ISLAM KĀFFAH DAN IMPLIMENTASINYA (Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam) Oleh Moh. Zahid, M.Ag Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Pamekasan dan lulusan program Magister IAIN Sunan Ampel Surabaya
Abstrak; Konsep Islam kāffah berimplikasi tidak adanya pilihan lain bagi kaum muslimin selain menjalankan mengikuti seluruh ajaran Islam. Di sisi lain kenyataan sosial disertai keanekaragaman falsafah dan budaya yang mengitarinya seringkali bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pertentangan tersebut bukan hanya berasal dari luar Islam tetapi juga dapat terjadi berasal dari dalam Islam sendiri sebagai akibat perbedaan memahami Islam. Hal itu seringkali membuat sebagian kaum muslimin mengharuskan “berbuat sesuatu” untuk mengubahnya yang dapat berujung kepada tindakan kekerasan –meski Islam tidak pernah mentolelir kekerasan dalam mencapai tujuan – dengan label jihad dalam rangka menjalankan konsep Islam kāffah. Kata Kunci; Islam kāffah, qat’ī, zannī, kekerasan
Pendahuluan Konsep Islam kāffah diyakini oleh seluruh umat Islam sebagai suatu keharusan. Namun wujud kongkrit dari konsep Islam kāffah dalam kehidupan di muka bumi dimungkinkan berbeda sebagai implikasi dari konsep qat’ī-zannī. Gambaran konkrit dari konsep Islam kāffah tidak mungkin monolitik terkecuali terhadap ketentuan-ketentuan ajaran yang didasari oleh nash qat’ī secara ijmā’. Oleh karena itu upaya menjalankan Islam secara kāffah erat kaitannya dengan pemaknaan berbagai ketentuan hukum dalam al-Qur’ān dan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Pemaknaan berbagai ketentuan ketentuan ajaran Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep qat’ī-zannī dalam usūl al-fiqh.
Terhadap ketentuan hukum yang didasarkan pada ayat yang qat’ī (pasti) mengharuskan umat Islam menjalankannya secara totalitas berdasarkan kaidah usūl al-fiqh: “Tidak ada ijtihād dalam menghadapi nash qat’ī. Tidak adanya peluang ijtihād dalam menghadapi nash qat’ī dapat menyebabkan kekakuan hukum.1. Kekakuan hukum akan berimplikasi terhadap pemahaman bahwa ketentuan hukum yang berbeda dinyatakan salah dan sesat dan oleh karenanya mesti diluruskan. Sedangkan dari dalil-dalil zannī para ahli fiqh berupaya untuk Sulastomo et.al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: IPHI dan Paramadina, 1995) hlm., 273-274. 1
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
menemukan ketentuan hukum. Karena bersumber dari dalil zannī, tentu ketentuan hukumnyapun akan bersifat zannī pula. Sehingga tidak ada alasan sedikitpun bagi sebagian ummat Islam untuk mengklaim hasil ijtihād seseorang atau kelompok tertentu sebagai kebenaran yang absolut dan permanen. Ibn al-Qayyim dengan bijaksana mengatakan: “Perubahan hukum terjadi karena perubahan waktu, tempat, keadaan dan adat (kebiasaan2 kebiasaan)”. Pernyataan itu tidak berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan kepada norma yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam (al-Qur’ān dan Hadīth). Perubahan hukum yang dihasilkan dari ijtihād tersebut harus tetap dalam koridor pemahaman nas (fī hudūd tafahhum alnas).3 Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam seringkali diyakini sebagai bagian dari konsep Islam kāffah. Tulisan ini mencoba menelaah keterkaitan konsep Islam kāffah, implikasi dan implementasinya dengan berbagai tindak kekerasan yang diyakini oleh sebagian umat Islam sebagai bagian penerapan Islam kāffah.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ( ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻓىﺎﻟﺴﻠﻢ ﻛﺎﻓﺔmasuklah kalian dalam Islam secara kāffah). Kata al-silm secara bahasa berarti kedamaian dan kesalmatan, yang dipakai juga dengan arti agama Islam. 4 sedangkan kāffah berarti secara menyeluruh tanpa kecuali.5 Ayat ini memerintahkan kepada setiap orang yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam6 (seluruh ketentuan hukumnya) yang didasari dengan penyerahan diri, ketundukan dan keikhlasan kepada Allah SWT. 7 Perintah untuk masuk Islam secara kāffah adalah perintah untuk tetap dan langgeng menjalankan seluruh ketentuan Islam. Dari ayat tersebut – masih banyak ayat lain yang senada – memerintahkan umat Islam agar menegakkan syariat Islam sebagai sumber hukum dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini. Tidak dibenarkan percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran Islam yang lain.
