22
ISOLASI, KARAKTERISASI, PEMURNIAN DAN PERBANYAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI LOKASI PENANAMAN CABAI PADA TANAH ULTISOL Isolation, Characterization, Purification and Multiplication of Arbuscular Mycorrhizal Fungus from Rhizosphere of Hot Pepper on Ultisol Soil
Abstrak Fungi mikoriza arbuskula ditemukan hampir di berbagai ekosistem, dan dapat bersimbiosis dengan hampir 90% famili tanaman. Setiap rizosfer suatu tanaman dalam suatu ekosistem memiliki berbagai jenis FMA dan untuk mengetahui jenis FMA tersebut perlu dilakukan kegiatan isolasi dan karakterisasi spora FMA. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, mengkarakterisasi dan memurnikan FMA dari rizosfer cabai pada tanah Ultisol. Hasil penelitian menunjukkan pada contoh tanah awal sebelum trapping ditemukan satu genus spora FMA yaitu Glomus sp dengan kepadatan spora 1-3 spora dalam 50 g tanah. Setelah dilakukan trapping didapat sembilan jenis FMA yaitu dua tipe Glomus, tiga tipe Gigaspora dan empat tipe Acaulospora. Jenis FMA yang berhasil didapat dan diperbanyak dari kultur tunggal ada tiga tipe spora yaitu Glomus sp 1, Gigaspora sp 1, Acaulospora sp 3. Kata kunci: Acaulospora sp, Gigaspora sp, Glomus sp
Abstract Arbuscular mycorrhizae fungus are found in any ecosystem and it can symbiosis with 90% plant in the world. Every plant rhizospheres in any ecosystem there are various AMF. An isolation, characterization and purification is required to investigate the spesies or type of AMF. This research was aimed to study the isolation, characterization and purification of AMF sporulation in hot pepper rhizosphere on Ultisol soil. The results of evaluation on soil sample before trapping showed that there was spore from one genus AMF (glomus), with population 2-5 spores/50 g soil. After trapping, nine AMF species i.e. two types of Glomus, three types of Gigaspora sp and four types of Acaulospora were identified in soil sample. Following single spore culture, three spore types were obtained: Glomus sp 1, Gigaspora sp 1, and Acaulospora sp 3. Key words: AMF, Acaulospora sp, Gigaspora sp, Glomus sp
23
Pendahuluan Fungi mikoriza arbuskula mempunyai kemampuan berasosiasi luas dengan berbagai jenis tanaman, sehingga banyak dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kesuburan tanah marjinal, termasuk pada tanah Ultisol. Salah satu tanaman yang bersimbiosis adalah cabai (Muchovej 2002). Simbiosis antara tanaman dengan FMA adalah simbiosis mutualisme, dimana fungi mendapatkan karbohidrat dari tanaman untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur hara terutama P. Manfaat lain bagi tanaman dengan adanya asosiasi dengan FMA antara lain meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan meningkatkan ketahanan terhadap patogen akar. Beberapa langkah agar FMA dapat berperan meningkatkan petumbuhan dan
produksi
tanaman
adalah
menggali/mengisolasi
keberadaan
FMA,
mengidentifikasi dan memperbanyak FMA serta menginokulasi FMA ke tanaman. Propagul FMA dapat bertahan dalam tanah dalam bentuk spora, hifa dan akar tanaman inang yang terinfeksi. Fungi mikoriza arbuskula mempunyai selang ekologis yang luas. Setiadi (2002) mengatakan perkembangan spora setiap FMA berkaitan dengan pH medium. Fungi mikoriza arbuskula yang diisolasi dari tanah masam cenderung lebih menyukai pH rendah. Perkembangan spora Acaulospora laevis optimum pada pH 4.5 dan kapasitas perkecambahan akan menurun 10% jika kondisi mediumnya netral atau alkalin. Sebaliknya Glomus sp menginginkan pH netral sampai alkalin untuk perkecambahan optimumnya. Perkembangan spora merupakan salah satu kriteria utama yang digunakan untuk mengidentifikasi genus FMA.
