Intervensi Aflatoksin terhadap Sintesis Protein dalam Tubuh Ternak
Muhsin Al Anas Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Peternakan UGM
i
Intervensi Aflatoksin terhadap Sintesis Protein dalam Tubuh Ternak Muhsin Al Anas
Intisari Pangan sumber protein hewani selalu dibutuhkan untuk meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kebutuhan akan pangan sumber protein hewani semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perbaikan ekonomi. Pakan merupakan salah satu komponen penting bagi ternak karena nutrien yang terkandung di dalamnya berperan untuk reproduksi, pembentukan otot, dan siklus hidup ternak. Pakan yang mengandung nutrien tinggi umumnya mudah mengalami cemaran seperti jamur. Aspergillus spp., merupakan salah satu jenis jamur yang biasanya tumbuh pada bahan pakan ternak. Jamur jenis ini menghasilkan mikotoksin atau secondary metablites yang berbahaya bagi ternak, salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan adalah aflatoksin. Aspergillus flavus memproduksi aflatoksin B1 dan B2, sedangkan A. Paraciticus menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 yang merupakan aflatoksin utama berdasarkan warna blue (B) dan green (G). Proses eliminasi (metabolisme dan ekskresi) aflatoksin dalam tubuh dibagi menjadi dua phase utama. Phase I merupakan metabolisme substansi kimia yang ditambah grub polar yang keduanya bermuatan positif dan negatif yang ditambahkan kedalam senyawa xenobiotik seperti aflatoksin melalui proses oksidasi, reduksi, acetilasi, dan hidrolisis. Phase II adalah sistem enzimatis dimana akan terjadi konjugasi (bergabung) dengan substansi lain untuk menghasilkan polar atau air yang mudah untuk diekskresikan melalui ginjal. Aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang mampu mempegaruhi sintesis protein dalam tubuh ternak. Aflatoksin menghambat sintesis RNA dengan berinteraksi dengan aktivitas DNA-dependent RNA polimerase dan degranulasi dari retikulum endoplasma, sehingga kandungan protein dalam jaringan tubuh seperti di kerangka otot, jantung, hati dan ginjal akan berkurang.
ii
Daftar Isi
Halaman Judul ............................................................. Error! Bookmark not defined.i Intisari .......................................................................................................................... ii Daftar Isi ..................................................................................................................... iv Latar Belakang ....................................................................................................... 1 Aflatoksin............................................................................................................... 2 Biotransformasi aflatoksin ..................................................................................... 3 Target molekuler aflatoksin dalam tubuh .............................................................. 5 Sintesis protein sebagai target aflatoksin ............................................................... 6 Kesimpulan ............................................................................................................ 7 Daftar Pustaka ............................................................................................................. 8
iv
