1
ISLAMISASI INDONESIA (Studi Pustaka tentang Islamisasi Indonesia ditinjau dari Kajian Pendidikan) Oleh: M. Saifuddin Yulianto Abstrak Islamic education in Indonesia is an ongoing process that directly coincided with the introduction of Islam in Indonesia, which according to his theory and historical analysis entered in the range of VII century (first opinion), X century (second opinion), or even in the XIII century (the third opinion,) all of which are supported by historical evidence and rational reasons. Acceptance of Islam for the people at that time could not be separated from the political social conditions ie; began to decline in the glory of the nation / kingdom of Majapahit and the weakness of the economic consequences of various aspects of life they experience. Progress and growth of Islamic life in Indonesia is also strongly influenced by Islam, especially the trustees broadcasters dross that is recognized is able to bring and implement Islamic education in Indonesia with the approach of acculturation, assimilation of culture, politics, and marriage. Keys Word: Islamization, Indonesia, Education
Pendahuluan Allah telah menetapkan dalam al-qur’an bahwasanya manusia adalah sebagai makhluq yang paling mulia diantara ciptaan yang lain, terlebih jika dilihat dari aspek kemampuan yang dapat dikembangkan. Dari sini muncullah keharusan-keharusan yang dimiliki manusia berkaitan dengan kelebihankelebihan yang ada dan dimiliki. Begitupun dalam diri manusia terdapat dua aspek yang saling melengkapi dan tarik menarik untuk menyempurnakan kepribadian manusia itu sendiri, yakni: akal-budi dan nafsu. Berkaitan dengan hal tersebut Rasullullah telah memberikan arahan yang jelas, bila pembentukan awal motivasi manusia (yang disebut oleh para ahli jiwa
2
sebagaimana dikutip oleh Hasan bin Ali Al-Hijazy terj. Muzaidi Hasbullah 2001:24 dengan istilah Ad-dawafi’ Al-Awwaliyah) akan sangat berpengaruh pada perkembangan di masa-masa selanjutnya. Sehingga keluarga dan masyarakat dimana individu itu tinggal mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya menumbuhkan motivasi tersebut. Pembentukan motivasi yang mengarah pada pembentukan kepribadian dapat dilakukan melalui pendidikan, terutama pendidikan Islam sebab pendidikan Islam mempunyai jiwa. Athiyah al-Abrasy 1987:1 menyatakan bahwa “Pendidikan budi pekerti adalah Jiwa dari pendidikan Islam.” Dari sini dapatlah diambil pernyataan bahwa mencapai akhlaq yang sempurna adalah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan. Namun hal ini tidak berarti pendidikan jasmani serta segi-segi keilmuan yang lain dianggap tidak penting, bahkan keseimbangan antara sisi akhlaq dengan sisi jasmani sangat diperlukan untuk memadukan kemampuan rohani dan jasmani dalam rangka menjalankan kewajiban hidup sebagai manusia, baik sebagai kewajiban sebagai hamba Allah maupun kewajiban sebagai anggota masyarakat serta kewajiban sebagai bagian dari lingkungan harus selalu diupayakan serta ditanamkan karena tidak bisa berlangsung secara seketika dan sekaligus. Oleh sebab itulah AlNaquib Al-Attas terj. Haidar Baqir, 1992:36 memberikan penegasan bahwa “pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan kepada manusia.” Pendidikan nilai-nilai religius sebagai bagian dari penanaman nilai-nilai akhlaq di Indonesia juga berlangsung secara bertahap mulai dari adanya
3
keyakinan Animisme dan Dinamisme yang tumbuh subur sebelum nenek moyang bangsa Indonesia mengenal agama hingga masuknya agama-agama di Indonesia. Kemudian, karena adanya pengaruh kebudayaan India bangsa Indonesia mulai mengenal agama Hindu. Ini dapat dibuktikan dengan berdirinya beberapa kerajaan Hindu di Nusantara. Dan “Dari sumber-sumber Cina kita mengetahui bahwa dalam abad VI dan VII Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.” (Franz Magnis Suseno 1993:23). Pada abad VIII muncul pula pengaruh agama Budha yang lebih mengajarkan pada persamaan hak terhadap setiap orang. Ajaran ini dapat diterima oleh masyarakat yang sebelumnya juga mengenal agama Hindu yang mengajarkan Kasta dalam pranata kehidupan sosial. Keberadaan agama Budha dapat di ketahui dari pernyataan Franz Magnis Suseno 1993:23-24 tentang dibangunnya Candi Borobudur pada masa kekuasaan Dinasti Syailendra dari Sumatra yang pula berkuasa kira-kira selama enam puluh tahun di sebelah barat Yogyakarta. Meski agama Budha berkembang agama Hindu tidaklah punah. Bukti konkritnya dapat diketahui pada perkembangan abad IX pada masa kekuasaan Mataram (Hindu) agama Hindu yang juga dikenal sebagai agama Siwa membangun prasasti berupa bangunan terbesar di zamannya yaitu kompleks candi Lorojonggrang di Prambanan dekat Yogyakarta yang terdiri dari tiga candi utama yang diperuntukkan bagi Dewa Brahma, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu. Memasuki abad XIV Islampun masuk ke Indonesia melalui Malaka yang menjadi pusat penyebarannya, bahkan:
4
“Pedagang-pedagang Islam dari Arab dan Gujarat, juga orang Jawa yang berkedudukan di Malaka, membawa agama Islam ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa… . Penguasa-penguasa kota pesisir utara seperti Cirebon, Demak, Tuban, Jepara, Gresik dan kemudian Madiun dipedalaman memeluk agama Islam.” (Franz Magnis Suseno 1993:31)
Pernyataan bahwa Malaka menjadi awal pusat penyebaran agama Islam sangat kuat terlebih setelah: “Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 M menyebabkan gelombang besar perpindahan para ulama Muslimin ke Sumatra dan Jawa.” (R.O. Winstedt, -: 112) Dan “Penyebaran ini mengakibatkan meningkatnya semangat keagamaan dan Da’wah Islamiyah. Kaum Muslim setempat bergabung dengan para da’I dan mereka saling bahu membahu.” (Alwi bin Thahir al-Haddad, terj. Ali Yahya, 2001: 155) Di antara sebab-sebab Islam mudah diterima oleh rakyat maupun kaum bangsawan pada waktu itu adalah adanya upaya keras para da’i bersama kaum Muslim setempat serta karena dalam waktu bersamaan terjadi kemunduran pemerintahan (yang berkuasa) kerajaan Majapahit yang diakibatkan oleh perang saudara yang berkepanjangan. Akhirnya kemunduran kerajaan Majapahit tersebut berakibat pada berakhirnya kekuasaan “Kerajaan Majapahit yang runtuh pada awal abad ke XVI.” (Andre Feillard, terj. Lesmana 1993:3)
5
Juga karena prinsip-prinsip kehidupan dalam agama islam yang sangat sesuai dengan tuntutan kehidupan apada waktu itu. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:
Persamaan hak dalam kedudukan dan nilai kemanusiaan bermasyarakat. Persamaan hak dalam ketetapan undang-undang mengatur kepentingan kehidupan kenegaraan dan lain-lain. Persamaan hak dalam hal aktifitas perekonomian dan perdagangan. (Ali Abdul Wahid Wafi terj. Abu Ahmad al-Wakidy 1991:13)
Di samping itu Islam juga dida’wahkan secara arif dan bijaksana sehingga masuknya Islam ke Indonesia berlangsung dengan cara damai, bukan dengan cara kekerasan dan peperangan, sehingga membuahkan simpati pada orang-orang yang semula belum mengenalnya. Diantara tokoh-tokoh penyiar agama Islam di Indonesia terdapat sembilan tokoh sentral di Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Wali Songo” atau Wali sembilan serta tokoh-tokoh lain yang tidak tergabung di dalamnya. Tokoh-tokoh penyiar agama Islam tersebut di antaranya adalah: 1. Sunan Ampel, yaitu Ali atau Ahmad bin Ibrahim bin al-Husein Jamaluddin. 2. Sunan Giri, yaitu Muhammad Ainu Yaqin bin Ishaq bin Ibrahim bin alHusein Jamaluddin. Ia memiliki gelaran gelaran yang lain. 3. Sunan Gunung Jati, yaitu Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nuruddin bin alh-Husein Jamaluddin 4. Sunan Bonang, yaitu Ibrahim bin Ali, di Tuban. 5. Malik Ibrahim di Gresik.
