25
IV PEMBAHASAN
4.1
Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Rata-rata kandungan protein produk limbah udang hasil fermentasi
Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae dicantumkan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Ulangan
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 ……...…………………......... % …………………....................... 37,96 40,02 41,68 46,03 48,49 37,51 40,09 41,77 46,41 47,03 37,32 40,18 41,60 46,20 46,44 38,43 39,63 41,49 46,36 47,06 151,22 159,92 166,54 185,00 189,02 37,80 39,98 41,63 46,25 47,25
1 2 3 4 Jumlah Rata-rata Keterangan : P1 = Lama fermentasi B.licheniformis 1 hari dilanjut oleh S.cereviseae 5 hari P2 = Lama fermentasi B.licheniformis 2 hari dilanjut oleh S.cereviseae 4 hari P3 = Lama fermentasi B.licheniformis 3 hari dilanjut oleh S.cereviseae 3 hari P4 = Lama fermentasi B.licheniformis 4 hari dilanjut oleh S.cereviseae 2 hari P5 = Lama fermentasi B.licheniformis 5 hari dilanjut oleh S.cereviseae 1 hari
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kandungan protein produk pada berbagai perlakuan mengalami peningkatan jika dibandingkan kandungan protein sebelum diberi perlakuan yaitu 27,41%. Kandungan protein tertinggi diperoleh dari perlakuan P5 yaitu lama fermentasi B.licheniformis lima hari dilanjutkan dengan S.cereviseae satu hari, sedangkan kandungan protein terendah diperoleh
26
dari perlakuan P1 yaitu lama fermentasi B.licheniformis satu hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae lima hari. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa fermentasi dengan menggunakan Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae pada limbah udang nyata (P<0,05) meningkatkan kandungan protein produk fermentasi. Perbedaan antar perlakuan dianalisis menggunakan Uji Duncan yang hasilnya dicantumkan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Duncan Pengaruh Lama Fermentasi oleh Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae pada Limbah Udang terhadap Kandungan Protein Produk Perlakuan
Rata-rata Kandungan Protein
Signifikansi 0,05 .................................. % .................................................
P1
37,805
P2
39,978
P3
41,635
P4
46,250
a b c d
P5 47,255 e Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P < 0,05).
Berdasarkan Tabel 3 hasil uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan dari masing-masing perlakuan terhadap kandungan protein. P5 berbeda nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan P1, P2, P3, dan P4, dimana perlakuan yang diberikan yaitu lama fermentasi B.licheniformis lima hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae satu hari. Hal tersebut menggambarkan bahwa semakin lama waktu fermentasi oleh B.licheniformis pada fermentasi limbah udang menghasilkan rataan kandungan protein produk yang semakin tinggi yang disebabkan karena
27
kemampuannya dalam memproduksi enzim untuk mendegradasi limbah udang. Substrat limbah udang memiliki kandungan protein yang baik sehingga dapat memacu pertumbuhan Bacillus lichenoformis secara optimal karena Bacillus lichenoformis merupakan species bakteri yang mampu menghasilkan protease dalam jumlah yang relatif tinggi. Sejalan dengan pendapat Soeka dan Sulistiani (2014) bahwa yang paling banyak dimanfaatkan sebagai sumber protease adalah mikroorganisme, terutama bakteri
golongan
Bacillus, kapang Rhizopus,
Aspergillus, dan Mucor. Protease adalah enzim yang mengkatalisasi pemecahan ikatan peptida dalam peptida, polipeptida, dan protein menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti peptida rantai pendek dan asam amino. Lama fermentasi berkaitan dengan fase pertumbuhan mikroba yang akan terus berubah dari waktu ke waktu selama proses fermentasi berlangsung. Semakin lama waktu yang digunakan pada proses fermentasi mampu memberikan kesempatan pada mikroba untuk merombak komponen yang ada didalam substrat menjadi komponen yang lebih sederhana dan mudah dicerna. Hal ini sejalan dengan pendapat Aisjah (1995) bahwa waktu inkubasi yang lebih lama berarti akan semakin banyak kesempatan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga konsentrasi metabolik semakin tinggi sampai akhirnya menjadi terbatas yang kemudian dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun, sebaliknya waktu inkubasi yang singkat mengakibatkan terbatasnya kesempatan mikroba untuk terus tumbuh dan berkembang biak sehingga jumlah komponen substrat yang dapat diubah menjadi massa sel juga sedikit. Bacillus licheniformis dapat meningkatkan produksi enzim protease kitinolitik.
