IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden 1. Responden Petugas PLN a) Nama
: Hendri AH
Agama
: Islam
Status
: Kepada Kepegawaian PLN Sektor Wilayah Lampung
Pendidikan: S1
b) Nama
: M. Nurohman
Agama
: Islam
Status
: Petugas P2TL PLN Sektor Wilayah Lampung
Pendidikan: SMU 2. Responden Polisi Nama
: Rizal
Agama
: Islam
Status
: Anggota Tipiter Poltabes Bandar Lampung
Pendidikan: S1
38
3. Responden Jaksa Nama
: Selamet
Agama
: Islam
Status
: Kasubsi Pra Penuntutan
Pendidikan: S1 4. Responden Hakim Nama
: Tani Ginting
Agama
: Islam
Status
: Hakim Pengadilan Negeri Bandar Lampung
Pendidikan: S2
B. Gambaran Umum Pencurian Tenaga Listrik di Kota Bandar Lampung Masalah tindak pidana pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung masih menjadi persoalan. Hal ini disebabkan karena penegak hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang cukup tinggi. Untuk tahun 2003 kasus pencurian tenaga listrik mencapai 2,11 % dan sampai tahun 2007 kasus pencurian tenaga listrik mencapai 0,43 %. Data dari PLN Sektor Wilayah Lampung menyatakan bahwa pada tahun 2003 telah terjadi 2.333 kasus pencurian tenaga listrik dari 110.500 pelanggan yang diperiksa dan sampai
39
tahun 2007 telah terjadi 319 kasus pencurian tenaga listrik dari 74.899 pelanggan yang diperiksa, dengan perincian sebagai berikut: Tabel I. Golongan Pelanggan Pencurian Tenaga Listrik Tahun 2007 dan 2008. Pelanggalaran/tahun Gol A Gol B Gol C Gol D Jumlah
2003 677 536 1.120 — 2.333
2004 204 305 754 11 1.247
2005 247 142 56 32 477
2006 — 187 164 37 388
2007 81 165 64 9 319
Sumber: PLN Sektor Wilayah Lampung, 2008 Keterangan: Golongan A: Mempengaruhi pemakaian daya Golongan B: Mempengaruhi pemakaian kwh Golongan C: Mempengaruhi pemakaian daya dan kwh Golongan D: Pemakaian listrik dalam Waktu Beban Puncak (WBP) tanpa ijin atau melampaui ijin yang diberikan. Dari data yang telah dikemukakan, untuk tahun 2003 ditemukan daya kepadatan sebanyak 4.633.064 VA dengan penetapan tagihan susulan sebesar Rp. 1.485.682.170 dan sampai tahun 2007 ditemukan daya kepadatan sebesar 275.678 VA dengan penetapan tagihan susulan sebesar Rp. 382.638.339,Pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung disebabkan antara lain karena masih lemahnya pengawasan PLN terhadap pemakaian tenaga listrik, kemudahan dalam hal mengubah peralatan listrik PLN termasuk meter pengukur dan penerapan sanksi terhadap pelaku tidak menjerakan. Faktor-faktor tersebut dilator belakangi oleh motivasi ekonomi, untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lain, khususnya PLN (Negara) dengan memakai tenaga listrik
40
sebanyak-banyaknya tetapi ingin membayar rekeningnya dengan biaya yang rendah (Sunarto, 1995:20). Dari hasil wawancara dengan responden petugas PLN Sektor Wilayah Lampung, Hendri AH, diketahui bahwa daerah yang cukup rawan akan pencuriaan tenaga listrik di Kota Bandar Lampung adalah di daerah Way Halim, Kaliawi dan Kampung Baru. Hal ini dapat dimengerti, mengingat jumlah penduduk yang cukup padat di daerah tersebut dengan tingkat ekonomi dan kesadaran hukum yang bermacam-macam. Dari beberapa pelaku tindak pidana pencurian tenaga listrik terlihat bahwa para pelaku ada yang merupakan pelanggan dan ada yang bukan pelanggan. Mereka melakukan hal tersebut dengan: 1. Sendiri, yaitu tidak dibantu oleh orang lain cara atau keterangan tentang pemakaian listrik secara tidak sah. Tindakan yang sering dilakukan adalah mencantol dan merusak termis. 2. Bantuan orang lain Adapun pelaku dari perbuatan itu adalah: a. Pelanggan b. Bukan Pelanggan c. Oknum PLN untuk kepentingan sendiri d. Oknum PLN yang memberi bantuan untuk melaksanakan sambungan liar.
41
Bantuan tersebut berupa: - Bantuan tidak langsung, yaitu Pemberian keterangan tentang cara melakukan sambungan liar - Bantuan langsung, yaitu: Oknum PLN sendiri yang melakukan perbuatan sambungan liar. 3. Kealpaan a. Dari pelanggan, ia tidak mengetahui bahwa rumah yang baru ditempati tidak membayar rekening listrik sehingga ia harus menanggung akibatnya b. Dari petugas, terjadi karena kurangnya informasi tentang data pelanggan sehingga dapat menyiapkan dan menentukan target operasi kurang terarah, menyebabkan pelaksanaannya tidak maksimal. Pelanggaran yang paling ditemui di PLN Sektor Wilayah Lampung Periode Januari 2003 Sampai Desember 2007 adalah pelanggaran golongan B dan C dengan mudus operandi sebagai berikut: 1. Pelanggaran oleh pelanggan, seperti pelanggaran alat pengukur arus dan pembatas serta pelanggaran penggunaan alat pengukur arus dan pembatas, yang dapat dilakukan dengan: a. Membuka tutup terminal KWH meter, kemudian membypass KWH
meter,
membuka
klem
tegangan,
membalik
fasa,
menyambung langsung tanpa melalui APP atau memasukkan film ke dalam KWH.
