INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI JENIS LAMUN DI PULAU BONEBATANG
SKRIPSI
Oleh MATTEWAKKANG
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
ABSTRAK MATTEWAKKANG, L111 08 272. “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun di Pulau Bonebatang” di bawah bimbingan Ibu Rohani Ambo Rappe sebagai Pembimbing Utama dan Ibu Inayah Yasir sebagai Pembimbing Anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis makrozoobentos yang terdapat di berbagai jenis lamun di Pulau Bonebatang. Pemilihan plot didasarkan pada jenis lamun dengan parameter yang diukur tiap plot meliputi suhu, pH, DO, kekeruhan, salinitas Kecepatan arus dan arah arus Pengambilan data makrozoobentos dan lamun dilakukan pada transek yang sama, menggunakan metode transek kuadran berukuran 1 m x 1 m dengan 3 kali pengulangan. Sedimen diambil dengan menggunakan sekop yang memiliki bukaan 20 cm x 20 cm, setelah itu sampel makrozoobentos disaring dengan menggunakan sieve net ukuran 1 mm. Pada penelitian ditemukan sebanyak 5 jenis lamun yang tersebar di setiap Plot pengamatan yaitu, Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan Cymodocea rotundata, dengan Jumlah makrozoobentos yang diperoleh berdasarkan jenis lamun antara lain pada plot Cymodocea 48 jenis, plot Halophila 42 jenis, plot Enhalus 38 jenis, plot Halodule didapatkan 29 jenis dan plot Thalassia didapatkan 26 jenis. Kepadatan makrozoobentos yang diperoleh adalah pada plot Cymodocea 133 ind/m2, plot Halophila 116 ind/m2, plot Enhalus 105 ind/m2, plot Halodule 80 ind/m2 dan plot Thalassia 72 ind/m2.
Kata Kunci : Makrozoobentos, Lamun, Komposisi jenis, Kepadatan, Bonebatang
ii
INVENTARISASI MAKROZOOBENTOS PADA BERBAGAI JENIS LAMUN DI PULAU BONEBATANG
Oleh : MATTEWAKKANG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
Inventarisasi : Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun Di Pulau Bonebatang
Nama Mahasiswa
Mattewakkang :
No. Pokok Jurusan
L: 111 08 272 Ilmu : Kelautan Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si NIP. 19690913 199303 2 004
Dr. Inayah Yasir, M.Sc NIP. 19661006 199202 2 001
Mengetahui : Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP NIP. 19611201 198703 2 002
Ketua Jurusan Ilmu Kelautan,
Dr.Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M. Si NIP. 19631120 199303 1 002
Tanggal Lulus : 05 Maret 2013
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Februari 1989 di Takalar,
Kecamatan
Polongbangkeng
Selatan,
Kabupaten Takalar. Anak pertama dari pasangan Ayahanda Boba dan Ibunda Halisah. Penulis
menyelesaikan
pendidikan
formalnya
Sekolah Dasar di SD Negeri 160 Bontolebang II Kabupaten Takalar pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 4 Takalar pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Takalar pada tahun 2008. Di tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten pada beberapa mata kuliah diantaranya Dasar-dasar Komputasi, Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut, Survey Hidrografi, Akustik Kelautan, Oseanografi Kimia, Mikrobiologi Laut, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut Secara Terpadu, Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut dan Biologi Laut. Di bidang keorganisasian penulis pernah menjadi pengurus Musholah Bahrul Ulum periode 2011/2012 dan pengurus Senat Ilmu dan Teknologi Kelautan periode 2011/2012. Penulis juga aktif di Organisasi Daerah Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar (HIPERMATA) Komisariat Unhas. Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir yaitu Kuliah Kerja Nyata Profesi (KKN-P) dan Praktek Kerja Mandiri dengan judul Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Pulau Balang Lompo Kelurahan mattiro Sompe Kec. Liukang Tupabbiring kabupaten Pangkep pada tahun 2011, dan melakukan penelitian dengan judul “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis lamun di Pulau Bonebatang” pada tahun 2012.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi yang atas berkat rahmat dan hidayah_Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Inventarisasi Makrozoobentos Pada Berbagai Jenis Lamun di Pulau Bonebatang” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari program Studi Ilmu Kelautan. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai makhluk biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kehilafan. Oleh karena itu, penulis berbesar hati dan membuka diri untuk menerima kritikan dan saran dari pihak yang membaca skripsi ini. Pada kesempatan ini tak ada hal yang dapat penulis sampaikan selain “Terima kasih” yang sebesar-besarnya sebagai bentuk penghargaan dan perhormatan atas segala bantuan, bimbingan, nasehat dan doa yang senantiasa mengiringi penulis selama masa studi hingga penyusunan tugas akhir dari kedua orang tua tercinta, Ayahanda Boba dan Ibunda Halisah. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada : 1.
Ibu Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si selaku pembimbing utama dan Bapak Dr. Inayah Yasir, M.Sc selaku pembimbing kedua yang dengan ikhlas meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan arahan, bimbingan dan bantuan selama penelitian hingga penyusunan tugas akhir ini.
vi
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
3.
Seluruh Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
4.
Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si selaku Ketua jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
5.
Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si selaku Penasehat Akademik penulis pada Program Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
6.
Para dosen penguji, Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP., Bapak Dr. Ir. M. Farid Samawi, M.Si., dan Bapak Ir. Marzuki Ukkas, DEA yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritik dalam perbaikan skripsi penulis.
7.
Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Ilmu Kelautan dan semua dosen se-Unhas atas segala pengetahuan yang telah diberikan selama masa studi penulis.
8.
Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2008 (Mezeight) yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan, motivasi, kebersamaan, perhatian dan dukungannya.
9.
Pegawai dan seluruh staf jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
10. Seluruh keluarga yang telah membantu yang tak henti-hentinya memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. 11. Teman-temanku di HIPERMATA Komisariat Unhas yang telah banyak membantu, serta senantiasa memberi canda, tawa dorongan semangat kepada penulis. vii
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi pembaca khususnya teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan perikananUniversitas Hasanuddin Makassar. Amin Ya Rabbal Alamin. Penulis Mattewakkang
viii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI………………………….. ................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR………… ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL……….. .................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................................... 4 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 5 2.1 Pengertian Lamun.................................................................................................... 5 2.1.1 Halophila ovalis ............................................................................................ 7 2.1.2 Halodule uninervis ....................................................................................... 8 2.1.3 Cymodocea rotundata .................................................................................. 9 2.1.4 Thalassia hemprichii .................................................................................. 10 2.1.5 Enhalus acoroides ..................................................................................... 11 2.2 Peranan Lamun .................................................................................................... 12 2.3 Sebaran Geografik Lamun di Indonesia ............................................................... 12 2.4 Parameter Lingkungan Komunitas Lamun ............................................................ 14 2.4.1 Cahaya ....................................................................................................... 14 2.4.2 Salinitas ...................................................................................................... 15 2.4.3 Kedalaman ................................................................................................. 15 2.4.4 Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure) .................... 16 2.4.5 Suhu ........................................................................................................... 16 2.4.6 Asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun ..................................... 17 2.4.7 Faktor Fisika-Kimia yang Memengaruhi komunitas Makrozoobentos ....... 18 2.4.8 Indeks Keanekaragaman (H’) .................................................................... 19 III. METODE PENELITIAN ............................................................................................... 22 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................................ 22 3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................................... 22
ix
