ISSN No. 1978-3787
Media Bina Ilmiah 17
ESTETIKA BUDAYA RIMPU PADA MASYARAKAT BIMA “ KAJIAN RELEGIULITAS” Oleh Siti Lamusiah Dosen FKIP UMM
Abstrak Dalam wacana estetika dunia, terdapat cara pandang yang berbeda antara pemikir Barat dengan pemikir Islam. Pemikir Barat moderen memiliki kecenderungan menata nilai-nilai estetika ke arah bagaimana manusia yang mendunia yang diwujudkan dengan bentuk praksis dengan karya-karya seni yang menggugah pancaindera dan juga menggelitik aspek-aspek psikologis manusia, sedangkan dalam nilai-nilai estetik Islam memiliki kecenderungan untuk menghampakan dunia Ada beberapa alasan mendasar bagi keharusan terjaganya rimpu dari pengikisan budaya oleh kecenderungan globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi. Rimpu juga adalah sebuah bentuk pakaian yang sopan yang merupakan sebuah representasi perempuan Bima dalam kehidupan sehari-hari. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaima situation Dan konteks pada setiap daerah. Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya teresbut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang mempengaruhi bergesernya budaya rimpu ini pada masyarakat antara lain : terinspirasi dengan budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya dan cultur masyarakat Bima, masyarakat Bima sekarang tidak menyadari akan hilangnya nilai-nilai budaya Bima, dengan menggunakan rimpu dianggap ketinggalan jaman, masyarakat Bima sekarang sudah sangat multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Dengan realita yang ada orang Bima harus mempertahankan kembali Budaya Rimpu yang pernah ada di daerah Bima, karena ketika salah satu budaya telah mati atau hampir punah maka budaya-budaya dan kebiasaan lainnya pun akan hilang dengan sendirinya. Kata kunci : Estetika, Budaya Rimpu, Relegiulitas. PENDAHULUAN Di Indonesia, nilai-nilai estetika klasik memiliki keterkaitan dengan kedalaman rasa dan kehalusan budi, yang kemudian melahirkan kesantunan, kearifan,kebahagiaan, kemaslahatan, dan juga kesusilaan yang dijunjung tinggi. Para pemikir estetika yang menekankan keluhuran budi selalu berkaitan dengan proses pendidikan manusia untuk lebih baik dari pada sebelumnya melalui proses penyadaran atau proses pembelajaran (Sachari,2002 :38). Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Dana Mbojo (Bima) merupakan suatu daerah yang kaya akan budaya dan adat-istiadat, yang merupakan ciri khas dari masyarakat Bima itu
sendiri. Tetapi dewasa ini adat-istiadat tersebut perlahan-lahan mulai luntur, dan sulit untuk ditemukan. Sehingga tidak mengherankan banyak anak-anak atau para remaja Bima yang tidak mengetahui budayanya sendiri. Keadaan ini tentu sangat memperihatinkan, karena adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun tersebut tak ternilai harganya. Akan sangat disayangkan bila harus hilang begitu saja, karena adat-istiadat dan budaya merupakan ciri khas suatu suku. Dan Indonesia merupakan bangsa yang terkenal karena kaya akan adat-istiadat yang berbeda pada tiap-tiap daerah dan suku. Salah satu yang menjadi sorotan dari adat-istiadat masyarakat Bima yang sekarang mulai memudar dan berangsur-angsur hilang adalah budaya rimpu. Budaya rimpu merupakan cara berpakaian yang merupakan ciri khas masyarakat Bima. Rimpu adalah juga sebuah identitas. Ada beberapa alasan mendasar bagi keharusan terjaganya rimpu dari pengikisan budaya oleh kecenderungan globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi. Rimpu juga adalah sebuah bentuk
_______________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 7, No. 3, Mei 2013
18 Media Bina Ilmiah
ISSN No. 1978-3787
pakaian yang sopan yang merupakan sebuah representasi siwe mbojo dalam kehidupan seharihari. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaimana masyarakat setempat memaknainya, seperti contoh pada suku Asmat di Irian Jaya, kesopanan tidak dinilai dari pakaian. Wanita dan laki-laki bebas bertelanjang dan hanya satu bagian saja dari tubuh mereka yang terbalut pakaian. Itulah yang disepakati oleh mereka. Tapi fakta tersebut tentu saja suatu perkecualian. Pada konteks Indonesia secara umum, Bima khususnya, kesopanan masih juga dinilai, salah satunya, dari cara berpakaian dan berpenampilan. Rimpu memiliki nilai estetis tersendiri bagi masyarakat Bima, sejak jaman dulu rimpu ini adalah salah satu pakaian yang indah dari segi motif,bahan dan juga keindahan dan keunikan dari cara berpakaian. Salah satu penilaian masyarakat terhadap siwe Mbajo atau gadis Bima adalah dilihat dan dinilai dari cara berpakaian, karena representasi dari norma dan sopan santun ada hubungannya dengan karakter gadis yang bersangkutan. Siwe Mbojo biasanya sangat kental dengan karakter dan cara berpakaian sehari-hari ketika keluar rumah. Bentuk karakter yang muncul ketika siwe Mbojo menggunakan rimpu sebagai salah satu budaya yang turun temurun adalah karakter sopan santun,sosial, budaya dan juga relegius. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640. Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi inspirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu. Menurut sejarawan Bima, M. Hilir Ismail, keberadaan rimpu juga tak lepas dari upaya pemerintah (masa Sultan Nuruddin) untuk memanfaatkan kain sarung atau kain tenun Bima yang sudah lama dikenal bahkan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laris sekitar abad 13 lampau. Sebab, pada masa itu, dou mbojo memanfaatkan melimpahnya tanaman kapas untuk dijadikan kain tenun yang menjadi komoditi perdagangan yang terjual hingga ke negeri Cina. Sejak saat itu, semua wanita yang sudah akil baliq diwajibkan memakai rimpu apabila hendak bepergian meninggalkan rumah dan keluarganya untuk sesuatu urusan. Kalau tidak, berarti sudah melanggar hukum agama dan adat pada saat itu. “Hukumannya lebih kepada hukuman moral. Orang
yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu”, ujarnya. Keterangan Hilir diperkuat lagi oleh Nur Farhaty Ghani, dari Forum Perempuan (ForPuan) Bima. Menurutnya, rimpu merupakan bagian dari identitas wanita Bima pada masa Islam baru berkembang di Bima. “Zaman dulu, wanita Bima dengan bangga memakai rimpu untuk menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya sendiri,” paparnya. Menurutnya, memakai rimpu pada masa itu semacam show (pertunjukan). “Ini loh kain hasil tenun saya. Saya sudah bisa menenun,” contohnya :keeratan hubungan rimpu dengan perkembangan Islam pada masa itu tampak jelas. Dari keterangan pelaku sejarah, wanita Bima yang hidup pada masa itu memandang tersingkapnya aurat mereka sebagai aib. Siapapun lelaki baik sengaja atau tidak melihat aurat mereka, pria tersebut wajib menikahinya. “Dengan tersingkapnya betis saja, wanita zaman dulu sudah merasa malu dan segera minta nikah. Mereka menganggap itu sebagai bentuk pelecehan (aib) terhadap wanita,” paparnya. Rimpu merupakan busana yang terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh bagian tubuh. Satu lembar untuk mernutup kepala, satu lembar lagi sebagai pengganti rok. Sesuai penggunaannya, rimpu bagi kaum wanita di Bima dibedakan sesuai status. Bagi gadis, memakai rimpu mpida—yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang dibiarkan terbuka. Ini sama saja dengan penggunaan cadar pada kaum wanita muslim. Caranya, sarung yang ada dililit mengikuti arah kepala dan muka bagi kaum wanita yang telah bersuami memakai rimpu colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Caranya pun hampir sama. Sedangkan untuk membuat rok, sarung yang ada cukup dililitkan pada bagian perut dan membentuknya seperti rok dan kemudian mentangkupkan pada bagian kanan dan kiri pinggang. Adanya perbedaan penggunaan rimpu antara yang masih gadis dengan yang telah bersuami, secara tidak langsung menjelaskan pada masyarakat terutama kaum pria tentang status wanita pada zaman itu. Bagi kaum pria terutama yang masih lajang, melihat mereka yang mengenakan rimpu mpida merupakan pertanda baik. Apalagi, jika pria lajang tersebut sudah berkeinginan untuk segera berumah tangga. Dengan sendirinya, pria-pria lajang akan mencari tau keberadaan gadis incarannya dari sarung yang dikenakannya. Seiring perkembangan zaman, keberadaan rimpu hampir terlupakan. Malah, beberapa tahun terakhir, sebagian besar masyarakat Bima yang
_______________________________________________ Volume 7, No. 3, Mei 2013
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 beragama Islam beralih mengenakan jilbab dengan trend mode yang bermunculan. Parahnya, generasigenerasi sekarang sudah banyak yang tak mengenal rimpu. Kalaupun ada, mereka tak mengerti cara penggunaannya. Wanita Bima masa kini menganggap orang yang mengenakan rimpu sebagai wanita kolot dan kampungan. Saat ini, wanita Bima yang mengenakan Rimpu masih bisa ditemukan di daerah-daerah seperti di Kecamatan Wawo, Sape, Lambitu, Wilayah Kae (Palibelo, Belo, Woha dan Monta), juga di Kecamatan Sanggar dan Tambora Kabupaten Bima. Tidak ada alasan untuk tidak melestarikan budaya rimpu ini dan sudah sepatutnya ada sebuah kebijakan yang menunjang pelestariannya. Pemerintah Bima seharusnya mulai memikirkan upaya tersebut, paling tidak sebuah kebijakan pada hari tertentu agar wanita Bima mengenakan busana harian Rimpu patut dipertimbangkan sehingga berdampak pula pada peningkatan pendapatan sektor industri rumahan khususnya tenunan tradisional Bima PEMBAHASAN a.