42
b. Merubah setelan KWH meter, merubah register, mengganti roda gigi, membalik fasa untuk KWH meter 3 fasa. c. Dengan menghubung singkat pembatas, menyetel atau mengganti pembatas dengan maksud memperbesar daya tersambung. d. Merusak body alat pembatas. e. Melepas klem tegangan pada terminal meter/kawat nol pada terminal blok OK. f. Mempengaruhi bekerjanya/putaran KWH meter. g. Menghambat putaran KWH meter dengan cara mengganjal piringan atau as piringan KWH. h. As piringan diatur maksimum dan roda cacing direnggangkan. i. Memutus aliran listrik untuk time switch, merusak saklar kontraktor time switch, merubah posisi pembagian atau membalik waktu. 2. Pelanggaran oleh bukan pelanggan, seperti: a. Penyambung Langsung Jaringan Tegangan Rendah (JTR), penyambungan langsung Jaringan Tegangan Menengah (JTM), penyambungan langsung Jaringan Tegangan Tinggi (JTT). b. Penyambungan langsung Saluran Masuk Pelayanan (SMP). Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggan maupun bukan pelanggan mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Hasil dari perbuatan yang dilakukan oleh pelanggan, dapat dibagi dalam dua hal (Sunarto, 1995:18), yaitu: 1. Penggunaan Watt listrik secara melebihi kapasitas yang diijinkan berdasarkan kontrak perjanjian dimana kelebihan atas kapasitas tersebut
43
tidak termonitor didalam meteran sehingga pembayaran rekening tidaklah termasuk penggunaan watt yang kelebihan tersebut. 2. Pelanggan yang tidak melebihi kapasitas watt yang diijinkan sesuai kontrak
perjanjian
tetapi
memperkecil
penggunaan
watt
yang
sesungguhnya dimanipulasi dengan hanya membayar jumlah watt yang ada pada meteran. Sedangkan hasil yang diharapkan dari perbuatan yang dilakukan oleh bukan pelanggan adalah menikmati penggunaan atau pemakaian tenaga listrik secara Cuma-Cuma, tanpa membayar. Dari data yang dikemukakan, diketahui adanya penurunan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung, yaitu pada tahun 2003 sebesar 2,11 % turun menjadi 0,43 % pada tahun 2007. Hl ini disebabkan karena upaya penanggulangan pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh PLN Sektor Wilayah Lampung. Tahun 2003 pihak PLN haya menerapkan Operasi Penertiban Aliran Listrik (OPAL) atau yang sekarang disebut Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), yaitu kegiatan yang berupaya mencari dan mengidentifikasi pencurian tenaga listrik yang terjadi melalui pemeriksaan langsung, yang dilakukan terhadap instalasi listrik pelanggan maupun bukan pelanggan. Kegiata OPAL atau P2TL dilaksanakan berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan terhadap rekening pelanggan yang bersangkutan atau berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, petugas pencatat meter atau sumber informasi lainnya.
44
Pelaksanaan OPAL atau P2TL, dilengkapi dengan sarana hukum maupun administrasi yang lengkap yang berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana. Namun demikian, sering terjadi persinggungan antara pihak PLN yang sedang melaksanakan OPAL atau P2TL dengan masyarakat pelanggan maupun bukan pelanggan yang diperiksa, karena kebanyakan masyarakat merasa terganggu dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan PLN terhadap instalasi listrik mereka sehingga timbul ancaman-ancaman kekerasan terhadap petugas PLN. Melihat dari sikap masyarakat yang tidak mendukung pelaksanaan OPAL atau P2TL, maka untuk yahun 2007 pihak PLN berusaha menerapkan OPAL atau P2TL yang diikuti dengan Loss Reduction Programme (LRP), yaitu Pembinaan Pelanggan Pergardu yang bertujuan memperkecil peluang terjadinya pencurian tenaga listrik dan menghilangkan niat pelaku. Dalam hal ini diharapkan ada dukungan dari warga masyarakat terhadap langkah-langkah yang diambil oleh PLN, karena LRP bertujuan memantapkan pengetahuan hukum masyarakat, sehingga ada persesuaian antara program PLN dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat tersebut. Kegiatan Loss Reduction Programme dilakukan dengan cara mengadakan pendekatan social masyarakat melalui penerangan, penyuluhan dan pembinaan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum. Kegiatan ini dalam politik kriminal disebut sebagai sarana non penal yaitu usaha penanggulangan kejahatan melalui upaya preventif, yang merupakan upaya pencegahan, dilakukan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam hal
45
ini pihak PLN berusaha memberikan pengertian terhadap masyarakat akan bahaya kerugian yang diderita dari pencurian tenaga listrik. Ternyata upaya ini efektif untuk dilaksanakan dalam menekan jumlah pencurian tenaga listrik yang terjadi. C. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencuriaan Tenaga Listrik di Kota Bandar Lampung Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, serta peradaban manusia itu sendiri. Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan untuk “menakutnakuti atau mengamankan” bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang (barda Nawawi Arief, 1998: 39). Sanksi pidana dianggap efektif dalam upaya penanggulangan kejahatan, mengingat sifatnya yang menjerakan. Tetapi dalam pelaksanaannya, sanksi pidana tidak selalu dapat diterapkan karena adanya berbagai alasan dan faktor penghambat sehingga penegakan hukum pidana belum dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini terjadi dalam kasus pencurian tenaga listrik di Kota Bandar Lampung. Untuk kasus pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan dan berhasil disidangkan yaitu kasus pencurian untuk pertama kali dan baru yang pertama di Bandar Lampung yang dilakukan oleh konsumen industri dengan golongan pelanggaran C yaitu pelanggaran yang mempengaruhi pengurangan energi dengan cara merusak segel dan merubah pengawatan Kwh dan KVARN meter pada
46
Cubicle, menghilangkan segel asli pada pintu gardu dan Cubicle, merubah wiring hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (klem terminal dilepas). Menanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan menyatakan bahwa untuk kasus pencurian aliran listrik yang dilakukan oleh kalangan rumah tangga belum pernah ada yang dilimpahkan ke kejaksaan, tetapi telah ada kasus pencurian aliran listrik yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu oleh CV. Bumi Waras dengan tersangka Sujadi Pohan alias Aseng yang dibantu oleh Karsono Baizigar alias Untung dan oknum dari PLN itu sendiri yaitu Slamet Riyadi alias Garen Sarju selaku Staf Gangguan PLN Rayon Teluk Betung dan Iswan Hamdi selaku Staf Distribusi dan Lapangan PLN Cabang Tanjung Karang. Pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik menurut Bapak Selamet selaku Kasubsi Pra Penuntutan tidak akan terlaksana apabila pihak PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak kepolisian selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan ada upaya proaktif dari pihak PLN, berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian aliran listrik kepada pihak kepolisian selaku pihak yang berwenang agar dapat dilakukan tindakan lebih lanjut yang kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan Pengadilan. Mengenai pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian aliran listrik dalam kasus yang dilakukan oleh kalangan industri yaitu CV. Bumi Waras, terdakwa Sujadi Pohan dijatuhi hukuman hanya 6 bulan penjara dan terdakwa Karsono Baizigar selama 5 bulan 15 hari, lalu oknum PLN sendiri dijatuhi
47
hukuman masing-masing Iswan Hamdi selama 6 bulan penjara dan Slamet Riyadi alias Garen Sarju selama 5 bulan 15 hari. Hal tersebut dipandang dari sudut supremasi hukum maka pidananya harus diadili melalui jalur hukum dan hal tersebut diputus berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan hakim yang memiliki pertimbangan lain. Kasus tersebut diputus pada tanggal 8 Juli 2003 dengan Nomor Perkara No.254/Pid/B/2003/PNTK dan No.255/Pid/B/2003/PNTK setelah selama 8 kali diadakan persidangan. Berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti akan melibatkan faktor perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum, yang terkait dengan masalah substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dan dilihat sebagai suatu proses kebijakan, penegakan hukum pidana melalui tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi. Dari segi substansi, berdasarkan Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 dan Arrest Hoge Raad tanggal 3 Januari 1992 serta Pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, dinyatakan bahwa pencurian tenaga listrik adalah tindak pidana pencurian dan memenuhi rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu adanya pemakaian tenaga listrik secara tidak sah yang bukan miliknya sehingga dapat dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah. Hal ini didukung oleh pendapat responden Polisi, Jaksa, dan Hakim yang menyatakan bahwa pencurian tenaga listrik merupakan suatu tindak pidana murni yang dapat diantisipasi dengan Pasalpasal yang terdapat dalam KUHP.