3.2.1 Alat dan Bahan di Lapangan...................................................................... 22 3.2.2 Alat dan Bahan di Laboratorium ................................................................ 23 3.2.3 Prosedur Penelitian .................................................................................... 23 3.3 Pengolahan Data .................................................................................................. 24 3.3.1 Kerapatan Jenis lamun .............................................................................. 24 3.3.2 Makrozoobentos......................................................................................... 24 3.3.2.1 Komposisi Jenis ............................................................................. 24 3.3.2.2 Kepadatan (K) ................................................................................ 25 3.3.2.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos .......................... 25 3.3.2.4 Indeks Keseragaman ..................................................................... 26 3.3.2.5 Indeks Dominansi .......................................................................... 26 3.4 Analisis ukuran butiran sedimen ........................................................................... 26 3.5 Analisis Data ......................................................................................................... 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 28 4.1 Data Parameter Lingkungan .................................................................................. 28 4.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos..................................................................... 31 4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Makrozoobentos ..................................................................................................... 38 V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 40 5.1 Simpulan……….. ...................................................................................... 40 5.2 Saran…………….. ................................................................................................. 41 DAFTAR PUSTAKA…………… ....................................................................................... 42
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Gambar 1. Halophila ovalis .......................................................................... 7 2. Gambar 2. Halodule uninervis ..................................................................... 8 3. Gambar 3. Cymodocea rotundata (Chandra, 2011) ..................................... 9 4. Gambar 4. Thalassia hemprichii (Chandra, 2011) ...................................... 10 5. Gambar 5. Enhalus acoroides ................................................................... 11 6. Gambar 6. Sebaran geografik spesies lamun di Indonesia ( Den Hartog 1970; Soegiarto & Polunin 1981; dan Kiswara 1984).) .......... 14 7. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian .............................................................. 22 8. Gambar 8. Jumlah jenis makrozoobentos antar plot .................................. 36 9. Gambar 9. Kepadatan makrozoobentos pada tiap-tiap plot ....................... 37 10. Gambar 10. Indeks Ekologi makrozoobentos di setiap plot ........................ 39
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman ...................................................... 20 Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E) ....................................................... 20 Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C) ............................................................ 21 Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen ....... 27 Tabel 5. Parameter lingkungan di Pulau Bonebatang ....................................... 29 Tabel 6. Tabel komposisi jenis makrozoobentos pada tiap plot......................... 33
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kepadatan Individu tiap Plot. .............................................................. 46 Lampiran 2. Analisis Anova Kepadatan dan Jumlah Jenis antar Plot. .................... 47 Lampiran 3. Indeks Ekologi Makrozoobentos. ........................................................ 48 Lampiran 4. Kerapatan Jenis Lamun Tiap Plot. ..................................................... 49 Lampiran 5. Jenis Substrat Pada Kertas Semilog Pada Tiap Plot. ......................... 50 Lampiran 6. Spesies Makrozoobentos yang ditemukan. ........................................ 51
xiii
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan berbiji (Spermatophyta) yang telah beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di laut (Fortes 1990; Waycott 2004). Lamun umumnya tersebar di daerah perairan dangkal zona intertidal yang dipengaruhi pasang surut hingga daerah subtidal dengan kedalaman 40 m (den Hartog 1970; Hemminga dan Duarte 2000; Waycott et al. 2004). Komunitas lamun memiliki fungsi ekologis yang penting di daerah pesisir. Struktur akar lamun yang rumit di dasar perairan membantu menstabilkan substrat dan mengurangi kekeruhan. Tegakan daun lamun yang rapat berperan penting untuk mengurangi energi gelombang, mengendapkan partikel organik dan nutrien serta menjadi tempat berlindung bagi berbagai jenis biota laut. Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, arus, pasang surut, karakteristik substrat/sedimen dan kedalaman kolom air memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur komunitas dan pola penyebaran/distribusi lamun beserta hewan laut yang berasosiasi dengan tumbuhan laut tersebut (Hemminga & Duarte 2000). Lamun di Indonesia, umumnya tumbuh membentuk komunitas campuran (multispesifik), terdiri dari beberapa spesies lamun yang berbeda, dengan pola cenderung mengelompok (patchy) yang diselingi oleh substrat berpasir yang tidak ditumbuhi vegetasi lamun (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997). Vonk et al. (2010) menambahkan bahwa tumbuhnya lamun di dalam kolom air, menarik berbagai jenis organisme laut untuk memijah, berlindung, mencari makan dan menetap. Interaksi timbal balik yang terjadi di dalam komunitas lamun
ini, menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kompleks yang menjadikan padang lamun sebagai habitat penting bagi berbagai jenis biota laut. Kelompok fauna yang ditemukan berasosiasi dengan lamun umumnya didominasi oleh hewan bentos seperti sponges (Porifera), teripang, bulu babi, bulu hati, bintang laut, bintang mengular (Echinodermata), kerang, keong (Moluska), udang dan kepiting (Arthropoda) (de Wilde et al. 1989; Zieman dan Zieman 1989; Erftemeijer dan Middelburg 1993; Sarinita dan Priosambodo 2006; Vonk et al. 2008). Beberapa jenis kerang, teripang, udang dan ikan yang berasal dari padang lamun ini memiliki nilai ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat (Tomascik et al. 1997). Organisme bentik (bentos) adalah seluruh organisme (hewan dan tumbuhan) yang hidup di dasar perairan baik itu di permukaan substrat atau di dalam substrat (Khouw 2009). Lind (1979) dalam Khouw (2009) mendefinisikan bentos sebagai semua organisme (melata, menetap, menempel, memendam maupun meliang) yang hidup di lumpur, pasir, kerikil, batu, maupun sampah organik yang berada di dasar perairan. Organisme bentos memiliki peran penting dalam studi ekologi dan seringkali digunakan sebagai indikator untuk menilai perubahan yang terjadi di lingkungan perairan (Hellawel 1986 dalam Khouw 2009). Pulau Bonebatang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan, kurang lebih 12 km arah barat daya Kota Makassar. Sebagian besar pulau terbentuk dari hamparan pasir karbonat yang dikelilingi oleh karang tepi. Pulau Bonebatang merupakan pulau kosong yang tidak berpenghuni, tanpa vegetasi dan hampir tenggelam saat pasang tertinggi
sehingga hampir tampak seperti gusung.
(“sand bank”). Nama Bonebatang berasal dari dua kata dalam bahasa Makassar, yaitu: “bone” berarti pasir dan “battang” yang berarti perut. Secara harfiah, Bonebatang diartikan sebagai “tempat yang baik untuk beristirahat dan makan”
2
(Massang dalam Kneer 2006) yang menunjukkan bahwa pulau ini telah lama menjadi tempat mencari hewan laut untuk kebutuhan konsumsi atau dijual sebagai ikan hias, kerajinan tangan dan ornamen akuarium (Kneer, 2006). Bonebatang tergolong pulau yang dinamis dan mudah berubah bentuk, terutama di sisi timur, utara dan selatan. Penumpukan sedimen pasir halus banyak terjadi di sisi selatan pulau. Arus di sisi selatan tergolong cukup kuat untuk memindahkan pasir, terutama saat angin muson utara-selatan bertiup kencang. Pergerakan pasir ini cukup berpengaruh
terhadap luasan padang
lamun yang ada di sekeliling pulau (Stapel et al. 1996; Kneer 2006). Padang lamun yang luas dapat ditemukan di sisi barat dan selatan Bonebatang yang didominasi oleh substrat
berpasir. Sedangkan komunitas
lamun di sisi utara yang didominasi substrat pecahan karang, memiliki kepadatan yang rendah (Kneer, 2006). Komunitas lamun di Pulau Bonebatang tergolong komunitas campuran yang terdiri dari spesies pionir seperti Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium
dan
species klimaks: Thalassia hemprichii yang diselingi oleh Enhalus acoroides. Kedua spesies klimaks tersebut tumbuh mengelompok dengan kepadatan rendah dan menyebar secara acak (Kneer 2006; Vonk et al. 2008; Wiethuchter 2009; Vonk et al. 2010). Penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota laut yang berasosiasi telah banyak dilakukan di Indonesia dan terus menunjukkan peningkatan dalam satu dekade terakhir ini (Tomascik 1997). Namun, penelitian biota asosiasi yang dilakukan di daerah lamun ini, umumnya hanya mencakup spesies-spesies yang hidup di atas permukaan substrat saja (epifauna). Adapun jenis-jenis biota asosiasi yang hidup di dalam substrat (infauna), belum banyak
3
diteliti, sehingga informasi tentang struktur komunitas biota asosiasi infauna ini masih sedikit diketahui (Vonk 2008). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang struktur komunitas lamun beserta biota asosiasinya, baik yang mencakup spesiesspesies makrozoobentos yang hidup di permukaan substrat (epifauna) maupun spesiesspesies makrozoobentos yang hidup di dalam substrat (infauna). 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis makrozoobentos yang terdapat di berbagai jenis lamun di Pulau Bonebatang. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi ekologis dan mendapat pemahaman mengenai makrozoobentos di daerah padang lamun. 1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi komposisi jenis dan kepadatan jenis makrozoobentos serta indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos pada setiap jenis lamun.
