IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR 4.1 Dinamika Pendidikan Dasar Sampai tahun 2012 Provinsi Sulawesi Utara mengalami pemekaran yang cukup pesat. Otonomi daerah membuat Sulawesi Utara yang sebelumnya hanya mempunyai 4 kabupaten dan 1 kota, saat ini memiliki 11 kabupaten dan 4 kotamadya. Untuk kepentingan penelitian, maka jumlah kabupaten/kota yang akan dipakai sebanyak 9 kabupaten dan 4 kotamadya. Jumlah penduduk Sulawesi Utara berdasarkan sensus penduduk 2010 adalah sebanyak 2.270.596 jiwa. Distribusi penduduk yang masih di usia pendidikan dasar (umur 7-15 tahun) sebanyak 17,15 persen dari seluruh kelompok usia dimana penduduk usia SD (7-12 tahun) sebanyak 11,81 persen dan penduduk usia SMP (13-15 tahun) sebanyak 5,34 persen. Penduduk usia SD pada tahun 2010 yang masih bersekolah sekitar 98,3 persen, belum pernah sekolah 0,6 persen dan yang tidak sekolah lagi ada 1,1 persen (Gambar 7). Persentase penduduk usia SMP pada tahun 2010 yang masih bersekolah 89,1 persen sedangkan yang putus sekolah sejumlah 10,5 persen, dan yang tidak pernah sekolah sejumlah 0,5 persen (Gambar 7).
putus sekolah 1%
Belum Sekolah 1%
putus Belum sekolahSekolah 10% 1%
Masih sekolah 98% Masih sekolah 89%
Partisipasi sekolah usia 7-12 tahun Partisipasi sekolah usia 13-15 tahun Gambar 7 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun 2010 Pembangunan yang tidak hanya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi namun juga pembangunan manusia seutuhnya menjadi target pemerintah. Pemerataan pendidikan dicerminkan dari terbukanya akses pendidikan kepada semua golongan.
40
Tabel 3 Partisipasi Sekolah Usia 7-15 Tahun di Sulawesi Utara (persen) Usia 7-12 tahun
usia 13-15 tahun
Tidak/belum sekolah
Masih Sekolah
Tidak bersekolah lagi
2008
1,34
97,82
0,84
0,49
87,96
11,56
2009
1,56
97,82
0,62
0,48
88,35
11,17
2010
1,15
98,30
0,55
0,46
89,06
10,49
Tahun
Tidak/belum sekolah
Masih Sekolah
Tidak bersekolah lagi
Sumber :SUSENAS, tahun 2008-2010 Untuk pencapaian pendidikan dasar di Sulawesi Utara selama tahun 20082010 menunjukkan kenaikan. Dari data SUSENAS partisipasi sekolah umur 7-12 tahun yang
masih bersekolah 97,82 persen pada tahun 2008 dan meningkat
sampai 98,30 persen. Angka ini masih lebih besar dari partisipasi sekolah SMP dimana pada tahun 2008 sebesar 87,96 persen dan meningkat hanya sampai 89,06 persen. Anak yang putus sekolah juga cenderung menurun, anak usia SMP lebih yang tidak bersekolah lagi masih lebih banyak dari usia SD. Pada tahun 2010 dari 100 anak usia 13-15 tahun, masih terdapat 11 anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah (Tabel 3) .
Gambar 8 APS Kabupaten/Kota Tahun 2010 Angka Partisipasi Sekolah (APS) juga merupakan salah satu indikator pemerataan akses dan layanan pendidikan. Pada periode 2010, APS SD di Sulawesi Utara yang tertinggi adalah kabupaten Minahasa sedangkan yang terendah adalah Sangihe. Untuk APS usia 13-15 tahun yang tertinggi adalah Kepulauan Talaud dan yang terendah adalah Bolaang Mongondow (Gambar 8).