48
Permasalahan yang ada di lapangan adalah tidak pernah dikenakan sanksi pidana dalam pasal 362 KUHP jo pasal 19 UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan terhadap kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi sehingga pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak terlaksanakan. Untuk mengetahui penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum pidana tersebut, maka akan dilihat dari masing-masing institusi yang terkait, yaitu: 1. P.T. PLN Sektor Wilayah Lampung PT. Perusahaan Listrik Negara merupakan penyelenggara kepentingan umum dibidang ketenagalistrikan, yang bertanggung jawab terhadap usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik yang meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik serta pembangunan
dan
pemasangan, pemeliharaan dan pengembangan peralatan ketenagalistrikan. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntunan kebutuhan hidup masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi. Pelaksanaan usaha penyediaan dan penunjang tenaga listrik tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya karena PLN sering menemui adanya pelanggan maupun bukan pelanggan listrik PLN, melakukan cara-cara menyimpang dari perilaku masyarakat atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yaitu adanya pemakaian listrik secara tidak sah atau pencurian tenaga listrik.
49
Pencurian tenaga listrik ini menimbulkan susutnya jaringan transmisi dan distribusi tenaga listrik yang akan berakibat terjadinya penurunan tegangan sehingga peralatan-peralatan yang menggunakan tenaga listrik menjadi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini akan merugikan semua masyarakat pemakai tenaga listrik dan menjadi sumber kerugian yang cukup besar bagi Negara sehingga timbul upaya mengembalikan kerugian tersebut dengan menerapkan sanksi administratif berupa penetapan tagihan susulan dengan mengesampingkan penerapan sanksi pidana. Menurut responden petugas PLN Sektor Wilayah Lampung, alasan-alasan yang menyebabkan tidak dilaksananya penyelesaian kasus pencurian tenaga listrik melalui proses hukum antara lain karena: 1. Proses peradilan yang cukup lama sehingga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Peradilan pidana tehadap suatu kasus tindak pidana merupakan suatu proses yang bekerja dalam beberapa lembaga penegak hukum, meliputi kegiatan yang bertahap dimulai dari penyelidikan Polisi, penuntutan oleh Jaksa, pemeriksaan di sidang pengadilan oleh Hakim dan pelaksana putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing
tahapan
penyelenggaraan
peradilan
pidana
membutuhkan proses dalam penyelesaian kewenangan dan tanggung jawabnya sehingga perlu waktu relative lama dengan biaya operasional yang tidak sedikit. Sedangkan jumlah kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung mencapai 2.333 kasus pada
50
tahun 2003 dan 319 kasus pada tahun 2007, yang keseluruhan jumlah tersebut apabila diselesaikan melalui proses peradilan, tentu akan memerlukan waktu sangat lama dengan biaya operasional yang cukup tinggi. Faktor waktu dan biaya membuat pihak PLN berpendapat bahwa proses peradilan tidak efektif diterapkan dalam penyelesaian kasus pencuriaan tenaga listrik yang terjadi, mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan dari pihak PLN yang berusaha mengupayakan pengembalian kerugian-kerugian materi yang dideritanya. 2. Kesulitan mendapatkan saksi Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengetahui adanya suatu pencurian tenaga listrik adalah melalui kegiatan OPAL atau P2TL yang dilaksanakan secara rutin terhadap instalasi listrik terhadap pelanggan maupun bukan pelanggan, yang diduga melakukan pencurian tenaga listrik, berdasarkan hasil pemantauan pemakaian listrik yang tidak wajar selam 3 bulan berturut-turut ataupun berdasarkan informasi dari masyarakat, petugas pencatat meter atau pegawai PLN. Kegiatan OPAL atau P2TL tersebut dilakukan dengan maksud untuk mencari bukti dan mengidentifikasi tentang adanya suatu pelanggaran, namun dalam pelaksanaannya, petugas PLN seringkali menemui adanya pelanggan maupun bukan pelanggan yang instalasi listriknya sedang diperiksa, tidak mau memberikan keterangan tentang adanya
51
pelanggaran, dengan alasan tidak mengetahui tentang pelanggaran yang dimaksud atau bahkan mengaku bahwa yang bersangkutan bukanlah pemilik sehingga tidak tepat untuk dimintai keterangan tentang adanya suatu pelanggaran yang terjadi. Hal ini menyulitkan pihak PLN dalam melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyidikan atau penuntutan seperti dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP sehingga penyelesaian melalui proses hukum sulit untuk dilaksanakan. 3. Kesulitan untuk menentukan waktu Dalam kasus pencurian tenaga listrik sulit untuk mengetahui dan menentukan kapan perbuatan tersebut dilakukan dan oleh siapa perbuatan dilakukan karena dalam pemeriksaan OPAL atau P2TL, pihak PLN hanya dapat mengidentifikasikan pelanggaran-pelanggaran apa yang dilakukan dan besarnya kerugian tanpa dapat memperkirakan secara
pasti
waktu
berlangsungnya
pelanggaran
dan
pelaku
pelanggaran, yang biasa dilakukan oleh siapa saja, seperti pelanggan, bulan pelanggan, instalatir maupun oknum PLN sehingga dalam hal ini timbul kesulitan dalam faktor membuktikan bahwa pihak yang diduga melanggar adalah merupakan pelaku seperti dimaksud dalam Pasal 362 KUHP. 4. Sikap pelanggar yang lebih memilih penyelesaian secara administratif daripada penyelesaian melalui jalur hukum.
