HOLISTISITAS DAN INTEGRALITAS ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM LESTARI Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darussalimin NW Praya Loteng Email:
[email protected]
Abstrak Pendidikan Islam merupakan pendidikan holistik-integratif yang melihat dan mengkaji objek ilmu secara menyeluruh dan terpadu. Karakteristik inilah kemudian yang mebuat pendidikan Islam pada abad pertengahan mampu merajut peradaban besar di beragam ilmu, terutama pada ilmu aqliyah, eksak dan ilmu agama. Ilmu bagi para ilmuan Islam menjadi sarana peningkatan ketakwaan kepada Allah, bukan meniadakan Allah. Inilah aksiologis dari ilmu dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang holistik tersebut telah mewujudkan konsep dan tujuan ilmu dalam al-Qur’an, yakni terciptanya manusia yang memiliki ilmu yang luas, bertakwa dan berahlak mulia (insan kamil yang menjadi khalifah). Kata kunci: Manifestasi, Pendidikan, Holistik, dan Integratif Abstract Islamic education is a holistic education - integrative that view and examine the object of integrated science comprehensively. This characteristics then made Islamic education in medieval era were able to united a huge civilization in a variety of science , especially the knowledge of aqliyah and religion. The knowledge for many islamic scientists become a mean of increasing devotion to Allah not otherwise. This is the axiological of its knowledge in Islamic education. a holistic islamic education has embodied the concept and purpose of science in the Qur'an, namely the creation of human beings having the extensive knowledge, pious and noble character (perfect man who became as a "khalifah"). Keywords : Manifestations, Education , Holistic , and Integrative
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 97
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Pendahuluan Di abad modern muncul beragam istilah pendidikan, seperti pendidikan karakter, pendidikan multikulturalisme dan pendidikan holistik transpormatif. Para pemerhati Pendidikan Islam kemudian melakukan gerakan penyesuaian dengan istilah-istilah pendidikan tersebut. Gerakan pencocokan ini merupakan repleksi tentang kegagalan pendidiakan Islam dalam mewujudkan tujuan idealnya dalam membentuk manusia yang baik. Secara normatif, Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil). Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana pendidikan Islam mewujudkan tujuan idealnya tersebut? Pertanyaan inilah yang mestinya dicari solusinya, bukan menyibukkan diri dengan melakukan gerakan penyesuaian. Jika dilihat dari aspek dasar, tujuan dan rekaman sejarah, maka pendidikan Islam telah mampu mewujudkan fungsi dan tujuan idealnya. Pada abad pertengahan pendidikan Islam bercorak holistik dan integratif dalam melihat dan mengkaji objek ilmu. Di era modern, pendidikan Islam justru terjebak pada dikotomisasi ilmu yang pada dasarnya dikotomisasi ini merupakan buah dari gerakan sekularisasi sains modern Barat semenjak digelarnya renaisans pada abad ke 14.1 Pendidikan Barat di tangan ilmuannya telah melakukan pembedaan ilmu menjadi ilmu ilmiah (ilmu eksak dan sosial) dan ilmu non ilmiah (agama). Ilmu yang bersumber dari agama dianggap tidak memiliki validitas kebenaran ilmiah, karena dianggap bersifat subjektif. 2 Hal ini kemudian berdampak pada terjadi perubahan paradigma tentang hakekat manusia, yakni munculnya semangat humanisme sebagai perwujudan dari ideologi antroposentrisme-sekulerisme-positivisme logis menempatkan manusia sebagai individu dan masyarakat yang indevenden dan otonom atas segala sesuatu di alam. Sains dan teknologi kemudian menjadi alat untuk mewujudkan ideologi-ideologi tersebut. Kebudayaan duniawi yang jauh dari nilai-nilai agama kemudian muncul sebagai sebuah pertunjukan kehidupan yang destruktif. Terjadinya sekularisasi ilmu di Barat didorong oleh pandangan ideologis yang bersipat rasional dan sekuler serta tidak mempercayai hal-hal yang bersifat metafisisspiritual. 3 Dengan demikian Sains modern Barat secara objek kajian hanya fokus pada objek material-empirik indarawi, dengan alasan bahwa objek fisik memiliki 1 Mulyadhi
Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), cet. I., hal. 121. 2 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: ARASY Mizan, 2005), cet. I., hal. 20. 3Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam,hal. 86.
98 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
status ontologism yang jelas. 4 Tujuan dari sains tersebut adalah untuk memahami alam dan selanjutnya menguasai alam bagi kemudahan dan kesejahtraan hidup manusia.5 Dengan demikian sains modern Barat dikonstruksi berdasarkan semangat humanisitik-antroposentris, pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisisk yang indrawi. Ahirnya seperti yang dikatakan Nasr, sains menjadi raja dan tolak ukur nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran.6 Untuk mewujudkan sains alam yang modern tersebut, tugas utama dari para ilmuan adalah melakukan nihilisasi subtansi kosmos dari karakteristik sakralnya agar menjadi profan, maka terjadilah sekularisasi alam oleh sains empirik materialissekuler tersebut, selanjutnya terjadi proses reduksi terhadap kosmologi menjadi sains-sain partikuler tentang subtansi materi, dengan demikian dalam pandangan yang lebih umum, sains berkecendrungan mereduksi yang tinggi ke yang rendah,7 yang sakral menjadi profan. Paling tidak ini terlihat dari upaya konstruksi metode atau epistemologi sains Barat yang dibangun pada abad ke-15 oleh Francis Bacon dan Rene Descartes, metode ilmiah atau epistemologi Barat telah mengalami proses empirisis, dan pada masa kontemporer mencapai puncaknya pada positivistik logis. Dengan demikian, sarjana Barat telah berhasil membuang wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan mereduksi wahyu pada tataran hayalan dan dongeng, paling tidak ini terlihat jelas pada tiga abad terahir.8 Tulisan ini akan mengkaji tentang pendidikan islam yang holistic dan integrative dari aspek dasar/sumber, aspek historis dan aspek tujuan. Pengertian Pendidikan Islam Sebelum membahas pendidikan Islam terlebih dahulu diuraikan arti dari pendidikan itu sendiri. Istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih banyak dikenal dengan term At-Tarbiyah, At-Ta’lim, At-Ta’dib, dimana term tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda. Dari ketiga istilah tersebut telah banyak menimbulkan perdebatan diantara para ahli mengenai istilah mana yang paling tepat untuk menunjuk kegiatan “pendidikan”. At-Ta’lim yang lebih tepat ditujukan untuk istilah “pengajaran” hanya terbatas pada kegiatan menyampaikan atau memasukkan ilmu pengetahuan ke otak seseorang. Jadi lebih sempit dari istilah “pendidikan” yang 4Mulyadhi
Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, hal. 1-7. Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam, (bandung Mizan, 2004), hal. 221-222. 6 Seyyed Hussein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (Geoge Allen & Unwin, Ltd. London, 1976), hal. 28. 7 Seyyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosfis dan Religius Menuju Puncak Spiritual, hal. 32-34. 8 Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2001), hal. 7-8. 5Armahedi
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 99
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