41
Selain melihat partisipasi sekolah, yang perlu menjadi perhatian adalah angka putus sekolah pada usia 7-15 tahun. Kelompok ini adalah proporsi anak menurut kelompok usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu. Gambaran angka putus sekolah selama periode penelitian disajikan dalam bentuk peta dengan 3 gradasi warna. Warna paling gelap menunjukkan angka putus sekolah yang masih diatas rata-rata tahun 2008, sedangkan warna yang paling terang menunjukkan angka putus sekolah di daerah tersebut masih di bawah rata-rata Sulawesi Utara. Untuk putus sekolah umur 7-12 tahun daerah yang tetap berada diatas ratarata angka putus sekolah adalah Kabupaten Sangihe, angka putus sekolah di kabupaten ini meningkat dari 3,21 persen di tahun 2008 menjadi 4,30 persen di tahun 2009. Daerah yang angka putus sekolahnya tetap berada di bawah rata-rata adalah kabupaten Talaud dan Minahasa Tenggara (Gambar 9a dan b). Daerah yang menunjukkan kondisi membaik angka putus sekolahnya adalah Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Sitaro, Kota Bitung, Tomohon dan Kotamobagu. Angka putus sekolah di Kotamobagu dari 1,85 persen menjadi 1,05 persen. Kabupaten yang mengalami kondisi memburuk adalah Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, dan Manado (Gambar 9a dan b). Secara keseluruhan dari tahun 2008 ke tahun 2009 kondisi angka putus sekolah cenderung menunjukkan penurunan.
42
(a) Sebaran Putus Sekolah usia 7-12 tahun di tahun 2008
(b) Sebaran Putus Sekolah usia 7-12 tahun di tahun 2009
43 01 02 03 04 05 06 07 08 09 71 72 73 74
Bolaang Mongondow Minahas a Kep.Sangihe Kep. Talaud Minahas a Selatan Minahas a Utara Bolaang Mongondow Utara Kep. Sitaro Minahas a Tenggara Manado Bitung Tom ohon Kotam obagu
(c) Sebaran Putus Sekolah usia 7-12 tahun di tahun 2010 Gambar 9 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 7-12 Tahun di Tahun 2008-2010 Sedangkan jika melihat perkembangan tahun 2009 ke tahun 2010 yang membaik adalah Bolaang Mongondow, Minahasa Selatan dan Sitaro. Kabupaten yang memburuk adalah Bolaang Mongondow Utara dan Kotamobagu. Kabupaten yang kondisinya tetap adalah Minahasa, Sangihe, Talaud, Minahasa Tenggara, Manado, Bitung, dan Tomohon. Secara keseluruhan angka putus sekolah membaik namun ada kabupaten yang tetap berada diatas rata-rata putus sekolah yaitu kabupaten Sangihe (Lampiran 8). Kabupaten Sangihe selama periode penelitian menunjukkan angka putus sekolah yang tetap berada di atas rata-rata provinsi hal ini disebabkan antara lain karena kabupaten Sangihe merupakan daerah kepulauan yang juga rawan bencana alam. Jumlah pulau di kabupaten Sangihe adalah 105 pulau (BPS, 2011). Pada tahun 2008 ada 112 bencana alam, terbanyak adalah bencana tanah longsor kemudian gelombang pasang air laut (Lampiran 5). Masih adanya sejumlah desa yang tidak memiliki sarana sekolah SD membuat anak usia sekolah SD kesulitan untuk bersekolah saat bencana alam datang. Kota Manado cenderung naik angka putus sekolahnya diduga karena biaya pendidikan yang cukup mahal. Walaupun program dana BOS dari pemerintah sudah ada, namun beberapa sekolah tetap memungut biaya. Hal ini
44
tetap diperbolehkan karena berdasarkan peraturan bahwa sekolah rintisan berstandar internasional dan sekolah berstandar internasional diperbolehkan memungut biaya. Angka putus sekolah usia 13-15 tahun perkembangannya dari tahun 2008 ke tahun 2009 secara umum tetap. Kabupaten yang angka putus sekolahnya tetap dalam kategori diatas rata-rata adalah Bolaang Mongondow, sedangkan yang tetap dalam kategori dibawah rata-rata adalah Kepulauan Talaud, Minahasa Utara, Manado, dan Tomohon. Kabupaten yang keadaan angka putus sekolah memburuk adalah Minahasa (Gambar 10a dan b). Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah kabupaten terbanyak yang tidak memiliki sekolah SMP di tiap desa (Lampiran 7). Kurangnya ketersediaan akses bisa menjadi penyebab angka putus sekolah yang tinggi.