52
Para pelanggar baik pelanggan maupun bukan pelanggan, pada umumnya lebih memilih penyelesaian secara administratif berupa pembayaran tagihan susulam daripada penyelesaian melalui jalur hukum. Dalam hal ini pembayaran tagihan susulan dirasakan lebih baik karena prosesnya lebih mudah dan cepat sehingga terhindar dari pemutusan aliran listrik oleh PLN. Sedangkan proses hukum dirasakan memberatkan karena masyarakat cendrung beranggapan bahwa proses hukum akan berlangsung lama dan mencemarkan nama baiknya sebagai orang yang bersalah. 5. Adanya ancama-ancaman kekerasan terhadap petugas OPAL atau P2TL. Petugas PLN yang melaksanakan OPAL atau P2TL untuk mencari bukti-bukti adanya suatu pelanggaran, sering menemui kendala yang berupa ancaman-ancama kekerasan dari masyarakat yang merasa terganggu dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan Tim OPAL atau P2TL terhadap instalasi listrik dan semua peralatan listrik mereka sehingga ada kesulitan bagi pihak PLN untuk dapat menemukan bukti-bukti yang mendukung dan dibutuhkan dalam proses persidangan. 6. Toleransi yang diberikan PLN terhadap pelanggan. Pihak PLN selaku produsen yang menyediakan kebutuhan tenaga listrik menganggap para pelanggannya sebagai konsumen yang dapat memberikan pemasukan dan keuntungan bagi PLN, sehingga apabila
53
terjadi pencurian tenaga listrik yang dilakukan oleh pelanggan hanya akan dianggap sebagai pelanggaran yang cukup diselesaikan secara administrative. Hal ini dilakukan demi untuk menjaga hubungan baik antara pihak PLN selaku produsen dengan masyarakat pelanggan selaku konsumennya. Apabila pencurian tenaga listrik dilakukan oleh bukan pelanggan, maka idealnya akan diselesaikan secara hukum dan diajukan sebagai tindak pidana. Namun hal ini pun tidak pernah diterapkan karena masyarakat bukan pelanggan dapat menjadi pelanggan dengan cara menyelesaikan sanksi administratif yang telah ditentukan dan mengajukan permintaan sambungan baru menurut prosedur yang berlaku. Dengan demikian, jumlah pelanggan PLN akan semakin bertambah, yang artinya akan menambah jumlah pemasukan dan keuntungan bagi PLN. Alasan-alasan yang dikemukakan diatas menjadi dasar pemikiran bagi PLN untuk menerapkan alternatif penyelesaian lain yang masih dapat dilaksanakan, diluar ketentuan pidana, yaitu dengan menerapkan sanksi administratif berupa pembayaran tagihan susulan. Tagihan Susulan adalah tagihan kemudian sebagai akibat adanya penyesuaian dengan ketentuan atau sebagai akibat adanya pelanggaran, yang dihitung berdasarkan golongan pelanggaran yang dilakukan (Golongan A, B, C atau D) dan perhitungan daya kedapatan, yaitu jumlah daya dari semua motor listrik, lampu pijar dan pelepas gas serta alat listrik
54
lainnya baik yang terpasang maupun yang dilihat dari letak keadaannya dapat dianggap akan/sudah dipakai, yang kedapatan di tempat pelanggaran pada waktu diadakan pemeriksaan dan kesemuanya dinyalakan hingga aliran listrik terputus. Tujuan dari pembayaran listrik susulan adalah untuk mengembalikan kerugian materi yang di derita oleh PLN. Hal ini dalam hukum pidana dikenal sebagai penyelesaian di luar perkara, dikatakan wanprestasi sebagai perbuatan yang melanggar hukum perdata, yaitu melanggar perjanjian yang telah disepakati. Penetapan tagihan susulan merupakan penerapan diskresi oleh PLN dalam penyelesaian pencurian tenaga listrik yang terjadi di Kota Bandar Lampung karena dalam hal ini PLN telah membuat keputusan atau kebijakan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Pihak PLN menilai kebijakan mengenai tagihan susulan lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan daripada penyelesaian melalui jalur hokum dengan menerapkan sanksi pidana karena penetapan tagihan susulan dapat mengupayakan pengembalian kerugian-kerugian materi yang diderita dan secara tidak langsung dapat membuat masyarakat mematuhi peraturan. Dikatakan demikian karena dalam hal ini PLN dengan sengaja menciptakan situasi tertentu, yaitu menetapkan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan apabila tidak dipatuhi akan berakibat diputusnya aliran listrik pelanggar, sehingga pelanggar tidak
55
memiliki pilihan lain kecuali mematuhinya, dengan mengingat bahwa PLN adalah satu-satunya penyedia dan penyalur tenaga listrik yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dan memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu situasi dimana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sehingga dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik. Menanggapi kebijakan yang dilakukan oleh PLN, seharusnya penetapan tagihan susulan yang harus dibayar oleh pelanggar dan berakibat diputusnya aliran listrik apabila tidak dipatuhi berarti PLN telah menerapkan system monopoli dan dalam hal ini PLN telah mengabaikan hak-hak pelanggar untuk membela diri, seharusnya PLN menerapkan asas praduga tak bersalah, dimana seseorang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sehingga terhadapnya belum dapat dikenakan sanksi dan harus diberikan kesempatan untuk mempergunakan hak-haknya melalui proses hukum. 2. Kepolisian Kota Bandar Lampung Polisi sebagai aparatur penegak hukum menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana karena menempati posisi sebagai penjaga, yaitu melalui kekuasaan yang ada (Police discretion), ia merupakan awal mula dari proses pidana. Polisi merupakan penyelenggara hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat beserta segala jenis tingkah laku dan perbuatannya, baik berupa tindak pidana maupun bukan tindak pidana.
