IV. KONDISI SUMBERDAYA ALAM DAS BABON
4.1. Letak, Batas, dan Luas Daerah aliran sungai (DAS) Babon merupakan salah satu DAS di Jawa Tengah yang terletak pada lereng Utara Gunung Ungaran. Aliran Sungai Babon berasal dari beberapa anak-anak sungai yang berasal dari Gunung Butak, di Kabupaten Ungaran. DAS Babon terdiri atas tiga sub DAS yaitu di bagian hulu adalah Sub DAS Gung (seluas 4 207 ha) dan Sub DAS Pengkol (seluas 3 438 ha) sedangkan di bagian hilir adalah Sub DAS Babon Hilir (seluas 6 712 ha) yang bagian Barat dibatasi oleh saluran Banjir Kanal Timur. DAS Babon juga berbatasan dengan DAS Garang (Kota Semarang) di sebelah Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan DAS Tikung (Kabupaten Demak). Sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Hulu (Kabupaten Semarang). DAS Babon terletak pada ketinggian antara 2 meter di atas permukaan laut di bagian Utara (hilir) hingga sekitar 200 meter di bagian hulu, meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Semarang (Kecamatan Ungaran dan Kecamatan Bergas), Kota Semarang (Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gajah Mungkur, Kecamatan Candisari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan Genuk, dan Kecamatan Semarang Utara), dan Kabupaten Demak (Kecamatan Sayung dan Kecamatan Mranggen). Wilayah yang dilalui DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 11.
70
Tabel 11 Wilayah kelurahan yang termasuk DAS Babon Kabupaten/Kota Kabupaten Semarang
Kecamatan Ungaran Bergas
Kota Semarang
Tembalang
Banyumanik
Gajah Mungkur Candisari Semarang Selatan Gayamsari Semarang Timur Pedurungan
Genuk
Kabupaten Demak
Semarang Utara Mranggen Sayung
Kelurahan Bandarjo, Susukan, Mluweh, Kalikayen, Kawengen, Kalirejo, Kalongan, Leyangan, Beji Gondoriyo Rowosari, Meteseh, Bulusan, Tembalang, Jangli, Tandang, Sendangguwo, Kedungmundu, Sambiroto, Mangunharjo, Sendangmulyo, Kramas Pudakpayung, Gedawang, Jabungan, Banyumanik, Padangsari, Pedalangan, Srondol Wetan, Sumurboto, Ngesrep, Tinjomoyo Karangrejo Jatingaleh, Karanganyar, Jomblang Lamper Kidul, Lamper Tengah, Lamper Lor, Peterongan Pandean Lamper, Gayamsari, Sambirejo, Siwalan, Sawahbesar, Kaligawe, Tambakrejo Karangturi, Karangtempel, Sarirejo, Rejosari, Kebonagung, Bugangan, Mlatiharjo, Mlatibaru, Rejomulyo, Kemijen Gemah, Pedurungan Kidul, Plamongansari, Palebon, Pedurungan Lor, Penggaron Kidul, Pedurungan Tengah, Kalicari, Tlogosari Kulon, Tlogosari Wetan, Tlogomulyo, Muktiharjo Kidul Terboyo Wetan, Terboyo Kulon, Muktiharjo Lor, Gebangsari, Trimulyo, Genuksari, Bangetayu Kulon, Bangetayu Wetan, Sembungharjo, Penggaron Lor, Banjardowo, Karangroto, Kudu Tanjungmas Kebonbatur, Batursari, Banyumeneng, Jamus, Wringin Jajar Sriwulan, Sayung, Jetaksari, Kalisari
Sumber: Pramono, 2010
4.2. Kondisi Iklim, Tanah, dan Hidrologi 4.2.1. Kondisi Iklim Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang lama. Kondisi iklim biasanya terkait dengan temperatur, curah hujan dan tipe iklim. Kondisi iklim di DAS Babon berdasarkan data dari enam stasiun hujan, yaitu
71
Stasiun Pandean Lamper (6 mdpal), Susukan (330 mdpal), Ungaran (318 mdpal), Sayung (2 mdpal), Genuk (3 mdpal) dan Banyumeneng (43 mdpal) yang dilakukan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jawa Tengah. Berdasarkan analisis data iklim menunjukkan bahwa wilayah DAS Babon mempunyai suhu udara rata-rata 27.5oC, dengan temperatur udara pada bulan terdingin sebesar 21.5oC dan temperatur udara pada bulan terpanas sebesar 35.0 o
C, sedang curah hujan rata-rata tahunan selama 15 tahun terakhir adalah 2 210
mm. Dengan demikian menurut klasifikasi iklim Koppen termasuk tipe Am. Sementara menurut klasifikasi curah hujan Schmidt & Ferguson daerah studi mempunyai jumlah rata-rata bulan kering selama 3 bulan, dan jumlah rata-rata bulan basah 8 bulan, sehingga mempunyai tipe B dan C di bagian hilir. Data curah hujan rata-rata di DAS Babon pada enam stasiun dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Curah hujan rata-rata tahunan DAS Babon (mm/tahun) Stasiun No
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata
Pandean Lamper 2 540 2 965 2 383 1 968 1 839 1 919 1 493 1 858 1 987 1 792 1 411 1 650 1 745 415 2 295 1 884
Susukan
Ungaran
Sayung
Genuk
2 834 3 555 2 482 2 305 2 709 2 269 2 470 1 839 1 367 2 186 2 046 2 299 1 363 553 2 621 2 193
3 533 4 201 3 174 2 715 2 993 3 120 3 036 2 815 2 721 2 446 744 2 495 1 745 1 171 2 636
2 292 3 126 2 127 2 191 2 146 2 805 1 806 2 476 2 017 1 419 1 922 2 073 2 201 575 2 596 2 118
3 086 2 872 1 994 2 282 2 158 2 410 1 399 1 653 2 397 2 661 2 157 2 311 2 284 485 2 704 2 190
Sumber: Data Hujan Periode Tahun 1993-2008, BMG Jawa Tengah
Banyu meneng 3 349 3 426 4 025 1 856 1 226 2 856 2 666 1 958 1 619 1 626 1 797 2 109 1 844 867 2 430 2 244
72
4.2.2. Kondisi Tanah dan Tata Guna Lahan 4.2.2.1. Kondisi Tanah Berdasarkan data jenis tanah yang diperoleh dari Peta Tanah yang ada, menggambarkan bahwa jenis tanah yang terdapat di DAS Babon terdiri atas aluvial hidromorf, asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan, mediteran coklat tua, latosol coklat tua, latosol coklat kemerahan, regosol kelabu dan grumusol kelabu tua (BP-DAS Pemali-Jratun 2002). Jenis tanah aluvial hidromorf terletak pada daerah dataran dengan bahan induk liat yang mempunyai sifat tidak peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi yang sangat rendah. Jenis tanah asosiasi aluvial kelabu dan aluvial coklat kekelabuan tersebar di daerah dataran rendah pada kecamatan-kecamatan Genuk dan Sayung dengan bahan induk liat dan pasir, yang mempunyai sifat tidak peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi yang sangat rendah.Tanah dengan jenis mediteran coklat tua banyak dijumpai di wilayah Kecamatan Ungaran, Tembalang, Banyumanik dan Genuk, dengan jenis tanahnya mempunyai sifat peka terhadap erosi atau termasuk dalam klasifikasi kepekaan tanah terhadap erosi sedang. Latosol coklat tua kemerahan banyak terdapat di wilayah Kecamatan Ungaran dan Banyumanik dengan tingkat kepekaan tanah terhadap erosi sedang. Jenis tanah lainnya yang terdapat di DAS Babon adalah regosol kelabu dan grumusol kelabu tua, yang tersusun dari bahan induk abu/pasir dan tuff intermediate serta memiliki sifat yang sangat peka terhadap erosi atau dapat dikategorikan sebagai tanah dengan kepekaan tanah terhadap erosi tinggi. Kedua jenis tanah ini mempunyai penyebaran di Kecamatan Mranggen dan Sayung. Jenis tanah yang ada di DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis tanah di DAS Babon No 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Tanah Aluvial coklat kemerahan Latosol Mediteran coklat Regosol grumusol Aluvial hidromorf Jumlah