< 9,23 9,23-14,78 >14,78
(a) Sebaran Angka Putus Sekolah usia 13-15 tahun 2008
45
(b) Sebaran Angka Putus Sekolah usia 13-15 Tahun 2009 01 02 03 04 05 06 07 08 09 71 72 73 74
Bolaang Mongondow Minahas a Kep.Sangihe Kep. Talaud Minahas a Selatan Minahas a Utara Bolaang Mongondow Utara Kep. Sitaro Minahas a Tenggara Manado Bitung Tom ohon Kotam obagu
(c) Sebaran Angka Putus Sekolah Usia 13-15 Tahun 2010 Gambar 10 Peta Sebaran Putus Sekolah Usia 13-15 Tahun di Tahun 2008-2010
46
Perkembangan angka putus sekolah tahun 2009-2010 menunjukkan trend menuju dibawah rata-rata. Kabupaten/Kota yang kondisinya memburuk pada tahun 2010 adalah Sangihe, Minahasa Utara, dan Manado. Dari segi jarak, hanya 28 desa/kelurahan di Manado yang tidak memiliki sekolah SMP dan jaraknya dengan SMP terdekat rata-rata adalah 2 km (Lampiran 7), sehingga jarak bukanlah merupakan faktor utama penyebab angka putus sekolah di Manado. Angka putus sekolah Sangihe selalu diatas rata-rata sejak tahun 2008-2010. Sampai tahun 2008, ada 99 desa yang tidak memiliki sekolah SMP, dengan letak geografis Sangihe yang merupakan kepulauan ketiadaan akses seperti sekolah dapat menjadi salah satu penyebab seorang anak tidak melanjutkan sekolahnya. Sarana transportasi yang dibutuhkan untuk bersekolah biasanya adalah perahu antar pulau yang datang hanya di jam-jam tertentu. Pemerintah dapat mengupayakan perahu gratis layaknya bis sekolah yang beroperasi di jam-jam berangkat dan pulang sekolah. 4.2 Alokasi Anggaran Pendidikan Untuk melakukan suatu proses pendidikan dibutuhkan pendanaan yang berasal dari berbagai sumber. Amanat UUD 1945 bahwa pemerintah mengalokasikan dana untuk pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran. Semenjak adanya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan juga mengalami desentralisasi dana pendidikan. Daerah diberi kewenangan untuk mengelola dana. Besarnya realisasi belanja untuk pendidikan dasar menjadi salah satu tolak ukur perhatian pemerintah daerah dalam mencapai target pencapaian pendidikan dasar. Anggaran pendidikan dasar di daerah dikelola oleh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Dinas provinsi bertugas sebagai pengawas untuk monitoring dan evaluasi program wajib belajar di daerah. Anggaran Dinas Pendidikan yang dialokasikan untuk pendidikan dasar fluktuatif sepanjang tahun 2008-2010, pada tahun 2008 rata-rata 89 persen dari total belanja langsung, sedangkan pada tahun 2010 rata-rata hanya 69,09 persen. Sebagian besar anggaran dibelanjakan untuk belanja modal. Pada tahun 2010 kabupaten yang mengalokasikan anggarannya dalam belanja langsung untuk belanja pendidikan dasar adalah kabupaten Sangihe, Minahasa Utara, dan Bolaang Mongondow Utara, sedangkan daerah dengan anggaran belanja pendidikan dasar terkecil adalah Kabupaten Minahasa Selatan. Perbedaan antar daerah di Sulawesi
47
Utara sangat bervariasi, hal ini dikarenakan belum adanya standar baku dari kementrian keuangan yang mensyaratkan minimal alokasi anggaran untuk pendidikan dasar dari anggaran dinas pendidikan. Tabel 4 Persentase Anggaran Belanja Tidak Langsung, Belanja Langsung dan Anggaran Pendidikan Dasar Tahun 2010 Kabupaten/Kota