Keharusan berislam secara kāffah karena syariat Islam diyakini memiliki nilai lebih dibanding hukum-hukum lain Islam Kāffah produk manusia. Kelebihan shari’at Islam Konsep Islam kāffah didasari oleh adalah bahwa syariat Islam mencakup firman Allah dalam surah al-Baqarah dimensi dunia dan akhirat, sementara ayat 208: “Hai orang-orang beriman masuklah ke dalam Islam secara Kāffah, dan janganlah 4 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi vol. 1, kamu ikuti langkah-langkah syaitan. (Bayrut: Dar al-Fikr, 2001) hlm., 189. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ān vol. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000) 2 2 Ibn al-Qayyîm, I`lân al-Muwaqqi`în `an Rabbi al- hlm., 419. 5 Ibid. `Âlamîn, vol. 3, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.) hlm., 14. 3 Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tashrî` al-Islâmî 6 Ibid. 7 al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hlm. 189. fimâ la Nasha fîhi (Kuwait: Dâr al-Qalam, t.t.) hlm., 11.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
809
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
mencakup pengertian sharī’ah dan fiqh yang masing-masing mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Sharī’ah berdimensi thubūt, yakni bersifat universal dan menjadi asas pemersatu dan memperoleh "arus utama" aktivitas umat Islam sedunia. Sedangkan fiqh berdimensi takhayur, yakni produk pemikiran manusia dalam memahami sharī’ah (baca: ijtihād). 10 Dimensi yang kedua inilah yang memberikan kemungkinan penerapan hukum Islam secara berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya, karena perbedaan latar belakang politik, sejarah, sosial dan kulturalnya masing-masing, di sinilah ijtihād menjadi sebuah keniscayaan, yakni ijtihād dalam arti upaya menterjemahkan pesan-pesan universal sharī’ah sehingga menjadi satu konfigurasi hukum yang mampu menjawab problematika hukum yang berkembang di masyarakat. Islam Kāffah dan Ketentuan Hukum Islam Sharī’ah adalah ketentuan hukum Wujud konkrit berislam secara yang terwujud dari nash qat’ī, tidak kāffah adalah mengamalkan berbagai banyak dan jumlahnya dapat dihitung, ketentuan hukum Islam. Sedangkan sebab, untuk menjadikan nas itu qat’ī hukum Islam9 dari berbagai pengertian hukum buatan manusia hanya menyangkut urusan dunia saja. Hukum Islam memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat preventif dan solutif. Islam sebagai solusi bukanlah hanya sebatas slogan, tetapi memang ini merupakan janji Allah SWT.8 Allah SWT berfirman dalam surat al-Talāq ayat: 2-5: “Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberi jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan siapa yang bertawakkal (berserah diri) kepada Allah akan mencukupkan keperluannya. ... Dan siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.... Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.”
Salim Segaf al-Jurfi, “Pengantar” dalam Salim Segaf al-Jurfi et.all, Penerapan Syariat Islam di Indonesia antara Peluang dan Tantangan (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004) hlm., 18. 9 Hukum secara etimologis, berasal dari bahasa Arab, al-hukm berarti al-`ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-`adl. Fi`il muta`addînya yaitu kata ahkama mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh). Lihat Ibn Mandzur, Lisân alArab, vol. 12, (Beirut: Dâr Sadir, 1990), hlm. 140-143. Alhukm juga berarti al-qada' (ketetapan) dan al-man` (pencegahan). Lihat, Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996) hlm., 571. Sedangkan secara terminologis, hukum adalah sekumpulan aturanaturan, baik berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya. Lihat. Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The 8
Orientalists (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1980), hlm. 17. Oleh karena itu Hukum Islam menurut Muhammad Abû Zahrah, hukum adalah titah (khitab) pembuat shara` yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau penetapan. Lihat Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-Fiqh (t.t.: Dâr al-Fikr al-`Arabî, 1958), hlm. 28. Definisi ini lebih mendekati makna sharî`ah. Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, hukum adalah koleksi daya upaya fuqahâ’ dalam menerapkan sharî`ah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lihat Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm., 44. Definisi ini lebih mendekati makna fiqh. 10 Baca: Efrinaldi, “Reaktualisasi Hukum Islam; Suatu Kajian Metodologis dalam Pemikiran Fazlur Rahman”, Mimbar Hukum 50 (Januari-Pebruari, 2000), hlm. 94. Baca juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm. 18.