Sumber: BPDAS Pemali-Jratun, 2009
Luas (ha) 8 190.61 4 381.15 2 353.61 2 757.03 1 102.31 18 784.71
Proporsi (%) 43.60 23.32 12.53 14.68 5.87 100.00
73
4.2.2.2. Tata Guna Lahan Daerah Aliran Sungai Babon mempunyai berbagai macam tipe tata guna lahan dari sawah, tegalan/lahan kering, hutan negara dan permukiman yang meliputi, pemukiman, industri, dan daerah urban. Tataguna lahan pada sub DAS Babon dapat dilihat seperti pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta komposisi tataguna lahan DAS Babon
74
Tipe tata guna lahan berdasarkan pada data statistik tahun 2004 dalam setiap sub DAS dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Tata guna lahan DAS Babon
%
Tegal/Lahan Kering (ha) %
Hutan dan Perkebunan (ha) %
183.70
12.05
251.90
16.53
947.00
Bb 02
42.10
2.08
692.10
Bb 03
58.00
5.40
Bb 04
45.20
Bb 05
Sub DAS
Sawah/Tambak (ha)
Bb 01
Permukiman (ha)
%
62.13
84.60
7.87
34.13 1 171.40
57.76
245.60
18.51
377.20
35.11
554.70
51.62
706.00
27.53
3.41
509.10
38.36
527.30
39.73
98.30
9.16
154.80
14.42
705.00
65.67
115.50
10.76
141.60
9.29
Bb 06
303.90
11.85 1 083.80
42.26
470.90
18.36
122.50
6.04
Bb 07
135.80
6.88
961.80
48.75
294.00
14.90
898.30
66.58
Bb 08
361.20
17.82
616.00
30.39
494.60
24.40
555.20
27.39
Bb 09
50.40
4.19
141.00
11.73
630.30
52.43
380.50
31.65
Bb 10
47.70
4.83
420.60
42.65
250.20
25.37
267.60
27.14
Bb 11
394.80
53.44
271.60
36.76
29.90
4.05
42.50
5.75
Bb 12
584.10
17.56
627.30
18.86
112.10
3.37 2 002.90
60.21
Bb 13
0
0
157.90
17.42
195.70
21.59
552.90
60.99
Bb 14
0
0
376.20
27.88
74.70
5.54
898.30
66.58
Sumber: ProLH-GTZ. 2005
Dengan diketahuinya komposisi tipe tataguna lahan di masing-masing sub DAS, dapat digunakan untuk menganalisa sumber polusi dan penyebab polusi yang dominan di sub DAS yang bersangkutan. Dari tabel tersebut di atas, terlihat pada sub DAS Babon bagian atas masih terdapat tipe tataguna lahan sawah/tambak, tegal/lahan, hutan, perkebunan, dan sedikit permukiman, sedangkan pada sub DAS Babon bagian bawah di dominasi oleh tipe tataguna lahan untuk permukiman. 4.2.3. Kondisi Hidrologi 4.2.3.1. Hidrologi Permukaan (Sungai) Secara umum sistem sungai-sungai di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub DAS seperti disajikan peta sistem Sungai DAS Babon, yaitu:
75
a.
Sub DAS Gung, yang merupakan bagian hulu DAS Babon dengan sungai utama Sungai Gung yang bersifat perenial (mengalir sepanjang tahun), beserta anak-anak sungainya: Sungai Lutung, Jaten, Porang, Klangit, dan Sungai Sinanas.
b.
Sub DAS Pengkol, yang merupakan bagian tengah DAS Babon dengan sungai utama Sungai Pengkol yang juga bersifat perenial, dengan anak-anak sungainya: Sungai Wideng, Watukodok, dan Sungai Seketok.
c.
Sub DAS Babon Hilir, yang merupakan bagian hilir DAS Babon dengan sungai utama Sungai Babon dan Banjir Kanal Timur. Banjir Kanal Timur merupakan sedutan dari Sungai Babon di daerah Pucung. Anak-anak sungai yang masuk ke Banjir Kanal Timur antara lain: Sungai Candi, Mongkong, dan Sungai Dungadem; sementara sungai-sungai yang langsung bermuara ke Laut Jawa, yang berada di antara Banjir Kanal Timur dan Sungai Babon adalah: Sungai Tenggang, Siringin, Leles, Doro, Kaidin, dan Prih. Secara keseluruhan, sistem sungai-sungai yang terdapat di DAS Babon
membentuk pola aliran dendritik. Sungai Gung, Pengkol, dan Babon sendiri sebenarnya sebagai satu sungai besar, yang merupakan sungai utama di DAS Babon. Sungai-sungai ini merupakan sungai perenial, yang mengalir sepanjang tahun, dan pada musim kemarau masih mempunyai air walaupun dalam volume yang kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, DAS Babon termasuk dalam kategori sungai perenial. Aliran sungai di dalam DAS dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dengan cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola ini tergantung pada kondisi topografi, geologi, iklim, dan vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang bersangkutan. Sungai yang ada di DAS Babon membentuk pola aliran radial. Pola aliran ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah. Berdasarkan SK Walikota Kepala Daerah Tingkat II Semarang No. 880.2/992/94 menetapkan peruntukan Sungai Babon di Kota Semarang adalah sebagai berikut :
76
a.
Air Sungai Babon dari bagian hulu di Kelurahan Mateseh, Kecamatan Tembalang sampai dengan bendung Pucanggading ditetapkan sebagai air golongan B (air yang dapat dipergunakan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah tangga).
b.
Air Sungai Babon setelah melewati bendung Pucanggading sampai dengan bendung Karangroto ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan).
c.
Air Sungai Babon setelah melewati bendung Karangroto sampai dengan muara di pantai Utara ditetapkan sebagai air golongan C (air yang dapat dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan). Evaluasi kondisi hidrologi DAS juga dapat diketahui dari pola fluktuasi air
sungainya. Sungai Babon berdasarkan pada ketersediaan airnya termasuk dalam kategori sungai perenial yaitu sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun, meskipun terjadi fluktuasi musiman (seasonal water regime). Dengan demikian bahwa DAS Babon telah mengalami gangguan (enviromental disturbances), misalnya terjadinya perubahan pola/bentuk penggunaan lahan, meningkatnya erosi, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, dan sebagainya. Pemanfaatan Sungai Babon selama ini selain untuk pembuangan limbah, juga untuk pengendalian banjir Kota Semarang melalui pembangunan saluran Banjir Kanal Timur, untuk irigasi, perikanan, dan bahan baku air minum. Beberapa permukiman padat membuang limbah rumah tangga ke saluran sungai. Gambaran mengenai daerah aliran sungai DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 9.
