ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR MOLEKUL BIOAKTIF DARI SPONS LAUT Neopetrosia chaliniformis
RESI ARDIANTI
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Isolasi dan Elusidasi Struktur Molekul Bioaktif dari Spons Laut Neopetrosia chaliniformis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016 Resi Ardianti G44144014
ABSTRAK RESI ARDIANTI. Isolasi dan Elusidasi Struktur Molekul Bioaktif dari Spons Laut Neopetrosia chaliniformis. Dibimbing oleh NOVRIYANDI HANIF dan ANDI SETIAWAN. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan menentukan suatu struktur molekul bioaktif spons laut Neopetrosia chaliniformis asal perairan Lampung. Lapisan BuOH (4.0278 g) ditemukan memiliki toksisitas (LC50) paling ampuh terhadap embrio ikan zebra, yaitu 61 µg/mL. Fraksionasi lapisan BuOH menghasilkan 6 fraksi A–F dengan fraksi teraktif F (LC50 12 µg/mL) diperoleh sebanyak 1.4482 g. Fraksi F menyebabkan matinya sel pada embrio ikan zebra dengan persentase malformasi 76%. Molekul 3 (0.5 mg) diisolasi dari sejumlah tertentu fraksi F (15.4 mg) menggunakan KCKT. Struktur planar dan stereostruktur molekul 3 dielusidasi menggunakan data gabungan rotasi spesifik [α]D, bobot molekul, data NMR 1D (1H dan 13C) dan 2D, analisis energi minimum konformasi dengan Spartan ‘14, serta perbandingan dengan data pustaka. Berdasarkan semua data tersebut, molekul 3 adalah (+)-araguspongin C, suatu molekul simetri C2 alkaloid bis-1-oksakuinolizidina dengan konfigurasi relatif 2R*, 9R*, 10S*, 2'R*, 9'R*, 10'S*. Kata kunci: alkaloid, elusidasi struktur, embrio ikan zebra, Neopetrosia chaliniformis, NMR
ABSTRACT RESI ARDIANTI. Isolation and Structure Elucidation of a Bioactive Molecule from the Marine Sponge Neopetrosia chaliniformis. Supervised by NOVRIYANDI HANIF and ANDI SETIAWAN. The aim of the study is to isolate and elucidate the molecular structure of a bioactive molecule from marine sponge Neopetrosia chaliniformis collected from Lampung waters. The BuOH layer (4.0278 g) was found as the most potent layer against zebrafish embryo (LC50 61 µg/mL). Fractionation of the BuOH layer gave 6 fractions A–F in which the most active fraction F (LC50 12 µg/mL) was obtained 1.4482 g. Fraction F caused 76% cell death malformations in zebrafish embryos. Molecule 3 (0.5 mg) was isolated from a portion of the fractions F (15.4 mg) using HPLC. Planar and stereostructure of 3 were elucidated by combining data of specific rotation [α]D, molecular weight, NMR 1D (1H and 13C) and 2D, and minimum energy of conformations by Spartan '14 as well as comparing with literature information. On the basis of these data, the molecule 3 is (+)araguspongin C, an alkaloid symmetry C2 molecule, bis-1-oxaquinolizidine, with the relative configuration 2R*, 9R*, 10S*, 2'R*, 9'R*, 10'S*. Keywords: alkaloid, Neopetrosia chaliniformis, NMR, structure elucidation, zebrafish embryo
ISOLASI DAN ELUSIDASI STRUKTUR MOLEKUL BIOAKTIF DARI SPONS LAUT Neopetrosia chaliniformis
RESI ARDIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Isolasi dan Elusidasi Struktur Molekul Bioaktif dari Spons Laut Neopetrosia chaliniformis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Novriyandi Hanif dan Dr Andi Setiawan selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, dukungan, nasehat, serta kesabaran sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Junichi Tanaka, Peni Ahmadi, MSc (Laboratorium Kimia Organik, University of the Ryukyus, Jepang) untuk penggunaan fasilitas utama spektroskopi (NMR), spektrometri (MS), dan instrumentasi lainnya, Kusdiantoro Mohamad, MSi (Laboratorium Embriologi, FKH, IPB) untuk uji toksisitas dan fenotipe ikan zebra, Bapak Sabur, Ibu Yeni Karmila, dan Ibu Kurniawati untuk bantuan teknis di Laboratorium Kimia Organik, IPB, Dr Nicole J de Voogd (Naturalis Biodiversity Center, Belanda) untuk identifikasi spons laut N. chaliniformis dan seluruh staf UPT Laboratorium Terpadu, Sentra Inovasi dan Teknologi, Universitas Lampung, serta teman-teman yang mendampingi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, dan keluarga atas doa dan dukungan moral lainnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Resi Ardianti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Metode HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Pemurnian Molekul Aktif Struktur Molekul 3 Toksisitas Fraksi Teraktif terhadap Embrio Ikan Zebra SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii vii 1 1 2 3 3 3 5 5 6 12 15 15 16 16 20 33
DAFTAR GAMBAR Struktur halichondrin B (1) dan eribulin mesilat (Halaven®) (2) Spons laut N. chaliniformis Kromatogram fraksi RN-1-2-2-1-6 (F) menggunakan KCKT Usulan substruktur A1-A2 dari spektrum COSY Korelasi NMR 2D (COSY, HSQC, HMBC) molekul 3 Struktur planar molekul 3 Korelasi NOESY dan analisis konstanta kopling molekul 3 (A) dan konformasi molekul 3 dengan energi minimum hasil perhitungan MMFF dan semi empiris AM1 (B) 8 Struktur molekul 3 [(+)–araguspongin C)] 9 Usulan tahapan biosintesis kerangka araguspongin/ xestospongin 10 Morfologi embrio ikan zebra normal dan abnormal (sel mati), jpf: jam pasca fertilisasi (bar 300 µm)
1 2 3 4 5 6 7
2 5 6 8 9 9
10 11 12 15
DAFTAR TABEL 1 Bobot fraksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom dan nilai toksisitasnya 2 Geseran NMR 1H dan 13C molekul 3 3 Data HSQC dan HMBC molekul 3 4 Jumlah embrio ikan zebra yang hidup, mati, dan menetas pada pemberian fraksi aktif spons laut Neopetrosia chaliniformis 5 Efek teratogenik pada embrio ikan zebra akibat paparan fraksi aktif
6 7 8 13 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Diagram alir penelitian 2 Toksisitas lapisan heksana, CH2Cl2 dan BuOH terhadap embrio ikan zebra 3 Hasil fraksionasi dengan kromatografi kolom 4 Spektrum HRMS molekul 3 5 Spektrum NMR 1H molekul 3 6 Spektrum NMR 13C molekul 3 7 Spektrum COSY molekul 3 8 Spektrum HSQC molekul 3 9 Spektrum HMBC molekul 3 10 Spektrum NOESY molekul 3 11 Toksisitas pada 48 dan 96 jpf fraksi RN-1-2-2-1-6 (F)
20 21 24 25 26 27 28 28 29 29 30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17 508 dan garis pantai sepanjang 81 000 km diakui sebagai salah satu dari 25 pusat keanekaragaman hayati dunia (biodiversity hotspots) baik teresterial maupun laut (Myers et al. 2000). Kekayaan keanekaragaman hayati dianggap sebagai cermin dari kekayaan molekul bioaktif dan merupakan sumber berharga untuk penyediaan obat baru dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang kimia organik. Beberapa contoh signifikan telah ditunjukkan dengan adanya penghargaan hadiah Nobel Kimia tahun 1990, 2008, 2010, dan Fisiologi 2015 (The Nobel Foundation 2016) yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pencarian molekul bioaktif dari laut dan teresterial. Saat ini lebih dari 15 000 senyawa baru asal laut telah diisolasi dan sebanyak 8 368 di antaranya ditemukan dari dekade 2001–2010. Hasil ini merupakan setengah dari jumlah keseluruhan senyawa organik yang telah ditemukan sejak tahun 1951 (Mehbub et al. 2014). Lautan memiliki kekayaan bahan alam jauh lebih besar dibandingkan dengan teresterial (Dias et al. 2012). Organisme laut terutama kelompok invertebrata hidup pada kondisi lingkungan yang cukup ekstrem sehingga mereka dapat menyintesis metabolit sekunder unik yang dapat digunakan sebagai zat pertahanan diri dari predator, fungsi komunikasi, dan sebagai sumber nutrisi (Soriano et al. 2012). Metabolit tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi obat karena memiliki aktivitas beragam seperti antitumor, antikanker, antibakteri, dan antivirus (Macintyre et al. 2014). Halichondrin B (1) (Gambar 1) asal spons Halichondria okadai merupakan salah satu contoh senyawa berpotensi tinggi sebagai antitumor (Uemura et al. 2012). Molekul ini telah disintesis sebagai eribulin mesilat (Halaven®) (2) yang merupakan analog sebagian dari halikondrin B dan dipasarkan sebagai obat antikanker payudara (Molinski et al. 2009; Molinski 2014). Salah satu spons laut yang sangat menarik dalam kimia bahan alam ialah spons laut genus Neopetrosia. Spons laut genus ini terdiri atas 27 spesies (Qaralleh 2016) dan mengandung berbagai jenis metabolit sekunder dengan struktur dan aktivitas biologis yang beragam. Kandungan kimia metabolit sekunder spons Neopetrosia sp. dapat dikelompokkan paling sedikit menjadi 3 golongan, yaitu alkaloid, peptida, dan kuinon. Golongan alkaloid Neopetrosia sp. terdiri atas beberapa jenis, yaitu tetrahidroisokuinolina renieramisin J sebagai zat sitotoksik (Oku et al. 2003), polisiklik eksiguamina A sebagai inhibitor enzim indolamina-2,3-dioksigenase (Brastianos et al. 2006), dan nukleosida piridina A dan B (Shubina et al. 2015). Golongan peptida spons tersebut diwakili oleh molekul neopetrosiamida sebagai inhibitor invasi mirip ameba pada sel tumor (Williams et al. 2005), sedangkan golongan kuinon dicontohkan oleh eksiguakuinol, suatu hidrokuinon pentasiklik yang mempunyai aktivitas antibakteri (Leone et al. 2008) dan neopetrosikuinon A dan B, suatu seskuiterpena benzokuinon yang mempunyai aktivitas antitumor (Winder et al. 2011).
