e
ISSN: 1410-7058
JPS
e
e
e
Jurnal Penelitian Sains Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
UP2M FMIPA Universitas Sriwijaya
e
JPS
e
e
e
N
Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc.
Prof. Dr. Hj. Hilda Zulkifli Dahlan, M.Si., DEA
J
urnal Penelitian Sains (JPS) FMIPA UNSRI terbit tiga kali setahun pada bulan Januari, Mei, dan September, sebagai wahana komunikasi ilmiah di bidang sains serta lintas ilmu yang terkait; diterbitkan sejak 1 Oktober 1996 oleh UP2M FMIPA Universitas Sriwijaya, ISSN 1410-7058. Jurnal ini berisikan tulisan atau karangan ilmiah dalam berbagai bidang tersebut yang diangkat dari hasil penelitian, survei, atau telaah pustaka, yang belum pernah dipublikasikan dalam terbitan lain. Pelindung Penanggung Jawab
: Drs. Muhammad Irfan, M.T. (Dekan FMIPA Universitas Sriwijaya) : Dr. Arum Setiawan, M.Si. (Ketua UP2M FMIPA Universitas Sriwijaya)
Pimpinan Redaksi Redaktur Pelaksana
: Dr. Akhmad Aminuddin Bama, M.Si. : Hadi, S.Si., M.T.
Pelaksana Tata Usaha
: Effendi M. Z.
Alamat Redaksi
: UP2M FMIPA UNSRI, Gedung FMIPA UNSRI Lt. 1, Jalan Raya Palembang-Prabumulih Km 32, Kampus Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Telp. 0711-580268, Faks. 0711-580056. Homepage:http://www.jpsmipaunsri.wordpress.com Email:
[email protected];
[email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan sebelumnya oleh penerbit lain. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris yang baik dan benar, tidak mengandung unsur politik, komersialisme, atau subjektifitas yang berlebihan. http://www.jpsmipaunsri.wordpress.com
ISSN: 1410-7058 Volume 18 Nomor 2, Mei 2016
e e
JPS
e
e
Jurnal Penelitian Sains
DAFTAR ISI Verifikasi Dosimetri Teknik Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT) Metastasis Tulang: Studi Kasus Menggunakan Fantom Homogen dan Inhomogen Yosi Sudarsi Asril, Wahyu Edy Wibowo, dan Supriyanto Ardjo Pawiro ....................
18208-47
Komunitas Makrofauna di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu, Bengkalis Radith Mahatma, Khairijon, dan Afrimaini ...........................................................................
18209-51
Studi Pendahuluan: Inventarisasi Amfibi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II Doni Setiawan, Indra Yustian, dan Catur Yuono Prasetyo ............................................
Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi Tikus Jantan Sprague Dawley
18210-55
®
Sri Nita, Ummi Hiras Habisukan, dan Nyayu Fauziah Zen ..................................................
18211-59
Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat Tradisional oleh Etnik Lom di Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, dan Hapis Aprizan ..............................................
18212-66
Keterkaitan Jumlah Daerah Termutasi pada Gen β-globin dengan Indeks Korpuskular Pembawa Sifat β-thalassemia Priyambodo, Niken Satuti Nur Handayani ............................................................................
18213-75
Variasi Rasio Amonium dan Nitrat terhadap Perkembangan Embrio Somatik Bawang Putih (Allium sativum) secara In Vitro Singgih Tri Wardana ..................................................................................................................
18214-80
Analysis of Relation between Fluorescence Intensity and Ripeness Levels of Loosed Palm Oil Fruits Minarni Shiddiq dan Reza Umami .............................................................................................
18215-85
© 2016 JPS MIPA UNSRI
iii
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Verifikasi Dosimetri Teknik Stereotactic Body Radiotherapy (SBRT) Metastasis Tulang: Studi Kasus Menggunakan Fantom Homogen dan Inhomogen Yosi Sudarsi Asril1), Wahyu Edy Wibowo2), dan Supriyanto Ardjo Pawiro3) 1,3)
Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, 2)Departemen Radioterapi, RSUP Cipto Mangunkusumo
Intisari: Kanker menyebabkan 13% dari total semua kasus penyebab kematian, dan matastasis tulang adalah komplikasi umum dari kanker yang terjadi diatas 40% pada pasien onkologi. Sekitar 70% metastasis akan melibatkan tulang belakang. Stereotactic body radiotherapy (SBRT) adalah salah satu teknik yang dapat menangani metastasis tulang karena dapat memberikan dosis radiasi tinggi pada volume kecil dengan margin yang sangat rapat. Dalam perencanaan radioterapi untuk foton energi tinggi sering tidak sesuai dalam memperkirakan distribusi dosis dengan keberadaan material tidak homogen. Oleh karena itu dibandingkan hasil dosis pada fantom homogen (CIRS Model 002 H9K) dengan fantom inhomogen (CIRS Model 002 LFC) menggunakan tiga dosimeter, yaitu mikrochamber exradin A16, film gafchromic EBT3, dan TLD LiF: Mg, Ti rods. Hasil yang didapatkan dari pengukuran kedua fantom membuktikan bahwa film gafchromic EBT3 merupakan dosimeter terbaik dalam pengukuran dosis pada lapangan kecil dengan masing-masing deskripansi -0,30% pada fantom homogen dan -1,57% pada fantom inhomogen. Mikrochamber juga memperlihatkan kemampuannya dengan mendapatkan deskripansi tidak begitu jauh dengan film gafchromic EBT3 yaitu -0,52% pada fantom homogen dan -3,87% pada fantom inhomogen. Sedangkan menggunakan TLD LiF:Mg, Ti rods masing-masing deskripansinya -11,96% dan -13,88% pada fantom homogen dan inhomogen. Kata kunci: Metastasis Tulang, SBRT, Mikrochamber Exradin A16, Film Gafchromic EBT3, TLD LiF:Mg, Ti rods Abstract: Cancer causes 13% of all cases the cause of death, and bone metastases is a common complication of cancer that occurs above 40% in oncology patients. Approximately 70% will involve spinal metastases. Stereotactic body radiotherapy (SBRT) is one technique that can handle bone metastases because it can provide a high radiation dose to a small volume with a very tight margin. In the planning of radiotherapy for high-energy photons are often not suitable to estimating dose distribution in inhomogeneous material. Therefore, compared the dose results in homogeneous phantom (CIRS Model 002 H9K) with inhomogeneous phantom (CIRS Model 002 LFC) using three dosimeter; mikrochamber exradin A16, gafchromic film EBT3, and TLD LiF: Mg, Ti rods. The result from both phantom measurements prove that the gafchromic filn EBT3 is the best dosimeter in measuring dose in small field with descripansies dose -0,30% and -1,57% in homogeneous and inhomogeneous phantom. Mikrochamber also showed the ability to get descripansies as good as gafchromic film EBT3 is -0,52% and -3,87% in homogeneous and inhomogeneous phantom. While descripansies using the TLD LiF:Mg, Ti rods is -11,96% and -13,88% in homogeneous and inhomogeneous phantom. Keywords: Bone Metastasis, SBRT, Mikrochamber Exradin A16, Gafchromic Film EBT3, TLD LiF:Mg, Ti rods Email:
[email protected]
1 PENDAHULUAN
K
anker menyebabkan 13% dari total semua kasus penyebab kematian, dan matastasis pada tulang adalah komplikasi umum dari kanker yang terjadi diatas 40% pada pasien onkologi[1]. Sekitar sepertiga dari semua pasien kanker akan mengalami metastasis tulang dan sekitar 70% metastasis akan melibatkan tulang belakang[2]. Metastasis tulang tersebut dan kanker primer itu sendiri dapat menyebabkan pasien merasakan rasa sakit yang besar dan gangguan fungsional[3]. Stereotactic body radiotherapy (SBRT) adalah salah satu teknik yang dapat menangani metastasis tulang karena dapat © 2016 JPS MIPA UNSRI
memberikan dosis radiasi tinggi pada volume kecil dengan margin yang sangat rapat. Dalam perencanaan radioterapi untuk foton energi tinggi sering tidak sesuai dalam memperkirakan distribusi dosis dengan keberadaan material tidak homogen[4]. Oleh karena itu dibandingkan hasil dosis pada fantom homogen (CIRS Model 002 H9K) dengan fantom inhomogen (CIRS Model 002 LFC) menggunakan tiga dosimeter, yaitu mikrochamber exradin A16, film gafchromic EBT3, dan TLD LiF: Mg, Ti rods.
18208-47
Yosi D. A., dkk/Verifikasi Dosimetri Teknik …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
2 KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Radioterapi paliatif efektif mengontrol rasa sakit pada pasien dengan metastasis tulang belakang, namun dosis yang lebih tinggi pada radioterapi mungkin dibutuhkan untuk kontrol tumor dan mencegah kerusakan tulang pada tulang belakang yang dapat menghasilkan ketidakstabilan tulang belakang. Sensitifitas tulang belakang pada radiasi umumnya tidak memungkinkan dosis radiasi tinggi pada tulang belakang atau re-iradiasi menggunakan teknik konvensional. Oleh karena itu, telah dikembangkan berbagai teknik untuk mengoptimalkan pengiriman dosis radiasi untuk kasus metastasis tulang untuk melindungi tulang belakang, salah satunya adalah Stereotactic Body Radiotherapy[5]. SBRT memberikan dosis radiasi dalam ukuran besar, biasanya 6-30 Gy tiap fraksi. Jumlah fraksi dalam SBRT adalah lima atau lebih sedikit selama waktu tertentu untuk mencapai biologically effective dose (BED) tinggi [6].
3 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dilakukan di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, menggunakan beberapa alat dan material, antara lain: Pesawat LINAC Synergy Elekta, TPS pinnacle3, pesawat CT Simulator GE Brightspeed, fantom CIRS inhomogen model 002 LFC, fantom CIRS homogen model 002 H9K, dosimeter TLD LiF:Mg,Ti rod, Film gafchromic EBT3, dan detektor bilik ionisasi Exradin A16.
Gambar 1. Pengukuran pada fantom homogen
Sebelum pengukuran, dilakukan pemindaian sebelumnya terhadap kedua fantom menggunakan CT Simulator GE BrightSpeed. Pemindaian pada kedua fantom sangat penting dilakukan untuk kepentingan perencanaan dimana titik referensi dan volume target dapat diketahui; berhubung pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran dosis titik yang dilakukan tepat pada isocenter. Hasil citra per slice yang didapatkan dari pemindaian tersebut, akan dikirim ke software TPS Pinnacle3 dan kemudian dilakukan proses countoring serta perencanaan radiasi yang akan diterapkan. Perencanaan radioterapi teknik SBRT menggunakan TPS Pinnacle3 dengan teknik perhitungan forward planning dengan dosis preskripsi 5 Gy/12 fraksi pada titik isocenter tulang.
Kalibrasi dilakukan pada dosimetri TLD dan Film Gafchromic EBT3. Kalibrasi TLD dilakukan untuk mendapatkan hubungan nilai bacaan TLD dengan nilai dosis. Kalibrasi film gafchromic EBT3 dilakukan untuk menentukan hubungan antara dosis dengan bacaan nilai piksel film. Baik kalibrasi TLD maupun film gafchromic EBT3 dilakukan menggunakan dua nilai rentang dosis, yakni dosis rendah yang rentang dosisnya dari 10-500 cGy dan dosis tinggi yang rentang dosisnya dari 500-1800cGy dan menggunakan solid water phantom yang dipapar dengan energi foton 6 MV, menggunakan teknik SSD 100 cm, luas lapangan 10 x 10 cm2, dan kedalaman (z) 5 cm. Hanya TLD yang sensitivitasnya memiliki standar deviasi ±3% yang digunakan pada setiap kelompok TLD yang terdiri dari 3 buah rod TLD.
Gambar 2. Diagram Penelitian
Analisa data dosimetri dilakukan dengan mengacu pada rekomendasi AAPM TG 119, 2009 dengan mengkalkulasi besarnya perbedaan dosis (diskre18208-48
Yosi D. A., dkk/Verifikasi Dosimetri Teknik …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
pansi) relatif antara nilai dosis dari hasil data dosimetri pada pengukuran (Dmeasured) dengan nilai dosis hasil perencanaan TPS (Dplanned) menggunakan persamaan sebagai berikut:
ruhan dosimeter di fantom inhomogen memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fantom homogen. Tabel 1. Diskrepansi dosis target pada ketiga dosimeter CT-number
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran dosis di titik target secara statik pada fantom homogen dan fantom inhomogen dilakukan menggunakan tiga dosimeter; Film Gafchromic EBT3, Mikrochamber Exradin A16, dan TLD LiF: Mg, Ti rods. Ketiga dosimeter diukur pada titik isocenter pada target tulang yang disesuaikan dengan perencanaan yang telah dibuat. Secara umum, pengukuran kedua fantom menggunakan teknik SBRT menunjukkan hasil yang baik walaupun pengukuran didominasi dengan pola underestimate (dosis yang terukur lebih rendah daripada dosis perencanaan). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; yaitu pertama, penggunaan lapangan kecil pada teknik SBRT menyebabkan tidak terpenuhinya charged particle equilibrium dikarenakan ukuran lapangan yang lebih kecil dibandingkan jarak elektron pada sisi lateral sehingga terjadilah lateral electronic disequilibrium [7][8]. Kedua, yaitu efek volume averaging dimana ukuran ionisasi chamber harus sebanding atau lebih kecil dibandingkan dengan ukuran lapangan radiasi[7] agar tidak mengalami penurunan resolusi spasial atau efek volume averaging. Kedua efek ini berdampak pada penelitian Oh et al., 2014[9] yang menyatakan bahwa hasil dari pengukuran dosis di lapangan kecil dominan underestimate disebabkan oleh adanya lateral electron disequilibrium (LED).
CIRS 002LFC (INHOMOGEN)
Diskrepansi -0,52% -0,30% -11,96% -3,87% -1,57% -13,88%
Jika ditinjau dari masing-masing dosimeter, film gafchromic EBT3 memiliki nilai diskrepansi yang cukup baik dibandingkan dua dosimeter lainnya. Hal ini dikarenakan karakteristik film gafchromic EBT3 yang memiliki resolusi spasial yang tinggi, sehingga gradian film gafchromic EBT3 ini dapat menunjukkan kemampuannya saat diberikan dosis tinggi. Hasil yang tidak begitu jauh dicapai oleh dosimeter Exradin A16. Jenis mikrochamber ini memiliki volume sekitar 0,007 cm3 yang cocok dalam pengukuran lapangan kecil[10]. Walaupun nilainya diskrepansinya underestimate dan menunjukan adanya efek volume averaging, tetap saja nilai diskrepansinya tidak begitu jauh dari film gafchromic EBT3 dan dapat membuktikan bahwa dosimeter exradin A16 cukup menunjukkan kemampuannya dalam mengukur di titik lapangan kecil. Tetapi pada dosimeter TLD LiF:Mg,Ti rod, diskrepansinya cukup jauh dan memiliki akurasi yang buruk dibandingkan dua dosimeter lainnya. Hal ini dikarenakan TLD adalah dosimeter dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, selain karena ukuran dimensinya yang kecil, proses pembacaan (reading) dan annealing juga mempengaruhi optimal atau tidaknya nilai dosis didalamnya, berhubung pembacaan harus menggunakan suhu yang tepat agar elektron terlepas dari trap dalam TLD[11]. Untuk lebih jelasnya, nilai diskrepansi ketiga dosimeter dapat dilihat pada Gambar 3.
Jika ditinjau dari densitas dan komposisi kedua fantom, hal tersebut juga dapat mempengaruhi nilai diskrepansi tiap dosimeter. Terlihat bahwa karakteristik fantom inhomogen terdiri dari berbagai densitas, yaitu paru, tulang dan jaringan lunak, sedangkan karakteristik fantom homogen hanya terdiri dari densitas jaringan lunak (soft tissue) dan tulang. Adanya efek inhomogenitas ini juga mempengaruhi penurunan dosis disebabkan terdapatnya berkas foton pada rongga udara dalam paru, karena menurut Engelsman et al., 2001[4], foton energi tinggi sering tidak sesuai dalam memperkirakan distribusi dosis dengan keberadaan material tidak homogen. Terlihat pada tabel 1, nilai diskrepansi untuk keselu18208-49
Fantom Homogen vs Fantom Inhomogen 0
Homogen Inhomogen
-2
Diskrepansi (%)
dengan Dmeas adalah nilai dosis hasil pengukuran dan Dplan adalah nilai dosis hasil perhitungan perencanaan TPS.
CIRS 002H9K (HOMOGEN)
Dosimeter Exradin A16 Film Gafchromic EBT3 TLD LiF: Mg, Ti Exradin A16 Film Gafchromic EBT3 TLD LiF: Mg, Ti
-4 -6 -8 -10 -12 -14 Exradin A16
Film EBT 3
TLD
Dosimeter
Gambar 3. Grafik Pengukuran fantom homogen dan inhomogen secara statik
Yosi D. A., dkk/Verifikasi Dosimetri Teknik …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016 Brown, H. J. Sharp, D. C. Weksberg, C. S. Cleeland, and E. L. Chang, “Stereotactic body radiation therapy for management of spinal metastases in patients without spinal cord compression: A phase 1-2 trial,” Lancet Oncol., vol. 13, no. 4, pp. 395–402, 2012.
5 SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada fantom homogen dan fantom inhomogen, dosimeter terbaik dalam pengukuran di titik tulang menggunakan teknik SBRT adalah Film Gafchromic EBT3 dengan diskrepansi pada fantom homogen sebesar 0,30% dan fantom inhomogen sebesar -1,57%.
[6]
S. H. Benedict, D. Followill, J. M. Galvin, W. Hinson, B. Kavanagh, P. Keall, M. Lovelock, S. Meeks, T. Purdie, M. C. Schell, B. Salter, T. Solberg, D. Y. Song, R. Timmerman, D. Verellen, and L. Wang, “Stereotactic body radiation therapy : The report of AAPM Task Group 101,” no. May, pp. 4078–4101, 2010.
[7]
R. J. Underwood, “Small field dose calibrations with gafchromic film,” no. May, p. 73, 2013.
[8]
F. J. Spang, “Monte Carlo study of the dosimetry of small-photon beams using CMOS active pixel sensors,” 2011.
[9]
G. Bedard and E. Chow, “The failures and challenges of bone metastases research in radiation oncology,” J. Bone Oncol., vol. 2, no. 2, pp. 84–88, 2013.
S. A. Oh, J. W. Yea, R. Lee, H. B. Park, and S. K. Kim, “Dosimetric Verifications of the Output Factors in the Small Field Less Than 3 cm 2 Using the Gafchromic EBT2 Films and the Various Detectors,” vol. 25, no. 4, pp. 218–224, 2014.
[10]
M. Engelsman, E. M. F. Damen, K. De Jaeger, K. M. Van Ingen, and B. J. Mijnheer, “The effect of breathing and set-up errors on the cumulative dose to a lung tumor,” Radiother. Oncol., vol. 60, no. 1, pp. 95–105, 2001.
M. R. McEwen, “Measurement of ionization chamber absorbed dose k(Q) factors in megavoltage photon beams.,” Med. Phys., vol. 37, no. 5, pp. 2179–2193, 2010.
[11]
A. Fitriandini, “Perbandingan Dosimetri Teknik 3d-Crt, IMRT dan SBRT Pada Kasus Kanker Paru-Paru Berbasis Bilik Ionisasi, TLD Dan Film Gafchromic EBT2No Title,” 2015. _________________________________
REFERENSI _____________________________ [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
C. Greco, O. Pares, N. Pimentel, E. Moser, V. Louro, X. Morales, B. Salas, and Z. Fuks, “Spinal metastases: From conventional fractionated radiotherapy to singledose SBRT,” Reports Pract. Oncol. Radiother., vol. 20, no. 6, pp. 1–10, 2015. G. M. Berardino De Bari, Filippo Alongi, Gianluca Mortellaro, Rosario Mazzola, Schiappacasse Luis, “Spinal Metastases: Is Stereotactic Body Radiation Therapy Supported by evidences.pdf,” Crit. Rev. Oncolgy/Hematology, pp. 1–12, 2015.
X. S. Wang, L. D. Rhines, A. S. Shiu, J. N. Yang, U. Selek, I. Gning, P. Liu, P. K. Allen, S. S. Azeem, P. D.
18208-50
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Komunitas Makrofauna di Kawasan Mangrove Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu, Bengkalis Radith Mahatma, Khairijon, dan Afrimaini FMIPA, Universitas Riau, Indonesia Abstract: Information on macrofauna community from mangrove areas in Indonesia is still scarce. The objective of this research were study the abundance and community structure of macrofauna in mangrove area of Tanjung Leban and Bukit Batu Villages, Bengkalis Region, Riau Province. Macrofauna were sampled in September 2014 using corer from 10 plot located in mangrove areas of Tanjung Leban and Bukit Batu Villages. Each plot were sampled three times as a replication. The macrofauna which were collected were classified to Nematoda, Gastropoda, Copepoda, Bivalvia, Polychaeta, Oligochaeta, Tardigrada, Insecta, Holothuroidea, Ostracoda and Syncarida. The average of macrofaunal abundance was 1435 ind./m2 with Nematoda, Gastropoda, and Copepoda as the most dominant taxa. Analysis of ANOVA indicated that the abundance of macrofauna between the plot inside each mangrove area were not statistically different (Tanjung Leban F = 0,96, Bukit batu F = 0,86). Additionally, the Student’s t test indicated that the abundance of macrofauna between mangrove area in Tanjung Leban and Bukit Batu were not statistically different (t = 1,92). Keywords: Macrofauna, mangrove, Bengkalis Email:
[email protected]
1 PENDAHULUAN
M
angrov memiliki komposisi vegetasi yang membentuk zonasi tertentu. Kelompok vegetasi ini dibentuk dari berbagai jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi secara fisiologi terhadap salinitas, tipe sedimen, dan pasang surut (Walter 1971). Sebagian besar ekosistem mangrov tersebar di daerah tropis, termasuk di Indonesia, namun demikian, ekosistem ini kurang mendapat kajian dibanding ekosistem sejenis didaerah temperate. Sebagian ekosistem mangrov mengalami degradasi akibat aktivitas manusia, termasuk yang berada di Kecamatan Bukit Batu Kabbupaten Bengkalis. Degradasi kawasan mangrov di kedua desa tersebut mengakibatkan abrasi yang cukup parah sehingga mengakibatkan garis pantai bergeser. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrov perlu dilakukan mengingat pentingnya ekosistem ini di daerah pesisir. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan dengan ketersediaan baseline data, yang berguna untuk dasar proses rehabilitasi. Salahsa tu data yang diperlukan dalam proses rehabilitasi mangrov adalah informasi tentang organisme bentik avertebrata, misalnya makrofauna. Informasi mengenai komposisi hewan avertebrata bentik menjadi penting untuk menilai besarnya kerugian akibat kerusakan lingkungan karena organisme bentik terkait secara langsung dengan sedimen yang menjadi habitatnya (Dubois et al. 2009). © 2016 JPS MIPA UNSRI
Informasi mengenai makrofauna di ekosistem mangrov tropis masih terbilang jarang, meskipun peranan kelompok organisme ini di habitatnya sangat penting. Di dalam rantai makanan, makrofauna merupakan makanan bagi organisme yang lebih besar, makrofauna juga berperan dalam proses daur ulang bahan organik dan mineralisasi di perairan (Thompson et al. 2004). Komponen makrofauna dalam komunitas bentik juga sering dijadikan indikator untuk menentukan kesehatan lingkungan karena organisme tersebut relatif bersifat sedenter dan menunjukkan perbedaan toleransi terhadap cekaman lingkungan (Dauer 1984; Gray et al. 1988; Zulkifli dan Setiawan 2011). Makrofauna memiliki kemampuan untuk melakukan rekolonisasi didaerah yang mengalami gangguan, tetapi kemampuan rekolonisasi tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menyerupai kondisi alami (Grassle dan Morse-Porteous 1997). Kajian makrofauna di kawasan mangrov Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu penting untuk dilakukan mengingat langkanya informasi mengenai kelompok organisme ini. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melengkapi baseline data mengenai keanekaragaman hayati dikawasan mangrov yang mengalami degradasi.