Kajian Estetika Secara etimologis estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu aestheta, yang juga di turunkan dari aisthe (hal-hal yang dapat di tanggapi dengan indra, tanggapan indra (Kuta Ratna, 2006: 3-4). Dalam bahasa Inggris menjadi aesthetics yaitu studi tentang keindahan . Dalam bahasa Indonesia menjadi estetika yang berarti ilmu tentang keindahan. Kajian estetik dapat di lakukan dengan 2 cara yaitu : 1). Pendekatan melalui filsafat seni dan
2). Pendekatan melalui kritik seni. Menurut Mulyadi dalam Artikel Ilmiah Metode Perancangan Model Kajian Estetika (2002: 2) bahwa pendekatan melalui filsafat seni adalah obyek desain yang dapat diamati sebagai sesuatu yang mengandung makna simbolik, makna sosial, makna budaya, makna keindahan, makna ekonomi, makna penyadaran, ataupun makna relegi. Sedangkan pendekatan melalui kritik seni adalah pendekatan dengan memahami, menganalisis karya sastra dengan menitikberatkan pada unsur instrinsik dan ektrinsik. Kajian estetika ini diarahkan pada budaya rimpu masyarakat Bima yang dinilai secara estetik merupakan pakaian yang menyerupai ninja dan dipakai sebagai kerudung dengan menggunakan sarung nggoli (bahasa Bima) yang merupakan simbol dan identitas perempuan Bima jaman dulu hingga sekarang. Rimpu ini memiliki nilai estetika
Media Bina Ilmiah 19 tersendiri bagi pemakainya,karena dilihat dari bahan, motif, serta warna sarung atau tembe nggoli yang di gunakan oleh perempuan Bima, ketika menghadiri acara-acara ritual dan budaya masyarakat Bima pada khususnya. Estetika budaya rimpu ini memang sudah berakar di masyarakat, namun karena adanya globalisasi dan modernisasi, maka nilai –nilai estetika rimpu sudah bergeser pada nilai-nilai moderen, salah satunya adalah rimpu sudah diganti dengan pakaian moderen seperti jilbab, kerudung, atau model-model lainya. b.
Kajian Relegiulitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia relegi artinya kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan Relegiulitas artinya pengabdian terhadap agama (2005:943).Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape. Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerahdaerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat. Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup
_______________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 7, No. 3, Mei 2013
20 Media Bina Ilmiah dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya. Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjidmasjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci AlQuran di setiap sore dan malam hari. Manfaat dan Peran Budaya Rimpu Dalam Keseharian Masyarakat Bima. Manfaat dan peran rimpu bagi masyarakat Bima, tidak hanya terbatas sebagai lambang atau ciri khas masyarakat Bima saja. Tetapi juga ada alasan lain, yang mengharuskan terus terjaganya rimpu, yaitu: 1.
Alasan Teologis Dalam al Qur’an ada tiga ayat yang khusus berkenaan dengan wacana pembatasan diri dan cara berpakain muslimah yaitu al Ahzab (33: 53, 59) dan an Nur (24:31). Al Ahzab ayat 53 adalah ayat tentang hijab yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai perintah khusus untuk isteri Nabi. Lagipula hijab sebenarnya berarti satir atau pembatas bukan bermakna spesifik jilbab atau penutup kepala.