Latar Belakang Pangan sumber protein hewani selalu dibutuhkan untuk meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kebutuhan akan pangan sumber protein hewani semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan perbaikan ekonomi. Thomas Malthus meramalkan bahwa pertumbuhan penduduk akan mengikuti pola deret ukur, sedangkan pertumbuhan produksi pangan akan mengikuti deret hitung. Ternak ruminansia terutama sapi merupakan penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Setiap tahun permintaan daging sapi terus mengalami peningkatan, sehingga perlu upaya peningkatan produktivitas ternak untuk memenuhi permintaan tersebut. Pemenuhan kebutuhan daging tidak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga dari sisi kualitas yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Upaya peningkatan produktivitas ternak bisa dilakukan dari perbaikan kualitas mutu genetik ternak dan pakan. Pakan merupakan salah satu komponen penting bagi ternak karena nutrien yang terkandung di dalamnya berperan untuk reproduksi, pembentukan otot, dan siklus hidup ternak. Supaya mendapatkan produktivitas yang tinggi, biasanya ternak diberikan pakan konsentrat, yakni pakan yang mengandung nutrien tinggi selain hijauan. Pakan konsentrat biasanya berasal dari biji-bijian produk utama maupun sisa hasil tanaman pertanian yang sudah dimanfaatkan produk utamanya, seperti jagung, bungkil kedelai, dedak, bekatul, dan pollard. Pakan yang mengandung nutrien tinggi umumnya mudah mengalami cemaran seperti jamur. Jamur akan memanfaatkan nutrien yang terkandung dalam pakan untuk menjalankan siklus hidupnya. Di daerah tropis jamur sangat mudah berkembang karena didukung lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang sesuai. Aspergillus spp., merupakan salah satu jenis jamur yang biasanya tumbuh pada bahan pakan ternak. Jamur jenis ini menghasilkan mikotoksin atau secondary metablites yang berbahaya bagi ternak, salah satu jenis mikotoksin yang dihasilkan adalah aflatoksin. Aflatoksin merupakan senyawa berbahaya bagi manusia dan ternak karena dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, penurunan daya imun, dan mutasi gen. Pada ternak, aflatoksin mampu menurunkan produksi menghambat 1
sintesis protein dan lemak. Oleh karena itu, kajian aflatoksin dibidang peternakan sangat penting mengingat dampak yang ditimbulkannya. Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara tropis dengan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan Aspergillus spp., penghasil senyawa aflatoksin. Hal tersebut tentu akan berdampak pada efisiensi bidang peternakan, sehingga perlu adanya telaah mendalam terkait penanganan aflatoksin supaya didapat produk yang tidak membahayakan masyarakat Indonesia.
Aflatoksin Aflatoksin merupakan senyawa mikotoksin yang dihasilkan dari metabolisme jamur. Aflatoksin merupakan substansi biokimia yang diproduksi oleh spesies jamur terutama aspergillus. Kontaminasi aflatoksin biasanya terjadi pada biji-bijian dan gandum, seperti beras, jagung, sorghum, millet, ketela, dan banyak lagi selama penyimpanan dan proses pengolahan yang buruk (Bennett dan Klich, 2003). Aflatoksin merupakan permasalahan global terutama di daerah tropis dan subtropis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Sekitar 20 jenis aflatoksin yang merupakan produksi metabolit jamur, terutama spesies Aspergillus flavus, A. Nominus, A. Paraciticus (Mushtaq et al., 2012). Aspergillus flavus memproduksi aflatoksin B1 dan B2, sedangkan A. Paraciticus menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 yang merupakan aflatoksin utama berdasarkan warna blue (B) dan green (G) yang terbentuk di bawah sinar ultraviolet (UV) dan relative mobility menggunakan chromatography dalam silika gel. Aflatoksin M1 merupakan derivat dari aflatoksin B1 yang sudah mengalami metabolisme hidroksilasi ternak perah yang disekresikan dalam susu (Egmond, 1989).
2
Gambar 1. Struktur aflatoksin (Bilgrami et al., 1998)
Terdapat banyak faktor lingkungan biotik dan abiotik yang mempengaruhi biosintesis aflatoksin (Bennett et al., 1988), termasuk faktor nutrien seperti sumber karbon dan nitrogen, pengaruh lingkungan seperti aktivitas air dan temeratur, kondisi psikologi seperti pH (Cotty, 1988).