56
Dengan demikian dapat dikatakan pekerjaan Kepolisian adalah juga pekerjaan mengadili, karena Polisi memberikan penafsiran terhadap hokum pidana pada saat berhadapan dengan orang-orang tertentu yang melakukan perlawanan terhadap hukum (Sunarto, 1999:26-27). Di dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana yang dilaksanakan oleh Polri selalu berhubungan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), hal ini sejalan dengan tugas pokok Polri selaku aparat penegak hukum dan inti Pembina Kamtibmas, sebagaimana tercantum dalam UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian). Polri selaku aparat penegak hukum yang menduduki urutan pertama dalam Sistem Peradilan Pidana bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti dinyatakan dalam Pasal 14 Huruf a UU No. 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan tindak pidana pencurian tenaga listrik yang terjadi, Polri juga bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No. 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan, yaitu: 1. Selain pejabat penyidik hukum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh
57
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang a. Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan. b. Melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan. c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang lain atau badan sehubungan
dengan
peristiwa
tindak
pidana
di
bidang
ketenagalistrikan. d. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan melakukan penyitaan terhadap bahan yang akan dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagalistrikan. e. Melakukan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa: -
Penyidikan atas perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang ini memerlukan keahlian dalam bidang ketenagalistrikan, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping penyidik yang biasa bertugas menyidik tindak pidana.
-
Petugas yang dimaksud adalah antara lain pegawai yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan.
58
-
Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ialah UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksananya.
Jadi jelas dalam tindakan penyelidikan dan penyidik tersebut, bahwa polisi atau PPNS yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertugas di Departemen Pertambangan berwenang sebagai penyidik dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. Ketentuan yang telah ditur dalam perundang-undangan seharusnya dilaksanakan, tetapi dalam kenyataan, tim OPAL atau P2TL yang bertugas melakukan penertiban pemakaian tenaga listrik dan mengidentifikasikan adanya pelangaranpelanggaran yang tidak selalu mengikutsertakan polisi atau PPNS yang bersangkutan dalam pelaksanaan operasinya. biasanya, Polisi atau PPNS tersebut baru akan diikutsertakan pada saat pelaksanaan operasi khusus, yaitu operasi secara mendadak ke suatu daerah atau keadaan malam hari. Dari hasil wawancara dengan anggota Tipiter poltabes Bandar lampung, Bapak Rizal, diketahui bahwa sejau ini pihak kepolisian bekerjasama dengan pihak PLN dalam pelaksanaan hanya sebatas pada menjadi pendamping PLN dalam pelaksanaan operasinya, dengan tujuan untuk menjaga kemungkinan terjadinya tindak kekerasan, seperti pemukulan yang dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap tim OPAL atau P2TL, selain itu pihak kepolisian diperlukan untuk membuat berita tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik, yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besar tagihan
59
susulan, sebagai upaya penyelesaian yang diberlakukan oleh PLN terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Jadi dapat diketahui bahwa, peran peran kepolisian sebagai penyidik tidak terlaksana karena PLN selaku pihak yang diugikan hanya menginginkan penyelesaian secara administratif yang dinilai lebih menguntungkan dari pada penyelesaian melalui jalur hukum. Dengan demikian pihak kepolisian pun bersikap pasif, tidak melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. Selain itu, pihak kepolisian juga mengaku beratnya beban pihak kepolisian dalam menyelesaikan tugas-tugas pokoknya dan dalam menangani tindak pidana lainnya, seperti pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor, pembegalan, pembunuhan, pemerkosaan sehingga apabila ditambahkan dengan kasus pencurian tenaga listrik akan menimbulkan kelampauan beban tugas, mengingat terbatasnya atau kemampuan daya kerja dari pihak kepolisian. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami pihak kepolisian, antara lain pada factor sarana dan prasarana atau fasilitas, yang mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil dibidang ketenagalistrikan, peralatan dan kendaraan serta keuangan, sehingga pihak kepolisisian pun berpendapat bahwa untuk kasus pencurian tenaga listrik dapat diselesaikan secara administratif melalui penetapan tagihan susulan sepanjang cara tersebut lebih menguntungkan, lebih efektif dan lebih memungkinkan untuk diterapkan karena pada dasarnya penegakan hukum bertujuan untuk mencapai keamanan dan ketertiban, dengan pembayaran tagihan susulan apabila dapat menyelesaikan masalah maka dibenarkan.
60
3. Kejaksaan Negri Bandar lampung Jaksa sebagai aparatur penegak hukum yang mempunyai salah satu tugas dibidang penuntutan
merupakan
pelimpahan
wewenang
dari
pemerintah
guna
melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kewenangan jaksa dalam menuntut didasarkan pada asas legalitas, yaitu adanya peraturan perundangundangan yang memberi kewenangan kepada jaksa sebagai satu-satunya lembaga penuntut umum yang mewakili pemerintah dalam penegakan hukum pidana. Dengan demikian kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan seperti diatur dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan republik Indonesia (UU Kejaksaan). Penuntut umum merupakan lembaga yang menerima perkara dari penyidik untuk kemudian melakuan penuntutan dimuka persidangan serta melaksanakan putusan hakim. Tetapi dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, tidak pernah dilakukan penuntutan oleh jaksa karena pihak kepolisian selaku penyidik tidak pernah melakukan penyidikan terhadap kasus tesebut dan melimpahkannya ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Memanggapi tentang pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik, Bapak Selamet, selaku Kasubsi Pra Penuntutan di Kejaksaan Negri Bandar lampung menyatakan bahwa, hal tersebut tudak akan terlaksana selama PLN selaku pihak yang dirugikan tidak berkoordinasi dengan pihak Kepolisian selaku penyidik. Dalam hal ini diharapkan adanya upaya yang proaktif dari pihak PLN, berupa laporan tentang adanya suatu kasus pencurian tenaga listrik kepada
61
pihak kepolisian selaku pihak yang berwenag agar dapat dilakukan tindakan lebih lanju, yang kemudian diteruskan ke kejaksaan dan pengadilan. Terhadap adanya kebijakan yang dilakuakn oleh PLN di luar ketentuan pidana, yaitu penetapan tagihan susulan, Bapak Selamet berpendapat bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan asas legalitas, dimana PLN sebagai instusi pemerintah harus menindak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dengan menerapkan pidana badan. Selama ini penerapan tagihan susulan yang diberlakukan oleh PLN dinilai tidak mendidik masyarakat untuk menjadi jera sebaliknya akan menumbuh suburkan terjadinya pencurian tanaga listrik karena masyarakat akan beranggapan bahwa sangsi terhadap pencurian tenaga listrik tidak menakutkan dan persoalan akan selesai dengan membayar sejumlah uang. Dengan demikian, PLN telah membuka peluang untuk terjadinya pencurian tenaga listrik. Kemudian ditambahkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik juga dipengaruhi oleh faktor masyarakat, yang selama ini dinilai pasif dalam menanggapi kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi. Dalam hal ini masyarakat hanya menyetujui dan menerima penyeleaian yang dibelakukan oleh PLN, berupa sangsi administratif tanpa berupaya untuk menyelesaikan secara hukum. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan hokum masyarakat dan adanya anggapan negatif dalam masyarakat tentang aparat penegak hukum sehingga menimbulkan rasa tidak percaya bahwa penyelesaian melalui proses hukum akan lebih baik dari pada penyelesaian secara administratif.