dimaksud, dengan kata lain At-Ta’lim hanya sebagai bagian dari pendidikan. Dan kata At-Ta’dib lebih tepat ditujukan untuk istilah “pendidikan ahlak” semata, jadi sasarannya hanyalah pada hati dan tingkah laku (budi pekerti.) sedangkan kata AtTarbiyah mempunyai pengertian yang lebih luas dari At-Ta’lim dan At-Ta’dib bahkan mencakup kedua istilah tersebut.9 Dari perspektif bahasa, menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, kata AtTarbiyah memiliki tiga asal yaitu : a. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata ُْ٘ َشْ بٝ َسبَاYang mempunyai arti ََّٗ ََا صَا َد (bertambah dan tumbuh ) b. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata ََٜشْ بٝ -َٜ ِ َسبyang mempunyai arti حَ َش ْػ َش َع َٗ َ ( َّ َشؤtumbuh dan berkembang menjadi dewasa ) c. Kata At-Tarbiyah berasal dari kata ش بٝ – س بyang mempunyai arti :ُٔاَصْ يَ َح ُٓ ِٔ َٗ َسػَاْٞ َ َٗ َسا َسٔ ُ َٗقَا ًَ َػي: ُ ٓ اَ ٍْ َشَّٚ ( َٗحَ َ٘ىmemperbaiki, mengurusnya, memimpinnya dan mengawasi serta menjaganya.)10 Dari pengertian di atas istilah At-Tarbiyah mengandung berbagai kegiatan yang berupa menumbuhkan, mengembangkan, memperbaiki, mengurus, maupun mengawasi serta menjaga anak didik. Dengan berbagai kegiatan ini maka potensipotensi yang ada dalam diri anak didik akan mengalami perkembangan ke arah kemajuan. Sedangkan pengertian pendidikan secara terminologi pendidikan Islam diartikan oleh Sayid Sabiq, sebagai upaya mempersiapkan anak yang baik dari segi jasmani, akal, dan rohani, sehingga menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi umatnya. Athiyah Al-Abrasy, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan individu agar dapat hidup dengan kehidupan yang sempurna. Anwar Jundi, mengatakan pendidikan Islam yaitu menumbuhkan manusia dengan pertumbuhan yang terus menerus sejak ia lahir sampai ia meninggal dunia.11 Dari ketiga definisi di atas mengandung perbedaan, yaitu terletak pada penekanannya, sehingga ketiganya dapat saling melengkapi. Dan apabila ketiga definisi itu dipadukan maka akan tersusun sebuah rumusan pendidikan Islam yang lebih sempurna dan lebih lengkap. Adapun rumusan pendidikan Islam yaitu suatu usaha untuk menyiapkan anak atau individu dan menumbuhkannya baik dari sisi jasmani, akal fikiran dan rohaninya dengan pertumbuhan yang terus menerus agar 9Abu Tauhid dan Mangun Budianto,beberapa Aspek Pendidikan Islam, (yogyakarta : Sekretaris Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1990) hal. 8-9. 10Abu Tauhid dan Mangun Budianto,beberapa Aspek Pendidikan Islam, hal. 9 11 Abu Tauhid dan Mangun Budianto,beberapa Aspek Pendidikan Islam, hal.11-12
100 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
dapat hidup dan berpenghidupan sempurna dan dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan umat. Jadi pendidikan Islam merupakan pengembangan potensi yang dimiliki anak sesuai dengan bakat dan minatnya, disamping itu pendidikan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai dan aspek pengembangan akal pikiran sehingga potensi dasar anak dikembangkan secara leluasa, sehingga kemampuan yang dimiliki anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jasmani dan rohani sehingga menjadi manusia yang berguna. H.M. Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.12 Pendidikan Islam dalam konteks ini berupaya menanamkan ketawaan dan ahlak kepada anak didik agar menjadi manusia yang berpribadi dan berbudi pekerti luhur menurut ajaran Islam. Muhammad Athiyah Al-Abrosy menyatakan bahwa prinsip umum pendidikan Islam adalah mengembangkan berfikir bebas dan mandiri serta demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individu yang menyangkut aspek kecerdasan akal, dan bakat dengan dititik beratkan pada pengembangan ahlak.13 Muhammad Athiyah Al-Abrosy melihat bahwa pendidikan Islam berupaya mengembangkan anak sesuai dengan akal dan bakat dengan bimbingan dan dorongan yang dititik beratkan pada pengembangan ahlak. Sedangkan menurut Muhammad Fadil Al-Jamaly pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju berlandaskan nilai-nilia yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang sempurna baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.14 Ini berarti bahwa pendidikan Islam berupaya mengembangkan potensi manusia baik dari sisi kognitif, afektif maupun psikomotorik sebagai satu kesatuan yang utuh dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam sehingga mampu menghadapi masa depan dengan kemampuan yang telah dimiliki. Dari semua definisi pendidikan tersebut terlihat jeals bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah upaya dalam membina pribadi yang baik menurut ajaran Islam, yakni pribadi yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, bertakwa kepada Allah dan berahlak mulia. Definisi tersebut mencerminkan sebuah tujuan dari penciptaan H.M Arifin, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 41 Athiyah Al-abrasy, Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa, Prof. H. Bustami, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 165 14 Muhammad Fadhil Al-Jamaly, Filsafat Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu 1986) hal. 3 12 13
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 101
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
manusia di bumi, yakni sebagai khalifah dan menyembah kepada Allah. Menjadi khalifah dan beribadah tidak bisa dijalankan kecuali dengan ilmu. Sehingga ilmu dalam Islam merupakan jalan untuk menjadi manusia yang baik dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia dan alam lingkungan. Dengan demikian ilmu dalam pendidikan Islam haruslah bersifat holistik dan integratif. Dasar Pendidikan Islam Dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam harus merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada aktivitas yang dicitacitakan. Nilai yang terkandung harus mencerminkan nilai yang universal yang dapat dipergunakan untuk seluruh aspek kehidupan manusia, serta merupakan standar nilai yang dapat mengevaluasi kegiatan selama berjalan. 15 Dasar pendidikan Islam pada garis besarnya ada dua yaitu Al-Quran dan As-Sunah yang dapat dikembangkan dengan ijtihad.16 Yang menjadi dasar atau fondasi dari pendidikan Islam adalah sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik untuk pencapaian pendidikan,17 Karena itu landasannya adalah sumber ajaran Islam, yakni al-quran,18 al-hadits dan ijtihad ulama. Alquran diajdikan sebaga dasar pendidikan Islam, lantaran al-quran merupakan sumber ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat ah-nahl ayat 89, yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) al kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmad dan kabar gembira bagi orangorang yang berserah diri.” ( Q.S. an Nahl: 89) Sunnah dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam lantaran dalam rasulullah merupakan utusan yang membawa ajaran Islam yang tercermin dari segala perkataan, perbuatan dan ketetapannya. Sunnah juga merupakan penguat, penjelas dan perinci dari al-quran itu sendiri. Dalam sejarah kerasulannya, nabi Muhammad juga melakukan gerakan transpormasi dan sivilisasi masyarakat melalui pendidika tentang hidup dan kehidupan. Sedangkan Ijtihad dijadikan dasar pendidikan Islam karena di dalamnya merupakan hasil dari usaha aqliyah ulama dalam memahami alquran dan al-hadits sehingga melahirkan ilmu pengetahuan yang mencerminkan ajaran Islam itu sendiri.