Biotransformasi aflatoksin Hati menjadi organ utama akumulasi dan metabolisme aflatoksin, selain itu hati juga menjadi tempat dimana hasil metabolit aflatoksin tersebut mengikat asam nukleat dan protein. Ginjal juga merupakan bagian dari detoksifikasi aflatoksin dan organ dimana residu aflatoksin dapat dideteksi (Sawhney et al., 1973). Biotransformasi (metabolisme) (Gambar 2) merupakan proses dimana suatu substansi kimia dirubah 3
menjadi bentuk senyawa lain (transformasi) oleh enzim tertentu atau reaksi kimia. Biotransformasi dalam toksikologi berperan penting sebgai bentuk pertahanan untuk eliminasi racun xenobiotik dan residu dalam tubuh menjadi bentuk yang kurang berbahaya dan senyawa polar sehingga mudah dieksresikan (Monosson, 2012) Proses eliminasi (metabolisme dan ekskresi) substansi kimia dalam tubuh dibagi menjadi dua phase utama. Phase I merupakan metabolisme substansi kimia yang ditambah grub polar yang keduanya bermuatan positif dan negatif yang ditambahkan kedalam senyawa xenobiotik seperti aflatoksin melalui proses oksidasi, reduksi, acetilasi, dan hidrolisis (Dhanasekaran et al., 2011). Phase II adalah sistem enzimatis dimana akan terjadi konjugasi (bergabung) dengan substansi lain untuk menghasilkan polar atau air yang mudah untuk diekskresikan melalui ginjal (Monosson, 2012)
Gambar 2. Reaksi biotransformsi aflatoksin (Josephy et al., 2005)
4
Phase I dilakukan oleh Cytoghrome P450 (CYP450) enzim sistem, sedangkan phase II metabolisme melibatkan sulfat, glucuronid, glutathion, dan reaksi asam amoni konjugasi (Monosson, 2012)
Target molekuler aflatoksin dalam tubuh Setelah aflatoksin dalam pakan dikonsumsi ternak, aflatoksin dan hasil metabolitnya akan berinteraksi dengan berbagai biomolekul yang berbeda, organ, dan jaringan. Terdapat dua jenis interaksi yang sudah diketahui terutama dengan asam nukleat secara non-kovalen (lemah) dan ikatan reversal serta ikatan kovalen yang ireversible yang melibatkan sistem metabolisme enzimatik yang terdapat pada mamalia. Target aflatoksin yang utama yaitu jalur sintesis DNA dan RNA (mRNA, tRNA, rRNA) template, protein, transkripsi, translasi, dan reaksi metabolik seluler (Omar, 2013; Verma, 2004; Kiessling, 1986).
Gambar 3. Target dari aflatoksin dan target utama dalam sintesis DNA dan protein (Kiessling 1986) 5
Sintesis protein sebagai target aflatoksin Aflatoksin menyebabkan pengaruh induksi terhadap abnormal protein yang disebabkan gangguan primer dan/atau sekunder dari asam nukleat atau sintesis protein (Bhat et al., 1982). Setelah aktivasi, aflatoksin mengikat molekul biologis termasuk esensial enzim, blok RNA polimerase, dan translokase ribosom sehingga menghambat sintesis protein (Eaton dan Gallagher, 1994). Aflatoksin juga membentuk adduct DNA dan mempengaruhi sintesis protein. Aflatoksin yang mengikat dan mengganggu enzim dan substrat yang dibutuhkan dalam inisiasi, transkripsi dan translasi proses yang terlibat dalam sintesis protein. Mereka berinteraksi dengan purin dan pirimidin nukleosida menyebabkan gangguan sintesis protein dengan membentuk adduct dengan DNA, RNA dan protein (Verma, 2004). Aflatoksin juga menghambat sintesis RNA dengan berinteraksi dengan aktivitas DNA-dependent RNA polimerase dan degranulasi dari retikulum endoplasma. Juga pengurangan kandungan protein dalam jaringan tubuh seperti di kerangka otot, jantung, hati dan ginjal telah dikaitkan dengan peningkatan hati dan ginjal nekrosis akibat kerusakan disebabkan oleh akumulasi aflatoksin dan metabolitnya di dalam tubuh setelah paparan aflatoksin (Bbosa et al., 2013)). Afaltoksin B1 dapat menyebabkan mutagenik, karsinogenik, teratogenik, dan imunosupresif yang dapat mengganggu proses normal sintesis protein serta menghambat beberapa jalur metabolisme penting dari organ-organ vital seperti hati, ginjal dan hati (Mohhammed dan Metwally, 2009). Aflatoksin juga dapat mengganggu aliran informasi genetik dari DNA untuk RNA dan protein. Hal ini juga mempengaruhi mekanisme epigenetik seperti metilasi DNA seperti metil-sitosin, modifikasi histon, dan renovasi kromatin sehingga mempengaruhi jalur sinyal selular, proliferasi sel dan pertumbuhan (Gambar 4) (Li et al., 2011).