18209-51
Radith M., dkk/Komunitas makrofauna di Kawasan …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Analisis Data
2 METODE PENELITIAN Daerah Kajian Makrofauna disampling dari 10 stasiun yang berada di kawasan mangrov Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu (Gambar 1). Kesepuluh stasiun yang berada di kedua desa tersebut menunjukkan kondisi yang berbeda. Stasiun-stasiun yang berada di Desa Bukit Batu berada didalam pemukiman penduduk dan didominasi oleh Rhizopora sp. Sementara, stasiunstasiun di Desa Tanjung Leban berada diluar kawasan pemukiman dengan vegetasi dominan Rhizophora sp. dan Avicennia sp. Selain itu, sedimen pada stasiun-stasiun yang berada di Desa Tanjung Leban relatif bersih dari sampah rumah tangga sedangkan sedimen pada stasiun-stasiun yang ada di Desa Bukit-Batu dipenuhi oleh berbagai macam sampah rumah tangga.
Perbedaan densitas makrofauna diantara stasiun pada masing-masing desa dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA, sedangkan perbedaan densitas makrofauna diantara kedua desa (Tanjung Leban dan Bukit Batu) dianalisis menggunakan uji t. Semua analisis statistika dilakukan menggunakan software SPSS versi 17.0.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan dan Komposisi Makrofauna di daerah kajian Hasil pengamatan terhadap makrofauna yang ditemukan pada sampel sedimen menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 10 major taxa makro fauna yang hidup di kawasan mangrov Desa Tanjung leban dan Bukit Batu (Tabel 1). Tabel 1 Kelimpahan makrofauna
Taksa Gastropoda Copepoda Bivalvia Polychaeta Oligochaeta Holothuroidea Tardigrada Insekta Ostracoda Syncarida
Jumlah 324 281 51 49 26 5 6 6 5 2
Gambar 1. Daerah kajian
Sampling Sedimen Sedimen dari sepuluh stasiun yang berada didalam masing-masing desa (Tanjung Leban and Bukit Batu) disampling pada bulan September 2014. Sedimen disampling sampai pada kedalaman 15 cm menggunakan pipa PVC, diameter dalam 4,4 cm, yang dimodifikasi menjadi corer. Tiap stasiun disampling sebanyak 3 kali sebagai ulangan untuk analisis makrofauna. Sampling dilakukan pada saat surut. Segera setelah sampling, sedimen di disimpan dalam campuran air laut dan formalin pada konsentrasi akhir 4% dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Di laboratorium, makrofauna di isolasi dari sedimen menggunakan metode penyaringan bertingkat. Selanjutnya, makrofauna disortir dan dikelompokkan kedalam major taxa serta dihitung kelimpahannya.
Jumlah total makrofauna yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 755 individu, yang didominasi oleh Gastropoda, Copepoda, Bivalvia, Polychaeta, dan Oligochaeta (Gambar 1). Komposisi makrofauna yang ditemukan dalam penelitian ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh peneliti lain di kawasan mangrov yang berbeda (Ernawati et al 2013; Fitriana 2005; Onrizal et al 2008; Setiawan 2010). Hasil analisis terhadap kelimpahan makrofauna yang ditemukan di daerah kajian dalam penelitian ini menunjukkan bahwa densitas makrofauna berkisar antara 1573 ind/m2 s/d 9280 ind./m2 dengan ratarata 1435 ind./m2. Secara berurutan dua taksa yang densitasnya tertinggi adalah Gastropoda, dan Copepoda (Gambar 2). Dalam penelitian ini Gastropoda merupakan taksa yang paling dominan, serupa dengan yang dilaporkan oleh Mchenga dan Ali (2013) dari kawasan mangrov tropis lainnya. Dalam penelitian ini, Gastropoda terdistribusi pada hampir semua
18209-52
Radith M., dkk/Komunitas makrofauna di Kawasan …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
stasiun di area kajian, demikian juga dengan Copepoda, taksa tersebut terdistribusi pada sebagian besar area kajian.
Gambar 4. Komposisi makrofauna pada masing-masing desa (Tanjung Leban dan Bukit Batu) Gambar 2. Komposisi makrofauna yang ditemukan di studi area (n= 755)
Gambar 3. Rata-rata densitas makrofauna yang ditemukan dalam penelitian ini
Dominasi makrofauna dalam penelitian ini berbeda dengan yang pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti dari ekosistem yang berbeda (Ibrahim et al.2006; Parr et al. 2007; Dubois et al. 2009). Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik habitat. Misalnya, produktivitas, predator, substrat dasar, dan sifat fisika dan kimia perairan. Rata-rata densitas makrofauna yang ditemukan dalam penelitian ini lebih rendah dibanding yang dilaporkan oleh Netto dan Galucci (2003) dari kawasan mangrov yang ada di Kenya. namun demikian rata-rata densitas makrofauna dalam penelitian ini lebih tinggi dari pada yang dilaporkan oleh Fitriana (2006)
Komposisi dan Kelimpahan Makrofauna di Masing-masing Kawasan Mangrov Makrofauna di kawasan mangrov Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu menunjukkan komposisi yang berbeda. Keanekaragaman taksa di Desa Tanjung Leban lebih tinggi dibanding Bukit Batu, beberapa taksa diantaranya hanya ditemukan di Desa Bukit Batu (Gambar 4).
Perbedaan komposisi makrofauna yang ditemukan di kedua desa secara umum mengindikasikan adanya perbedaan kondisi lingkungan di kedua desa tersebut mengingat perbedaan komposisi terjadi pada mayor taksa. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan perbedaan tersebut terjadi karena waktu sampling yang terbatas mengakibatkan aktivitas sampling tidak merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya mengenai kedua desa, sehingga berbagai kajian selanjutnya terkait makrofauna akan sangat diperlukan. Analisis terhadap densitas makrofauna menunjukkan bahwa rata-rata densitas makrofauna pada Desa Tanjung Leban dan Desa Bukit Batu secara statistik berbeda, thit = 1,92 dan p=0,05. Densitas makrofauna pada Desa Tanjung Leban lebih tinggi dibanding Desa Bukit Batu, secara berurutan densitasnya adalah 12.818 ind./m2 dan 7.266 ind./m2. Rendahnya densitas makrofauna di Desa Bukit Batu dibanding Desa Tanjung Leban diduga terkait dengan aktivitas manusia yang ada di Desa Bukit Batu, mengingat lokasi kajian ada di dalam pemukiman penduduk. Hasil analisis terhadap perbedaan densitas makrofauna di kawasan mangrov Desa Tanjung Leban menunjukkan bahwa densitas makrofauna pada tiap stasiun secara statistik tidak berbeda nyata, F hit = 0,96. Demikianpula halnya dengan Desa Bukit Batu, densitas makrofauna di tiap stasiun secara statistik tidak berbeda nyata, Fhit=0,86. Dengan demikian dapat diduga bahwa kondisi lingkungan di masingmasing stasiun pada tiap desa relatif sama. Dugaan ini didasarkan pada adanya hubungan antara kondisi lingkungan dengan densitas makrofauna.
4 KESIMPULAN Perbedaan komposisi makrofauna diduga disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan. Densitas rata-rata makrofauna dalam penelitian ini berada
18209-53
Radith M., dkk/Komunitas makrofauna di Kawasan …
dalam kisaran yang pernah dilaporkan oleh para peneliti lain dari berbagai tempat dan tipe habitat. Densitas makrofauna di Desa Tanjung Leban dan Bukit Batu secara statistik tidak berbeda signifikan, demikian pula densitas makrofauna pada tiap stasiun di Desa yang sama.
REFERENSI _____________________________ [1]
Dauer D.M. 1984. The use of Polychaete feeding guilds as biological variables. Mar. Pollut. Bull. 15 (8): 301-305
[2]
Dubois S., C.G. Gelpi Jr., R.E. Condrey, M.A. Grippo and J.W. Fleeger. 2009. Diversity and composition of macrobenthic community associated with sandy shoals of the Louisiana continental shelf. Biodiversity and Conservation. 18 (14). 3759-3784
[3]
Ernawati S.K., A. Niartiningsih., M.N. Nessa dan S.A. Omar. 2013. Jurnal Bionature, 14 (1). 49-60
[4]
Fitriana Y.R. 2005. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobenthos di hutan mangrov hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali. Biodiversitas. 7: 64-69
[5]
[6]
[7]
Ibrahim S., W. M. R. W. Hussin, Z. Kassim. Z. M. Joni, M. Z. Zakaria, S. Hajisamae. 2006. Seasonal Abundance of Benthic Communities in Coral Areas of Karah Island. Terengganu, Malaysia. Turk. J. Fish. Aquat. Sci. 6: 129-136 Grassle J.F., L.S. Morse-Porteous. 1997. Macrofaunal colonization of disturbed deep-sea environments and the structure of deep-sea benthic communities. DeepSea Research. 34 (12) : 1911-1950 Gray J.S., M. Aschan, M.R. Carr, K.R. Clarke, R.H. Green, T.H. Pearson, R. Rosenberg, R.M. Warwick. 1988. Analysis of community attributes of the benthic macrofauna of Frierfjord / Langesundfjord and in a mesocosm experiment. Mar. Ecol. Prog. Ser. 46: 151165
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
[8]
Lasmana A.H. 2004.Struktur komunitas meiofauna di perairan Bojonegara, Teluk banten, Kabupaten Serang. [skripsi]. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
[9]
Mchenga, I. S.S and A. I. Ali. 2013. macrofauna communities in a tropical mangrove forest of Zanzibar, Tanzania. Global Journal of Bioscience and Biotechnology. 2(1): 260-266
[10]
Netto S.A. and F. Galucci. 2003. Meiofauna and macrofauna communities in a mangrove from the Island of Santa Catarina, South Brazil. Hydrobiologia. 505 : 159-170
[11]
Onrizal, Simarmata F., Wahyuningsih H. 2008. Keanekaragaman makrozoobentos di Pantai Timur SumatraUtara. Fakultas Kehutanan Universitas Sumatra Utara. Medan
[12]
Parr T.D., R.D. Tait, C.L. Maxon, F.C. Newton III, J.L. Hardin. 2007. A descriptive account of benthic macrofauna and sediment from an area of planned petroleum exploration in the southern Caspian Sea. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 71. 170-180
[13]
Setiawan D. 2010. Studi komunitas makrozoobenthos di perairan Sungai Musi sekitar kawasan industri bagian hilir Kota Palembang. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V
[14]
Thompson B., Lowe S. 2004. Assesment Of Macrobenthos Respons To Sediment in The San Fransisco Estuary. California. Usa. J. Environment Toxico Chem. 23 (9): 2178-2187
[15]
Walter H. 1971. Ecology of tropical and sub tropical vegetation. Van Rostrand Reinhold Company. New York. Cincinnati. Toronto. London. Melbourne.
[16]
Zulkifli H., Setiawan D. 2011. Struktur komunitas makrozoobenthos di perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto sebagai instrumen biomonitoring. Jurnal Natur Indonesia. 14(1): 90-95 ____________________
18209-54
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Studi Pendahuluan: Inventarisasi Amfibi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II Doni Setiawan, Indra Yustian, dan Catur Yuono Prasetyo .
Biology Department Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sriwijaya University
Abstract: Which one big islands in Indonesian was have high biodiversity value is Sumatera Island. There was Amphibian groups. Amphibians class is one of the constituent components of the ecosystem which has a very important role, both ecologically and economically. Based on preliminary studies in the area of Protected Forest Cogong II Hill has been done survey in October 2015 showed the extent of damage, it's evident from the many of rubber plantation land clearing by the society which can impact negatively on the environment, especially the habitat of amphibian. So, inventory of amphibians in the Cogong Hill II protected forest areas need to be done. Observation of amphibian directly through using Visual Encounter Survey (VES) method. The results of the survey was found 10 species in to 5 families and 1 ordo. There is Bufonidae family : Bufo asper, Bufo melanosticus, Bufo biforcatus, Ranidae family is Hylarana baramica and Rana chancolnota, Dicroglossidae family is Fejevarya limnocharis, Fejevarya cancrivora, Limnonectes sp., Rhacophoriidae family is Polypedates leucomystax and Microhylidae family is Kaloula baleata. Based on IUCN status category from 10 amphibians species was found in the region, all species have Least Concern Status. Keywords: Amphibian, Cogong II Hill, Protected forests areas, inventory, conservation status Email:
[email protected]
1 PENDAHULUAN
I
ndonesia merupakan salah satu negara yang menjadi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati dunia. Salah satu keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia adalah keanekaragaman jenis amfibi. Indonesia tercatat memiliki dua dari tiga ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura. Ordo Anura dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia, mencapai sekitar 450 jenis atau sekitar 11% dari seluruh jenis Anura di dunia. Amfibi merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis beberapa jenis amfibi juga memiliki sifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan serta berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti serangga atau hewan invertebrata lainnya (Kusrini, 2013). Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani. Pulau Sumatera merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati Paparan Sunda yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dengan endemisitas luar biasa namun dengan tekanan habitat terhadap kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi pula. Salah satu habitat satwa yang terdapat di Sumatera Selatan adalah kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II, yang terletak Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL) Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan (Setiawan et © 2016 JPS MIPA UNSRI
al., 2016). Menurut Leliana (2014), tutupan lahan Bukit Cogong dan sekitarnya pada tahun 1960 masih berupa hutan alami, namun mulai pada tahun 1961 perambahan hutan semakin meluas hingga tahun 1980, dan pada tahun 1997 hutan lindung ini mengalami kebakaran besar. Berdasarkan survei lapangan terbaru menunjukkan tingkat kerusakan kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II cukup besar. Ini terlihat dari hal ini terlihat dari masih banyaknya aktivitas penebangan pohon dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan karet oleh masyarakat yang bisa berdampak negatif terhadap lingkungan terutama habitat dari amfibi. Berdasarkan hal tersebut dan informasi serta data penelitian mengenai keberadaan jenis-jenis amfibi di daerah ini belum ada, maka perlu dilakukan studi pendahuluan melalui inventarisasi jenis-jenis amfibi di dalam kawasan beserta status konservasinya.
2 STUDI LITERATUR Amfibi merupakan salah satu fauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal. Amfibi memegang peranan penting pada rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi keseimbangan alam serta bagi manusia selain itu juga jenis-jenis tertentu dapat dijadikan sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan. Pada umumnya semua amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air. Amfibi dapat dijumpai pada ha18210-55
Doni S., dkk/Studi Pendahuluan: Inventerisasi amfibi …
bitat yang bervariasi, dari tergenang di bawah permukaan air sampai ada yang hidup di puncak pohon yang tinggi. Amfibi merupakan karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan utamanya adalah artropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar makanannya adalah ikan kecil, udang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil. Namun kebanyakan berudu katak merupakan herbivora. Ada beberapa berudu katak sama sekali tidak makan, dan sepenuhnya mendapatkan makananan dari kuning telurnya (Iskandar, 1998). Sebagian besar amfibi Indomalaya (82%) terdapat di hutan, termasuk 66% di dataran rendah hutan tropis dan 47% di hutan tropis pegunungan (Bain et al., 2008). Beberapa jenis katak dapat hidup pada habitat yang terganggu. Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar katak mengandalkan kaki belakangnya untuk melompat dan menghindar dari bahaya. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar, 1998 dalam Prasetyo et al., 2015). Beberapa waktu yang lalu telah ditemukan spesies katak bertaring spesies baru endemik Pulau Sulawesi, (Limnonectes larvaepartus) yang demikian unik di antara katak lainnya, yaitu katak ini memiliki kedua fertilisasi, fertilisasi internal dan dan juga dapat melahirkan berudu. (Iskandar et al., 2014).
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Selatan. Dengan titik koordinat 03o08’06,2”LS dan 102o55’47,8”BT. Bukit II
Cogong
Gambar 1. Peta Tata Hutan Resort Bukit Cogong (KPHP Model-Benakat Bukit Cogong).
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, alat suntik, buku panduan identifikasi Amfibi (Iskandar, 1998, Kusrini, 2013 & Kurniati, 2003), GPS (Global Positioning System), headlamp, jam tangan/stop watch, jaring penangkap katak, kamera DSLR Canon D1100, kaliper, kantong spesimen, kapas, kertas label, kompas, peta, senter, tabung sampel, dan tali raffia. Sedangkan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% yang digunakan untuk pengawetan spesimen.
Metode Pengamatan
Kusrini (2007) menyatakan bahwa data mengenai keberadaan dan status amfibi di Indonesia masih sangat terbatas. Sedangkan penelitian mengenai biologi dan ekologi amfibi masih belum terlalu banyak dan biasanya dilakukan hanya pada jenis-jenis yang umum dijumpai (Kusrini, 2013). Umumnya referensi mengenai amfibi ada di Jawa dan Bali (Iskandar, 1998), Jawa Barat (Kusrini, 2013), Kalimantan Tengah (Mistar, 2008), dan Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur (Yanuarefa et al., 2012). sedangkan panduan lapangan atau kunci identifikasi jenis-jenis amfibi di Sumatera masih sangat minim sekali datanya.
Pengambilan data amfibi menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES). Metode ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis amfibi suatu daerah, mengumpulkan daftar jenis dan memperkirakan kelimpahan relatif spesies (Bismark, 2011). Pelaksanaan di lapangan yaitu dimulai dengan observasi. Pembuatan jalur pengamatan pada masing-masing lokasi dilakukan secara Purposive mempertimbangkan tipe komunitas yang ada, dimana 200-400 meter untuk habitat akuatik dan 8001000 meter untuk habitat terestrial Kusrini (2009). Panjang jalur pengamatan bisa lebih panjang atau lebih pendek, tergantung kondisi jalur pengamatan.
3 METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menjelajahi jalur pengamatan pada pagi dan malam hari dengan 3 kali pengulangan untuk setiap jalur. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 08.00-11.00 WIB, sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 20.00-23.00 WIB.
Survei studi pendahulauan untuk inventarisasi mamalia telah dilakukan pada 1-5 dan 10-14 Oktober 2015 di kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II, KPHP Model Benakat-Bukit Cogong Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1). Secara administratif, kawasan ini berada di Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera
18210-56
Doni S., dkk/Studi Pendahuluan: Inventerisasi amfibi …
Pengawetan Spesimen Menurut Darmawan (2008) pengawetan spesimen hanya dilakukan terhadap individu amfibi yang belum teridentifikasi. Spesimen amfibi yang diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk tiap jenis, sedangkan untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. Pengawetan spesimen (preservasi) dimulai terlebih dahulu yaitu dengan mengidentifikasi ciri umum dan mendokumentasikan gambar pada saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi. Amfibi dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian bawah tengkorak. Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep. Sebelum spesimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan spesimen tesebut. Untuk penyimpanan sementara, spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi. Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol 70% hingga terendam.
melanosticus, Bufo biporcatus, famili Ranidae yaitu Hylarana baramica dan Rana chancolnota, famili Dicroglossidae yaitu Fejevarya limnocharis, Fejevarya cancrivora, Limnonectes sp. famili Rhacophoriidae, yaitu Polypedates lecomystax dan famili Microhylidae yaitu Kaloula baleata. Persentase jenis yang tertinggi ditemukan adalah dari kelompok famili Dicroglossidae yaitu jenis Fejervarya limnocharis sebanyak 44,44% dan Fejervarya cancrivora sebanyak 33,33%, sedangkan jenis yang paling sedikit ditemukan adalah jenis Bufo asper yang dalam usaha pencarian selama penelitian ditemukan hanya satu individu (2,22%). Tabel 1. Jenis-jenis Amfibi di Kawasan Universitas Sriwijaya Indralaya Famili
Bufonidae
Dicroglossidae
Microhylidae
Identifikasi Amfibi Identifikasi jenis-jenis amfibi dilakukan dengan menggunakan buku Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar, 1998), buku Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat (Kusrini, 2013), dan buku Amphibians & Reptiles of Gunung Halimun Natinal Park West Java, Indonesia (Kurniati, 2003). Status Perlindungan mengacu pada status konservasi untuk jenis-jenis yang secara global terancam punah mengacu pada IUCN Red List 2016 (www.iucn.org) dan Daftar jenis yang dilindungi oleh Pemerintah Republik Indonesia (PI) mengacu pada Prijono, Noerdjito dan Maryanto (2001).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman jenis-jenis amfibi selama survei di kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II tercatat ditemukan 10 jenis dari 5 famili dan satu ordo yang berarti menunjukkan secara keseluruhan keanekaragaman amfibi di dalam kawasan tersebut masih cukup rendah. lengkap data mengenai jenis-jenis tersebut tersaji pada Tabel 1. Semua yang ditemukan tergolong dalam satu ordo yaitu ordo Anura atau kelompok ordo yang jenisnya tidak berekor. Adapun pun jenis yang di dapat tersebut yaitu famili Bufonidae: Bufo asper, Bufo
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Ranidae Rhacopho ridae
Nama Jenis Bufo melanostictus (Asian toad, Kodok buduk) Bufo biporcatus (Crested frog, Kodok puru hutan) Bufo asper (River toad, Kodok buduk sungai) Fejervarya limnocharis (Grass frog, Katak tegalan) Fejervarya cancrivora (Ricefield frog, Katak hijau/sawah) Limnonectes sp. (Creek frog, Katak bangkong) Kaloula baleata (Flower toad frog, Katak belentuk) Hylarana erythraea (Green paddy frog, Kongkang gading) Hylarana baramica (Baram’s frog, Kongkang baram) Polypedates leucomystax (Striped treefrog, Katak pohon bergaris)
A
B
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
LC
TD
Keterangan: A Status Konservasi (IUCN, 2016); IUCN Status: LC (Least concern). B Status konservasi (PI); PI ; Perlindungan Indonesia PP. No. 7 Thn 1999. TD (Tidak - dilindungi)
Perbandingan jumlah ini tidak terlalu jauh berbeda bila dibandingkan dengan Novitasari (2013) di Hutan Lindung Gunung Ambawang sebanyak 11 jenis amfibi dan cukup berbeda dengan peneilitian Saepulloh (2011) di Gunung Poteng ditemukan sebanyak 24 jenis amfibi (Yani et al. 2015). Adanya perbedaan dalam peroleh jenis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya; kondisi wilayah dan effort (usaha) yang dilakukan dalam pencarian satwa amfibi. Perhitungan effort biasanya berdasarkan lamanya waktu pencarian di lapangan dan luasan areal yang disurvei. Usaha dalam pencarian akan sangat menentukan penemuan spesies amfibi ketika penelitian (Kusrini et al., 2007). Berdasarkan hasil pengukuran selama di lapangan diperoleh suhu relatif yang berkisar antara 25-29
18210-57
Doni S., dkk/Studi Pendahuluan: Inventerisasi amfibi …
°C. Menurut Berry (1975) dalam Yani et al 2015) amfibi mendapatkan suhu pertumbuhan yang optimum antara 26-33°C. Menurut Yuliana (2000), amfibi merupakan jenis satwa yang poikiloterm, tidak dapat mengatur suhu tubuh sendiri sehingga suhu tubuhnya sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Suhu udara berpengaruh secara nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan amfibi selain itu amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya (Iskandar, 1998). Data pH air di habitat akuatik di sekitar lokasi penelitian berkisar 5,9–6,2 menunjukkan bahwa kondisi air hampir mendekati netral. Menurut Payne (1986) dalam Ariza et al. (2014), kisaran pH air yang berada di daerah tropis adalah 4,3–7,5. Ukuran pH tersebut merupakan kondisi yang baik dalam kehidupan amfibi, sehingga pada penelitian ini tidak menemukan kecacatan yang terjadi pada amfibi. .