4
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga yang telah beradaptasi sepenuhnya
untuk hidup di laut (Fortes 1990). Vegetasi laut ini tumbuh di perairan dangkal zona intertidal hingga daerah subtidal hingga kedalaman 40 m (den Hartog 1970; Fortes 1990; Hemminga dan Duarte 2000; Romimohtarto dan Juwana 2001). Sekitar 60 jenis lamun diketahui tersebar di seluruh dunia (Short dan Coles 2003). Jenis lamun tersebut dikelompokkan ke dalam enam suku dan 12 genera. Tujuh genera diantaranya tersebar di daerah tropis dan lima genera tersebar di daerah temperata (den Hartog dan Kuo 2006). Keseluruhan genera lamun tropis, dapat ditemukan di wilayah Indo-Pasifik Barat yang menjadikan wilayah ini memiliki keanekaragaman jenis lamun tertinggi di dunia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, jenis-jenis lamun umumnya tumbuh bersama, membentuk komunitas campuran (mixed meadows) yang terdiri dari 2 8 jenis (Nienhuis et al. 1989; Tomascik et al. 1997; Waycott et al. 2004; Vonk et al. 2008). Sedangkan di daerah temperata, padang lamun seringkali hanya didominasi oleh satu spesies tunggal saja (monospesifik). Beberapa daerah seperti Bali dan Nusa Tenggara, memiliki komunitas lamun monospesifik yang hanya ditumbuhi oleh satu jenis lamun saja, yaitu Thalassodendron ciliatum. Lamun ini tumbuh di daerah bersubstrat karang dengan aliran arus yang kuat (Tomascik et al. 1997). Total keseluruhan jenis lamun yang ditemukan di Indonesia saat ini berjumlah 12 hingga 13 spesies (Fortes 1990; Kiswara 1997; Priosambodo 2007). Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal, membentuk suatu habitat yang menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis organisme laut. Menurut
Hemminga dan Duarte (2000), struktur tiga dimensi yang dibentuk oleh kanopi, rhizoma dan akar lamun menjadi tempat berlindung dan melekat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut. Daun dan kanopi lamun, kerap ditumbuhi alga epifit yang memproduksi bahan organik dan menjadi salah satu sumber energi dalam rantai makanan. Struktur tiga dimensi ini memiliki kemampuan untuk menstabilkan substrat, mengurangi energi gelombang, mengurangi kekeruhan, serta menghalangi paparan cahaya matahari yang kuat, sehingga menciptakan lingkungan yang ideal bagi organisme laut untuk tumbuh dan berkembang. Padang lamun merupakan salah satu komunitas terpenting yang mendukung kehidupan berbagai organisme di laut. Lamun menghasilkan makanan bagi penyu, ikan, bulu babi, dan mamalia laut seperti dugong (sapi laut), yang saat ini dikategorikan IUCN dalam daftar merah karena terancam punah. Padang lamun juga menjadi tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat (sedimen), menahan ombak dan menyerap bahan pencemar (Fortes 1990; Asmus et al. 2006). Bersama dengan terumbu karang dan hutan mangrove, lamun membentuk habitat yang saling berhubungan dengan produktifitas yang sangat tinggi di laut. Degradasi dan kehilangan padang lamun ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem di laut secara keseluruhan, dan dari sisi ekonomi, dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi manusia (Fortes 1990; Short dan Coles 2003). Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada perairan laut dangkal yang berdasar lumpur atau pasir. Lamun ini terdiri dari dua suku (famili) yaitu suku Potamogetonaceae (9 marga, 35 jenis) dan suku hydrocharitacea (3 marga, 15 jenis) (den Hartog 1970; Phillips dan Menez 1988).
6
Dari 50 jenis lamun tersebut, ada 12 jenis yang telah ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila minor,
Halophila
Thalassodendron
decipiens, ciliatum,
Halodule
Cymodocea
pinifolia, rotundata,
Halodule
uninervis,
Cymodocea
serrulata,
Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Di antara ke duabelas jenis lamun tersebut.
Thalassodendron
ciliatum
mempunyai
sebaran
yang
terbatas,
sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-moti dan Kepulauan Aru (den Hartog 1970). Berikut ini deskripsi morfologi lamun yang ditemukan di Pulau Bonebatang beserta klasifikasinya. 2.1.1
Halophila ovalis
Daunnya pipih berbentuk bulat seperti telur, mempunyai tangkai daun berwarna merah (bagian tengah) mempunyai panjang helaian yang dapat mencapai maksimum 32cm, dan lebar maksimum dapat mencapai 1,3cm. pertulangan daun berjumlah 10-25 pasang (gambar 2).
Gambar 1. Halophila ovalis
7
Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Helobiae Suku : Hydrocharitaceae Marga : Halophila Jenis : Halophila ovalis 2.1.2
Halodule uninervis
Bentuk daun pipih, panjang maksimumnya hanya 12cm, sedangkan lebar maksimum 4mm. Tulang daun tidak lebih dari tiga, dan menyerupai trisula (dua di tepi an satu ditengah) (gambar 7).
Gambar 2. Halodule uninervis
8
Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Helobiae Suku : Potamogetonaceae Marga : Halodule Jenis : Halodule uninervis 2.1.3
Cymodocea rotundata
Bentuk daunnya melengkung menyerupai selempang. Bagian pangkal menyempit dan ke arah ujung agak melebar. Ujung daunnya licin (halus) dengan bagian tengahnya melekuk ke arah dalam. Tulang daun berjumlah 9-15 dengan panjang 5-16 cm dan lebar 2-4 mm (gambar 9).
Gambar 3. Cymodocea rotundata (Chandra, 2011)
9
Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Helobiae Suku : Potamogetonaceae Marga : Cymodocea Jenis : Cymodocea rotundata 2.1.4
Thalassia hemprichii
Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku. Panjang daun 1-3 cm dan lebar daun 4-10 mm (gambar 11).
Gambar 4. Thalassia hemprichii (Chandra, 2011)
10
Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Helobiae Suku : Hydrocharitaceae Marga : Thalassia Jenis : Thalassia hemprichii 2.1.5
Enhalus acoroides
Memiliki akar yang panjangnya dapat mencapai 30 cm, dengan diameter > 1 cm, serta rambut-rambut kaku berwarna hitam yang merupakan sisa-sisa daun. Daunnya pipih dengan jumlah helaian 2-5. Panjang helaian 30-150 cm, dengan lebar 13-17 mm. Umumnya ujung daunnya tidak utuh lagi/putus yang diakibatkan oleh kekuatan gelombang. Ciri lainnya terdapat pada bunga (jantan dan betina) yang terdapat pada tumbuhan yang berbeda (dioecious). Umumnya bunga betina bertangkai panjang melekuk-lekuk seperti spiral, sedangkan bunga jantan bertangkai pendek lurus. Buahnya sendiri berukuran besar dengan permukaan luar berambut tebal (satu buah berisi 12 biji) (gambar 12).
Gambar 5. Enhalus acoroides
11
Klasifikasi : Kerajaan : Plantae Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Helobiae Suku : Hydrocharitaceae Marga : Enhalus Jenis : Enhalus acoroides 2.2
Peranan Lamun Lamun berfungsi sebagai perangkap sedimen. Daunnya, yang umumnya
berbentuk pita, bertindak sebagai perangkap bahan tersuspensi yang dibawa oleh arus ke daerah padang lamun. Rhizoma dan sistem perakarannya dapat menstabilkan sedimen sehingga dapat mencegah erosi, terutama saat terjadi badai, hujan dan banjir (Bjork, Short et al. 2008). Padang lamun telah dikenal berperan penting pada proses-proses yang berlangsung di pantai, antara lain: (1) sebagai tempat mencari makan dan persinggahan bagi berbagai tumbuhan serta hewan. (2) memperkaya produksi primer di perairan pantai, (3) menangkap dan mendaur ulang nutrient, (4) sebagai stabilisator sedimen dan garis pantai (Susetiono 2004) Padang lamun juga berperan sebagai suatu habitat perairan, yang memiliki karakteristik khas yang menjadikannya sesuai untuk dihuni oleh berbagai organisme. 2.3
Sebaran Geografik Lamun di Indonesia Di Indonesia, sampai saat ini telah tercatat 12 jenis lamun dan 1 jenis lagi,
Halophila beccarii, yang mungkin didapatkan. Jenis terakhir ini didapatkan di
12
Filipina (Menez et al. 1983) dan di Serawak (den Hartog 1970). Tetapi di Filipina tidak mempunyai Halophila decipiens yang didapatkan di Indonesia. Lamun tersebar pada sebagian besar perairan pantai di dunia. Hanya pada beberapa wilayah saja tumbuh-tumbuhan ini tidak ditemukan. Dari 7 marga lamun penghuni perairan tropik, 3 genera termasuk famili Hydrocharitaceae yaitu Enhalus,
Thalassia
Patamogetonaceae
dan yaitu
Halodule
dan
Halodule,
empat
genera
Cymodocea,
termasuk
famili
Syringodium
dan
Thalassodendron, semua termasuk sub-famili Cymodoceoideae. Meskipun demikian, ada beberapa genera yang mengandung spesies dengan sebaran meluas ke perairan subtropik dan ugahari hangat (warm temperate) misalnya Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium Di Indonesia, telah ditemukan 12 spesies lamun. Dari kedua belas spesies lamun yang terdapat di perairan Indonesia, beberapa spesies menunjukkan penyebaran yang sangat khusus seperti Thalassodendron ciliatum yang terdapat di Maluku, Nusa Tenggara, Kangean dan Kepulauan Riau. Halophila spinulosa terdapat di Kep. Riau, Anyer (Pulau Jawa), Baluran Utara (Besuki) dan Irian. Halophila decipiens terdapat di Teluk Jakarta (Pulau Jawa), Teluk Motimoti (Sumbawa) dan Kep. Aru. (Kiswara and Hutomo 1985).
