Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
INTERPRETASI TERHADAP TUGAS MATEMATIKA DALAM MEMUNCULKAN PROSES BERPIKIR OUTSIDE THE BOX Sri Hariyani Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Outside the box merupakan cara berpikir siswa menggunakan perspektif berbeda. Tulisan ini mendeskripsikan interpretasi siswa dalam proses berpikir outside the box ketika menyelesaikan tugas matematika. Data diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara berbasis tugas. Hasil penelitian menjunjukkan bahwa siswa belum bisa memahami tugas yang diberikan dengan baik, sehingga interpretasinya tidak sesuai dengan schema yang dimiliki. Kata kunci: interpretasi, matematika, berpikir outside the box.
Belajar matematika tidak terlepas dari pemberian tugas oleh guru kepada siswa untuk diselesaikan. Dalam menyelesaikan tugas diharapkan siswa mampu menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimilikinya, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman yang nantinya akan berguna pada penyelesaian-penyelesaian tugas berikutnya. Namun seringkali dalam pelaksanaannya berdampak pada terbentuknya kreatifitas siswa yang semu. Hal ini dikarenakan siswa “dipaksa” bekerja mencari penyelesaian terhadap suatu tugas matematika secara monoton seperti yang dicontohkan dalam buku teks (tekstual) daripada bernalar untuk mencari penyelesaian secara kreatif, “Traditional teaching methods,… have emphasized the students’ability to reproduce textbook answers rather than creative thinking” (Boge, 2013). Suatu contoh pembelajaran matematika di kelas pada sekolah menengah kelas VIII dengan materi persamaan garis lurus, guru menerangkan kepada siswa cara mendapatkan 1 persamaan garis lurus dengan kemiringan dan melalui titik 2,3 . Guru mengenalkan kepada 2 siswa formula persamaan garis lurus dengan gradien 𝑚 dan melalui titik 𝑥1 , 𝑦1 , yaitu 𝑦 − 𝑦1 = 𝑚 𝑥 − 𝑥1 , selanjutnya siswa berupaya menghafalkan formula tersebut tanpa memberinya kesempatan bereksplorasi dengan formula tersebut untuk kemudian mendapatkan formula persamaan garis lainnya. Situasi yang tidak mendukung bagi tumbuhnya kreativitas jika terus dibiarkan, akan mematikan daya kreativitas siswa. Sehingga pada saat siswa diminta menyelesaikan tugas matematika, hal pertama yang ada dalam benaknya adalah rumus matematika apa yang harus digunakan untuk menghasilkan suatu jawaban berupa angka?. When faced with math, students abandon basic reasoning and prefer to drop numbers into formulas (Yuan, 2013). Ketika seseorang menyelesaikan tugas, tentunya sangat berkaitan dengan proses berpikir, sedangkan berpikir merupakan aktivitas otak manusia. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) yang menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas yaitu kemampuan cara berpikir menggunakan perspektif berbeda yang dikenal dengan sebutan berpikir outside the box. Pengertian berpikir outside the box menurut Wikipedia didefinisikan sebagai “thinking outside the box (thinking out of the box atau thinking beyond the box) is a metaphor that means to think differently, unconventionally, or from a new perspective. This phrase often refers to novel or creative thinking (Wikipedia, 2014)”. Dengan demikian agar siswa dapat menyelesaikan tugas dan dari tugas tersebut siswa mampu belajar sehingga bermakna bagi dirinya, maka diperlukan cara berpikir berbeda, tidak konvensional, dengan kata lain berpikir dengan cara menggunakan perspektif baru. Ini berarti penting bagi siswa untuk terampil berpikir outside the box. Herrmann (2001) menyebut berpikir kreatif sebagai “out of the box thinking” atau “outside the box thinking”, yaitu cara berpikir berbeda sehingga mental tidak merasakan lelah diakibatkan oleh munculnya rutinitas yang sama. Thornton (2007) membuat suatu rumusan (formula) untuk menjelaskan konsep eksplorasi dan transformasi sebagai satu kesatuan, yaitu eksplorasi (mengarahkan pencarian dalam ruang konseptual yang ada) dan transformasi (menciptakan ruang konseptual yang baru). Transformasi sebagai salah satu tipe kreatifitas lebih efektif bagi pembentukan true originality (kebaruan sejati), dan lebih menginspirasi bagi terbentuknya cara berpikir ouside the box daripada berpikir inside the box. Darn (2012) 1221
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menyatakan berpikir outside the box merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan cara berpikir yang diperlukan ketika kualitas solusi tugas atau ide di bawah standar dan belum ditemukan penyelesaiannya (non rutin). Berdasarkan uraian tersebut di atas, selanjutnya dalam tulisan ini akan diuraikan alur berpikir outside the box siswa dalam menyelesaikan tugas matematika. Oleh karenanya tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan alur berpikir outside the box siswa dalam menyelesaikan tugas matematika. Adapun penelitian yang dilakukan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan alur berpikir outside the box siswa dalam menyelesaikan tugas matematika, sehingga nantinya diperoleh karakteristik berpikir outside the box siswa sebagai bahan masukan bagi pemerhati pendidikan karakter berpikir anak terutama yang berkaitan dengan belajar matematika. Pikiran merupakan hasil berpikir yang dilakukan secara spontan. Sedangkan berpikir adalah proses aktif membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas, dan kecerdasan (Solso, 2007). Berpikir juga berarti bersusah payah secara mental untuk memahami sesuatu atau mencari solusi dari suatu persoalan. Sekalipun proses dalam berpikir tidak terlihat, namun dapat diperkirakan melalui perilaku. Menurut ahli psikologi kognitif, perilaku adalah hasil dari pemrosesan informasi. Dalam memproses informasi terdapat beberapa komponen yang harus dipenuhi yaitu input, output, memori penyimpanan, dan kapasitas terbatas otak untuk memproses informasi pada suatu waktu. Terdapat dua teori utama tentang cara manusia memahami dunia, pertama, teori persepsi konstruktif (constructive perception) menyatakan bahwa manusia “mengkonstruksi” persepsi dengan secara aktif memilih stimuli dan menggabungkan sensasi dengan memori. Kedua, teori persepsi langsung (direct perception) menyatakan bahwa informasi dalam stimuli adalah elemen penting dan pembelajaran dianggap tidak penting karena lingkungan telah memuat informasi memadai yang dapat digunakan untuk interpretasi. Dalam memunculkan interpretasi, umumnya digunakan schema. Menurut definisi informal, schema