2
Gambar 1
Struktur halichondrin B (1) dan eribulin mesilat (Halaven®) (2) (Uemura et al. 2012)
Metabolit sekunder asal organisme laut yang digunakan sebagai pertahanan diri ada yang bersifat toksik terhadap ikan (Bai et al. 2016). Fenomena ini umum dalam lingkungan laut, dan berdasarkan fenomena ini dapat dikembangkan metode untuk mengevaluasi aktivitas berbagai metabolit sekunder asal organisme laut menggunakan ikan sebagai hewan uji. Ikan zebra (Danio rerio) merupakan model vertebrata yang telah banyak digunakan dalam pencarian obat baru dan menjadi alternatif uji toksisitas terhadap ikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Meskipun uji toksisitas in vivo embrio ikan zebra (ZFET) telah banyak digunakan untuk mengevaluasi keamanan obat, belum banyak yang melaporkan aplikasinya untuk pengujian bahan alam asal laut. Uji toksisitas menggunakan embrio ikan zebra juga dapat digunakan sebagai panduan isolasi berdasarkan bioaktivitas dan penapisan awal bahan alam laut (Bai et al. 2016). Ikan zebra dapat mewakili spesies vertebrata. Selain itu, penggunaan embrio ikan zebra sebagai hewan uji memiliki kelebihan, yaitu berkembang secara serentak, morfologi transparan, bersifat permeabel terhadap obat-obatan, dan dapat dengan mudah dimanipulasi menggunakan pendekatan genetika dan molekular (Kari et al. 2007). Hasil uji toksisitas pada embrio ikan zebra terbukti memiliki korelasi positif dengan hasil uji toksisitas pada mamalia (Ma et al. 2007).
Tujuan Penelitian bertujuan mengisolasi molekul aktif dari spons laut Neopetrosia chaliniformis asal Lampung dengan uji toksisitas in vivo embrio ikan zebra serta mengelusidasi struktur molekul tersebut melalui teknik spektroskopi dan spektrometri.
3
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan ialah alat-alat kaca, radas kromatografi kolom (Ø 239 × 27 mm), penguap putar Buchi R-210, penguap putar Heidolph Value G3 Vertical, pelat 24 dan 36-sumur, mikropipet (Fisherbrand elite) 100–1000 µL, neraca analitik (Kern), kamera digital (Nikon), mikroskop sistem terinversi IX70 (Olympus), spektrometer massa resolusi tinggi (HRMS) JEOL JMS-T 100LP, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) Hitachi L-6000 (detektor RI-101 Shodex dan SPD-20A Shimadzu), kolom Cosmosil 5C8-MS 4.6 × 250 mm, komputer dengan perangkat lunak SPSS versi 23 dan Spartan’14, spektrometer nuclear magnetic resonance (NMR) Bruker Biospin Avance III 500 pada frekuensi 500 MHz (1H) dan 125 MHz (13C), dan polarimeter JASCO DIP-1000. Bahan-bahan yang digunakan ialah spons laut N. chaliniformis, telur ikan zebra, silika gel 60 (0.040–0.063 mm) untuk kromatografi kolom, pelat kromatografi lapis tipis (KLT) silika gel 60 F254, air deionisasi, natrium sulfat (Na2SO4) anhidrat, pereaksi Dragendorff, pelarut NMR kloroform terdeuterisasi (CDCl3), pelarut etanol (EtOH) 70% berair, pelarut bermutu p.a. metanol (MeOH), EtOH, n-heksana, metilena klorida (CH2Cl2), n-butanol (BuOH), dimetil sulfoksida (DMSO), kloroform (CHCl3), etil asetat (EtOAc), amonium hidroksida (NH4OH), serta pelarut MeOH dan asetonitril (MeCN) untuk KCKT.
Metode Metode penelitian ini secara umum dibagi menjadi beberapa tahap sesuai dengan diagram alir pada Lampiran 1, yaitu koleksi sampel, ekstraksi dan partisi, purifikasi, uji toksisitas dengan embrio ikan zebra, dan elusidasi struktur molekul aktif. Koleksi Sampel Sampel spons laut dikoleksi dari lepas pantai teluk Lampung dengan menggunakan self-contained underwater breathing apparatus (SCUBA) pada bulan September tahun 2014, pada kedalaman 5–10 meter oleh Dr Novriyandi Hanif. Sebanyak 700 g sampel diambil dan segera direndam dalam EtOH 70%. Sampel spons laut diidentifikasi taksonominya oleh Dr Nicole J de Voogd (Naturalis Biodiversity Center, Leiden Belanda) sebagai spons laut Neopetrosia chaliniformis. Ekstraksi dan Partisi Ekstraksi dan partisi dilakukan berdasarkan metode Hanif et al. (2007). Sampel N. chaliniformis yang direndam dalam EtOH 70% disaring. Selanjutnya residu diekstraksi kembali dengan pelarut MeOH sebanyak 3 × 500 mL. Seluruh filtrat digabung dan dipekatkan dengan penguap putar vakum sehingga didapatkan ekstrak pekat. Ekstrak pekat setelah ditimbang dipartisi dengan n-heksana dan 90% MeOH-H2O. Lapisan heksana dipisahkan dengan lapisan 90% MeOH-H2O.
4 Selanjutnya lapisan 90% MeOH-H2O dipartisi kembali dengan CH2Cl2 dan 50% MeOH-H2O. Lapisan CH2Cl2 dipisahkan, kemudian lapisan 50% MeOH-H2O dipartisi kembali dengan BuOH dan H2O. Lapisan organik yang didapatkan (heksana, CH2Cl2, dan BuOH) kemudian dipekatkan dan diuji toksisitasnya dengan embrio ikan zebra. Uji Toksisitas terhadap Embrio Ikan Zebra Metode uji toksisitas lapisan heksana, CH2Cl2, dan BuOH dimodifikasi dari Wei et al. (2010). Larutan stok sampel dibuat dalam konsentrasi 2000 g/mL. DMSO ditambahkan apabila ekstrak tidak larut. Sebanyak 10 embrio ikan zebra yang baru menetas dimasukkan dalam 1 mL air tawar dan ditambah ekstrak sehingga didapatkan konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 g/mL. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali dan diinkubasi selama 24 jam. Embrio ikan zebra yang mati dihitung, kemudian konsentrasi mematikan 50% (LC50) ditentukan dengan analisis probit menggunakan perangkat lunak SPSS IBM versi 23. Nilai LC50 ini digunakan sebagai acuan untuk deret konsentrasi dalam uji fenotipe embrio ikan zebra. Uji fenotipe embrio ikan zebra mengacu pada OECD (2013). Fraksi teraktif hasil pemurnian dengan kromatografi kolom dilarutkan dengan sedikit DMSO 1% dan ditambahkan air deionisasi hingga diperoleh konsentrasi 0.5, 1, 2, 4, 6, dan 8 g/mL. Sebanyak 6 pelat 24-sumur disiapkan, masing-masing terdiri atas 20 embrio sebagai perlakuan dengan setiap konsentrasi. Satu pelat 24-sumur disediakan untuk kontrol negatif dan 1 pelat lainnya untuk kontrol pelarut DMSO. Selanjutnya, pelat yang telah berisi embrio ikan zebra ditempatkan pada suhu kamar dan diamati setiap 24 jam sampai dengan 96 jam (4 hari) menggunakan mikroskop sistem terinversi (Olympus) yang terhubung dengan komputer dan kamera foto. Pengamatan meliputi hidup atau mati dan abnormalitas. Pengamatan abnormalitas berupa kelainan pada sumbu tubuh, kepala, ekor, sirkulasi darah, mata, jantung, pigmentasi, somit, dan kantung kuning telur. Purifikasi Lapisan aktif hasil partisi cair-cair dimurnikan dengan kromatografi kolom terbuka dengan fase diam silika gel 60 (0.040–0.063 mm) dan fase gerak CHCl3 dan MeOH (9:1 sampai 5:5). Fraksi yang diperoleh diperiksa dengan KLT dan dideteksi nodanya dengan pereaksi Dragendorff untuk alkaloid. Fraksi yang memiliki nilai faktor retensi (Rf) sama digabungkan dan diuji toksisitasnya. Fraksi aktif terpilih selanjutnya dimurnikan dengan KCKT analitik fase diam C8 Ø 4.6×250 mm dan fase gerak H2O:MeOH:NH4OH (2:7:0.3) dengan laju alir 1 mL/menit hingga diperoleh senyawa murni (3). Detektor yang digunakan ialah detektor indeks bias (RID) dan detektor UV 215 nm. Elusidasi Struktur Molekul dengan Polarimeter, NMR, dan HRMS Senyawa murni yang diperoleh diukur sudut putarnya dengan polarimeter dalam pelarut MeOH. Bobot molekul dan rumus molekul ditentukan dengan spektrometri massa resolusi tinggi (HRMS). Gugus fungsi dan struktur planar molekul 3 ditentukan berdasarkan spektrum NMR 1H pada frekuensi 500 MHz, spektrum NMR 13C pada frekuensi 125 MHz, spektrum distortionless enhancement of polarisation transfer (DEPT) 135, correlation spectroscopy
5 (COSY), heteronuclear single quantum correlation (HSQC), dan heteronuclear multiple bond correlation (HMBC). Struktur 3D ditentukan dari spektrum nuclear overhauser effect spectroscopy (NOESY), analisis tetapan kopling (J), dan analisis konformasi menggunakan perangkat lunak Spartan’14. Energi minimum dihitung dengan medan gaya mekanika molekuler (MMFF) (El-Desoky et al. 2016; Liang et al. 2015) dengan optimasi lanjut menggunakan metode semiempiris AM1. Konformer awal ditetapkan sejumlah 10 000, selanjutnya konformer yang diperoleh dioptimasi dengan metode semiempiris AM1 (Liang et al. 2015). Pengukuran spektroskopi NMR dilakukan dalam pelarut CDCl3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Pemurnian Molekul Aktif Sampel spons laut N. chaliniformis (Gambar 2) dikoleksi dari lepas pantai Teluk Lampung dengan kedalaman 5–10 meter. Menurut Qaralleh (2016), spons ini terdistribusi di laut Indonesia dan termasuk ke dalam salah satu jenis spons genus Neopetrosia yang belum banyak dipelajari secara kimia. Sampel yang telah dikoleksi segera direndam dalam EtOH 70% dan disimpan pada suhu rendah untuk meminimumkan perubahan bioaktivitas metabolit sekunder dalam sampel selama perjalanan ke laboratorium. Maserasi dengan pelarut MeOH menghasilkan ekstrak pekat sebanyak 40.95 g. Partisi cair-cair ekstrak pekat MeOH dengan pelarut heksana, CH2Cl2, dan BuOH menghasilkan bobot setiap lapisan berturutturut sebesar 0.68 g, 3.07 g, dan 4.03 g.