Spora-spora dari spesies Glomus
berkembang dari hifa, Gigaspora berkembang dari hifa subtending bulbous, sedangkan proses perkembangan
Acaulospora seolah-olah dari hifa, tetapi
sebetulnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang disebut ” hyphal terminus”, diantara hyphal terminus dan subtending hypha akan timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar sehingga terbentuk spora. Banyak spesies Glomus membentuk spora dalam akar dan juga dalam tanah, tetapi genus-genus lainnya umumnya tidak bersporasi dalam akar yang hidup. Bentuk spora umumnya bulat, tetapi beberapa spesies mempunyai spora bentuk oval, oblong, atau kadang-kadang bentuk lain.
Tangkai hifa
tetap
24
menempel pada spora dalam bentuk silinder dan beberapa spora mempunyai hifa ganda atau tangkai hifa bercabang. Ukuran spora berkisar sangat kecil (20 - 50 µm) sampai sangat besar (200 - 1000 µm) (Simanungkulit 2007) Teknik dasar untuk isolasi adalah teknik penyaringan basah dari Gardemann dan Nicholson (1963). Teknik penyaringan basah dimaksudkan untuk memisahkan pasir, liat, dan bahan organik
lain yang menempel pada spora
melalui berbagai macam ukuran saringan. Struktur FMA (arbuskula, visikel, dan hifa) tidak bisa diamati secara langsung di bawah mikroskop karena baur dengan adanya berbagai pigmen dan isi sel dalam akar. Struktur fungi dalam akar dapat diamati jika warnanya lebih menyolok dibandingkan dengan struktur akar lain. Oleh karena itu pigmen-pigmen dan isi sel harus dihilangkan lebih dulu dengan menggunakan bahan kimia tertentu misalnya KOH (Brundrett et al. 1996). Fungi mikoriza arbuskula bersifat obligat, sehingga untuk hidup dan berkembangbiaknya selalu menggunakan tanaman inang (host). Salah satu teknik untuk mengembangbiakan FMA adalah biakan pot (pot kultur), dimana FMA dibiarkan tumbuh
dan berkembang dalam sistem perakaran inangnya yang
ditumbuhkan dalam pot yang berisi media tertentu. Setiadi dan Faiqoh (2004) menyatakan bahwa untuk menghasilkan inokulum yang berkualitas diperlukan media padat yang mempunyai syarat relatif ringan, berpori, mempunyai KTK yang tinggi, tidak berpatogen, dan tidak toksit serta mudah tersedia. Tanaman inang yang sering digunakan untuk produksi FMA adalah: Pueraria javanica, sorgum, bahia grass, rumput gajah, jagung, bawang daun, tagetes dan tomat (Mansur 2003). Penelitian ini bertujuan mengisolasi, mengkarakterisasi, dan memurnikan FMA dari lokasi penanaman cabai pada tanah Ultisol. Pada penelitian ini terdiri dari enam kegiatan yaitu: 1) pengambilan contoh tanah dan akar, 2) pengamatan spora awal, 3) trapping (pemerangkapan spora), 4) ekstraksi dan identifikasi spora FMA, 5) pembuatan kultur tunggal, 6) perbanyakan kultur FMA.
25
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor, laboratorium Bioteknologi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian . Waktu penelitian Oktober 2006 - Agustus 2008.
Metode Penelitian Penelitian terdiri dari enamtahap kegiatan yaitu: 1) pengambilan contoh tanah dan akar, 2) pengamatan spora awal, 3) trapping (pemerangkapan) FMA, 4) ekstraksi dan identifikasi spora FMA, 5) pembuatan kultur tunggal, 6) perbanyakan kultur FMA.