6
Gambar 4. Target xenobiotik seperti aflatoksin dalam berbagai sisi sintesis protein dan pengaruhnya terhadap mekanisme genetik dan epigenetik (Li et al., 2011)
Kesimpulan Aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang mampu mempegaruhi sintesis protein dalam tubuh ternak. Aflatoksin menghambat sintesis RNA dengan berinteraksi dengan aktivitas DNA-dependent RNA polimerase dan degranulasi dari retikulum endoplasma, sehingga kandungan protein dalam jaringan tubuh seperti di kerangka otot, jantung, hati dan ginjal akan berkurang.
7
Daftar Pustaka Bbosa, G.S., David Kitya, D., Lubega, A., Ogwal-Okeng, J., Anokbonggo, W.W. and Kyegombe, D.B. 2013. Review of the biological and health effects of aflatoxins on body organs and body systems: Aflatoxins—Recent advances and future prospects. Intechopen Publisher, 12, 239-265. Bhat, N.K., Emeh, J.K., Niranjan, B.G. and Avadhani, N.G. 1982. Inhibition of mitochondrial protein synthesis during early stages of aflatoxin b-induced hepatocarcinogenesis. Cancer Research, 42, 1876-1880. Bennett, J.W., & Klich, M. 2003. Mycotoxins. Clinical Microbiology Reviews 16, 497516. Bilgrami, K.S., Choudhary, A.K. 1998. Mycotoxins in preharvest contamination of agricultural crops. In Mycotoxins in Agriculture and Food Safety; Sinha, K.K., Bhatnagar, D., Eds.; Marcel Dekker: New York, NY, USA; pp. 1–43. Cotty, P. 1988. Aflatoxin and sclerotial production by Aspergillus flavus: Influence of pH. Phytopathol. 78, 1250–1253. Dhanasekaran, D., Shanmugapriya, S., Thajuddin, N., dan Panneerselvam, A. 2011. Panneerselvam, aflatoxins and aflatoxicosis in human and animals. In: Guevara-Gonzalez, R.G., Ed., Aflatoxins—Biochemistry and Molecular Biology, InTech, 221-254. Eaton, D.L. and Gallagher, E.P. 1994. Mechanisms of aflatoxin carcinogenesis. Annual Review of Pharmacology and Toxicology, 34, 135-172. Josephy, P.D.; Guengerich, F.P. & Miners, J.O. 2005. “Phase I” and “Phase II” drug metabolism: Terminology that we should phase out? Drug Metabolism Reviews, Vol.37, No.4, (November 2005), pp. 575-580, ISSN 0360-2532 Kiessling, K.H. 1986. Biochemical mechanism of action of mycotoxins. Pure & Applied Chemistry, 58, 327-338. Li, H. and Wang, H. 2010. Activation of xenobiotic receptors: Driving into the nucleus. Expert Opinion on Drug Metabolism & Toxicology, 6, 409-428. Mohammed, A.M. and Metwally, N.S. 2009. Antiaflatoxicogenic activities of some aqeous plant extracts against AFB1 induced renal and cardiac damage. Journal of Pharmacology and Toxicology, 4, 1-16. Monosson, E. 2012. Biotransformation. National Library of Medicine (NLM): The Encyclopeadia of earth. Mushtaq, M., Sultana, B., Anwar, F., Khan, M.Z., dan Ashrafuzzaman, M. .2012. Occurrence of aflatoxins in selected processed foods from Pakistan. International Journal of Molecular Sciences, 13, 8324-8337.
8
Omar, H.E. 2013. Mycotoxins-induced oxidative stress and disease. INTECH, Chapter 3. Sawhney, D.S., Vadehra, D.V., dan Baker, R.C. 1973. The metabolism of 14C aflatoxins in laying hens. Poult. Sci. 52, 1302–1309. Van Egmond, H.P. 1989. Current situation on regulations for mycotoxins. Overview of tolerances and status of standard methods of sampling and analysis. J. Food Addit. Contam. 6, 139–188. Verma, R.J. 2004. Aflatoxin cause DNA damage. International Journal of Human Genetics, 4, 231-236.
9