ISSN No. 1978-3787 masyarakat Indonesia. ni merupakan tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, masyarakat Indonesia dan Bima khususnya, tertantang untuk mengawinkan dan mempertahankan tradisi di dalam bingkai agama. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa nama besar Arab sebagai negara dan tempat di mana Islam diturunkan tetap membayangi pemahaman keagamaan sebagian orang. Ketika penulis mengadakan interview dan penelitian kecilkecilan mengenai kenapa rimpu semakin menghilang di dana Mbojo tercinta, sebagian besar responden berargumen bahwa rimpu out of date, tidak praktis dan tidak simple dipakai. Lebih baik memakai jilbab yang lebih islami dan lebih modis. Dari jawaban itu, saya lalu berpikir bahwa kalau mau jujur, bentuk jilbab yang sekarang dipakai oleh sebagian besar muslimah Indonesia juga tidaklah persis sama dengan jilbab yang dipakai oleh muslimah Arab. Telah terjadi modifikasi sedemikian rupa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tempat dimana pakaian itu digunakan. Jilbab untuk pakaian kantor agak berbeda dengan jilbab yang dipakai untuk pengajian. Nah, kalau mau, kenapa bukan rimpu saja yang dimodifikasi? Ide dasarnya rimpu dan penutup dus, sarung, dus, muna tapi penampilannya bolehlah disesuaikan dengan kebutuhan.
Alasan sosiologis Salah satu alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak pro jilbab adalah bahwa jilbab adalah budaya Arab dan selayaknya Islam tidak diidentikan dengan Arab. Lalu mereka berkesimpulan jilbab tentu saja tidak harus menjadi pakaian muslimah Indonesia. Menurut hemat saya, pendapat ini tidak harus diartikan bahwa kita lalu tidak perlu menutup aurat sebagaimana yang dikehendaki oleh ajaran Islam, tetapi hendaknya umat Islam di belahan dunia manapun mampu menterjemahkan ajaran agamanya sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Pada point inilah rimpu menemukan arti pentingnya. Rimpu adalah kearifan lokal masyarakat Bima yang ingin menterjemahkan nilai agamanya ke dalam budaya mereka sendiri sehingga agama itu lalu melekat dan tidak terpisahkan dari budaya. Sehingga teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh sarjana Belanda (Van den Berg) bahwa adat di Indonesia akan berlaku apabila sesuai dengan ajaran agama (Islam) benar-benar merupakan cerminan nyata kehidupan
Alasan Teoritis Banyak pihak yang mengidentikan kebebasan dengan feminism atau bersembunyi di balik nama feminism demi kebebasan, dan lalu berkilah bahwa jilbab tidak perlu dan itu hanyalah sebuah lambang ketertindasan wanita. Pendapat tersebut bisa salah dan bisa benar sesuai dengan konteksnya. Sebab yang saya tahu, tidak semua feminis menginginkan kebebasan sebagai bentuk pemberdayaan perempuan, apalagi feminis yang terbungkus oleh agama khususnya Islam. Akan halnya hubungan pemahaman feminis dengan penampilan wanita adalah sangat terkait erat dengan wacana kontrol tubuh versus objektifikasi perempuan dalam dunia patriarkhi. Yang menjadi issu penting bagi feminis adalah bagaimana wanita bisa secara sadar menentang pemanfaatan tubuh wanita sebagai obyek. Nah, lagi-lagi ini sangat tergantung dari budaya dan tradisi lokal. Di dunia barat penentangan terhadap objektifikasi itu dilakukan dengan cara buka-bukaan untuk menunjukkan bahwa wanita sangat berhak terhadap tubuhnya sendiri sehingga mereka berhak untuk melakukan apapun tanpa intervensi pihak luar. Di sini individualitas sangat berperan.Terlebih bagi konteks Indonesia yang masih menganggap budaya buka-bukaan sebagai sesuatu yang tidak wajar. Tentang wacana jilbab, aurat, dan kebebasan ini,
_______________________________________________ Volume 7, No. 3, Mei 2013
http://www.lpsdimataram.com
2.
3.
