ISOLASI DAN UJI ANTI PLASMODIUM SECARA In Vitro SENYAWA ALKALOID DARI Albertisia papuana BECC
Helen Lusiana
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT
Helen Lusiana. Isolation and In Vitro Antiplasmodial Test of Alkaloid Compounds from Albertisia papuana Becc. Under the direction of Tun Tedja Irawadi and Irma Herawati Suparto Malaria is still highly prevalent in Indonesia. It is important to identify herbal medicine that has antiplasmodial activity because the need for new sensitive agent for this parasite is increasing. The objective of this research is isolation and identification of alkaloid compound in the root of Albertisia papuana Becc or sungkai sayur as local name and its in vitro antiplasmodial activity to Plasmodium falciparum. The extraction used n-hexane and ethanol 80% as solvent and then separated by flash column chromatography with dichloromethane:methanol (1:1). The crude extract and fractions were tested against chloroquine resistant (W2) and sensitive (D6) P. falciparum isolate. The concentration of crude extract were 0.01, 0.1; 1, 10, 100, and 1000 µg/mL; and for fractions were 1, 10, and 100 µg/mL in 100 μl cell suspension with 48 and 72 hour incubation at 37oC. Indicator of activity was shown as percentage of inhibiton by counting number of live schizonts calculated from 200 asexual parasites. The result showed that the anti plasmodium activity was dose related. Percentage of death was higher in sentitive strain by alkaloid crude extract. The lowest concentration with highest anti plasmodium activity for both strains W2 and D6 were at 10 µg/mL with inhibition 86.06% and 97.16%, respectively, at 48 hours incubation. Fraction 2 with concentration 1, 10 and 100 µg/mL showed high inhibition in the range of 83.90-100% for both strains. Identification of active component with infra red spectrum showed fraction 2 of Albertisia papuana roots extract has functional group C-N stretch, C-O ether, C=C aromatic, -CH2, -CH3 stretch, -N-H, -OH and overtone benzene, The conclusion is Albertisia papuana Becc has alkaloid compound with potential antiplasmodial activity. Keyword: antiplasmodial activity, Albertisia papuana Becc, alkaloid
RINGKASAN HELEN LUSIANA. Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia papuana Becc. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI dan IRMA HERAWATI SUPARTO Penderita malaria masih tinggi jumlahnya di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan identifikasi obat herbal yang mempunyai aktivitas anti plasmodium. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat senyawa alkaloid akar tumbuhan Albertisia papuana Becc yang mempunyai aktivitas anti malaria secara in vitro, khususnya terhadap parasit Plasmodium falciparum. Ekstraksi dengan n-heksana dan etanol 80%, serta dipisahkan dengan kromatografi kolom kilas dengan pelarut diklorometana : metanol (1:1) Ekstrak kasar dan fraksi dilakukan uji anti P. falciparum pada galur resisten klorokuin (W2) dan galur sensitif (D6). Konsentrasi zat uji 0,01; 0,1; 1; 10; 100; 1000 μg/mL untuk ekstrak kasar dan konsentrasi zat uji untuk fraksi 1, 10, 100 μg/ml, serta menggunakan klorokuin dan etanol sebagai kontrol. Kemudian dimasukan sebanyak 100 μl suspensi parasit dan inkubansi pada 37oC selama 48 dan 72 jam. Indikator aktivitas ditunjukkan sebagai persentase penghambatan dari jumlah skizon yang hidup per 200 aseksual parasit. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas anti plasmodium berhubungan dengan konsentrasi. Konsentrasi rendah sebesar 10 μg/mL dari ekstrak kasar alkaloid mampu menghambat pertumbuhan P. falciparum pada W2 sebesar 86,06% dan D6 sebesar 97,16%, pada 48 jam inkubasi. Fraksi 2 dengan konsentrasi 1, 10 dan 100 μg/mL menunjukkan tingginya penghambatan antara 83,90-100% dari kedua galur. Identifikasi komponen bioaktif dengan infra merah menunjukkan fraksi 2 dari ekstrak akar Albertisia papuana Becc memiliki gugus fungsi -C-N strech, -C-O eter, C=C aromatik, -CH2, -CH3 stretch, -N-H, -OH dan overtone benzene. Kesimpulannya Albertisia papuana Becc diduga mengandung senyawa alkaloid yang potensial sebagai anti plasmodium.
PRAKATA Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih, karena atas berkat karunia dan pernyertaanNya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Isolasi dan Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia papuana Becc. Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih terutama kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS selaku anggota pembimbing, telah membimbing dan memberikan arahan yang sangat berarti sejak pemilihan topik, pelaksanaan penelitian hingga terselesainya penulisan tesis ini. Kelancaran studi dan rampungnya penulisan tesis ini didukung oleh banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Dra. Gustini Syahbirin, MS yang telah bersedia menjadi dosen penguji diluar komisi pembimbing dan yang telah memberikan saran yang sangat berarti untuk penulisan tesis ini. Ibu Ika Susanti, Bapak Awaludin, Bapak Budi Laksono, Bapak Faizal yang telah banyak memberi dan mengajarkan tentang parasitologi dan membantu penelitian ini di NAMRU-2. Serta temanku angkatan 2007 kimia yaitu Sari, Mamay, Aty, Wulan, Dila, Obie, Topan, Dwi, Khidir, Zulhan dan Agus. Terima kasih atas kebersamaan, semangat dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta Renhart Jemi, S.Hut. MP yang telah memberikan dorongan semangat dan membantu dalam segala hal sehingga terselesainya tesis ini, dan anakku Lyra Asaria dan Asyer Brilian Ben Yosua tercinta atas pengertiannya, serta seluruh keluarga besarku atas segala dukungan baik moral, material, doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan tersebut diatas tesis ini tidak akan tersusun sebagaimana yang diharapkan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya sebagai bahan informasi bagi yang menaruh perhatian pada masalah biofarmaka.
Bogor, 24 Juli 2007 Helen Lusiana
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: Isolasi dan Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia papuana Becc Nama : Helen Lusiana NRP : G451070081 Program Studi : Kimia
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS Ketua
Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 24 Juli 2009
Tanggal Lulus :
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kuala Kapuas pada tanggal 20 Oktober 1971, dari ayah Cornelis Elbaar dan ibu Ilse Askenas Tawa. Penulis merupakan putri kedelapan dari sembilan bersaudara. Penulis lulus dari jurusan fisika (A1) SMA Negeri 3 Palangka Raya pada tahun 1990, kemudian diterima sebagai mahasiswa S-1 Program Studi Kimia Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Fakultas Pendidikan dan Keguruan Universitas Palangka Raya, lulus S-1 tahun 1995. Sebelum lulus telah ikatan dinas sejak 1993 sampai dengan 1997 di Departemen Pendidikan Nasional dan pada tahun yang sama menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Kalimantan Tengah dan di tugaskan sebagai guru di SMA Negeri 2 Selat Kabupaten Kapuas sampai tahun 2000. Tugas mengajar dilakukan pada tahun 2000 sampai dengan 2002 di SMA Negeri 4 Palangka Raya dan kemudian pindah ke SMA Negeri 3 Jekan Raya sampai dengan sekarang. Tugas belajar S2 pada tahun 2007 di Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xiii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang................................................................................................ 1 Tujuan Penelitian............................................................................................ 3 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3 Hipotesis ......................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia Papuana Becc)............... 4 Alkaloid .......................................................................................................... 8 Plasmodium falciparum................................................................................ 10 Separasi........................................................................................................ 13 Kromatografi Lapis Tipis (KLT).................................................................. 14 Kromatografi Kolom Kilas .......................................................................... 15 METODOLOGI PENELITIAN......................................................................... 16 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 16 Metode Penelitian ........................................................................................ 16 Prosedur Penelitian ....................................................................................... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................ 28 Preparasi Sampel .......................................................................................... 28 Kadar Air Sampel Albertisia papuana Becc ................................................ 28 Ekstraksi ....................................................................................................... 29 Rendemen ..................................................................................................... 31 Kandungan Fitokimia ................................................................................... 31 Uji Anti Plasmodium Ekstrak Kasar Alkaloid Albertisia papuana Becc..... 33 Kromatografi Lapis Tipis ............................................................................. 38 Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Kilas............................................. 39 Uji Anti Plasmodium Fraksi Alkaloid Albertisia papuana Becc ................. 41 Karakteristik Fraksi Aktif............................................................................. 43 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 46 Simpulan....................................................................................................... 46 Saran ............................................................................................................ 46 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 47
DAFTAR TABEL Halaman 1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline ....................... 10 2. Hasil uji fitokimia Albertisia papuana Becc pada simplisia, ekstrak kasar alkaloid dan supernatan fase basa.................................................................... 32 3 Persentase penghambatan P. falciparum terhadap ekstrak kasar alkaloid ...... 34 4 Rendemen delapan fraksi dari ekstrak kasar alkaloid Albertisia papuana Becc ................................................................................. 40 5 Persentase penghambatan P. falciparum pada beberapa konsentrasi fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc ................................................................... 41 6 Perbandingan panjang gelombang (cm-1) ........................................................ 45
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia papuana Becc ......................................... 4 2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline .......................................................... 7 3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia ................................................... 11 4 Lokasi pengambilan sampel di lapangan tumbuhan Albertisia papuana Becc ................................................................................. 16 5 Pola pembuatan slide apusan darah tebal ........................................................ 27 6 Reaksi amina dengan asam kuat...................................................................... 30 7 Reaksi pembasaan asam amina dengan cara pembasaan................................. 30 8 Uji fitokimia alkaloid ..................................................................................... 32 9 Grafik penghambatan P. falciparum oleh ekstrak kasar alkaloid................... 36 10 P. falciparum pada slide apusan darah tebal (pembesaran 25 μm) ................ 37 11 Pola KLT ekstrak kasar alkaloid ..................................................................... 38 12 Penggabungan fraksi KLT berdasarkan pola dari ekstraksi Albertisia papuana Becc ................................................................................. 40 13 Grafik persentase penghambatan P. falciparum terhadap fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc ........................................................ 41 14 Lempeng sumur pengujian .............................................................................. 42 15 Grafik Spektrofotometer UV-Vis fraksi F2 aktif alkaloid dari ekstrak Albertisia papuana Becc.............................................................. 43 16 Grafik Spektrum inframerah senyawa fraksi F2 aktif alkaloid dari ekstrak Albertisia papuana Becc.............................................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil identifikasi tumbuhan............................................................................. 52 2 Diagram alir ekstraksi alkaloid ....................................................................... 53 3 Diagram alir pembukaan kultur P .falcifarum ............................................... 54 4 Kadar air sampel Albertisia papuana Becc ..................................................... 55 5 Data perhitungan jumlah skizon per 200 parasit yang hidup pada apusan darah tebal................................................................................... 56 6 Rendemen fraksi dan persentase penghambatan ............................................ 57
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit malaria merupakan penyakit tropis, dan banyak diderita oleh penduduk Indonesia, karena Indonesia merupakan daerah tropis yang beriklim panas dan lembab dengan ketinggian lebih rendah dari 2.200 m diatas permukaan laut. Kondisi geografis tersebut merupakan tempat ideal untuk berkembang biaknya vektor penyakit malaria yaitu nyamuk anopheles. Oleh karena itu, Indonesia termasuk negara berisiko malaria. Menurut data hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, jumlah penderita malaria klinis di Indonesia mencapai 15 juta orang dan 43 ribu diantaranya meninggal. Jumlah penderita malaria ini cenderung mengalami kenaikan per tahunnya, seperti contoh pada tahun 2006 jumlah penderita mencapai 1.107 orang menjadi 1.256 orang dan mengakibatkan 74 penderitanya meninggal dunia (Safawi 2008). Peningkatan ini berkaitan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat perpindahan penduduk dari daerah bebas malaria ke daerah endemis. Selain itu, terjadinya perubahan lingkungan yang memudahkan berkembangnya vektor nyamuk pembawa malaria, meskipun derajat endemis malaria di Indonesia berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit dari genus plasmodium. Ada empat spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu Plasmodium vivax, P. falciparum, P. malaria, dan P. ovale. Spesies yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax.
P.
falciparum
merupakan spesies yang paling berbahaya terhadap manusia karena dapat menyebabkan infeksi akut yang berat pada ginjal, hati, dan otak sehingga menyebabkan kematian. Parasit ini terutama ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Anopheles sundaicus. Usaha mengatasi penyakit malaria telah dilakukan sejak abad ke XVI, dengan memanfaatkan pengobatan dari tumbuhan secara tradisional. Apoteker Prancis tahun 1820 yaitu Yusuf Pelletier dan Jean Biname Caventou telah melakukan isolasi kina sebagai obat anti malaria (Kakkilay’s 2006).