Indomalayan Realm. In Stuart, S. J. Hoffmann, J. Chanson, N. Cox, R. Berridge, P. Ramani and B. Young (eds). Threatened Amphibians of the World. IUCNConservation International-Lynx Press. [3]
Bismark, M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia.
[4]
Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.
[5]
Iskandar, D.T, Evans, B.J, McGuire, J.A. 2014. A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles. PloS ONE 9(12): e115884. doi:10.1371/journal.pone. 0115884.
[6]
IUCN. 2016. IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. diakses 1 Mei 2016.
[7]
Kurniati, H. 2003. Amphibians and Reptiles of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia (frogs, lizards and snakes). Cibinong: Research Center for Biology – LIPI.
[8]
Kusrini, M.D. 2007. Konservasi Amfibi di Indonesia: Masalah Global dan Tantangan (Conservation of Amphibian in Indonesia: Global Problems and Challenges). Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Media Konservasi XII (2) Agustus 2007 : 89 – 95
[9]
Kusrini, M.D. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB
[10]
Kusrini, M.D. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
[11]
Leliana, H.N. 2014. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang. KPHP Model Benakat Bukit Cogong Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015-2024. Palembang.
[12]
Prasetyo, C.Y., Yustian, I., dan Setiawan, D. 2015. The diversity of amphians in Campus Area of Sriwijaya University Indralaya, Ogan Ilir, South Sumatra. Biology Department FMIPA University of Sriwijaya. Biovalentia: Biological Research Journal Vol 1. November 2015.
[13]
Setiawan, D, Yustian, I, Iqbal, M, dan Setiawan, A. 2016. Studi pendahuluan. Inventarisasi mamalia di Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II. UGM, Jogyakarta. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan. Vol 2. No.1 Tahun 2016.
[14]
Yani, A. Said, S. dan Erianto, 2015. Keanekaragaman Jenis Amfibi Ordo Anura di kawasan Lindung Gunung Semahung, Kec. Senga Temila. Kab. Landak. Untan Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari Vol 3 (1) 2015.
[15]
Yanuarefa, M.F., Hariyanto, G. dan Utami, J. 2012. Panduan Lapang Herpetofauna (Amfibi dan Reptil) Taman Nasional Alas Purwo. Banyuwangi: Balai Taman Nasional Alas Purwo. _____________________________
5 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Jumlah jenis amfibi yang terdapat di kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II adalah 10 jenis yang terbagi ke dalam satu ordo Anura yang terdiri dari 5 famili. Berdasarkan IUCN red list 2016 dari 10 jenis amfibi yang ditemukan, semua jenis memiliki status konservasi beresiko rendah (Least Concern) dan berdasarkan status perlindungn Indonesia Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 tidak ditemukan jenis yang dilindungi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak Universitas Sriwijaya yang telah memberi dukungan finansial terhadap penelitian ini melalui Hibah Kompetitif UNSRI dengan No.206/UN9.3.1/LT/2015 Tanggal 17 April 2015.
REFERENSI _____________________________ [1]
[2]
Ariza, Y.S., Dewi B.S, dan Darmawan A., 2014. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) pada beberapa Tipe Habitat di Yuth Camp Desa Hurun, Kecamatan padang Cermin Kab. Pesawaran. Bandang Lampung. Jurnal Sylva Lestari. Vol.2. No.1. Bain, R., Biju, S.D., Brown, R., Das, I., Diesmos, A., Dutta, S., Gower, D., Inger, R., Iskandar, D., Kaneko, Y., Neng, M.W., Lau., Meegaskumbura. M., Ohler, A., Papenfuss, T., Pethiyagoda, R., Stuart, B., Wilkinson, M., dan Xie, F. 2008. Chapter 7. Amphibians Of The
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
18210-58
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi Tikus Jantan Sprague Dawley® Sri Nita1, Ummi Hiras Habisukan2, dan Nyayu Fauziah Zen3 1,3
Biologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya. 2STIK, Siti Khadijah, Palembang
Abstract: Fenugreek seed saponin is one alternative of antifertilitas medicinal plants. Research purposes is to determine the effect of the fenugreek seeds saponin againts the reproductive organ, that is weight and histological structure of the testis and epididymis Sprague Dawley® rat. Research design using randomized design complete. The control group was given distilled water, the treatment group were given fenugreek seed saponin with doses of 40, 80, & 120 mg/kg bw. Treatment is administered orally 1x/day for 24 days. Award saponin start dose of 40 mg/kg bw can reduce the weight of the testes and reduce the size of the diameter of seminiferous tubules. Thick germ cells begin to be affected at higher doses, 120 mg/kg bw. Epididymis weight is reduced significantly compared to the control start at dose 80 mg/kg bw and giving a higher dose, 120 mg/kg bw significantly further reduces the weight of the epididymis. Saponin administration starting dose of 80 mg/kg bw already significantly reduced the thickness of the epithelium of the epididymis. Giving a higher dose of 120 mg/kg bw increasingly signifcant cause epididymal epithelium thickness thinner. It can be concluded that the administration of saponin fenugreek seeds caused a reduction in weight and histological changes in the testis and epididymis structure of rat Spraque Dawley® Keywords: Saponin Biji Klabet, Berat Testis dan Epididimis, Diameter Tubulus Seminiferus, Tebal Epitel Germinal, Tebal Epitel Epididimis Email:
[email protected],
[email protected]
1 PENDAHULUAN
P
ertumbuhan penduduk Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah mengalami peningkatan sebesar 1,49%. Dengan jumlah penduduk 245 juta pada Maret 2012, Indonesia berada pada urutan ke-empat setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan ini adalah dengan program Keluarga Berencana (KB). Jumlah penduduk yang telah mengikuti program KB sebesar 61%. Dari jumlah ini hanya 8,5% pria yang merupakan akseptor KB, selebihnya adalah wanita (BKKBN, 2013). Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi pria untuk ikut serta dalam program KB. Diantaranya adalah kurangnya konseling pada pria mengenai KB, faktor sosial budaya yang menganggap KB hanya untuk wanita, kurangnya pengetahuan serta kesadaran pria untuk berpartisipasi, dan yang paling utama adalah terbatasnya jenis atau pilihan alat kontrasepsi (BKKBN, 2013). Alat kontrasepsi yang sesuai untuk pria harus dapat mencegah terjadinya fertilisasi, tidak memiliki efek samping, mempunyai kinerja yang cepat, aman, serta yang terpenting tidak mempengaruhi libido dan potensi seksual. Untuk memenuhi kriteria tersebut saat ini banyak peneliti yang melakukan riset.
© 2016 JPS MIPA UNSRI
Salah satunya adalah pengembangan kontrasepsi pil yang berbahan dasar tanaman obat yang diyakini memiliki khasiat sebagai antifertilitas pria. Tanaman Trigonella foenum-graecum L. yang dikenal dengan istilah fenugreek dalam bahasa Inggris dan klabet dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu tanaman obat alternatif antifertilitas. Biji tanaman ini mengandung saponin berupa diosgenin yang merupakan prekursor steroid yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan hormon steroid (Tarigan, 1980). Senyawa antifertilitas pada prinsipnya bekerja dengan dua cara yaitu melalui efek sitotoksik dan melalui efek hormonal yang menghambat laju metabolisme sel spermatogenik dengan cara mengganggu keseimbangan hormon (Kusumah, 1999). Menurut Wiryawan dkk., (2009), pemberian ekstrak biji klabet pada kelinci jantan menyebabkan kerusakan tubulus seminiferus dan penurunan jumlah sel spermatozoa. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Saponin Biji Klabet (Trigonella foenumgraecum L.) terhadap perubahan berat dan struktur histologis testis dan epididimis tikus Sprague Dawley®.
18211-59
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
2 KAJIAN LITERATUR Spermatozoa dibentuk dari sel germinal primitif di sepanjang dinding seminiferi dalam proses yang disebut spermatogenesis (Guyton, 1997). Spermatogenesis dikendalikan oleh sistem saraf pusat dan dapat berjalan normal jika jalur antara hipotalamushipofisis-testis membentuk sistem neuroendokrin yang berjalan normal, melaui mekanisme release dan feed back antara ketiga organ tersebut. Hipotalamus merupakan tempat sintesa GnRH yang melalui sistem release akan merangsang hipofisis untuk mensekresikan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Lutheinizing Hormone (LH) yang akan merangsang testis untuk mensekresikan testosteron dan inhibin. Inhibin akan berperan sebagai modulator signal feed back ke hipotalamus untuk menghambat sintesa GnRH yang kemudian akan berakibat pada hipofisis untuk menghambat sekresi FSH dan LH (Nieschlag, 2001). Penurunan jumlah sel spermatozoa diduga karena penghambatan sekresi testosteron. Hal tersebut terjadi karena diosgenin dalam kandungan saponin mempunyai inti steroid dan struktur molekul mirip kolesterol yang merupakan prekursor testosteron, sehingga dapat menempati reseptor testosteron. Dengan ditempatinya reseptor testosteron, maka menimbulkan feedback negatif, sehingga testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig juga dihambat sekresinya (Tarigan, 1980). Testosteron adalah hormon yang mempunyai fungsi dalam pembentukan spermatozoa (Guyton, 1997). Sel sertoli berperan dalam menyediakan laktat, transferin dan androgen binding protein untuk metabolisme sel germinal (Walker & Cheng, 2005). Fungsi sel sertoli dikendalikan oleh Follicle Stimulating Hormone dan testosteron. Penurunan testosteron karena efek diosgenin yang dikandung saponin menyebabkan kinerja sel sertoli menjadi tidak optimal, sehingga terjadi gangguan proses spermiogenesis, gangguan metabolisme sel germinal, bahkan bisa menyebabkan apoptosis sel (Henriksen et al., 1996). Penurunan jumlah sel spermatozoa juga dimungkinan melalui beberapa mekanisme seperti adanya gangguan dalam proses meiosis, gangguan proses spermiogenesis awal karena lepasnya spermatid ke lumen tubulus, dan karena terjadi apoptosis spermatid. Penurunan tersebut dihubungkan dengan penurunan testosteron dan FSH. Proses meiosis spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan membentuk spermatid diatur oleh testosteron dan atau FSH melalui aksinya pada sel sertoli (Mc Lachlan, 2000).
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Menurut penelitian Rekha & Chndrasekhara (2014) saponin dalam kandungan daun Ziziphus jujuba dapat menyebabkan menurunnya jumlah dan motilitas sperma, menurunkan fertilitas, menurunkan berat testis dan epididimis, dan menyebabkan kerusakan pada tubulus seminiferus pada tikus jantan. Dari beberapa penelitian di atas diketahui ekstrak biji klabet mengandung senyawa yang berpotensi sebagai antifertilitas. Hipotesis pada penelitian ini terjadi perubahan berat dan struktur histologis testis dan epididimis pada tikus jantan Sprague Dawley® akibat pemberian fraksi saponin dalam kandungan biji klabet (Trigonella foenum-graecum L.)
3 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) Populasi dan Sampel Penelitian Populasi hewan uji dalam penelitian ini adalah tikus jantan (Rattus norvegicus) strain Sprague Dawley®. Sampel dibagi ke dalam empat kelompok dengan cara complete random sampling sehingga jumlah tikus yang digunakan adalah 24 ekor. Persiapan bahan uji Biji klabet diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol.Maserasi dilakukan selama 3 x 24 jam sampai terekstraksi sempurna. Kemudian filtrat dipekatkan dengan rotary evaporator sampai menjadi ekstrak kental. Selanjutnya masuk ke tahap fraksinasi. Sejumlah 261 gram ekstrak metanol kental dilarutkan dengan 300 ml metanol destilat, dimasukkan ke dalam corong pisah (1000 ml), ditambahkan 300 ml n-heksana destilat, dikocok selama ± 15 menit dengan sesekali kran dibuka untuk membuang gas yang terbentuk, diamkan sehingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas (fase nheksan), lapisan bawah (fase metanol). Fase metanol dituang ke dalam erlenmeyer, sedangkan fase n-heksana ditampung dalam wadah (botol), fase metanol dimasukkan kembali kedalam corong pisah kemudian ditambahkan 300 ml nheksana untuk dipartisi kembali. Partisi dilakukan berulang-ulang dengan menambahkan 300 ml nheksan redestilat pada setiap kali partisi sampai warna fase n-heksana mendekati warna n-heksan destilat. Fase n-heksan yang terkumpul, dipekatkan menggunakan rotavapor dengan suhu waterbath
18211-60
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
±40°C, kecepatan putaran labu rotavapor 80-90 rpm dan suhu chiller 10-15°C. Fase metanol dikeringkan kembali dengan menggunakan rotavapor. Setelah kering dilarutkan kembali dengan 300 ml akuades, dimasukkan kedalam corong pisah (1000 ml). Etil asetat destilat dijenuhkan dengan akuades dan ditambahkan kedalam corong pisah sejumlah 300 ml, kocok selama ± 15 menit dengan sesekali kran dibuka untuk membuang gas yang terbentuk, diamkan sehingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas (fase etil asetat), lapisan bawah (fase akuades). Fase akuades dituang ke dalam erlenmeyer dan fase etil asetat ditampung. Fase akuades dimasukkan kembali ke dalam corong pisah, kemudian ditambahkan 300 ml etil asetat destilat untuk mengulang partisi sampai warna fase etil asetat mendekati warna etil asetat destilat. Fase akuades dimasukkan kedalam corong pisah (1000 ml) kemudian ditambahkan 200 ml n-butanol destilat jenuh air, kocok selama ± 15 menit dengan sesekali kran dibuka untuk membuang gas yang terbentuk, diamkan sehingga terbentuk 2 lapisan, lapisan atas (fase nbutanol), lapisan bawah (fase akuades). Fase akuades dituang ke dalam erlenmeyer dan fase n-butanol ditampung. Fase air dimasukkan kembali ke dalam corong pisah, kemudian ditambahkan 300 ml nbutanol destilat untuk mengulang partisi sampai warna fase n-butanol mendekati warna n-butanol destilat. Fase n-butanol dipekatkan dengan rotavapor pada suhu waterbath ± 45°C, kecepatan putaran labu rotavapor 80-90 rpm dan suhu chiller 10-15°C sehingga diperoleh fraksi kental n-butanol. Fraksi nbutanol selanjutnya dicuci dengan eter, setelah itu dilarutkan dalam metanol, disaring dan kemudian filtrat metanol ditambah eter berlebih dan endapan disaring dan merupakan saponin. Sebelum digunakan, dilakukan skrining fitokimia untuk mengetahui dan mengkonfirmasi keberadaan kandungan saponin pada fraksi yang didapatkan, diuji dengan cara sebagai berikut diambil 0,2 g fraksi biji Klabet lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 7 ml air panas, didinginkan dan kemudian dikocok vertikal selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1 – 10 cm yang stabil selama kurang lebih 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1989). Pemberian saponin biji klabet
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Tiap-tiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Kelompok kontrol diberikan aquades dan kelompok perlakuan diberikan saponin biji klabet dengan dosis 40, 80 dan 120 mg/kg bb.Perlakuan diberikan secara oral 1x/hari selama 24 hari. Setelah 24 jam pemberian dosis terakhir dilakukan pembiusan dengan cara meletakkan kloroform pada dasar stoples lalu tikus dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup. Hewan dikeluarkan dan dapat mulai dibedah jika sudah kehilangan kesadarannya. Tikus didekapitasi lalu ronggaabdomen dan pelvisdibuka dengan menggunakan gunting sirurgis untuk mendapatkan testis dan epididimis. Pembuatan preparat histologis dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Dyatnitalis Palembang. Pengamatan dilakukan terhadap berat, diameter & tebal epitel germinal testis serta berat dan tebal epitel epididimis. Pengamatan Berat dan Sediaan Histologi Testis Dan Epididimis Serta Pembuatan Mikrofoto Organ reproduksi yang ditimbang adalah testis dan epididimis. Semua organ tersebut diambil dan dibersihkan dalam larutan NaCl 0.9% sampai lemak yang menempel pada organ tersebut hilang, kemudian dikeringkan dengan kertas tissu dan ditimbang Setiap testis dan epididimis dari seekor tikus putih jantan masing-masing dibuat 1 sediaan histologi. Pengamatan histologi testis dan epididimis menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Pengukuran diameter tubulus seminiferus, tebal epitel germinal dan tebal epitel epididimis dilakukan dengan menggunakan mikrometer okuler sebelumnya dilakukan penyetaraan dengan menggunakan mikrometer objektif. tebal sel germinal =
Θ tubulus − Θ lumen 2
Untuk satu preparat testis diamati 5 tubulus seminiferus yang berbentuk bulat, karena tubulus seminiferus yang berbentuk bulat berarti terpotong melintang. Dari kelima pengamatan tersebut diambil rata-ratanya. Histologi mikroanatomi testis akan disajikan dalam bentuk foto perbesaran 100x. Penghitungan tebal epitel epididimis dari sediaan histologi epididimis sebagai berikut: diameter epididimis dikurang diameter lumen epididimis kemudian dibagi dua. Untuk satu preparat epididimis diamati 3 potongan di daerah cauda epididimis. Dariketiga pengamatan tersebut diambil rata-ratanya. Analisis Data
Hewan percobaan yang terdiri dari 24 ekor tikus Sprague Dawley® jantan umur 60 hari, berat 280– 300 g dibagi menjadi 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dosis yang dipilih secara acak.
Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ±SD). Dilakukan pengujian normalitas dan homogenitas data. Apabila data berdistribusi normal dan homo-
18211-61
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
4 HASIL PENELITIAN
gen dilakukan uji Anova yang dilanjutkan dengan Post Hoc Benferroni tahap 5% untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan masingmasing perlakuan. Namun, apabila data berdistribusi tidak normal atau tidak homogen maka dilakukan uji Anova yang dilanjutkan dengan Post Hoc Games Howell (SPSS 21).
Hasil pengamatan terhadap berat dan struktur histologis testis dan epididimis dapat dilihat pada Tabel 1dan Tabel 2.
______________________________________________________ Tabel 1. Rata-rata berat testis, diameter tubulus seminiferus, tebal sel-sel germinal kelompok kontrol dan perlakuan yang diberi fraksi saponin klabet Kelompok KA KB KC KD
Rata-rata Berat Testis ± SD (g) 1,35 ± 0,06a 1,17 ± 0,03b 1,06 ± 0,04c 0,92 ± 0,08d
Rata-rata Diameter Tubulus Seminiferus ± SD (µm) 335,72 ± 3,10a 327,47 ± 5,02b 318,55 ± 4,33c 300,14 ± 5,46d
Rata-rata Tebal Sel Germinal ± SD (µm) 86,68 ± 1,15a 85,01 ± 1,24a 84,63 ± 2,33a 81,91 ± 0,71b
Post Hoc Test Bonferroni Ket: Akuades(KA) , Dosis saponin biji klabet 40 mg/kg BB(KB) , Dosis saponin biji klabet 80 mg/kg BB(KC) , Dosis saponin biji klabet 120 mg/kg BB(KD). Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata ( p<0.05) ______________________________________________________
Rata-rata berat testis kelompok perlakuan menurun secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Demikian juga antar kelompok perlakuan terjadi perbedaan yang nyata dalam penurunan berat testis akibat pemberian fraksi saponin. Diameter tubulus seminiferus kelompok yang diberi fraksi saponin berbeda dari kelompok kontrol, yaitu diameternya lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol. Ukuran diameter tubulus seminiferi antar kelompok perlakuan juga berbeda signifikan. Pemberian fraksi saponin mulai dosis 40 mg/kg bb sudah dapat menurunkan berat testis dan mengurangi ukuran diameter tubulus seminiferus. Bertambah tingginya dosis yang diberikan makin menurun pula berat testis dan ukuran diameter tubulus seminiferus. Tebal sel germinal baru terpengaruh pada dosis tinggi, yaitu fraksi saponin dosis 120 mg/kg bb (Tabel 1 dan Gambar 1).
Gambar 1. (A) Diameter Tubulus Seminiferus ( ) dan Tebal epitel germinal Kontrol ( ). (B) Diameter Tubulus Seminiferus dan Tebal epitel germinal setelah diberi perlakuan fraksi saponin 120 mg/kg bb (Pembesaran 100 X)
Tabel 2. Rata-rata berat epididimis dan tebal epitel epididimis kelompok kontrol dan perlakuan yang diberi fraksi saponin klabet Kelompok
Rata-rata Berat Epididimis ± SD (g)*
Tebal Epitel Epididimis ± SD (µm)**
KA 0,42 ± 0,03a 21,54 ± 1,35a KB 0,36 ± 0,04ab 19,73 ± 0,78a b KC 0,31 ± 0,04 15,96 ± 1,06b c KD 0,24 ± 0,04 12,84 ± 0,19c * Post Hoc Test Bonferroni ** Post Hoc Test Games Howell Ket: (KA) Akuades, (KB) Dosis saponin biji klabet 40 mg/kg BB, (KC) Dosis saponin biji klabet 80 mg/kg BB, (KD) Dosis saponin biji klabet 120 mg/kg BB. Huruf yang tidak sama menyatakan berbeda nyata ( p<0.05)
Berat epididimis tikus jantan yang diberi fraksi saponin klabet terlihat menurun dibandingkan kontrol. Berat epididimis dosis 40 mg/kg bb walaupun terjadi penurunan tetapi belum berbeda nyata dibandingkan kontrol. Penambahan dosis menjadi 80 mg/kg bb berat epididimisnya makin menurun tetapi belum berbeda nyata jika dibandingkan dengan dosis 40 mg/kg bb. Berat epididimis menurun secara nyata dibandingkan kontrol mulai dosis 80 mg/kg bb dan pemberian dosis yang lebih tinggi yaitu 120 mg/kg bb secara nyata makin menurunkan berat epididimis bahkan jika dibandingkan dengan pemberian fraksi saponin klabet dosis 80 mg/kg bb. Tebal epitel epididimis terlihat lebih tipis dibandingkan kontrol (Gambar2). Pemberian fraksi saponin mulai dosis 80 mg/kg bb yang secara signifikan mengurangi ketebalan epitel epididimis. Pemberian
18211-62
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
dosis yang lebih tinggi, yaitu 120 mg/kg bb secara nyata menyebabkan tebal epitel epididimis lebih tipis bahkan jika dibandingkan pemberian dosis 80 mg/kg bb (Tabel 2).
lus seminiferus. Tubulus seminiferus merupakan bagian utama dari masa testis (sekitar 80%) yang merupakan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis.
Gambar 2. (A) Tebal epitel epididimis kontrol; (B) Tebal epitel epididimis setelah diberi perlakuan 120 mg/kg bb (Pembesaran 100 X)
Pada hewan jantan, Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) disekresikan dari hypothalamus untuk menstimulasi pelepasan Lutenising Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari pituitary anterior. LH dan FSH mengatur aktivitas testis. LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis (Hernawati, 2001). Penurunan FSH dan kadar testosteron inilah yang juga diduga menurunkan berat testis (Wahyuni, 2006).