Gambar 2 Spons laut N. chaliniformis Lapisan BuOH (LC50 61 µg/mL) dipilih untuk dimurnikan lebih lanjut karena lapisan ini bersifat paling toksik terhadap embrio ikan zebra dibandingkan dengan lapisan CH2Cl2 (LC50 294 µg/mL) dan heksana (LC50 221 µg/mL) (Lampiran 2). Toksisitas ekstrak dinyatakan dalam satuan LC50, artinya konsentrasi zat uji yang dapat membunuh setengah populasi uji (Zhang et al. 2007). Lapisan BuOH merupakan lapisan paling polar yang diketahui banyak mengandung senyawa golongan alkaloid (Rodriguez 2000). Alkaloid asal spons Neopetrosia memiliki aktivitas yang cukup beragam, seperti sitotoksik dan antibakteri (Zhou et al. 2010).
6 Lapisan BuOH selanjutnya dimurnikan dengan kolom kromatografi terbuka dengan fase diam silika gel dan fase gerak campuran pelarut CHCl3 dan MeOH secara gradien. Kromatografi kolom fase normal lebih baik digunakan untuk memisahkan senyawa golongan alkaloid yang secara umum strukturnya terdiri atas cincin atau rantai hidrokarbon yang bersifat nonpolar dan atom nitrogen yang dapat berinteraksi kuat dengan fase diam silika gel. Oleh karena itu, dibutuhkan pelarut yang sangat polar untuk mengelusi dan memisahkan senyawa lebih lanjut. Campuran pelarut CHCl3 dan MeOH dapat digunakan untuk memisahkan campuran senyawa alkaloid tersebut (Rodriguez 2000). Pemisahan dengan kromatografi kolom menghasilkan 6 fraksi (Tabel 1) yang digabungkan atas dasar kemiripan Rf setelah dipantau dengan pereaksi alkaloid Dragendorff (Lampiran 3). Tabel 1
Bobot fraksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom dan nilai toksisitasnya Fraksi Bobot (g) LC50 (µg/mL) RN-1-2-2-1-1 (A) 0.0652 176 RN-1-2-2-1-2 (B) 0.0793 80 RN-1-2-2-1-3 (C) 0.2999 73 RN-1-2-2-1-4 (D) 0.4428 30 RN-1-2-2-1-5 (E) 0.2722 22 RN-1-2-2-1-6 (F) 1.4482 12
Sejumlah tertentu fraksi teraktif (F atau RN-1-2-2-1-6) yang merupakan fraksi paling polar dimurnikan lagi dengan KCKT analitik dengan fase diam C8 Ø 4.6×250 mm dan fase gerak H2O:MeOH:NH4OH (2:7:0.3). Senyawa murni 3 (0.5 mg) diperoleh dengan waktu retensi (tR) 59.88 menit (Gambar 3).
Gambar 3 Kromatogram fraksi RN-1-2-2-1-6 (F) menggunakan KCKT
Struktur molekul 3 Elusidasi struktur adalah suatu proses penentuan atau penyingkapan struktur molekul planar dan stereostrukturnya melalui beragam metode. Metode yang
7 dapat digunakan meliputi spektroskopi (NMR, MS, IR, UV, sinar-X, kiroptis) (Riguera 1997; Crews et al. 2010; Polavarapu 2016), komputasi (kalkulasi kimia kuantum) (Tantilo 2013; Hanif et al. 2015), reaksi kimia (degradasi atau sintesis) (Riguera 1997; Nicolau dan Synder 2005; Clayden et al. 2014), dan biosintesis (Leão et al. 2015). Molekul 3 diperoleh sebagai glass tidak berwarna. Spektrum HRMS (Lampiran 4) menunjukkan [M+H]+ 479.3859 (C28H51N2O4, +1.0 mmu), konsisten dengan rumus molekul C28H50N2O4 (5 bilangan takjenuh). Meskipun molekul 3 memiliki 28 atom C, hanya 14 sinyal C yang teramati pada spektrum NMR 13C. Hal ini menunjukkan bahwa molekul 3 memiliki simetri C2. Analisis spektrum NMR 1H (Lampiran 5) dan 13C (Lampiran 6) molekul 3 dirangkum dalam Tabel 2. Data NMR 13C molekul 3 menunjukkan geseran paling downfield (medan bawah) pada geseran kimia (δC) 90.48 ppm. Berdasarkan data ini, dapat dinyatakan bahwa molekul 3 tidak mengandung gugus karbonil dan alkena yang masing-masing muncul pada δ sekitar 100–150 dan >150 ppm berturut-turut (Field et al. 2015). Dari penelusuran pustaka, atom C dengan δC ~90 ppm merupakan atom yang mengikat atom N dan O (Kobayashi et al. 1989; Venkateswarlu dan Reddy 1994; Pettit et al. 1996; Orabi et al. 2002; Oku et al. 2003). Sinyal dengan δC 70.93 ppm diidentifikasi sebagai atom C kuaterner karena ketidakhadiran crosspeak pada spektrum HSQC. Perbandingan data NMR 1 H molekul 3 dengan data pustaka (Nakagawa dan Endo 1984; Kobayashi et al. 1989; Quirion et al. 1992; Orabi et al. 2002) menunjukkan bahwa atom C dengan δC 70.93 ppm adalah C kuaterner tersubtitusi gugus –OH. Tabel 2 Geseran NMR 1H dan 13C molekul 3 δH ppm (m, J Hz) δc ppm (m)a 4.07 s 21.04 3.56 t (10.6) 22.74 1.07 br d (13.6) 25.14 3.11 br t (12.4) 26.17 2.97 dd (13.6, 4.1) 29.77 3.04 td (11.8, 2.6) 31.64 2.35 dd (8.5, 2.2) 32.42 1.76 m 36.45 1.52 m 38.71 1.80 m 44.18b 1.40 m 52.62 1.30 m 70.93 76.69 90.48 a
Data didapatkan dari spektrum NMR 13C Data didapatkan dari spektrum HSQC
b
Data NMR 1H molekul 3 menunjukkan sinyal paling downfield pada δH 4.07 ppm yang merupakan sinyal singlet 1H yang diapit oleh atom elektronegatif. Geseran kimia δH 3.56 ppm menunjukkan proton berada pada medan bawah karena adanya atom elektronegatif seperti O atau N (Orabi et al. 2002). Selanjutnya, sinyal pada geseran 2.9–3.1 ppm merupakan sinyal yang berasal dari
8 gugus CH2 yang berada di samping atom N (Orabi et al. 2002). Berdasarkan data ini, molekul 3 mengandung heteroatom O dan N. Hasil analisis spektrum NMR 1H dan spektrum 2D COSY (Lampiran 7) memperlihatkan sederetan proton metilena (CH2). Spektrum NMR COSY menunjukkan korelasi proton-proton visinal (Field et al. 2015). Analisis spektrum 2D COSY menghasilkan 2 substruktur A1 dan A2 (Gambar 4).
