Jurnal ILMU KOMUNIKASI
ISSN 1829 - 6564 Volume 6, Nomor 2, Desember 2009 Halaman 119- 224
Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi Inda Fitryarini, (Universitas Mulwarman, Samarinda) Politik Media dalam Membingkai Perempuan (Analisis Framing Pemberitaan Kasus Video Porno Yahya Zaini dan Maria Eva dalam Harian Umum Kompas dan Suara Merdeka)
119 - 136
137-154
Mite Setiansah (Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto) Perbedaan Fungsi-Fungsi Public Relations dalam Sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) “Kasus di KPUD Yogyakarta dan KPUD Bantul”
155-176
Emma Octavia Purwandari (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta) Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship Management terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan (Studi Kegiatan Divisi Retensi dalam Pelaksanaan Loyalty Program “Im3@School Community” pada PT Indosat Tbk. Kantor Cabang Malang)
177-206
Hesti Kartika Sari (Universitas Brawijaya, Malang) Terapi Komunikasi sebagai Model Pembangun Ketahanan Hubungan Sosial dalam Perkawinan Hascaryo Pramudibyanto (Universitas Terbuka, Tangerang)
207-224
i
ii
Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi
Inda Fitryarini1 Abstract: Mass media is not only a channel to deliver messages but also is a channel to build a special image about the world, such as the beauty image of women. Advertisements create it in their messages. Most of them show women with white skin, slim and have long black hair. These cases are a part of popular culture or mass culture because it could be a homogen-standard value. Advertising is related with popular culture. Advertising is a reflection of popular culture and it is an inventor of popular culture. Key words: Advertising, popular culture, mass media, beauty image of women
Publik kini bebas memilih dan menikmati tayangan ataupun bacaan di berbagai media. Kebebasan ini bagaikan sebuah representasi hak otonom publik untuk memilih bentuk sajian media yang mereka sukai. Namun di balik itu, kita lupa dengan terjadinya “penyeragaman” dalam tayangan ataupun bacaan itu sendiri yang berakibat pada pemaksaan penonton untuk mengikuti apa yang si pembuat media inginkan. Contoh sederhana adalah tayangan iklan kecantikan. Iklan kecantikan yang ditayangkan terus menerus berpotensi menggiring penonton untuk “harus” mengikuti standar-standar nilai yang disematkan. 1 Inda Fitryarini adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Mulawarman, Jl. Muara Muntai Kampus Gunung Kelua, Samarinda. E-mail:
[email protected]
119
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
Ketika menyaksikan iklan shampoo, rambut lurus hitam adalah nilai yang disampaikan kepada penonton bahwa rambut seperti demikian yang ideal bagi perempuan. Semua ini tentu tidak lepas dari motifmotif politik-ideologis tertentu di balik penyajian tersebut. Sebagai contoh yang paling mudah, adalah iklan kosmetik. Iklan kosmetik mengiklankan tentang kulit putih mulus dan tubuh langsing ideal perempuan seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya. Berangkat dari fenomena tayangan iklan kecantikan (televisi) yang banyak menggunakan citra (image) sebagai kemasan yang lebih ditonjolkan dalam menawarkan produk kepada pemirsa, sehingga informasi tentang produk itu menjadi kabur “terselimuti” oleh kuatnya pencitraan produk. Hal inilah yang menyebabkan jalinan alur cerita iklan seolah “nyambung,” meski sebenarnya jalinan imajinya sama sekali tidak terkait, seperti cerita pada iklan kecantikan Pond’s. Dengan perkataan lain, imaji yang disebarkan dalam iklan kecantikan (televisi) disambung-sambungkan dengan dukungan efek audio-visual. Dewasa ini bukan hal yang aneh lagi jika kita melihat salon kecantikan, spa, beauty skin center, dan semacamnya sibuk melayani perempuan baik remaja maupun dewasa yang siap menghamburkan ratusan ribu rupiah dalam tempo sekejap. Mereka bisa datang ke pusat kecantikan dua sampai tiga kali seminggu. Di mal-mal gadis remaja juga gemar menghabiskan waktu untuk beberapa produk kecantikan seperti body glitter, perona mata, pemutih wajah, sampai lotion untuk menghilangkan bulu kaki. Maraknya kaum perempuan mengunjungi salon-salon kecantikan di kota-kota belakangan ini hanya untuk sekedar memutihkan kulitnya, atau mungkin meluruskan dan mewarnai rambutnya merupakan fenomena yang menarik. Bahkan, ada seorang mahasiswi yang rela tidak mengikuti sebuah mata kuliah wajib daripada harus menghitamkan rambutnya yang telah terlanjur diwarnai merah. Lebih parah lagi, perempuan yang jelas-jelas kulitnya sudah putih juga mengikuti trend lebih “memutihkan” kulitnya untuk menambah nilai plus dalam penampilan dirinya. Keadaan ini seakan-akan telah menjadi budaya yang populer di kalangan masyarakat umumnya dan perempuan khususnya. 120
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
Kepopuleran untuk selalu tampil cantik dengan kulit putih dan rambut lurus tidak lepas dari pengaruh media massa, terutama media elektronik televisi yang mempunyai kekuatan audio visual melalui tayangan iklan produk kecantikan. Marshall McLuhan menyebut televisi sebagai hot media adalah media paling efektif untuk membangkitkan dan melumpuhkan kesadaran massa dalam jangka tak bisa ditentukan. Di belahan dunia manapun logika dasar televisi memang demikian: menghipnotis orang sedemikian rupa, hingga mereka tunduk di bawah kekuasaannya, untuk kemudian digiring berbondong-bondong agar mengkonsumsi produk-produk yang ditawarkan (Mc Quail, 2002:302). Kepopuleran televisi memang tidak hanya menyentuh ruang psikologis kita sebagaimana terlihat pada seringnya kita membicarakan acara-acara, iklan-iklan yang sehari-hari kita tonton di televisi, lebih dari itu, televisi benar-benar hadir dalam bentuk materiilnya, dalam rumahrumah kita. Kenyataan ini misalnya, dapat dibuktikan lewat fakta bahwa hampir sebagian besar masyarakat menyimpan televisi dalam rumahrumah mereka sekaligus menunjukkan betapa televisi telah benar-benar menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan hidup manusia. Setiap hari, nampaknya mustahil bila melepaskan diri dari bidikan dunia iklan. Ia hadir melalui tayangan di media, baik media cetak maupun media elektronik. Ia pun hadir di mana saja, kapan saja, seolah selalu mengikuti ke mana gerak melangkah. Iklan bukan hanya hadir sebagai produk dari barang tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan kata-kata persuasif yang mengajak konsumen mengikuti kemauan pembuat iklan. Penggambaran stereotype perempuan dalam iklan kecantikan di televisi yang telah menjadi budaya populer di masyarakat antara lain adalah tayangan iklan kecantikan Tje Fuk, Ja Hwa, Pond’s, Lulur Pemutih Kulit Sumber Ayu dan masih banyak produk kecantikan pemutih kulit lain yang tentunya menggiring para perempuan untuk memiliki kulit putih. Begitu populernya memiliki kulit putih bagi perempuan, yang berarti cantik, banyak produsen produk kecantikan yang menghalalkan segala cara untuk bisa membuat kulit putih. Bahanbahan berbahayapun, seperti hydroquinone, dimasukkan dalam produk kecantikan tersebut. Tragisnya, konsumen tidak menyadari bahwa hal tersebut membahayakan diri sendiri demi untuk tampil cantik. 121
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
Kenyataannya selama ini, kulit putih dirasakan belum cukup untuk menunjukkan sosok perempuan cantik, maka persyaratan lain yang harus dipenuhi adalah bertubuh ramping serta langsing dengan rambut panjang, hitam dan lurus. Dalam berbagai iklan kecantikan di televisi digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah seperti sosok tersebut di atas, Dampak tayangan ini bisa ditebak, masyarakat khususnya kelas menengah ke atas berbondong-bondong mengikuti model iklan suatu produk kecantikan. Ini merupakan bukti bahwa kemenangan mitos kecantikan populer dalam sudut pandang berlingkup global ini sudah pasti tidak terlepas dari tayangan media massa. Kalau kulit putih dan rambut lurus adalah citra cantik menurut industri kosmetik Asia, maka di Barat cantik identik dengan kulit berwarna kecoklatan terbakar matahari serta rambut pirang. Pada akhirnya, terdapat kesamaan mitos bahwa kecantikan dan keindahan adalah stereotype kaum perempuan. Berbicara tentang komunikasi massa, tentu layak bila kita memasukkan televisi sebagai media dari budaya popular. Media yang sangat popular hingga saat ini adalah televisi. Benda berbentuk kotak dengan kemampuan audio visual ini sejak tahun 1980 (terutama di perkotaan) telah menggeser popularitas radio, karena radio hanya memiliki kemampuan audio. Televisi sejak kemunculan perdananya pada tahun 1926 telah menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi, yang paling jelas terlihat adalah fungsi sebagai media informasi dan media hiburan. Televisi juga menjalankan fungsinya sebagai media massa, yang melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar. Hal ini didukung oleh sifat kebaruan (novelty), gerak, warna, dan audiovisual yang dimilikinya. Televisi yang awalnya bertindak untuk menyebarkan informasi, memberikan pengawasan, dan hiburan, kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Televisi sebagai benda mati merupakan teknologi yang mampu “berinteraksi” dengan manusia, tetapi televisi tidak sekedar sebagai benda mati, televisi adalah sebuah show biz yang dipenuhi kosmetika. Oleh karenanya, fokus pada tulisan ini menyangkut tanda-tanda atau simbol-simbol yang digunakan dalam iklan kecantikan di televisi. Sebagaimana Sara Mills, titik perhatian utama penulis adalah pada wacana feminisme. Alasannya, seperti 122
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
halnya pendapat Eriyanto (2001) banyak tayangan ataupun bacaan di media yang melibatkan perempuan dan yang terbanyak tentu saja adalah tayangan iklan. Tujuannya adalah untuk mengungkap atau mengetahui bagaimana iklan kecantikan di televisi digunakan sebagai upaya untuk mengkonstruksi pola pikir dan gaya hidup masyarakat, sebab tayangan iklan kecantikan di televisi tidak hanya sebatas media promosi produk. Penulis akan memberikan ulasan singkat mengenai iklan kecantikan sebagai budaya populer di televisi dari sudut pandang kritis. PRODUKSI KEKUASAAN Michel Foucault, adalah salah satu filsuf postmodernis yang menawarkan analisis tentang motif-motif tertentu pada suatu media atau teks. Foucault mengatakannya sebagai “produksi kekuasaan”, bahwa kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya) (John Lechte, 2001). Kuasa bukanlah milik raja, boss, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Iklan, adalah salah satu tayangan media yang menyebarkan kuasa (strategi) tentang normalisasi tubuh perempuan. Produksi kekuasaan yang terjadi kemudian adalah munculnya strategi untuk menghembuskan wacana “langsing”, “kulit putih”, “rambut lurus hitam panjang”, yang mencuat terus menerus sehingga secara tidak sadar masyarakat menganggap tubuh perempuan yang ideal dan normal adalah langsing, berkulit putih, dan berambut lurus. Di sini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang diproduksi terus menerus. Wacana yang dihembuskan ini secara perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu. Iklan bukan lagi menjadi pelayanan terhadap konsumen, melainkan menormalkan individu agar perilakunya sesuai dengan yang diinginkan si pembuat iklan. Foucault menegaskan persoalan ini sebagai 123
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
kekuasaan atas kehidupan modern atau kapitalisme, salah satunya yaitu untuk mencapai target penjualan produk (Eriyanto, 2001). Sebagai contoh, iklan Pond’s yang pernah ditayangkan di media televisi jelas menunjukkan bahwa kulit putih lebih baik daripada berkulit gelap. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang fotografer mengambil ancang-ancang membidik dua gadis kembar, yang satu berkulit gelap, yang lain berkulit putih. Fotografer si lelaki tampan itu memilih membidikkan kameranya kepada si gadis yang berkulit putih. Mengetahui hal itu, gadis berkulit lebih gelap menjadi murung, kemudian berusaha memutihkan kulitnya dengan harapan lelaki itu memperhatikannya. Iklan yang membenarkan “kulit putih lebih cantik daripada kulit hitam” tidak dibentuk dengan reproduksi kekuasaan represif, melainkan melalui reproduksi kreatif. Melalui iklan, individu didefinisikan, dibentuk, diciptakan, yaitu perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal adalah yang menyukai perempuan berkulit putih atau iklan tentang tubuh ideal perempuan langsing dan tinggi. Perempuan kemudian diatur, digiring untuk menjadi ramping, bahwa tubuh ideal perempuan seperti pada perempuan yang menjadi model iklan Tropicana Slim, atau iklan The Cambridge Diet yang menuliskan kata-kata,”Lost the weight, not the fun…” dengan lingkaran merah besar yang menutupi sebagian tubuh ramping kurus perempuan bule yang sedang melompat, bertuliskan “Yes! Turunkan berat badan anda hingga 5 kg perminggu!” Kata-kata itu menunjukkan bahwa menjadi kurus adalah kegembiraan dan kepuasan. Langsing putih dan berambut lurus menjadi wacana dominan perempuan ideal di masyarakat kita. Wacana dominan ini menggeser atau memarginalkan wacana lain yaitu bagi perempuan-perempuan yang tidak berkulit putih dan tidak bertubuh langsing. Akibatnya adalah perempuan yang tidak bertubuh langsing dan tidak berkulit putih kehilangan kepercayaan atas tubuhnya dan kehilangan identitas karakter tubuhnya sendiri. Wacana tubuh perempuan yang tidak dominan ini diabaikan (left out). Berbagai upaya mengimbangi wacana dominan ini seperti yang dilakukan Dewi Huges atau Anita Roddick yang peduli terhadap masyarakat pedalaman dengan melihat kecantikan perempuan Afrika 124
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
pada akhirnya tidak mampu mengalahkan wacana dominan tadi. Roddick sampai bersusah payah membuat maskot “The Body Shop” serupa boneka Barbie tetapi bertubuh besar, berambut ikal dengan kulitnya yang berwarna. Ia menyebutnya sebagai suatu pencerahan terhadap kapitalis. Ikon ‘perempuan cantik’ masa kini adalah sesosok perempuan dianggap sempurna secara fisik namun proporsinya menurut penulis patut dipertanyakan. Barbie menjadi ikon dari kecantikan sempurna seorang perempuan. Dia putih (meskipun kini dibuat versi untuk semua bangsa), berambut pirang, dan secara fisik langsing. Awalnya dia bertindak sebagai model, selanjutnya berkarir di banyak bidang, seperti guru, dokter, wanita karir, dan memiliki kehidupan yang cukup mewah-memiliki mobil Barbie berwarna pink dan rumah sendiri. Pembuatnya yang berangkat dari pemikiran memberikan sebuah bentuk hiburan bagi anaknya akhirnya berperan menjadi salah satu pembentuk citra perempuan cantik. Apakah Barbie adalah salah satu bentuk budaya populer? Menurut penulis, ya. Boneka Barbie diproduksi sejak tahun 1959, dan masih diproduksi sampai sekarang. Barbie dimiliki oleh banyak anak perempuan yang tumbuh pada era tahun 1960-an hingga tahun 2000an. Dia mengikuti perkembangan jaman dari sekedar perempuan ‘biasa’ sampai menjadi wanita karir. Barbie bisa disebut sebagai miniatur dan refleksi dari kehidupan perempuan masa kini. Saat ini kita melihat banyak sekali sosok perempuan yang memiliki fisik seperti Barbie, tentu saja disesuaikan dengan suku bangsa yang berbeda. Barbie menancapkan stigma bahwa perempuan cantik haruslah berfisik tinggi, langsing, berkulit cerah, dan berambut panjang-di luar dari perannya sebagai wanita karir. Barbie menetapkan sebuah standar-baik disadari atau tidak-ukuran kecantikan seorang perempuan yang berlaku bagi massa. Penggemar Barbie dipersatukan dalam lingkup fanatisme terhadap sosok cantik yang sempurna, sementara itu standar kecantikan yang lekat dengan Barbie, menjadi persoalan tersendiri bagi manusia di dunia nyata. Karena generasi Barbie tumbuh dengan citra diri Barbie yang harus mereka penuhi. (Adriana Venny, 2000). Bagaimanapun juga iklan kecantikan di televisi adalah salah satu bentuk budaya populer yang membawa perubahan sosial dalam 125
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
masyarakat. Samuel Koenig menyebutkan perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia (Soekanto, 2002:305). Iklan kecantikan mengubah pola konsumsi masyarakat (meskipun tidak semua) dari masyarakat yang cantik dan sehat karena membutuhkan kosmetika menjadi masyarakat yang modern karena hal itu keren. Namun yang perlu dicermati adalah pemahaman mengenai konsep penampilan fisik yang harus dimiliki oleh perempuan bila ingin disukai oleh lawan jenis. Sebaliknya untuk kaum laki-laki mereka disodori kriteria perempuan ‘cantik’ yang pantas menjadi ‘pasangan’ mereka. PEREMPUAN DALAM IKLAN KECANTIKAN DI TELEVISI Marshal McLuhan mengatakan bahwa ‘the medium is the message” dan televisi sebagai hot media yang mampu membangkitkan dan melumpuhkan kesadaran massa dalam jangka waktu tak bisa ditentukan. Di sini jelas terlihat, di mana dengan kekuasaannya, televisi mampu beradaptasi dengan kekuatan pasar dominan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya terutama melalui iklan, dalam hal ini iklan kecantikan yang mampu mempengaruhi masyarakat khususnya perempuan. Televisi sejak kemunculan perdananya pada tahun 1926 telah menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi, yang paling jelas terlihat adalah fungsi sebagai media informasi dan media hiburan. Televisi juga menjalankan fungsinya sebagai media massa, yang melayani konsumen atau khalayak yang anonim, heterogen, dan tersebar. Hal ini didukung oleh sifat kebaruan (novelty), gerak, warna, dan audiovisual yang dimilikinya. Televisi yang awalnya bertindak untuk menyebarkan informasi, memberikan pengawasan, dan hiburan, kini menjadi media pembentuk realitas khalayak. Televisi, seharusnya bertindak sebagai media penyebar informasi, penyebar benih budaya popular tetapi kini televisi adalah pembentuk dan penjual budaya populer. Televisi menayangkan berulangkali iklan berbagai produk kecantikan, menancapkan di benak khalayak meminjam istilah Cultivation Theory oleh George Gerbnerbahwa iklan-iklan kecantikan itu tampil di televisi karena mereka memang dibutuhkan dan penting bagi masyarakat, khalayak yang tidak 126
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
mengenal atau menyukai produk-produk kecantikan dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman. Iklan di televisi khususnya, sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, iklan yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak maupun elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki. Perempuan dalam iklan sering kali dibahas, acap kali menimbulkan polemik pro-kontra. Karena keindahannya, tidak bisa dipungkiri perempuan sering ditampilkan dalam iklan, meskipun terkadang kehadirannya terasa agak “diada-adakan”. Menurut Nanik Ismiani (1997), karena keindahannya pula, untuk iklan sebuah produk yang bobot kehadiran tokohnya sama-antara pria dan perempuanbiasanya perempuanlah yang dipilih. Kriterianya antara lain karena keindahannya, perempuan sering menjadi sumber inspirasi, termasuk dalam melahirkan sebuah produk terutama produk kecantikan. Jagat periklanan-baik lewat media cetak, elektronik, maupun media luar ruang-selalu dimarakkan oleh kaum hawa. Pengiklan dan perusahaan periklanan berpandangan bahwa penggunaan sosok perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk memperebutkan perhatian konsumen. Di kalangan pekerja kreatif fenomena tersebut ditanggapi dengan memunculkan beberapa alasan tentang dipilihnya perempuan sebagai bintang iklan yang menjadi juru bicara bagi keberadaan sebuah produk. Mereka beranggapan, perempuan lebih efektif dalam upaya merebut perhatian dari khalayak sasaran. Menurut catatan Gunawan Alif (1994), banyak produk yang ditujukan pada khalayak sasaran perempuan, baik pria maupun perempuan pada dasarnya menyukai perempuan yang anggun, santun, dan cantik. Sedangkan sebagian pria menyukai penampilan perempuan yang seksi. Sangat memprihatinkan bila perempuan-perempuan yang tidak bisa mencapai wacana dominan tentang tubuh ideal tadi membuat mereka terobsesi dan memaksakan diri dengan berbagai upaya yang 127
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
bahkan bisa membahayakan mereka. Bagaimana mungkin kulit hitam bisa menjadi putih hanya dengan kosmetik? Lagipula wacana dominan ini mengandung pelecehan terhadap ras yang berkulit hitam. Masihkah kita perlu membanggakan diri atau bersedih hati karena kulit kita? Iklan-iklan yang memelihara nilai-nilai seperti itu sesungguhnya menumbuhkan stereotip baru terhadap perempuan, yaitu konsep yang mencakup seks dan gender di mana seks adalah identifikasi untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (jenis kelamin) yang lebih digunakan untuk persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (Suzanne dan Wendi,1997:35) sedangkan gender menjelaskan adanya pembedaan laki-laki dan perempuan yang dilihat dari konstruksi sosial-budaya (Elaine,1989). Stereotip tidak lepas kaitannya dengan seks dan gender, yaitu suatu konsep sosial yang berhubungan dengan pembedaan (distinction) karakter psikologi dan fungsi sosial antara perempuan dan laki-laki yang dikaitkan dengan anatomi jenis kelaminnya (sex). Misalnya perempuan dijelaskan berkarakter baik bila ia sebagai ibu rumah tangga atau istri yang baik (seperti pada iklan minyak goreng), sedangkan lakilaki berkarakter baik bila ia sebagai individu di atas dunia yang lebih luas (Tierney). Mansour Fakih bahkan lebih jelas mengatakan bahwa stereotip adalah pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, yang akibatnya terjadi diskriminasi dan ketidakadilan (Fakih, 1997:86). Hal tersebut tidak selalu disadari oleh para konseptor iklan kecantikan karena mereka lebih disibukkan dengan hal ihwal yang mampu mempesona calon konsumen, sehingga mereka akan jatuh cinta dan fanatik terhadap produk-produk kecantikan. Para pekerja kreatif selalu mengatakan bahwa akses kejiwaan dan dampak sosial dari iklan adalah tanggung jawab para guru pendidik, sekolah dan institusi keluarga. Teror iklan sangatlah besar tapi tidak tampak di mata. Justru karena tak tampak di mata, ekses yang ditimbulkannya pun sangat sukar diprediksi. Apakah masih berupa gejala awal atau sudah sampai ke titik akut yang menyengsarakan? Iklan bersifat rayuan, ajakan, maka iklan bisa menggunakan berbagai cara. Yang penting bagi pembuat iklan, setiap obyek yang dijadikan sasaran iklan merasa tergugah dan tertarik. Iklan kecantikan 128
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
misalnya, begitu menyolok dan memberikan kesan seolah-olah yang terpenting dalam hidup ini adalah wajah dan tubuh yang cantik dan dapat memikat perhatian lawan jenis. Melalui pesan-pesannya yang sugestif dan subliminal, iklan kecantikan mengaktifkan dorongandorongan bawah sadar yang mendominasi kehidupan manusia, yaitu selalu tertarik dan mencoba menarik orang lain melalui penampilan, kecantikan dan misteri. Iklan-iklan kecantikan tersebut memperkokoh mitos-mitos budaya paling kuat, yaitu pentingnya daya tarik fisik dan usia muda, terutama bagi kaum perempuan. IKLAN KECANTIKAN SEBAGAI BUDAYA POPULER Setelah sekian abad dari era Montaigne di abad 16, budaya komersiil dan hiburan mulai dikembangkan selama beberapa waktu sebelum dan sesudah reformasi dan dipengaruhi oleh agama, menjadikan budaya membawa gaya hidup yang kuat. Adanya penurunan penggunaan tenaga manusia dan menggantikannya dengan mesin telah membawa perubahan pada budaya massa, pergantian dari cerita rakyat dan seni “tinggi” menjadi sekedar produksi massal. Kebudayaan pada hakekatnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Culture atau budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam ekspresi jiwa dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusi. (dikutip dalam Soekanto, 2002:304) sebagai sebuah panduan bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak dan berperilaku. Semakin kompleks masyarakat, semakin kompleks pula perilaku komunikasi yang dijalankan. Komunikasi sebagai sebuah perilaku interaksi sosial menjadi alat bagi budaya untuk mempertahankan dirinya dan memastikan bahwa hal tersebut melalui pewarisan sosial. Komunikasi juga sebagai media pewarisan budaya tandingan atau counter culture yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari budaya tinggi yang dimiliki sebuah masyarakat. Penulis mengartikan budaya tinggi merupakan salah satu aspek kebudayaan masyarakat yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar yang dimiliki kebudayaan tersebut. Budaya tinggi bisa berupa alat musik tradisional gamelan yang seringkali kita lihat 129
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
(hanya) dimainkan di Keraton, pagelaran seni wayang, dan pertemuanpertemuan kenegaraan, meskipun ada usaha untuk melestarikan seni Gamelan melalui kursus dan sekolah karawitan. Budaya tinggi yang tergeser oleh kemunculan teknologi yang berakibat pada instanisasi perilaku masyarakat, mendapatkan tandingannya berupa budaya populer. Mengapa budaya populer menjadi tandingan dari budaya tinggi? Budaya populer atau budaya massa diartikan oleh McDonald dalam Popular Culture (Strinati, 2004:18) sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya tinggi menyesuaikan diri dengan moral dasar yang dianut sebuah masyarakat. Bila budaya tinggi adalah sebuah bentuk dukungan terhadap kestabilan dan kemapanan nilai-nilai dalam masyarakat, maka budaya populer pada awalnya bertindak sebagai counter culture yang melawan kemapanan, memberikan alternatif bagi sebuah masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsurunsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa ‘maya’. Komunitas tersebut disebut ‘maya’ karena seperti hakekatnya sebuah bentuk komunikasi massa yang khalayaknya anonim dan tersebar, komunitas dari budaya populer acapkali bersifat tersebar dan anonim. Mereka dipertemukan ketika budaya populer tersebut berwujud. Awal abad 19 perbedaan antara budaya elite dan cerita rakyat menjadi kabur seiring perkembangan demokrasi politik, pendidikan masyarakat massa dan revolusi industri dalam era popular atau budaya massa. Kemudian lahir konsep sederhana yaitu budaya popular antara lain adalah seni. Produk dari budaya popular tidak pernah mengandung seni murni, tetapi mempunyai karakteristik tersendiri: terstandarisasi, stereotype, konservatif, manipulasi terhadap barang konsumsi (Stan Le Roy Wilson, 1995:5). Kajian budaya popular kemudian dikembangkan di abad 19 untuk menempatkan kembali kajian cerita rakyat sebagai akar dari budaya popular. Ray B Browne dalam Mass Media Mass Culture (1995:5) mendefinisikan budaya popular adalah budaya setiap orang dalam masyarakat, sebuah budaya dunia yang mengelilingi kita meliputi sikap, 130
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
kebiasaan, dan perilaku kita; bagaimana kita bersikap dan mengapa kita bersikap; apa yang kita makan; bangunan-bangunan, jalan dan makna perjalanan, hiburan dan olahraga; politik, agama, praktik pengobatan, kepercayaan, aktivitas serta kontrol. Dengan kata lain, suatu dunia di mana kita tinggal. Mc Quail dalam Mass Communication (1983:287) mengatakan bahwa budaya popular dicirikan oleh keasliannya yang bersifat spontan dan keberadaannya yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan sosial dengan bentuk yang beraneka ragam. Masyarakat yang terus berkembang atau berubah akan tetap terus melahirkan budaya popular, maka budaya popular ini sangat berhubungan dengan masyarakat sebagai sasaran media. Budaya populer muncul dalam berbagai bentuk, dari apa yang kita konsumsi untuk kebutuhan tubuh kita (Coca-cola dan McDonald); kita tonton (Hollywood); kita dengarkan (The Beatles, Britney Spears, dan Slank); kita pakai (jeans dan sepatu kets/Sneakers dan kosmetik); dan sebagainya. Budaya populer tidak ada begitu saja, budaya populer ada arena suatu hal yang awalnya biasa saja menjadi sebuah fenomena populer. Budaya-hasil cipta, rasa, karsa manusia-menjadi budaya populer ketika ia memenuhi beberapa ciri, yaitu (1) Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer; (2) Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak copycat-penjiplak. Produk tersebut dapat menjadi pionir bagi produk-produk lain yang berciri sama, sebagai contoh kosmetika (yang banyak ditiru oleh produsen kosmetika palsu). (3) Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; (4) Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun; (5) Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. Budaya populer dan ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Bila budaya populer memiliki nama lain tren, maka 131
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