Davis (2006), menyatakan kulit kina
memiliki aktivitas anti malaria yang mengandung alkaloid. Tahun 1940-an ditemukan obat anti malaria sintetik yaitu primakuin dan klorokuin. Anti malaria sintetik mempunyai kelemahan, yaitu biaya mahal untuk memproduksinya. Hasil penelitian Dewi (2004) angka kegagalan pengobatan klorokuin pada penderita malaria akibat P.
falciparum di Banjarnegara lebih besar 25%, baik pada daerah endemisitas rendah (62,79%) dan daerah endimisitas tinggi (68,42%). Resistensi P. falciparum terhadap obat anti malaria adalah kemampuan parasit untuk terus dalam tubuh manusia, berkembang biak, dan menimbulkan gejala penyakit, meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur, baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih dapat ditolerir oleh pemakainya (Tuti 1989). Penyebaran plasmodium yang resisten terhadap obat antimalaria dan timbulnya efek samping yang berat seperti pada wanita hamil akan melahirkan bayi prematur, kecacatan lahir, keguguran dan mati, serta menimbulkan komplikasi penyakit seperti penyakit liver, kekurangan enzim glucose-6-phosphate dehydrogenases (G6PD) dan NADH (Ross & Flaningan 2006). Oleh karena itu, sangat mendesak untuk menemukan obat antimalaria yang baru, yang ditoleransi lebih baik dan lebih efisien. Kebutuhan akan obat malaria baru ini mendorong penelitian-penelitian tentang obat malaria yang berasal dari bahan alam khususnya tumbuh-tumbuhan. Penggunaan obat dari bahan alam (tradisional) mempunyai keuntungan, yaitu bahan alam mempunyai efek samping sangat kecil, karena adanya faktor intriksik yang dapat menetralisir efek samping yang ditimbulkan oleh zat aktif (Boesri 1994). Menurut Katno & Pramono (2008) bahwa ada efek komplementer atau sinergisme dalam ramuan tumbuhan obat (komponen bioktif tumbuhan obat), satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi, tumbuhan obat lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degenerative. Upaya menemukan obat antimalaria yang berasal dari tumbuhan, telah dilakukan beberapa studi oleh peneliti asing dengan menggunakan tumbuhan obat yang berasal dari Afrika Selatan, yaitu tanaman suku menispermaceae diantaranya galur Albertisia. Tumbuhan ini dilaporkan memiliki senyawa aktif alkaloid bisbenzylisoquinoline yang mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodium seperti pada A. vilosa dan A. delagoensis (Dewick 2002, Lohomo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005, Wet et al 2007). Tumbuhan suku Menispermaceae terdapat pula di Indonesia khususnya endemik di Kalimantan Tengah, yaitu sungkai sayur. Secara empirik, tanaman ini dipakai untuk anti hipertensi, anti demam, dan anti biotik. Karena ada dugaan tumbuhan lokal ini merupakan galur Albertisia, dilakukan identifikasi oleh Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan nama latinnya Albertisia
papuana Becc. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan isolasi dan uji anti plasmodium secara in vitro senyawa alkaloid dari Albertisia papuana Becc
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat senyawa alkaloid akar tumbuhan Albertisia papuana Becc yang mempunyai aktivitas anti malaria secara in vitro, khususnya terhadap parasit P. falciparum.
Manfaat Penelitian Informasi tentang adanya aktivitas anti malaria dari akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) sebagai obat tradisional, juga meningkatkan nilai ekonominya. Selain itu, diharapkan informasi kandungan senyawa spesifik sungkai sayur dapat dikembangkan sebagai fitofarmaka, sehingga menambah kekayaan obat modern yang dihasilkan oleh Indonesia.
Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : a. Akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) memiliki kandungan senyawa aktif dari golongan alkaloid jenis bisbenzylisokuinoline. b. Senyawa aktif golongan alkaloid yang terdapat pada akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) memiliki daya hambat yang tinggi terhadap parasit P. falciparum.
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia papuana Becc) Berdasarkan hasil identifikasi daun, batang dan akar tumbuhan Sungkai Sayur yang dilakukan di Herbarium Bogoreinse Biologi-LIPI Cibinong (hasil determinasi pada Lampiran 1), hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian ini dikenal dengan nama latin Albertisia papuana Becc, dengan sistematika sebagai berikut : Devisi
: Sprematophyta
Sub devisi
: Angispermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Menisspermales
Suku
: Menispermaceae
Jenis
: Albertisia papuana Becc.
Morfologi Tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) merupakan tumbuhan perdu yang tumbuh liar di tempat-tempat subur dan lembab pada daerah perbukitan atau dataran tinggi, tingginya 2-5 meter. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini menjalar dengan cara membelitkan batangnya. Daun berbentuk lonjong dengan ujung lancip berwarna hijau tua dengan tulang daun berbentuk ellips. Batang berwarna hijau muda, memiliki jarak tangkai daun yang rapat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang keras. Morfologi dan akar tumbuhan ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia Papuana Becc Distribusi
Genus Albertisia spp kira-kira ada delapan belas spesies. Lima spesies terdapat di Asia Tenggara, sebelas berada di daerah tropis, dan subtropis Afrika dan satu lagi di daerah Afrika Selatan pada utara KwaZulu-Natal dan Mozambique (Wet 2005). Di Indonesia salah satu speciesnya Albertisia papuana Becc terdapat di Sumatera nama lokalnya sukang dan balait, sedangkan di Kalimantan Tengah dengan nama sungkai sayur dan ndeso.
Etnobotani tumbuhan Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan. Biasanya pemanfaatan tumbuhan tersebut dihubungkan dengan konsep manusia mengenai pentingnya tumbuhan, obat dan sebaliknya, juga berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat mengenai tumbuhan tersebut. Pemanfaatan ekstrak akar Albertisia delagoensis di Afrika (Wet 2005 ) : • Mengobati cacingan, menghilangkan rasa sakit pada saat menstruasi, • Memperbaiki fungsi seksual laki-laki • Menghilangkan sesak napas • Meredakan sakit badan dan influensa • Mengobati luka bakar dengan menaruh abu akar pada luka bakar • Mengobati sakit punggung • Memperlancar pencernaan bayi, dengan air rebusan akar dan daunnya • Menjaga kesehatan bayi dalam kandungan dengan cara meminum air akar oleh wanita yang sedang hamil. • Untuk menyembuhkan diare dan muntah • Untuk memperbaiki nafsu makan Pemanfaatan daun Albertisia papuana Becc sehari-harinya makanan
atau
penguat
rasa
oleh
masyarakat
lokal
sebagai penyedap
Kalimantan
Tengah
(http://www.Albertecia.becc), dan akar dimanfaatkan sebagai obat penurun tekanan darah tinggi (anti hipertensi).
Kandungan bioaktif
Bahan aktif adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara biologi. Aktivitasnya antara lain sebagai antimikroba yaitu suatu zat yang dapat membunuh mikroba seperti bakteri, khamir, dan kapang yang dapat digunakan untuk industri pangan dan farmasi. Zat bioaktif tumbuhan antara lain dapat berasal dari golongan terpenoid, fenolik dan alkaloid (Vickery & Vickery 1981, Mann 1987). Hasil penelitian pada 224 tumbuhan dari suku menispermaceae tahun 1996, teridentifikasi ada 1858 alkaloid. Berdasarkan identifikasi senyawa pada Albertisia delagoensis, adanya alkaloid baru yaitu O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline, cycleanine dan dicentrin.. Uji ekstrak metanol pada daun dan akar tumbuhan jenis ini ternyata memberikan potensi sebagai anti plasmodium dan anti toksit (Wet 2005). Lohombo-Ekomba et al. (2004) telah melakukan pengujian aktivitas senyawa alkaloid sebagai anti bakterial, anti jamur, anti plasmodium dan anti toksit dari tumbuhan jenis Albertisia
villosa,
diidentifikasi
bisbenzyltetrahidroisoquinoline,
yaitu
adanya cycleanine,
senyawa cocsoline
alkaloid dan
N-
desmethylcycleanine. Senyawa yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap parasit Plasmodium falciparum adalah cycleanine. Sementara, menurut penelitian Marie et al. (1987),
pada tumbuhan Albertisia papuana terdapat empat senyawa alkaloid
bisbenzylisoquinoline baru, yaitu 2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine dan norcocsuline. Struktur senyawa tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c) C34H34O6N2
(d) Gambar 2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline: (a) norcocsuline, (b) cycleanine, (c) cocsoline, (d) pangkoramine (Sumber: Marie et al. 1987, LohomboEkomba et al. 2004, Wet 2005).
Alkaloid
Pengertian alkaloid Alkaloid berasal dari kata ”alkali” yang berarti basa dan ”oid” yang berarti menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa (Fessenden & Fessenden 1997). Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang
mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai gugus amina atau amida) dan bersifat basa (Fax & Whitersell 1994). Senyawa tersebut dapat diperoleh dari
ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah-buah pada
tumbuhan (Solmons 2004). Penggolongan senyawa ini belum seragam, seperti penggolongan berdasarkan bentuk cincin
heterosiklik nitrogen, yaitu pirolidin,
piperidin, isokuinolin, kuinolin, dan indol. Selain itu, ada penggolongan menurut biogenesisnya, yaitu
alkaloid alisiklik, aromatik fenilalanin, dan aromatik indol.
Substituen oksigen ditemukan sebagai gugus phenol (Ph-OH), metilendioksi (-OCH2-O) atau metoksi (-OCH3) pada posisi para dan meta dari cincin aromatik.
Penyebaran alkaloid Menurut Achmadi (1986), bahwa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa utama, diantara golongan senyawa organik, alkaloid merupakan golongan senyawa yang terbesar jumlahnya, baik jumlah senyawa maupun penyebarannya dalam dunia tumbuhan. Pada tumbuhan, alkaloid ditemukan pada tumbuhan dikotiledon, yaitu suku
Apocynaceae,
Composite,
Lequinosae,
Loganiaceae,
menispermaceae,
Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, Rutaceae dan Solanaceae. Pada tumbuhan monokotledon, yaitu Amaryllidaceae dan Liliaceae (Harbone 1996). Alkaloid ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan. Secara umum tidak mungkin mengatakan bahwa alkaloid suatu bagian tumbuhan lebih besar dibandingkan bagian lainnya. Pada awal pertumbuhan alkaloid tersebar merata pada seluruh jaringan tumbuhan, dengan bertambah usia tumbuhan maka alkaloid akan mengalami proses translokasi ke bagian lain dari tumbuhan,
dan menumpuk pada bagian tersebut.
Biasanya alkaloid ini terkonsentrasi pada kulit kayu, daun, akar, dan bakal buah. Sifat fisik dan kimia alkaloid Alkaloid merupakan bahan alam yang mengandung nitrogen, biasanya merupakan bagian dari suatu sistem siklik. Senyawa ini terdistribusi pada banyak tumbuhan dan mungkin merupakan senyawa yang
paling baik diketahui sifat dan potensi
farmakologinya. Oleh karena itu banyak obat yang didasarkan pada senyawa ini. Biosintesis alkaloid berasal dari asam amino, terpena, atau senyawa aromatik tergantung dari struktur spesifik alkaloid. Keberadaan alkaloid yang sangat beraneka ragam
menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999). Alkaloid merupakan senyawa dengan sifat alami basa dan reaksi dengan asam mineral membentuk garam larut air. Sifat basa ini disebabkan karena adanya atom nitrogen. Keberadaan nitrogen ini dapat berada dalam bentuk primer, sekunder atau tersier. Sifat kebasaan dari alkaloid juga dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan, dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid kebanyakan berbentuk padatan kristalin dan berasa pahit (Sarker & Nahar 2007). Struktur alkaloid dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan sistem cincin atau kerangka struktur. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah aporfina (turunan tirosina), betaina, imidazola, indola (turunan triptofan), triptamina, ergolina, βkarbolina, indolizidina, isokuinolina (turunan tirosina), makrosiklik spermina dan spermidina, norlupinana (turunan lisina), fenetilamina (turunan fenilalanina), purina, pridina dan turunan asam nikotinat, pirol dan pirolidina (turunan ornitina), pirolizidina, kuinolina (turunan triptofan/asam antranilat), terpenoida/steroida terpenoida, steroida, dan tropan (turunan ornitina) (Kaufman et al. 1999, Sarker & Nahar 2007). Alkaloid yang berstruktur kompleks biasanya mempunyai warna, seperti berberina dan serpentina yang berwarna kuning (Robinson 1995 & Harbone 1996). Alkaloid yang sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999). Sifat basa dari alkaloid tergantung pada ketersediaan pasangan elektron bebas nitrogen dan kearomatikan cincin heterosiklik yang mengandung nitrogen. Atom nitrogen pada alkaloid hampir semuanya berada dalam bentuk –NR2 (amina) atau –CONR2 (amida) dan tidak pernah dalam bentuk –NO2 (nitro) dan –N=N- (diazo). Sifat fisik dan kimia alkaloid ini menentukan prosedur isolasi dan pemurnian suatu alkaloid (Achmadi 1986).
Alkaloid bisbenzylisoquinoline Alkaloid bisbenzylisoquinoline mempunyai turunan yang mempunyai peranan penting sebagai obat, seperti ditampilkan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline Turunan Alkaloid bisbenzylisoquinoline 2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine dan norcocsuline. Dauricine
Cycleanine, cocsoline dan Ndesmethylcycleanine O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline, cycleanine dan dicentrine
Fungsi
Tumbuhan
Pustaka
A. papuana
Marie et al. (1987)
Cytotoxicity
M. dauricum
Anti P. falciparum
A. villosa
Anti P. falciparum
A. delagoensis
He et al. 1996 di acu oleh Alexandrove et al. 2000 LohomboEkomba et al. (2004 ) Wet (2005)
Barbosa-Filho dan Da-Cunha (2000) menyatakan bahwa spesies Albertisia laurifolia Yamato mempunyai 6 senyawa bioaktif jenis alkaloid bisbenzylisoquinoline, yaitu apateline, aromoline, cocsoline, cocsuline, dapholine dan N-methylapateline.