15
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Trigenda Karya, 1993 )
hal. 144 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992) hal. 19 Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam;Pendekatan Historis, Teoritis, Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 34. 18 Khoiron Rosyidi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 153. 16 17
102 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Said Ismail berpendapat bahwa dasar ideal pendidikan Islam terdiri atas enam macam yaitu ; (1) Al-Quran, (2) Sunah Nabi, (3) Kata-kata sahabat, (4) Kemasyarakatan umat (sosial), (5) Nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat dan (6) Hasil pemikiran para pemikir Islam.19 Menurut Hasan Langgulung dasar operasional pendidikan terbagi menjadi enam macam : Dasar historis, yaitu dasar yang memberikan persiapan kepada anak didik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, undang-undang dan peraturannya, batas-batas dan kekurangannya. Dasar sosial, yaitu dasar yang memberikan kerangka budaya pendidikannya itu bertolak dan bergerak seperti memindah budaya, memilih dan mengembangkannya. Dasar ekonomi, yaitu dasar yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia dan keuangan materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya dan tanggung jawabnya terhadap pembelanjaan. Dasar politik dan administrasi, yaitu dasar yang memberi bingkai ideologi dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat. Dasar psikologis, yaitu dasar yang memberi informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru caracara terbaik dalam praktek pencapaian dan penilaian dan pengukuran secara bimbingan. dasar filosofis, yaitu dasar yang memberi kemampua memilih yang terbaik memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.20 Dasar-dasar pendidikan ini menjadikan pendidikan Islam tetap mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, dan dasar ini pula yang menjadi salah satu acuan dalam penentuan tujuan pendidikan Islam.
Tujuan Pendidikan Islam Tujuan merupakan salah satu faktor yang harus ada dalam setiap aktifitas pendidikan, termasuk pendidikan Islam, disamping itu, tujuan juga merupakan pedoman bagi suatu kegiatan yang akan dikerjakan. Terkait dengan tujuan ini, Pendidikan Islam memiliki tujuan untuk menjadikan manusia yang bertaqwa; manusia yang dapat mencapai al-Falah, kesuksesan hidup yang abadi; dunia dan akhirat (muflihun).21 Ahmad D. Marimba membagi tujuan pendidikan menjadi dua yaitu: tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan pendidikan sementara yaitu untuk mencapai Sebagaimana yang dikutif dalam, Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran TentangPendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995) hal.35 20 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PustakaAl-husna, 1988) hal. 9-12 21 Soeroyo, “Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia;Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991) hal. 43 19
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 103
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
kecakapan jasmaniah, pengetahuan membaca menulis, pengetahuan dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, kesusilaan, keagamaan, kedewasaan jasmani-rohani, dan sebagainya. 22 Sedangkan tujuan akhirnya adalah terbentuknya kepribadian muslim. Lebih lanjut dia mengungkapkan tujuan pendidikan Islam itu identik dengan tujuan hidup setiap orang muslim yaitu untuk menjadi hamba Allah. Menurut al-Ghozali, taqarrub kepada Allah adalah tujuan terpenting pendidikan.23 Menurut Ibnu Maskawaih tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir dari prilaku-prilaku luhur atau berbudi pekerti.24 Sedangkan menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah mandiri dalam menjalankan beban hidup dan memberikan manfaat bagi masyarakat, dengan jalan membina tiap anggota masyarakat dengan pekerjaan mereka yang baik. 25 Sedangkan Athiyah al Abrasyi berpendapat, tujuan pendidikan Islam adalah : 1. Jiwa Pendidikan Islam adalah budi pekerti. 2. Memperhatikan agama dan dunia sekaligus. 3. Memperhatikan segi-segi manfaat. 4. Mempelajari ilmu semata-mata untuk ilmu itu saja. 5. Pendidikan kejuruan, pertukangan untuk mencari rezeki. 26 Adapun Tujuan pendidikan dalam al Qur’an dapat disimpulkan: 1. Mengenal manusia akan peranannya diantara sesama titah (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya didalam hidup ini. 2. Mengenal manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat. 3. Mengenal manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. 4. Mengenalkan manusia akan pencipta alam (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.27 Tujuan tertinggi pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa sebagaimana yang dikutip Muhammad Jawad Ridla adalah peningkatan harkat manusia kepada Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan,., hal. 47 Sebagaimana yang dikutif dalam, Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al Amin Press, 1997), hal.93 24 Sebagaimana yang dikutif dalam, Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, hal. 33. 25 Sebagaimana yang dikutif dalam, Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan para Filosof Muslim, hal. 64. 26 M. Athiyah al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 11 27 Muhammad Fadhil Al Jamaly, Filsafat Pendidikan Dalam Al Qur’an, terj (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), hal. 3 22 23
104 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridla Allah23. Tamyiz Burhanudin menegaskan tujuan pendidikan Islam menurut Ikhwan al-Shafa adalah lebih berorientasi filosofis, dimana tujuan pendidikan adalah menumbuh-kembangkan kepribadian muslim yang mampu mengamalkan cita-citanya. 28 Di antara ciri-ciri tujuan pendidikan Islam yang paling menonjol adalah sifatnya yang bercorak agama dan akhlak, sifat keseluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat.29 Menurut Moh. Fadhil Al-Jamaly tujuan pendidikan Islam ialah menanamkan kesadaran dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada khalik pencipta alam itu sendiri.30 Tujuan ini menggambarkan bahwa pendidikan Islam berusaha mengembangkan potensi yang ada pada manusia, hal ini terlihat dengan mengajak manusia mengenal dan mempelajari lingkungan baik dirinya, masyarakat maupun alam sehingga diperlukan kemampuan agar dapat mengelola dan menguasainya untuk mencapai kebahagiaan hidup dengan maksud beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan menurut hasil rumusan konferensi dunia pertama tentang pendidikan Islam yang diadakan di Makkah tahun 1977 : “ Penididikan seharusnya mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan rasa tubuh. Karena itu, pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik baik secara individual maupun secara kolektif disamping memotivasi semua aspek tersebut ke arah kebaikan dan kesempurnaan. 31 Rumusan pendidikan Islam ini menggambarkan tujuan pendidikan Islam berusaha untuk menumbuhkan berbagai aspek yang ada pada manusia dengan potensi yang dimiliki agar mencapai pertumbuhan yang seimbang dan sempurna. Ali Ashraf menawarkan tujuan pendidikan Islam dengan terwujudnya penyerahan mutlak kepada Allah SWT pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya. Sedangkan tujuan khusus pendidikan Islam menurut Sebgaimana yang dikutif dalam, Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hal. 100. 29 Omar Muhammad al Taomy, Falsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 437 30 H.M Arifin Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993 ) hal. 133 31 Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam (Jakarta : Firdaus, 1989 ), hal. 25 28