diartikan sebagai asumsi yang telah ada sebelumnya tentang cara informasi dikelola. Ketika ada informasi baru, seseorang mencoba menyesuaikan informasi baru tersebut ke dalam pola yang telah digunakan untuk menginterpretasikan informasi yang berada pada situasi yang serupa (mengggunakan interpretasi lama). Jika informasi baru tepat sesuai dengan interpretasi lama, maka tidak ada kendala yang berarti, tetapi jika informasi baru tidak sesuai dengan interpretasi lama, maka mencoba menggunakan schema sebelumnya yang sama, atau menggunakan schema berbeda dalam menginterpretasikan informasi, seperti model pemrosesan informasi tentang persepsi dan kognisi Robert Axelrod (Axelrod, 1973), yang disebut sebagai Teori Schema. Hasil pemrosesan disimpan di memori dalam bentuk pengetahuan (knowledge), yang akan digunakan di kemudian hari. Menurut teori Gestalt, pikiran bersifat interpretatif artinya pikiran menggunakan heuristik dan algoritma untuk memproses informasi. Heuristik dianggap sebagai “perkiraan yang tepat berdasarkan aturan yang berlaku” (good guess based on rule of thumb), yang seringkali menghasilkan solusi tepat. Menurut Sickafus (2004), terdapat dua belas heuristik dalam matematika Sedangkan algoritma dipandang sebagai tatanan aturan spesifik yang mengarahkan proses pada hasil yang diprediksi sebelumnya. Pikiran seringkali menggunakan heuristik sehingga cenderung membuat kekeliruan dalam hal representasinya. Representasi kanonik dibentuk melalui pengalaman dengan unsur-unsur sejenis dari suatu kategori yang disebut dengan eksempar (exemplar). Seberapapun menarik pemandanganpemandangan tersebut, namun tetap berada di luar batasan empirik. Perspektif kanonik didasarkan pada pengalaman keseharian dengan objek-objek sehingga memunculkan memori permanen tentang pemandangan atau penampilan paling representatif dari suatu objek. Adanya kecenderungan ekspektasi untuk melihat objek-objek tertentu dalam beragam konteks memudahkan identifikasi terhadap objek-objek dalam konteks yang mudah dikenal, dan sebaliknya menghambat pengenalan objek dalam konteks yang berbeda, yaitu thinking outside the box. Menurut Wikipedia, thinking outside the box/thinking out of the box/thinking beyond the box is a metaphor that means to think differently, unconventionally, or from a new perspective. This phrase often refers to novel or creative thinking. Jadi berpikir outside the box merupakan 1222
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
istilah yang digunakan untuk menunjukkan cara berpikir yang berbeda dari yang lainnya, cara berpikir tidak konvensional, atau berpikir diluar dari yang umum. Agar dapat berpikir outside the box, diperlukan keberanian untuk melakukan sesuatu yang berbeda sehingga akan tercipta sesuatu yang berbeda pula dibandingkan orang lain dan memiliki kualitas lebih, dan pada akhirnya menjadi pribadi berkualitas terbaik dan berhasil mencapai tujuan. Out-of-the-box qualities and characteristics are the stepping stones that will help a child ultimately achieve his or her personal best; that will better enable him or her to reach for the stars (Lerner, 2005). Berpikir outside the box adalah cara berpikir di luar batasan tugas yang ada atau cara berpikir dengan menggunakan perspektif yang baru. Maksud “box” dalam hal ini adalah perumpamaan pembatasan diri seseorang ketika melihat suatu persoalan. Dalam definisi yang lebih luas, berpikir outside the box dideskripsikan sebagai suatu cara berpikir baru di luar kebiasaan dari cara berpikir yang sebelumnya, cara berpikir yang berbeda dari orang-orang pada umumnya, cara berpikir di luar kemampuan diri dan kelompok , dan cara berpikir yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh siapapun sebelumnya. Pada intinya, berpikir outside the box berarti berani untuk berpikir lebih jauh, tidak terfokus hanya pada apa yang dihadapi dan apa yang biasanya orang pikirkan. …that each of us needs to “break out” of our natural thinking processes, to “get out of out our own box” (Herrmann, 2001). METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan grounded teori (Grounded Theory Approach). Pendekatan grounded teori merupakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori. Pendekatan grounded teori merupakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan sejumlah prosedur sistematis guna mengembangkan teori. Fokus penelitian ini adalah proses berpikir outside the box siswa ketika menyelesaikan tugas matematika yang ditunjukkan dengan cara siswa mengidentifikasi tugas, menggunakan heuristik untuk menemukan ide penyelesaian tugas, dan mengklarifikasi ide penyelesaian tugas dengan mengkonstruksi proses penyelesaian tugas matematika sehingga mendapatkan selesaian tugas matematika. Selanjutnya hasil pengumpulan data akan diolah untuk mendapatkan kesimpulan tentang karakteristik berpikir outside the box siswa. Peneliti menyiapkan instrumen penelitian berupa tugas matematika untuk diselesaikan oleh siswa, kemudian menentukan subyek penelitian sebanyak 2 siswa berdasarkan rekomendasi guru bidang studi matematika. Siswa diminta untuk mengerjakan tugas matematika yang diberikan guru, untuk mengklarifikasi hasil pekerjaan siswa, peneliti melakukan wawancara tak terstruktur dengan maksud mendalami proses yang terjadi ketika siswa sedang berpikir mencari penyelesaian tugas matematika. Semua data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan cara: (1) mentranskrip data verbal yaitu data yang diperoleh dari wawancara; (2) menelaah seluruh data baik data hasil pengamatan maupun data verbal; (3) mereduksi data dengan membuat abstraksi; (4) menyusun dan mengkodingkan data; (5) menggambarkan diagram atau struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan tugas; (6) menganalisis proses berpikir siswa; dan (7) menarik kesimpulan tentang karakteristik berpikir outside the box siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh data yang diperoleh yaitu data hasil pengamatan dan data verbal dianalisis. Siswa diberikan tugas matematika seperti berikut:
1223
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pak Husen akan mengubin ruang tamu rumahnya yang berbentuk persegi dengan ubin persegi juga. Pak Husen berkeinginan bahwa ubin di ruang tamunya secara berselang seling berwarna biru dan putih seperti pada gambar di atas. Berapa banyak ubin warna putih yang diperlukan? Gambar 1. Tugas Matematika Tabel 1. Penyelesaian instrumen Outside the box. No. Penyelesaian 1.
