FILSAFAT DALAM KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM DAN ILMU PENDIDIKAN M. Saifuddin Yulianto*
Abstract This article reveals about the philosophy in terms of understanding the language and terminology in order to produce a clear and unequivocal understanding of the philosophy, as well as reveal the characteristics of philosophical thought and the branches of philosophy. Next Featured Role in Islamic educational philosophy that discusses the philosophy as a subject / knowledge base of all the four issues, namely: metaphysics, ethics, religion, and anthropology. All four were in the mix with the attitudes and opinions of the scholars to study whether the study of philosophy are acceptable in Islamic education or vice versa (rejected in the study of Islamic education) taking into account human nature which are divided into four major streams, namely: allround flow of Essence, the soul-round flow, flow dualism, and the flow of existentialism. Next philosophy of education in general also gave birth to streams (isms), which consists of Progressivisme flow, the flow of essentialism, Perennialisme flow, Rekonstruksionalisme flow, and flow of Existentialism. While the object of scientific study was born the philosophy of education which are distinguished in the following four issues: science education Ontology, Epistemology of science education, methodology of science education, science education and Axiology. Key Words: Philosophy, Islamic education, science education PENDAHULUAN Filsafat adalah sebuah kajian ilmu yang paling luas pembahasannya, maka diperlukan pemahaman dan pengertian yang memadai tentangnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi kesamaan konsep dan proses dalam penentuan tentang filsafat itu sendiri. Sebagaimana telah dikemukakan oleh para ahli, secara etimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu kata philos dan sophos
yang berarti cinta
pengetahuan/kebijaksanaan (Jalaluddin dan Abdullah, 2007: 15).
Menurut
Muzairi 2009:5 dinyatakan bahwa filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padan falsafah (Arab), philosophi (Inggris), philosophia (Latin), dan Philosophie (Jerman, Belanda, dan Perancis).
*
Pelaku pendidikan di Tuban
Secara Epistemologi filsafat menurut Hasbullah Bakry dalam Jalaluddin dan Abdullah (207: 11) diartikan sebagai sebuah ilmu yangmempelajari sesuaatu yang mendetail, seperti ke-Tuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikat yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana tentang sikap manusia semestinya setelah memperoleh pengetahuan. Melihat kenyataan tersebut maka tidak salah jika sebagian orang mengatakan bahwa pencapaian ilmu filsafat adalah melalui budi pakerti. Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami persoalan-persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian diharapkan agar manusia dapat mengerti dan memahami pandangan yang menyeluruh dan sistimatis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Pada kajian pendidikan filsafat adalah aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat
sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan
memadukan proses pendidikan. Artinya filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai
dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya.
(Jalaluddin dan Abdullah,2007: 19) Dalam hal ini filsafat pendidikan dann pengalaman kemanusiaan adalah faktor yang integral.
A. Obyek Pembahasan dan Kedudukan Filsafat dalam Kajian Pendidikan Sebagaimana diketahui bahwa ilmu itu adalah sekumpulan pengetahuan, akan tetapi tidaklah dapat dikatakan bahwa sekumpulan pengetahuan itu pastilah ilmu. Kumpulan pengetahuan dapatlah dikatakan sebuah ilmu jika memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu (memiliki) syarat obyek material dan syarat obyek formal. Yang kedua syarat ini harus dilimiliki oleh setiap cabang keilmuan termasuk keilmuan filsafat. Obyek material (Gegenstand-subject matter) dari filsafat adalah mengacu pada semua materi yang bersifat nyata seperti: manusia, tumbuhan, dan alam semesta. Maupun semua yang bersifat abstrak seperti ide-gagasan, nilai, maupun kerohanian
Obyek formal (viewing) dari filsafat adalah; pertama, pembahasan suatu persoalan dari sudut pandang khusus secara faktual, misalnya penelitian (filsafat) tentang atom akan memunculculkan keilmuan (phisyc) kimia, penelitian alam bawah sadar memunculkan keilmuan psikologi, dan sebagainya. Kedua, pokok persoalan dipandang sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berkaitan dan berhubungan. Misalnya anatomi dan fisiologi yang keduanya dianggap bertalian dengan struktur tubuh. Anatomi mempelajari strukturnya – fisiologi mempelajari fungsinya. Ilmu Antomi-fisiologi dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama. Akan tetapi juga dapat dikatakan berbeda. Perbedaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang diajukan dan aspek-aspek yang diselidikidari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh dalam aspek statis, sedangkan fisiologi mempelajari tubuh (alami) yang aspeknya dinamis. Bertalian dengan obyek material dan obyek formal, ada perbedaan antara filsafat dengan ilmu. Contoh penjelasan singkat yang dapat dikemukakan adalah dengan menetapkan obyek material ”kelapa” maka akan melairkan padangan berikut: 1. Ilmu Dalam pandangan ilmu akan terpengaruh oleh latar belakang ilmu yang dipelajari oleh masing-masing peneliti. Ahli ekonomi akan meneliti kelapa dari: harga buah, batang, daun (lidi) jikalau dijual. Ahli pertanian
akan
meneliti: bagaimana agar pohon kelapa dapat tumbuh subur – dan apakah cocok ditanam pada lahan tertentu?. Ahli biologi akan mengarahkan perhatian pada unsur-unsur yang terkandung pada seluruh pohon; baik batang maupun buahnya. Sedang ahli hukum akan mempertanyakan status kepemilikan pohon tersebut. Siapa pemilik sah pohon tersebut?, apakah pohon ditanam di lahan sendiri atau sewa, dan seterusnya 2. Filsafat Dalam pandangan filsafat akan mengkaji (berbagai dan apa makna yang tersirat dari) keberadaan pohon tersebut. Misalnya pandangan tentang akar (serabut) dan batang (tunggal tak bercabang)
menghasilkan pemikiran
”apapun (ragam) posisi dan profesi seorang harusnya dia berfikir pada
kelanjutan (kehidupan) beragama yang semuanya bermuara kepada Allah. Pandangan tentang lidi yang diikat (menjadi satu) melahirkan contoh kekuatan yang digalang dari persatuan daan kesatuan, dan seterusnya.