62
4. Pengadilan Negri Kelas 1 A Tanjung Karang Penyelengaraan pengadilan pidana dalam “pendekatan system” merupakan suatu rangkaian jalinan kerja yang dilaksanakan oleh sub-sub sistem peradilan pidana, yaitu para apartur penegak hukum pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (termasuk penasehat hukum). Aparatur penegak hukum merupakan elemen yang melaksanakan pekerjaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan berdasarkan pada nilai-nilai tertentu (peraturan perundang-undangan) mekanisme kerja (manajemen), kesatuan pandang (persepsi) dan pencapaian tujuan (Eddy Rifa’I, 1999 : 43). Pengadilan yang merupakan bagian dari system peradilan pidana bertugas memeriksa perkara-perkara yang datang dari penuntut umum atau penyidik, merupakan central prosessing unit (CPU), karena menerima masukan dari penuntut umum atau penyidik, untuk kemudian diproses menjadi keluaran yang berupa suatu putusan. Putusan itu, apabila berupa pembebasan, akan kembali kemasyarakat dan apabila berupa pemidanaan (penjara atau kurungan) akan masuk ke lembaga pemasyarakatan (Eddy Rifa’i,1999 : 43). Mengenai pelaksanaan penegakan ukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik, Tani Ginting ,responden Hakim menyatakan bahwa pada dasarnya lembaga Peradilan, dalam hal ini hanya bersifat pasif, artinya menunggu saja perkara penuntutan dari jaksa selaku penuntut umum, menggingat hakim adalah puncak dari suatu proses sebelumnya (penyidik dan penuntutan), dengan demikian proses tersebut harus dipenuhi secara mutlak. Dengan kata lain, tanpa suatu penyidikan dan penuntutan maka tidak ada proses peradilan pidana di pengadilan.
63
Tentang penetapan tagihan susulan yang diberlakukan oleh PLN, hakim menyatakan bahwa hal itu adalah kebijakan yang diambil PLN diluar substansi hokum pidana,yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif dalam pelaksanaannya. Dampak positifnya adalah dapat dikembalikannya kerugiankerugian materi yang diderita oleh PLN, sedangkan dampak negatifnya sangsi administratif
ini
dinilai
tidak
bersifat
menjerakan,
sehingga
besar
kemungkinannya bagi pelanggar untuk mengulangi perbuatanya. Oleh karena itu tetap diperlukan penerapan sanksi pidana sesuai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP untuk mengulangi pencurian tenaga listrik yang terjadi. Dilihat dari pendapat-pendapat yang dikemukakan, maka dapat diketahui adanya perbedaan pandangan dari masing-masing pihak, yaitu PLN, Polisi, Jaksa, dan Hakim, dalam menanggapi penyelesaian yang dilakukan oleh PLN terhadap pencurian tenaga listrik yang terjadi, yang berupa penetapan tagihan susulan, dan dalam hukum pidana dikenal sebagai penyelesaian diluar perkara. Pendapat pertama, yang didukung oleh PLN dan polisi menyatakan bahwa penetapan tagihan susulan boleh saja dilakukan sepanjang lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan karena penegakan hukum pidana bertujuan untuk mencapai keamanan dan ketertiban sehingga apabila dengan pembayaran tagihan susulan dapat menyelesaikan masalah maka dapat dibenarkan. Pendapat kedua, yang didukung oleh Jaksa dan Hakim menyatakan bahwa penetapan tagihan susulan tidak dapat diberlakukan karena tidak sesuai substansi dengan hukum pidana yang didasarkan pada asas legalitas, dimana untuk kasus
64
pencurian seperti pencurian tenaga listrik berlaku ketentuan pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 362 KUHP. Apabila dianalisis lebih jauh, untuk pendapat yang pertama, diketahui adanya suatu pemikiran bahwa penegakan hukum pidana tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, dimana penegakan hukum pidana bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan atau pelaksanaan putusan hakim tetapi penegakan hukum pidana adalah juga merupakan proses menuju keamanan dan ketertiban untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan hidup yang pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyakut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum. Akan tetapi mempunyai unsur penelitian pribadi. Penerapan diskresi dapat terjadi karena adanya hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana yang secara langsung dialami oleh PLN dan pihak kepolisian, baik dari segi biaya, yang secara langsung dialami oleh PLN dan pihak Kepolisian, baik dari segi biaya, sarana prasarana maupun operasionalnya di lapangan. Jadi dalam hal ini, penegakan hukum pidana sebagai suatu proses harus dilihat secara realistik, sehingga penegakan hukum secara aktual (actual enjorcement) harus dilihat sebagai bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena adanya keterbatasanketerbatasan, sekalipun pemantauan secara terpadu akan memperikan umpan balik yang positif. Penegakan hukum pidana dalam kerangka system peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penaggulangan kejahatan yang efektif
65
sehingga perlu dicari saran yang paling efektif dalam usaha penaggulangan tersebut, yang dalam kasus pencurian tenaga listrik, sarana tersebut dapat dilakukan dengan memberlakukan sanksi administratif berupa pembayaran tagihan susulan yang dinilai dapat menekan meningkatnya pencurian tenaga listrik yang dapat memenuhi rasa keadilan dari kedua belah pihak, yaitu tercapainya titik temu antara hak yang dilanggar, dalam hal ini PLN, dengan adanya pengembalian kerugian materi yng dideritanya dan hak pelanggar, dengan dipenuhinya kebutuhan tenaga listrik. Jadi, untuk pendapat yang pertama, yang diutamakan adalah asas kepentingan keadilan dari pada asas kepentingan kepastian hukum karena pada dasarnya keadilan bersifat relatif, dapat diperoleh tanpa harus melalui proses peradilan tetapi dengan pemenuhan kepentingan masing-masing pihak sehingga tercipta keseimbangan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan rasa keadilan yang dibutuhkan masing-masing pihak dalam mencapai tujuan tertentu. Pendapat yang kedua, didasarkan pada peikiran asas legalitas yang menghendaki adanya ketetapan dan kepastian hukum, yaitu dengan menetukan bahwa setiap tidak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus atau wajib dituntut, mengingat sifatnya yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian-kerugian, sehingga perlu pemberian shock therapy dengan tujuan untuk menjerakan pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatanya dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama karena bentuk hukumanya yang berupa pemidanaan dan tidak mensejahterkan. Penerapan cara ini dinilai efektif untuk dilaksanakan dalam menekan meningkatnya jumlah kejahatan.
