ISU GENDER DALAM ISLAM Abd. Basyir Mardjudo* Abstrak Gender equality in gender studies is balancing between rights and duties of man and womans proporsionaly with the substance of human being who Allah created equal and balance. Eventhough, gender justice is in equality justice and balancing man and woman view without look providential differentiation. Islam has encourage to realization of gender equality and justice if the time and space has change, social condition want also, Becouse Alquran giving very honor place to all human being include man and woman. And defend man and woman equality principles. Quran point of view; biologist different doesen’t mean unequality gender. Biologist fungsions have to differentiationed from social fungsions. Kata Kunci: Isu Gender, Islam Pendahuluan Berbicara tentang sejarah perempuan berarti berbicara tentang sejarah perempuan secara umum. Karena pada dasarnya sejarah perempuan Islam dan non Islam berada dalam satu bangunan yang integral dan tidak bisa dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya sebagai sebuah bangunan sejarah kemanusiaan perempuan.1 Dalam hal peradaban, terdapat sekian banyak peradaban sebelum turunnya Alqur'an, seperti peradaban Yunani, Romawi, India, dan Cina. Demikian pula agama-agama, seperti agama Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.2 1
Syatiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Perempuan dalam Islam, (Cet. ke-1; Bandung: Mizan, 2001), 17 2 Nasruddin Umar, Argumen-Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (Cet. ke-1; Jakarta: Paramadina, 1999)
204 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks kaum laki-laki, walaupun perempuan dipuja, namun ia tetap dalam kapasitas pelayan kebutuhan selera tersebut. Peradaban Romawi menempatkan perempuan dalam kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan beralih kepada suami. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, bahkan mengakhiri hidup istrinya. Dalam peradaban Hindu dan Cina, perempuan harus menjadi korban guna mematuhi ikatan tradisi, perempuan harus mengakhiri hidupnya pada saat kematian suaminya, karena ia harus dibakar hidup-hidup bersama mayat suaminya. Demikian pula pandangan Yahudi, perempuan dinilai sumber laknat, sebab ia dipandang sebagai penyebab terusirnya Adam dari surga. Pandangan Kristen di masa silam, relatif sama dengan pandangan lainnya. Pada tahun 1805, perundang-undangan Inggris melegalisir hak suami untuk menjual belikan istri-istri mereka, termasuk hak pemilikan harta.3 Pada tahun 1849, Elizabeth Blakwil sebagai dokter perempuan pertama, berhasil menyelesaikan studinya di Genewa University, diboikot oleh teman-temannya dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika ada keinginan untuk mendirikan Institut Kedokteran untuk perempuan di Philadelpia Amerika, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.4 Demikianlah budaya dan tradisi yang diperlakukan kepada perempuan hingga timbul pemikiran untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender. Kini banyak struktur-struktur sosial lama telah rapuh dan tata sosial baru yang rasional sedang mencuat ke permukaan. Dalam struktur sosial yang baru ini, semakin sulit mempertahankan sikap-sikap lama terhadap perempuan. Karena itu kitab-kitab suci dibaca ulang dan ditafsirkan dengan pertimbangan kondisi-kondisi yang telah berubah dan kesadaran baru di kalangan perempuan. 3
Ibid., 29 Ibid.
