J. Tek. Ling
Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”
Hal. 77 - 86
Jakarta, Juni 2012
ISSN 1441-318X
INVENTARISASI TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI BAHAN PANGAN DI DAERAH WAWOLAA, PULAU WAWONII, KABUPATEN KENDARI Diah Sulistiarini dan Mulyati Rahayu Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia email:
[email protected]
Abstrak Wawonii merupakan salah satu kecamatan di kabupaten kendari, Sulawesi Tenggara. Daerah ini mendukung areal seluas sekitar 650 km2 yang meliputi pemukiman, lahan pertanian, kebun dan hutan. Wawolaa adalah salah satu desa yang termasuk ke dalam kecamatan Wawonii, dimana hamper semua penduduknya adalah petani. Komoditas utama yang di tanam di daerah ini adalah tanaman palawija, tetapi komoditas lain seperti kopi dan coklat juga di jumpai. Lebih dari itu terdapat sejumlah jenis tumbuhan liar yang diketahui sebagai sumber bahan pangan. Menurut penduduk setempat dan berdasarkan eksplorasi tumbuhan di daerah ini paling tidak tercatat 14 jenis tumbuhan yang dapat dimakan. Status, pertelaan dan informasi lain terkait pemanfaatannya di bahas dalam makalah ini. Kata kunci : foods, plant Wawolaa, Wawonii-Kendari. Abstract Wawonii is one of district is Kendari regency, Southeast Sulawesi. The area covers about 650 km square which consist of resettlement agricultural, home garden and forest areas. Wawolaa is one of some villages belong to Wawonii district, where almost people who living there are farmers. The main commodity cultivated in this area is a ‘secondary crop’, but other commodities such as coffee and chocolate were also found. In addition there is a number of wild plants species, which observed as a source of foodstuff. According to local people and plant exploration in this area at least 14 edible plant species were recorded. The status, description and other information related with their utilization were discussed. Key words: foods, plant Wawolaa, Wawonii-Kendari.
Inventarisasi Tumbuhan,... Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”: 77 - 86
77
1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pada tahun 1927 Heyne menulis tentang tumbuhan berpotensi di Indonesia, ada sekitar 3500 jenis tanaman yang antara lain berpotensi sebagai bahan pangan, bahan papan, obat-obatan, kerajinan dan industri. Menurut Isyulukhi (2011)(1) bahan pangan adalah bahan yang bisa kita makan dan berguna bila masuk ke dalam tubuh serta mengandung za-zat yang bergizi, yang meliputi bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran dan buahbuahan. Tumbuhan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat disekitar hutan umumnya hidupnya tergantung dengan keadaan hutan yang ada disekitarnya. Desa Wawolaa merupakan salah satu desa di Pulau Wawonii yang letaknya di dekat hutan lindung di Pulau tersebut. Namun saat ini hutan tersebut telah dikonversi sebagai hutan produksi (2). Dengan beralihnya fungsi hutan tersebut tentunya juga mempengaruhi keanekaragaman tumbuhan yang ada di dalamnya. 2.1. Keadaan Umum lokasi penelitian Desa Wawolaa merupakan salah satu desa yang termasuk ke dalam wilayah kecamatan Wawonii, Kabupaten Kendari. Desa ini di sebelah barat berbatasan dengan desa Langara, sebelah timur dengan desa Waworope, sebelah utara dengan laut Banda dan sebelah selatan dengan hutan lindung Wawo api. Untuk mencapai desa ini dari Kendari dengan menggunakan kapal feri yang ditempuh selama 3 jam sampai ke Langara dan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan roda dua (ojek) selama setengah jam. Desa ini terletak pada ketinggian 100 – 150 m dpl. Mata pencaharian penduduk adalah bertani dan sebagai nelayan. Selain bercocok tanam berbagai jenis tanaman palawija yang 78
merupakan tanaman pokok, mereka juga menanam tanaman perkebunan seperti kopi, coklat, jambu mete dan merica. Di daerah ini juga masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang masih meliar yang berpotensi sebagai pangan dan sudah umum dikenal oleh penduduk setempat. 2.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendata tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pangan, sebelum tumbuh-tumbuhan tersebut musnah karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembukaan lahan. Diharapkan data-data yang terkumpul dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lanjutan, misalnya dalam pembudidayaannya. Selain itu juga untuk mengetahui apakah jenis-jenis yang berpotensi sebagai bahan pangan di Wawolaa juga dimanfaatkan di tempat lain. 2. METODOLOGI Penelitian dilakukan di desa Wawolaa dan hutan yang ada disekitarnya, yaitu hutan Yawobili, hutan Larongkeu dan perkebunan kelapa di daerah Langara. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan penjelajahan ke hutan atau daerah yang dikunjungi , berdasarkan metode (3), yaitu setiap tumbuhan yang ditemukan dalam hal ini yang bermanfaat sebagai bahan pangan di ambil contohnya, diambil ranting yang berbunga dan berbuah dengan panjang sekitar 20 – 25 cm kemudian di buat herbarium untuk mengetahui nama jenisnya dan juga dipakai sebagai referensi atau specimen bukti. Dilakukan pula wawancara dengan metode deskriptif melalui pembantu lapangan yang mengetahui nama-nama lokal tumbuhan beserta kegunaannya. Untuk melihat persebaran masing-masing jenis yang di jumpai, dilakukan pula pengecekan koleksi specimen herbariium yang ada di Herbarium Bogoriense.
