MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
ISLAMOLOGI TERAPAN BERBASIS PLURALISME BERAGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM Oleh: MN Harisudin 1 Abstrak Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum selama ini masih sangat bersifat normatif, kaku dan rigid. Alih-alih ikut serta memberikan kontribusi dalam kerukunan umat beragama di negeri ini, ia bahkan malah menjadi penghambat bagi upaya kohesi sosial yang menjadi unsur terpenting dalam kerukunan beragama. PAI di PTU dicurigai sebagai lumbung pemahaman eklusif yang nir kekerasan. Untuk itulah, maka diperlukan sebuah paradigm baru PAI di PTU dengan menjadikannya sebagai ilmu, bukan dogma. Selanjutnya, basis paradigm ini dimatchkan dengan visi pluralisme beragama yang mengangankan cita kerukunan umat beragama. Pada tahap aksi, perlu upaya internalisasi yang digerakkan secara massif sehingga mempercepat dan memperkokoh bangunan kerukunan umat beragama di negeri ini. Key Word: redesign, PAI, Perguruan Tinggi Umum A. Mukaddimah Adalah sunnatullah, bahwa bumi tempat kita tinggal dihuni oleh manusia dengan aneka ragam suku, ras, bahasa, profesi, kultur dan agama. Kemajemukan dalam kehidupan, oleh karenanya, merupakan sina qua none yang tak terbantahkan. Tak ada satupun orang yang menyangkalnya. Sebaliknya, saat ini, kita menjadi sangat sulit menjumpai suatu negara – misalnya—yang uniform dalam berbagai hal, apakah agama, suku, ras, dan sebagainya. Kenyataan masyarakat dunia yang plural ini bukan untuk dihindari, melainkan bagaimana cara atau mekanisme yang digunakn untuk menyikapi pluralitas tersebut. Agama sendiri—dalam hal ini Islam, mengakui adanya kemajemukan dalam masyarakat. Allah Swt berfirman:‖ Bagi tiap-tiap umat, ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kalian berada pasti Allah Swt akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu‖. 2Ayat ini secara tegas mengafirmasi kenyataan pluralisme beragama dalam kehidupan. 1
2
Adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah (STAIFAS) Kencong Jember dan kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya. QS. Al-Baqarah: 148. 51
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
Bahkan, pluralisme beragama hendaknya dijadikan media untuk fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam meraih kebaikan. Pada ayat yang lain, Allah Swt juga berfirman: ― Hai umat manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui‖. 3Ayat ini juga menegaskan, bahwa Tuhan menciptakan manusia secara beragam dan keragaman itu tidak dimaksudkan agar masingmasing saling menghancurkan, melainkan agar manusia saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing (lita’arafu). Sayangnya, idealisme al-Qur‘an untuk mengakui pluralitas tidak berjalan mulus. Kenyataan pluralisme ini seringkali dihadapkan sekelompok orang yang menolaknya. Secara eklusif, mereka merasa paling benar sendiri (truth claim) sembari menolak kehadiran agama yang lain. Agama yang lain adalah salah yang oleh karenanya, harus diperangi untuk menegakkan agama Allah Swt. Agama Islam ini, dalam pandangan mereka pun, ditafsirkan secara radikal. Alih-alih mewujudkan kerukunan beragama, mereka sedari awal secara lantang menolaknya. Di Perguruan Tinggi Umum, pemahaman agama Islam yang eklusif dan radikal ini serasa mendapat tempat yang memadai. Minimnya wawasan dan pengetahuan agama telah memuluskan jalan bagi pemahaman Islam yang radikal, intoleran dan eklusif ini. Dus, habitus yang jauh dari nilai-nilai agama juga menjadikan banyak mahasiswa demikian mudah menelan mentah-mentah doktrin-doktrin Islam sehingga dipahami secara keras, radikal dan intoleran. Tidak mengherankan, jika PTU disinyalir dan disebut-sebut merupakan lumbung aktivis Islam dengan aneka pemahaman agama yang eklusif tersebut. B. Rekam Jejak PAI Yang Konvensional Salah satu yang memiliki kontribusi untuk pemahaman agama yang eklusif adalah model Pendidikan Agama Islam di PTU. Meski bukan satu-satunya penyebab, rasanya tidak adil jika kita mengabaikan peran pembelajaran PAI di PTU. Setidaknya, inilah yang kita lihat dalam pembelajaran PAI di PTU. Jam mengajar yang hanya 2 atau 3 sks menjadikan PAI di PTU seolah hanya mengejar aspek formalitas belaka. Bisa dibayangkan jika kuliah selama empat hingga lima tahun, PAI hanya diajarkan dalam satu semester. Lalu, pertanyaannya: apa yang mahasiswa dapatkan jika hanya satu semester saja ?. 3
QS. Al-Hujurat: 13.