ISSN No. 1978-3787 pertanyaan besar bagi para feminis adalah apakah wanita dengan penuh kesadaran memilih pakaian itu ataukah dengan pemaksaan pihak luar yang berkedok pelembagaan agama padahal agama dianggap sebagai sesuatu yang sangat private. Keinginan para pejuang feminis sesungguhnya adalah pilihan sadar wanita tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Itulah sebabnya kenapa para feminis Barat (feminis sekuler) memandang bahwa hijab di dunia Islam khususnya Arab sebagai bentuk penindasan wanita, karena di sana wanita diharuskan memakai jilbab tanpa kesadaran yang tumbuh secara alami dari dalam. Wanita lalu dianggap tidak punya power untuk menentukan pilihannya sendiri. Dalam konteks Indonesia di mana jilbab menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan dengan segenap raga untuk diakui sebagaimana yang terjadi pada zaman orde baru, tentu saja sangat berbeda. Muslimah Indonesia harus rela di caci, dikeluarkan dari sekolah, tidak diterima pada lembaga-lembaga tertentu untuk bekerja, dipanggil ninja, dianggap bersembunyi di balik jilbab padahal pencuri di pasar (kejadian pada tahun 1980-an kalau tidak salah) untuk lalu bisa berekspresi dengan jilbab seperti sekarang. Muslimah Indonesia memakai jilbab atas kesadaran yang tumbuh dari dalam, tidak ada keharusan secara kelembagaan, tidak juga secara formal yuridis. Kalaupun sekarang muncul semangat untuk memformalisasi jilbab di beberapa daerah di Indonesia, itu telah didahului oleh perjalanan panjang dan hanya upaya meningkatkan, kesadaran hukum muslimah Indonesia. Di titik ini pulalah rimpu menemukan substansinya. Rimpu hendaknya tidak hanya dipandang sebagai simbol yang menekan kebebasan wanita, tapi justru harus dipandang sebagai upaya wanita Bima mengontrol dirinya, memperlakuan tubuhnya menjadi sesuatu yang bernilai dan terhormat, melawan arus hegemoni patriarkhi, objektifikasi dan komodifikasi tubuh wanita. Di saat meruaknya cara menilai wanita dari kemolekan tubuhnya, di tengah gencarnya media dan dunia mendefinisikan wanita hanya dari nilai keseksian penampilannya, wanita Bima seharusnya ingin menutup tubuhnya rapat-rapat dengan kreatifitas yang mereka ciptakan sendiri. Mereka sendirilah yang muna (menenun), mereka sendirilah yang memakai. Dan dalam sejarah kesultanan Bima, yang saya tahu, tidak pernah ada perintah secara formal bahwa wanita Bima diharuskan memakai rimpu. Rimpu benar-benar tumbuh secara alami dan penuh kesadaran. 4.
Sebab-Sebab Pudarnya Budaya Rimpu di Kalangan Masyarakat Bima Dewasa Ini.
Media Bina Ilmiah 21 Dana Mbojo (Bima) merupakan suatu daerah yang kaya akan budaya dan adat-istiadat, yang merupakan ciri khas dari masyarakat Bima itu sendiri. Tetapi dewasa ini adat-istiadat tersebut perlahan-lahan mulai luntur, dan sulit untuk ditemukan. Sehingga tidak mengherankan banyak anak-anak atau para remaja Bima yang tidak mengetahui budayanya sendiri. Keadaan ini tentu sangat memperihatinkan, karena adat-istiadat dan budaya yang diwariskan secara turun temurun tersebut tak ternilai harganya. Akan sangat sangat disayangkan bila harus hilang begitu saja, karena adat-istiadat dan budaya merupakan ciri khas suatu suku. Dan Indonesia merupakan bangsa yang terkenal karena kaya akan adat-istiadat yang berbeda pada tiap-tiap daerah dan suku. Salah satu yang menjadi sorotan dari adat-istiadat masyarakat Bima yang sekarang mulai memudar dan berangsur-angsur hilang adalah budaya rimpu. Budaya rimpu merupakan cara berpakaian yang merupakan ciri khas masyarakat Bima. Rimpu adalah juga sebuah identitas. Saat sekarang ini budaya rimpu mulai terkikis oleh kecenderungan globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi. Alasan itu tentu berkaitan dan tidak terpisahkan dan terutama bersumber dari alasan teologis. Nilai mendasar yang terkandung dalam etika berpakaian wanita muslimah