Deskripsi Interpretasi beda penempatan ubin warna putih
Jumlah ubin putih adalah 13 2.
Interpretasi beda ukuran ubin
Jumlah ubin putih adalah 25 3.
Interpretasi pengubinan tidak penuh
1224
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Hasil Pekerjaan Siswa AB
Siswa AB membuat pengandaian bentuk ruang tamu dan ubin sebagai bangun persegi, kemudian membuat pemisalan ukuran/luas ruang tamu 5x5=25m2, serta ukuran ubin 1 m2. Selanjutnya siswa menjawab: 25 25 1 25 ∶2= 𝑥 = = 12,5 𝑢𝑏𝑖𝑛 𝑝𝑢𝑡𝑖ℎ. 1 1 2 2 Berdasarkan jawaban siswa AB, terlihat siswa AB belum bisa memahami tugas yang diberikan dengan baik, sehingga interpretasinya jauh dari harapan peneliti. Apabila digambarkan dalam skema, maka akan terlihat sebagai berikut:
1225
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 3. Skema
Setelah ditanya siswa menyatakan bahwa belum pernah mendapatkan soal serupa tugas ubin ruang tamu, siswa AB hanya sekedar menggunakan kemampuan logikanya untuk menyelesaikan tugas matematika tersebut. Dengan kata lain tidak terdapat schema yang sesuai pada diri siswa sehingga membuat interpretasi yang keliru dan akhirnya penyelesaian yang dibuatnya juga keliru. From Piaget's psychological viewpoint, new mathematical constructions proceed by reflective abstraction (Beth & Piaget, 1966 : 205 dalam Dubinsky, 1991). Ketika siswa mampu (sukses) menyelesaikan tugas, dikatakan tugas dapat diasimilasi oleh skema. Tetapi ketika siswa tidak mampu menyelesaikan tugas, ini berarti skema yang ada diakomodasikan untuk mengatasi fenomena baru. Hal ini disebut sebagai konstruksi (pembentukan) abstraksi reflektif. SIMPULAN Dari hasil pengamatan dan wawancara berbasis tugas, diperoleh hasil bahwa proses berpikir outside the box siswa ketika menyelesaikan tugas matematika belum bisa memahami tugas yang diberikan dengan baik, sehingga interpretasinya tidak sesuai dengan schema yang dimiliki. DAFTAR PUSTAKA Axelrod, Robert. 1973. An Information Processing Model of Perception and Cognition. The American Political Science Review, (Online), 67(4): 1248 – 1266, (http://www.jstor.org/stable/1956546), diakses 16 Maret 2013. Boge, Knut. 2013. Learning to think “outside the box”. Interdisciplinary Studies Journal, 2(3) : 26 – 36. Darn, Steve. 2012. Thinking Outside the Teacher’s Box. Humanising Language Teaching, 14(6). (Online), (http://hltmag.co.uk), diakses 31 Desember 2013. Dubinsky, Ed (1991). Reflective Abstraction in Advanced Mathematical Thinking, dalam D.Tall (Ed.), Advanced Mathematical Thinking. Kluwer Academic Publishers, Dordecht. Herrmann, Ann. Nehdi. 2001. Creativity and Strategic Thinking: The Coming Competencies, (Online), (http://www.hbdi.com), diakses 8 Desember 2013. Lerner, Stephanie. 2005. Kids who Think Outside the Box: Helping your Unique Child Thrive in 1226
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
a Cookie-Cutter World. New York: AMACOM Sickafus, Ed. 2004. Heuristics for Solving Technical Problems. USA: Ntelleck, L.L.C. Solso, R. L. dkk. 2007. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga. Thornton, Chris. 2007. How Thinking Inside the Box can Become Thinking Outside The Box. London: Goldsmiths University of London. Wikipedia. 2014. Thinking Outside the Box. English: Wikimedia Foundation, Inc. Yuan, Shenglan. 2013. Incorporating Polya’s Problem Solving Method in Remedial Math. Journal of Humanistic Mathematics, 3(1): 96 − 107.
