES Balitbang IRI DRI LSI IFES SSS Selisih PDIP 3.58 Golkar -7.12 -2.42 -0.32 -1.62 -0.62 5.78 3.1 11.53 PDIP -2.67 -0.47 8.93 1.03 7.03 2.17 4.8 8.57 1.83 2.9 PKB -0.63 0.57 3.97 1.07 3.97 3.15 PPP -4.35 1.15 2.45 2.45 3.15 2.45 2.7 PD 2.55 3.35 4.25 3.4 3.26 3.7 PKS 4.34 5.34 1.84 3.74 2.44 PAN -2.56 1.44 1.24 -0.96 0.04 7.06 2.2 Keterangan: Rata-rata selisih (deviasi) dihitung dari selisih rata-rata dari 7 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan. Khusus untuk Partai Demokrat, selisih dihitung dari 3 lembaga, dan PKS dari 5 lembaga. Dekatnya prediksi antar lembaga jajak pendapat juga menguatkan harapn, bila jajak pendapat dilakukan dengan benar, dengan teknik pengambilan sampel yang standar maka hasilnya akan mendekati kenyataan. Hampir semua lembaga survei memakai teknik stratified random sampling atau multistage random sampling. Sampel diambil dengan memperhatikan proporsi jenis kelamin dan proporsi desa kota. Apapun
47
metode penarikan sampel yang dipakai, tujuan akhirnya adalah menghasilkan sampel yang representasi terhadap populasi. Salah satu cara paling mudah untuk menilai apakah sampel representatif atau tidak adalah dengan membandingkan karakter sampel dengan karakter populasi. Karakteristik sampel seperti desa kota, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, agama, atau suku bangsa bisa dibandingkan secara langsung antara sampel dengan populasi ( yang umum dipakai adalah data demografi BPS). Makin mirip karakter sampel dengan populasi maka makin bagus sampel yang diperoleh. Sebagian besar lembaga survei pendapat umum mengambil 1.000-5.000 responden. Jumlah sampel ini seringkali krusial karena berhubungan dengan biaya penelitian. Makin banyak sampel makin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Beberapa lembaga survei menekan jumlah sampel untuk menekan biaya penelitian ini. Tetapi jumlah sampel (yang berhubungan dengan tingkat kesalahan yang bisa ditoleransi— sampling error) hanyalah satu soal. Yang lebih penting dan krusial adalah bagaimana responden. Berbagai penelitian membuktikan jumlah sampel memang penting tetapi tidak pernah ada survei yang salah hanya karena kurang sampel. Kesalahan banyak survei justru terjaadi karena sampel yang diambil tidak representatif.
29
Di luar perdebatan soal jumlah sampel dan sampling error, persoalan survei di Indonesia justru terletak pada masalah di luar teknis pengambilan sampel (non sampling error). Apakah pertanyaan dipahami oleh responden, apakah wawancara dilakukan dengan orang yang benar, apakah responden menjawab secara jujur pertanyaan pewawancara, bagaimana logat, bahasa mempengaruhi wawancara dan sebagainya. Kesulitan lain, bagaimana mengontrol pewawancara, bagaimana spot chek dilakukan dengan benar agar hasil benar-benar mencerminkan pendapat yang sebenarnya. Persoalan ini jauh lebih memusingkan lembaga survei dibandingkan persoalan jumlah sampel. Sayang, berbagai publikasi jajak pendapat, tidak menyertakan response rate jajak pendapat. Padahal dari sini bisa diketahui, seberapa besar responden asli dan seberapa banyak responden pengganti yang dipakai. Berapa banyak orang yang tidak bersedia diwawancarai. Publikasi yang menyertakan angka response rate ini adalah jajak pendapat IRI. Dari publikasi IRI bisa diketahui, responden asli yang berhasil diwawancarai sebesar 65,7%. Sisanya
29
Lihat David S. Moore, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York, WH Freeman, 1985, hal. 12-16
48
adalah pengganti. Di bebarap wilayah seperti Riau dan Banten angka response rate di bawah 50 persen.
Tantangan jajak pendapat di Indonesia yang tidak bisa
dianggap sepele adalah kepastian bahwa wawancara telah dilakukan secara benar, dan pertanyaan dalam kuesioner telah dibuat dan diajukan dengan benar pula. Karakter Sampel Jajak Pendapat Berbagai Lembaga LEMBAGA
KARAKTER POPULASI (BPS Tahun 2000-Tingkat Pendidikan)
KARAKTER SAMPEL (%)
DEVIASI (Karakter PopulasiSampel (%) -18.3 LP3ES Lulus SMP/dibawah: 79 % 60.7 11 Lulus SLTA: 18 29 5 Lulus S1 / di atasnya: 4% 9 -15 Balitbang Lulus SMP/dibawah: 79 % 64 PDIP 6 Lulus SLTA: 18 24 4 Lulus Akademi / di atasnya: 4% 8 DRI Lulus SMP/dibawah: 79 % Lulus SLTA: 18 Lulus S1 / di atasnya: 4% IFES Lulus SMP/dibawah: 79 % Lulus SLTA: 18 Lulus Akademi / di atasnya: 4% 7.6 3.6 -14 IRI Lulus SMP/dibawah: 79 % 65 10 Lulus SLTA: 18 28 3 Lulus S1 / di atasnya: 4% 7 -8.8 LSI Lulus SMP/dibawah: 79 % 70.2 2.3 Lulus SLTA: 18 20.3 5.5 Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.5 -19.52 SSS Lulus SMP/dibawah: 79 % 59.48 13.2 Lulus SLTA: 18 31.2 5.3 Lulus S1 / di atasnya: 4% 9.3 Keterangan: DRI dalam publikasinya tidak menyertakan profil responden. Dalam publikasi IFES, kategori lulus SMP dan SMA digabung, jadi tidak bisa dibandingkan. Ada beberapa ukuran karakter populasi yang biasa dipakai untuk mengukur derajat representasi sampel ( seperti proporsi desa kota, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, pekerjaan dsb). Tetapi untuk keperluan tulisan ini, hanya dipakai satu ukuran yakni tingkat pendidikan. Masing-masing lembaga jajak pendapat mengajukan pertanyaan mengenai partai pilihan dengan cara yang berbeda. LSI menanyakan secara langsung apa partai pilihan pemilih. Sementara IFES tidak menanyakan secara langsung apa partai pilihan pemilih, tetapi partai apa yang dianggap paling menyuarakan aspirasi pemilih. Meski tidak secara langsung menunjuk partai pilihan, pertanyaan ini sama saja dengan bertanya soal partai pilihan. Dugaan saya ( bisa salah) rumusan
49
pertanyaan ini dipakai
oleh IFES untuk mengurangi kemungkinan jawaban
responden yang tidak sebenarnya karena takut, malu, atau sungkan dengan kehadiran
pewawancara.
Perlu
penelitian
lebih
mendalam
apakah
rumusan
pertanyaan yang berbeda ini menghasilkan efek yang berbeda ketika diterima oleh responden. Rumusan pertanyaan mana yang lebih bisa diterima oleh responden dan secara potensial lebih bisa menghasilkan jawaban yang benar dari responden. Rumusan Pertanyaan Jajak Pendapat Berbagai Lembaga Lembaga LP3ES Balitbang PDIP DRI (Danareksa Research Institute) IFES (International Foundation for Election Systems) IRI (International Republican Institute) Lembaga Survey Indonesia (LSI) Soegeng Syndicated
Sarjadi
Rumusan Pertanyaan Pertanyaan tentang pilihan partai, rumusan pertanyaan CESDA adalah: “Seandainya Pemilu dilaksanakan besok, partai manakah yang akan Anda pilih? Balitbang PDIP menanyakan jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih. Tiap putaran jajak pendapat, DRI selalu menanyakan pertanyaan (yang sama). Jika hari ini Pemilu, partai apa yang dipilih responden. IFES tidak menanyakan secara langsung partai pilihan. Pertanyaan yang diajukan oleh IFES adalah: Partai apa yang paling mewakili aspirasi? IRI menanyakan kepada responden, jika Pemilu diadakan hari ini partai apa yang dipilih. IRI membuat dua pertanyaan, partai pilihan pertama yang akan dipilih, partai pilihan kedua yang akan dipilih. LSI menanyakan kepada responden, “ Jika Ikut Pemilu, sebutkan nama partai Ibu/Bapak pilih?”. Kepada responden yang tidak mau menjawab, LSI menanyakan partai apa yang paling pantas didukung. Pertanyaan tentang sikap (penilaian). Untuk partai politik, Soegeng Sarjadi Syndicated menanyakan,” Menurut Anda, partai Mana Yang Layak Memimpin Pemerintahan?”.
Yang perlu dicatat adalah, basis dari semua jajak pendapat itu adalah popular vote (suara nasional), sementara penghitungan anggota legislatif berdasarkan electoral vote ( bilangan pembagi di masing-masing wilayah). Bisa jadi partai A yang diprediksikan nomor 2, tetapi jumlah kursinya menduduki peringkat pertama. Kalau ini yang terjadi, bukan kesalahan dari ramalan jajak pendapat . Karena sekali lagi basis perhitungannya adalah suara nasional.
50
V. KESULITAN JAJAK PENDAPAT DI INDONESIA Dari bab terdahulu terlihat, di usia yang relatif muda lembaga jajak pendapat bisa meramal dengan baik hasil Pemilu. Di luar soal ramalan Pemilu tersebut, ada berbagai kesulitan yang dialami oleh lembaga jajak pendapat. Kesulitan ini berujung pada sulitnya lembaga jajak pendapat ini untuk membuat prediksi pemenang Pemilu dengan benar dan tepat. KERANGKA SAMPEL Pertama, buruknya mutu kerangka sampel ( sampling frame) di Indonesia. Kerangka sampel
adalah
jantung
bagi
sebuah
penelitian
survei.
