“Isu Seputar Partai Politik: Kontroversi Calon Independen Dalam Pemilihan Kepala Daerah” Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlaku di berbagai negara sangat mempengaruhi sistem kepartaian yang dianut. Secara umum sistem pemilu di dunia terdiri dari 2 jenis yaitu: pluraty single district dan proportional representative system. Plurality single district seringkali diterjemahkan bebas sebagai sistem district, walaupun secara definisi sistem district merupakan varian dari induknya yaitu sistem plurality single district selanjutnya disebut sebagai sistem plural. Sedangkan sistem proportional representative system secara sederhana disebut sebagai sistem pemilu proporsional. Di negara Barat dimana demokrasi sudah menjadi tradisi di dalam kehidupan masyarakatnya, sistem plural membuka peluang untuk berbagai partai politik untuk berkompetisi. Tingginya partisipasi masyarakat dalam sistem politik mensyaratkan adanya pilihan penyaluran aspirasi politik setelah dukungan politik disuarakan (artikulasi) dan disatupadukan (agregasi). Demokrasi menjadikan partai politik bersaing dalam merebut dukungan masyarakat, sehingga menghasilkan sistem partai politik terbagi menurut jumlah dan polarisasi (pengkutuban). Seperti telah disinggung sebelumnya, sistem pemilu akan menghasilkan sistem kepartaian unik dalam sistem politik suatu negara. Begitu pula akhirnya sistem kepartaian di berbagai belahan dunia menurut Almond (1999) terbagi menjadi dua macam yaitu: sistem kepartaian kompetitif dan non-kompetitif. Sistem kepartaian kompetitif membagi sistem kepartaian menurut jumlah dan polarisasinya. Menurut jumlah, sistem kepartaian terdiri dari sistem dwi partai politik (two-party system) atau multi-partai politik (multy-party system). Sedangkan sistem kepartaian menurut polarisasi atau pengkutuban kepentingan terbagi atas konsensual, konfliktual, dan konsosiasional. Sistem dwi partai politik kebanyakan digunakan di negara yang memiliki pengalaman demokrasi paling lama seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Bentuk paling sederhana sering dicontohkan pada sistem pemilu di Amerika Serikat dimana sistem plural murni memaksa kedua partai politik untuk berkompetisi memenangkan pemilu di tiap negara bagian. Partai politik yang lebih dahulu memenangkan pemilu di negara bagian tertentu akan menjadi pemenang mutlak, meniadakan kesempatan partai politik lawan untuk duduk di dalam kongres (parlemen). Sistem pemilu unik semacam ini disebut sebagai first-past-the post mengambil istilah dalam pacuan kuda dimana pemenang pacuan adalah kuda yang lebih dahulu memasuki garis finish. Dalam sistem pemilu tersebut partai politik paling banyak memenangkan pemilu di negara bagian akan menobatkan dirinya sebagai pemenang pemilu secara nasional dan berhak untuk menguasai parlemen. Partai politik pemenang tentu saja harus memiliki dukungan suara kuat dan kekuatan finansial berlebih beserta tim kampanye yang solid. Hanya partai politik besarlah yang mungkin berkontes dalam pemilu sehingga partai politik kecil dengan sendirinya akan terpinggirkan. Logika berpikir seperti ini membuat kelangsungan 2 partai politik di Amerika Serikat, republik dan democrat, bertahan lebih dari 200 tahun lamanya. Uniknya, sistem pemilu dwi partai Amerika Serikat membedakan antara pemilihan umum partai politik dengan pemilihan figur elit partai dalam mengisi jabatan kongres (senat dan perwakilan negara bagian). Pembedaan ini seringkali membuka peluang bagi voters (pemilih) untuk memilih partai politik dan figur elit partai secara terpisah atau sering disebut sebagai split ticket. Demi menghindari terjadinya efek split ticket yang merugikan partai politik, maka partai politik akan berlomba untuk memelihara dukungan faithfull voters (pemilih loyal) di negara-negara bagian tertentu daripada berusaha setengah mati menarik simpati unfaithfull voters. Namun demikian, untuk mengantisipasi pindahnya suara ke partai politik lawan akibat split ticket, partai politik memandang bahwa figur politik popular akan menarik simpati lebih mudah daripada partai politik itu sendiri. Sehingga sering dijumpai, partai politik berkonsentrasi mengkampanyekan figur politik ketimbang partai politik itu sendiri pada beberapa negara bagian tergolong memiliki banyak