KAJIAN PELAKSANAAN LESSON STUDY TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DI SMAN 7 BARABAI Eulis Sulastri Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mengaji pelaksanaan lesson study yang dilakukan di kelas X 4 SMAN 7 Barabai. Kegiatan Lesson Study dilakukan melalui tahapan: perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see). Data diperoleh melalui kegiatan lesson study dalam dua siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan lesson study di SMAN 7 Barabai sudah baik yang ditandai oleh sebagian besar siswa telah aktif mengikuti pembelajaran Kata kunci: Lesson Study, pembelajaran kontekstual, SPLDV
Dewasa ini proses pembelajaran di dalam kelas kurang mendapat perhatian dari orangtua dan dari pemerintah yang penting hasil UN (Ujian Nasional) mendapat nilai tinggi. Umumnya pembelajaran dilakukan dalam bentuk satu arah, guru lebih banyak ceramah dihadapan siswa, sementara siswa mendengarkan. Guru beranggapan tugasnya hanya mentransfer pengetahuan yang dimiliki guru kepada siswa dengan target tersampainya topiktopik yang tertulis dalam dokumen kurikulum kepada siswa. Pada umumnya guru tidak memberi inspirasi kepada siswa untuk berkreasi dan tidak melatih siswa untuk hidup mandiri. Guru dalam menyajikan pelajaran kurang menantang bagi siswa untuk berfikir akibatnya siswa tidak menyenangi pelajaran dan siswa juga tidak paham dengan materi. Kepala sekolah dan pengawas terkadang lupa dalam membina guru sehingga pada saat supervisi terkadang hanya administrasi (kelengkapan) dari guru tersebut yang ditanyakan, akan tetapi proses pembelajaran yang dilakukan didalam kelas terlupakan. Guru kurang mendapat bimbingan maupun arahanarahan dalam proses pembelajaran, padahal mereka sangat membutuhkannya (Syamsuri, 2010). Berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri. Serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, maka diperlukan suatu sistem pendidikan yang bermutu dan berkualitas, sebagai tolak ukur untuk menghadapi era globalisasi dan perkembangan teknologi yang semakin pesat (Sisdiknas, 2003). Oleh karena itu, berbagai perubahan timbul di segala bidang termasuk di bidang pendidikan sehingga pemerintah bekerja sama dengan Jepang untuk peningkatan proses pembelajaran dengan menggunakan Lesson study. Guru yang professional tetap mempunyai keinginan untuk merubah proses pembelajaran sehari-hari agar lebih baik dari sebelumnya (Manado Post, 2011) Lesson study sesungguhnya bukanlah program baru sebab sesungguhnya program kerjasama peningkatan pembelajaran ini merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yang disebut piloting. Lesson study merupakan sebuah adaptasi program peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di Jepang (Stigler dan Hiebert, 1999). Lesson Study merupakan suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan 1227
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Garfield, 2006). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi, dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Menurut Walker (2005) Lesson Study adalah suatu metode pengembangan profesional guru. Menurut Lewis (2002) ide yang terkandung dalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Dalam tahap Lesson Study mengenalkan ada 3 tahap utama Lesson Study, yakni perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan tahap refleksi (see) (Saito, et 2005, Lewis dan Hurd, 2011) Prinsip utama dalam Lesson Study adalah peningkatan kualitas pembelajaran secara bertahap dengan cara belajar dari pengalaman sendiri dan orang lain dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Lesson Study sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Metode pengajaran harus selalu disempurnakan dan dikembangkan untuk menjamin kualitas pengajaran. Penelitian terbaru lebih berfokus pada sikap, persepsi, dan perilaku siswa serta hubungannya dengan prestasi siswa (Zanaton, et 2014) Pentingnya pengalaman “belajar dari orang lain” dan pengalaman nyata bagaimana orang lain melakukan pembelajaran sudah sering diungkapkan dalam berbagai literatur. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa guru sulit sekali berubah (Davis, 2003) dan bahwa guru dan calon guru lebih banyak belajar dari bagaimana mereka diajar oleh para dosennya dan bukan dari apa yang dipaparkan dosen tentang cara mengajar yang baik (Mellado, 1998). Karena Lesson Study merupakan sumber contoh-contoh nyata tentang bagaimana melakukan pembelajaran, partisipasi sebagai observer dalam Lesson Study atau mengamati rekaman video Lesson Study dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan mengajar guru dan mahasiswa. Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu: (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif (Chassels dan Melville, 2009) (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya (Kopp, 2006 dan Cerbin, 2013). Sehinga untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar maka kegiatan Lesson study ini menggunakan pembelajaran kontekstual dengan bantuan media manipulatif botol minuman untuk memahamkan siswa tentang SPLDV. Sejalan dengan tujuan Lesson Study yaitu untuk mengatasi tujuan akademis pembelajaran seperti memahami konsep tertentu dan materi pelajaran dan tujuan yang lebih luas yaitu untuk mengembangkan kemampuan intelektual, kebiasaan berpikir dan kualitas pribadi (Fernandez, Cannon, dan Chokshi, 2003; Fernandez dan Yoshida, 2004; Puchner dan Taylor, 2006; Sowder,2007). Pendekatan kontekstual merupakan suatu proses pengajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Johnson, 2002:24). Media manipulatif yang digunakan pada pembelajaran ini adalah botol minuman karena botol minuman sangat mudah ditemukan siswa dan kontekstual. Beberapa tahun terakhir The National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) telah merekomendasikan penggunaan manipulatif dalam mengajar konsep matematika pada semua tingkatan kelas (Research on the benefits of Manipulatives, 2013). Selanjutnya penelitian tindakan kelas yang menganjurkan penggunaan media manipulatif seperti penelitian yang dilakukan dibeberapa negara yang berbeda menunjukkan bahwa prestasi matematika meningkat ketika media manipulatif dimanfaatkan dengan baik (Shaw, 2002 dan Aburime, 2007). Dengan penggunaan media manipulatif dalam jangka panjang pada matematika, pendidik akan menemukan bahwa siswa memperoleh keuntungan di bidang umum seperti yang berkaitan dengan situasi dunia nyata untuk matematika (Sebesta dan Martin, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kemampuan melaksanaan pembelajaran kontekstual untuk memahamkan siswa bagi guru dan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan lesson study. 1228