CIRI-CIRI PEMIKIRAN FILOSOFIS Berpikir filosofis pada dasarnya tidaklah sama dengan berpikir pada umumnya ia memiliki persyaratan dan ciri khusus, yaitu: 1. Radiks, yaitu berpikir dengan sangat mendalam dan sampai pada akarakarnya, sehingga ia akan berpikir pada hakikat dan bukan sekedar substansinya saja. 2. Universal, yaitu pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia yang tidak terbatas pada satu pokok bahasan saja ~ melainkan pada semua aspek dan sudut pandang. Itulah sebabnya para failosof menyatakan bahwa kekhususan filsafat itu terletak pada keumumannya. 3. Sistimatis, yaitu berpendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus memiliki pola (dan rumusan) yang tegas dan jelas, juga memiliki kaidah yang logis, sehingga failosof itu dalam berpikir ia harus menghubungkan (mengaitkan) secara teratur dalam setiap langkahnya, sampai pada kesimpulan tertentu maupun tujuan dan maksud tertentu. CABANG-CABANG FILSAFAT Filsafat merupakan bidang studi yang sedemikian luas pembahasannya, sehingga diperlukan pembagian yang lebih detail dalam pembagiannya. Namun karena dalam pembagian keilmuan filsafat tidak memiliki tata cara tertentu maka masing-masing failosof memiliki perbedaan di dalamnya. Secara garis besar pembagian pembahasan filsafat terbagi dalam peta berikut:
Metafisika
Ontologi Kosmologi Humanologi
Filsafat Umum
Epistemologi
Teologi
Logika
Induksi Deduksi Etika
Aksiologi
FILSAFA T
Estetika
Filsafat Pendidikan
Filsafat Khusus
Filsafat Praktek Pendidikan
Filsafat Proses Pendidikan
Filsafat Sosial Pendidikan
Filsafat hukum Ontologi ilmu Pendidikan
Filsafat Sejarah
Filsafat Epistemologi Ilmu Pendidikan
Ilmu Pendidikan Metodologi Ilmu Pendidikan
Filsafat Seni
Aksiologi Ilmu Pendidikan
PERAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN ISLAM Untuk mengetahui peran filsafat dalam pendidikan Islam dapat dimulai dengan pendapat Immanuel Kant (1724 – 1804) dalam Zuhairini, dkk (2008, 63) yang menyatakan bahwa:
Filsafat
itu ilmu pokok dan
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu; a. Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) b. Apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
pangkal segala
c. Sampai dimanakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama) d. Apakah yang dinamakan manusia (dijawab oleh Antropologi) Melihat kenyataan tersebut dapat dimaklumi jika ilmu sangat dekat dengan filsafat dan filsafat juga sangat dekat dengan agama (Islam). Kenyataan ini tak bisa dipungkiri dengan berbagai persoalan yang selalu muncul mengelilingi manusia, di antaranya: 1. Adakah Allah dan siapakah Allah itu, 2. Apa dan siapa manusia, 3. Apakah hakekat dari segala kenyataan (realitas), apa maknanya, dan apa intisarinya. Dalam sepanjang sejarah manusia persoalan-persoalan tersebut
sering
dijawab oleh agama atau keyakinan agama yang dianut oleh manusia. Tetapi di lain pihak tidak jarang ilmu filsafat-pun ikt berusaha menjawab persoalanpersoalan pokok tersebut. Dan Karena itu pulalah Ahmad Fuad al-Ahwani seorang guru filsafat di Cairo dalam Zuhairini, dkk (2008, 65) menyatakan bahwa filsafat itu sesuatu yang terletak di antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Ia menyerupai agama di satu sisi karna mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dipahamai dan diketahui sebelum orang memiliki keyakinan. Ia menyerupai ilmu pengetahuan di sisi lain karena ia merupakan suatu hasil daripada akal pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan pada wahyu dan taklid semata. Ilmu
merupakan hasil-hasil pengertian yang terjangkau dan
terbatas sedang agama dengan keyakinannya dapat melampaui garis-garis pengertian yang terbatas itu. Uraian singkat di atas berpengaruh pada sikap para ulama yang terbagi dalam : 1. Keberatan akan keberadaan filsafat dalam Islam Kelompok ini dimotori oleh para ulama salaf dengan menganggapnya sebagai bid’ah yang dapat menyesatkan. Bagi mereka al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam mengatasi akal manusia, tidak dapat ditafsirkan menurut akal pikiran manusia, melainkan harus diimani saja secara lahiri dan ditaati secara amali. Dasar yang digunakan adalah:
ِ ھُﻮَ اﻟﱠ ِﺬى أَﻧْﺰَ َل َﻋﻠَﯿْﻚَ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ ِﻣ ْﻨﮫُ أَﯾﺎ َتٌ ﻣُﺤْ َﻜﻤَﺎتٌ ھُﻦﱠ أُ ﱡم ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ - ٌب وَ أُﺧَ ﺮَ ُﻣﺘَﺸَﺎبِ◌ِ ھَﺎت ﻓَﺄَﻣﱠﺎاﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ﻓِﻰ ﻗُﻠُﻮْ ﺑِﮭِﻢ زَ ْﯾ ٌﻎ ﻓَﯿَﺘﱠﺒِﻌُﻮْ نَ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﮫَ ِﻣ ْﻨﮫُ ا ْﺑﺘِﻐَﺎ َء اﻟﻔِ ْﺘﻨَ ِﺔ وَ ا ْﺑﺘِﻐَﺎ َء ﺗَﺄْ ِو ْﯾﻠِ ِﮫ وَ ﻣﺎ َ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ اﻷﯾﺔ... ُﺗَﺄْ ِو ْﯾﻠَﮫُ اِﻻ ﱠ◌َ ﷲ Artinya: “ Dialah (Tuhan) yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi alQuran dan yang lain ayat-ayat mutasyabbihat. Adapun orang-orang yang condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabbihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.” (Ali Imran, 7) 2. Menerima keberadaan filsafat dalam Islam Kelompok ini menganggap bahwa filsafat sangat penting dalam Islam, karena dapat membantu dalam menjelaskan isi kandungan al-Quran melalui keterangan-keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia. Pada mulanya Imam al-Ghazali menentang keberadaan filsafat dalam Islam,
namun
kemudian
berbalik
mempelajarinya
dan
banyak
menggunakannya untuk uraian-uraian ilmu tasauf. Alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukung pendapat mereka adalah – banyak ayat alQuran yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang diri dan alam sekitar ~ sebagai sarana untuk mengenal Sang Pencipta. Allah berfirman:
(43 س وَ ﻣﺎ َ ﯾَ ْﻌﻘِﻠُﮭَﺎ اِﻻﱠ ا ْﻟﻌَﺎﻟِﻤُﻮْ نَ )اﻟﻌﻨﻜﺒﻮت ِ وَ ﺗِﻞْ ◌ْ كَ اﻷَ ْﻣﺜَﺎ ُل ﻧَﻀْ ِﺮﺑُﮭﺎ َ ﻟِﻠﻨﱠﺎ Artinya: “ Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu pengetahuan.”