5 PEMBAHASAN Fraksi Saponin Klabet terhadap Berat dan Histologi Testis Pengamatan berat testis dapat secara makroskopis untuk mengetahui ada tidaknya efek pemberian fraksi saponin. Berat testis antara lain ditentukan oleh perkembangan epithelium tubulus seminiferus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan mulai dosis 80 mg/kg bb dan semakin menurun bila dosis ditingkatkan. Di duga penurunan berat testis dapat disebabkan oleh atropi, yaitu suatu proses penyusutan atau berkurang besarnya suatu organ tubuh atau jaringan dari keadaan semula atau dari bentuk normalnya (Wahyuni, 2006). Menurut Barbosa (2014) saponin mempunyai sifat amfifilik dan mempunyai kemampuan membentuk komplek dengan fosfolipid dan protein membran sel sehingga akan merubah permeabilitas membran. Selanjutnya akan mengganggu aktivitas sel dan dapat menimbulkan kematian sel. Pengurangan jumlah sel disebabkan oleh ketidakseimbangan proliferasi dan kematian sel dalam jangka waktu lama (Candrasoma dan Taylor, 2005). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Rekha& Chndrasekhara (2014) yang menyatakan bahwa fraksi saponin dengan dosis yang semakin tinggi dan pemberian fraksi saponin yang lama akan menghambat perkembangan testis dan menyebabkan atropi (pengecilan ukuran) testis dibanding kontrol. Dari hasil penelitian didapatkan adanya pengecilan pada diameter tubulus seminiferus, hal tersebut diduga karena efek sitotoksik dari senyawa saponin, sehingga sel-sel spermatogenik yang mengisi tubulus seminiferus tidak dapat mempertahankan aktivitasnya. Dengan demikian timbul adanya perbedaan yang bervariasi pada sel-sel spermatogenik di tubu-
Sel-sel endokrin yang mengeluarkan hormon testosteron (sel-sel Leydig) terletak di jaringan ikat antar tubulus-tubulus seminiferus. Sel leydig mengandung enzim yang dibutuhkan untuk sintesis testosteron. Setelah disekresikan testosteron yang disekresi diikat oleh ABP (Androgen Binding Protein) yang disekresikan oleh sel Sertoli masuk ke lumen tubulus seminiferus untuk proses spermatogenesis (Sherwood, 2001). Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa penurunan yang terjadi pada diameter tubulus seminiferus diduga dikarenakan terhambatnya sekresi LH di hipofisis anterior yang berfungsi untuk menstimulus pertumbuhan dan jumlah sel Leydig. Sehingga sekresi testosteron berkurang dan menghambat sel leydig untuk memproduksi hormon testosteron, sehingga terjadi penurunan kadar hormon testosteron. Kurangnya kadar hormon testosteron dan FSH inilah yang diduga dapat menyebabkan atrofi tubulus seminiferus (Wahyuni, 2006). Dari gambar histologi di atas (gambar 1) terlihat bahwa terjadi pengurangan ketebalan sel-sel germinal tubulus seminiferus antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Saponin terdiri dari gugus hidrofilik (glikon) dan gugus hidrofobik (aglikon) berupa senyawa lain steroid dan triterpenoid (Irwan dkk., 2007). Kandungan zat aktif biji klabet yaitu saponin yang digolongkan dalam glikosida triterpen memiliki struktur dasar siklopentana pehidrofenatrena yang dimiliki oleh steroid. Di ketahui bahwa steroid dapat berperan sebagai penghambat spermatogenesis dan bersifat reversibel. Kandungan zat aktif klabet yakni saponin tadi dapat menghambat proses mitosis sehingga perkembangan sel-sel germinal ikut terhambat bahkan rusak, terbukti dengan berkurangnya ketebalan sel-sel germinal. Tubulus seminiferus merupakan bagian utama testis yang terdiri dari sejumlah besar sel-sel germinal (sel benih) yang disebut spermatogonia
18211-63
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
(spermatogonium = tunggal). Spermatogonia terletak di dua sampai tiga lapisan di dalam tubulus seminiferus. Spermatogonia terus menerus membelah untuk memperbanyak diri, sebagian dari spermatogonia berdiferensiasi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu untuk membentuk sperma. Dalam proses spermatogenesis testosteron dan FSH memiliki peranan yang penting. Tetapi karena steroid diketahui dapat menghambat 17-3-hidroksisteroidoksidoreduktase, enzim yang dibutuhkan dalam sintesis androstenodion menjadi testosteron, sehingga pada defisiensi enzim tersebut mengakibatkan penurunan kadar testosteron yang mengakibatkan terganggunya proses sprematogenesis dan atropi pada sel-sel spermatogenik. Menurut Brinkworth & Handelsman (2000) penurunan jumlah sel-sel spermatogenik akan menyebabkan berkurangnya tebal selsel germinal tubulus seminiferus. Secara fisiologis, dalam sistem portal Hipotalamus-Hipofisis-Testis (HHT), hipotalamus mensekresikan GnRH untuk menstimulus hipofisis anterior mensekresikan FSH dan LH, namun karena saponin yang berikatan dengan RE maka menyebabkan pertumbuhan dan pematangan sel leydig serta jumlah sel leydig pun berkurang sehingga sekresi hormon testosteron pun berkurang (Hanum, 2010). Apabila testosterone didalam sel leydig berkurang maka akan mengakibatkan proses spermatogenesis juga terganggu. Menurut Gufron dan Herwiyanti (2003), bahwa hambatan atau gangguan spermatogenesis dapat dilihat dari letak sel spermatogenesis yang tidak teratur sehingga lumen tidak mempunyai batas yang tegas. Penurunan tebal sel-sel germinal tubulus seminiferus pada tikus jantan disebabkan oleh adanya gangguan aktifitas mitosis sel-sel spermatogenik oleh fraksi saponin yang berakibat pada terganggunya proses proliferasi sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Faranita, 2009).
Fraksi Saponin Klabet terhadap Berat dan Histologi Epididimis Menurut Arsyad (1986) penurunan jumlah testoteron berpengaruh pada tebal epitel epididimis. Selain itu menurut Robaire & Viger (1995) testosteron berperan mengatur morfologi sel epitel epididimis. Apabila testoteron menurun maka morfologi sel epitel epididimis mengalami penurunan dan bila semakin lama akan terjadi degenerasi sel epitel epididimis. Bahan bio aktif yang bersifat toksik seperti alkaloid, flavonoid dan saponin dapat berpengaruh terhadap tebal epitel epididimis, sehingga terjadi degenerasi pada sel epitel epididimis yang
berdampak epididimis.
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
pada
penurunan
ketebalan
epitel
Penurunan tebal epitel epididimis ini diduga disebabkan karena saponin yang merupakan prekursor testosteron mengakibatkan sekresi FSH menurun dan LH terhambat. Karena sekresi LH terhambat maka menyebabkan pertumbuhan dan jumlah sel leydig berkurang sehingga sekresi hormon testosteron juga ikut berkurang. Hal ini dikarenakan sel leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron, jika jumlah atau fungsinya berkurang maka produksinyapun akan berkurang (Hanum, 2010). Setelah disekresikan, testosteron tersebut selanjutnya diikat oleh ABP yang disekresikan oleh sel sertoli (Sherwood, 2001). Karena testosteron menurun maka sintesis ABP juga menurun, sehingga menyebabkan penurunan transport testosteron ke epididimis sehingga menyebabkan atropinya sel-sel epitel.
6 SIMPULAN Pemberian Saponin Biji Klabet (Trigonella foenumgraecum L.) menyebabkan perubahan berat dan struktur histologis testis dan epididimis tikus Sprague Dawley®.
Saran Saran bagi penelitian selanjutnya adalah dapat dilakukan penelitian mengenai uji saponin biji klabet secara in vitro terhadap sperma manusia.
REFERENSI _____________________________ [1]
Arsyad, KM. 1986. Manfaat dan Dampak Klinik Penggunaan Androgen pada Pria.Majalah Andrologi Indonesia. Edisi:5. 142-148
[2]
Barbosa, A.D.P. 2014 An Overview on the Biological & Pharmacological Activities of Saponins. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Science 6(8): 47-50.
[3]
BKKBN. 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia tahun 2013. pdf
[4]
Brinkworth, M.H. & D.J. Handelsman. 2000. The Male Reproduction System. Saunders, Philadelphia USA.
[5]
Candrasoma, C.R. Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi ed.2. Alih bahasa Soedoko R. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia.
[6]
Departemen Kesehatan RI.1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Dirjen POM. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
18211-64
Sri Nita, dkk/Saponin Biji Klabet pada Organ Reproduksi …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
[7]
Faranita OV. 2009. Kualitas Spermatozoa pada TikusWistar Jantan. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
[14]
Kusumah, S. 1999. Kegunaan Uji Fungsional Spermatozoa untuk Pria Infertile dan Fertilisasi in Vitro. Jakarta: FKUI.
[8]
Gufron M. dan S. Herwiyanti. 1995. Gambaran Histologik Spermatogenesis Tikus Putih (Rattus norvegicus) setelah Diberi Makan Terong Tukak (Solanum tornum). Jurnal Kedokteran Yarsi.
[15]
Mc Lachlan, R.L. 2000. Male Hormonal Contraception, A safe, acceptable and Reversible Choice. MJA
[16]
Nieschlag, E. 2000. Scope and Goals Andrology, In: Andrology Male Reproductive Health and Disfunction, Eds: Nieschlag, E, H.M. Behre. Berlin Heidenberg, Spinger Verlag, 2001.
[17]
Rekha, S., S. Chandrasekhara, 2014. Antifertility Effect of Ziziphus jujuba mill. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.
[18]
Robaire B., Viger R.S. 1995. Regulation of Epididymal Epithelial Cell Function. Biol. Reprod. Vol.3
[19]
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta; EGC.
[20]
Tarigan, P. 1980. Sapogenin Steroid. Alumni: Bandung.
[9]
Guyton AC., Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran.ed.9. Alih Bahasa Setiawan I, Ken Ariata Tengadi LMA, Santoso A. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, Indonesia.
[10]
Hanum, M. 2010. Biologi Reproduksi. Nuha Medika; Yogyakarta
[11]
Henriksen, K.,M. Kangasniemi, M. Parvinen, A. Kaipia, H. Harkorvita. 1996. In Vitro Folicle Stimulating hormone Prevents apoptosis and Stimulated Dioxyribonucleic Acid Syntesis in the Rat Seminiferous Epithelium in a stage-Spesific Fashion. Endocrynology Journals.
[12]
Hernawati, A. 2001. Efek Amfetamin Terhadap Ultrastruktur Sel Spermatogenik Tikus. Seminar PBI Cabang Jatim.
[21]
Wahyuni S. 2006. Pengaruh Boraks terhadap Histologi Testis dan Epididimis Mencit Albino (Mus musculus). Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya.
[13]
Irwan, A., N. Komari & Rusdiana. 2007. Uji Aktivitas Ekstrak Saponin Fraksi n-butanol dari Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana WILLD) pada larva nyamuk Aedes aegypti. Sains & Terapan Kimia 1(2): 93-101.
[22]
Walker,W.H., J. Cheng. 2005. FSH and Testosterone Signaling in Sertoli Cells. Reproduction. 130(1): 15-28. DOI: 10.1530/rep.1.00358.
[23]
Wiryawan, I., A. Ida. 2009. Ekstrak Biji Klabet Menurunkan Jumlah Sel Spermatozoa pada Kelinci.Jurnal Veteriner. Vol. 10 No.2: 71-76 ___________
18211-65
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat Tradisional oleh Etnik Lom di Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, dan Hapis Aprizan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, Bangka Belitung, Indonesia Abstract: Knowledge about the use of animals as a traditional medicine is benefit to society and must be saved. This knowledge can be used as a source of reference for researchers in the development of science and alternative ideas in the present. The purpose of this study were reveal diversity of animal drug ethnic Lom in Bangka and Lom ethnic knowledge traditional in Bangka about diversity of animal drug and used of animals as a traditional medicine. Research was conducted from January to May 2015 in Air Abik, Pejem, and Mapur village. Methods used in this research were purposive sampling (determine informans), interview and direct obeservation. Result showed that ethnic Lom used 24 species animals as medicine from 10 class in traditional medicine. The animal species most used is from the class of mammals (38%). Seen from habitat, animals are used as traditional medicines are mostly terrestrial animals (44%) are living wild in the woods. The most used animal that is part of the body (76%). Results of grouping by type of disease and the type of animals that have properties as a medicinal ingredient, there were 18 types of diseases that can be cured (medical or non-medical disease). Ethnic Lom had a good knowledge about the diversity of animal species and benefit of drugs, but this knowledge is declining and began to be forgotten by the people of ethnic Lom. The results of the interviews and observations in the field showed animal species of cacing tanah (Pheretima sp.) and undur-undur (Myrmeleon sp.) has the potential to be developed, not only as a animals drug used ethnic Lom communities but also can improve the economy of communities in the region. Keywords: Bangka, benefit animal, ethnic Lom, traditional medicines Email:
[email protected]
1 PENDAHULUAN
B
angka merupakan pulau yang kaya sumber daya alam. Selain itu, pulau ini juga memiliki keragaman dan kekhasan budaya yang dihasilkan oleh beragam etnik. Salah satu etnik yang ada di Pulau Bangka adalah etnik Lom (PUSDATINKOMTEL 2013). Etnik Lom merupakan penduduk asli Bangka dan termasuk etnik tertua yang ada di Pulau Bangka. Etnik Lom berasal dari keturunan langsung tokoh mitologi yang sakti, ialah keturunan akek antak. Tokoh ini merupakan nenek moyang atau leluhur yang memiliki kepercayaan adat (Deqy 2014). Etnik Lom mempunyai pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan keanekaragaman sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya (Adelia 2010). Berdasarkan penelitian Zulkarnain & Franto (2014), pengetahuan etnik Lom ini didapatkan dari penuturan orang tua, tukar pikiran dengan anggota masyarakat dan hasil pengalamannya sendiri. Hal ini berarti, pengetahuan ini hanya disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi pada masyarakat yang bersangkutan. Pengetahuan yang seperti ini sangat mudah terancam kepunahan karena pengetahuan ini tidak terdapat dalam bentuk tertulis (Nugraheni & Winata 2002 dalam Nuraini 2010). Salah satu pengetahuan yang merupakan warisan etnik Lom adalah pemanfaatan hewan sebagai bahan obat tradisional. © 2016 JPS MIPA UNSRI
Menurut Costa-Neto (2005), hewan yang digunakan sebagai sumber obat tradisional biasanya adalah hewan yang telah mati. Bagian-bagian hewan yang biasanya digunakan sebagai obat tradisional antara lain: daging, tanduk, tulang, ekor, bulu, kuku, lemak, empedu, dan cangkang. Adapun produk hewan yang bisa digunakan sebagai obat tradisional adalah urin, feses, madu, dan susu. Pengetahuan tentang pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional sangat berguna bagi masyarakat dan harus diselamatkan. Pengetahuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk swadaya dan swasembada masyarakat karena praktik dan teknik yang telah dikenal, mudah dipahami dan mudah dikuasai. Pengetahuan ini juga dapat menghilangkan ketergantungan pada sumber dari luar yg biasanya mahal (IIRR 1996 dalam Adelia 2010). Selain itu, adanya pengetahuan ini dapat menjadi sumber acuan bagi peneliti dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan ide-ide alternatif di masa kini (Soedjito & Sukara 2006 dalam Adelia 2010). Penelitian mengenai etnik Lom sudah pernah dilakukan dengan beberapa judul antara lain tentang: Studi etnografi orang Lom (Smedal 1989), pemanfaatan tumbuhan obat (Adelia 2010), inventarisasi tumbuhan obat (Tim Peneliti Ristoja 2013), dan sejarah masuknya islam di Bangka (Deqy 2014). Akan tetapi penelitian etnik Lom tentang pemanfaatan 18212-66
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
hewan sebagai obat tradisional belum pernah dilaporkan sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan: 1. Mengungkapkan keanekaragaman jenis hewan obat etnik Lom di Bangka 2. Mengungkapkan pengetahuan etnik Lom di Bangka tentang keanekaragaman jenis hewan obat dan pemanfaatannya sebagai obat tradisional.
2 KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Etnik Lom merupakan penduduk asli Bangka dan termasuk etnik tertua yang ada di Pulau Bangka. Etnik Lom berasal dari keturunan langsung dari tokoh mitologi yang sakti yaitu keturunan akek antak. Tokoh ini sekaligus nenek moyang atau leluhur yang beragama adat (Deqy 2014). Masyarakat etnik Lom sangat tertutup ketika berbicara tentang keyakinan yang mereka pilih. Dapat dipastikan, Etnik Lom memiliki keyakinan terhadap roh yang tak terlihat. Etnik ini menggunakan benda konkret seperti pohon-pohon, batu, hewan, dan representasi artistik untuk konsepsi keyakinan mereka (Smedal 1989). Populasi terbanyak etnik Lom ada di Dusun Tuing Desa Mapur Kecamatan Riau Silip, Air Abik dan Pejam Kecamatan Belinyu. Ketiga wilayah inilah yang dikenal sebagai ranah orang Lom (Deqy 2014). Pengetahuan tradisional atau kearifan tradisional merupakan tata nilai dalam tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional atau masyarakat lokal. Ciri yang melekat dalam pengetahuan tradisional adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya. Dalam komunitas masyarakat tradisional, pengetahuan tradisional terwujud dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan, keterampilan, tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi (Rahayu 2004 dalam Sukmawan 2008). Nugraheni dan Winata (2002 dalam Adelia 2010) menyatakan bahwa pengetahuan tradisonal terdiri dari berbagai jenis, antara lain yang berkaitan dengan informasi, keterampilan praktis dan teknologi, kepercayaan, peralatan, bahan material, percobaan, sumberdaya hayati, sumberdaya manusia, komunikasi, dan pendidikan. Pengetahuan tradisional tersebut tidak selalu dimiliki oleh anggota masyarakat secara merata. Beberapa pengetahuan yang spesifik, sehingga hanya dimiliki orang tertentu dan membutuhkan latihan atau persyaratan tertentu untuk menguasainya, misalnya cara penyembuhan
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
suatu penyakit. Beberapa pengetahuan tradisional lain relatif umum, sehingga bisa dikuasai oleh sebagian anggota masyarakat seperti bagaimana teknik berburu hewan secara tradisional. Obat tradisional adalah obat yang terbuat dari bahan alami seperti tumbuhan ataupun hewan yang merupakan warisan budaya bangsa dan telah digunakan turun menurun secara empirik (Chasanah 2010). Penggunaan bahan alam sebagai obat telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar 2006 dalam Sari 2006). Disebutkan pula oleh Alves dan Rosa (2007 dalam Mishra et al. 2011) bahwa tanaman dan hewan telah digunakan sebagai sumber obat sejak zaman kuno. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sampai 80 % orang di dunia mengandalkan hewan dan tumbuhan sebagai obat. Dari 252 bahan kimia penting yang telah dipilih oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 11,1 % berasal dari tanaman dan 8,7 % dari hewan (Souto et al. 2011; Verma et al. 2014). Di negara-negara Afrika hingga 80% dari populasi masyarakat menggunakan obat tradisional untuk membantu memenuhi kebutuhan kesehatan mereka. Meskipun tanaman dan bahan tanaman yang diturunkan merupakan sumber utama bahan untuk obat tradisional, identifikasi sumber daya hewan obat medis juga penting dalam perawatan kesehatan manusia (Alves & Rosa 2005 dalam Verma et al. 2014). Penggunaan tanaman, hewan, zat mineral dan bahan alami lainnya dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat adat adalah praktek yang diterima dengan baik di seluruh dunia (Verma et al. 2014). Etnik pribumi di seluruh dunia mempercayai bahan yang berasal dari hewan dapat menyembuhkan penyakit tanpa perlu pembuktian dari aspek saintifik. Jain et al. (2009 dalam Zubaidah et al. 2012) menyatakan bahwa setiap suku bangsa ataupun masyarakat pedalaman mempunyai pengetahuan yang luas mengenai obat yang berasal dari alam terutama obat yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Penelitian Vyas et al. (2009) menyatakan bahwa sapi, domba, unta, dan lebah madu dapat mengobati penyakit seperti batuk pada anak, infeksi anal, keracunan, dan penyakit kuning. Berdasarkan penelitian Narzary & Bordoloi (2014), daging Hoplobatrachus tigerinus dipercaya oleh suku Bodo mengandung beberapa zat alkali yang baik untuk mengatasi
18212-67
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
masalah kesehatan mereka seperti sakit perut dan tekanan darah tinggi. Dalam pengobatan tradisional, bagian-bagian hewan yang biasanya digunakan sebagai obat tradisional antara lain: daging, tanduk, tulang, ekor, bulu, kuku, lemak, empedu, dan cangkang. Adapun produk hewan yang bisa digunakan sebagai obat tradisional adalah urin, feses, madu, dan susu (Costa-Neto 2005). Hewan dan produkproduk yang berasal dari organ-organ tubuh hewan merupakan bagian dari persediaan bahan obat yang banyak digunakan oleh masyarakat sejak jaman dahulu (Unnikrishnan 1998 dalam Badge & Jain 2013).
3 BAHAN DAN METODE
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Wawancara. Sistem wawancara ialah “open ended” (terbuka-mendalam) terhadap beberapa informan kunci di daerah setempat. Informan kunci yang dipilih untuk diwawancarai ada 9 orang. Informan kunci dari Dusun Air Abik empat orang, Dusun Pejam empat orang dan Dusun Tuing Desa Mapur satu orang. Pengamatan. Setelah dilakukan wawancara kepada informan kunci dan informasi telah diperoleh kemudian dilakukan pengamatan langsung. Pengamatan dilakukan secara langsung di kediaman informan kunci. Proses pengamatan didokumentasikan menggunakan kamera foto, lalu hasilnya dicatat. Identifikasi
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2015 di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka (Tabel 1). Lokasi yang dipilih ialah Dusun Air Abik dan Dusun Pejam di Kecamatan Belinyu, serta Desa Mapur di Kecamatan Riau Silip. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena lokasi ini dikenal sebagai ranah orang Laituom (Deqy 2014).
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat perekam, kamera digital, dan kuesioner.