Plasmodium falciparum P.
falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang
menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk tubuh manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi. Semua jenis plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu sebagian di dalam tubuh manusia atau human (siklus aseksual) dan sebagian di tubuh anopheles (siklus seksual) (Campbell et al. 1997, Arlan 2006, Tjay & Raharja 2007, Sutamihardja et al. 2009). Gambar siklus hidup plasmodium tersebut disajikan pada Gambar 3, angka 1 sampai 7 pada gambar merupakan urutan tahapan siklus yang dijelaskan di bawah ini.
4
3
2
5
1
6
7
Gambar 3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia (Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/images/articles/m/0603_13.jpg) Siklus yang kedua yaitu siklus seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk sebagai berikut: (1) Siklus ini dimulai dengan nyamuk Anopheles betina menggigit orang yang terinfeksi malaria dan mengambil gametosit plasmodium bersama dengan darah. (2) Gamet akan terbentuk dari gametosit jantan dan betina, sehingga fertilisasi terjadi dalam saluran pencernaan nyamuk tersebut, kemudian terbentuk zigot. Zigot adalah satusatunya tahapan diploid dalam siklus hidupnya. (3) Oocyts yang berasal dari zigot berkembang dalam dinding perut nyamuk. Ribuan sporozoit berkembang dalam oosista
dan kemudian bermigrasi ke kelenjar lidah nyamuk tersebut. (4) Nyamuk yang terinfeksi menyengat orang lain, menginfeksi korban dengan sprotozoit Plasmodium Siklus aseksual (skizogoni) pada tubuh manusia ada dua tahap, yaitu siklus hati (fase eritrosit) (5) Pada siklus ini nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit manusia dan dengan ludahnya “menyuntik “ sprotozoit ke dalam darah. Protozoit masuk ke dalam sel hati korban mengikuti peredaran darah. Merozoit akan berinteraksi dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Invasi eritrosit oleh parasit malaria merupakan proses yang terdiri tiga tahap yaitu (Pasvol 1992), attachment/perlekatan,
dan
recognition/pengenalan,
proses endositosis. Setelah beberapa hari, sporotozit
mengalami pembelahan berkali-kali untuk menjadi merozoit, yang kemudian menggunakan kompleks apikalnya itu untuk menembus sel darah merah korban. (6) Merozoit tumbuh dan membelah secara aseksual sehingga menghasilkan banyak sekali merozoit baru, yang secara berulang-ulang memecahkan sel darah dengan interval 48 atau 72 jam (tergantung pada spesiesnya). Interval demam ini menyebabkan penderita mengalami demam dan menggigil secara periodik. Beberapa merozoit menginfeksi sel darah merah baru. (7) Beberapa merozoit membelah membentuk gametosit, yang menyelesaikan siklus kehidupannya dalam seekor nyamuk betina. P. falciparum dapat resisten terhadap obat malaria karena mempunyai parasit ada gen yang resisten dan sensitif terhadap obat tertentu, sehingga gen yang satu lebih dominan dari pada gen yang lain. Berdampak menimbulkan adanya galur yang resisten dan sensitif. Teori kedua, gen mengalami mutasi dalam tubuh parasit yang memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten terhadap suatu obat dengan dosis tertentu (Tuti 1992). Penentuan resistensi atau tidaknya P. falciparum dapat dilakukan dengan cara in vivo dan in vitro. Cara in vivo dapat menunjukkan derajat resistensi parasit yang dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (resistensi derajat 1), RII, dan RIII. Cara in vitro hasilnya dinyatakan sebagai
sensitifitas atau resistensi parasit, tanpa adanya
penjenjangan tingkatan. Kelebihan uji ini pada beberapa jenis obat dapat diuji secara bersamaan (Tuti 1992). Keuntungannya (Purwaningsih 2003), penggunaan biakan memungkinkan untuk mempelajari aktivitas intrinsik obat secara lebih hemat dan lebih cepat, membutuhkan obat dalam jumlah kecil, pengaruh metabolisme hospes dihilangkan, efektivitas obat
dapat langsung diamati, memudahkan penapisan obat malaria baru, dimungkinkan pemberian dosis yang tinggi, dan memungkinkan pembuatan vaksin malaria.
Separasi Ekstraksi adalah satu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air atau pelarut organik (Meloan 1999). Metode pemisahan yang biasa digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, infusi, soxhletasi dan destilasi. Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan seperti akar, biji, dan daun adalah melakukan ekstraksi secara kontinyu serbuk bahan dengan suatu pelarut menggunakan alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan berganti-ganti, mulai dari pelarut non polar sampai pelarut polar yang disesuaikan dengan sifat polaritas komponen yang akan diekstrak (Harbone 1996). Tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum digunakan adalah teknik Kromatografi Kolom (KK), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Teknik kromatografi untuk memisahkan
suatu campuran
komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harbone 1996, Gritter et al. 1991,
Hostetman et
al.1997). Pemisahan secara kromatografi dari berbagai senyawa dalam suatu bahan didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi dan penyebaran dari molekul-molekul senyawa yang merupakan hasil kesetimbangan distribusi dari senyawa-senyawa dalam bahan antara fase diam dan fase gerak. Perbedaan kecepatan migrasi berhubungan dengan perbedaan kecepatan gerak dari senyawa-senyawa yang berbeda sepanjang kolom. Migrasi merupakan hasil distribusi keseimbangan dari senyawa-senyawa antara fase diam dan fase gerak (Gritter et al. 1991). Kromatografi adalah dasar teknik pemisahan multistage pada perbedaan antara komponen penyerap permukaan atau pelarut pada cairan (Meloan 1999). Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponen. Kromatografi bekerja berdasarkan prinsip, bahwa semua kromatografi memiliki fase
diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponenkomponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil (Robinson 1991). Kromatografi lapis tipis memiliki kelebihan dibandingkan teknik kromatografi lainnya, yaitu
keserbagunaan, kecepatan,
dan kepekaan.
Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa sejumlah penyerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain dan digunakan untuk kromatografi. Walaupun silika gel paling banyak digunakan, lapisan dapat pula dibuat dari aluminium oksida,
damar penukar ion, magnesium fosfat, poliamnida,
sephadex, polivinil pirolidon, selulosa dan campuran dua bahan diatas atau lebih (Gritter et al. 1991). Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penyerap yang lebih padat bila disaput pada pelat dan memberikan keuntungan dalam menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT disebabkan dapat memisahkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran μg (Harbone 1996) Prinsip-prinsip KLT yang utama adalah adsorben, pengembangan, dan deteksi (Meloan
1996),
teknik-teknik
KLT
yang
penting
meliputi
persiapan
plat,
pengembangan, dan visualisasi. Christie (1982) menyatakan bahwa silika gel adalah adsorben yang paling umum digunakan untuk berbagai tujuan dan biasanya mengandung kalsium sulfat yang berfungsi sebagai pengikat untuk meningkatkan daya adhesi lapisan pada plat. Proses kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras.
Kromatografi Kolom Kilas Kromatografi Kolom Kilas atau Flash Chromatography (FC) merupakan kromatografi sederhana dengan adanya tekanan rendah (umumnya < 20 psi) aplikasinya yaitu memaksa eluen dengan larutan melalui kolom dengan lebih cepat. Proses tersebut
merupakan suatu kualitas sedang, dimana kecepatan pemisahan 10-15 menit dan menghasilkan kemurnian tinggi (Gritter et al. 1999 dan Meloan 1999). Contoh penggunan FC pada isolasi senyawa kuinon dan terpenoid dari Toona sinensis (Rusiniadi 2006). Prinsip proses kerjanya sama dengan kromatografi kolom klasik, adanya perbedaan migrasi komponen fase diam dan gerak. Perbedaan hanya pada tekanan dan pengaturan sistim pompa otomatis. Fraksi yang diperoleh
dilakukan
pemeriksaan spot dengan KLT. Hasil diperoleh spot tunggal dan berbentuk kristal, berarti telah diperoleh senyawa tunggal (Gritter et al. 1991).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2009. Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Teknologi Kimia Kayu Departemen Hasil Hutan IPB, Herbarium Bogoriensis Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – LIPI di Cibinong, Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB. Laboratorium U.S NAMRU-2 (U.S Naval Medical Research Unit Two) di Jakarta Pusat.
Metode Penelitian Bahan tumbuhan Akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) yang dikumpulkan sejak bulan Januari 2009 dari hutan tropika basah di Desa Pendreh Kabupaten Barito Utara Propinsi Kalimantan Tengah .
Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
Wilayah Kabupaten Barito Utara
Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel di lapangan tumbuhan Albertisia Papuana Becc (Sumber: www.google.earth.kaliamantantengah.baritoutara)
Bahan kimia Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah n-heksana yang digunakan untuk menghilangkan lemak pada sampel. Etanol 80 %, HCl 0,1 M, dan CH2Cl2 untuk mengekstrasi bahan, NH4OH 6 % untuk mengendapkan alkaloid. Bahan kimia untuk kromatografi lapis tipis antara lain lempeng KLT silika gel G 60 F254, pelarut pengembang aseton, diklorometana, dan metanol serta reagen iodoplatina. Bahan kimia untuk Kromatografi Kolom (KK) menggunakan glasswool sebagai penyumbat agar eluen tidak keluar dari kolom dan silika gel sebagai fase diam. Bahan kimia untuk uji anti plasmodium yang digunakan adalah Rosewell Part Memorial Institute (RPMI) 1640 yang mengandung L-glutamin, asam gentamisin sulfat injeksi, NaCl 0,9 % dan 3,5 %; sorbitol 5 %, serum dan sel darah merah (RBC), zat antikoagulan sitrat fosfat dektrosa (CPD), akuabidestilata, pewarna Giemsa, larutan buffer fosfat pH 7,2 alkohol metanol.
Peralatan Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, alat untuk ekstraksi seperti gelas piala, seperangkat alat Sokhlet, vacuum rotary evaporator, pengaduk, bejana Kromatografi Lapis Tipis, seperangkat alat Kromatografi Kolom Kilas, Spektrometer UV-Vis dan Spektrometer FTIR, Alat untuk pengujian anti malaria, yaitu inkubator, membran Milipore ukuran 0,22 dan 0,45 μm, tabung sentrifus ukuran 10 dan 50 mL, lampu UV, ruang Laminar Air Flow, eksikator, alat vortex, dan mikroskop cahaya
Prosedur Penelitian Pengumpulan sampel Sampel berupa akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dikumpulkan dari hutan tropika di Kalimantan Tengah dengan sistem acak tanpa melihat umur tumbuhan dan besarnya batang akar, tetapi diambil dari tumbuhan yang secara fisik sehat dan subur. Determinasi tumbuhan sungkai sayur dilaksanakan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong (Hasil identifikasi pada Lampiran 1).
Preparasi sampel Sampel akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan tanpa kontak langsung sinar matahari. Setelah
bersih
dan
kering,
dipotong-potong
kemudian
diserbukkan
dengan
menggunakan alat Hammer Mill dengan ukuran serbuk 40 mesh (TAPPI T257 cm-85). Penetapan kadar Air Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit kemudian di dinginkan dalam desikator dan timbang. Sebanyak 3 g sampel sungkai sayur dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 oC selama 6 jam sampai diperoleh bobot konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Hitung kadar airnya denngan persamaan sebagai berikut : Kadar air (%) = A – B x 100% A Keterangan : A adalah berat sampel (g) B adalah berat sampel setelah dikeringkan (g) Ekstraksi senyawa bioaktif alkaloid 500 gram serbuk kering sampel yang telah dikeringkan, diekstraksi dengan nheksana selama 8 jam menggunakan 4 buah Soxhlet secara paralel masing-masing tiga kali pengulangan, untuk menghilangkan kandungan lemaknya (Purwatiningsih 2003). Residu yang dihasilkan dikeringkan atau dihilangkan pelarut
n-heksana dengan
membiarkan residu selama 1 hari. Selanjutnya dimaserasi menggunakan etanol 80 % selama 1 hari pada suhu kamar dalam maserator. Rendaman disaring menggunakan kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama selama 1 hari sampai diperoleh filtrat yang tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dijadikan satu kemudian dipekatkan dengan vakum rotary evaporator untuk menghasilkan ekstrak kasar dan dilarutkan dalam air. Ekstrak air diasamkan dengan HCl 0,1 M sampai memiliki pH 2-3, biarkan sekurang-kurangnya 4 jam, kemudian di partisi dengan CH2Cl2. Fase asam yang diperoleh diendapkan dengan meneteskan NH4OH 6 % dan pH diatur 9-10. Endapan dikumpulkan dengan pemusingan dan dicuci
dengan NH4OH 1 %. Sehingga diperoleh ekstrak pekat alkaloid kasar selanjutnya dilakukan uji fitokimia dan uji anti plasmodium. Prosedur pengujian ini mengacu pada cara kerja Lohombo-Ekomba et al. (2004). Diagram alir kerja tersebut ditunjukkan pada Lampiran 2. Fraksinasi senyawa anti malaria Pemisahan senyawa anti malaria dari ekstrak kasar alkaloid tumbuhan Albertisia papuana Becc dari Kalimantan Tengah dilakukan dengan teknik mencari eluen yang cocok. Eluen yang digunakan dalam KLT adalah eluen menurut Lohombo-Ekomba et al. (2004) yaitu menggunakan campuran pelarut diklorometana : metanol dan aseton : metanol, dengan sistem gradien. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut, lempeng lapis tipis silika gel G 60 F254 dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 1 cm diberi tanda garis dengan pensil pada jarak 1 cm dari salah satu ujung lempeng. Ekstrak aktif antimalaria dilarutkan dalam pelarut asalnya. Eluen yang akan digunakan dimasukkan ke dalam tabung kromatografi hingga 2 cm tingginya dari dasar tabung dan ditaruh kertas saring kemudian ditutup rapat agar jenuh dengan uap eluen. Larutan ekstrak sampel diteteskan dengan pipa kapiler pada lempeng silika gel. Penetesan dilakukan pada jarak 1 cm dari salah satu ujung. Ujung lempeng yang terdekat pada tempat penetesan dicelupkan ke dalam tabung kromatografi yang sudah jenuh dengan eluen. Tabung kemudian ditutup rapat dan dibiarkan pelarut naik sampai batas yang ditentukan yaitu 1 cm dari batas atas. Setelah elusi pada batas tertentu, lempeng diangkat dan selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang selama beberapa menit, kemudian dideteksi pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
Kromatografi kolom kilas dan identifikasi senyawa aktif Sebanyak 1 gram ekstrak pekat alkaloid yang berasal dari Albertisia papuana Becc dilarutkan dalam metanol dan dengan menggunakan eluen terbaik kemudian dipisahkan komponen-komponennya dengan menggunakan kromatografi kolom kilas. Fraksi ditampung tiap 3 ml dalam tabung reaksi yang telah diberi nomor kemudian
diuji dengan KLT.