ekonomi atau nilai komersial adalah kendaraan yang digunakan budaya tersebut untuk menjadi besar. Budaya populer dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi. Khalayak yang memiliki dan menonton televisi hampir pasti dapat dipastikan mengetahui apa yang dianggap tren pada masa tersebut, karena televisi dapat menampilkan tren itu secara repetitif, melalui program re-run atau spin-off. Kritikus media terkemuka, Marshal McLuhan, menyebut iklan sebagai karya seni terbesar abad 20. Iklan sering dianggap sebagai penentu kecenderungan, trend, mode, dan bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern. Kritikus periklanan, Sut Jhally (1990:14), menunjukkan bagaimana periklanan komersial telah menyebar ke wilayah-wilayah budaya populer lainnya. Menurut Stuart Ewen, iklan adalah proses untuk mengkreasi komoditas imajinasi khalayak agar tertarik dan percaya. Sedangkan Bruce Brown melihat iklan sebagai refleksi dari nilai budaya masyarakat kelas menengah. Kedua pernyataan tersebut mengandung maksud bahwa iklan merupakan suatu cara untuk mempengaruhi masyarakat kelas menengah dengan menghadirkan imajinasi serta mimpi tertentu agar masyarakat mengikuti. KESIMPULAN Sebagian kalangan memang menilai bahwa budaya populer ini membawa dampak positif yaitu sebagai bentuk kemajuan dari peradaban dan menciptakan dinamisasi terhadap mobilitas budaya baik secara vertikal maupun horizontal, tetapi tetap saja dampak yang dibawa atas budaya populer yang bersumber dari proses globalisasi dan kapitalisme ini sangat merugikan bagi banyak pihak, antara lain eksistensi budaya daerah yang semakin hilang karena dianggap ketinggalan zaman dan identitas diri yang semakin terkikis karena adanya penentuan identitas dan standarisasi dari industri budaya sebagai pihak yang menciptakan budaya. Budaya populer yang pada akhirnya disebut sebagai budaya komoditas ini diproduksi secara besar-besaran hanya didasarkan pada keuntungan ekonomi semata sehingga hal ini memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat karena penilaian baik atau buruk bukan lagi
132
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
didasarkan pada ajaran moral tetapi lebih pada kemampuan ekonomi untuk mendapatkan prestise. Selain itu, produk-produk budaya populer akan merusak budaya elite dan sistem tata krama dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya populer ini akan menciptakan khalayakkhalayak pasif karena semua kebutuhan hidup sudah disediakan. Penilaian baik buruk dan pedoman pedoman dalam hidup sudah ditentukan dan diatur oleh industri budaya. Nilai komersial dari budaya populer juga mendorong kita untuk merogoh kocek demi memiliki satu jenis produk budaya populer atau yang berkaitan dengan budaya populer, karena secara jujur kita harus mengakui bahwa kita hidup di dunia yang menurut Walter Lippmann sebagai global village. Budaya populer menjadi identitas dari manusia di berbagai belahan dunia untuk masuk dalam komunitas budaya tersebut. Keragaman budaya Indonesia yang menjadi kekayaan negeri ini sedikit demi sedikit telah luluh dan menghilang digantikan oleh budaya-budaya modern yang dianggap lebih maju. Budaya-budaya yang menggiring manusia pada pendangkalan makna. Industri budaya memproduksi budaya yang bersifat homogen dengan standar karakterkarakter yang dianggap ideal. Penilaian tentang cantik misalnya yang dianggap relatif, kini distandarkan oleh industri budaya melalui berbagai produk yang diiklankan di televisi. Akibatnya, hal ini menimbulkan kekhawatiran yang tiada henti karena selalu merasa ada yang kurang dari diri sendiri. Pasalnya penentuan nilai-nilai oleh industri budaya lebih menekankan pada sudut pandang negatif yaitu selalu menciptakan kekurangan-kekurangan pada diri sehingga nantinya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi produk-produk industri. Imbasnya adalah menjadikan orang tidak percaya diri. Banyak orang yang rela mengorbankan dan melakukan apapun demi mendapatkan paras yang cantik, orang rela diet agar tubuhnya terlihat seksi. Di sini industri seolah memberikan solusi terhadap permasalahan dengan mendirikan pusat-pusat kecantikan, pusat-pusat kebugaran, perawatan tubuh. Akibatnya, identitas pada diri sendiri yang unik menjadi hilang. Orang lebih merasa bangga bila bisa tampil seperti bintang idolanya daripada menunjukkan identitas atau karakter dirinya sendiri. Karakter-karakter manusia yang unik menjadi homogen sesuai standar-standar yang 133
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 119-136
dikonstruksi oleh industri budaya. Manusia tidak lagi dapat memahami secara mendalam apa yang menimpa mereka saat ini, terutama pengaruh televisi yang dirasa membuat manusia sangat dangkal dalam memahami fenomena kehidupan. Televisi telah menjadi narkoba bagi manusia, bagaimana tidak, setiap hari masyarakat Indonesia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melihat televisi. Paling tidak ada tujuh modus dunia pertelevisian yang berdampak merugikan bagi kaum perempuan, antara lain: 1. Mengartikulasikan garis besar dominasi kultur yang mapan tentang hakikat dari realitas. 2. Mengimplementasikan kultur individual ke dalam sistem nilai-nilai dominan. 3. Merayakan kultur individual yang dianggap representatif ke dalam dunia ‘di luar sana’. 4. Menyakinkan bahwa kebudayaan dominan sudah dikonfirmasikan lewat ideologi dan mitologi sehingga cukup sahih untuk dipresentasikan di layar kaca. 5. Meng-ekspos rasa dari budaya itu sendiri yang menjadi hasil dari kondisi dari budaya yang berubah pada dunia “di luar sana” 6. Menyamakan status pihak dominan dan identitas individu yang dijamin oleh budaya secara keseluruhan 7. Mentransmisikan makna-makna yang diproduksi ini ke segenap anggota masyarakat secara lebih luas. Televisi sesungguhnya tidak menampilkan kebutuhan perempuan, tapi justru kebutuhan dari para pengiklan (advertisers). Karenanya perempuan harus di set-up dalam terminologi laki-laki sekaligus agar mendukung kepentingan para pengusaha tersebut, perempuan harus mengorientasikan hidupnya melulu pada keluarga, serta berorientasi pada masyarakat yang konsumtif. Perempuan kian direfleksikan dalam pembagian gender yang tidak adil dalam masyarakat. Sementara program-program yang terkooptasi dalam terminologi laki-laki dan masalah tersubordinatnya peran perempuan dalam keluarga justru tidak pernah dipertanyakan. 134
Inda Fitryani, Iklan dan Budaya Popular: ....
Daftar Pustaka Burton, Greme. 2008. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra Cobley, Paul (edited). 2006. Communication Theories.New York: Routledge Fiske, John & Hartley, John. 2003. Reading Television. New York: Routledge Mc Quail, Dennis. 2002.Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture terj. Yogyakarta: Bentang Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada http://en.wikipedia.org/barbie.html, diakses tanggal 8 Juli 2009
135
136
Politik Media dalam Membingkai Perempuan
(Analisis Framing Pemberitaan Kasus Video Porno Yahya Zaini dan Maria Eva di Harian Umum Kompas dan Suara Merdeka)
Mite Setiansah1 Abstract: This research is a qualitative descriptive research which is aims to get an explanation about process of reality reconstruction doing by mass media, various kind of framing devices that is used, and woman representation at Kompas and Suara Merdeka news reporting about circulation of Yahya Zaini-Maria Eva porn video. In its execution, this research is using framing analysis method to gain information about way of mass media’s telling story. The data are collected by using qualitative content analysis applied to Kompas and Suara Merdeka news articles publish during December 2006. Unit of analysis determined based on Pan and Kosicki framing analysis model. Data validity is measured by triangulation technique. Data analysis is conducted by using the interactive data analysis technique. The result of this research shows that Kompas and Suara Merdeka have different point of view in reconstruction this case. Kompas showed careful news reporting while Suara Merdeka is more market oriented. Both of newspapers are uses same framing devices, including syntactic, script, thematic, and rhetoric. In representing woman, Kompas and Suara Merdeka are tending to frame woman in unfavorable ways. Key words: Porn video, woman, framing
Awal bulan Desember 2006, pemberitaan media massa di tanah air dipenuhi dengan berita beredarnya video porno yang melibatkan anggota dewan yang terhormat dari Partai Golkar, yaitu Yahya Zaini (YZ) dan penyanyi dangdut yang juga aktivis partai yang sama, yaitu 1 Mite Setiansah adalah dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
137
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
Maria Eva (ME). Ada hal yang menarik jika mencermati perjalanan kasus ini melalui media massa, surat kabar khususnya, yaitu bagaimana sosok Maria Eva dibingkai dan direpresentasikan dalam media berseberangan dengan sosok Yahya Zaini. Ada frame yang hampir seragam yang dikedepankan oleh kebanyakan media dalam kasus ini, yaitu bahwa Maria Eva adalah pihak yang patut dipersalahkan dan Yahya Zaini adalah korban yang ter-dzalimi oleh kasus tersebut. Frame adalah sudut pandang atau cara bagaimana peristiwa, aktor, atau kelompok tertentu, dilihat, ditampilkan, dan ditonjolkan oleh media. Frame dibentuk oleh media dengan menggunakan teknik framing, yaitu bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses framing itu sendiri umumnya melibatkan dua tahapan. Pertama, memilih fakta atau realitas. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu kemudian ditonjolkan atau dihilangkan dengan penggunaan perangkat tertentu, seperti penempatan di halaman atau posisi tertentu, pengulangan, pelabelan, penggunaan grafis, pemasangan foto, asosiasi, pemilihan narasumber tertentu, dan sebagainya (Eriyanto, 2002:69). Sampai pada titik ini tampak bahwa media memiliki kekuasaan untuk mengarahkan keberpihakan, penilaian, pernyataan benar-salah dan sebagainya dari pembaca. Ketika kekuasaan media itu dibenturkan dengan masalah perempuan, maka yang harus disadari adalah bahwa pada umumnya media ada, dijalankan, dan ditujukan bagi kaum lakilaki. Oleh karena itu, manakala ada kasus yang menyangkut relasi lakilaki dan perempuan otomatis posisi laki-laki akan berpeluang lebih besar untuk dimenangkan oleh media. Bertolak dari kenyataan bahwa media menjalankan “politik” tertentu dalam mengemas berita-beritanya itulah, maka peneliti beranggapan bahwa kasus ini tidak saja menarik melainkan juga penting diteliti. Urgensi penelitian ini terletak pada sering terjadinya kasus pemelintiran realitas oleh media yang pada akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang sangat merugikan dirinya. Dari uraian di muka, maka peneliti tergerak untuk melakukan penelitian dengan tujuan untuk mencari jawaban atas beberapa permasalahan berikut:
138
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
1. Bagaimanakah proses rekonstruksi realitas yang dilakukan SKH Kompas dan Suara Merdeka dalam memberitakan kasus video porno YZ dan ME? 2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perangkat framing yang digunakan masing-masing media dalam membingkai dan memberitakan kasus tersebut? 3. Bagaimanakah SKH Kompas dan Suara Merdeka merepresentasikan perempuan (ME) dalam pemberitaan kasus video porno YZ dan ME? METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah sebuah penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan metode analisis framing. Pada dasarnya, metode tersebut merupakan sebuah cara untuk melihat cara bercerita media atas sebuah peristiwa (Eriyanto, 2002:10). Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kliping berita kasus video porno YZ dan ME yang dimuat dalam HU Kompas dan Suara Merdeka selama bulan Desember 2006, yaitu periode waktu saat kasus ini muncul dan mendapat sorotan media. Pemilihan kedua harian tersebut didasari oleh pertimbangan bahwa keduanya adalah surat kabar nasional dan daerah yang relatif mapan. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik analisis isi. Dalam penelitian kualitatif, analisis isi dilakukan untuk mencatat data dari dokumen baik tertulis maupun berupa film (Sutopo, 2002: 69). Unit analisis dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan model analisis framing dari Zhongdan Pan dan Gerald M . Kosicki sebagaimana disajikan dalam table 1. Sementara untuk meningkatkan validitas data digunakan teknik triangulasi teori dan triangulasi penyidik atau pengamat. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif.
139
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
Tabel 1. Model Kerangka Framing Pan dan Kosicki STRUKTUR
PERANGKAT FRAMING
SINTAKSIS Cara Wartawan menyusun fakta
1. Skema Berita
SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan Berita
TEMATIK Cara wartawan menuliskan fakta
RETORIS Cara wartawan menekankan fakta
UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup 5W + 1H
3. 4. 5. 6. 7.
Detail Paragraf, proposisi Maksud kalimat, hubungan Nominalisasi antar kalimat Koherensi Bentuk kalimat
8. kata ganti 9. Leksikon 10. Grafis 11. Metafor 12. Pengandaian
Kata, idiom, gambar/ foto, grafik
Sumber: Sobur (2002: 176)
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Subyek Penelitian Penelitian ini menggunakan dua surat kabar sebagai subyek penelitian, yaitu harian umum Kompas dan Suara Merdeka. Kompas adalah surat kabar nasional yang memiliki tiras terbesar di Indonesia saat ini, bahkan sepanjang sejarahnya Kompas pernah mencapai oplah 700.000 ekspemplar yang merupakan tiras terbesar di Asia (Hasrullah, 2001: 12). Kompas didirikan oleh PK Ojong dan Jakob Oetama yang merupakan aktivis Partai Katolik sehingga tidak heran jika dalam perkembangannya Kompas sering dianggap sebagai representasi dari suara Partai Katolik dan sekulerisme. Dengan posisinya sebagai koran 140
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
terbesar dan catatan sejarahnya yang panjang. Kompas juga dikenal sebagai koran yang memiliki gaya penulisan yang penuh kehati-hatian bahkan cenderung konservatif. Koran kedua yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah Suara Merdeka. Harian ini terbit pertama kali tanggal 11 Februari 1950 di Semarang, didirikan oleh H. Hetami dibantu dua orang wartawan. Idealisme pers Hetami sangat mewarnai kebijakan Suara Merdeka. Sejak awal pendiriannya, koran ini sudah ditujukan untuk menampung aspirasi dan suara rakyat yang baru merdeka. Visi itu juga menjadi pertimbangan ketika memutuskan nama yang dipakai untuk koran tersebut. Hal itu juga yang kemudian tampaknya membuat Suara Merdeka sering dipahami sebagai koran yang secara ideologis lebih condong kepada ideologi pasar, sekedar mengikuti selera dan permintaan khalayak. Kasus Video Porno YZ-ME dalam Berita Awal Desember 2006 publik Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan sejumlah media massa tanah air baik cetak maupun elektronik tentang beredarnya video porno yang melibatkan anggota DPR Yahya Zaini dan Maria Eva. Dilihat dari sisi nilai berita (newsworthiness), kasus tersebut tentu saja memiliki nilai berita yang cukup tinggi. Merujuk pada pendapat Graeme Burton (2000: 127), kasus tersebut paling tidak memenuhi unsur actions of the elite, unexpectedness, dan negativity. Selama bulan Desember 2006, Kompas dan Suara Merdeka memberitakan kasus video porno YZ-ME dalam porsi cukup banyak. Di luar tulisan yang termuat dalam kolom opini atau wacana dan surat pembaca, diketahui terdapat 6 artikel berita di SKH Kompas dan 18 artikel berita di SKH Suara Merdeka. Dari komposisi tersebut, tampak bahwa Suara Merdeka memberikan porsi liputan tiga kali lebih banyak daripada Kompas. Hal tersebut dapat dipahami bila merujuk pada karakter masing-masing koran. Terkait dengan fokus penelitian ini yang berupaya mendapat gambaran tentang representasi perempuan dalam bingkai (frame) media, maka di samping melihat porsi pemberitaannya peneliti juga
141
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
melakukan kategorisasi frame berita menjadi dua, yaitu frame yang favorable dan unfavorable. Frame favorable adalah model pemberitaan yang cenderung mendukung atau menguntungkan bagi pihak tertentu, baik ME maupun YZ. Sementara frame yang unfavorable adalah model pemberitaan yang cenderung mendiskreditkan atau merugikan pihakpihak yang terkait. Berdasarkan analisis isi atas 24 artikel berita yang menjadi sumber data, baik yang termuat dalam Kompas maupun Suara Merdeka, maka distribusi frame pemberitaan untuk masing-masing pihak dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3 berikut: Tabel 2. Frame pemberitaan berdasarkan kepentingan ME Frame Favorable 1. ME melakukan aborsi karena dipaksa istri YZ
Frame Unfavorable 1. ME sengaja menggandakan dan mengedarkan videonya untuk cari sensasi dan popularitas 2. ME melakukan pemerasan 3. ME melakukan kesalahan dua kali dengan melakukan aborsi
Tabel 3. Frame pemberitaan berdasarkan kepentingan YZ Frame Favorable
Frame Unfavorable
1. Perilaku main perempuan adalah 1. Perilaku YZ mencoreng partai hal biasa di kalangan DPR 2. YZ tidak melakukan zina karena telah menikah siri dengan ME 3. YZ diperas ME 4. YZ dan keluarga adalah korban kasus peredaran video 5. YZ minta maaf dan mengundurkan diri dari DPR
Berdasarkan komposisi frame sebagaimana disajikan dalam tabel 2 dan tabel 3, nampak jelas ketimpangan gaya pemberitaan kasus tersebut dari sisi kepentingan masing-masing pihak. Perempuan, yaitu ME lebih banyak diberitakan dalam frame yang mendiskreditkan 142
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
dirinya dibanding dengan pemberitaan YZ yang nampak lebih banyak mendapatkan permakluman. Sampai di titik ini, pendapat yang dikemukakan Iwan Awaluddin Yusuf (2004:355) mendapatkan pembenarannya, bahwa pemberitaan tentang perempuan melalui media massa dalam sistem masyarakat patriarki selalu membawa efek subordinasi bagi pihak perempuan. Budaya patriarki sendiri oleh Marla (dalam Yusuf, 2004: 358) dikatakan sebagai suatu sistem nilai yang menempatkan kaum laki-laki pada tempat yang lebih tinggi daripada kaum perempuan, dan keadaan tersebut merembes ke dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, termasuk di media massa. Pandangan bahwa media adalah salah satu agen yang turut melanggengkan ketidakadilan gender juga dapat dilihat pembuktiannya dalam berbagai pemberitaan kasus-kasus kriminal. Salah satu contohnya adalah perkosaan, ketika seharusnya sudah tidak terbantahkan lagi bahwa dalam kasus demikian perempuan adalah korbannya, laki-laki masih melakukan pembelaan dengan dalih bahwa perempuan adalah sosok yang turut andil menyebabkan perkosaan itu terjadi. Hal yang tidak jauh berbeda dapat ditemui dalam kasus video porno YZ-ME ini, di mana pihak perempuanlah yang lebih banyak dipersalahkan atau didudukkan sebagai pihak yang bersalah atas terjadinya kasus ini. Sampai di sini nampaknya juga dapat dipahami jika sebagian ilmuwan sosial melihat bahwa isu gender tentang maskulinitas dan feminitas bukanlah tentang kualitas yang ada di dalam subyek manusianya. Maskulinitas dan feminitas merupakan isu representasi (Barker dalam Sudjono dan Sunarwinadi, 2006: 128). Dalam kasus beredarnya video porno YZ-ME pun masalah representasi ini menjadi hal yang sangat krusial. Permasalahan bukan lagi terletak pada kualitas YZ-ME sebagai manusia melainkan pada bagaimana sosok-sosok mereka kemudian direpresentasikan oleh media. Hall (dalam Sudjono dan Sunarwinadi, 2006:127) mengatakan bahwa representasi berarti menggunakan bahasa untuk mengatakan sesuatu tentang, atau merepresentasikan dunia secara bermakna kepada orang lain. Terkait dengan media dan perempuan maka media seringkali merepresentasikan perempuan dalam suatu stereotip yang biasanya cenderung negatif. 143
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
Selanjutnya jika diamati berdasarkan distribusi pemberitaan yang dilakukan masing-masing surat kabar maka diketahui bahwa kedua surat kabar melakukan pembingkaian yang berbeda untuk kasus ini. Kompas cenderung menjaga diri untuk tidak terlalu banyak menampilkan kasus ini dalam pemberitaannya. Dari 6 artikel berita yang diturunkannya, Kompas memberikan ruang yang jauh lebih banyak untuk YZ dalam frame yang favorable. Sementara itu, frame Suara Merdeka dalam memberitakan kasus ini didominasi oleh frame yang unfavorable baik bagi YZ dan terutama bagi ME. Selengkapnya komposisi frame berita Kompas dan Suara Merdeka dapat dilihat dalam tabel 4 berikut: Tabel 4. Komposisi Frame berita Kompas dan Suara Merdeka Frame Berita
Kompas
Suara Merdeka
YZ
ME
YZ
ME
Favorable
5
-
5
2
Unfavorable
-
1
5
6
Jumlah
5
1
10
8
Berdasarkan tabel 4 tampak bahwa kedua surat kabar memang cenderung memojokkan ME baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pemberitaan. Di sinilah teori kelompok yang dibungkam (muted group theory) bisa menemukan penerapannya. Perempuan adalah bagian dari kelompok minoritas yang cenderung dibungkam dan tidak didengar suaranya. Kompas menyebut nama ME dalam satu artikel beritanya, itupun tanpa menampilkan ME maupun orang lain yang ada di pihak ME sebagai narasumber. Sikap Kompas yang demikian tentu sangat bertolakbelakang dengan kepedulian Kompas terhadap masalahmasalah perempuan yang sering diangkat di dalam tulisan-tulisannya. Pada akhirnya citra yang lekat dengan Kompas sebagai koran konservatif yang sangat hati-hati dalam memberitakan kasus-kasus yang beririsan dengan masalah politik maupun kekuasaan menjadi satu-satunya alasan yang masuk akal akan sikap Kompas dalam memberitakan kasus ini. Menanggapi pola pemberitaan media yang cenderung mendiskreditkan perempuan, Iwan Awaluddin Yusuf (2004: 354) dalam tulisannya berjudul Peningkatan Kepekaan Gender dalam 144
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
Jurnalisme menyatakan bahwa dalam jurnalisme yang tidak sensitif gender maka perempuan senantiasa akan ditempatkan sebagai komoditas pemberitaan yang dibangun berdasarkan ideologi patriarki yang mengakar. Akibatnya, dalam setiap media yang dikelola oleh laki-laki (yang tidak sensitif gender), perempuan akan selalu menjadi bahan eksploitasi yang muncul dalam bentuk-bentuk pengalamiahan, ketimpangan, subordinasi, dan marjinalisasi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sara Mills (dalam Eriyanto, 2001: 199) yang melihat teks berita dari perspektif wacana feminis. Mills mengatakan bahwa perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan pihak laki-laki. Hal tersebut kerap muncul dalam pemberitaan seperti kasuskasus perkosaan dan pelecehan terhadap perempuan yang tidak saja menampilkan perempuan sebagai objek berita namun juga menyertainya dengan berbagai pernyataan yang memposisikan perempuan sebagai pihak yang juga patut dipersalahkan karena dipandang ikut andil menyebabkan kasus itu terjadi (stereotype). Analisis Framing Pemberitaan Kasus YZ-ME dalam Kompas dan Suara Merdeka Dengan menggunakan model analisis framing dari Pan dan Kosicki maka analisis framing berita dilakukan dengan mengamati empat aspek utama, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. a. Sintaksis Aspek ini menekankan pengamatan pada penyusunan skema berita yang mencakup headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, dan penutup. Di antara unit-unit sintaksis ini, judul merupakan unit yang paling menarik untuk diamati karena memiliki tingkat kemenonjolan yang tinggi dan mampu memberikan gambaran kecenderungan arah isi teks. Salah satu yang menarik adalah manakala terungkap bahwa Kompas sama sekali tidak pernah menurunkan kasus YZ-ME ini sebagai headline, ataupun berita yang dimuat di halaman satu. Hal ini 145
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
mengindikasikan kebijakan Kompas dalam mengkonstruksi realitas yang tidak menempatkan kasus ini sebagai hal yang perlu mendapat penonjolan dalam pemberitaannya. Selanjutnya dari judul-judul yang diangkat, Kompas juga kerap mendudukkan Partai Golkar sebagai subyek. Beberapa di antaranya adalah “Golkar Masih Pertahankan Yahya Zaini” (Selasa, 5 Desember 2006), “Partai Golkar Siap Beri Advokasi Yahya Zaini” (Rabu, 6 Desember 2006), “Jusuf Kalla Minta Maaf Pada Kader. Partai Golkar Rayakan HUT ke-42” (Senin, 11 Desember 2006) dan “ Kalla: Partai Golkar Contoh Baik” (Rabu, 13 desember 2006). Sedangkan dua artikel berita lainnya diangkat dengan judul “Yahya Zaini Mundur dari DPR” (Sabtu, 9 Desember 2006) dan “Tayangan Maria Eva Berdampak Buruk” (Sabtu, 9 Desember 2006). Dari judul-judul yang diangkat, dapat diperkirakan bahwa Kompas tidak menekankan kasus ini sebagai masalah YZ secara pribadi melainkan cenderung menyoroti kasus YZ ini sebagai masalah dan tanggung jawab partai. Kecenderungan arah pemberitaan yang demikian juga nampak dari pemilihan narasumber yang didominasi oleh orang-orang partai berlambang pohon beringin tersebut. Sementara itu, tidak ada satu pun narasumber yang mewakili pihak ME, termasuk ME sendiri. Pada titik ini, nampak bahwa Kompas telah melakukan subordinasi terhadap ME (perempuan), karena sama sekali tidak menganggap perlu untuk memberikan ruang bagi ME atau pihak lain dari lembaga peduli perempuan untuk memberikan pendapatnya. Jika Kompas sama sekali tidak pernah menurunkan kasus ini sebagai headline dalam pemberitaannya, tidak demikian dengan Suara Merdeka. Terdapat dua headline yang diangkat Suara Merdeka terkait dengan kasus ini. Pertama, “Yahya Mundur Dari Golkar” (5 Desember 2006) dan “Yahya Diperas Rp. 5 Milyar” (6 Desember 2006). Kebijakan redaksional Suara Merdeka yang merupakan penjabaran dari visi koran tersebut yaitu mengakomodasi suara rakyat--jika tidak mau dikatakan sekedar mengikuti selera pasar-- tampaknya cukup berperan dalam mengkonstruksi realitas dan menentukan headline. Namun demikian, jika dilihat dalam konteks jurnalisme sensitif gender, maka untuk menilai kepedulian sebuah media terhadap perempuan, perlu dipertanyakan bagaimana keberpihakan media tersebut 146
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
terhadap upaya-upaya untuk terus menggugat dan memperjuangkan kepentingan perempuan. Ketika sebuah isu atau peristiwa sedang berada pada titik klimaks dan frame media dapat dibaca dengan jelas, maka keberpihakan sebuah media terhadap perempuan pun dapat dengan mudah diidentifikasi. Dari dua headline yang diangkat oleh Suara Merdeka, yaitu “Yahya Mundur Dari Golkar” (5 Desember 2006) dan “Yahya Diperas Rp. 5 Milyar” (6 Desember 2006) selanjutnya dapat diprediksi bahwa kecenderungan isi kedua berita tersebut akan lebih favorable bagi YZ dan sebaliknya bagi ME. Demikian juga judul berita Kompas pada hari yang sama, “Golkar Masih Pertahankan Yahya Zaini” (5 Desember 2006) dan “Golkar Siap Beri Advokasi” (6 Desember 2006) keduanya lebih menguntungkan YZ. Terkait dengan pemilihan narasumber, berbeda dengan Kompas yang sama sekali tidak memuat pernyataan YZ-ME pribadi maka Suara Merdeka memberi ruang kepada keduanya untuk berpendapat. Di sisi lain, tidak berbeda dengan Kompas, Suara Merdeka juga banyak menampilkan narasumber dari Partai Golkar ditambah dengan pihak keluarga YZ, sementara dari pihak ME, Suara Merdeka memilih kuasa hukum ME (Ruhut Sitompul) dan teman dekat ME (Ikhwan Mansyur) sebagai narasumber. b. Skrip Elemen framing yang kedua adalah skrip. Aspek ini menyoroti cara wartawan mengisahkan fakta dilihat dari kelengkapan 5W+1H. Dalam pemberitaannya Kompas telah menggunakan prinsip 5W+1H dengan lengkap. Hanya saja terdapat penonjolan pada unsur what dan how terkait dengan apa dan bagaimana tindakan yang dilakukan Golkar dalam menghadapi kasus ini. Apa yang dilakukan Kompas adalah sesuatu yang lazim dalam dunia jurnalistik khususnya terkait dengan aktivitas framing. Eriyanto (2002: 141) mengatakan bahwa framing umumnya ditandai dengan proses menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lain serta menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi yang lain. Aktivitas yang sama juga dilakukan oleh Suara Merdeka yang menggunakan unsur 147
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
5W+1H secara lengkap dan memberi penonjolan terhadap unsur what dan how. Bedanya jika Kompas menjelaskan what dan how tentang tindakan partai Golkar, maka Suara Merdeka memberi penonjolan unsur what dan how tentang peristiwa kasus video porno itu sendiri. Salah satu contoh penonjolan tersebut nampak pada kutipan berita berikut: Kalangan anggota DPR RI dihebohkan dengan beredarnya video yang menunjukkan adegan seronok anggota DPR berinisial YZ dengan seorang perempuan. Adegan syur tersebut menjadi buah bibir di kalangan wakil rakyat. (what) Dalam film itu, terlihat adegan intim YZ dengan seorang wanita cantik. Adegan panas ini diyakini diambil lewat ponsel si wanita. Wanita itu terlihat sudah berada di tempat tidur tanpa mengenakan busana. Sementara itu anggota DPR RI yang juga sudah tidak berpakaian itu, terlihat sedang berdiri dan mendekati wanita itu... (How) – (SM, 1 Desember 2006).