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
810
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
harus menafikan dengan cara mutawātir, segala macam bentuk ihtimāl (kebolehjadian). Misalnya, nas itu tidak mengandung ihtimāl majāz, kināyah, idmār, takhsīs, taqdīm, nasakh, atau ta’ārud `aqlī. Selama terdapat dugaan suatu lafaz nash mengandung ihtimāl, ia tetap dipandang zannī. Sedikitnya nas yang bernilai qat’ī menurut al-Shātībi11 disebabkan masingmasing nas secara tersendiri (ahad) penggunaan terminologi yang populer12. Menurut al-Shātībi apabila dalil-dalil syara’ tersebut berstatus ahad (sendirian) maka jelas ia tidak memberikan kepastian. Bukankah ahad berstatus zannī? Sedangkan bila dalil tersebut berstatus mutawātir lafaz-nya, maka menarik makna menjadi yang pasti dibutuhkan premis-premis (muqaddimāt) yang tentunya harus berstatus pasti (qaţ’ī) pula. Dalam hal ini, premis-premis tersebut harus berstatus mutawātir. Ini tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa premispremis tersebut kesemuanya atau sebagian besar berstatus ahad dalam arti zannī (relatif). Sesuatu yang bersandar kepada zannī tentu tidak menghasilkan sesuatu kecuali zannī pula.13 Komentar al-Shātībi tersebut dapat mengantarkan kepada kesimpulan bahwa tidak ada nas yang qaţ’ī dalam al-
Lihat, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Shātībi, alMuwafaqat fi Ushul al-Sharī’ah, vol. 1 (Bayrut: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.t.) hlm., 24. 12 Pengertian Nash Qaţ’ī adalah sesuatu yang menunjukkan kepada hukum dan tidak mengandaung kemungkinan (makna) selainnya. Lihat. Abu Ishaq alAynayn Badran, Ushul al-Fiqhal-Islami (Iskandariyah: Muassasah Syabab al-Jami’at bi al-Iskandariyah, t.t.) hlm., 53. 13 Al-Shātībi, al-Muwafaqat, hlm., 24
Qur’ān termasuk dalam sunnah. 14 Nas akan bernilai qat’ī apabila muncul dari sekumpulan dalil zannī yang kesemuanya mnengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam yang semula berstatus zannī meningkat menjadi semacam mutawātir ma’nawī dan dengan demikian ia sebagai qat’ī al-dalalah.15 Untuk melakukan hal tersebut harus melalui proses ijmā`(kesepakatan ulama). Dengan demikian sebenarnya ijmā’lah yang menentukan ke- qat’ī -an suatu nas.16 Gambaran sederhana ini membuka peluang terjadinya perbedaan menentukan status nas (qat’ī atau zannī) yang akan berimplikasi adanya perbedaan kepastian dan rumusan ketentuan hukum. Perbedaan kepastian dan ketentuan hukum dapat menyebabkan perbedaan implementasi dan penyikapan terhadap keanekaragaman produk hukum yang dihasilkan. Kalaulah perbedaan tersebut diyakini sebagai bagian dari sebuah keniscayaan akan lahir kesepahaman dan toleransi sehingga perbedaan tidak sampai memecah umat Islam apalagi sampai ada pertentangan. Masalahnya adalah apakah mungkin terjadi ijmā’ pada masa sekarang? Kemungkinan ijmā’ dapat terjadi hanya jika dibatasi dalam satu wilayah teritorial/negara karena ketentuan hukum yang dibutuhkan oleh
11
Baca, M. Quraish Shibab, Membumikan al-Qur’ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992) hlm., 140. 15 Al-Shātībi, al-Muwafaqat, hlm., 24-26. 16 Abdul Aziz, “Dinamika Hukum Islam di Indonesia (Sebuah Implikasi dari Konsep Qat’I-Zanni)” dalam alAhkam Jurnal Ilmu Sharī’ah vol. 1 nomor1 Maret 2003 (Surakarta: Jurusan Sharī’ah STAIN Surakarta) hlm., 2223. 14
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
811
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
