Pendahuluan
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dirancang untuk menyiapkan siswanya mampu bekerja setelah lulus sekolah. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menurut pasal 15 UU No.20 tahun 2003 mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk jenis pekerjaan tertentu (PP No.19 Tahun 2005). SMK diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja tingkat menengah (medium level worker) yang berperan dalam perkembangan industri, berkualitas dari segi ketrampilan kerja dan diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri (Siregar, 2011). Menurut Kurikulum Dikmenjur, (2008) pendidikan SMK mendidik dan melatih siswanya untuk menjadi produktif, ulet dan gigih dalam berkompetisi, mampu beradapatasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya. Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas)
mengungkapkan
Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) usia muda antara 15-29 tahun di Indonesia mencapai 5,3 juta orang atau sekitar 19,9%, yang tergolong cukup tinggi diantara negara di Asia Pasifik lainnya (Riska, 2012). Ironinya, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga yang mempersiapkan lulusan siap kerja justru menyumbangkan pengangguran paling tinggi diantara jenjang pendidikan lainnya. Pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan menurut Badan Pusat Statistik tahun 2013 menunjukkan untuk lulusan SMK sebesar 11,19%, lulusan SMA 9,74%, lulusan SMP 7,6%, lulusan Diploma 6,01%, lulusan Perguruan Tinggi 5,5%, dan lulusan SD 3,51% dari jumlah penganggur, (BPS, 2013). Hal tersebut menunjukkan belum tercapainya program pembangunan pendidikan oleh pemerintah pada siswa SMK. Preliminary studi dilakukan peneliti di salah satu SMK swasta di Surakarta pada tanggal 9 September 2013. SMK ini telah memiliki akreditasi “A” oleh Kemendiknas. SMK ini memiliki empat kejuruan, yaitu akuntansi, administrasi perkantoran, pemasaran, dan teknik komputer jaringan. Berdasarkan Data Alumni Penelusuran Tamatan Siswa SMK tersebut tahun ajaran 2012/2013, menunjukkan bahwa hanya 15,3% siswa yang bekerja setelah lulus sekolah, 18,5% siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan 66,1% siswa tidak melapor ke sekolah. Data tersebut menunjukkan masih sedikitnya lulusan yang langsung bekerja setelah lulus sekolah.
Interview dilakukan dengan guru BK (Bimbingan Konseling) kelas XII dan guru BKK (Bursa Kerja Khusus) di SMK tersebut. Hasilnya didapatkan informasi bahwa pihak sekolah berusaha mendorong dan menyiapkan siswanya untuk langsung bekerja setelah lulus sekolah. Siswa diberi pelatihan di sekolah serta magang di tempat kerja supaya memiliki pengalaman di lapangan kerja. Sekolah melalui program Bursa Kerja Khusus juga berusaha mencarikan dan menyalurkan siswa pada peluang karir yang tersedia di dunia kerja. Menurut guru BP tersebut, siswa tidak segera bekerja dikarenakan kebanyakan siswa kurang realistis dalam mencari pekerjaan. Siswa pilih-pilih pekerjaan dengan gaji tinggi namun tidak diimbangi dengan usaha untuk mengembangkan kemampuannya. Siswa kurang berusaha mencari serta melamar peluang pekerjaan yang tersedia. Interview dilakukan terhadap 5 siswa, sebagai perwakilan siswa kelas XII pada tiap kejuruan di SMK tersebut pada tanggal 11 September 2013. Mereka menyatakan belum siap untuk langsung bekerja setelah lulus sekolah. Peluang kerja bagi lulusan SMK yang disediakan sekolah dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka. Mereka kurang yakin bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan dengan kemampuan yang telah diperoleh di SMK. Mereka belum mempunyai rencana dan gambaran yang jelas tentang pekerjaan atau pendidikan lanjutan setelah lulus sekolah. Hal tersebut menunjukkan adanya permasalahan keyakinan pada siswa terhadap kemampuannya untuk bekerja sesuai dengan harapanya sekalipun telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan di SMK. Assessment lanjutan ditujukan guna mengetahui keyakinan siswa untuk bekerja setelah lulus sekolah. Survey dengan menggunakan angket dilakukan terhadap seluruh siswa kelas XII di SMK Batik 1 surakarta pada bulan Febuari 2014 menjelang kelulusan sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 284 siswa sebanyak 43% siswa kurang yakin bisa mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah. Sebanyak 56% siswa merasa ragu dengan pengetahuan dan ketrampilan mereka untuk mendapatkan pekerjaan Dalam survey tersebut ditemukan data bahwa terdapat 52% siswa ingin bekerja setelah lulus sekolah, sebanyak 12% siswa ingin meneruskan studi, dan sebanyak 24% siswa yang ingin kuliah sambil bekerja. Siswa yang ingin bekerja lebih dikarenakan faktor tidak ada biaya untuk meneruskan pendidikan. Siswa yang ingin meneruskan pendidikan kebanyakan merasa tidak yakin kemampuannya bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Siswa yang ingin kuliah sambil bekerja mempunyai keraguan dengan kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan namun tidak ada biaya untuk meneruskan pendidikan. Ketika diminta untuk menjelaskan lebih lanjut, secara umum para siswa belum mampu untuk menjelaskan rencana dan tujuannya, belum