Sulistiarini, D. dan M. Rahayu., 2012
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Jenis- jenis tumbuhan pangan di Wawolaa Di daerah Wawolaa tercatat ada 14 jenis tumbuhan berpotensi sebagai bahan pangan yang masih tumbuh meliar dan dikenal oleh penduduk setempat. Jenis-jenis tersebut adalah: 1.Crossocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Asteraceae, yang oleh penduduk asli Wawolaa disebut Tangkeroda. Di daerah Sunda jenis ini dikenal dengan nama sintrong yang sudah umum dimakan sebagai lalab. Demikian juga di Wawolaa, masyarakat memanfaatkan daun mudanya sebagai sayur. Jenis ini dikenal juga dengan nama Gynura crepidioides. Tangkeroda masih tumbuh meliar di sepanjang jalan menuju hutan Yawobili. Dari hasil pengecekan di koleksi herbarium hanya berasal dari Kalimantan ,Jawa dan Irian. Di Kalimantan tumbuh di hutan primer yang sudah terganggu, sedangkan di Irian tumbuh sebagai gulma di perkebunan, mereka menyebutnya aigaluga. Hal ini perlu perhatian bagi para peneliti terutama taksonom di Puslit Biologi termasuk penulis apabila melakukan eksplorasi untuk mengoleksi tanaman tersebut sebelum akhirnya punah. Mungkin karena masih banyak tumbuh meliar sehingga kadangkadang kita mengabaikan. Jenis tumbuhan herba semusim ini batangnya berbulu pendek terutama di bagian atas, tingginya 0,4 – 1 m. Daun tersusun berseling, bentuknya bervariasi mulai lonjong , bundar telur sampai jorong, helaian daunnya melanjut sampai ke tangkainya, bercuping menyirip, tepi daunnya bergerigi, permukaan daunnya berbulu tipis, panjang daun 8 – 18 cm, lebar 2 – 5,5 cm. Perbungaan berbentuk malai, bercabangcabang, berbulu, mahkota bunga berwarna kuning serta bagian ujungnya coklat
kemerahan. Menurut Backer & Bachuizen (1968) (4) tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun. Crossocephalum crepidioides berasal dari Afrika dan Madagascar yang pada tahun 1926 masuk ke Medan kemudian menyebar ke daerah Indonesia lainnya. Saat ini sudah menjadi gulma di ladang maupun perkebunan. Lemmens (2003) (5) menyebutkan jenis ini selain sebagai sayuran juga berpotensi sebagai obat tradisional yaitu sebagai obat lever dan anti kanker, karena mengandung alkaloid pyrrolizidine. Persebaran: C. crepidioides berasal dari Afrika dan Madagascar, tetapi sekarang sudah meliar di Asia tropik dan subtropik, Australia, Fiji, Tonga dan Samoa.(5) Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Kalimantan: Pontianak, Garry Shea SEEA 23075, 16 Oktober 1980 Jawa: G. Merapi, Backer 25253, 22 Juni 1918. Irian: Ilaga, Irian Barat, G. Hope 34, 11 Maret 1972, aigaluga. 2. Abelmoschus esculentus (Linn.) Moench. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Malvaceae. Dulunya dikenal dengan nama Hibiscus esculentus L. Berdasarkan koleksi herbarium, di daerah Maluku dikenal dengan nama o botara ma gare-garehe dan dibudidayakan untuk di ambil bijinya sebagai pengganti kopi. Mungkin karena potensinya ini maka di daerah Purwokerto tumbuhan ini disebut kopi sinting dan sudah di budidayakan, di Bogor disebut kopi jawa, di Sulawesi disebut kopi arab. Di Wawolaa jenis ini merupakan pendatang, namun saat ini sudah tumbuh meliar. Menurut penduduk jenis tanaman ini berada di Wawolaa sudah sekitar 100 tahun yang lalu. Namun demikian tanaman ini masih di tanam untuk diambil buah yang muda sebagai sayur. Oleh penduduk Wawolaa tanaman ini disebut Hoenu, uraian lengkap mengenai pemanfaatan, prospek dan pengembangan tanaman ini telah di tulis oleh Rahayu & Sulistiarini (2008) (6). Hoenu merupakan tumbuhan herba,
Inventarisasi Tumbuhan,... Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”: 77 - 86
79