Berikutnya untuk mengetahui peran filsafat dalam pendidikan Islam juga dapat dilacak dari penyelidikan manusia terhadap manusia itu sendiri. Pandangan dari berbagai sudut terhadap manusia melahirkan: pandangan manusia dari segi fisik yang melahirkan keilmuan “Antropologi fisik”, pandangan manusia dari segi
budaya melahirkan keilmuan “Antropologi budaya”, pandangan manusia dari segi hakikat melahirkan keilmuan “Antropoloogi filsafat.” Pembicaraan tentang hakikat manusia menyebabkan orang tak berhenti berusaha mencari jawaban dari pertanyaan mendasar tentang manusia, yaitu: Apa, dari mana, ke mana manusia itu?. Akhirnya penelitian tersebut melahirkan empat aliran dalam penetapan hakikat manusia, yaitu: 1. Aliran serba zat Aliran ini menyatakan bahwa manusia itu adalah zat atau materi. Zat atau materi itu adalah hakekat dari sesuatu. Alam adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka hakikat manusia itu adalah zat atau materi. Sebagai mhlak materi maka pertumbuhan berproses dari materi. Mulai dari sel telur ibu dan sperma ayah, tumbuh menjadi janin, hingga pada ahirnya menjadi manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, ingatan kesadaran, khayalan, asosiasi, penghayatan, dan sebagainya) adalah dari zat atau materi yaitu sel-sel tubuh. (Sidi Gazalba, 1973, 933) Oleh karena manusia terdiri dari unsur materi, maka keperluannya juga bersifat materi; ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya adalah juga dari materi. Dari kenyataan ini terbentuklah suatu sikap dan pandangan materialistik. Dan oleh karena materi itu ada di dunia maka sikap ini identik dengan sikap duniawi. 2. Aliran serba ruh Aliran ini menganggap bahwa hakikat sesuatu adalah ruh. Hakikat manusia juga ruh. Adapun zat dianggap sebagai manifestasi daripada ruh di dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang, sehingga tidak dapat disentuh dan dilihat oleh panca indera. Dan itu berlawanan dengan zat yang menempati ruang, betapapun kecilnya zat itu. Dasar pemikiran aliran ini adalah bahwa ruh lebih tinggi nilainya dibanding zat. Pembuktian yang dapat dikemukakan adalah “ wanita dan pria yang saling mencintai tak akan pernah mau dipisahkan, akan tetapi jika salah satu telah meninggal dunia, maka mau tidak mau pasti akan berpisah juga.” Di sini;
kecantikan ketampanan atau apapun sudah tidak lagi bernilai, meski jasadnya masih utuh. 3. Aliran dualisme Aliran ini mencoba menggabungkan kedua aliran di atas (zat-ruh). Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, jasad dan ruh. Kedua substansi ini keduanya merupakan unsur asal yang tidak saling bergantung satu sama lain. Ruh tidak berasal dari zat, sedang zat tidak pula berasal dari ruh. Perwujudan manusia selalu serba dua – antara jasad dan ruh. Keduanya berintegrasi membantuk apa yang disebut manusia. Antara keduanya terjalin hubungan yang bersifat kausal ~ sebab akibat ~ saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Contohnya cacat jasmani dapat mempengaruhi perkembangan ruhani (=jiwa) 4. Aliran eksistensialisme Aliran ini mencari inti hakikat manusia dari apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian aliran ini tidak memandang manusia dari sudut ruh dan jiwa, tetapi lebih pada sudut pandang eksistensinya atau cara beradanya manusia di dunia, dan tujuannya apa/ke mana. Berdasarkan kenyataan manusia yang memiliki jasad dan ruh yang dikaji dari sudut pandang eksistensinya, minimal ada empat pandangan yang mampu mengungkapnya, yaitu: a. Pandangan idealitistis tentang badan manusia, yang menganggap bahwa badan adalah tempat bersemayamnya jiwa, yang keduanya tak pernah bertentangan satu sama lainnya. b. Pandangan materialistis tentang badan manusia, yang menyatakan bahwa yang ada pada manusia hanyalah badan yang bersifat materi. c. Pandangan ketiga menganggap bahwa jasad adalah musuh dari ruh, badan selalu mengajak pada kejahatan, sedang ruh selalu mengajak pada kebaikan. d. Pandangan keempat menganggap bahwa manusia itu badan yang dirohanikan dan ruh yang dijasmanikan. Badan bukan sekedar jasmanai (pada binatang), sedang panca indera juga tidak sekedar indra (binatang).
Jasmani dan ruhani adalah satu kesatuan yang tak dapat terpisah karena ruh (aku) dapat melahirkan bahasa dari lisan, gagasan dari akal, dan seterusnya. Di lain pihak Islam menetapkan bahwa manusia adalah al-hayawanu alnatiqu bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi. Karena manusia itu berakal budi, maka diperlukanlah pendidikan, dan karena itu filsafat menjadi bagian atau komponen dari pendidikan itu sendiri, yang tentunya memiliki peranan tertentu, yaitu: 1. Filsafat pendidikan Islam menunjukkan problema yang dihadapi dalam pendidikan,
sebagai
hasil
dari
pemikiran
yang
mendalam
tentang
permasalahan pendidikan. Dengan analisa filosofis alternatif-alternatif pemecahan dapatlah dikemukakan. 2. Filsafat pendidikan memberikan pandangan tertentu tentang hakikat manusia, yang berkaitan dengan tujuan hidup manusia dan sekaligus menjadi tujuan pendidikan. Dari sinilah muncul konsep-konsep tujuan pendidikan dalam bentuk khusus maupun operasional. 3. Filsafat pendidikan memberikan pandangan tertentu tentang hakikat hidup dan kehidupan manusia, yang berkesimpulan bahwa manusia mempunyai potensi bawaan yang harus ditumbuhkan dan dikembangkan. Sifat itu meliputi aspek kognitif, motorik, dan afektif. 4. Filsafat
pendidikan
memberikan
pandangan
tertentu
tentang
proses
pendidikan yang tengah berlangsung, apakah telah mampu mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan atau belum dan seterusnya.
ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN Perkembangan filsafat tumbuh mengikuti buah/hasil pikir para ahli filsafat sepanjang kurun waktu yang dilaluinya dengan obyek permasalahan yang dibahasnya. Begitupun dengan filsafat pendidikan yang telah melahirkan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan yang terlahir, terkadang bersifat saling menguatkan antara masing-masing pendapat – terkadang pula pandanganpandangan tersebut
saling berbeda
bahkan
beralawanan, meski
obyek
permasalahan yang dibahas adalah sama. Perbedaan ini akan juga menghasilkan proses pemikiran yang berbeda sehingga teori dan kesimpulan (yang dihasilkan) juga akan berbeda. Pandangan dalam filsafat pendidikan juga
berkembang dan melahirkan
aliran-aliran filsafat pendidikan sebagai berikut:
1. Aliran Progressivisme Aliran progressivisme adalah aliran filsafat filsafat pendidikan yang memiliki pandangan yang bersifat: a. Flesksibel, yaitu sifat yang tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu. b. Curious, yaitu sifat yang selalu ingin mengetahui dan menyelidiki. c. Toleran, yaitu sifat yang memberikan kebebasan
dalam pengembangan
pendidikan. d. Open minded, yaitu sifat mempunyai hati terbuka. Karena hal tersebut aliran filsafat ini sangat berpengaruh pada abad ke 20 terutama pada negara-negara maju dan selalu dihubungkan dengan pandangan hidup liberal yang disebut oleh Theodore Brameld dalam Zuhairini,dkk (2008: 20) dengan istilah “The liberal road to culture.” Sementara itu dalam aliran progressivisme memiliki sifat-sifat umum yang dapat dikelompokkan dalam dua kelompok berikut: a. Sifat-sifat negatif, yaitu
sebuah sifat yang menolak otoritarisme dan
absolutisme dalam segala bentuk, misalnya dalam agama, politik, etika, maupun epistemologi. b. Sifat-sifat positif, yaitu kepercayaan bahwa manusia memiliki kekuatan alamiah yang diwarisi oleh manusia itu sendiri sjak lahir (man’s natural power). Terutama kekuatan manusia untuk menghadapi tahayul yang selalu mengelilingi manusia. Dalam
lapangan
pendidikan
pandangan
pragmatisme
seringkali
diistilahkan dengan “instrumentalisme” dan “experimentalisme” yang mengarah pada sikap pragmatis (isme). Yang oleh John Dewey dikategorikan
sebagai teori pikir, yang dinyatakannya dengan “the rule of referring all thinking ... to consequences for final meaning and test” Dengan dasar ini aliran progressivisme yakin bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam, sanggup meresapi rahasia-rahasia alam, dan sanggup menguasai alam. Sekaligus sangsi akan kesanggupan manusia menggunakan kecakapannya dalam ilmu pengetahuan alam juga dalam ilmu pengetahuan sosial. Optimalaisasi kesanggupan manusia itu melahirkan tugas pendidikan menurut pragmatisme untuk meneliti sejelas-jelasnya tentang kesanggupan manusia dalam pekerjaan praktis, dengan memaksimalkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran untuk berbuat. Sehingga ia menolak pure intellectual. Perkembangan aliran pragmatisme-progressivisme telah ada sejak masa Yunani (kuno), misalnya: Heraklitus (- ± 544 - ± 484), Socrates (- ± 469 - ± 399), Petagoras (-± 480 - ± 410), dan Aristoteles. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realitas adalah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah. Kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan aksiologi dengan mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kebajikan; yang dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, karenanya pengetahuan yang baik dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk melakukan kebaikan. Petagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan relatif yang bergantung kepada waktu dan tempat. Sedang Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan yang ekstrim) dalam kehidupan. Dalam asa modern – sejak abad ke 16 “Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel” dapat disebut penyumbang pikiran dalam proses
terjadinya
aliran
pragmatisme-progressivisme.
memberikan sumbangan metode experimentil
Francis
Bacon
(metode ilmiah dalam
pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari para manusia. Kant memuliakan manusia, menjunjung
tinggi akan kepribadian manusia. Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, sehingga penyesuaian
dan perubahan tidak
berhenti. Khusu dalam pendidikan aliran progressivime lebih menekankan pada memperlihatkan
keyakinan
dan
wawasan
pendidikan
dengan
mempraktikkannya. Pendidikan adalah sebuah demokrasi dan bukan memorisasi. Inilah yang melahirkan konsep learning by doing. Dengan demikian isi pendidikan lebih ke bidang studi IPA, sejarah, ketrampilan, dan semua yang hal yang bergunan dan langsung dapat dirasakan.
2. Aliran Esensialisme Aliran esensialisme muncul pada masa renaissance, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan progressivisme, yakni jika proggressivisme berpijak pada fleksibilitas yang membuka diri pada perubahan, toleran, serta tidak terikat dengan doktrin, maka bagi esensialisme, pendidikan model itu dianggap mudah goyah dan tidak terarah. Karenanya esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberi kestabilan dan arah yang jelas. Dasar Esensialisme adalah pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduaniawian, serba ilmiah serta materialistik. Juga dipengaruhi oleh pandangan yang menganut paham idialisme dan realisme. Tokoh-tokoh aliran-aliran Esensialisme (Imam Barnadib, 1982: 38-40) adalah: a. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain, menurutnya kurikulum harus bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristikrat. b. Johann Amos Comenius yang hidup tahun 19592-1670 M, adalah seorang yang berpandangan realis dan dogmatis. Ia berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan. c. John Locke, tokoh dari Inggris (1632-1704) yang berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Ia-pun mendirikan sekolah kerja untuk anak-anak miskin. d. Johan Henrich Pestalozzi (1746-1827), yang berpandangan naturalistis dengan pernyataan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia juga mempunya keyakinan bahwa manusia mempunyai hubungan-hubungan transendental langsung kepada Tuhannya.