6
6. Sunan Kudus, yaitu Ja’far Ash-Shadiq bin Ali. Ia yang membangun kota ini dan menamakannya Kudus. Masjidnya dinamakan al-Aqsha. 7. Sunan Drajat, yaitu Hasyim bin Ali. 8. Syarif Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah bin Abdullah bin Ali Nuruddin bin al-Husein. (Alwi bin Thahir al-Haddad, terj. Ali Yahya 2001:178) Upaya yang dilakuka oleh para penyiar agama Islam di Indonesia selain dapat diterima, ternyata mampu memberikan warna dalam kebudayaan IslamJawa sebagai hasil dari akulturasi ajaran agama dengan adat-istiadat setempat. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa tujuan hidup manusia yang disebutkan oleh Thaha Husein dalam Syahrin Harahap, peng. Harun Nasution 1994:3, sebagai upaya untuk menegakkan peradaban, telah tercapai. Upaya penegakkan peradapan di kalangan kaum Muslim di Jawa karena: “Islam dalam hal ini telah menjadi dasar sebuah sistem dan makna, yang berfungsi sebagai model untuk memberikan pemaknaan terhadap kenyataan yang berlaku di tanah Jawa. Demikian pula dengan penghadiran konsep ideal penguasa, raja Jawa yang adil, bijaksana, sangat berkuasa dalam Islam… .” (Zaenul Milal Bizawie 2002:33).
Keberhasilan proses akulturasi ajaran islam dan budaya Jawa: “Dalam konteks sejarah Jawa, kebangkitan Islam di atas antara lain bisa dilihat melalui karya-karya sastra keraton yang ditulis pada periode ini. Pada paruh pertama abad ke 18, tepatnya pada masa kekuasaan Pakubuwana II, Islam dalam karya-karya yang dihasilkan menempati posisi yang sangat penting dalam budaya dan politik Jawa. Dapat dicatat di sini antara lain, Cerita Iskandar, Cerita Yusuf dan Kitab Uslubiyah yang merupakan karangan Ratu Pakubuwana I.” (Ricklefs 1989:48)
7
Penulisan sejarah ini dilakukan dengan keyakinan bahwa “sejarah memiliki metode yang ilmiah; berjuta-juta fakta sejarah dapat dipastikan secara meyakinkan baik bagi awam maupun bagi ahli.” (Louis Gottschalk, terj. Nugroho Notosusanto 1986:4) Sedangkan penulisan tentang pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan, diasumsikan pada kenyataan bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dalam hal ini membahas dari keyakinan agama yang telah lebih dahulu dianut berganti ke agama Islam, pastilah juga berpengaruh pada perubahan sosial dan budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat John L. Esposito, terj. A. Rahman Zainuddin 1980:9, dengan penyataannya,”… (revolusi yang meraka lakukan) lebih hanya dari satu revolusi untuk kepentingan agama saja. Revolusi itu juga adalah revolusi sosial dan kebudayaan.” Alasan lain yang dapat diajukan untuk memadukan unsur pendidikan yang bertalian dengan unsur perkembangan masyarakat karena memang pendidikan dalam masyarakat yang dilakukan tidak terlepas dari bagian membangun peradapan Islam. Selain menajarkan prinsip-prinsip ke-Tuhanan dilakukan pula penataan kehidupan sosial, penataan hubungan dengan para penguasa, serta mengajarkan berbagai bidang ilmu dengan cara yang unik, yaitu melalui kegiatan-kegiatan budaya serta adat-istiadat yang berlaku di sekitanya, sehingga “secara keseluruhan dalam perimbangan antara budaya pribumi dan kekuatan-kekuatan Islam, jelas terdapat kecenderungan untuk saling meleburkan diri.” (Manfred Ziemek, terj. Butche B. Soendjojo 1983: 44-45). Semua itu
8
sangat sesuai dengan pendapat Mustafa As-Siba’I, terj. Irawan dan Fauzi Rahman 1992: 37 bahwa “Peradaban Islam terbentuk dari empat unsur pokok yaitu sumber-sumber ekonomi, tatanan politik, tradisi moral, dan khazanah ilmu dan seni.” Di sisi lain perubahan dalam masyarakat bukanlah hal yang tabu bagi Islam, bahkan “perubahan itu merupakan salah satu fenomena yang dinamis. Ini terbit dari agama Islam yang menyokong setiap kemajuan dan perubahan yang baik yang diperlukan oleh tuntutan perkembangan insan dan masyarakat yang berterusan.” (Muhammad al-Toumy al-Syaibani, terj. Hasan Langgulun 1979:196) Wawasan Keindonesiaan Indonesia sebagai sebuah negara yang besar serta memiliki sejarah yang panjang dengan berbagai sisi perkembangannya patut dikaji dan diteliti. Kajian dan penelitian tentang perkembangan-perkembangan tersebut selain mengarah pada perkembangan wilayah kekuasaan, juga mengarah pada perkembangan seni budaya serta perkembangan agama-agama yang pada nantinya mengarah pada perkembangan sikap dantingkah laku sosial mayoritas masyarakat Indonesia. Peninggalan sejarah yang dibuktikan dengan adanya berbagai prasasti dan benda-benda kuno lainnya adalah merupakan bukti keberadaan dan kebesaran bangsa Indonesia serta kemajemukannya yang mampu menerima serta mengimplementasikan berbagai pengaruh budaya asing yang masuk dan berkembang pada masa-masa tertentu.
9
Untuk mengantarkan pada pembahasan seputar pendidikan sosial keagamaan (Islam) yang berkembang di Indonesia, maka spesifikasinya akan diarahkan pada kurun waktu penting berikut:
A. Kondisi Indonesia Pra Islam Untuk mendapatkan gambaran tentang keberadaan dan kondisi bangsa Indonesia pada umunya dapatlah diambil suatu masa yaitu masa kerajaan Majapahit yang dibangun pada tahun 1293 M oleh Pangeran Wijaya dengan menaklukkan kerajaan Kediri atas bantuan tentara Mongol. Karena secara kebetulan Majapahit dapat dijadikan (salah satu) tolak ukur kebesaran bangsa Indonesia, terutama pada masa keemasannya di bawah pimpinan Raja Hayam Wuruk (1350 – 1389 M) dan Patih Gajah Mada (1331 – 1364 M). hal ini dapat di rujukkan pada pernyataan Magnis Suseno (1993: 27) bahwa “Kerajaan Majapahit, kerajaan yang paling berkuasa dalam sejarah Jawa, lahir dalam lindungan angin serangan tentara Mongol.” Keberhasilan duet kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada juga diungkap oleh Badri Yatim (2000 : 195 – 196) dengan pernyataan berikut: “Di Kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi politik pusat kerajaan memang tenang, sehingga banyak daerah di kepulauan Nusantara mengakui berada di bawah perlindungannya.”