Pelaksanaan Pengambilan contoh tanah Pengambilan contoh tanah dilakukan di tiga lokasi penanaman cabai yaitu desa Bebojong, desa Cibalagung dan desa Sukamanah di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah metode sampling dengan mengambil beberapa titik di sekitar zona perakaran cabai, yaitu kedalaman 0 - 20 cm (daerah rizosfer), contoh tanah dimasukan dalam kantung plastik dan diberi label. Contoh tanah merupakan komposit dari sepuluh titik pengambilan masing-masing titik 500 g Pengamatan spora awal Pengamatan spora awal dilakukan di bawah mikroskop. Contoh tanah sebanyak 50 g dicampur dengan air sebanyak kurang lebih 200-300 ml, kemudian diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 µm, 425 µm, dan 45 µm secara berurutan dari atas ke bawah. Saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan spora lolos. Kemudian saringan teratas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse
26
dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan dihisap dengan pipet hisap dan ditaruh dalam cawan petri, kemudian dilihat dibawah mikroskop binokuler. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah spora sangat sedikit yang kemungkinan saat pengambilan contoh tanah tidak pada musim sporulasi, maka dilakukan trapping (pemerangkapan) spora terlebih dahulu.
Trapping (Pemerangkapan) FMA Teknik trapping menggunakan metode Brundrett et al. (1994) dengan menggunakan pot-pot kultur kecil (200 g volume). Media tanam yang digunakan berupa campuran contoh tanah 50 g dan batuan zeolit berukuran 1-2 mm sebanyak 150 g. Tanaman inang yang digunakan adalah P javanica dan sorgum. Benih P javanica terlebih dahulu direndam dalam larutan Bayclin selama 5-10 menit sebagai upaya sterilisasi permukaan, kemudian benih direndam dalam air hangat selama 24 jam untuk memecahkan dormansi, setelah itu benih disemaikan dalam bak persemaian selama ± 10 hari. Selanjutnya kecambah langsung dipindahkan ke dalam pot-pot kultur (Gambar 9). Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama secara mekanis. Pupuk yang digunakan adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/2 ℓ air. Pemberian larutan hara dilakukan setiap minggu sebanyak ± 20 ml tiap pot kultur. Pemanenan spora dilakukan setelah kultur berumur kurang lebih 4 bulan. Peubah yang diamati adalah jumlah spora per 50 g.
Gambar 9. Trapping FMA dengan tanaman inang P javanica
Ekstraksi dan identifikasi spora FMA Ekstraksi FMA dilakukan untuk memisahkan spora dari contoh tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi FMA guna mengetahui genus spora FMA.
27
Teknik yang digunakan adalah teknik tuang saring dari Pacioni (1992) dan dilanjutkan dengan sentrifugasi dari Brundrett et al., (1996). Pada teknik tuang saring, contoh tanah sebanyak 50 g dicampur dengan 200-300 ml air, lalu diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 µm, 425 µm, dan 45 µm secara berurutan dari atas ke bawah. Saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan spora lolos. Selanjutnya saringan teratas dilepas, dan sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse (Gambar 10)
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. Tahapan penyiapan pengumpulan spora (a) Penyaringan contoh tanah (b) Penambahan glukosa (c) Sentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm Isolasi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al., (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambah glukosa 60
dengan menggunakan pipet. Sukrosa dan sentrifugasi
dimaksudkan untuk lebih memudahkan proses pemisahan dan pengumpulan spora dari partikel tanah yang berat. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dihisap dengan pipet hisap dan dituang ke dalam saringan 45 µm dicuci dengan air mengalir (air kran) untuk menghilangkan glukosa.
Endapan yang
tersisa dalam saringan, dituangkan ke dalam cawan petri plastik dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora FMA yang ada. Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan bahan pengawet PVLG yang
28
diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam Melzer’s adalah salah satu untuk menentukan tipe spora yang ada.