13
Gambar 6. Sebaran geografik spesies lamun di Indonesia ( Den Hartog 1970; Soegiarto & Polunin 1981; dan Kiswara 1984).) 2.4
Parameter Lingkungan Komunitas Lamun Lamun membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk tumbuh dan
berkembang. Penyebaran lamun di perairan seluruh dunia juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa parameter lingkungan yang menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun dan perkembangan lamun diantaranya adalah: 2.4.1
Cahaya
Intensitas cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat vital bagi lamun untuk berfotosintesis. Intensitas cahaya ini sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan tingkat kekeruhan air. Menurut Duarte (1991) dalam Short dan
14
Coles (2003), kebutuhan minimum intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk tumbuh adalah sebesar 10-20 % dari intensitas cahaya di permukaan air. Lamun yang tumbuh pada kondisi mendekati level kompensasi atau kekurangan cahaya akan mencapai pertumbuhan optimal pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi akan membutuhkan cahaya yang cukup banyak untuk mengatasi pengaruh respirasi dalam rangka menjaga keseimbangan karbon (Tuwo, 2011). 2.4.2
Salinitas
Perubahan salinitas kurang berpengaruh seperti pada perubahan temperatur. Zostera marina dapat tumbuh pada salinitas 10-30 ‰ dan Thalassia pada salinitas 20-35 ‰ (Phillips, 1972 dalam Azkab 1999). Sedangkan Halodule pada daerah tropik dapat tumbuh pada salinitas 35-60 ‰, sehingga jenis ini lebih tinggi resistennya pada salinitas yang tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis lamun lainnya (Mcmillan dan Moseley, 1967 dalam Azkab 1999). Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35‰. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10-30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis (Dahuri, 2001). 2.4.3
Kedalaman
Kedalaman perairan berhubungan erat dengan intensitas cahaya dan tekanan dalam kolom air. Intensitas cahaya matahari akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Sedangkan tekanan dalam kolom air akan semakin meningkat. Sebagian besar jenis lamun hidup di daerah perairan dengan kedalaman kurang dari 10m. Jenis lamun berukuran kecil seperti genus Halophila, diketahui dapat tumbuh hingga kedalaman 58 meter di bawah
15
permukaan laut. Jenis lamun berukuran besar seperti Thalassia, Halodule, Enhalus dan Cymodocea lebih menyukai daerah perairan yang dangkal (Short dan Coles 2003). 2.4.4
Pasang Surut dan Paparan Ombak/Gelombang (Exposure)
Sebagian besar jenis lamun yang tumbuh di perairan dangkal, sangat dipengaruhi oleh pasang surut perairan. Saat surut terendah, daun lamun akan rebah, mengalami kekeringan dan terbakar oleh intensitas cahaya matahari yang tinggi. Sedangkan saat musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan daun lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles 2003). Di Kepulauan Spermonde, pasang tertinggi dan surut terendah setiap tahun terjadi
pada
bulan
Agustus-Desember.
Pasang
surut
dan
paparan
ombak/gelombang sangat berpengaruh bagi komunitas lamun yang tumbuh di daerah perairan yang dangkal. Arus pasang surut yang kuat, dapat menarik sedimen atau pasir keluar menjauh dari pantai, sehingga akan menimbun daun lamun yang tumbuh di dasar perairan. Pulau kecil seperti Bonebatang, umumnya memiliki perbedaan pasang surut yang kecil (Erftemeijer dan Herman 1994). 2.4.5
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran lamun. Suhu yang terlalu tinggi dapat mengganggu terjadinya fotosintesis, terhambatnya proses pembungaan dan perkecambahan biji. Kenaikan suhu juga dapat memicu terjadinya kenaikan laju respirasi yang berakibat pada meningkatnya laju metabolisme dan terganggunya proses fisiologis dalam sel (Hemminga dan Duarte 2000; Short dan Coles 2003; Waycott et al. 2004).
16
2.4.6
Asosiasi makrozoobentos dengan padang lamun
Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat fisiknya, bentos dibedakan menjadi dua kelompok diantaranya fitobentos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos yaitu organisme bentos yang bersifat hewan (Lawrence 2005). Makrozoobentos adalah hewan invertebrata yang hidup di bawah atau di dasar perairan, yang berukuran lebih dari 1 mm, contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea (Graaf, Vlas et al. 2009). Menurut Ardi (2002), hewan bentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan. Berdasarkan kebiasaan hidupnya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua, yaitu infauna adalah bentos yang hidup didalam sedimen; dan epifauna adalah bentos yang hidup menempel pada daun-daun lamun dan di atas dasar laut (Romimohtarto and Juwana 2001). Padang lamun merupakan daerah asuhan atau daerah perlindungan bagi kelangsungan hidup berbagai biota (Nontji, 2005). Menurut Howard et al (1989) ada empat kelompok besar fauna di padang lamun, yaitu: 1. Infauna motil merupakan hewan yang hidup di dalam sedimen di antara rizoma.
17
2. Epifauna motile merupakan hewan yang berukuran lebih kecil dan bergerak berasosiasi dengan permukaan sedimen, hancuran lamun dan di helaian lamun. 3. Epifauna sesil merupakan hewan yang hidup secara permanen melekat di atas helaian lamun 4. Fauna epibentik merupakan hewan yang berukuran lebih besar, mampu bergerak bebas dan lebih berasosiasi dengan padang lamun dari pada lamun secara individual. 2.4.7
Faktor Fisika-Kimia yang Memengaruhi komunitas Makrozoobentos
Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika-kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi. Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan kualitas perairan. Faktor
abiotik
(fisika-kimia)
perairan
yang
memengaruhi
komunitas
makrozoobentos antara lain: 1. Kecepatan Arus Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kaitannya dengan kecepatan arus Odum (1993) dalam Suradi (1993) 2. DO (Disolved Oxygen) Oksigen terlarut penting untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperature. Kelarutan
18
maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 00C sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45-7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar 6-8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. 3. pH (Derajat Keasaman) Nilai yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004). 2.4.8
Indeks Keanekaragaman (H’)
Dalam suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik yang dapat diukur, yaitu keanekaragaman, keseragaman, dominansi, kelimpahan dan pertumbuhan. Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan.
Semakin
besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-masing jenis atau genera (Odum, 1993). Keanekaragaman (H’) mempunyai nilai terbesar jika semua individu berasal dari genus atau spesies yang berbeda-beda, sedangkan nilai terkecil jika semua individu berasal dari satu genus atau satu spesies saja (Odum, 1993).
19
Kategori Indeks Keanekaragaman dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman No
Keanekaragaman
Kategori
1
H’ < 2,0
Rendah
2
2,0 < H’ < 3,0
Sedang
3
H' ≥ 3,0
Tinggi
Nilai indeks keanekaragaman dengan kriteria sebagai berikut : Jika H’ < 2
: Keanekaragaman genera/spesies rendah, penyebaran jumlah individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan perairan telah tercemar.
Jika 2 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu sedang dan kestabilan perairan telah tercemar sedang. Jika H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies/genera
tinggi,
kestabilan
komunitas
tinggi
dan
perairannya masih belum tercemar. Keseragaman hewan bentos dalam suatu perairan dapat diketahui dari indeks keseragamannya. Semakin kecil nilai indeks keseragaman organisme maka penyebaran individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu (Odum, 1993). Tabel 2. Kategori indeks keseragaman (E) No
Kesekaragaman
Kategori
1
0,00 < E < 0,50
Komunitas Tertekan
2
0,50 < E < 0,75
Komunitas Labil
3
0,75 < E < 1,00
Komunitas Stabil
(Sumber Odum, 1993) Dominansi dapat diketahui dengan menghitung indeks dominansinya. Nilai indeks dominansi yang tinggi menyatakan bahwa konsentrasi dominansi yang rendah, artinya tidak ada jenis yang mendominasi komunitas tersebut.
20
Sedangkan nilai dominansi yang rendah menyatakan konsentrasi dominasi yang tinggi, artinya terdapat jenis yang mendominansi dalam komunitas tersebut, karena jika ada jenis yang mendominasi maka keseimbangan komunitas akan menjadi
tidak
stabil
dan
akan
mempengaruhi
keanekaragaman
keseragaman (Odum, 1993). Tabel 3. Kategori indeks dominansi (C) No
Dominasi
Kategori
1
0,00 < C < 0,50
Rendah
2
0,50 < C < 0,75
Sedang
3
0,75 < C < 1,00
Tinggi
(Sumber Odum, 1993)
21
dan
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November
2012 pada perairan Pulau Bonebatang Kota Makassar. Identifikasi sampel makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat dan Bahan di Lapangan
Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan yaitu traksek kuadran 1 m x 1 m untuk sampling, sieve net untuk mengayak, grab dengan bukaan berukuran 20 cm x 20 cm untuk sampling sampel makrozoobentos yang berada pada sedimen. GPS untuk menentukan titik koordinat pengambilan sampel,
coolbox untuk menyimpan sampel dan peralatan, spidol permanen untuk penanda kantong sampel, pensil dan sabak sebagai alat tulis menulis. Water Quality Checker (WQC) untuk mengukur suhu, pH, Dissolved Oksigen dan kekeruhan, handrefractometer untuk mengukur salinitas, layang-layang arus untuk mengukur kecepatan arus, kompas bidik untuk mengukur arah arus, stop watch untuk mengukur waktu dan alat selam dasar untuk mempermudah pengambilan data lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian di lapangan yaitu kantong sampel untuk menyimpan sampel makrozoobentos dan formalin atau alkohol 70% untuk mengawetkan sampel. 3.2.2
Alat dan Bahan di Laboratorium
Alat yang digunakan di laboratorium adalah lup, pinset, loyang untuk memudahkan dalam proses penyortiran sampel, botol sampel untuk menyimpan sampel, buku identifikasi untuk membantu dalam proses identifikasi sampel, lap kasar dan lap halus untuk membersihkan alat-alat, makroskop untuk mengamati sampel dengan jelas, kamera untuk dokumentasi sampel makrozoobentos dan alat tulis menulis untuk mencatat hasil pengamatan. Bahan yang digunakan adalah, kertas label untuk penanda. 3.2.3
Prosedur Penelitian
1. Pemilihan plot pengambilan sampel makrozoobentos Pemilihan plot didasarkan pada jenis lamun dengan parameter yang diukur tiap plot meliputi suhu, pH, DO, kekeruhan, salinitas Kecepatan arus dan arah arus. 2. Pengambilan sampel makrozoobentos Pengambilan sampel makrozoobentos tiap stasiun dilakukan pada tiap titik dengan menggunakan transek kuadrat 1 m x 1 m dengan 3 kali pengulangan.