66
Selain dipengaruhi oleh faktor instansi dan aparat pelaksana (penegak hukum) yang mengalami banyak hambatan dan keterbatasan dalam operasionalnya di lapangan, penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik dipengaruhi juga oleh faktor kesadaran hukum masyarakat yang dinilai masih belum memiliki kesadaran hukum yang baik sehingga timbul budaya hukum masyarakat dengan mentalitas yang masih rendah. Pencerminan budaya hukum masyarakat dengan sikap mental yang masih rendah terlihat dari sikap mental masyarakat yang suka menerabas, dalam arti lebih menyukai cara yang mudah dan cepat dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seperti dalam kasus pencurian tenaga listrik, masyarakat lebih memilih untuk membayar tagihan susulan, yang dinilai lebih mudah dan lebih cepat prosesnya dalam menyelesaikan masalah dari pada harus mengupayakan penyelesaian melalui proses hukum yang dinilai lebih lama waktunya dan lebih banyak prosedurnya. Selain memiliki mental suka menerabas, masyarakat juga cenderung mematuhi hukum apabila ada rangsangan dari luar, yaitu apabila ada petugas atau ditindak oleh petugas. Seperti dalam kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi, dimana pengawasan pemakaian tenaga listrik oleh PLN dirasakan masih sangat kurang sehingga kesempatan untuk melakukan pencurian tenaga listrik semakin besar. Jadi dapat disimpulkan bahwa, semakin lemah tindakan petugas maka akan semakin lemah pula tingkat ketaatan hukum oleh masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa kultur masyarakat akan menjadi kultur hukum yang biasanya
67
tercemin pada aturan hukum yang ada, dimana hukum dapat berjalan efektif apabila ada keserasian antara aturan hukum dengan kultur masyarakat. Dari hasil penelitian yang dikemukakan apabila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman tentang tiga komponen system hukum yang dapat mempengaruhi penegakan hukum, yaitu substansi hukum, stuktur hukum, dan budaya hukum, maka diketahui bahwa permasalahan penegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung terletak pada faktor budaya hukum. Pihak PLN membudayakan penyelesaian secara administrative berupa penetapan tagihan susulan sebagai suatu bentuk ancaman hukuman terhadap pencurian tenaga listrik yang terjadi, dengan alasan lebih efektif dan lebih menguntungkan untuk diterapkan daripada penyelesaian secara hukum yang harus memenuhi persyartan-peryaratan
dalam
melakukan
tahapan-tahapan
suatu
proses
penyelenggaraan peradilan, yang ternyata sulit untuk dilaksanakan karena adanya hambatan-hambatan dalam operasionalisasinya di lapangan, yang selain dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor kesadaran hukum masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat cenderung memilih penyelesaian secara administratif dari pada secara hukum dari pada sehingga kerjasama secara hukum untuk memenuhi persyaratan dalam tahapan-tahapan suatu proses penyelenggaraan peradilan sulit dilakukan. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh pihak Kepolisian yang secara langsung mengalami hambatan-hambatan dan keterbatasan-keterbatasan dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum pidana, sehingga terhadap pencurian
68
tenaga listrik dapat saja diterapkan sanksi administratif selama hal itu memang lebih efektif, lebih mnguntungkan dan lebih menguntungkan dan lebih memungkinkan untuk dilaksanakan. Sikap PLN, sikap masyarakat dan sikap Kepolisian yang mendukung penyelesaian secara administratif tersebut saling berkaitan dan saling mempengauhi pelaksanaan penegakan hukum sehingga penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum terhadap pencurian tenaga listrik di kota Bandar lampung tidak terlaksana. Apabila di lihat dari segi substansi hukum dan struktur hukum tidak menjadi persoalan karena secara substansi, pencurian tenaga listrik termasuk ke dalam tindak pidana pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 362 KUHP dan secara struktur,sudah terdapat sub-sub sistem peradilan pidana, yaitu para penegak hukum pidana yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan (termasuk penasehat hukum)yang bertugas melaksanakan system peradilan pidana, termasuk didalamnya terhadap kasus pencurian tenaga listrik. Sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijaksanan penanggulangan kejahatan, memang penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana karena adanya keterbatasan-keterbatasn. Sebagai salah satu masalah social kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis, yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena
69
dan stuktur kemasyarakatan lainya yang sangat kompleks. Namun demikian, keberhasilan penegakan hukum pidana sangat diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah, maka “Negara berdasarkan atas hukum” direlisasikan (Muladi, 1995). Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya-upaya yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait dalam menegakan hukum pidana terhadap pencurian tenaga listrik yang terjadi, yaitu: 1. PT. PLN Sektor Wilayah Lampung PLN
sebagai pihak yang bertanggung jawab dibidang ketenagalistrikan
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tegaknya hukum pidana dalam kasus-kasus pencurian tenaga listrik yang terjadi sehingga PLN diharapkan dapat melakukan upaya-upaya penegakan hukum pidana, antara lain: a. Memenuhi kewajibanya untuk melaporkanya terjadinya pencurian tenaga listrik. Sebagai pihak yang mengerti dan bertanggung jawab dibidang ketenagalistrikan, PLN akan lebih dahulu mengetahui tentang adanya suatu perbuatan pencurian tenaga listrik, sehingga PLN mempunyai kewajiban untuk melaporkan perbuatan tersebut kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepolisian selaku penyidik, agar terhadap perbuatan tersebut dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku. b. Penyediaan infrastuktur tenaga penyidik Untuk mengoptimalkan upaya penegakan hokum pidana diperlukan penyediaan tenaga penyidik di instansi PLN, yaitu penyidik Pegawai Negri