4
Basyir Mardjudo, Isu Gender dalam Islam 205
Pembahasan 1. Konsep kesetaraan Konsep kesetaraan meliputi berbagai lapangan dan level kehidupan. Kesetaraan dalam hal ini bukanlah menyamakan secara fisik antara laki-laki dan perempuan. Yang dimaksud kesetaraan disini adalah menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di depan Allah swt., sebab ketidak setaraan laki-laki dan perempuan dalam agama banyak ditimbulkan oleh kontroversi soal kultural, bukan oleh agama itu sendiri. Semua manusia di hadapan Allah adalah setara. Yang membedakannya adalah takwanya. Dan ketakwaan bukanlah istilah yang bias jender, sebab semua orang diberi peluang untuk mencapainya.5 Adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan disebabkan adanya anggapan bahwa perempuan tidak cocok memegang kekuasaan atau memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan menjadi pemimpinannya dan menentukan masa depannya dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki ataupun suami. Dengan kata lain karena kepentingannyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul. Dengan dibatasi di rumah dan di dapur dan dianggap tidak mempu mengambil keputusan di luar wilayahnya. Akan ada malapetaka bila perempuan menjadi penguasa sebuah negeri. 6 Dominasi laki-laki terhadap perempuan ditambah lagi dengan kekerasan menjadikan perempuan seakan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari kondisi yang sangat menyedihkan mereka. Kekerasan laki-laki terhadap perempuan menurut Mansoer Fakihi, seperti yang dikutip oleh St. Aisyah Kara dalam tulisannya yang berjudul "Perempuan di Persimpangan Jalan" menyatakan : "Kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan jender ada beberapa bentuk. Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan baik sebelum dan sesudah nikah. Kedua, tindakan 5
Syatiq Hasyim, Hal-hal, 236 Ashgar Ali Engginer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Alih bahasa oleh Farid Wajdi dan Cici Farkh Assagaf, (Cet. ke-2; Yogjakarta: LSPPA, 2000), 63 6
206 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di rumah tangga. Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation). Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi (keluarga berencana). Ketujuh, kekerasan yang terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan. Kedelapan, pelecehan dalam bentuk verbal, misalnya menggoda atau menyatakan hal-hal yang memalukan perempuan.7 Kekerasan tersebut timbul akibat adanya perasaan bagi laki-laki harus mendominasi dan mengungguli perempuan dalam segala hal. Sementara perempuan kurang menyadari bahwa mereka juga punya kemampuan bila diberi peluang. Beberapa perempuan punya prestasi dan keterampilan sebagaimana yang disebutkan dalam sejarah seperti Ummu Salim binti Malhan, Shafiyah binti Huyaj, Zainab binti Jahusy, Raithah, istri Abdullah ibnu Mas'ud.8 Dalam hal perempuan bekerja di luar rumah, Maulana Umar Ahmad Usmani berpendapat bahwa ia tidak menentang perempuan yang bekerja di luar rumah untuk menopang hidup. Ia katakan ada banyak perempuan dalam masyarakat kita yang melayani dan mencari nafkah dengan kerja keras. Bahkan dalam rumah pun mereka menjahit dan menenun. Perempuanperempuan desa ada yang membajak, menyiram tanaman, dan memelihara ternak. Ia juga telah melihat perempuan menggunakan palu seberat 20 ton di tempat pandai besi. Demikian pula laki-laki yang menjalankan tugas perempuan dan perempuan menjalankan tugas laki-laki.9 Dengan demikian telah tergambar adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tetapi Ashgar Ali mempertanyakan : Apa yang secara konkrit disyaratkan dalam hal kesetaraan jender itu ? Pertanyaan ini ia jawab: 7
St. Aisyah Kara, Perempuan di Persimpangan Jalan, Jurnal Zaitun Vol. I, Nomor. I, April 2002, 126 8 Nasruddin Umar, Argumen-argumen, 35 9 Ashgar Ali Engginer, Hak-ha., 79
Basyir Mardjudo, Isu Gender dalam Islam 207