Cara bercerita (skrip) yang hampir sama juga nampak dalam berita yang diturunkan beberapa hari kemudian ketika isu ini sedang mengalami puncaknya, yaitu 5 Desember 2006. Suatu waktu di sebuah kamar hotel, dia sudah tidak berbusana. Tak ada sehelai benang pun yang melekat di badannya yang sudah membuncit itu. Dengan senyum mengembang, laki-laki paro baya itu lantas menghampiri springbed yang terbentang di hadapannya. Tampak olehnya sosok wanita cantik molek yang sudah tergolek di atas springbed. Sesekali terdengar ringaian tawa yang menggoda. Cukup sensual. “Tak videonya ya”, kata perempuan itu. Hingga akhirnya mereka pun beradegan panas, dan ponsel itupun berhenti merekam.
Dalam dua kutipan berita tersebut sekilas nampak bahwa YZlah yang menjadi obyek pemberitaan, namun jika fokus analisis ditempatkan pada cara bercerita wartawan maka mengutip pendapat Ana Nadhya Abrar (204: 382) terungkap bahwa wartawan lebih suka bercerita dengan cara yang dapat membangkitkan nafsu birahi lakilaki, dengan menempatkan perempuan sebagai obyek (fantasi) seksual 148
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
mereka. Kecenderungan demikian nampaknya juga didukung atau sejalan dengan prinsip pasar, bahwa dalam ranah industrial, media massa cenderung memperalat perempuan dengan seluruh karakter yang bisa diperjualbelikan: kecantikan, kemolekan tubuh, dan seks— dada, pinggul, bibir dan paha—sebagai wujud dari pola patriarki lakilaki dan sistem kapitalisme (Yusuf, 2004:353). c. Tematik Aspek ini terkait dengan cara wartawan menulis fakta. dianalisis dengan mengamati detail, nominalisasi, koherensi, bentuk kalimat, maupun kata ganti. Dalam hal ini, Kompas hanya memberi detil pada informasi seputar sikap dan tindakan Partai Golkar menghadapi kasus ini, sedangkan kasusnya itu sendiri ditampilkan tanpa detil bahkan tersamar dengan penggunaan kata ganti yang memperhalus kasus tersebut. Hal demikian salah satunya dapat dilihat dalam kutipan artikel berita berikut: Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar masih mempertahankan, belum merecall, Yahya Zaini sebagai anggota DPR. Namun, Yahya dinonaktifkan sebagai sekretaris fraksi dan ketua DPP Partai Golkar menyusul tersebarluasnya rekaman video tentang masalah pribadinya… (Selasa, 5 Desember 2006).
Sebaliknya, dalam satu-satunya artikel berita tentang ME, Kompas justru menggunakan teknik nominalisasi, penyamaran salah satu pelaku, penilaian moral, stereotyping, dan pengulangan yang menyudutkan perempuan. Berikut kutipannya: Pengamat media dari Universitas Airlangga, Henry Subiakto, menilai ekspos berlebihan terhadap Maria Eva oleh media justru akan memancing banyak perempuan melakukan hal serupa. Nama Maria Eva memang kembali naik setelah rekaman video pribadinya bersama seorang anggota DPR terungkap publik. “Bahayanya banyak perempuan akan melakukan hal sama untuk mendapat popularitas. Ini kan sudah tidak benar,” ujar Henry, Jumat (8/12). Dia berharap media massa berhenti mengglamorkan Maria Eva.
149
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
Penggunaan narasumber akademisi nampaknya ingin dijadikan Kompas sebagai upaya meningkatkan kredibilitas beritanya, tetapi sesungguhnya sangat disayangkan jika seorang intelektual melakukan penilaian moral, nominalisasi dan generalisasi sedemikian rupa. Sementara itu, terkait dengan cara wartawan menuliskan fakta, Suara Merdeka banyak bermain dengan pemberian detail terhadap informasi. Di samping memberikan detail tentang apa dan bagaimana peristiwa terjadi, Suara Merdeka juga memberikan detail tentang apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat. Namun demikian, dalam hal pemberian detail ini dapat dilihat adanya pemberian ruang yang lebih banyak untuk memuat pernyataanpernyataan dari narasumber yang berasal dan mendukung pihak YZ. Demikian juga dengan isi berita yang diturunkan, Suara Merdeka lebih banyak memberi detail pada kasus aborsi, dugaan penyebarluasan video oleh ME, karir dan kasus ME dengan suaminya, serta upaya pemerasan yang dilakukan ME. Sementara detail yang diberikan untuk pihak YZ adalah kasus pemerasan yang dialami YZ, sikap Golkar terhadap YZ, sikap istri YZ yang mendukung suaminya, pengajian yang digelar, tindakan YZ dalam menghadapi kasus tersebut dengan meminta maaf dan mundur dari Golkar. d. Retoris Aspek ini dianalisis untuk mengetahui gaya atau cara wartawan menekankan fakta. Aspek ini mencakup penggunaan grafis, metaphor atau gaya bahasa, dan pengandaian. Dalam kasus ini, Kompas mengambil gaya penceritaan yang sangat hati-hati melalui penggunaan bahasa yang formal dan halus. Penekanan melalui penggunaan ukuran huruf lebih besar, penggunaan teknik grafis atau pewarnaan yang memberikan efek berbeda maupun pemunculan foto tidak dilakukan. Dalam hal ini Kompas tampaknya cukup konsisten dengan sikapnya untuk tidak mengkonstruksi peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa penting yang perlu mendapat perhatian dan penonjolan. Hal berbeda dilakukan Suara Merdeka. Kebijakan redaksi yang mengikuti selera pasar nampak jelas pada aspek retoris ini. Hal tersebut dapat diamati dari penggunaan gaya bahasa, kata/idiom, grafis, gambar/ 150
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
foto yang digunakan. Berikut adalah beberapa cuplikan foto yang pernah dimuat dalam Suara Merdeka:
Dalam berita-berita yang diturunkannya, Suara Merdeka banyak menggunakan pilihan kata yang tidak sehalus pilihan kata yang digunakan Kompas. Sebaliknya kata-kata yang digunakan Suara Merdeka cenderung vulgar, misalnya video porno (5 Desember 2006), video seronok (1 Desember 2006), video mesum (5 Desember 2006), dan skandal seks (6 Desember 2006). Suara Merdeka juga beberapa kali memberikan penekanan dengan pemberian efek grafis (pewarnaan) pada berita-berita tertentu, 151
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2,Desember 2009: 137-154
pemuatan foto-foto berwarna, termasuk cuplikan gambar adegan video yang menampilkan para pelaku. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Kompas dan Suara Merdeka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengkonstruksi realitas (peristiwa beredarnya video porno YZ-ME). Kompas memilih untuk tidak terlalu banyak memberikan ruang dan perhatian dalam pemberitaannya, sementara Suara Merdeka sebaliknya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kebijakan editorial dan ideologi masing-masing media, di mana Kompas sebagai surat kabar terbesar dengan aset yang juga besar lebih menunjukkan sikap yang sangat hati-hati ketika memberitakan hal-hal yang sensitif karena bersinggungan dengan unsur SARA atau kekuasaan. Sementara kebijakan Suara Merdeka lebih aspiratif terhadap selera pasar, sehingga berita-berita yang mengandung unsur sensasi, seks, dan kontroversi mendapat ruang yang cukup banyak di dalam medianya. Dalam melakukan pembingkaian (framing) terhadap kasus ini, kedua media pada dasarnya menggunakan perangkat framing yang tidak jauh berbeda mencakup unsur-unsur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Hanya saja dalam penggunaannya ada penonjolan-penonjolan yang berbeda. Suara Merdeka nampak lebih maksimal dalam penggunaan keempat unsur framing tersebut, sementara Kompas lebih mengarah pada penggunaan perangkat framing secara halus sehingga pemberitaannya cenderung datar dan monoton. Dalam merepresentasikan atau membingkai perempuan, kedua media nampaknya masih terpancang pada pola patriarki yang selama ini sangat kuat melingkupi dunia media. Dalam pola pemberitaan yang demikian, perempuan akan selalu berada dalam posisi subordinat. Demikian pula dalam kasus ini, kedua media cenderung memberitakan kasus ini dalam bingkai yang mendiskreditkan perempuan (ME).
152
Mite Setiansah, Politik Media dalam Membingkai Perempuan .....
Daftar Pustaka Abrar, Ana Nadhya. 2004. “Tantangan Dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Pers di Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Peran dan Konstruksi Sosial Tentang Perempuan. Vol 7. No. 3 Maret 2004 Eriyanto. 2002. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: ELKiS Burton, Graeme. 2000. Talking Television, an Introducing To The Study of Television. New York: Oxford University Press. Inc. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Shoemaker, Pamela J. dan Stephen D Reese. 1996. Mediating The Message, Theories of Influences on Mass Media Content. 2nd edition. USA: Longman Publisher Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press Yusuf, Iwan Awaluddin. 2004. “Peningkatan Kepekaan Gender dalam Jurnalisme” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Peran dan Konstruksi Sosial Tentang Perempuan. Vol 7. No. 3 Maret 2004
153
154
Perbedaan Fungsi-Fungsi Public Relations dalam Sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) “Kasus di KPUD Yogyakarta dan KPUD Bantul” Emma Octavia Purwandari 1 Abstract: This research attempts to analyze the differences of Public Relations (PR) function in local election (Pilkada). Pilkada is a democratic process in Indonesia. Government needs big participation of society, as one successful point of pilkada is participation of society. Effort to bring public politics participation cannot be separate from politics socialization process. Socialization process is public attitude establishment and politics orientation process. Pilkada socialization carried out by KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) as executor. To make an effective socialization to public, KPUD needs to use specific function called Public Relation. Communication activity between organization and its public divided into some part of PR function, including publicity, advertising, press agentry, lobbying, issue management, investor relation and public affair. Basically, implementation of PR function in the process of PILKADA may be different in each region. It becomes the reason why author want to compare KPUD Yogyakarta and Bantul. Governance system differences among both regions would affect in government’s socialization policy. Those differences depend on population, social classes, demographic condition and personal motivation. It is also effecting in PR function held by government, as in media and in society as target operation Key words: Public Relations functions, Socialization, Participation
Komunikasi merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam sebuah organisasi, komunikasi dilakukan melalui interaksi antara organisasi dan publiknya. Untuk mewujudkan komunikasi yang efektif dengan publiknya, organisasi memerlukan 1 Emma Octavia Purwandari adalah alumni Universita Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi, konsentrasi studi Public Relations.
155
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
fungsi khusus, yaitu Public Relations (PR). Organisasi yang peduli dengan publiknya, menganggap bahwa fungsi PR merupakan hal penting yang harus dilaksanakan. Fungsi PR dapat membantu organisasi melakukan penyesuaian dengan publik melalui pertukaran pesan atau informasi. Hal ini sesuai dengan pengertian PR menurut IPRA (International Public Relations Association), Public relations (PR) adalah komunikasi dua arah dan timbal balik antara organisasi dengan publik secara timbal balik dalam rangka meningkatkan pembinaan kerja sama dan pemenuhan kepentingan bersama (Ruslan, 1995:33). Aktivitas komunikasi antara organisasi dengan publiknya terbagi menjadi bagian-bagian dari fungsi PR yaitu: 1. Publisitas
Publisitas adalah informasi yang disediakan oleh sumber luar yang digunakan oleh media karena informasi itu memiliki nilai berita dengan tidak membayar. Terdapat beberapa jenis publisitas, yaitu: (1) Press Release. Ini biasanya dibuat dalam bentuk berita langsung, namun ada kalanya pula dibuat dalam bentuk liputan mendalam, (2) Press Conference yaitu kegiatan pertemuan sebuah organisasi dengan mengundang sekelompok media dengan tujuan; memperkenalkan produk baru, pergantian manajemen & identitas korporat baru, sikap organisasi atau temuan tentang suatu hal, dan lain-lain (Hardiman, 2006:97).
2. Advertising
Advertisement atau iklan adalah informasi yang ditempatkan di media oleh sponsor tertentu yang jelas identitasnya yang membayar untuk ruang dan waktu penempatan informasi tersebut. Iklan dibagi menjadi dua jenis yakni (1) Above the Line yaitu kegiatan periklanan lini atas dengan menggunakan pemasangan iklan di media massa, dan (2) Below the Line yaitu kegiatan periklanan lini bawah, dengan menggunakan media promosi non-media massa.
3. Press agentry
156
Press agentry memang hampir sama dengan publisitas. Namun menurut Cutlip & Center (2005:17), press agentry lebih bertujuan
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
untuk mendapatkan pemberitaan media massa daripada membangun pengertian publik. Biasanya press agentry terdiri dari event dan press conference. Event adalah kegiatan yang bertujuan mempopulerkan suatu hal, sedangkan Press Conference adalah kegiatan pertemuan sebuah organisasi dengan mengundang sekelompok media dengan tujuan; memperkenalkan produk baru, pergantian manajemen & identitas korporat baru, sikap organisasi atau temuan tentang suatu hal, dan lain-lain (Hardiman, 2006). 4. Public affairs
Bagian khusus dari PR yang membangun dan mempertahankan hubungan pemerintah dan komunitas lokal dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik. Public affairs melahirkan tiga bidang kekhususan, yaitu: (1) Community Relations yang mengkhususkan khalayak mereka pada masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar organisasi. (Morissan, 2006:29) dan (2) Goverment Relations yang khusus terfokus dalam hubungannya dengan aparat pemerintahan. (Morissan, 2006:29)
5. Lobbying
Bagian khusus dari PR yang berfungsi untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan pemerintah terutama dengan tujuan mempengaruhi penyusunan undang-undang dan regulasi. Lobbying seringkali banyak dilakukan dalam bentuk advokasi terbuka dan diskusi soal kebijakan publik. Dalam peran utamanya sebagai advokat yang kredibel dan sumber informasi yang dipercaya, Lobbying diwujudkan dalam bentuk informasi yang didesain untuk mendidik dan membujuk. Para pelobi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang pemerintahan, proses legislatif, kebijakan publik, dan opini publik. (Cutlip & Center, 2005:11-27)
6. Manajemen isu
Ada dua esensi manajemen isu: (1) identifikasi dini atas isu yang berpotensi mempengaruhi organisasi, dan (2) respon strategis yang didesain untuk mengurangi atau memperbesar konsekuensi dari isu 157
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
tersebut. Dalam PR, langkah yang harus dijalankan antara lain: (1) Menentukan masalah yaitu kegiatan untuk meneliti dan mengawasi pengetahuan pendapat, sikap dan tingkah laku khalayak yaitu pihak-pihak yang berkepentingan atau terpengaruh oleh tindakan dan kebijakan organisasi, (2) Perencanaan dan penyusunan program yaitu mencakup tindakan untuk memasukkan temuan yang diperoleh pada langkah pertama ke dalam kebijakan dan program organisasi, (3) Melakukan tindakan dan berkomunikasi, yang mencakup kegiatan melaksanakan tindakan dan melakukan komunikasi yang sejak awal dirancang untuk mencapai tujuan tertentu, dan (4) Evaluasi program, mencakup penilaian atau evaluasi atas persiapan, pelaksanaan dan hasil-hasil program. (Morissan, 2006:96-97) 7. Hubungan investor
Bagian dari PR dalam perusahaan korporat yang membangun dan menjaga hubungan yang bermanfaat dan saling menguntungkan dengan shareholder dan pihak lain di dalam komunitas keuangan dalam rangka memaksimalkan nilai pasar.
Perlu diketahui bahwa organisasi bukan hanya dipandang sebagai organisasi profit semata, namun ada juga organisasi non-profit seperti halnya pemerintah. Fungsi dan tugas PR yang terdapat di instansi pemerintah dengan non-pemerintah sangat berbeda. Meskipun dalam instansi pemerintah tidak ada sesuatu yang diperjual-belikan, namun PR pemerintah juga melakukan hal yang sama dalam kegiatan publikasi, promosi dan periklanan, tetapi lebih menekankan pada public service atau demi meningkatkan pelayanan umum. Menurut Edward L. Bernay, dalam bukunya Ruslan (1998:19), menjelaskan beberapa fungsi humas dalam pemerintah, diantaranya; memberikan penerangan kepada masyarakat dan melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung. Hal ini berhubungan dengan pembuatan kebijakan oleh pemerintah dan disosialisasikan dengan harapan data mengubah sikap dan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. 158
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
Tujuan PR pemerintah itu sendiri terkait erat dengan tujuan demokrasi seperti yang diungkapkan oleh Cutlip & Center (2005: 389). Tujuan PR dalam pemerintahan adalah memastikan kerja sama aktif dalam program pemerintah, seperti halnya pemberian suara. Karena itulah dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk mewujudkan tujuan demokrasi. Suatu bentuk partisipasi yang mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum (pemilu), antara lain melalui perhitungan presentase orang yang menggunakan hak pilihnya dibanding dengan jumlah warga negara yang berhak memilih. Pemilu di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, namun keterlibatan rakyat hanya pada pemilihan partai politik, sedangkan pemilihan presiden maupun kepala daerah dilakukan oleh DPR dan DPRD. Pada tahun 2004 barulah terjadi perubahan sistem dalam pemilu. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan kemudian sistem ini juga digunakan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pemerintah membentuk lembaga khusus untuk mengurusi masalah pemilihan umum, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU pada dasarnya mengurusi pemilihan umum secara nasional, sedangkan untuk mengurusi pemilu tingkat daerah, ditangani oleh KPU-daerah (KPUD) yang terdiri dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah yang sudah melaksanakan pemilu di tingkat daerah (Pilkada). Selain untuk memilih gubernur, pilkada tersebut diadakan untuk memilih walikota dan bupati. Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang pilkada yang dilaksanakan oleh KPUD Kodya Yogyakarta dan KPUD Kabupaten Bantul. Pembagian wilayah ini berdasarkan unit politik, seperti bangsanegara, propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Konkretnya ada keputusan politik yang menyangkut dan mempengaruhi seluruh bangsa dan negara, yakni keputusan oleh pemerintah nasional. Ada pula keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi hanya suatu propinsi, yakni keputusan yang dibuat pemerintah daerah/propinsi. Demikian seterusnya sampai dengan keputusan desa. (Surbakti, 1999:14-15) Dalam menghimpun partisipasi warga untuk ikut serta dalam pilkada, harus ada komunikasi yang terencana dari pihak KPUD. 159
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
Komunikasi untuk mewujudkan adanya partisipasi politik dari masyarakat tidak bisa lepas dari proses sosialisasi politik. Sosialisasi pemilu merupakan tahapan penting dan mendesak yang harus dilakukan KPU. Segala proses pemilu, dari pendaftaran pemilih, informasi pemilu, sampai teknik pencoblosan, harus diketahui dan dipahami warga. Tak kalah penting adalah informasi sistem pemilihan langsung yang berbeda dari pemilu sebelumnya. Pada dasarnya sosialisasi pemilu berbeda antara di desa dan di kota. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a. Kelas sosial
Banyak cara menentukan seseorang untuk dikategorikan ke dalam kelas sosial mana; tetapi pada umumnya, kelas itu merupakan fungsi dari pekerjaan, pendapatan dan pendidikan orang. Mengenai partisipasi dalam pemilu, angka pemberi suara pada umumnya lebih tinggi jika tingkat sosialnya semakin tinggi.
b. Perbedaan demografi
Terdapat juga perbedaan dalam sosialisasi di antara mereka yang terdapat dalam berbagai kategori demografis, yaitu kategori usia, jenis kelamin, suku, tempat tinggal, agama dan sebagainya. Pada umumnya perbedaan regional juga terdapat dalam partisipasi. Penduduk daerah pedalaman, boleh dikatakan dalam segala hal kurang aktif secara politis dibandingkan mereka yang tinggal di kota dan pinggiran kota.
c. Motivasi personal
Ilmuwan politik Roberta Sigel (Nimmo, 2000:144) mengemukakan cara untuk merangkumkan banyak di antara motivasi personal yang mendasari pilihan apakah seseorang akan berpartisipasi atau tidak dalam politik dan, jika akan berpartisipasi, bagaimana caranya.