23
Sedimen diambil dengan menggunakan sekop yang memiliki bukaan 20 cm x 20 cm, setelah itu sampel makrozoobentos disaring dengan menggunakan sieve net ukuran 1 mm. Organisme yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel, sedangkan organisme yang mudah hancur seperti cacing dimasukkan ke dalam kantong sampel yang berisi alkohol 70% dan dipisahkan antara makrozoobentos dengan sedimen. 3. Tahap identifikasi sampel Sampel yang telah disortir kemudian akan diidentikasi menggunakan makroskop
dengan
bantuan
buku
identifikasi
makrozoobentos.
Buku
makrozoobentos adalah Dharma (1988), Carpenter dan Niem (1998) dan Bruyne (2004). 3.3
Pengolahan Data
3.3.1
Kerapatan Jenis lamun
Menurut Brower et al., (1990) rumus yang digunakan dalam perhitungan lamun sebagai berikut: Kerapatan jenis (Di) Di=ni / A Keterangan: Di : Kerapatan jenis (ind/m2) ni : Jumlah total tegakan dari jenis ke-i A : luas area plot pengamatan 3.3.2
Makrozoobentos
3.3.2.1 Komposisi Jenis Jenis-jenis makrozoobentos yang diperoleh dikelompokkan menurut genus dan dihitung persentasenya. Hasilnya dibuat dalam bentuk diagram lingkar.
24
3.3.2.2 Kepadatan (K) Kepadatan organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus Shanon-Wiener (Odum 1993): K = 10000 x xi nxa Keterangan: K : Kepadatan individu (ind/m2) xi : Total individu pada 3 kisi (ind) n
: jumlah ulangan tiap titik (3 kali)
a
: luas transek kuadran (20 cm x 20 cm ) = 400 cm2
10000 : Nilai konversi dari cm2 ke m2 3.3.2.3 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya, dan akan menyatakan struktur komunitasnya. Keanekaragaman makrozoobentos dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Odum 1993): H’ = - Σ Pi ln Pi ; Pi= ni/N Keterangan : H’ : Indeks keanekaragaman jenis Pi : ni/N (Proporsi spesies ke-i) ni : Jumlah individu jenis N : Jumlah total individu Semakin
besar
nilai
indeks keanekaragaman
maka
semakin tinggi
keanekaragaman jenisnya, berarti komunitas biota di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominasi oleh satu atau dua jenis.
25
3.3.2.4 Indeks Keseragaman Indeks
keseragaman
organisme
makrozoobentos
dihitung
dengan
menggunakan rumus Evennes Indeks (Odum 1993): E = H’ / LnS Keterangan: E = Indeks keseragaman jenis H’ = Indeks keaneka ragaman jenis S = Jumlah jenis organisme 3.3.2.5 Indeks Dominansi Indeks dominasi organisme makrozoobentos dihitung dengan menggunakan rumus odum 1993: C = ∑ (ni/N)2 Keterangan : C = indeks dominasi ni = jumlah individu setiap spesies N = jumlah total individu 3.4
Analisis ukuran butiran sedimen Untuk mengukur ukuran partikel digunakan metode penyaringan kering (dry
sieving) berdasarkan skala Wenworth. Saringan yang digunakan adalah saringan bertingkat yang mempunyai ukuran antara 2 mm-0,063 mm. Sedimen yang diambil terlebih dahulu dikeringkan melalui sinar matahari dan panas oven dengan suhu 1800C-2000C. Metode yang digunakan mengklasifikasikan substrat pasir dan lumpur dengan prosedur sebagai berikut: 1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100 gram, lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15 menit dengan gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan partikel sedimen
26
berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0, 25 mm, 0, 125 mm, 0,063 mm dan < 0, 063 mm 2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga bersih lalu ditimbang % Berat = (Berat Hasil Ayakan / Berat awal) x 100% Untuk
mengklasifikasikan
pertikel-partikel
sedimen
digunakan
skala
Wenworth : Tabel 4. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen Terminologi Diameter (mm) Kerikil Bolder (boulder) > 256 Bongkah (Cobble) 64 – 256 Kerakal (Pebble) 4 – 64 Kerikil (Granule) 2–4 Pasir ( Sand ) Pasir sangat kasar (Very Coarse 1-2 Sand) Pasir Kasar (Coarse Sand) 0,5 – 1 Pasir Sedang (Medium Sand) 0,25 – 0,5 Pasir Halus (Fine Sand) 0,125 – 0,25 Pasir Sangat Halus (Very Fine 0,0625 – 0,125 Sand) Lumpur (Mud) Lanau (Silt) 0,0039 – 0,0625 Lempung (Clay) < 0,0039 (Sumber Hutabarat dan Evans, 2000) 3.5
Analisis Data Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobentos akan dibandingkan antar plot
pengamatan yang mewakili jenis lamun yang berbeda dengan menggunakan uji One-way ANOVA. Struktur komunitas makrozoobentos antar plot pengamatan akan disajikan dalam bentuk histogram dan dibandingkan secara deskriptif.
27
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Parameter Lingkungan Dari hasil pengukuran yang dilakukan di lapangan nilai pH pada kelima plot adalah 8 dan tersebar secara merata (tabel 5). Hal sesuai dengan Barus (2004) yang menyatakan bahwa nilai yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Dari hasil pengukuran parameter lingkungan di Pulau Bonebatang, diketahui bahwa kisaran salinitas dari masing-masing plot tidak jauh berbeda (Tabel 5), menunjukkan kisaran 30 permil, suatu nilai yang baik bagi lamun untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Short dan Coles 2003). Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap
ekosistem
lamun.
Suhu juga
menjadi faktor
pembatas
bagi
pertumbuhan dan distribusi lamun. Hasil pengukuran suhu di Pulau Bonebatang menunjukkan kisaran antara 29 – 32⁰C. Kisaran suhu ini masih mendukung komunitas lamun untuk tumbuh dan berkembang (Short dan Coles 2003). Saat surut terendah, sebagian daun lamun di perairan dangkal Pulau Bonebatang akan terekspose ke permukaan. Intensitas cahaya matahari yang tinggi menyebabkan daun lamun mengalami kekeringan, terbakar dan akhirnya mati. Serasah daun lamun yang terdampar di tepi pantai atau terjebak di antara tegakan lamun akan membusuk dan terurai menjadi bahan organik yang dibutuhkan oleh lamun dan organisme lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Serasah daun lamun ini merupakan sumber bahan organik yang penting bagi perairan tropis yang dikenal miskin akan unsur hara (Vonk 2008). Kematian massal dari daun lamun, yang berguguran atau lepas saat surut terendah, akan memicu lamun untuk segera menumbuhkan daun yang baru. Dengan demikian,
suhu berperan penting dalam regenerasi lamun (Hemminga dan Duarte 2000: Short dan Coles 2003). Tabel 5. Parameter lingkungan di Pulau Bonebatang Kec. Arah BOT Suhu Salinitas 2 Plot Titik Ulangan pH Arus arus (gr/m (0C) (0/00) (m/s) (derajat) AFDW) I 8 29 30 0.02 290 Halodule PI II 8 29 30 0.02 272 0,163 III 8 29 30 0.02 265 I 8 30 30 0.02 270 Thalassia PII II 8 30 30 0.02 275 0,158 III 8 30 30 0.02 280 I 8 30 30 0.03 305 Halophila PIII II 8 30 30 0.02 305 0,121 III 8 30 30 0.03 305 I 8 31 30 0.03 325 Enhalus PIV II 8 31 30 0.03 320 0,153 III 8 31 30 0.03 325 I 8 32 30 0.03 325 Cymodocea PV II 8 32 30 0.03 340 0,13 III 8 32 30 0.03 340 Hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan layang-layang arus dan kompas bidik pada masing-masing plot kecepatan arus berkisar antara 0,020,03 (m/s) dan arah arus antara 2650-3400 ke arah Barat. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan arus di daerah tersebut. Sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen. Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses pelapukan. Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang dibawa ke laut melalui sungai. Sedangkan material lainnya berasal dari proses pelapukan material yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup (Mc Lachlan dan Brown 2006).