tinggi mencapai 4 m. Daun tersusun spiral, helaian daun mencapai 50 cm diameternya, bercuping 3 – 7, panjang tangkai daun mencapai 50 cm. Bunga tunggal di ketiak daun, berwarna kuning. Buah silindris dengan ujung lancip atau tumpul. Biji berjumlah banyak berwarna hitam. Persebaran: Tumbuhan ini diduga berasal dari Asia tenggara tetapi saat ini sudah menyebar di daerah tropik maupun subtropik, terutama sudah umum dikenal di India, Afrika Barat, Brazil Filipina, Malaysia, Thailand dan Vietnam, tetapi di Indonesia dan Papua New Guinea belum banyak dikenal.(7) Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Jawa: Bogor, J. J. Ochse sn, 10 April 1925, kopi jawa; Purwokerto, BJ. D 41071, 1 Juli 1971, kopi sinting. Maluku: Pasir Putih, Halmahera, P. M. Taylor 2842 A, 2 Juni 1979, o botara atau ma gare-garehe. 3. Dioscorea bulbifera Linn. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Dioscoreaceae. Tumbuhan ini kami temukan di daerah perkebunan kelapa di Langara, keberadaannya termasuk jarang, masih meliar, namun koleksi herbarium sudah banyak. Berdasarkan koleksi herbarium di daerah Muara Angke disebut umbi rurururu, orang Sunda di Cadas Malang Cibeber menyebut huwi upas sementara koleksi Heyne dari Bandung menyebut ubi buah di Halmahera disebut kapupu ada juga yang menjebut o bukuru di Ternate disebut ngofi furu, koleksi dari Timor disebut sipu. Dalam buku Heyne (1927) (8) jenis ini di Jawa disebut jebubuk endog atau dalam bahasa Sunda disebut huwi buwah, Penduduk di Wawolaa memanfaatkan umbinya untuk dimakan. Selain enak di makan, juga berpotensi sebagai obat, antara lain obat disentri, syphilis dan diuretik (9). D. bulbifera merupakan tumbuhan merambat, batangnya kaku, umbi menggatung pada batangnya. Daun tunggal, berbentuk hati, pertulangan daun 7 – 9. Perbungaan berbentuk malai, panjang 8 – 10 80
cm. Bunganya kecil-kecil, panjang sekitar 3 mm, jumlahnya banyak. Buah berbentuk kapsul. Biji pada bagian pangkal bersayap. Jenis ini di Muara Angke ditemukan di daerah Mangrove. Persebaran: Asia , Afrika dan Amerika. Sebagai pusat persebarannya di Indonesia, Malaya Indo Cina dan Afrika. Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Jawa: Cadas Malang, Winckel 1427 B,23, Juni 1923 huwi upas; Baturaden, B.J.ca.6012 a, 17 November 1976, ubi putih katok gubug; Bandung, Heyne 142, 1918, ubi buah. Timor: Zoe, Watsh 125, 18 Februari 1929; Timor Tengah Selatan, E. A. Widjaja 1328, 22 Februari 1980, Sipu. Maluku: Pasir Putih, Halmahera, P. M. Taylor 2295 B, 28 Maret 1975, o bukuru. 4. Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Dioscoreaceae. Orang jawa menyebutnya gembili atau di Jawa Barat disebut huwi. Tumbuhan ini ditemukan di desa Wawolaa, mereka menyebutnya oreo. Namun dari koleksi herbarium, di kota Amurang, Menado tumbuhan ini disebut kajawu atau sajawu rintek, di Jakarta disebut ubi aung, di dalam catatan koleksinya Ochse tersebutkan umbinya di makan pada saat paceklik atau tidak ada beras, di Kedu disebut uwi majong, di Banyumas disebut uwi klinting,di Pasuruan disebut gembolo dan di Halmahera disebut siapu kome. Masyarakat di Wawolaa juga memakan umbi oreo ini. Quisumbing (1951) (9) menyebutkan umbi D. esculenta merupakan sumber karbohidrat dan vitamin B, serta berpotensi sebagai obat rematik, diuretik dan beri-beri. Gembolo merupakan tumbuhan merambat, berduri dan berbulu. Umbi panjangnya mencapai 20 cm. Daun tunggal, berbentuk jantung, pertulangan daun 11 – 15. Perbungaan di ketiak daun, berbulu, panjang mencapai 50 cm. Bunga berwarna hijau, kecil, diameter sekitar 4 mm. Persebaran: D. esculenta berasal dari
Sulistiarini, D. dan M. Rahayu., 2012