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 105
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Ali Ashraf adalah: Mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern. Membekali anak muda dengan berbagai pengetahuan dan kebajikan baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan sosial dan pembangunan nasional. Mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban Islami di atas semua kebudayaan lain. Memperbaiki dorongan emosi melalui pengalaman imajinatif sehingga kemampuan kretif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Membantu anak yang sedang tumbuh dan belajar berfikir secara logis dan membimbing proses pemikiran dengan berpijak pada hipoteses dan konsep-konsep tentanag pengetahuan yang dituntut. Mengembangkan wawasan relational dan lingkungan sebagaimana yang dicitacitakan dalam Islam, dengan melatih kebiasaan yang baik. Mengembangkan, menghaluskan dan memperdalam kemampuan aberkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa lisan.32 Dari tujuan yang ditawarkan Ali Ashraf di atas pendidikan Islam tidak lain bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang ada dalam diri si anak didik baik spiritual, emosi, komunikasi, kecerdasan, sosial dan kepercayaan dirinya sehingga terwujud penyerahan mutlak pada Allah SWT. Jadi tujuan pendidikan dari berbagai rumusan di atas bahwa potensi kecerdasan merupakan kemampuan yang perlu diperhatikan disamping kemampuan yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan suatu langkah dan strategi yang melibatkan banyak faktor.’ Tercapaian tujuan pendidikan Islam tersebut membutuhkan suatu langkah dan strategi yang melibatkan banyak faktor. Dimana faktor ini merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu sistem pendidikan Islam. Faktor-faktor pendidikan itu berupa tujuan, pendidik, anak didik, lingkungan dan faktor alat. a. Faktor Tujuan. Tujuan merupakan sasaran yang hendak dicapai dan sekaligus merupakan pedoman yang memberi arah bagi segala aktivitas yang dilaksanakan. Tujuan bisa menjadi motivasi yaitu pendorong dalam suatu proses yang menjadi terget tercapainya akan sesuatu. b. Faktor Pendidik Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan seluruh potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik.33 32 33
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hal. 130-133 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1992) hal. 74-75
106 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
c. Faktor Anak Didik. Anak didik ialah seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dan mengalami perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar.34 d. Faktor Alat. Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Alat pendidikan dapat berujud benda konkrit dan non konkrit. e. Faktor Lingkungan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar anak didik baik berupa benda-benda, peristiwa-peristiwa yang terjadi maupun kondisi masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada anak yaitu lingkungan dimana proses pendidikan berlangsung dan lingkungan dimana anak-anak bergaul sehari-harinya. Konsep Pendidikan Holistik Menurut Husein Heriyanto paradigma holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanik, dan non-linier. 35 Dalam konteks ini, pendidikan holistik merupakan suatu metode pendidikan yang membangun manusia secara keseluruhan dan utuh dengan mengembangkan semua potensi manusia yang mencakup potensi sosial-emosi, potensi intelektual, potensi moral atau karakter, kreatifitas, dan spiritual. Tujuan pendidikan holistik adalah untuk membentuk manusia holistik. Manusia holistik adalah manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya. Potensi yang ada dalam diri manusia meliputi potensi akademik, potensi fisik, potensi sosial, potensi kreatif, potensi emosi dan potensi spiritual. 36 Manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensinya merupakan manusia yang holistik, yaitu manusia pembelajar sejati yang selalu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem kehidupan yang luas, sehingga selalu ingin memberikan kontribusi positif kepada lingkungan hidupnya.37 Dalam pelaksanaannya, pendidikan holistik berpijak pada tiga prinsip, yaitu:
34
Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995)
hal. 79. Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hal. 12. 36 Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik (Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation, 2005), hal. 6-7. 37 Ratna Megawangi, Pendidikan Holistik, hal.6-7 35
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 107
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
a. Connectedness, yakni konsep interkoneksi yang berasal dari filsafat holisme yang kemudian berkembang menjadi konsep ekologi, fisika kuantum dan teori sistem. b. Wholeness, Keseluruhan (wholeness) bukan sekedar penjumlahan dari setiap bagiannya. Sistem wholeness bersifat dinamis sehingga tidak bisa dideduksi hanya dengan mempelajari setiap komponennya. c. Being Menjadi (being) adalah tentang merasakan sepenuhnya kekinian. Hal ini berkaitan dengan kedalaman jiwa, kebijaksanaan (wisdom),wawasan (insight), kejujuran, dan keotentikan.38 Dengan demikian pendidikan holistik merupakan bentuk pendidikan yang menyeluruh bukan merupakan bagian-bagian yang parsial, terbatas, dan kaku. Pendidikan holistik menurut Jeremy Henzell-Thomas merupakan suatu upaya membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran, yang mencakup spiritual, moral, imajinatif, intelektual, budaya, estetika, emosi dan fisik yang mengarahkan seluruh aspek-aspek tersebut ke arah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan di dunia. Sejarah Pendidikan Holistik Lahirnya pendidikan holistik sejatinya adalah merupakan suatu respon yang bijaksana atas krisis ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini, yang bertujuan untuk mendorong para kaum muda sebagai generasi penerus untuk dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan ikut serta berperan dalam pembangunan masyarakat. Persoalan ekologi, budaya, dan tantangan moral pada abad ini itu tentu tidak bisa dipisahkan dari persoalan dan kegagalan paradigma Cartesian-Newtonian dalam menjawab berbagai tantangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta berbagai problema krusial yang diakibatkannya. Secara historis, paradigma pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Ada banyak tokoh klasik perintis pendidikan holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johan Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, adalah Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner,