Pembuatan kultur spora tunggal Pembuatan kultur spora tunggal bertujuan untuk mendapatkan spora yang berasal dari satu jenis yang sama. Pembuatan kultur spora tunggal mengacu pada metode yang dilakukan Mansur (2000), yaitu Petridish Observation Chamber (PDOC) dan penanaman pada tabung reaksi. Prosedur kerja dari kultur spora tunggal adalah cawan petri plastik yang akan digunakan sebagai tempat penanaman kultur dilubangi (0,5 cm x 0,5 cm) pada bagian tepinya yang berfungsi sebagai tempat munculnya kecambah. Kemudian cawan petri plastik diisi batuan zeolit yang telah disterilkan sampai penuh dan cukup padat. Selanjutnya dilakukan inokulasi spora (Gambar 11) yaitu spora-spora FMA yang telah diisolasi dari trapping dikumpulkan dalam gelas arloji dan dilakukan pemisahan berdasarkan genusnya. Bibit P javanica yang telah memiliki 2-3 helai daun (umur 7- 9 hari setelah semai) diletakan di atas kertas tissue. Selanjutnya spora diambil dengan pinset dan diletakan pada akar bibit tersebut. Setiap bibit hanya diinokulasi dengan satu spora. Bibit yang telah diinokulasi dipindahkan pada media kultur dengan posisi bagian batang bibit diletakan pada bagian tepi cawan petri plastik yang telah dilubangi. Selanjutnya cawan petri plastik ditutup dengan penutupnya dan diberi perekat supaya tidak tumpah. Setiap tabung diberi label yang memuat data tentang tanggal pembuatan kultur dan jenis spora yang dikulturkan.
Selanjutnya tabung petri dibungkus
dengan alumunium foil untuk mengurangi pengaruh langsung cahaya terhadap media kultur. Pemberian air dilakukan sesuai kebutuhan, sedangkan pemupukan dengan Hyponex merah (25-5-20) dilakukan 1 kali seminggu dengan konsentrasi 1 g/2 ℓ. Kultur dipelihara selama 6 bulan tergantung sporulasi yang terjadi. Untuk mengetahui perkembangan proses sporulasi maka kultur akan diamati setiap minggu dimulai pada awal minggu kedua setelah pembuatan kultur. Apabila
29
spora yang terbentuk sudah cukup banyak maka akan dilakukan sub-kultur ke pot kultur yang lebih besar.
Gigaspora hasil trapping
Penempelan spora tunggal pada akar
Acaulospora hasil trapping
Penanaman tanaman berspora Gambar 11. Tahapan kultur spora tunggal
Perbanyakan kultur FMA Hasil
perbanyakan
kultur
spora
tunggal
disub-kulturkan
untuk
memperbanyak jumlah spora yang terbentuk. Teknik sub-kultur dilakukan dengan cara menanam langsung cawan petri plastik/tabung reaksi spora tunggal yang telah dibuka penutupnya ke dalam pot plastik kecil yang telah diisi zeolit (Gambar 12). Kultur-kultur ini dipelihara di rumah kaca sampai berumur 4 bulan. Pemeliharaan meliputi pengairan dan pemberian larutan nutrisi.
Pengairan
dilakukan setiap hari (sesuai kebutuhan), sedangkan pemberian nutrisi dengan pupuk Hyponex merah dilakukan seminggu sekali dengan konsentrasi 1g/2 ℓ air. Hasil pemanenan kultur akan digunakan untuk uji efektivitas terhadap pertumbuhan dan produksi cabai.
Gambar 12. Perbanyakan FMA hasil dari spora tunggal
30
Hasil a. Kepadatan Spora Kepadatan spora alami menurut hasil pengamatan lapang rizosfer cabai pada berbagai titik pengamatan terlihat tidak ada perbedaan penyebaran spora mikoriza yaitu 2-5 spora per 50 g contoh tanah (Tabel 1). Pada Tabel 1 terlihat bahwa jenis spora pada lokasi pengambilan contoh tanah desa Bebojong, di desa Cibalagung dan Sukamanah hanya satu jenis yaitu Glomus sp. Setelah dilakukan trapping dengan menggunakan tanaman inang sorgum dan Pueraria javanica dengan media zeolit untuk tiga desa dengan empat titik pengambilan didapatkan jumlah spora per 50 g tanah adalah 143 s.d 205 (Tabel 2).