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] unfaithfull voters. Selebihnya partai politik berlomba untuk menarik dukungan serta mengambil keuntungan pemilih dari negara bagian berjumlah penduduk namun masuk dalam kategori unfaithfull voters. Negara-negara bagian seperti ini disebut sebagai “swing states.” Strategi fokus pada figur dapat menghasilkan partai politik pemenang pemilu secara nasional berbeda dengan figur elit partai yang duduk di parlemen. Parlemen akan diisi oleh figur elit partai politik terpilih walaupun dari partai politik kalah dalam pemilu. Sehingga sistem pemilu Amerika Serikat menghasilkan parlemen anti-majoritarian, karena mengesampingkan suara rakyat terbanyak. Contoh paling mudah dijumpai pada sistem politik Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush dan Dick Cheney, dimana setelah hasil pemilu antar waktu tahun 2007, kongres sudah tidak dikuasai lagi oleh partai politik republican sebagai partai politik pendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Akan tetapi anggota kongres didominasi oleh partai oposan yaitu democrat. Sistem pemilu proporsional murni dapat dijumpai di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana partai politik akan menyusun daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas akan memiliki kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi di parlemen apabila partai politiknya menang di suatu daerah pemilihan. Dalam sistem pemilu proporsional semua partai politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral threshold yang ditentukan perundangan pemilu, dapat berkontes dalam pemilu berikutnya. Pembentukan partai politik baru demi mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam partai politik besar sangat terbuka. Sehingga keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi perwakilan saja. Namun demikian kelemahan sistem ini seringkali diakibatkan oleh ketidakterbukaan sistem pemilu dalam mengemukakan urutan daftar figur elit partainya, sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika figur politik pilihannya ternyata tidak dapat menduduki kursi di parlemen. Sistem pemilu proporsional murni dapat dijumpai di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dimana partai politik akan menyusun daftar urut figur elit partai politik. Dengan nomor urut semacam itu, figur dengan nomor urut teratas akan memiliki kesempatan lebih besar untuk menduduki kursi di parlemen apabila partai politiknya menang di suatu daerah pemilihan. Dalam sistem pemilu proporsional semua partai politik sejauh telah memenuhi ketentuan electoral threshold yang ditentukan perundangan pemilu, dapat berkontes dalam pemilu berikutnya. Pembentukan partai politik baru demi mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam partai politik besar sangat terbuka. Sehingga keterwakilan masyarakat beragam dapat dipenuhi di dalam parlemen walaupun hanya 1 kursi perwakilan saja. Namun demikian kelemahan sistem ini seringkali diakibatkan oleh ketidakterbukaan sistem pemilu dalam mengemukakan urutan daftar figur elit partainya, sehingga masyarakat merasa dikecewakan ketika figur politik pilihannya ternyata tidak dapat menduduki kursi di parlemen. Sistem multi-partai seperti di Jerman dan Perancis membutuhkan banyak partai untuk terlaksananya proses demokrasi yang mewadahi kepentingan masyarakat yang heterogen. Multi-partai mendorong partai politik untuk berkompetisi sehat meraih dukungan voters. Partaipartai politik kecil di negara-negara Barat tersebut cenderung beraliansi dengan partai politik besar berideologi ekstrem seperti konservatif, liberalis, dan radikal demi pemenangan pemilu. Sebagai contoh di negara Perancis, partai politik berhaluan konservatif seperti Union for a Popular Movement merupakan hasil merger dari beberapa partai politik kecil beraliran konservatif (Rally for the Republic dan Union for French Democracy). Di lain pihak, partai politik berhaluan sosialis komunis seperti Socialist Party and French Communist Party memiliki ideologi liberal atau radical. Karena Perancis memiliki Presiden sebagai kepala negara (head of state) dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan (prime minister), tidak jarang dalam satu periode pemerintahan presiden dan perdana menteri berasal dari partai politik yang berbeda seperti Perancis pada tahun 1997, dimana Presiden Jacques Chirac seorang konservatif memiliki perdana menteri Lionel Jospin berhaluan sosialis.