Gambar 4 Usulan substruktur A1-A2 dari spektrum COSY Elusidasi struktur molekul 3 dilanjutkan dengan analisis spektrum HSQC (Lampiran 8) dan HMBC (Lampiran 9) yang dirangkum dalam Tabel 3. HSQC merupakan pengukuran NMR 2-dimensi yang menunjukkan korelasi H yang terikat secara langsung dengan atom C, sedangkan HMBC menunjukkan korelasi proton dengan karbon terdekat (2 atau 3 karbon), bukan karbon yang mengikat langsung proton tersebut. Korelasi juga dapat terjadi melalui atom C kuaterner dan jembatan heteroatom (Field et al. 2015). Tabel 3 Data HSQC dan HMBC molekul 3 1
H
13
C (HSQC) 4.07–90.48 3.56–76.69 3.11–52.62 2.98–52.62 3.04–44.18 2.36–44.18 1.82–21.04 1.53–21.04 1.76–26.17 1.07–26.17 1.42–22.74 1.31–22.74
1
H
13
C (HMBC) 4.07–44.18 4.07–70.93 2.98–76.69 2.98–90.48
1.31–70.93
9
δH δC
Gambar 5 Korelasi NMR 2D (COSY, HSQC, HMBC) molekul 3 Substruktur dari spektrum COSY dapat dirangkai menjadi bagian struktur (Gambar 5) berdasarkan data HSQC dan HMBC. Gambar 5 merupakan setengah bagian dari struktur molekul 3. Substruktur A1 dan A2 dihubungkan oleh adanya korelasi proton δH 4.07 ppm dengan karbon δC 44.18 ppm yang mengikat proton δH 2.35 dan δH 3.04 ppm (substruktur A2) serta korelasi proton δH 2.98–3.11 ppm (substruktur A1) dengan karbon δC 90.16 ppm yang mengikat proton δH 4.07 ppm. Struktur cincin A menjadi lengkap dengan adanya korelasi HMBC antara proton δH 1.31 ppm dan proton δH 4.07 ppm dengan karbon pada δC 70.34 ppm. Bagian struktur yang didapatkan pada Gambar 5 merupakan cincin 1-oksakuinolizidina yang merupakan ciri khas alkaloid golongan araguspongin dan xestospongin (Orabi et al. 2002). Karena data NMR dan bobot molekul menunjukkan molekul 3 memiliki simetri C2, 4 bilangan takjenuh telah berhasil diidentifikasi dari kehadiran 2 cincin 1-oksakuinolizidina. Untuk memenuhi 5 bilangan takjenuh dari molekul 3, 1 cincin harus ditambahkan sehingga menjadi penghubung antara 2 cincin 1-oksakuinolizidina. Struktur molekul 3 dapat ditulis secara lengkap seperti pada Gambar 6. Dari penelusuran pustaka, molekul 3 merupakan araguspongin C yang sebelumnya telah diisolasi dari spons laut Xestospongia sp. (Kobayashi et al. 1989).
Gambar 6 Struktur planar molekul 3
10 Konformasi sistem cincin oksakuinolizidina ditentukan dengan spektroskopi NMR 2D NOESY. NOESY dapat mengindentifikasi interaksi antara H yang berdekatan secara ruang (Field et al. 2015), sehingga stereokimia molekul 3 dapat ditentukan. Stereokimia cincin oksakuinolizidina tidak hanya terletak pada atom karbon kiral, tetapi juga meliputi orientasi relatif dari pasangan elektron bebas (PEB) atom N. Konformasi cincin oksakuinolizidina dapat menyerupai konformasi cis-dekalin atau trans-dekalin. Hal ini bergantung pada orientasi PEB atom N. PEB atom N memberikan efek geseran kimia upfield (medan atas) (δH 3.0–3.4 ppm) (Hoye et al. 1996) terhadap H yang antiperiplanar dengan PEB, karena adanya efek hiperkonjugasi n* membuat proton aksial terperisai, sedangkan proton yang berada pada posisi sinperiplanar terhadap PEB atom N teramati memiliki geseran kimia lebih downfield (δH 3.9–4.2 ppm) (Orabi et al. 2002). Hal ini disebabkan oleh kurangnya interaksi hiperkonjugasi PEB atom N, sehingga proton aksial kurang terperisai (Alabugin 2016). Berdasarkan data, geseran kimia H-10 cukup downfield (δH 4.07 ppm) dapat mengusulkan bahwa orientasi PEB atom N ialah sinperiplanar terhadap H-10. Orientasi PEB atom N ini menjadikan konformasi molekul 3 mirip cis-dekalin (Gambar 7A). 3.94 Å 2.3 Å
1.8 Å
2.3 Å
R S R
2.4 Å 3.6 Å
Gambar 7 Korelasi NOESY dan analisis tetapan kopling molekul 3 (A) dan konformasi molekul 3 dengan energi minimum hasil perhitungan MMFF dan semi empiris AM1 (B) Spektrum NOESY molekul 3 (Lampiran 10) memperlihatkan beberapa interaksi H-10 dengan H-4 dan H-2 yang menunjukkan bahwa proton H-10 cis terhadap salah satu H-4 dan H-2. Hal ini juga didukung oleh nilai tetapan kopling dengan H-2 (J = 10.6 Hz) dan dengan salah satu H-4 tersebut (J = 12.4 Hz) yang besar (3JHH diaksial = 11–13 Hz), membuktikan bahwa H-10, H-2 dan H-4 berada pada posisi aksial. Berdasarkan spektrum NOESY, salah satu H-3 (δH 1.07 ppm) juga diketahui berada pada posisi aksial karena memiliki interaksi diaksial dengan
11 H-2. Interaksi jarak jauh hingga melewati 4 atom C teramati pada H-3 ekuatorial dengan H-6 aksial. Hal ini terjadi karena konformasi mirip cis-dekalin menjadikan H-3 yang berada pada posisi aksial berdekatan dengan H-6 yang terikat pada posisi aksial juga. Proton pada δH 1.52 ppm (H-7) diketahui terikat pada posisi ekuatorial karena memiliki interaksi dengan H-6 aksial. Spektrum NOESY juga menunjukkan adanya interaksi antara proton geminal pada C-6 dengan nilai J = 8.5 Hz. Analisis NOESY juga didukung oleh jarak antaratom yang berinteraksi (Gambar 7 b). Jarak antaratom didapatkan dari konformasi molekul dengan energi terendah yang dihitung secara komputasi. NOESY dapat mendeteksi protonproton yang berjarak hingga 4 Å (El-Desoky 2016). Berdasarkan hasil analisis NOESY, struktur molekul 3 dapat dituliskan seperti pada Gambar 8. Konfigurasi relatif molekul 3 adalah 2R*, 9R*, 10S*, 2'R*, 9'R*, 10'S*. Data rotasi spesifik molekul 3 dalam MeOH menunjukkan [α]D25.9 + 42.8º (0.042, MeOH).
Gambar 8 Struktur molekul 3 [(+)–araguspongin C)] Alkaloid golongan araguspongin memiliki aktivitas sebagai vasodilator (Kobayashi et al. 1989), yaitu bersifat dapat menginduksi relaksasi pembuluh darah (Nakagawa dan Endo 1984). Aktivitas ini menjadi inspirasi dalam pencarian jalur biosintesis molekul aktif tersebut. Andersen et al. (1996) mengusulkan tahapan biosintesis kerangka alkaloid araguspongin/xestospongin dari propenal, NH3, dan dialdehida linear jenuh atau takjenuh dengan panjang rantai karbon yang beragam (Gambar 9). Reaksi kopling reduktif antara 1 ekuivalen NH3, 1 ekivalen propenal, dengan salah satu ujung dialdehida menghasilkan dihidropiridina (A) tersubstitusi alkil aldehida pada atom C-3. Selanjutnya dihidropiridina diperpanjang melalui reaksi kopling reduktif molekul NH3 dengan propenal dan ujung dialdehida lainnya menghasilkan dimer dihidropiridina (B). Siklisasi dimer dihidropiridina dan kondensasi ujung aldehida membentuk makrosiklik bis-3-alkildihidropiridina (C). Dibutuhkan 2 molekul dialdehida dengan 22 atom C untuk menghasilkan prekursor makrosiklik senyawa xestospongin/araguspongin (D). Oksidasi rantai alkil menghasilkan makrosiklik diketo (E) yang diikuti oleh pembentukan cincin heterosiklik. Selanjutnya terbentuk sistem cincin 1-oksakuinolizidina yang ditemukan dalam alkaloid xestospongin dan araguspongin (Andersen et al. 1996).