Bolaang Mongondow Minahasa Sangihe Kepulauan Talaud Minahasa Selatan Minahasa Utara Bolaang Mongondow Utara Kep. Sitaro Minahasa Tenggara Manado Bitung Tomohon Kotamobagu Rata-rata
APBD DIKNAS (Milyar)
BTL (%)
218,58 306,27 164,74 51,29 150,02 52,43 73,45 108,46 92,15 309,45 55,09 76,97 143,30 138,63
49,10 84,30 82,40 35,40 77,00 48,20 62,40 64,10 67,80 90,10 64,50 80,20 61,60 66,70
BL(%)
50,90 15,70 17,60 64,60 23,00 51,80 37,60 35,90 32,20 9,90 35,50 19,80 38,40 33,30
PD (%BL)
PD (%APBD)
65,90 49,50 81,60 70,30 33,70 88,20 86,30 78,50 61,80 75,90 69,20 76,70 60,50 69,10
33,50 7,70 14,40 45,40 7,80 45,70 32,40 28,20 19,90 7,50 24,60 15,10 23,30 23,50
Ket: BTL : Belanja Tidak Langsung, BL: Belanja Langsung, PD: Pendidikan dasar Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah, diolah
Sedangkan jika dibandingkan dengan total anggaran Dinas Pendidikan persentase anggaran untuk pendidikan dasar lebih kecil lagi karena anggaran untuk gaji guru dan pegawai dinas pendidikan mempunyai porsi yang lebih banyak dari biaya langsung (Tabel 4). Menurut Stiglizt (1999) pembiayaan yang terlalu besar pada gaji pegawai menyebabkan ketidakefisienan dari suatu sistem. Realisasi anggaran pendidikan dasar bervariasi antara kabupaten/kota. Pada tahun 2010 realisasi anggaran terendah adalah kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Dana yang telah dialokasikan tidak diberdayakan semaksimal mungkin, implikasinya adalah tidak tercapainya indikator-indikator pendidikan dasar. Salah satu pengeluaran pemerintah lainnya adalah Bantuan Operasional Pemerintah (BOS). Program dana BOS dimulai pada tahun 2005 sebagai dana kompensasi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dana BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat atas kenaikan harga BBM yang harus digunakan
48
untuk bidang pendidikan. Oleh karena itu, mekanisme dana BOS adalah transfer langsung kepada sekolah, diberikan kepada murid yang bersekolah disekolah tersebut. Mekanisme ini dipilih untuk meminimalisir kemungkinan dana disalahgunakan. Besaran dana BOS dihitung berdasarkan berapa banyak murid yang ada di sekolah tersebut dan besarnya sama untuk tiap siswa. Pada tahun 2005 besaran dana BOS untuk SD 117.500/siswa/tahun dan SMP 162.250/siswa/tahun. Tahun 2006-2007 terdapat kenaikan dana BOS persiswa sedangkan di tahun 2008 besar dana BOS sama dengan tahun 2007. Pada tahun 2009 dana BOS untuk daerah kabupaten dibedakan dengan daerah kotamadya. Untuk daerah perkotaan dana BOS untuk SD sebesar 400 ribu sedangkan untuk perdesaan 397 ribu (Tabel 5). Tabel 5
Alokasi Dana BOS (rupiah/siswa/tahun) SD
Tahun
Kabupaten
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: Kemdiknas
117500 235000 276000 276000 397000 397000 397000 580000
Kotamadya
117500 235000 276000 276000 400000 400000 400000 580000
SMP Kabupaten 162250 324500 376000 376000 570000 570000 570000 710000
Kotamadya
162250 324500 376000 376000 575000 575000 575000 710000