masing-masing negara kemungkinan besar akan ada perbedaan. Berdasarkan kenyataan sosiohistoris itulah, bahwa idealisme konsep qat’ī - zannī yang diharapkan dapat melahirkan dualisme tipe hukum yang seragam, yakni ada hukum yang absolut, mutlak benar (qat’ī) dan ada hukum yang dinamis (zannī), ternyata seringkali berbenturan dengan praktik hukum yang berlaku dalam masyarakat Islam. Sebagai contoh adalah yang dilakukan oleh Umar, khalifah kedua dan seorang sahabat terkemuka, dalam masalah-masalah yang telah jelas ditujuk oleh nas al-Qur’ān dan Sunnah jelas terperinci,adalah tetap menganggap kawasan qaţ’ī sebagai ajang ijtihād, seperti: Pertama, Al-Qur’ān surat al-Anfāl: 41 memerintahkan agar seperlima rampasan perang (ghanīmah) untuk Allah, Rasulnya, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang miskin, dan anak-anak jalan (orang dalam perjalanan yang memerlukan bantuan). Sedang empat perlimanya tidak disinggung sama sekali di dalam al-Qur’ān. tetapi sunnah Rasul memberikan empat perlima rampasan perang itu kepada para prajurit yang ikut berperang. Pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, sunnah Rasul itu diikuti. Ketika kaum Muslimin pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab menang perang berupa tanah yang sangat subur, Umar tidak memberikan empat perlimanya kepada para prajurit yang ikut berperang. Tanah seluruhnya dikuasai oleh negara, para pemiliknya diberi kesempatan tetap mengerjakan sawah-sawah itu, dengan dibebani pembayaran kharaj (pajak) kepada bait al-
māl. Reaksi sahabat senior memang ada. Pertikaian pendapat berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuanketentuan kitab Suci al-Qur’ān. 17 Para sahabat yang menolak keputusan Umar bersandarkan kepada Sunnah Rasul. Namun Sunnah Rasul mengenai empat perlima rampasan perang menjadi bagian prajurit yang ikut berperang itu termasuk Sunnah dalam kedudukan Rasul sebagai Imam. Ini dilatarbelakangi maslahat, memperhatikan kepentingan para prajurit yang sukarela berperang karena Allah dengan bekal kekayaan mereka sendiri. Dari segi pertimbangan kemaslahatan, Umar menghadapkan kemaslahatan kelompok kecil, yaitu para prajurit dengan kemaslahatan yang lebih besar yaitu kepentingan Negara. Negara kala itu sangat membutuhkan pendapatan lebih besar lagi, guna membiayai pertahanan dan santunan sosial. Bahkan sudah mulai diadakan penertiban jalannya pemerintahan dengan membentuk dewan-dewan atau kementerian-kementerian antar lain Dīwān al-Jāis, atau Kementerian Pertahanan yang mengatur pertahanan negara, termasuk biaya para prajurit. 18
Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan”, dalam ed. Iqbal Abdurrauf Saimina, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988) hlm., 13. 18 Ahmad Azhar Basyir, “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan”, dalam Ibid. hlm., 105. 17
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
812
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
Kedua, sesuai dengan surat alMā'idah ayat 38, pencuri dipotong tangannya. Karena pencurian dilakukan pada musim paceklik, maka Umar tidak menjatuhkan hukuman potong tangan. Dengan pertimbangan, pencurian itu tidak memenuhi syarat delik pencurian yang dapat dikenai ancaman pidana. Orang melakukan pencurian karena didesak oleh kebutuhan hidup yang tidak dipenuhi. Hadith Nabi mengajarkan agar hudūd (hukuman) jangan diterapkan terhadap perbuatan pidana yang mengandung unsur shubhāt. Dalam hal ini, Umar justru menerapkan pesan Rasulullah saw. andaikata Hadith tersebut belum disebut sebagai dasar pertimbangan pada waktu itu, berarti Umar dengan keluasan cakrawala pikirnya telah dapat menetapkan sesuatu sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. Dalam hal ini, Umar tidak mengubah ketentuan al-Qur’ān tetapi tidak menerapkannya, karena pencurian tidak memenuhi syarat-syarat perbuatan pidana yang dapat dijatuhi hukuman sesuai ketentuan al-Qur’ān. Ketiga, Al-Qur’ān surat al-Taubah: 60 menunjuk golongan-golongan yang berhak menerima zakat, antara lain orang-orang yang dilunakkan hatinya terhadap Islam (mu’allafat qulūbuhum). Kaum mu’allaf dapat dibagi tiga kelompok; orang kafir yang bersikap memusuhi Islam dan umatnya, diberi zakat agar menghentikan sikap memusuhi Islam; kelompok orang yang telah dekat kepada Islam, diberi zakat agar segera masuk Islam; kelompok orang yang baru saja masuk Islam, diberi bagian zakat supaya mantap dalam beragama Islam.