29
Jenis Substrat (mm) 1 mm (Pasir kasar) 0,78 mm (Pasir kasar) 1 mm (Pasir kasar) 0,68 mm (Pasir kasar) 0,5 mm (Pasir sedang)
Karakteristik sedimen yang paling penting adalah ukuran butiran sedimen. Hal ini terkait dengan kemampuan sedimen tersebut untuk mengikat bahan organik dan nutrien yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun dan biota asosiasi yang hidup di dalamnya. Karakteristik sedimen yang lain adalah porositas dan permiabilitas. Porositas terkait dengan kemampuan butiran pasir untuk mengisi ruang yang kosong dalam suatu volume tertentu. Sedangkan permiabilitas adalah kemampuan dari sedimen untuk melewatkan air (Mc Lachlan dan Brown, 2006). Porositas terkait dengan ukuran butiran sedimen. Makin kecil (halus) ukuran butiran sedimen, makin banyak ruang antar butiran sedimen yang terisi. Hal
ini
menyebabkan
sedimen
yang
halus
memiliki
kemampuan
menyimpan/menahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik. Hal ini menjelaskan mengapa kandungan bahan organik dan nutrien pada sedimen halus umumnya relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam sedimen halus menyebabkan kemampuan sedimen halus unutk melewatkan air (permeabilitas), menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran butiran yang lebih besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah kehilangan kandungan bahan organik/ nutrien (Knox 2001; Mc Lachlan dan Brown 2006). Hasil analisis sampel struktur sedimen dari Pulau Bonebatang (Tabel 5), menunjukkan bahwa, kondisi substrat pada setiap plot lebih banyak didominasi oleh pasir kasar. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan arus di daerah tersebut. Sebaliknya, proporsi kerikil yang besar,
30
menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen. Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari serasah daun lamun yang telah mati. Dari hasil analisis bahan organik di laboratorium pada masing-masing plot berkisar antara 0,121-0,153 gr/m2 AFDW (Tabel 5). 4.2 Struktur Komunitas Makrozoobentos 4.2.1
Komposisi Jenis Makrozoobentos Dari hasil penelitian di Pulau Bonebatang diperoleh jumlah total
makrozoobentos 60 spesies. Pada plot Halodule didominasi oleh spesies Tellina remies, Modiolus auriculatus dan Cerithium rostratum yaitu sebanyak 7, 6 dan 5 individu, plot Thalassia didominasi oleh spesies Tellina remies,Timoclea marica, Cerithium rostratum dan Cypraea Sp masing-masing berjumlah 3, 3, 2 dan 2 individu. Plot Halophila
didominasi oleh spesies Cerithium rostratum dan
Cerithium balteatum masing berjumlah 7 dan 5 individu, plot Enhalus didominasi oleh spesies Modiolus auriculatus yang berjumlah 12 individu dan plot Cymodocea didominasi oleh spesies Tellina remies, Modiolus auriculatus, Cerithium rostratum dan Timoclea marica masing-masing berjumlah 13, 11, 6 dan 6 individu (Tabel 6).
31
Dari uraian di atas diketahui bahwa pada Plot Halodule, Thalassia, Enhalus dan Cymodocea didominasi oleh kelas Bivalvia, sedangkan Plot Halophila didominasi oleh kelas gastropoda. Menurut Hemminga dan Duarte (2000), dalam ekosistem lamun, kerang Bivalvia mencari makan dengan cara menyaring partikel organik terlarut (suspension feeder). Dan kelompok gastropoda bersifat karnivora pemakan daging, pemakan bangkai (scaveger) atau pemakan detritus dan mikroalga yang menempel di daun lamun (detritivor). Plot Halodule, Thalassia, Enhalus dan Cymodocea didominasi oleh kelas Bivalvia karena memiliki tingkat perlindungan yang lebih tinggi dari para predator dan kondisi lingkungan seperti arus dan gelombang. Sedangkan pada plot Halophila didominasi kelas gastropoda karena areanya lebih terbuka yang memungkinkan mendapatkan makanan yang lebih banyak. Pada Tabel 6 dapat kita lihat beberapa jenis makrozoobentos yang spesifik pada lamun tertentu seperti pada plot Halodule yaitu jenis Natica fasciata, Peristernia ustulata, Pisanea ignea dan Viriola corrugate. Plot Thalassia yaitu Antigona
Sp,
Barbatia
foliata,
Callocardia
Sp,
Cerithium
punctatum,
Laevistrombus Sp, Limaria cumingii, Lioconcha castrensis, Nassarius (Zeuxis) Sp dan Trachycardium Sp. Plot Halophila yaitu jenis Cypraea silindrica, Engina alveolata, Modiolus Sp, Natica sertata, Natica Sp dan Pseudostomatella Sp. Plot Enhalus yaitu jenis Cancer productus, Cymbiola (Aulicina) verspertilio, Donisia dilecta, Liotina pironii, Nassarius Sp, Otopleura auriscati, Pleuplora trapezium, Spondylus Sp, Strombus (Dolomena) marginatus marginatus, Strombus urceus dan Tapes dorsatus. Plot Cymodocea yaitu jenis Circe placatina, Fulfia papyracea, Pinna muricata, Quadrans gargadia, Troncus radiatus, Vexillum axasperatum dan Xesta semipartilia semipartilia.
32
Hemminga dan Duarte (2000), menyatakan bahwa keberadaan suatu jenis makrozoobentos keberadaan
di
vegetasi
daerah lamun.
lamun
tidak
Faktor
bergantung
lingkungan
sepenuhnya
seperti
pada
hidrodinamika,
karakteristik substrat, kedalaman dan salinitas seringkali lebih memiliki pengaruh terhadap keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun. Beberapa jenis kerang bivalvia ditemukan hidup menempel di substrat keras di daerah lamun akibat terbawa arus, saat kerang tersebut masih berada pada fase larva. Jenis biota laut lainnya, hanya tinggal sementara di daerah lamun, untuk menghabiskan sebagian dari daur hidup awalnya untuk berlindung dari pemangsa. Tabel 6. Tabel komposisi jenis makrozoobentos pada tiap plot No
Jenis Lamun
Makrozoobentos Halodule
Thallasia
Halophila
Enhalus
Cymodocea
Antigona Sp
-
1
-
-
-
2
Archaster typicus
-
1
-
1
-
3
1
Barbatia foliata
-
1
-
-
-
4
Callocardia Sp
-
1
-
-
-
5
Cancer productus
-
-
-
2
-
6
Cerithium balteatum
2
1
5
-
-
7
Cerithium punctatum
-
1
-
-
-
8
Cerithium rostratum
5
3
7
-
6
9
Circe plicatina
-
-
-
-
1
10
Clanculus Sp
-
-
-
1
-
11
Codakia tigerina
-
-
1
-
1
12
Cymbiola (Aulicina) verspertilio
-
-
-
1
-
13
Cypraea silindrica
-
-
1
-
-
14
Cypraea Sp
-
2
2
1
-
15
Diadema setosum
-
1
-
2
2
16
Donisia dilecta
-
-
-
1
-
17
Engina alveolata
-
-
1
-
-
18
Euthria Sp
-
-
2
1
-
19
Fulfia papyracea
-
-
-
-
3
20
Heleacus Sp
-
-
1
-
-
21
Jujubinus Sp
-
1
1
-
-
22
Laevistrombus Sp
-
1
-
-
-
23
Limaria cumingii
-
1
-
-
-
24
Lioconcha castrensis
-
1
-
-
-
25
Liotina pironii
-
-
-
1
-
33
26
Littoralia intermedia
2
-
1
1
-
27
Mitra Sp
-
-
1
-
-
28
Modiolus auriculatus
6
1
1
12
11
29
Modiolus Sp
-
-
1
-
-
30
Nassarius (Zeuxis) Sp
-
1
-
-
-
31
Nassarius albescens
-
-
2
1
-
32
Nassarius Sp
-
-
-
1
-
33
Natica fasciata
1
-
-
-
-
34
Natica sertata
-
-
1
-
-
35
Natica Sp
-
-
1
-
-
36
Notocholis venestula
-
-
2
-
1
37
Otopleura auriscati
-
-
-
1
-
38
Peristernia ustulata
2
-
-
-
-
39
Phasianella solida
-
-
-
2
1
40
Pinna muricata
-
-
-
-
1
41
Pisanea ignea
1
-
-
-
-
42
Pleuplora trapezium
-
-
-
1
-
43
Pseudostomatella Sp
-
-
3
-
-
44
Quadrans gargadia
-
-
-
-
2
45
Solemya togata
-
-
2
-
-
46
Spataganus purpureus
-
-
2
-
1
47
Spondylus Sp
-
-
-
1
-
48
Strombus (Dolomena) marginatus marginatus
-
-
-
1
-
49
Strombus urceus
-
-
-
1
-
50
Tapes dorsatus
-
-
-
1
-
51
Tellina radiata
1
1
1
-
2
52
Tellina remies
7
3
1
2
13
53
Timoclea marica
1
2
1
-
6
54
Trachycardium Sp
-
1
-
-
-
55
Trachycardium subrucosum
-
-
-
-
-
56
Tripnesustes gratilla
-
-
1
2
2
57
Troncus radiatus
-
-
-
-
1
58
Vexillum axasperatum
-
-
-
-
1
59
Viriola corrugata
1
-
-
-
-
60
Xesta semipartilia semipartilia
-
-
-
-
2
Lamun dikenal sebagai produsen autotrofik yang memiliki produktifitas tinggi di laut. Proses fotosintesis menghasilkan bahan organik berupa senyawa karbon yang terkonsentrasi di daun dan rhizoma lamun (Barron dan Duarte 2009). Senyawa karbon yang ada terkandung dalam jaringan lamun berkisar antara 30 %- 40% dari total berat kering lamun (Hemminga dan Duarte 2000).