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan menerapkan Lesson Study di SMAN 7 Barabai. Peneliti ini dilakukan dalam 2 siklus untuk melihat keterterapan pembelajaran kontekstual dengan bantuan media manipulatif botol minuman untuk memahamkan konsep SPLDV pada siklus pertama, dan perbaikan pembelajaran pada siklus ke 2 untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan Lesson Study di SMAN 7 Barabai. Pada siklus 1 dan siklus 2 dalam penerapan Lesson Study observer merupakan kelompok guru-guru matematika di kabupaten Hulu Sungai Tengah yang sedang menempuh Pendidikan S-2 di Universitas Negeri Malang (UM). Subjek yang dijadikan penelitian ini adalah siswa kelas X4 yang terdiri dari 21 siswa. Untuk memantau aktifitas belajar siswa selama kegiatan Lesson Study digunakan lembar observasi. Kegiatan selama pembelajaran diobservasi oleh praktikan PPL. Masingmasing pengamat diberi lembar observasi. Hal-hal yang perlu dicatat dalam lembar observasi berupa aktivitas siswa secara detil ketika pembelajaran berlangsung mulai kegiatan awal pembelajaran, kegiatan inti, sampai kegiatan penutupan pelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Lesson Study di SMAN 7 Barabai seperti biasanya meliputi tahap plan (perencanaan), do (pelaksanaan), see (melihat/refleksi). Open class pertama dilaksanakan pada tanggal 19 April 2014 sedangkan open class kedua dilaksanakan pada tanggal 23 April 2014. Pelaksanaan Lesson Studi disambut baik oleh guru-guru di SMAN 7 Barabai, yang mana hal ini dapat menjadi semangat para guru dan mahasiswa PPL. Tahap-tahap tersebut dapat dijelaskan pada uraian di bawah ini. Plan (Perencanaan) Siklus 1 Pada tahap plan siklus 1 para guru praktikan matematika secara kolaboratif melakukan pengkajian terhadap: kurikulum (KTSP), Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar dan menentukan indikator. Selanjutnya guru menetapkan metode dan media pembelajaran. Hasilnya berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), satu model format observasi pembelajaran, dan kesepakatan jadwal pelaksanaan pembelajaran dan refleksi. Pada tahap ini para praktikan sepakat untuk menggunakan model pembelajaran kontekstual dengan bantuan media manipulatif botol minuman untuk memahamkan konsep SPLDV. Hasil dari kegiatan plan tersebut adalah tersusunnya draft untuk open class matematika beserta perangkat pembelajarannya. Siklus 2 Pada tahap plan siklus 2 para guru praktikan matematika secara kolaboratif sepakat untuk tetap menerapkan pembelajaran kontekstual dengan bantuan media manipulatif botol minuman dengan indikator dan materi yang sama. Hasilnya berupa perbaikan pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), perbaikan pada Lembar Kerja Siswa (LKS), satu model format observasi pembelajaran, dan kesepakatan jadwal pelaksanaan pembelajaran dan refleksi. Hasil dari kegiatan plan tersebut adalah tersusunnya draft untuk open class matematika beserta perangkat pembelajarannya. Do (Pelaksanaan) Pelaksanaan Do and See pada siklus 1 terdiri dari 1 orang sebagai guru model dan 3 orang sebagai observer. Siklus 1 1. Kegiatan awal pembelajaran Kegiatan awal dimulai dengan mengucapkan salam kemudian mengabsen siswa satu per satu, melakukan tanya jawab mengenai pengetahuan prasyarat, menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa dengan menjelaskan pentingnya mempelajari SPLDV. Guru model membacakan nama-nama anggota kelompok dan meminta siswa untuk membentuk kelompok dan membacakan tugas masing-masing anggota kelompok. 2. Kegiatan inti
1229
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Guru memulai kegiatan inti dengan meminta siswa untuk menunjukkan botol minuman yang dibawa dari rumah. Pada tahap ini siswa mengerti botol minuman apa yang harus dibawa. Kemudian guru menyajikan permasalahan nyata tentang menentukan banyaknya air dari suatu botol minuman melalui sebuah cerita. Melalui cerita tersebut siswa diminta untuk memilih botol minuman mana yang sesuai dengan isi cerita tadi, dimana sebelumnya guru sudah menyiapkan botol-botol minuman yang akan disajikan pada siswa. Permasalahan tadi kemudian dibawa ke dalam bentuk model matematika 𝑎𝑥 + 𝑏𝑦 = 𝑐. Guru menyediakan LKS, media manipulatif botol minuman, gelas ukur, dan ember kemudian meminta masing-masing ketua kelompok untuk mengambilnya. Siswa diminta untuk mengerjakan latihan 1. Guru membimbing dan memeriksa pekerjaan masing-masing kelompok. Setelah siswa menemukan jawaban pada LKS, guru meminta siswa untuk mencek jawabannya dengan menggunakan gelas ukur. Setelah siswa selesai mengerjakan LKS, guru meminta salah satu kelompok untuk menarik kesimpulan dengan membacakannya dan diwakili oleh pelapor. Kemudian guru memberikan penguatan terhadap kesimpulan yang sudah dibacakan tadi. Siswa diminta untuk kembali ketempat duduk masing-masing untuk mengerjakan soal latihan 2. 3. Kegiatan akhir Meminta ketua kelompok untuk mengumpulkan LKS dan alat-alat pembelajaran yang dibagikan tadi. Menginformasikan tentang kegiatan pada pertemuan selanjutnya dan mengakhiri pembelajaran dengan salam. Siklus 2 1. Kegiatan awal pembelajaran Kegiatan awal dimulai dengan mengucapkan salam kemudian mengabsen siswa satu per satu, melakukan tanya jawab mengenai pengetahuan prasyarat, menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa dengan menjelaskan pentingnya mempelajari SPLDV. Guru model membacakan nama-nama anggota kelompok dan meminta siswa untuk membentuk kelompok dan membacakan tugas masing-masing anggota kelompok. Ketua kelompok diminta untuk mengambil LKS, media manipulatif botol minuman, gelas ukur dan ember. 