Thailand dan Indo-china, saat ini sudah dibudidayakan di Asia Tenggara (10). Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Sulawesi: Minahasa, Koorders 16721 B, 29 April 1895, Sajawu rintek. Jawa: Ragunan, Jakarta, J. J. Ochse sn., Mei 1928, ubi aung; Banyumas, van Bikaroe 549, 30 September 1902. Maluku: Halmahera, Beguin 2028, 12 Juni 1922, siapu kome. 5. Dioscorea hispida Dennst. Dioscorea hispida termasuk suku Dioscoreaceae. Tumbuhan ini ditemukan di desa Wawolaa masih tumbuh meliar di beberapa tempat. Oleh penduduk lokal disebut Ondo dan umbinya di makan. Di Jawa dikenal dengan nama gadung. Berdasarkan koleksi herbarium dijumpai berbagai nama daerah, di Brunei disebut obi atau gadung, di desa Basu, Gunung Watu Kendari disebut owi koro, di Pasir Kuda Bogor disebut gadung. Dari semua koleksi tidak ada yang menyebutkan manfaatnya. Walaupun saat ini sudah banyak diperdagangkan sebagai keripik gadung. Demikian juga Heyne (1927) (8) menyebutkan di Sulawesi dan Seram umbi D. hispida dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan berpotensi sebagai obat. Antara lain untuk mengobati kusta, siphilis dan kencing manis. Potensi lainnya yaitu untuk racun ikan dan mengobati luka pada ternak. Dilain pihak Quisumbing (1951) (9) menyebutkan ondo sebagai pemutih pakaian. Gadung merupakan tumbuhan merambat, berduri tajam, umbi berwarna kuning. Daun beranak daun 3. Perbungaan berbentuk malai, terletak di ketiak, panjang 12 – 20 cm, berbulu. Bunganya kecil-kecil. Buah berbetuk kapsul, lonjong, panjang sekitar 5 cm. Persebaran: D. hispida tumbuh alami di India dan Cina Tenggara, Asia Tenggara dan New Guinea, belum banyak dibudidayakan. Koleksi Herbarium yang diamati sebagai acuan: Borneo: Hutan Tinangayan, Semporna, Brunei, A. Cuadra A. 2484, 27 Oktober 1949, obi. Sulawesi: Desa Basu,
Gn. Watu, Kendari, M. Amir 17, 4 November 1986, owi koro. Jawa: Pasir Kuda, Bogor, Hallier 521, 26 Maret 1893, Gadung. Lombok: Senaru, Hiroshi Azuma et al A. 334, 14 Februari 2007. 6. Dracontomelon dao (Blanco) Merr & Rolfe. Dracontomelon dao termasuk suku Anacardiaceae. Tumbuhan ini oleh penduduk di daerah Wawolaa disebut Rau dan buahnya dimakan. Dalam catatan di koleksi herbarium juga disebutkan bahwa buahnya manis enak dimakan dan disebut dengan berbagai nama daerah, antara lain kao, rau, dau, sao, kasuang, jarpati, lakus dan murak. Verheij (1997) (11) juga menyebutkan bahwa bunga dan daun D. dao enak dimakan sebagai lalab, kayunya untuk peralatan rumah tangga. Di Ternate kulit batang rau digunakan untuk obat tradisional pada saat persalinan yaitu agar ari-ari cepat keluar. Rau merupakan pohon, tingginya mencapai 55 m, berdiameter 2 – 5,5 m, mempunyai akar papan yang tingginya mencapai 5 m. Berdaun majemuk, jumlah anak daun 4 – 9 pasang. Perbungaan berbentuk malai. Bunga berwarna kuning muda. Buah batu, berbentuk bulat, berdiameter sekitar 4 cm, berwarna coklat. Tumbuh di hutan di seluruh Indonesia. Koleksi yang ada di Herbarium Bogoriense juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Persebaran: D. dao tersebar mulai dari India, Burma, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, Indoneisa, Malaysia, Filipina, Solomon dan New Guinea. Koleksi Herbarium yang diamati sebagai acuan: Sulawesi, Bonthain, L. Th. Walangitang, cel/I – 9, 25 Januari 1922, Kao. Jawa: Batang, Koorders 13317 B, 6 Juni 1893, rau. Bali: Candikusumo, Becking 123, April 1920, dau. Flores: E. Schmutz 1756, sao; Ende, R Djava 211, 29 Januari 1927, rau. Lombok: Batukambang, L. Th. Walangitang 14, 12 Juni 1931, dao. Sumbawa: Indir Alam 14 14, 12 Juli 1928,
Inventarisasi Tumbuhan,... Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”: 77 - 86
81
kasuang, Sumbawa Barat, Kuswata 151, 4 Mei 1961, kasuang, buah enak dimakan manis. Maluku: Banda, P. de Bell 42, 3 Desember 1928, jarpati; Ceram, P. Buwalda 560, 22 Agustus 1928, Lakus. Sumatra: Simalungun, Nagari Siregar 12, 13 Maret 1939, murak.
Selatan, Sidiyasa & Arifin 2064, 10 Juli 2000. Sulawesi: Menado, Maengkomi 65, 4 Oktober 1924, liwas. Jawa: Cikepuh, Jawa Barat, P. F. Franck 104, 14 April 1938, Kedongdong Leuweung. Maluku: Ceram, Kuswata & Soepadmo, 159, 11 Juni 1959, ai wite. Irian:..