12
Gambar 9
Usulan tahapan biosintesis kerangka araguspongin/xestospongin (Andersen et al. 1996)
Toksisitas Fraksi Teraktif terhadap Embrio Ikan Zebra Ikan zebra merupakan salah satu hewan uji yang bersifat komplementer dengan model vertebrata dalam studi in vivo. Ikan zebra telah digunakan secara luas dalam pencarian obat baru dari bahan alam (Kari et al. 2007). Selain itu, embrio ikan zebra juga telah menjadi hewan uji alternatif untuk uji toksisitas akut ikan (Braunbeck et al. 2015). Embrionya yang transparan memudahkan pengamatan menggunakan mikroskop. Selain itu, embriogenesis ikan zebra sangat mirip dengan vertebrata tingkat tinggi termasuk manusia, sehingga ikan zebra sangat ideal sebagai model studi proses perkembangan embrio (Chakraborty et al.
13 2009). Uji toksisitas menggunakan embrio ikan zebra tidak hanya berdasarkan kematian embrio, tetapi juga berdasarkan efek teratogenik yang teramati saat embrio berkembang. Perubahan morfologi, seperti koagulasi telur, tidak terbentuknya somit, dan berhentinya gastrulasi menjadi titik kritis toksiknya senyawa uji (Bai et al. 2016). Embrio ikan zebra dipapar dengan bahan uji dari konsentrasi 0.5, 1, 2, 4, 6, hingga 8 µg/mL selama 96 jam dan diamati setiap 24 jam. Pemaparan bahan uji terhadap embrio ikan zebra secara umum menurunkan penetasan embrio. Pada konsentrasi 4 µg/mL, jumlah embrio yang menetas hingga 48 jam pascafertilisasi (jpf) hanya 55% (Tabel 4). Menurunnya jumlah embrio yang dapat menetas disebabkan oleh embrio telah mengalami koagulasi sebelum menetas akibat paparan bahan uji, sehingga berhenti berkembang. Pada konsentrasi lebih tinggi, yaitu 6 dan 8 µg/mL, semua embrio mengalami koagulasi. Koagulasi merupakan salah satu parameter matinya embrio. Embrio yang mengalami koagulasi secara kasatmata berwarna putih keruh dan tampak gelap apabila diamati dengan mikroskop. Parameter lain matinya embrio ialah ekor tidak lepas dari kantung kuning telur, tidak terbentuk somit dan tidak ada denyut jantung. Tidak terbentuknya somit ditandai dengan embrio yang tidak bergerak. Pada embrio normal, lepasnya ekor yang melekat pada kantung kuning telur diikuti oleh pemanjangan bagian depan tubuh embrio. Denyut jantung embrio dapat diamati setelah 48 jam pascafertilisasi. Pengamatan ada atau tidaknya denyut jantung dilihat pada perbesaran 80 kali selama 1 menit (OECD 2013). Tabel 4 Jumlah embrio ikan zebra yang hidup, mati, dan menetas pada pemberian fraksi aktif spons laut Neopetrosia chaliniformis Parameter Pascafertilisasi Perlakuan (jumlah embrio) (jam) K P1 P2 P3 P4 P5 P6 Hidup 24 20 20 20 20 20 0 0 48 20 20 20 20 14 0 0 72 20 20 20 19 9 0 0 96 20 20 20 19 5 0 0 Mati 24 0 0 0 0 0 20 20 48 0 0 0 0 6 20 20 72 0 0 0 1 11 20 20 96 0 0 0 1 15 20 20 Menetas 24 2 1 0 0 0 0 0 48 20 19 18 19 11 0 0 72 20 20 20 19 11 0 0 96 20 20 20 19 11 0 0 K = Kontrol negatif, Perlakuan fraksi aktif P1 = 0.5 µg/mL, P2 = 1 µg/mL, P3 = 2 µg/mL, P4 = 4 µg/mL, P5 = 6 µg/mL, P6 = 8 µg/mL
Nilai LC50 ditentukan dari jumlah embrio yang mati pada 48 dan 96 jpf. Nilai LC50 pada 96 jpf (3.6 µg/mL) sedikit lebih kecil daripada LC50 pada 48 jpf (4.3 µg/mL) (Lampiran 11), artinya semakin lama waktu paparan, semakin banyak bahan uji yang terakumulasi dalam tubuh embrio ikan zebra dan dapat membunuhnya. Nilai LC50 yang didapatkan dari hasil ZFET lebih kecil dibandingkan LC50 yang didapatkan pada uji toksisitas menggunakan embrio ikan
14 zebra sebelumnya. Perbedaan ini disebabkan oleh embrio yang digunakan berbeda. Pada uji ZFET, embrio yang digunakan masih berumur 0 jpf dan masih dibungkus oleh korion yang tipis, sehingga lebih peka, sedangkan pada uji toksisitas sebelumnya menggunakan embrio ikan zebra yang sudah menetas atau berumur 72 jpf. Selain itu, waktu pengamatan hingga 96 jpf juga menjadi faktor nilai LC50 yang didapatkan lebih kecil daripada uji toksisitas sebelumnya yang hanya dilakukan selama 24 jam. Fraksi aktif yang diuji menimbulkan efek teratogenik pada embrio ikan zebra (Tabel 5). Efek teratogenik merupakan efek penghambatan yang ditimbulkan oleh bahan uji, berupa kelainan perkembangan embrio. Hanya 1 malformasi mayor (≥ 50%) yang teramati, yaitu embrio dengan sel-sel mati, sedangkan malformasi minor (≤ 50%) teramati pada sumbu tubuh, sirkulasi darah, jantung, notokorda, dan kantong kuning telur. Tabel 5 Efek teratogenik pada embrio ikan zebra akibat paparan fraksi aktif Jenis abnormalitas Ʃa [%]b Sumbu tubuh 18 19 Otak 0 0 Sirip ekor 0 0 Sirkulasi 3 3.2 Mata 0 0 Jantung 14 15 Rahang 0 0 Notokorda 12 13 Gelembung pendengaran 0 0 Pigmentasi 0 0 Somit 0 0 Tubuh 0 0 Kantong kuning telur 16 17 Embrio dengan sel mati 72 76* a
Jumlah embrio yang terkena efek teratogenik pada seluruh konsentrasi dan waktu perlakuan Persentase malformasi yang diperoleh dari jumlah embrio yang terkena efek teratogenik per jumlah embrio abnormal pada semua konsentrasi dan waktu perlakuan * Malformasi mayor
b
Embrio yang terpapar bahan uji memiliki morfologi yang berbeda dengan kontrol (Gambar 10). Kontrol pada 24 hingga 96 jpf menunjukkan perkembangan embrio normal. Embrio normal ditandai dengan sumbu tubuh lurus dan organ yang jelas terbentuk sempurna. Pada konsentrasi 1 µg/mL, bahan uji belum menghambat perkembangan embrio. Malformasi mulai tampak pada embrio yang diberi perlakuan konsentrasi 2 µg/mL. Embrio masih dalam keadaan normal pada 24 jpf. Setelah menetas, malformasi sumbu tubuh terlihat pada 48, 72, hingga 96 jpf. Warna tubuh embrio juga lebih gelap dibandingkan dengan kontrol disebabkan oleh adanya sel-sel mati dalam tubuh embrio. Semakin lama waktu paparan, semakin banyak jumlah sel-sel mati sehingga perkembangan embrio terhenti. Sel-sel mati juga teramati pada embrio yang diberi perlakuan dengan konsentrasi 4 µg/mL pada 24 jpf. Oleh karena itu, semakin besar konsentrasi, jumlah sel-sel mati yang terbentuk semakin banyak. Banyaknya sel-sel mati ini menghambat proses penetasan akibat terganggunya perkembangan embrio.
15 Hingga 48 jpf, embrio yang dipapar dengan konsentrasi 4 µg/mL tidak mengalami perkembangan dan warna embrio menjadi semakin keruh mengindikasikan jumlah sel-sel mati meningkat. Efek lanjut dari terhentinya perkembangan embrio akibat meningkatnya jumlah sel-sel mati ialah kematian. Pada konsentrasi lebih tinggi, embrio tidak dapat berkembang dan langsung mengalami koagulasi.