Fraksi yang memiliki Rf dan pola penampakan noda yang sama
pada KLT digabung sebagai satu fraksi kemudian di evaporasi dan di uji aktivitas anti malaria untuk mendapatkan fraksi yang paling aktif. Identifikasi senyawa aktif dilakukan dengan menganalisis data spektrum ultra violet dan spektrum inframerah. Uji aktivitas anti malaria Pengujian anti malaria dilakukan pada ekstrak kasar alkaloid maupun hasil fraksinasi Kromatografi Kolom Kilas. Prosedur penyiapan pengujiannya mengacu kepada cara kerja Trager dan Jensen (1976) diacu oleh Pharm dan Afshar (1982), Tuti et al. (1994), Jansen (2000),
Purwantiningsih (2003) dan prosedur Laboratorium
Parasitologi NAMRU (2009). Beberapa tahap awal persiapan pengujian aktivitas anti malaria secara in vitro terhadap P.falciparum
yaitu : penyiapan media biakan,
penyiapan sel darah merah (steril), pengembangan biakan parasit P. falciparum, pemeliharaan parasit P. falciparum, sinkronisasi, pengujian anti malaria secara in vitro, pemanenan dan evaluasi hasil pengujian.
Sebelum
tahap pembiakan
tersebut
dilakukan, perlu disiapkan hal-hal seperti berikut:
Penyiapan media biakan Tahap ini merupakan penyiapan bahan dan media pembiakan kultur P.falciparum yaitu: Pembuatan medium dasar RPMI 1640 (RP) RPMI 1640 sebanyak 10,4 gram ditambahkan 5,96 gram asam N-2-hidroksil etil piperzin-N-2-etana sulfonat (HEPES) untuk mendapatkan kepekatan 25 mM dengan pH 6,75 dan kemudian diaduk hingga homogen. Selanjutnya ditambahkan zat antibiotik gentamisin sulfat sebanyak 50 mg. Larutan tersebut disterilisasi dan disimpan pada suhu 4 oC Penyiapan larutan NaHCO3 5 % (b/v) 5 gram NaHCO3 dilarutkan dengan air destilat sampai menjadi 100 ml larutan. Selanjutnya larutan ditempatkan dalam botol reagen steril dan disimpan pada suhu 4 oC. Pembuatan medium transport (Wash Medium)
RPMI 1640 + 4,2 mL larutan NaHCO3 5% (b/v), dibuat sebanyak 100 ml untuk mendapatkan media tanpa serum dengan pH 7,4 yang selanjutnya disebut dengan RP. Larutan tersebut disteril dan disimpan pada suhu 4oC. Pembuatan serum Darah golongan “O” sebanyak ± 120 ml dimasukkan dalam conical tube 50 ml dan diinkubasi pada suhu ± 37oC dalam NAPCO water jacketed CO2 selama 2 jam. Selanjutnya ditimbang dan disentrifus 2000 rpm (high speed) selama 20-30 menit. Diperoleh serum (bagian atas) terpisahkan dari RBC, serum dimasukkan dalam conical tube 15 ml, RBC dibuang. Jika masih ada sisa serum dilakukan lagi sentrifus terhadap RBC seperti cara sebelumnya. Serum diinaktiv pada suhu
56 oC selama 30 menit,
diberi label Δ. Sebelum digunakan serum disimpan dalam freezer -20oC Pembuatan medium lengkap RPMI 1640 dengan 42 mL larutan NaHCO3 5% (b/v) sebanyak 100 mL sebagai media dasar (b/v) masukan serum dari darah golongan ”O” sebanyak
11,5 ml.
Selanjutnya disterilisasi dengan cara filtrasi melalui membran yang berdiameter 0,22 μM. Media ini disimpan pada suhu 4 oC dan hanya bertahan 1 minggu. Media ini dikenal dengan RP+HS.
Pembuatan RBC CPD dimasukan sebanyak 1,5 ml ke dalam conical tube 50 ml (1,4 ml CPD untuk 10 ml darah). Darah diambil 2 x 10 ml, dimasukkan dalam 2 conical tube yang sudah di isi CPD. Selanjutnya darah golongan “O” + CPD disetrifus 1800 rpm selama 10 menit. Diperoleh plasma dan buffy coat dibuang dengan pipet Pasteur steril. Darah yang tersisa ditambahkan medium transport, dibolak-balik, disentrifus 1800 rpm selama 10 menit tahapan ini disebut washing 1. Supernatan (beserta sisa buffly coat) dibuang. Darah yang tersisa dicuci lagi seperti tahap washing 1, tahapan ini disebut washing 2. Endapan ditambahkan growth medium sebanyak jumlah endapan (rasio 1:1). Selanjutnya dilakukan pencampuran
dengan cara up
digoyang. Simpan diruang pendingin pada suhu 4 oC Pembuatan RPMI
dan down perlahan, jangan
Larutan RPMI + 5,94 HEPES + 1 ml gentamisin ke dalam 960 ml aquabides. Larutan distirer hingga homogen, difilter (liter 0,22 µm), dan dipindahkan ke dalam flask 275 ml. Pembuatan growth medium (GM/RPMI) 100 ml RPMI diambil dan ditempatkan ke dalam flask 200 ml. Tambahkan 4.2 ml NaHCO3, 12 ml serum, dan 2 ml hypoxanthine. Selanjutnya media tersebut disteril dengan filter ukuran 0,22 µM dan dimasukkan ke dalam flask 50 ml baru. Media tersebut disimpan pada suhu 4oC. Penyiapan sel darah merah yang tidak terinfeksi parasit (RBC 50%) Darah golongan ”O” sebanyak 10 mL dicampur dengan 1,4 mL larutan zat antikoagulan CPD. Larutan diaduk perlahan-lahan sampai homogen, selanjutnya larutan disentrifus dengan kecepatan putar 1500 rpm selama 15 menit pada suhu kamar. Untuk mendapatkan endapan atau packed cell dengan cara
plasma dibuang dengan
menggunakan pipet Pasteur, packed cell yang tertinggal dicuci dengan media transport sebanyak dua kali. Packed cell dan media disuspensikan ke dalam media lengkap (RP+HS) dengan perbandingan volume 1:1. Suspensi ini mengandung 50 % eritrosit dan disebut sebagai Red Blood Cell (RBC) 50 %. Suspensi ini disimpan pada suhu 4 oC dan tiap seminggu sekali perlu pengantian RP+HS. Pengembangbiakan Parasit P. falciparum Pembukaan kultur Kultur di-thawing, bisa dengan memasukkan ke dalam waterbath 37 oC atau dengan menggunakan tangan. Tambahkan NaCl 3,5 % dengan pipet Pasteur steril ke dalam kultur, dicampur. Selanjutnya kultur dipindahkan ke dalam tube 15 ml, disetrifus 1500 rpm 7 menit. Supernatan dibuang, dimasukkan NaCl lagi dan dicampur. Lakukan sentrifus ≤ 1000 rpm selama 7 menit, endapan tidak boleh terlalu padat supaya serum bisa berinteraksi dengan kultur. Kemudian sentrifus 1500 rpm 7 menit, selanjutnya supernatan dibuang, dimasukkan washing medium sampai volume larutan total ± 10 ml. Tambahkan 4 tetes RBC,lalu dimasukkan washing medium sampai volume larutan total ± 10 ml. Lakukan lagi sentrifus 1500 rpm 7 menit, endapan yang terbentuk diukur jumlahnya. Supernatan dibuang, endapan dicampur dan diambil
beberapa tetesan untuk pembuatan slide. Ambil sebanyak 8 ml Growth Medium (GM), 4 ml dimasukkan tube kosong, 4 ml dimasukkan ke dalam endapan. GM dan endapan kultur dicampur hingga homogen kemudian dipindahkan ke dalam 2 cawan petri (1 cawan petri berisi ± 2 ml). Sisa growth medium (yang sebelumnya dimasukkan dalam tube kosong) dimasukkan juga ke dalam 2 cawan petri tersebut sehingga volume total isi cawan petri ± 4 ml. Biakan dimasukkan ke dalam candle jar dengan kondisi gas O2 3%, CO2 4 % dan N2 93 %. Untuk mendapatkan kondisi tersebut, caranya
dalam
candle jar yang telah berisi cawan-cawan petri biakan diletakkan lilin yang menyala. Bila nyala lilin hampir padam, candle jar ditutup sehingga kedap udara. Kemudian candle jar diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC. Diagram alir pembukaan kultur P. falciparum ditampilkan pada Lampiran 3. Pembuatan slide Pembuatan slide apusan darah tebal, teteskan ± 3 tetes darah, untuk slide darah apusan tipis cukup 1 tetes. Pada apusan tebal, tetesan-tetesan darah diratakan, sedangkan untuk apusan tipis darah digeser dengan kaca slide lain. Apusan tipis dicelup dalam metanol 1% (fiksasi) selama 1 detik, kemudian dikeringkan. Sedangkan apusan tebal tidak difiksasi tetapi langsung dikeringkan. Buat larutan Giemsa 1 : 10 dalam syringe, bolak-balik. Setelah slide kering, dilakukan pewarnaan (slide diteteskan giemsa sampai seluruh permukaan slide tertutup). Inkubasi slide 20 menit pada suhu ruang. Setelah 20 menit, Giemsa dibilas dengan air perlahan. Slide dikeringkan, setelah kering diberi minyak imersi dan dapat dibaca di mikroskop.
Pemeliharaan biakan kultur parasit P.falcifarum Eritrosit yang terinfeksi parasit disuspensikan dengan eritrosit yang tidak terinfeksi selanjutnya diencerkan dengan media lengkap RP+HS sehingga diperoleh kepadatan parasit 2 % dengan 4 % hematokrit. Suspensi ini dimasukkan ke dalam cawan petri berdiameter 50 mm masing-masing sebanyak 4 mL. Setiap 24 jam media RP+HS diganti dengan media RP+HS yang segar. Cara mengganti media adalah dengan cawan petri dikeluarkan dari candle jar, dimiringkan kira-kira 30 oC dalam ruang steril (laminar air flow) selama 10 menit. Sebelum ditambah media, packed cell diambil satu sampai dua tetes untuk membuat apusan darah tipis dan tebal pada slide mikroskop. Pembuatan apusan darah tipis dan tebal berguna untuk menghitung parasitemia dan
memantau pertumbuhan parasit. Kemudian, cawan petri diletakkan mendatar dan ke dalamnya ditambahkan media RP+HS baru sebanyak 3,5 ml. Cawan petri digoyang perlahan agar suspensi parasit menjadi homogen kembali. Cawan petri diletakkan dalam candle jar dan diinkubasi dalam inkubator.
Penghitungan persentase parasitemia Persen parasitemia yang terkandung dalam biakan diamati melalui slide apusan darah tipis. Slide diamati dengan mikroskop pada pembesaran 10 x 100. Inti parasit terlihat berwarna merah dan plasmanya berwarna biru. Sel darah merah akan terlihat berwarna merah muda, sedangkan titik-titik Maurer (ciri-ciri bentuk parasit) terlihat berwarna merah tua ditemukan pada stadium ring tua. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah parasit yang hidup terhadap 1.000 eritrosit. Bila kadar parasitemianya tinggi maka biakan tersebut perlu diencerkan dengan penambahan sel darah merah (RBC 50 %). Seluruh darah dari cawan petri dikumpulkan dalam conical tube, disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan dihitung banyaknya endapan darah. Endapan darah sebanyak 0,1 – 0,2 dalam conical tube selanjutnya ditambahkan dengan 0,9 ml RBC, dicampur dan ditambahkan dengan medium lengkap sampai 16 ml. Selanjutnya parasit dibagi dalam 4 cawan petri masingmasing 4 ml dan disimpan kembali dalam candle jar. Kadar parasitemia diatur pada kisaran
0,5-1,6 % (WHO 2008).