3. Aliran Perennialisme Perennialisme diambil dari kata perennial yang dalam Oxford Advebced leaner’s Dictionary of current English diartikan sebagai “continuing throthough the whole yaer” atau “Lasting for a very long time” dengan maksud bahwa pendidikan mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal ~ abadi. Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan manusia. Untuk keluar dari permasalahan tersebut Perennialisme memberikan alternatif berupa “kembali pada kebudayaan masa lampau “regressive road to culture” (Muhammad Noorsjam, 1978: 153) Asas yang dianut Perennialisme bersumber pada filasafat kebudayaan yang mengacu pada dua hal, yaitu: a. Perennialisme yang theologis – yang bernaung di bawah supremasi gereja Katolik dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas. b. Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles (Muhammad Noorsjam, 1978: 158) Pokok pikiran Plato tentang pengetahuan dan nilai adalah manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna. Yakni ideal – serhingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam pemerintahan. Maka tujuan pendidikan adalah membina
pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas –asas normatif dalam semua aspek kehidupan. Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu; nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi tersebut. Ide Plato ini dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan” dan untuk itu aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedang Thomas Aquinas juga memandang bahwa tujuan pendidikan adalah usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualisasi. Prinsip-prinsip pendidikan
Perennialisme
perkembangannya
telah
mempengaruhi sistim pendidikan modern, sebagaimana pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi, dan pendidikan orang dewasa.
4. Aliran rekonstruksionalisme Pada dasarnya aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran Perennialisme dalam upaya mengatasi krisis kehidupan modern. Namun jalan yang ditempuhnya berbeda, sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu konsesnsus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia restore to the original form. Untuk mencapai tujuanya, rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin merombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan baru. (Muhammad Noorsjam, 1978: 183)
5. Aliran Eksistensialisme Eksistensialisme biasanya dialamatkan sebagai salah satu reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan
demikian menurut Zuhairini, dkk (2008: 30) menjelaskan
bahwa
Eksistensialisme pada hakekatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan ummat manusia sesuai dengan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Kierkegaard mendifinisikan bahwa Eksistensialisme
adalah suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran Eksistensialisme hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang dia alami, dan tidak mau terikat dengan hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Dasar pemikiran tersebut menjadikan kaum aliran Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali aneh dan lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to ... adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya. Ia tidak menghendaki adanya aturan pendidikan dalam segala bentuk 9termasuk aturan pendidikan saat ini).
OBYEK FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN Istilah filsafat ilmu pendidikan (Philosophy of Educational Science) pertama kali dikemukakakan oleh B. Othanel Smith (Redja Mudyahardjo, 2006: 6). Menurutnya studi filosofis pada saat ini merupakan tingkat permulaan
yang
diawali dengan analisis kritis terhadap konsep-konsep psikologi pendidikan, teoriteori belajar, pengukuran pendidikan, prosedur penyusunan kurikulum, dan sebagainya. Jika ilmu memiliki arti suatu kegiatan kritis yang bertujuan menemukan, dan juga merupakan pengetahuan sistimatis yang didasarkan pada pengetahuan tersebut. Maka filsafat ilmu mencakup; 1). Struktur ilmu, yang meliputi metode dan bentuk pengetahuan ilmiah, dan 20. kegunaan ilmu bagi kegunaan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan. Berdasar kenyataan tersebut, maka obyek filsafat ilmu dibedakan dalam empat hal berikut:
A. Ontologi Ilmu Pendidikan Ontologi ilmu pendidikan, adalah kajian tentang substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan. Dari segi morfologis serta bentuk substansinya ilmu pendidikan merupakan sebuah sistim pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset. Oleh karena pengetahuan diperoleh melalui riset tersebut dapat disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan. Dengan demikian ontologi ilmu pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah sistim pendidikan yang dihasilkan melalui riset. Substansi dari ilmu pendidikan dapat dikaji dari dua macam difinisi, yaitu: 1. Difinisi Konotatif Difinisi Konotatif adalah difinisi yang menyatakan secara tersurat tentang isi pengertian yang terkandung dalam istilah atau konsep yang didifinisikan (yang dipahami secara umum masyarakat). Isi pengertian adalah sifat-sifat atau ciri utama dari makna yang terkandung dari istilah atau konsep. Difinisi konotatif di bagi dalam dua kelompok, yaitu: Difinisi leksikal Difinisi leksikal adalah difinisi kamus, yaitu pencarian dan penentuan difinisi dari makna bahasa bahasa dan makna menurut istilah. Difinisi stipulatif Difinisi stipulatif adalah difinisi konotatif yang menyebutkan satu per satu atau syarat-syarat apa yang menjadi ciri dari konsep yang didifinisikan. Misalnya pemerintah melalui UU No. 2 tahun 1989 menetapkan syarat-syarat akademi sebagai salah satu bentuk perguruan tinggi. Berdasar syarat-syarat tersebut, PP No. 90 tahun 1999 mendifinisikan apa yang dimaksud dengan akademi. “Akademi adalah perguruan tinggi (genus) yang menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi, atau kesesian tertentu (diferensia) Bentuk difinisi stipulatif dibedakan menjadi dua, yaitu: a) difinisi nominal
atau
difinisi
verbal,
yaitu
difinisi
konotatif
yang
memperkenalkan istilah baru dalam mengenalkan konsep-konsep yang didifinisikan. Istilah baru tersebut dapat berupa kata-kata atau simbol-
simbol. Misalnya: sekolah yang menyelenggarakan pendidikan anakanak tuna rungu disebut SLB=B; “Pendidikan = f (B.L)”, yang artinya, pendidikan adalah fungsi Bakat (B) dan lingkungan (L). Dan
2)
difinisi
perbaikan.