memiliki gambaran yang jelas tentang pekerjaan atau pendidikan yang akan dituju, dan belum yakin telah mengetahui kemampuan diri serta bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Berdasarkan hasil preliminary studi peneliti terhadap siswa kelas XII di SMK tersebut, diketahui bahwa banyak siswa mengalami permasalahan keyakinan untuk siap bekerja setelah lulus SMK. Para siswa yang tidak yakin bisa bekerja setelah lulus SMK disebabkan karena adanya anggapan bahwa kemampuannya belum cukup untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan harapannya. Para siswa tersebut cenderung menunjukkan perilaku sebagai berikut: (1) siswa belum membuat rencana dan tujuan yang jelas setelah lulus sekolah, (2) siswa belum melakukan eksplorasi diri terkait minat dan potensinya untuk karir masa depan, (3) siswa belum melakukan pencarian informasi pekerjaan dan pendidikan lanjutan yang sesuai dengan minat dan potensinya. Sistem diklat kejuruan (SMK) tidak dapat terlepas dari aspirasi untuk cepat mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah dan faktor ekonomi orang tua yang kurang mampu membiayai pendidikan ke perguruan tinggi (Santosa, 2008). Bardick, Bernes, Magnusson & Witko (2006) mengungkapkan bahwa dalam pengambilan keputusan karir, siswa yang memilih bekerja setelah lulus sekolah menengah biasanya berasal dari tingkat sosial ekonomi bawah. Fitzgerald & Betz (1994) menyatakan bahwa situasi sosio-kultural dan ekonomi pada individu yang kurang beruntung menyebabkan mereka melihat pekerjaan sebagai sumber pendapatan daripada sumber realisasi-diri. Menurut Lent & Brown (1996), situasi yang membatasi peluang individu untuk membuat pilihan karir seperti keterbatasan ekonomi, pendidikan, dukungan keluarga atau kondisi lainya yang menghalangi untuk mendapatkan minat karir tertentu atau tujuan karir tertentu menyebabkan seseorang memiliki keyakinan kemampuan diri (self eficacy) yang rendah. Individu dengan faktor keterbatasan lingkungan atau hambatan (barriers) tersebut cenderung mengeliminasi peluang kerja yang menguntungkan baginya karena keyakinan diri yang rendah pada kemampuan diri (self efficacy) dan harapan akan hasil (outcome expectation) yang berhubungan dengan karir. Lent & Brown (1996) menyatakan perspektif Sosial Cognitif Career Theory (SSCT) bisa digunakan sebagai framework untuk menjelaskan dinamika perkembangan karier pada individu dengan kondisi sosial ekonomi yang kurang beruntung. Perspektif teori karier sosial kognitif berakar pada teori sosial kognitif yang dikemukakan Bandura (1986) yang menyatakan bahwa perilaku individu merupakan hasil interaksi timbal balik antara determinan person yang meliputi faktor kognitif dan faktor personal lainnya, behavior (perilaku), dan environment (lingkungan).
Melalui perspektif tersebut, permasalahan perilaku siswa yang tidak segera bekerja setelah lulus sekolah (behavior) bisa dijelaskan sebagai akibat dari pengaruh ketidakyakinan siswa akan kemampuannya untuk bisa mendapatkan pekerjaan atau karir yang diinginkan (person:faktor kognitif). Siswa yang tidak yakin dengan kemampuannya untuk mendapatkan pekerjaan atau karier yang diinginkan (kognitif) disebabkan oleh perilaku siswa yang kurang melakukan tindakan pencapaian karir (eksplorasi karir, tidak membuat rencana karir dengan jelas, kurang mencari informasi karir) (behavior) dan lingkungan sekolah yang terbatas dalam menyediakan informasi (environment). Perilaku siswa yang kurang melakukan tindakan pencapaian karir (behavior) berpengaruh terhadap keterbatasan informasi peluang kerja yang tersedia bagi lulusan SMK hanya dari sekolah. Informasi peluang kerja yang disediakan di sekolah terkadang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki siswa. Hal lain yang juga dianggap kendala adalah terkadang mensyaratkan ketrampilan tambahan (seperti memiliki SIM A/ SIM C), pekerjaan berada di luar kota tempat tinggal, syarat minimal SMK namun juga menerima pelamar kerja lulusan yang lebih tinggi seperti D3 atau S1 untuk jenis pekerjaan yang sama. Persyaratan pekerjaan dianggap sebagai suatu hambatan bagi siswa. Hal tersebut membuat para siswa beranggapan bahwa peluang pekerjaan dan karir yang tersedia bagi lulusan SMK cenderung tidak sesuai dengan harapannya. Anggapan tersebut turut membuat siswa merasa tidak yakin bahwa ketrampilan yang didapatkan selama bersekolah di SMK bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan (kognitif). Keterbatasan kondisi keluarga untuk membiayai pendidikan lebih lanjut juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keyakinan siswa untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Siswa tersebut cenderung melakukan tindakan eliminasi peluang pekerjaan. Memiliki pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan belum cukup membuat seseorang mampu melakukan suatu tugas (Bandura, 1997). Individu seringkali mengetahui cara untuk melakukan suatu tugas namun tidak melakukannya dengan optimal karena pengaruh dari persepsi keyakinan diri yang rendah terhadap motivasi dan performansinya. Hal tersebut nampak dari perilaku siswa SMK yang sudah menempuh program pendidikan untuk bisa bekerja setelah lulus sekolah namun tidak yakin akan kemampuannya untuk bisa mendapatkan karir yang diharapkan. Bandura (1986) menyebut keyakinan diri ini sebagai efikasi diri.