Enzim tersebut dapat memutuskan ikatan kovalen khitin-protein-
mineral sehingga dapat meningkatkan kandungan protein hasil fermentasi.
28
Ditunjang oleh penelitian Soeka, dkk., (2011) bahwa aktivitas Bacillus licheniformis menghasilkan enzim protease adalah 66,79-150,52 U/mL dengan waktu inkubasi 1-6 hari, sedangkan aktivitas protease S.cereviseae yaitu 0,005 U/g (Ahmad, 2007). Perolehan protein yang semakin meningkat pada produk fermentasi limbah udang ini berasal dari 2 komponen protein. Menurut O’Brient, dkk., (1993), komponen protein pada cangkang artropoda terbagi menjadi 2 bagian yaitu protein yang terikat secara kovalen dengan kitin dan protein yang terikat nonkovalen. Pada fermentasi limbah udang yang dilakukan, protein yang terikat secara non kovalen atau fisik dapat dirombak dengan perlakuan fisik seperti pengecilan ukuran sedangkan protein yang terikat secara kovalen dapat dirombak dengan perlakuan biologis sehingga dapat meningkatkan kandungan protein hasil fermentasi. P1 yaitu lama fermentasi B.licheniformis satu hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae lima hari memberikan hasil berupa nilai protein yang paling rendah, yang menunjukkan bahwa lama fermentasi satu hari oleh B.licheniformis belum optimal untuk memecah senyawa komplek pada limbah udang menjadi yang lebih sederhana walaupun dilanjutkan oleh S.cereviseae selama lima hari. Hal tersebut dapat diartikan bahwa fermentasi yang dilanjutkan oleh S.cereviseae selama lima hari tidak optimal dalam meningkatkan protein produk fermentasi limbah udang yang disebabkan karena S.cereviseae merupakan khamir yang dapat tumbuh dengan optimal pada substrat yang mengandung gula yang tinggi dan aktivitas primernya adalah merombak gula menjadi etanol sehingga substrat limbah udang kurang cocok untuk menunjang kemampuan khamir S.cereviseae
29
dalam memproduksi enzim yang dihasilkan untuk merombak senyawa kompleks pada limbah udang. Peningkatan kandungan protein selain karena aktvitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba juga disebabkan oleh penambahan protein sel tunggal (PST) yang berasal dari N substrat menjadi N mikroba (Bacillus licheniformis dan Saccharomyces cereviseae). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya populasi mikroba (lampiran 8) pada perlakuan P5 yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain yaitu 7,42 x 109 CFU/ml. Didukung oleh Kasmijo (1989) yang dikutip oleh Sjofjan, dkk., (2001) bahwa perkembangan biomasa inokulum menyebabkan peningkatan kandungan PK substrat. Bacillus licheniformis memiliki daya proteolitik yang cukup baik sehingga sifat proteolitik yang dimiliki mikroba tersebut mampu merombak protein substrat menjadi produk biomassa sel yang disebut protein sel tunggal (PST). S.cereviseae sendiri merupakan sel khamir yang berfungsi sebagai agensia protein sel tunggal (PST) karena komposisi kimia S.cerevisiae terdiri atas protein kasar 50-52%, karbohidrat 30-37%, lemak 4-5% dan mineral 7-8% (Reed dan Nagodhawithana, 1988). Peningkatan jumlah sel-sel mikrobial tersebut secara signifikan akan meningkatkan kandungan protein dari limbah udang produk fermentasi. P5 yaitu lama fermentasi B.licheniformis lima hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae satu hari merupakan perlakuan paling optimal menghasilkan kandungan protein produk tertinggi karena tersedianya waktu fermentasi oleh B.licheniformis yang lebih lama sehingga memberikan kesempatan mikroba untuk merombak protein pada limbah udang menjadi peptida rantai pendek ataupun asam amino serta adanya penambahan protein sel tunggal (PST) sehingga diperoleh kandungan protein produk yang tinggi.