77
Gambar 9 Peta daerah aliran sungai (DAS) Babon
78
4.2.3.2. Kondisi DAS Babon DAS Babon mempunyai morfologi: berbentuk memanjang, pola aliran denritik dengan ordo sungai sampai 4 artinya merupakan zone hidrologi yang sungainya merupakan alur-alur kecil dengan sifat aliran intermitten yaitu sungai yang ada airnya hanya pada musim penghujan. Secara keseluruhan Sungai Babon mempunyai sifat aliran perenial (ordo 1 sampai 3) artinya airnya mengalir sepanjang tahun dengan fluktuasi antara musim penghujan dan musim kemarau sangat besar. Berdasarkan hasil pencatatan tinggi muka air dan debit di bendungan Pucang Gading selama 11 tahun terakhir (1999 – 2009) menunjukkan bahwa: debit rata-rata bulanan berkisar antara 0.74 m3/dt – 5 048 m3/dt, dan rata-rata bulanannya sebesar 4 205 m3/dt. Ketersediaan air DAS Babon merupakan debit rata-rata bulanan dikurangi losses (kehilangan) air yang besarnya sama dengan 80% dari debit rata-rata bulanan yang selanjutnya disebut debit rata-rata bulanan efektif atau debit andalan. Hasil perhitungan debit rata-rata bulanan efektif disajikan dalam Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa ketersediaan air bulanan sungai Babon sebesar 0.91 m3/dt. Debit terbesar terjadi pada bulan Maret sebesar 1.96 m3/dt, dan terkecil jatuh pada bulan Agustus yaitu sebesar 0.06 m3/dt. Dengan memperhatikan kontinuitas air sungai tersebut, maka debit air yang dapat digunakan adalah debit rata-rata yang besarnya 0.91 m3/dt. Tabel 15 Debit rata-rata bulanan efektif Sungai Babon di stasiun Pucang Gading (m3/dt) Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Spt
Okt
Nov
Des
Rataan
2000
212
252
2.57
2.10
1.21
0.60
0.28
0.10
0.26
0.83
0.93
1.58
1.26
2001
2,12
2.27
2.43
2.08
1.15
0.57
0.25
0.09
0.26
0.40
0.88
1.45
1.15
2002
1.97
2.27
2.35
2.05
1.13
0.51
0.22
0.08
0.24
0.35
0.85
1.24
1.10
2003
1.92
2.23
2.34
1.98
1.02
0.47
0.21
0.07
0.23
0.32
0.79
1.15
1.06
2004
1.86
2.16
2.15
1.91
0.99
0.46
0.21
0.07
0.12
0.27
0.77
0.99
1.00
2005
1.73
2.06
2.15
1.78
0.95
0.44
0.19
0.07
0.07
0.24
0.74
0.96
0.95
2006
1.58
1.81
2.06
1.66
0.89
0.43
0.18
0.04
0.07
0.22
0.63
0.92
0.87
2007
1.41
1.66
1.55
1.56
0.83
0.41
0.17
0.04
0.06
0.17
0.51
0.70
0.75
2008
0.88
1.05
1.26
1.29
0.71
0.35
0.16
0
0.03
0.03
0.30
0.65
0.56
2009
0.59
0.94
0.81
0.74
0.48
0.27
0.14
0
0.01
0
0.25
0.44
0.39
Rata2
1.61
1.89
1.96
1.71
0.94
0.45
0.20
0.06
0.13
0.28
0.67
1.01
0.91
Sumber : Stasiun AWLR Pucang Gading. 1999 – 2009
79
Sampai saat ini, penggunaan air Sungai Babon berdasarkan ProLH-GTZ (2005) ada tiga jenis, yaitu sebagai air irigasi, bahan baku air minum (PDAM), dan pengglontoran Kota. Sedangkan untuk kebutuhan air baku dari sektor industri dan lain-lain dengan memanfaatkan air tanah. Debit yang diperlukan untuk penggunaan air tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Penggunaan air di DAS Babon No
Penggunaan Air
Debit
1
PDAM Sendang Mulyo
60 – 100 l/detik
2
Bendung Pucang Gading, Daerah Irigasi
50 – 800 l/detik
3
Bendung Karang Roto, Daerah Irigasi
100 l/detik
Sumber: ProLH-GTZ. 2005
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan air DAS Babon baru sekitar 210 l/detik atau 0.21 m3/detik (31.34%) di musim kemarau, dan 1 000 l/detik atau 1 m3/detik (27.25%) di musim penghujan, sehingga masih banyak kemungkinan untuk dikembangkan sebagai sumber air baku. Namun satu hal yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan air sungai hanya diijinkan 0.5 dari debit andalan. 4.2.3.3. Hidrologi Bawah Permukaan (Air Tanah) Kajian hidrologi air tanah untuk mendukung pengelolaan DAS Babon ditekankan pada pola aliran air tanah kaitannya dengan suplai air tanah ke dalam aliran air sungai, dan kondisi hidrogeologi secara umum untuk mendukung aspek pemanfaatan air tanah sebagai sumber air minum penduduk. Berdasarkan hasil pengukuran lapangan dan analisis kontur air tanah, arah aliran air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian seperti disajikan pada Peta Arah Aliran Air Tanah (Gambar 10), yaitu: a.
Kelompok air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Air tanah mengalir dari perbukitan ke daerah-daerah yang lebih rendah, dengan konsentrasi air tanah pada satuan dataran aluvial dan dataran aluvial bekas rawa. Secara umum air tanah mengalir ke arah Timur dan Utara menuju wilayah pesisir,
80
b.
Kelompok air tanah pada satuan cekungan antar perbukitan. Air tanah juga mengalir dari perbukitan-pegunungan di sekitarnya menuju pusat cekungan, sebagai konsentrasi air tanah dan akuifer. Ditinjau dari Peta Hidrogeologi skala 1:250.000 Tahun 1985 yang
diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, dan didukung dengan data hasil pengukuran lapangan, secara umum kondisi hidrologi air tanah di DAS Babon dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: a.
Akuifer dengan permeabilitas tinggi, produksi sedang dan penyebaran luas, yang terdapat pada satuan dataran aluvial dengan kedalaman muka air tanah berkisar 2 - 5 meter dpt dan daya hantar listrik berkisar 846 – 1 339 mhos/cm; serta pada cekungan antar perbukitan dengan kedalaman air tanah 4-8 meter dpt. Air tanah relatif berkualitas baik, masih berasa tawar, jernih, tidak berbau dan masih sesuai untuk air minum.
b.
Akuifer dengan permeabilitas sedang, produksi sedang dan penyebaran sempit, terdapat pada satuan dataran aluvial bekas rawa. Kedalaman air tanah mencapai 7.5 meter dpt dengan nilai daya hantar listrik berkisar 256 mhos/cm. Air tanah berkualitas baik, tawar, jernih, tetapi pada beberapa tempat sedikit agak berbau lumpur.
c.