Pertama, dalam pengertian yang umum berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, keduanya harus memiliki hak yang setara untuk menyatakan kontrak perkawinan atau memutuskannya, keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain, keduanya harus bebas memilih profesi atau cara hidup dan keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.10 Jadi, kesetaraan adalah keseimbangan dalam memandang hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan secara proporsional sesuai dengan hakikat asal kejadian kedua jenis manusia yang memang diciptakan sejajar dan seimbang oleh Allah swt. 2. Keadilan Gender Kata "gender" berarti berasal dari bahasa Inggris "gender" berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dan dalam Women's Studies Ensiclopedy dijelaskan bahwa gender adalah "suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distination) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.11 Menurut Nasuddin Umar, "gender" dalam arti jenis kelamin kurang tepat, karena dengan demikian menyamakan jender dengan seks yang berarti jenis kelamin. Hal ini disebabkan karena gender termasuk kosa kata baru, sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.12 10
Ibid., 65 Nasruddin Umar, op.cit., h. 31 12 Ibid 11
208 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
Gender secara umum digunakan untuk menunjukkan perbedaan lakilaki dan perempuan dalam segi sosial budaya. Keadilan gender menuntut keadilan dalam segi sosial budaya. Gender sebagai konstruksi budaya tidak hanya dijumpai di negara maju, akan tetapi dijumpai di banyak budaya, termasuk di Indonesia yang menempatkan perempuan untuk bekerja di sektor domestik, sementara sektor publik didominasi oleh pihak laki-laki.13 Perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik sebagian besar berdasarkan asumsi bahwa perempuan secara fisik lemah, memiliki kesabaran dan kelembutan, sementara laki-laki memiliki fisik lebih kuat. Atas dasar itulah berlaku pembagian peran. Perempuan dipandang lebih cocok bekerja di rumah, mempersiapkan segala keperluan suami dan anakanak, sementara laki-laki lebih sesuai bekerja di luar rumah mencari nafkah dan sebagainya. Dan pada akhirnya perempuan menjadi bawahan di hadapan laki-laki dan tersisih dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, budaya etnis dan budaya agama menjadi unsur sentral. Karenanya masuk akal jika konstruksi budaya jender yang terdapat dalam budaya nasional, bahkan dituangkan secara formal dalam GBHN, khususnya GBHN tahun 1983. Ibu, istri, perempuan yang ideal menurut ketentuan ini harus memenuhi lima kriteria, yaitu ; 1) istri pendamping suami, 2) ibu pengelola/pengatur rumah tangga, 3) ibu penerus keturunan, pendidik anak, dan pembina generasi muda, 4) sebagai pekerja untuk menambah penghasilan suami, dan 5) sebagai anggota organisasi sosial kemasyarakatan, khususnya organisasi perempuan. Konsep tersebut di atas, secara nyata memposisikan perempuan sebagai orang kedua setelah suami dan diposisikan untuk berperan di sektor domestik, sedangkan laki-laki di sektor publik. Setelah mengalami koreksi, pada tahun 1995 (Inpres No. 5 tahun 1995) dilakukan modifikasi, namun masih mengandung bias dimana masih disebutkan bahwa untuk meningkatkan peran dan kesetaraan tersebut diupayakan untuk mengoptimalkan peran PKK dengan 10 program 13
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia alam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), h. 17
Basyir Mardjudo, Isu Gender dalam Islam 209
pokoknya. Namun program-program tersebut masih mengandung bias jender, seperti istri /perempuan ditempatkan pada posisi untuk bertanggung jawab di sektor domestik. Salah satunya yang menonjol adalah dalam tata laksana rumah tangga. Program-program ini mendapat kritik dari mereka yang tidak setuju, karena masih terdapat dualisme dalam mensejajarkan posisi mengatur rumah tangga untuk perempan dan kewajiban mencari nafkah untuk laki-laki. Dengan demikian, ideologi tersebut dan unsur-unsur bias jender masih menjadi bagian dari realitas budaya masyarakat sekaligus menjadi budaya negara.14 Jadi masih ada pemisahan-pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan keadilan gender mensejajarkan adanya kesetaraan dan keseimbangan kedudukan laki-laki dan perempuan tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati. 3. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Islam a. Kesetaraan Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kesetaraan antara lain:
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun (QS. An-Nisa/4 : 124).