10
Disisi lain kebesaran Majapahit sangat nampak jelas pada sistem dan tata cara kehidupan sosial yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya adalah: A.1. Kehidupan Sosial Keagamaan Kebudayaan Majapahit khusunya dalam bidang sosial keagamaannya pada kurun abad XIII mengalami kemajuan yang sangat pesat, terlebih dengan diundangnya agama Siwa (baca Hindhu) dan agama Budha sebagai agama resmi kerajaan. Selain itu kerajaan juga tidak membatasi keberadaan “faham kejawen” yang telah terlebih dahulu ada dan berkembang sebelumnya. Ini sebagaimana diungkapkan oleh Kuswanto dalm Subandiroso (1988: 124) bahwa “masyarakat Jawa kebanyakan mengatur kepercayaan sinkritisisme antara unsur agama Hindhu, Budha dan Animisme.” Kerajaan Majapahit yang memiliki dan menganut : 1.
Agama Hindhu
2.
Agama Budha
3.
Faham Kejawen (Animisme dan Dinamisme)
Dapat menciptakan kerukunan hidup pada masyarakat yang digambarkan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Hal ini dimaksudkan bahwa pada saat itu di kerajaan Majapahit tumbuh dan berkembang berbagai macam agama, namun masing-masing pemeluknya dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Edi Sedyawati (1992: 7) menegaskan bahhwa perumusan kemanunggalan ideal religi tersebut pada waktu itu baik dalam perwujudannya, merupakan
11
pernyataan daya kreatif untuk mengatasi masalah keanekaragaman agama, yang perlu dikelola dalam konteks bina negara. Hal ini yang menjadikan kerajaan Majapahit mampu berkembang dengan pesat, karena masing-masing kelompok agama saling mendukung untuk membangun dan membesarkan kerajaannya dengan tanpa menjadikan isu agama dalam konteks pemerintahan, melainkan sebatas ideologi ke-Tuhan-an yang harus diyakini dan dijalankan secara pribadi. Zoemulder dalam Magnis Suseno 1993: 27 menggambarkan tentang situasi keagamaan di Jawa yang berkembang terus, sedang perbedaan Budhisme dan Siwaisme praktis hilang. Agama resmi merupakan suatu bentuk sinkretisme tantrik agama Siwa – Budha. Pada saat yang bersamaan ide-ide Jawa Asli semakin kuat muncul kembali, tetapi bukan untuk melawan. Pengelolaan kehidupan beragama oleh negara dilakukan dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang memadai, baik berupa tatanan hidup maupun sarana peribadatan guna menunjang aktifitas kegiatan beragama pada umumnya. Sarana peribadatan sebagi tempat suci yang dibangun dan dianugerahkan oleh kerajaan terhadap para pemuka agama adalah: 1.
Dharma Haji atau Dharma Dalm
2.
Dharma Lpas, (Hariani Santika, 1986: 152 – 152) Dharma Haji atau Dharma Dalm meliputi bangunan suci yang
diperuntukan khusus bagi para keluarga kerajaan. Akan tetapi pengelolaannya dilakukan oleh seorang Stapaka dan seorang Wiku Haji, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Dharma Dhaksa, baik untuk bangunan suci agam Siwa (Hindhu) maupun agama Budha.
12
Sedangkan Dharma Lpas adalah bangunan suci yang diperuntukkan para pemuka agama golongan Resi penganut Siwa (Hindhu) dan Budha. Pengawasan terhadap Dharma Lpas ini dilakukan oleh tiga pejabat keagamaan keraton yaitu: Dharmadhiyaksa Ring Kasaiwan untuk bangunan suci Hindhu. Dharmadhiyaksa Ring Kasogatan untuk pengawasan bangunan suci Budha dan pejabat Mantri berhaji. Selain kedua kelompok tersebut, masih terdapat sebuah kompleks bangunan suci yang disebut Mandhala yaitu sebuah wanasrama, tempat suci milik para Resi. Satu Mandhala dikeapali oleh seorang Siddapandhita yang disebut Dewaguru, oleh sebab itu Mandhala juga disebut Kadewaguruan. (Hariani Santika, 1986: 152).
A.2. Pendidikan pada Masa majapahit Sebagai sebuah kerajaan yang besar Majapahit juga memperhatikan kegiatan pendidikan, yang pada waktu berkembang dan disentralkan pada lingkungan keraton dan bertempat Dharma Haji dan Dharma Lpas. Kedua tempat ini khusus mengelola pendidikan keluarga besar kerajaan serta pemuka agama dari golongan Resi. Sedangkan pendidikan untuk kalangan masyarakat dan rakyat biasa tersebar pada sistem pendidikan yang terpusat di Mandhala-mandhala yang ada di seluruh pelosok kerajaan Majapahit. Biaya pendidikan di kalangan masyarakat dan rakyat biasa di biayai oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Muskens dam Magnis Suseno, 1993: 29 bahwa:
13
“Pendapatan Keraton terdiri dari upeti-upeti negara-negara vasal dan dari perdagangan, juga dari pajak yang berupa hasil bumi yang dibebankan pada desa-desa secara kolektif. Ada juga desa yang pajaknya digantikan dengan kewajiban untuk menjamin penghidupan candhi-candhi dan para Pendeta yang berjabat di situ.” Sistem pendidikan yang diterapkan pada masa tersebut lebih mengarah pada pengambilan sari cerita yang banyak diambil dari ajaran agama Hindhu dan Budha misalnya cerita tentang Gagang Aking (Jerami Kering) dan Bubuksyah (Pemakan Banyak), dan kakak – adik yang melakukan upaya untuk mencari ilmu dengan dua cara yang berbeda. Sebagai penganut agama Siwa Gagang Aking melakukan tapa sedang Bubuksyah sebaliknya. (Magnis Suseno, 1993: 27 – 28) Valuasi tentang sistem pendidikan tersebut dapat dilihat pada ukiran batu Kuno yang terdapat di komplek candhi Panataran dari abad XIV yang menurut Zoetmulder adalah merupakan Punden Suku yaitu suatu pusat kebudayaan yang mewakili seluruh masyarakat pada waktu itu. Dan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tersebut muncullah tokoh pendidikan dan pujangga benama Mpu Tantular yang pula penyusun karya Kakawinan Arjunawijaya (Negara Kartagama) dan Sotasoma, yang keduanya mengisahkan tentang kemanunggalan Siwa – Budha. Juga seorang pujangga lain yang bernama Mpu Prancapa.
B. Faktor Pendukung diterimanya Islam Islam sebagai suatu agama yang telah diyakini dan mengakar kuat pada setiap pemeluknya, memberikan suatu perintah kepada umatnya untuk selalu
14
disebar-luaskan. Sehingga dalam perkembangannnya Islam selalu melahirkan orang-orang besar yang berjuang menyebarkan konsep-konsep kehidupan Islami sehingga islam dikenal dan dianut sebagi tuntunan hidup oleh bangsa-bangsa di dunia tak terlepas di Jazirah Arab saja. Perjalanan panjang para penyiar agama Islam dengan dilandasi firman Allah di antaranya dala QS. Al-hujarat: 15, yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa meraka pada jalan Allah, itulah orang-orang yang benar.” Hal itu pulalah yang mengantarkan Islam sampai Indonesia. Sedangkan masuknya Islam di Indonesia pada mulanya di bawa oleh para pedagang yang telah mengenal Indonesia yang pada waktu lebih dikenal Nusantara. Zuharini, 2000:130 mengemukakan dua alasan pokok yang menyebabkan Indonesia dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur Jauh sejak zaman dahulu kala. Dua alasan tersebut adalah: 1. Faktor
letak
geografisnya
yang
strategis
Indonesia
berada
di
persimpangan jalan raya Internasional dari jurusan Timur Tengah menuju Tiongkok melalui lautan serta jalan menuju benua Amerika dan Australia.