Kerangka
sampel
mengidentifikasi anggota dari populasi. Dengan kerangka sampel yang baik, lembaga jajak pendapat bisa mengidentifikasi dengan benar sampel yang akan diambil. Sampel yang buruk kerap kali bukan diakibatkan oleh metode penarikan sampel yang jelek, tetapi juga kerangka sampel yang tidak baik. Untuk penelitian yang memakai
telepon, ada kerangka sampel yang bagus yakni
Buku Petunjuk Telepon yang memuat daftar nama-nama pemilik telepon. Kerangka sampel ini diperbaharui setiap tahun dan mencerminkan populasi pemilik telepon yang sesungguhnya. Sementara untuk penelitian dengan wawancara langsung ( face to face ), kerangka samel yang biasa dipaki dan diandalkan oleh lembaga jajak pendapat adalah Daftar Desa yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Kerangka sampel berupa daftar desa ini acap dikeluhkan oleh lembaga jajak pendapat. Ini karena data desa hanya diperbaharui tiap 10 tahun sekali. Padahal proses pemekaran mengakibatkan perubahan yang cepat. Satu desa atau kelurahan yang semula anggota dari kecamatan A sudah berganti ke kecamatan B. Dan seterusnya. Kerangka sampel itu juga tidak bisa mengakomodasi perubahan status desa. Di beberapa wilayah misalnya Jawa dan Kalimantan terjadi perubahan status desa, dari yang semual desa menjadi kelurahan. Perubahan ini tidak cepat bisa diakomodasi dalam kerangka sampel karena baru diperbaharui tiap 10 tahun sekali. Padahal, status desa atau kelurahan ini punya dampak yang signifikan dalam konteks Pemilu. Selama ini muncul hipotesis partai yang kuat di desa dan partai yang kuat di kota. Perubahan status desa atau kelurahan ini bisa berdampak pada perubahan perilaku politik anggota masyarakat.
51
Di luar soal update data yang lamban, kerangka sampel yang tersedia juga tidak lengkap. Kerangka sampel itu hanya memuat daftar nama desa, tetapi tidak diketahui secara pasti karakter dari masing-masing desa. Data semacam ini paling jauh hanya sampai tingkat kecamatan. Sejumlah lembaga jajak pendapat berusaha mengatasi keterbatasan kerang sampel BPS. IRI misalnya memetakan terlebih dahulu populasi dari provinsi hingga kecamatan. Jika data jumlah populasi yang tersedia dari BPS adalah tahun lalu, IRI melakukan estimasi besar populasi saat jajak pendapat dikerjakan. Atas dasar itu proporsi bisa dibuat.
30
Primary Sampling
Unit (PSU), yang diambil oleh IRI adalah kecamatan. Karena baru pada level kecamatan tersedia data karakter populasi, seperti jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan dan sebagainya. Soal keterbatasan kerangka sampel ini akan makin terlihat jika kita menuntut ada peta kekuatan partai politik di masing-masing wilayah. Dalam konteks jajak pendapat mengenai Pemilu, data semacam itu penting supaya sampel yang didapat mencerminkan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
31
Data dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tahun 1999 misalnya hanya sebatas sampai tingkat Kabupaten. Litbang Kompas telah menerbitkan buku mengenai peta kekuatan partai politik tahun 1999. 32
Buku itu sangat berguna untuk melengkapi data KPU, sehingga kita bisa lebih
mengetahui peta politik sampai tingkat kecamatan. Tetapi data itu belummasuk sampai ke tingkat desa. TINGGINYA ANGKA UNDECIDED VOTERS Dalam konteks Pemilu, lembaga jajak pendapat mengalami kesulitan meramal hasil Pemilu akibat masih tingginya angka pemilih yang belum memutuskan (undecided voters). Survei IRI, IFES dan DRI menemukan lebih dari 25% responden yang tidak mau menyebut partai pilihan dengan berbagai alasan----bisa rahasia, takut dan sebagainya. Survei LP3ES yang dilakukan satu tahun sebelum Pemilu, bahkan menemukan sebesar 55% responden yang belum mau menyebutkan partai pilihan. Tingginya angka responden yang belum memutuskan partai pilihan ini menyulitkan 30
Wawancara Yanti Sugarda, direktur Polling Center, 7 Mei 2004. Polling Center adalah lembaga yang mengerjakan penelitian lapangan dari IRI ( misalnya jajak pendapat IRI bulan Maret 2003). 31 Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004. 32 Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004
52
bagi lembaga jajak pendapat untuk membuat prediksi. Angka sebesar itu lebih besar dari perolehan suara pemenang Pemilu tahun 2004 ini. Tingkat undecided voters yang relatif kecil (di bawah 20%) ada dalam survei LSI dan SSS. Angka undecided voters dalam survei LSI sebesar 17.2%, sementara SSS sebesar 4.8%. Tingkat undecided voters dalam jajak pendapat LSI relaif kecil karena LSI menanyakan lebih lanjut responden yang menjawab tidak tahu.
33
Sementara
untuk jajak pendapat SSS kemungkinan karena responden survei ini yang mayoritas warga kota. Tingginya undecided voters ini adalah penyakit lama. Selama puluhan tahun di masa Orde Baru, dengan kebijakan massa mengambang, masyarakat
diasingkan dari
pembicaraan politik. Survei perihal partai politik selama puluhan tahun juga absen. Tidaklah mengherankan jikalau banyak warga yang masih malu, atau takut menjawab partai pilihan ketika ditanya oleh pewawancara. Perasaan takut atau tidak mau menjawab partai pilihan ini ternyata masih tetap tinggi meski Pemilu tinggal beberapa hari lagi. Tabel menggambarkan angka undecided voters yang dilaporkan oleh sejumlah lembaga jajak pendapat pada Pemilu 1999 dan 2004. Apa yang terlihat dalam tabel tersebut adalah, tidak ada perubahan yang signifikan dari kondisi tahun 1999 dan 2004. Rata-rata angka undecided voters dari survei tahun 1999 dan 2004 masih di kisaran angka 25%. PEMILU 1999 Lembaga RPC Litbang Kompas IFES LP3ES KPP-Lab Politik UI
Rata-Rata = 22.5
Angka Undecided Voters 10.9 18.3 32 28.8
PEMILU 2004 Lembaga IRI DRI IFES LSI SSS Balitbang PDIP LP3ES Rata-Rata = 26.87
Angka Undecided Voters 27 35.6 30.3 17.2 4.8 18.2 55
33
LSI memberi dua pertanyaan soal partai pilihan. Pertanyaan pertama partai pilihan responden. Untuk responden yang tidakmenjawab atau mengatakan rahasia atau belum menentukan partai pilihan, LSI menanyakan pertanyaan lanjutan partai apa yang dianggap pantas. Gabungan antara partai pilihan dan partai yang dianggap pantas ini yang dipresentasikan sebagai suara perolehan partai.
53
Dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina, angka undecided voters di Indonesia ini sangat besar. Berbagai survei Social Weather Stations (SWS) di Filipina misalnya, menemukan angka undecided voters ini di bawah 5%. Apalagi di negara dengan tradisi demokrasi yang panjang seperti Amerika, lembaga jajak pendapat tidak pernah menghadapi kesulitan akibat responden tidak mau menjawab partai ap yang akan dipilih. Tingginya angka undecided voters ini menyulitkan lembaga terutama dalam membuat prediksi perolehan suar. Karena masih ada 25% orang yang belum atau tidak mau menjawab partai pilihan, maka perolahan suara partai yang diprediksikan oleh lembaga tersebut punya potensi selisih yang besar. POPULASI HETEROGEN Persoalan besar yang dihadapi oleh lembaga jajak pendapat di Indoensia berkaitan dengan populasi yang heterogen. Wilayah Indonesia tersebar dengan masyarakat yang sangat heterogen baik dari pendidikan, pendapatan ataupun pekerjaan.
Ini
masih ditambah dengan dukungan partai politik yang terfragmentasi. Partai politik mempunyai basis dukungan di tiap-tiap wilayah. Kecuali Partai Golkar dan PDIP, tidak ada partai politik dengan kekuatan yang merata di semua wilayah Indonesia. PKB sangat kuat di Jawa Timur tetapi lemah di luar Jawa. PBR kuat di Jakarta dan Jawa Barat teapi lemah di wilayah lain. PAN kuat di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera tetapi lemah juga di wilayah lain. Atau PDS yang kuat di Sulawesi Utara, Nusa Tenggara dan Papua, tetapi relatif tidak bersinar di wilayah dengan mayoritas penduduk Islam. Apa artinya?
Kekuatan yang terfragmentasi ini mengharuskan
lembaga jajak pendapat untuk mengambil populasi Indonesia secara keseluruhan. Jika Jawa Timur tidak diikutsertakan sebagai populasi misalnya, suara PKB dipastikan akan jeblok dan lembaga jajak pendapat tidak akan bisa akurat memprediksi perolehan suara PKB. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam hasil survei Soegeng Sajadi Syndicated. Dalam survei SSS 28 Februari-3 Maret 2004, PKB mendapatkan 12.4% sedangkan PAN 13.5%. Jika kita mengacu kepada hasil perhitungan suara sementara KPU dan hasil berbagai lembaga jajak pendapat, suara PAN tidak lebih besar daripada PKB. Lebih besarnya suara PAN daripada PKB ini bisa dimengerti jikalau kita melihat populasi yang diambil. Dari 19 kota dan 14 kabupaten yang diambil oleh SSS, hanya ada 2 yang daerah Jawa Timur yang secara tradisional menjadi basis suara PKB----yakni Surabaya dan Gresik. Suara PKB kemungkinan disumbang oleh responden yang
54
berasal dari wilayah ini. Sementara wilayah dengan basis tradisional PAN mendapat sampel wilayah lebih banyak----tercatat kota Yogyakata, kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Bantul. Dengan komposisi populasi seperti itu tidak mengherankan jikalau survei SSS menghasilkan suara PAN relatif besar. Atau contoh yang lain adalah survei Danareksi Research Institute (DRI). Yang menarik dari survei DRI ini adalah meskipun populasi dari jajak pendapat hanya 5 provinsi, hasilnya tidak jauh berbeda dengan lembaga jajak pendapat yang mengambil populasi seluruh
wilayah
Indonesia.