Umar menerapkan ‘illat hukum adanya ketentuan tersebut yaitu untuk kemaslahatan Islam. Ia melihat kekuatan Islam pada masanya tidak memerlukan lagi dukungan mu’allaf. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa kelompok mu’allaf tidak diperlukan lagi adanya. Dengan demikian bagian zakat golongan mu’allaf dibatalkan pada masanya, khususnya kelompok pertama yaitu orang-orang kafir yang bersikap memusuhi Islam. Perlu dicatat bahwa pendapat Umar itu merupakan hasil ijtihād dalam menghadapi keadaan pada masanya. Ijtihād tidak menghapus hukum alQur’ān. Oleh karenanya, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd. al-‘Azīz, kepada golongan mu’allaf diberikan haknya atas bagian zakat, karena pada masa itu golongan mu’allaf dipandang ada. Umar memahami apa yang disharī’at-kan dalam al-Qur’ān sebagai metode yaitu cara yang harus dipantau validitasnya dan relevansinya dari efektivitasnya dalam mewujudkan prinsip yang ingin dicapai yaitu kemaslahatan. Manakala suatu sharī’at, metode, menjadi kurang atau tidak lagi efektif – bukan lantaran sharī’at-nya itu sendiri melainkan karena kondisi yang spesifik – maka terobosan pun dilakukannya bukan demi pengingkaran terhadap sharī’at itu melainkan demi terwujudnya prinsip yang semula hendak diraih oleh sharī’at tadi. Dengan demikian tindakan Umar yang menyimpang dari tindakan Rasulullah saw (kasus-kasus di atas) bukanlah berarti peniadaan suatu sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
813
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
dengan dalil-dalil berbagai nas mengikuti kemaslahatan umum.19
lain
Implimentasi Konsep Islam Kāffah Upaya mengimplimentasikan konsep Islam kāffah dalam ranah sosial sulit diwujudkan ketentuan hukum yang seragam terkecuali ada konsensus atau ijmā’ terhadap ketentuan hukum yang akan dipakai. Andaikanpun sudah ijmā’ maka nilai qat’ī -nya pun masih diperdebatkan apakah dalam semua keadaan (fī jamī’i al-ahwāl) ataukah dalam sebagian keadaan (fī ba’d al-ahwāl). Misalnya, salat maghrib tiga rakaat dan sholat subuh dua rakaat tidak bisa diqasar; demikian juga wuqūf di “Arafah dan tujuh bilangan tawāf pelaksanaannya harus demikian di sepanjang masa, tidak dapat diubah lagi. Akan tetapi, jika qat’īnya fī ba’d al-ahwāl, maka qat’ī dalam bentuk ini dapat difiqihkan. Dengan demikian tidak semua hukum itu qat’ī dari segi penerapannya berlaku pada setiap keadaan (fī jamī’i alahwāl). Salah satu contoh adalah hukuman bagi tindak pidana pencurian dan perzinaan. Menurut hukum qat’ī mencuri dihukum potong tangan. Dalam penerapannya sebagian ulama berpendapat, hukum potong tangan menjadi gugur dengan taubat berdasarkan QS. Al-Māidah (5): 39:
Apa yang dilakukan Umar didasarkan oleh persepsinya tentang apa yang disebut sebagai “kepentingan utama umta Islam” menggambarkan bahwa ada prseden yang jelas dan kuat dari zaman Islam yang paling awal, bahwa pertimbanganpertimbangan kemaslahatan dapat mengesahkan penerapan suatu aturan yang dijalankan melalui ijtihād, meskipun dengan “menolak” teks al-Qur’ān dan Sunnah yang jelas dan terinci (qaţ’ī sharih). Baca Fazlur Rahman¸Islamic Methodologi in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965) hlm., 180-181. 19
ﻓﻤﻦ ﺗﺎﺏ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻇﻠﻤﻪ ﻭﺍﺻﻠﺢ ﻓﺎﻥ ﺍﷲ ﻳﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻥ ﺍﷲ ﻏﻔﻮﺭ ﺭﺣﻴﻢ Artinya:
“Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, sungguh Allah menerima taubatnya. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagian ulama lain berpendapat, hukum potong tangan itu menjadi gugur pula manakala pemilik benda memaafkannya atau pencuri mengembalikan benda curiannya atau menggantinya. Berzina menurut hukum qat’ī harus di-had. Akan tetapi dalam penerapannya sebagian ulama berpendapat, had tersebut menjadi gugur dengan taubat. Mereka memfiqihkan pelaksanaan hukum pidana ini mengembalikan persoalan tersebut pada ayat hirābah (lihat QS. Al-Māidah (5); 3334) melalui qiyās. Yaitu, bahwa pelaku perampokan, pembunuhan dan perkosaan yang bertaubat sebelum ditangkap oleh penguasa (ulil amri) menjadi gugur hukumannya yang telah ditentukan dalam ayat tersebut. Dalam tindak pidana yang lebih ringan dari hirābah tentu pengguguran hukum dengan taubat akan lebih logis lagi. Di samping itu, mereka lebih menekankan aspek zawājir daripada aspek jawābirnya sebagai maqāsid atau ‘illah hukum. Dengan demikian, pelaksanaan hukum qat’ī itu dipengaruhi oleh suasana. Hal ini sejalan dengan kaidah usūl al-fiqh:”Hukum itu berputar bersama dengan illatnya, ada maupun tiadanya.” Dan kaidah: “Hukum itu berubah
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
814
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
disebabkan perubahan tempat dan kemuliaan, martabat manusia sebagai waktu.” anugerah dari Allah SWT. Lantas bagaimana wujud konkrit Dampaknya adalah terjaminnya implimentasi konsep Islam kāffah? ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan beradab (masyarakat Menurut penulis implementasi Islam kāffah dapat diukur ketika nilai-nilai madani/civil socity, (QS. al-An’ām [6]: Islam menjadi bagian inheren dalam 151), (al-Baqarah [2]: 179). kehidupan di muka bumi ini. Nilai-nilai 3. Hifz al-‘Aql (perlindungan Islam yang dimaksudkan adalah terhadap eksistensi akal) terimplimentasinya maqāsid al-sharī’ah alAkal adalah dimensi paling penting khamsah dalam (tujuan sharī’ah yang lima) dalam kehidupan manusia. kehidupan sehari-hari, yaitu: Keberadaannya menjadi pembeda 1. Hifz al-Dīn (perlindungan utama dengan makhluk lain serta terhadap keyakinan agama) menjadi alasan mengapa Allah Sharī’ah Islam mengajarkan untuk menetapkan kewajiban-kewajibanmenciptakan sikap hormat dan Nya kepada manusia. Akal juga amat menjaga keyakinan yang ada, agar menentukan baik buruknya perilaku dalam masyarakat yang berada di hidup dan peradaban. Oleh karena dalam naungan sharī’ah Islamiyyah, itu, Sharī’ah Islam mengajarkan untuk agama yang bervariasi dapat hidup memelihara dan mengembangkan berdampingan secara damai, saling kejernihan pemikiran manusia serta menjaga dan menghormati, tidak amannya produk pemikiran manusia, terjadi saling intervensi dan sehingga tidak mudah kegalauan dan interpolasi ajaran, sehingga kebingungan yang dapat keyakinan masing-masing tergambar menimbulkan keberingasan. Oleh jelas, (QS. al-Kāfirun [109]: 1-6). karena itu apapun yang dapat Sharī’ah Islam juga melarang ada merugikan fungsi pemikiran, baik pemaksaan untuk memeluk agama di dalam bentuk fisik maupun non fisik, dicegah oleh sharī’at Islam. luar keyakinannya, (QS. al-Baqarah [2]: 256). Dampaknya adalah Perlindungan terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aqlīyah membuahkan kerjasama yang seimbang antara ummat beragama manusia merupakan kebutuhan yang dalam kegiatan sosial, ekonomi, sangat vital bagi masyarakat yang pertahanan, keamanan, lingkungan menginginkan kemajuan, sebab hal hidup dan lain sebagainya, yang ini merupakan kebutuhan semua digambarkan oleh QS. alorang, tanpa memandang suku, Mumtahanah [60]: 8: bangsa maupun agama. (QS. al2. Hifz al-Nafs (perlindungan Maidah [5]: 90). 4. Hifz al-Nasl (perlindungan terhadap keselamatan jiwa) Islam mengajarkan untuk memelihara terhadap keturunan) dan menghormati keamanan dan Islam mengajarkan untuk memelihara keselamatan diri manusia, dan dan menghormati sistem keluarga menjamin tetap dihormatinya (keturunan), sehingga masing-masing