Metode Penelitian Survei Pendahuluan Survei yang dilakukan bertujuan untuk melakukan pendekatan/pengenalan kepada informan kunci sebelum diwawancarai. Pendekatan ini dilakukan agar nantinya mempermudah peneliti dalam pengambilan data. Pengumpulan Data dan Informasi Pengumpulan data dan informasi dilakukan berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal, dengan menggunakan tiga macam teknik ialah penentuan informan kunci, wawancara dan pengamatan. Penentuan informan kunci. Metode yang digunakan dalam pemilihan informan kunci ialah metode purposive sampling. Menurut Chambers (1996 dalam Adelia 2010), purposive sampling ialah teknik pemilihan informan kunci dengan pertimbangan peneliti, dalam hal ini kriteria informan kunci yang dipilih ialah umur di atas 40 tahun, memiliki pengetahuan yang baik tentang penggunaan hewan sebagai obat tradisional dan telah memanfaatkan hewan sebagai obat tradisional dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah pengumpulan data dan informasi selesai, dilakukan pengumpulan spesimen hewan obat jika ada. Spesimen difoto dan diidentifikasi dengan menggunakan beberapa buku, untuk mengidentifikasi Pisces digunakan buku The Fresh-Water Fishes of North Borneo (Inger & Kong 1962), untuk Amphibi buku The Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo (Inger 1966), Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for Amphibians (Heyer et al. 1994) dan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998), untuk Invertebrata buku Kunci Determinasi Serangga (Christina 1991) dan An Introduction to the Invertebrate (Moore 2006), untuk Vertebrata buku Bahan Ajar Satwa Liar (Kusumawati & Sardjana 2011), dan buku-buku terkait lainnya. Jika tidak ada hewannya, foto hewan dikonfirmasi kembali dengan informan kunci. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan dalam bentuk tabulasi dan analisis deskriptif. Pembuatan tabel bertujuan untuk merangkum data seperti nama spesies hewan, nama lokal, kelas, famili, habitat, kegunaan hewan, bagian hewan yang digunakan, dan cara penggunaan (CIFOR 2002 dalam Adelia 2010). Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran serta penjelasan terhadap seluruh data yang terkumpul.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan Etnik Lom tentang Keanekaragaman Jenis Hewan Obat Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang keanekaragaman jenis hewan, khususnya hewan yang dijadikan sebagai obat. Masyarakat etnik Lom mengenal berbagai jenis hewan yang ada di sekitarnya dan cara pemanfaatannya sebagai obat berdasarkan kebudayaan mereka karena kebanyakan masyarakat etnik Lom masih menggunakan hewan da-
18212-68
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
lam pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Badge & Jain (2013) bahwa suku-suku dan masyarakat pedesaan yang berada di kawasan hutan terpencil dan mendalam pada umumnya masih tergantung pada tumbuhan dan hewan untuk merawat kesehatan dan mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan etnik Lom tentang keanekaragaman hewan sebagai bahan obat kebanyakan mereka dapatkan dari penuturan orang tua yang kemudian pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pengetahuan ini juga mereka dapatkan dari hasil pengalamannya sendiri dan tukar pikiran dengan etnik lainnya, artinya pengetahuan etnik Lom tersebut tidak selalu dari sistem pewarisan tetapi juga berasal dari pengalaman hidupnya dan informasi yang datang dari luar yang diserapnya. Seperti pada kegunaan jenis ayam hitam (Phasianidae) sebagai obat untuk mengobati malaria yang sebenarnya pengetahuan ini etnik Lom dapatkan dari informasi yang datang dari etnik Tionghoa. Hal yang sama juga disebutkan dalam penelitian Kuntorini (2005) bahwa pengetahuan masyarakat tentang obat tradisional di Kotamadya Banjarbaru yang terdiri atas berbagai macam etnik juga diperoleh secara turun temurun, dan ada juga diperoleh dari tetangga. Etnik Lom beranggapan bahwa semua tumbuhan mempunyai khasiat sebagai obat, terutama tumbuhan yang mengandung rasa pahit. Lain halnya dengan hewan, tidak semua hewan dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit. Persepsi ini telah memberikan pandangan pada masyarakat etnik Lom tentang potensi obat tradisional, di mana pemanfaatan tumbuhan lebih banyak dibandingkan dengan hewan. Hewan obat menurut pandangan etnik Lom adalah hewan yang dapat menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit, baik penyakit medis maupun penyakit nonmedis. Penyakit medis yang dimaksud ialah penyakit yang memang dapat dilihat dengan kasat mata dan bisa disembuhkan oleh dokter. Penyakit nonmedis ialah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus (jin) dan dapat disembuhkan oleh dukun/paranormal. Beberapa pengobatan penyakit medis maupun nonmedis ini juga masih menggunakan jampi-jampi (mantra). Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa pengobatan penyakit etnik Lom selalu menghubungkan dengan mitos dan unsur magis (gaib). Pengetahuan etnik Lom tentang keanekaragaman jenis hewan obat mengalami kemunduran yang cukup signifikan dibandingkan beberapa dekade
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
lalu. Berdasarkan penuturan informan kunci, pada masa lalu mereka mengenal dengan baik jenis-jenis hewan obat yang terdapat di hutan sekitar mereka atau yang biasanya disebut hutan adat berdasarkan pemanfaatannya. Akan tetapi, pada saat ini pengetahuan tentang keanekaragaman jenis hewan obat ini sudah mulai ditinggalkan atau dilupakan oleh masyarakat etnik Lom, khususnya generasi muda. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: adanya pertimbangan orang tua dalam mewarisi pengetahuan, konversi habitat hewan dan tersedianya fasilitas kesehatan. Pertimbangan orang tua, ternyata tidak semua pengetahuan ini diwariskan ke generasi muda karena dalam mewariskan pengetahuan tersebut orang tua juga memiliki berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya ialah kemampuan generasinya dalam menjaga lingkungan yang ada. Konversi habitat hewan, hutan yang menjadi habitat alami hewan obat telah dikonversi menjadi areal perkebunan sawit dan pertambangan sehingga keberadaan jenis hewan obat tersebut semakin sulit ditemukan. Tersedianya fasilitas kesehatan, anggota masyarakat etnik Lom yang menderita sakit sekarang lebih menyukai melakukan pengobatan secara modern ke tempat pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwanto et al. (2005 dalam Adelia 2010) bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan pengetahuan tradisional mulai ditinggalkan. Pertama, habitat hewan telah banyak dikonversi menjadi areal perkebunan, lahan perladangan dan persawahan serta pemukiman. Kedua, terbukanya suatu kawasan menyebabkan dibangunnya sarana pelayanan publik. Ketiga, pengobatan secara tradisional pengaruh penyembuhannya relatif lebih lama. Keempat, pengobatan secara tradisional kurang praktis dan efisien.
Keanekaragaman Jenis Hewan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh Etnik Lom Etnik Lom di Bangka memanfaatkan 24 spesies hewan obat dan 24 famili yang berasal dari 10 kelas dalam pengobatan tradisional ialah Invertebrata (Arachnida, Bivalvia, Oligochaeta, Insecta, Xiphosura) dan Vertebrata (Pisces, Amphibi, Reptil, Aves, Mamalia) (Tabel 1). Dari 10 kelas tersebut, spesies hewan dan famili yang paling banyak digunakan oleh etnik Lom sebagai obat tradisional berasal dari kelas Mamalia (38%) (Gambar 1). Berdasarkan hasil wawancara, hal ini dikarenakan kelas Mamalia kebanyakan berukuran besar sehingga mudah terlihat oleh masyarakat etnik Lom dan kelas ini juga lebih sering berinteraksi dengan masyarakat etnik Lom. Selain itu, Indonesia juga dikenal memiliki jumlah spesies Mamalia terbanyak di Dunia. Seperti halnya etnik Lom, di India penelitian tentang hewan obat
18212-69
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
pada etnik Gond (Badge & Jain 2013) dan etnik Karbi Anglong (Verma et al. 2014) juga menunjukkan bahwa hewan yang paling banyak digunakan adalah Mamalia. Berdasarkan habitatnya, terdapat tiga kelompok hewan obat yang dimanfaatkan etnik Lom ialah hewan terestrial, akuatik dan arboreal. Di antara ketiga kelompok hewan tersebut, yang paling banyak digunakan ialah hewan terestrial (44%) (Tabel 1). Artinya, kebanyakan hewan yang digunakan oleh etnik Lom sebagai obat hidup di darat. Hal ini diduga karena etnik Lom juga menetap di kawasan hutan di mana hewan terestrial ini lebih mudah ditangkap dan dimanfaatkan sebagai obat. 40
Persentase (%)
35 30
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
pengobatan juga disebutkan dalam penelitian Mishra et al. (2011) bahwa bulu, feses, empedu, minyak, dan hati merupakan bagian-bagian hewan yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan obat tradisional yang dimanfaatkan oleh etnik di Orissa, India. Bagian-bagian hewan tersebut dapat mengobati penyakit asma, kulit, demam dan rematik. Hal ini membuktikan bahwa bagian-bagian hewan yang dimanfaatkan etnik Lom untuk pengobatan memang telah banyak digunakan sebagai bahan obat. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa bagian hewan yang paling banyak digunakan sebagai obat ialah bagian tubuh sebanyak 76% (Gambar 2). Menurut informan kunci hal ini dikarenakan pengetahuan tentang penggunaan bagian tubuh hewan memang lebih banyak diturunkan oleh orang tua atau leluhur etnik Lom.
25
Produk dari suatu proses Bagian tubuh
20 15
24%
10 5 0
76%
Gambar 1. Jumlah spesies hewan obat yang dimanfaatkan etnik Lom berdasarkan kelas hewan
Pemanfaatan Hewan sebagai Obat Tradisional Secara tradisi, etnik Lom memanfaatkan hewan obat secara alami. Mereka memanfaatkan hewan obat yang berada di sekitarnya untuk merawat kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Bantuan obat-obatan tradisional yang berasal dari hewan mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat etnik Lom. Dilihat dari cara pemakaiannya, hewan lebih banyak dimanfaatkan etnik Lom sebagai obat dalam daripada obat luar, ialah sebanyak 67% (Tabel 2).
Bagian Hewan yang Dimanfaatkan sebagai Obat Bagian-bagian hewan yang digunakan oleh etnik Lom untuk pengobatan ialah berasal dari bagian tubuh dan produk dari suatu proses. Bagian tubuh terdiri atas alat kelamin, bulu, cangkang, daging, empedu, gigi, hati, kepala, kuku, lidah, minyak, plasenta, dan seluruh tubuh. Produk dari suatu proses terdiri atas feses, madu, telur, dan urine. Beberapa bagian hewan yang digunakan etnik Lom untuk
Gambar 2 Diagram jumlah bagian hewan obat yang digunakan oleh etnik Lom di Bangka
Macam penyakit dan cara pengobatannya Berdasarkan hasil pengelompokkan menurut macam penyakit dan cara pengobatannya, tercatat ada 18 jenis penyakit yang dapat disembuhkan, baik yang tergolong penyakit medis (14 penyakit) maupun nonmedis (4 penyakit). Penyakit medis terdiri atas penyakit saluran pernapasan, luka/bengkak, sakit digigit lipan, penyakit kepala dan demam, penyakit kulit, penyakit malaria, penyakit mata, penyakit saluran pembuangan, penyakit saluran pencernaan, penyakit otot dan persendian, hernia (tekelulor), sakit gigi/sariawan, stamina, dan menumbuhkan rambut. Penyakit nonmedis terdiri atas mengusir setan, terkena santet/sihir (runggun), penyakit anak-anak (budak), dan sulit melahirkan (Tabel 3).
Jenis Hewan Obat yang Berpotensi dikembangkan sebagai Obat Jenis hewan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat terdiri atas beberapa kriteria ialah hewan mudah ditemukan, masih banyak tersedia di
18212-70
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
alam, mampu menyembuhkan penyakit yang tergolong berat, dan memiliki nilai ekonomis. Pada umumnya, semua spesies hewan yang dimanfaatkan etnik Lom sebagai obat memiliki potensi untuk dikembangkan karena hewan tersebut tidak hanya mampu mengobati penyakit yang ringan dan berat, namun juga memiliki nilai ekonomis, akan tetapi kebanyakan hewan yang digunakan etnik Lom sebagai obat saat ini semakin sulit ditemukan dan sedikit tersedia di alam. Contohnya: keribik lutong, pelandok, ajong jepang, kuncok (mimi mintuno), ular sabak, babi hutan, dan ikan duyung saat ini sulit ditemukan karena habitat hewan tersebut telah banyak yang rusak karena dikonversikan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. Beberapa hewan yang masih mudah ditemukan dan banyak terdapat di alam ialah cacing tanah dan undur-undur. Dari beberapa hewan yang digunakan etnik Lom untuk pengobatan, cacing tanah (Pheretima sp.) dan undur-undur (Myrmeleon sp.) merupakan jenis hewan obat yang berpotensi untuk dikembangkan. Kedua jenis hewan tersebut selain masih mudah ditemukan dan banyak terdapat di alam, namun juga mampu mengobati penyakit yang tergolong berat serta memiliki nilai ekonomis.
Status Konservasi Pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional oleh etnik Lom akan mempengaruhi kestabilan populasi hewan di alam karena masyarakat etnik Lom ini lebih banyak menggunakan bagian tubuh dalam pengobatan dibandingkan dengan produk dari suatu proses dan hewan yang mereka gunakan sebagai obat ini kebanyakan diperoleh dari tangkapan alam bukan dari hewan budi daya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, Appendiks CITES dan IUCN Red List, masyarakat etnik Lom memanfaatkan 6 spesies hewan yang dilindungi ialah kuncok (mimi mintuno), buaya, kambing, ikan duyung, kalong, dan pelandok (kancil) (Tabel 4). Status perlindungan ini seharusnya diketahui masyarakat etnik Lom agar selanjutnya dalam pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional tidak dilakukan berlebihan dan masyarakat semakin punya kesadaran dalam pembudidayaan hewan yang akan digunakan sebagai obat. Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang pengelolaan keanekaragaman sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya baik pengetahuan tentang tumbuhan obat maupun hewannya. Akan tetapi, pemanfaatan tentang tumbuhan dan hewan obat semakin menurun dan mulai terlupakan oleh masyarakat etnik Lom karena habitat alami tumbuhan dan hewan obat telah dikonversi menjadi areal
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
perkebunan sawit dan pertambangan sehingga keberadaan jenis hewan obat tersebut semakin sulit ditemukan. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pembudi dayaan atau konservasi hutan untuk menanggulangi erosi sumberdaya tumbuhan dan hewan yang berguna tersebut.
5 KESIMPULAN 1. Etnik Lom memanfaatkan tidak kurang dari 24 jenis hewan obat dari 10 kelas dalam pengobatan tradisional. 2. Jenis hewan yang paling banyak digunakan ialah dari kelas Mamalia (38%). Dilihat dari habitatnya, hewan yang digunakan sebagai obat tradisonal kebanyakan merupakan hewan terestrial (44%) yang hidup liar di hutan. 3. Bagian hewan yang paling banyak digunakan ialah bagian tubuh (76%). 4. Hasil pengelompokkan menurut jenis penyakit dan jenis hewan yang mempunyai khasiat sebagai bahan obat, tercatat ada 18 jenis penyakit yang dapat disembuhkan (penyakit medis maupun nonmedis). 5. Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang keanekaragaman jenis hewan obat dan pemanfaatannya, akan tetapi pengetahuan ini semakin menurun dan mulai dilupakan oleh masyarakat etnik Lom. 6. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jenis hewan cacing tanah (Pheretima sp.) dan undur-undur (Myrmeleon sp.) berpotensi untuk dikembangkan, tidak hanya sebagai hewan obat yang digunakan masyarakat etnik Lom tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di kawasan tersebut.
REFERENSI _____________________________ [1]
Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional tentang Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Obat oleh Suku Lom Dusun Air Abik Kecamatan Belinyu Bangka [Skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung.
[2]
Badge N, Jain S. 2013. An ethnozoological studies and medicinal values of vertebrate origin in the adjoining areas of Pench National Park of Chhindwara District of Madhya Pradesh, India. Int. J. of Life Sciences1 (4): 278283
[3]
Chasanah T. 2010. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional. http://bio.unsoed.ac.idpdf [23 Januari 2015]
[4]
Christina LS. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius
[5]
[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2007. Appendices I, II and III. http://www.cites.org [15 Mei 2015]
18212-71
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat … [6]
India. American Journal of Ethnomedicine1 (6) : 368370
Costa-Neto EM. 2005. Animal Base Medicines: Biological Propection and the Sustainable Use of Zootherapeutic Resources. An Acad Bras Cienc 77 (1): 33-43
[7]
Deqy TS. 2014. Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka. Yogyakarta: Ombak
[8]
Hamdani R, Tjong DH, Herwina H. 2013. Potensi Herpetofauna dalam Pengobatan Tradisional di Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas 2 (2): 110-117
[9]
[10]
[11]
[12]
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LAC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for Amphibians. Washington and London: Smithsonian Institution Press. Inger RF, Kong CP. 1962. The Fresh-Water Fishes of North Borneo. Chicago, United States of America: Chicago Natural History Museum Press Inger RF. 1966. The Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo. Chicago, U.S.A.: Field Museum Press [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2001. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org [15 Mei 2015]
[13]
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Bogor: Puslitbang Biologi
[14]
Kuntorini EM. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. J. Bioscientiae 2 (1): 25-36
[15]
Kusumawati D, Sardjana IKW. 2011. Bahan Ajar Satwa Liar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
[16]
Marinespecies. 2015. World Register of Marine Species. http://www.marinespecies.org [11 April 2015]
[17]
Mishra N, Rout SD, Panda T. 2011. Ethno-zoological studies and medicinal values of Similipal Biosphere Reserve, Orissa, India. http://www.academicjournals.org/ajpp [14 Maret 2015].
[18]
Moore J. 2006. An Introduction to the Invertebrates. New York: Cambridge University Press.
[19]
Narzary J, Bordoloi S.2014. Ethnozoological Practices on Frogs of BodoTribe from Kokrajhar District, Assam,
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
[20]
Nuraini D. 2010. Inventarisasi Tumbuhan Obat di Kecamatan Air Gegas, Kecamatan Payung dan Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung.
[21]
PUSDATINKOMTEL. 2013. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. http://www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/provinsi/detail/19/kepulauan-bangka-belitung [23 Januari 2015]
[22]
Sari LORK. 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (1) : 1-7
[23]
Smedal OH. 1989. Order and Difference: An Ethnographic Study of Orang Lom of Bangka, West Indonesia. http://www.anthrobase.com/Txt/S/Smedal_O_02.htm [5 Februari 2015]
[24]
Sukmawan S. 2008. Model-model Kajian Ekokritik Sastra. http://fib.ub.ac.id.pdf [23 Januari 2015]
[25]
Tim Peneliti Ristoja. 2013. Tumbuhan Obat Suku Lom Seri Tumbuhan Obat Bangka Belitung. Pangkalpinang: UBB Press.
[26]
Verma AK, Prasad SB, Rongpi T, Arjun J. 2014. Traditional Healing with Animals (Zootherapy) by The Major Ethnic Group of Karbi Anglong District of Assam, India. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences6 (8): 593-600.
[27]
Vyas N, Mahawar MM, Jaroli DP. 2009. Traditional Medicines Derived from DomesticAnimals Used by Rebari Community of Rajasthan, India. http://www.nepjol.info [14 Maret 2015]
[28]
Zulkarnain I, Franto. 2014. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pemetaan Partisipatif untuk Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat Suku Lom [Laporan KKN PPM]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung In Press
[29]
Zubaidah S, Norhusana AH, Hamamah FY. 2012. Penggunaan Haiwan bagi Perubatan Tradisional dalam Kalangan Masyarakat Pribumi di Asia: Satu Ulasan. Malaysian Journal of Society and Space 8 (3): 5 _______
Lampiran Tabel 1 Keanekaragaman jenis hewan obat yang digunakan etnik Lom di Bangka Kelas Invertebrata 1. Arachnida 2. Bivalvia 3. Oligochaeta 4. Insecta
5. Xiphosura Vertebrata 6. Pisces
Famili 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Theraphosidae Teredinidae Megascolecidae Apidae Gerridae Myrmeleontidae Phasmatidae Limulidae
9. Cyprinidae 10. Channidae
Nama lokal (Nama umum)
Spesies 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Theraphosa sp. Bactronophorus thoracites Pheretima sp. Apis sp. – Myrmeleon sp. – –
9. Puntius binotatus 10. Channa striata
18212-72
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Keribik lutong Temilok Cacing tanah Lebah madu Anggang-anggang Undur-undur Ajong jepang (Belalang) Kuncok (mimi mintuno)
9. Ikan tanah-tanah 10. Ikan gabus
T
Habitat Ak Ar
√
√
√ √
√ √ √ √
√ √
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat … 7. Amphibi 8. Reptil 9. Aves 10. Mamalia
∑ %
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
10 -
Ranidae Crocodylidae Geoemydidae Pythonidae Phasianidae Bovidae Cercopithecida Dugongidae Felidae Muridae Pteropodidae Suidae Tragulidae Tupaiidae 24 -
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Rana sp. Crocodylus porosus – Python reticulatus Gallus gallus domesticus Capra aegagrus Macaca fascicularis Dugong dugon Fellis sp. – Pteropus sp. Sus barbatus oi Tragulus sp. Tupaia sp. 24 -
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Katak Buaya muara Kura-kura Ular sabak Ayam hitam Kambing Kera Ikan duyung (dugong) Kucing Tikus hutan Kalong (kelelawar) Babi hutan Pelandok (kancil) Tupai
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√
√
√ √
24 -
11 44
√ 8 32
Keterangan: ∑ = jumlah; % = persentase; T = terrestrial; Ak = akuatik; Ar = arboreal Tabel 2 Penggunaan/pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional oleh etnik Lom di Bangka Nama lokal (Nama umum)
1. 2. 3.
Keribik lutong (tarantula) Temilok Cacing tanah
4. 5. 6.
Lebah madu Anggang-anggang Undur-undur
7. 8. 9. 10. 11.
Ajong jepang (Belalang) Kuncok (mimi mintuno) Ikan tanah-tanah Ikan gabus Katak
12. Buaya 13. Kura-kura 14. Ular sabak
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Ayam hitam Kambing Kera Ikan duyung (dugong) Kucing Tikus Kalong (kelelawar) Babi hutan
23. Pelandok (Kancil) 24. Tupai Persentase cara pemakaian (%)
Penggunaan/pemanfaatan
Menumbuhkan rambut Obat sakit pinggang 1. Obat panas dalam 2. Obat tifus Obat batuk Obat digigit lipan 1. Obat maag 2. Obat hernia (tekelulor) Obat sakit perut Mengusir setan (makhluk halus) Obat sakit kepala Obat luka dalam 1. Obat sakit gigi 2. Obat luka dalam 3. Obat penurun panas 4. Obat digigit lipan 1. Stamina 2. Obat sariawan/sakit gigi 1. Obat sesak nafas 2. Obat ambeien 1. Obat luka 2. Obat penyakit kulit 3. Obat luka 4. Obat luka/memar Obat malaria Stamina Obat terkena santet/sihir (runggun) Obat terkena santet/sihir (runggun) Memperlancar persalinan Obat sesak nafas Obat sesak nafas 1. Penyakit anak-anak (budak) 2. Mengusir setan (makhluk halus) Obat Mata 1. Stamina 2. Obat diabetes -
Keterangan: OL = obat luar, OD = obat dalam
18212-73
Bagian tubuh/Produk dari suatu proses
Seluruh tubuh Seluruh tubuh 1. Seluruh tubuh 2. Seluruh tubuh Madu Seluruh tubuh 1. Seluruh tubuh 2. Seluruh tubuh Feses Cangkang Kepala Daging 1. Daging 2. Seluruh tubuh 3. Telur 4. Urine 1. Alat kelamin 2. Gigi 1. Hati 2. Kepala 1. Empedu 2. Empedu 3. Feses 4. Minyak Bulu Alat kelamin Lidah Gigi Plasenta Seluruh tubuh Hati 1. Hati 2. Kuku Urine 1. Alat kelamin 2. Daging -
Cara pemakaian OL OD
√
√
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ 33
√
√ √ 67
6 24
Budi A., dkk/Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Tabel 3. Pengelompokkan macam penyakit dan cara pengobatan, meramu/meracik obat Macam penyakit Medis 1. Penyakit saluran pernapasan a) Batuk b) Sesak napas
2.