Gambar 10 Morfologi embrio ikan zebra normal dan abnormal (sel mati), jpf: jam pascafertilisasi (bar 300 µm) Malformasi pada kantong kuning telur menunjukkan adanya gangguan pada penyerapan nutrisi oleh embrio. Edema perikardial merupakan malformasi pada jantung. Molekul aktif dalam fraksi yang diuji mengiritasi sel jantung sehingga membengkak. Pembengkakan terjadi karena meningkatnya jumlah cairan dalam jaringan yang mengalami peradangan (McGrath 2012). Malformasi mayor berupa sel-sel mati pada embrio merupakan abnormalitas yang bersifat tidak spesifik terhadap jaringan atau organ tertentu. Namun, dapat dilihat bahwa dengan adanya sel-sel mati tersebut dapat menghambat perkembangan embrio hingga menimbulkan koagulasi. Aktivitas seperti ini mirip dengan antimitosis, yakni menghambat terjadinya pembelahan sel. Obat yang memiliki aktivitas antimitosis biasanya digunakan dalam terapi kanker, karena dapat menghambat proliferasi sel kanker (van Vureen et al. 2015)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Molekul 3 (0.5 mg) diisolasi dari lapisan BuOH yang paling toksik (LC50 61 µg/mL). Hasil pemurnian lapisan BuOH dengan kromatografi kolom menghasilkan fraksi [RN-1-2-2-1-6 (F)] paling aktif yang menunjukkan aktivitas antimitosis terhadap embrio ikan zebra berdasarkan uji fenotipe. Pencirian KLT dengan pereaksi Dragendorff memperlihatkan warna jingga (positif), sehingga fraksi aktif tersebut mengandung alkaloid. Elusidasi struktur planar dan
16 stereostruktur molekul 3 berdasarkan gabungan data NMR 1D (1H, 13C), 2D (COSY, HSQC, HMBC, NOESY), bobot molekul (HRMS), dan rotasi spesifik, serta analisis konformasi dengan Spartan’14 menunjukkan molekul 3 adalah suatu molekul simetri C2 bis-1-oksakuinolizidina dengan [M+H]+ 479.3859 (C28H51N2O4, +1.0 mmu) konsisten dengan rumus molekul C28H50N2O4 (5 bilangan takjenuh). Konfigurasi relatif molekul 3 adalah 2R*, 9R*, 10S*, 2'R*, 9'R*, 10'S*. Molekul 3 bersifat aktif optis dengan rotasi spesifik sebesar +42.8. Molekul 3 diidentifikasi sebagai (+)-araguspongin C dan baru pertama kali diisolasi dari spons laut N. chaliniformis.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada uji ZFET menggunakan molekul (+)-araguspongin C agar aktivitas yang teramati lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA Alabugin IV. 2016. Stereoelectronic Effects, A Bridge between Structure and Reactivity. Hoboken (US): Wiley. Andersen RJ, van-Soest RWM, Kong F. 1996. 3-Alkylpiperidine alkaloids isolated from marine sponges in the order Haplosclerida. Alkaloids: Chem Biol Perspect. 7:301-355. doi: 10.1016/S0735-8210(96)80027-6. Bai H, Kong WW, Shao CL, Li Y, Liu YZ, Liu M, Guan FF, Wang CY. 2016. Zebrafish embryo toxicity microscale model for ichthyotoxicity evaluation of marine natural products. Mar Biotechnol. 18(2):264-270. doi: 10.1007/s1012 6-016-9688-6. Brastianos HC, Vottero E, Patrick BO, Soest RV, Matainaho T, Mauk AG, Andersen RJ. 2006. Exiguamine A, an indoleamine-2,3-dioxygenase (IDO) inhibitor isolated from the marine sponge Neopetrosia exigua. J Am Chem Soc. 128:16046-160047. doi: 10.1021/ja067211. Braunbeck T, Kais B, Lammer E, Otte J, Schneider K, Stengel D, Stecker R. 2015. The fish embryo test (FET): origin, applications, and future. ESPR. 22(21):16247-16261. doi: 10.1007/s11356-014-3814-7. Chakraborty C, Hsu CH, Wen ZH, Lin CS, Agoramoorthy G. 2009. Zebrafish: a complete animal model for in vivo drug discovery and development. Curr Drug Metabolism. 10(2):116-124. doi: 10.2174/138920009787522197. Clayden J, Greeves N, Warren S. 2014. Organic Chemistry. Ed ke-20. New York (US): Oxford Univ Pr. Crews P, Rodriguez J, Jaspars M. 2010. Organic Structure Analysis. Ed ke-20. New York (US): Oxford Univ Pr. Dias DA, Urban S, Roessner U. 2012. A historical of natural products in drug discovery. Metabolites. 2:303-336. doi: 10.3390/metabo2020303. El-Desoky AH, Kato H, Angkouw ED. 2016. Ceylonamides A−F, nitrogenous spongian diterpenes that nhibit RANKL-induced osteoclastogenesis, from
17 the marine sponge Spongia ceylonensis. J Nat Prod. 9 (8):1922-1928. doi: 10.1021/acs.jnatprod.6b00158. Field LD, Li HL, Magil AM. 2015. Organic Structures from 2D NMR Spectra. West Sussex (UK): Wiley. Hanif N, Murni A, Yamauchi M, Higashi M, Tanaka J. 2015a. A new trinorguaiane sesquiterpene from an Indonesian soft coral Anthelia sp. Nat Prod Commun. 10(11):1907-1910. Hanif N, Yamada K, Kitamura M, Kawazoe Y, de Voogd NJ, Uemura D. 2015b. New indole alkaloids from the sponge Plakortis sp. Chem Nat Compds. 51(6):1130-1133. doi: 10.1007/s10600-015-1508-0. Hanif N, Tanaka J, Setiawan A, Trianto A, de Voogd NJ, Murni A, Tanaka C, Higa T. 2007. Polybrominated diphenyl ethers from the Indonesian sponge Lamellodysidea herbacea. J Nat Prod. 70(3):432-435. doi: 10.1021/np060 5081. Hoye TR, Ye Z, Yao LJ, North JT. 1996. Synthesis of the C2-symmetric, macrocyclic alkaloid, (+)-xestospongin A and its C(9)-epimer, (-)xestospongin C: impact of substrate rigidity and reaction conditions on the efficiency of the macrocyclic dimerization reaction. J Am Chem Soc. 118(48):12074-12081. Kari G, Rodeck U, Dicker AP. 2007. Zebrafish: An emerging model system for human disease and drug discovery. Discovery. 82(1):70-80. doi: 10.1038/sj. clpt.6100223. Kobayashi M, Kawazoe K, Kitagawa I. 1989. Araguspongines B, C, D, E, F, G, H, and J, new vasodilative bis-1-oxaquinolizidine alkaloids from an Okinawan marine sponge, Xestospongia sp. Chem Pharm Bull. 37(6):1676-1678. doi: 10.1248/cpb.37.1676. Leão PN, Nakamura H, Costa M, Pereira AR, Martins R, Vasconcelos V, Gerwick WH, Balskus EP. 2015. Biosynthesis-assisted structural elucidation of the Bartolosides, chlorinated aromatic glycolipids from cyanobacteria. Angew Chem Int Ed. 54:11063-11067. doi: 10.1002/anie.201503186. Leone PDA, Carroll AR, Towerzey L, King G, McArdle BM, Kern G, Fisher S, Hooper JNA, Quinn RJ. 2008. Exiguaquinol: a novel pentacyclic hydroquinone from Neopetrosia exigua that inhibits Helicobacter pylori Murl. Org Lett. 10(12):2585-2588. doi: 10.1021/ol800898z. Liang Z, Sulzmaier FJ, Yoshida WY, Kelly M, Ramos JW, Williams PG. 2015. Neopetrocylamines A and B, polycylic diamine alkaloids from the sponge Neopetrosia cf exigua. J Nat Prod. 78: 543-547. doi: 10.1021/np500759r. Ma C, Parng C, Seng WL, Zhang C, Willet C, Mc Grath P. 2007. Zebrafish, an in vivo model for drug screening. Drug Discovery. 6:38-45. Macintyre L, Zhang T, Viegelmann C, Martinez IJ, Cheng C, Dowdells C, Abdelmohsen UR, Gernert C, Hentschel U, Ebel RE. 2014. Metabolomic tools for secondary metabolite discovery from marine microbial symbionts. Mar Drugs. 12:3416-3448. McGrath P. 2012. Zebrafish: Methods for Assessing Drug Safety and Toxicity. New Jersey (US): Wiley. Mehbub MF, Lei J, Franco C, Zhang W. 2014. Marine sponge derived natural products between 2001 and 2010: trends and opportunities for discovery of bioactives. Mar Drugs. 12:4539-4577. doi: 10.3390/md12084539.
18 Molinski TF, Dalisay DS, Lievens SL, Saludes JP. 2009. Drug development from marine natural products. Nat Rev Drug Discov. 8:69-85. Molinski TF. 2014. All natural: the renaissance of natural product chemistry. Org Lett. 16(15):3849-3855. doi: 10.1021/ol501917g. Myers N, Russell AM, Mittermeler CG, da Fonseca GAB, Kent J. 2000. Biodiversity hotspots for conservation priorities. Nature. 403:853-858. Nakagawa M, Endo M. 1984. Structures of Xestospongin A, B, C, and D, novel vasodilative compound drom marine sponges, Xestospongia exigua. Tetrahedron Lett. 25(30):3227-3230. doi: 10.1016/S0040-4039(01)91016-0. Nicolau KC, Snyder SA. 2005 Chasing molecules that were never there: misassigned natural products and the role of chemical synthesis in modern structure elucidation. Angew Chem Int Ed. 44:1012-1044. doi: 10.1002/an ie.200460864. [OECD] The Organization for Economic Co-operation and Development. 2013. OECD Guidelines for The Testing of Chemicals No. 236. Fish Embryo Acute Toxicity (FET) Test. Paris (FR): OECD. Oku N, Matsunaga S, van Soest RWM, Fusetani N. 2003. Renieramycin J, a highly cytotoxic tetrahydroisoquioline alkaloid, from a marine sponge Neopetrosia sp. J Nat Prod. 66:1136-1139. doi: 10.1021/np030092g. Orabi KH, El Sayed KA, Hamann MT, Dunbar DC, Al-Said MS. 2002. Araguspongines K and L, new bioactive bis-1-oxaquinolizidine N-oxide alkaloids from red sea specimens of Xestospongia exigua. J Nat Prod. 65:1782-1785. doi: 10.1021/np0202226. Pettit GR, Orr B, Herald DL, Doubek DL, Tackett L, Schmidt JM. 1996. Isolation and X-ray crystal structure of racemic xestospongin D from the Singapore marine sponge Niphates sp. Bioorg Med Chem Lett. 6(12):1313-1318. Polavarapu PL. 2016. Determination of the absolute configurations of chiral drugs using chiroptical spectroscopy. Molecules. 21(1056):1-16. doi: 10.3390/mole cules21081056. Qaralleh H. 2016. Chemical and bioactive diversities of marine sponge Neopetrosia. Bangladesh J Pharmacol. 11:433-452. doi: 10.3329/bjp.v11i2.26611. Quirion JC, Sevenet T, Husson HP. 1992. Two new alkaloids from Xestospongia sp. a new Caledonian sponge. J Nat Prod. 55(10):1505-1508. Riguera R. 1997. Isolating bioactive compounds from marine organisms. J Mar Biotechnol. 5:187-193. Rodríguez J. 2000. Polycyclic amine alkaloids (3-alkylpiperidine alkaloids)novel marine bioactive compounds: structure, synthesis and biochemical aspects. Stud Nat Prod Chem. 24:573-681. doi: 10.1016/S15725995(00)80052-6. Shubina LK, Makarieva TN, Yashunsky DV, Nifantiev NE, Denisenko VA, Dmitrenok PS, Dyshlovoy SA, Fedorov SN, Krasokhin VB, Jeong SH, et al. 2015. Pyridine nucleosides neopetrosides A and B from a marine Neopetrosia sp. sponge. Synthesis of Neopetroside A and its β‑ riboside analogue. J Nat Prod. 78(6): 1383-1389. doi: 10.1021/acs.jnatprod.5b00256.