7. Spondias cytherea Sonn. Spondias cytherea termasuk suku Anacardiaceae. Oleh masyarakat di Wawolaa tumbuhan ini disebut Leweolo, digunakan sebagai campuran daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Burkill (1935) (12) yang menyebutkan bahwa daunnya apabila digunakan untuk memasak daging menyebabkan daging mudah lunak, disamping itu daunnya juga enak untuk sayur. Dari koleksi herbarium diketahui jenis ini di Cikepuh di sebut kedondong leuweung, di ceram disebut ai wite, di Menado disebut Liwas sedangkan di Irian di kenal dengan nama paipei. kulit kayunya penghasil gum. Verheij (1991) (11) menyebutkan buah S. cutherea mengandung protein, lemak, sukrosa, serat, sumber vitamin C dan zat besi. Leweolo merupakan pohon yang tingginya mencapai 45 cm, diameter cabangcabangnya mencapai 90 cm, mempunyai akar papan, kulit batang berwarna coklat kemerahan dan beralur. Daun majemuk, jumlah anak daun 4 – 10 pasang, berbentuk byndar telur sampai melanset. Perbungaan tersusun malai, tedapat di ujung cabang, panjang sekitar 35 cm. Bunga berwarna putih susu. Buah batu, bulat sampai jorong, yang sudah tua berwarna kuning. Tumbuhan ini aslinya dari Pulau Pasific yang kemudian dibudidayakan untuk di ambil buahnya. Di Jawa tumbuhan ini berbunga dan berbuah pada bulan Januari, Mei, Agustus dan September. (4) Persebaran: S. cytherea aslinya dari Asia Tenggara dan Selatan, tetapi sekarang sudah menyebar di daerah tropik. Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Kalimantan: Kalimantan
8. Melastoma malabathricum Linn. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Melastomataceae. Di Wawolaa biji tumbuhan ini dimakan. Berdasarkan koleksi herbarium tumbuhan ini di Manggarai disebut daun dusuk yang digunakan untuk melunakan daging. Koleksi de Vogel dari pulau Obi dengan nama daerah laka-laka hutan disebutkan batangnya dimanfaatkan sebagai bedak. Quisumbing (1951) (9) menyebutkan daun muda M. malabatrhicum enak di makan dan berpotensi sebagai obat, antara lain obat diare, sedangkan bunganya untuk mengurangi rasa sakit pada syaraf serta akarnya untuk obat paska melahirkan. Jadi tumbuhan ini sebetulnya banyak manfaat lain selain buahnya enak di makan dan di hutan sekunder ataupun di pinggir jalan masih sering di jumpai. Tumbuhan ini merupakan semak, tingginya mencapai 2 m, bercabangcabang. Daun lebar melanset, panjang 7 – 12 cm, agak kasar dan pada kedua permukaannya berbulu. Bunga berwarna ungu, bergerombol, berdiameter 4 – 7 cm. Buah bulat telur, diameter sekitar 6 mm, berdaging. Biji berwarna merah dan enak dimakan, rasanya manis dan segar. Persebaran: Tumbuhan ini umumnya tumbuh di pinggir hutan sekunder hampir di semua kawasan di Indonesia, Semenanjung Malaya, Filipina dan New Guinea. Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Sulawesi: Luwu, Wardi Wd 069, 18 Februari 1986, golla-golla. Jawa: Besuki, Koorders Kds 2784 B, 17 Juni 1897, Senggani; Pujon, Malang, J. P. Mogea 2275, 23 Juli 1980, Senggani. Maluku: Dodinga, P. M. Taylor 2288 B, 27 Maret 1979, lalade; Pulau Obi, de Vogel 4278,
82
Sulistiarini, D. dan M. Rahayu., 2012
24 November 1974, laka-laka hutan; Pulau Sula, Bloembergen 4578, 29 Agustus 1939, Rau songo. Flores: Manggarai, Kitagawa IK 007, daun dusuk. Sumatra: Lampung, Idenburg 34, 20 Agustus 1931, rending. 9. Passiflora foetida L. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Passifloraceae. Nama daerah Wawolaa adalah patepatele. Anak-anak di kampung tersebut sering mencari buah ini untuk dimakan. Dari koleksi herbarium juga disebutkan di beberapa daerah buah Passiflora foetida di makan, antara lain di Malili yang disebut bi’-bi’, buah keranjang (Donggala), non kalai (Timor), buah putih (Halmahera), bunga-bunga (Kolaka) dan putrid kurung (Ceram). Berdasarkan koleksi herbarium terlihat sebagian besar kolektor mencatat bahwa buahnya enak dimakan dan rasanya manis. Bahkan koleksi Veearts tahun 1928 dari Gorontalo juga sudah menyebutkan hal tersebut, berarti jenis tumbuhan ini memang sudah umum dimakan sejak jaman dahulu. Heyne (1987) (8) juga menyebutkan di Sumatra daun muda dan buah Passiflora foetida dimakan. Namun Quisumbing (1951) (9) menyebutkan bahwa buah yang masih muda dan daunnya mengandung glukosida sianogenetik yang apabila dimakan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan keracunan. Namun demikian daunnya dapat digunakan untuk mencuci luka dan gatal-gatal pada kulit. Air rebusannya sebagai obat asma dan empedu. P. foetida adalah tanaman memanjat, daun berlobus 3. Bunga berwarna ungu keputihan, berdiameter 2,5 – 5 cm. Buah buni, berbentuk bulat, diameter sekitar 2 cm, yang sudah matang berwarna kuning. Tumbuhan ini di Wawolaa masih banyak di jumpai tumbuh meliar di pinggir jalan. Persebaran: Tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan yang dapat tumbuh pada ketinggian 1 – 1000 m dpl. Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Kalimantan: Samboja, Ambriansyah, AA 3063, 20 Februari 2003,