15
2. Faktor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan kebutuhan hidup yang sangat dibutuhkan bangsa-bangsa lain. Misalnya rempahrempah. Menyimak dua faktor tersebut, dapatlah dikemukakan catatan perjalanan Marcopolo seorang warga negara Italia yang pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 M, menyatakan bahwa pada waktu itu Perlak adalah merupakan kawasan perdagangan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang Islam yang berasal dari Timur Tengah, Persia dan India. Dan pada waktu itu di Perlak telah didirikan sebuah majlis taklim yang didirikan oleh rajanya yang bernama Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin. (Mustafa dan Abdullah 1998: 34) Dari catatan Marcopolo tersebut, Pertama, sesungguhnya dapat diketahui bahwasanya para penyiar agama Islam tidak hanya berasal dari Arab saja, melainkan juga berasal dari Persia dan dari India yang lebih dikenal dengan sebutan para pedagang Gujarat. Kedua, Jika pada tahun 1292 M, Marcopolo telah mencatat perkembangan Islam di Indonesia, maka Taufiq Abdullah (Ed), 1991: 34 berpendapat bahwa wilayah barat nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu pala dan cengkih yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan di Sumatra untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Ini terjadi semenjak abad 7 M.
16
Meskipun pada mulanya Islam di bawa oleh para pedagang namun dalam kenyataannya agam Islam dapat merebut simpati masyarakat Nusantara pada waktu itu, baik di Jawa maupun di Luar Jawa.
Faktor-faktor yang mendukung Islam diterima adalah sebagai berikut: B.1. Faktor Politik Sebagaimana diketahui bahwa masuknya Islam di Indonesia tidaklah dalam kurun waktu yang bersamaan, maka dapat dipastikan bahwasanya kondisi sosial politik juga berbeda. Di Malaka Islam berkembang karena adanya dukungan kuat dari Kerajaan Sriwijaya, yang pada waktu itu sedang meluaskan kekuasaannya di daerah Semenanjung Malaka. Alasan perluasan kekuasaan ini didasarkan pada asumsi bahwa penguasaan terhadap selat Malaka merupakan kunci bagi keberhasilan ekonomi dan perdagangan. Sebab sebagaimana diketahui Selat Malaka adalah merupakan pintu gerbang jalur pelayaran Internasional. Pertama kali ketika para pedagang Islam datang, sebenarnya belum menampakkan dampak-dampak sosial maupun politik, karena pada awalnya mereka datang hanyalag sebatas melakukan perjalanan dagang belaka. Akan tetapi situsi berubah menjadi lain ketika pada abad ke-9 Masehi, dimana mereka terlibat dalam upaya pemberontakan petani-petani
17
Cina terhadap kekuasaan T’sang pada masa kekuasaan Kaisar Hi-Tsung (878 – 889 M). kekalahan yang dialami menyebabkan banyak sekali orang Islam yang dibunuh dan dikejar-kejar. Sebagian menyelamatkan diri dan bersembunyi di Kedah yang merupakan daerah kekuasaan Sriwijaya, juga ada pula yang melarikan diri ke Palembang (Uka Tjandrasasmita, 1984: 2). Karena kebijakan Raja Sriwijaya yang melindungi orang-orang Islam disini, maka kebijakan tersebut disambut dengan baik, terlebih setelah mereka diberikan ijin untuk mendirikan perkampungan sendiri. Merekapun mendirikan perkampungan Islam. Pada saat inilah mulai diperkenalkan. Disisi lain ketika pada abad ke-12 saat kondisi politik dan ekonomi Sriwijaya mulai melemah dikarenakan munculnya upaya-upaya kerajaan Singasari (Jawa) yang sedang melakukan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M dan mampu mengalahkan kerajaan Melayu di Sumatra, yang menyebabkan banyak negara bawahan Sriwijaya yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, maka para pedagang Islam mengambil keuntungan-keuntungan perdagangan juga keuntungan politik. Hal ini dilakukan dengan sikap daerah-daerah yng dinyatakan sebagai negara yang bercorak Islam. Conroh yang dapat dikemukakan (Uka Tjandasasmita, 1984: 3) adalah kerajaan Samudra Pasai di pesisir timur laut Aceh. Sedangkan perkembangan di Jawa juga dipengaruhi oleh situasi sosial politik yang ada pada masa tersebut. Hal ini di mulai dengan meningggalnya Patih Gajah Mada pada tahun 1364 M kemudian disusul dengan meninggalnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, kerajaan
18
Majapahit mengalami keguncangan. Terlebih setelah berlangsungnya perebutan kekuasaan yang terjadi antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabumi selama kurang lebih sepuluh tahun. Kekacauan politik juga terjadi setelah meninggalnya Bhre Wirabumi yang menyebabkan munculnya kembali perebutan kekuasaan di kalangan Istana. Pada saat yang bersamaan terjadi pula penyerangan terhadap Majapahit yang dilakukan oleh Girindrawardhana dari Kediri pada tahun 1512 – 1515 M. Situasi politik yang tidak stabil pada kedua pemerintahan tersebut mendorong pergerakan penyebaran Islam semakin kuat, terlebih di daerahdaerah pantai. Bahkan ulama-ulama besarpun tak ketinggalan ikut ambil bagian dalam hal ini. Hamka, - : 141 mengemukakan kedatangan para ulama dari Gujarat ke Aceh mereka antara lain:
Maulana asy Syekh Nuruddin Muhammad Jailany bin Hasanji bin Muhammad ar-Raniry al Quraisyi. Beliau adalah paman dari Syekh Nuruddin ar-Raniry.
Syekh Ibrahim sy Syami.
Syekh Abul Khair ibn al-Hajar (orang yang ahli dalam ilmu fiqh serta pengarang Saif al-Qothi’ (pedang yang tajam).
Syekh Muhammad al Yamani (mengajar ushul fiqh)
Syekh Aminuddin Abdurrauf Ali al Fansuri.
19
Selai itu kondisi sosial politik yang tidak menentu tersebut juga mendorong berdiri dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaankerajaan Islam tersebut antara lain adalah: 1.
Kerajaan Islam di Maluku Raja Maluku yang pertama kali masuk Islam adalah Sultan Ternate yang bernama Marhum pada tahun 1465 – 1486 M. sedangkan Sultan Maluku yang terkenal dalam bidang pendidikan Islam adalah Sultan Zainul Abidin tahun 1486 – 1500 M (Zuhairini, 2000: 142)
2.
Kerajaan Islam di Kalimantan Islam masuk di Kalimantan dibawa oleh Sunan Bonang dan Sunan Giri pada abad ke 15 M, juga Sayid Ngabdul Rahman atau Khatib Baiyan (Kediri) (Zuhairini, 2000: 143). Pendidikan Islam di Kalimantan sebagaimanan dikemukakan oleh Mustafa dan Abdullah (1998: 42) adalah dilakukan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari yang memiliki banyak tulisan, di antaranya:
3.
Sabilul Muhtadin, yang hampir dipelajari di seluruh Indonesia
Syarah Fathul Jawad
Tuhfatur Raghibah, yang terkenal di Sumatra dan Aceh
Ushuluddin
Tasawuf (Kanzaul Ma’rifah)
An-Nikah
Al-Faraid
Kerajaan Islam di Sumatra
20
Kerajaan yang mula-mula berdasarkan Islam adalah kerajaan kembar Gowa dan Tallo tahun 1605 M. rajanya bernama Mallingkang Daeng Manyori yang kemudian berganti nama Sultan Abdullah Awwalul Islam. (Zuhairini, 2000: 145). 4.