Luka/bengkak a) Luka dalam b) Luka/memar luar
c) Bengkak ulat bulu Tabel 3 (Lanjutan) Macam penyakit 3. Sakit digigit lipan 4. Penyakit kepala dan demam a) Sakit kepala b) Sakit panas dalam c) Panas tubuh/demam 5. Penyakit kulit 6. Penyakit malaria 7. Penyakit mata 8. Penyakit saluran pembuangan a) Penyakit ambeien b) Gula darah (diabetes) 9. Penyakit saluran pencernaan a) Maag b) Sakit perut c) Tifus 10. Penyakit otot dan persendian 11. Tekelulor (hernia) 12. Sakit gigi/sariawan 13. Stamina 14. Menumbuhkan rambut Nonmedis 15. Diganggu setan 16. Terkena runggun 17. Penyakit budak 18. Sulit melahirkan
Tabel 4
Cara pengobatan, meramu/meracik obat a) Madu diminum sebelum tidur + mantra b) Anak tikus yang baru lahir langsung ditelan/dimakan Hati kura-kura dicampur dengan air panas, lalu diminum Hati kalong dipanggang, dimakan a) Anak katak (berudu) langsung dimakan Ikan gabus dipanggang, dimakan dagingnya b) Empedu ular sabak dioles pada bagian tubuh yang luka Feses ular sabak dioles pada bagian tubuh yang luka Minyak ular dioles atau diururt pada bagian tubuh yang terluka atau memar c) Minyak babi hutan dioles pada bagian tubuh yang terkena ulat bulu + mantra Cara pengobatan, meramu/meracik obat Seluruh tubuh anggang-anggang ditumbuk hingga halus, ditempel pada bagian tubuh yang disengat kelabang + mantra Urine katak langsung ditetes pada bagian tubuh yang digigit lipan + mantra a) Kepala ikan tanah-tanah ditumbuk, ditempel pada bagian kepala yang sakit + mantra b) Cacing tanah langsung dimakan c) Telur katak langsung dimakan Empedu ular sabak langsung dimakan Ayam kampung yang semua bulunya hitam direbus, diambil bulunya dan dimasukkan kedalam kain hitam, diusap ketubuh + mantra Urine pelandok yang masih berada dalam kantung kemihnya langsung ditetes ke mata a) Kepala kura-kura dipotong, dipanggang, dimakan b) Daging tupai dipanggang, dimakan a) Seluruh tubuh undur-undur langsung dimakan b) Feses ajong jepang dicampur dengan air dingin, diminum c) Cacing tanah digoreng tanpa minyak hingga kering, ditumbuk, dicampur dengan air panas, diminum Temilok langsung dimakan Undur-undur langsung dimakan Daging bagian paha katak ditumbuk hingga halus, dimasukkan ke dalam gigi yang berlubang, diambil kembali dagingnya Gigi buaya direndam dalam air dingin, diminum airnya + mantra Alat kelamin buaya atau tupai bisa langsung dimakan Alat kelamin kambing dikeringkan, direndam, diminum Tarantula dibakar terlebih dahulu, lalu dicampur dengan kemiri yang sudah dibakar, dioles pada bagian tubuh yang ingin ditumbuhkan rambut Kuku babi hutan dibakar, dioles dikening anak + mantra Cangkang kuncok dijemur, dibakar, dioles dikening anak + mantra Lidah kera dikeringkan, direndam, diminum + mantra Gigi taring ikan duyung direndam dalam air dingin, diminum airnya + mantra Hati babi hutan dipanggang, dimakan + mantra Plasenta kucing jantan yang baru lahir dikeringkan, direndam, diminum + mantra
Spesies hewan yang digunakan sebagai obat oleh etnik Lom di Bangka dengan status dilindungi menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, Appendiks CITES dan IUCN Red List
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama lokal (Nama umum) Kuncok (mimi mintuno) Buaya Kambing Ikan duyung (dugong) Kalong (kelelawar) Pelandok (kancil)
Indonesia PP no 7/1999 PP no 7/1999 PP no 7/1999
Status konservasi CITES I I II -
IUCN LR/nt LR/lc VU VU DD
Keterangan: LR = Lower Risk; nt = near threatened; lc = Least Concern; VU = Vulnerable; DD = Data Deficient; I = Apendix I CITES; II = Apendix II CITES
18212-74
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Keterkaitan Jumlah Daerah Termutasi pada Gen β-globin dengan Indeks Korpuskular Pembawa Sifat β-thalassemia Priyambodo1, Niken Satuti Nur Handayani2 1
2
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, Jl. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung, Lampung. Laboratorium Genetika Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Selatan No. 1 Sekip, Sleman, DI Yogyakarta
Abstract: Thalassemia is a genetic dissorder caused by point mutation on the globin gene that decreasing the corpuscular index on thalassemian, included the carrier of thalassemia. Three to five percents of Indonesian is thalassemia carrier, βthalassemia is the most common type. This research aimed to identify the relationship between the number of mutated region on β-globin gene and the decreasing of corpuscular index on β-thalassemia carrier. The data was collected during 2012 to 2014 in Yogyakarta. Hematological analysis was performed by corpuscular index included mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular haemoglobin (MCH), and mean corpuscular haemoglobin concentration (MCHC) in Prodia Laboratory. Molecular analysis was performed by the polymerase chain reaction-single stand conformation polymorphism (PCR-SSCP) method in Laboratory of Genetics and Laboratory of Falitma, Biology Faculty, University of Gadjah Mada. Of a total of 96 individual screeaned, there were 9 suspects β-thalassemia carrier with 1 β-globin gene mutated region showed the average of MCV 63,1 fl, MCH 19,76 pg and MCHC 32,34 g/dl. Seven suspects β-thalassemia carrier with 2 β-globin gene mutated regions showed the average of MCV 61,16 fl, MCH 19,74 pg, and MCHC 32,3 g/gl. One suspect β-thalassemia carrier with 3 β-globin gene mutated regions showed the average of MCV 64,2 fl, MCH 19,5 pg, and MCHC 30,4 g/dl. The number of β-globin gene mutated region was not the main factor of decreasing the corpuscular index on β-thalassemia carrier. Keywords: mutated region, corpuscular index, β-thalassemia carrier Email:
[email protected],
[email protected]
1 PENDAHULUAN
D
arah merupakan jaringan pada hewan yang tersusun atas plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) [1]. Salah satu fungsi darah adalah mengangkut oksigen dan karbondioksida dari dan ke jaringan, fungsi ini dilakukan oleh hemoglobin [2][3]. Kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen dikarenakan adanya struktur empat molekul heme yang terikat pada rantai globin [4]. Pada orang dewasa, dapat dijumpai empat macam rantai globin, yaitu α, β, δ, dan γ. Kombinasi keempat macam rantai globin tersebut menyebabkan adanya tiga tipe hemoglobin, yaitu HbA (α2β2), HbA2 (α2δ2), dan HbF (α2γ2) [3][5]. Apabila terjadi mutasi pada gen pengkode rantai globin, maka akan timbul kelainan fungsi hemoglobin atau bahkan kegagalan produksi hemoglobin. Kelainan yang disebabkan oleh mutasi gen pengkode rantai globin antara lain thalassemia dan Hb varian [6]. Thalassemia merupakan kelainan genetik dengan pola penurunan autosomal resesif yang banyak terjadi di daerah Afrika, Mediterania, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara [7][8]. Thalassemia disebabkan oleh mutasi gen HBA atau HBB dan berdampak pada penurunan atau tidak © 2016 JPS MIPA UNSRI
adanya produksi rantai α-globin atau β-globin, sehingga dapat menyebabkan hemolisis dan gangguan eritropoiesis [3][9]. World Health Organization pada tahun 1994 menyatakan bahwa setidaknya terdapat 27 × 107 pembawa sifat thalassemia di dunia [10], sedangkan di Indonesia jumlah pembawa sifat thalassemia berkisar antara 3-5% dari total penduduk bahkan mencapai 10% pada daerah tertentu [11]. Kasus HbE dan β-thalassemia merupakan kasus tertinggi di Indonesia [12] termasuk di Palembang [13], Sumba Timur [12], Medan [14], dan Yogyakarta [15][16]. Upaya preventif dilakukan untuk mencegah pertambahan jumlah penyandang thalassemia adalah pemetaan jumlah pembawa sifat pada populasi melalui skrining [17]. Skrining dapat dilakukan secara massal di seluruh populasi atau secara parsial pada waktu tertentu, misalnya premarital atau prenatal. Beberapa metode dikembangkan untuk pelaksanaan skrining, antara lain, metode NESTROFT berdasarkan tingkat kerapuhan membran eritrosit [18], metode hematologis yang mengamati seluruh parameter eritrosit [8] hingga berbagai metode molekular yang dikembangkan untuk menyempurnakan berbagai metode sebelumnya [19]. 18213-75
Priyambodo & Niken/Keterkaitan Jumlah Daerah …
Yayasan Thalassemia Indonesia/Perhimpunan Orangtua Penderita Thalassemia Indonesia (YTI/ POPTI) cabang Yogyakarta secara rutin melakukan skrining sejak tahun 2012. Skrining dilakukan dengan metode hematologis dan molekular. Salah satu parameter yang diamati dalam skrining hematologis adalah indeks korpuskular yang memberikan deskripsi kondisi rerata tiap eritrosit. Indeks korpuskular diukur melalui tiga hal, yaitu rerata volume eritrosit, rerata kandungan hemoglobit tiap satu eritrosit, dan rerata konsentrasi hemoglobin tiap satu eritrosit. Analisis molekular dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP) yang telah divalidasi dengan sekuensing DNA. Analisis PCR-SSCP dilakukan pada empat daerah yang paling sering dijumpai adanya mutasi di dalamnya[20]. Berdasarkan analisis tersebut, ditemukan 17 individu pembawa sifat βthalassemia dengan variasi jumlah daerah termutasi, yaitu satu hingga tiga daerah dari total empat daerah yang diamati[15]. Penelitian ini bertujuan mencari keterkaitan antara jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin dengan indeks korpuskular individu pembawa sifat β-thalassemia.
2 METODE PENELITIAN
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
pencucian, dan elusi DNA. Hasil isolasi DNA diuji kualitatif dengan elektroforesis gel agarosa 0,8 % dalam TBE 1× 100 volt selama 30 menit. Hasil elektroforesis direndam dalam ethidium bromide 30 menit dan dilihat dengan UV transiluminator.
Amplifikasi Gen β-Globin Amplifikasi gen β-globin dilakukan pada empat daerah [20] pada mesin thermocycler (Eppendorf Mastercycler Personal) dengan menggunakan PCR kit KAPA 2GTM Fast Ready Mix. Amplifikasi gen β-globin dilakukan dengan campuran 12,5 µl PCR master mix, 3 µl DNA template, 1,25 µl forward primer, 1,25 µl reverse primer dan 7 µl ddH2O steril. Campuran diinkubasi dalam mesin thermocycler dengan kondisi suhu pre-denaturation 95oC selama 3 menit, 35 siklus (denaturation 95oC selama 15 detik, annealing sesuai melting temperature dari primerselama 30 detik, elongation 72oC selama 45 detik), post-elongation 72oC selama 5 menit dan colling 4oC selama 5 menit. Hasil amplifikasi gen β-globin diuji kualitatif dengan elektroforesis gel agarosa 1% dalam TBE 1× 50 volt 45 menit. Hasil elektroforesis direndam dalam ethidium bromide 30 menit dan dilihat dengan UV transiluminator.
Analisis molekular
Pengambilan Sampel Sampel darah diperoleh dari 96 peserta skrining pembawa sifat thalassemia yang diselenggarakan oleh YTI/POPTI cabang Yogyakarta bekerja sama dengan laboratorium Prodia dan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada tahun 2012-2014. Sebanyak 6 ml sampel darah masing-masing individu diambil dan disimpan dalam dua tabung vacutainer EDTA 3 ml. Satu tabung digunakan untuk analisis hematologi, sedangkan satu tabung digunakan untuk analisis molekular. Dalam proses penyimpanan dalam jangka waktu lamasampel darah dimasukkan dalam freezer -20oC.
Pengukuran Indeks Korpuskular Pengukuran indeks korpuskular dilakukan di laboratorium Prodia Yogyakarta untuk mengukur parameter mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular haemoglobin (MCH), dan mean corpuscular haemoglobin concentration (MCHC).
Isolasi DNA Isolasi DNA dilakukan berdasarkan manual kit isolasi GeneAid Genomic DNA Mini Kit for Frozen Blood Protocol dengan modifikasi, yang meliputi tahap lisis sel, pengikatan DNA pada kolom silica gel,
Analisis molekular dilakukan dengan metode PCRSSCP dan sekuensing DNA untuk uji validasi. PCRSSCP dilakukan berdasarkan metode Fitriani dengan modifikasi [21]. Sebanyak 10 µl produk PCR ditambah dengan 15 µl loading buffer (campuran bromo phenol blue, formamide, EDTA, gliserol) diinkubasi dalam waterbath 95oC selama 10 menit, kemudian secepatnya dimasukkan dalam freezer -20oC selama 10 menit. Sebanyak 25 µl campuran produk PCR dan loading buffer dimasukkan dalam well gel poliakrilamid (acrylamide:bis-acrylamide 29:1). Elektroforesis dilakukan pada 100 volt, 50 mA selama 100 menit dalam TBE 0,5×. Visualisasi hasil PCR-SSCP dilakukan dengan pewarnaan ethidium bromide yang diamati dengan UV transiluminator. Sekuensing DNA dilakukan dengan mengirimkan sampel ke perusahaan 1st Base Singapura. Sampel yang dikirimkan berupa 30 µl produk PCR, 20 µl primer dengan konsentrasi 10 µM, masing-masing komponen dimasukkan ke dalam tabung PCR berbeda. Setiap tabung PCR disegel dengan parafilm dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup untuk dikirim ke Singapura melalui PT Genetika Science Jakarta.
18213-76
Priyambodo & Niken/Keterkaitan Jumlah Daerah …
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 96 individu peserta skrining thalassemia YTI/POPTI Yogyakarta diambil sampel darahnya untuk dilakukan uji panel thalassemia. Pengujian dilakukan dengan melihat aspek hematologis dan aspek molekular. Tujuh belas individu dapat dideteksi memiliki paling tidak satu daerah termutasi pada gen pengkode β-globin dari total empat daerah yang diuji dengan metode PCR-SSCP yang divalidasi dengan sekuensing DNA. Enam dari 17 individu tersebut berjenis kelamin laki-laki, sedangkan sisanya perempuan. Teknik PCR-SSCP merupakan teknik PCR-based yang dikembangkan agar mampu mengenali mutasi dan polimorfisme DNA. PCR-SSCP dapat mendeteksi adanya perubahan sekuens basa tunggal pada untai DNA melalui pengamatan di gel poliakrilamid. PCR-SSCP dimulai dengan memisahkan rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal yang selanjutnya akan membentuk pola konformasi tertentu yang akan mempengaruhi pola migrasi di dalam gel poliakrilamid. Interpretasi data PCR-SSCP dilakukan dengan membandingkan pola migrasi individu pembawa sifat β-thalassemia dengan individu normal homozigot. Kebenaran hasil PCR-SSCP selanjutnya divalidasi dengan sekuensing DNA. Tabel 1 menunjukkan perbandingan jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin dengan rerata indeks korpuskular individu. Sembilan individu pembawa sifat β-thalassemia dengan satu daerah termutasi memiliki rerata MCV 63,1fl, rerata MCH 19,76 pg, dan rerata MCHC 32,34 g/dl. Tujuh individu pembawa sifat β-thalassemia dengan dua daerah termutasi memiliki rerata MCV 61,16 fl, rerata MCH 19,74 pg, dan rerata MCHC 32,3 g/dl; sedangkan satu individu pembawa sifat β-thalassemia dengan tiga daerah termutasi memiliki rerata MCV 64,2 fl, rerata MCH 19,5 pg, dan rerata MCHC 30,4 g/dl. Tabel 1. Perbandingan kondisi antara jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin dan rerata indeks korpuskular pembawa sifat β-thalaessemia JDT \ RIK JI MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL) 1 9 63,1 19,76 32,34 2 7 61,16 19,74 32,3 3 1 64,2 19,5 30,4 Keterangan: JDT : Jumlah daerah termutasi JI : Jumlah individu RIK : Rerata Indeks korpuskular MCV : mean corpuscular volume MCH : mean corpuscular haemoglobin MCHC : mean corpuscular haemoglobin concentration
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Rantai β-globin dikode oleh gen HBB yang terdapat dalam kromosom nomor 11. Rantai β-globin disintesis tubuh sejak fase embrional, namun berdeda proporsi produksinya tiap fase perkembangan. Sintesis rantai β-globin akan meningkat saat usia kandungan melewati masa 36 minggu dan akan semakin meningkat saat kelahiran dan akan mulai konstan saat usia 30 minggu. Peningkatan sintesis βglobin ini diikuti oleh penurunan sintesis rantai δglobin, sehingga dalam kondisi normal, persentase hemoglobin tipe HbA (α2β2) pada orang dewasa jauh lebih tinggi daripada tipe hemoglobin yang lain. Mutasi gen HBB dapat menyebabkan penurunan atau tidak adanya produksi rantai β-globin yang dapat berdampak pada kelainan atau bahkan kegagalan fungsi hemoglobin untuk mengikat oksigen, serta dapat berdampak pada perubahan struktur βglobin dan berkurangnya umur eritrosit. Secara fenotip, mutasi gen HBB dapat berakibat pada penurunan indeks kropuskular seseorang. Indeks korpuskular merupakan kondisi rerata setiap eritrosit. Indeks korpuskular diukur pada tiga macam parameter, yaitu volume rerata tiap eritrosit (MCV), rerata kandungan hemoglobin dalam satu eritrosit (MCH) dan rerata konsentrasi hemoglobin dalam satu eritrosit (MCHC). Nilai ketiga macam parameter ini bersifat konstan dan tidak terpengaruh atas jenis nutrisi yang dikonsumsi seseorang, sehingga dapat dijadikan salah satu indikator yang valid untuk mengetahui status seseorang atas kelainan thalassemia. Pengukuran parameter mean corpuscular volume (MCV) memberikan informasi terkait volume ratarata eritrosit. Secara manual, MCV dapat dihitung dengan membandingkan nilai hematokrit dengan jumlah eritrosit. Rentang MCV normal untuk anakanak adalah 69-93 fl, sedangkan untuk orang dewasa adalah 80-100 fL. Secara mikroskopis, hasil pengukuran MCV dapat dibandingkan dengan kondisi ukuran eritrosit pada gambaran darah tepi. Dalam kondisi normal, eritrosit seukuran dengan limfosit, sehingga jika dijumpai adanya eritrosit yang berukuran lebih kecil daripada limfosit, maka disebut dengan kondisi mikrositik, kondisi sebaliknya adalah makrositik. Thalassemia terjadi akibat adanya mutasi yang menyebabkan adanya penurunan atau kegagalan produksi rantai globin, sehingga dari adanya penurunan parameter MCV. Tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh rerata MCV berada di bawah batas nilai MCV normal, bahkan di bawah batas normal pada kondisi normal anak-anak. Hasil pada MCV tidak menunjukkan adanya kecenderungan makin banyak jumlah daerah termutasi akan makin menurunkan rerata MCV.
18213-77
Priyambodo & Niken/Keterkaitan Jumlah Daerah …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Parameter pengukuran kedua adalah MCH yang menunjukkan rerata kandungan hemoglobin dalam setiap eritrosit. Parameter MCH berbeda dengan parameter hemoglobin pada kategori hitung darah rutin (cell blood count). Hasil pengukuran terhadap MCH akan konstan, sedangkan hasil pengukuran terhadap hemoglobin seseorang akan fluktuatif berdasarkan kondisi fisiologis orang tersebut. Secara manual, parameter MCH dapat dihitung dengan membandingkan konsentrasi hemoglobin dengan jumlah eritrosit. MCH orang dewasa normal berada di kisaran 26 – 34 pg, sedangkan untuk anak-anak berada pada kisaran 23 – 31 pg. Pada pengamatan mikroskopis, jika nilai MCH rendah, dapat teramati pada kondisi warna eritrosit yang pudar/pucat. Kondisi ini disebut hipokromik yang merupakan salah satu indikator thalassemia, baik mayor, intermedia, maupun minor.
dengan penurunan indeks korpuskular, baik MCV, MCH maupun MCHC.
Tabel 1 menunjukkan adanya kecenderungan antara peningkatan jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin menyebabkan penurunan rerata nilai MCH. Kecenderungan yang sama juga teramati pada parameter MCHC. Parameter MCHC mengukur rerata konsentrasi hemoglobin pada setiap eritrosit. Nilai MCHC dapat dihitung secara manual dengan membandingkan konsentrasi hemoglobin dengan nilai hematokrit. MCHC bukan merupakan indikator mutlak dalam penentuan status seseorang terkait thalassemia, namun dapat dijadikan sebagai pelengkap pertimbangan. Kisaran nilai MCHC normal adalah 32 – 36 g/dL. Tabel 1 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin diiringi dengan penurunan rerata nilai MCHC. Pada individu dengan satu dan dua daerah termutasi pada gen pengkode βglobin, rerata nilai MCHC masih dalam kisaran normal, sedangkan individu dengan tiga daerah termutasi pada gen pengkode β-globin menunjukkan rerata nilai MCHC di bawah kisaran normal.
Indikator jumlah daerah termutasi pada gen pengkode β-globin bersifat komplementer dengan jenis mutasi yang terjadi di dalamnya. Makin banyak jenis mutasi yang terjadi tidak akan memberikan dampak signifikan jika jenis mutasi yang terjadi adalah silent mutation. Namun, jumlah daerah termutasi juga memberikan andil dalam penurunan nilai indeks korpuskular. Dua daerah termutasi berjenis missense mutation akan memberikan dampak yang lebih parah daripada kondisi satu daerah termutasi berjenis missense mutation.
Di Asia Tenggara telah ditemukan lebih dari 66 jenis mutasi penyebab β-thalassemia. Berbagai macam mutasi ini tidak memberikan dampak yang seragam. Sebagian dari jenis mutasi merupakan silent mutation yang tidak menyebabkan perubahan protein yang dihasilkan dari proses ekspresi gen, sehingga tidak menimbulkan dampak yang parah bagi penderita. Beberapa jenis mutasi yang lain merupakan missense mutation yang menyebabkan perubahan jenis protein yang dihasilkan, bahkan sebagian jenis mutasi berupa delesi dapat mengakibatkan pergeseran rangka baca pada saat ekspresi gen. Keberagaman jenis mutasi yang ada lebih diyakini mempunyai keterkaitan yang lebih erat
Silent mutation gen HBB pengkode β-globin sangat beragam. Gen sepanjang 1,6kb ini memiliki 3 exon dan 2 intervening sequence. Mutasi gen HBB tidak hanya terjadi pada daerah exon yang akan diekspresikan menjadi protein, namun dapat terjadi pula pada promoter, untranslated region (UTR), dan intervening sequence yang merupakan tidak menyebabkan perubahan protein. Mutasi -92 C>T pada CACC box meupakan contoh silent mutation pada daerah promoter. Pada daerah UTR juga terdapat beberapa contoh silent mutation, misalnya mutasi +1 A>C dan +6 C>G. Keberagaman silent mutation ini makin memperkuat asumsi bahwa jumlah daerah termutasi bukan merupakan penyebab utama penurunan indeks korpuskular.
4 KESIMPULAN Jumlah daerah termutasi pada gen pengkode rantai β-globin bukan merupakan faktor utama penurunan indeks korpuskular pada individu pembawa sifat βthalassemia.
REFERENSI _____________________________ [1]
Silbernagl, S. & Despopoulos, A. 2009. Color Atlas of Physiology. 6th ed. Thieme, Stuttgart, Germany, pp: 8890.
[2]
Favero, M.E. & Costa, F.F. 2011. Alpha-haemoglobinstabilizing Protein: an Erythroid Molecular Chaperone. Biochem. Int. 2011: 1-7.
[3]
Tangvarasittichai, S. 2011. Thalassemia Syndrome, Advances in the Study of Genetic Disorders. InTech (versi online). (http://www.intechopen.com/books/advancesin-the-study-of-genetic-disorders/thalassemiasyndrome)
[4]
Clarke, G.M. & Higgins, T.N. 2000. Laboratory Investigation of Haemoglobinopathies and Thalassaemias: Review and Update. Clin. Chem. 46 (8B): 1284-1290
[5]
Mosca, A., Paleari, R., Ivaldi, G., Galanello, R., & Giordano, P.C. 2009. The Role of Haemoglobin A Testing
18213-78
Priyambodo & Niken/Keterkaitan Jumlah Daerah … in the Diagnosis of Thalassaemias and Related Haemoglobinopathies. J. Clin. Pathol. 62: 13-17. [6]
[7]
Rogers, K. 2011. Blood: Physiology and Circulation, 1st ed. Britannica Educational Publishing, New York. Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H. 2006. Essential Haematology Fifth Edition. Massachusetts: Blackwell Science, Inc.
[8]
Cao, A. & Galanello, R. 2010. Beta-thalassemia. GeneTest Review. Genetics in Medicine 12:2.
[9]
Galanello, R. 2012. Recent Advances in the Molecular Understanding of NonTransfusionDependentThalassemia. Blood Rev. 26S: S7-S11.