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
815
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram dan tenang, (QS. al-Rūm [30]: 21) 5. Hifz al-Māl (perlindungan terhadap harta) Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility). Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta; seperti hukum bolehnya jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan tidak ada praktik riba dan monopoli, (QS. alBaqarah [2]: 275), (QS. al-Nisā’ [4]: 29) Jika wujud konkrit Islam kāffah dipahami dengan telah ditegakkannya lima tujuan hukum Islam di atas maka keragaman pengamalan dan perilaku umat Islam dan bahkan keragaman perilaku manusia secara umum sepanjang relevan dengan tujuan hukum Islam tersebut berarti Islam kāffah telah terimplimantasikan. Uraian ini menggambarkan kepada kita, bahwa implementasi konsep Islam kāffah tidak bisa satu warna (monolitik) tetapi dapat beragam sepanjang memenuhi berbagai prinsip dalam syariat Islam. Pemahaman seperti ini akan mengantarkan kepada sikap tasāmuh (toleran dalam perbedaan) dan tawassut (moderat). Dengan demikian diharapkan tidak muncul sikap ekstrim atau gerakan-gerakan fundamental bahwa apa yang berbeda dengan
keyakinan dan pemahaman dirinya langsung dituding sesat dan perlu “diluruskan”. Strategi Implementasi Islam Kāffah: Haruskah dengan Kekerasan? Stigma terhadap Islam bahwa tindakan kekerasan seringkali dikaitkan sebagai sebuah upaya berislam kāffah (tegakknya sharī’at Islam)20 dengan pemberian label jihād21 dan amar ma’rūf nahī munkar untuk membenarkan dan menguatkan kebenarannya. Mantan Presiden AS Rochard Nixon dalam bukunya Size The Moment sebagaimana yang dikutip dalam Majalah Aula setidaknya telah menyebutkan ciri-ciri kaum fundamentalis Islam, yaitu: mereka yang bertekad untuk mengembalikan peradaban Islam, mereka yang berkeras menerapkan sharī’at Islam, mereka yang menyatakan Islam adalah agama dan Andree Feillard memberikan contoh Radilaklisme Islam yang menggunakan kasus kekerasan terjadi pada peristiwa Tanjung Periok yang dipicu keharusan berasas tunggal Pancasila pada tanggal 12 September 1984 dan beberapa peristiwa kemudian seperti pengeboman bank BCA, Candi Borobudur, dan lain sebagainya. Baca Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LkiS, 1999) hlm., 259. 21 Jihad menurut bahasa berarti mencurahkan segala kemampuan di dalam mencapai tujuan. Sedangkan secara istilah syari’at Islam: mencurahkan segala kemampuan dalam menegakkan masya-rakat Islami dan agar kalimat Allah itu Maha Mulia serta agar syari’at Allah dapat dilaksanakan di seluruh penjuru dunia. Berdasarkan perngertian jihad tersebut, maka jihad mempunyai arti dan tujuan: 1) Menunjukkan masyarakat kepada ajaran tauhid dan ajaran Islam. Dengan cara; pendidikan, diskusi, penelitian, dan meluruskan kesalahapahaman aqidah masyarakat; 2) jihad dengan harta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat muslim yang kuat; 3) dengan perang defensif ( ;)اﻟﻘﺘﺎل اﻟﻔﺎﻋﻰ4) dengan perang offensif )اﻟﻘﺘﺎل ( ;اﻟﮭﺠﻮﻣﻰ5) dengan perang habis-habisan (perang total )ﺣﺎﻟﺔ اﻟﻨﻔﯿﺮ اﻟﻌﺎم. Lihat Hasil Bahtsul Masail PW LBM NU Jawa Timur dalam Aula No. 02 Tahun XXVIII Pebruari 2006. hlm., 46-49. 20