kelubut, buah manis enak dimakan; Kuala Kurun, Kalimantan Tengah, Tukirin P. 443, 7 Maret 1979, buah manis enak dimakan; Kualakuayan, Kalimantan Tengah, Hansen 1379, 1984, enak dimakan manis dan sedikit beraroma; Singkawang, Kalimantan Barat, Prawiroadtmodjo 97, 19 Maret 1976, subu. Sulawesi: Gorontalo, Veearts 363, Desember 1928, moolingo, buah dimakan; Kolaka, E. A. Widjaya 822, 14 Juli 1978, bunga-bunga, buah enak dimakan; Donggala, Sulawesi Tengah, Ramadhanil & Schultze 821, 4 Agustus 2002, buah keranjang, buah enak dimakan. Maluku: Halmahera, A. Sujadi AS 34, 7 Desember 1994, buah putih; Ceram, A. Sujadi AS 90, 19 Juni 1995, putri kurung; Pulau Aru, Dr. P. Buwalda 4910, 9 Mei 1938, ajmele; Ternate, Beguin 709, 28 Mei 1920, buah putri. Sumatra: Lingga, Bunnenmeijer 7080, 31 Juli 1919, balang bulu. Lombok: Riswan & Ismail, SN 17, 11 Oktober 2001, buah dimakan. Timor: Kuan Fatu, Mulyati R. 749, 16 Agustus 1986, non kalai, buah dimakan. Irian: Sorong, Main 434, 28 Juli 1948, ririgin. 10. Physalis minima L. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Solanaceae. Nama daerah Wawolaa bengkibengki, buahnya dimakan. Verhoeven (1991) (13) juga menyebutkan bahwa buah P. minima enak dimakan. Nama daerah lain yang diambil dari catatan yang ada di koleksi herbarium antara lain: letupan (Banjar), pahapa (Luwuk), leletoken (Minahasa), kenamplok (Lombok), kapu ( Merauke), letu-letup (Bukit Tinggi), Ciplukan (Medan) namun orang Karo menyebutnya culpak-culpak. Di Merauke daun kapu digunakan untuk obat. Dari hasil pengamatan terhadap koleksi herbarium dapat dilsimpulkan bahwa tumbuhan ini berfungi ganda yaitu buahnya dimakan dan daun untuk obat, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kimianya. Tumbuhan ini merupakan herba semusim, tingginya 20 – 50 cm, pada
Inventarisasi Tumbuhan,... Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”: 77 - 86
83
bagian ujung ditumbuhi oleh rambut-rambut panjang, tebal dan tidak mudah rontok. Batang bagian atas berbentuk segi empat, bagian bawah agak menggalah, berongga, berwarna ungu. Daun bundar telur sampai melanset, panjang 1,5 – 9 cm, lebar 1 – 6 cm, permukaan daun berbulu tebal, tangkai daun panjangnya mencapai 6,5 cm. Bunga tunggal, berwarna kuning pucat. Buah buni, berdiameter 8 – 14 mm. Persebaran: P. minima tumbuh di seluruh kawasan Indonesia juga di Semenanjung Malaya dan Filipina. Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Kalimantan: Wanariset, Samboja, Ambriansyah AA 2051, 14 Oktober 1996, letupan, buah yang tua enak dimakan manis. Sulawesi: Luwuk, Hamzah Hz 324, 9 Juni 1998, pahapa; Minahasa, Kooders 18028 B, leletoken. Lombok: Desa Santang Lombok Barat, M Rahayu 610, kenomplok. Sumatra: Bukittinggi, Dayar Arbain DA 276, September 1983, letup-letup; Lampung, Iboet 312, 3 Desember 1921, katino; Sibolangit, Medan, Lorzing 11624, 25 Maret1915,culpak-culpak. Irian: Merauke, Widjaja, Wally & Subari EAW + EW 308, 26 Oktober 1992, kapu, daun direbus dan airnya diminum untuk obat. 11. Solanum torvum Sev. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Solanaceae. Di Wawolaa disebut buah tetu, enak dimakan. Banyak tumbuh meliar di tepi jalan dan perkebunan penduduk. Dari koleksi di herbarium, di daerah Kedayan Kalimantan Utara buah yang disebut terong limbang ini dimakan sebagai sayur, demikinan juga di dusun Rungus yang disebut bintarong dan di Jambi yang disebut terung rimbang. Di daerah Kalimantan Timur akar terung pipit digunakan sebagai obat sakit kuning. Jenis tumbuhan ini juga berfungsi ganda selain sebagai sayur juga bermanfaat untuk obat. Tetu merupakan tumbuhan herba semusim , tingginya mencapai 3 m, batangnya berduri. Daun bundar telur sampai lonjong, tepinya berombak. Bunga berwarna putih, panjang sekitar 1 cm. Buah berwarna kuning, 84
membulat, halus berdiameter sekitar 1 cm. Buahnya dapat juga sebagai obat, antara lain obat batuk sedangkan akarnya sebagai penghalus kaki yang pecah-pecah. Persebaran: S. torvum berasal dari Antiles, tetapi sekarang sudah meliar di daerah pantropik. Di daerah Asia sudah dibudidayakan. Buahnya selain enak di makan berpotensi sebagai obat kontrasepsi, juga sebagai obat tradisional, antara lain sebagai obat penawar racun gigitan serangga dan ular. Buahnya mengandung vitamin A, B, C, protein, lemak dan karbohidrat. (14) Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Borneo: Sepilek, Sandakan, Kadir sn, 5 November 1947, terong pipit, untuk sayur; Serukam, Kalimantan Barat, Prawiroatmodjo 79, 19 Maret 1976, terong, buah dimakan; Hutan Gumantong, Kalimantan Utara, Kadir A 3591, 8 Juli 1951, terong limbang; Hutan Marudu, Kalimantan Utara, A. Candra, A. 1194, 15 Februari 1948, terong pipit, bintarong atau dondorong. 