Tetapi
kelemahan
dari
DRI
adalah
tidak
bisa
menggambarkan dinamika partai-partai kecil yang memang kuat di sejumlah wilayah yang tidak menjadi populasi survei. Populasi yang heterogen ini menuntut lembaga jajak pendapat untuk menyusun metode penarikan sampel yang tepat. Yakni metode penarikan sampel yang bisa mencakup populasi yang beragam tersebut sehingga sampel yang didapat benarbenar representatif. Persoalannya bukan terletak pada mampu tidaknya lembaga itu dalam menyusun desain penarikan sampel. Persoalan itu acapkali timbul justru di luar masalah teknis metodologis, yakni persoalan waktu, dana dan tenaga. Dengan kata lain, lembaga jajak pendapat harus memutar otak untuk menyusun desain penarikan sampel yang bukan saja benar secara metodologis tetapi juga efesien dan feasibel secara ekonomis dan tenaga yang tersedia. Di bawah ini akan diuraikan metode penarikan sampel yang dipakai oleh LSI, LP3ES dan IRI. Lembaga Survei Indonesia (LSI) memakai metode multistage random sampling. Multistage random sampling pada dasarnya adalah gabungan antara sampel stratifikasi (stratified random sampling) dengan sampel klaster (cluster sampling). Stratifikasi diperlukan supaya heterogenitas dari populasi masyarakat Indonesia bisa tercermin dalam sampel. Karakteristik dasar dari populasi yang dipakai dalam survei ini adalah:
proporsi penyebaran daerah (provinsi), proporsi perbedaan antara
wilayah (kota desa), dan proporsi perbedaan gender ( laki-laki-perempuan).
34
Meskipun mencerminkan populasi, stratifikasi menaikan budget survei karena dengan stratifikasi tersebut, sampel yang ditarik akan sangat menyebar. Untuk 34
Dengan stratifikasi, terlebih dahulu diklasifikasikan ke dalam karakteristik dasar dari populasi---populasi seperti jenis kelamin, wilayah, dan sebagainya. Sehingga sampel yang dihasilkan proporsional dengan populasinya. Pembatasan karakteristik tersebut disesuaikan dengan informasi awal yang tersedia, dan ketiga karakteristik itu sudah lazim digunakan dalam kerangka sampel profesional selama ini di Indonesia. Tiga karakteristik tersebut (provinsi, desa/kelurahan, dan gender) dijadikan dasar untuk membuat stratifikasi.
55
kasus survei ini, sampel akan menyebar dari Sabang di Timur, ke Merauke di Barat. Karena itu ongkosnya akan menjadi mahal. Untuk menaggulangi masalah budget yang meningkat karena stratifikasi tersebut, maka stratifikasi tersebut dikombinasi dengan klaster. Lewat klaster sampel tidak menyebar sehingga ongkos untuk menjangkaunya mengecil---meskipun klaster
membuat sampel menjadi kurang
mencerminkan karakteristik populasi. Komponen klaster yang dipakai dalam survei ini adalah desa-kelurahan, RT, dan Kartu Keluarga. Dari provinsi yang ada di seluruh Indonesia, semua diambil sebagai populasi LSI. Dalam survei LSI, desa ditempatkan sebagai unit utama pengambilam sampel (PSU/ Primary Sampling Unit). Karena jumlah penduduk masing-masing provinsi berbeda maka jumlah desa yang disertakan disesuaikan dengan proporsi besarnya jumlah penduduk per provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk besar, akan mendapatkan desa terpilih lebih banyak dibandingkan dengan provinsi dengan jumlah penduduk sedikit. Cara menentukan desa dilakukan dengan
terlebih dahulu menyusun
kerangka sampel daftar nama desa di seluruh Indonesia. desa
tersebet
diklasifikasikan
lagi
menurut
desa
35
dan
Sebelum ditarik, daftar kota
dan
ditentukan
proporsinya. Artinya, besarnya desa yang diambil disesuaikan dengan proporsi antara desa dan kota tersebut di masing-masing provinsi. Secara nasional perbandingan proporsi desa dan kota adalah 58:42. Sampel PSU desa yang diambil, juga mencerminkan proporsi tersebut. Daftar nama desa yang telah disusun berdasarkan provinsi dan wilayah (desa-kota) diambil secara acak sistematis.
35
Kerangka sampel yang dipakai adalah data desa Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000. Data desa itu sudah terklasifikasikan menurut provinsi.
56
INDONESIA
STRATIFIKASI 1: PROVINSI
PROVINSI 1
PROVINSI 2
PROVINSI N
STRATIFIKASI 2: DESA - KOTA
PSU (DESA / KELURAHAN) 1
PSU (DESA / KELURAHAN) 2
PSU (DESA / KELURAHAN) N
KLASTER 1: DESA/ KELURAHAN
RUKUN TETANGGA (RT) 1
RUKUN TETANGGA (RT) 2
RUKUN TETANGGA (RT) N
KLASTER 2: RT
KELUARGA (KK) 1
KELUARGA (KK) 2
KELUARGA (KK) N
KLASTER 3: KK
STRATIFIKASI 3: GENDER
RESPONDEN
Jumlah PSU (desa/kelurahan) dalam survei LSI bulan Maret ( wawancara lapangan 18-24 Maret 2004) sejumlah 345 desa, meliputi 200 desa dan 145 kelurahan. Di masing-masing desa/kelurahan terpilih didaftar nama-nama Rukun Tetangga (RT), dan kemudian dipilih 4 RT secara random. Di masing-masing RT terpilih kemudian didaftar Kartu Keluarga (KK), dan dipilih 2 KK secara random. Di masing-masing KK terpilih, didaftar anggota KK yang
memiliki hak pilih dalam pemilu, yakni yang
berumur 17 tahun atau lebih, atau yang telah menikah. Bila dalam KK pertama ditetapkan responden perempuan, maka pada KK sisanya di RT yang sama laki-laki yang didaftar. Setelah mendaftar anggota KK yang laki-laki atau yang perempuan, maka dengan bantuan Kish Grid, dipilih
secara
random
satu
orang untuk
57
diwawancarai secara tatap muka langsung. Sehingga, total sampel survei ini sebesar 2760 responden.36 Hampir mirip dengan metode penarikan sampel LSI adalah IFES. Pemilihan sampel responden yang diwawancarai menggunakan metode multistage random sampling. Pertama, ukuran sampel level provinsi ditentukan sesuai dengan proporsi masingmasing propinsi dari populasi nasional. Teknik acak sederhana ( simple random sampling)
kemudian
digunakan
pada
setiap
tahap
selanjutnya.
Pemilihan
kabupaten/kotamadya dilakukan terhadap setiap provinsi, dimana jumlah sampel disesuaikan dengan proporsi masing-masing populasi kabupaten terhadap populasi masing-masing provinsi. Pada tahap ketiga, sejumlah kecamatan dipilih dari setiap kabupaten/kotamadya, dimana jumlah sampel juga disesuaikan dengan proporsi masing-masing populasi kecamatan terhadap populasi masing-masing kabupaten. Tahap keempat, dari setiap kecamatan terpilih diambil secara acak satu kelurahan / desa dengan mempertimbangkan status desa atau kota ( berdasarkan Peta Indeks Kelurahan/ Desa BPS tahun 2001). Dari setiap kelurahan/desa terpilih, diambil satu Rukun Warga (RW) secara ack, dan dari masing-masing RW terpilih kemudian dipilih 2 Rukun Tetangga (RT) juga secara cak. Semua tahap ini menggunakan teknik acak sederhana ( simple random sampling). Sepuluh rumah tangga kemudian dipilih dari masing-masing RT dengan menggunakan random walking method. Masing-masing responden dari setiap rumah terpilih kemudian ditentukan dengan menggunakan metode kish grid. Anggota keluarga yang yang berhak terpilih sebagai responden dalam survei ini harus sudah menikah atau berusia 17 tahun atau lebih pada Pemilu 5 April 2004. Semua responden diwawancarai secara tatap muka. Ukuran sampel pada survei IFES Tahun 2003 menggunakan 3.000 responden dari seluruh Indonesia.37 Sementara penarikan sampel yang dipakai LP3ES adalah modifikasi dan gabungan antara sampel stratifikasi dengan klaster. Klaster pertama kali diterapkan oleh LP3ES untuk memilih provinsi. Dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, dibagi ke dalam empat kelompok ( klaster) oleh LP3ES, yakni National Capital Region ( DKI Jakarta 36
Metode penarikan sampel LSI, dikutip dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). , Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers, 2 April 2004. 37 Metode penarikan sampel IFES ini dikutip seluruhnya dari IFES, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003, bagian Metodologi.
58
dan Sekitarnya), wilayah Barat , tengah dan timur. Wilayah Barat meliputi provinsi Jawa Barat Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung. Wilayah Tengah meliputi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Bali. Sementara wilayah Timur meliputi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Karena alasan posisi yang strategis, wilayah NCR dipilih secara purposif. Sementara provinsi dari wilayah Barat, Tengah dan Timur diambil secara random.Banyaknya provinsi yang diambil proporsional dengan besarnya populasi dari masing-masing wilayah. Dari proses ini didapatkan 13 provinsi yang mencerminkan suara nasional. Dari 13 provinsi terpilih ( wilayah Barat, Tengah dan Timur) , diambil lagi kabupaten secara random. Dari kabupaten terpilih baru diambil desa. Pewawancara datang ke desa yang terpilih.Pewawancara mendata nama Rukun Tetangga ( RT) di masingmasing desa, dan dilakukan proses random kembali. Dari Rukun Tetangga terpilih, pewawancara mendata kembali nama KK yang ada di dalam RT terpilih. Setelah daftar tersusun, diambil KK terpilih lewat proses random. Dari KK terpilih, barulah pewawancara mendatangi mereka. Kerangka sampel untuk menyusun nama anggota keluarga adalah Kartu Keluarga. Dari daftar nama dalam KK itu, responden diambil dengan menggunakan kish grid. Proporsi responden yang diambil memperhatikan sebaran merata antara laki-laki dan perempuan dimana proporsi perempuan (50%) dan laki-laki (50%).38 Pada penarikan sampel LP3ES klaster diterapkan pertama kali pada tingkat provinsi bukan pada tingkat desa. Teknik penarikan sampel ini mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan metode penarikan sampel dengan klaster pertama pada tingkat desa, populasi lebih menyebar dan lebih mencerminkan derajat heterogenitas populasi. Tetapi kelemahannya, wilayah yang menyebar ini menjadi kesulitan utama pada proses wawancara. Dengan metode itu, wilayah desa tersebar dari ujung Timur ke ujung Barat, dari Sabang hingga Merauke. Sementara pada survei LP3ES, karena klaster pertama diterapkan pada tingkat provinsi, wilayah lebih menyempit. Dana bisa dihemat, proses wawancara juga bisa lebih dikontrol 38
Metode penarikan sampel LP3ES ini dikutip dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003, bagian Metodologi.
59
karena lembaga jajak pendapat berhadapan dengan wilayah yang tidak sangat menyebar. Dalam hal ini sampel LP3ES terkumpul di 13 provinsi di Indonesia.