34
Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan menjebak material organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau bahkan dari serasah daun lamun yang telah mati. Dari hasil analisis kandungan bahan organik dalam sedimen pada tiap-tiap plot didapatkan plot Halodule, Thalassia, Enhalus memiliki kandungan bahan organik yang tinggi yaitu 16,3%, 15,8%, dan 15,3% (lihat Tabel 5). Tingginya bahan organik yang ditemukan pada ketiga plot tersebut dapat memengaruhi populasi organisme dasar. Menurut Wood (1987) menyatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Menurut Koch (2001) dalam Short dan Coles (2003), kandungan bahan organik dalam sedimen di daerah lamun berkisar antara 0,5 % - 16,5 %, tetapi umumnya kurang dari 5 % (lihat tabel 5). Dengan demikian, kandungan bahan organik dalam sedimen di daerah lamun Pulau Bonebatang masih berada pada kisaran optimal yang dapat mendukung pertumbuhan lamun. Plot Cymodocea memiliki jumlah jenis makrozoobentos yang paling tinggi dengan jumlah jenis yang ditemukan sebanyak 48 jenis, kemudian plot Halophila dengan jumlah jenis 42 dan plot Enhalus 38 jenis (Gambar 9). Banyaknya jenis makrozoobentos yang ditemukan dari ketiga plot tersebut dapat dikaitkan dengan bahan organik total (BOT) yang tergolong tinggi (lihat Tabel 5).
35
Jumlah Jenis Antar Plot 60
Individu
50 40 30 20 10 0 Halodule
Thalassia
Halophila
Enhalus
Cymodocea
Gambar 8. Jumlah jenis makrozoobentos antar plot Kneer (2006) menyatakan bahwa dalam komunitas lamun yang berusia lebih tua, biota laut yang berasosiasi dengan lamun akan memiliki kesempatan yang lebih lama untuk berkembang dan membentuk rantai makanan yang lebih kompleks. Biota laut yang berkunjung, berlindung atau menetap di daerah lamun pun menjadi lebih banyak dan beragam. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari Vonk (2008; 2010) yang melaporkan adanya pengaruh yang signifikan dari struktur kanopi yang dibentuk oleh tegakan Enhalus acoroides terhadap tingginya kelimpahan populasi biota asosiasi di daerah lamun Pulau Bonebatang. Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitungnya sebesar 0,860 dengan nilai signifikan sebesar 0,520 (α>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar stasiun dalam hal ini jumlah jenis makrozoobentos. 4.2.2
Kepadatan Jenis Makrozoobentos Ditemukan
60 spesies makrozoobentos yang tersebar di 5 plot
pengamatan yang terdiri dari 5 Filum yaitu Moluska yang terdiri dari 34 spesies kelas Gastropoda dan 21 spesies kelas Bivalvia, Echinodermata yang terdiri dari
36
1 spesies kelas Asteroidea, 3 spesies kelas Echinoidea, Arthropoda yang terdiri dari 1 spesies kelas Crustacea. Plot Cymodocea memiliki nilai kepadatan yang paling tinggi yaitu sebesar 133 ind/m2 (Gambar 10). Tingginya kepadatan makrozoobentos pada plot Cymodocea dapat dikaitkan oleh beberapa parameter fisika seperti jenis substrat yang didominasi oleh substrat sedang dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk makrozoobentos. Selain itu, kandungan bahan organik pada plot tersebut cukup tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) yang menyatakan bahwa substrat pasir merupakan habitat yang paling disukai makrozoobentos. Tingginya kepadatan makrozoobentos pada plot Cymodocea, Enhalus dan Halophila dapat dikaitkan dengan bentuk morfologi dari ketiga plot tersebut. Bentuk morfologi dari plot Cymodocea dan Enhalus dimanfaatkan kelas bivalvia untuk perlindungan sedangkan pada plot Halophila dimanfaatkan kelas gastropoda untuk mencari makan karena areanya lebih terbuka. Dari hasil analisis uji anova diperoleh nilai f hitung sebesar 0,914 dengan nilai signifikan sebesar 0,492 (>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar plot dalam hal ini kepadatan jenis makrozoobentos.
Kepadatan makrozoobentos (Ind/m2)
160 140 120
100 80 60 40 20 0 Halodule
Thalassia
Halophila
Enhalus
Cymodocea
Gambar 9. Kepadatan makrozoobentos pada tiap-tiap plot 37
4.3 Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Makrozoobentos Pada penelitian ini nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi ditemukan di plot Halophila yaitu 3,03 yang berarti pada plot tersebut ditemukan banyak jenis, sedangkan plot Halodule dan Cymodocea masing-masing memiliki nilai yang rendah yaitu 2,11 dan 2,52 (Gambar 10). Dari nilai yang didapat, diketahui bahwa komunitas makrozoobentos yang ditemukan pada lokasi penelitian agak beragam. Nilai kenekaragaman tinggi diperoleh jika ditemukan banyak individu dan semua individu berasal dari jenis atau genera yang berbeda–beda dan akan mempunyai nilai kecil atau sama dengan nol jika suatu individu berasal dari beberapa atau satu jenis saja (Odum, 1971). Untuk nilai indeks keseragaman (E), plot Thalassia memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 0,97 yang berarti komunitas pada plot tersebut dalam kondisi stabil. Plot Thalassia memiliki indeks keseragaman yang lebih baik dibandingkan stasiun lainnya karena jumlah individu dari tiap jenis makrozoobentos yang ditemukan lebih merata. Untuk nilai indeks dominasi (C), plot Enhalus dan Cymodocea memilki nilai yang sama yaitu 0.12 dan yang terendah pada plot Thalassia dan Halophila yaitu 0.06. Nilai indeks dominansi (C) pada penelitian ini berkisar 0,00 < C < 0,50 yang termasuk dalam kategori rendah, sehingga tidak ditemukan dominansi dari suatu spesies terhadap spesies lain di semua plot penelitian.
38
3,5
2,5
3,03
2,90
3
2,67
2,52
2,11
2 1,5 1 0,5
0,88
0,15
0,97
0,06
0,94
0,86
0,85
0,12
0,06
0,12
0 Halodule
Thalassia
Indeks keanekaragaman (H')
Halophila
Enhalus
Indeks keseragaman (E)
Cymodocea
Indeks dominasi (C)
Gambar 10. Indeks Ekologi makrozoobentos di setiap plot
39
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 1. Jumlah makrozoobentos yang diperoleh berdasarkan jenis lamun antara lain pada plot Cymodocea 48 jenis, plot Halophila 42 jenis, plot Enhalus 38 jenis, plot Halodule didapatkan 29 jenis dan plot Thalassia didapatkan 26 jenis. 2. Kepadatan makrozoobentos yang diperoleh adalah pada plot Cymodocea 133 ind/m2, plot Halophila 166 ind/m2, plot Enhalus 105 ind/m2, plot Halodule 80 ind/m2 dan plot Thalassia 72 ind/m2.
3.
Jenis makrozoobentos yang spesifik pada lamun tertentu seperti pada plot Halodule yaitu jenis Natica fasciata, Peristernia ustulata, Pisanea ignea dan Viriola corrugate. Plot Thalassia yaitu jenis Antigona Sp, Barbatia foliata, Callocardia Sp, Cerithium punctatum, Laevistrombus Sp, Limaria cumingii, Lioconcha castrensis, Nassarius (Zeuxis) Sp dan Trachycardium Sp. Plot Halophila yaitu jenis Cypraea silindrica, Engina alveolata, Modiolus Sp, Natica sertata, Natica Sp dan Pseudostomatella Sp. Plot Enhalus yaitu jenis Cancer productus, Cymbiola (Aulicina) verspertilio, Donisia dilecta, Liotina pironii, Nassarius Sp, Otopleura auriscati, Pleuplora trapezium, Spondylus Sp, Strombus (Dolomena) marginatus marginatus, Strombus urceus dan Tapes dorsatus. Plot Cymodocea yaitu jenis Circe placatina, Fulfia papyracea, Pinna muricata, Quadrans gargadia, Troncus radiatus, Vexillum axasperatum dan Xesta semipartilia semipartilia.
5.2 Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan tentang kondisi oseanografi fisika dan kimia pada lamun yang monospesifik dan mulitispesifik kaitannya dengan keberadaan makrozoobentos.