12. Tacca leontopetaloides O.K. Tumbuhan ini termasuk suku Taccaceae. Masyarakat di Wawolaa menyebutnya kateo, mereka memakan umbi tumbuhan ini. Nama daerah lain berdasarkan koleksi herbarium antara lain: anuwu (Miangas, Suawesi), kacunda (P. Kapoposang, Sulawesi Selatan), terung ilawanan (Amurang, Sulawesi), totoan kayu (Kangean), Kecondang (Karimunjawa), tiloh (Timor), telo abutik (Wetar), huda korano atau huda maraka (Ternate), wer (Lotwurung, Babar, Maluku), tooiju (Sula), weweru (Tanimbar), krubut (Enggano), wakong (Natuna). Dari banyaknya nama daerah yang tercantum di koleksi herbarium menunjukan bahwa jenis ini sudah dikenal di kawasan Indonesia terutama di Indonesia bagian Timur. Di Karimunjawa tepung dari umbi kecondang dibuat biskuit yang disebut bolang-baling. Koleksi Quayle dari Australia dalam catatannya disebutkan bahwa tumbuhan ini oleh penduduk lokal dibuat topi. Heyne (1927) (7) juga menyebutkan bahwa selain tepung umbi nya enak dimakan,
Sulistiarini, D. dan M. Rahayu., 2012
maka tangkai daunnya digunakan untuk membuat anyaman topi. Saat ini tanaman T. leontopetaloides termasuk salah satu proyek nasional unggulan di Puslit Biologi LIPI, sebagai pengganti pangan non beras. Hasil eksplorasi penulis dan kawan-kawan di Belitung, juga melihat ada penduduk lokal yang sudah memanfaatkan umbi tumbuhan ini, mereka belum membudidayakan, jadi hanya mengambil tanaman liar yang ada disekitar kebun di dekat pantai. Pada saat penulis menghadiri Hari Krida Pertanian ke 40 Tingkat Propinsi Jawa Barat, tumbuhan Tacca ikut di pamerkan berserta produk olahannya berupa kuekue kering dan basah, serta tepung yang sudah dikeringkan. Stan dari Departemen Ketahanan Pangan Kabupaten Garut ini juga memamerkan foto-foto budidaya yang sudah dilakukan di daerah Cikelet, Garut. Mereka menyebut tanaman ini jelawe. Sejauh ini baru daerah Garut yang sudah membudidayakan tumbuhan Tacca. Kateo merupakan tanaman herba menahun, berumbi. Berdaun majemuk dengan lebar 40 – 150 cm, tangkai daun panjangnya mencapai 100 cm, dapat digunakan sebagai bahan anyaman. Perhiasan bunga berwarna hijau atau ungu pada bagian tepinya, daun pelindung bunga ada dua macam yaitu menyerupai daunnya yang jumlahnya 6 – 12 dan berbentuk seperti benang yang jumlahnya banyak. Buah beri berwarna kuning. Rimpang dan tepungnya digunakan untuk obat disentri. (8) Persebaran: T. leontopetaloides tersebar mulai dari Afrika Barat sampai ke Asia Tenggara, Australia Utara dan Polynesia Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Sulawesi: Pulau Kapoposang, Arief Hidayat, AH 296, 25 November 1996, kacunda; Miangas, H. J. Lam 3405, 12 Juni 1926, anuwue; Amurang, Koorders 18925B, 29 Maret 1895, terong ilawanan. Jawa: Palabuhanratu, Koorders 34684 B, 10 April 1899, cunda; Kangean, C. A. Backer, 27140, 17 Maret 1919, totoan kaju; Pulau genting, T. N. Karimunjawa, Djarwaningsih
et al TD 377, 13 April 2003, kecondang, umbi dibuat tepung untuk kue bolang-baling. Timor: Bloembergen 3604, 6 April 1939, telo ametak. Maluku: Letwurung, Babar, J. Van Borssum Waalkes 3038, 1 Maret 1956, wor. Sumatra: Pulau Dua, Enggano, W. J. Lutjeharms 5283, 2 Juli 1936, krubut. Australia: Raivavae Tenggara, E. H. Quayle 287, 10 Februari 1922, pia, penduduk lokal membuat topi dari tumbuhan ini. 13. Pseuderanthera sp. Tu m b u h a n i n i t e r m a s u k s u k u Acanthaceae. Merupakan tanaman herba, banyak tumbuh di lantai dasar hutan di daerah Yawobili. Masyarakat Wawolaa menyebutnya Totopu, mereka mencari tumbuhan ini untuk di buat sayur. Pseuderanthemum sp. berdaun tunggal, berbentuk bundar telur, ujung lancip. Bunga berwarna putih ungu. 14. Castanopsis buruana Miq. Castanopsis buruana termasuk suku Fagaceae. Penduduk di Wawolaa menyebutnya eha. Mereka memakan buah eha setelah digoreng tanpa minyak atau di buat kolak. Tumbuhan ini masih banyak tumbuh di hutan, Dari beberapa koleksi herbarium yang diamati hanya satu koleksi dari Sumbawa yaitu Indir Alam yang menyebutkan buah kasuang enak dimakan. Eha merupakan pohon yang tingginya mencapai 20 m dengan diameter 10 – 20 cm, kulit batangnya berwarna coklat keunguan. Daun melanset, panjang 7 – 24 cm, lebar 2,5 – 8 cm, permukaan atas mengkilat, permukaan bawah bersisik berwarna coklat. Bunga berumah dua. Buah. Koleksi di Herbarium Bogoriense juga berasal dari Sulawesi dan Maluku, dengan sebutan: koekoetio (bahasa Malili); nasa (Ambon); sapin (Buru); kayu mofawai (Bacan); eha (Pulau Sula). Persebaran: Menurut Soepadmo (1972) (15) Castanopsis buruana persebarannya hanya di Indonesia bagian Timur yaitu di Sulawesi dan Maluku. Disebutkan jenis ini sangat umum di jumpai di Sulawesi.