Aceh, Maluku, Papua
INDONESIA PURPOSIVE
CLUSTERING
NCR ( National Capital Region)
KECAMATAN
CLUSTERING
TENGAH
BARAT ( Meliputi : Jawa Barat Banten,Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung)
RANDOM
CLUSTERING
( Meliputi : Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Bali)
RANDOM
SUMUT, BENGKULU, JAMBI, JABAR, JATENG, JATIM
TIMUR ( Meliputi: Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur)
RANDOM
RANDOM
KALTENG, KALSEL,SULUT, SULSEL, BALI
NTT
RANDOM RANDOM
RANDOM
RANDOM KABUPATEN
KELURAHAN
DESA RANDOM
Bagaimana dengan metode penarikan sampel survei International Republican Institute (IRI)? Responden merupakan pemilih yang memenuhi syarat, termasuk mereka yang lahir sebelum Mei 1987 atau telah menikah, jika lebih muda. Dalam survei IRI, tidak semua propinsi diikut sertakan. Ada
9 propinsi yang tidak diikut
sertakan. Aceh tidak dimasukkan karena dalam situasi darurat militer. Papua juga tidak dimasukkan karena faktor sulitnya akses kesana. Propinsi lain tidak diikut sertakan karena hanya mewakili sebagian kecil kursi dan karakteristiknya telah diwakili propinsi lain. Teknik penarikan sampel memakai Probability Proportional to Size (PPS) untuk menyeleksi sampel yang mewakili 23 propinsi. Jumlah sampel akhir
60
adalah 2540. Primary sampling unit (PSU) adalah Kecamatan.
39
Prosedur penarikan
sampel dapat digambarkan sebagai berikut:
IN D O N ES IA
S e m u a p r o v in s i k e c u a li : A c e h , R ia u , B a n g k a B e lit u n g , B e n g k u lu , G o r o n t a lo , M a lu k u , M a lu k u U t a r a , P a p u a , I r ia n Jaya B arat
LANGKAH 1 D a f t a r s e lu r u h p r o p in s i, k a b u p a t e n , d a n k e c a m a t a n d e n g a n s e n s u s p o p u la s i d a n ju m la h d e s a ( B P S 2 0 0 0 )
LANGKAH 2 M e n g h itu n g in t e r v a l s a m p e l
T o ta l p o p u la s i / J u m la h k e lo m p o k
LANGKAH 3 lM e n g h it u n g p o p u la s i k u m uzla t if d i s e lu r u h k e c a m a t a n
LANGKAH 4 lD im u la i d e n g a n n o m e r a c a k d a n p ilih k e c a m a ta n
LANGKAH 5 lK e lu r a h a n ( d e s a ) d ip ilih s e c a r a a c a k d a r i s e t ia p k e c a m a t a n y a n g te r p ilih
K e lu a r g a d ip ilih s e c a r a r a n d o m w a lk d a n K is h G r id
Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara langsung. Setiap keluarga
dipilih
dengan
menggunakan
prosedur
random
walk.
Sesudah
mewawancarai di satu keluarga, empat rumah setelahnya dilewati sebelum memulai lagi. Kish Grid digunakan untuk memilih anggota keluarga dengan usia yang sesuai secara acak. Jika orang tersebut tidak ada, pewawancara akan mengunjungi kembali
39
Teknik penariksan sampel Iri dikutip seluruhnya dari The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Presentasi Hasil Polling Nasional, Desember 2003, bagian Metodologi
61
(hingga 3 kali kunjungan). Di dalam melaksanakan polling ini, pewawancara diberikan pelatihan khusus karena hal-hal sensitif mengenai masalah politik yang dibahas disurvei. Pewawancara yang terlibat dalam partai politik tidak diperkenankan berpartisipasi dalam jajak pendapat ini.
Semua metode penarikan sampel itu mencerminkan suara nasional. Meski metode penarikan sampel telah dimodifikasi sedemikian rupa dengan keterbatasan dana dan tenaga, tetap saja jajak pendapat itu berbiaya besar. Sekali survei, lembaga jajak pendapat menyertakan lebih dari 250 orang tenaga pewawancara dengan biaya di atas Rp.300 juta. Biaya itu akan lebih besar jika wilayah-wilayah dengan geografis sulit ( seperti Papua, Nusa Tenggara, Maluku atau Aceh) diikutsertakan sebagai populasi.
Karena
itu
sejumlah
lembaga
jajak
pendapat
membatasi
populasi
penelitian. Lembaga jajak pendapat secara purposif memilih sejumlah wilayah yang mencerminkan karakter populasi. Survei DRI misalnya hanya menyertakan provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Lima provinsi itu diambil secara purposif oleh DRI, karena mencerminkan keragaman populasi. Penarikan sampel responden dari 5 wilayah itu tetap dilakukan secara random. Survei Soegang Sarjadi Syndicated juga secara purposif memilih 19 kota dan 14 kabupaten ( tidak random). Dari wilayah itu, baru sampel responden diambil secara random.
40
Dengan populasi yang terbatas
survei bisa dikerjakan
dengan biaya hemat dan waktu yang singkat. Tetapi kelamahan penarikan sampel ini adalah kurang bisa mencerminkan keragaman populasi. PERSOALAN TEKNIS Populasi yang heterogen ( yang mengharuskan lembaga jajak pendapat mengambil populasi luas) juga berhubungan dengan persoalan teknis: waktu, tenaga dan biaya. Untuk melakukan sekali jajak pendapat nasional, paling tidak dibutuhkan 250-an tenaga pewawancara, alokasi waktu 2 minggu dan dengan biaya sekitar Rp. 500 juta. Kesulitan teknis itu berakibat sulitnya mengukur opini publik menjelang hari pemilihan. Pergerakan sentimen publik atas partai tidak bisa diikuti dari minggu ke 40
Wilayah yang diambil dalam survei SSS didasarkan pada arti penting dan dinamika dari kota tersebut. Kota yang dipilih adalah kota-kota yang dinamik, dan unsur kedinamikan itu diprediksi punya pengaruh politik ke lingkungannya. Sehingga kota yang dipilih merefleksikan kesadaran politik masyarakat kota. Untuk mengkontraskan dengan desa, diambil satu kabupaten. Atas dasar itu diambil 19 kota dan 14 kabupaten. Wawancara dengan Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegang Sarjadi Syndicated, 4 November 2004.
62
minggu. Yang menarik dari pengalaman Pemilu 2004 ini adalah munculnya kekuatan baru yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Fenomena naiknya suara partai di hari menjelang pemilihan ini adalah fenomena Pemilu 2004. Pada Pemilu 1999, tidak ada perubahan yang berarti dari pilihan publik. Orang sudah memutuskan memilih salah satu partai meskipun Pemilihan Umum masih beberap bulan lagi. Ini bisa menjelaskan mengapa pada tahun 1999, meskipun lembaga jajak pendapat mengadakan survei enam bulan sebelum Pemilu bulan Juni, tetap bisa memprediksi PDIP sebagai pemenang Pemilu. Pilihan atas partai sudah ditentukan jauh sebelum hiruk pikuk kampanye berlangsung. Kondisi ini sangat berbeda dengan tahun 2004. Ada banyak peristiwa yang mempengaruhi sentimen publik. Untuk PKS memang diprediksikan suaranya akan membesar, tidak demikian dengan PD. Jika kita mengikuti hasil jajak pendapat dari awal tahun, dukungan terhadap PD ini semula mengecil. Lonjakan pemilih PD baru menguat dibulan Maret, ketika Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari kabinet Megawati karena merasa tidak dilibatkan lagi dalam urusan kenegaraan yang penting. Mungkin publik simpati kepada Susilo Bambang Yudhoyono yang sekaligus mengatrol perolehan suara partai ini. Lembaga jajak pendapat yang tidak melakukan survei di bulan Maret atau April tidak akan bisa menangkap dinamika ini. Dalam survei DRI bulan Oktober 2003 misalnya, fenomena mencuatnya suara PD dan PKS tidak tergambar dalam hasil survei. Dalam survei DRI, PKS masih diprediksikan mendapat suara di kisaran 1%.
63
Suara Partai Survei Danareksa Research Institute (DRI) Oktober 2002-Oktober 2003 25 21.9 20
18.4
18
17.8 15.8
15 Persen 10
14.7
13.9
10.3
9.6
8.1 8.3
7.8 6.6
6.3
6 5.7
5.9 5.7 4.5
5 2.1
1.9
1
3.6 1.7 2
1.3
1 1
0 Oktober 2002
Golkar
Februari 2003
PDIP
PPP
Juni 2003
PKB
PAN
Oktober 2003
PBB
PKS
Contoh yang lain adalah survei International Republican Institute (IRI). Jajak pendapat lembaga ini memang berhasil memotret trend kenaikan suara PKS. Tetapi karena dilakukan di bulan Desember, fenomena PD tidak terekam dalam jajak pendapat ini. Partai Demokrat adalah partai baru, dan secara resmi menjadi partai peserta Pemilu 2004 sejak 7 Desember 2003. Ini agak berbeda dengan PKS. Meski nama baru, partai ini adalh partai lama dengan nama baru ( semula Partai Keadilan). Publik yang disurvei oleh IRI sudah tahu PKS tetapi tidak tahu soal PD.
64
Suara Partai Survei International Republican Institute (IRI) Maret 2003-Desember 2003 30
24
25
Persen
20
19
19 16
Maret 2003
15
Desember 2003
10 10
10 7
7 5
5
3 1
2
3 1
0 Golkar
PDIP
PPP
PKB
PAN
PBB
PKS
Lembaga yang bisa menangkap fenomena naiknya suara PKS dan munculnya kekuatan PD adalah IFES dan LSI. Tidak mengherankan karena kedua lembaga ini melakukan survei di bulan Maret saat masa kampanye. LSI melakukan survei dari tanggal 8 hingga 18 Maret, sementara IFES dari tanggal
21-28 Maret. Kedua
lembaga ini menghasilkan temuan suara PD di atas 4%. Angka ini bisa jadi tidak presisi, tetapi paling tidak bisa menangkap kebangkitan kedua partai. Terutama PD yang sebelum bulan Maret diprediksikan akan menjadi partai dengan suara nol koma ( suara di bawah 1%). Perhatian orang di awal tahun ini banyak mengarah kepada kehadiran Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Mbak Tutut sebagai kandidat presiden dari PKPB. Lembaga yang melakukan survei di bulan Maret bisa sedikit banyak menangkap fenomena Partai Demokrat.