yaitu: pembatasan, kesopanan, dan identitas. Di sinilah simpul di mana rimpu menemukan nilainya. Rimpu merengkuh ketiga nilai yang diamanatkan oleh AlQur’an itu. Rimpu adalah sebuah pembatasan bagi diri wanita Bima untuk tidak melakukan hal-hal di luar kemampuannya sebagai seorang wanita. Juga membatasi diri dari pengaruh pandangan-pandangan yang menjadikan wanita sebagai obyek. Lagi-lagi ini sangat tergantung dari budaya dan tradisi lokal. Di dunia barat penentangan terhadap objektifikasi itu dilakukan dengan cara buka-bukaan untuk menunjukkan bahwa wanita sangat berhak terhadap tubuhnya sendiri sehingga mereka berhak untuk melakukan apapun tanpa intervensi pihak luar. Di sini individualitas sangat berperan. Tetapi ini sama sekali tidak sesuai, terlebih bagi konteks Indonesia yang masih menganggap budaya buka-bukaan sebagai sesuatu yang tidak wajar. Rimpu adalah kearifan lokal masyarakat Bima yang ingin menterjemahkan nilai agamanya ke dalam budaya mereka sendiri sehingga agama itu lalu melekat dan tidak terpisahkan dari budaya. Sehingga teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh sarjana Belanda (Van den Berg) bahwa adat di Indonesia akan berlaku apabila sesuai dengan ajaran agama (Islam) benar-benar merupakan cerminan nyata kehidupan masyarakat Indonesia
_______________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 7, No. 3, Mei 2013
22 Media Bina Ilmiah Rimpu juga adalah sebuah bentuk pakaian yang sopan. Tentu makna kesopanan sangat relatif tergantung bagaimana masyarakat setempat memaknainya, seperti contoh pada suku Asmat di Irian Jaya, kesopanan tidak dinilai dari pakaian. Wanita dan laki-laki bebas bertelanjang dan hanya satu bagian saja dari tubuh mereka yang terbalut pakaian. Itulah yang disepakati oleh mereka. Tapi fakta tersebut tentu saja suatu perkecualian. Pada konteks Indonesia secara umum, Bima khususnya, kesopanan masih juga dinilai, salah satunya, dari cara berpakaian dan berpenampilan. Dengan menghidupkan kembali rimpu dan lalu mempertahankannya, budaya lokal tetaplah terjaga, yang saya yakin sepenuhnya pasti punya dampak secara ekonomis, dan juga sebuah kebanggaan identitas, dan sangat positif bagi pariwisata budaya. Tentu masih banyak lagi dampak lain yang patut dikalkulasi. Lebih-lebih di tengah gencarnya arus globalisasi dewasa ini, penemuan kembali budaya lokal sebagai wujud kecintaan terhadap tradisi dan sebagai upaya untuk mempertahankan identitas adalah sesuatu yang harus dilakukan. Konon, dulu, untuk membedakan wanita yang masih gadis dan sudah berumah tangga, cukup melihat dari cara mereka memakai rimpu. Rimpu mpida di mana hanya mata yang kelihatan dipakai biasanya oleh gadis, sementara rimpu colo yang menampakkan seluruh bagian muka biasanya dikenakan oleh ibu rumah tangga. Jadi, rimpu benarbenar sebuah kreatifitas budaya yang dilandasi oleh kesadaran agama yang begitu tinggi. Dahulu, Perempuan-perempuan Mbojo enggan untuk keluar rumah jika tidak mengenakan Rimpu, ia tidak saja budaya tapi implementasi dari syariat islam. Budaya rimpu bagi kaum hawa di masyarakat Bima memang secara perlahan mulai redup dan semakin menunjukan tanda bahwa budaya ini akan menjadi memori masa lalu. Sekarang memang tinggal pertanyaan kemana budaya rimpu tersebut? Mungkin rimpu hanyalah sebuah warisan turun temurun yang tidak begitu berharga, bahkan cukup aneh untuk dianut jaman ini. Namun perjalanan roda jaman memang terlalu cepat berputar pengaruh modernisasi dan trend masa kini telah melanda daerah Bima, ini terlihat dari corak dan mode yang di pakai kaum hawa saat ini dan begitu juga modernisasi harus mengedepankan nilai-nilai budaya,moral, nilai relegius. Suatu pemandangan yang luar biasa berubahnya karena di kota ini kaum hawa kelihatan seperti manusia yang tidak memakai baju karena liuk-liuk tubuhnya yang seksi kelihatan sangat jelas dan tentu saja ini bisa menimbulkan birahi kaum adam apalagi bagi kaum laki-laki, Ini semua adalah korban dari keganasan jaman yang makin modern dan dibarengi dengan si _______________________________________________ Volume 7, No. 3, Mei 2013