Teknik sinkronisasi Teknik sinkronisasi adalah parasit dalam biakan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Suspensi disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit dan supernatan dibuang dengan bantuan pipet Pasteur. Packed cell yang tertinggal dihitung volumenya. Bila volumenya packed cell kira-kira 1 ml, maka larutan sorbitol 5% yang ditambahkan sampai ± 10 ml. Campuran diaduk perlahan dengan pipet Pasteur sampai terlihat homogen selama 5-10 menit. Selanjutnya campuran tersebut disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dengan bantuan pipet Pasteur. Packed cell dicuci lagi dengan media transport sebanyak dua kali pencucian dilakukan dengan cara sentrifus. Packed cell disuspensikan kembali dengan medium lengkap RP+HS sehingga diperoleh kadar hematokrit 4%. Suspensi diinkubasi
dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37 oC. Setelah 48 jam
parasit hasil
sinkronisasi ini siap digunakan untuk uji in vitro. Setiap 24 jam dipantau kadar parasitemia dan bentuk parasitnya. Bentuk parasit yang dipakai pada uji in vitro adalah bentuk cincin dengan umur tidak boleh lebih dari 48 jam.
Pengujian anti malaria secara in vitro Pengujian anti malaria mengacu pada prosedur kerja oleh Purwantiningsih (2003) dan NAMRU-2 (2009). Parasit dengan kadar parasetimia 1 % dipersiapkan dengan cara semua parasit dari galur resisten (W2) dan galur sensitif (D6) dikumpulkan dari cawan petri
ke masing- masing
conical tube yang telah diberi tanda
setelah hasil
sinkronisasi selama 48 jam. Parasit diambil dengan cara disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 1500 rpm, supernatan dibuang dengan pipet pasteur dan dihitung sisa endapan. Jika endapan terdapat 0,2 ml, maka tambahkan dengan growth medium sampai 10 ml. Pada conical tube lain disiapkan RBC 50 % (eritrosit tak berparasit ) sebanyak 0,4 ml dan ditambahkan growth medium sampai 10 mL. Slide apusan darah tipis sebelumnya sudah memberikan informasi kadar parasetimia galur D6 dan galur W2, misalnya parasetimia D6 2 %, maka dari conical tube yang berisi parasit diambil 1 bagian volume dan diambil 1 bagian volume dari conical tube tak berparasit. Dicampur sampai homogen, dan siap dilakukan uji aktivitas anti malaria.
Anti plasmodium
dilakukan tiga kali dengan tiga kali replikasi, memakai lempeng sumur mikro 96 lubang. Terbagi menjadi 8 baris (A-H) dan 12 kolom (1-18) dengan rincian sebagai berikut : -
Baris A, kolom 1 - 12 diisi dengan larutan dengan 100 µg tanpa parasit
-
Baris B, kolom 1 - 12 diisi dengan larutan etanol sebagai kontrol.
-
Baris C, kolom 1 - 6 , ekstrak uji dengan konsentrasi 0,01 µg/mL untuk W2
-
Baris C, kolom 7 - 12 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,01 µg/mL untuk D6
-
Baris D, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,1 µg/mL untuk W2
-
Baris D, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,1 µg/mL untuk D6
-
Baris E, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 1 µg/mL untuk W2
-
Baris E, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 1 µg/mL untuk D6
-
Baris F, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 10 µg/mL untuk W2
-
Baris F, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 10 µg/mL untuk D6
-
Baris G, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 100 µg/mL untuk W2
-
Baris G, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 100 µg/mL untuk D6
-
Baris H, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 1000 µg/mL untuk W2
-
Baris H, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 1000 µg/mL untuk D6
Tahapan pengujiannya sebagai berikut : Lempengan sumur mikro yang telah berisi bahan uji dibiarkan terbuka dalam ruang steril (laminar air flow) sampai semua pelarut menguap dan di dalam lempeng sumur mikro hanya tertinggal contoh uji yang menempel pada dinding sumur. Sebanyak 50 μL suspensi parasit dengan kadar parasitemia 1 % dimasukan ke dalam tiap sumur. Lempengan sumur mikro ditutup dan digoyangkan secara perlahan supaya bahan uji menyatu dengan suspensi parasit. Inkubasikan lempeng sumur tersebut pada suhu 37 oC selama 48 jam dan 72 jam pada eksikator berisi lilin (candle jar).
Pemanenan dan evaluasi hasil pengujian pengaruh antimalaria Lempeng sumur mikro dikeluarkan dari inkubator dan candle jar. Suspensi bagian atas dibuang ± 20 μL sehingga yang tertinggal hanya supensi yang lebih pekat. Suspensi tersebut diambil dengan pipet Eppendorf selanjutnya diteteskan pada slide mikroskop, untuk dibuat slide hapusan darah tebal. Setiap kolom dibuat slide apusan darah tebal sebanyak tiga kali ulangan (Gambar 5). Semua slide dikeringkan pada suhu kamar selama 1 hari, diwarnai dengan pewarna Giemsa. Biarkan selama 20 menit. Cuci secara hati-hati dengan air mengalir sampai semua larutan Giemsa hilang dan lanjutkan pengeringan kembali diudara. Slide tersebut amati pada mikroskop pada pembesaran 10 x 100 dan hitung jumlah skizon hidup dengan minimal 3 inti terhadap 200 aseksual parasit P. falciparum. Persentase penghambatan parasit P. falciparum hitung dengan cara membandingkan dengan media kontrol dan dirumuskan sebagai berikut : % Penghambatan = 100 % -[(Nt/Nc) x 100 %] Keterangan : Nt = jumlah skizon hidup per 200 aseksual P.falciparum pada sumur pengujian Nc = jumlah skizon hidup per 200 aseksual P.falciparum pada sumur kontrol
A
B
C
D
H
I
J
K
F
L
G
M
Gambar 5 Pola pembuatan slide apusan darah tebal
HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Sampel Akar tanaman sungkai sayur digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hutan tropika basah, secara administratif masuk di wilayah desa Pendreh Kabupaten Muara Teweh Propinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil identifikasi tumbuhan oleh Pusat Penelitian Biologi LIPI, tumbuhan ini termasuk dalam suku Menispermaceae dengan nama latin Albertisia papuana Becc. Albertisia papuana Becc yang digunakan sebagai contoh uji, dipilih dari tumbuhan yang sehat secara fisik tanpa melihat usia tumbuhan karena diperoleh dari hutan tanpa budidaya dan
bagian yang diambil adalah
akar tunggang, sehingga
diharapkan senyawa-senyawa di dalam akar telah terbentuk sempurna. Akar yang digunakan adalah akar yang berwarna coklat yang berkualitas baik. Akar yang berkualitas baik adalah yang tidak terinfeksi oleh virus, bakteri atau jamur (Harbone 1997). Untuk menghindari pencemaran akibat komponen pengotor seperti debu dan tanah, maka akar sebelum dianalisis dicuci dalam waktu yang singkat dan tidak diulang untuk mencegah berkurangnya rendemen alkaloid karena sebagian kecil alkaloid akan larut bersama air pencuci. Bagian akar dipilih sebagai sampel didasarkan pada kearifan lokal masyarakat setempat yang memanfaatkan akar ini sebagai obat tradisional untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Pengeringan dilakukan pada suhu ruangan tanpa menggunakan suhu tinggi selama 3 hari untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang tidak diinginkan. Dihasilkan 2.500 gram serbuk akar sungkai sayur berwarna coklat terang yang telah dikering anginkan dari 6.500 gram berat kotor akar.
Kadar Air Sampel Albertisia papuana Becc Kadar air berguna untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan. Tujuan pengeringan sampel untuk menghindari pertumbuhan mikroba, sebab kadar air pada bahan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba. Kadar air yang terkandung dalam sampel tersebut ditentukan banyak faktor seperti kelembaban udara,
perlakuan terhadap bahan, waktu pengambilan bahan, dan besarnya penguapan. Kadar air sampel Albertisia papuana Becc adalah 3,53 %, Secara lengkap kadar air Albertisia papuana Becc disajikan pada Lampiran 4.
Ekstraksi Ekstraksi dilakukan dengan cara soxhletasi dan maserasi mengikuti metode Lohombo-Ekomba et al. (2004). Metode sokhlet dengan pelarut n-heksana bertujuan untuk mengambil senyawaan yang bersifat non polar seperti lemak dan terpen. Senyawaan lemak tersebut bila tidak dihilangkan maka pada proses ekstraksi akan didapat emulsi sehingga menyulitkan proses analisis selanjutnya. Pemanfaatan metode ini lebih efektif dari segi waktu karena dibantu oleh pemanasan. Struktur alkaloid yang ingin dijaring dalam penelitian ini memiliki struktur yang tahan terhadap pemanasan. Selanjutnya residu hasil soxhletasi dihilangkan pelarut dengan cara menguapkannya pada suhu ruang selama 24 jam, dilakukan maserasi dengan etanol 80 % selama 24 jam sebanyak 3 kali pengulangan dibantu dengan pengadukan. Metode maserasi dilakukan karena memiliki kelebihan yaitu cara pengerjaan dan peralatan sangat sederhana dan mudah, meskipun memiliki kekurangan yaitu pengerjaan lama dan pengekstrakan kurang sempurna. Filtrat hasil maserasi dilakukan pemekatan dengan rotary evaporator sampai etanol menguap, dengan perhitungan kurang lebih 1/10 cairan tersisa dari volume filtrat awal, ekstrak kental diperoleh berwarna coklat tua. Penggunaan etanol sebagai bahan pengekstrasi pada proses maserasi karena menurut Harbone (1996),
alkaloid dari
tumbuhan bersifat basa sehingga untuk melarutkannya dapat dilakukan dengan alkohol yang bersifat asam lemah. Etanol merupakan pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Selain itu menurut Achmadi (1990), cara pemilihan pelarut didasarkan pada selektifitas, mudah penanganannya, ekonomis, dan ramah lingkungan. Ekstrak kental berwarna coklat tua selanjutnya diasamkan dengan HCl 0,1 M sampai memiliki pH 2-3. Tujuan pengasaman ini untuk melarutkan alkaloid di dalam air dalam bentuk garam amina (Robinson 1995). Amina bereaksi dengan asam kuat membentuk garam alkilamonium. Jenis reaksi ini digunakan untuk memisahkan amina dari zat netral atau zat yang larut dalam air bersuasana asam. Gambar 6 menampilkan mekanisme reaksi sebagai berikut (Fessenden & Fessenden 1997, Hart et al. 2003) :
R3N
+ H
+
X
R3N
H
X
Gambar 6 Reaksi amina dengan asam kuat (Sumber : Fessenden dan Fessenden 1997, Hart et al. 2003) Hasil pengasaman dipartisi dengan menggunakan diklorometan (CH2Cl2) sebanyak 3 kali sehingga didapat dua lapisan yaitu lapisan air atau asam dan lapisan diklorometan. Lapisan air diambil kemudian dibasakan dengan NH4OH
6 % sampai
pH 9-10 dan membentuk endapan. Proses tersebut sesuai dengan Robinson (1995) serta Hart, Craine & Hart (2003). Pada reaksi amina dengan asam kuat menghasilkan garam amina, yang dapat dibebaskan dari garamnya dengan membasakan larutan dengan basa kuat seperti NH4OH (Gambar 7).
R3NH Cl
-
NH4OH
R3NH2 + NH4+Cl- + H2O
air
Gambar 7 Reaksi pembasaan asam amina dengan cara pembasaan Prosedur untuk mendapatkan ekstrak kasar alkaloid dari akar Albertisia papuana Becc yang dilakukan dalam penelitian ini, pada prinsipnya sesuai dengan pernyataan Wet (2005) dalam disertasinya, ada dua prosedur umum untuk mendapatkan ekstrak alkaloid yaitu ekstraksi alkaloid secara analitik dan secara bulk yaitu melalui tahap pengasaman
dengan mengunakan asam kuat dan tahapan pembasaan untuk
mengendapkan alkaloid.
Rendemen Hasil ekstraksi sampel Albertisia papuana Becc mendapatkan rendemen sebesar 0,43 % dari berat kering serbuk sampel. Lavault et al. (1987) mengekstraksi alkaloid dari Albertisia Papuana, diperoleh rendemen sebesar
4,6 % dari serbuk kering
sebesar 207 gram. Barbosa-Filho et al. (2000) memperoleh rendemen sebesar 1,24 % ekstrak kasar alkaloid dari daun Albertisia delageonsis dan 0,5 % rendemen untuk bagian tanaman yang menjalar di tanah (rizome) tumbuhan tersebut. Sementara Lohombo-Ekomba et al. (2004) pada jenis Albertisia sp bagian tumbuhan kulit akar, diperoleh rendemen yang lebih besar, yaitu 6,6 %.
Perbedaan hasil rendemen tersebut diduga disebabkan proses pembasaan amina dari garamnya tidak maksimal. Uji fitokimia pada Albertisia papuana Becc bagian supernatan fase basa menunjukkan adanya kandungan alkaloid cukup pekat (+++), yang mengindikasikan belum maksimal proses pembasaan, diduga disebabkan pH yang dibutuhkan harus lebih dari 10. Perbedaan rendemen ini disebabkan tempat tumbuh ekstrak sampel tumbuhan, karena kondisi alam dan tanah mempengaruhi kandungan metabolit sekunder (Harbone 1996). Perbedaan tersebut juga karena perbedaan sampel yang digunakan, serta dengan bertambahnya usia tumbuhan dan menumpuknya senyawa metabolit sekunder pada bagian tumbuhan. terkonsentrasi pada bagian
Umumnya senyawa alkaloid
bagian kulit tumbuhan, daun, akar dan bakal buah
(Robinson 1995).