2. Kegiatan inti Guru memulai kegiatan inti dengan meminta siswa untuk menunjukkan botol minuman yang dibawa dari rumah. Pada tahap ini siswa mengerti botol minuman apa yang harus dibawa dan lebih bervariasi. Salah satu siswa diberi pertanyaaan berapa jenis dan banyaknya botol minuman yang dibawa kemudian menanyakan apakah botol minuman yang dibawa bisa dibawa kedalam bentuk SPLDV. Setelah siswa tadi menanggapi pertanyaan dari guru, semua siswa diminta untuk menuliskan jawaban pertanyaan yang ditanyakan pada siswa tadi di kertas masing-masing. Kemudian salah satu siswa diminta untuk mengemukakan alasan mengapa bisa dibawa kedalam bentuk SPLDV. Setelah selesai siswa disuruh mengumpulkan jawabannya. Siswa dipersilahkan mengerjakan latihan soal pada LKS dengan berdiskusi. Ketika mencari jawaban yang sesuai dengan isi cerita, siswa harus mengukur kapasitas botol minuman dengan menggunakan gelas ukur dan disinilah proses menemukan sedang terjadi. Pada tahap pemodelan guru membimbing siswa yang menemukan kesulitan. Siswa juga diberi kesempatan untuk bertanya jika ada hal yang tidak dimengerti. Untuk mewujudkan kerjasama yang bagus, siswa banyak menggali pengetahuan dari teman satu kelompoknya. Jika latihan 1 sudah selesai siswa disuruh mengerjakan latihan 2 pada LKS secara berdiskusi. Kemudian siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan membacakan kesimpulannya ke depan kelas. Latihan 2 juga dibahas sebagai penguatan untuk siswa. Untuk lebih meyakinkan siswa terhadap hasil pengukuran dengan menggunakan gelas ukur, guru menunjukkan label produk dari botol minuman dan menyampaikan bahwa jawabannya sudah ada tertulis pada label tersebut. 3. Kegiatan Akhir Penguatan kembali dilakukan guru atas kesimpulan yang dibacakan siswa. Meminta ketua kelompok untuk mengumpulkan LKS dan alat-alat pembelajaran yang dibagikan tadi. Mengakhiri pembelajaran dengan salam. See (Refleksi) 1230
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tahap refleksi harus segera dilaksanakan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Tahap refleksi adalah tahap dimana guru model melaporkan kegiatan pembelajaran yang baru berlangsung apakah kegiatan pembelajaran tersebut sudah sesuai dengan plan yang telah dibuat atau tidak, serta perasaan yang dialaminya selama mengajar. Pada refleksi juga disampaikan hasil pengamatan para observer selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi dari beberapa observer, pelaksanaan Lesson Study di SMAN 7 Barabai berjalan lancar. Pelaksanaan kegiatan di sekolah ini berjalan sesuai dengan plan yang sebelumnya sudah dibuat oleh para guru praktikan. Pada siklus 1 ada 2 siswa yang kurang aktif berdiskusi dan 1 siswa yang tidak aktif berdiskusi. Kelompok 1 aktif berdiskusi dengan anggota kelompoknya. Kelompok yang lain anggotanya ada yang tidak aktif dan berbicara dengan temannya. Adapun hasil temuan para observer dalam kegiatan Lesson Study ini adalah: 1) Sebagian besar kelompok beberapa orang anggotanya tidak aktif dan ada beberapa anggota yang berbicara dengan temannya. 2) Siswa yang ditunjuk untuk jadi ketua dan pelapor tidak membimbing anggota kelompok yang lain dengan baik. 3) Siswa tidak fokus memahami isi LKS karena siswa bergiliran membaca LKS sehingga banyak waktu yang terbuang. 4) Siswa tidak mencatat isi LKS dibuku masing-masing. 5) Siswa masih belum paham tentang konsep PLSV dan PLDV. 6) Siswa tidak mengerjakan latihan dengan tepat waktu. 7) Semua botol minuman yang dibawa siswa hampir sama. 8) Siswa belum bisa mengkonstruk pemahaman melalui botol minuman. 9) Siswa masih mengandalkan guru daripada rekan sekelompoknya. 10) Siswa tidak ada yang menanyakan pada guru tentang konsep SPLDV secara lebih jelas. 11) Sebagian siswa kurang memahami materi. Hal ini tercermin pada tahap penarikan kesimpulan ada 3 kelompok yang masih belum bisa menarik kesimpulan dengan benar, sehingga sebaiknya guru menjelaskan materinya terlebih dahulu agar siswa mempunyai gambaran topik yang akan dibahas. 12) Pembelajaran kontekstual dengan bantuan media manipulatif botol minuman bisa membuat siswa lebih aktif dalam berinteraksi dengan temannya seperti menanya untuk memahami SPLDV. Pada siklus 2 secara keseluruhan kegiatan pembelajaran sudah mengalami kemajuan dari pada siklus 1, namun banyak permasalahan yang timbul selama kegiatan pembelajaran. Hal ini mungkin disebabkan karena siswa kurang memahami konsep yang dipelajari, mengingat materi kelarutan dan hasil kelarutan cukup sulit dan sangat abstrak. Adapun hasil temuan para observer dalam kegiatan Lesson Study pada siklus 2 antara lain: 1) Siswa sudah mulai berani bertanya di depan teman-temannya. 2) Siswa sudah berani mengungkapkan adanya perbedaan pendapat dalam kelompok dengan mengamb.il inisiatif sendiri mengukur isi botol minuman menggunakan gelas ukur. 3) Meskipun masih ada siswa yang berbicara dengan temannya, tetapi masih dalam batas wajar dan terkendali. 4) Tujuan pembelajaran sudah tercapai. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian sebelumnya, dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1) Kegiatan Lesson Study di SMAN 7 Barabai berlangsung dengan baik. 2) Pola pembelajaran guru sudah baik sehingga sebagian besar siswa telah aktif mengikuti pembelajaran. 3) Hasil observasi yang intensif kepada siswa dapat mengukur kadar pemahaman siswa dalam memahami materi tersebut. 4) Tahap refleksi sangat membantu guru memperbaiki cara mengajar dan memilih metode pembelajaran yang tepat dalam memahami suatu materi pelajaran. Saran 1) Sebaiknya masing-masing observer mempunyai RPP dan LKS sehingga dapat memantau jalannya pembelajaran secara maksimal. 2) Dalam Lesson Study yang diamati seharusnya adalah siswa. 1231
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3)
Sebaiknya siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran, misalnya siswa diajak mengoreksi jawaban temannya sendiri dan jawaban yang salah diperbaiki oleh siswa sendiri.