52
MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
Sisi lain yang menjadi sumbu pemahaman agama Islam yang eklusif adalah karena pembelajaran PAI di PTU selalu menonjolkan aspek normativitas belaka. Pembelajaran PAI yang bersifat normatif tentu hanya mengangankan cita ideal Islam. Padahal, apa yang diidealkan oleh Islam, seringkali tidak terejawentahkan dalam kenyataan keseharian. Selalu terjadi jurang yang menganga antara das sein dengan das solen. Akibatnya pembelajaran PAI yang demikian ini sangat miskin dengan—apa yang disebut oleh Amien Abdullah dengan—aspek historisitasnya.4 Tak pelak, PAI yang diajarkan di PTU menjadi tak terintegrasikan dengan pelbagai keilmuan yang lain. Semestinya, disiplin ilmu yang lain seperti sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dan seterusnya menjadi pendukung bagi pengajaran PAI di PTU. Sehingga, kita mendapati pengajaran PAI yang multidisipliner, dengan tetap teguh memegang back ground utama; yaitu, pendidikan agama (Islam). Pun, dengan cara ini, kita akan mendapati materi PAI yang dinamis dan hidup bagaikan organisme yang secara terus menerus akan melahirkan bentuknya yang paling sempurna. Di sinilah, makanya pada etape selanjutnya, pembelajaran PAI yang normatif mengeras menjadi sangat dogmatis. Pembelajaran PAI di PTU pun lalu menjadi dogma-dogma yang kaku dan rigid serta nyaris tanpa kritik. Seperti doktrin yang dikhutbahkan para khatib Jum‘at, dogma-dogma yang diajarkan di PTU tak ubahnya sebagai doktrin-doktrin yang membelenggu. Materi PAI yang diajarkan dari waktu ke waktu selalu saja sama dan tidak berubah. Demikian ini karena materi PAI sesungguhnya adalah dogma-dogma absolut dan tidak (mungkin) berubah sepanjang masa. Dogma (materi PAI) ini sangat berbeda dengan paradigma ilmu. Jika ilmu selalu berevolusi sepanjang masa, maka dogma sebaliknya. Ia akan berlaku sepanjang masa. Kelemahan PAI di PTU adalah menjadikan semua materinya sebagai dogma. Tentu, tidak semua harus menjadi ilmu yang senantiasa berubah, seperti keesaan Tuhan, nabi Muhammad Saw, al-Qur‘an, asSunah dan sebagainya. Namun, tidak benar jika digeneralisasikan semua materi PAI adalah dogma yang tidak bisa diubah dan bersifat absolut. Seperti bunyi kaedah fiqh alhukmu yaduuru ma’a illatihi wujuudan wa adaman, hukum Islam senantiasa berubah bergantung pada ada tidaknya illat. Dalam ushul al-Fiqh, domain yang tidak bisa diotak-atik dikenal dengan sebutan ta’abbudi atau ghairu ma’qul al-ma’na (ireasonable). Artinya sudah dari sananya memang seperti itu. Ini 4
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Hisorisitas ?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 28. 53
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
berlaku di ruang ibadah. Sementara, domain yang berubah-ubah disebut dengan ma’qul al-ma’na (irasionable). Beberapa pakar Ushul al-Fiqh menyebut mu‘amalah sebagai ruang ma’qul alma’na. Jika yang ta’abbudi contohnya adalah sholat lima waktu, haji di Mekah, dan sebagainya, maka yang ma’qul al-ma’na contohnya adalah berbagai transaksi jual beli, akad salam dan bentuk muamalah yang lain. 5 Jika pengajaran PAI digerakkan dengan nawaitu ilmu dan bukan dogma, tidak bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya. Ia akan berkolaborasi dengan aneka ragam ilmu sejumlah fakultas yang ada di Perguruan Tinggi Umum. Bahkan, boleh jadi ia akan berkembang lebih dahsyat dari apa yang ada di PTAIN dan PTAIS yang memang sejak awal concern pada studi keislaman. Namun, de facto, pengajaran PAI di PTU tidak seperti itu. Akibatnya, pengajaran PAI di PTU hanyalah tampak sebagai studi pelengkap saja. Tidak lebih dari itu. Berbagai problematika pengajaran PAI di PTU di atas, dalam hemat saya, bisa diselesaikan dengan mendesign ulang pengajarannya, sebagaimana bahasan berikut ini. C. Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Di sinilah, untuk mengatasi berbagai problematika pengajaran PAI di PTU yang serasa mandul itu, saya mencoba menawarkan design ulang PAI di Perguruan Tinggi Umum. Dalam hal ini, saya lebih senang menyebutnya dengan ―Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme‖. Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme—selanjutnya disebut ITBP—mendasarkan seluruh pondasinya pada paradigma ilmu, bukan dogma. Implikasi serius dari paradigma ini, adalah bahwa PAI yang diajarkan di PTU harus siap dengan berbagai aneka perubahan. Karena, salah satu ciri ilmu pengetahuan adalah berubah. Dengan demikian, materi PAI di PTU harus senantiasa di up date agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Isu-isu mutakhir seperti HAM, gender, demokrasi, pluralisme, global warming, lingkungan hidup, anti-korupsi, dan sebagainya harus menjadi salah satu bahasan dari Islamologi. Pada aspek lain, paradigma ilmu yang selalu berubah juga mengandaikan ruang ijtihad yang seluas-luasnya. Memang, ijtihad dan ilmu tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Karena sejatinya ijtihad merupakan ruh ilmu itu sendiri. Ijtihad, oleh karenanya, memang harus dibuka selebar-lebarnya bagi orang-orang tertentu yang memiliki kompetensi di
5
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1978 M/1398 H. 1978 M/1398 H), 62-63.
54
MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
bidangnya, demi meraih kemaslahatan bersama.6 Hasil ijtihad inilah yang kemudian disumbangkan bagi ilmu pengetahuan, terutama materi PAI ke depan. Sementara, basis terapan dalam Islamologi mengangankan aspek aksiologi pengetahuan. Dengan mendasarkan pada teori kebenaran pragmatis, Islamologi terapan baru dianggap benar jika ia secara riil memiliki daya guna atau kemanfaatan di masyarakat. Islamologi terapan, oleh karenanya, menjauhkan diri dari klaim kebenaran yang bersifat subyektif. Sebaliknya, kebenaran dalam Islamologi akan diuji sejauh mana ia memiliki kebermaknaan di masyarakat. Tentu, masyarakatlah yang akan menguji: apakah Islamologi terapan ini masih bermanfaat atau tidak. Meminjam istilah filsafat, kebenaran Islamologi Terapan berbasis Pluralisme bersifat pragmatis. (Pragmatical Theory of Truth).7 Pada aspek inilah, menurut hemat saya, Islamologi terapan akan mendapatkan tantangannya. Jika sementara ini kebenaran normatif dipeluk-erat masing-masing penganut agama secara membabi-buta, maka Islamologi terapan beranjak dari keyakinan subyektif tersebut. Ia bahkan melampauinya dengan senantiasa mencoba melakukan uji-coba kebermaknaan moralitas agama dalam kehidupan keseharian. Inilah tantangan terberat Islamologi Terapan karena ia dituntut untuk secara total mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian. Kalau gagal, ia mesti merevisinya untuk mengajukan kembali bangunan teoritiknya secara lebih baik lagi. Demikian seterusnya. Karena beratnya tugas Islamologi terapan, tak pelak, ia menjadi butuh sokongan disiplin ilmu yang lain. Setidaknya, sokongan disiplin ilmu yang lain ini akan memperkokoh bangunan Islamologi. Ia akan kuat dan kokoh serta tak tergoyahkan karena mendapat inspirasi dari teori-teori sosial, antropologi, psikologi, ekonomi, sosio-politik, dan sebagainya. Dengan demikian, sokongan berbagai disiplin ini akan membuat Islamologi Terapan menjadi semakin ―cerdas‖ dan ―mencerdaskan‖. Sisi lain yang ditonjolkan Islamologi terapan adalah basis nilai pluralisme beragama. Basis nilai pluralisme beragama menjadi sebuah keniscayaan di tengah mondialnya dunia yang tanpa sekat-sekat lagi. Sedari awal, Islamologi harus berpijak pada basis pluralisme beragama. Ini artinya salah satu entry point yang dituju dalam PAI adalah pemahaman keagamaan inklusif dan pluralis. Peserta didik diharapkan—dengan pembelajaran PAI ini—akan menjadi orang-orang yang sadar 6
7
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 109/110. Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 43. 55
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