2
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] Selanjutnya sistem partai politik ditinjau dari polarisasi kepentingan menghasilkan 3 jenis partai politik, yaitu: 1. Konsensual, dimana partai politik berkonsensus, menjauhi konflik dalam merumuskan kebijakan bagi kepentingan politik nasional. Sebagai contoh partai politik semacam ini dapat dijumpai di Amerika Serikat dan Inggris. 2. Konflitual, dimana partai politik bersaing, saling menjatuhkan dalam perumusan kebijakan nasional. sebagai contoh di negara Rusia. 3. Konsosiasional, tipe semacam ini merupakan kompromi antara kedua jenis partai politik ekstrem pada kutub berbeda dengan mensyaratkan kehadiran figur pemimpin politik yang mampu mendamaikan dan diterima kedua partai politik. Dasar pembentukan partai politik konsosiasional tersebut diambil dari teori demokrasi konsosiasional Arendt Lijphardt (1997). Lain halnya dengan sistem kepartaian kompetitif seperti di atas, sistem kepartaian non-kompetitif. Negara seperti Cina memiliki sistem kepartaian tunggal dimana Partai Komunis Cina (PKC) mendorong sistem politik otoriter. Agregasi kepentingan politik sistem kepartaian non-kompetitif cina berada di level bisnis, tuan tanah, dan kelembagaan di birokrasi dan militer. Ruang bagi rakyat untuk agregasi politik tidak terbuka sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memilih partai alternatif. Sistem kepartaian seperti di cina dan kebanyakan negara berhaluan komunis di masa lalu tersebut terbagi menurut derajat kontrol partai politik terhadap kelompokkelompok kepentingan yang ada dalam sistem politik, yaitu partai politik berkuasa secara eksklusif dan inklusif. Secara ekslusif, partai politik berkuasa (governing party) akan memaksakan kontrol terhadap sumber daya politik melalui tangan kepemimpinan partai. Ciri dari sistem kepartaian ekslusif ini adalah mempengaruhi rakyat dengan cara penggalangan mobilisasi besar-besaran dan meniadakan keberagaman kepentingan yang mungkin timbul. Sedangkan ciri dari sistem kepartaian inklusif berusaha untuk mewadahi aneka kepentingan dari kelompok sosial dalam masyarakat dengan menerima beberapa agregasi kepentingan, sementara kepentingan yang dirasa tidak perlu ditekan sedemikian rupa dengan pelarangan bagi pihak yang menentang kuasa pemerintah. Sistem Pemilu Proporsional Indonesia Sistem pemilu proporsional memiliki banyak varian, ada yang murni dengan daftar urut calon terbuka, ada pula dengan daftar urut calon tertutup seperti di Indonesia. Sistem seperti yang dimiliki Indonesia, menurut Saiful Mujani (2007), Direktur Lembaga Survei Indonesia, menyulitkan dalam “membangun sistem kepartaian yang sederahan sekaligus representatif secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen…[oleh karena itu pilihannya adalah mengurangi] efektifitas dan efisiensi pemerintahan atau representasi kepentingan warga di DPR.” Saat ini sistem proporsional representatif dengan daftar tertutup menghasilkan sistem multipartai, dengan partai politik yang layak untuk maju dalam pemilihan umum tahun 2009 setelah memenuhi electoral threshold tahun 2004 berjumlah 7 partai (PDIP, Golkar, PKS, PAN, PKB, PPP, dan PBB), sedangkan sisanya harus berjuang terlebih dahulu memenuhi syarat dan ketentuan pendirian partai secara administrative untuk bisa berlaga di pemilu 2009. Itupun masih harus melalui jalan panjang menuji kursi DPR karena ambang batas (threshold) masih dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Partai Politik. Kegamangan terjadi dalam pembahasan rancangan perundangan tersebut disinyalir oleh Mujani karena perubahan sistem kepartaian ditujukan untuk mewujudkan multi-partai sederhana, namun dengan tetap menghormati keragaman bangsa Indonesia yang ditunjukan dengan pola representasi atau keterwakilan. Hal ini menyebabkan pembahasan dari semula ingin menyederhanakan partai kemudian berkembang lagi dengan terbukanya kemungkinan penambahan partai politik baru bila rasa keterwakilan belum terpenuhi. Akibatnya, kehadiran partai politik baru tetap menjadi isu penting dalam pemilu 2009.