METODE PENELITIAN Pada penelitian mengenai fungsi-fungsi humas dalam sosialisasi pilkada ini digunakan metode studi kasus. Metode studi kasus adalah suatu penelitian dengan pendekatan spesifik untuk meneliti masalah 160
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
secara lebih mendalam dalam segala tingkatan. Tujuan penelitian adalah mengungkapkan fakta dalam hubungan sebab akibat, bersifat eksploratif untuk mencari keterangan-keterangan apa penyebab terjadinya masalah dan bagaimana memecahkannya, tetapi sifatnya hanya mendalam pada satu unit peristiwa. (Subyantoro, 2006:17). Data didapat dari sumbernya melalui penelitian langsung di lapangan. Dalam mengumpulkan datadata primer, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara. Wawancara dilakukan dalam bentuk bebas, meskipun kadang-kadang diperlukan juga wawancara yang terpimpin. Wawancara dilakukan dengan sumber-sumber yang memiliki kaitan dengan persoalan yang diangkat. Narasumber terdiri dari pihakpihak yang andil dalam penyusunan Sosialisasi Politik Pelaksanaan Pilkada Bantul Kodya Yogyakarta, yaitu: ketua KPUD Bantul Budi Wiryawan dan ketua KPUD Kodya Yogyakarta Nasrullah yang diwakili oleh Rahmat Muhajir (Anggota KPUD Yogyakarta) mengenai hal-hal yang terkait dengan sosialisasi pilkada. HASIL PENELITIAN
Sebenarnya pilkada atau pemilu merupakan suatu tuntutan proses demokratisasi di negara kita. Proses pemilihan pemimpin-pemimpin secara langsung baik di tingkat nasional maupun lokal dimaksudkan untuk mengembalikan demokrasi. Jadi kalau dulu kepala daerah dipilih melalui lembaga legislatif, sekarang dikembalikan kepada rakyat secara langsung untuk memilih pemimpin mereka. Pilkada secara langsung merupakan model demokrasi pertama yang berkembang di Bantul dan Yogyakarta. Sebelumnya Walikota/Bupati dipilih oleh DPRD, seperti dikatakan oleh Rahmat Muhajir (Anggota KPU divisi Sosialisasi) sebagai berikut: “Jadi kalo dulu dipilih melalui lembaga legislatif, sekarang dikembalikan kepada rakyat secara langsung untuk memilih pemimpin mereka. Untuk pemilihan kepala daerah secara langsung kalo ditingkat daerah diatur dalam UUD 45. Kalau berbicara peraturan yuridisnya ada di pasal 18 yang mengatakan tentang pemilihan gubernur dan walikota. Kemudian makna demokrasi itu diterjemahkan dalam pasal 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Di situ disebutkan bahwa pemimpin dipilih
161
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
langsung oleh rakyat kecuali di daerah tertentu menggunakan aturan tersendiri, misalnya DIY, DKI, DI Aceh dan Papua. Itu diatur dalam UU yang mengatur tentang daerah itu. Kecuali 4 daerah itu, semuanya menggunakan pemilihan secara langsung”. (Rahmat Mujahir, wawancara 20 Februari 2009).
Partisipasi masyarakat dalam pilkada berbeda antara di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Menurut Budi Wiryawan, partisipasi masyarakat memang cukup tinggi, sekitar 85% warga masyarakat menggunakan hak pilihnya, dan hanya terjadi satu putaran dengan perolehan suara mutlak diperoleh pasangan Idham Samawi & Soemarno. Barangkali menjadi fenomena menarik karena kali pertama bupati dipilih oleh masyarakat secara langsung. (Wawancara, 11 Maret 2009). Di sisi lain Rahmat Muhajir menyebutkan bahwa tingkat partisipasi di Kodya Yogyakarta sangat rendah, hanya 52%. Hal ini disebabkan oleh akurasi pendataan penduduk yang kurang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi rendah adalah mobilitas penduduk yang tinggi, sehingga banyak yang memiliki alamat KTP di kota tapi tinggalnya di luar kota (luar Jogja). Hal ini mempengaruhi jumlah pemilih yang dicatat dan itu tidak faktual. (Wawancara, 20 Februari 2009). Perbedaan persentase partisipasi antara Bantul dan Yogyakarta ini dipengaruhi oleh faktor kelas sosial, perbedaan demografis dan motivasi personal. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan perbedaan partisipasi itu dapat dilihat dari Tabel 1.
162
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
Tabel 1. Perbandingan Desa dan Kota (berdasarkan jumlah terbanyak) Elemen 1. Kelas Sosial
2.Perbedaan
Kota
Desa
Pendidikan
SD (177,327)
SD (266,701)
Pekerjaan
Karyawan
Petani & buruh
Penghasilan > 1 juta
< 1 juta
Usia
20-24 thn (72,977)
40-44 thn (73,835)
Jenis
Laki-laki (216,222) & Laki-laki (435,655) &
Kelamin
perempuan (217,317) perempuan (424,313)
Suku
Multikultur
Satu budaya (Jawa)
Perb.
Padat penduduk
Jarang penduduk (tempat
Demografis
Regional 3. Motivasi Personal
tinggal saling berjauhan) Internal
Eksternal
(Sumber: data diolah 2009)
1) Kelas sosial Perbandingan tersebut berdasarkan data statistik masing-masing daerah, yaitu Yogyakarta dan Bantul. Kelas sosial bisa dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Untuk pendidikan jumlah tertinggi kedua daerah adalah SD. Namun jika dilihat presentasenya masih jauh lebih tinggi di Bantul yaitu 32,59%, sedangkan Yogyakarta hanya 18,88%. Selain itu, pendidikan paling tinggi (universitas) jumlah terbanyak masih dipegang oleh Yogyakarta. Melihat presentase partisipasi pemilih dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, menunjukkan bahwa kelas sosial yang lebih tinggi tidak berarti partisipasi pemilih juga lebih tinggi. 2) Perbedaan demografi Perbedaan demografi banyak dipengaruhi oleh budaya dari daerah itu. Hal ini terbukti dari besarnya partisipasi masyarakat Bantul dibanding dengan masyarakat Yogyakarta yang menggunakan hak 163
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
pilihnya. Menurut Budi Wiryawan hal ini disebabkan karena: “masih adanya pandangan dari masyarakat Bantul bahwa suara mereka itu diperlukan untuk menemukan sosok pemimpin yang mengayomi. Ini berhubungan juga dengan rasa memiliki dan menginginkan kesejahteraan untuk daerah mereka, karena umumnya penduduk Bantul adalah masyarakat asli.” Kejadian ini juga membuktikan bahwa masyarakat desa juga aktif berpartisipasi dalam politik, tidak kalah dengan masyarakat kota. 3) Motivasi personal Partisipasi masyarakat dalam pilkada ini juga dipengaruhi oleh motivasi personal. Seperti halnya yang terjadi di Bantul. Selain keinginan untuk membangun daerahnya, besarnya angka partisipasi juga dipengaruhi oleh munculnya pasangan calon Idham Samawi dan Soemarno. Pasangan calon ini secara tidak langsung memunculkan motivasi personal dari masyarakat Bantul untuk aktif berpartisipasi dalam pilkada. Hal ini dikarenakan Idham Samawi adalah tokoh lama yang terbukti bisa memajukan daerah Bantul. Perbedaan faktor-faktor partisipasi antara Yogyakarta dan Bantul tersebut wajar terjadi karena perbedaan karakteristik antara kota dan desa memang ada. Namun jika berdasarkan karakteristik desa dan kota, terjadi hasil yang tak terduga dari jumlah partisipasi. Jika menurut teori, pendidikan tinggi berpengaruh terhadap tingginya partisipasi dari masyarakat, ternyata teori tersebut berbeda dengan hasil di lapangan. Masyarakat Yogyakarta yang memiliki tingkat pendidikan tinggi jumlah presentasenya lebih besar daripada Bantul, tetapi ternyata partisipasinya lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor demografi berupa rasa memiliki daerahnya. Dalam mengelola hubungan dengan publik dalam rangka sosialisasi, diperlukan fungsi khusus dalam organisasi, yaitu Public Relations (PR). PR suatu organisasi memiliki fungsi utama menumbuhkan dan mengembangkan hubungan yang baik antara organisasi dengan publiknya, baik internal maupun eksternal. Ini dilakukan dalam upaya menanamkan pengertian, motivasi dan partisipasi untuk menciptakan iklim yang mendukung tercapainya tujuan organisasi. Untuk mendukung 164
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
kegiatan tersebut maka kegiatan PR lebih menekankan pada bagaimana keresponsifan organisasi kepada publik dengan menjadi jembatan komunikasi antara organisasi dengan publik. KPU memang tidak mempunyai Departemen PR sendiri. Namun fungsi-fungsi PR itu dilaksanakan sejalan dengan sosialisasi, seperti pernyataan berikut: “Kalau Departemen PR itu tidak ada. Di KPU sendiri ada yang namanya Media Center tapi itu di KPU Pusat. Media Center sebenarnya mempunyai fungsi seperti PR yang memberikan penerangan kepada masyarakat. Namun karena tidak ada, akhirnya KPU itu menjadi PR walaupun tidak secara khusus. Waktu itu ada 1 orang yang fungsinya seperti PR. Jadi dia menjadi jubir atau juru penerang. Jika masyarakat ada yang bertanya, dia yang pertama akan menemui kemudian memberikan informasi. Jika dia tidak bisa menjawab baru dilimpahkan kepada saya atau anggota KPU.” (Rahmat Muhajir, wawancara 20 Februari 2009).
Menurut Cutlip & Center (2005:11-27), ada beberapa bagian dalam fungsi PR, antara lain: Publisitas, Press Agentry, Advertising, Public Affairs, Manajemen Isu, Lobbying, dan Hubungan Investor. Pada konteks sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah, fungsi-fungsi ini pun dilakukan, sekali pun tidak semua dijalankan. Berikut ini adalah penjelasan tentang fungsi-fungsi PR yang digunakan dalam proses sosialisasi Pilkada di Bantul dan Kodya Yogyakarta. 1. Publisitas, jenis-jenis publisitas yang dilakukan adalah press release, Press Conference dan Teleconference. a. Press Release. Merujuk pada pernyataan Wiryawan, Press Release dikirim oleh Panitia Pilkada Bantul ke hampir semua media cetak di Yogya. Sedangkan untuk melayani permintaan data atau informasi oleh wartawan, panitia membentuk tim khusus dari sekretariat yang bertugas untuk menyediakan bahan-bahan yang diperlukan (Budi Wiryawan, wawancara 11 Maret 2009). Sedangkan di Kota Yogyakarta, publisitas dilaksanakan dalam dua bentuk yakni jumpa pers dan press release. Press Release biasa dikirimkan ke Gardu Pawarta, media yang ada di KPU. Namun demikian, ada beberapa wartawan yang lebih suka mencari 165
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
informasi melalui kontak telepon. (Rahmat Muhajir, wawancara 20 Februari 2009) b. Press Conference. Di Bantul, press conference diadakan sebulan 2 kali, atau sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan di Yogyakarta, jumpa pers diadakan tergantung pada kebutuhan saat itu. Panitia di Kodya Yogyakarta akan menyampaikan opini kepada masyarakat kalau ada informasi penting dengan mengundang wartawan. c. Teleconference.Saat ini ada model media baru yang digunakan, yaitu teleconference. Jadi pihak media dan KPU tidak perlu bertemu langsung karena informasi bisa dilakukan melalui telepon oleh kedua belah pihak. Positifnya, keduanya dapat menghemat waktu sedangkan negatifnya pihak media tidak dapat menyaksikan secara langsung proses sosialisasi itu sehingga kadang ada kesalahan persepsi. Teleconference ini digunakan oleh KPU Bantul. Ini merupakan cara praktis yang dilakukan KPU Bantul dengan media massa untuk berkomunikasi. Melalui cara ini, media massa bisa mendapatkan informasi dari KPU Bantul tanpa harus bertemu langsung dengan pihak yang bersangkutan.
Pada dasarnya publisitas yang dijalankan oleh KPU Bantul dan KPU Yogyakarta cenderung sama karena menganut aturan dari KPU Pusat. Perbedaannya hanyalah pada isi pesan dan pelaksanaan.
2. Advertising. Advertising terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) above the line, dan (2) below the line. Iklan yang dikategorikan dalam Above the Line (ATL) adalah kegiatan periklanan lini atas dengan menggunakan pemasangan iklan di media massa. Sedangkan, iklan below the line (BTL) adalah kegiatan periklanan lini bawah, dengan menggunakan media promosi non media massa. KPU Bantul menggunakan iklan ATL dalam bentuk adlips sebagai sarana beriklan di radio. Jadi pihak KPU Bantul menyerahkan konsep iklan yang dibuat oleh sekretariat KPU, kemudian diolah menjadi iklan adlips oleh pihak radio. KPU ini juga beriklan melalui koran, biasanya dalam bentuk iklan layanan masyarakat. Iklan ini dibuat oleh sekretariat KPU. Untuk iklan BTL, KPU Bantul 166
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
menggunakan spanduk, leaflet dan kertas surat suara. Tidak jauh berbeda dengan Bantul, KPU Kodya Yogyakarta menggunakan ATL dalam bentuk spot iklan di radio dan televisi. Publikasi semacam ini adalah publikasi dengan membayar spot di radio dan televisi. Isi dari iklan di media massa ini adalah ajakan untuk menggunakan hak pilih dan menciptakan kampanye yang elegan serta menjadi pemilih yang rasional. Spot iklan di radio dilakukan selama 10 hari dengan intensitas 5 kali sehari, sedangkan untuk spot iklan televisi dilakukan lebih intensif yaitu 3 kali sehari dalam 30 hari menjelang pelaksanaan pilkada. Tujuannya adalah mengingatkan masyarakat tentang pilkada yang segera akan diadakan. Media massa yang digunakan adalah stasiun televisi lokal yaitu Jogja TV dan stasiun radio lokal yang sesuai dengan sasaran dari sosialisasi yaitu RRI dan Radio Unisi. Sedangkan BTL digunakan KPU Kodya Yogyakarta dengan memanfaatkan media indoor outdoor.
Merujuk pada pemanfaatan iklan, KPU Bantul dan KPU Yogyakarta sama-sama menggunakan media elektronik untuk pemasangan iklan. Penggunaan media elektronik sebagai instrumen sosialisasi dan penyebaran informasi merupakan sarana yang cukup strategis. Sifat media elektronik yang praktis, mudah dan memiliki jangkauan yang luas menjadi alat efektif untuk menyebarkan informasi tahapan dan kegiatan Pilkada. Namun keduanya mempunyai perbedaan dalam menjalankan sosialisasi melalui iklan ini. KPU Yogyakarta mengefektifkan iklan di radio dan televisi, sedangkan KPU Bantul lebih mengefektifkan pemasangan iklan di radio dan koran. Walaupun sama-sama memasang iklan di radio, namun bentuk iklannya berbeda. KPU Bantul hanya menggunakan adlips sedangkan KPU Yogyakarta menggunakan iklan layanan masyarakat.
3. Press agentry. Biasanya press agentry bertujuan untuk mempopulerkan institusi melalui pemberitaan atas event-event yang diadakannya. Hal ini seperti ini pun digunakan oleh KPU Bantul, sekali pun mereka tidak mengenal istilah press agentry. Hal ini seiring dengan pernyataan Wiryawan berikut ini: 167
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
“Kita sering membawa wartawan itu ke lapangan. Biar mereka juga bisa merasakan atmosfernya, yang hadir berapa orang. Itu semua bisa membantu menguatkan berita mereka. Mereka juga bisa memilih dari angle mana yang bisa diangkat.” (Wawancara tanggal 11 Maret 2009 pukul 11.00-12.30)
Event-event yang diadakan oleh KPU Bantul dalam rangka sosialisasi, antara lain (1) debat antarcalon yang disiarkan langsung di TVRI. Acara ini mengundang akademi UGM Prof. Moh. Maksum, dari LSM perempuan ibu Budi Wahyuni, dan dari KPU Propinsi, dengan dimoderatori oleh Wijayanto. Debat ini menarik karena semua persoalan yang berkaitan dengan penugasan ditanyakan kepada mereka, mulai dari pemerintahan sampai dengan penanganan masalah pengentasan kemiskinan, meningkatkan APBD, dan lainlain.; (2) debat interaktif di radio: Debat ini sama dengan debat di televisi, namun disini masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung. Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki rasa kedekatan dengan calon pasangan yang ada. Debat interaktif ini ditayangkan oleh stasiun radio lokal Bantul. (3) event tradisional seperti layar tancap, wayang kulit, dalang menjadi sumber penyampai informasiinformasi dari KPU kepada masyarakat; (4) pawai yang bertujuan agar masyarakat tahu dan mengenal figur pasangan calon secara lebih dekat; (5) Deklarasi damai. Deklarasi damai ini dilakukan sehari sebelum pelaksanaan pilkada dengan menghadirkan kedua belah pihak pasangan calon. KPU Yogyakarta juga menggunakan event sebagai sarana sosialiasi Pemilu termasuk untuk memperkenalkan institusi KPU di mata publik. Event tersebut adalah (1) dialog interaktif di televisi dan (2) dialog interaktif di radio.
Merujuk pada penjelasan di kedua KPUD ini, tampak ada perbedaan pilihan events. KPUD Bantul memilih debat antarpasangan calon di radio dan televisi, sedangkan KPUD Yogyakarta memilih dialog interaktif melalui radio dan televisi. Perbedaan cara sosialisasi dari masing-masing daerah tersebut memperlihatkan tujuan dari sosialisasi melalui events ini. KPUD Bantul ingin memperkenalkan lebih jauh mengenai setiap pasangan calon kepada masyarakat melalui debat interaktif. Berbeda dengan KPUD Yogyakarta yang
168
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
lebih memilih melakukan dialog dengan masyarakat mengenai proses pilkada dari persiapan hingga pelaksanaannya. Tujuannya adalah agar masyarakat mendapat informasi dan pendidikan yang lebih banyak tentang pilkada. 4. Public affairs. Public Affairs terbagi menjadi 2, yaitu community relations dan government relations. Komunitas di sini bisa diartikan sebagai seluruh masyarakat Bantul dan Yogyakarta yang menjadi sasaran sosialisasi. Seluruh masyarakat ini menjadi bagian dari komunitas karena selain tinggal didaerah organisasi (KPUD) berada, juga merupakan sasaran dari semua program yang dijalankan organisasi. Namun demikian, komunitas Bantul yang menjadi target publik berbeda dengan komunitas Kodya Yogyakarta. Komunitas Bantul adalah elemen masyarakat, unsur-unsur pemerintah (pamong, lurah, dll), kelompok ormas, organisasi profesi (guru, tani, dll), pemilih pemula, dan partai politik, sedangkan komunitas Kodya Yogyakarta adalah masyarakat umum, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, perempuan, aparatur pemerintah, penyandang cacat/difabel, pemilih pemula/SLTA, penghuni lembaga pemasyarakatan, saksi pasangan calon, partai politik, pelaksana pemilihan (PPK, PPS, KPPS), lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat. Jadi kegiatan community relations adalah seluruh usaha dalam rangka membangun relasi yang baik dengan kelompok-kelompok komunitas yang dimaksud di atas. Sedangkan government relations berfokus dalam hubungannya dengan aparat pemerintahan. Di Bantul, KPU melibatkan aparat Pemda Bantul, seperti yang dijelaskan Wiryawan berikut ini: “Selama pemilu dan pilkada kita selalu melibatkan orang-orang ditingkat teknis di Pemda Bantul. Misalnya kita membuat teknis regulasi ini mengundang bagian hukum Pemda, ketika verifikasi kita undang orang yang dari Dinas P&K. jadi ketika kami bekerja, kami sudah mendapat rambu-rambu dari dinas yang terkait.” (Wawancara tanggal 11 Maret 2009)
Di KPUD Kodya Yogyakarta, pemerintah daerah juga dilibatkan dalam proses sosialisasi ini. Peran utama agen pemerintah ini adalah 169
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
pengadaan anggaran, seperti dijelaskan oleh Muhajir berikut: “Pemerintah daerah berperan dalam pengadaan anggaran. Sumber anggaran itu berasal dari APBD. Jadi sumbernya dari daerah, tidak bersumber dari APBN seperti halnya pemilu. Jadi pemerintah daerah menyediakan anggaran dan fasilitas.” (Rahmat Muhajir, wawancara 20 Februari 2009)
Komunitas yang menjadi sasaran dari sosialisasi pilkada sebagian adalah sama, baik dari KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogyakarta. Perbedaan terletak pada hubungan KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogyakarta dengan pemerintah. Hal ini terlihat dari cara masingmasing daerah memandang hubungan tersebut. KPUD Bantul menekankan hubungan dengan pemerintah melalui peraturanperaturan. Jadi setiap peraturan yang berlaku di KPUD Bantul berasal dari pemerintah atau melibatkan pemerintah daerah dalam pembuatan teknis regulasi. Sedangkan KPUD Kodya Yogyakarta lebih menekankan pada hubungan dengan pemerintah sebagai penyandang dana pilkada. 5. Manajemen isu. Ada dua esensi manajemen isu: (1) identifikasi dini atas isu yang berpotensi mempengaruhi organisasi, dan (2) respon strategis yang didesain untuk mengurangi atau memperbesar konsekuensi dari isu tersebut. Misalnya dalam konteks opini publik, manajemen isu dilakukan dalam upaya untuk menjelaskan trend dalam opini publik sehingga organisasi itu bisa merespon trend tersebut sebelum berkembang menjadi konflik serius. Di Bantul, KPUD Bantul mengadopsi esensi manajemen isu yang pertama karena saat pilkada itu belum sempat ada isu yang berkembang. Namun sebelum ada isu yang berkembang, KPUD Bantul berusaha untuk melakukan identifikasi dini terhadap isu yang berkembang melalui beberapa tahap, yakni: (1) menentukan masalah. Pada tahap ini ditemukan adanya provokasi agar golput atau munculnya money politic, (2) merencanakan dan penyusunan program. Tahap ini KPUD Bantul membuat perencanaan pendidikan kepada masyarakat untuk tidak mudah dibujuk dengan uang atau money politics. Selain itu, usaha mengedukasi tidak hanya dilakukan dengan
170
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
masyarakat tapi juga kepada partai politik; (3) melakukan tindakan dan berkomunikasi. Pada tahap ini, KPU melakukan upaya persuasi dalam rangka mengendalikan isu tentang money politic. Upaya ini dilakukan melalui sarana silaturahmi dengan tokoh-tokoh politik. Secara rinci Wiryawan menyebutkan demikian: “Pengalaman pemilu legislative, kita menggunakan cara-cara persuasif. Kebetulan saya dan teman-teman di KPU kenal dengan tokoh-tokoh politik. Artinya kemudian kita mengadakan acara silaturahmi ke partai lalu memberikan pelayanan terbaik ke partai. Misalnya ada persoalan-persoalan kita bantu. Ternyata dengan adanya kearifan local seperti ini juga membantu proses berikutnya. Ketika kita sudah saling akrab dan percaya, itu tampaknya membantu dengan cara mengintensifkan komunikasi.” (Budi Wiryawan, wawancara 11 Maret 2009)
Tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi.Tahapan ini menghasilkan data yang menyebutkan bahwa hanya sedikit masyarakat Bantul yang golput. Ini terbukti dengan partisipasi masyarakat yang mencapai 85%.