betul dengan visi besar agama Islam yang inklusif dan juga pluralis. Menjadi mahasiswa pluralis—sasaran dari Islamologi Terapan tadi—berarti mahasiswa yang mengakui keberadaan dan hak agama lain secara adil atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Namun, perlu ditekankan di sini bahwa pengakuan terhadap pluralisme beragama ini tidak identik dengan menjadi seorang yang memiliki aliran relativisme. Seorang relativis tidak akan mengenal kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. 8 Oleh karena itu, pengajaran PAI di PTU tidak diancangkan untuk mencetak aktivis yang memandang relatif kebenaran agama. Dus, menjadi mahasiswa pluralis tidak sama dengan beragama secara ekletik: mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu. Pun, bahwa menjadi mahasiswa pluralis tidak menghendaki sebuah pemahaman bahwa semua agama adalah sama. Sebagaimana dikatakan Frans Magni-Suseno, menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan pernyataan bahwa semua agama sama. Karena senyatanya agama-agama jelas berbeda satu dengan yang lainnya. 9 Pada tataran praksis, mahasiswa pluralis bukan hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan beragama di negeri ini. 10 Pluralisme, oleh karenanya, meniscayakan keterlibatan aktif terhadap pluralitas tersebut. Dalam konteks ini, seorang mahasiswa pluralis dituntut untuk berinteraksi secara positif dalam lingkungan yang plural. Ia harus menunjukkan secara nyata di depan publik bahwa mahasiswa pluralis bukan hanya sekedar label, namun juga sesuai kenyataan. Dengan demikian, pengajaran PAI di PTU tidak hanya menekankan aspek knowing, melainkan juga doing. Jika wacana pluralisme beragama merupakan aspek knowing, maka demikian ini dapat diteruskan dengan praktek kongkrit mahasiswa di dalam atau luar kelas sebagai bagian aspek doing. Tentu, dua hal ini sangat penting bagi upaya perubahan perilaku (change of
8
9
10
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Beragama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (KataKita: Jakarta, 2009), 66. M. Wahyuni Nafis (editor), Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 1995), 471. Alwi Sihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), 41-42
56
MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
behaviour) yang menjadi tujuan pendidikan. Pada tingkat lanjut, aspek doing perlu diteruskan menjadi aspek being (menjadi). 11 Artinya, mahasiswa –dalam pengertian being ini— diangankan menjadi built-in dengan wacana pluralisme beragama itu sendiri. Wacana pluralisme beragama telah sebegitu rupa mendarah daging pada jati dirinya. Dan ini hanya bisa terjadi jika proses pembelajaran PAI diiringi dengan apa yang disebut dengan internalisasi. Dalam internalisasi, ada proses pembiasaan, pengalaman, peneladanan dan seterusnya. Sehingga, kelak ilmu PAI yang diperoleh tidak lagi bisa dipisahkan dengan sang mahasiswa. Keterangan berikut akan menjelaskan bagaimana proses internalisasi nilai-nilai dalam Islamologi Terapan berlangsung secara komprehensip. D. Dari Pluralisme Menuju Kerukunan Umat Beragama Dalam konteks peneguhan bangunan kerukunan umat beragama melalui Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum, maka internalisasi ini dapat dilakukan pada dua arah sekaligus: struktural dan kultural. Pertama, aras struktural. Pada aras suktural, Islamogi terapan yang berbasis pluralisme beragama tadi ditransmisikan dalam ruang kelas secara formalistik. Setiap mahasiswa secara paksa diajak untuk terlibat dalam perkuliahan materi PAI yang mendukung pada upaya conditioning kerukunan umat beragama. Demikian juga, diskusi kelas dengan tema dialog antar iman, juga dapat dilakukan sebagai bentuk diseminasi gagasan kerukunan umat beragama. Di sini, dosen dapat juga memanggil agamawan yang kebetulan berbeda untuk tampil di kelas, berbagi pengalaman dengan mahasiswa. Dengan cara ini, mahasiswa akan dapat melihat secara langsung pengalaman agama lain tanpa diiringi tendensi dan motivasi apapun secara obyektif. Pada langkah selanjutnya, sharing pengalaman ini bisa dilanjutkan dengan kegiatan dialog antar iman. Platform besar yang diusung dalam dialog antar iman tidak sedang untuk menyalahkan agama lain dan membenarkan agama sendiri secara absolut. Namun, dialog antar iman ini dilakukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) atas berbagai agama yang berbeda-beda. Daripada mencari perbedaan yang acapkali menyulut perselisihan dan pertikaian, maka mencari kalimatun sawa merupakan jalan terbaik, demi masa depan manusia yang gemilang. Titik temu antar agama selanjutnya menginisiasi untuk berkarya dalam berbagai kegiatan kemanusian.12 Farid Essack 11
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 224-225. 57
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