3
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] Selanjutnya Mujani menyoroti electoral threshold yang diusulkan naik dari 3 persen menjadi 5 persen dalam pemilu 2009. Kenaikan ambang batas seperti ini menurut Mujani, mengakibatkan “partai-partai yang mendapat suara di bawah lima persen dalam Pemilu 2009 tidak bisa ikut dalam Pemilu 2014.” Dengan demikian Mujani mempertanyakan keefektifan jumlah partai yang semakin kecil bila memang electoral threshold dinaikan. Sesungguhnya kenaikan electoral threshold akan memaksa partai politik kecil untuk beralinasi dengan partai politik besar. Namun, kesulitan yang mungkin timbul adalah bila partai politik kecil tersebut ternyata memiliki kepentingan sangat spesifik seperti mewakili kepentingan kelompok etnis religius tertentu yang tidak mungkin disatukan dengan kepentingan partai politik besar memiliki ideologi jauh berbeda. Namun melihat kondisi seperti saat ini, Mujani berpendapat bahwa kenaikan electoral threshold menjadi 5 persen akan membawa partai politik kearah fragmentasi ekstrem di lembaga DPR, menjadikan partai politik lebih dari 5 buah. Padahal secara ideal fragmentasi partai politik yang diharapkan adalah moderat sehingga menghasilkan penyederhanaan sesungguhnya yaitu tiga sampai lima partai. Menurut Mujani salah satu penyelesaian masalah ini dengan meningkatkan electoral threshold sebanyak 10 persen. Tentunya usulan ini akan mendapatkan tantangan dari partai kecil. Kenyataan seperti di atas membuat kita berpikir apakah memang seharusnya sistem pemilu kita berubah agar sistem kepartaian turut menyesuaikan kea rah penyederhanaan partai. Partai politik dengan jumlah moderat akan menghasilkan pemerintahan yang stabil seperti kasus di negara demokrasi barat. Namun perlu kita pertimbangkan pula bahwa sejarah lahirnya sistem pemilu dan kepartaian negara barat sama sekali tidak sama dengan sejarah di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang heterogen dengan kultur, nilai, dan norma beraneka ragam tentunya membutuhkan partai politik yang dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat. Sistem proporsional (proportional representations) yang ada selama ini ternyata belum mampu menjawab kebutuhan bangsa Indonesia, karena keterwakilan di dalam lembaga DPR ternyata hanya menghasilkan elit-elit partai peduli dengan kepentingan masing-masing. Menurut Mujani, sistem pluralitas yang sering dipertukarkan dengan sistem distrik, mengharuskan “jatah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan hanya satu, karena itu hanya ada satu calon yang menang di daerah tersebut. Calon-calon lain, dari partai yang sama maupun berbeda, tidak akan punya kursi di DPR dari daerah pemilihan tersebut.” Mujani mendasarkan pilihan tersebut dari hasil penelitian empiris yang mengatakan bahwa kecenderungan penerapan sistem pluralis sederhana akan menghasilkan sistem kepartaian sederhana bila dibandingan dengan sistem proporsional dengan segala variasinya yang efektif di DPR. Variasi dari sistem plural memperkenalkan first past the post atau block vote sebagai mekanisme partai yang membuka peluang figure elit politik atau calon dari partai politik. Figur partai politik pemenang suara terbanyak di satu daerah pemilihan berhak menduduki kursi di DPR. Dan partai politik dengan suara terbanyak memenangkan seluruh kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan. Dengan sistem block vote, partai politik akan dengan sendirinya berkurang, karena DPR hanya akan diduduki oleh sedikit partai. Dan oleh karenanya, menurut Mujani, keterwakilan suara di DPR akan lebih efektif. Kendala dari penerapan sistem ini masih berkisar pada perlawanan partai politik kecil. Ide pemekaran daerah yang marak menjelang pemilu 2009 sesungguhnya akan memetakan ulang pemilih yang akan menguntungkan partai politik besar bila sistem plural diterapkan, meskipun partai politik menengah masih memiliki kesempatan memenangkan kursi DPR walaupun tidak efektif. Tidak demikian halnya bila sistem proporsional masih diberlakukan, pemekaran daerah justru akan membuka kesempatan partai kecil memperoleh suara dan mendapatkan kursi di DPRD. Sama seperti usul untuk menaikkan electoral threshold menjadi sepuluh persen, perubahan sistem proporsional menjadi sistem plural kemungkinan besar akan