65
Pilihan Partai Survei IFES Desember 2003-Maret 2004 30 27.1 25 22.2 21.1
Persen
20
15
19.9
19.3
13.1
13
12.2
9.8
10 7.2 5.8 5.5 2.4 2.2 0.8
11.5
9.2
8.9
7.5 6.5
7.1 5.9
5.6 5.1
5
12
4.4
4.1 4.1
3.6 3.1 1.7
6.4 6.6 5
2.9 1.6
1.1
4.1 3.6
1.3
0 Des 2003 Golkar
Jan 2004 PDIP
PAN
26 Jan-6 Feb PPP
PKB
15 Feb-10 Maret PBB
21-28 Maret PKS
PD
66
Suara Partai Hasil Survei LSI Agustus 2003-Maret 2004 30 26.5 25
23.2 21.3
20 17.5
Persen
16.8 15
14.4
9.5
9.2
10 6.8
7.6
7.5
8.1
7.4 5.7
5
3.5
2.5
1.9 2.3
1.9
5.5
4.9
1.5
1.2
0 Agustus 2003 Golkar
November 2003 PDIP
PPP
PKB
PAN
Maret 2004 PBB
PKS
PD
67
VI. EXIT POLL DAN QUICK COUNT Dalam konteks Pemilu, ada satu jenis jajak pendapat yang perlu mendapat perhatian yakni, exit poll dan quick count. Jenis survei ini berbeda dibandingkan dengan survei yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya. Jajak pendapat yang sudah dibahas dalam bab terdahulu, proses wawancara (pengumpulan data ) dilakukukan sebelum Pemilu. Exit poll dan quick count sebaliknya dilakukan setelah Pemilu. Exit poll adalah metode mengetahui opini publik yang dilakukan sesaat setelah seseorang keluar dari bilik suara. Pewawancara datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah terpilih, dan menanyakan kepada responden apa partai pilihan mereka. Sesuai dengan namanya, exit poll ini dilakukan kepada pemilih sesaat setelah pencoblosan. Umumnya wawancara dilakukan di tempat TPS. Pertanyaan dalam exit poll umumnya juga sedikit ( kurang dari 10 pertanyaan). Peneliti misalnya menanyakan partai apa yang yang baru saja dicoblos, apa partai pilihan Pemilu 1999, kenapa memilih partai itu, dan informasi lain.
Karena
wawancara dilakukan setelah pencoblosan, peneliti bisa mengetahui partai pilihan sampai hari pencoblosan. Ini berbeda dengan jajak pendapat dimana wawancara dilakukan sebelum seseorang pergi ke tempat pencoblosan. Sementara
quick
count
adalah
proses
perhitungan
cepat
yang
dilakukan
berdasarkan data TPS terpilih. Peneliti mengambil secara random TPS, dan dari TPS terpilih itu dicatat perolehan suara masing-masing TPS. Hasilnya ditabulasi dan menggambarkan perolehan suara masing-masing partai.
41
setelah
TPS
proses
perhitungan
suara
di
masing-masing
Quick count dilakukan selesai
dilakukan.
Perbedaan mendasar antara exit poll dan quick count adalah sebagai berikut. Exit poll seperti halnya survei pada umumnya, dimana pengumpulan data dilakukan lewat
wawancara
dengan
responden
terpilih.
Sebaliknya,
pada
quick
count
pengumpulan data tidak dilakukan lewat wawancara tapi hasil akhir perhitungan di TPS. Jadi dari TPS terpilih, petugas lapangan akan mengirim hasil akhir perhitungan suara. Karena TPS diambil secara random, hasil akhir dari quick count ini
secara
teoritis mirip dengan hasil Pemilu aktual. Karena sifatnya itu, informasi yang
41
Quick count sering juga disebut sebagai Parallel Vote Tabulation (PVT).
68
diperoleh lewat quick count hanya perolehan suara. Sementara pada exit poll, peneliti bisa menggali informasi lain lewat wawancara. Quick count berguna dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia. Metode ini tidak cocok dipakai di negara maju, dimana dalam satu hari pemilihan sudah bisa diketahui hasil akhir Pemilu. Di negara berkembang, letak geografis dan teknologi perhitungan suara yang lamban, menyebabkan hasil akhir Pemilu baru bisa diketahui hasilnya 3 minggu sampai satu bulan. Quick count membantu mengatasi kesulitan itu. Lewat quick count, hasil akhir perhitungan suara sudah bisa dibuat satu atau dua hari setelah pencoblosan. Metode ini jika dilakukan secara benar, bisa menjadi data pembanding dari perolehan suara resmi. Lewat quick count akan bisa diketahui apakah
ada
kemungkinan
proses
kecurangan
Pemilu,
terutama
pada
tahap
perhitungan suara. Proses penelitian juga berbeda antara exit poll dan quick count. Pada exit poll, peneliti berada di luar TPS. Wawancara juga dilakukan di luar TPS. Sementara pada quick count peneliti ( pemantau) berada di dalam TPS. Peneliti selain mencatat dengan cermat perolehan suara di TPS, juga memantau aspek lain seputar pelaksanaan Pemilu di TPS tersebut----misalnya apakah TPS di buka dan ditutup tepat waktu, apakah ada saksi, apakah perlengkapan Pemilu tersedia lengkap dan sebagainya. Hasil perhitungan suara di tiap TPS itu lalu dikirim ke pusat data ( lewat telepon atau fax). Petugas di pusat data akan mentabulasi secara cepat hasil perhitungan suara tersebut.
42
Pengalaman quick count di sejumlah negara, metode
ini sangat andal dalam menggambarkan perolehan suara partai dengan derajat selisih yang kecil.
43
Baik exit poll maupun quick count adalah alat yang berguna untuk mengukur pendapat publik saat Pemilu. Di Indonesia, lembaga yang berpengalaman dalam
42
Karena didasarkan pada perolehan suara partai di TPS, hasil quick count lebih presisi dalam menggambarkan perolehan suara dibandingkan dengan exit poll. Kelebihan utama dari quick count, data perolehan suara didasarkan pada data aktual. Tetapi kelemahan utama dari quick count, tidak ada informasi lain yang bisa digali untuk menjelaskan pilihan partai. Karena hasil hanya berupa perolehan suara, tidak bisa dijelaskan kenapa partai A yang menang, apa alasan orang memilih partai A, atau dari kelompok mana pemilih partai A dan sebagainya. 43 Mengenai quick count, metode dan praktek di sejumlah negara, lihat National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation, 2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org) dalam format pdf.
69
melakukan exit poll dan quick count adalah LP3ES ( Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Sejak tahun 1997, LP3ES melakukan exit poll. Exit
Poll Pemilu 1999 dilakukan oleh LP3ES di seluruh wilayah Jawa. LP3ES
mengambil secara acak ( random) 28 Daerah Tingkat II, 168 desa, dan 672 RT di seluruh Jawa. Exit poll itu dilakukan beberapa jam setelah pemungutan suara berlangsung pada 7 Juni 1999. Exit poll melibatkan 4.331 responden. Perbandingan hasil exit poll dan hasil aktual Pemilu disajikan dalam tabel berikut. Dari tabel terlihat, exit poll LP3ES secara tepat bisa memprediksi peringkat 1-3 pemenang Pemilu 1999 di Jawa ( Golkar, PDIP dan PKB). Exit poll itu hanya kurang tepat dalam meramal posisi PAN dan PPP. Secara keseluruhan, rata-rata kesalahan exit poll dalam memprediksi suara perolehan partai di Jawa adalah 3.6%.
Tetapi ketika di
bawa ke suara nasional, kesalahan rata-rata makin besar, yakni 6.34%. Yang perlu dicatat, exit poll itu hanya dilakukan di Jawa. Karena itu exit poll itu hanya mencerminkan suara pemilih yang ada di Jawa. Partai Exit Poll Hasil Pemilu Pemilu LP3ES ( Jawa) di Jawa 2004 % Posisi % Posisi PDIP 38 1 36.1 1 Golkar 14 3 16.5 3 PKB 23 2 18 2 PPP 6 5 11 4 PAN 11 4 7.4 5 Kesalahan Absolut Rata-Rata Prediksi dari
Hasil Pemilu Nasional % Posisi 33.7 1 22.4 2 12.6 3 10.7 4 7.1 5 5 Partai
Selisih Jawa
Selisih Nasional
-1.9 2.5 -5 5 -3.6 3.6
-4.3 8.4 -10.4 4.7 -3.9 6.34
Pada Pemilu 2004, LP3ES kembali membuat exit poll, dan sekaligus mengadakan perhitungan suara cepat ( quick count). Dalam perhitungan cepat ini, LP3ES bekerjasama dengan NDI, lembaga internasional dari Amerika yang sudah terbiasa dengan perhitungan model quick count. Quick count itu menghitung langsung dari Tampat Pemungutan Suara yang diambil secara acak (random). Karena quick qount itu dihitung dari suara aktual di TPS hasilnya secara teoritis akan mendekati kenyataan yang sebenarnya. LP3ES-NDI melakukan penghitungan berdasarkan data di 1.416 TPS dengan 289.052 suara sah. Tabel menyajikan hasil akhir quick count dan perbandingan dengan hasil aktual Pemilu. Dari aspek akurasi, quick count itu secara akurat berhasil memprediksi pemenang Pemilu dan komposisi pemenang Pemilu dari urutan 1- 24. Tidak ada satu pun kesalahan dalam prediksi LP3ES-NDI.