ISSN No. 1978-3787 pelaku yang tidak mau menyaring serta mengklarifikasi baik atau tidaknya dan bertentangan dengan budaya serta sesuai dengan ketentuan agama. Hasil penelitian yang di lakukan ternyata representasi pergeseran nilai –nilai karakter pada gadis mbojo atau siwe mbojo antara lain; tidak lagi menggunakan rimpu ini sebagai pakaian adat masyarakat,namun sudah beralih ke pakaian moderen seperti jlbab dan lain-lain. Berkaitan dengan itu ada beberapa hal yang mempengaruhi bergesernya budaya rimpu ini pada masyarakat antara lain : • Terinspirasi dengan budaya barat yang tidak sesuai dengan budaya dan cultur masyarakat Bima • Masyarakat Bima sekarang tidak menyadari akan hilangnya nilai-nilai budaya Bima • Dengan menggunakan rimpu dianggap ketinggalan jaman • Masyarakat Bima sekarang sudah sangat multikultural dalam kehidupan sehari-hari Dengan realita yang ada orang Bima harus mempertahankan kembali Budaya Rimpu yang pernah ada di daerah Bima , karena ketika salah satu budaya telah mati atau hampir punah maka budayabudaya dan kebiasaan lainnya pun akan hilang dengan sendirinya. PENUTUP Wanita Bima saat ini sudah banyak memakai jilbab untuk pakaian sehari-hari.Sedangkan rimpu adalah lambang, bukan substansi. Substansi tetaplah lebih penting ketimbang lambang yang tanpa makna. Tetapi sebagai sebuah syi’ar, lambang itu tetap juga harus dikedepankan. Wanita bertanggung jawab dengan menjaga penampilannya, sementara laki-laki bertanggung jawab dengan menjaga pandangannya. Keduanya harus berjalan secara simultan. Pakaian rimpu di lihat dari segi cara dan penggunaannya memiliki nilai estetik yang tinggi terutama dari segi bobot,wujud dan penampilan. Perempuan Bima yang selalu mengenakan rimpu dan tahu jelas identitasnya tanpa harus berlindung dibalik identitas orang lain. Namun demikian, kita jangan lantas berputus asa dan membiarkan budaya manis dan bernilai ini hilang ditelan waktu seiring dengan perkembangan zaman, tapi mari kita bangkit dan bangunkan kembali. Kita dapat memulainya dari keluarga kita sendiri. Wanita Bima, juga tidak seharusnya latah, bersembunyi di balik ide kebebasan, liberalisme, sekularisme, feminisme dan isme-isme yang lain hanya untuk melepaskan tanggung jawab itu. Mari semua pihak berjalan bersama menjalankan fungsinya masing-masing.
http://www.lpsdimataram.com
ISSN No. 1978-3787 Saya yakin dengan sebuah komitmen dan awal yang baik dari masing-masing keluarga, budaya rimpu ini bisa terbangun kembali. Haruskah kita menunggu negara lain menggali sejarah budaya kita yang kemudian mereka adopsi dan menjadikan itu sebagai warisan nenek moyang mereka. Namun semoga rimpu yang dulu melekat dan begitu memikat namun akhirnya mangkat, smoga bisa jadi simbol bahwa perempuan Bima menjadi terhormat, menjaga aura dan aurat.
Media Bina Ilmiah 23 Barker. Chris.2005. Culture Stadies Teori dan Praktek. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka Edi
Mulyadi, 2002. Artikel Ilmiah. Metode Perancangan Model Pengkajian Estetika
Jurnal
Pengembangan Pendidikan Budaya dan karakter Bangsa dari kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjoraningrat, 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat edisi II 1997.Mataram: CV.Eka Darma
Ratna, Kuta, 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Afrianti.2002. Skripsi. Tradisi Rimpu dalam Masyarakat Mbojo di Desa Naru Kecamatan Sape Kabupaten Bima (Kajian Budaya terhadap Makna dan Tujuan Rimpu).
Ratna, Kuta, 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_______________________________________ http://www.lpsdimataram.com
Volume 7, No. 3, Mei 2013