Kerajaan Samudra Pasai Rajanya adalah keturunan Meurah Silu (al-Malikul as-Saleh yang memerintah pada tahun 650 – 688 H/1261 – 1289 M. kerajaan Pasai ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir tahun 727 – 750 H/1326 – 1345 M. Soekmono (- : 44) memberikan penjelasan tentang hubungan samudra Pasai dengan Persia adalah diangkatnya beberapa pejabat kerajaan yang berasal dari negara asing termasuk dari Persia. Di antara para pejabat tersebut adalah: a. Sri Kaya Ghiyasuddin, sebagai Perdana Menteri. b. Sayid Ali Al-Makaraby, sebagai syekh al-Islam. c. Bawa Kayu Ali Hisamuddin al-Malabary sebagai Menteri Luar Negeri.
5.
Kerajaan Islam di Jawa Kerajaan Islam di Jawa ditandai dengan didirikannya Kerajaan Demak dengan rajanya Raden Patah yang keberadaannya mendapat dukungan penuh para Wali Songo. Raden Patah diperkirakan memerintah kerajaan semenjak tahun 1428 tahun Jawa atau tahun 1501 M. hal ini didasarkan pada pintu masuk masjid Demak, yang oleh Abdul Baqir Zein, 1999:
21
211 disebut dilukiskan dengan gambar petir yang mengartikan “Naga Salira Warni”. Dan pada pintu depan masjid tertera tulisan “Hadegipun Masjid jasanipun para wali, nalika tanggal 1 Dzulqaidah 1428’ berdirinya masjid ciptaan wali ini pada tanggal 1 Dzulqaidah 1428.”
B.2. Faktor Budaya Faktor kedua yang mendukung masuknya pendidikan Islam di Indonesia adalah budaya nenek moyang Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Bukti konkrit pernyataan ini adalah adanya faham Animisme dan Dinamisme yang berkembang di masyarakat sejak zaman dahulu, jauh sebelum bangsa Indonesia mengenal agama. Berikut ini setelah kedatangan agama Hindu ke Indonesia, merekapun menerima dengan tangan terbuka. Namun setelah ajaran Budhis yang mengajarkan empat keadaan batin luhur, yaitu 1. Metta (cinta kasih), 2. Karuna (kasih sayang), 3. Mudita (bergembira atas kegembiraan orang lain), dan 4. Upekkha (keseimbangan batin atau pikiran) (Suvaddhana Therra, 1987: 11) masuk ke Indonesia, maka iapun diterima. Terlebih dalam agama Budha juga tidak mengajarkan kasta sebagaimana ajaran Hindhu. Penyambutan yang baik juga terjadi ketika Islam datang dan dibawa oleh para pedagang yang sambil berdagang mereka juga melakukan da’wah Islamiyah terutama di daerah-daerah pesisir, yang pada kenyataannya menjadi pusat perdagangan pada masa lalu. Dan Islampun diterima di
22
tempat-tempat tersebut bukan hanya di kalangan masyarakat rendah tapi juga di terima di kalangan pejabat-pejabat kerajaan atau kalangan keraton.
B.3. Faktor Metode Pendidikan Salah satu faktor yang pula sangan menunjang keberhasilan pendidikan Islam di Indonesia, yang tidak boleh dilupakan adalah faktor metode dan cara penyampaian yang arif dan bijaksana. Buktinya Islam diterima tanpa melakukan peperangan dan bukan dengan jalan kekerasan. Ini sebagaimana diajarkan oleh Allah pada QS. Al Kafiruun: 6 yang berbunyi :
Artinya : “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Untuk itu ada beberapa hal penting yang dilakukan para pendidik sosial keagamaan (Islam) pada waktu itu, di antaranya adalah: 1.
Dengan menggunakan pendekatan politik kepada para penguasa dan pejabat kerajaan di lingkungan keraton. Ini dilakukan dengan cara melakukan pendekatan psikologis, juga menggunakan pendekatan melaluijalur familier (kekeluargaan) yakni mengikatkan diri dengan cara berusaha menjadi besan, menantu atau ipar atau sistem perkawinan. Sehingga pada akhirnya tidak sedikit para penyiar agama Islam yang menikah dengan kalangan istana, misalnya R. Rahmat yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel menikah dengan putri dari Tumenggung Tuban Ario Tejo, sebagai penguasa Majapahit di daerah
23
utara Jawa Timur. Putrid tersebut bernama Dewi Candrawati atau lebih dikenal dengan Nyai Ageng Manila (Abdul Qadir Djaelani, 1994: 246). Bukti pernikahan antara kalangan Islam dengan kalangan istana dapat dilihat pula pada adanya sepuluh situs Tralaya (Majapahit-akhir), yaitu batu nisan yang ditemukan di Tralaya yang menurut Damais dapat membuktikan tentang proses keberagaman di Jawa khususnya di Majapahit. Situs Tralaya bermaterika: a. Bentuk nisan adalah lengkung-lengkung kala makara (kurawal) yang bukan merupakan cirri khas nisan Islam. b. Angka tahun nisan tersebut tidak ditulis dengan huruf Arab melainkan ditulis dengan angka-angka Kawi, kecuali pada nisan ke IX yang mencantumkan angka tahun saka 874 H dan tahun Hijrah 1469 M. sedangkan Sembilan nisan yang lain memuat angka tahun saka berturut-turut; nisan VI tertera 1298 S = 1376 M, nisan V tertera 1302 S = 1380 M, nisan IV tertera 1329 S = 1407 M, nisan VII tertera 1340 S = 1418 M, nisan II tertera 1349 S = 1427 M, nisan III tertera 1389 S = 1467 M, nisan VIII tertera 1389 S = 1467 M, nisan I tertera 1397 S = 1475 M, dan nisan X tertera 1533 S = 1611 M. c. Tulisan Arab bentuknya masih belum bagus. 2.
Dengan menggunakan pendekatan budaya, yaitu memadukan budayabudaya yang berasal dari Negara Islam dengan budaya local. Sehingga
24
proses yang berlangsung adalah merupakan proses evolutif. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para wali Songo yang membuat simbolsimbol pada: a. Bangunan
masjid
dengan
menggunakan
gapura
(bahasa
Arab=ghafura) yang berarti “maaf” dengan bentuk regol atau pintu masuk tempat suci agama Hindu. Selain itu atap (kubah) masjid tidaklah dibuat sebagaimana lazimnya kubah di Arab, melainkan mengambil model atap tumpang=pura yang hanya disisakan menjadi tiga lapis (tingkat/sap) dengan tujuanmemberikan pemaknaan terhadap konsep tasawuf dengan perincian sebagai berikut:
Tingkst paling tinggi menyiratkan kemapanan iman yang berupa Tauhidu al ‘Arifin.
Tingkat tengah menyiratkan kemapanan iman pada taraf Tauhidu al-Mutakallifin.