Tabel 1. Jumlah spora FMA dari contoh tanah pada berbagai titik pengambilan No
Lokasi pengambilan contoh
Jumlah spora FMA/50 g tanah
tanah 1
Desa Bebojong
3
2
Desa Cibalagung
2
3
Desa Sukamanah
5
Tabel 2. Jumlah spora hasil trapping per 50 g contoh tanah Lokasi contoh tanah
Kepadatan spora/50 g tanah P javanica
Sorgum
Desa Bebojong
143
158
Desa Cibalagung
154
205
Desa Sukamanah
185
202
Rata-rata
160
188
b. Karakteristik tipe spora Identifikasi tipe spora hasil isolasi atas dasar karakteristik morfologi dan responnya terhadap larutan Melzer’s didapat ada sembilan spesies yaitu Glomus (2 spesies), Gigaspora (3 spesies ), Acaulospora (4 spesies).
31
Gambar 13 a Glomus sp Spora berbentuk bulat, berwarna kuning, Ukuran 518.54 µm
Tipe spora
Gambar 13 b Gigaspora sp Spora berbentuk bulat, berwarna coklat Ukuran 759.25 µm
Karakteristik morfologi
Gambar 13 c Acaulospora sp Spora berbentuk bulat, berwarna coklat Ukuran 407.43 µm
Reaksi dengan Melzer’s
Glomus sp 1 Spora berbentuk bulat, berwarna kuning muda, permukaan spora halus, mempunyai hyphal attachment berbentuk lurus
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
Gambar 14 a Glomus sp 2 Spora berbentuk bulat, berwarna kuning tua, permukaan spora halus , tidak mempunyai hyphal attachment
Tidak bereaksi dengan pewarna Melzer’s
Gigaspora sp 1
Bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna yang lebih tajam
Gambar 14 b
Spora berbentuk bulat, berwarna merah kekuningan, permukaan spora halus Gambar 14 c
32
Gigaspora sp 2 Spora berbentuk bulat, berwarna kekuningan, permukaan spora halus
Gambar 14 d
Bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna. Bagian dalam spora berwarna kuning muda, dan bagian luar kuning tua
Gambar 14 a-i. Jenis spora hasil isolasi atas dasar karakterisasi morfologi dan responnya terhadap larutan Melzer’s
Gigaspora sp 3 Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan, permukaan spora halus
Bereksi terhadap larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna yang lebih gelap
Gambar 14 e Acaulospora sp 1 Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan, permukaan relatif kasar
Bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna dari kecoklatan menjadi coklat kemerahan
Gambar 14 f Acaulospora sp 2 Spora berbentuk bulat, berwarna kecoklatan, permukaan relatif kasar
Bereaksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna. Bagian dalam spora berwarna kuning muda
Gambar 14 g Acaulospora sp 3 Spora berbentuk bulat, berwarna coklat muda, permukaan relatif kasar Gambar 14 h
Bereksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna. Bagian dalam spora berwarna kemerahan
33
Acaulospora sp 4 Spora berbentuk bulat, berwarna coklat, permukaan relatif kasar
Bereksi dengan larutan Melzer’s, terjadi perubahan warna. Bagian dalam spora berwarna merah tua
Gambar 14 i
Gambar 15. Kolonisasi akar oleh hifa FMA
Kultur spora tunggal Berdasarkan kultur spora tunggal didapatkan bahwa tidak semua tipe spora yang dikulturkan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari sembilan jenis FMA yaitu dua spesies Glomus, tiga spesies Gigaspora dan empat spesies Acaulospora, hanya empat spesies spora yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik yaitu satu spesies spora glomus (spesies 1), satu spesies Gigaspra (spesies 1), satu spesies Acaulospora (spesies 3).
Perbanyakan /produksi kultur spora tunggal Tiga spesies spora hasil kultur tunggal diperbanyak sebagai bahan percobaan II. Media yang digunakan zeolit dan sebagai tanaman inang adalah Pueraria sp. Untuk memperoleh spora tunggal yang cukup banyak diperlukan waktu yang cukup lama, karena banyak spora yang tumbuh tidak sempurna yang disebabkan oleh gangguan nematoda pada mediumnya. Perkembangan nematoda sangat dipengaruhi oleh jenis air siraman, kelembaban media dan cahaya.