Di sisi lain, KPUD Kodya Yogyakarta mengadopsi esensi manajemen isu yang kedua, yaitu respon strategis yang didesain untuk mengurangi dan memperbesar konsekuensi dari isu. Hal ini dilakukannya dengan proses berikut: (1) menentukan masalah. Dari proses ini ditemukan fakta di lapangan bahwa banyak pendapat dari masyarakat pilkada seharusnya dihentikan karena situasinya tidak kondusif. Ada juga yang mengatakan sebaiknya pilkada ditunda sampai 1 tahun, atau harus segera ada pemimpin yang nantinya akan me-recovery gempa. Sehingga di antara dua kutub pendapat yang beragam ini itu, KPUD harus menentukan sikap. Muhajir dalam wawancara menjelaskan bagaimana wacana yang muncul sebagai akibat dari gempa yang terjadi di DIY. “Awalnya pemungutan suara itu akan diadakan 16 Juli, tapi karena ada gempa diundur menjadi 13 Agustus. Ketika kita tunda, itu tidak bisa terlaksana lagi karena hanya ada 1 calon yang mendaftarkan diri. Jadi penundaan itu terjadi 2 kali. Sebenarnya sebelum terjadi gempa, keadaan sudah sangat kondusif. Namun begitu ada gempa,
171
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
muncul berbagai kepentingan politik yang akhirnya mengacaukan proses pilkada.” (Rahmat Muhajir, wawancara 20 Februari 2009)
Tahap berikutnya adalah membuat perencanaan dan penyusunan program. Dalam tahap ini KPUD Kodya Yogyakarta memberikan rancangan alternatif kepada kedua belah pasangan calon mengenai pelaksanaan pilkada susulan. Selanjutnya dilakukan tindakan dan komunikasi tentang sikap KPUD Kodya Yogyakarta terhadap isuisu yang berkembang tentang pelaksanaan Pilkada. Komunikasi dilakukan dengan mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh partai dan para calon, untuk membuat keputusan bersama yang memiliki resiko politik yang paling kecil. Tahap terakhir adalah melakukan evaluasi. Hasil evaluasi menyebutkan bahwa komunikasi yang dijalankan berhasil, ditunjukkan dengan penentuan waktu Pilkada yang disepakati bersama dan tidak melampaui tahun 2006.
Merujuk pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen isu yang dilakukan oleh KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogyakarta saling bertolak belakang. Hal ini disebabkan karena perbedaan isu yang muncul di antara keduanya. Di KPU Bantul isu belum sempat berkembang, sehingga mereka memakai cara identifikasi dini atas isu yang berpotensi mempengaruhi organisasi. Berbeda dengan KPUD Kodya Yogyakarta di mana isu mengenai penundaan jadwal pilkada selama satu tahun, sempat berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, KPUD Kodya Yogyakarta bukan lagi hanya melakukan identifikasi dini, melainkan sudah mendesain respon strategis untuk mengurangi konsekuensi dari isu tersebut.
6. Hubungan investor. Di sini komunitas keuangan dari KPUD Bantul dan Yogyakarta adalah pihak pemerintah yang menyediakan anggaran dari APBD. Hubungan KPUD dengan pemerintah mengenai masalah keuangan sebatas pemberian laporan terhadap keuangan yang digunakan untuk sosialisasi dan pelaksanaan pilkada. KPUD tidak berhubungan dengan pihak lain di luar pemerintah daerah karena KPUD hanya pelaksana dari pilkada. Fungsi-fungsi PR di atas dijalankan oleh KPUD Bantul dan KPUD 172
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
Kodya Yogyakarta sebagai bentuk-bentuk sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah. Namun ada satu fungsi yang tidak dijalankan, yaitu lobbying. Lobbying diartikan sebagai fungsi yang menjaga dan memelihara hubungan dengan pemerintah dengan tujuan mempengaruhi penyusunan undang-undang. Sedangkan pada prakteknya, undangundang tersebut dibuat oleh pemerintah dan KPU yang merupakan organisasi otonomi pemerintah hanya bertugas melaksanakan undangundang yang sudah berlaku. Semua hal yang dilakukan oleh KPU bertumpu pada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam sosialisasi pilkada, masing-masing KPUD menjalankan fungsi PR, walaupun tidak ada departemen PR atau Bagian Kehumasan pada struktur organisasinya. Hampir semua fungsi PR yang disebutkan oleh Cutlip dan Center, dijalankan oleh KPUD baik Bantul maupun Kodya Yogyakarta, kecuali aktivitas lobbying. Lobbying diartikan sebagai fungsi yang menjaga dan memelihara hubungan dengan pemerintah dengan tujuan mempengaruhi penyusunan undang-undang. Hal ini disebabkan pada kasus pemilihan kepala daerah ini undang-undang tersebut dibuat oleh pemerintah dan KPU yang merupakan organisasi otonomi pemerintah hanya bertugas melaksanakan undang-undang yang sudah berlaku. Sekalipun fungsi-fungsi PR dalam sosialisasi pilkada yang dijalankan di KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogyakarta relatif tidak berbeda namun hal-hal yang melatarbelakangi pemfungsian tersebut ternyata berbeda. Sebagai contoh adalah manajemen isu, KPUD Kodya Yogyakarta menggunakan respon strategis karena isu sudah terlanjur berkembang, sedangkan KPUD Bantul lebih memilih menggunakan identifikasi dini karena belum ada isu yang berkembang dan mencegah supaya isu itu tidak berkembang. Pilihan penggunaan media sosialisasi juga berbeda. KPUD Bantul memilih mengoptimalkan penggunaan media radio dan surat kabar, sedangkan KPU Kodya lebih banyak menggunakan media televisi. Format event pun berbeda antara KPUD Bantul dengan KPUD Kodya Yogyakarta. 173
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
Bantul memilih debat antarkandidat yang cenderung bersifat linier yang menempatkan masyarakat sebagai penonton, sedangkan KPUD Kodya Yogyakarta memilih format dialog interaktif yang memberi peluang masyarakat untuk turut terlibat dalam menyampaikan opininya. Pilihan-pilihan yang berbeda ini dapat dikaitkan dengan karakteristik penduduk di kedua daerah tersebut yang relatif berbeda. Masyarakat Bantul memiliki karakter yang diasosiasikan sebagai karakter penduduk pedesaan (rural) sedangkan masyarakat Kodya Yogyakarta dihubungkan dengan karakter masyarakat kota (urban). Di pedesaan, masyarakat dihubungkan dengan hal-hal yang masih bersifat tradisional, konvensional dan sulit untuk mengakomodasi atau beradaptasi dengan perubahan teknologi, termasuk teknologi komunikasi. Sedangkan masyarakat perkotaan dihubungkan dengan karakter yang adaptif terhadap inovasi, dinamis dan terbuka. Karakter yang berbeda dari desa dan kota adalah budaya kolektif. Masyarakat pedesaan cenderung lebih suka menjadi bagian dari sekelompok besar masyarakat, sedangkan masyarakat perkotaan cenderung lebih individualis. Populasi yang besar dan padat pada masyarakat kota juga menjadi pembeda yang khas dibandingkan dengan populasi pedesaan. Berdasarkan perbedaan karakteristik ini, secara teoritik dapat diasumsikan akan berimplikasi pada pilihanpilihan atas fungsi Public Relations. Persamaan yang terdapat pada KPUD Bantul dan KPU Kodya Yogyakarta hanyalah pada peraturan dan cara sosialisasi karena pada dasarnya peraturan mengenai pilkada beserta sosialisasinya diatur oleh pemerintah dan KPU Pusat. Namun fungsi-fungsi PR dalam sosialisasi berbeda satu sama lain karena perbedaan karakteristik masingmasing daerah yang menyebabkan fungsi-fungsi PR harus dilaksanakan berdasarkan karakteristik masing-masing daerah. Misalnya ada persamaan fungsi-fungsi PR dalam sosialisasi pilkada di Bantul dan Yogyakarta, disebabkan karena mengadopsi dari KPU Pusat. Merujuk pada penjelasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa pilihan fungsi-fungsi Public Relations oleh KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogyakarta disesuaikan dengan karakteristik daerah dan masyarakatnya masing-masing. Perbedaan fungsi-fungsi PR dalam 174
Emma Octavia Purwandari, Perbedaan Fungsi-fungsi Public Relations ...
sosialisasi dapat dikaitkan dengan perbedaan karakteristik target program sosialisasi. Namun di sisi lain ditemukan fakta bahwa sekalipun pilihan fungsifungsi PR dalam sosialisasi tersebut telah disesuaikan karakter target program, efektivitas fungsi-fungsi PR itu ternyata berbeda. Partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan kepada daerah di Bantul ternyata jauh lebih tinggi dibanding Kodya Yogyakarta. Masyarakat Bantul yang berpartisipasi dalam Pilkada adalah sebanyak 85% dari total pemilih terdaftar, sedangkan di Kodya Yogyakarta hanya 52%. Padahal salah satu ukuran utama keberhasilan sosialisasi pilkada adalah besarnya partisipasi dari masyarakat. Perbedaan tingkat partisipasi ini oleh karena itu tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan pilihan-pilihan aktivitas Public Relations (PR) yang dilakukan KPUD Bantul dan KPUD Kodya Yogayakarta. Hal ini berarti PR bukan hal yang menentukan secara langsung pada peningkatan partisipasi politik. Faktor utama yang mendorong tingkat partisipasi politik adalah karakteristik penduduk atau pemilih itu sendiri. Perilaku pemilih di kota cenderung apatis pada pemilihan umum sebagai salah satu aktivitas politik. Apatisme ini muncul dikaitkan dengan rasionalitas masyarakat kota yang melihat pemilu sebagai sesuatu yang korup dan manipulatif. Sebaliknya, masyarakat desa yang diasumsikan partisipasinya lebih kecil karena kelas sosial yang rendah dan keadaan demografis yang tidak mendukung, ternyata justru memiliki derajat partisipasi yang tinggi. Motivasi pribadi dan kebersamaan ternyata lebih dapat mempengaruhi derajat berpartisipasi dalam aktivitas politik. Namun demikian, merujuk pada hasil penelitian ini tidak kemudian berarti bahwa sosialisasi politik dengan menjalankan beberapa fungsi Public Relations itu tidak penting atau tidak ada gunanya. Untuk masyarakat dengan apatisme dan rasionalitas yang tinggi, fungsi PR seharusnya bukan ditujukan untuk meningkatkan partisipasi memilih atau memberikan suara dalam pemilihan umum, tetapi lebih tepat untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik tentang manfaat positif berpartisipasi dalam pemilu. Oleh karena itu, pilihan-pilihan fungsi PR dan strategi pesan serta pilihan media harus disesuaikan dengan tujuan tersebut. 175
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 155-176
DAFTAR PUSTAKA Cutlip, Center, Broom. 2005. Effective Public Relations (8th edition). Jakarta: Indeks. _____, 2006. Effective Public Relations (9th edition). Jakarta: Indeks. Hardiman, Ima. 2006. 400 Istilah Public Relations Media & Periklanan. Jakarta: Gagas Ulung. Morissan. 2006. Pengantar Public Relations (Strategi menjadi Humas Profesional). Jakarta: Ramdina Prakasa. Ruslan, Rosady. 1995. Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra. Jakarta: Ghalia Indonesia. _____, Rosady. 1998. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Subyantoro, Arief. 2006. Metode dan Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: LPFE-UI. Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
176
Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship Management terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan (Studi Kegiatan Divisi Retensi dalam Pelaksanaan Loyalty Program “Im3@School Community” pada PT Indosat Tbk. Kantor Cabang Malang)
Hesti Kartika Sari1 Abstract: The objective of this research is to analyze the influence of Loyalty Program in Customer Relationship Management (CRM) toward satisfaction and loyalty of PT Indosat Tbk. Malang Branch costumers. Loyalty Program is one of the customer retention’s strategies from PT Indosat Tbk. that belongs to development and application process of Customer Relationship Management (CRM). Dealing with that, a corporate could design a Loyalty Program that appropriate with their customers. This program will be very helpful for corporate to increase their customers’ satisfaction, and loyalty, and also to keep their customers influenced by others competitor’s offered. The data in this research analyzed by using linier regression analysis and the result of analysis shows that there are significant influence of Loyalty Program in Customer Relationship Management (CRM) toward costumer satisfaction and customer loyalty of PT Indosat Tbk. Malang Branch; and there are significant influence of satisfaction toward loyalty of PT Indosat Tbk. Malang Branch customers. Indeed, to produce loyal customer there is a need of strategy and has done by PT Indosat Tbk. through application of Customer Relationship Management with the highlight in Loyalty Program. This strategy proved could increase corporate business performs by increasing customer satisfaction and in the end could make the loyalty grow in them. Key words : Loyalty Program, Satisfaction, and Loyalty 1 Hesti Kartika Sari adalah alumni Peminatan Public Relation, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang
177
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
Para pelanggan dewasa ini lebih kritis dan teliti daripada sebelumnya. Pelanggan yang memiliki uang untuk membeli produk dan jasa yang perusahaan tawarkan. Mereka berhak mendapatkan yang terbaik dari uang yang mereka belanjakan. Jika mereka tidak senang dengan produk ataupun pelayanan yang diberikan, akan mudah sekali bagi mereka untuk berpindah ke perusahaan lain (Institute of Customer Service dalam Foster, 2002:5). Kebanyakan teori dan praktek pemasaran lebih berpusat pada seni menarik pelanggan baru daripada mempertahankan dan mengembangbiakkan pelanggan yang sudah ada. Penekanan biasanya pada penjualan dan bukannya pada relasi, pada pra penjualan serta penjualan dan bukan pada perhatian terhadap pelanggan sesudah penjualan (Kotler, 2005:84). Kepuasan pelanggan diperlukan bagi kesuksesan bisnis. Namun kepuasan saja tidak cukup untuk membangun atau membentuk basis pelanggan yang loyal. Pada tahun 1980-1990-an, kepuasan pelanggan merupakan semboyan bisnis. Setiap orang sibuk mencari cara untuk membahagiakan pelanggan dengan memenuhi dan bahkan melebihi harapan mereka. Secara teoritis, bila para pelanggan merasa puas, mereka membeli lebih banyak dan lebih sering. Buku, artikel, dan seminar mengemukakan kata-kata seperti customer service, service quality, dan service excellence. Di belakang semua ini terdapat anggapan bahwa kepuasan pelanggan akan meningkatkan pendapatan, khususnya dari pembelian ulang. Tetapi penelitian yang terakhir menunjukkan hal yang berbeda: tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi belum tentu menghasilkan pembelian berulang dan peningkatan penjualan (Griffin, 2003:2). Tom Duncan dalam bukunya Integrated Marketing Communications (2002:33) menyebutkan bahwa sebuah perusahaan yang berorientasi pada Customer Relationship Management (CRM) lebih fokus pada pengelolaan dan pertumbuhan customer yang sudah ada untuk keuntungan jangka panjang, mereka paham bahwa lebih murah dan lebih menguntungkan untuk meningkatkan penjualan dari customer yang telah ada (telah dimiliki) daripada terus-menerus mencari customer baru. Program customer retention menjadi salah satu inti utama dari aktivitas Customer Relationship Management (CRM), sedangkan salah satu penerapan strategi customer retention adalah dengan Loyalty 178
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
Program (program loyalitas). Berhubungan dengan hal tersebut, perusahaan dapat mendesain loyalty program yang sesuai untuk pelanggannya. Program loyalitas ini akan sangat membantu perusahaan dalam mempertahankan pelanggan, meningkatkan kepuasan, dan menjaga agar pelanggan tidak tergiur oleh berbagai tawaran yang diberikan oleh kompetitor lain. Majunya perkembangan di bidang teknologi dan informasi pada saat ini ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan yang menghasilkan berbagai produk komunikasi diikuti dengan perubahan kebutuhan dan selera konsumen yang semakin dinamis, membuat perusahaan penyedia jasa komunikasi berlomba untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Semakin banyak perusahaan-perusahaan tersebut akan mempertajam tingkat persaingan terutama bagi perusahaan-perusahaan sejenis. Bermunculannya berbagai provider baru berdampak pada semakin ketatnya persaingan bisnis, terutama dalam menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. PT Indosat Tbk. sendiri adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang penyedia jasa layanan selular (provider selular) di Indonesia. Salah satu program yang dilakukan PT Indosat Tbk untuk maintenance atau mengelola pelanggan adalah dengan pembentukan IM3@School Community. Perusahaan yang fokus pada pengelolaan pelanggan yang telah ada menjadi hal yang menarik untuk diteliti, melihat bahwa saat ini banyak provider selular yang mengadakan promosi untuk mendapatkan pelanggan baru sebanyak mungkin. Penelitian ini meliputi analisa mengenai efektivitas maintenance pelanggan dengan menggunakan Loyalty Program dalam Customer Relationship Management (CRM) terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui pengaruh Loyalty Program dalam Customer Relationship Management (CRM) terhadap kepuasan pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang; 2) untuk mengetahui pengaruh Loyalty Program dalam Customer Relationship Management (CRM) terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang; dan 3) untuk mengetahui pengaruh kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang.
179
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
MARKETING PUBLIC RELATIONS (MPR) Marketing Public Relations (MPR) merupakan perpaduan pelaksanaan program dan strategi pemasaran dengan aktivitas program kerja Public Relations. Thomas L Harris dalam bukunya The Marketer’s Guide to Public Relation (Harris, 1991:13) mengatakan Marketing Public Relations (MPR) adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program-program yang dapat merangsang pembelian atau kepuasan konsumen melalui komunikasi mengenai informasi yang dapat dipercaya dan melalui kesan-kesan positif yang ditimbulkan dan berkaitan dengan identitas perusahaan atau produknya sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan kepentingan bagi para konsumennya. Marketing Public Relations (MPR) juga merupakan suatu kegiatan Public Relations yang dirancang untuk mendukung tujuan pemasaran yang berorientasi kepada pelanggan dengan cara mengidentifikasi, membangun, dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan dengan pelanggan melalui komunikasi informasi yang kredibel serta kesan yang dapat mengidentifikasikan perusahaan dengan produknya berdasarkan keinginan dan kebutuhan pelanggan sehingga dapat meningkatkan loyalitas (Gaffar, 2007:94). Dalam kegiatannya untuk mempertahankan hubungan dengan pelanggan atau bisa disebut juga perawatan pelanggan (customer retention), salah satu strategi yang bisa digunakan Marketing Public Relations (MPR) adalah dengan menerapkan strategi Customer Relationship Management (CRM). CUSTOMER RELATIONSHIP MANAGEMENT (CRM) Brown dan Rigby, Reincheld, Dawson (dalam Gaffar, 2007:87) mengungkapkan bahwa Customer Relationship Management (CRM) merupakan suatu proses mendapatkan, mempertahankan, dan mengembangkan pelanggan yang menguntungkan dan memerlukan suatu fokus yang jelas terhadap atribut suatu jasa yang dapat menghasilkan nilai kepada pelanggan sehingga dapat menghasilkan loyalitas. Jadi di sini Customer Relationship Management (CRM) bukanlah suatu konsep atau proyek, melainkan suatu strategi bisnis yang bertujuan untuk memahami, mengantisipasi, dan mengelola kebutuhan pelanggan yang ada dan pelanggan potensial dari suatu organisasi. 180
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
Menurut Storbacka dan Lehitnen (dalam Gaffar, 2007:35) fokus dari Customer Relationship Management (CRM) itu sendiri adalah untuk memperbaiki tingkat kepuasan pelanggan, meningkatkan loyalitas pelanggan dan meningkatkan pendapatan dari pelanggan yang ada, dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan, globalisasi dan perputaran pelanggan serta perkembangan biaya pengakuisisian pelanggan. Francis Buttle (Buttle, 2004:57) menyebutkan bahwa tujuan utama yang ingin dicapai oleh semua strategi Customer Relationship Management (CRM) adalah untuk mengembangkan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan. CUSTOMER RETENTION Perawatan pelanggan merupakan tujuan strategis untuk mengupayakan pemeliharaan hubungan jangka panjang dengan pelanggan (Buttle, 2004:371). Program customer retention menjadi salah satu inti utama dari aktivitas Customer Relationship Management (CRM). Paradigma dan cara berpikir perusahaan tidak lagi didominasi pada bagaimana cara mendapatkan pelanggan baru, tetapi lebih ke arah bagaimana mempertahankan pelanggan lama. LOYALTY PROGRAM Salah satu penerapan strategi perawatan pelanggan (customer retention) adalah melalui Loyalty Program (program loyalitas). Berhubungan dengan hal tersebut, perusahaan dapat mendesain Loyalty Program yang sesuai untuk pelanggannya. Program loyalitas ini akan sangat membantu perusahaan dalam mempertahankan pelanggan, meningkatkan kepuasan, dan menjaga agar pelanggan tidak tergiur oleh berbagai tawaran yang diberikan oleh kompetitor lain. Francis Buttle mengungkapkan bahwa Loyalty Program yang sukses adalah Loyalty Program yang mampu memberikan lima jenis nilai bagi pelanggan, yaitu: 1. Nilai uang. Berapa banyak penghargaan yang bisa dinilai dengan uang jika dibandingkan dengan uang yang dibelanjakan untuk mendapatkannya. 181
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
2. Nilai penebusan. Seberapa banyak penghargaan yang ditawarkan. 3. Nilai aspirasional. Seberapa besar pelanggan ingin mendapatkan penghargaannya. 4. Nilai relevansi. Seberapa mudah penghargaan tersebut dijangkau oleh pelanggan. 5. Nilai kenyamanan. Seberapa mudah mengumpulkan kredit dan menukarnya dengan hadiah. KEPUASAN PELANGGAN Dari keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada akhirnya akan bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh pelanggan mengenai kepuasan yang dirasakan. Kepuasan merupakan tingkat perasaan di mana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk (jasa) yang diterima dan diharapkan (Lupiyoadi dan A Hamdani, 2006:192). Francis Buttle mengungkapkan bahwa Customer Relationship Management (CRM) dijalankan karena sistem ini dapat meningkatkan performa bisnis perusahaan dengan cara meningkatkan kepuasan pelanggan dan pada gilirannya menumbuhkan kesetiaan mereka. Gambar 1. Kepuasan dan kesetiaan pelanggan serta performa bisnis (Buttle, 2006:29)
Model tersebut menunjukkan logika yang sangat meyakinkan dan dijuluki satisfaction-profit-chain. Kepuasan akan meningkat karena informasi yang mendalam tentang konsumen membuat perusahaan lebih memahami mereka sehingga meningkatkan pula nilai konsumen
182
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
di mata perusahaan. Dengan naiknya tingkat kepuasan konsumen, akan meningkat pula kecenderungan konsumen untuk kembali membeli produk yang ditawarkan perusahaan. Pada gilirannya, kondisi ini akan mempengaruhi perilaku beli konsumen dan berdampak sangat signifikan terhadap performa bisnis perusahaan (Buttle, 2006:29). LOYALITAS PELANGGAN Loyalitas pelanggan atau istilah lainnya kesetiaan merek (brand loyalty) didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pelanggan menunjukkan sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tertentu, dan berniat untuk terus membelinya di masa depan. Kesetiaan merek dipengaruhi secara langsung oleh kepuasan/ ketidakpuasan dengan merek yang telah diakumulasi dalam jangka waktu tertentu sebagaimana persepsi kualitas produk. Karena empat sampai enam kali lebih murah untuk mempertahankan pelanggan lama daripada memperoleh yang baru, maka para manajer harus memberi prioritas tertinggi pada penciptaan strategi yang membangun dan mempertahankan kesetiaan merek (Mowen dan Minor, 2001:108). Namun tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi belum tentu berlanjut menjadi pembelian ulang dan peningkatan penjualan. Berbeda dengan kepuasan pelanggan yang lebih banyak berhubungan dengan sikap, konsep loyalitas pelanggan lebih banyak dikaitkan dengan perilaku (behavior) (Griffin, 2003:5). Loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan perilaku membeli. Atribut loyalitas pelanggan menurut Griffin (2003:31), meliputi: 1. Makes regular repeat purchase (Melakukan pembelian ulang secara teratur) 2. Purchase across product and service lines (Membeli antarlini produk dan jasa) 3. Refers others (Mereferensikan terhadap orang lain) 4. Demonstrate an immunity to the pull of the competition (Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan pesaing)
183
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
SOCIAL EXCHANGE THEORY Teori ini dikembangkan oleh John Thibault dan Harold Kelley (Lattimore, 2004:52), Social Exchange Theory menggunakan pandangan ekonomi mengenai biaya dan keuntungan untuk memprediksi perilaku. Teori ini berasumsi bahwa individu dan grup memilih strategi berdasarkan pada penerimaan reward dan biaya. Secara umum, seseorang ingin menjaga biaya yang mereka keluarkan tetap rendah namun memperoleh reward yang tinggi. Taylor dan Altman (dalam West and Turner, 2004:179), berasumsi bahwa hubungan dapat dikonseptualisasikan dalam istilah reward dan cost (keuntungan dan biaya). Reward adalah keadaan relasional atau perilaku yang menimbulkan kepuasan, kebahagiaan, dan kepuasan hati pihak-pihak yang berhubungan. Sedangkan biaya adalah keadaan relasional atau perilaku yang menimbulkan perasaan negatif. Singkatnya, jika suatu hubungan menawarkan lebih banyak reward dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan, individu akan lebih senang tetap tinggal dalam hubungan tersebut. Demikian juga sebaliknya, jika individu tersebut merasa lebih banyak biaya yang dikeluarkan daripada reward yang diperoleh, ia akan meninggalkan hubungan tersebut. Taylor dan Altman juga menyebutkan bahwa reward dan biaya memiliki hubungan yang konsisten dengan kepuasan personal dan kebutuhan sosial. METODE PENELITIAN a. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1) Ada pengaruh antara Loyalty Program dalam Customer Relationship Management terhadap kepuasan pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang; 2) Ada pengaruh antara Loyalty Program dalam Customer Relationship Management terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang; 3) Ada pengaruh antara kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang.