menyebutnya dengan agenda pembebasan melalui basis pluralisme. 13Dengan demikian, para agamawan –dengan mana mahasiswa dan dosen berada di dalamnya—berkoalisi bersama untuk memecahkan berbagai masalah kemanusian. Sebut misalnya, kemiskinan akut, penyalahgunaan narkoba, perjudian, korupsi, perdagangan manusia dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra (1999), dialog agama dapat memasuki wilayah garapan etik, social, politik dan ekonomi. Di sini jelas bahwa yang dituju dalam PAI pada aras struktural adalah ranah kognitif mahasiswa. Kedua, aras kultural. Pada aras kultural, ancangan Islamologi Terapan sedapatnya menginisiasi dosen untuk dapat melakukan beberapa hal yang mendukung kegiatan bagi upaya terwujudnya kerukunan umat beragama. Dalam hal ini, dosen dapat memberikan peneladanan (uswatun hasanah) dalam perkataan maupun tindakan yang menyokong kegiatan kerukunan umat beragama. Dosen misalnya dapat memulai sendiri kegiatan yang menyokong kerukunan hidup beragama. Ia langsung terlibat dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerahnya dan menjadi fungsionaris yang terlibat di dalamnya. Dosen, oleh karena itu, juga memiliki banyak pengalaman langsung yang dapat ditularkan pada mahasiswa. Selain itu, pada ranah ini juga, dosen dapat mengupayakan pembiasaan program untuk kerukunan umat beragama. Adanya penghargaan terhadap agama lain—misalnya, dapat langsung dipraktekkan dalam kelas. Demikian juga sikap toleransi terhadap agama lain juga dapat dibiasakan antar mahasiswa di kelas. Ketika ada mahasiswa Hindu dan muslim bersamaan tepat waktu sholat Jum‘at, mahasiswa Hindu selayaknya mempersilahkan langsung temannya untuk sholat Jum‘at di masjid. Demikian ketika mahasiswa muslim berkunjung ke Kristen pada Hari Minggu, sudah selayaknya mahasiswa muslim tahu diri dengan mempersilahkan teman yang Kristen untuk melakukan misa di gereja. Pada aras ini pula, dosen, mahasiswa dan jejaring forum kerukunan beragama secara bersama dapat melakukan aksi bersama yang bermanfaat pada masyarakat yang luas. Misalnya pada saat kohesi sosial menjadi rapuh karena Pemilukada di berbagai tempat, mereka dapat bersama-sama melakukan aksi damai Pemiluka. Mereka menyerukan pentingnya Pemilukada yang damai, demi untu persaudaraan antar sesama. Himbauan mereka ini menjadi penting, di tengah tegang dan panasnya situasi social sebelum, saat dan sesudah Pemilukada. Sehingga 12 13
58
MN Harisudin, Agama Sesat Agama Resmi, (Jember: Pena Salsabila, 2008), 56. Farid Essack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, ( Bandung, Penerbit Mizan, 2000), 231
MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
kegiatan ini dapat meminimalisir impact negatif Pemilukada seperti yang terjadi di Mojokerta, dan tempat lainnya. Walhasil, inilah cara agar Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme ini tidak hanya sekedar menjadi teori, namun juga menjadi aksi. Ancangan Islamologi terapan dari basis pluralisme beragama hingga menuju upaya kerukunan umat beragama merupakan bentuk kongkrit kurikulum PAI di PTU yang sudah diformulasikan sedemikian rupa. Mahasiswa akhirnya tidak hanya tahu (knowing) tentang pluralisme beragama dan kerukunan umat beragama, namun juga melakukan (doing) sesuatu yang mendorong Islamologi terapan tadi berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan pada akhirnya menjadi (being) dari upaya kerukunan umat beragama melalui proses internalisasi. Dengan terinternalisasikannya Islamologi Terapan berbasis Pluralisme di atas, mahasiswa diharapkan menjadi proponen yang peduli pada kerukunan umat beragama di daerahnya. Ia tidak hanya menguasai materi PAI, namun juga melakukan aksi kongkrit. Last but not least, mahasiswa dapat menjadi pioneer kerukunan umat beragama. Ia akan mendakwahkan dan juga secara langsung mempraktekkan konsep kerukunan hidup beragama pada kehidupan yang nyata. Mahasiswa di PTU ini kelak juga akan menciptakan habitushabitus yang mempercepat proses kerukunan hidup beragama di negeri ini. Habitus merupakan disposisi individu untuk melakukan persepsi dan respons dengan cara tertentu terhadap lingkungan sekitarnya. Disposisi bersifat sosial karena merupakan kemampuan yang ditanamkan