Menurut Bandura (1997), efikasi diri merupakan persepsi individu terhadap fungsi diri dalam situasi tertentu. Efikasi diri merupakan kepercayaan individual akan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai hasil tertentu dengan berhasil (Bandura, 1986). Efikasi diri bukan suatu ukuran dari keterampilan yang dimiliki individu tetapi sebuah keyakinan tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam berbagai kondisi dengan kemampuan yang dimiliki. Siswa SMK rata-rata berusia 15-18 tahun yang tergolong pada usia remaja. yang salah satu tugas kehidupannya adalah mempersiapkan masa depan, terutama karir (Santrock, 2003). Menurut Super (dalam Brown & Lent, 2013), tugas perkembangan karir remaja adalah mengembangkan ide-ide tentang pekerjaan dan konsep diri supaya dapat membuat keputusan untuk memasuki jenjang pendidikan yang tepat, telah mengambil langkah-langkah untuk menguasai keahlian serta adanya kristalisasi pilihan-pilihan pekerjaan, dan memformulasikan pendapatnya mengenai bidang pekerjaan yang cocok. Remaja berada pada peralihan tahap perkembagan karir eksplorasi menuju transisi. Pada tahap perkembangan transisi, siswa SMK yang tergolong pada usia remaja tersebut diharapkan mampu untuk mulai mempersempit pilihan karir mereka dan mulai mengarahkan tingkah laku agar dapat bekerja pada bidang karir tertentu (Brown & Associates, 2002). Eksplorasi karir dan komitmen perencanaan karir merupakan dua tugas utama perkembangan karir remaja (Fuhrmann, 1991). Eksplorasi karir melibatkan aktivitas individu dalam menilai diri sendiri dan berusaha mendapatkan informasi dari lingkungan eksternal untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan, masuk kerja dan penyesuaian karir (Bluestein, 1989). Remaja yang melakukan eksplorasi diri secara akurat akan mampu mengenal diri yang sebenarnya (kebutuhan, kemampuan, minat, dan nilai) (Pietrofesa & Splete, 1975) sehingga dapat mengorganisasikan dan mengekspresikannya dalam konteks sosial dengan cara menggabungkan antara tuntutan lingkungan dengan pilihan pribadinya (Rice & Dolgin, 2002). Eksplorasi diri yang akurat akan membuat remaja mampu membuat perencanaan yang sesuai dengan keadaan dirinya (Pietrofesa & Splete, 1975). Perencanaan karir melibatkan individu pada aktivitas tertentu untuk mendapatkan pengetahuan tentang pekerjaan yang ingin diperolehnya (Bluestein, 1989). Hasil dari proses eksplorasi dan perencanaan karir adalah komitmen pilihan karir (Bluestein, 1990). Individu yang merencanakan aktivitas eksplorasi karir secara efektif cenderung lebih rasional dalam memilih karir dan biasanya mencapai kepuasan kerja yang lebih besar (Bluestein, 1990).