38 M. Latifah, Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008), hal. 7-9.
108 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.39 Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Gerakan itu muncul sebagai akibat dari keprihatinan terhadap krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia, dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Paradigma Pendidikan Holistik Dari sudut pandang filosofis pendidikan holistik merupakan filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua karateristik pendidikan holistik yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, paradigma pendidikan holistik berkaitan dengan pandangan antropologisnya bahwa subjek merupakan pengertian yang berkorelasi dengan subjek-subjek lain. Makna subjek dalam paradigma ini jauh berbeda dengan paradigma modern CartesianNewtonian, yaitu tidak terisolasi, tidak tertutup dan tidak terkungkung, melainkan berinterkoneksi dengan pengada-pengada lain di alam raya. Kedua, paradigma pendidikan holistik juga berkarakter realispluralis, kritis-konstruktif, dan sintesisdialogis. Pandangan holistik tidak mengambil pola pikir dikotomis atau binary logic yang memaksa harus memilih salah satu dan membuang yang lainnya, melainkan dapat menerima realitas secara plural sebagaimana kekayaan realitas itu sendiri. 40 Dalam konteks ini sistem pendidikan dibangun terpusat pada anak berdasarkan asumsi connectedness, wholeness dan being fully human. Pendidikan holistik sangat menafikan adanya dikotomi dalam berbagai bentuknya, seperti dikotomi dunia-akhirat, ilmu umumagama/ilmu shar’iyyah-ghairu shar’iyyah, akal-fisik, dan lain-lain. Keduanya harus ada dan diperhatikan serta dibangun dalam relasi yang tidak terputus. Pendidikan holistik membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi Nanik Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hal. 32. 40 Husain Heriyanto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hal. 72. 39
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 109
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Dimensi Holistik-Integratif Ilmu dalam Pendidikan Islam Dalam pandangan Islam, antara agama dan ilmu adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bahkan melainkan integral. Itu sebabnya ilmu dalam Islam haruslah bersifat holistik. Itu sebabnya istilah ulama dalam Islam berati orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas, mendalam, sistematis, logis dan konprehensif. Karena itulah, maka dasar atau fondasi dari pendidikan Islam adalah al-Quran, hadis dan ijtihad ulama. Sehingga ilmu dalam Islam tidak seperti sains modern Barat yang secara obyek kajian hanya mengkaji aspek empiris atau alam. Sedangkan sumber ilmu pengetahuan hanya mengacu pada akal dan pengalaman (rasionalisme dan empirisme). Adapun dalam tataran aksiologisnya hanya mengacu pada kemaslahatan manusia di dunia saja. Ilmu dalam Islam dari aspek objek kajian mengacu pada yang nyata dan yang tidak nyata, dunia dan akherat. Sedangkan dari sumber ilmu pengetahua mengacu pada bayani, burhani dan irfani. Adapaun aksiologisnya adalah untuk mendapatkan keselamatan didunia dan akherat. Secara quranik terdapat beberapa istilah ilmu dalam Islam, seperti: iqra’ ’“membaca” dengan menyebut nama Tuhanmu, dari sini akan terjadi proses Aqalā, yang menuntut kita untuk mengerti apa yang kita baca, baik teks maupun alam. Nazharā, setelah proses membaca maka dilanjutkan dengan proses merenungkan atau proses menalar untuk menemukan sebuah pemahaman dan kesimpulan. Tadabbarā, juga demikian, menganjurkan kita untuk merenungkan apa yang kita baca. Tafakkarā, memikirkan apa yang kita baca. Faqihā, faham akan apa yang telah kita baca. Tazakkarā, mengingat atau mendapat pelajaran dari apa yang kita baca. Fahimā, ini juga sama. Ulu al-Bab, Ulu al-Abshar, al-´Ilm. Inilah yang harus dikembangkan dalam sebuah wadah pendidikan Islam. Diantaran konsep-konsep sains dalam al-Qur’an adalah: Aqala yang bermakna mengerti, memahami dan berpikir (terdapat dalam lebih 45 ayat), salah satunya pada surat al-Baqarah ayat 242: َُُ٘احِ ِٔ ىَ َؼي َّ ُن ٌْ حَ ْؼقِيٝ ُِِّ هللا ُ ىَ ُن ٌْ َءاَُٞبٝ ل َ َِم َزى Nazhara, yang berarti berpikir, merenungkan atau menalar (terdapat lebih dari 30 ayat), Tadabbara, yang berarti merenungkan, Tafakkara, yang berarti berpikir, Faqiha yang berarti faham (16 ayat), diantaranya dalam surat Qaf ayat 6-7: َّ اىََْٚظُشُٗا ِإىٝ ٌْ َأَفَي ض َ ْ} َٗ ْاألَس6{ ُٗج ٍ ََّّْإَا َٗ ٍَاىََٖا ٍِِ فُشَْٝإَا َٗ َصْٞ ََْفَ بْٞ س ََآ ِء فَ ْ٘قَٖ ُ ٌْ َم حٞ ٍ ِٖ َج ب ٍ َْٗ َٖا ٍِِ ُم ِّو صِٞ َٗأَّبَ ْخَْا فَٜ َٖا َس َٗا ِسَِْٞا فْٞ ٍََ َذ ْدَّإَا َٗأَ ْىق
110 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Tadabbara, yang berarti merenungkan seperti yang termuat dalam surat Shad ayat 29: ٌ ل ٍُبَا َس ب َ ْٞ َِمخَابٌ أَّض َْىَْآ ُ ِإى ِ َخَ َز َّم َش أ ُ ْٗىُ٘ا ْاألَ ْىبَاَِٞاحِ ِٔ َٗىَٝ َّذبَّشُٗا َءاِّٞك ى Tazakkara yang berarti mengingat, Fahima yang berarti memahami (terdapat lebih dari 44 ayat) diantara yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 17: ُ ُ َ ْخيَّٝق َم ََِ ال ُ ُ َ ْخيٝ ََِ َأَف َُُٗق أَفَالَ حَ َز َّمش Tafakkara sekitar 19 ayat, yang berarti berpikir. Diantaranya dalam surat alJasiyah ayat 12-13: ُ ْاىفُ ْيٛ َُُٗ ِٔ بِؤ َ ٍْ ِش ِٓ َٗىِخَ ْبخَ ُغ٘ا ٍِِ فَضْ يِ ِٔ َٗىَ َؼي َّ ُن ٌْ حَ ْش ُنشِٞل ف َ َس َّخ َش ىَ ُن ٌُ ْاىبَحْ َش ىِخَدْ ِشٛهللا ُ اى َّ ِز َّ اىِٜ} َٗ َس َّخ َش ىَ ُنٌ ٍَّاف12{ ًٍ ْ٘ َث ىِّق َ ِ َرىِٜؼًا ٍِّ ْْٔ ُ إِ َُّ فَِٞ ض َخ ٍ َاَٝل أل ِ س ََا َٗا ِ ْ ْاألَسِٜث َٗ ٍَاف ََُٗخَفَ َّن ُشٝ Ulu al-bab yang berarti orang berpikir, ulu al-ilm yang berarti orang berilmu, ulu al-abshar yang berarti orang yang berpandangan. Seperti yang termuat dalam Surat Yusuf ayat 111: ِٔ ْٝ َ َذٝ َِْٞ َ بٛق اى َّ ِز َ ٝ َٗىَ ِنِ حَصْ ِذٙ ُ ْفخَ َشٝ ثًاٝب ٍَا َماَُ َح ِذ َ َ قِٜىَقَ ْذ َماَُ ف ِ ْاألَ ْىبَاِٜص ِٖ ٌْ ِػ ْب َشة ٌ أل ُ ْٗى ِ ص ٍَُُِْ٘ ُْؤٝ ًٍ ْ٘ َ َٗ َسحْ ََتً ىِّقًٙ ٍء َُٕٗذْٜ َو ُم ِّو َشٞص ِ َٗحَف Fahima, yang berarti memahami, terdapat dalam al-Anbiya’ ayat 78-79 ْ د إِ ْر َّفَ َش َِٝ ِٔ َغَْ ٌُ ْاىقَ ْ٘ ًِ َٗ ُمَّْا ىِ ُح ْن َِ ِٖ ٌْ َشا ِٕ ِذِٞج ف ِ ْ ْاى َحشِٜاُ ف ِ ََ َحْ ُنٝ ََاَُ إِ ْرْٞ ََٗدَا ُٗ َد َٗ ُسي َشْٞ َُّ َسبِّحْ َِ َٗاىطٝ َْا ُح ْن ًَا َٗ ِػ ْي ًَا َٗ َس َّخشْ َّا ٍَ َغ دَا ُٗ َد ْاى ِدبَا َهْٞ َ ََاَُ َٗ ُمالًّ َءاحْٞ َسي ُ } فَفَٖ َّ ََْْإَا78{ ََِِٞٗ ُمَّْا فَا ِػي Faqiha, yang berarti mengerti dan faham, sekitar 16 ayat yang menyebut istilah ini, salah satunya dalam surat al-An’am ayat 97-98: }97{ ََُُ٘ ََ ْؼيٝ ًٍ ْ٘ َث ىِق ِ َاَٝث ْاىبَ ِّش َٗ ْاىبَحْ ِش قَ ْذ فَص َّْيَْا ْاأل ِ ظُي ُ ََاِٜ َخ َؼ َو ىَ ُن ٌُ اىُّْدُ٘ ًَ ىِخَ ْٖخَ ُذٗا بَِٖا فَٕٛٗ ُ َ٘ اى َّ ِز َُُ٘ ََٖ ْفقٝ ًٍ ْ٘ َث ىِق ِ َاَٝس َٗا ِح َذ ٍة فَ َُ ْسخَقَ ٌّش َٗ ٍُ ْسخ َْ٘ َد ٌع قَ ْذ فَص َّْيَْا ْاأل ٍ أَّ َشؤ َ ُمٌ ٍِِّ ّ َّ ْفَٕٛٗ ُ َ٘ اى َّ ِز Istilah holistik berasal dari bahasa Inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan. 41 Holisme berarti berati suatu pandangan yang meliahat bahwa keseluruhan lebih mendasar dari pada bagian-bagian.42 Di Barat, holisme diplopori oleh ahli biologi Inggris dalam pandangan filosofisnya, Jan Christian Smuts melihat bahwa keseluruhan adalah ciri pokok dari alam semesta yang mengarahkan seluruh proses alam semesta. 43 Dalam tasawuf dikelan istilah syuhudul kasyrah bil wahdah (menyaksikan yang banyak/alam dengan yang Satu) dan syuhudul wahdah bilkasyrah Holistic memiliki arti; relating to holism and of concerned with or dealing with wholes or integrated system rather than with their parts.Noah Webster, Webster`s New Twentieth Century Dictionary of The English Language (Buenos Aires: William Collins Publisher Inc., 1980), hal. 643. 42 Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami; Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004), hal. xvi. 43 Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah holism, baca, Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami; Revolusi Integralisme Islam,..hal. 44-50. 41
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 111
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
(menyaksikan yang Satu dari yang banyak/alam). Ini mengindikasikan bahwa segala macam ciptaan bersumber dari Allah dan alam hanyalah manipestasi atau tandatanda kekuasaanNya. Sehingga ilmu dalam konteks ini menjadi sistem nilai dalam iman. Sedangkan integrasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris, yakni integrate-integration yang berarti menyatupadukan, pengabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh.44 Integrasi ilmu dapat diartikan sebagai penyatuan ilmu menjadi satu kesatuan yang utuh, yakni ilmu umum dan ilmu agama. Dalam kajian ilmu sains, terdapat istilah integralisme yakni postrukturalisme Timur yang melihat segala sesuatu dari partekel fundamental hingga alam membentuk sebuah hirarki yang memasukkan alam akherat dan ciptaan Tuhan sebagai penghujung jenjang material.45 Dalam tradisi Islam, integrasi dikenal dua jenjang kesepaduan, yakni jenjang vertikal (materi, energy, impormasi, nilai dan sumber nilai) dan jenjang khorizontal yakni bermula dari manusia sebagai mikrokosmos, masyarakat sebagai mesokosmos, alam semesta sebagai makrokosmos dan alam-alam lain sebagai suprakosmos dan berakhir pada Allah sebagai metakosmos. 46 Integralisme ini sebetulnya telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali dengan mekanisme jism, nafs, aql, qalb dan ruh. Integralisme dalam pandangan armahedi Mahzar adalah intrgrasi yangmemadukan totalitas diri manusia, yakni ruh sebagai sumber, hati sebagai nilai, akal sebagai informasi, nafs sebagai energi dan jism sebagai materi. 47 Armehedi Mahzar merumuskan paradigma integralisme Islam sebagai 48 berikut : Kategori Epistemologi Aksiologi Teologi Kosmologi Integralis Sufi Fiqh Tauhid Hikmah Sumber Ruh Quani Dzatullah Tammah (transendental) (Kausa prima) Nilai Qalbu Sunni Shifatullah Ha’iyah (Universal) (Kausa final) Imformasi Aql Ijtihad Amrullah Shurriyah (Kausa John M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Ingris-indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 326. 45 Untuk lebih jelasnya masalah integralisme ini, baca Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami;..hal. xxxvii. 46 Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami;..hal. xxxix. 47 Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami;..hal. XLIV. 48 Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami;..hal. 220 44
112 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Formal) Energi
Nafs
Ijma’ (Sosial) Urf (Instrumental)
Sunnatullah
Fa’iliyyah (Kausa efisien) Materi Jism Khalqiyah Maddiyah (Kausa Material) Sedangkan paradigma sains Islami merupakan integrasi antara ulumuddunnya (ilmu dunia) dan ulumuddin (ilmu agama), sebagaimana yang dirumuskan Armahedi Mahzar dalam table berikut49: Epistemologi Aksiologi Ontologi Sufi Fiqh Tauhid Sumber Subjek Transendental Transendensi Ruh Qur’ani Dzatullah Nilai Prinsip Universal Holarki Qalbi Sunni Sifatullah Imformasi Teori dan Fakta Kultural Kreativitas Aql Ijtihad Amrullah Energi Eksperimen Sosial Sirkulasi Nafs Ijma’ Sunnatullah Materi Instrument/objek Instrumental System-sistem Jism Al-Urf Khalqillah Karena holistiknya objek ilmu dalam pendidikan Islam klasik, kemudian terintegrasikan dalam satu kesepaduan yang utuh, maka dalam sejarah Islam muncul beragam ilmuan yang ilmunya menjadi sarana peningkatan ketakwaan kepada Allah, bukan meniadakan Allah. Inilah aksiologis dari ilmu dalam pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya jejak holitisitas dan integratifnya ilmu dalam Islam, berikut adalah beberapa ilmuan Islam dengan beragam temuan saintifiknya: Al-fazari, tokoh matematika Islam abad ke 9, ia telah menerjemahkan karya matematika India yang sangat terkenal ke dalam bahasa arab dengan judul Sindhind al-kabir. Matematika india ini telah memperkenalkan angka dari satu sampai Sembilan, orang arab menyebutnya angka india sedangkan di Barat dikenal dengan Arabic number. Kemudian muncul tokoh Islam (Muhammad ibn Musa al-khawarizmi, w. 833 M) yang memperkenalkan angka “nol” dengan sebutan sifr, kata ini kemudian dikenal di Barat dengan istilah cipher dan zero. Selain itu ia juga terkenal dengan 49
Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami;..hal. 232.
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 113
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
temuannya dalam merumuskan al-Jabar, ini adalah nama dan cabang matematika, yang diambil lansung dari nama kitabnya al-jabar wa al-muqabbalah. Namanya juga secara diam-diam diabadikan oleh Barat dengan nama logaritma, ini merupakan teori matematika yang diambil dari istilah inggris algorithm. Kata ini setelah ditelaah merupakan terjemahan dari nama al-khawarizmi. Tokoh lain yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah Ibn Sina, di Barat ia terkenal dengan nama Avvicenna atau disebut juga Aristoteles Baru. Ia telah melakukan observasi yang seksama terhadap ratusan jenis tumbuhan dan bermacammacam hewan yang dilihat dari manfaat medis dan nutritifnya. Ia juga terkenal dengan begitu banyak hasil penelitian, diantaranya meningestik, cara tersebarnya epidemic dan sifat menular tuberculosis. Itulah sebabnya ia merupakan ilmuan dalam bidang kedokteran yang paling terkenan di dunia Islam dan Barat. Karya kedokterannya al-Qanun fi al-Thibb telah diterjemahkan kedalam bahasa latin pada abad ke12 dan menjadi textbook utama selama 600-700 tahun di universitasuniversitas terkemuka di Erofa; Oxford, Paris dan Budapest. Sampai sekarang karnya ini masih dipelajari di beberapa belahan dunia Islam terutama di Iran dan Pakistan dan di salah satu Uinversitas terbesar di Jerman. Buku ini menjadi buku daras mengenai kedoteran. Kandungan yang tercakup dalam karyanya ini adalah; farmasi, farmakologi, dan zoology, ilmu bedah dan saraf. Dalam bidang fisika muncul al-Biruni (w. 1038m) dan ibn Haitsam (w.1041 m). Al-Biruni merupakan tokoh ensiklopedis Islam terbesar, ia menguasai hampir seluruh bidang ilmu pengetahuan, namun banyak dari karyanya yang tidak ditemukan. Diantara keilmuanya yang bisa direkam sejarah adalah; astronomi, geografi, matematika, mineralogy dan etnografi. Ia bahkan telah mendahului Newton dalam temuannya mengenai hukum gravitasi. Dia orang pertama yang mengkritik pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa pusat gravitasi bersifat ganda; inti bumi untuk unsur tanah dan air, dan langit untuk unsur udara dan api. Namun bagi al-Biruni pusat atau sumber gravitasi adalah satu dan sama. Yaitu di pusat bumi, baik untuk tanah dan air maupun untuk udara dan api. Adapaun yang menyebabkan satu unsur yang satu melayang dan yang satunya tenggelam adalah berat jenis unsur tersebut berlainan. Ia melakukan eksperimeneksperimen secara intensif dilaboratorium fisikanya, sehinggga ia berhasil menciptakan gravitasi spesifik bagi lebih dari 20 unsur kimia. Hasil temuan ini masih akurat jika dibandingkan dengan ukuran gravitasi spesifik modern. Ia juga telah berhasil mengukur keliling bumi seccara matematis dengan menggunakan rumusrumus trigonometri. Penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata bumi ini bulat, hal
114 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
ini berarti ia telah lebih dulu menemukan keadaan bumi yang bulat dari ilmuan pelayar Barat spanyol seperti Vasco Dagama atau colombus. Sedangkan Ibn Haitsam seorang ahli fisika. Di Barat dikenal dengan sebutan al-Hazem (dari kata al-Hasan, nama depan Ibn Haitsam). Ia menulis buku optic sebanyak tujuh jilid dengan judul al-Manazir. Karya ini pada masanya disebut fisika karna optic pada masa tersebut masih merupakan cabang dari fisika. Temuan utama dari karya ini adalah teori penglihatan (vision). Ia melakukan penelitian mengenai cahaya dan pengaruhnya terhadap mata, ia pun menemukan kesimpulan bahwa kita dapat melihat sebuah objek karena objek memantulkan cahaya pada kornea mata kita. Temuan ini pada masanya dan sekarang menjadi temuan paling benar. Teori optic Ibn Haitsam ini ternya berpengaruh besar terhadap teori-teori optic di Barat, sehingga banyak dari tokoh-tokoh Barat yang meneliti masalah ini pun menjadi berpengaruh dan mengikutinya, seperti; Roger Bacon, Vitello, Peckham, Johanes Kepler dan Newton. Selain itu temuan penting lainnya dari Haitsam adalah mengenai langkah-langkah penting dalam memahami spectrum cahaya dan meneliti mengenai bagaiamana terjadinya pelangi melalui teori refleksi dan refraksi, dan telah menciptakan alat-alat optic, seperti gelas cembung, cekung, parabolic, lensa kacamata, teleskop dan yang paling mutahir adalah camera obscura gambar terbalik dalam lensa kamera untuk eksperimen. Tokoh lain dari dunia sains dan teknologi Islam adalah dalam bidang astronomi. Terdapat begitu banyak astronot Islam pada abad klasik, namun yang bisa dipaparkan disini hanyalah beberapa tokoh, diantaranya: al-Battani, al-Farghani, al-Biruni, Nasir al-Din al-Tusi, Quthb al-Din al-Syirazi, al-Majrithi, dan Ibn Syatir. Ciri has dari astronomi Islam adalah tidak berkarakter ptolemius. Astronomi ptolomius bersifat geosentris. Dalam pandangan Marshall Hodgson astronomi Islam telah menemukan konsep mengenai pandangan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Diantara tokoh yang paling besar dalam maslaah ini adalah Nasir al-Din alTusi, dan Ibn Syatir, yang di Barat dikenal dengan Thusi’s Couple”, yakni sebuah kaitan link antara dua vector panjang yang sama dan konstan yang berputar pada kecepatan yang konstan. Ini merupakan modul planeter yang berbeda dengan yang dikembangkan plotomius. Menurut Tuby Huff dalam bukunya The Rise Of Early Modern Science, modul planeter inilah yang secara harfiyah dijiplak oleh Nicholai Copernicus tanpa menyebut sumbernya, yang kemudian di Barat dikenal dengan Covernican Revolution. Lebih lanjut Tuby Huff mengatakan bahwa Copernicus tidak lain adalah murid terkemuka dari mazhab astronomi Maraghah (nama kota tempat didirikannya