oleh lingkungan asal dari individu, dari sejak kecil di lingkungan keluarga dan kelompok sosial yang lain. Karena proses penanamannya berlangsung lama dan terus menerus, disposisi beroperasi pada diri individu secara spontan atau instinktif dan alamiah, sehingga menyatu dengan subjek dan menjadi kekuatan yang menstrukturkan pada seluruh masyarakat. Di sinilah, gagasan Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama ini, telah memberikan secercah harapan masa depan bangsa Indonesia yang rukun, damai dan toleran. Sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan, harapan ini insyaallah akan dapat dicapai dengan kerja keras semua pihak tanpa kecuali. E. Kesimpulan Gagasan re-design Pendidikan Agama Islam di PTU, merupakan gagasan yang mendesak dalam rangka upaya penciptaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Selama ini, pembelajaran PAI di PTU Nampak sangat formalistik, kaku dan 59
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
rigid. Tidak heran jika materi yang disampaikan sangat dogmatis. Akibatnya, yang mengemuka adalah pemahaman Islam yang eklusif, intoleran dan bahkan radikal. Pun, akhirnya PTU disebut-sebut sebagai lumbung para aktivis dengan pemahaman Islam yang eklusif dan radikal. Pertama kali yang dilakukan adalah dengan membangun basis epistemologis PAI di PTU. Jika PAI di PTU selama ini hanya berorientasi dogma, maka diubah dengan paradigma ilmu. Dengan paradigma ilmu ini, PAI di PTU selalu berorientasi pada ijtihad. Ijtihad akan menghasilkan konsep-konsep terbarukan dan berguna bagi masyarakat luas. Dengan demikian, PAI di PTU akan selalu di up date sesuai dengan perkembangan zaman. Isu gender, HAM, korupsi, demokrasi, dan sebagainya akan menjadi focus dan bahasan PAI di PTU. Di samping itu, basis lain adalah visi pluralisme beragama dalam PAI di PTU. Basis ini menjadi sangat urgen sebagai antitesa dari pemahaman agama (baca: Islam) yang eklusif. Dengan basis ini, mahasiswa dicerahkan untuk menghormati dan menghargai agama yang lain, kendati penghargaan ini tidak berkait dengan pernyataan (misalnya) bahwa semua agama itu sama. Basis ini juga tidak memberikan ruang untuk relativisme beragama. Sebaliknya, basis pluralisme beragama tetap teguh pada agama yang dipeluknya, namun tetap menghargai agama lain secara setara. Selanjutnya, basis ini diteruskan dengan internalisasi nilai-nilai agama yang mendorong upaya penciptaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Internalisasi ini dalam dua ranah sekaligus: structural dan cultural. Pada ranah structural, internalisasi dilakukan di ruang perkuliahan oleh dosen. Sementara, pada ranah kultural, dosen dapat melakukan peneladanan, pembiasaan, dan sebagainya yang akan menjadikan mahasiswa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wacana pluralisme Beragama. Gagasan re-design inilah yang saya sebut dengan Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme. Meski gagasan ini di sana-sini masih kurang memadai dan perlu banyak kritik, namun saya kira gagasan ini perlu disambut untuk perbaikan pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum. Saya lebih tepat menyebut gagasan ini sebagai ‗batu-bata‘ untuk reformasi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Wallahu’alam. ***
60
MN Harisudin, Islamologi Terapan Berbasis Pluralisme Beragama di Perguruan Tinggi Umum
Daftar Pustaka
Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Essack, Farid, 2000. Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Bandung, Penerbit Mizan. Ghazali, Abd. Moqsith, 2009. Argumen Pluralisme Beragama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, KataKita: Jakarta. Nafis, Wahyuni (editor), Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995. Syafe‘i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978 M/1398 H. Rapar, Jan Hendrik, 1996.
Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
Sihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997. Harisudin, MN, Agama Sesat Agama Resmi, Jember: Pena Salsabila, 2008. Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas atau Hisorisitas ?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
61
JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010
62