Menurut Luzzo (1993), keyakinan seseorang atas kemampuan yang dimiliki (efikasi diri) berperan penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan karir, motivasi untuk melakukan eksplorasi karir dan melakukan tugas-tugas terkait karir. Semakin tinggi efikasi diri individu maka semakin besar usaha, ketekunan dan ketabahannya, memiliki minat yang kuat dan memiliki komitmen yang kuat serta mempertinggi usahanya dalam menghadapi kegagalan dengan memulihkan perasaan telah mengalami kegagalan dan menambah ketrampilan (Pajares & Schunk, 2002). Sebaliknya, individu yang efikasi dirinya rendah tidak mempunyai kepercayaan bahwa mereka dapat mempengaruhi secara positif terhadap situasi tersebut (Jex, dkk., 2001). Individu dengan efikasi diri yang rendah menunjukkan perilaku seperti menghindari kegiatan eksplorasi, mudah menyerah, dan gagal mencapai potensi karir dalam pekerjaan mereka (Gashue, Schalan, Pantzer, & Clarke, 2006; O’Brien, Bikos, Epstein, Flores, Duktein, Kamatuka, 2000). Dengan demikian efikasi diri dibutuhkan siswa SMK yang berada pada tahap perkembangan remaja untuk mencapai tugas perkembangannya dalam membentuk identitas diri yang positif melalui eksplorasi karir dan komitmen perencanaan karir. Wardhani (2011), menemukan bahwa banyak lulusan SMK sering mengalami kesulitan dan cenderung mudah frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian yang dapat mendukung perkembangan karir masa depan mereka. Efikasi diri terutama yang berkaitan dengan kesiapan bekerja (perceived employability self-efficacy) menjadi penting untuk dimiliki siswa SMK yang diharapkan mampu bekerja setelah lulus sekolah. Hal ini karena individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi memiliki motivasi yang kuat untuk bertindak lebih gigih dan terarah (Bandura & Locke, 2003), serta memiliki ketahanan untuk mencapai tujuan dan mengatasi kegagalan (Heslin & Kehle, 2006). Efikasi diri yang berkaitan dengan kesiapan untuk bekerja (perceived employability self-efficacy) sangat dibutuhkan bagi siswa SMK yang diharapkan langsung bekerja setelah lulus sekolah. Efikasi diri kesiapan kerja berperan dalam peningkatan ketrampilan kesiapan kerja (employability skills) dan keberhasilan siswa yang baru lulus sekolah untuk mendapatkan pekerjaan (Fugate, Kinicki, & Asford, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Anthony (2006) menemukan bahwa efikasi diri kesiapan bekerja berhubungan dengan kesiapan siswa perempuan yang berlatar belakang sosial ekonomi menengah kebawah dalam bekerja (work readiness). Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa efikasi diri berperan dalam persiapan bekerja ketika siswa menghadapai kesulitan dan tantangan dalam pencarian kerja dan mengelola pekerjaan yang sudah didapatkan. Penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh McIntye (1999) menunjukkan bahwa efikasi diri kesiapan bekerja (employability self efficacy) mampu menjadi prediktor intensi bekerja (employment intentions), yang meliputi perencanaan individu untuk menyiapkan dan mendapatkan pekerjaan. Penelitian McIntye (1999) ini dilakukan pada 189 siswa yang terdiri dari 44 remaja putus sekolah, 96 siswa Sekolah Menegah Atas alterntif, dan 49 lulusan S1 yang berusia 15-22 tahun (rata-rata 17,8 tahun). Penelitian yang dilakukan Huang (2014) terhadap 220 mahasiswa di Taiwan menemukan bahwa keyakinan terhadap kemampuan untuk bekerja (perceived employaility) menjadi mediator mekanisme kepribadian hardiness dan efikasi diri pengambilan keputusan karir. Penelitian yang dilakukan oleh Vos, Hauw, & Van Der Heidjen (2011) menemukan bahwa persepsi terhadap kemampuan bekerja berpengaruh terhadap kepuasan karir dan persepsi daya jual diri (perceived marketability) pada karyawan. Efikasi diri kesiapan bekerja (perceived employability self-efficacy) merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam menghadapi segala situasi yang berkaitan dengan kegiatan untuk mempersiapkan (preparing), mendapatkan (obtaining), dan mengelola (maintaining) pekerjaan, serta berperilaku sesuai kebutuhan perkembangan karirnya (Betz, 1992; Daniels, 1998). Efikasi diri yang berkaitan dengan kesiapan bekerja ditentukan pada simulasi situasi bekerja, dimana beberapa kompetensi dan ketrampilan yang berkaitan dengan pencarian pekerjaan, performansi, dan pengelolaan kerja dapat dilakukan. Efikasi diri kesiapan bekerja meliputi keyakinan kemampuan interpersonal, keyakinan dalam mengumpulkan