Adalah
difinisi
pendidikan
yang
mengusulkan makna baru untuk istilah atau konsep yang sudah mempunyai difinisi tertentu. Difinisi perbaikan dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
Difinisi deskriptif, merupakan penggambaran lebih lanjut dan rinci dari difinisi leksikal. Misalnya :pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan
peserta
didik
melalui
kegiatan
bimbingan,
pengajaran, atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.’
Difinisi operasional, adalah difinisi konotatif yang menggambarka proses kerja atau kegiatan yang spesifikdan rinci yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang menjaadi makna dari konsep yang didifinisikan. Misalnya mengajar adalah rangkaian kegiatan guru menyusun program, ....
Difinisi teoritis, adalah difinisi perbaikan yang menyatakan secara tersurat karakteritik yang tepat tentang suatu istilah atau konsep. Misalnya Mendidik adalah usaha orang dewasa membantu anak yang berlangsung dalam hubungan kewibawaan yang didasarkan pada rasa kasih sayang yang terjadi dalam lingkungan sosial tertentu, ....
2. Difinisi Denotatif Difinisi denotatif adalah difinisi yang menyatakan secara tersurat luas pengertian dari istilah atau konsep yang didifinikan. Cara atau teknik mendifinisikan
secara
denotatif
adalah
dengan
jelas
menyebutkan
keseluruhanbagian atau slah satu bagian yang termasuk dalam kelas dari konsep yang didifinisikan. Difinisi denotatif dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu:
Difinisi denotatif lengkap (difinisi klasifikasi), yang menyebutkan semua sub kelas secara tersurat dan keseluruhan. Misalnya: pendidikan adalah bimbingan, pengajaran, atau pelatihan. Difinisi ostensif, adalah difinisi yang menyebutkan contoh subkelas dan termasuk dalam luas pengertian dari konsep yang didifinisikan. Misalnya: landasan pendidikan Nasional adalah Pancasila dan UUD 1945. Difinisi demonstratif, adalah difinisi ostensif yang menyatakan contoh barang atau individu atau peristiwa. Misalnya: Kepala sekolah yang baik adalah .... Semua jenis difinisi baik yang termasuk dalam difinisi konotatif maupun denotatif dipergunakan untuk menyusun batang tubuh ilmu pendidikan secara proporsional, sesuai dengan tujuan penyajian dan
karakteristik konsep yang
didifinisikan. Bentuk isi ilmu pendidikan sebagaimana ilmu yang lain pada umumnya terdiri dari Pertama: generalisasi-generalisasi atau kesimpulan umum yang ditarik berdasarkan hal-hal khusus. Misalnya tentang karakter pendidik yang baik adalah terdiri dari tiga hal berikut: 1. karakter pribadi a. percaya diri b. rasa berkewajiban dan tanggungjawab c. mempunyai suara yang khas d. kesehatan yang baik 2. karakter profesional a. menerangkan topik yang diajarkan dengan jelas b. menyampaikan mata pelajaran dengan jelas c. mempunyai organisasi mata pelajaran dengan baik d. mempunyai kemampuan berekspresi e. mempunyai kecakapan dalam membangkitkan minat dan motivasi f. merencanakan dan mempersiapkan pelajaran 3. karakter latar belakang dan keahlian akademik a. mempunyai pengetahuan yang tepat tentang mata pelajaran
b. mempunyai kemampuan menyesuaikan mata pelajaran dengan tingkat pemahaman murid Bentuk isi ilmu pendidikan yang kedua adalah berisi hukum atau prinsip, yang meliputi: 1. Hukum akibat (the law of effect), yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang menyenangkan cenderung akan diulang, sebaliknya sesuatu perbuatan yang menghasilkan sesuatu yang mengakibatkan ketidak puasan akan cenderung dihentikan. 2. Hukum latihan (the law of exercise), adalah keseringan menyatakan bahwa makin sering diulang atau dilatih, sesuatu tindakan cenderung makin kuat tertanam, dan sebaliknya, semakin kurang dilatih cenderung makin menghilang. 3. Hukum kesiapan (the law of readiness), menyatakan bahwa kegiatan yang disertai kesiapan cenderung memberikan rasa puas. Sebaliknya kegiatan tanpa persiapan cenderung tidak menghasilkan ketidak puasan. Bentuk isi ilmu pendidikan yang ketiga adalah teori, yang dalam pendidikan memunculkan 1) teori formal yang berisi pernyataan-pernyataan yang saling berhubungan untuk menerangkan suatu kelompok tingkah laku. Teori ini hanya terbatas pada lingkupnya saja. Greser, Staurus dan denzin dalam Redja Mudyahardjo (2006; 17-18) menunjuk pada satu bidang pengalaman manusia yang diabstraksikan secara konseptual. Misalnya dalam sosiologi terdapat teori formal: mobilitas sosial, konflik peranan, sosialisasi, penyimpangan sosial, organisasi formal, dan sebagainya. Sedang dalam psikologi muncul teori belajar, teori perkembangan, dan sebagainya. 2) teori substantif yang berisi pernyataan atau konsep yang saling berhubungan yang berkenaan dengan aspek-aspek khusus tentang satuan pendidikan atau kegiatan pendidikan. Misalnya tentang teori substaantif kegiatan belajar mengajar melahirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dibagi dalam beberapa metode, misalnya 1. Metode ceramah dari kaum sophist (phitagoras, Hippias, dan sebagainya) yang digunakan untuk mengajar agar fasih berbicara. Dengan; menghafal, menganalisis model yang ditiru penghafal, membuat tiruan model dengan demonstrasi dan sebagainya.
2. Metode dialektika dari socrates, yang digunakan untuk mengajar agar memperoleh pengetahuan benar, dengan tiga tahapan: a) opini individu, b) analitis, dan c) sintesis 3. Metode Scholatisisme yang dipelopori oleh Abelard yang di dalamnya mencakup metode dialektika, metode debatm dan metode observasi. Konsep yang dikemukakan adalah topik-topik etika, yang harus dijawab dengan “ya atau tidak.” 4. Metode pengamatan alami dan langsung, dengan tujuan agar dapat belajar dari segala apa yang ada di dunia untuk menjadi bijak, dengan bantuan indera. 5. Metode pemecahan masalah dari Dewey, dengan menyusun langkah: a) penyadaran masalah, b) perumusan masalah, c) pengumpulan data, d) menyusun hipotesis, dan e) pembuktian.