19 Soriano OS, Banaigs B, Becerro MA. 2012. Temporal trends in the secondary metabolite production of the sponge Aplysina aerophoba. Mar Drugs. 10:677-693. Tantillo DJ. 2013. Walking in the woods with quantum chemistry – applications of quantum chemical calculations in natural products research. Nat Prod Rep. 30:1079-1086. doi: 10.1039/c3np70028c. The Nobel Prize in Medicine 2015 [Internet]. Nobel Media 2016. Stockholm: Nobelprize.org; [disitasi 2016 Feb 1]. Tersedia pada:http://www.nobelprize. org/nobel_prizes/medicine/laureates/2015/. Uemura D, Han C, Hanif N, Inuzuka T, Maru N, Arimoto H. 2012. Recent insights into natural venom. Pure Appl Chem. 84(6):1297-1315. doi: 10.1351/PAC-CON-11-09-32. Venkateswarlu Y, Reddy MVR. 1994. Bis-1-oxaquinolizidines from the sponge Haliclona exigua. J Nat Prod. 57(9):1283-1285. doi: 10.1021/np50111a017. van Vuuren RJ, Visagie MH, Theron AE. 2015. Antimitotic drug in the treatment of cancer. Cancer Chemother Pharmacol. 76:1101-1112. doi: 10.1007/s0028 0-015-2903-8. Wei X, Bugni TS, Harper MK, Sandoval IT, Manos EJ, Swift J, Wagoner RMV, Jones DA, Ireland CM. 2010. Evaluation of pyridoaridine alkaloids in a zebrafish phenotypic assay. Mar Drugs. 8:1769-1778. doi: 10.3390/md80 61769. Williams DE, Austin P, Diaz-Marero AR, van Soest R, Matainaho T, Roskelley CD, Roberge M, Andersen RJ. 2005. Neopetrosiamides, peptides from the marine sponge Neopetrosia sp. that inhibit amoeboid invasion by human tumor cells. Org Lett. 7(19):4173-4176. doi: 10.1021/ol051524c. Winder PL, Baker HL, Linley P, Guzman EA, Pomponi SA, Diaz MC, Reed JK, Wright AE. 2011. Neopetrosiquinones A and B, sesquiterpenes benzoquinones isolated from the deep-water sponge Neopetrosia cf. proxima. Bioorg Med Chem. 19:6599-6603. doi: 10.1016/j.bmc.2011.09.026. Zhang M, Aguilera D, Das C, Vasquez H, Zage P, Gopalakrishnan V, Wolff J. 2007. Measuring cytotoxicity: a new perspective on LC50. Anticancer Res. 27(1):35-38. Zhou X, Xu T, Yang XW, Huang R, Yang B, Tang L, Liu Y. 2010. Chemical and biological aspects of marine sponges of the genus Xestospongia. Chemistry and Biodiversity. 7(9):2201-2227. doi: 10.1002/cbdv.201000024.
20 Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Spons laut Neopetrosia chaliniformis diekstraksi dengan MeOH Ekstrak pekat MeOH dipartisi dengan n-heksana, 90% MeOHH2O, CH2Cl2, 50% MeOH-H2O, dan BuOH
Lapisan heksana
Lapisan CH2Cl2
Lapisan BuOH
Uji ZFET Lapisan aktif Fraksionasi dengan kromatografi kolom Fraksi A–F Uji ZFET Fraksi terpilih Purifikasi dengan KCKT dan uji ZFET Senyawa murni
Pencirian dan elusidasi struktur molekul aktif dengan polarimeter, HRMS, dan NMR
21 Lampiran 2 Toksisitas lapisan heksana, CH2Cl2, dan BuOH terhadap embrio ikan zebra Lapisan
Ulangan
Blangko
Heksana
1 2 3 1 2 3 1 2 3
0
CH2Cl2
BuOH
Jumlah embrio mati 100 200 (µg/mL) (µg/mL) 0 3 0 3 0 4 1 2 3 1 1 3 10 10 10 10 10 10
50 (µg/mL) 0 0 0 3 1 1 2 2 3
1
0
400 (µg/mL) 10 10 10 7 10 10 10 10 10
800 (µg/mL) 10 10 10 10 10 10 10 10 10
LC50 (µg/mL) 221
294
61
Keterangan: Jumlah embrio awal = 10 LC50 dihitung dengan analisis probit menggunakan perangkat lunak SPSS IBM versi 23 Data Information N of Cases Valid
15
Rejected
Missing
0
LOG Transform Cannot be
0
Done Number of Responses >
0
Number of Subjects Control Group
0
Convergence Information Number of
Optimal Solution
Iterations
Found
PROBIT
20 No
a
a. Parameter estimates did not converge.
Parameter Estimates 95% Confidence Interval Parameter a
PROBIT
conc Intercept
Estimate
Std. Error
Z
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
6.125
1.327
4.616
.000
3.525
8.726
-10.931
2.401
-4.552
.000
-13.332
-8.530
a. PROBIT model: PROBIT(p) = Intercept + BX (Covariates X are transformed using the base 10.000 logarithm.)
22 Lanjutan Lampiran 2 Chi-Square Tests Chi-Square PROBIT
Pearson Goodness-of-Fit
df
4.071
Test
b
Sig. 13
.990
a
a. Since the significance level is greater than .150, no heterogeneity factor is used in the calculation of confidence limits. b. Statistics based on individual cases differ from statistics based on aggregated cases. Cell Counts and Residuals
Number
conc
Number of
Observed
Expected
Subjects
Responses
Responses
Residual
Probability
PROBIT 1
1.699
10
2
2.999
-.999
.300
2
1.699
10
2
2.999
-.999
.300
3
1.699
10
3
2.999
.001
.300
4
2.000
10
10
9.064
.936
.906
5
2.000
10
10
9.064
.936
.906
6
2.000
10
10
9.064
.936
.906
7
2.301
10
10
9.992
.008
.999
8
2.301
10
10
9.992
.008
.999
9
2.301
10
10
9.992
.008
.999
10
2.602
10
10
10.000
.000
1.000
11
2.602
10
10
10.000
.000
1.000
12
2.602
10
10
10.000
.000
1.000
13
2.903
10
10
10.000
.000
1.000
14
2.903
10
10
10.000
.000
1.000
15
2.903
10
10
10.000
.000
1.000
Confidence Limits 95% Confidence Limits for conc
95% Confidence Limits for log(conc)
Lower Probability
Estimate
Bound
Upper Bound
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
a
PROBIT .010
25.400
12.560
34.299
1.405
1.099
1.535
.020
28.141
14.961
36.973
1.449
1.175
1.568
.030
30.031
16.711
38.792
1.478
1.223
1.589
.040
31.537
18.156
40.230
1.499
1.259
1.605
.050
32.817
19.420
41.447
1.516
1.288
1.617
.060
33.947
20.561
42.518
1.531
1.313
1.629
23 Lanjutan Lampiran 2 Confidence Limits 95% Confidence Limits for conc
95% Confidence Limits for log(conc)
Lower Probability
Estimate
Bound
Upper Bound
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
a
.070
34.970
21.613
43.486
1.544
1.335
1.638
.080
35.912
22.599
44.377
1.555
1.354
1.647
.090
36.791
23.531
45.208
1.566
1.372
1.655
.100
37.619
24.421
45.992
1.575
1.388
1.663
.150
41.250
28.440
49.447
1.615
1.454
1.694
.200
44.385
32.039
52.481
1.647
1.506
1.720
.250
47.263
35.416
55.341
1.675
1.549
1.743
.300
50.006
38.670
58.165
1.699
1.587
1.765
.350
52.690
41.854
61.052
1.722
1.622
1.786
.400
55.370
44.998
64.092
1.743
1.653
1.807
.450
58.093
48.123
67.376
1.764
1.682
1.829
.500
60.903
51.241
71.006
1.785
1.710
1.851
.550
63.849
54.366
75.100
1.805
1.735
1.876
.600
66.988
57.520
79.802
1.826
1.760
1.902
.650
70.396
60.737
85.298
1.848
1.783
1.931
.700
74.174
64.080
91.848
1.870
1.807
1.963
.750
78.479
67.647
99.846
1.895
1.830
1.999
.800
83.568
71.599
109.963
1.922
1.855
2.041
.850
89.918
76.230
123.487
1.954
1.882
2.092
.900
98.598
82.178
143.427
1.994
1.915
2.157
.910
100.817
83.644
148.777
2.004
1.922
2.173
.920
103.284
85.252
154.840
2.014
1.931
2.190
.930
106.066
87.041
161.821
2.026
1.940
2.209
.940
109.263
89.065
170.023
2.038
1.950
2.231
.950
113.026
91.412
179.927
2.053
1.961
2.255
.960
117.614
94.223
192.352
2.070
1.974
2.284
.970
123.509
97.765
208.879
2.092
1.990
2.320
.980
131.806
102.633
233.176
2.120
2.011
2.368
.990
146.030
110.709
277.569
2.164
2.044
2.443
a. Logarithm base = 10.