Kandungan Fitokimia Simplisia Albertisia papuana Becc mengandung alkaloid, fenol hidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin dan saponin, akan tetapi yang negatif untuk flavonoid (Tabel 2).
Adanya senyawa golongan alkaloid pada simplisia, sesuai dengan yang
dilaporkan pada suku Menispermaceae (Henry 1913, Merie 1986, Simanjuntak 1995, Lohombo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005). Uji kualitatif alkaloid pada ekstrak pekat alkaloid menunjukkan adanya alkaloid, yang lebih banyak dibandingkan supernatan fase basa maupun simplisianya. Tabel 2 Hasil uji fitokimia Albertisia papuana Becc pada simplisia, ekstrak kasar alkaloid dan supernatan fase basa Senyawa
Simplisia
Ekstrak kasar Supernatan fase alkaloid basa +++ ++++ ++ Alkaloid Flavonoid + + + Fenol Hidrokuinon + + + Triterpenoid + ++ Steroid ++ + + Tanin +++ ++ ++ Saponin Keterangan: (-) : tidak terdeteksi; (+) : positif lemah; (++) : positif; (+++) : positif kuat; dan (++++) : positif sangat kuat.
D
W
M
S
E
Sp
Gambar 8 Uji fitokimia alkaloid: Dragendorf (D), Wagner (W) dan Mayer (M) terhadap simplisia (S), ekstrak kasar alkaloid (E), dan supernatan fase basa (Sp) dari Albertisia papuana Becc. Hasil uji positif alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna berturut-turut putih, coklat, dan merah jingga terhadap pereaksi Dragendorf, Wagner, dan Mayer (Gambar 8). Prinsip uji ini adalah reaksi penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid dapat mengganti lignan iodo pada pereaksi Mayer sehingga membentuk endapan putih sebagai kompleks alkaloid. Pada uji ini, sebagai pengekstrak alkaloid dari bahan tumbuhan awal adalah kloroformamoniak dan digunakan larutan asam untuk memisahkan. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol merupakan dasar penentuan adanya senyawa flavonoid pada sampel. Uji positif untuk triterpenoid serta steroid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu triterpenoid serta hijau atau biru untuk steroid. Saponin dapat membentuk buih yang stabil selama 10 menit setelah larutan sampelnya dikocok selama 10 menit. Senyawa tanin umumnya terdapat pada tanaman berpembuluh dan memberikan rasa sepat sehingga dapat berpotensi sebagai antifeedant, antioksidan, dan penghambat pertumbuhan tumor. Senyawa triterpenoid juga dapat memberikan rasa pahit dan saponin jika dikonsumsi berlebihan bersifat toksik. Kandungan alkaloid pada simplisia terdeteksi lebih lemah dibandingkan alkaloid pada ekstrak kasar alkaloid, kemungkinan
alkaloid masih ada didalam rongga sel
tumbuhan (Fengel dan Wegener 1995). Pada ekstrak alkaloid dan supernatan, alkaloid
mampu dilarutkan oleh pelarut etanol sementara pada supernatan masih ada alkaloid dalam bentuk garam amina.
Uji Anti Plasmodium Ekstrak Kasar Alkaloid Albertisia papuana Becc Hasil perhitungan uji anti plasmodium ekstrak kasar alkaloid dari Albertisia papuana Becc terlampir pada Lampiran 5, data hasil analisisnya ditampilkan pada Tabel 3. Dasar panen P. falciparum pada inkubasi 48 jam karena masa siklus parasit fase eritrosit dari bentuk cincin dan tropozoit membelah dan berkembang membentuk skizon membutuhkan waktu 48 jam. Waktu inkubasi 72 jam untuk melihat pengaruh penghambatan pada parasit sesudah siklus pertama lengkap (Pasvol 1992, Sutamihardja et al. 2009). Persentase penghambatan P. falciparum galur W2 dan D6 dengan masa inkubasi 48 jam dan 72 terhadap ekstrak kasar alkaloid, baik pada konsentrasi 10 µg/mL dan 1000 µg/mL tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, berdasarkan Tabel 3 dan grafik pada Gambar 9. Tabel 3 Persentase penghambatan P. falciparum terhadap ekstrak kasar alkaloid Konsentrasi (µg/mL)
Penghambatan (%)
Inkubasi 48 jam Inkubasi 72 jam W2 D6 W2 D6 0,01 5,17 15,43 14,31 24,78 0,1 16,79 21,65 19,86 33,13 1 55,88 69,90 32,79 55,47 10 86,06 97,16 83,60 83,60 100 100,00 100,00 100,00 100,00 1000 100,00 100,00 100,00 100,00 Keterangan: W2 : galur resisten klorokuin, D6 : galur sensitif klorokuin Hasil penelitian Syamsudin et al. (2007), menunjukkan adanya perbedaan masa inkubasi 72 jam lebih besar persentase penghambatan dibanding dengan masa inkubasi 24 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semakin lamanya kultur terpapar dengan ekstrak uji dan siklus fase hidup parasit kemungkinan sudah memasuki siklus berikutnya.
Pengujian antipalsmodium dengan menggunakan galur W2 dan D6, tujuannya untuk mengetahui efektivitas ekstrak/obat antimalaria yang dinilai dari sensitivitas atau resistensi parasit terhadap ekstrak tersebut (Purwantiningsih 2003). Hasil pengujiannya ditampilkan pada Tabel 3. Persentase penghambat pertumbuhan parasit pada galur resisten klorokuin (W2) dan galur sensitif klorokuin (D6) menunjukkan adanya perbedaan, D6 lebih besar tingkat persentase penghambatnya dibandingkan dengan W2 baik untuk 48 jam inkubasi dan 72 jam inkubasi. Menurut Tuti (1992) bahwa dalam tubuh parasit ada gen yang resisten dan yang sensitif terhadap ekstrak/obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi/lebih dominan dari pada gen yang lain, sehingga menimbulkan resisten dan galur sensitif. Adanya mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit resisten terhadap ekstrak/obat dengan dosis tertentu. Sehingga parasit tersebut hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit walaupun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan konsentrasi standar maupun pada konsentrasi yang lebih tinggi, yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat ( Tjitra 2000). Jenis galur W2 yang digunakan dalam penelitian ini resisten terhadap klorokuin (NAMRU-2 2009). Berdasarkan data tersebut sehingga ekstrak kasar alkaloid dari akar Albertisia papuana Becc, diduga kemampuan penghambatan pertumbuhan parasit serta mekanisme sama dengan klorokuin. Menurut Tjitra (1994) dan Simanjuntak (1995), klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-animokuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malarie. Uji anti plasmodium bahwa ekstrak kasar alkaloid dari akar Albertisia papuana Becc mampu menghambat pertumbuhan skizon P. falciparum. Pertumbuhan skizon terhambat bila protein yang berlangsung pada tahap trofozoit tidak terjadi (Iwo 1996). Mekanisme ekstrak kasar alkaloid ini diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat sintetik klorokuin, karena struktur klorokuin menunjukkan struktur alkaloid. Menurut Tuti (1992) serta Sukarban dan Zunilda (1995) mekanisme kerja klorokuin ini diduga berhubungan dengan sintesis asam nukleat dan nukleoprotein yaitu terhambat sintesa enzim pada parasit dalam polimerisasi DNA (Asam Deoksiribonukleat) dan RNA (Asam Ribonukleat). Ekstrak alkaloid bersenyawa dengan DNA sehingga proses
pembelahan dan pembentukan RNA terganggu pada parasit P. falciparum maka pertumbuhan parasit terhambat. Gambar 9 menunjukkan grafik regresi linier sederhana yang menunjukkan semakin meningkatnya konsentrasi ekstrak kasar alkaloid dari akar Albertisia papuana Becc mampu meningkatkan menghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum galur W2 dan D6 sampai persentase penghambat 100 %.
140 y = 21,542x - 14,746 r = 0,926
120 100 80 60 40 20
Penghambatan (%)
Penghambatan (%)
140
y = 19,576x - 1,1593 r = 0,927
120 100 80 60 40 20
0 0,01 0,1 W2
1
10
0
100 1000
0,01
Konsentrasi (ug/mL)
D6
0,1
1
10
100
1000
Konsentrasi (ug/mL)
Inkubasi 48 jam pada galur W2 dan D6
Penghambatan (%)
100 80 60 40 20 0
y = 17,271x + 5,77 r = 0,974
100 80 60 40 20 0
0,01 W2
120
Penghambatan (%)
y = 20,562x - 13,541 r = 0,951
120
0,1
1
10
100 1000
Konsentrasi (ug/ml)
0,01 D6
0,1
1
10
100
1000
Konsentrasi (ug/ml)
Inkubasi 72 jam pada galur W2 dan D6 Gambar 9 Grafik penghambatan P. falciparum oleh ekstrak kasar alkaloid Pelarut ekstrak uji anti plasmodium yang digunakan adalah etanol, sehingga etanol digunakan sebagai kontrol positif. Setelah masa inkubasi 48 jam
dan 72 jam,
diharapkan pertumbuhan parasit berada dalam fase skizon sebanyaknya 10 % atau lebih
(20 skizon atau lebih per 200 asexual parasit) pada sumur kontrol etanol (WHO 2008). Kalau pertumbuhan skizon kurang dari 10 artinya skizon tidak tumbuh dengan baik, atau diduga terhambat oleh pelarut ekstrak uji atau etanol. Persentase pertumbuhan skizon pada media kontrol etanol pada 72 jam inkubasi W2 sebesar 41,5 % dan D6 sebesar 46,5 %. Pada 48 jam inkubasi W2 sebesar 56,5 % dan D6 sebesar 68,17 %. Penelitian ini pertumbuhan parasit sudah memenuhi standart WHO dalam pengujian ekstrak uji atau obat. Perbedaan pertumbuhan skizon berdasarkan masa panen diduga karena 72 jam inkubasi skizon pecah, sebagian membentuk parasit fase cincin dan gametosit (siklus berikutnya). A (Kontrol etanol)
B (Konsentrasi ekstrak 0,01 µg/mL)
C (Konsentrasi ekstrak 10 µg/mL)
D (Konsentrasi ekstrak 100 µg/mL)
Gambar 10 P. falciparum pada slide apusan darah tebal (pembesaran 25 μm)
Gambar 10 menunjukkan bahwa parasit P. falciparum pada fase skizon tumbuh dengan baik dalam media kontrol etanol. Pada konsentrasi terendah yaitu 0,01 μg/mL, skizon masih tumbuh dengan baik. Terlihat dari ciri-ciri bentuk skizon yaitu terdapat inti parasit lebih dari tiga berwarna merah menyala, plasma berwarna biru kecoklatan dari titik-titik Maurer (ciri-ciri parasit) berwarna merah. Pada konsentrasi 10 μg/mL masih terdapat tropozoid dan skizon dan pada konsentrasi 100 μg/mL skizon sudah tidak tumbuh bahkan parasit dalam bentuk cincin di temukan dalam keadaan tidak sehat, terlihat hanya titik kecil berwarna hitam tanpa plasma berbentuk ekor atau cincin berwarna biru.
Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak kasar alkaloid difraksinasi menggunakan kromatografi kolom kilas tetapi terlebih dahulu ditentukan eluen terbaik mengunakan kromatografi Lapis Tipis analitik (KLT), dengan penyerap silika gel. Metode pemisahan kandungan tumbuhan menurut Harbone (1996), dilakukan dengan menggunakan salah satu tehnik kromatografi atau gabungan dari teknik tersebut. Kombinasi pelarut yang digunakan adalah campuran diklorometan : metanol (1:1) dan
campuran
aseton : metanol (9:1). Hasil penapisan ini menunjukkan pelarut
diklorometana : metanol memiliki pemisahan spot yang terbaik dan diperoleh 8 spot. Campuran pelarut aseton : metanol menghasilkan pola spot yang tidak baik. Pola spot kedua kombinasi pelarut ditampilkan pada Gambar 11, terlihat adanya pemisahan spot yang kurang baik polanya pada campuran aseton : metanol dibandingkan dengan pola spot campuran diklorometan : metanol yang baik. Pemilihan pelarut pengembang dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian
Lohombo-Ekomba et al. (2004),
tehnik pemilihan ini didukung juga oleh Gritter et al. (1991), menyatakan bahwa pemilihan pelarut pengembang dapat didasari dari informasi pustaka yang diacu.
A
B
Gambar 11 Pola KLT ekstrak kasar alkaloid: Campuran A (diklorometana : metanol (1:1)) dan Campuran B (aseton : metanol (9:1)). Pola pada KLT dihitung nilai Rfnya. Nilai Rf menunjukkan adanya perbedaan sifat molekul senyawa tersebut. Molekul paling lemah diabsobrsi oleh absorben terlebih dahulu dan akan bergerak membentuk pola yang paling tinggi kemudian diikuti oleh molekul senyawa yang lebih rendah. Sehingga kecilnya nilai Rf menunjukkan semakin tingginya berat molekul senyawa. Pergerakan suatu senyawa dalam ekstrak alkaloid di KLT akan bergantung pada kesamaan polaritasnya dengan polaritas eluen. Senyawa yang non polar akan semakin lama tertahan pergerakannya jika menggunakan pelarut yang polar begitu juga sebaliknya. Banyak spot pada KLT mengindikasikan banyaknya senyawa metabolit sekunder pada ekstrak kasar alkaloid.