B. Epistemologi Ilmu Pendidikan Epistemologi ilmu pendidikan, adalah kajian tentang hakikat obyek formal dan material ilmu pendidikan.
Obyek formal adalah bidang yang menjadi
keseluruhan ruang lingkup garapan riset pendidikan, sedang obyek material adalah aspek-aspek yang menjadi garapan langsung riset pendidikan. Menilik kenyataan ini maka bisa jadi obyek material yang sama digarap langsung memalalui riset yang berbeda. Misalnya manusia sebagai obyek material, dikaji dari sudut pandang format antropologi, biologi, atau bisa juga dikaji dari sudut pandang ekonomi, dan sebagainya. Di sisi lain obyek formal ilmu pendidikan dapat diartikan secara luas, sempit atau luas terbatas. Dalam pengertian luas pendidikan diartikan sebagai hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan manusia (seseorang). Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu pendidikan dapat pula didifinisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar manusia sepanjang hidupnya , dia tidak mengenal batas usia, tempat, karakter, lingkungan, bentuk pendidikan, dan sebagainya (lifelong).
Yang perlu diketahui adalah bahwa setiap pengalaman belajar tersirat pula tujuan pendidikan – yang dengan sendirinya pengalaman belajar dalam hidup terarah (self directed) kepada pertumbuhannya. Pada kelompok ini mereka menilai bahwa pendidikan sekolah memiliki sisi negatif sebagai upaya untuk mengasingkan para siswa dari masyarakat. Hubungan guru dan siswa dianggap sebagai pola hubungan otoriter, sehingga perkembangan individu dianggap tidak bisa berlangsung secara optimal. Mereka setuju dengan konsep Descholling Society (Masyarakat tanpa Sekolah). Dalam
pengertian
sempit,
pendidikan
adalah
sekolah
atau
persekolahan (Scholling), yaitu lembaga pendidikan formal sebagai salah satu hasil rekayasa dari peradaban manusia yang
terdiri dari pendidikan pada
lingkungan keluarga, dunia kerja, negara, lembaga keagamaan, dan sebagainya. Di sisi lain pendidikan dalam arti sempit juga dapat diartikan bahwa pendidikan tidak akan dapat berlangsung lama, melainkan berlangsung dalam waktu yang sangat terbatas (age specific). Pendidikan dalam arti sempit juga membatasi tujuan pendidikan itu sendiri yang melekat dalam setiap proses pendidikan yang dapat dirumuskan sebelum berlangsungnya pendidikan yang dimaksud. Karenanya pendidikan bersifat rekayasa dan bukan bersifat wajar alami. Hasil yang diperoleh dari rekayasa pendidikan menciptakan model-model mengajar. Misalnya: interaksi sosial, model pengolahan informasi, model perwujudan pribadi, model modifikasi tingkah laku, dan sebagainya. Dan juga menghasilkan model-model belajar, misalnya: teori belajar lapangan, teori belajar intruksional, teori pemecahan masalah, dan sebagainya. Kaum behavioris cenderung mengartikan pendidikan dalam arti sempit. Setidaknya
mereka
optimis
bahwa
sekolah
memiliki
peranan
dalam
menyelenggarakan pendidikan. Dalam pengertian luas terbatas, pendidikan memiliki kelemahan berupa; ketidak mampuan
menggambarkan dengan tegas batas-batas pengaruh
pendidikan dan bukan pengaruh pendidikan terhadap individu. Namun ia memiliki kekuatan berupa kemampuan menempatkan kegiatan atau pengalaman belajar
sebagai inti dalam proses pendidikan yang berlangsung di manapun dalam lingkungan hidup, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Dalam difinis9 sempit tentang pendidikan terletak pada kuatnya campur tangan pendidik dalam proses pendidkan, sehingga pendidikan lebih merupakan kegiatan mengajar bukan kegiatan belajar. Otoritas pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Untuk menjembatani hal ini muncullah difinisi alternatif
yang
menggabungkan difinisi sempit dan luas, dengan menghilangkan kelemahankelemahannya. Di sini difinisi alternatif memiliki pengertian tentang pendidikan yang sangat luas baik pendidikan di dalam sekolah maupun diluar sekolah dengan menggunakan tujuan-tujuan tertentu sebagai patokannya. Pengajar diharap mengurangi otoritasnya dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada si belajar untuk mendapatkan pengalaman belajar yang seluas-luasnya. Semangat difinisi alternatif dapat dilihat pada UUSPN No. 2 tahun 1989 pasal 1 ayat 1 dengan rumusan sebagai berikut: “pendidikan adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan pengajaran, bimbingan, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.”