DAFTAR RUJUKAN Aburime, Ehi. F. 2007. How Manipulatives Affect the Mathematics Achievement of Students in Nigerian Schools. Educational Research Quarterly, (Online), 31(1): 3-15, (http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ792865.pdf), diakses 18 Januari 2014. Cerbin, Bill. 2013. Using Lesson Study to Improve Teaching and Learning. Workshop presented at Faculty College, May 29, 2013. Chassels, C., & Melville, W. (2009). Collaborative, Reflective, and Iterative Japanese Lesson Study in an InitialTeacher Education Program: Benefits and Challenges. Canadian Journal Education, 32(4), 734-763. Davis, K. S. 2003. “Change is hard”: What science are telling us about reform dan teacher learning of innovative practises. Science and Education, 87(1), 3-30. Fernandez, C., Cannon, J., & Chokshi, S. 2003. A US–Japan lesson study collaboration reveals critical lenses for examining practice. Teaching and Teacher Education, 19, 171–185. Fernandez, C., & Yoshida, M. 2004. Lesson study: A Japanese approach to improving mathematics teaching and learning. Mahwah, NJ: Erlbaum. Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum, (Online), www.stat.auckland.ac.nz/iase/publi cations/11/-Garfield.doc, diakses 15 April 2014. Johnson, Elaine. B. 2002. CTL (Contextual Teaching and Learnin): Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Kaifa. Kopp, Bryan & Cerbin, William. 2006. Lesson Study as a Model for Building Pedagogical Knowledge and Improving Teaching, 18(3), 251-157. Lewis, C.C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia: Research for Better School. Inc. Lewis, C. C & Hurd, J. 2011. Lesson Study Step by Step: How Teacher Learning Communities Improve Instruction. Portsmouth, NH: Heinemann. Mellado, V. 1998. The classroom practise of preservice teacher and their cinception of teaching and learning. Science education, 82, 197-214 Puchner, L.D., & Taylor, A.N. (2006). Lesson study, collaboration and teacher efficacy: Stories from two school-based math lesson study groups. Teaching and Teacher Education, 22, 922-934. Sowder, J. T. (2007). The mathematical education and development of teachers. In F. K. Lester (Ed.), Second handbook of research on mathematics teaching and learning. Charlotte, NC: Information Age Publishing. Research on the Benefits of Manipulatives. 2013. (Online) (http://www.hand2mind.com/pdf/learning_place/research_math_manips.pdf), diakses 14 September 2013. Saito, E. 2005. Changing Lessons, Changing Learning: Case Study of Piloting Activities under IMSTEP. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang, 5 – 6 September. Sebesta, L. M. & Martin, S. R. M. 2004. Fractions: building a foundation with concrete manipulatives. 83(2): 3–23. Shaw, Jean. M. 2002. Manipulatives Enhance the Learning of Mathematics, (Online), (http://www.eduplace.com/state/author/shaw.pdf), diakses 18 Januari 2014. Stigler, J. W, & Hibert, J. 1999. The Teaching Gap : Best Ideas from The world’s Teachers for Improving Education in the Classroom. New York : the free Press. Syamsuri, Istamar. 2010. Peningkatan Kompetensi Guru untuk Meningkatkan Minat Siswa pada Bidang MIPA. Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Education of Mathematics and Natural Science, tanggal 26-27 Juli 2010 di IPB Bogor. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Online), (http://www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf), diakses tanggal 29 Maret 2014.
1232
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Walker, J.S. 2005. UWEC Math Dept. Journal of Lesson Studies. (Online), www.uwec.edu/walkerjs/Lesson_Study/Statement_of_Purpose.pdf, diakses tanggal 1 April 2014. Wuisan, Lilie Noula. 03 Juni 2011. Adopsi Sistem Pembelajaran Ala Jepang. Manado Post, hlm. 8. Zanaton, Hj Iksan, et. 2014. Applying the principle of “Lesson Study” in Teaching Science. Science and Education, 10(4), 108-113.