34
Pembahasan Kepadatan spora alami pada rizosfer penanaman cabai pada tiga lokasi ditemukan 2-5 spora per 50 g tanah. Hasil ini sangat rendah dibandingkan dengan kepadatan spora pada lahan penanaman tanaman padi gogo yaitu 4-23 spora /g tanah, lahan penanaman ubi kayu 3-31 spora/g tanah (Iriani 2003), pada rizosfer kelapa sawit 1-10 spora/g tanah (Kartika 2006), pada hutan pantai 31-134 spora/50 g tanah (Delvian 2003), pada rizosfer kelapa sawit 3-104 spora/50 g tanah (Widiastuti 2004). Rendahnya kepadatan spora pada rizosfer cabai
ini
diduga pada saat pengambilan contoh tanah FMA belum bersporulasi, namun lebih banyak mengandung propagul lain seperti hifa. Kemungkinan lain karena kandungan hara di rizosfer penanaman cabai cukup tinggi.
Mansur (2003)
menyatakan bahwa jenis dan dosis pupuk akan berpengaruh pada produksi spora. Pupuk P dan N yang tinggi dapat menurunkan kolonisasi dan produksi spora. Hasil penelitian Ervayenri (1998) menunjukkan bahwa jumlah spora dan propagul
infektif FMA di tanah yang terganggu lebih sedikit daripada
yang belum terganggu (alami). Demikian juga hasil penelitian Mc Gonigle et al., (1990) dan Zhao et al., (2001) yang mendapatkan bahwa pengolahan tanah justru dapat mengurangi kolonisasi mikoriza serta tingkat pemupukan yang tinggi juga dapat berpengaruh negatif pada mikoriza. Kepadatan spora hasil trapping menunjukkan hasil yang cukup tinggi yaitu rata-rata 160 per 50 g media dengan tanaman inang P javanica dan 188 per 50 g media dengan tanaman inang sorgum.
Kenaikan kepadatan spora dari
kepadatan spora alami cukup tinggi/signifikan, hal ini disebabkan karena tanaman inang (sorgum dan Pueraria) dan media (zeolit) yang digunakan sangat baik untuk perkembangan mikoriza. Mansur (2003) menyatakan bahwa jenis inang yang dapat dipakai untuk perbanyakan inokulum FMA dan terbukti cocok (compatible) dengan jenis-jenis FMA adalah Pueraria, sorgum, Bahia grass, jagung, tomat.
Perbedaan kepadatan spora pada tanaman inang P javaniva
dengan tanaman sorgum adalah kemungkinan adanya perbedaan eksudat yang dikeluarkan oleh kedua tanaman inang. Eksudat yang dikeluarkan akar mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa FMA yaitu pembengkakan dan percabangan hifa (Giovannetti et al.
1993). Orcutt dan
35
Nielsen (2000) mengelompokan senyawa organik yang dikeluarkan akar berdasarkan pergerakannya di tanah dibagi tiga kelompok yaitu 1) larut air-dapat berdifusi, 2) volatil-dapat berdifusi, dan 3) tidak dapat berdifusi. Kemampuan eksudat akar yang volatil
menarik tabung perkecambahan lebih tinggi
dibandingkan dengan yang larut air. Hal ini disebabkan eksudat yang volatil dapat menarik tabung perkecambahan pada jarak lebih dari 10 mm, sedangkan yang larut air aktivitas biologinya hilang pada jarak 1 mm.