Daerah air tanah dengan produksi sedang, penyebaran sempit dan terdapat air tanah asin. Kelompok ini umumnya terdapat pada satuan rataan pasang surut, yang masih dipengaruhi oleh aktivitas air laut. Asinnya air tanah disebabkan oleh intrusi air laut ke dalam air tanah, khususnya saat air laut pasang dan musim kemarau. Air tanah dangkal dan tidak sesuai untuk air minum, namun demikian pada beberapa tempat masih dijumpai air tanah dengan kualitas baik, berasa tawar dengan nilai DHL berkisar 783 mhos/cm, seperti yang terdapat di Desa Sriwulan Kabupaten Demak.
d.
Daerah langka air tanah, yang meliputi satuan-satuan perbukitan-pegunungan volkanik dan igir-igir struktural lipatan. Langkanya air tanah disebabkan oleh kedudukan satuan ini pada topografi yang tinggi, lereng curam, lapisan tanah relatif tipis, dan berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan. Namun demikian, pada tekuk-tekuk lerengnya (khususnya pada kontak antar lapisan batuan),
81
banyak dijumpai mata air yang muncul baik sebagai rembesan (seepage) maupun contact spring atau topographic spring.
Gambar 10 Peta aliran air tanah DAS Babon.
82
4.2.3.4. Kualitas Air Diskripsi tentang kondisi kualitas air juga sangat diperlukan dalam hubungannya dengan peruntukan air Sungai Babon. Selama ini Sungai Babon dimanfaatkan selain sebagai pengendali banjir melalui saluran banjir Kanal Timur, juga digunakan untuk irigasi, mandi cuci kakus (MCK), industri, dan penambangan bahan galian golongan C. Dengan demikian sumber-sumber pencemaran air Sungai Babon adalah bersumber dari kegiatan-kegiatan penduduk (MCK), pertanian (penggunaan pupuk, pestisida, dan insektisida), penambangan, perikanan, dan industri. Keenam usaha industri yang potensial menimbulkan pencemaran di Sungai Babon dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18, serta peta mengenai kualitas air DAS Babon pada Gambar 11. Tabel 17 Jenis industri yang potensial mencemari Sungai Babon No
Nama Perusahaan
Jenis Kegiatan
1
PT. Bintang Buana sakti
Penyamakan Kulit
2 3
PT. Condro Purnomo Cipto PT. Puspita Abadi
Sda Sda
4
PT. Rodeo
Tekstil
5
CV. Sumber Baru
Pulp dan Kertas
6
Puskud Mina Baruna
Cold Storage
Polutan BOD, COD, DS, Chrom, Sulfida, Phenol, Amoniak, Minyak dan Lemak Sda Sda BOD, COD, TDS, Chrom, Amoniak, Sulfida BOD, COD, TDS, Amoniak, Sulfida BOD, COD, TDS, Amoniak, Bebas
Sumber : Bappedalda Semarang (1996/1997)
Tabel 18 Konsentrasi beban pencemar yang masuk ke Sungai Babon (kg/tahun) No
Parameter
Tahun
1
BOD5
2
COD
609 607.89
242 679.52
167 167.50
3
TSS
220 401.19
54 040.14
72 027.75
4
Sulfida (H2S)
1 615.62
126 133.30
299.68
5
Amoniak (NH3)
5 922.30
246.49
3 001.25
6
Chrom Total
710.96
185.67
20.19
7
Minyak
11.39
Sumber : Bappedalda Semarang (1996/1997)
1996/1997 86 666.63
Target Diperbolehkan
1995/1996 194 337.78
Tidak teramati
76 923.75
1 811.13
83
Gambar 11 Peta kualitas air DAS Babon. Berdasarkan pada Surat Keputusan Walikota Semarang No.660.2992/1994 tentang peruntukan Sungai Babon, bahwa ruas Sungai Babon bagian hilir adalah untuk perikanan (golongan B atau kelas 2), yang menyatakan bahwa nilai ambang
84 batas untuk kadar Cr = 0.0 – 0.05 ppm dan Pb = 0.0 – 0.03 ppm, sementara hasil penelitian Kartikasari (2002) di muara Sungai Babon terdapat kandungan Cr = 58.6 – 96.4 ppm dan Pb = 23 – 24.5 ppm. Dengan demikian kualitas air Sungai Babon masih sangat jelek untuk perikanan. Pada umumnya kualitas air Sungai Babon mempunyai pH antara 7.3 – 8.1 (termasuk netral), tetapi nilai oksigen terlarut dalam air (dissolved oxygen) ada yang masih di bawah angka netral untuk hidup biota air (sekitar 5-6 ppm) dan yang paling rendah mencapai 1.4 ppm yaitu di Banjir Kanal Timur dan muara Sungai Babon. Nilai BOD, COD masih aman untuk berbagai peruntukan, hanya kadar bakteri Coliform ada yang mencapai 460 MPN/100 ml yaitu didekat permukiman padat di Jatingaleh. 4.2.3.5. Cekungan Air Tanah Air tanah di Kota Semarang terdapat pada 2 (dua) lapisan pembawa air (aquifer), yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal (unconfined aquifer), dan air tanah dalam atau air tanah tertekan (confined aquifer). Keberadaan kedua lapisan pembawa air tanah tersebut berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air adalah cekungan air tanah (CAT). Berdasarkan pasal 1 ayat 12 CAT adalah: suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Air tanah Kota Semarang berdasarkan Permen ESDM No. 13 Tahun 2009 berada pada CAT Semarang – Demak, dan CAT Ungaran. Untuk jenis air tanah pertama yaitu air tanah bebas atau air tanah dangkal merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer), dimana bagian atasnya tidak tertutup oleh lapisan kedap air, tetapi bagian bawahnya dilapisi oleh lapisan tanah yang kedap air, sehingga permukaan air tanah bebas (muka air tanah) ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk Kota Semarang yang berada di dataran rendah, banyak memanfaatkan air tanah ini dengan membuat sumur-sumur gali (dangkal) dengan kedalaman rata-rata 3 - 18 m. Sedangkan untuk peduduk di dataran tinggi hanya dapat memanfaatkan sumur gali pada musim penghujan dengan kedalaman berkisar antara 20 - 40 m.
85
Kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) di Kota Semarang bervariasi antara 0 meter sampai 20 meter di bawah muka laut, ke arah Utara atau ke arah laut kedudukan muka air tanahnya makin dalam yaitu ± 20 meter, dan makin ke arah atas atau daerah perbukitan muka air tanah (mat) makin tinggi. Untuk lebih jelasnya kedudukan muka air tanah dangkal (bebas) disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Kedudukan DAS Babon terhadap CAT Semarang, Demak, dan Ungaran. Air tanah tertekan adalah air yang terkandung di dalam suatu lapisan pembawa air yang berada diantara 2 lapisan batuan kedap air, sehingga debitnya hampir selalu tetap. Disamping itu, kualitasnya juga memenuhi syarat sebagai air bersih. Debit air tanah dalam (tertekan) ini sedikit sekali dipengaruhi oleh musim dan keadaan di sekelilingnya. Untuk daerah Semarang bawah lapisan aquifer di dapat dari endapan alluvial dan delta Sungai Garang. Kedalaman lapisan aquifer ini berkisar antara 50 - 90 meter, terletak di ujung Timur Laut Kota dan pada mulut Sungai Garang lama yang terletak di pertemuan antara lembah Sungai
86
Garang dengan dataran pantai. Kelompok aquifer delta Garang ini disebut pula kelompok aquifer utama karena merupakan sumber air tanah yang potensial dan bersifat tawar. Untuk daerah Semarang yang berbatasan dengan kaki perbukitan terdapat air tanah artesis yang terletak pada endapan pasir dan konglomerat formasi damar yang mulai diketemukan pada kedalaman antara 50 - 90 m. Pada daerah perbukitan kondisi artesis masih mungkin ditemukan karena adanya formasi damar yang permeable dan sering mengandung sisipan-sisipan batuan lanau atau batu lempung. Pengambilan air tanah baik air tanah bebas maupun air tanah tertekan/dalam di Kota Semarang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pengambilan air diakibatkan oleh: 1. Bagi penduduk: PDAM Tirta Moedal tidak mampu melayani kebutuhan air minum penduduk. Jangkauan pelayanan PDAM hanya mampu melayani 56.1% 2. Bagi industri: a. Pajak pengambilan air tanah dalam lebih murah dibandingkan dengan tarif PDAM (SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003) yaitu sebesar Rp 161/m3. b. Monitoring dari pihak yang berwajib (Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah) kurang ketat. Terbukti dengan inkonsistensi data tentang pengguna air tanah dari industri maupun hotel per bulan. Berdasarkan fenomena tersebut, maka jumlah sumur bor dalam dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada periode tahun 1996 jumlah sumur bor sebanyak 230 buah, dan meningkat cukup tajam pada tahun 2003, jumlah sumur bor mencapai 540 buah dengan volume pengambilan mencapai 15.31 x 106 m3/tahun, dan terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2005 yaitu sebesar 8 315 sumur bor. Namun jumlah pengambilan air tanahnya malah turun yaitu 8.5 x 106 m3/tahun. Setelah periode tersebut yaitu mulai periode tahun 2006 hingga tahun 2008, tercatat pada tahun 2008 jumlah sumur dalam sebanyak 544 buah dan volume pengambilan sebesar 9.6 x 106 m3/tahun. Perkembangan jumlah sumur dan pengambilan air tanah di Kota Semarang disajikan dalam Tabel 19 dan Gambar 13.
87
Tabel 19 Perkembangan jumlah sumur dan volume pengambilan di Kota Semarang No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1996 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Sumur 230 543 3 111 8 315 5 409 449 544
Volume yang Diambil (m3) 15 310 000 6 198 635 8 539 940 12 115 193 7 137 555 9 617 198
NPA (Rp) 6 670 280 595 24 022 100 840 22 951 798 869 17 753 863 855 26 412 586 708
Sumber: Dinas ESDM Jawa Tengah, 2009
16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2003
2004
2005
Volume Yang Diambil (1000 m³/th)
2006
2007
2008
Jumlah Sumur (unit)
Gambar 13 Grafik volume pengambilan air tanah dengan jumlah sumur. Pengambilan air tanah yang terus meningkat tanpa memperhatikan aspek daya dukungnya dalam hal ini adalah safe yield nya, maka akan mengakibatkan resiko lingkungan yaitu penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah dapat terjadi karena pengambilan air tanah yang jauh melebihi kapasitas akuifernya, maka terjadilah penurunan muka air tanah yang mencapai 15 hingga 22 m dbpts (1996). Penurunan muka air tanah akan menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besarnya tegangan efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya maka tanah akan mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada daerah konsolidasi normal. Amblesan
88
tanah yang terjadi di dataran pantai Semarang diperkirakan disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (a) penurunan muka air tanah akibat pemompaan dan (b) peningkatan beban karena pengurugan tanah. Penimbunan tanah urug untuk reklamasi daerah pantai di daerah penelitian dimulai pada tahun 1980, yaitu meliputi kompleks PRPP, Tanah Mas, Bandarharjo, Pelabuhan Tanjung Mas dan Tambaklorog yang diikuti oleh daerah- daerah lainnya secara tersebar pada tahun 1996. Ketebalan timbunan tanah tersebut berkisar antara 1-5 m, dan diikuti pembangunan perkantoran atau kompleks perumahan. Daerah-daerah yang mengalami penurunan muka air tanah disajikan dalam Gambar 14.
Sumber: Direktorat Tata Lingkungan Geologi Kawasan Pertambangan, Departemen ESDM, 2004
Gambar 14 Laju penurunan permukaan tanah Kota Semarang periode 2001- 2003. 4.2.4. Geologi dan Geomorfologi
Berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh Pannekoek (1949), secara umum geomorfologi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona, yaitu: zona utara, tengah, dan selatan. Jika ditinjau dari konsepsi tersebut, maka DAS Babon termasuk dalam zona utara dan tengah dari Pulau Jawa, yang dimulai dari gisik (beach) dan dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain) bagian Utara ke arah Selatan meliputi perbukitan struktural lipatan (folded hills) hingga deretan perbukitan-pegunungan bergunung api (volcanic) di bagian selatan wilayah studi yang merupakan bagian dari zona tengah Pulau Jawa.
89
Menurut Peta Geologi lembar Semarang skala 1:100.000 tahun 1989 yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung, maka secara geologis wilayah studi dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok atau satuan, yaitu: a.
Bagian Utara (DAS Babon Hilir) dan tengah (DAS Babon Tengah) wilayah studi merupakan dataran aluvial pantai Semarang dan Demak serta dataran aluvial yang tersusun oleh material endapan cekungan berupa lempung dan pasiran yang terbentuk zaman Holosen dan Pleistosen Bawah.
b.
Bagian Selatan wilayah studi (DAS Babon Hulu) berupa deretan perbukitan hingga pegunungan yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) Perbukitan rendah struktural lipatan yang merupakan bagian dari ujung-ujung Barat Perbukitan Kendeng, tersusun oleh material batugamping dengan sisipan lempung tufaan dan konglomerat yang terbentuk sejak zaman Pleistosen Bawah; (2) Bukit-bukit sisa dan perbukitan denudasional di bagian hulu DAS Babon tersusun oleh material sedimen berupa batu pasir tufaan, konglomerat dan breksi tufaan yang terbentuk pada zaman Pliosen, serta di beberapa tempat dijumpai pula singkapan batuan dari Formasi Damar; dan (3) Deretan pegunungan volkanik bagian dari Gunung Api Ungaran, yang tersusun oleh material piroklastik berupa aliran lahar, pasir, kerikil, dan kerakal. Secara geomorfologis, keseluruhan wilayah studi terdiri atas 9 (sembilan)
satuan bentuk lahan (landform) yang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian DAS yang terdiri atas: a.
DAS Babon Hilir, meliputi: dataran pasang-surut, dataran aluvial dan tanggul alam.
b.
DAS Babon Tengah, meliputi: satuan bentuk lahan dataran aluvial bekas rawa dan ledok antar perbukitan.
c.
DAS Babon Hulu, meliputi: deretan perbukitan-pegunungan volkanik terdenudasi, dan igir-igir struktural lipatan Formasi Kendeng (hogback). Satuan dataran pasang surut (tidal flat) merupakan dataran pantai yang
masih dipengaruhi oleh aktivitas pasang tertinggi dan surut terendah air laut. Satuan ini terdapat di bagian paling bawah di sekitar muara-muara sungai dengan
90
kemiringan lereng 0-3%, tersusun oleh material sedimen lempung (darat) dan pasir halus (fluvio-marine). Material penyusun yang berukuran halus (berlumpur) dan sering tergenang air laut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mangrove, seperti Rhyzopora sp. (bakau) dan Avicennia sp. (api-api), sehingga satuan ini lebih spesifik disebut sebagai rawa garaman (salt marsh). Sebagian besar muara-muara sungai tertutup oleh sedimentasi dari darat (lumpur) dan lebih diperparah lagi (khususnya di muara Banjir Kanal Timur) oleh bertumpuknya sampah-sampah domestik, sehingga terjadi penyempitan muara sungai. Akibat penyempitan muara dan debit aliran mengecil (khususnya di musim kemarau), menyebabkan intrusi air laut melalui permukaan jauh ke dalam, dan proses erosi pantai di sekitar muara banyak terjadi. Satuan yang terdapat di kanan-kiri aliran Sungai Babon dan sering mengalami penggenangan adalah satuan dataran banjir (flood plain), yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan tambak. Pada beberapa tempat yang lebih tinggi akibat penimbunan sedimen sungai secara alami dan dimanfaatkan sebagai lahan permukiman penduduk disebut sebagai tanggul alam (levee). Kedua satuan ini mempunyai penyebaran yang sempit, dan tersusun oleh perselingan material antara lempung, pasir, dan kerikil. Dua satuan bentuk lahan yang terdapat di bagian tengah DAS Babon adalah satuan dataran aluvial bekas rawa (swamp-alluvial plain) dan cekungan antar perbukitan (intermountain basin). Ditinjau dari aspek morfologi, kedua satuan ini mempunyai kenampakan sama, yaitu berupa dataran dengan lereng datar (0-3%) membentuk suatu cekungan. Perbedaan keduanya terletak pada genesis dan material penyusunnya. Dataran aluvial bekas rawa merupakan dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi secara intensif pada daerah yang dulunya berupa rawa-rawa, dengan material penyusun lebih didominasi oleh lempung rawa, sedikit pasir hasil sedimentasi sungai yang mengalir melalui rawa tersebut, dan masih banyak dijumpai cangkang siput rawa, serta pada beberapa tempat juga dijumpai lapisan lempung laut abu-abu (yang diperkirakan bagian dari Formasi Kalibeng, zona lipatan sinklinorium Kendeng). Satuan ini terdapat di daerah Rawasari, bagian tengah Sungai Pengkol ke arah Timur, dan banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian subur. Sementara satuan cekungan antar perbukitan
91
berupa suatu dataran aluvial yang dikelilingi oleh jajaran perbukitan-pegunungan volkanik di bagian Barat wilayah studi. Satuan ini tersusun oleh material lempung-berpasir hasil sedimentasi fluvial dari sungai-sungai yang berhulu di puncak-puncak gunung di sekitarnya. Satuan ini merupakan konsentrasi air permukaan dan air tanah dengan permeabilitas material yang baik, sehingga termasuk dalam tipe akuifer yang baik pula. Satuan ini terdapat di sekitar daerah Srondol dan Ngembak, yang banyak dimanfaatkan sebagai lahan pertanian irigasi dan permukiman. Dua satuan lain berupa deretan perbukitan-pegunungan volkanik dan igirigir struktural lipatan terdapat di DAS Babon bagian hulu. Satuan-satuan ini pada umumnya mempunyai lereng miring (8-15%) hingga curam (15-30%), dan hanya pada igir-igir pegunungan saja yang mempunyai lereng sangat curam (30-45%), yang mempunyai luasan yang relatif sempit dan lokal-lokal. Pada satuan perbukitan rendah dan bukit-bukit sisa di bagian tengah, banyak terjadi proses erosi alur (riil erosion) dan erosi parit (gully erosion), akibat banyak lahan yang gundul dengan lapisan tanah tipis, serta pada lereng-lereng yang curam telah banyak dijumpai singkapan batuan (outcrop). Lahan-lahan gundul dengan lereng 15-30% terjadi akibat konversi lahan yang seharusnya sebagai kawasan penyangga dan daerah tangkapan hujan diubah ke lahan-lahan permukiman mewah (real estate) dan pusat-pusat pelayanan fasilitas, seperti yang terdapat di sekitar Bukit Gombel (Jatingaleh dan Ngesrep), dan di sekitar Meteseh dan kawasan Universitas Diponegoro. Permasalahan alih fungsi lahan inilah yang berpotensi menciptakan erosi dan longsor lahan di daerah perbukitan, serta sedimentasi dan penyempitan aliran-aliran sungai di bagian muara di seluruh DAS Babon. Sementara pada satuan perbukitan-pegunungan volkanik di bagian selatan dan igir-igir struktural lipatan (hogback) dengan lereng >30% pada umumnya masih banyak dimanfaatkan sebagai kawasan hutan, baik berfungsi lindung maupun penyangga. Alih fungsi lahan ke peruntukan lainnya belum nampak terjadi di satuan ini, dan anya pada beberapa tempat dengan lereng curam, seperti di belokan jalan yang memotong dinding tebing dan pada tebing-tebing sungai, masih dijumpai adanya proses longsor lahan (landslide) khususnya pada saat musim penghujan. Satuan-satuan ini umumnya tersusun oleh material batupasir
92
tufaan, konglomerat, dan breksi tufaan, kecuali pada igir struktural lipatan yang tersusun oleh batu gamping dengan sisipan lempung dan berselang-seling dengan batupasir tufaan dan konglomerat.
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 15 Peta geologi DAS Babon.
93
4.2.5. Kondisi dan Permasalahan Lingkungan 4.2.5.1. DAS Babon Bagian Hulu Wilayah DAS babon Hulu secara hidrologis meliputi Sub DAS Gung dan Sub DAS Pengkol yang luasnya mencapai hampir 50% dari luas total DAS Babon, oleh karena itu kawasan hulu ini perlu mendapatkan prioritas penanganan dari berbagai aspek lingkungan. Bagian hulu DAS Babon secara geomorfologis termasuk ke dalam wilayah yang tingkat bahaya erosinya berat hingga sangat berat. Hal ini sesuai dengan peta yang dihasilkan oleh Departemen Kehutanan (Pola RLKT DAS Babon 1991). Untuk wilayah Sub DAS Gung yang wilayahnya meliputi Kabupaten Semarang, Kota Semarang bagian Selatan (Desa Banyumanik, Kramas, Pudakpayung, Pedalangan, Kedawangan, dan Jabungan). Menurut perkiraan BRLKT (1991) tingkat erosi yang paling berat mencapai angka di atas 500 ton/ha/tahun atau sekitar 15 mm/tahun yaitu pada kawasan hutan rakyat berupa tegalan, pada kemiringan lereng klas IV (15-40%) bentuk wilayah perbukitan dan sebagian besar jenis tanahnya regosol dengan ketebalan solum tanah sekitar 75 cm. Menurut hasil penelitian sebagian besar Sub DAS Gung didominasi oleh satuan lahan D IV Re Tg (perbukitan denudasional, lereng 15-30%, jenis tanah regosol dan penggunaan lahan tegalan) yang menurut Peta Tingkat Bahaya Erosi termasuk sangat berat (SB). Untuk wilayah Sub DAS Pengkol hampir mirip dengan kondisi Sub DAS Gung, perbedaannya terletak pada jenis tanahnya yang sebagian besar didominasi tanah latosol, dan sedikit tanah regosol di bagian hilirnya. Satuan lahan didominasi oleh perbukitan denudasional, kemiringan lereng klas II dan III (antara 3-8% dan 8-15%). Perkiraan tingkat bahaya erosi bervariasi dari ringan, berat, hingga sangat berat. Tingkat bahaya erosi sangat berat terutama terjadi pada kawasan hutan rakyat atau tegalan, pada lereng klas III dengan perkiraan erosi mencapai angka 500 ton/ha/tahun atau sekitar 15 mm/tahun. Tekanan penduduk terhadap lahan juga sangat tinggi terutama pada Desa-desa Banyumanik, Kramas, dan Srondol. Besarnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian ini telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Salah satu indikator menurunnya daya dukung lingkungan antara lain meningkatnya laju erosi tanah,
94
wilayahnya rentan terhadap kekeringan (beberapa mata air telah menyusut debitnya sangat tajam terutama pada musim kemarau), dan berkembangnya erosi lembar menjadi erosi parit, bahkan kemungkinan dapat berkembang menjadi erosi jurang (gulley erosion).
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 16 Peta jenis tanah DAS Babon. Selain itu, proses perubahan (konversi) penggunaan lahan dari tegalan/lahan kering menjadi kawasan permukiman elit di kawasan Srondol, Banyumanik, dan
95
sekitarnya telah menyebabkan menurunnya biodiversitas baik jenis flora/vegetasi dan fauna daratnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan biodiversitas akibat hilangnya habitat satwa darat, burung, dan sebagainya. Meningkatnya kawasan terbangun di daerah hulu menyebabkan pula menurunnya kawasan (fungsi) resapan air hujan, sehingga meningkat pula koefisien aliran (direct run off). Gejala ini dapat dilihat pada kenampakan-kenampakan berkembangnya erosi permukaan di lahan-lahan tegalan, kebun campuran, dan lahan kosong yang tidak terpelihara (terlantar). 4.2.5.2. DAS Babon Bagian Tengah Bagian tengah dari DAS Babon adalah Sub DAS Pengkol yang luasnya sekitar 3 438 hektar. Sebagian besar bentuk penggunaan tanahnya berupa lahan tegalan, permukiman, dan lahan terbuka dengan vegetasi yang jarang; sedangkan pada lahan pekarangan, perkebunan, dan hutan rakyat relatif masih baik penutupan lahannya. Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol ini merupakan salah satu penyumbang sedimen yang terbesar. Hasil perkiraan Departemen Kehutanan Tahun 1991 menunjukkan bahwa Sub DAS Pengkol memiliki potensi erosi mencapai ± 911 379.42 ton/tahun atau 265 ton/ha/tahun (22 mm/tahun tanah yang hilang), jauh lebih besar dibandingkan dengan Sub DAS Gung yang mencapai sekitar ± 630 ton/tahun (149.77 ton/ha/tahun atau sekitar 12 mm/tahun), dan Sub DAS Babon hilir sebesar ± 118 ton/tahun (17.59 ton/ha/tahun atau sekitar 1.47 mm/tahun). Bila dibandingkan dengan Sub DAS Gung, maka Sub DAS Pengkol mempunyai tekanan penduduk yang jauh lebih tinggi yaitu mencapai angka 3055, artinya dalam luas wilayah 1 hektar harus mampu menopang sekitar 30-55 jiwa. Pola ini mengalami peningkatan yang sangat tinggi, karena pada tahun 1991 BRLKT Departemen Kehutanan justru menadapatkan nilai tekanan penduduk tinggi, sekitar 30 di Sub DAS Babon Hilir. Hal ini berarti ada perkembangan permukinan yang sangat cepat di daerah Sub DAS Pengkol atau DAS Babon Tengah. Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat menonjol antara lain terjadinya alih fungsi lahan dari tegalan menjadi lahan terbangun untuk kawasan permukiman, terutama pada lereng-lereng perbukitan antara 8-15% bahkan di
96
beberapa tempat pada lereng sekitar 25%. Akibat dari tidak terkendalinya lahan permukiman tersebut sangat dikhawatirkan terjadi kerusakan fungsi kawasan resapan air bagi Kota Semarang di bagian hilirnya. Erosi tebing sungai dan meningkatnya sedimentasi pada Sungai Pengkol turut menyumbang proses banjir yang terjadi di Kota Semarang.
Sumber : BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 17 Tingkat bahaya erosi DAS Babon.
97
Penggunaan lahan tegalan juga sangat dominan pada kawasan tengah DAS Babon ini. Tegalan termasuk kebun campuran sebenarnya merupakan lahan yang subur yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lahan produktif. Namun kenyataannya masih banyak lahan serupa yang terlantar dan kondisinya kurang terpelihara. Di lereng perbukitan Semarang Selatan misalnya pada hulu Sungai Penggung pepohonan di lahan tegalan sangat jarang dan bahkan terlihat gundul karena dipenuhi semak-semak dan rerumputan. 4.2.5.3. DAS Babon Bagian Hilir Berbeda dengan Sub DAS Pengkol maupun Sub DAS Gung yang berada di wilayah DAS Babon hulu, maka Sub DAS Babon hilir hampir seluruhnya terletak pada zone dataran fluvial (F), dan dataran aluvial marin (Fm) pada lereng datar hingga landai (kemiringan lahan 0-3%). Jenis tanah yang dominan adalah latosol di bagian atas dan tanah aluvial di bagian hilirnya. Sebagian besar mencakup wilayah Kota Semarang dan sedikit Kabupaten Demak di wilayah Kecamatan Sayung. Masalah utama yang sejak dahulu terjadi di wilayah hilir ini antara lain masalah-masalah lingkungan seperti: (1) Pencemaran air sungai baik oleh limbah domestik, limbah industri, maupun limbah pabrik skala “home industry”, (2) Pendangkalan atau sedimentasi pada Sungai Babon yang menyebabkan aliran air sungai tidak lancar dan menimbulkan banjir, dan (3) Gangguan sampah yang dibuang di sepanjang Kali Banjir Kanal Timur terutama pada daerah permukiman padat di perkotaan Semarang dan wilayah dekat muara Kali Banjir Kanal Timur. Berdasarkan topografi, DAS Babon memiliki ketinggian bervariasi, mulai dari dataran rendah di bagian Utara yang merupakan muara DAS di wilayah Kecamatan Genuk dan dataran tinggi atau pegunungan di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Ketinggian DAS Babon di daerah muara sekitar 2 meter dari permukaan laut di bagian Utara, dan mencapai ketinggian 382 meter di sebelah Selatan di wilayah Kecamatan Ungaran. Dataran rendah tersebut merupakan daerah lahan permukiman penduduk, pertanian dan tambak, sedangkan dataran tinggi sendiri merupakan kawasan hutan dan pegunungan kecil. Kondisi kemiringan lahan di DAS Babon dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 18.
98
Tabel 20 Luasan kemiringan lereng DAS Babon No 1. 2. 3. 4.
Kemiringan Datar (0 - 3%) Landai (3 - 8%) Agak miring (8 - 15%) Miring (15 - 30%) Jumlah
Lereng Luas (ha) 11 917.79 2 179.15 1 474.41 3 213.37 18 784.71
Proporsi (%) 63.44 11.60 7.84 17.10 100.00
Sumber: BPDAS Pemali-Jratun, 2009
Sumber: BP DAS Pemali - Jratun, 2009
Gambar 18 Peta kemiringan lereng DAS Babon
99
4.3. Kependudukan dan Sosial Ekonomi 4.3.1. Jumlah Penduduk Aspek kependudukan yang perlu diperhatikan antara lain menyangkut jumlah penduduk. Jumlah penduduk pada suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa (Podes) Tahun 2008 yang diperoleh dari BP DAS Pemali-Jratun, Departemen Kehutanan. Dari jumlah penduduk pada setiap desa selanjutnya diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu kelas I (desa dengan jumlah penduduk tinggi), kelas II (desa dengan jumlah penduduk sedang), dan kelas III (desa dengan jumlah penduduk rendah). Secara keseluruhan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah DAS Babon mencapai 1 219 382 jiwa yang tersebar di 82 desa. Dari data Podes 2008, diketahui bahwa ada 21 desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi yaitu di atas 10 000 jiwa, dimana jumlah penduduk terbanyak berada di Desa Tlogosari Kulon, Kecamatan Gayamsari. Desa yang termasuk pada klasifikasi rendah memiliki jumlah penduduk kurang dari 4.000 jiwa seperti Desa Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur sebagai desa berpenduduk rendah yaitu sebesar 254 jiwa. 4.3.2. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah merupakan cerminan besarnya tekanan penduduk terhadap lahan, semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Kepadatan penduduk tertinggi di wilayah DAS Babon mencapai 184 jiwa/ha yaitu pada Desa Lamper Lor. Desa yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Desa Terboyo Kulon yang hanya memiliki kepadatan penduduk sebesar 2 jiwa/ha. Hasil perhitungan data diketahui bahwa ada 26 desa yang memiliki kepadatan penduduk yang termasuk dalam kategori tinggi dengan kepadatan penduduk di atas 83 jiwa/ha. Desa-desa dengan kepadatan rendah, hanya dihuni oleh kurang dari 32 jiwa/ha. Dalam rangka pengelolaan DAS, perlu adanya perhatian khusus pada 26 desa tersebut di mana di daerah itu terjadi tekanan penduduk yang lebih besar terhadap lahan. Aktivitas manusia yang membutuhkan lahan bukan tidak mungkin akan mengganggu
100
keseimbangan ekosistem DAS. Distribusi penduduk DAS Babon dapat dilihat pada Gambar 19 dan Tabel 21.
Sumber: Studi Kualitas Air oleh GTZ
Gambar 19 Peta distribusi penduduk di DAS Babon.
101
Tabel 21 Distribusi penduduk di DAS Babon No
Sub DAS Bb 01
2 3
Bb 02 Bb 03
4
Bb 04
5
Bb 05
6
Bb 06
7
Bb 07
8
Bb 08
9
Bb 09
10
Bb 10
11
Bb 11
12
Bb 12
Luas (Km2)
Kab/ Kota
Pemanfaatan
Klepu Ungaran Ungaran Ungaran Banyumanik Banyumanik Tembalang Ungaran Mranggen Tembalang Banyumanik Ungaran Mranggen Tembalang Banyumanik Semarang U Pedurungan Mranggen Pedurungan Genuk Sayung Pedurungan Genuk Genuk Sayung Genuk Sayung Genuk
0.861 12.419 14.49 5.174 2.031 9.69 12.49 9.94 0.64 13.91 6.40 3.81 0.961 10.56 3.79 2.052 1.49 10.13 4.6 3.09 2.33 6.43 5.526 9.601 0.091 6.549 0.607 10.915
Kab. Semarang Kab. Semarang Kab. Semarang Kab. Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kab. Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang Kab. Demak Kota Semarang
Kebun Kebun Belukar Belukar Pemukiman Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Kota Semarang Kota Semarang Belukar Persawahan/irigasi Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman Permukiman Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman Persawahan/irigasi Permukiman
Penduduk Kota Semarang 10 938
Penduduk Kabupaten Semarang
Penduduk Kebupaten Demak
7 861 11 094 49 692 5 550 71 596
71 067
409 750
60 590 30 240 11 732 252 792
101
1
Kecamatan
102
Sub DAS
13
Bb 13
14
Bb 14
Kecamatan
Kab/ Kota
Pemanfaatan
Semarang U Pedurungan Gayamsari Candisari Semarang U Semarang S Gayamsari G Mungkur Tembalang
8.9 6.53 2.31 6.30 4.42 2.18 0.45 0.39 0.018
Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang Kota Semarang
Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman
Distribusi Penduduk DAS BABON Tahun 2005
Sumber: Bappedalda Semarang dan GTZ, 2006
Penduduk Kota Semarang
Penduduk Kabupaten Semarang 106 690 107 329
29 893
1 177 028
Penduduk Kebupaten Demak
102
No
Luas (Km2)
103
4.3.3. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk di wilayah DAS Babon di sektor pertanian masih merupakan sektor yang dominan. Namun demikian, pada sebagian besar desa sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor yang dominan. Hal itu ditunjukkan dengan rasio rumah tangga tani terhadap jumlah rumah tangga yang menunjukkan angka yang sangat bervariasi dimana terdapat desa yang memiliki rasio lebih dari 50%. Sebagian besar rumah tangganya bergerak di bidang pertanian, namun ada desa yang rasionya 0% atau sama sekali tidak ada yang bergerak di bidang pertanian. Kebanyakan desa yang memiliki rasio rumah tangga tani 0% merupakan desa yang berstatus perkotaan. Desa yang ada pada wilayah perkotaan ini memiliki industri pengolahan sebagai mata pencaharian utama penduduk setempat. Perbedaan jenis mata pencaharian penduduk baik pada desa yang terletak di perdesaan dan di perkotaan, menyebabkan adanya perbedaan kecenderungan penggunaan lahan. Seiring dengan adanya perkembangan wilayah maka terjadi pula pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dan itu berarti terjadi perubahan penggunaan lahan. Aspek penggunaan lahan sangat penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS. Penggunaan lahan yang melebihi kemampuan lahannya mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan industri merupakan kegiatan yang mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap kondisi lingkungan, terutama industri pengolahan. Di wilayah DAS Babon secara keseluruhan terdapat 1 507 industri pengolahan, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil. Jenis industri makanan paling banyak ditemukan pada wilayah DAS Babon, kemudian disusul oleh industri kerajinan dari kain. Jenis industri lainnya seperti kerajinan dari kulit, logam dan keramik kurang berkembang, akan tetapi masih dapat dijumpai di beberapa desa yang memiliki industri kerajinan dari kain, namun jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan dominasi industri pengolahan makanan. Wilayah yang paling banyak terdapat kegiatan industri pengolahan adalah di wilayah Kecamatan Mranggen terutama di Desa Kebonbatur, Batursari, dan Menur. Pengolahan industri yang ada di wilayah Kecamatan Mranggen mencapai 815 unit yang merupakan sumber potensi terjadinya pencemaran lingkungan.
104
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri secara langsung adalah berupa limbah pabrik, kebisingan, dan polusi udara.