informasi pekerjaan dan mengatasi hambatan dalam mencari pekerjaan, keyakinan untuk persisten, dan keyakinan dalam penetapan tujuan (goal setting), (Daniels 1998). Menurut Brady (2009), kesiapan kerja merupakan kemampuan dan perilaku untuk mendapatkan dan mepertahankan pekerjaan yang mengacu pada faktor-faktor pribadi individu. Kesiapan kerja membuat orang mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaannya, karena individu tersebut memiliki seperangkat keterampilan dan perilaku yang dibutuhkan untuk segala jenis pekerjaan (Wagner, 2006). Lebih jauh lagi cabarello & walker (2010), mengartikan kesiapan kerja dengan kemampuan seorang lulusan untuk memiliki perilaku dan sifat-sifat yang membuatnya sukses dalam melakukan pekerjaan apapun di lingkungan kerja. Individu yang siap kerja memiliki orientasi kerja positif dan motivasi kerja, yang diimbangi dengan pencarian kerja yang cukup dan ketrampilan mengelola pekerjaan. Keterampilan tersebut tercermin melalui aktivitas pencarian kerja, kebiasaan kerja, performansi kerja, resolusi konflik,
ketrampilan interpersonal, dan perilaku kerja positif (Farley, Bolton & Little, 1990). Memiliki keyakinan diri dalam kesiapan bekerja merupakan integrasi dari pemahaman atas keyakinan yang didapatkan individu terhadap kemampuannya mengawali dan melakukan tugas-tugas dalam bekerja tersebut. Intervensi yang bisa mengakomodasi keterampilan yang dibutuhkan siswa kejuruan untuk memasuki dunia kerja dan meningkatkan efikasi adalah program pengembangan karir (Keim & Strauser, 2000). Program pengembangan karir hendaknya juga memperhatikan konteks yang unik pada individu seperti hambatan sosial ekonomi supaya mampu menyiapkan individu dewasa menghadapi tantangan karir dengan sukses (Byrn-Winston & Winston, & Fouad, 2006; Savickas, 2000). Hackett & Byars (1996) dan Gainor & Lent (1998) menemukan bahwa program intervensi yang meningkatkan efikasi diri mampu memberikan perubahan positif terhadap pilihan karir dan harapan (expectation) pada subjek dengan latar belakang kurang beruntung. Individu yang kurang beruntung cenderung kurang memiliki efikasi diri disebabkan oleh belajar dari pengalaman mereka, kurangnya role model, kurangnya pencapaian, atau faktor-faktor keterbatasan lainnya (Harmon, 1994). Hal tersebut menunjukkan perlunya program bimbingan karir yang berguna untuk meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja bagi siswa SMK yang memiliki latar belakang sosial ekonomi menengah kebawah. Kurikulum bimbingan dan konseling di sekolah sudah mengakomodasi bimbingan karir untuk siswa namun pelaksanaan program bimbingan tersebut belum sepenuhnya optimal, hal ini terlihat dari pemberian materi karir yang hanya diberikan sebatas garis besarnya saja sehingga siswa masih kekurangan informasi dan ketrampilan dalam merencakan karir (Syahrini, 2012). Usaha untuk melakukan pendampingan pada siswa sangat penting untuk dilakukan. Jika siswa tidak merencanakan dan berperilaku sesuai dengan tujuan setelah lulus dari sekolah, atau jika tidak direncanakan dengan baik, maka terdapat konsekuensi kegagalan pada siswa dimasa depan (Trusty, Niles, & Carney, 2005). Pelayanan dalam mendorong perkembangan karir pada anak dan remaja yang perlu dilakukan adalah untuk mengenali kebutuhan mereka sehingga menjadi lebih adaptif, tangguh, dan proaktif pada situasi saat ini dan kemungkinan karir masa depan mereka (Brown & Lent, 2005). Bimbingan karir merupakan program yang dirancang untuk memfasilitasi perkembangan karir, terutama pengelolaan karirnya. Bimbingan karir dapat dilakukan secara individual dan kelompok kecil, antara klien dan konselor, yang menggunakan alat-alat khusus dengan tujuan
membantu individu untuk mendapatkan pengetahuan akan dirinya (self-knowledge), pengetahuan lingkungan kerjanya, dan mengembangkan ketrampilan yang mengantarkan individu menghadapi masa transisi dari sekolah ke dunia kerja Peneliti menggunakan bimbingan karir sebagai cara untuk meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja. Herr & Cramer (1996) mendefinisikan bimbingan karir (career guidance) sebagai suatu program sistematis mengenai informasi-informasi yang terkoordinasi dengan konselor, serta pengalaman-pengalaman yang dirancang untuk memfasilitasi pengembangan karir individu dan khususnya pengelolaan karir. Hasil penelitian Arifah (2005) pada siswa SMK kelas XII menunjukkan bahwa bimbingan karir memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan kemandirian siswa dalam memilih jurusan atau karir setelah lulus dari SMK. Peneliti menggunakan bimbingan karir sebagai cara untuk meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja. Herr & Cramer (1979) menyebutkan bahwa terdapat empat pendekatan dalam menyampaikan bimbingan karir, yaitu: (1) Kursus, workshop, dan seminar yang memberikan pengalaman kelompok terstruktur dalam perencanaan karir (2) Kegiatan konseling kelompok yang secara umum kurang terstruktur dan lebih menekankan pada aspek afeksi dalam perkembangan manusia dan karirnya (3) Konseling individu yang menekankan pada pendekatan yang beragam dalam mengatasi kecemasan terkait dengan permasalahan tentang karir (4) Program penempatan yang mengarahkan pada perencanaan karir dan proses pengambilan keputusan Pendekatan intervensi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk workshop bimbingan karir. Workshop sebagai suatu bentuk pembelajaran yang memberikan pengalaman terstruktur mengenai perencanaan karir diharapkan mampu memfasilitasi pengembangan karir individu (Cramer & Herr, 1979). Interaksi yang berlangsung dibatasi oleh situasi tertentu yang diarahkan oleh fasilitator sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pembelajaran tersebut. Situasi pembelajaran ini mempengaruhi peran, dan atau aturan, dan atau target yang hendak dicapai dalam kondisi yang terstruktur. Pengalaman terstruktur dalam suatu proses pembelajaran merupakan suatu intervensi dalam proses kelompok yang melibatkan seperangkat instruksi khusus untuk diikuti oleh peserta. Instruksi ini menentukan alternatif perilaku pada waktu-waktu tertentu dalam kelompok belajar
tersebut. Dalam kondisi pembelajaran terstruktur tersebut, fasilitator atau trainer akan menginstruksikan tugas-tugas yang akan dicapai. Tugas-tugas tersebut melibatkan situasi belajar yang dinamis, dimana peserta akan terlibat dalam kondisi-kondisi tertentu dan pengalamanpengalaman tertentu dalam menghadapi kendala maupun peluang dalam menyelesaikan tugas tersebut. Dengan adanya bentuk pembelajaran yang terstruktur, peserta dapat memfokuskan pada tugas-tugas tertentu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Situasi pembelajaran yang terstuktur mampu melibatkan peserta untuk fokus secara penuh dalam tugas-tugas yang diberikan dalam sesi-sesi tertentu. Gasser (2010) mengungkapkan penelitiannya bahwa intervensi karir dalam bentuk workshop dapat membantu individu dalam transisi karir mereka. Subjek penelitian Gesser menunjukkan sikap positif terhadap konseling karir yang disampaikan dalam bentuk workshop. Kusumaningrum (2012) dalam penelitiannya menemukan metode workshop bimbingan karir dapat meningkatkan efikasi diri dalam pengambilan keputusan karir pada mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir. Bimbingan karir pada penelitian ini menggunakan empat prinsip proses psikologis utama pada efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1977). Pertama proses kognitif, yaitu seseorang mempunyai pengertian lebih terhadap efikasi akan membayangkan sukses yang memberikan pedoman-pedoman positif dan mendukung untuk mencapainya. Kedua, proses motivasi, yaitu seseorang memotivasi diri dan memandu tindakannya yang bersifat antisipatif melalui latihan dari pemikiran sebelumnya. Ketiga, proses afektif, yaitu kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatasi masalah yang memegang peranan penting dalam mengatur status emosi. Individu percaya bahwa dirinya mampu mengendalikan ancaman-ancaman tidak akan terganggu pola pikirnya. Keempat, proses pilihan, yaitu efikasi diri seseorang dapat mempengaruhi pilihan lingkungan dan aktivitasnya. Individu akan menghindari situasi dan aktivitas yang dianggap melebihi kemampuannya. Bimbingan karir pada penelitian ini juga menggunakan empat sumber efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi diri dapat ditingkatkan melalui empat sumber: (1) Pengalaman sebelumnya, merupakan sumber yang paling kuat mempengaruhi efikasi diri. Pengalaman sukses dan prestasi dimasa lalu akan meningkatkan efikasi sedangkan pengalaman gagal akan menurunkan efikasi diri. (2) Pengalaman orang lain. Efikasi diri dipengaruhi oleh pengalaman orang lain yang dijadikan sebagai model. efikasi diri akan meningkat apabila orang lain yang memiliki kesamaan dengannya berhasil. Namun apabila
orang yang dijadikan pembanding tersebut gagal, maka akan menurunkan keyakinan terhadap kemampuan dan semangat dalam usahanya.