24 Lampiran 3 Hasil fraksionasi dengan kromatografi kolom Vial keFraksi Rf 1–17 18-19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
0.87 0.87 0.87 0.87 0.89, 0.57 0.89 0.89 0.89 0.91, 0.73 0.92, 0.53 0.93,0.74, 0.54 0.94, 0.76, 0.62 0.94, 0.76 0.94, 0.76, 0.62 0.94, 0.76 0.94, 0.76 0.94, 0.76
RN-1-2-2-1-1 (A) RN-1-2-2-1-2 (B) RN-1-2-2-1-3 (C) RN-1-2-2-1-4 (D)
RN-1-2-2-1-5 (E)
RN-1-2-2-1-6 (F)
Keterangan: Deteksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom menggunakan eluen CHCl3:MeOH (9:1) (1–15) dan CHCl3:MeOH (8:2) (16–36)
25 Lampiran 4 Spektrum HRMS molekul 3
Massa
Intensitas
Massa terhitung
Δ massa (mmu)
Δ massa (ppm)
Rumus molekul
Bilangan takjenuh
479.38588
25494.85
479.38488
1.00
2.08
12
4.5
480.39115
8357.53
480.39271
-1.56
-3.25
12
4.0
C281H5114N2 16O4 C281H5214N216O4
26 Lampiran 5 Spektrum NMR 1H molekul 3
27 Lanjutan Lampiran 5
H J = 13.6 Hz J = 4.1 Hz
Lampiran 6 Spektrum NMR 13C molekul 3
28 Lampiran 7 Spektrum COSY molekul 3
Lampiran 8 Spektrum HSQC molekul 3
29 Lampiran 9 Spektrum HMBC molekul 3
Lampiran 10 Spektrum NOESY molekul 3
30 Lampiran 11 Toksisitas pada 48 dan 96 jpf fraksi RN-1-2-2-1-6 (F) Konsentrasi (µg/mL) 0.5 1 2 4 6 8
Jumlah embrio awal 20 20 20 20 20 20
Jumlah embrio mati 48 jpf 96 jpf 0 0 0 0 0 1 6 11 20 20 20 20
Analisis probit pada 48 jpf Confidence Limits
Probability
95% Confidence Limits for
95% Confidence Limits for
concentration
log(concentration)
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
Estimate
a
Lower
Upper
Bound
Bound
PROBIT .010
2.615
1.416
3.200
.417
.151
.505
.020
2.769
1.595
3.329
.442
.203
.522
.030
2.872
1.720
3.415
.458
.236
.533
.040
2.951
1.820
3.481
.470
.260
.542
.050
3.018
1.906
3.537
.480
.280
.549
.060
3.076
1.982
3.585
.488
.297
.554
.070
3.127
2.051
3.628
.495
.312
.560
.080
3.174
2.114
3.667
.502
.325
.564
.090
3.217
2.173
3.704
.507
.337
.569
.100
3.257
2.229
3.738
.513
.348
.573
.150
3.430
2.474
3.885
.535
.393
.589
.200
3.573
2.684
4.012
.553
.429
.603
.250
3.701
2.875
4.129
.568
.459
.616
.300
3.819
3.054
4.243
.582
.485
.628
.350
3.933
3.225
4.358
.595
.509
.639
.400
4.043
3.389
4.478
.607
.530
.651
.450
4.153
3.549
4.607
.618
.550
.663
.500
4.265
3.705
4.749
.630
.569
.677
.550
4.379
3.856
4.909
.641
.586
.691
.600
4.498
4.004
5.094
.653
.602
.707
.650
4.624
4.149
5.309
.665
.618
.725
.700
4.762
4.292
5.566
.678
.633
.746
.750
4.914
4.438
5.876
.691
.647
.769
.800
5.090
4.590
6.262
.707
.662
.797
31 Lanjutan Lampiran 11 Confidence Limits
Probability
95% Confidence Limits for
95% Confidence Limits for
concentration
log(concentration)
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
Estimate
a
Lower
Upper
Bound
Bound
.850
5.303
4.760
6.765
.724
.678
.830
.900
5.583
4.966
7.482
.747
.696
.874
.910
5.653
5.014
7.669
.752
.700
.885
.920
5.730
5.067
7.879
.758
.705
.896
.930
5.816
5.126
8.118
.765
.710
.909
.940
5.913
5.190
8.394
.772
.715
.924
.950
6.026
5.264
8.722
.780
.721
.941
.960
6.162
5.352
9.127
.790
.728
.960
.970
6.333
5.459
9.652
.802
.737
.985
.980
6.567
5.603
10.402
.817
.748
1.017
.990
6.955
5.834
11.712
.842
.766
1.069
a. Logarithm base = 10.
Analisis probit pada 96 jpf Confidence Limits
Probability PROBIT
95% Confidence Limits for
95% Confidence Limits for
concentration
log(concentration)
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
Estimate
a
Lower
Upper
Bound
Bound
.010
1.801
1.088
2.293
.256
.037
.360
.020
1.952
1.235
2.437
.290
.092
.387
.030
2.054
1.338
2.534
.313
.126
.404
.040
2.134
1.421
2.611
.329
.153
.417
.050
2.202
1.492
2.675
.343
.174
.427
.060
2.261
1.555
2.731
.354
.192
.436
.070
2.314
1.612
2.781
.364
.207
.444
.080
2.363
1.665
2.828
.373
.221
.451
.090
2.408
1.714
2.871
.382
.234
.458
.100
2.450
1.761
2.911
.389
.246
.464
.150
2.634
1.967
3.087
.421
.294
.490
.200
2.790
2.144
3.239
.446
.331
.510
.250
2.931
2.307
3.379
.467
.363
.529
.300
3.063
2.460
3.514
.486
.391
.546
32 Lanjutan Lampiran 11 Confidence Limits
Probability
95% Confidence Limits for
95% Confidence Limits for
concentration
log(concentration)
Estimate
Lower
Upper
Bound
Bound
Estimate
a
Lower
Upper
Bound
Bound
.350
3.191
2.608
3.648
.504
.416
.562
.400
3.318
2.753
3.785
.521
.440
.578
.450
3.445
2.896
3.929
.537
.462
.594
.500
3.575
3.040
4.082
.553
.483
.611
.550
3.710
3.186
4.248
.569
.503
.628
.600
3.852
3.335
4.432
.586
.523
.647
.650
4.005
3.489
4.640
.603
.543
.667
.700
4.173
3.650
4.881
.620
.562
.688
.750
4.361
3.824
5.168
.640
.583
.713
.800
4.582
4.016
5.522
.661
.604
.742
.850
4.853
4.239
5.984
.686
.627
.777
.900
5.216
4.521
6.644
.717
.655
.822
.910
5.308
4.590
6.817
.725
.662
.834
.920
5.409
4.665
7.012
.733
.669
.846
.930
5.523
4.748
7.233
.742
.677
.859
.940
5.654
4.841
7.491
.752
.685
.875
.950
5.806
4.949
7.798
.764
.694
.892
.960
5.990
5.076
8.178
.777
.706
.913
.970
6.224
5.236
8.673
.794
.719
.938
.980
6.549
5.453
9.384
.816
.737
.972
.990
7.097
5.807
10.635
.851
.764
1.027
a. Logarithm base = 10.
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 17 Januari 1994, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dari pasangan Edi Murfi dan Yanti Murni. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Baso pada tahun 2011. Di tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Keahlian Analisis Kimia, D3 Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis berkesempatan melaksanakan praktik kerja lapangan di PT Boehringer Ingelheim Indonesia dan lulus sebagai ahli madya pada tahun 2014 dengan judul tugas akhir Uji Stabilitas Lisinopril Dihidrat dalam Sediaan Obat Antihipertensi. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Alih Jenis Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Organik Layanan S1 Biokimia pada tahun ajaran 2015/2016, Kimia Dasar TPB pada tahun ajaran 2015/2016 dan Kimia Farmasi pada Program Keahlian D3 Analisis Kimia Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2016/2017.