4
http://raconquista.wordpress.com
[email protected] mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan. Menurut Mujani, gambaran dari implementasi sistem pemilu dengan varian dengan paduan sistem plural dengan sistem first past the post atau block vote adalah sebagai berikut: “bila data Pemilu 2004 dipakai, kemungkinan partai yang punya wakil di DPR dengan jumlah efektif adalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. PKB mungkin masih punya kursi meskipun tidak banyak, karena dalam Pemilu 2004 cukup banyak calon PKB yang mendapat suara terbanyak di sejumlah daerah pemilihan di Jawa Timur. PKS punya wakil di DPR dari daerah pemilihan di Jakarta dan Jawa Barat. Partai lain seperti Demokrat, PPP, dan PAN, apalagi partai lain yang lebih kecil, kemungkinan akan hilang karena tidak mendapat suara paling banyak di satu pun daerah dalam Pemilu 2004.” Kemunculan calon independen dari sistem pemilu plural tentu akan sangat besar, karena partai politik akan bersaing mencari figur yang menjanjikan dalam pemenangan pemilu. Bila kader partai politik dirasa tidak mempunyai kapasitas sebagai vote getter (penggalang suara), maka tidak ada jalan lain selain mencari figure di luar partai politik. Di lain pihak, figur dari berbagai kelompok kepentingan luar partai politik akan lebih mempunyai bargaining power (posisi tawar) dalam menerima ‘pinangan’ partai politik ataupun mencalonkan diri secara terbuka. Oleh karena partai politik lebih sederhana, maka keefektifan calon independen untuk memimpin pemerintahan akan meningkat karena partai politik pendukung sangat kuat disamping adanya partai politik oposan yang senantiasa menjaga agar pemerintahan berpihak pada rakyat. Persoalan merubah sistem pemilu dan kepartaian di Indonesia memang bukan semudah membalikkan telapak tangan, banyak hal yang perlu dipertimbangkan seperti prioritas mana yang didahulukan, pemerintah yang efektif ataukah rasa keterwakilan masyarakat yang heterogen. Pilihan sistem plural atau proporsional hendaknya selalu berdasarkan perdebatan sehat di DPR akan kedua pilihan tersebut. Menurut Mujani, yang paling penting adalah “bagaimana keputusan dibuat tentang sistem pemilihan umum dalam sebuah negara.” Tidak ada salahnya pula bila sistem proporsional masih dipertahankan, tentunya dengan penyesuaian kearah sistem yang lebih transparan seperti sistem proporsional dengan daftar terbuka bukan tertutup seperti yang berlaku seperti ini. Sistem proporsional daftar terbuka akan memberikan kesempatan voters untuk menentukan figur elit partai politik mana yang layak menduduki kursi di DPR, bukan ditentukan oleh urut kacang kader partai. Dengan ini, wakil rakyat terpilih akan lebih memiliki legitimasi kuat sehingga mereka bertanggung jawab pada konstituen pemilihnya. Sistem proporsional daftar terbuka seperti ini tetap membuka peluang munculnya calon independen yang didukung oleh beberapa partai politik. Akan tetapi yang harus dijaga adalah agar berbagai kepentingan dalam partai politik tidak mengganggu jalannya pemerintahan koalisi kelak. Ini permasalahan yang rupanya inherent atau melekat dalam sistem proporsional. Kalau sudah begini jalan paling aman adalah menjamin terselenggaranya mekanisme checks and balances yang fair dalam struktur dan fungsi sistem politik Indonesia. Oleh karenanya, sistem pemilu dan kepartaian di Indonesia harus memperhitungkan keunikan sistem politik yang ada. Partai politik besar mungkin akan membela mati-matian sistem plural bila mereka percaya diri menjadi partai mayoritas. Demikian sebaliknya partai politik kecil akan menentang sistem plural dan mempertahankan sistem proporsional mengingat keterwakilan suara mereka akan terjaga dalam pemilu. Tidak bisa kita terus menerus menghujat pemerintahan kita yang bekerja lamban dalam merespon aspirasi masyarakat karena memang pemerintahan terbentuk dari berbagai macam partai politik dan kelompok kepentingan. Semoga.
5
http://raconquista.wordpress.com
[email protected]
Daftar Pustaka Almond, Gabriel. Lijphardrt, Arendt. Mujani,
Saiful. “Plus - M i nus P en y ede r ha na an Par tai : Representasi Keterwakilan Masyarakat Dalam DPR.” Majalah Tempo Edisi 9-15 Juli 2007. Sumber internet http://www.lsi.or.id/liputan/295/plus-minus-penyederhanaan-partai. Diakses pada 1 November 2007.
6