C. Metodologi Ilmu Pendidikan Metodologi Ilmu pendidikan, adalah kajian yang membahas tentang hakikat cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan. Dari berbagai hasil riset yang telah dilakukan oleh para tokoh melahirkan teori-teori riset, yang kemudian menjadi batang tubuh penyusunan ilmu pendidikan. Dasar yang digunakan dalam penentuan riset ilmu pendidikan adalah metode induksi dan metode deduksi. Menurut Aristoteles metode induksi akan terbetuk generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan) berdasar pengalaman penginderaan. Aristoteles juga mengemukakan bahwa induksi memiliki dua tipe, yaitu: 1. perhitungan sederhana, dan 2. induksi intuitif. Dalam perhitungan sederhana, pernyataan tentang hal atau peristiwa khusus diambil sebagai dasar untuk sebuah kesimpulan umum. Sedang induksi intuitif
berisi tentang prinsip-prinsip umum yang dicontohkan
dalam gejala tilikan
(insight). Tilikan adalah sebuah kemampuan melihat apa yang esensial dalam data dari pengalaman indra. Contoh yang diberikan Aristoteles adalah bahwa sisi terangnya bulan tertuju pada matahari. Karena dia menarik kesimpulan bahwa bulan dapat bersinar karena cahaya matahari yang dipantulkan. Metode deduksi menetapkan bahwa kesimpulan umum yang ditarik melalui induksi dapat dipergunakan sebagai premis-premis untuk deduksi dari pernyataanpernyataan tentang observasi yang pertama. Hasil
penelitian
ilmiah
Aristoteles
tentang
benda
ruang angkasa
disempurnakan oleh para ilmuan dengan menambahkannya dengan silogisme (mencari kesimpulan dari pernyataan umum/mencari kesimpulan dari pernyataan khusus). Kenyataan yang harus diakui dalam pengambilan kesimpulan adalah bahwa penentuan premis-premis lah yang menjadi tolak ukur ketepatan dalam pengambilan keputusan. Premis-premis tersebut akan dihubungkan oleh termterm dari subyek ke predikat yang akan akan dibuktikan. Misal:
Semua bintang adalah benda-benda angkasa yang telah bersinar Semua planet adalah bintang
Maka: Semua planet adalah benda-benda angkasa yang terus bersinar Eulid dan Archimides mengembangkan konsep sistimatis deduktif. Mereka mengajukan tiga buah konsep, yaitu: 1. bahwa aksioma-aksioma dan dalil-dalil berhubungan secara deduktif, 2. bahwa aksioma-aksioma sendiri merupakan kebenaran yang benar tanpa pembuktian, 3. bahwa dalil-dalil sesuai dengan hasilhasil observasi. Keragaman pola pengamatan (riset) ini melahirkan berbagai dua metode, yaitu; metode kuantitatif dan metode kualitatif tentang ilmu pendidikan, sekaligus melahirkan berbagai konsep ilmiah tentang hakikat manusia idaman atau manusia idaman. Konsep-konsep tersebut didorong oleh perkembangan pemikiran dalam lapangan riset itu sendiri. Sehingga muncullah konsep umum: manusia sebagai
animal rasionale, animal sociale, animal symbolicum, homo sapiens, homo homini lupus, dan sebagainya.
D. Aksiologi Ilmu Pendidikan Aksiologi Ilmu pendidikan, adalah kajian yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan. Dengan kata lain Aksiologi Ilmu Pendidikan bisa disebut juga sebagai hasil dari ilmu pendidikan yang berupa konsep-konsep ilmiah tentang aspek-aspek dan dimensi-dimensi
pendidikan
sebagai salah satu gejala kehidupan manusia. Konsep yang dihasilkan Ilmu pendidikan, secara langsung atau tidak langsung dapat berguna bagi upaya peningkatan kelancaran dan keberhasilan praktik pendidikan, baik dalam bentuk kegiatan pendidikan maupun pengelolaan pendidikan. Pengenalan yang mantap tentang konsep konsep ilmiah pendidikan akan menumbuhkan kepercayaan diri atau keyakinan pendidik/pengelola pendidikan dalam melaksanakan tugas. Diantara kegunaan dari penguasaan tentang konsep ilmu pendidikan adalah: 1. Memberikan
dasar,
latar
belakang
dan
keahlian
akademik
bagi
pendidik/pengelola pendidikan. Sebagai sarana peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. 2. Memberikan pedoman dasar kerja pendidik/pengelola dalam melaksanakan tugas dalam pengenalan diri bagi pendidik. Pengenalan diri disebut emotional intellegent yang membahas tentangkemampuan-kemampuan: a. Mengetahui emosi diri sendiri (emotional intellegent), b. mengatur emosi yang bergejolak (managing
emotional), c. memotifasi diri sendiri (motivating oneself), d.
merasakan emosi orang lain atau empati (recognizing emotions in others), e. Menangani hubungan dengan orang lain (handling relationship) 3. Membentuk karakter profesional pada pendidik yang akan berhubungan dengan efektifitas bagi guru dalam mengajar yang akan mempengaruhi kemampuan-kemampuan: a. Menerangkan topik ajar, b. menyajikan tentang mata pelajaran, c. mengorganisasikan secara sistimatis mata pelajaran, d. berekspresi, e. Membangkitkan minat dan dorongan siswa.
4. Mendorong penguasaan teknologi dalam praktik pendidikan.
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Filsafat secara etimologi memiliki arti philos dan sophos yaitu cinta dan pengetahuan/kebijaksanaan. Sedangkan secara epistemologi filsafat berarti ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami persoalanpersoalan yang timbul di dalam keseluruhan rung lingkup kehidupan manusia. 2. Peran filsafat dalam pendidikan Islam adalah untuk menjawab empat pertanyaan yaitu; a. apakah yang dapat diketahui (metafisika), b. apakah yang boleh kita kerjakan (etika), c. sampai dimanakah pengharapan kita (agama), dan d. apakah yang dinamakan manusia (antropologi) 3. Aliran-filsafat dalam pendidikan meliputi; aliran progressivieme, aliran Esensialisme, aliran perennialisme, aliran rekonstruksionalisme, dan aliran eksistensialisme. 4. Obyek filsafat ilmu pendidikan adalah; Ontologi ilmu pendidikan, Epistemologi ilmu pendidikan, metodologi ilmu pendidikan, dan aksiologi ilmu pendidikan.
B. Saran 1. Pengetahuan makna dan pemahaman tentang filsafat akan sangat membantu seseorang dalam mempelajari ilmu fisafat itu sendiri, termasuk filsafat ilmu pendidikan 2. Hendaknya Peran filsafat dikembangkan dalam kaitannya dalam kaitannya dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia seputar; metafisika, etika, agama, dan antropologi. 3. Perlu kiranya memahami sekaligus mencoba mengembangkan potensi peserta didik dalam proses pendidikan dengan berpijak pada aliran-aliran filsafat pendidikan.
dalam
4. Lapangan kajian tentang filsafat ilmu pendidikan Islam kiranya sangat membutuhkan kajian ulang agar tidak terjadi kesenjangan antara masingmasing obyek yang digarap.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam. (alih bahasa) Hasan Langgulung, Jakarta, Bulan Bintang, 2007 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yayasan Penerbit FIP IKIP Jakarta, 1982 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (manusia, filsafat, dan pendidikan), 2009 M. Noorsjam, Pengantar Filsafat Pendidikan, FIP IKIP Malang, 1978 Muzairi, Filsafat Umum, Teras, Yogyakarta, 2009 Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2008 Sidi Gazalba, Sistimatika Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta 1973 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (cetakan ke 4), Bumi Aksara, Jakarta, 2008