184
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
b. Definisi Operasional Definisi operasional masing-masing variabel yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Loyalty Program (X) adalah penghargaan yang diberikan kepada pelanggan karena langganannya. Francis Buttle mengungkapkan bahwa Loyalty Program yang sukses adalah Loyalty Program yang mampu memberikan lima jenis nilai bagi pelanggan. Indikator efektivitas Loyalty Program IM3@School Community dalam memberikan lima jenis nilai tersebut, yaitu: a. Nilai Uang (X1), dimana nilai uang adalah berapa banyak penghargaan yang bisa dinilai dengan uang jika dibandingkan dengan uang yang dibelanjakan untuk mendapatkannya. b. Nilai Penebusan (X2), dimana nilai penebusan adalah seberapa banyak penghargaan yang ditawarkan. c. Nilai Aspirasional (X3), dimana nilai aspirasional adalah seberapa besar pelanggan ingin mendapatkan penghargaannya. d. Nilai Relevansi (X4), dimana nilai relevansi adalah seberapa mudah penghargaan tersebut dijangkau oleh pelanggan. e. Nilai Kenyamanan (X5) adalah seberapa mudah mengumpulkan kredit dan menukarnya dengan hadiah. 2. Variabel kepuasan (Z) adalah tingkat perasaan seseorang setelah mengevaluasi produk atau jasa secara keseluruhan dengan membandingkan kinerja yang dirasa dengan harapan berdasarkan program retensi yang telah diterima. Pada penelitian ini dimanifestasikan dalam tingkat kepuasan pelanggan setelah Loyalty Program diterima. Penilaian didasarkan pada kepuasan pelanggan terhadap lima jenis nilai yang telah diterima dari Loyalty Program IM3@School Community. 3. Variabel loyalitas pelanggan (Y) adalah komitmen pelanggan berdasarkan sikap positif yang tercermin dalam penggunaan produk Indosat yang konsisten. Pada penelitian ini dimanifestasikan berdasarkan perilaku membeli. Menurut Griffin, pelanggan yang loyal adalah orang yang: a) Melakukan pembelian ulang secara teratur; b) Membeli antarlini produk dan jasa; c) Mereferensikan terhadap orang lain; dan d) Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan pesaing. 185
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
c. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif bertujuan untuk penjelasan (explanatory research). Metode yang
digunakan adalah survey, di mana metode survey ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner. d. Lokasi Penelitian, Populasi dan Pengambilan Sampel Penelitian dilakukan di PT Indosat Tbk, Cabang Malang. Populasi penelitian ini adalah seluruh pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang yang terdaftar menjadi anggota School Community pada periode Januari 2008 hingga Desember 2008. Jumlah pelanggan PT Indosat Tbk Cabang Malang anggota IM3@School Community yang menjadi populasi penelitian adalah 17.614. Penentuan jumlah responden dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan pendekatan Slovin dengan persen kelonggaran kesalahan adalah 10% sebagai batas maksimumnya. Berdasarkan penghitungan menggunakan rumus tersebut, maka sampel penelitian ini berjumlah 100 responden. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel Non Probability. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Purpossive sampling yaitu respoden yang dijadikan sampel dipilih atas dasar kriteria-kriteria tertentu (Kriyantono, 2006:152). Adapun kriteria yang digunakan untuk pengambilan sampel pada penelitian ini adalah: (1) Pelanggan yang menggunakan produk IM3 dari Indosat, baik pelanggan lama maupun pelanggan baru, dan (2) Pelanggan yang terdaftar menjadi anggota IM3@School Community di kota Malang.
e. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari responden yaitu pelanggan PT Indosat Tbk Cabang Malang yang menggunakan produk Indosat dan menjadi anggota IM3@School Community dan wawancara dengan pihak Indosat Cabang Malang. Selain itu penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari foto, dokumen dan arsip perusahaan, PT Indosat Tbk Kantor Cabang Malang. 186
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
f. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner berisi daftar pernyataan tertulis yang dikembangkan berdasarkan indikatorindikator penelitian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban, sangat setuju diberi skor 5, setuju diberi skor 4, tidak tahu diberi skor 3, tidak setuju diberi skor 2, dan sangat tidak setuju diberi skor 1. g. Identifikasi dan Pengukuran Variabel Penelitian Sesuai dengan landasan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, maka variabel-variabel penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1) Variabel independen (bebas) X yaitu: Program Loyalitas (X); 2) Variabel dependen (terikat) Y yaitu: Loyalitas (Y); 3) Variabel antara Z yaitu: Kepuasan (Z) Untuk mengurangi munculnya masalah dalam pengisian kuesioner, maka dilakukan uji validitas dan reabilitas. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat itu mengukur apa yang ingin diukur. Untuk mengukur validitas digunakan rumus Pearson Product Moment yang dilanjutkan dengan Uji-t. Reliabilitas adalah angka indeks yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur gejala yang sama. Rumus reliabilitas yang digunakan adalah rumus Alpha. h. Metode Analisis Data Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisa regresi sederhana. Analisis regresi dilakukan jika korelasi antara dua variabel mempunyai hubungan kausal (sebab akibat) dan hubungan fungsional. Semua penghitungan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer (software) program SPSS versi 15 for Windows dan program Minitab 14. HASIL DAN PEMBAHASAN Loyalty Program yang dilakukan oleh PT Indosat Tbk. Kantor Cabang Malang adalah IM3@School Community yang bersifat pengelolaan pelanggan secara massal di mana dalam satu sekolah 187
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
dibentuk komunitas pengguna IM3 dengan berbagai fasilitas tambahan yang bisa dinikmati. Program ini bersifat kerjasama, di mana sekolah diajak bergabung menjadi partner dan bukan hanya menjadi market produk. Hubungan saling menguntungkan dibentuk melalui MoU yang telah disepakati kedua belah pihak. Meskipun IM3@School Community adalah Loyalty Program yang bekerja sama dengan pihak sekolah, namun sasaran utama dari program ini adalah siswa sekolah tersebut. Jadi fokus programnya adalah siswa dan warga sekolah secara individu. Dalam Loyalty Program ini sekolah sebagai fasilitator antara PT Indosat Tbk dengan pelanggannya yang mayoritas adalah pelajar SMP, SMA, dan Mahasiswa. Sebenarnya IM3@School Community adalah program lama yang diperbarui dan dimodifikasi. Program ini adalah pengembangan dari “program sms gratis CS-an” yang normalnya hanya bisa digunakan ke dua nomor IM3 yang telah didaftarkan. Namun CS-an dalam satu Community ini berbasis pada database Indosat. Jadi hanya nomornomor IM3 dalam satu sekolah yang terdaftar dalam database saja yang bisa menikmati berbagai fasilitas tambahan dari program School Community. a. Karakteristik Responden Pembahasan ini didahului dengan pemaparan karakteristik responden yang akan memberikan gambaran tentang responden. Berdasarkan jawaban responden pada kuesioner yang disebarkan pada pelanggan PT Indosat cabang Malang anggota IM3@School Community, maka diperoleh bukti bahwa mayoritas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang yang menjadi anggota IM3@School Community adalah wanita yang berusia 16 – 18 tahun, memiliki pendidikan SMA, telah menggunakan layanan IM3 selama lebih dari 6 bulan, dan dengan nominal pengisian pulsa sebanyak lebih dari Rp 30.000 dalam satu bulan. b. Analisis Data Deskriptif Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk menginterpretasikan distribusi jawaban responden dalam penelitian ini.
188
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
1. Variabel Loyalty Program (X) a. Nilai Uang (X1)
Berdasarkan hasil rata-rata bahwa 100 responden yang menjawab pernyataan tentang nilai uang yang mereka terima, rerata tertinggi pada item 2 yaitu 3,95 berarti pelanggan anggota IM3@School Community berpendapat bahwa SMSan gratis sepuasnya ke semua teman satu sekolah dengan IM3 CS-an menguntungkan mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33), di mana salah satu implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik adalah mengusahakan tidak ada yang kalah (play win-win), dalam pelaksanaan program loyalitas pelanggan. Untuk terus unggul dan dapat mempertahankan pelanggannya perusahaan harus berusaha menambah nilai yang mereka ciptakan. Artinya harus menambah manfaat atau mengurangi pengorbanan yang dialami oleh pelanggan. Mengingat hal itu terjadi dalam lingkungan yang kompetitif maka tidak harus sejalan dengan kebutuhan pelanggan tetapi juga harus mengikuti perkembangan usaha pesaing dalam melayani pelanggan (Buttle, 2004:287). Tabel 1. Distribusi Frekuensi Item-item Indikator Nilai Uang (X1) No.
Pernyataan
Mean
1.
Biaya/ pulsa yang dikeluarkan pelanggan untuk menikmati IM3 CSan tidak mahal
3.65
2.
SMSan gratis sepuasnya ke semua teman satu sekolah dengan IM3 CSan menguntungkan pelanggan
3.95
3.
Biaya/ pulsa yang dikeluarkan pelanggan untuk SMS CSan sesuai dengan keuntungan yang diperoleh
3.67
Rata-rata
3.75
189
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Item-item Indikator Nilai Penebusan (X2) No.
Pernyataan
Mean
1.
Selain SMS CSan pelanggan mendapat keuntungan lain dengan menjadi anggota IM3@School Community
3.7
2.
SMSan gratis sepuasnya ke semua teman satu sekolah dengan IM3 CSan menguntungkan pelanggan
3.96
3.
Indosat memberikan informasi tentang berbagai keuntungan baru kepada pelanggan secara teratur dengan keuntungan yang diperoleh
3.92
Rata-rata
3.86
b. Nilai Penebusan (X2)
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang nilai penebusan dari Loyalty Program IM3@School Community, rerata tertinggi pada item 2 yaitu 3,96 berarti pelanggan menganggap Indosat memberikan keuntungan kepada sekolah yang bersangkutan. Hal ini bisa dilihat di mana Indosat sering menjadi sponsorship berbagai acara dan kegiatan sekolah yang menjadi anggota IM3@School Community. Branding lapangan basket dan voli akan dilakukan jika sekolah yang bersangkutan mengajukan proposal mengenai hal tersebut. Begitu pula kursi berlogo Indosat untuk kantin di berbagai sekolah anggota community, akan diberikan sesuai kebutuhan sekolah yang bersangkutan. Bantuan dan branding kepada sekolah yang menjadi anggota Loyalty Program adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Sekolah yang bersangkutan akan memperoleh bantuan, dan PT Indosat Tbk. akan mendapat keuntungan promosi tidak langsung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33), di mana beberapa implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik adalah tidak sembarangan dalam memberikan reward, hanya transaksi yang membawa hasil yang mendapatkan point reward (reward the right result) dan mengusahakan untuk selalu mendengarkan kebutuhan dan keinginan pelanggan, kemudian berhatihati ketika menjanjikan sesuatu (listen hard, talk straight).
190
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
c. Nilai Aspirasional (X3)
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang nilai penebusan dari Loyalty Program IM3@School Community, rerata tertinggi pada item 1 yaitu 3,92 berarti pelanggan menganggap bahwa School Attack yang pernah dilakukan Indosat di sekolah responden menarik. School Attack yang dilakukan Indosat di sekolah-sekolah tidak hanya memperkenalkan program loyalitas saja, namun juga disertai berbagai games seru dengan hadiah berbagai merchandise Indosat yang menarik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Francis Buttle (2004:71) bahwa salah satu kondisi pendukung bagi penyampaian Customer Relationship Management (CRM) adalah proses. Dari perspektif Customer Relationship Management (CRM), proses perlu dirancang dan dioperasikan sehingga mereka berkontribusi bagi penciptaan nilai atau setidaknya tidak merusak nilai yang telah diciptakan bagi pelanggan. Kondisi tersebut berimplikasi pada efisiensi (biaya rendah) maupun efektivitas (penyampaian hasil yang diinginkan). Jika proses penyampaian dari suatu program dibuat dengan menarik maka pelanggan akan memberikan perhatian dan mereka akan tertarik untuk mengikuti program tersebut. Nykamp (dalam Gaffar, 2007:91) berpendapat bahwa Customer Relationship Management (CRM) pada intinya menyediakan nilai yang optimal kepada pelanggannya yang bertumpu pada produk fisik dan proses penyampaian jasa terhadap kebutuhan dan preferensi pelanggan secara individu dengan cara berkomunikasi dengan mereka. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Item-item Indikator Nilai Aspirasional (X3) No. Pernyataan
Mean
1.
School Attack yang pernah dilakukan Indosat di sekolah pelanggan menarik
3.92
2.
Pelanggan tertarik untuk menjadi anggota IM3@School Community karena keuntungan yang ditawarkan
3.6
3.
Pelanggan tidak keberatan menelepon dulu Rp. 2000 untuk mendapat SMS CSan gratis
3.83
Rata-rata
3.78
191
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Item-item Indikator Nilai Relevansi (X4) Mean
No.
Pernyataan
1.
Kemudahan untuk mendaftar menjadi anggota IM3@School Community 3.8
2.
Syarat dan ketentuan SMS CSan tidak rumit dan tidak membingungkan 3.84
3.
Indosat menginformasikan berbagai keuntungan anggota community dengan jelas kepada pelanggan
3.94
Rata-rata
3.86
d. Nilai Relevansi (X4)
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang nilai relevansi dari Loyalty Program IM3@School Community, rerata tertinggi pada item 3 yaitu 3,94 berarti pelanggan menganggap bahwa Indosat menginformasikan berbagai keuntungan anggota community dengan jelas kepada pelanggan. Dengan mengkomunikasikan manfaat kepada pelanggan maka pelanggan akan memperoleh informasi yang jelas mengenai Loyalty Program yang bisa mereka ikuti. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33), di mana salah satu implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik adalah mengkomunikasikan dulu manfaat kepada pelanggan sebelum mengajaknya bergabung (preach what you practice). Selain itu pelanggan juga menganggap bahwa mereka mudah untuk mendaftar menjadi anggota IM3@School Community. Salah satu faktor pendorong kepuasan pelanggan adalah kemudahan. Karena pelanggan akan merasa semakin puas apabila relatif mudah, nyaman dan efisien dalam mendapatkan produk atau pelayanan. Sesuai dengan pendapat Frederich Reincheld (dalam Kartajaya, 2007:33), di mana salah satu implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik adalah mengusahakan program loyalitas pelanggan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami (keep it simple) dan tidak membutuhkan pemahaman yang rumit.
192
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
e. Nilai Kenyamanan (X5) Tabel 5. Distribusi Frekuensi Item-item Indikator Nilai Kenyamanan (X5) No. Pernyataan
Mean 3,75
1
SMS CSan tidak sulit untuk diikuti dan dinikmati keuntungannya
2
Kenyamanan menikmati keuntungan lain yang ditawarkan tanpa syarat rumit, misal mengikuti bedah buku
3,8
3
IM3@School Community adalah program yang mudah diikuti dan memberi banyak keuntungan bagi pelanggan Rata-rata
3,86 3,80
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang nilai relevansi dari Loyalty Program IM3@School Community, rerata tertinggi pada item 3 yaitu 3,86 berarti pelanggan menganggap bahwa IM3@School Community adalah program yang mudah diikuti dan memberi banyak keuntungan bagi pelanggan. Jika pelanggan menilai suatu program loyalitas mudah diikuti dan mampu memberikan banyak keuntungan, maka akan semakin besar peluang pelanggan tersebut untuk semakin loyal dengan produk dan perusahaan. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33), di mana beberapa implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik adalah mengusahakan program loyalitas pelanggan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami (keep it simple) dan tidak membutuhkan pemahaman yang rumit, serta mengusahakan tidak ada yang kalah (play win-win), dalam pelaksanaan program loyalitas pelanggan. 2. Variabel Kepuasan (Z) Tabel 6. Distribusi Frekuensi Item-item Kepuasan (Z) No. Pernyataan 1. Saya puas dengan harga yang saya bayar untuk menikmati SMS CSan
Mean 3,73
2.
3,82
Saya puas dengan keuntungan yang diperoleh dengan menjadi anggota community
193
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
3.
Saya puas terhadap promosi yang dilakukan Indosat melalui School Attack di sekolah saya
3,86
4.
Saya puas terhadap kemudahan pendaftaran, syarat dan informasi yang diberikan Indosat mengenai IM3 CSan
3,9
5.
Saya puas dengan kemudahan untuk menikmati berbagai keuntungan yang 4,02 ditawarkan Indosat Rata-rata
3,86
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang kepuasan, rerata tertinggi pada item 5 yaitu 4,02 berarti kepuasan terhadap nilai kenyamanan Loyalty Program yang diterima adalah indikator pendukung variabel kepuasan. Apabila suatu program loyalitas dibuat sederhana maka pelanggan tidak akan kesulitan untuk mendapatkan reward-nya, dan itu berarti akan semakin besar peluang pelanggan untuk semakin puas dan pada akhirnya akan loyal terhadap produk dan perusahaan. Hal ini sesuai dengan panduan implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik, yang diungkapkan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33) di mana mengusahakan program loyalitas pelanggan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami (keep it simple) dan tidak membutuhkan pemahaman yang rumit. Konsumen akan membandingkan persepsi mereka atas kualitas produk setelah menggunakan produk tersebut sesuai dengan ekspektasi kinerja produk sebelum mereka membelinya. Hal itu tergantung pada bagaimana kinerja aktual dibandingkan dengan kinerja yang diharapkan, mereka akan mengalami emosi yang positif, negatif, atau netral. Tanggapan emosional ini bertindak sebagai masukan atau input dalam persepsi kepuasan/ketidakpuasan menyeluruh mereka. Kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan akan suatu produk (jasa) sebagai akhir dari suatu proses penjualan memberikan dampak tersendiri kepada perilaku pelanggan terhadap produk tersebut, di antaranya bagaimana perilaku pelanggan dalam melakukan pembelian kembali, bagaimana pelanggan dalam mengekspresikan produk yang dipakainya dan jasa yang diperolehnya, serta perilaku lain yang menggambarkan reaksi pelanggan atas produk dan jasa yang telah dirasakan.
194
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
3. Variabel Loyalitas (Y) Tabel 7. Distribusi Frekuensi Item-item Loyalitas (Y) No. Pernyataan
Mean 4,09
1
Kesediaan untuk terus menggunakan IM3 untuk berkomunikasi
2
Kesediaan untuk mencoba menggunakan produk Indosat yang lain misal StarOne/Mentari/Matrix/M2
3
Kesediaan merekomendasikan pada pihak lain tentang IM3
4
Kesediaan untuk tidak akan beralih menggunakan service provider lain meskipun dengan penawaran yang menarik
3,84
Rata-rata
3,9
3,91 3,76
Berdasarkan hasil rata-rata dari 100 responden yang menjawab pernyataan tentang kepuasan, rerata tertinggi pada item 1 yaitu 4,09 berarti kesediaan untuk terus menggunakan IM3 untuk berkomunikasi setelah Loyalty Program diterima sebagai indikator pendukung variabel loyalitas. Menurut Griffin (2003:31), hal ini menunjukkan bahwa pelanggan yang melakukan pembelian ulang secara berulang terhadap perusahaan yang sama dalam suatu periode tertentu adalah pelanggan yang loyal. Komitmen untuk membeli kembali merupakan sikap yang paling penting, bahkan lebih penting dari kepuasan. Tanpa pembeli berulang, tidak ada loyalitas. Motivasi untuk membeli kembali berasal dari lebih tingginya sikap positif yang ditunjukkan terhadap produk atau jasa tertentu, dibanding sikap positif terhadap produk atau jasa alternatif yang potensial. Keputusan membeli kembali seringkali merupakan langkah selanjutnya yang terjadi secara alamiah bila pelanggan telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan produk tertentu (Griffin, 2003:18). Berdasarkan penelitian ini, pelanggan juga bersedia untuk merekomendasikan kepada pihak lain tentang IM3. Berarti dengan disetujuinya atribut loyalitas ini, konsep utama dari Customer Relationship Management (CRM) telah tercapai. Tujuan dari pembentukan nilai Customer Relationship Management (CRM)(Gaffar, 2003:90) adalah bukan memaksimalkan keuntungan dari transaksi tunggal, tetapi membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan 195
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
serta memperbaiki tingkat kepuasan pelanggan, meningkatkan loyalitas pelanggan dengan mengubah pelanggan baru menjadi pelanggan regular hingga akhirnya dapat menjadi advokad yang aktif, serta meningkatkan pendapatan dari pelanggan yang ada dalam menghadapi persaingan yang tinggi dan berkembangnya biaya akuisisi pelanggan. c. Pengujian Hipotesis 1. Pengaruh Customer Relationship Management (CRM) melalui Loyalty Program (X) terhadap Kepuasan Pelanggan (Z)
The regression equation is Kepuasan (Z) = 5,46 + 0,243 Loyalty Program (X) Predictor Constant Loyalty Program (X) S = 1,71946
Coef 5,458 0,24256
R-Sq = 44,3%
SE Coef 1,581 0,02748
T 3,45 8,83
P 0,001 0,000
R-Sq(adj) = 43,7%
Untuk menguji pengaruh variabel Loyalty Program secara simultan terhadap kepuasan konsumen yang ditunjukkan oleh nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel. Analisis pengaruh Loyalty Program terhadap kepuasan diketahui dengan hasil uji F yang menunjukkan Fhitung = 77,919 dengan tingkat signifikasi F sebesar 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai Ftabel = 3,938 Fhitung > Ftabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Artinya Loyalty Program berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan. Pengujian pengaruh variabel Loyalty Program terhadap kepuasan pelanggan ditunjukkan oleh nilai koefisien dari variabel dengan thitung dibandingkan dengan ttabel. Loyalty Program mempunyai nilai thitung = 8,827 dengan tingkat signifikasi 0,000 dan ttabel = 1,984. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai thitung > ttabel maka dapat disimpulkan bahwa variabel Loyalty Program berpengaruh signifikan terhadap kepuasan secara langsung. Hal ini berarti H0 ditolak. 196
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
Nilai koefisien beta terstandarisasi untuk variabel X adalah 0,666 dan bentuk hubungan searah (positif) yang berarti bahwa jika variabel Loyalty Program yang diberikan kepada pelanggan meningkat, maka kepuasan juga akan meningkat dan besarnya peningkatan tersebut sebesar 66,6%. Hasil pengujian hipotesis pertama penelitian ini membuktikan ada pengaruh yang signifikan antara Customer Relationship Management (CRM) melalui Loyalty Program terhadap kepuasan pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang. Variabel Loyalty Program yang dikembangkan harus bisa memberikan nilai bagi pelanggan. Nilai yang diterima pelanggan ini adalah nilai uang, nilai penebusan, nilai aspirasional, nilai relevansi, dan nilai kenyamanan. Kepuasan pelanggan akan terbentuk apabila Loyalty Program yang diberikan pada pelanggan dirasa mampu memberikan nilai lebih. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kepuasan pelanggan akan terbentuk karena pelanggan merasa memperoleh nilai lebih dari PT Indosat Tbk., melalui Loyalty Program yang diberikan kepada mereka. Penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Francis Buttle (2004:385), yang mengungkapkan bahwa Loyalty Program yang sukses adalah Loyalty Program yang mampu memberikan lima jenis nilai bagi pelanggan, yaitu: 1) Nilai uang. Berapa banyak penghargaan yang bisa dinilai dengan uang jika dibandingkan dengan uang yang dibelanjakan untuk mendapatkannya; 2) Nilai penebusan. Seberapa banyak penghargaan yang ditawarkan; 3) Nilai aspirasional. Seberapa besar pelanggan ingin mendapatkan penghargaannya; 4) Nilai relevansi. Seberapa mudah penghargaan tersebut dijangkau oleh pelanggan; 5) Nilai kenyamanan. Seberapa mudah mengumpulkan kredit dan menukarnya dengan hadiah.