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Kilas Fase gerak yang digunakan pada kromatografi kolom kilas yaitu diklorometana : metanol (1:1). Semakin menurunnya nilai polaritas sistim eluen, semua komponen akan terelusi lebih lambat. Sebaliknya, semakin meningkatnya nilai polaritas sistem eluen, semua komponen akan terelusi lebih cepat. Fasa diam yang digunakan adalah silika gel (SiO) yang bersifat polar. Laju alir yang digunakan adalah laju alir sedang, yaitu 3 mL/menit dengan suhu berkisar
27-28 oC. Sampel yang akan disuntikkan
dilarutkan terlebih dahulu menggunakan diklorometana : metanol (1:1). Sebanyak 3 mL sampel disuntikkan agar proses elusi dapat berjalan secara lancar dan ekstrak pekat alkaloid tidak tersumbat pada pori silika gel. Elusi yang digunakan dalam fraksinasi ini adalah elusi isokratik. Elusi ini digunakan karena untuk menghemat pelarut dan efisiensi waktu.
Meningkatnya laju eluen dalam proses elusi sampel disebabkan oleh tekanan udara. Waktu pemisahan cepat disebabkan oleh mekanisme partisi solut antara eluen dan fasa diam menjadi lebih cepat. Eluen dan kromatografi kolom kilas dipisahkan berdasarkan volume retensi senilai 3 mL. Bila warna sampel yang disuntikan dalam kromatografi kolom kilas berwarna kuning pudar, menunjukkan bahwa sampel mengandung alkaloid terelusi seluruhnya. Proses fraksinasi dengan kromatografi kolom kilas dihentikan, dan menghasilkan sebanyak 268 tabung reaksi. Penentuan jumlah fraksi dilakukan dengan menggunakan KLT analitik, yaitu eluat yang memiliki pola KLT (nilai Rf dan warna pola) yang sama digabungkan menjadi satu fraksi. Pola penggabungan fraksi tersebut tergambar pada Gambar 12.
Gambar 12 Penggabungan fraksi KLT berdasarkan pola papuana Becc
dari ekstraksi Albertisia
Setiap fraksi dikeringkan lalu beratnya ditimbang dan dihitung rendemennya. Fraksi
F7 memiliki rendemen yang paling besar, yaitu sebesar 7,80%, sedangkan
rendemen yang terkecil sebesar 3,01% pada fraksi F8. Ke 8 fraksi ini selanjutnya di uji anti plasmodium untuk memperoleh fraksi teraktif. Rendemen dari delapan fraksinasi tersebut di tampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Rendemen delapan fraksi dari ekstrak kasar alkaloid Albertisia papuana Becc Fraksi F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
Rendemen (%) 6,80 7,40 6,29 5,87 4,74 6,10 7,96 3,01
Warna fisik fraksi Kuning pucat Kuning Kuning pekat Kuning pink Pink pekat Pink muda Kuning pink pucat Kuning pudar
Uji Anti Plasmodium Fraksi Alkaloid Albertisia papuana Becc Hasil uji aktivitas antiplasmodium pada beberapa konsentrasi fraksi alkaloid dari Albertisia papuana Becc, ditampilkan dalam bentuk Tabel 5 dan Gambar 13 menunjukkan hubungan antara konsentrasi fraksi terhadap persentase penghambatan pertumbuhan P. falciparum. Tabel 5 Persentase penghambatan P. falciparum pada beberapa konsentrasi fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc Fraksi F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8
1 70,50 83,90 9,29 0,00 21,15 11,22 16,35 4,81
Konsentrasi (μg/mL) 10 66,00 97,75 27,88 0,00 4,81 25,64 19,23 5,45
100 89,00 100,00 45,19 0,00 15,06 24,36 44,87 16,03
Penghambatan (%)
100 80 60 40 20 0 1
10
100
Konsentrasi (ug/mL) 1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 13 Grafik persentase penghambat P falciparum terhadap fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc Delapan fraksi yang dilakukan uji anti P. falciparum, fraksi F1 dan F2 menunjukkan persentase penghambatan diatas 66 %. Terutama pada fraksi F2 menunjukkan persentase penghambatan 100 % pada konsentrasi 100 μg/mL. Fraksi F3, F5, F7 dan F8 menunjukkan persentase penghambatan yang kecil, yang berarti ketidak aktifan fraksi terhadap pertumbuhan P. falciparum. Pada fraksi F4 tidak ada persentase penghambatan, menurut Tuti et al. (1994) diduga pada fraksi F4 mengandung bakteri dan jamur, sehingga mengkontaminasi parasit pada sumur uji. Ditandai adanya perubahan warna darah pada sumur uji menjadi berwarna coklat yang berarti sel darah merah sudah lisis. Waktu pemanenan tidak terjadi pemisahan antara darah dan supernatan. Sehingga tidak dapat dibuat slide apusan darah tebal. Warna darah rusak tersebut ditampilkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Lempeng sumur pengujian
Dibandingkan dengan ekstrak alkaloid bisbenzylisoquinolin dari batang Triclisia patens nilainya IC50 (paeantin) = 1,43 µg/mL, piknamin = 0,15 µg/mL, aromalin = 0,67 µg/mL terhadap P. falciparum (Simanjuntak 1995). Ekstrak alkaloid dari daun Albertisia delegoensis dengan nilai IC50 = 4,1 µg/mL dan batangnya IC50 = 1,6 µg/mL mampu menghambat pertumbuhan P. falciparum (Wet 2005), menunjukkan bahwa fraksi alkaloid dari Albertisia papuana Becc daya persentase penghambatnya lebih baik. Hasil uji anti plasmodium ekstrak kasar alkaloid (Tabel 3) dengan alkaloid fraksi F2 (Tabel 5) pada pada konsentrasi 10
µg/mL
memperlihatkan persentase
penghambatan yang tidak berbeda nyata, diduga proses pemisahan belum sempurna dan pada fraksi F2 merupakan bukan senyawa alkaloid murni
didukung dengan pola
penggabungan pola (Gambar 12). Gambar 12 menampilkan Fraksi aktif F2 ditampung dari tabung reaksi nomor 35 sampai 77 yang mempunyai pola yang sama.
Karakteristik Fraksi Aktif Identifikasi Spektrofotometer UV-VIS Hasil spektrofotometer UV fraksi F2 ekstrak kasar
alkaloid dari Albertisia
papuana Becc menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang 282,5 nm dan serapan tambahan pada panjang gelombang 241 nm, 232,5 nm dan 220,5 nm (Gambar 15). Serapan antara 220-230 nm adalah serapan untuk imina terkonjugasi transisi π - π *. Adanya serapan maksimum pada panjang gelombang 282,5 nm disebabkan pengasaman dari amina menghasilkan suatu muatan positif pada nitrogen sehingga terjadi geseran serapan ke arah 270-290 nm (Silverstein et al. 1984).
Gambar 15 Grafik Spektrofotometer UV-Vis fraksi F2 Albertisia papuana Becc
Analisis Spektrum Inframerah Spektrum inframerah memberikan informasi tentang gugus fungsional yang terkandung dalam struktur molekul, terutama bermanfaat untuk menetapkan jenis ikatan yang ada dalam molekul. Kisaran frekuensi inframerah memiliki energi sekitar 2 sampai 12 kkal/mol. Jumlah energi ini cukup untuk mempengaruhi getaran ikatan tetapi tidak dapat memutuskan ikatan. Spektrum senyawa fraksi ditampilkan pada Gambar 16.
Overtone benzene CH2 OH
C=C Kibasan N_H
CH3 stretch
C-N C-O
Gambar 16 Grafik Spektrum inframerah senyawa fraksi F2 Albertisia papuana Becc Serapan pada 3350 cm-1 mengindikasikan adanya gerak ulur N-H sekunder yang tidak muncul karena adanya serapan gugus –OH yang lebih kuat dibandingkan –
NH. Pendapat tersebut didukung oleh Fessenden dan Fessenden (1999), ikatan hidrogen mempunyai pengaruh pada lebarnya absorpsi infra merah yang berasal dari ikatan OH atau NH. Absorpsi amina (NH) lebih lemah dari pada alkohol (OH). Karena ikatan hidrogen amina lebih lemah dari pada ikatan gugus fungsi alkohol (Silverstein et al. 1984). Adanya serapan pada 1050 cm-1 merupakan serapan gugus C-N stretch tak terkonjugasi dalam amina sekunder yang mendukung adanya gugus N-H sekunder. Serapan pada 1095 cm-1 diduga merupakan serapan dari C=O. Adanya gugus aromatik atau benzen diikuti oleh tiga ciri pada spektrum yaitu overtone pada 1090 cm-1, terdapat gugus aromatik C=C yang di tunjukkan adanya empat puncak lemah pada kisaran 1450-1600 cm-1, serta pada daerah sidik jari terdapat banyak puncak, walaupun tidak selalu demikian. Gugus fungsi pendukung lain yang ditunjukan oleh gambar spektrum inframerah adalah CH3 stretch didaerah 2980 cm-1 dan CH2 2870 cm-1. Hasil interpretasi tersebut menunjukkan bahwa pada fraksi Albertisia papuana Becc memiliki senyawa aktif anti malaria di duga golongan alkaloid. Hasil pembacaan spektrum inframerah pada Gambar 16 dikelompokan dalam beberapa gugus fungsi, yang ditampilkan pada Tabel
5. Pendapat tersebut didukung Leboeuf et al.(1982), Lavault et al. (1987),
Simanjuntak (1995), Lohombo-Ekomba et al. (2004),
Wet (2005),
bahwa jenis
Triclisia patens, Tiliacora triandra, Albertisia villosa, Albertisia delagoensis termasuk suku Menispermacea. Suku ini sama dengan Albertisia papuana Becc mengandung senyawa golongan alkaloid berdasarkan gugus fungsi hasil interpretasi spektrum inframerah. Tabel 5 Perbandingan panjang gelombang (cm-1) No.
Fraksi aktif Literatur* Gugus fungsi (cm-1) (cm-1) C-N stretch 800-1100 1050 1. 1050-1260 C-O eter 1090 2. 1450-1600 C=C aromatik 1475 3. 2800-3000 CH2 2870 4. 2960-3000 CH3 stretch 2960 5. 3200-3400 -N-H 3350 6. 3000-3700 OH 3325 7. 1750-2000 Overtone benzene 1925 8. 666-909 670 9. Kibasan N-H *) Sumber: Silverstein et al. (1984), Fessenden dan Fesenden (1986).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ekstrak kasar alkaloid sungkai sayur menghambat pertumbuhan parasit pada galur Plasmodium falciparum
yang resisten (W2) maupun sensitif (D6) terhadap
klorokuin. 2. Fraksi F2 merupakan fraksi teraktif yang menghambat pertumbuhan skizon galur yang resisten (W2) Plasmodium falciparum pada konsentrasi 1, 10, dan 100 μg/mL sebesar 83,9 %, 97,75 %, dan 100 %, secara berturut-turut. 3. Hasil spektrum inframerah pada fraksi F2 menunjukkan gugus fungsi, yaitu C-N strech, C-O eter, C=C aromatik, CH2, CH3 strech, -N-H, OH, dan overtone benzene, yang diduga suatu senyawa alkaloid.
Saran Proses ekstrasi kasar alkaloid harus diperhatikan pada tahap pemberian basa agar diperoleh rendemen yang optimal. Perlu diteliti jenis senyawa alkaloid dari fraksi murni serta struktur alkaloid yang berpotensi sebagai obat anti malaria. Perlunya optimalisasi konsentrasi alkaloid untuk anti plasmodium.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Proses ekstraksi dari Albertisia papuana Becc pada penelitian ini belum mendapatkan senyawa alkaloid murni. 2. Hasil spektrum inframerah dari fraksi F2 Albertisia papuana Becc menunjukkan gugus fungsi, yaitu C-N strech, C-O eter, C=C aromatik, CH2, CH3 strech, -N-H, OH, dan overtone benzene, yang diduga suatu senyawa alkaloid 3. Ekstrak kasar alkaloid dan fraksi F2 pada konsentrasi 10 μg/mL dari Albertisia papuana Becc mempunyai kemampuan yang sama menghambat pertumbuhan parasit Plasmodium falciparum sebesar 97,16-97,75 %.