Tingkat paling rendah menyiratkan kemapanan iman pada tahap Tauhidu al-‘Awam.
b. Akulturasi sastra, yang dilakukan melalui upaya mengenalkan nilainilai ke-Islaman melalui seni-budaya masyarakat yang berkembang pada masa tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas-fasilitas seni tradisonal berupa alat-alat instrument music gamelan
yang
pada
nantinya
melahirkan
(Syahadatain). Ini sesuai dengan penyataan berikut:
Gong
sekaten
25
“Rehne kersane kareben sarwa beda karo djaman Madjapahit, mula nuju mangsa sirep wong, mangsane mono wis asar bengi, gamelan kraton kuwi diusung menjang masjid, katata ing tratag kang kasadijaakeana plataran masjid Demak. Dadi nalika semana masdjid anjar gres, gamelane ija anjar gres, niyaganepara wong sutji, jaiku wong sing mung tansah ngluhurake asmane Allah Dzat kang murbeng titah sakalir utawa sinebut Walijullah. Lagu lan larase disambutake karo djiwane kaweruh nalangsa marang Pengerane, … (Panitia sekaten Masjid Agung Surakarta, 1970; 12) Materi lain yang di Islamkan adalah budaya yang berkembang di masyarakat yang berkaitan dengan syair dan lagu sehingga lahirlah suluk yang berasal dari kata bahasa Arab ‘salaka=jalan’, tembang jwa serta cobelak, dan lain-lain. Di antara tembang yang terkenal adalah Tembang “Ilir-Ilir” yang di dalamnya mengandung pesan beribadah (shalat) untuk setiap orang yang diistilahkan dengan penggembala. Di sisi lain kisah, dongeng dan cerita yang berkembang di masyarakat juga tak lupt dari perhatian para Wali Songo dalam upaya mengenalkan nilai-nilai ke-Islaman. Sehingga lahirlah wayang kulit yang menurut Zuhairini, 2000: 142 adalah cerita yang diambil dari buku Mahabarata yang di beri nuansa agama (Islam) oleh Sunan Kalijaga, diantaranya tokoh Pandawa Lima yang di kaitkan dengan rukun Islam yang lima dan juga shalat lima waktu. Kegiatan semacam itu dilakukan dengan menyesuaikan konsep dan strategi pendidikan masyarakat yang seharusnya memperhatikan:
26
Latar belakang agama dan budaya masyarakat atau bangsa yang bersangkutan dengan perangkat nilai-nilai luhur yang sudah mengakar dan mendapat pembenaran dalam kehidupan mereka, keyakinan yang kuat dan nilai yang memberikan warna lingkungan sosio kultural … .(Thalchah Hasan, 2000: 27 – 28). Dengan kata lain da’wah Islam dilakukan dengan proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan pendekatan psikologis, yang disebut oleh Totok Jumantoro, 2001: 33 dengan istilah da’wah persuasif. Metode pendekatan ini melahirkan dua bentuk kebudayaan dalam masyarakat yaitu: 1. Kebudayaan material (material cultute) yaitu wujud kebudayaan yang berupa benda-bena konkrit sebagai hasil karyanya. 2. Kebudayaan nonmaterial (ruhaniah) yaitu kebudayaan yang tidak berupa benda-benda konkrit yang merupakan hasil karyanya. Secara umum semua unsure kebudayaan yang ada pada waktu itu sangatlah diperhatikan dalam rangka pendidikan social keagamaan. Unsure-unsur kebudayaan menurut C. Kluckholn dalam Ary H. Gunawan, 2000: 18 diperinci dalam tujuh macam, yaitu: 1. Sistim religi dan upacara keagamaan 2. Sistim dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistim pengetahuan 4. Bahasa
27
5. Kesenian 6. Sistim mata pencaharian 7. Sistim teknologi dan peralatan Proses akulturasi budaya ini merupakan salah satu factor pendorong yang kuat bagi masyarakat pribumi untuk memeluk Islam, yang menurut D. Hendropuspito OC, 1983: 80 disebutkan sebagai factor situasi pendidikan (sosialisasi). Sedang al-qur’an memberikan dorongan dalam sosialisasi budaya dalam surat Al Hujurat 13 berbunyi:
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” Juga QS. An Nahl 125 yang berbunyi:
Artinya: “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pelajaran (nasehat) bagus dan berdebatlah dengan perdebatan yang baik.” Adanya akulturasi budaya Islam-Indonesia juga dibenarkan oleh Mujammil Qomar, 2002: 105 yang menyebutkan bahwa warna Islam
28
yang berkembang di Indonesia sudah banyak mengalami modifikasi, deviasi, adaptasi dan reinterpretasi dari keislaman yang berkembang di masa Rasul SAW.
B.4. Faktor Prinsip Pendidikan Islam Faktor keempat yang pula menunjang pendidikan Islam di Indonesia adalah karena Islam sebagai agama yang kamil (sempurna) dan karena Islam merupakan rahmat terbesar yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia, sebagaimana firmannya:
Artinya: “Dan tiadalah Aku (Allah) mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam Juga firman Allah dalam QS. Al Maidah: 3 yang berbunyi:
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamu kamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagimu.” Islam memiliki prinsip-prinsip pendidikan yang berbeda dengan agamaagama lainnya. Prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam terletak pada: 1.
Prinsip Tauhid Prinsip ke-tauhid-an dalam Islam dikatakan berbeda dengan agama lain karena dalam Islam keyakinan terhadap Tuhan dibangun atas landasan Monotheisme yakni meng-Esakan Allah dengan kenyataan Qiyamuhu
29
binafsihi artinya berdiri sendiri serta Mukhalafatu li-al Hawaditsi yang berarti berbeda dengan makhluq, sebagaimana dijelaskan dala QS, Al Ikhlas: 1 – 4 yang berbunyi:
Artinya: “Katakanlah ‘Dialah Allah Yang Maha Esa’ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Dengean demikian sebagai konsekwensi logis dari prinsip tauhid adalah munculnya pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya otoritas yang serba mutlak (abd. Halim Soebahar, 2002: 73). Di samping itu kekuasaan Allah tidaklah terbatas, dengan keEsaannya Allah melakukan segala sesuatu, firmah Allah:
Artinya: “Sesuatunya keadaannya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah’, maka terjadilah ia.” Prinsip ke-tauhud-an Allah sangat didukung oleh penjelasan-penjelasan agama yang disunberkan dari kitab Allah Al Qur’an, yang memuat segala segi kehidupan masyarakat. Said Agil Husein Al Munawar, 2001: 103 menegaskan:
30
“Al-Qur’an mengungkapkan ajaran politik, akan tetapi ia bukanlah buku politik, al-qur’an adalah kitab suci. Demikian pula al-qur’an bukan ilmu pengetahuan tapi ia menuntut umanya untuk berilmu pengetahuan, menuntut manusia agar pintar-pintar namun tetap benar, yakni mempunyai keterkaitan aspiratif antara potensi sains dengan nilai-nilai teologis. Itulah ulul albab yang diinginkan oleh Allah SWT.”
2.
Prinsip Keseimbangan Dalam prinsip keseimbangan, Islam mengajarkan kepada manusia untuk menghargai kehidupannya dalam dua dimensi yakni, dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Duniawi adalah merupakan jembatan menuju kebahagiaan di akhirat. Sehingga pandangan tentang kehidupan duniawi yang tak terkait dengan kehidupan akhirat adalah salah. Begitu pula jika kehidupan duniawi di korbankan mutlak untuk memenuhi dimensi ikhrawi juga ridaklah benar. Allah berfirman dalam QS. Al Qashash: 77
Artinya: “dan carilah apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan dunia.” Dengan adanya keseimbangan yang di ajarkan, maka Islam benarbenar telah memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap manusia yang dikatakan sebagai khalifatan fi al-ardli, dimana sebagai
31
khalifah tentunya ia memiliki tugas untuk kemaslahatan dunia yang terkait dengan kepentingan sosial sekaligus mengembangkan potensi Ilahiyah sebagai Abdi dan hamba Allah yang berkewajiban untuk berbakti kepada-Nya. Dengan prinsip ini pendidikan Islam memiliki tugas pokok membentuk kepribadiaan muslim sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (M. Arifin, 1993: 9).