14
Lasia Susanto, Strategi Dasar Nasional Peningkatan Peran Wanita dalam Pembangunan Sampai Tahun 2000 (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 13
210 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
Barang siapa yang mengarjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari pada apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Nahl/16: 97). Barang siapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu, dan barang siapa mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizki di dalamnya tanpa hisab (QS. Al-Mu'min/40: 40). Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa untuk meraih prestasi, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Nasruddin Umar menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi seseorang baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi.15 Selain itu Alqur'an juga menyatakan, "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS. Al-Isra/17: 70). Anak-anak Adam mencakup laki-laki dan perempuan, karena itu menurut ayat ini keduanya sama-sama dimuliakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Alqur'an juga menyatakan: "Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (QS. Al-Baqarah/2: 187). Ini berarti bahwa sebagaimana halnya pakaian, keduanya saling membutuhkan dan melengkapi, yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang lain. Tidak mungkin ada ketidak setaraan dimana ada fungsi saling melengkapi. 15
Nasruddin Umar, Argumen-argumen., 264
Basyir Mardjudo, Isu Gender dalam Islam 211
Maulana Azad dalam penjelasannya mengenai ayat "lahunna mitslul ladzi alaihinna" (QS. Al-Baqarah/2: 228), beliau menyatakan: Alqur'an telah menggelar sebuah revolusi besar dalam kehidupan umat manusia. Empat kata di atas telah memberikan kepada perempuan segala sesuatu yang memang haknya, tetapi selalu ditolak. Dengan empat kata ini diangkat dari ketercampakkan dan kehinaan serta ditempatkan di atas singgasana dan kesetaraan.16 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam memberi dorongan ke arah kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebab Alqur'an memberikan tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia yang mencakup lakilaki dan perempuan. Dan juga membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Menurut Alqur'an, perbedaan biologis tidak berarti ketidak setaraan dalam status jenis kelamin. Fungsi-fungsi sosiologis harus dibedakan dari fungsi-fungsi sosial. b. Keadilan Masalah yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini menyangkut keadilan adalah pemaknaan ayat yang berbunyi "lidzakari mitslu hazhzhil untsayain" yakni bagian seorang anak laki- laki sama dengan bahagian dua orang perempuan (QS. Al-Nisa/4: 11). Pada masa awal Islam di tanah Arab, komposisi pembagian 2 : 1 ini menjadi masalah. Namun pada akhir-akhir ini, komposisi ini mendapat gugatan dari pelbagai kalangan, terutama kalangan pejuang hak-hak perempuan. Pada saat ruang dan waktu menuntut adanya penyesuaianpenyesuaian perubahan ruang dan waktu inilah pada dasarnya menyebabkan komposisi 2 : 1 dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya harus diperhatikan adalah perkembangan sosial. Jalaluddin Rahman mengatakan: Perkembangan sosial sangat mempengaruhi dan dapat mendorong adanya ijtihad baru. Ini berarti bahwa ajaran Islam tidak hanya dilihat sebagai urusan ibadah semata dalam 16
Ashgar Ali Engginer, Hak-hak., 67
212 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
hubungannya dengan Allah, tetapi dinilai dari segi kepentingan sosial, bahkan ibadah murni yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Tuhannya hendaknya dapat dijelaskan dan dirasakan manfaatnya dalam kehidupan nyata.17 Dalam kaitannya dengan komposisi 2 : 1, dia berpendapat: "…hukum waris 2 : 1 tersebut dapat saja disesuaikan dengan kondisi dan pikiran yang berkembang dalam masyarakat Islam Indonesia. Ketika peran perempuan sudah berubah sehingga rasa dan nilai keadilan hukum tersebut sudah tidak ada di samping nilai diskriminasi semakin disadari, maka aturan lain dapat saja dimunculkan, misalnya 1 : 1.18 Dengan adanya perubahan ruang dan waktu serta perkembangan sosial mendorong untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dan pemahaman terhadap ayat untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman yang berkembang. Di Mesir, komposisi 2 : 1 tetap dipertahankan. Kemudian untuk mewujudkan keadilan, yakni bagian perempuan harus sama dengan bagian laki-laki, maka ditempuh dengan wasiat wajibah berdasarkan peraturan pemerintah Mesir Nomor 71 