Selanjutnya
ditunjukkan bahwa eksudat volatil yang bukan berasal dari inang menghambat perkecambahan spora FMA. Hasil trapping menunjukkan bahwa sekurangnya dijumpai sembilan spesies FMA yang termasuk dalam genus Glomus (2 spesies), genus Gigaspora (3 spesies) dan genus Acaulospora (4 spesies). Pada pengamatan secara langsung hanya dijumpai genus Glomus. Studi ini menunjukkan bahwa dengan trapping FMA potensial dapat ditetapkan. Tanaman inang dapat mempengaruhi populasi FMA, walaupun FMA tidak spesifik, namun terdapat kesukaan FMA berasosiasi dengan spesies inang tertentu seperti hasil penelitian Bever et al., (2001) menunjukkan bahwa A morrowiae dan A tuburculata lebih berhasil diperbanyak menggunakan inang P phaseoloides dibanding dengan sorgum. Media zeolit merupakan salah satu media yang baik untuk memproduksi FMA (Mansur 2003).
Hasil penelitian Basrudin (2005) menunjukkan media
zeolit memberikan rata-rata persentase infeksi Glomus etunicatum yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan media arang sekam. Setiadi (2004) menyatakan bahwa untuk menghasilkan inokulum yang berkualitas diperlukan media padat yang mempunyai syarat diantaranya: relatif ringan, berpori, mempunyai KTK tinggi dan tidak berpatogen serta tidak toksit dan mudah tersedia. Media tersebut diantaranya adalah pasir kali, pasir kuarsa, zeolit dan inolit, expanded clay dan terragreen. Zeolit merupakan mineral aluminosilikat terhidrasi yang mengandung kation-kation alkali dan alkali tanah serta memiliki struktur tiga dimensi berupa rongga-rongga (Ming dan Mumpton 1989). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka zeolit mampu menyerap dan menjerap unsur hara yang diberikan, yang kemudian akan dilepas sesuai kebutuhan tanaman sehingga zeolit berfungsi sebagai penyedia pupuk lambat. Media dengan tekstur kasar dan unsur hara yang rendah,
36
serta mempunyai kapasitas tukar kation tinggi sangat baik sebagai medium tumbuh untuk produksi fungi mikoriza arbuskula. Berdasarkan kriteria morfologi spora dari INVAM (2006), spora dari contoh tanah lapangan rizosfer tanaman cabai disimpulkan bahwa ada tiga isolat yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora.
Keanekaragaman genus masih
rendah/sedikit dibanding hasil penelitian Widiastuti dan Kramadibrata (1992) pada rizosfer jagung dan alang-alang yang ditanam di Layungsari Cianjur yang menemukan
empat
genus
yaitu
Glomus,
Gigaspora,
Acaulospra
dan
Entrophospora. Setiadi (2000), menemukan empat genus Glomus, Sclerocystis, Acaulospora dan Gigaspora pada bukit pasir di daerah pantai. Perbedaan genus ini kemungkinan karena perbedaan lingkungan tumbuh (hara tanaman, pemupukan, cahaya dan lain-lain) dan juga tanaman inang maupun cara pengelolaan.
Powell dan Bagyaraj (1984) menyatakan bahwa kolonisasi dan
sporulasi FMA berkaitan dengan varietas tanaman, spesies FMA dan kondisi lingkungan misalnya cahaya matahari, suhu. Suhu optimum untuk perkecambahan spora Gigaspora gigantea adalah 30oC, sedangkan spora Glomus epigateum adalah 22oC.
Lebih lanjut Smith dan Read (1997) menyatakan bahwa sporulasi
dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman, aplikasi pemupukan dan intensitas cahaya serta musim pada saat pengambilan contoh tanah. Rendahnya kepadatan spora, kemungkinan juga disebabkan karena tanaman cabai ditanam secara monokultur. Oehl et al., (2003) menunjukkan bahwa pada rizosfer tanaman yang ditanam secara monokultur mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah yaitu kurang dari 50% dibandingkan dengan ekosistem alami. Tipe spora yang berhasil diperbanyakan dengan spora tunggal menggunakan tabung reaksi dan petridis hanya 44% (empat spesies). Hal ini kemungkinan disebabkan daya adaptasi dari setiap spesies tersebut, dimana tidak semua spesies spora yang ditemukan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan yang baru. Setiadi (2002) menyimpulkan bahwa produksi spora pada kultur spora tunggal ditentukan oleh jenis media, tanaman inang, dan ukuran wadah. Media zeolit, tanaman inang, dan wadah berukuran 250 ml merupakan kombinasi terbaik untuk menghasilkan jumlah spora tertinggi. Menggunakan cawan petri berukuran garis tengah 9 cm dan media gel diperkaya glukosa, Glomus intraradices dapat
37
diproduksi sekitar 10.000 spora per bulan.