[10]
Weatherall, D.J. & Clegg, J.B. 2001. Inherited Haemoglobin Disorders: An Increasing Global Health Problem. Public Health Reviews. Bulletin of the World Health Organization 79: 704-712.
[11]
Anonymous. 2010. Pencegahan Thalassemia (Hasil Kajian HTA Tahun 2009).Dirjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,Jakarta.
[12]
Lanni, F. 2002. Heterogenitas Molekular Gena Globinß di Indonesia: Kaitannya dengan Pola Penyebaran Thalassemia-ß serta Afinitas Genetik antar Populasi di Indonesia. Disertasi, tidak diterbitkan. UGM. Yogyakarta.
[13]
Sofro, A.S.M., Clegg, J.B., Lanni, F., Sianipar, O., Himawan, & Liliani, R.V. 1996. Application of ARMS Primers for the Molecular Characterization of ßThalassemia Carrier in Palembang, South Sumatra. I. J. Biotech.12: 5965.
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016 [14]
Ganie, R.A. 2008. Distribusi Pembawa Sifat Thalassemia (a & ß) dan Hemoglobin-E pada Penduduk Medan. Majalah Kedokteran Nusantara 41 (2): 117-122.
[15]
Priyambodo. 2014. Deteksi Molekular Pembawa Sifat β-thalassemia di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis, tidak diterbitkan. UGM. Yogyakarta
[16]
Magfirahtul Jannah. 2014. Profil Hematologis dan Deteksi Molekular Pembawa Sifat Hemoglobin E di Yogyakarta. Tesis, tidak diterbitkan. UGM. Yogyakarta
[17]
Modell, B. & Darlison, M. 2008. Global Epidemiology of Haemoglobin Disorders and Derived Service Indicators. Bulletin of the World Health Organization 86 (6): 417-496.
[18]
Mangiani, M., Lokeshwar, M.R., Vani, VG., Bhatia, N. & Mhaskar, V. 1997. NESTROFT, an Effective Screening Test for Beta Thalassemia Trait. Indian Pediatrics 34: 702-707.
[19]
Calzolari, Roberta, McMorrow, Tara, Yannoutsos, Nikos, Langeveld, An, Grosveld, Frank. 1999. Deletion of a Region that is a Candidate for the Difference between the Deletion Forms of Hereditary Persistence of Fetal Hemoglobin and δβ-thalassemia Affets β- bbut not γ-Globin Gene Expression. European Molecular Biology Organization. 18: 4 pp 949 – 958.
[20]
Gupta, A. & Agarwal, S. 2003. Efficiency and Cost Effectiveness: PAGE-SSCP versus MDE and Phast gels for Identification of Unknown ß-Thalassaemia Mutations. Journal of Clinical Pathology, 56: 237-239.
[21]
Fitriani, I. 2009. Deteksi Mutasi Gen MATP pada Penderita Oculocutaneous Albinism (OCA) di DIY dan Wonosobo (Jawa Tengah). Tesis. tidak diterbitkan. UGM. Yogyakarta. ____________________________
18213-79
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Variasi Rasio Amonium dan Nitrat terhadap Perkembangan Embrio Somatik Bawang Putih (Allium sativum) secara In Vitro Singgih Tri Wardana Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia Abstract: This research was aimed to conduct different NH4+ : NO3-ratios on the development of somatic embryos of garlic (Allium sativum) by in vitro technique. This research used complete random design with four levels of NH4+ : NO3-ratios, i.e. 1:2, 1:3, 1:4, and 1:5.The cell suspension culture used MS medium with 0,25 mg l-1 BAP. The results showed that the different NH4+ : NO3-ratios resulted significant effect on the development of somatic embryos ( globular, scutelar, and coleoptiler stages).1:3 ratio of NH4+ : NO3-was optimum to improve the development of somatic embryos. Keywords: NH4+ : NO3-ratios, somatic embryo, garlic, in vitro
1 PENDAHULUAN
B
awang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu komoditi sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Tanaman ini mengandung vitamin A, B1, B2, dan C serta sejumlah mineral (sulfur, potassium, besi, iodine, fosfor dan selenium). Tanaman ini juga mengandung senyawa metabolit inulin dan allicin yang dapat dimanfaatkan sebagai antibiotik, antiparasitik, antioksidan, antimikroba antivirus, antitumor, antitrombin, menghambat penuaan dini dan menurunkan kolesterol (Schwartz dan Krishna, 1999 ; Amagase, 2006). Bawang putih(Allium sativum L.) merupakan anggota famili Liliaceae, tumbuhan ini memiliki bunga yang steril sehingga tidak dapat menghasilkan biji.Selama ini perbanyakan tanaman bawang putih dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan umbi (bulbus). Masalah yang sering dijumpai dalam perbanyakan menggunakan umbi ini adalah tanaman yang dihasilkan tidak seragam, jumlah produksi yang belum mencukupi kebutuhan, serta penyebaran virus yang tidak terkendali (Ayabe dan Sumi, 1998). Usaha untuk mengatasi kendala yang dijumpai pada perbanyakan secara konvensional tanaman bawang putih adalah dengan teknik kultur in vitro yaitu melalui embriogenesis somatik. Menurut Rao(1996), embriogenesis somatik secara in vitro merupakan pilihan perbanyakan vegetatif yang tepat, efisien dan lebih praktis untuk perbanyakan klonal, karena dapat diperoleh tanaman yang seragam dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan embrio somatik yang dihasilkan bersifat bipolar seperti embrio zigotik, yaitu calon tunas dan calon akar terben-
© 2016 JPS MIPA UNSRI
tuk secara bersamaan sehingga tahap perakaran tidak diperlukan. Perbanyakan tanaman bawang putih melalui embriogenesis somatik secara in vitromenghasilkan bibit tanaman dalam jumlah besar dan secara genetik identik dengan induknya (Bockish et al, 1997 ; Ayabe dan Sumi, 1998), dapat menghasilkan bibit tanaman yang bebas virus (Ayabe dan Sumi, 2001), embrio somatik yang terbentuk selanjutnya dapat digunakan untuk membuat biji artifisial (Kim dan Park, 2002). Embriogenesis somatik secara in vitro melalui dua fase utama. Pertama, diferensiasi sel-sel somatik membentuk sel embriogenik, dilanjutkan proliferasi sel embriogenik tersebut. Kedua, sel-sel embriogenik berdiferensiasi membentukembrio somatik (Jimenez, 2001). Faktor yang mempengaruhi perkembangan sel embriogenik membentuk embrio somatik salah satunya adalah sumber nitrogen dan konsentrasi nitrogen. Di dalam medium yang digunakan untuk kultur in vitro, sumber nitrogen terdapat dalam bentuk nitrogen anorganik berupa amonium (NH4) dan nitrat (NO3), dan nitrogen organik berupa asam amino, antara lain glutamin, alanin, asam glutamat, asparagin, dan prolin (George, 1993). Penambahan maupun pengurangan konsentrasi nitrogen berpengaruh pada embriogenesis somatik. Penambahan maupun pengurangan konsentrasi NH4+ dan NO3-pada medium dasarmengakibatkan perubahan rasio antar kedua sumber nitrogen tersebut. Pengaruh rasio NH4+ danNO3- terhadap embriogenesis somatik, antara lain pada Medicago sativa 18214-80
Singgih T. W./Variasi Rasio Amonium & Nitrat …
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
diperlukan 12 mM NH4+ dan 48 mM NO3- atau rasio NH4+danNO3- adalah 1 :4 untuk induksi sel embriogenik, sedang untuk diferensiasi sel embriogenik membentuk embrio somatik diperlukan 20 mM NH4+ dan 40 mM NO3- atau rasio NH4+danNO3- adalah 1 : 2 (Meijer dan Brown, 1987). Pada Citrus sinensis menunjukkan penambahan berat kalus embriogenik yang paling tinggi dengan perlakuan rasio NH4+danNO3- yaitu 1 : 3 (Niedz, 1994). Wardana (2004) melaporkan bahwa rasio NH4+ danNO3-yaitu 1 : 3 berpengaruh positif dalam induksi kalus embriogenik pada Allium sativum. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan rasio ammonium dan nitrat (NH4+:NO3-) terbaik untuk memacu perkembangan (diferensiasi) embrio somatik bawang putih (Allium sativum L). secarain vitro.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat sebagai informasi dasar studi embriogenesis somatik, khususnya pada Allium sativum L., dan sebagai alternatif metode perbanyakan klonal Allium sativum L.
2 METODE PENELITIAN Penelitian eksperimental ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya, Palembang.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalus embriogenik bawang putih hasil koleksi, Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan, termasuk kontrol (Tabel 1.). Masing-masing perlakuan dengan ulangan 20 kali .
______________________________________________________ Tabel 1. Perlakuan rasio NH4+danNO3- yang bervariasi (Wardana, 2004). Rasio Konsentrasi Sumber Konsentrasi (mM) Nitrogen Total NH4+:NO3NH4+: NO3Nitrogen (mM) K 20 mM NH4NO3 20 :40 1:2 60 (kontrol) 20 mM KNO3 S1 15 mM NH4NO3 15 :45 1:3 60 30 mM KNO3 S2 12 mM NH4NO3 12 :48 1:4 60 36 mM KNO3 S3 10 mM NH4NO3 10 :50 1:5 60 40 mM KNO3
Perlakuan
______________________________________________________
Penelitian ini digunakan metode kultur suspensi dengan media dasar MS.. Koleksi kalus embriogenik bawang putih sebanyak 2 g dibuat suspensi sel ke dalam 50 ml medium dasar dengan penambahan 1 mg.l-12,4-D, dan diperlakukan secara agitatis dengan menggunakan shaker pada kecepatan 100 rpm selama 2 – 5 jam. Kemudian kecepatan shaker diturunkan sampai 60 rpm selama 7 hari. Selanjunya sebanyak 1,5 ml suspensi sel tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi 6 ml medium perlakuan (medium dasar MS dengan penambahan 0,25 mg.l-1 BAP dengan rasio NH4+: NO3- yang bervariasi seperti pada Tabei 1.), dan dipelihara secara statis dalam kondisi aseptis dalam ruang inkubasi dengan suhu 25 - 26 oC,serta dalam kondisi terang, selama 3 minggu. Dilakukan pengamatan dan subkultur setiap 7 hari sekali. Pengamatan dan penghitungan jumlah embrio somatik digunakan haemocytometer dan hand counter di bawah mikroskop cahaya. Data kuantitatif dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 5 %, jika ada perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji LSD pada taraf 5 %. Data yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan embrio somatik pada penelitian ini serupa dengan perkembangan embrio zigotik pada tanaman monokotil secara umum, yaitu berturutturut dari stadium globuler, skutelar, dan koleoptiler. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan rasio NH4+danNO3- berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio somatik, baik pada stadium globuler, skutelar, dan koleoptiler. Kedua hal tersebut diatas menunjukkan bahwa nitrogen dalam bentuk NH4+danNO3- berperan penting dalam embriogenesis somatik pada Allium sativum L., dan rasio NH4+danNO3- sangat menentukan perkembangan embrio somatik pada Allium sativum L. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Singh et al. (1999) yang menyatakan bahwa senyawa nitrogen berfungsi sebagai karier, katalis, transporter, atau molekul pengatur lain dalam proses aktivasi sistem sinyal transduksi yang dapat merubah struktur kromatin, transkripsi atau jalur lain, sehingga gen yang mengkode pembentukkan embrio somatik mampu diekspresikan.
18214-81
Singgih T. W./Variasi Rasio Amonium & Nitrat …
Hasil penelitian variasi rasio amonium dan nitrat terhadap perkembangan embrio somatik bawang
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
putih disajikan pada Tabel 2. berikut ini.
______________________________________________________ Tabel 2. Pengaruh rasio NH4+danNO3-terhadap rerata jumlah embrio somatik pada tiap stadium perkembangan embrio. Perlakuan
Rasio NH4+:NO3-
K (kontrol) S1 S2 S3
1:2 1:3 1:4 1:5
Stadium Perkembangan Embrio (embrio/ml suspensi) Globuler Skutelar Koleoptiler 4,24 . 105 a 6,64 . 105 a 6,48 . 105 a 4,84 . 105 a 6,86 . 105 a 8,24 . 105 b 2,68 . 105 b 2,24 . 105 b 2,04 . 105 c 1,26 . 105 c 0,48 . 105 c 0,24 . 105 d
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada uji LSD 5%. ______________________________________________________
Rasio NH4+danNO3- yaitu 1 : 2 dan 1 : 3 terjadi peningkatan jumlah embrio somatik yang lebih baik bila dibanding dengan rasio 1 : 4 dan 1 : 5. Pada rasio NH4+danNO3-1 : 4 , walaupun embrio somatik yang terbentuk mengalami perkembangan sampai pada stadium koleoptiler, tetapi jumlah embrio somatik tiap-tiap stadium perkembangan lebih rendah dibanding pada rasio 1 : 2 dan 1 : 3. Hal ini diduga pada rasio 1 : 4 , penyerapan NH4+danNO3-oleh selsel embrio somatik mulai terhambat. Penghambatan penyerapan NH4+danNO3-terutama terjadi pada rasio 1 : 5 . Penghambatan penyerapan NH4+danNO3ini terjadi karena terjadi peningkatan pH medium yang menjadi lebih alkalis (basa). Perubahan pH medium menjadi lebih alkalis karena konsentrasi NO3- jauh lebih tinggi dari konsentrasi NH4+. Rendahnya NH4+danNO3-yang terserap oleh sel menyebabkan rendahnya inkorporasi NH4+danNO3- dalam membentuk senyawa yang lebih komplek yang berperan dalam embriogenesis somatik, sehingga perkembangan embrio somatik terhambat. NH4+danNO3-pada rasio 1 : 2 dan 1 : 3 , embrio somatik berkembang dengan baik, terutama pada rasio 1 : 3 , dimana jumlah embrio somatik pada tiap-tiap stadium lebih tinggi dibanding rasio 1 : 2 . Hal tersebut menunjukkan NH4+danNO3-terserap dengan baik oleh sel, sehingga dapat berinkorporasi membentuk senyawa yang lebih komplek yang berperan dalam embriogenesis somatik. Perubahan pH medium pada rasio 1 : 2 maupun 1 : 3 diduga tetap pada kisaran netral, sehingga penyerapan NH4+danNO3- maupun komponen medium lainnya tidak terhambat. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Niedz (1994) bahwa perbandingan NH4+danNO3-pada rasio 1 : 3 menyebabkan perubahan pH pada kisaran netral, dan terjadi peningkatan berat basah kalus embriogenik, serta diferensiasi embrio somatik. Penyerapan NH4+danNO3-serta inkorporasinya dalam membentuk senyawa yang lebih komplek da-
pat dijelaskan oleh pendapat Stasolla et al. (2003) yang menyatakan bahwa NH4+ yang diserap langsung oleh sel maupun NH4+hasil reduksiNO3- akan segera dimetabolisir membentuk asam amino glutamin, asam glutamat dan arginin. Thorpe dan Stasolla (2001) menambahkan bahwa akumulasi glutamin di dalam sel akan meningkatkan sintesis asam amino triptofan sebagai prekursor auksin endogen (IAA). IAA (indole acetic acid) berperan dalam mengaktivasi sinyal transduksi sehingga sel dapat mengadakan pemrograman kembali ekspresi gen dan menginduksi pembelahan sel ke arah embriogenesis somatik. Joy et al. (1997) melalui studi spektroskopik 15N NMR, menjelaskan bahwa setelah masuk ke dalam sel, maka NH4+danNO3- dapat mengadakan inkorporasi membentuk asam amino glutamin, asam glutamat dan alanin. Selanjutnya pada perkembangan embrio dapat dideteksi terbentuk arginin dan poliamin sebagai hasil inkorporasi glutamin, asam glutamat dan alanin. Santanen dan Simola (1994) menambahkan bahwa pada kalus embriogenik, konsentrasi S-adenosil metionin (SAM) dekarboksilase lebih tinggi dibanding pada kalus non embriogenik. SAM berfungsi antara lain untuk biosintesis poliamin yang diperlukan dalam pengaturan dan perkembangan embrio somatik. Berdasarkan pada tersebut diatas, maka pengaruh rasio NH4+danNO3- yang berbeda terhadap perkembangan embrio somatik pada penelitian ini, terutama berhubungan dengan 3 hal pokok, yaitu : 1) penyerapan NH4+danNO3- ,2) perubahan pH medium kultur, dan 3) inkorporasi NH4+danNO3- membentuk senyawa yang lebih komplek yang berperan dalam embriogenesis somatik.
4 SIMPULAN Rasio NH4+danNO3- berpengaruh nyata terhadap perkembangan embrio somatik bawang putih secara in vitro, baik pada stadium globuler, skutelar, dan
18214-82
Singgih T. W./Variasi Rasio Amonium & Nitrat …
koleoptiler.Perkembangan embrio somatik paling optimal pada rasio NH4+danNO3- 1 : 3.
REFERENSI _____________________________
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016 [9]
Meijer EGM &Brown DCW. 1987. Role of exogenous reduced nitrogen and sucrose in rapid high frequency somatic embryogenesis in Medicago sativa. Plant Cell Tiss. Org.Cult. 10:11-19.
[10]
Niedz RP. 1994. Growth of embryogenic sweet orange callus on media varying in the ratio of nitrat to ammonium nitrogen. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 39 : 1-5.
[11]
Rao KS. 1996. Embryogenesis in flowering plants: recent approaches and prospects. Journal of Biosciences. Vol.21, No.6: 827-841.
[1]
Amagase H. 2006. Clarifying the real bioactive constituents of garlic. J. Nutr. 136: 716-725.
[2]
Ayabe M. & Sumi S. 1998. Establishment of novel tissue culture method stem-disc culture and its practical application to micropropagation of garlic (Allium sativum L.). Plant Cell Rep. 17: 773-779.
[12]
[3]
Ayabe M. & Sumi, S. 2001. A novel and efficient tissue culture method – “stem-disc dome culture” – for producing virus free garlic (Allium sativum L.). Plant Cell Rep. 20: 503-507.
Santanen A &Simola LK. 1994. Catabolism of putrecine and spermidine in embryogenic and nonembryogenic callus lines of Picea abies. Physiologia Plantarum. 90 : 125 – 129.
[13]
[4]
Bockish T, Saranga Y, Altman. 1997. A Garlic micropropagation by somatic embryogenesis. Acta Hort. 447: 241-242.
Schwartz HF &KrishnaSM. 1999. Compendium of Onion and Garlic Diseases, the American Phytopathological Society, St. Paul, USA.
[14]
[5]
George EF. 1993. Plant propagation by tissue culture:The Technology, Part 1 2nd edition. Exegetic Limited, London. England.
Singh RP, Murch SJ & Saxena PK. 1999. Role of nitrogen in morphogenesis in vitro. Science Publisher Inc. USA.
[15]
[6]
JimenezVM. 2001. Regulation of in vitro somatic embryogenesis with emphasis on the role of endogenous hormones. Revista Brasileira de Fisiologia Vegetal. vol. 13, no. 2:196-223.
[7]
Stasolla C, Yeung EY & Thorpe TA. 2003.Somatic embryogenesis in white spruce : physiology and biochemistry. Dalam : Bhojwani, S.S. dan W.Y. Soh (eds). Agrobiotechnology and plant tissue culture. Science Publ. Inc. Enfield, NH, USA.
Joy IVRW., Vogel HJ &Thorpe TA. 1997. Inorganic nitrogen metabolism in embryogenic white spruce cultures :A nitrogen 14 – 15 NMR study. J. Plant Physiol. 151 : 306 – 315.
[16]
[8]
Thorpe TA & Stasolla C. 2001. Somatic embryogenesis. Dalam : Bhojwani, S.S. dan W.Y. Soh (eds). Current trends in the embryology of angiosperm.Kluwer Academic Publ. Dordrecht, The Netherlands.
Kim MA &Park JK. 2002. High frequency plant regeneration of garlic (Allium sativum L.) calli immobilized in calcium alginate gel. Biotechnol.Bioprocess Eng. 7: 206211.
[17]
Wardana ST. 2004. Induksi kalus embriogenik bawang putih (Allium sativum L.) dengan rasioNH4 : NO3 yang bervariasi. Jurnal Penelitian Sains. 16 : 88 – 96. _______
18214-83
Jurnal Penelitian Sains
Volume 18 Nomor 2 Mei 2016
Analysis of Relation between Fluorescence Intensity and Ripeness Levels of Loosed Palm Oil Fruits Minarni Shiddiq dan Reza Umami Laboratorium Fotonik, Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Riau Jl. HR. Soebrantas km 12,5 Pekanbaru 28293 Intisari: Fluorescence imaging telah dikembangkan sebagai metode nondestruktif yang berpotensi untuk penilaian kualitas buah dan sayuran. Grading tandan buah segar (TBS) kelapa sawit sangat penting dilakukan untuk mendapatkan CPO yang berkualitas tinggi di perusahaan kelapa sawit. Fluoresensi imaging belum secara menyeluruh digunakan untuk mengeksplorasi grading kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari intensitas fluoresensi pada buah kelapa sawit yang brondolan dan hubungannya terhadap tingkat kematangan buah menggunakan sistem pencitraan fluoresensi. Sistem terdiri dari laser dioda 650 nm, kamera monokrom CMOS dan filter warna. Filter yang digunakan adalah warna jingga karna dieksitasi oleh laser dioda merah. Sampel adalah buah segar kelapa sawit brondolan dari varietas Tanera bernama Marihat dan Topaz yang diambil pada bagian buah luar TBS kelapa sawit. Sampel memiliki tiga tingkat kematangan yaitu mentah, matang, lewat matang yang setiap tingkat nya terdiri dari 5 buah. Kategori kematangan ditentukan oleh pemanen yang berpengalaman. Buah yang disinari direkam oleh kamera dan menghasilkan intensitas gray menggunakan software imageJ yang dibandingkan pada tiga tingkat kematangan. Konsenstrasi antosianin pada lapisan mesocarp buah Marihat diukur sebagai perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas fluoresensi tertinggi diperoleh pada buah lewat matang, diikuti oleh matang dan mentah. Intensitas gray pada buah Topaz lebih tinggi 5-11% untuk setiap tingkat kematangan. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi antosianin jenis Topaz lebih tinggi dari Marihat. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Kata kunci: Pencitraan Fluoresensi Berbasis Laser, Buah Kelapa Sawit Brondolan, Kematangan, Konsentrasi Antosianin, ImageJ Abstract: Fluorescence imaging has been developed as a potential nondestructive method for fruit and vegetable quality assessments. Grading palm-oil fresh fruit bunches (FFBs) is a very important step to obtain good quality of crude palm oil for palm oil companies. Fluorescence imaging has not thoroughly been explored for FFB grading. This research was aimed to study the fluorescence intensities of loosed palm oil fresh fruits and their relations to the ripeness levels of the fruits using a chlorophyll fluorescence imaging system. The system composed of a 650 nm diode laser, a monochrome CMOS camera, and a color filter. The color filter used was an orange color due to excitation by the red diode laser. The samples were loosed palm oil fresh fruits from Tenera variety named Marihat and Topaz taken from the outer layer of palm oil fresh fruit bunches. The samples had three levels of ripeness, underripe, ripe, and overripe, each had 5 loosed fruits. The ripeness categories were determined by an experienced harvester. The illuminated fruit images were recorded by the camera and the gray intensities were obtained using ImageJ software and compared for three ripeness conditions. The anthocyanin concentration of the mesocarp layers of the Marihat fruits were measured as comparison. The research results showed that the highest fluorescence intensities were obtained for overripe, followed by ripe, and underripe loosed fruits. These were related to the decreasing of the anthocyanin concentration. The gray intensities of Topaz palm oil fruits were higher by 5-11% for each of the ripeness levels . These could be due to the anthocyanin concentration of Topaz fruits were higher than those of Marihat fruits. That could be investigated further. Keywords: Laser-based Fluorescence Imaging, Loosed-Palm Oil Fruits, ripeness, Anthocyanin concentration, ImageJ Email:
[email protected],
[email protected]
1 PENDAHULUAN
M
etode penggunaan cahaya telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi kualitas dan tingkat kematangan pada buah. Metode-metode tersebut antara lain pencitraan fluoresensi (fluorescence imaging-FI), Hyperspectral imaging, LSI (laser speckle Imaging). Penelitian yang telah dilakukan © 2016 JPS MIPA UNSRI
adalah seperti deteksi kematangan buah apel dan buah persik menggunakan cahaya laser [1] dan deteksi kerusakan pada buah pir menggunakan laser dioda [2]. Tingkat kematangan buah kelapa sawit saat panen dapat meningkatkan kualitas minyak kelapa sawit [3]. Umumnya petani kelapa sawit menentukan
18215-84
Minarni & Reza/Analysis of Relation between Fluorescence …
kematangan buah secara manual yaitu berdasarkan warna buah dan jumlah brondolan yang lepas dari tandannya [4]. Metode ini sering tidak akurat dan efisien sehingga buah yang belum matang sudah dipanen. Permasalahan yang sering timbul pada industri kelapa sawit adalah menurunnya kualitas CPO (Crude Palm Oil) pada minyak kelapa sawit. Hal disebabkan oleh kadar asam lemak bebas (ALB) pada minyak kelapa sawit berada diatas 5% jauh di bawah standar permintaan pasar dunia. Tinggginya ALB pada minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh tingkat kematangan saat panen [5]. Pada Industri, tingkat kematangan tandan buah segara (TBS) kelapa sawit diklasifikasikan menjadi tiga fraksi yaitu, fraksi underripe pada buah mentah, ripe buah yang sudah matang untuk panen dan overripe buah yang telah lewat matang. Pengembangan teknologi nondestruktif untuk menentukan tingkat kematangan buah kelapa sawit telah banyak dilakukan. Penelitian yang telah mengembangkan sistem deteksi untuk kematangan buah kelapa sawit. diantaranya seperti Makky et al., [6], Roseleena et al.,[7] Razali et al., [3], Hazir et al., [8] Bensaeed et al.,[9] Pada penelitian ini sistem fluoresensi imaging dibangun dan digunakan untuk menganalisa hubungan intensitas fluoresensi yang dihasilkan pada tingkat kematangan buah kelapa sawit brondolan terhadap kandungan konsentrasi antosianinnya. Fluoresensi imaging merupakan metode penggabungan komponen spektrometer fluoresensi dengan memanfaatkan komponen optik, cahaya penginduksi dan kamera CMOS sebagai detektor. Metode ini menganalisa sifat optik pada buah ketika buah berinteraksi dengan cahaya. Sifat optik pada buah kelapa sawit memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat kematangan kelapa sawit [10]. Output yang dihasilkan berupa gambar yang dianalisa dengan aplikasi ImageJ untuk mendapatkan intensitas gray value. Metode ini potensial untuk dikembangkan karna dianggap ekonomis, nondestruktif dan sederhana.