(3) Persuasi verbal. Efikasi diri dapat diperoleh,
diperkuat, atau dilemahkan oleh melalui persuasi sosial. Persuasi yang positif dapat membantu seseorang untuk tetap tegar menghadapi kesulitan. Melalui evaluasi umpan balik yang secara positif difokuskan pada kemampuan seseorang untuk meningkatkan efikasi dirinya. (4) Kondiri emosi. Sumber efikasi diri yang diperoleh dari kondisi emosi berkaitan dengan situai penuh tekanan atau tidak. Seseorang akan mencapai keberhasilan jika tidak mengalami pengalamanengalaman yang menekan. Kondisi emosi seperti cemas, depresi, stres, dan kondisi suasana hati (mood) akan mempengaruhi keyakinan efikasi. Ketika seseorang mengalami ketakutan dan pikiran-pikiran negatif tentang kemampuan mereka, reaksi afeksi tersebut dengan sendirinya dapat menurunkan persepsi efikasi dirinya. Berdasarkan hasil preliminary studi yang dilakukan peneliti melalui angket dan wawancara terhadap guru BK, guru BKK serta 5 siswa kelas XII di salah satu SMK swasta di Surakarta menemukan adanya permasalahan keyakinan kesiapan siswa untuk bekerja setelah lulus sekolah. Hal tersebut menunjukkan perlunya bimbingan karir untuk meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja bagi para siswa di SMK tersebut untuk menghadapi masa transisi dari sekolah ke dunia kerja. Kesuksesan mengelola masa transisi pada fase kehidupan bekerja sangat penting bagi masa depan remaja karena akan berpengaruh terhadap perkembangan karir dan manajemen kehidupan mereka (Scherer, 2004). Sebaliknya, kurangnya keberhasilan pada masa transisi tersebut menyebabkan lamanya masa menganggur atau mendapatkan pekerjaan yang berkualitas rendah. Hal tersebut juga menyebabkan mundurnya fase transisi dewasa, seperti ketergantungan finansial, pernikahan, dan fase menjadi orang tua (Reitzle & Silbereisen 2000). Salah satu model pengembangan karir yang mengakomodasi kondisi sosial ekonomi adalah The Integrative Contextual Model Of Career Development (ICM), (Lapan 2004 dalam Turner & Conkel 2010). Program Pengembangan Karir berdasarkan model kontekstual (ICM) berangkat dari perspektif teori perkembangan karier (Carier Development) dan teori karir sosial cognitif (Social Cognitive Carier Theory) (Brown & Lent, 2013). Menurut teori ICM, individu mengembangkan pendekatan yang adaptif, tangguh, dan proaktif pada situasi sekarang dan kemungkinan karir masa depan dengan mempelajari dan menggunakan ketrampilan pengembangan karir spesifik yang dapat menjamin kesuksesan akademis dan karir mereka. Ketrampilan pengembangan karir dalaman teori ICM terdiri dari; (a) eksplorasi diri dan karir; (b)
mengenal kesesuaian manusia dengan lingkungan; (c) goal setting; (d) sosial, prososial dan kesiapan kerja; (e) belajar regulasi diri; (f) penggunaan pendukung sosial secara konsisten untuk mengatasi hambatan pada individu dan karir. Menurut Lapan (dalam Turner & Conkel, 2010) keenam ketrampilan tersebut menjadi faktor penting yang saling berhubungan untuk meningkatkan perkembangan karir. Penelitian yang dilakukan oleh Turner & Conkel (2010) terhadap siswa yang tinggal di kota pinggiran menunjukkan bahwa intervensi berdasar teori ICM secara signifikan mampu menaikkan efikasi yang berhubungan dengan karir dan bidang akademis. Intervensi ini juga meningkatkan tipe attribusi diri yang positif, penguatan identitas vokasional, kristalisasi minat karir, dan lebih banyak pendekatan proaktif yang diekspresikan. Penelitian ini dilakukan pada 142 siswa kelas 7 & 8 Sekolah Menengah Pertama dengan metode konseling kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 – 13 siswa. Terdiri dari 6 sesi, masing-masing disampaikan selama satu jam selama 6 hari. Turner & Concel (2010) membagi materi bimbingan karir ICM kedalam 2 treatment terpisah yang terdiri dari 6 sesi. Treatment pertama menggunakan tes minat Holland yang memuat materi eksplorasi diri dan karir, mengenal kesesuaian manusia dengan lingkungan, dan pengenalan goal setting. Treatment ini dilakukan dalam 2 sesi yang masing-masing berdurasi satu jam. Treatment kedua dilakukan dengan menggunakan tes WAI (Work Adjustment Inventory) untuk mengantarkan siswa belajar materi ketrampilan sosial, prososial dan kesiapan kerja. Siswa kemudian diajak berdiskusi untuk belajar regulasi diri dan mengenali penggunaan pendukung sosial secara konsisten untuk mengatasi hambatan pada individu dan karir. Treatment kedua ini dilakukan dalam 4 sesi dengan durasi masing-masing 1 jam. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji coba terhadap Modul bimbingan karir “Menuju Sukses” dalam meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja pada siswa SMK. Modul bimbingan karir “Menuju Sukses” disusun dengan memodifikasi program bimbingan karir hasil penelitian Turner & Conkel (2010) yang menggunakan teori ICM. Terdapat 4 sesi dalam Modul bimbingan karir “Menuju Sukses”. Sesi pertama memuat materi eksplorasi diri dan karir serta kesesuaian anatara manusia dan lingkungan. Sesi kedua memuat materi mengenal ketrampilan sosial, prososial dan kesiapan kerja. Sesi ketiga memuat materi goal setting. Sesi keempat memuat materi mengenali penggunaan pendukung sosial secara konsisten untuk mengatasi hambatan pada individu dan karir.
Menurut Russell (dalam Ahmad et al., 2009), supaya modul layak digunakan sebaiknya dilakukan konstruksi dengan berbagai langkah yaitu menetapkan target, menetapkan tujuan modul, menetapkan material, instrumen dan penyusunan aktifitas, mengembangkan aitem pengukuran untuk menganalisa dan menentukan performansi peserta, uji coba modul dan validasi modul. Uji coba modul dilakukan untuk mengetahui hasil implementasi dari modul apakah bisa memberikan perubahan positif pada subjek. Uji coba modul merupakan hal penting karena menentukan pencapaian tujuan pembuatan modul (Russell dalam Ahmad et al., 2009). Menurut Noah dan Ahmad (dalam Ahmad et al 2011), modul yang baik harus memiliki validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap kelayakan atau relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert judgment. Validitas logis merupakan bagian dari validitas isi yang menunjuk pada sejauh mana aitem merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. Untuk melakukan validitas logis peneliti dapat memanfaatkan blue print yang memuat cakupan isi dan indikator keprilakuan dari atribut yang diukur dan mengacu pada kaidah penulisan aitem. Validasi modul yang dilakukan oleh peneliti adalah validasi empirik. Menurut Azwar (2012) validitas empirik menunjuk pada pengertian bahwa estimasi validitas termaksud dinyatakan oleh suatu angka atau koefisien, atau yang analisanya dilakukan terhadap data yang diperoleh secara empirik, yaitu dari skor sekelompok subjek yang dikenai tes tersebut. Menurut Cronbach (dalam Azwar, 2012), validasi dilakukan terhadap interpretasi data yang diperoleh oleh prosedur tertentu Berikut merupakan kerangka pemikiran penelitian: Permasalahan efikasi kesiapan siswa SMK untuk bekerja setelah lulus sekolah
(1) siswa belum membuat rencana dan tujuan setelah lulus sekolah (2) siswa belum melakukan eksplorasi diri terkait karir (3) siswa belum melakukan pencarian informasi karir
Uji Modul workshop bimbingan karir “Menuju Sukses” melalui 4 proses efikasi Bandura: 1. proses kognitif 2. proses afeksi 3. proses motivasi 4. proses seleksi
Modul workshop bimbingan karir “Menuju Sukses” dapat meningkatkan Efikasi kesiapan bekerja pada siswa SMK 1. siswa mampu membuat perencanaan karir 2. siswa mampu melakukan eksplorasi karir 3. siswa mampu melakukan pencarian informasi karir
Gambar 1 Gambar Alur Penelitian
Berdasarkan landasan teori tersebut maka diajukan tujuan penelitian yaitu melakukan uji modul bimbingan karir “Menuju Sukses” untuk meningkatkan efikasi diri kesiapan bekerja pada siswa SMK. Validasi isi dilakukan dengan meminta penilaian dari para ahli untuk mengetahui kesesuaian teori dengan cakupan isi modul. Validasi empirik dilakukan dengan mengujicobakan modul untuk mengetahui apakah modul bisa memberikan perubahan positif sesuai dengan tujuan pembuatan modul ketika diterapkan pada siswa SMK. Uji coba modul juga ditujukan untuk mendapatkan feedback guna perbaikan modul kedepan. Uji coba modul dilakukan di dua SMK, dimana pada satu sekolah akan diberikan perlakuan workshop bimbingan Karir “Menuju Sukses” dan di sekolah lain tidak. Hipotesis uji coba modul dalam penelitian ini adalah ada peningkatan efikasi diri kesiapan bekerja pada subjek yang mendapatkan perlakuan workshop bimbingan Karir “Menuju Sukses” dibandingkan dengan subjek yang tidak mendapatkan perlakuan workshop bimbingan Karir “Menuju Sukses”. Efikasi diri kesiapan bekerja pada kelompok eksperimen setelah mendapatkan perlakuan workshop bimbingan Karir “Menuju Sukses” lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok konrol yang tidak mendapatkan perlakuan workshop bimbingan Karir “Menuju Sukses”. Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberi wawasan secara mendalam pada ilmu psikologi, khususnya psikologi pendidikan dalam bidang karir. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog untuk menyiapkan siswa SMK dalam menjalani masa transisinya dari sekolah ke dunia kerja setelah lulus sekolah. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada aspek psikologis yang berupa keyakinan siswa SMK untuk siap bekerja. Siswa yang memiliki keyakinan dengan kemampuannya untuk siap bekerja setelah lulus sekolah diharapkan bisa suskes memasuki dunia kerja.