70
Quick count itu bisa memprediksi posisi partai Golkar di urutan atas hingga Partai Buruh Sosial Demokrat di urutan terakhir. Keberhasilan terbesar dari quick count ini adalah memprediksi perolehan suara masing-masing partai. Semua partai bisa diprediksikan perolehan suaranya dengan selisih masing-masing tidak lebih dari 1.5%. PDIP misalnya diprediksi mendapatkan 18.4%, sementara hasil aktual perolehan suara PDIP adalah 18.54%. Atau kesalahan hanya 1%. Total dari 24 partai politik, jika diambil rata-rata kesalahan prediksi hanya sebesar 0.18%. Quick count terbukti sebagai metode yang terpercaya yang bisa menghitung secara cepat perolehan suara di TPS di Indonesia. Proses perhitungan suara di KPU, meskipun memakai sistem teknologi informasi yang canggih dan berbiaya mahal, ternyata sangat lamban. Hasil kasar perhitungan suara baru diketahui dua minggu setelah perhitungan suara. Sementara perhitungan resmi baru bisa dilakukan satu bulan setelah pemungutan suara. Quick count LP3ESNDI
sudah
bisa
meramalkan
perolehan
suara
partai
ini
satu
hari
setelah
pencoblosan. Hasilnya terus menerus diperbaharui. Pada hari keempat, total semua suara sudah bisa ditabulasi. Perhitungan cepat ini sangat berguna terutama bagi partai politik untuk mengambil ancang-ancang melakukan koalisi dalam rangka pemilihan presiden. Partai 2004
Pemilu
Golkar PDIP PKB PAN PD PKS PAN PBB PKPB PBR PDS PKPI PNBK PPDK PNI Marhaenisme Merdeka Pelopor
Quick count LP3ES-NDI
Hasil Aktual Pemilu
Selisih
% 22.9 18.4 10.6 8.1 7 6.9 6.4 2.6 2.2 2.1 1.8 1.3 1.1 1.1 0.9 0.9 0.9
% 21.58 18.53 10.57 8.15 7.45 7.34 6.44 2.62 2.11 2.44 2.13 1.26 1.08 1.16 0.81 0.74 0.77
% -1.32 0.13 -0.03 0.05 0.45 0.44 0.04 0.02 -0.09 0.34 0.33 -0.04 -0.02 0.06 -0.09 -0.16 -0.13
Posisi 1 2 3 4 5-7
8-11
Posisi 1 2 3 4 5 6 7 8 11 9 10 12 14 13 16 20 18
71
12-24 PP 0.8 0.95 15 0.15 PNUI 0.8 0.79 17 -0.01 PPDI 0.8 0.75 19 -0.05 PPD 0.7 0.58 22 -0.12 PSI 0.6 0.6 21 0 PBSD 0.6 0.56 24 -0.04 PIB 0.5 0.59 23 0.09 Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 7 partai terbesar = 0.35 Kesalahan Absolut Rata-Rata Predikasi dari 24 Partai = 0.18
72
VII. JAJAK PENDAPAT NON ILMIAH Jajak pendapat
yang dibahas
dalam bab sebelumnya (baik untuk kasus Pemilu
1999 maupun 2004) ditambah exit poll dilakukan dnegan menggunakan prinsip ilmiah. Jajak pendapat tersebut berpretensi untuk menggambarkan suara populasi, partai pilihan publik Indonesia.
Semua jajak pendapat tersebut, menggunakan
metode yang standar. Prinsip ilmiah yang paling dasar adalah pada pengambilan sampel. Prinsip ilmiah mengharuskan sampel diambil secara random (acak). Prinsip ini secara sederhana dapat digambarkan, semua anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Kalau populasi pemilih Indonesia berjumlah 147 juta orang, prinsip random mengharuskan setiap pemilih punya kesempatan dipilih sebagai sampel (atau kesempatan per orang adalah 1/147 juta). Dalam konteks Indonesia, prinsip ini
mengandung dua konsekuensi sekaligus.
Pertama, wawancara harus dilakukan secara langsung dan menyertakan semua wilayah Indonesia. Wawancara lewat telepon atau short message services (SMS) tidak bisa diterapkan karena tidak bisa menyertakan semua pemilih di Indonesia. Kepemilikan telepon atau hand phone (HP) di Indonesia masih sangat terbatas, sekitar 5% dari total pemilih di Indonesia. Karena itu, jajak pendapat yang mengandalkan wawancara lewat telepon atau pengiriman jawaban lewat sms mengabaikan suara sekitar 9% pemilih yang tidak punya telepon dan HP. Pemilik telepon dan HP hanya terbatas di lingkungan masyarakat kota, mereka utamanya berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Kedua, proses pemilihan responden harus benar-benar
acak.
Seseorang
terpilih
sebagai
subyektifitas peneliti tetapi karena prinsip random.
sampel
bukan
karena
unsur
Hanya dengan prinsip random
ini, representasi sampel bisa diperoleh. Metode ilmiah yang standar memberi panduan berbagai aneka teknik penarikan sampel---dari sampel sistematis, sampel klaster, sampel bertingkat sampai sampel stratifikasi. Semua teknik tersebut menjamin bahwa sampel yang didapatkan identik dengan karakter populasi. Selain penarikan sampel, peneliti juga berhadapan dengan jumlah sampel. Kalau teknik penarikan sampel berhubungan dengan bagaimana agar orang yang diambil
73
representatif, jumlah sampel berkaitan dengan sejauh mana hasil sampel dekat dengan populasi. Dalam dunia penelitian, jumlah sampel ini berkaitan dengan kesalahan dalam penarikan sampel (sampling error atau sering juga disebut sebagai margin of error). Demi ketepatan, peneliti membutuhkan sampling error yang kecil. Tetapi sampling error yang kecil ini konsekuensinya adalah pada jumlah sampel yang besar. Semakin besar jumlah sampel, semakin kecil pula sampling error. Angka sampling error ini berkaitan dengan bagaimana peneliti memprediksi hasil jajak pendapat dengan populasi. Misalnya, jajak pendapat mengambil sampel sebesar 1.000 orang. Dengan jumlah sampel sebesar ini, angka sampling error adalah 3%. Hasil sampel, karena itu harus ditafsirkan pada batas-batas sebesar ± 3%. Jika misalnya dalam jajak pendapat itu partai A mendapat suara dukungan 20%, maka angka sesungguhnya yang didapat oleh partai A adalah ± 20% (atau berada di kisaran 17%-23%). Dengan interval yang jauh itu, peneliti akan kesulitan menyimpulkan perolehan suara partai, terutama kalau perolehan suara antar partai sangat ketat. Taruhlah, partai B dalam jajak pendapat itu mendapat 21% suara, yang berarti
angka sesungguhnya yang
didapat oleh partai B adalah ± 21% (atau berada di kisaran 18%-24%). Kalau peneliti menghadapi situasi ini, akan kesulitan menyimpulkan apakah partai A atau B yang lebih besar suaranya. Supaya peneliti bisa lebih yakin dengan kesimpulan partai mana yang menang, angka sampling error harus diperkecil. Dengan sampling error yang kecil, derajat perbedaan perolehan suara antar partai politik bisa diprediksikan dengan lebih baik. Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan keberhasilan lembaga jajak pendapat untuk memprediksikan peringkat partai 1-3, karena perolehan suara partai tiga besar ini relatif jauh dengan di bawahnya. Tetapi lembaga jajak pendapat kesulitan ketika memprediksi urutan dan perolehan suara partai di papan tengah ( posisi 4-8 besar). Tetapi yang perlu diingat, teknik penarikan sampel juah lebih penting. Kalau terjadi kesalahan, umumnya bukan karena terlalu sedikit orang yang diwawancarai tetapi karena teknik pengambilan sampel yang tidak tepat. Jika metode penarikan sampel dilakukan dengan benar, tidak dibutuhkan jumlah sampel yang besar untuk menghasilkan jajak pendapat yang baik. Di Amerika, rata-rata lembaga jajak pendapat dilakukan dengan 1.500 orang responden. Filipina, negeri dengan jumlah pemilih sebesar 25 juta orang, bisa diwakili oleh jajak pendapat dengan sampel
74
sebesar 1.000 orang. Untuk Indonesia, pengalaman 1999 dan 2004 menunjukkan lembaga jajak pendapat bisa menghasilkan temuan yang baik dengan jumlah sampel sebesar 2.000-an orang. Asal sampel diambil secara random, jumlah sebesar itu cukup bisa mewakili suara 147 juta pemilih. Selain jajak pendapat ilmiah, ada jajak pendapat tidak ilmiah. Disebut jajak pendapat tidak ilmiah karena jajak pendapat itu tidak dilakukan lewat prinsip ilmiah. Sampel tidak diambil dengan menggunakan prinsip random (acak), sehingga hasilnya tidak bisa dipakai untuk menggambarkan suara populasi.
Meski jajak
pendapat ini umumnya memakai ratusan ribu sampel, karena tidak diambil secara random, sampel yang dihasilkan sama sekali tidak mencerminkan populasi. Ada banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah, dibandingkan yang ilmiah. Jajak pendapat yang banyak dilakukan oleh televisi, media dotcom lewat telepon atau sms yang menjamur pada Pemilu 2004, adalah contoh jajak pendapat yang tidak ilmiah. Jika dibandingkan jumlah jajak pendapat ilmiah dan jajak pendapat tidak ilmiah, lebih banyak jajak pendapat yang tidak ilmiah. Masalahnya adalah, publik umumnya tidak tahu dan tidak bisa membedakan mana jajak pendapat ilmiah dan mana jajak pendapat yang tidak ilmiah. Kerancuan ini kerap timbul, disamping keterbatasan pengetahuan
masyarakat
mengenai
jajak
pendapat,
juga
diakibatkan
olehg
ketidakjujuran lembaga jajak pendapat. Lembaga itu tidak menginformasikan kepada publik bahwa jajak pendapat yang dilakukan itu tidak ilmiah, dan karenanya sama sekali tidak mencerminkan opini publik. Bab
ini
akan
menjelaskan,
jajak
pendapat
yang
tidak
dilakukan
dengan
menggunakan metode ilmiah yang benar, hasilnya akan sangat berbeda dengan kenyataan. Dari banyak jajak pendapat tidak ilmiah ini, diambil tiga jajak pendapat yang paling besar dan berpengaruh: jajak pendapat SCTV dan Media IndonesiaDetik.com. Ketiga jajak pendapat itu yang paling banyak dikutip dan dibicarakan baik oleh politisi maupun masyarakat awam.
SCTV menyelenggarakan jajak
pendapat mengenai partai menjelang pemilihan 5 April. Hasil jajak pendapat SCTV ini ditayangkan pada program berita di SCTV ( Liputan 6 Siang, Liputan 6 Pagi dan Liputan
6
Petang).
Sementara
jajak
pendapat
Detik.com-Media
Indonesia
dipublikasikan secara berkala dan real time lewat situs Detik.com. Lembaga SCTV
Metode SCTV tidak menarik sampel. Pemirsa secara aktif
Periode Maret 2004
Jumlah Sampel 195.432 dengan jumlah responden
75
Media IndonesiaDetik.com
mengirimkan partai pilihan ke SCTV. Pemirsa SCTV mengirimkan SMS ke nomor 6666. Setiap partai mempunyai kode yang bisa dikirim sesuai dengan partai pilihan pemirsa. Masyarakat mengirim SMS partai yang dipilih ke nomor yang disediakan Media Indonesia-Detik.com.
global sebesar 240.799 orang.