197
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
2. Pengaruh Customer Relationship Management (CRM) melalui Loyalty Program (X) terhadap Loyalitas Pelanggan (Y) The regression equation is Loyalitas (Y) = 1,79 + 0,242 Loyalty Program (X) Predictor Constant Loyalty Program (X) S = 1,02832
Coef 1,7881 0,24151
R-Sq = 68,8%
SE Coef 0,9455 0,01643
T 1,89 14,70
P 0,062 0,000
R-Sq(adj) = 68,5%
Untuk menguji pengaruh variabel Loyalty Program secara simultan terhadap loyalitas konsumen yang ditunjukkan oleh nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel. Analisis pengaruh Loyalty Program terhadap loyalitas diketahui dengan hasil uji F yang menunjukkan Fhitung = 215,964 dengan tingkat signifikasi F sebesar 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai Ftabel = 3,938 Fhitung > Ftabel sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Artinya Loyalty Program berpengaruh secara signifikan terhadap loyalitas. Pengujian pengaruh variabel Loyalty Program terhadap loyalitas pelanggan ditunjukkan oleh nilai koefisien dari variabel dengan thitung dibandingkan dengan ttabel di mana Loyalty Program mempunyai nilai thitung = 14,696 dengan tingkat signifikasi 0,000 dan ttabel = 1,984 Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai thitung > ttabel maka dapat disimpulkan bahwa variabel Loyalty Program berpengaruh signifikan terhadap loyalitas secara langsung. Hal ini berarti H0 ditolak. Nilai koefisien beta terstandarisasi untuk variabel X adalah 0,829 dan bentuk hubungan searah (positif) yang berarti bahwa jika variabel Loyalty Program yang diberikan kepada pelanggan meningkat, maka loyalitas juga akan meningkat dan besarnya peningkatan tersebut sebesar 82,9%. Hasil pengujian hipotesis kedua penelitian ini membuktikan ada pengaruh yang signifikan antara Customer Relationship Management (CRM) melalui Loyalty Program terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Brown dan Rigby, Reincheld, Dawson (dalam Gaffar, 2007:87) 198
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
yang mengungkapkan bahwa Customer Relationship Management (CRM) merupakan suatu proses mendapatkan, mempertahankan, dan mengembangkan pelanggan yang menguntungkan dan memerlukan suatu fokus yang jelas terhadap atribut suatu jasa yang dapat menghasilkan nilai kepada pelanggan sehingga dapat menghasilkan loyalitas. Loyalitas selalu bergerak searah dengan laju pertambahan manfaat. Jika perusahaan tidak bisa memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan, selama itu pula loyalitas pelanggan tidak akan beranjak ke tingkat yang lebih tinggi. Penelitian ini juga mendukung pendapat Storbacka dan Lehitnen (dalam Gaffer 2007:35) bahwa fokus dari Customer Relationship Management (CRM) itu sendiri adalah untuk memperbaiki tingkat kepuasan pelanggan, meningkatkan loyalitas pelanggan dan meningkatkan pendapatan dari pelanggan yang ada, dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan, globalisasi dan perputaran pelanggan serta perkembangan biaya pengakuisisian pelanggan. Selain itu penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Frederich Reincheld dalam bukunya Loyalty Rules (dalam Kartajaya, 2007:33) yang menjelaskan panduan implementasi penyusunan Loyalty Program yang baik. Ada enam hal yang harus diperhatikan: 1) Usahakan tidak ada yang kalah (play win-win), dalam pelaksanaan program loyalitas pelanggan; 2) Jangan semua orang bisa menjadi members (be picky), dan jika telah menjadi members, sebaiknya stratanya dibedakan menurut tingkatannya; 3) Usahakan program loyalitas pelanggan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami (keep it simple) dan tidak membutuhkan pemahaman yang rumit; 4) Jangan sembarangan dalam memberikan reward, hanya transaksi yang membawa hasil yang mendapatkan point reward (reward the right result; 5) Usahakan untuk selalu mendengarkan kebutuhan dan keinginan pelanggan, kemudian berhati-hati ketika menjanjikan sesuatu (listen hard, talk straight); dan 6) Komunikasikan dulu manfaat kepada pelanggan sebelum mengajaknya bergabung (preach what you practice)
199
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
3. Pengaruh Kepuasan Pelanggan (Z) terhadap Loyalitas Pelanggan (Y) The regression equation is Loyalitas (Y) = 3,81 + 0,610 Kepuasan (Z) Predictor Constant Kepuasan (Z)
Coef 3,811 0,60987
SE Coef 1,015 0,05214
S = 1,18902
R-Sq = 58,3%
T 3,76 11,70
P 0,000 0,000
R-Sq(adj) = 57,8%
Untuk menguji pengaruh variabel kepuasan secara simultan terhadap loyalitas konsumen yang ditunjukkan oleh nilai Fhitung dibandingkan dengan Ftabel. Analisis pengaruh Loyalty Program terhadap loyalitas diketahui dengan hasil uji F yang menunjukkan Fhitung = 136,834 dengan tingkat signifikasi F sebesar 0,000. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai Ftabel = 3,938 Fhitung > Ftabel sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Artinya kepuasan berpengaruh secara signifikan terhadap loyalitas. Pengujian pengaruh variabel kepuasan terhadap loyalitas pelanggan ditunjukkan oleh nilai koefisien dari variabel dengan thitung dibandingkan dengan ttabel di mana Loyalty Program mempunyai nilai thitung = 11,698 dengan tingkat signifikasi 0,000 dan ttabel=1,984. Karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05 sedangkan nilai thitung > ttabel maka dapat disimpulkan bahwa variabel kepuasan berpengaruh signifikan terhadap loyalitas secara langsung. Hal ini berarti H0 ditolak. Nilai koefisien beta terstandarisasi untuk variabel Z adalah 0,763 dan bentuk hubungan searah (positif) yang berarti bahwa jika variabel kepuasan yang diberikan kepada pelanggan meningkat, maka loyalitas juga akan meningkat dan besarnya peningkatan tersebut sebesar 76,3%. Hasil pengujian hipotesis ketiga penelitian ini membuktikan ada pengaruh antara kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. Cabang Malang. Hal ini dapat dikatakan bahwa untuk menciptakan loyalitas pelanggan PT Indosat Tbk. selain dibutuhkan variabel Loyalty Program dalam kegiatan retensi/perawatan 200
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
pelanggannya perlu diciptakan kepuasan pelanggan atas Loyalty Program yang diberikan tersebut. Penelitian ini mendukung pendapat Francis Buttle (2004:29) di mana Customer Relationship Management (CRM) dijalankan karena sistem ini dapat meningkatkan performa bisnis perusahaan dengan cara meningkatkan kepuasan pelanggan dan pada gilirannya menumbuhkan kesetiaan mereka. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa dampak kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan dan pembelian berulang berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Pelanggan yang loyal belum tentu berarti mereka puas. Sebaliknya, pelanggan yang puas cenderung untuk menjadi pelanggan yang loyal. Implikasi dari hasil penelitian dapat ditunjukkan dari hasil analisis yang telah dilakukan. Analisis regresi dalam penelitian ini membuktikan bahwa Manajemen Hubungan Pelanggan atau Customer Relationship Management (CRM) melalui pelaksanaan Loyalty Program mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Hasil penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan pelanggan yang loyal adalah dengan memberikan nilai Loyalty Program yang tinggi dan kunci loyalitas itu sendiri adalah kepuasan. Oleh karena itu pihak PT Indosat Tbk. harus terus memperhatikan dan mengadakan riset dalam mengembangkan tahap perawatan pelanggan (customer retention) khususnya Loyalty Program. Dengan begitu PT Indosat Tbk. dapat mengetahui program seperti apa yang akan membuat pelanggan menjadi puas dan akan tetap bertahan atau loyal terhadap produk mereka. Loyalitas selalu bergerak searah dengan laju pertambahan manfaat. Jika perusahaan tidak bisa memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan, selama itu pula loyalitas pelanggan tidak akan beranjak ke tingkat yang lebih tinggi. Analisis data ini juga mengindikasikan bahwa kepuasan melalui Loyalty Program mempunyai pengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Sebagaimana diketahui saat ini ada banyak pilihan jasa telekomunikasi dengan berbagai macam produk yang ditawarkan, dan pelanggan memiliki kebebasan penuh untuk menentukan produk dan jasa telekomunikasi dari provider mana yang akan mereka gunakan. Dari hasil penelitian tersebut selayaknya PT Indosat Tbk. menganalisis 201
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
lebih lanjut bahwa kepuasan tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan pelanggan untuk tetap bersikap loyal. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang bisa memberikan kontribusi positif bagi loyalitas pelanggan seperti kelengkapan fitur yang ditawarkan, promosi yang menarik, serta jaringan yang luas. Hal-hal tersebut juga selayaknya menjadi fokus utama PT Indosat Tbk. agar loyalitas pelanggan dapat ditingkatkan. Selama ini yang dievaluasi oleh PT Indosat Tbk adalah loyalitas pelanggan. Evaluasi keberhasilan Loyalty Program IM3@School Community selama ini dilakukan dengan memonitor nomor yang telah masuk ke dalam database, apakah nomor-nomor IM3 yang telah terdaftar dalam satu sekolah masih banyak yang aktif. Loyalitas pelanggan dievaluasi melalui bertahannya pelanggan dan pembelian berulang yang mereka lakukan. Namun pada kenyataannya pelanggan yang loyal belum tentu berarti mereka puas. Sebaliknya, pelanggan yang puas cenderung untuk menjadi pelanggan yang loyal. Oleh karena itu mengevaluasi kepuasan pelanggan juga perlu dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan penelitian ini PT Indosat Tbk perlu mengadakan evaluasi mengenai kepuasan pelanggan terhadap Loyalty Program yang telah diberikan. Melalui evaluasi ini perusahaan akan lebih memahami bagaimana penilaian pelanggan terhadap Loyalty Program yang telah mereka terima. Evaluasi kepuasan pelanggan ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi. PT Indosat Tbk. telah memiliki situs pertemanan facebook dengan ratusan anggota, dan hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengetahui pendapat pelanggan mengenai Loyalty Program yang telah mereka terima. Berdasarkan penelitian ini PT Indosat Tbk. bisa dikatakan telah cukup berhasil membuat suatu Loyalty Program. Loyalty Program ini berjalan dengan baik, mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Oleh karena itu PT Indosat Tbk perlu untuk terus mempertahankan kinerja terhadap retensi yang telah dilakukan. Namun demikian tentu saja perlu untuk terus melakukan pengembangan dan pembaruan Loyalty Program. Karena meskipun berhasil, suatu Loyalty Program yang monoton tanpa peningkatan pemberian nilai bagi pelanggan akan membuat pelanggan 202
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
merasa bosan. Demikian pula sebaliknya, dengan mengembangkan Loyalty Program pelanggan dengan lebih baik lagi, pelanggan akan merasa PT Indosat Tbk. memperhatikan dan mengerti akan kebutuhan mereka. Dari penelitian yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh mempunyai sejumlah keterbatasan yaitu: 1) Responden penelitian ini hanya pada pelanggan PT Indosat Cabang Malang yang menjadi anggota IM3@School Community di kota Malang, sehingga kesimpulan penelitian ini pun hanya berlaku terbatas pada populasi penelitian ini; 2) Saat penelitian ini dilakukan ditemukan suatu kondisi di mana ada pelanggan yang menggunakan lebih dari satu produk operator. Pelanggan tidak hanya sebagai pengguna produk PT Indosat Tbk. saja, melainkan juga sebagai pelanggan operator lain (pelanggan dual); 3) Untuk menganalisis variabel lain selain variabel Loyalty Program yang mempengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan perlu dilakukan analisis terhadap citra produk PT Indosat Tbk. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) Dari hasil analisis data dan pembahasan ditemukan ada pengaruh yang signifikan antara Customer Relationship Management (CRM) melalui Loyalty Program terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan; 2) Dari hasil analisis data dan pembahasan ditemukan ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan; 3) Hasil penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa untuk menghasilkan pelanggan yang loyal adalah dengan memberikan nilai Loyalty Program yang tinggi dan kunci loyalitas itu sendiri adalah kepuasan. Berdasarkan temuan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut: 1) PT Indosat Tbk. harus terus memperhatikan, dan mengadakan riset dalam mengembangkan Loyalty Program, sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan memberikan nilai Loyalty Program yang tinggi bagi pelanggan. Dengan begitu pihak PT Indosat Tbk. dapat mengetahui program seperti apa yang akan membuat pelanggan menjadi puas dan akan tetap bertahan/ loyal terhadap produk mereka; 2) Kepuasan melalui Loyalty Program berpengaruh terhadap loyalitas. Selayaknya PT Indosat Tbk. sebagai 203
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
salah satu provider telekomunikasi mampu untuk menganalisis lebih lanjut bahwa kepuasan tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alasan pelanggan untuk tetap bersikap loyal. Bisa jadi ada faktor-faktor lain yang bisa memberikan kontribusi positif bagi loyalitas pelanggan; 3) Selama ini yang dievaluasi oleh PT Indosat Tbk adalah loyalitas pelanggan. Namun mengevaluasi kepuasan pelanggan juga perlu dilakukan oleh perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA Referensi Buku: Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). PT Asdi Mahasatya. Jakarta. Baldwin, John R., Perry, Stephen D., & Moffitt, Mary Anne. 2004. Communication Theories, for Everyday Life. Illinois State University, Pearson Education Inc. United State of America. Belch, George E. & Michael A. Belch. 2001. Advertising and Promotion, an Integrated Marketing Communication Perspective. Mc.Graw Hill Companies Inc. North America. Buttle, Francis. 2004. Customer Relationship Management (Management Hubungan Pelanggan) Concept and Tools. (diterjemahkan oleh Arief Subianto) Bayumedia. Malang. Cook, Sarah. 2004. Customer Care Exellence: Cara untuk Mencapai Customer Focus. (Diterjemahkan oleh Kemas Achmad Faizal Risalah). Penerbit PPM. Jakarta. Duncan, Tom. 2002. Integrated Marketing Communications, Using Advertising and Promotion to Build Brand. The McGraw-Hill Companies. New York. Foster, Timothy R V. 2002. How to be Better at Customer Care, Memberikan Perhatian kepada Pelanggan. Elex Media Komputindo. Jakarta. Gaffar, Vanessa. 2007. CRM dan MPR Hotel (Customer Relationship Management and Marketing Public Relations). Penerbit Alfabeta. Bandung. Gamble, Teri Kwal., & Gamble, Michael. 2005. Communication Works. Mc Graw-Hill Companies Inc. New York. 204
Hesti Kartika Sari, Efektivitas Loyalty Program dalam Customer Relationship ...
Griffin, Jill. 2003. Customer Loyalty, Menumbuhkan dan Mempertahankan Kesetiaan Konsumen. Penerbit Erlangga. Jakarta. Harris, Thomas L. 1991. The Marketer’s Guide to Public Relations. John Wiley & Sons Inc. USA. Irawan, Handi 2002. 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Elex media Komputindo. Jakarta. Jeffkins, Frank. 2004. Public Relations (direvisi oleh Daniel Yadin). Penerbit Erlangga. Jakarta. Kartajaya, Hermawan. 2007. Hermawan Kertajaya Workshop Series, Boosting Loyalty Marketing Performance: Menggunakan Teknik Penjualan Customer Relationship Management dan Servis untuk Mendongkrak Laba. PT Mizan Pustaka. Bandung. Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran Jilid 1. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta. Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Lattimore, Dan. 2004. Public Relations The Profession and the Practice. McGrawHill Companies. New York. Lupiyoadi, Rambat. 2001. Manajemen Pemasaran Jasa, Teori dan Praktik. Penerbit Salemba Empat. Jakarta. Lupiyoadi, Rambat. dan Hamdani, A. 2006. Manajemen Pemasaran Jasa Edisi 2. Salemba Empat. Jakarta. Mangkunegara, A.A Anwar. 1988. Perilaku Konsumen. Eresco. Bandung. Mowen, John C., dan Minor, Michael. 2001. Perilaku Konsemen Jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta. Bandung. Sutojo, Siswanto. 2003. Meningkatkan Jumlah dan Mutu Pelanggan. PT Damar Mulia Pustaka. Jakarta. Tjiptono, Fandi. 2003. Prinsip-prinsip Total Quality Service (TQS). Penerbit 205
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 177-206
Andi. Yogyakarta. West, Richard., & Turner, Lynn H. 2004. Introducing Communication Theory, Analysis and Application. Mc Graw-Hill. New York. Wood, Julia T. 2002. Communication Theories in Action An Introduction. Wardsworth. Referensi Non Buku: Trisno Musanto. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 6, No. 2, September 2004: 123 - 136Tabloid Pulsa edisi 134 bulan Juni 2008. http://www.indosat.com [diakses pada 10 Oktober 2008] http://www.myhero.com [diakses pada 21 September 2008] http://iwayan.info/Lecture/KonsepSILanj_S1/09_CRM-Plasmedia.pdf [diakses pada 7 Juni 2009] http://www.prelations.wordpress.com [diakses pada 19 Januari 2009] http://hadisugito.fadla.or.id/2005/12/11/mengukur-kepuasan-pelanggan/ [diakses pada 4 Maret 2008 18:02:23 GMT] http://harataya.multiply.com/journal/item/55. Gambar ini adalah jepretan laman seperti yang ditampilkan pada tanggal 9 Jul 2009 [diakses pada 4 agustus 2009]
206
Terapi Komunikasi sebagai Model Pembangun Ketahanan Hubungan Sosial dalam Perkawinan
Hascaryo Pramudibyanto1 Abstract: Many researches show that the conventional marriage counseling to establish marriage relation is not effective. It is indicated by a number of couple has divorced after the counseling. It needs a new counseling method that is more effective. Communication therapeutic is one technique to help the relationship to be stronger. This method offers a good relationship between therapist and client. It means that the therapy must encourage the client and the therapist. The two of them must have a good communication competence so that it creates a communication satisfaction for each. It leads the therapy will be effective to help the marriage relationship. Key words: communication therapy, marriage relationship
Komunikasi merupakan proses interaksi yang sangat khusus dan paling berarti bagi perilaku seseorang. Setiap hari, semua orang melakukan proses komunikasi. Seringkali, akibat dari interaksi komunikasi yang tidak tepat, menyebabkan perbedaan atau salah paham. Oleh karena itu, setiap orang perlu memahami konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan antarmanusia dan mencegah kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Komunikasi juga merupakan dasar bagi persepsi seseorang, koordinasi interaksi, manajemen hubungan dengan orang lain, serta memudahkan kita dalam mengubah orang lain. Pada dasarnya semua orang ingin mempunyai kemampuan berkomunikasi dan terlibat dalam hubungan yang erat. Mereka yang 1 Hascaryo Pramudibyanto, adalah staf pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Terbuka, Tangerang
207
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
mempunyai kemampuan menjalin komunikasi dan hubungan yang harmonis, baik di rumah maupun dalam bisnis, cenderung lebih sukses dan bahagia hidupnya (Pandam, 2003). Namun demikian, ada kalanya kita juga mengalami kegagalan dan harus belajar lagi mengenai sesuatu yang sudah kita ketahui sebelumnya. Komunikasi menjadi metode utama dalam mengimplementasikan konsep dan proses komunikasi untuk meningkatkan hubungan saling percaya antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal pemberian layanan terapi, kegiatan komunikasi juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan model pembangunan ketahanan hubungan sosial. Sebagai contoh, Pandam pernah memaparkan sebuah hasil riset tentang hubungan sosial yang dilakukan oleh Family Formation Project Universitas Washington de Seattle. Dalam riset tersebut dikemukakan bahwa John Gottman, Ph. D., seorang psikolog yang memenangi penghargaan penulisan buku The Seven Principles for Making Maririage Work, mencari jawaban mengenai hal-hal yang bisa membuat sebuah perkawinan dapat bertahan. Teori konseling konvensional yang memanfaatkan interaksi untuk pertahanan hubungan sosial, terbukti kurang berhasil. Menurutnya, sebanyak 67 persen hubungan sosial dalam perkawinan ternyata menemui kegagalan dan 50 persen di antara pasangan yang telah mengikuti konseling konvensional tersebut akhirnya tetap bercerai juga. Belakangan justru muncul keinginan agar terwujud sebuah model terapi konseling atau komunikasi hubungan sosial dalam perkawinan yang lebih modern dan efektif. Berdasarkan argumentasi tersebut perlu dikaji lebih mendalam mengenai terapi konseling yang dapat mengupayakan peningkatan ketahanan hubungan sosial, dan tentunya, yang lebih modern. Untuk menindaklanjuti kebutuhan terapi komunikasi tersebut, dalam artikel ini akan dipaparkan model terapi komunikasi yang diharapkan dapat menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi hal tersebut. Dalam model terapi komunikasi berikut, pihak-pihak yang dimaksud dan terlibat dalam proses interaksi terapi komunikasi disebut sebagai terapis dan klien. Dalam hal ini, penulis meminjam istilah dalam bidang psikologi,yaitu konsep mengenai terapis dan klien. 208
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
TERAPI KOMUNIKASI Komunikasi merupakan metode utama dalam mengimplemen tasikan konsep serta proses komunikasi guna meningkatkan hubungan saling percaya antara seseorang dengan orang lain. Komunikasi juga menjadi dasar terjadinya interaksi antara terapis dengan klien. Penggunaan metode dan model komunikasi yang tepat, akan berakibat pada terpengaruhi layanan terapi yang dilakukan oleh para terapis. Secara umum dapat dinyatakan bahwa konsep komunikasi merupakan suatu proses terjadinya transmisi informasi melalui sebuah simbol, tanda, atau perilaku umum. Proses terjadinya komunikasi, secara khusus melibatkan unsur persepsi pada para pelaku tindak komunikasi. Sebagai bentuk pandangan personal terhadap suatu kejadian, persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Hal ini terjadi karena masing-masing individu memiliki kepribadian yang unik, nilai, dan pengalaman hidup, sehingga masing-masing individu akan menerima dan menginterpretasikan pesan secara berbeda. Suatu kejadian akan mengandung arti yang berbeda, karena adanya persepsi yang berbeda pula. Pemberian terapi merupakan jenis organisasi tindakan yang meminimalkan kontak antara terapis dengan klien, dan memusatkan unsur komunikasi pada prosedur yang dilakukan. Namun hal ini terasa dangkal dan cenderung menimbulkan kesalahan dalam melakukan identifikasi kebutuhan dan masalah klien. Kerangka kerja tradisional yang dilakukan selama ini sering dianggap kurang relevan dalam memprioritaskan pemahaman kebutuhan klien. Interpretasi dan perasaan klien sebatas dihargai sebagai faktor yang berpengaruh pada saat masalah-masalah tertentu muncul, dan penemuan solusi. Untuk mengimbanginya perlu dikenai model adaptasi yang disodorkan oleh Roy (1984), Orem (1985), dan Neuman (1982), yang menetapkan landasan bagi komunikasi terbuka antara para terapis dengan klien. Pengkajian dan evaluasi model tersebut bersandar pada komunikasi yang mengutamakan pengalaman serta kebutuhan klien. Kualitas komunikasi antara terapis dengan klien perlu pula didasari oleh perencanaan bersama untuk mencapai pemahaman bersama atas dasar komitmen antara terapis dengan klien. Oleh karena itu, keberhasilan layanan terapi sangat bergantung 209
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
pada pemahaman para terapis dan dipengaruhi oleh keyakinan pada diri klien. Permasalahan komunikasi dan koordinasi akan meningkat dengan cepat apabila tim terapis bekerja dalam kerangka berpikir yang saling menunjang. Pekerjaan yang membingungkan dan stres yang sebetulnya tidak perlu terjadi pada diri klien akibat gangguan tuntutan dari berbagai profesi, adalah sesuatu yang tidak perlu terjadi. Begitu juga dengan pekerjaan multidisiplin yang melibatkan berbagai jenis profesi, lebih memungkinkan timbulnya beragam konflik. Konflik seperti ini akan dapat menghambat proses komunikasi (Graham, 1981). Sekali hal ini terjadi, komunikasi yang buruk dapat menimbulkan konflik di antara berbagai bidang pekerjaan. Akibatnya, timbul pula perpecahan dalam pemberian terapi kepada klien, muncul ketidakpuasan, kekecewaan, dan rendahnya kepercayaan diri para klien. Upaya mengikutsertakan klien dalam peningkatan kualitas diri menuntut peran terapis dalam mendorong klien untuk menerima dan menyerap keyakinan-keyakinan tertentu. Para terapis dapat lebih berharap kepada seorang klien agar mengakui dan menerima tanggung jawab terhadap konsekuensi tindakan tertentu. Sejauh ini para terapis mampu melibatkan diri dalam komunikasi persuasif yang bertujuan untuk mendidik klien dan meningkatkan sikap hidup lebih baik. Klien yang terdorong melalui komunikasi terbuka tidak akan kehilangan kebebasannya, tetapi justru mereka mendapatkan kebebasan untuk menghargai pandangan dan cara hidupnya dengan teknik-teknik tertentu. Memang, komunikasi yang mengakui tanggung jawab dan pengawasan dari klien sepertinya lebih persuasif, karena komunikasi tersebut tidak memancing penolakan yang disengaja. Jadi, peningkatan kualitas komunikasi persuasif dapat menjadi layanan terbaik melalui komunikasi persuasif yang bertujuan meyakinkan bahwa pilihan klien berdasar pada keyakinan-keyakinan yang terbentuk dan diskusi-diskusi terbuka mengenai kondisinya. Potter dan Wetherell (1987) menyatakan bahwa unsur perkembangan, persepsi, nilai, latar belakang budaya, emosi, pengetahuan, 210
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
peran, dan tatanan interaksi, dapat mempengaruhi isi pesan dan sikap komunikator dalam menyampaikan pesan. Lingkungan yang diciptakan oleh orang tua, dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi. Para terapis dapat menggunakan teknik khusus ketika berkomunikasi pada klien, sesuai dengan berbagai tahap perkembangannya. Selain itu, para terapis harus memahami pengaruh perkembangan bahasa dan proses berpikir yang mempengaruhi cara dan sikap klien dalam berkomunikasi. Adapun persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dapat dibentuk oleh harapan dan pengalaman, namun jika ada perbedaan persepsi, hal itu dapat pula menghambat proses komunikasi. Aspek nilai juga sangat penting untuk mengetahui dan mengklarifikasi pembuatan keputusan dan interaksi, sebab nilai merupakan standar yang digunakan oleh seseorang dalam mempengaruhi perilaku untuk menyadari nilai yang dimiliki orang lain. Sementara itu, penggunaan bahasa dan gaya komunikasi yang berbeda oleh para terapis, sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sebab budaya membatasi cara bertindak dan berkomunikasi. Cara seseorang dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, juga dipengaruhi oleh aspek emosi. Emosi adalah perasaan subjektif tentang sebuah peristiwa. Oleh karena itu, emosi juga mempengaruhi kemampuan salah tafsir atau tidak mendengarkan pesan yang disampaikan oleh orang lain. Komunikasi akan sulit dilakukan jika orang-orang yang melakukan tindak komunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Perbedaan tersebut salah satunya bisa diakibatkan oleh penggunaan istilah atau kalimat yang kurang dimengerti dan diminati pelaku komunikasi. Begitu juga dengan gaya komunikasi, yang diharapkan sesuai dengan peran dan hubungan orang yang berkomunikasi. Misalnya, terapis dapat menyebut nama klien untuk menunjukkan rasa hormatnya dan tidak menggunakan humor jika baru mengenal klien. Komunikasi interpersonal pun akan lebih efektif jika dilakukan dalam suatu lingkungan yang menunjang, seperti lingkungan yang tidak bising, ada keleluasaan pribadi yang tidak menimbulkan kerancuan, ketegangan, atau ketidaknyamanan pada diri klien. 211