70
Sipil
yang
berwenang
melakukan
kegiatan
penyidikan
dibawah
koordinasidan pengawas penyidik Polri. c. Mengadakan operasi gabungan antara PLN dan Kepolisian Hal ini bertujuan untuk menjalin kerjasama dan koordinasi antara PLN dan Kepolisian selaku pihak yang langsung terkait dengan masalah penegakan hukum yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu Kepolisian sebagai penyidik dan PLN sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah ketenagalistrikan dapat terealisasi. 2. Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung Dengan semangat kewenangan umum Kepolisian, anggota Polri harus mau menindak atau minimal melakukan tindakan awal terhadap setiap pelanggaran masyarakat atau hukum yang dilihatnya, termasuk bila terjadi pelanggaran pencurian tenaga listrik sehingga dalam rangka meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut, Polisi dapat berfungsi dan berperan proaktif. Oleh karena itu, dalam system manajemen operasional kepolisian, perlu dilakukan suatu system keamanan masyarakat secara umum yang efektif dan efesien sekaligus dapat meningkatkan mekanisme badan kepolisian, antara lain dengan upaya-upaya sebagi berikut: a. Mengkonkretkan peranan Polri sebagai unsur penindak awal dalam rangka penegakan hukum pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, anggota Polri diharapkan dapat memenuhi persyaratan kualitatif yang mampu melakuakan deteksi dini terhadap segala permasalahan yang mungkin timbul.
71
b. Pemantapan pembagian tugas dan cara kerja agar sumberdaya yang dapat digunakan dengan hemat, cepat, tepat. c. Meningkatkan integrasi sektoral dan fungsional. Polri diharapkan mampu menciptakan kerjasama dan koordinasi antara satuan-satuan fungsi kepolisian sehingga dapat dicapai persatuan dalam kelembagaan dan fungsinya. d. Meningkatkan kepekaan terhadap gejala pembauran diberbagai segi kehidupan yang dapat berkembang menjadi ancaman faktual. e. Meningkatkan system kerja berdasarkan perkembangan budaya dan perilaku masyarakat secara seimbang dan bertanggung jawab. Selain itu diperlukan juga upaya-upaya oleh aparat penegak hukum sebagai subsub sistemperadilan pidana, yaitu Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam meningkatkan Integrated Criminal Justice System, yang antara lain dapat dilakuakan melalui interaksi, interdepedensi dan interkoneksi antar sub system sehingga dapat terjalin kerja sama dan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dan dalam rangka menciptakan gagasan-gagasan pemikiran yang konsisten dan tidak bertentangan satu sama lain sehingga tercapai gerak sistematis dari masing-masing sub system yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan system peadilan pidana yang berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pengendalian kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang)
72
D. Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pencurian Tenaga Listrik di Kota Bandar Lampung Berdasarkan keterangan dari hasil wawancara dengan Bapak Hendri AH. selaku bagian Administrasi Kepagawaian, dalam kinerja Tim P2TL menanggulangi kejahatan pencurian aliran listrik tidak begitu besar terlihat secara umum, tetapi secara spesifik atau khusus ada beberapa hambatan yang dihadapi, yaitu : 1. Dengan makin canggihnya peralatan rumah tangga yang menggunakan daya dan arus listrik yang besar dan biaya beban yang besar serta teknikteknik pencurian yang semakin matang dan alat penunjang yang Hi-Tech memungkinkan meningkatnya lagi pencurian aliran listrik. Hal ini pula dirasa karena jumlah aparat PLN yang masih terbatas, memandang wilayah Bandar Lampung yang cukup luas dan sebagian besar penduduk menggunakan listrik secara bersama-sama dan merata sehingga sulit mendeteksi satu-persatu. 2. Masyarakat yang telah nyata-nyata terbukti bersalah tetapi tidak terima dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. 3. Kurangnya kepekaan masyarakat akan kepentingan bersama dan kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat di negara kita. 4. Sudut pandang yang berbenturan antara finansial dan supremasi hukum dalam menangani kejahatan pencurian aliran listrik. Faktor dominan yang menyebabkan petugas sulit menangani kasus kejahatan pencurian aliran listrik yaitu kesadaran masyarakat itu sendiri untuk membenahi diri pribadi dan kehidupan bangsa kita untuk lebih baik lagi dengan cara yang benar sesuai jalurnya dan aturan yang mengatur keteraturan kehidupan berbangsa
73
dan bernegara. Serta kurang tegasnya sanksi yang akan dikenakan kepada pelaku yang melakukan secara nyata, walaupun secara tegas telah diatur dalam aturan yang berlaku sehingga tidak ada rasa takut masyarakat untuk melakukan perbuatan melawan hukum tersebut berupa pencurian aliran listrik. Kebijakan dalam menanggulangi kejahatan dengan cara prevensi yaitu tidak hanya upaya preventif tetapi ditekankan pada upaya represif yang dilakukan oleh petugas untuk terus menekan angka susut distribusi. Pada dasarnya lebih baik mencegah daripada mendidik pelaku kejahatan untuk tidak melakukan kejahatan lagi, tetapi pada kenyataannya upaya represif yang begitu keras saja sulit menekan atau mengurangi kejahatan apalagi hanya upaya preventif saja untuk menekan tindak kejahatan yang kian keras. Daripada itu diharapkan peran serta dalam menanggulangi kejahatan, karena sulit menanggulangi kejahatan bila masyarakat yang tidak mau melapor, dan petugas sulit membuktikan tindakan tersebut apalagi bila di deking / back-up oleh oknum atau aparat PLN itu sendiri.