Tahun 1365 H (1946 M), bahwa setiap orang tua wajib membuat wasiat kepada anak-anak perempuannya, sehingga anakanak tersebut sudah memperoleh bahagian sebelum pembagian waris. Ketika terjadi pembahagian waris menurut komposisi 2 : 1, meskipun anak perempuan dapat satu, tapi hasilnya tetap sama dengan perolehan anak lakilaki, karena anak perempuan telah memperoleh wasiat sebelumnya.19 Hamka Haq dalam memahami komposisi 2 : 1 berpendapat bahwa laki-laki memperoleh maksimal 2 (dua) sedangkan perempuan memperoleh minimal 1 (satu). Dengan cara bahwa sebelum ada ketentuan 2 : 1, maka harta warisan jatuh semuanya kepada kaum laki-laki. Tidak sedikitpun jatuh ke tangan perempuan. Bahkan sebelumnya perempuan disetarakan dengan harta warisan yang juga dapat dibagi-bagi oleh ahli waris laki-laki. Karena 17
Jalaluddin Rahman, Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, (Cet. ke-2; Ujung Pandang: PT. Umitaha, 1997), 119 18 Jalaluddin Rahman, Metodologi Pembaruan; Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Pembaruan Pemikiran Islam, tanggal 03 Oktober 2000, 37 19 Hamka Haq, Syariat Islam; Wacana dan Penerapannya, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 2001), 151
Basyir Mardjudo, Isu Gender dalam Islam 213
itulah maka angka 1 (satu) untuk perempuan lebih banyak dari angka 0 (nol) sebelumnya adalah berindikasi minimal satu, sedangkan angka 2 lebih sedikit disbanding angka perolehan laki-laki sebelumnya (100 %), sehingga harus berindikasi dua.20 Dengan cara ini maka bahagian-bahagian yang ada pada laki-laki dan perempuan dengan mudah dapat disesuaikan dengan rasa keadilan dan kesepakatan umum yang berkembang di masyarakat. Dan masih akan ada cara lain dalam mewujudkan keadilan berkaitan dengan komposisi 2 : 1 ini. Karena pada dasarnya ayat tentang waris ini merupakan respon Alqur'an terhadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Seperti dikatakan perempuan pada masa itu tidak memiliki apapun yang diberikan kepadanya. Secara historis-sosiologis, ayat tentang waris ini merupakan bentuk dari penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan sebagaimana halnya laki-laki, memiliki hak untuk mempunyai harta. Islam memberikan dua alternatif cara perempuan memperoleh harta, yaitu melalui warisan dan melalui mas kawin. Dengan cara pemahaman demikian, berarti realita 2 : 1 sebenarnya adalah cerminan realitas historis-sosiologis yang sangat bergantung pada ruang dan waktu. Islam juga tetap memberikan jalan keluar apabila orang tua ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan, seperti yang berlaku di Mesir, melalui wasiat wajibah kepada anak perempuan. Penutup Dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kesetaraan adalah keseimbangan dalam memandang hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan secara proporsional sesuai dengan hakikat asal kedua jenis manusia yang memang diciptakan sejajar dan seimbang oleh Allh swt. 2. Keadilan gender adalah keadilan yang memandang sejajar dan seimbang kedudukan laki-laki dan perempuan tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati. 20
Ibid., 149
214 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:203-214
3. Islam telah mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender bila ruang dan waktu telah berubah serta kondisi sosial menghendakinya. Daftar Pustaka Al-Qur'an dan Terjemahnya Engginer, Ashgar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Alih bahasa oleh Farid Wajdi dan Cici Farkh Assagaf, Cet. II; Jogjakarta: LSPPA, 2000 Haq, Hamka, Syariat Islam; Wacana dan Penerapannya; Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 2001 Hasyim, Syatiq, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Perempuan dalam Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 2001 Kara, St. Aisyah, Perempuan di Persimpangan Jalan, Jurnal Zaitun Vol. I, Nomor. I, April 2002 Rahman, Jalaluddin, Islam dalam Perspektif Pemikiran Kontemporer, Cet. II; Ujung Pandang: PT. Umitaha, 1997 ______, Metodologi Pembaruan; Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Pembaruan Pemikiran Islam, tanggal 03 Oktober 2000 Susanto, Lasia, Strategi Dasar Nasional Peningkatan Peran Wanita dalam Pembangunan Sampai Tahun 2000; Jakarta: Balai Pustaka, 1991 Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia alam Hukum dan Masyarakat; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989 Umar, Nasruddin, Argumen-Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, Cet. ke-1; Jakarta: Paramadina, 1999 *Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu