Artikel Ilmiah
ISOLASI ACTINOMYCETES PADA RHIZOSFER RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus) DAN UJI POTENSI SEBAGAI PENGHASIL ANTIBIOTIK
OLEH
ZULFIKRI S POU NIM: 431 411 163
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA JURUSAN BIOLOGI TAHUN 2015
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Artikel yang berjudul Isolasi Actinomycetes pada Rhizosfer Rumput Teki (Cyperus Cyperus rotundus) rotundus) dan Uji Potensi sebagai Penghasil Antibiotik Oleh
ZULFIKRI S POU Jurusan Biologi
Isolasi Actinomycetes pada Rhizosfer Rumput Teki (Cyperus rotundus) dan Uji Potensi sebagai Penghasil Antibiotik 1)
Zulfikri S Pou 1, Wirnangsi D. Uno 2, Novri Y. Kandowangko 3 Mahasiswa Jurusan Biologi, 2)Dosen Jurusan Biologi, 3)Dosen Jurusan Biologi Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo Email:
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya isolat Actinomycetes pada rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) dan mengetahui adanya isolat Actinomycetes yang memiliki potensi sebagai penghasil antibiotik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan data yaitu metabolit sekunder yang dihasilkan kedua isolat ini dilakukan uji daya hambat terhadap bakteri uji yaitu Eschericia coli dan Staphyloccocus aureus untuk mengetahui adanya potensi sebagai penghasil antibiotik. Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan mengukur zona hambat yang terbentuk. Berdasarkan hasil uji daya hambat, satu isolat yaitu isolat ART1 mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphyloccocus aureus dengan diameter zona hambat sebesar 6 mm dan termasuk kategori lemah sedangkan isolat ART2 tidak mampu menghambat kedua bakteri uji baik Eschericia coli maupun Staphyloccocus aureus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) dapat ditemukan 2 isolat Actinomycetes dan satu isolat (ART1) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat sebesar 6 mm sehingga memiliki potensi penghasil antibiotik dengan kategori lemah. Kata kunci : Isolasi, Actinomycetes, Rhizosfer, Rumput teki (Cyperus rotundus), Antibiotik.
1
Yulandari Nusi Mahasiswa Jurusan Biologi Wirnangsi D. Uno, S.Pd, M.Kes Dosen Jurusan Biologi Selaku Pembimbing 1 3 Dr. Novri Y. Kandowangko, M.P Dosen Jurusan Biologi Selaku Pembimbing 2 2
PENDAHULUAN Munculnya berbagai macam penyakit infeksi yang membutuhkan antibiotik dan adanya sifat beberapa kuman patogen yang resisten terhadap antibiotik yang ada, mendorong terus dilakukannya penelitian untuk menemukan antibiotik baru. Antibiotik adalah produk metabolik yang dihasilkan suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Pelczar dan Chan, 1988). Actinomycetes merupakan kelompok bakteri penghasil antibiotik terbanyak yaitu sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh Actinomycetes terutama genus Streptomyces, sehingga sasaran penapisan bakteri penghasil antibiotik ditujukan pada kelompok Actinomycetes (Alcamo dalam Rofiq, 2011). Lebih dari 90% antibiotik yang dihasilkan dari berbagai spesies Streptomyces digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Rahayu, 2006). Bakteri ini umumnya dijumpai pada berbagai jenis tanah dan memiliki kelimpahan terbesar yang berperan penting dalam proses dekomposisi (Nurkanto, 2007). Pada umunya populasi mikroorganisme pada rhizosfer jauh lebih tinggi dibandingkan populasi pada bagian tanah lainnya. Banyaknya mikroorganisme termasuk Actinomycetes pada rhizosfer ini disebabkan karena akar tanaman mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat yang mengandung bahan organik yang berguna sebagai sumber energi bagi mikroorganisme yang hidup di sekitar perakaran tersebut (Ambarwati, 2007). Rhizosfer merupakan porsi tanah yang
langsung dipengaruhi oleh akar tanaman. Batas rhizosfer dimulai dari permukaan akar sampai ke batas dimana akar tidak lagi berpengaruh langsung terhadap kehidupan mikroorganisme (bisa mencapai 5 mm) (Saraswati dkk., 2007). Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan Actinomycetes pada rhizosfer adalah penelitian Ambarwati (2007), yang meneliti tentang mikroorganisme pada rhizosfer tumbuhan putri malu dan kucing-kucingan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan 7 isolat Actinomy-cetes dari rhizosfer putri malu (Mimosa pudica L.) dan 1 isolat dari rhizosfer kucingkucingan (Acalypha indica L.). Lima isolat yang ditemukan dari rhizosfer putri malu dan satu isolat dari rhizosfer kucing-kucingan dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Sementara itu Ambarwati dkk., (2013) juga berhasil menemukan 8 isolat Actinomycetes dari rhizosfer padi (Oryza sativa) yang berpotensi sebagai penghasil antibakteri yang dapat menghambat Salmonella typhosa dan S. aureus dengan kategori lemah dan sedang. Actinomycetes merupakan bakteri saprofit yang tumbuh mendekomposisi bahan-bahan organik sehingga populasinya meningkat bila terdapat banyak bahan organik. Menurut Rahayu (2006), akar rumput mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat (cairan sel yang keluar di sekitar akar), seperti halnya pada tumbuhan lainnya. Hasil eksudasi akar tersebut kemudian menyebar ke tanah rhizosfer rumput. Akibatnya di sekitar perakaran rumput dapat ditemukan banyak mikroorganisme. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan rhizosfer rumput adalah
penelitian Rahayu (2006) yang mengisolasi bakteri rhizosfer rumput pangola (Digitaria decumbens), diperoleh tujuh isolat dengan waktu fermentasi berbeda yang mampu menghambat E. coli multiresisten. Empat isolat yang diperoleh mempunyai potensi antibiotik sangat kuat, bakteri ini diduga sebagai Actinomycetes. Adanya eksudat yang dikeluarkan oleh akar rumput ini memungkinkan pula Actinomycetes dapat diperoleh pada rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus). Rumput teki merupakan herba menahun yang tumbuh liar dan kurang men-dapat perhatian. Rumput teki merupakan tanaman yang dapat dengan mudah dijumpai di tempat terbuka dan sering dianggap sebagai gulma. Rimpang rumput teki (Cyperus rotundus) mengandung alkaloid, sineol, pinen, siperon, rotunol, siperenon, tanin, siperol, serta flavonoid (Murnah, 2012). Hasil penelitian Koen (2012), menunjukkan bahwa ekstrak rimpang rumput teki yang dibuat permen dapat dijadikan sebagai obat alternatif pereda nyeri sariawan, hal ini dikarenakan adanya kandungan antibiotik yang tinggi pada ekstrak rimpang rumput teki. Selain itu, penelitian Roekistiningsih et al. (2012) mem-buktikan bahwa ekstrak rimpang rumput teki memiliki aktivitas sebagai antimikroba terhadap Escherichia coli. Adanya kemampuan ekstrak rumput teki sebagai antimikroba dapat mempengaruhi kemampuan Actinomycetes dalam menghasilkan metabolit sekunder yang salah satunya adalah antibiotik. Pentingnya penelitian ini dilakukan karena adanya sifat beberapa kuman patogen yang resisten terhadap antibiotik yang ada, mendorong terus
dilakukannya penelitian untuk menemukan antibiotik baru. Zat antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme lebih menguntungkan dari pada zat antibiotik yang dihasilkan oleh tumbuhan, hal ini disebabkan karena waktu regenerasi mikroorganisme yang jauh lebih singkat dibandingkan waktu tumbuh suatu tanaman. Bakteri dapat tumbuh dan berkembang biak dalam waktu beberapa jam, Actinomycetes dalam waktu kurang lebih satu bulan, sedangkan tanaman untuk menghasilkan bahan aktif membutuhkan waktu bertahun-tahun (Ambrawati, 2007).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA UNG. Waktu pelaksanaan yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juni tahun 2015. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Isolat Actinomycetes dari rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) yang memiliki potensi sebagai penghasil antibiotik. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Alat dan Bahan Alat yang digunakan: Laminar airflow, oven, inkubator, autoclave, Erlenmeyer, mikropipet, tabung reaksi, cawan petri, objek glass,, sentrifuge, shaker incubator, colony counter, water bath, ose, mikroskop dan kamera. Bahan yang digunakan: tanah rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus), medium Starch Casein Agar, Nystatin, Sterptomycin, akuades, larutan ringer alkohol, carbol gentian violet, safranin, mikroba uji berupa
Eschericia coli dan Staphylococcus aureus, Nutreint Agar, Muller Hilton Agar dan medium fermentasi Teknik Pengumpulan Data Koleksi Sampel Sampel untuk isolasi actinomycetes diperoleh dari tanah rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus). Pengambilan sampel tanah sebanyak tiga daerah rhizosfer dari individu rumput teki yang berbeda. Batas rhizosfer dimulai dari permukaan akar sampai ke batas dimana akar tidak lagi berpengaruh langsung terhadap kehidupan mikroba (bisa mencapai 5 mm) (Saraswati dkk., 2007). Sampel ditempatkan dalam wadah steril kemudian dibawa ke laboratorium untuk perlakuan selanjutnya. Isolasi Sampel tanah rhizosfer di timbang sebanyak 1 gram kemudian ditempatkan pada tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan 9 ml larutan ringer dan dikocok selama 5 menit (suspensi ini merupakan pengenceran 10-1). Diambil empat tabung reaksi, masing-masing diisi dengan 9 ml larutan ringer dengan pipet steril. Dimasukkan 1 ml suspensi dari pengenceran 10-1 kesalah satu tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan ringer, dan dikocok secara merata, suspensi ini mempunyai tingkat pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama, dibuat suspensi dengan tingkat pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5. Dari masingmasing pengenceran, sampel diambil 1 ml dan diinokulasikan secara surface plate pada medium Strach Casein Agar (SCA) yang sudah disuplementasi dengan 25µg.ml-1 Nystatin untuk mencegah pertumbuhan fungi (Waluyo, 2010). Media yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 28 0C selama 4 –
14 hari (Sembiring dkk., dalam Ambarwati, 2013). Setelah masa inkubasi, setiap koloni yang memiliki kenampakan berbeda diisolasi pada media SCA hingga diperoleh isolat murni. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 250C selama 4 – 14 hari. Pengamatan morfologi Actinomycetes yang tumbuh diamati karakter morfologinya meliputi bentuk koloni, permukaan koloni, tepi koloni dan warna koloni. Pengamatan morfologi sel didasarkan pada metode pewarnaan gram. Uji Penghasilan Antibiotik Uji penghasilan antibiotik dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a) Kultivasi isolat dalam medium cair Isolat Actinomycetes yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk uji ke-mampuan penghasilan senyawa antibiotik. Isolat Actinomycetes ditumbuhkan pada agar miring pada suhu 280C selama 2 minggu, kemudian spora dewasa diinokulasi-kan dalam medium International Streptomyces Project No.2 (ISP 2) sebanyak 100 ml (0,4 gr yeast ekstrak, 1 gr malt ekstrak, 0,4 gr glukosa, 100 ml akuades) (Eka sari, 2011) dan diinkubasi pada suhu 300C pada rotary shaker (160rpm) selama 12 hari (Baskaran dkk., dalam Yusuf, 2012). b) Isolasi Antibiotik Untuk mendapatkan antibiotik fase cair, medium cair yang sudah terfermen-tasi disentrifugasi pada 10.000 rpm dengan suhu 4oC selama 20 menit. Supernatan yang dihasilkan dikoleksi sebagai sampel antibiotik (Baskaran dkk., dalam Yusuf, 2012). c) Uji Aktivitas Antibiotik Aktivitas antibiotik dapat ditentukan dengan melihat kemampuan
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri isolat terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji dengan metode difusi cakram (metode KirbyBauer). Media yang digunakan untuk penentuan daya hambat adalah medium Muller Hilton Agar. Sebanyak 100 µl dari masing-masing suspensi mikroorganisme uji (S. aureus dan E. coli) diinokulasi-kan pada cawan petri dan ditambah dengan medium MHA sebanyak ±15 ml dan dibiarkan memadat. Supernatan sebanyak 20 µl diteteskan pada kertas cakram dan dikeringanginkan, lalu diletakkan di atas medium yang telah mengandung mikroorganisme uji (Naid, 2013). Kemudian diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 36-370C (Safinah, 2008). Pengamatan zona hambat yang terbentuk dapat dilihat dari bentuk luasan zona yang terbentuk. Menurut Lee & Hwang (dalam Ambarwati dkk. 2009), bila diameter daerah hambatan sebesar 5-9 mm maka aktivitas penghambatannya dikategorikan lemah, 10,00-19,00 mm dikategorikan sedang dan lebih dari atau sama dengan 20 mm dikategorikan kuat. Jika luas zona hambat yang terbentuk dalam kategori kuat, akan dilanjutkan analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk tahapan identifikasi antibiotik yang dihasilkan. Identifikasi antibiotik Penentuan jenis antibiotik yang dihasilkan oleh isolat actinomycetes menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Disiapkan Silika gel plates ukuran 10 x 20 cm dan ketebalan 1 mm dan diaktivasi pada suhu 1500C selama 30 menit. Fraksi ethyl acetat sebanyak 10µl dan antibiotik marker (Streptomycin) ditempatkan pada plate dan chromatogram dikembangkan
menggunakan chloroform: methanol (4:1) sebagai sistem solven. Spot yang dibentuk pada chromatogram divisualisasi dalam iodine vapaour chamber dan UV chamber. KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Untuk menganalisis data KLT, parameter yang digunakan adalah nilai Resolution Funjungtion (Rf). Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama (Gandjar dan Rohman, 2008). Nilai Rf ini didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak tempuh senyawa dengan jarak yang ditempuh pelarut pengembang. Jarak yang ditempuh senyawa Rf = Jarak yang ditempuh pelarut pengembang (Arista, 2010)
Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini dilakukan teknik analisis data secara deskriptif. Isolat Actinomycetes yang ditemukan pada rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) dilakukan uji daya hambat untuk mengetahui adanya isolat yang memiliki potensi sebagai penghasil antibiotik. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada daerah rhizosfer rumput teki diperoleh dua isolat Actinomycetes yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.
(a) (b) Gambar 1. Isolat Actinomycetes rhizosfer rumput Teki (Cyperus rotundus) (a) Actinomycetes Rhizosfer Teki (Isolat 1); (b) Actinomycetes Rhizosfer Teki (Isolat 2) Selain melakukan pengamatan pada morfologi koloni isolat yang diperoleh, juga dilakukan pengamatan pada morfologi selnya, yaitu melalui metode pewarnaan Gram.
(a) (b) Gambar 2. Pewarnaan Gram pada Isolat (a) ART 1 dan (b) ART 2 Berdasarkan hasil pengamatan morfologi sel isolat Actinomycetes yang diperoleh dengan menggunakan metode pewarnaan Gram, menunjukkan morfologi sel Actinomycetes memiliki bentuk basil pada isolat 1 maupun isolat 2 dan merupakan gram positif karena mengikat warna ungu. Isolat Actinomycetes yang berhasil diisolasi dari rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) selanjutnya dilakukan uji penghasilan metabolit sekunder (Antibiotik) dengan menggunakan metode Diffusion test (Kirby-
Bauer). Uji penghasilan metabolit sekunder ini menggunakan dua bakteri uji yaitu S. aureus dan E. coli. Berdasarkan hasil uji penghasilan metabolit sekuder dari isolat Actinomycetes yang diperoleh, bahwa satu isolat mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji yaitu isolat ART 1 yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji Staphylococcus aureus yaitu sebesar 6 mm. Zona hambat yang terbentuk ini termasuk dalam kategori lemah. Pada bakteri uji Eschericia coli tidak terbentuk zona hambat oleh isolat ART 1. Berdasarkan hasil pengamatan, pada isolat ART 2 tidak terbentuk zona hambat pada bakteri uji S. aureus maupun bakteri uji E. coli. Pembahasan Actinomycetes merupakan bakteri Gram positif berfilamen dan dapat berperan sebagai penghasil beragam senyawa bioaktif yang dapat berfungsi antara lain sebagai antibiotik, enzim inhibitor, dan senyawa bioaktif lainnya. Actinomycetes dapat ditemukan pada daerah rhizosfer karena akar tanaman mempunyai kemampuan mengeluarkan eksudat yang mengandung bahan organik yang berguna sebagai sumber energi bagi mikroorganisme yang hidup di sekitar perakaran tersebut. Pada penelitian ini mengambil tiga daerah rhizosfer dari rumput teki (Cyperus rotundus) pada lokasi yang berbeda. Berdasarkan hasil isolasi diperoleh dua isolat Actinomycetes dari daerah rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) yang diambil dari lokasi yang memiliki tanah yang kelembabannya rendah sedangkan dari rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) yang diambil pada lokasi yang tanahnya lebih lembab tidak
ditemukan adanya isolat Actinomycetes. Daerah rhizosfer rumput teki lebih lembab dibandingkan dengan tanah disekitarnya, sehingga hal ini memungkinkan penyebab sedikitnya isolat Actinomycetes yang diperoleh. Seperti yang dikemukakan oleh Ambarwati (2007), bahwa tidak seperti kebanyakan bakteri yang menyukai kondisi lembab, Actinomycetes cenderung hidup dalam kondisi kelembaban yang rendah dan pada tanah yang kering. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya aktivitas antimikroba pada umbi rumput teki (Cyperus rotundus) memungkinkan mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pada rhizosfer tersebut. Seperti yang dikemukakan Rahayu (2006), bahwa suatu tanaman memiliki kemampuan menghasilkan metabolit sekunder yang beberapa diantaranya memiliki aktivitas antimikroba atau zat kimia yang mengandung racun bagi mikroorganisme dalam tanah tersebut, termasuk Actinomycetes. Berdasarkan hasil isolasi, diperoleh dua isolat yang masingmasing memiliki morfologi koloni yang berbeda. Morfologi koloni isolat ART 1 memiliki warna koloni abu-abu kehijauan dengan permukaan berkerut sedangkan warna koloni isolat ART 2 berwarna putih dengan permukaan halus. Warna isolat ini dipengaruhi oleh pigmentasi hifa. Selain melakukan pengamatan morfologi koloni, isolat Actinomycetes yang diperoleh juga dilakukan pengamatan terhadap morfologi sel dengan metode pewarnaan Gram. Berdasarkan hasil pewarnaan Gram menunjukkan isolat Actinomycetes memiliki morfologi sel berbentuk basil dan mengikat warna ungu yang menunjukkan bahwa kedua isolat yang
diperoleh termasuk dalam bakteri Gram positif. Dua isolat actinomycetes yang diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian metabolit sekunder yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan metabolit sekunder sebagai antibiotik. Metabolit sekunder ini diperoleh dari supernatan hasil sentrifugasi medium isolat Actinomycetes yang sebelumnya diinkubasi selama 12 hari. Menurut Cross, (dalam Rofiq, 2011) metabolit sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke dalam medium biakan. Pada siklus hidupnya yang normal, mikroba akan tumbuh dalam medium yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum. Setelah itu pertumbuhannya berhenti dan memasuki fase stasioner, dan selanjutnya masuk pada fase kematian terjadi kematian sel vegetatif (lisis) atau pembentukan spora. Pada fase stasioner sel-sel berhenti membelah dan metabolit sekunder mulai diproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh ART 1 mampu menghambat bakteri S.aureus sedangkan bakteri E. coli tidak mampu dihambat. Diameter zona hambat yang terbentuk pada bakteri uji S.aureus sebesar 6 mm sehingga termasuk dalam kategori lemah. Karena potensi sampel metabolit sekunder isolat Actinomycetes yang diperoleh memiliki kategori lemah, maka pada penelitian ini tidak dilanjutkan pada uji Kromatografi Lapis Tipis untuk identifikasi jenis antibiotik yang dihasilkan. Menurut Ambarwati, dkk. (2012) tujuan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah mengetahui jenis senyawa kimia sebagai penghasil zat antibiotik. Pratiwi (2008) menyatakan bahwa pada
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Menurtu Pelczar dan Chan (1988), perbedaan pada struktur dinding sel menyebabkan kedua kelom-pok bakteri ini memberikan respons yang berbeda terhadap berbagai per-lakuan dan bahan, seperti pewarnaan Gram dan antibiotik-antibiotik tertentu. Hasil uji daya hambat metabolit sekunder yang dihasilkan oleh isolat ART 2 tidak menunjukkan kemampuan menghambat bakteri uji baik bakteri E. coli maupun S. aureus. Perbedaan penghambatan kedua isolat yang diperoleh ini juga dipengaruhi oleh pigmen dari kedua isolat. Seperti yang dikemukakan oleh Schlegel (dalam Rahayu, 2006) bahwa beberapa pigmen mempunyai sifat antibiotik, korelasi antara pigmentasi dan pembentukan metabolit sekunder diaggap sebagai pembentuk pigmen yang membentuk antibiotik. Berdasarkan penelitian Rahayu (2006) yang mengisolasi bakteri rhizosfer rumput pangola, bahwa isolat yang memiliki pigmen hijau mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli multiresisten dengan kuat dibandingkan dengan isolat yang lainnya. Perbedaan kemampuan daya hambat oleh metabolit sekunder terhadap bakteri uji juga dipengaruhi oleh struktur dinding sel yang berbeda antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Menurut Waluyo (2007), struktur dinding sel bakteri Gram negatif merupakan struktur berlapis, sedangkan bakteri Gram positif mempunyai 1 lapis yang tebal (Gambar
4.2). Dinding sel bakteri Gram negatif lebih kompleks dibandingkan dengan bakteri Gram positif. Perbedaan utama adalah adanya lapisan membran luar, yang meliputi peptidoglikan. Kehadiran membran ini menyebabkan dinding sel bakteri Gram negatif kaya akan lipid (11-22%). Lapisan membran luar pada bakteri Gram negatif mempunyai struktur sebagai unit membran. Perbedaannya adalah lapisan ini tidak hanya terdiri dari fosfolipid saja sepeti membran plasma, tetapi juga mengandung lipid lainnya, polisakarida dan protein. Lipid dan polisakarida berhubungan erat membentuk struktur khas yang dinamakan lipopolisakarida. Sebagian besar antibotik merupakan metabolit sekunder, akan tetapi ada antibiotik merupakan metabolit primer, yaitu antibiotik yang terbentuk selama fase pertumbuhan eksponensial, misalnya antibiotik polipeptida nisin. Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi 2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer dihasilkan dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi (Rofiq, 2011).
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Telah ditemukan dua isolat Actinomycetes (ART1 dan ART2) dari daerah rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus). 2. Terdapat satu isolat yaitu ART1 yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter zona hambat sebesar 6 mm sehingga memiliki potensi penghasil antibiotik dengan kategori lemah. SARAN Saran dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan pengukuran faktor lingkungan yaitu tingkat kelembaban untuk mengambil daerah rhizosfer yang akan dilakukan isolasi Actinomycetes dan melihat perbandingan jumlah isolat Actinomycetes yang ditemukan pada daerah rhizosfer rumput teki (Cyperus rotundus) yang hidup pada daerah yang lembab dan kering. Selain itu, perlu juga dilakukan isolasi Actinomycetes endofit pada umbi rumput teki (Cyperus rotundus) dan menguji potensinya sebagai penghasil antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, 2007. Studi Actinomycetes yang Berpotensi Menghasilkan Antibiotik Dari Rhizosfer tumbuhan putri malu (mimosa pudical.) Dan kucing-kucingan (Acalypha indicaL.). Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 8, No. 1, 2007: 1 – 14 Ambarwati dan Purwani Eni, 2012. Keanekaragaman Streptomyces Yang Berasosiasi Dengan Rizosfer Jagung (Zea mays). Prosiding Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi, Vol. 9, No. 1, Juli 2012. Ambarwati, Tanti A., Langkah S., dan Subagus W. 2012. Uji Aktivitas Antifungi Isolat Actinomycetes Yang Berasosiasi dengan Rhizosfer Padi (Oriza sativa). Jurnal Kesehatan, ISSN 1979-7621, Vol. 5, No. 2, Desember 2012: 139 - 14 Ambarwati, Sujono, T., A., Sembiring, L., dan Wahyuono, S. 2013. Uji aktivitas antibakteri isolat actinomycetes dari rizosfer padi (oryza sativa) terhadap Salmonella typhosa dan Staphylococcus aureus). Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas. FMIPA UNS Arista. 2010. Analisis Sildenafil Sitrat Pada Obat Tradisional Gali-Gali dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis. Tersedia di : http://repository.usu.ac.id. Diakses 10 Januari 2015 Koen, Rizal A. Roksun N., Fintha F.R, Talitha R.N., dan Laily H. 2012. Uji Efektifitas Ekstrak Rumput Teki (Cyperus rotundus) sebagai Permen
Obat Alternatif Pereda Nyeri Sariawan. Surabaya : Jurusan Biologi FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November.
Nurkanto, Arif. 2007. Identifikasi Aktinomisetes Tanah Hutan Pasca Kebakaran Bukit Bangkirai Kalimantan Timur dan Potensinya Sebagai Pendegradasi Selulosa dan Pelarut Fosfat. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Volume 8, Nomor 4. Halaman: 314319 Pelczar, M. J. and Chan, E. C. S., 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Alih Bahasa Hadioetomo, R. S., Imas, T., Tjitrosomo, S. S., dan Angka, S. L., Jakarta : UI Press. Pratiwi, Sylvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Fakultas Famasi Universitas Gadjah Mada. Jakarta : Erlangga Rahayu, T. 2006. Potensi antibiotik isolat bakteri rizosfer Terhadap bakteri Escherichia coli multiresisten. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Vol. 7, No. 2, 2006: 81 – 91. Surakarta : Jurusan Pendidikan Biologi , UMS. Rofiq, Sunaryanto. 2011. Isolasi, Purifikasi, Identifikasi Dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik Yang Dihasilkan Oleh Aktinomisetes Laut. Disertasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Roekistiningsih, Hidayat sujuti dan Bobby L. 2012. Uji ekstrak etanol rimpang rumput teki (Cyperus rotundus l.) Sebagai antimicroba terhadap Escherichia coli secara in
vitro. Malang : Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Saraswati, Rasti. Edi Husen, dan R.D.M Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Safinah. 2008. Optimasi Separasi dan purifikasi Senyawa Antibiotik Yang dihasilkan Oleh Aktinomiset Endofit. Jakarta : Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah. Yusuf, Agusrianto 2012. Isolasi Actinomycetes Pada Tegakan Rhizophora sp. dan Uji Potensi Sebagai Penghasil Antibiotika. Gorontalo : Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Gorontalo. Waluyo, lud. 2007. Mikrobiologi umum. Malang : UMM Press.