C. PUSAT-PUSAT PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan Islam pada masa awal masuk dan pada masa perkembangannya di tanah air, belum terorganisir sebagaimana pada saat ini. Hal itu selain karena disebabkan oleh kondisi Islam yang baru pada tahap pengenalan, juga karena tenaga untuk melaksanakan kegiatan pendidikan tersebut belum cukup tersedia. Meski belum memiliki lembaga-lembaga da’wah-pendidikan, sebenarnya pendidikan Islam pada waktu itu sudah terpusat pada beberapa tempat di antaranya adalah: C.1. Pesantren Para wali khususnya di tanah Jawa pada mulanya merintis lembaga pendidikan Islam yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. (Imam Bawani, 1987: 49). Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan dan pusat penyebaran Islam yang sebenarnya tidak jauh berbeda bentuknya dengan perguruan Hindhu dan Budha yang telah ada sebelumnya (biara). Jika dalam agama Hindhu di biara murid-muridnya dicetak untuk menjadi
32
pendeta dan bhiksu, maka para wali menjadikan pesantren sebagai tempat untuk mendidik santrinya menjadi seorang muslim yang alim. Keberadaan pesantren di Jawa didukung pernyataan Zuhairini, 2000: 139 yang menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader muballigh selama 20 tahun dengan menggunakan pendidikan sistim pesantren. Begitu pula dengan Sunan Ampel yang mewarisi pesantren Ampel Denta. Begitu pula Sunan Giri yang mendapat tugas menda’wahkan Islam dari Sunan Ampel pada akhirnya menitik beratkan kegiatannya dalam bidang pendidikan. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Indonesia bagian timur dan Kalimantan (Mustafa dan Abdullah Aly, 1998: 41). C.2. Bandar-bandar dan Kota Pesisir Pusat pendidikan Islam yang kedua adalah Bandar-bandar laut dan kota-kota pesisir yang menjadi tempat pertemuan awal para pedagang Islam dengan penduduk pribumi. Pesisir menjadi pusat pendidikan Islam didasarkan pada kenyataan geologisnya yang menurut Menfred Ziemek, 1986: 38 dikatakan menjadi tempat transit pertemuan budaya dan perniagaan yang intensif. Keberadaan pantai lebih ramai lagi ketika jatuhnya Malaka pada tahun 1511 M (Alwi bin Thahir al-Hadda, terj. Ali Yahya, 2001: 155) sehingga terjadi gelombang pengungsi Muslim ke Sumatra dan Jawa. Dan merekapun mendirikan desa-desa di pantai tersebut serta bergabung dengan kaum muslim setempat untuk menyampaikan da’wah Islam.
33
C.3. Masjid Sebagaimana pada masa Rasul SAW di Mekkah yang menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan da’wah Islamiyah, maka di Indonesia pun juga demikian. Para wali dalam mengembangkan da’wahnya dengan mendirikan masjid-masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Dan sebagaimana dijelaskan di atas bahwasanya proses kedatangan Islam melalui proses akulturasi budaya, maka masjid-masjidpun juga demikian. Contoh yang dapat dikemukakan adalah masjid Al Aqsha (Menara Kudus) yang didirikan oleh Ja’farShadiq (Sunan Kudus). Modelnya adalah merupakan campuran arsitektur Timur Tengah (sesuai dengan bentuk masjid al-Aqsha Palestina), dipadukan dengan arsitektur India yang tergambar dalam bentuk mimbar kubah yang sangat besar serta dipadukan dengan arsitektur Jawa yang terlihat pada dua buah gapura yang disebut Kari Agung. Arsitektur jawa pada masjid ini juga nampak pada kaki menara dengan bentuk bujur sangkar mirip bangunan candi, dengan menggunakan tiga bagian bangunan, yaitu; kaki menara, badan menara dan puncak menara. (Abdul Baqir Zein, 199: 277)
D. Da’wah dan Pendidikan Islam Sebagaimana belum adanya arti pendidikan pada zaman Nabi SAW seperti yang lazim dipahami saat ini, maka arti pendidikan sosial keagamaan tersebut
34
juga belum ada pada masa masuknya Islam di Indonesia. Akan tetapi kegiatankegiatan yang dilakukan oleh para da’i dalam menyampaikan seruan agama dengan berda’wah, menyampaikan ajaran, memberikan contoh, memberikan motivasi kehidupan serta menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim, telah dilakukan. Jika kita merujuk pada pendapat Husein, 1997: 102, yang menterjemahkan kata “da’wah” dengan arti panggilan, maka da’wah yang di lakukan oleh para pembawa Islam ke Indonesia juga dapat di artikan dengan pendidikan. Sebab di dalamnya terdapat berbagai kegiatan sebagaimana dikemukakan pada penjelasan di atas. Kegiatan da’wah dalam artian pendidikan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana sabda Rasul yang dikutip dalam Rahman, (1996: 112):
Artinya: “Sampaikanlah (segala sesuatu) dariku meskipun hanya satu ayat,” (HR. Ahmad, Buchori, dan Turmudzi). Di sisi lain pendidikan yang berupaya membentuk karakter-karakter kejiwaan secara khusus, dalam hal ini membahas tentang penyiapan mental dalam kaitan amar ma’ruf (perintah berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan tercela) sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 110 yang berbunyi:
35
Artinya: “Kamu (ummat Islam) adalah sebaik-baik ummat yang diketengahkan kepada manusia yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
Telah dilakukan oleh para penyiar agama Islam baik di Jawa maupun di luar Jawa. Hal ini disesuaikan rumusan pendidikan Islam dengan ciri-cirinya yang mengarah pada perubahan tingkah laku (Zakiah Darajat, 2000:28). Sedangkan pendekatan yang dilakukan mengacu pada hadits Rasul yang berbunyi:
Artinya: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka rubahlah dengan kekuasaan, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisan, dan apabila tidak mampu maka rubahlah dengan hati, sesungguhnya ini merupakan lemah-lemahnya iman.”
Dari klasifikasi dan stratifikasi da’wah (pendidikan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada di Indonesia, mereka telah melakukannya dengan Hikmat (bijaksana) dengan rincian: a. Perubahan yang melibatkan unsure organisasi (dengan kekuasaan) yang dilakukan dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. b. Perubahan dengan da’watul lisan dilakukan dengan mendirikan pesantrenpesantren yang bercirikan: 1. Pemberian pengajaran dengan struktur dan literature tradisional … dengan pengajaran bersistim halaqah (lingkaran)
36
2. Pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan dapat dinamai sub kultur pesantren. Tata nilai ditentukan pada fungsi mengutamakan beribadat. (Abdurrahman Wahid, 1974: 73) 3. Pendidikan terbuka yang dilakukan sepanjang para da’i melakukan sebuah perjalanan, maupun pada saat tertentu dengan menggunakan keterampilan seni maupun keterampilan menyusun cerita. Cerita-cerita tersebut misalnya berupa Hikayat yaitu cerita yang sengaja dibawa dari tanah Persi seperti: hikayat Amir Hamzah, hikayat Hang Tuah, dan hikayat 1001 malam. Juga menggunakan Babad yaitu cerita yang menonjolkan unsure fiktif dari sebuah uraian sejarah contohnya Babad Tanah Jawi. c. Perubahan social juga dilakukan dengan ikhtiyar do’a misalnya pada saatsaat pelaksanaan kegiatan ruhaniah shalat dan sejenisnya.