Maret-April
14.125
Persamaan dari ketiga jajak pendapat itu adalah, menggunakan sampel yang besar. Tetapi seperti yang diuraikan di depan, jumlah sampel tidak bukanlah ukuran jikalau metode pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar. Jumlah sampel ratusan ribu atau bahkan puluhan juta orang sekalipun, bukanlah jaminan bawa hasil akan representasi dengan populasi. Jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com memakai metode yang hampir sama, yaitu call-in. Penyelenggara polling membuat pengumuman, dan meminta masyarakat untuk memilih lewat SMS partai yang dipilih. Hasil dari pilihan partai ini diajikan tiap saat oleh SCTV dan Media IndonesiaDetik.com.44
Sementara telesurvei MARS meskipun memakai sistem acak, tetapi
karena dilakukan lewat telepon hasilnya juga tidak akan menggambarkan populasi masyarakat Indonesia yang sebagian besar tidak mempunyai telepon. Tabel menunjukkan perolehan suara 8 partai dalam jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com. Di sisi paling kanan disajikan data mengenai selisih antara prediksi lembaga jajak pendapat dengan hasil aktual Pemilu.
Partai 2004 Golkar PDIP PKB PPP PD
Pemilu
Jajak via SMS SCTV % 5.8 4.8 3.1 1.7 9.2
pendapat
Posisi 5 6 7 13 3
Hasil Aktual Pemilu % 21.58 18.53 10.57 8.15 7.45
Posisi 1 2 3 4 5
Selisih % 15.78 13.73 7.47 6.45 -1.75
44
Metode ini disebut tidak ilmiah karena dua alasan berikut. Pertama, metode call-in dimana seseorang memilih dirinya sebagai sampel tidak dikenal dalam dunia ilmiah. Responden bersifat pasif, sementara dalam kedua jajak pendapat itu responden secara aktif menentukan dirinya sebagai sampel. Kedua, prinsip penting dari pengambilan sampel adalah seseorang terpilih sebagai sampel karena prinsip mekanisme acak. Dalam kedua jajak pendapat ini, mereka memilih dirinya sendiri sebagai sampel.
76
PKS 41.2 1 7.34 6 -33.86 PAN 16.5 2 6.44 7 -10.06 Kesalahan Absolut Rata-Rata Jajak Pendapat SMS SCTV = 12.73 Keterangan: Jajak pendapat SCTV adalah hasil 30 Maret 2004, pukul 01.00 ( sumber: http://www.liputan6.com/parpol2004.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah.
Partai 2004
Pemilu
Jajak pendapat via SMS Media IndonesiaDetik.com
Hasil Aktual Pemilu Selisih Posisi % 1 17.18 2 15.43 3 9.17 4 -20.15 5 0.95 6 -20.06 7 -4.96 Pendapat Media Indonesia-
% Posisi % Golkar 4.4 6 21.58 PDIP 3.1 7 18.53 PKB 1.4 9 10.57 PPP 28.3 1 8.15 PD 6.5 5 7.45 PKS 27.4 2 7.34 PAN 11.4 3 6.44 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei Jajak Detik.com = 12.56 Keterangan: Jajak pendapat Media Indonesia-Detik.com yang ditampilkan disini adalah hasil 19 April 2004 ( sumber: http:// mobile.detik.com / smspolling/index.php). Pada jajak pendapat ini, posisi 4 ditempati oleh Partai Damai Sejahtera (PDS). Karena jajak pendapat terus berlangsung secara real time, perolehan angka partai bisa terus berubah. AKURASI Kita bisa menilai kualitas dari jajak pendapat itu dari sudut
akurasi, apakah hasil
jajak pendapat bisa akurat dalam meramalkan pemenang Pemilu dan komposisi peringkat partai. Baik jajak pendapat SCTV maupun Detik.com-Media Indonesia sama-sama
tidak akurat dalam memprediksi komposisi pemenang Pemilu. Jajak
pendapat SCTV menghasilkan PKS sebagai pemenang Pemilu, sementara jajak pendapat Detik.com-Media Indonesia menemukan PPP sebagai partai yang banyak dipilih. Ada satu kesamaan utama dari komposisi pemenang Pemilu ini. Yakni suara partai kota yang besar ( PK, PD dan PAN). Sementara partai yang selama ini punya basis massa kuat di desa ( seperti Golkar, PDIP, PKB ) mempunyai posisi rendah dalam hasil lembaga jajak pendapat tersebut. Hasil ini tidaklah mengejutkan. Karena pemilih telepon dan hand phone sebagian besar tinggal di kota. Selain lokasi tinggal
77
responden, status ekonomi responden juga menentukan. Pada jajak pendapat Media Indonesia-Detik.com dan SCTV, PKS dan PAN menempati posisi 1 dan 2. Ini tidak mengherankan. Karena sistem jajak pendapat itu adalah call–in ( responden menentukan dirinya sendiri sebagai sampel), maka yang berpeluang menjadi sampel bukan hanya mereka yang punya telepon dan hand phone tetapi mereka yang mau dan rela dan menyediakan waktu dan uang untuk mengirim SMS. Meraka yang mau dan bersedia meluangkan waktu dan uang ini utamanya adalah partai dengan tingkat mobilisasi yang tinggi. PKS dan juga PDS ( Partai Damai Sejahtera) selalu menempati posisi atas karena kedua partai ini adalah partai kader dengan massa yang militan. Dari
aspek
akurasi,
terlihat
jajak
pendapat
sangat
tidak
akurat
dalam
menggambarkan partai pemenang Pemilu dan komposisi pemenang Pemilu. Ini sekaligus membuktikan, kalau jajak pendapat tidak dilakukan dengan mekanisme dan prinsip ilmiah yang benar, hasilnya tidak akan representatif dan sama sekali tidak menggambarkan opini publik.
PARTAI
Golkar PDIP PKB PPP PD PKS PAN
KOMPOSISI PARTAI PEMENANG PEMILU MENURUT RAMALAN LEMBAGA JAJAK PENDAPAT SCTV ( via SMS) Media IndonesiaDetik.com ( via SMS) 5 6 6 7 7 9 13 1 3 5 1 2 2 3
Rata-Rata Deviasi
1 2 3 4 5 6 7
PRESISI Selain tidak akurat, dibandingkan hasil
jajak pendapat itu juga sama sekali tidak presisi. Jika
prediksi dengan hasil aktual Pemilu, terdapat perbedaan yang
sangat tajam. Tingkat kesalahan jajak pendapat SCTV dan Media IndonesiaDetik.com di atas 10%. Tabel menyajikan selisih rata-rata prediksi SCTV dan Media Indonesia-Detik.com dengan hasil aktual Pemilu. Yang menarik dari tabel ini, selisih terbesar dialami ketika memprediksi suara PKS. Baik SCTV maupun Media IndoensiaDetik.com menghasilkan angka untuk PKS yang sangat besar, jauh lebih besar dari pada angka sebenarnya yang diperoleh oleh PKS dalam Pemilu. Sebaliknya, hasil kedua jajak pendapat itu lebih kecil ketika memprediksi perolehan suara Partai
78
Golkar. Selisih rata-rata kedua lembaga jajak pendapat dalam meramal suara Golkar adalah 16.48%. Deviasi yang besar ini juga dijelaskan dengan melihat metode yang dipakai. Sampel dalam kedua jajak pendapat tidak dipilih secara acak ( random). Seseorang terpilih sebagai sampel bukan karena prinsip dan hukum probabilitas. Sebaliknya, seseorang yang (secara sukarela) menentukan dirinya sendiri sebagai sampel responden. Karena itu hasil jajak pendapat hanya mencerminkan suara orang yang dengan sukarela menentukan pilihan sebagai sampel. Karena tidak dipilih secara acak, jajak pendapat SCTV atau Media Indonesia-Detik.com tidak mencerminkan populasi pemilih Indonesia. Jajak pendapat bahkan tidak mencerminkan suara pemilik telepon atau
hand
phone.
Prinsip
random
mensyaratkan
semua
anggota
populasi
mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Karena metode jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com bersifat in call ( seseorang menentukan dirinya sendiri sebagai sampel) maka jajak pendapat itu hanya menyertakan mereka yang kebetulan mengirim SMS. Jajak pendapat mengabaikan pemilik HP atau telepon yang kebetulan tidak tahu adanya jajak pendapat atau tidak ingin mengirim SMS ke SCTV. Menarik membandingkan jajak pendapat SCTV dengan MARS. Jajak pendapat MARS dilakukan lewat telepon, tetapi metode penarikan sampel dilakukan secara acak (random). Jajak pendapat MARS lebih mencerminkan suara pemilik telepon. Tabel menyajikan perbandingan hasil jajak pendapat SCTV dan MARS. Dari tabel terlihat, deviasi (selisih kesalahan) jajak pendapat MARS lebih kecil dibandingkan dengan SCTV. Meskipun diambil secara random, jajak pendapat MARS tidak menunjukkan representasi suara masyarakat Indonesia. Ia hanya mengakomodasi suara pemilik telepon yang kebetulan berada di kota. Tidak terlampau mengherankan jikalau suara untuk PKB dalam jajak pendapat itu sangat kecil.
Partai 2004 Golkar PDIP PKB PPP PD PKS
Pemilu
Jajak pendapat SCTV ( via SMS) % Posisi 5.8 5 4.8 6 3.1 7 1.7 13 9.2 3 41.2 1
Telesurvei MARS ( via telepon) % Posisi 18.3 1 16.8 3 4.3 6 3.8 7 17.4 2 13.2 5
79
PAN Skor Kesalahan
16.5
2 12.73
16.2
4 5.89
Keterangan: Telesurvei MARS dilakukan di enam kota besar: Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makasar, dan Palembang. MARS menanyakan partai politik mana yang dipilih pada Pemilu 5 April lewat telepon. Jumlah sampel diwawancarai MARS sebanyak 30.228.Telesurvei MARS diambil dari hasil tanggal 30 Maret 2004, pukul 24.00 ( sumber: http://www.liputan6.com /parpol_mars2004.php). Dalam jajak pendapat SCTV dan Media Indonesia-Detik.com, hasilnya bias karena hanya menyertakan pemilih HP yang aktif. Tidak terlampau mengherankan jikalau suara sangat tinggi berasal dari pemilih PKS dan PDS. Pemilih partai ini bukan hanya berasal dari kalangan terdidik di kota, tetapi juga terbiasa dengan informasi dan teknologi. Mereka juga kelompok yang aktif dan terorganisir---yang bisa dengan mudah dilihat dari keaktifan mereka dalam mengorganisir demonstrasi ratrusan ribu orang ketika memprotes sejumlah isu. Tidaklah mengherankan jikalau suara dari PKS ini sangat tinggi dibandingkan dengan partai lain.