Saran Proses ekstrasi kasar alkaloid harus diperhatikan pada tahap pemberian basa agar diperoleh rendemen yang optimal. Perlu diteliti jenis senyawa alkaloid dari fraksi murni serta struktur alkaloid yang berpotensi sebagai obat anti malaria. Perlunya optimalisasi konsentrasi alkaloid untuk anti plasmodium.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi SA. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Achmadi SA.1990. Kimia Kayu. Penelaah : Wasrin Syafii. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor Arlan P. 2006. Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Jakarta. Penerbit PT. Niaga Swadaya. Barbosa-Filho JM, Da-Cunha EVL. 2000. Alkaloid The Menispermaceae. Copyright by Academic Press Boesri H. 1994. Pemanfaatan Tanaman Dalam Penanggulangan Malaria. Media Litbangkes Vol. IV No. 01/1994 Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 1997. Biologi. Jakarta. Penerbit Erlangga. Christie WW. 1982. Extraction and Hydrolisis of Llipid and Some Reaction of Their Fatty Acid Components. Editor by : H.K. Manggold. G. Zweig, dan J. Shema,. In Hand Book Charmatography Lipifs. Vol. I. Boca Raton-Florida CRC Press. Inc., Davis R. 2006. History of Malaria. Royal Perth Hospital. Dari web site : http://www.rph.wa.goy.vu/malaria/history.html. Di akses pada tanggal 23 Maret 2009 Dewick PM. 1999. Medical Natural Product, a Biosynthesis Approach. New York John Wiley & Sons, Ltd. Fax dan Whitersell, 1994. Organic Chemistry. London : Jones and Bartlett Publisher. Fenssender RJ, Fessenden JS. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. Sukmariah Maun, Kamianti Anas dan Tilda S. Sally : penerjemah. Binarupa Aksara. Jakarta. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1999. Kimia Organik Jilid I. Aloysius Hadyana Pudjaatmaka : penerjemah. Jakarta : Erlangga. Gritter RJ, Bobbit JM, Schwarting AE. 1991. Pengantar Kromatografi. . Ed-2. Kosasih Padmawinata : penerjemah. Bandung. ITB. Terjemahan dari : Introduction to chromatography. Harbone JB. 1996. Metode Fitokimia. Kosasih Padmawinata dan Iwang Soedro, penerjemah; Bandung : ITB. Terjemahan dari : Phytochemical methods
Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia Organik. Suminar Setia Achmadi : penerjemah. Erlangga. Terjemahan dari : Organic chemistry. Hayne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta : Badan litbang Kehutanan . Henry TA. 1913. The Plant Alkaloid. J & A Chruchill. London. Iwo MI, 1996. Efek antimalaria falciparum in vitro dan mekanisme kerja ektrak metanol dan fraksi kloroform korteks Aistonia scholaris (L.) R.Br. dan daun Cassia siamea Lamk. Serta toksisitas dan isolasi alkaloid dari kortek A. scholaris (L.) R.Br. [Desertasi] Prrogram S3 Matematika dan IPA ITB. Dari ITB Central Library Jansen JB. 2000. In vitro culture of Plasmodium parasites. Editor by : Denise L. Dolan In book : Malaria Methods and Protoclos. Human Press. Kakkilaya’s BS. 2006. History of Malaria Treatment. Dari web site : http://www.malariasite.com/malaria/histor_treatment.htm. Di akses pada tanggal 23 Maret 2009, Katno, Pramono S. 2008. Tingkat manfaat dan keamanan tanaman obat dan obat tradisional. Dari home page : www.cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20trasiobal.pdf-\. Di akses pada tanggal 27 Juli 2009. Kaufman PB, Cseke LJ, Warber S, Duke JA, Brielmann HL.1999. Natural Products from Plants. Boca Raton: CRC. Lavault M et al. 1987. Alcaloiods bisbenzylisoquinolěiques de Albertisia cf. A. Papuana. Journal Chem Vol. 65. 1987. Leboeuf M, Abouchacra ML, Sevent T, Cavě A. 1982. Alcaloides de Albertisia papuana Becc. Měnispermacěes. Plant. Med Phytother. 16 :280-291. Lohombo-Ekomba et al. 2004. Antibacterial, antifungal, antiplasmodial and cytotoxic activities of Albertisia villosa : Jurnal of ethnopharmacology 93 (2004) 331-335. www.elsevier.com/locate/jethpharm Mann. J. 1987. Secondary Metabolism. Ed-2. Oxford. Claredon Press Merie L, Jean B, Adrie C, Kai CC, Jean RD, Thierry S, Guinaudeau H. 1987. Alcaloїdes bisbenzylisoquinoléoues de Albertisia cf. A. papuana. Can. J. Chem. Vol. 65. 1987. France. Meloan CF. 1996. Chemical Separation. Prinsiples, Techniques and Expremints. New York. John Wiley and Sons Inc.
NAMRU-2. 2009. Penuntun Cara Kerja Pembiakan Kultur P. falcifarum. Konikasi langsung dengan Budi Lakhasana. Jakarta Pasvol G, Clough B, Carirsson J. 1992. Malaria and the red cell membrane. Blood Review. 6; 183-192. Pharm GHE, Afshar A. 1982. A simple method o in-vitro culture of Plamodium falciparum in screw-capped vials. Iranian Journal Publ Healt 1982, Vol. 11, No 3,4(57-62). Péréz EG, Sáez J, Cassels BK. 2005. A convenient, renewable source of the anxiolytic proaporhine alkaloid glaziovine : Duguetia vallicola leaves : Journal Chil Chem Soc 50. No 3 (2005) page : 553-557 Prabowo A. 2006. Malaria : Mencegah dan mengatasi. Jakarta. PT. Niaga Swadaya. Purwantiningsih. 2003. Artemisinin dari Artemisia seacrorum, Ledeb dan turunannya sebagai komponen bioaktif antimalira. [Desertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robinson T. 1995. Kadungan organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Kosasih Padmawinta dan Tetet Sutomo : penerjemah. Penerbit ITB. Terjemahan dari : The organic constituents of higher plants Ross
N, Flaningan. 2006. Antimalaria drug. Dari web site : http://www.healthatoz.com/healthoz/Atoz/common/standar. Di akses pada tanggal 24 Maret 2009.
Rusnialdi T. 2006. Isolasi dan uji aktivitas peestisida senyawa metabolit sekunder fraksi diklorometan kulit batang tumbuhan Toona sinensis. [skripsi] UPI. Bandung. Dari website : http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0222107-104529. Di akses pada tanggal 27 Juni 2009. Safawi Z. 2008. Membebaskan Negeri dari Malaria. Dari web www.zubersafawi.blogspot.com. Di akses pada tanggal 24 Maret 2009.
site
:
Sarker SD, Nahar L. 2007. Chemistry for Pharmacy Students. General, Organic and Natural Product Chemistry. Chichester : John Wiley. Silverstein, Bassle, Morrill. 1984. Penyidik Spektrometrik Senyawa Organik. Edisi ke empat. A.J. Hartono., Anny Victor Purba : penerjemah. Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : Spektrometeric Indentification of Organic Compounds. Fourth Edition. Simanjuntak P. 1995. Tumbuhan sebagai sumber zat aktif antimalaria. Buletin Peneliti Kesehatan 23 (2).
Sutamihardja A, Krisin, Wangsamuda S, Rogers WO. 2009. Buku Panduan Pelatihan Diagnosa Mikroskopi Malaria. Cetakan IX. Departemen Parasitologi Medis US NAMRU-2 Jakarta. Solmons F, 2004. Organic Chemistry. USA :John Willev and Sons. Inc Sukarban S, Zunilda SB, 1995. Obat Malaria. Di buku Farmakologi dan terapi. Editor : Sulistia G. Ganiswarna et al. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. TAPPI. 1996. T 257 cm-85. Sampling and Preparing Wood for Analysis. In Book TAPPI Test Methods 1996-1997. Atlanta Georgia.TAPPI PRESS. Tjitra E. 1994. Obat-obat baru anti malaria. Cermin Dunia Kedokteran No. 94. 1994. Tjitra E. 2000. Obat antimalaria dalam malaria : Epidemilogi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. Tjay TH, Raharja K. 2007. Obat-obat penting. Khasiat, penggunaan dan efek-efek sampingannya. Jakarta : Elex Media Komputindo. Tuti S. 1989. Masalah Obat Anti Malaria. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 54. 1989 Tuti S. 1992. Resitensi Plasmodium falciparum terhadap beberapa obat anti malaria di Indonesia. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 76. 1992. Tuti S, Suwarni, Harjani AM. 1994. Pengembangan biakan in-vitro plasmodium falciparum secara kontinu. Buletin Penelitian Kesehatan 22 (1) 1994. Vickery MC, Vickery B. 1981. Secondary plant Metabolism. Baltimore : University Park Oress. Wet DH. 2005. An Ethnobotanical and Chemotaxonomic Study of South African Menispermaceae. Thesis submitted in fulfilment of the requirements for the degree Philosophiae Doctor in Botany in the Faculty of Science at the University of Johannesburg Wet DH, Heerden FRV, Wyk BEV, Zyl RLV. 2007. Antiplasmodial activity and cytotoxicity of Albertisia delagoensis. Jurnal Elsevier. Fitoterapia 78 (2007) 420422. www.elsevier.com/locate/fitote Wet DH, Wyk BEV. 2008. An etthnobotanical survey of southern African Menispermaceae. South African Journal of Botani. 74 (2008) 2-9. www.sciencedirect.com
WHO. 2008. In vitro micro-test (Mark III) for the assessment of the response of Plasmodium falciparum to chloroquine, mefloquine, quinine, amodiaquine, sulfadoxine/pyrimethamine and artemisin. Wold Health Organisation. New York.
Lampiran 1 Hasil identifikasi tumbuhan
Lampiran 2 Diagram alir ekstraksi alkaloid
DIAGRAM ALIR EKSTRAKSI ALKALOID 500 g serbuk Albertisia papuana Becc Disokhlet dengan heksan selama 8 jam
Filtrat
Residu Dimaserasi dengan etanol 80 % (3 x 24 jam), disaring
Lemak Filtra
Residu
Dipekatkan dengan vakum rotary evaporator Uji Fito Kimia
Ekstrak pekat Dilarut dalam air + HCl 0,1 M (pH 2-3), diektraksi dengan CH2Cl2
Fase CH2Cl2
Fase Asam
Dibasakan dengan NH4OH 6 % pH 9-10 diendapkan dengan pemusingan Endapan alkaloid Dicuci dengan NH4OH 1 % dan dikeringkan Alkaloid kasar
Lampiran 3 Diagram alir pembukaan kultur P. falcifarum Stock Parasit dari tabung N2 + 1 mL NaCl 3,5 % Disentrifus 1500 rpm 7 menit + 1 mL NaCl 3,5 % Disentrifus 1500 rpm 7 menit
Supernatan dibuang
+ 1 ml serum Disentrifus 1500 rpm 7 menit
Supernatan dibuang
+ medium pencuci sampai 10 mL sebanyak 2 kali
Supernatan dibuang
Disentrifus 1500 rpm 7 menit
Supernatan dibuang
Endapan
+ 4 mL Growth Medium (GM)
Di campur + 2 mL GM
Suspensi Cawan Petri
+ 2 mL GM
Suspensi Cawan Petri
Diinkubasi dalam inkubator 37 oC
Lampiran 4 Kadar air sampel Albertisia papuana Becc Berat basah 2,0003 2,0007 2,0006
Berat kering Bb+Bk 3,9647 1,9644 3,9294 1,9287 3,9593 1,9587 Rata-rata
Bk+kering 3,8940 3,8586 3,8888
Kadar Air (%) 3,53 3,54 3,52 3,53
No . 1
2
Lampiran 5 Data perhitungan jumlah skizon per 200 parasit yang hidup pada apusan darah tebal 1. Masa Inkubasi 48 jam Konsentrasi ekstrak kasar alkaloid(µg/ml) Kontrol Galur Ulangan 0,01 0,1 1 10 100 1000 Etanol W2 1 96 96 89 16 0 0 107 2 103 90 77 19 0 0 123
D6
3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
94 97,67 4,726 102 109 112 107,67 5,132
87 91 4,583 86 97 89 90,67 5,686
63 76,33 13,013 13 18 24 18,33 5,508
21 18,67 2,517 3 8 7 6 2,645
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
109 133 26 144 127 138 136,333 8,622 68,17%
No .
2.Masa Inkubasi 72 jam Galur Ulangan
1
(W2)
2
(D6)
1 2 3 Rata-rata SD 1 2 3 Rata-rata SD
Konsentrasi ekstrak kasar alkaloid(µg/ml) 0,01 0,1 1 10 100 1000 ∑ skizon 80 72 47 9 0 0 72 63 29 15 0 0 84 72 34 10 0 0 78,67 69 36,67 11,33 0 0 6,11 5,19 9,252 3,215 0 0 71 74 24 2 0 0 86 64 33 2 0 0 79 80 27 4 0 0 78,67 72,67 8 267 0 0 7,506 8,082 4,583 1,155 0 0
Kontrol Etanol 85 75 89 83 7,211 86 95 98 93 6,245
Lampiran 6 Rendemen fraksi dan persentase penghambatan a) Rendemen delapan fraksi alkaloid eksktrak Albertisia papuana Becc Fraksi Bk Bk + Fraksi B. Fraksi 0,0681 72,6982 72,6301 1. 0,0741 72,3560 72,2182 2. 0,0630 73,0046 72,9416 3. 0,0588 80,6017 80,5429 4. 0,0475 76,4038 76,3563 5. 0,0611 66,2386 66,1775 6. 0,0798 73,7785 73,6987 7. 0,0302 73,5395 73,5093 8.
R% 6,80 7,40 6,29 5,87 4,74 6,10 7,96 3,01
b) Data persentase penghambatan P. Falcifarum galur W2 pada fraksi Bahan uji Konsentrasi Jumlah skizon 1 2 3 Rerata Kontrol 1 31 29 31 30,67 105 Fraksi 1 10 30 47 29 35,33 97 100 5 11 18 11,33 97 1 12 131 107 120,33 110 Fraksi 2 10 100 99 115 104,67 100 120 106 95 107 1 102 90 91 94,33 Fraksi 3 10 69 75 81 75 100 54 61 56 57 1 12 21 17 16,67 Fraksi 4 10 0 2 5 2,33 *100 0 0 0 0 1 81 76 89 82 Fraksi 5 10 101 96 100 99 100 98 79 88 88,33 1 93 95 89 92,33 Fraksi 6 10 67 92 89 77,33 100 76 83 73 78,67 1 99 86 76 87 Fraksi 7 10 80 81 91 84 100 46 56 70 57,33 1 100 97 100 99 Fraksi 8 10 97 98 100 98,33 100 72 91 99 87,33 * : Hasil terkontaminasi jamur