37
Kesimpulan 1. Pendidikan Islam di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh para da’i melalui beberapa media, diantaranya media perdagangan, media politik, serta seni yang ada di kalangan masyarakat. 2. Kondisi sosial masyarakat Pra Islam pada umumnya dipengaruhi oleh pemerintahan pusat Majapahit, sehingga ketika Majapahit mengalami kemunduran yang disebabkan perang saudara yang berkepanjangan. 3. Keberhasilan Para Penyiar Islam dalam melakukan proses pendidikan sosial keagamaan tidak terlepas dari penggunaan metode dan media yang tepat. Selain itu juga didukung oleh adanya faktor politis serta faktor geografis yang sangat menunjang.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik (Ed), 1991, Sejarah Ummat Islam Indonesia, Jakarta, MUI A.Black, ames dan J. Champion, Dean, Terj. Koswara, E dkk, 2001, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Bandung, Reflika Aditama. Agil Husen Al-Munawwar, Said, 2001, Dimensi-dimensi Kehidupan dalam Perpektif Islam, Malang, Pascasarjana UNISMA
38
Ahmadi, Abu, 1991, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta Ahnan, Maftukh, Tanpa Tahun, Wali Songo (Hidup dan Perjuangannya), Surabaya, Anugrah Al-Abrasyi, Athiyah, 1970, Dasar-dasar Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang Al-Habsi, Husen, 1977, Kamus Al-Kautsar, Surabaya, PP. Assegaf dan PP. ALAlawi Ali Al-Hijazy, Hasan Bin, Terj. Muzaidi Hasbullah, 2001, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Jakarta, Pustaka al-kautsar Al-Naquib al-Attas, Muhammad, Terj. Haidar Baqir, 1992, Konsep Pendidikan Islam (Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Mizan Al-Toumy al-Syaibani, Omar Muhammad, Terj. Hasan Langgulung, 1979, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang Arifin, M, 1993, Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner), Jakarta, Bumi Aksara As-Siba’i, Mustafa, Terj. RB. Irawan dan Fauzi Rahman, 1992, Peradaban Islam (Dulu, Kini dan Esok), Jakarta, Rajawali Badriyatim, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Baqir Zen, Abdul, 1999, Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta, Gema Insani Press Bustomi, Suwaji, 1991, Seni dan Budaya Jawa, Semarang, IKIP Semarang Press Bawani, Imam, 1987, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas Damais, LC, 1995, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Jakarta, E.F.E.O Pusat Arkeologi nasional
39
Darajat Zakiah, 2000, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara Degraff, HJ dan Pigeaud, T.H.G., 1989, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta, Grafiti Diperda Jatim, 1993, Bunga Rampai Sejarah 700 Tahun Majapahit, __________,_____________ Djaelani, Abdul Qadir, 1994, Sekitar Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Media Da’wah Djoened, Marwati dan Notosusanto, Nugroho, 1992, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Jakarta, Bulan Bintang Esposito, John L, Terj. A. Rahman Zainuddin, 1980, Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, Jakarta, Bulan Bintang Fadhol, Abi, Tanpa Tahun, Ahallu al-Musamarah (Fi Hikayati al-Auliyai al‘Asyrah), Tuban, ____________ Feillard, Andree, Terj. Lesmana, 1999, NU vis-à-vis Negara (pencarian Isi, Bentuk dan Makna), Yogyakarta, LkiS Gazalba, Sidi, 1978, Asas-asas Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang Gottschalk, Louis. Terj. Nugroho Notosusanto, 1969, Mengerti Sejarah, Jakarta, Universitas Indonesia Press Groeneveltdt, 1960, Historical Writes on Indonesia and Malaya (Compiled from Chinese sources), Jakarta, Batara Gunawan, Ary H, 2000, Sosiologi Pendidikan (Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan), Jakarta, Rineka Cipta. Halim Soebahar, Abdul, 2002, Wawasan baru Pendidikan Islam, Jakarta, kalam Mulia Hamka, Tanpa Tahun, Sejarah Ummat Islam IV, Jakarta, Bulan Bintang
40
Harahap, Syahrin, 1994, Al-Quran dan Sekularisasi (Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Taha Husein), Yogyakarta, Tiara Wacana Hasyim, Umar, 1979, Sunan Giri, Kudus, Menara Kudus Hendro Puspito, D. OC. 1983, Sosiologi Agama, Yogyakarta, Kanisius Ibnu Abi Bakri As-Suyuthi, Abdurrahman, 1966, Al-Jami’u Al-Shaghiru, Darul Qalam,_____________ Issatriadi dan Suwandi, 1972, Peninggalan Islam di Pantai Utara Jawa, Kantor Pembinaan Permuseuman Perwakilan P dan K Jawa Timur,_____________ Juwantoro, Totok, 2001, Psikologi da’wah (Dengan Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani),____________, Amzah Karsilan, 1993, Legenda Ibrahim Asmara Qondhi, Kandep Dikbud Kec. Palang Tuban Lembaga Reseaarch Islam Malang, 1975, Sejarah dan Da’wah Islamiyah Sunan Giri, Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri Gresik,___________ Ma’arif , Syafi’i A, dkk, 1991, Ed. Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia (Antara Cita dan Fakta), Yogyakarta, Tiara Wacana Milal Bizawie, Zainul, Ed. Agus Hadi Nahrowi, 2002, Perlawanan Kultural Agama Rakyat (Pemikiran dan Paham Keagamaan Syeh Ahmad al-Muttamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645 – 1740), Jakarta, Samha dan Yayasan Keris Moleong, Lexy J, 1991, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya Mustafa dan Aly, Abdullah, 1998, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia
Panitia Sekaten Masjid Surakarta,___________
Agung
Surakarta,
1970,
Sejarah
Sekaten,
41
Purwodarminto, W.J.S., 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka Qomar, Mujammil, 2002, NU Liberal (dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam), Bandung, Mizan Rasyidi, Lawrens, Tanpa Tahun, Kisah dan Ajaran Wali Songo (Para Penyebar Agama Islam di Jawa), Surabaya, Terbit Terang Ridwan, M., 1985, Kisah Wali Songo, Surabaya, Bintang Usaha Jaya Saksono, Widji, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa, Bandung, Mizan Salam, Solihin, 1960, Sekitar Wali Songo, Kudus, Menara Kudus Santika, Hariani, Tanpa Tahun, Mandala Kadewaguruan pada Masa Majapahit (PIA IV buku II B), __________,_______________ Sedyowati, Edi, 1992, Arkeologi dan Jati Diri Bangsa, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Jakarta, Lembaga Penelitian UI Soekmono, R, 1973, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia III, Jakarta, Kanisius Subandiroso, 1988, Sosiologi dan Antropologi II, Jakarta, Intan Pariwara Sujamto, 1992, Pandangan Hidup Jawa, Semarang, Dahara Prize Suseno, Franz Magnis, 1993, Etika Jawa (Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijakan Hidup Jawa), Jakarta, Gramedia Thahir al-Haddad, Alwi Bin, Terj. Ali Yahya, 2001, Sejarah Masuknya Islam Timur Jauh, Jakarta, Lentera Basitama Thalchah Hasan, Muhammad, 2000, Diskursus Islam dan Pendidikan, Jakarta, PT. Bina Wiraswasta Insan Indonesia dan Lembaga Indonesia Adidaya Thera, Suvaddhana, 1987, Apa yang Diajarkan oleh Sang Budha dan Sila, Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama
42
Tjandrasasmita, Uka, 1984, Sejarah nasional Indonesia III, Jakarta, Balai Pustaka Wahid, Abdurrahman, 1974, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta LP3Es Wahid Wafi, Ali Abdul, Terj. Abu Ahmadi al-Wakidy, 1991, Prinsip Hak Asasi Agama Islam di Jawa), Surabaya, Karya Ilmu Wojowasito, S dan Titowasito, W, 1982, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Bandung, Hasta Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta, P3M Zoetmulder, 1990, Manunggaling Kawula Gusti, Jakarta, Gramedia Zuhairini dkk, 2000, Sejarah Pendidikan Islam,__________, Rosda Karya Zuhri, Saifuddin, 1979, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung, Al-Ma’arif Zulkifli, 1999, Eksplorasi Sejarah India, Asia Tenggara dan Cina, Jakarta, Lontar Utama
43