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 115
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
observatorium yang megah dunia Islam). itulah sebabnya banyak orang Barat mengatakan bahwa revolusi ilmiah yang sebenarnya telah dimuali di Maragah. Dalam bidang biologi muncul tokoh seperti Jalaluddin Rumi yang mengajukan teori evolusi jauh sebelum Darwin. Bagi Rumi, Tuhan sebagai sebab asal dan cinta alam sebagai sebab derivatif dari evolusi alam. Sehingga evolusi tidak mungkin terjadi tanpa cinta alam, sebagai kekuatan universal, sedangkan cinta alam ini tidak mungkin tumbuh tanpa objek kecintaannya, Tuhan. Ini berbeda dengan pandangan Darwin yang mengatakan bahwa evolusi di alam terjadi karena adanya hukum seleksi alamiah, dan hukum seleksi alamiah merupakan mekanisme alam yang berjalan dengan sendidrinya sehingga tidak memerlukan uluran tangan Tuhan.50 Munculnya ilmuan-ilmuan tersebut dalam lintasan sejarah peradaban Islam membuktikan bahwa jika konsep ilmu dalam al-quran yang bersifat holistik integratif diterapkan maka, ummat Islam di Era modern akan mampu melahirkan paradigma Sains Islami dan pendidikan Islam akan menjadi sesuatu yang diperhitungkan dunia. Namun munculnya dikotomisasi ilmu dalam pendidikan Islam membuat ilmu dalam Islam tidak berbeda dengan ilmu yang dikembangkan oleh pendidikan sekuler Barat. Simpulan Pendidikan Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an, al-Hadits dan ijtihad, yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang sejalan dengan tuntunan Islam, manusia yang menjadi khalifah di muka bumi, insan kamil (manusia pari purna), manusia yang memiliki keluasan ilmu, kesalehan dan ketakwaan yang kuat dan ahlak mulia, haruslah mengembangkan kembali paradigma sains yang holistik dan integratif. Sains yang holistik dan integratif ini telah dibuktikan dalam sejarah gemilang peradaban Islam abad pertengahan dengan munculnya ilmuan dari berbagai jenis ilmu. Pendidikan holistik Barat lahir setelah munculnya beragam krisis, demikian juga konsep pendidikan lainnya. Dalam pendidikan Islam semua konsep pendidikan modern Barat tersebut sudah termuat, sehingga yang menjadi tugas pemikir dan lembaga pendidikan Islam sekarang adalah bagaimana mewujudkan kembali pendidikan Islam yang holistik dan integratif tersebut. DAFTAR PUSTAKA Al-abrasy, Athiyah, Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa, H. Bustami, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).
50 Untuk lebih jelasnya mengenai semua tokoh Islam ini, baca, Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I.
116 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Al-Jamaly,Fadhli, Muhammad, Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu 1986). al Taomy, Muhammad, Omar, Falsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993 ). __________., Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam (Jakarta : Firdaus, 1989 ). Barnadib, Imam, Sutari, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995). Buenos Aires: William Collins Publisher Inc., 1980). Burhanudin, Tamyiz, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001). Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992). Heriyanto, Husain, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead (Bandung: Mizan Media Utama, 2003) John M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Ingris-indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003). Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran TentangPendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995). Latifah, M., Pendidikan Holistik. Bahan Kuliah (Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, 2008). _______, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PustakaAl-husna, 1988). Kartanegara, Mulyadi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), cet. I. ________, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: ARASY Mizan, 2005), cet. I. ________, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), cet. I. Khoiron Rosyidi, Hoiron, Pendidikan Profetik, (Yogya karta: Pustaka Pelajar, 2004). Madjidi,Busyairi, Konsep Kependidikan para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al Amin press, 1997). Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam, (bandung Mizan, 2004). Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Trigenda Karya, 1993 ). Nanik Rubiyanto dan Dani Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik di Sekolah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010)
Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015 | 117
Lestari, Holistisitas dan Integralitas Ilmu dalam Pendidikan Islam
Nasr, Hussein, Seyyed, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (Geoge Allen & Unwin, Ltd. London, 1976). _________, Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Filosfis dan Religius Menuju Puncak Spiritual. Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam;Pendekatan Historis, Teoritis, Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Safi, Louay, Ancangan Metodologi Alternatif: Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001). Soeroyo, “Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000”, dalam Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia;Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991). Tauhid, Abu dan Budianto, Mangun, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Sekretaris Ketua Jurusan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, 1990). Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1992).
118 | Schemata, Volume 4, Nomor 1, Juni 2015