30
4.2
Kandungan Glukosa Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Rata-rata kandungan glukosa produk limbah udang hasil fermentasi
Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae dicantumkan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-Rata Kandungan Glukosa Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Ulangan
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 ......................................... % .................................................... 2,36 4,72 6,70 7,08 9,00 3,54 2,36 7,08 7,73 9,44 2,50 4,72 7,08 8,26 7,08 4,72 3,93 6,00 9,44 8,50 13,12 15,73 26,86 32,51 34,02 3,28 3,93 6,71 8,13 8,50
1 2 3 4 Jumlah Rata-rata Keterangan : P1 = Lama fermentasi B.licheniformis 1 hari dilanjut oleh S.cereviseae 5 hari P2 = Lama fermentasi B.licheniformis 2 hari dilanjut oleh S.cereviseae 4 hari P3 = Lama fermentasi B.licheniformis 3 hari dilanjut oleh S.cereviseae 3 hari P4 = Lama fermentasi B.licheniformis 4 hari dilanjut oleh S.cereviseae 2 hari P5 = Lama fermentasi B.licheniformis 5 hari dilanjut oleh S.cereviseae 1 hari
Tabel 4 menunjukan bahwa rata-rata kandungan glukosa produk pada berbagai perlakuan mengalami peningkatan. Sama halnya seperti protein, kandungan glukosa tertinggi diperoleh dari perlakuan P5 yaitu lama fermentasi B.licheniformis lima hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae satu hari sebesar 8,5%, sedangkan kandungan glukosa terendah diperoleh dari perlakuan P1 yaitu lama fermentasi B.licheniformis satu hari yang dilanjutkan dengan S.cereviseae lima hari sebesar 3,28%.
31
Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa fermentasi dengan menggunakan Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae pada limbah udang nyata (P<0,05) meningkatkan kandungan glukosa produk fermentasi. Perbedaan antar perlakuan dianalisis menggunakan Uji Duncan yang hasilnya dicantumkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Duncan Pengaruh Lama Fermentasi oleh Bacillus licheniformis dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae pada Limbah Udang terhadap Kandungan Glukosa Produk Perlakuan
Rata-rata Kandungan Glukosa
Signifikansi 0,05 ...................................% .................................................
P1
3,280
P2
3,932
P3
6,715
b
P4
8,127
bc
a a
P5 8,505 c Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P < 0,05).
Berdasarkan Tabel 5 hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kandungan glukosa perlakuan P5 berbeda nyata (P<0,05) dari perlakuan P1, P2, dan P3 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan P4. Kandungan glukosa pada perlakuan P1 dan P2 satu sama lain tidak berbeda nyata (P>0,05). Demikian pula antara perlakuan P4 dan P5 satu sama lain berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil tersebut terlihat dari nilai persentase rataan kandungan glukosa antar perlakuan, dimana P1 dan P2 memiliki nilai yang tidak berbeda jauh yaitu 3,28% dan 3,92%, begitu pula P4 dan P5 yaitu 8,127% dan 8,505%. Sama halnya seperti pada protein bahwa semakin lama waktu fermentasi oleh B.licheniformis dilanjutkan dengan semakin
32
singkatnya lama fermentasi oleh S.cereviseae pada fermentasi limbah udang menghasilkan rataan kandungan glukosa yang semakin meningkat walaupun peningkatan P1 dan P2 serta P4 dan P5 tidak berbeda nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus licheniformis mampu memproduksi enzim kitinase yang lebih optimal daripada Sacharomyces cereviseae untuk mendegradasi kitin menjadi glukosa yang ditunjukkan dengan hasil perolehan glukosa yang paling tinggi pada perlakuan P5. Peningkatan glukosa ini erat kaitannya dengan peranan mikroba yang mampu mendegradasi komponen karbohidrat dalam limbah udang menjadi glukosa melalui proses fermentasi. Enzim yang berperan dalam perombakan tersebut adalah enzim kitinase yang dapat dihasilkan oleh B.licheniformis maupun S.cereviseae akan tetapi produksi enzim kitinase dari bakteri lebih baik jika dibandingkan kitinase dari khamir karena kemudahannya berkembang biak dalam waktu yang relatif singkat sehingga produksi enzim yang dihasilkan untuk merombak substratpun akan semakin banyak, didukung oleh pendapat Pratiwi (2015) bahwa mikroorganisme pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok bakteri. Kelompok mikroorganisme yang telah dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik adalah Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Bacillus sp., Serratia sp., dan Vibrio sp. Mikroorganisme kitinolitik ini mampu menghasilkan enzim kitinase dan memanfaatkan kitinase untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogennya. Perolehan glukosa tertinggi dengan perlakuan lama fermentasi Bacillus licheniformis yang panjang dan dilanjutkan dengan semakin singkatnya lama fermentasi Sacharomyces cereviseae menggambarkan bahwa fermentasi yang diawali oleh B.licheniformis menggambarkan bahwa fermentasi yang diawali oleh
33
B.licheniformis dengan waktu fermentasi yang panjang memberi kesempatan besar bagi B.licheniformis untuk menghasilkan enzim kitinase yang dapat memutus ikatan kitin dan senyawa kitin menjadi glukosamin yang ditunjukkan dengan meningkatknya kandungan glukosa produk. Abun (2008) melaporkan bahwa berkembangnya Bacillus licheniformis dapat meningkatkan produksi enzim protease kitinolitik yang mampu menghidrolisis ikatan glikosidik dan melepaskan gugus asetil sehingga terbentuk 2-amino-2-deoksi-D-glukosida atau glukosamin. Mekanisme dihasilkannya enzim kitinase dipaparkan oleh Susi (2002) bahwa produksi enzim kitinase dari bakteri dapat mengkatalisis reaksi degradasi (pemecahan) kitin dengan memotong ikatan glikosidik antara Nasetilglukosamin (monomer penyusun kitin). Mekanisme degradasi kitin oleh mikroba kitinolitik ini diawali dengan terdeteksinya kitin. Setelah terdeteksi, maka mikroba akan melekat di permukaan polimer tersebut dengan mediasi chitin binding protein (CBP). Selanjutnya, kitin akan menginduksi sistem sensor dua komponen pada mikroba sehingga enzim kitinase dihasilkan. Fermentasi selanjutnya dilakukan oleh Saccharomyces cereviseae yang besar kemungkinan menggunakan karbohidrat (glukosamin) yang tersedia hasil perombakan kitin oleh B.licheniformis sebagai nutrisi bagi pertumbuhannya dan untuk pembentukan dinding sel khamir karena S.cereviseae ini memiliki karakteristik khas yaitu memfermentasi karbohidrat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Dutta (1974) yang menyatakan bahwa Saccharomyces cereviseae termasuk dalam family Saccharomycetaceae yang tumbuh pada substrat organik kaya akan pati dan gula. Didukung oleh Pelczar dan Chan (2006) bahwa khamir tumbuh dalam suatu substrat atau medium berisikan konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri sehingga pertumbuhan khamir
34
Saccharomyces cereviseae akan optimal apabila substratnya banyak mengandung gula. Pertumbuhan Saccharomyces cereviseae yang optimal ditunjukkan dari perlakuan P4 dan P5 (semakin singkatnya lama fermentasi S.cereviseae). Hal tersebut menggambarkan tersedianya glukosa yang cukup hasil perombakan oleh Bacillus lcheniformis dalam limbah udang yang digunakan untuk pertumbuhan Saccharomyces cereviseae dan dengan lama fermentasi yang singkat sanggup untuk menunjang kehidupan Saccharomyces cereviseae yang ditunjukkan dari banyaknya populasi Saccharomyces cereviseae (lampiran 8) pada perlakuan P4 dan P5 yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain yaitu 5,25x107 CFU/ml dan 4,70x107 CFU/ml. Perlakuan P5 dengan lama fermentasi B.licheniformis lima hari yang dilanjutkan oleh S.cereviseae satu hari menghasilkan rataan kandungan glukosa tertinggi
sebesar
8,50%
yang
menggambarkan
keadaan
optimal
bagi
B.licheniformis untuk mendegradasi kitin menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu glukosa kemudian dilanjutkan dengan fermentasi S.cereviseae yang singkat sehingga akan semakin sedikit glukosa yang digunakan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan S.cereviseae tetapi sanggup untuk menunjang pertumbuhannya yang ditunjukkan dengan jumlah populasi mikroba yang tinggi pula. Perolehan glukosa yang tinggi pada P5 juga menggambarkan bahwa limbah udang produk fermentasi selain dapat menyediakan protein yang cukup dalam pakan juga dapat menyediakan glukosa yang merupakan senyawa dasar dan mempunyai nilai manfaat sebagai bahan dasar energi untuk ternak unggas.