2 KAJIAN LITERATUR Buah (material) yang berinteraksi dengan cahaya akan menimbulkan fenomena optik. Interaksi antara buah dengan cahaya eksitasi dapat ditunjukkan pada diagram Jablonski pada Gambar 1. Ketika cahaya foton berinteraksi dengan suatu material akan terjadi tiga proses utama yaitu fitokimia, disipasi panas dan fluoresensi. Proses Fitokimia dimana cahaya yang diserap akan dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Kemudian energi dipancarkan dalam bentuk disipasi panas. Selanjutnya fluoresensi merupakan proses pemancaran radiasi cahaya matahari setelah tereksi-
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
tasi oleh berkas cahaya dengan energi tinggi. Atom yang menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu akan memancarkan kembali cahaya dengan panjang gelombang yang lebih besar [11].
Gambar 1. Diagram Jablonski (Lemboumba, 2006)
Berbagai keadaan dapat dideteksi dengan sistem pencitraan fluoresensi (fluorescence imaging system). Penelitian sebelumnya menentukan grading kemasakan pada buah pir dan mendeteksi kerusakan pada bagian dalam buah yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa (naked eye) [1]. Fluoresensi imaging juga dapat megidentifikasi kerusakan pada buah lemon menggunakan LICF (Laser Induced Chlorophyll Fluorescence)[12]. Fluoresensi imaging merupakan metode spektroskopi fluoresensi yang menggunakan beberapa komponen optik dan spektrometer. Sistem terdiri dari sumber cahaya eksitasi, filter warna, dan detektor kamera CMOS. Kelapa sawit (Elaeis Guineensis) merupakan tanaman industri penghasil minyak berupa CPO. Perkembangan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat dibandingkan jenis perkebunan lainnya. Buah kelapa sawit berkembang baik di daerah tropis terutama pada lahan gambut. Kelapa sawit memiliki tiga varietas utama yaitu Dura, Psifera, dan Tenera, ketiganya memiliki kelebihan dan kekurangan ditinjau dari cangkang dan ketebalan daging buah. Namun saat ini varietas ini sudah dikembangkan dan memiliki keunggulan masingmasing yang kita kenal dengan nama Marihat, Topaz, Lonsum dan lainnya. Secara umum kelapa sawit terdiri atas lapisan eksocarp yaitu bagian kulit terluar, mesocarp yaitu bagian serabut pada daging buah, dan endocarp yaitu bagian cangkang dan inti kelapa sawit. Pada bagian mesocarp buah kelapa sawit terkandung senyawa flavonoid dan antosianin [8]. Senyawa antosianin merupakan pigmen alami yang terdapat pada vakola tumbuhan. Sehingga senyawa tersebut merupakan salah satu metode destruktif yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kematangan pada buah kelapa sawit melalui uji fitokimia.
18215-85
Minarni & Reza/Analysis of Relation between Fluorescence …
Umumnya penenetuan kematangan pada buah kelapa sawit dilakukan secara manual yaitu berdasarkan warna buah dan jumlah brondolan yang lepas. Penentuan kemasakan berdasarkan warna permukaan mesocarp akan menunjukkan kematangan apabila berwarna oren atau oren kemerahan dan belum matang pada warna ungu gelap [13]. Penyortiran buah kelapa sawit berdasarkan kandungann pigmen atau zat-zat warna tertentu seperti antosianin dan flavonoid memiliki indeks kualitas yang lebih baik [8]. Penentuan kematangan berdasarkan jumlah brondolan yang lepas diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu underripe, ripe dan overripe. Seperti yang dijelaskan pada Tabel 1.
Sampel merupakan buah brondolan kelapa sawit dengan tiga tingkat kematangan underripe, ripe dan overripe yang ditentukan oleh petani yang berpengalaman di perkebunan kelapa sawit. Sampel adalah buah kelapa sawit jenis Tenera dengan varietas Marihat dan Topaz yang diambil 5 brondolan setiap tingkat kematangannya. Siapkan alat dan bahan.
Tabel 1. Klasifikasi TBS Buah Kelapa Sawit Berdasarkan Tiga Tingkat Kematangan (Hazir dan Abdul, 2011) Kategori Ripe (Masak) Overripe (Lewat Masak) Underripe (Belum Masak)
Deskripsi 10-50% buah terlepas dari tandan 50-90% buah terlepas dari tandan 1-9 buah terlepas dari tandan
Penentuan kematangan pada buah kelapa sawit juga dapat ditentukan secara optik. Sifat optik dapat dideteksi melalui interaksi cahaya dengan buah. Cahaya yang direfleksikan pada buah akan memberikan informasi mengenai kualitas buah yang ditentukan melalui proses reflektansi, transmisi dan absorbsi [14]. Antosianin merupakan kandungan pigmen alami yang terdapat pada bagian vakola tumbuhan. Pigmen ini akan memberikan warna merah, biru dan ungu pada buah bergantung keadaan pH. Pada bagian mesocarp buah kelapa sawit mengandung senyawa antosianin. Menurut Hazir et al., [8] senyawa antosianin yang terkandung pada buah kelapa sawit akan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya tingkat kematangan. Kadar antosianin pada kelapa sawit mentah lebih sedikit dari pada buah yang matang. Sehingga melalui metode destruktif uji fitokimia kandungan kadar antosianin dapat menunjukkan tingkat kematangan pada kelapa sawit. Senyawa antosianin tidak bersifat toksik, namun sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perubahan antosianin adalah pH, suhu, oksigen, enzim dan cahaya.
3 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Penelitian dimulai dengan persiapan alat dan bahan, perancangan sistem optik, uji fitokimia sampel dan pengolahan data untuk pengambilan kesimpulan.
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Perancangan sistem optik metode FI
Karakterisasi besaran optik
Penyediaan sampel.
Data pengamatan sampel sebelum disinari
Pengujian sampel pada sistem
Data pengamatan saat sampel disinari
Perekaman dan penyimpanan output (gambar)
Penentuan Intensitas Gray Value
Pengolahan dan analisa data dengan imageJ
Uji fitokimia kandungan antosianin
Korelasi hasil uji fluoresensi terhadap uji fitokimia
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Penelitian dimulai dengan penentuan lokasi sampel dan pengambilan sampel sesuai metode kemudian dilanjutkan dengan penyediaan alat sistem deteksi dan pembuatan rancang bangun sistem optik yang telah dilakukan karakterisasi optik terlebih dahulu. Sampel disinari dengan cahaya laser dioda merah pada panjang gelombang 650 nm untuk pengujian pada sistem optik yang dideteksi oleh detektor berupa kamera CMOS monochrome. Data akan disimpan pada komputer dengan output berupa gambar. Kemudian gambar tersebut diolah dengan menggunakan aplikasi imageJ untuk mengetahui intensitas fluoresensi yang dihasilkan pada tiap tingkat kematangan. Hal ini dapat dapat dilihat pada diagram alir penelitian Gambar 2. Selanjutnya uji fitokimia dilakukan pada sampel untuk mengetahui kadar kandungan antosianin pada tiap tingkat kematangan buah. Hasil uji tersebut
18215-86
Minarni & Reza/Analysis of Relation between Fluorescence …
dianalisa dan dilakukan korelasi data sehingga dapat diambil kesimpulan. Sistem fluoresensi imaging dibangun untuk menganalisa intensitas fluoresensi imaging pada buah kelapa sawit brondolan. Sistem berbentuk sebuah box dengan luas 0,6 m2 yang tertutup rapat tanpa pengaruh cahaya luar. Sistem terdiri dari laser dioda sebagai cahaya penginduksi, kamera CMOS sebagai detektor, filter warna, dan sampel. Dalam hal ini juga digunakan seperangkat komputer untuk menyimpan dan mengolah output gambar yang dihasilkan dari sistem. Sistem dibangun sedemikian rupa agar menghasilkan data yang akurat. Jarak sampel terhadap kamera diukur sejauh 30 cm agar mendapatkan fokus yang tepat, sinar laser menyinari sampel pada sudut 30o dengan jarak laser pada kamera sejauh 17,3 cm, lebar berkas sinar laser mengenai sampel sebesar 1,3 cm. Tujuannya agar sampel yang tersinari laser dapat tertangkap dan terdeteksi oleh kamera CMOS dan disimpan dalam perangkat komputer yang kemudian diolah dengan ImageJ.
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Under Ripe Ripe Over Ripe
0
500
1000
1500
Gambar 4. Grafik Intensitas Fluoresensi Varietas Topaz
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah kelapa sawit dengan tingkat kematangan over ripe memiliki intensitas fluoresensi lebih tinggi. Kemudian intensitas selanjutnya diikuti oleh ripe dan underripe. Gambar 3 menjelaskan intensitas fluoresensi yang dihasilkan pada buah kelapa sawit varietas Marihat. Pada grafik menunjukkan bahwa intensitas tertinggi didapat pada fraksi overripe dan kemudian diikuti oleh ripe dan underripe. Nilai intensitas maksimum yang dihasilkan pada fraksi overripe adalah 62,55 a.u. Pada fraksi ripe dan underripe intensitas fluoresensi yang dihasilkan jauh di bawah overripe.
Gambar 3. Grafik Intensitas Fluoresensi Varietas Marihat
Gambar 4 menjelaskan tentang intensitas fluoresensi yang dihasilkan pada buah kelapa sawit varietas Topaz. Dari grafik menunjukkan bahwa intensitas fluoresensi pada fraksi overripe lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi ripe dan underripe. Nilai intensitas maksimum yang dihasilkan pada fraksi overripe adalah 64,47 a.u.
Gambar 5. Perbandingan intensitas fluoresensi pada buah brondolan kelapa sawit varietas Marihat dan Topaz terhadap tingkat kematangan
Berdasarkan dari perbandingan intensitas fluoresensi dari dua varietas yaitu Marihat dan Topaz dapat dilihat pada Gambar 5 bahwa kedua grafik menunjukkan hasil yang sama yaitu intensitas fluoresensi pada fraksi overripe lebih tinggi yang kemudian diikuti oleh ripe dan underripe. Intensitas pada buah Topaz lebih tinggi 5-11% dari buah Marihat untuk setiap tingkat kematangan. Hal ini disebabkan warna buah Topaz lebih cerah daripada Marihat. Pada grafik terlihat bahwa buah mengalami puncak intensitas maksimum pada daerah 350-800 pixel. Hal ini berarti bahwa buah kelapa sawit mampu menyerap sinar laser pada panjang gelombang 650 nm. Hasil penelitian ini juga dibuktikan secara metode destruktif melalui uji fitokimia. Hasil tersebut ditunjukkan pada Gambar 6 yang menjelaskan tentang perbandingan konsentrasi antosianin terhadap tingkat kematangan buah kelapa sawit brondolan pada varietas Marihat. Uji fitokimia dilakukan dengan mengukur kadar antosianin yang terkandung pada buah setiap tingkat kematangannya. Berdasarkan hasil uji didapatkan bahwa konsentrasi kandungan antosianin pada fraksi underripe lebih tinggi dari ripe dan overripe. Hal ini sesuai dengan penelitian Hazir et al. [8] bahwa kandungan antosianin pada buah kelapa sawit akan semakin menurun dengan bertambahnya tingkat kematangannya. Perbedaan
18215-87
Minarni & Reza/Analysis of Relation between Fluorescence …
kandungan antosianin pada kondisi underripe dan overripe dapat dilihat pada grafik perbandingan. Dapat dianalisa dari hubungan keduanya bahwa hasil uji kandungan antosianin berbanding terbalik dengan nilai intensitas fluoresensi yang dihasilkannya.
Gambar 6. Perbandingan konsentrasi antosianin terhadap tingkat kematangan buah brondolan kelapa sawit pada varietas Marihat
5 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas beberapa hal dapat disimpulkan yaitu sistem optik dengan metode fluoresensi imaging telah dapat menganalisa perbedaan tingkat kematangan pada buah brondolan kelapa sawit. Intensitas fluoresensi pada buah kelapa sawit varietas Topaz lebih tinggi dari pada Marihat 511%. Penelitian ini juga dibuktikan dengan uji fitokimia kandungan antosianin pada bauh kelapa sawit varietas Marihat, semakin tinggi tingkat kematangan kelapa sawit (overripe) maka semakin sedikit kandungan antosianin. Hal ini berbanding terbalik dengan nilai intensitas fluoresensi yang dihasilkan. Metode nondestruktif fluoresensi imaging berbasis laser ini sangat potensial digunakan untuk menganalisa perbedaan intensitas fluoresensi terhadap tingkat kematangan buah brondolan kelapa sawit. Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut untuk pendeteksi kematangan pada buah kelapa sawit.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak BPDPS (Badan Penyandang Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang telah mendanai penelitian ini. Terimakasih juga untuk Laboratorium Inkubator Fakultas Pertanian Universitas Riau yang telah mengizinkan dalam pemberian sampel kelapa sawit.
Pigmented Fruits. Journal American Society of Agricultural Engineers. Vol. 47(3): 815-820 [2]
Cavaco, A. M., D. Antunes, J. Marques da Silva, R. Antunes, R. Guerra. 2002 Preliminary result on the non-invasive diagnosis of superficial scald ‘Rocha’ pear by fluorescence imaging. Leibniz-Institutfür Agrartechnik Potsdam-Bornime.V. (ATB), Portugal.
[3]
Razali, M. H., Abdul Somad M. A. Halim, Syazili Roslan. 2012. A Review on Crop Plant Production and ripeness Forecasting. International Journal of Agriculture and Crop Science. Vol. 4(2) : 54-63.
[4]
Kementrian Pertanian (MENTAN). 2005. Peraturan Menteri Pertanian No.395 tahun 2005. Perundangan.pertania.go.id. Diakses pada tanggal 7 juli 2015.
[5]
Thoriq, A. 2013. Pengembangan System Deteksi Kematangan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (TBS) Berbasis Spektrum Cahaya Tampak. Tesis Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
[6]
Makky M., P. Sony, Vilas M. Salokhe. 2014. Automatic non-destructive quality inspection system for oil palm fruits. Journal International Agrophysics. Vol. 28 : 319329.
[7]
[1] Roseleena, J., Nursuriati, J., Ahmed, J., Low, C. Y. 2011. Assessment of palm oil fresh fruit bunches using photogrammetric grading system. International Food Research Journal. Vol. 18(3) : 999-1005.
[8]
Hazir, M. M. H., Abdul R. M. S., M. D. Amiruddin. 2012. Determination of oil palm fresh fruit bunch ripeness-Based on flavonoid and anthocyanin content. Industrial Crops and Products Journal. Vol. 36 : 466-475.
[9]
Bensaeed, O. M., A. M. Shariff, A. B. Mahmud, H. Shafri, M. Alfatni. 2014. Oil palm fruit grading using hyperspectral device and machine learning algorithm. International Remote Sensing & GIS Conference and Exhibition. Vo. 20 : 1-22.
[10]
Hazir, M. H. M., dan Abdul, R. M. S. 2011. Oil Palm Physical and Optical Characteristic from two Different Planting Materials. Research Journal of Applied Science Engineering and Technologycal. Vol. 3(9) : 953-962.
[11]
Lemboumba, S. O. 2006. Laser Induced Chlorophyll Fluorescence of Plant Material. Thesis. University of Stellenbosch. Afrika Selatan.
[12]
Nedbal, L., J. Soukupova, J. Whitmarsh, M. Trtilek. 2001. Postharvest imaging of chlorophyll fluorescence from lemons can be used to predict fruit quality.
[13]
Harun, Noor H., Norhisam M., Roslina M. S. Ishak A., Hiroyuki W., Kunihisa T. 2014. Dual Resonant Frequencies Effects on Induction-Based Oil Palm Fruit Sensor. Journal Sensors. Vol 14: 21923-21940.
[14]
Abbot, J. A. 1999. Quality measurement of fruits and vegetables. Postharvest Biology and Technology Journal. Vol. 15: 207-225 __________________________
REFERENSI _____________________________ [1]
JPS Vol.18 No. 2 Mei. 2016
Bodria, L., M. Fiala, R. Guidetti, R. Oberti. 2004. Optical Techniques to Estimate The ripeness of Red-
18215-88
Informasi Jurnal Penelitian Sains A
1. Jurnal Penelitian Sains (JPS) FMIPA UNSRI terbit tiga kali dalam setahun, yang memuat artikel hasil penelitian, survei, maupun telaah pustaka di bidang sains yang belum pernah dimuat dalam terbitan lain. 2. Format terbitan diketik dengan menggunakan program pengolah kata LaTeX2e, dengan spesifikasi standar kertas A4, dua kolom, satu spasi, huruf Roman 10 pt.
B
1. Naskah usulan diketik rapi dengan program pengolah-kata LaTeX (TeX) atau Ms. Word (disarankan untuk menggunakan LaTeX (TeX) bagi yang sudah familiar). Pada tahap usulan, naskah tidak harus disertai soft-copy. 2. Bagi pengguna LaTeX, telah tersedia makro dalam bentuk file “jpsdraf.cls” dan “formatjps.tex” yang dapat diperoleh langsung di UP2M FMIPA UNSRI, atau melalui e-mail:
[email protected],
[email protected] atau diunduh di http://www.jpsmipaunsri.wordpress.com 3. Bagi pengguna Ms. Word, naskah usulan harap diketik dengan format berikut: a. Ukuran kertas A4, huruf standar (Times New Roman, Arial, atau Courier New) 12 pt, spasi satu-setengah, satu kolom, rata kiri (temasuk judul, nama penulis, seksi, dsb.). b. Pergantian alinea (paragraf) ditandai dengan kelang satu baris (di-enter) dan kalimat pertamanya tidak perlu menjorok. c. Penulisan rumusan (matematis) harus jelas (biasanya menggunakan “equation editor”). 4. Makalah disusun dengan sistematika sebagai berikut: a. Judul makalah (huruf besar-kecil) b. Nama penulis pertama, penulis ke-dua, dst. (tanpa gelar) c. Nama lembaga tempat penulis pertama, kedua, dst. d. Intisari (maks. 200 kata), Kata kunci (3 – 5 kata) (Bahasa Indonesia) e. Abstract (maks. 200 kata), Keywords (3 – 5 kata) (Bahasa Inggris) f. E-mail penulis pertama, atau ke-dua g. Tanggal naskah diusulkan h. Pendahuluan i. Isi makalah, disesuaikan dengan jenis makalah j. Simpulan k. Ucapan terima kasih (jika ada) l. Daftar pustaka, disusun sesuai dengan urutan keluarnya di dalam naskah. m. Lampiran (jika ada) 5. Setiap naskah yang diusulkan untuk diterbitkan harus dilampiri dengan keterangan yang memuat beberapa hal berikut:
C
a. Judul makalah yang diusulkan b. Ruang lingkup bidang ilmu yang terkait dengan makalah, misalnya Fisika Material, Kimia Organik, dsb. c. Nama (dengan gelar) penulis pertama d. Bidang keahlian e. Pekerjaan f. Alamat instansi/kantor (lengkap dengan nomer kontak dan email (jika ada)) g. Alamat rumah/kontak (lengkap dengan nomer kontak dan email (jika ada))
1. Penerbit/penyunting atas rekomendasi penyelia berhak menentukan layak-tidaknya naskah/makalah untuk diterbitkan, serta berhak mengkoreksi naskah seperlunya. 2. Penerbit/penyunting akan memberikan informasi kepada penulis mengenai status naskahnya berdasarkan rekomendasi penyelia. 3. Untuk naskah yang layak diterbitkan tanpa perbaikan, penulis harus segera mengirimkan soft-copy-nya (dalam CD) ke penerbit. 4. Untuk naskah yang layak diterbitkan dengan perbaikan, penulis harus segera memperbaiki naskahnya dan mengirimkan kembali hard-copy dan soft-copy-nya (dalam CD) ke penerbit. 5. Penulis yang naskahnya akan diterbitkan menyetujui untuk mengalihkan hak ciptanya ke penerbit.
D
1. Kontribusi: a. Penulis yang naskahnya diterbitkan wajib membayar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 300.000,00 untuk maksimal 6 halaman yang tercetak di terbitan, halaman selebihnya (jika ada) dikenakan biaya cetak sebesar Rp. 25.000,00 per-halaman. b. Untuk naskah yang harus dicetak berwarna, penulis dikenakan beban biaya tersendiri di luar beban biaya pada butir “a” di atas, disesuaikan dengan jumlah halaman berwarna serta jumlah warna yang diperlukan. 2. Penulis berhak menerima 2 eksemplar Jurnal Penelitian Sains. Permintaan lebih akan dikenakan biaya tersendiri. 3. Naskah yang tidak diterbitkan tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Indralaya, Mei 2013 Redaksi,
Masukan (kritik maupun saran membangun) dapat langsung dikirimkan ke alamat redaksi, melalui email:
[email protected];
[email protected], atau kontak langsung ke 081328740911 (Akhmad Aminuddin Bama).