Hasil penelitian Bertham (2006)
menunjukkan bahwa pembentukan hifa FMA dipengaruhi oleh teknik kulturnya. Kelompok Glomus lebih cepat membentuk hifa pada kultur cawan petri, akan tetapi hifanya lebih banyak terbentuk pada kultur tabung reaksi. Pembentukan hifa Gigaspora sp 2 dan Acaulospora sp lebih tinggi pada kultur tabung cawan petri dibandingkan tabung reaksi. Sporulasi umumnya terjadi antara minggu ke 48 setelah pengkulturan dan rerata sporulasi pada FMA lebih banyak pada tabung reaksi.
Lambatnya sporulasi pada FMA yang diuji berkaian erat dengan
lambatnya zeolit melepaskan hara fosfat yang dibutuhkan untuk sporulasi FMA. Perkembangan spora setiap spesies FMA berkaitan dengan pH medium (Setiadi 2002). FMA yang diisolasi dari tanah masam cenderung lebih menyukai pH rendah. Perkecambahan spora Acaulospora laevis optimum pada pH 4.5 dan kapasitas perkecambahan itu akan menurun 10% jika kondisi mediumnya netral atau alkalin (Hepper 1984).
Sebaliknya Glomus sp menginginkan pH netral
sampai alkalin untuk perkecambahan optimumnya Media zeolit yang digunakan untuk kultur tunggal memiliki pH > 7.4. Kondisi tersebut terlalu alkalin untuk perkembangan FMA asal tanah masam.
Faktor lain yang perlu diperhatikan
adalah air siraman, hasil penelitian menunjukkan apabila air yang digunakan tidak murni/steril, maka banyak nematoda berkembang yang mengakibatkan banyak spora yang dimakan. Ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam meningkatkan mutu inokulum yaitu: spesies yang digunakan harus merupakan seleksi murni; inokulum yang diberikan harus dalam bentuk segar; medium dan bahan pembawa harus steril; tanaman inang yang digunakan adalah tingkat ketergantungan terhadap mikoriza tinggi; memiliki sistem perakaran yang halus dan biomasa besar; kultur harus terhindar dari kontaminasi dan disimpan pada suhu 5oC; jumlah propagul harus selalu ditetapkan sebab jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan inang dan kondisi lingkungan; dan harus sering dilakukan pemurnian (Simanungkalit 2004). .
Nusantara et al., (2008) menyatakan produksi dan viabilitas spora
tergantung kepada berbagai faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berperan diantaranya adalah spesies fungi, spesies tanaman inang, dan spesies bakteri yang bersimbiosis dengan fungi mikoriza. Faktor abiotik yang berperan diantaranya
38
komposisi media, kadar air, pH, kelembaban udara, intensitas cahaya dan metode produksi inokulum. Tanaman inang yang baik adalah: 1) harus dapat beradaptasi pada keadaan iklim tempat asal FMA, 2) harus tumbuh baik pada media tumbuh, 3) tidak spesifik dengan FMA tertentu saja, 4) mudah diperoleh dan benihnya mudah berkecambah, 5) tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
Simpulan
1. Jenis FMA yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi pada rizosfer cabai sebelum dilakukan trapping hanya satu genus yaitu Glomus sp dengan kepadatan spora 1-3/50 g tanah. 2. Hasil trapping didapatkan sembilan spesies FMA yaitu Glomus (2 spesies), Acaulospora (4 spesies), Gigaspora (3 spesies). 3. Jenis FMA yang berhasil diisolasi dan diperbanyak dengan kultur spora adalah Glomus sp 1, Acaulospra sp 3, dan Gigaspora sp 1.