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
Komunikasi yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya berjalan mulus. Proses komunikasi akan terganggu apabila pengirim pesan melakukan aktivitasnya secara tidak jelas, sehingga menyebabkan penerima pesan tidak bisa memahami maksud pesan. Wilson (1988) mengemukakan analisis transaksional sebagai suatu model analisis komunikasi ketika seseorang menempatkan dirinya menurut posisi psikologis yang berbeda. Analisis transaksional merupakan sebuah metode terapi yang sejenis dengan metode analisis komunikasi, yang digunakan pada interaksi singkat untuk membina hubungan baik antara komunikator dengan komunikan. KETAHANAN HUBUNGAN SOSIAL Selain sebagai pembangun ketahanan hubungan sosial dalam perkawinan, terapi komunikasi juga dapat bermanfaat bagi kelangsungan komunikasi di dunia kesehatan, yaitu misalnya antara pasien dengan perawat, di dunia pendidikan antara pendidik dengan peserta didik, dan sebagainya. Dalam kerangka kerja sebuah interaksi, komunikasi juga menjadi fundamen terbentuknya interaksi antara terapis dengan klien. Penggunaan metode dan model komunikasi yang tepat, akan berakibat pada terpengaruhinya layanan terapi komunikasi yang dilakukan oleh para terapis. Begitu pula ketika proses pembentukan representasi kita sendiri dan orang lain, kita pun mencoba memahami representasi orang lain dalam merepresentasikan kita. Apalagi, kemampuan merepresentasikan orang lain dalam merepresentasikan kita, juga penting sekali untuk mengatur perilaku kita sendiri. Untuk itu, kita harus mampu mengendalikan perilaku kita dan mengempatikannya pada kerangka berpikir orang lain. Misalnya untuk merasa bersalah, kita harus tahu bahwa orang lain akan menilai bahwa tindakan kita itu salah, tanpa harus diperingatkan terlebih dahulu. Namun tidak ada keharusan bahwa akan ada orang lain yang menilai bahwa itu salah. Akan sangat luar biasa apabila kita merasa bersalah ketika tidak ada yang mengamati kita, sebab kita telah mengembangkan suatu kesadaran yang menjadi representasi internal berdasarkan kriteria representasi atau keputusan pendapat orang lain. 212
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
Dalam risetnya, Gottman berpendapat bahwa perkawinan yang adem ayem dan selalu menghindari konflik bisa sama stabilnya dengan perkawinan pada pasangan tradisional yang mengutamakan saling pengertian. Kestabilan gaya ini ditentukan oleh kemampuan pasangan dalam mengatasi berbagai konflik (Pandam, 2003). Terapi komunikasi mengambil peran dalam hal kompromi yang penuh pengertian bagi pasangan (klien) yang sering terlibat konflik rumah tangga. Terapis, dalam hal ini para penasehat perkawinan, tidak lagi sibuk mendamaikan kliennya yang berbeda pendapat. Eksistensi para terapis semakin ringan manakala klien yang mudah berkompromi datang untuk berkonsultasi. Klien yang memiliki latar belakang emosi yang berkobarkobar dapat segera padam ketika ditangani oleh terapis yang memang memahami dan berempati dengan klien berkonflik. Tanpa bermaksud memihak pada salah satu klien, terapis bisa menjadi pendingin suasana dengan cara menggali latar belakang keluarga klien, awal mula perkenalan klien, kendala yang dihadapi sebelum dan sesudah klien menikah, pihak ketiga dalam perkawinan klien, dan faktor ekonomi. Tanpa diduga sebelumnya, mungkin klien pun sudah mengeluhkan hubungan mereka sebelum memulai perkawinan. Hal itu selalu menjadi pemicu emosi karena sifatnya yang labil. Untuk klien yang cenderung menghindari konflik, akan butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan suatu masalah yang tiba-tiba muncul. Pasangan dengan karakter seperti ini cenderung membiarkan masalah terus berlarut, tanpa ada kemauan untuk menyelesaikannya. Namun sebaliknya, konflik pun justru dapat memperbaiki hubungan yang membeku. Kesempatan ini bisa diambil oleh terapis untuk meyakinkan klien bahwa apa yang klien pertentangkan adalah sesuatu yang biasa. Dalam pandangan Gottman, ditengarai ada empat tindakan negatif yang berpotensi merusak hubungan dan menyebabkan perceraian. Keempatnya adalah masalah kritik, tindakan defensif, celaan, dan menutup diri. Kritik menjadi pemicu pertengkaran suamiisteri yang paling menakutkan, sebab kritik berkecenderungan untuk menyalahkan. Terapis bisa mengatakan bahwa mengkritik bukan semata-mata menyerang pribadi atau sifat seseorang. Namun kritik merupakan keluhan mengenai hal-hal yang sifatnya khusus. Dengan 213
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
kritik, klien justru berpeluang untuk saling memahami hal-hal khusus yang ada pada pasangan hidupnya. Adapun sikap defensif merupakan upaya membela diri yang dilakukan oleh seseorang terhadap lawan bicaranya. Apabila dikaitkan dengan masalah kritik, sikap defensif akan muncul secara manusiawi ketika seseorang harus mempertanggungjawabkan sesuatu dan melakukan upaya serangan balik yang diperhitungkan. Langkah terapis dalam hal ini adalah mengharapkan klien untuk tidak terlalu sensitif dalam menyikapi atau membenarkan kritik yang bernada mengeluh. Ketika mengeluh, klien ada kecenderungan bahwa klien menempatkan para pendengar dalam keadaan seolah berada di sekitar klien. Jika klien adalah seorang pengeluh kronis, klien akan menciptakan perasaan negatif pada orang lain (pendengar) dan akan mendorong orang lain untuk menjauhi klien, dan justru bukan menarik orang lain untuk lebih dekat. Untuk itu, klien sebaiknya dapat menjadikan dirinya sebagai pendengar yang baik saja dalam menerima kritik. Hasilnya akan lain apabila klien menggeretakkan gigi dan secara tidak sengaja menarik nafas panjang agar dirinya tetap tenang dan memilih diam saja. Inilah yang disebut memendam perasaan. Sebaiknya klien perlu mengakhiri upaya menginternalkan situasi dan memendam perasaan yang sebenarnya. Cara ini belum tentu menjadi cara terbaik untuk menghindari konflik, sebab hal ini akan berdampak pada perasaan klien yang diacak-acak dalam bentuk stres, ketegangan, kekhawatiran, depresi, dan beragam gangguan lain. Untuk itu, klien sebaiknya mengekspresikan dirinya kapan pun situasi itu terjadi. Namun demikian, klien tidak perlu menunjukkannya dengan cara yang agresif dan terang-terangan. Yang penting, klien dapat mengungkapkannya dengan kata-kata yang langsung dan jelas, sehingga apa yang dirasakan oleh klien sebenarnya, dapat dipahami. Klien tidak perlu dikhawatirkan apabila hal itu akan terasa sebagai suatu hal yang konfrontatif dan cenderung membuka medan perang. Justru apabila klien memulainya dengan cara yang baik, klien akan menemui hasil yang mengejutkan. Semua itu karena kita ingin merasa nyaman saat mengungkapkan perasaan kita dengan jujur (Kusumawati, 2005). 214
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
Apabila kita tahu bahwa kita dapat berbicara dengan bebas, kita akan banyak mengungkapkan diri kita sendiri. Klien tentu ingin merasa nyaman dalam lingkungan pribadi mereka yang kondusif dan mencintai komunikasi. Klien juga ingin selalu terhindar dari sikap bermusuhan apalagi yang menjurus pada tindakan kasar. Menjalin dan mempertahankan hubungan terkadang memerlukan kebijakan untuk melakukan dan mengatakan berbagai hal yang tampak kaku namun tetap dapat diterima oleh orang lain sebagai suatu tindakan yang penuh kasih dan kepekaan. Kusumawati juga menandaskan bahwa kebanyakan orang berbicara tenting diri sendiri dan mungkin mereka tidak bisa melakukannya terus menerus. Oleh karena itu, perlu ada nilai atau norma yang dianut oleh klien, yang dalam hal ini bertindak sebagai komunikator. Seorang komunikator autentik adalah seseorang yang memiliki jiwa ingin tahu. Ia cenderung ingin tahu lebih banyak tentang orang lain. Klien dapat bersikap bijak ketika mitra bicara klien berbicara dan tampak benar-benar tertarik saat mendengarkan cerita atau keluhan. Apabila klien mulai merasa bosan, klien dapat memutar haluan cerita dengan cara membelokkan materi pembicaaran atau memberikan umpan materi lain yang mungkin lebih bersifat komunikasi dua arah. Agar klien lincah dalam membelokkan materi pembicaraan atau menemukan umpan materi lain, klien perlu menjalin hubungan komunikasi dengan orang-orang dari berbagai tingkatan. Dengan begitu, klien dapat membangun dan mempertahankan jalinan hubungan dalam komunikasi, yang hal itu merupakan kunci untuk menjadi komunikator yang peduli. Adapun celaan menjadi faktor yang berpotensi memicu perselisihan. Perbedaannya dengan kritik, celaan lebih bermaksud menyakiti hati dan secara psikologis melecehkan pasangan. Celaan justru menyumbangkan bumbu tak sedap bagi hubungan klien. Terapis dapat menegaskan bahwa kelakar yang mengejek, komentar yang bernada mengkritik, serta ekspresi dan ungkapan verbal yang menyakitkan dapat menghancurkan kesempatan terjalinnya hubungan antarklien yang lebih intim.
215
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
Sementara itu, menutup diri pun dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan rumah tangga. Terapis bisa menggambarkan bahwa dengan menutup diri, klien juga berarti menarik diri dari pasangannya. Artinya, klien yang tidak bersedia melakukan komunikasi dalam situasi yang menyulut amarah sekalipun, dikhawatirkan hubungan mereka kurang harmonis. Terapis yang baik menawarkan solusi untuk sebuah siklus korosif yang pernah terjadi dan dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan perkawinan. Pikiran negatif dan situasi yang tidak kondusif pada diri klien diupayakan untuk sedikit demi sedikit diredam. Biasanya, klien merasa tidak sanggup mengatasi masalah itu dan mereka lebih memilih memisahkan diri dari berbagai aktivitas dan rutinitas rumah tangga agar tidak tergiring pada keinginan untuk melakukan perubahan dramatis pada dirinya. Dari keempat tindakan negatif yang berpotensi merusak hubungan dan menyebabkan perceraian tadi, aspek komunikasi tetap memegang peran penting. Dalam hubungan perkawinan yang kritis maupun adem ayem, aktivitas komunikasi tetap harus dijunjung tinggi. Saran terapis agar klien senantiasa belajar menerima dan melakukan upaya pemulihan hubungan sangatlah penting. Bahkan, untuk mengatasi konflik emosional yang memanas sekalipun. Klien akan merasa tertolong ketika mereka mulai mencium, merasakan, dan menggunakan empat tindakan negatif perusak hubungan perkawinan. Mereka membutuhkan figur penyadar diri sebelum kehancuran perkawinan melanda. Upaya terapis untuk memulihkan hubungan antarklien merupakan kiat mengekang timbulnya dorongan terhadap hal-hal yang serba negatif. KESADARAN DIRI DAN KLARIFIKASI NILAI Pemberian pertolongan kepada orang lain melalui proses adaptifpositif, merupakan salah satu fungsi komunikasi yang bersifat terapeutik. Instrumen yang digunakan dalam interaksi ini adalah diri para terapis sendiri. Jadi, analisis diri sendiri, utamanya pada diri klien, merupakan dasar utama untuk memberikan terapi secara baik. Fokus analisis diri yang paling penting adalah kesadaran diri, klarifikasi nilai, eksplorasi 216
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
perasaan, kemampuan menjadi model, dan rasa tanggung jawab. Para terapis perlu mengkaji pengalaman masa lalu kliennya, karena hal itu dapat mempengaruhi proses interaksi. Dengan mengetahui sifat diri sendiri, para terapis dapat memakai dirinya secara terapeutik untuk membantu klien tanpa merusak integritas diri. Dalam berhubungan dengan klien, para terapis dapat membantu klien dalam mengungkapkan perasaan dan emosi klien, sehingga terapis perlu menggunakan situasi emosinya sendiri dalam berinteraksi dengan klien. Proses peningkatan kesadaran diri sering menyakitkan dan tidak mudah, khususnya jika ditemukan konflik dengan idealisme diri. Namun hal itu merupakan tantangan dalam melakukan perubahan dan perkembangan. Walaupun hubungan antara terapis dengan klien merupakan hubungan timbal balik, tetapi kebutuhan klien harus selalu diutamakan. Para terapis sebaiknya mempunyai sumber kepuasan dan rasa aman yang cukup, sehingga tidak menggunakan klien dalam memperoleh kepuasan dan keamananannya. Jika terapis memiliki konflik atau ketidakpuasan, sebaiknya terapis menyadari dan mengklarifikasinya agar tidak mempengaruhi keberhasilan hubungan antara terapis dengan klien. Dengan menyadari sistem nilai yang dimiliki terapis, misalnya kepercayaan, seksual, dan ikatan keluarga, terapis akan siap mengidentifikasikan situasi yang bertentangan dengan sistem nilai yang dimiliki. Para terapis perlu pula bersifat terbuka dan sadar terhadap perasaannya, dan mengontrolnya agar ia dapat menggunakan dirinya secara terapeutik. Apabila terapis terbuka pada perasaannya, maka ia mendapatkan dua informasi penting, yaitu bagaimana sebaiknya memberikan respons kepada klien, dan bagaimana penampilannya pada klien. Ketika berkomunikasi dengan klien, terapis harus menyadari responnya dan mengontrol penampilannya. Terapis yang mempunyai masalah pribadi, seperti gangguan hubungan interpersonal, akan mempengaruhi proses interaksinya dengan klien. Terapis mungkin akan menolak dan mengatakan bahwa ia dapat memisahkan hubungan profesional dengan kehidupan pribadinya. Sebab, terapis yang efektif adalah terapis yang dapat memenuhi dan memuaskan kehidupan pribadi kliennya serta tidak didominasi oleh konflik, distress atau pengingkaran, 217
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
dan memperlihatkan perkembangan serta proses adaptasi yang sehat. Untuk itu, terapis diharapkan bertanggung jawab atas perilakunya, serta sadar akan kekurangan dan kelemahannya. HELPING RELATIONSHIP Sebagai seorang profesional, para terapis menggunakan pendekatan pemecahan masalah dalam memberikan layanan terapi. Langkah pertama yang dilakukan dalam pendekatan ini adalah pengkajian yang bertujuan mengumpulkan data secara valid dan akurat sebagai dasar untuk menegakkan masalah dan rincian terapi. Pada tahap ini komunikasi memegang peranan penting karena untuk mendapatkan data subjektif, dibutuhkan kemampuan berkomunikasi yang efektif. Di samping itu, kemampuan ini juga dibutuhkan dalam memberikan intervensi terapis khususnya pada klien yang mengalami gangguan psikologis tertentu. Larson (1996) mengidentifikasikan sejumlah teknik yang dapat membantu para terapis dalam melakukan interaksi yang lebih terapeutik dengan kliennya. Terapis yang menguasai teknik ini akan lebih efektif dalam mencapai tujuan terapi yang telah ditetapkannya. Hal ini terjadi karena, dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, terapis akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien. Dampak selanjutnya adalah memberikan kepuasan profesional dalam layanan terapi dan akan meningkatkan citra para terapis itu sendiri. Kualitas pemberian terapi kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan antara terapis dengan klien. Apabila terapis tidak memperhatikan hal ini, maka hubungan terapis-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang akhirnya akan mempercepat proses keyakinan diri klien, tetapi lebih kepada hubungan sosial biasa. Sementara itu Clegg (1988) menyatakan, tujuan terapeutik yang diarahkan pada pertumbuhan klien seperti: 1). realisasi diri, penerimaan diri, dan rasa hormat terhadap diri sendiri; 2) identitas diri yang jelas dan rasa integritas diri yang tinggi; 3) kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim, saling tergantung, dan mencintai;
218
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
serta; 4) peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan personal yang realistis. Tujuan terapeutik akan tercapai apabila dalam melakukan helping relationship terapis, mengandung beberapa karakteristik berikut ini. a. Adanya kesadaran diri terhadap nilai yang dianutnya. Para terapis harus mampu menjelaskan tentang dirinya sendiri, keyakinannya, dan apa yang menurutnya penting dalam kehidupannya. Setelah itu, para terapis dapat membantu orang lain dengan mengacu pada halhal tersebut. b. Adanya kemampuan untuk menganalisis perasaannya sendiri. Para terapis secara bertahap belajar mengenal dan mengatasi berbagai perasaan yang dialaminya, seperti rasa malu, marah, kecewa, atau putus asa. c. Memiliki kemampuan menjadi contoh peran. Terapis perlu memiliki pola dan gaya hidup sehat, termasuk kemampuannya dalam menjaga kondisi psikis klien. d. Adanya altruistik. Terapis merasakan kepuasan karena mampu membantu orang lain dengan cara yang manusiawi. e. Memiliki rasa tanggung jawab etik dan moral. Tiap keputusan yang diambil, selalu memperhatikan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi kualitas diri dan kesejahteraan manusia. f. Memiliki tanggung jawab. Ada dua dimensi tanggung jawab yang perlu diperhatikan, yaitu tanggung jawab terhadap tindakan sendiri dan berbagi tanggung jawab dengan orang lain. Dengan memiliki karakteristik-karakteristik tersebut, diharapkan para terapis dapat menggunakan dirinya secara terapeutik (therapeutic use of self), sehingga kondisi helping relationship dapat segera tercapai. Selain itu, untuk mempertajam persepsi terhadap kebutuhan orang lain, perlu dikembangkan kemampuan empati. Empati adalah kemampuan untuk memasuki kehidupan orang lain agar dapat mempersepsikan pikiran dan perasaannya. Dengan empati, terapis dapat mengetahui secara lebih mendalam kebutuhan klien dalam hal intervensi terapi yang sesuai. 219
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
Selain karakteristik, para terapis juga perlu memperhatikan sikap mereka ketika berinteraksi dengan klien. Keliat (1992) mengidentifikasi lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, seperti: a. berhadapan, sebagai bentuk ungkapan bahwa “saya siap untuk Anda”; b. mempertahankan kontak mata. Kontak mata yang dilakukan pada level yang sama, berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi; c. membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu; d. mempertahankan sikap terbuka, dengan cara tidak melipat kaki atau tangan sehingga menunjukkan sikap terbuka untuk berkomunikasi; e. tetap rileks, artinya tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons kepada klien. Ada dua persyaratan dasar untuk terlaksananya komunikasi yang efektif, yaitu semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri klien dan komunikasi yang menciptakan hubungan baik dan saling pengertian sebelum memberikan saran, informasi, atau masukan kepada klien. Persyaratan-persyaratan komunikasi terapeutik tersebut bermanfaat untuk membentuk hubungan terapis-klien, sehingga memungkinkan diimplementasikannya proses bantuan terapi. Komunikasi terapeutik ini akan menjadi semakin efektif apabila dilakukan secara kontinyu. Worden (1982) menyatakan bahwa ada beberapa jenis komunikasi terapeutik, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam hal ini para terapis berusaha memahami klien dengan cara mendengarkan hal-hal yang disampaikan oleh klien, sebab terapis adalah orang yang dapat memahami perasaan, pikiran, dan persepsi klien. Sikap yang dibutuhkan untuk menjadi pendengar yang baik adalah memandang klien saat sedang berbicara, tidak menyilangkan kaki dan tangan, menghindari gerakan yang tidak perlu, menganggukkan kepala jika 220
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
klien membicarakan hal yang penting atau memerlukan umpan balik, serta mencondongkan tubuh ke arah lawan bicara. b. Menunjukkan penerimaan, namun bukan berarti menyetujui semua hal yang disampaikan oleh klien. Menerima dalam hal ini adalah bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. Para terapis harus waspada terhadap ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan kepada tanda tidak setuju atau tidak percaya. Sikap terapis yang menyatakan keberterimaannya dapat dilakukan dengan cara mendengarkan tanpa memutus pembicaraan, memberikan umpan balik verbal yang menyatakan pengertian, memastikan bahwa isyarat nonverbal sesuai dengan komunikasi verbal, menghindari perdebatan, ekspresi keraguan, atau usaha untuk mengubah pikiran klien. c. Mengajukan pertanyaan yang berkaitan. Tujuan terapis adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan pun sebaiknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan terapis menggunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks sosial budaya klien. d. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri. Melalui pengucapan kembali kata-kata klien, terapis memberikan umpan balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berusaha agar komunikasi tetap dilanjutkan. e. Melakukan klarifikasi. Klarifikasi terjadi saat terapis berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata, ide, atau pikiran yang tidak jelas ketika disampaikan oleh klien. Tujuan teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian. f. Memfokuskan materi pembicaraan. Metode ini bertujuan untuk membatasi materi pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih terarah dan mudah dipahami. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah mengusahakan agar terapis tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah yang penting. 221
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
g. Menyertakan hasil observasi. Para terapis harus memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga klien dapat mengetahui apakah pesannya diterima dengan benar atau tidak. Dalam hal ini terapis menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat nonverbal klien. Teknik ini seringkali membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa terapis harus bertanya, memfokuskan, dan melakukan klarifikasi pesan. h. Menawarkan informasi. Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan pada diri klien. Terapis tidak dibenarkan memberikan nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari tindakan terapi adalah memfasilitasi klien untuk melakukan pengambilan keputusan. i. Diam. Diam akan memberikan kesempatan kepada terapis dan klien untuk mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu, agar tidak timbul perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran, dan memproses informasi. Diam terutama berguna pada saat klien harus mengambil keputusan. j. Meringkas. Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya. Di samping itu, meringkas dapat membantu terapis dalam mengulang aspek penting dalam interaksinya sehingga dapat dilanjutkan pada interaksi tahap berikutnya. k. Memberikan penghargaan. Penghargaan sebaiknya tidak menjadi beban bagi klien, sehingga klien harus berusaha keras dan melakukan segalanya agar mendapatkan pujian atau persetujuan atas apa yang dilakukannya. Selain itu, teknik ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa yang ini bagus dan yang sebaliknya kurang bagus. l. Memberikan kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan. Memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan dapat membantu kelancaran terapis 222
Hascaryo Pramudibyanto, Terapi Komunikasi sebagai Model ....
dalam memberikan terapi. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa terapis memang mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya, sehingga terapis lebih berusaha menafsirkan daripada menafsirkan diskusi atau pembicaraan. m. Menempatkan kejadian secara berurutan. Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu klien dan terapis dalam memandang sebuah perspektif permasalahan. Kelanjutan dari suatu kejadian akan menuntun terapis dan klien untuk melihat kejadian berikutnya, yang merupakan akibat dari kejadian sebelumnya dan juga dapat menemukan pola kesukaran interpersonal klien. n. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya. Apabila terapis ingin memahami klien, maka ia harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada terapis. Sementara itu, terapis harus waspada terhadap gejala ansietas yang mungkin muncul. PENUTUP Demikianlah paparan artikel mengenai terapi komunikasi yang dapat digunakan sebagai penguat ketahanan hubungan sosial dalam perkawinan. Artikel ini dapat dimanfaatkan oleh para penasehat perkawinan, psikolog, pendakwah agama, pasangan suami-isteri, dan semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan terapi komunikasi untuk rumah tangga. Terapi komunikasi yang diberikan kepada seorang klien belum tentu sama dengan klien yang lain. Namun terapi komunikasi yang disajikan dalam artikel ini dapat diberikan kepada klien secara umum. Daftar Pustaka Clegg, F. 1988. Bereavement. In S. Fisher and J. Reason (eds) Handbook of Life Stress, Cognition, and Health. Wiley, Chichester. Graham, R. J. 1981. Understanding the benefits of poor communication. Interface, 11, 80 82.
223
Jurnal ILMU KOMUNIKASI
VOLUME 6, NOMOR 2, Desember 2009: 207-224
Keliat, Budi Anna. 1992. Hubungan Terapuetik Perawat-Klien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Kusumawati, Meidia. 2005. Mengungkap Rahasia Berkomunikasi. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Larson, P. J. 1984. Important nurse caring behaviours perceived by patinets with cancer. Oncology Nursing Forum. 11, 46 50. Nelsonlones, R. 1990. Counselling and Helping Skills. London: Holt, Rinehart, and Winston. Neuman, B. 1982. The Neuman health care system: a total approach to client care. In B. Neuman (ed.). The Neuman System Model. New York: Appleton-Century-Crofts. Orem, D. 1985. Nursing: Concepts of Practice, (2nd edn). New York: McGraw Hill. Potter, J. and Wetherell, M. 1987. Discourse Analysis and Social Psychology. London: Sage. Roy, C. 1984. Introduction to Nursing: An Adaption Model. New Jersey: Prentice– Hall, Englewood Cliffs. Pandam, Ninung. 2003. Tingkatkan Kemampuan Anda dalam Berkomunikasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Taylor, S. E. 1983. Adjustment to threatening events: a theory of cognitive adaption. American Psychologist, 38. 1161-73. Wilson-Barnett, J. 1988. Patient theaching or patinet counselling? Journal of Advanced Nursing. 13, 215 22. Worden, J. W. 1982. Grief Counselling and Grief Therapy. London: Tavistock.
224