Dari sisi besaran dana, BOS diberikan sama untuk tiap siswa pertahun perdaerah. Ini berarti bahwa sekolah-sekolah yang besar menerima dana lebih banyak sedangkan sekolah-sekolah kecil menerima dana lebih sedikit, dengan asumsi sekolah besar memiliki jumlah murid lebih banyak. Padahal, sekolahsekolah kecil seringkali mempunyai kebutuhan yang berbeda dan memerlukan dukungan operasional yang lebih besar daripada sekolah-sekolah perkotaan yang lebih besar. 4.3 Fasilitas Pendidikan Sekolah sebagai sarana pendidikan adalah salah satu kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Pertambahan jumlah SD dan SMP dari tahun 2008-2010
49
tidak signifikan, untuk sekolah SD hanya bertambah 0,76 persen. Sedangkan pertambahan untuk sekolah SMP sebesar 6,56 persen. Jumlah SD terbanyak terletak di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mongondow, hal ini dikarenakan kedua kabupaten ini adalah kabupaten terluas di Sulawesi Utara. Distribusi sekolah untuk SD relatif merata, hal ini disebabkan kewajiban program wajib belajar 6 tahun yang telah lebih dahulu dicanangkan oleh pemerintah. Namun, distribusi sekolah di tingkat SMP kurang merata. Sekolah SMP yang terbanyak berada di Kabupaten Minahasa, Bolaang Mongondow dan di Kota Manado (Tabel 6). Implikasinya bagi penduduk yang mau bersekolah SMP di daerahnya kurang banyak pilihan, juga jarak dari sekolah ke tempat tinggal yang relatif jauh. Pemerintah sudah mencoba untuk menambah jumlah SMP jika melihat dari pertumbuhan jumlah sekolah SMP yang lebih besar dari pertumbuhan sekolah SD. Tabel 6 Jumlah SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 Sekolah SD
Kabupaten/Kota 2008
2009
2010
Sekolah SMP 2008
2009
Bolaang Mongondow 343 351 351 92 94 Minahasa 342 342 342 100 100 Kepulauan Sangihe 220 220 221 58 58 Kepulauan Talaud 115 115 115 37 38 Minahasa Selatan 233 233 235 61 77 Minahasa Utara 192 192 192 71 71 Minahasa Tenggara 91 92 93 31 31 Bolaang Mongondow Utara 88 88 88 20 24 Kep. Sitaro 102 102 102 24 24 Manado 269 271 271 92 94 Bitung 101 101 104 32 34 Tomohon 66 66 66 21 21 kotamobagu 74 73 73 16 17 Sulawesi Utara 2236 2246 2253 655 683 Pertumbuhan 0,76 6,56 Sumber : Daerah Dalam Angka Kabupaten/Kota, dalam beberapa tahun
2010
96 100 59 38 79 71 40 24 24 94 35 21 17 698
Jika dihubungkan dengan anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan dasar, di setiap kabupaten/kota anggaran untuk pendidikan dasar mendapatkan porsi terbesar dari anggaran belanja langsung. Anggaran belanja langsung adalah
50
anggaran untuk program-program dalam pemerintahan diluar belanja rutin pegawai. Target MDGs adalah semua anak mendapatkan pendidikan dasar, atas dasar ini pula pemerintah memberikan porsi anggaran terbesar diantara programprogram lain yang ada di Dinas Pendidikan. Ketersediakan sekolah SMP masih lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah SD. Ini berimplikasi pada harus adanya biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya transportasi. Bolaang Mongondow mempunyai desa terbanyak yang tidak memiliki sekolah SMP (Lampiran 7). Banyaknya desa yang memiliki jarak tempuh dengan SD terdekat 2 Km sejumlah 85 desa. Sekitar 35 desa di Sulawesi Utara yang jarak tempuh dengan SMP terdekat lebih dari 10 Km. Pemerintah dapat mengatasi hal ini dengan menyediakan sarana transportasi gratis seperti bis sekolah. Langkah ini sudah di ambil oleh pemerintah daerah Bolaang Mongondow Utara. Daerah kepulauan seperti Sangihe, Talaud dan Sitaro dapat menyediakan perahu sekolah yang beroperasi setiap jam berangkat dan pulang sekolah. Tabel 7 Jumlah Guru SD dan SMP di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 SD
Kabupaten/Kota
SMP
2008
2009
2010
2008
2009
2010
Bolaang Mongondow
2077
2564
3256
813
1117
1235
Minahasa
2291
2294
2306
1031
1490
1521
Kep.Sangihe
1254
1282
1491
392
426
601
Kep. Talaud
823
896
896
381
481
481
Minahasa Selatan
1440
1704
1663
689
689
937
Minahasa Utara
1269
1295
1418
796
796
796
Bolaang Mongondow Utara
462
545
617
126
219
348
Kep. Sitaro
629
657
670
180
251
319
Minahasa Tenggara
536
540
555
413
414
420
Manado
2150
2666
3199
1134
1184
1246
Bitung
838
1036
1147
452
522
579
Tomohon
686
698
707
290
345
347
Kotamobagu
606
760
816
282
426
465
15082
17054
18720
7013
8365
9256
Sulawesi Utara Pertumbuhan 2008-2010
24,12
31,98
Sumber : Daerah Dalam Angka Kabupaten/Kota, dalam beberapa tahun Ketersedian guru dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pertumbuhan guru SD sejak tahun 2008-2010 sebesar 24,12 persen dan guru SMP 31,98 persen (Tabel 7). Jumlah guru SD tahun 2010 terbanyak di Kabupaten Bolaang
51
Mongondow. Hal ini terjadi dikarenakan kabupaten Bolaang Mongondow saat ini sudah pecah menjadi 3 kabupaten yaitu kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan. Daerah Bolaang Mongondow merupakan daerah dengan angka partisipasi sekolah untuk SD dan SMP yang terendah diantara kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Utara. Pemerintah berusaha menyediakan akses pendidikan dasar lebih banyak di daerah yang rendah partisipasi SD dan SMP. 4.4 Rasio Murid dan Guru Rasio murid dan guru menggambarkan rata-rata banyaknya siswa yang dididik oleh seorang guru. Guru sebagai perantara memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia mutlak diperlukan dalam dunia pendidikan. Keefektifan proses belajar mengajar dapat dilihat dari rasio murid dan guru. Murid yang terlampau banyak dalam suatu proses belajar akan berdampak kurang fokusnya penerimaan materi, akibatnya mutu pendidikan akan berkurang kualitasnya. Tabel 8 Rasio Murid terhadap Guru di Sulawesi Utara Tahun 2008-2010 SD SMP Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2008 2009 Bolaang Mongondow 22,09 18,41 14,65 17,28 14,12 Minahasa 15,15 14,9 15,24 13,41 9,55 Kepulauan Sangihe 11,53 10,98 9,60 14,92 9,17 Kepulauan Talaud 12,83 11,18 11,18 12,64 9,70 Minahasa Selatan 16,32 14,34 15,81 14,85 15,85 Minahasa Utara 17,69 17,33 16,41 10,13 9,76 Bolaang Mongondow Utara 22,27 19,16 17,26 26,28 16,08 Kep. Sitaro 11,62 13,45 10,89 15,79 12,41 Minahasa Tenggara 25,01 17,27 26,52 11,93 9,41 Manado 21,83 14,96 15,78 17,76 17,59 Tomohon 13,60 13,87 14,96 16,57 14,55 Bitung 26,89 22,79 21,27 18,12 16,64 Kotamobagu 21,35 16,74 16,22 24,45 14,66 Sulawesi Utara 18,21 15,79 15,37 15,46 13,01 Sumber: Daerah Dalam Angka Kabupaten/Kota, dalam beberapa tahun
2010 13,8 9,39 5,63 9,70 11,70 10,95 10,42 9,96 12,54 17,69 14,65 14,53 16,25 12,27
The World Development Report (2004) menyatakan bahwa kebijakan yang menyarankan banyaknya siswa yang diajar oleh satu orang guru dibawah 40 orang adalah tidak efisien untuk negara berkembang, karena membutuhkan biaya
52
yang tinggi. Tetapi, jumlah siswa lebih dari 60 orang yang diajar oleh satu orang guru juga tidak disarankan karena proses belajar mengajar tidak efektif. Menurut petunjuk teknis tentang penataan pemerataan guru PNS bahwa untuk seorang guru dalam 1 rombongan belajar maksimal mengajar 32 siswa. Rasio murid yang dididik oleh seorang guru setiap tahunnya selalu menurun. Secara rata-rata di Sulawesi Utara setiap guru mengajar 15-19 orang murid. Pada tahun 2010 rasio murid SD yang dididik oleh seorang guru terbesar di Minahasa Tenggara dan yang paling sedikit adalah di kabupaten Sangihe (Tabel 8). Jika dihubungkan dengan angka partisipasi sekolah SD di Sangihe yang sudah cukup tinggi yaitu 96,41 persen, maka jumlah guru SD sudah mencukupi untuk prasarana pendidikan. Angka ini menggambarkan kurang efisiennya praktek belajar mengajar di jenjang pendidikan SD karena guru “lebih banyak” dibanding dengan siswa yang harus dilayani. Tabel 9 Rasio Murid Guru jika Semua Anak 7-15 Tahun Bersekolah Tahun 20082010 SD SMP Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2008 2009 2010 Bolaang Mongondow 22,70 19,24 14,98 21,28 17,11 16,58 Minahasa 15,46 14,99 15,30 14,65 11,13 9,84 Kep. Sangihe 12,10 11,45 9,89 18,54 12,15 7,65 Kep. Talaud 12,99 11,29 11,41 13,54 9,98 10,05 Minahasa Selatan 16,68 14,65 16,00 17,92 17,35 12,47 Minahasa Utara 18,05 17,44 16,48 11,20 10,30 12,51 Bolaang Mongondow Utara 22,46 19,64 17,68 35,03 17,48 11,55 Kep. Sitaro 11,87 13,45 10,96 18,23 13,59 10,74 Minahasa Tenggara 25,31 17,68 26,95 13,37 11,34 13,53 Manado 22,00 15,31 16,13 18,42 19,03 19,65 Bitung 27,37 22,99 21,46 20,10 19,32 17,31 Tomohon 13,73 13,87 15,11 17,73 15,10 15,62 Kotamobagu 22,09 17,07 16,63 27,77 15,89 17,14 Sulawesi Utara 18,57 16,13 15,62 17,52 14,65 13,71 Sumber : BPS, di olah Rasio murid terhadap guru pada jenjang SMP makin menurun, setiap guru di Sulawesi Utara pada tahun 2010 rata-rata hanya mengajar 13 orang siswa. Kabupaten dengan rasio murid terhadap guru paling kecil adalah Sangihe, namun APS sangihe untuk tingkat SMP juga masih rendah. Ini menggambarkan bahwa
53
faktor ketersediaan guru SMP sudah bukan hambatan lagi untuk mencapai target pencapaian pendidikan dasar. Faktor yang masih perlu diperhatikan lagi adalah kualitas dari guru yang mengajar namun dalam penelitian ini tidak dibahas karena keterbatasan data. Implikasi dari masih dibawah rata-rata rasio murid guru yang ditetapkan berdampak pada pengeluaran pemerintah berupa gaji guru, ini terlihat dari pengeluaran belanja tidak langsung pada dinas pendidikan yang sangat besar. Jika kita asumsikan semua anak umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun bersekolah dan jumlah guru tidak bertambah, tetap masih kurang efektif karena semua daerah masih dibawah batas maksimal (Tabel 9). Hanya Bolaang Mongondow Utara yang pada tahun 2008 memiliki rasio murid guru lebih dari 32 siswa per guru. Hasil estimasi dengan kondisi guru tahun 2010 dan pertambahan jumlah penduduk, jumlah guru saat ini cukup sampai lebih dari 13 tahun untuk SD dan 36 tahun mendatang untuk SMP.