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
816
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
negara, mereka yang bersikap keras terhadap Barat, mereka yang menjadikan masa silam sebagai petunjuk dan pelajaran masa depan.22 Benarkah berislam kāffah identik dengan kekerasan? Pemahaman keterkaitan Islam kāffah dengan kekerasan adalah pada substansi ajaran Islam dan strategi implementasinya. Pengakuan akan keunggulan nilai-nilai ajaran Islam sebagai rahmatan li al-`ālamīn- tidak hanya datang dari umat Islam sendiri tetapi juga diakui oleh para orientalis yang dengan obyektif mengkaji Islam. Sedangkan strategi impelementasi Islam kāffah sangat erat kaitannya dengan kenyataan di lapangan. Rasulullah saw telah memberi contoh dalam dakwahnya dengan menggunakan beberapa prinsip yaitu: 1) meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan(QS. al-Baqarah [2]: 286), (QS. al-Baqarah [2]: 185), (QS. al- Maidah [5]: 6); 2) menyedikitkan beban (QS. alMaidah [5]: 10), (QS. al-Nisa’ [4]: 28); 3) diterapkan secara bertahap (QS. alBaqarah [2]: 219), (QS. al-Nisā’ [4]: 43), (QS. al-Maidah [5]: 90); 4) memperhatikan kemaslahatan manusia; 5) mewujudkan keadilan yang merata (QS. al-Maidah [5]: 8) , 0(QS. al-Nisā’ [4]: 135). Dengan demikian jihād tidak identik dengan kekerasan. Kalaulah jihād ditransfer dan harus ditampung dalam sebuah perilaku kekerasan (qitāl), maka dalam Islam telah ditentukan bahwasanya dalam Islam hal itu bisa dilakukan dalam dua hal: Pertama, defensif, sedangkan yang kedua adalah 22
Aula No. 09 Tahun XXV September 2003. hlm., 22-23.
punitif. Perang dalam Islam harus terukur. Karenanya dalam Islam banyak terminologi kata perang, yakni harb, ma’rakah, ghazwah, sariyah dan sebagainya. Dan tiap istilah itu tentunya memiliki konskeuensi penerapan yang berbeda. Namun kalaupun perang harus terjadi, Islam telah menandaskan harus tetap menjaga prinsip kemanusiaan, seperti yang telah dicontohkan dalam sejarah masyarakat muslim.23 Kekerasan bukanlah watak dari ajaran Islam dan oleh karenanya tidak ada pembenar untuk melakukannya meski dengan tujuan yang sangat mulia seperti upaya mengimplementasikan berbagai ketentuan hukum Islam secara kāffah. 24 Penutup Tidak ada satupun umat Islam yang menolak adanya keharusan untuk berislam kāffah namun wujud konkrit dari konsep Islam kāffah ada keragaman sebagai bagian dari dinamika hukum Islam. Oleh karenanya ajaran Islam memandang penting terwujudnya prinsip tasāmuh (toleransi). Sikap tasamuh ini tidak hanya berlaku di internal umat Islam tetapi juga antar agama dan umat manusia secara keseluruhan. Kekerasan bukanlah watak dari ajaran Islam oleh karenanya tidak dibenarkan penggunaan kekerasan meski Toha Hamim, “Santri Mustahil Berfikir Radikal” dalam Aula No. 10 Tahun XXV Oktober 2005. hlm., 18. 24 Menurut para ahli sosiologi hukum, hukum memainkan dua peranan penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat, atau disebut dengan istilah social engineering. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai pengatur prilaku sosial, atau disebut dengan istilah social control.Lihat. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999) hlm., 107-125. 23
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
817
Islam Kaffah Dan aiMplemenasinya Moh. Zahid
atas nama agama. Penggunaan kekerasan harus dipahami sebagai upaya pembelaan diri. Sejarah perjuangan Islam telah membuktikan hal itu. Wa Allāh a’lam bi al- sawāb
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
818