Inventarisasi Tumbuhan,... Edisi Khusus “Hari Lingkungan Hidup”: 77 - 86
85
Koleksi herbarium yang diamati sebagai acuan: Sulawesi: Kolaka EAW 9552, 17 April 1911, sangat umum; Malili, Waturandang 747, 18 Juni 1934, koekoetio; Palopo, Tetelepta 2, 9 September 1941, leasa; Kendari, Reppie 352, 14 Juli 1938, eha; Soroako, Balgooy 3990, 13 Juni 1979, eha, buah digoreng dan dimakan. Maluku: Buru, Balgooy 4819, 18 November 1984, sapin; Buru, Teysman 16385, kayu sapin; Bacan, Gn. Damar, Nedi 51, 13 Agustus 1937, kayu mofawai. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini tercatat ada 2 jenis tumbuhan yang belum terekam dalam pustaka mengenai potensinya. Jenis-jenis tersebut adalah Castanopsis buruana (eha), dan Pseuderanthera sp. (totopu). DAFATAR PUSTAKA 1. Isyulukhi A. 2011. http://blog.uin. malang ac.id./atuks/2011/01/07/bahanmakanan-dan-zat-makan/ 2. Rugayah, M. Rahayu, D. Sulistiarini, , S u n a r d i & M . A m i r. 2 0 0 4 . Keanekaragaman Flora Non Anggrek di P. Wawonii. Dalam: (ed.). Laporan Teknik. Pusat Penelitian Biologi – LIPI. Bogor. Hal. 73 – 86. 3. Balgooy, M. J. van, 1987. Collecting. Dalam Vogel (ed.): Manual of Herbarium Taxonomy Theory and Practice: 14 – 19. 4. Backer, C.A. & R. C. Bakhuizen van den Brink 1963. Flora of Java Vol. 1. N.V.P. Noordhoff – Groningen – The Netherlands. 5. L e m m e n , R . H . M . J . 2 0 0 3 . Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore. Dalam Lemmens, R. H. M. J. & N. Bunyapraphatsara (eds.). Medicinal and poisonous plants 3. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (3). Backhuys Publishers. Leiden 6. Rahayu, M. & D. Sulistiarini. 2008. Etnobotani ‘Hoinu’ Abelmoschus 86
esculentus (L.) Moench. : Pemanfaatan, Prospek dan Pengembangannya, di Sulawesi Tenggara. Journal Teknologi Lingkungan Vol. 9, No. 1: 79 – 84. 7. Gurnah, A. M. 1994. Abelmoschus esculentus (L.) Moench. Dalam Siemonsma J. S. And K. Piluek (Eds.) Vegetables. Plant Resources of South-East Asia No. 8. Prosea Bogor Indonesia. 8. Heyne, K. 1927. De Nuttige Planteu van Indonesie van Hoeve.’S-Gravenhage, Bandung. I –IV. 9. Quisumbing, E. 1951. Medicinal Plants of the Philippines. Manila Burea of Printing 10. Onwueme, I. C. 1996. Dioscorea L. dalam Flach, M. & F. Rumawas (Editors). Plants yielding non-seed carbohydrates. Plant resources of South-East Asia No 9.. Backhuys publishers, Leiden p. 85 – 97. 11. Verheij, E. W. M. & R. E. 1991. Spondias cytherea Sonnerat. Dalam Verheij, E. W. M. & R. E. Coronel (Eds). Edible fruits and nuts. Plant Resources of South-East Asia No. 2. Prosea Bogor Indonesia. 12. Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Giberments of Straits Settlements and Federated Malay States. Crown Agents for the colonies Millbank, London. 13. Verhoeven, G. 1991. Physalis peruviana L. Dalam Verheij, E. W. M. & R. E. Coronel (Eds). Edible fruits and nuts. Plant Resources of South-East Asia No. 2. Prosea Bogor Indonesia 14. Boonkerd, T. B. Na., Songkhla & W. Thephuttee. 1993. Solanum torvum Swartz in Siemonsma, J. S. & K. Piluek (Editors). Vegetables. Plant resources of South-East Asia No. 8. Pudoc scientific publishers, Wageningen. 15. Soepadmo, E. 1972. Fagaceae. Flora Malesiana Vol. 7: 265 – 403.
Sulistiarini, D. dan M. Rahayu., 2012