SELISIH KESALAHAN ( DEVIASI) LEMBAGA Rata-Rata JAJAK PENDAPAT DALAM MERAMAL PEROLEHAN Selisih PARTAI PARTAI SCTV ( via SMS) Media IndonesiaDetik.com ( via SMS) 16.48 Golkar 15.78 17.18 14.58 PDIP 13.73 15.43 8.32 PKB 7.47 9.17 13.3 PPP 6.45 -20.15 1.35 PD -1.75 0.95 26.96 PKS -33.86 -20.06 7.51 PAN -10.06 -4.96 Keterangan: Rata-rata deviasi dihitung dari selisih rata-rata dari 3 lembaga dalam memprediksi perolehan masing-masing partai. Selisih positif (+) atau negatif (-) diabaikan.
80
VIII. PENUTUP Pelajaran apa yang bisa ditarik dari ramalan lembaga jajak pendapat Pemilu 1999 dan
2004?
Dari
Pemilu
1999
dan
2004,
lembaga
jajak
pendapat
bisa
memprediksikan dengan benar pemenang Pemilu. Hasil Pemilu telah diketahui sebelum publik berbondong-bondong ke bilik-bilik suara. Tetapi meramalkan pemenang Pemilu saja tidak cukup. Kita membutuhkan lembaga jajak pendapat yang bisa meramalkan dengan presisi perolehan suara masing-masing partai. Tabel menunjukkan perbandingan kinerja lembaga jajak pendapat Pemilu 1999 dan 2004 dalam meramalkan suara partai. Jika dilihat dalam tabel tersebut, ada kemajuan dalam lembaga jajak pendapat. Jika ditotal semua lembaga jajak pendapat yang membuat survei Pemilu, rata-rata skor kesalahan lembaga jajak pendapat dalam meprediksi suara partai sebesar 6.5%. Angka ini berkurang secara signifikan pada tahun 2004 menjadi 3.34%.
Bahkan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) berhasil
memprediksi suara perolehan partai dengan selisih hanya 1.64%. Skor kesalahan 3.34% memang bukan angka yang rendah. Di Amerika, tingkat kesalahan rata-rata lembaga jajak pendapat dalam puluhan tahun di bawah 1.5%. Di negara berkembang seperti Filipina, skor kesalahan rata-rata berkisar di angka 2%. Tetapi untuk negeri dengan wilayah demografi yang luas dan baru menerapkan metode jajak pendapat, pencapaian ini sudah lebih dari lumayan. Tantangan terbesar lembaga jajak pendapat di masa datang adalah menghasilkan temuan yang bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Hanya dengan itu, publik bisa percaya bahwa jajak pendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum. Pengalaman Amerika dan Filipina, kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap jajak pendapat karena lembaga jajak pendapat bisa meyakinkan masyarakat bahwa prediksi mereka benar. PEMILU 1999 Kesalahan Absolut Rata IFES 4.23 LP3ES 4.62 Litbang Kompas 7.48 RPC 6.87 KPP-Lab Politik UI 9.31 Lembaga
PEMILU 2004 Kesalahan Absolut Rata LSI 1.64 IRI 1.73 IFES 3.13 DRI 3.71 Balitbang PDIP 3.47 SSS 3.83 Lembaga
Rata-
Rata-
81
LP3ES 5.85 Rata-Rata = 6.50 Rata-Rata = 3.34 Keterangan: Kesalahan absolut rata-rata prediksi Pemilu 1999 dan 2004 didasarkan pada selisih prediksi suara atas 7 partai terbesar. Semakin banyak survei, semakin banyak hasil jajak pendapat yang dipublikasikan akan semakin bagus. Bukan hanya agar khalayak mendapatkan lebih banyak informasi soal pendapat publik, tetapi juga demi kepentingan pengembangan penelitian pendapat umum di Indonesia. Banyaknya penelitian di bidang ini akan semakin membuka hutan rimbun yang belum dijamah itu. Dari jajak pendapat yang telah dilakukan akan bisa diperbandingkan, pengaruh sampel terhadap hasil, bagaimana seharusnya pertanyaan dirumuskan untuk konteks Indonesia, berapa jumlah responden ideal agar bisa mencakup keragaman masyarakat Indonesia dan seterusnya. Tantangan bagi lembaga jajak pendapat di masa datang adalah mendesain survei yang cepat, efesien, murah tetapi sekaligus akurat. Pengetahuan yang mendalam mengenai soal ini akan sangat berguna bukan hanya bagi lembaga jajak pendapat tetapi juga kepentingan ilmu sosial di Indonesia secara keseluruhan. Desain sampel yang baik, rumusan pertanyaan yang akurat hanya bisa diperoleh lewat penelitian terus menerus. Jangan dilupakan, penelitian sosial selalu berkaitan dengan situasi sosial. Pengetahuan mengenai bagaimana melakukan wawancara, bagaimana merumuskan pertanyaan yang dianggap tabu, bagaimana mendekati responden, adalah aspek praktis yang bisa diambil manfaatnya dari kegiatan jajak pendapat •
82
DAFTAR PUSTAKA BUKU, MAKALAH DAN JURNAL Dhakidae, Daniel,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada Seminar Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993 -------------------,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Agustus 1999.
Kompas,14
-------------------,” Medan Riset dan Jajak Pendapat di Indonesia,” Kompas,14 Agustus 1999. Field, Mervin D,”Political Opinion in The United States of America,” dalam Robert M.Worcester (ed), Political Opinion Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983. Gallup, George, “Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur (ed), Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California, Wadsworth & Brooks Inc, 1985. Guerrero, Linda Luz and Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An Encyclopedia Article,Occasional Paper, SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. ----------------------,and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. Litbang Kompas, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2004. Mangahas, Mahar, Linda Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and National Elections in The Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. Moore, David S, Statistics: Concept and Controversies, Second Edition, New York, WH Freeman, 1985. Moore, David W. The Superpollster:How They Measureand Manipulate Public Opinion in America, Second Edition, New York, Four Walls Eight Windows,1995. National Democratic Institute ( NDI), The Quick Count and Election Observation, 2003. Manual ini tersedia di website NDI ( http: //www.ndi.org). Weisberg, Herbert F, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to Survey Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage Publication, 1996.
83
LAPORAN, MAKALAH, MATERI KONFERENSI PERS JAJAK PENDAPAT Danareksa Research Institute (DRI), Sign of Golkar Resurrection, Special Report, Maret 2003 --------------------, Popularity of Military Figures Is On the Rise But Megawati Remains the Leading Contender, Special Report, Juli 2003 Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) , Laporan Survei Tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2004, Juni 2003 --------------------, Laporan Survei Kandidat Presiden Menjelang Pemilu 2004, Juli 2003 --------------------, Rakyat dan Pemilu 2004 : Laporan Survai tentang Persepsi Masyarakat terhadap Pemilu 2004, Maret 2004 --------------------, Survei Nasional Kecenderungan Pemilih Pada Pemilu 2004, diambil dari www.lp3es.or.id --------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu I, Mei 1999
Materi Konferensi Pers
18
--------------------, Rakyat, Partai Politik dan Pemilu II, Materi Konferensi Pers 3 Juni 1999 Lembaga Survei Indonesia (LSI), Gagalnya Partai-Partai Politik yang Membawa Simbol Reformasi, Materi Konferensi Pers 26 September 2003 --------------------, Tiga Calon Presiden erkuat 2004, Materi Konferensi Pers September 2003
24
--------------------, Perilaku Pemilih Islam, Materi Konferensi Pers 18 November 2003 --------------------, Kecenderungan Pemilih Yang Mengkhawatirkan Menjelang Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers 21 Januari 2004 --------------------, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004, Materi Konferensi Pers 2 April 2004 --------------------, Akankah Pemilu 2004 Berujung Pada Presiden Baru? Materi Konferensi Pers 13 April 2004 Litbang Kompas, “Pemilih, Siapa Mereka?” Kompas, 17 Mei 1999. -------------------, “Jajak Pendapat Litbang Kompas di Lima Kota: PDI Perjuangan Paling Populer,” Kompas, 15 Mei 1999. -------------------,”Hasil Dua Jajak Pendapat Litbang Kompas: PDI Perjuangan Di Urutan Pertama,” Kompas, 15 Februari 1999.
84
--------------------, “Masyarakat Pemilih, Bingung Atau Makin Kritis?” Kompas, 12 April 1999. Resource Productivity Center, “Hope for Change Lies With Students not Politicians,” The Jakarta Post, 23 Januari 1999 --------------------,”Nation in Transition Poised for Elections,” The Jakarta Post, 23 Januari 1999 Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Indonesian Presidency in the Making, Juli 2002 --------------------, Aproaching 2004 Indoensian Presidency in the Making: Who is The All-Round Best, September 2002. --------------------, The Ultimate Duets for the 2004 Presidential Race, Maret 2003 --------------------, General Election 2004 The Real Fight: The Incumbent VS The Hopeful, Mei 2003 --------------------, The 2004 General Election : The Incumbent’s Contenders, Juli 2003 --------------------, Pemilu 2004: Mengukur Kekuatan Politik Nasionalis VS Islam, November 2003 -------------------, The Puzzle Goes On : Male or Female President 2004, Maret 2004 --------------------, The Presidential Race : The People Decide, April 2004 The International Foundation for Election Systems (IFES), Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia –1999. -------------------, Survey of the Indonesian Electorate Following Elections, September 1999
the June 1999
-------------------, 2000 Indonesia Nationwide Survey, Mei 2000 -------------------, National Public Opinion Survey 2002 Republic of Indonesia, Mei 2002 -------------------, Indonesia 2003 National Survey, Mei 2003 -------------------, Indonesia 2004 Tracking Survey, Januari- April 2004 The International Republican Institute (IRI), Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Laporan Jajak Pendapat Nasional, Desember 2003 -------------------, Analisa dan Penjangkauan Pemilh, Nasional, Maret 2003
Laporan Jajak Pendapat
85
86