41
DAFTAR PUSTAKA Asmus H, Saleh A, Litaay M, Priosambodo D. 2006. Struktur Komunitas Makrozoobentos do perairan Pulau Barranglompo, Jurnal Biologi 2006;0835-4489. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Azkab, M. H. (1999). "Petunjuk Penanaman Lamun." Oseana 24(3): 11-25. Barron C, Duarte CM. 2009. Dissolved organic matter release in a Posidonia oceanica meadow. Mar.Ecol.Prog.Ser.374:-75-84. Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU Press. Bjork, M., F. Short, et al. (2008). Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change, IUCN, Gland, Switzerland. Brower J.E, J.H Zar, C.N von Ende. 1990. Fields and Laboratory Methods for General Ecology; 3rd edition. Wn. C. Brown Publs, Dubuque. Carpenter, Kent E., 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pasific. Department Of Biological Science Old Dominion University Norfolk, Virginia 23529, USA. Chandra Nur., 2011. Inventarisasi Jenis Lamun dan Gastropoda yang Berasosiasi di Pulau Karampuang Mamuju. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Unhas. Makassar. Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta. den Hartog C. 1970. The Seagrass of The World. Amsterdam: North Holland. De Wilde PAWJ, Kastoro WW, Berghuis EM, Aswandy I, Al Hakim I, Kok A. 1989. Structure and energy demand of the benthic soft-bottom communities in the Java Sea and around the islands of Madura and Bali, Indonesia. Nether. Jour. Sea Res. 23 (4): 449-461). Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT Sarana Graha. Jakarta. Erftemeijer PLA, Herman PMJ. 1994. Seasonal Change in Enviromental Variable, Biomass, Production and Content Nutrient in Two Contrasting Tropical Intertidal Seagrass Beds in South Sulawesi (Indonesia). Oecologia 99: 4559. Erftemeijer PFA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interaction in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Mar.Ecol.Prog.Ser. 102: 187-198. Fortes M. D., 1990. Seagrasses: A Resource Unknown in The ASEAN Region. CLARM Educational Series 5. Manila. Philippines. International Center for Living Aquatic Resources Management. Hemminga MA, Duarte CM. 2000. Seagrass Ecology. London-United Kingdom (UK): Cambridge University Press. 42
Khouw AS. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Bogor: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Kiswara, W., (1997). Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II, Jakarta: P3O LIPI. Hal. 54-61. Kiswara, W. and M. Hutomo (1985). "Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun." Oseana 10(1): 21-30. Kiswara W. 2004. Kondisi Padang Lamun (Seagrass) di Perairan Teluk Banten 1998-2001. Jakarta: Lembaga Penelitian Oseanografi. Kneer D. 2006. The Role of Neaxius acanthus (Thalassinidea: Strahlaxiidae) and it’s burrows in a tropical seagrass meadow, with some remarks on Coralianassa coutierei (Thalassinidea: Calianassidae). [Diploma Thesis]. [Diploma Thesis]. Berlin: Freie University. Kuo, J. dan C. den Hartog. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. In A.W.D. Larkum, R.J. Orth dan C.M. Duarte (ed). Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht. Netherlands. Lawrence, E. (2005). Henderson's Dictionary of Biology. Harlow, Pearson Prentice Hall. Lind, O. T. 1979. Hand Book of Common Method in Limnology. CV. Mosby. St. Louis, Toronto. London. Menez, G.E, G.R. Phillips and P.H. Calumpong. 1983. Seagrasses from the Phillippines. Smithsonian Institution Press. City of Washington. 40 p. McLachlan A dan Brown A. 2006. The Ecology of Sandy Shores. California USA: Academic Press. Niem, Volker H., 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pasific. Marine Resources Service Species Identification and Data Programme Fisheries Department Food and Agriculture Organization Viale Kolle Terme. Caracalla 00100, Rome, Italy. Nienhuis PH, Coosen J, Kiswara W.1989. Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Nether. Jour. Sea Res. 23 (2): 197-214). Nontji, A. (2005). Laut Nusantara. Jakarta, Djambatan. Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Phillips, R.C. and E.G. Menez 1988. seagrasses. Smithsonion Institution Press. Washington D.C. : 104 pp. Priosambodo D. 2007. Sebaran jenis-jenis lamun di Sulawesi Selatan. Jurnal Bionature No. 1 Vol. 8 (8-17) April 2007. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Negeri Makassar
43
Romimohtarto, K. and S. Juwana (2001). Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Jakarta, Djambatan. Sanusi, H. 2004. Karakteristik Kimiawi dan Kesuburan Perairan Teluk Pelabuhan Ratu pada Musim barat dan Timur. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Departemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor. Sarinita S, D Priosambodo. 2006. Community structure of seagrass in Awerange and Labuange Bay, Barru Regency, South Sulawesi. Torani.Jour.Mar. Sci. Fish 5. 16: 393-402. Short FT, R Coles (2003). Global Seagrass Research Method. Elsevier Science, Amsredam Stapel J, Aarts TL., Van Duynhoven BHM, De Groot JD, Van den Hoogen PHW, Heminga MA (1996) Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass Thalassia hemprichii in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Mar.Ecol.Prog.Ser. 134: 195-206. Susetiono (2004). Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Tuwo, A. (2011). Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Surabaya, Brillian Internasional. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK, 1997. The Ecology of the Indonesia Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series Vol. VII.HongKong: Periplus Edition (HK) Ltd. Vonk JA, Kneer D, Stapel J, Asmus H. 2008. Shrimp burrow in tropical seagrass Meadow: an important sink for litter. Estu. Coas. Shelf. Sci. 79: 79-85. Vonk JA, Christianen MJA, Stapel J. 2010. Abundance, edge effect, and seasonality of fauna in mixed-species seagras meadows in Sout-West Sulawesi, Indonesia. Mar. Biol. Res.6: 282-291. Waycott M, Mahon KM, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide to Tropical Seagrass of The Indo-West Pacific. Townsville-Queensland Australia: James Cook University. Wicks EC, koch EW, O'neil JM, Elliston K. 2009. Effect of sediment organic content and hydrodynamic condition on the growth and distribution of Zostera marina. Mar.Ecol.Prog.Ser. Vol.378: 71-80. Wiethuchter A. 2009. Interaction between benthic fauna in an Indonesia seagrass bed-with special focus on the ecology of Indo-Pacific Pinnidae (Bivalvia). [Diploma Thesis]. Kiel Germany: Christian-Albrechts University. Zieman JC, Zieman RT. 1989. The ecology of the seagrass meadow of the west coast of Florida: a community profile. U.S. Wildl. Serv.Biol.Rep.85 (7.25).155.
44
45
Lampiran 1. Kepadatan Individu tiap Plot Plot
Halodule
Thalassia
Halophila
Enhalus
Cymodocea
Titik Ulangan
PI
PII
PIII
PIV
PV
Kepadatan (Ind/m2)
I
53
II
14
III
14
I
31
II
22
III
19
I
44
II
47
III
25
I
17
II
56
III
33
I
42
II
56
III
36
46
Lampiran 2. Analisis Anova Kepadatan dan Jumlah Jenis antar Plot Descriptives 95% Confidence Interval Std.
Std.
for Mean
N
Mean
Deviation
Error
Halodule
3
9.67
8.083
4.667
-10.41
29.75
5
19
Thalassia
3
9.00
2.000
1.155
4.03
13.97
7
11
Halophila
3
14.00
4.359
2.517
3.17
24.83
9
17
Enhalus
3
12.67
7.024
4.055
-4.78
30.11
6
20
Cymodocea
3
16.00
3.606
2.082
7.04
24.96
13
20
Total
15
12.27
5.378
1.389
9.29
15.24
5
20
Kepadata Halodule
3
26.85
22.453
12.963
-28.92
82.63
14
53
n
Thalassia
3
24.07
5.782
3.338
9.71
38.44
19
31
Halophila
3
38.89
12.108
6.991
8.81
68.97
25
47
Enhalus
3
35.19
19.510
11.264
-13.28
83.65
17
56
Cymodocea
3
44.44
10.015
5.782
19.56
69.32
36
56
Total
15
33.89
15.076
3.893
25.54
42.24
14
56
JJ
Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
JJ
2.044
4
10
.164
Kepadatan
1.949
4
10
.179
ANOVA Sum of Squares JJ
Kepadatan
df
Mean Square
Between Groups
103.600
4
25.900
Within Groups
301.333
10
30.133
Total
404.933
14
Between Groups
851.852
4
212.963
Within Groups
2330.247
10
233.025
Total
3182.099
14
47
F
Sig. .860
.520
.914
.492
Lampiran 3. Indeks Ekologi Makrozoobentos Indeks keanekaragaman Indeks keseragaman Indeks dominasi plot (H') (E) (C) 2,11 0,88 0,15 Halodule 2,90 0,97 0,06 Thalassia 3,03 0,94 0,06 Halophila 2,67 0,86 0,12 Enhalus Cymodocea 2,52 0,85 0,12
48
Lampiran 4. Kerapatan Jenis Lamun Tiap Plot Sub Plot Kerapatan Lamun Plot 1 125 Halodule 2 142 3 110 1 85 Thalassia 2 62 3 85 1 196 Halophila 2 195 3 183 1 18 Enhalus 2 30 3 35 1 285 2 350 Cymodocea 3
365
49