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DIPADUKAN DENGAN GAME MAKE AND MATCH Anik Hayatul Musyarofah, Cholis Sa’dijah, Sisworo Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran berbasis masalah yang dipadukan dengan permainan make and match yang dapat meningkatkan berpikir kreatif siswa SMA Negeri 1 Pulung. Kemampuan berpikir kreatif mencakup sikap kreatif dan produk kreatif selama pembelajaran berlangsung. Hasil penelitian menunjukkan persentase sikap kreatif siswa pada siklus I adalah 33,33% dan pada siklus II meningkat menjadi 46,67%. Persentase produk kreatif siswa pada siklus I adalah 33,25% pada siklus II meningkat menjadi 66,75% Kata kunci: berpikir kreatif, problem based learning, game make and match
Saat ini teknologi informasi dan industri berkembang sangat pesat, untuk menghadapi perkembangan teknologi informasi dan industry tersebut, maka diperlukan sumber daya manusia yang dapat berpikir kriis, kreatif, logis dan tepat. Dalam dunia pendidikan sebagaimana tertuang dalam kurikulum 2013 mengamanatkan pentingnya mengembangkan kreativitas siswa dan berpikir kreatif melalui aktivitas-aktivitas kreatif dalam pembelajaran. Hal ini juga tertuang dalam kompetensi inti mata pelajaran matematika SMA/K yaitu siswa mampu mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya disekolah secara mandiri dan mampu menggunakan metode sesuai dengan kaidah keilmuan (Kemendikbud; 2013). Namun demikian dalam dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran matematika di sekolah, masalah klasik yang selalu dihadapi dan terus diupayakan pemecahannya adalah masih banyak siswa mengalami kesulitan belajar matematika yang berakibat kurang maksimal prestasi belajar matematika bahkan kemampuan berpikir kreatif siswa cenderung tidak berkembang. Hanya sebagian kecil siswa yang mempunyai kemampuan berpikir secara kritis, kreatif dan logis, selebihnya masih jauh dari harapan. Meskipun matematika diajarkan di sekolah bertujuan untuk membantu melatih pola pikir siswa agat dapat memecahkan masalah utamanya masalah matematika secara kritis, kreatif dan logis. Tetapi banyak siswa yang tidak menyukai matematika, karena mereka beranggapan bahwa pelajaran matematika itu bersifat abstrak, banyak rumus, dan hanya mengerjakan soal-soal yang rutin sehingga sangat membosankan dan menjadi bidang studi yang paling sulit. Salah satu faktor kesulitan belajar siswa dapat berasal dari guru, yakni kurang tepatnya pemilihan serta pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Meskipun sudah banyak berbagai alternatif pembelajaran yang telah diupayakan oleh guru namun selama ini guru kurang berperan optimal sehingga siswa cenderung pasifdan keaktifan siswa kurang diperhatikan. Selain itu guru cenderung memberikan masalah-masalah matematika yang rutin, sehingga siswa ketika menghadapi masalah non rutin siswa cenderung hanya mengikuti langkah yang telah diberikan oleh guru ataupun yang ada di buku paket. Belum tampak adanya penemuan ide, mengaitkan materi dengan dunia nyata ataupun mengaitkan masalah dengan konsep matematika yang lain. Selain itu guru kurang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk mengaitkan permasalahan yang dihadapi dengan kehidupan sehari-hari dan memunculkan ide-ide kreatif melalui suatu produk. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya 1233
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kemampuan berpikr kreatif siswa dalam pembelajaran matematika, karena siswa kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam diri siswa. Kemampuan berpikir perlu untuk diajarkan kepada siswa melalui aktvitas belajar yang dilakukannya setiap hari. Aktivitas belajar merupakan semua kegiatan yang dilakukan seorang siswa dalam konteks belajar untuk mencapai tujuan. Diantara kemampuan berpikir yang ada, peneliti fokus pada kemampuan berpikir kreatif. Berpikir kreatif atau kreativitas merupakan hal yang penting, hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh (Craft, 2004; Munandar, 1999; Mohamed, 2012). Menurut Craft (2000) pengembangan keterampilan dan kreatif lintas kurikulum dapat memungkinkan siswa untuk menemukan” jalan” dalam berbagai konteks kehidupan mereka. Munandar (1999), menjelaskan bahwa dengan berpikir kreatif orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan ketrampilan yang sangat penting dimiliki oleh setiap siswa dalam pembelajaran matematika. Mohamed dkk (2012) secara umum menyatakan bahwa kreativitas dimiliki setiap siswa yang ditunjukkan dengan kemampuan berpikir divergen. Bishop (dalam Pehkonen, 1997) menyatakan bahwa seseorang memerlukan dua kemampuan berpikir matematis yaitu berpikir kreatif yang diidentikkan dengan intuisi dan kemampuan analitik yang diidentikkan dengan kemampuan berpikir logis. Pendapat ini menegaskan eksistensi kemampuan kreatif matematis. Menurut Sriraman (2008) siswa yang memiliki kreativitas matematika berarti dia berbakat matematika tetapi tidak berarti sebaliknya. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam karya baru ataupun modifikasi serta pengembangan dari karya-karya yang telah ada. Kreativitas memiliki banyak definisi (Gardner, 2011; Pehkonen, 1997; Torrance, 1969). Torrance (1969) mendefinisikan secara umum kreativitas sebagai proses dalam memahami sebuah masalah, mencari solusi-solusi yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan mengevaluasi, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada orang lain. Menurut Gardner (2011), kreativitas adalah gagasan yang kompleks dan sering diperlihatkan sebagai kecerdasan yang luas termasuk bahasa, musik, matematika, spasial, kinestetik, interpersonal, dan intrapersonal. Menurut Pehkonen (1997) “ creativity thingking might be defined and a combination of logical thingking and divergen thingking wich is based on intuition but has a conciu aim"
Dijelaskan bahwa berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Pandangan lain tentang berpikir kreatif diajukan oleh Krulik dan Rudnick (1999), yang menjelaskan bahwa berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif, dan menghasilkan suatu produk yang komplek.. Menurut Guilford dan Torrance terdapat empat karakteristik berpikir kreatif, yakni yakni (1) originality (orisinalitas, menyusun sesuatu yang baru); (2) fluency (kelancaran, menurunkan banyak ide); (3) flexibility (fleksibilitas, mengubah perspektif dengan mudah); dan (4) elaboration (elaborasi, mengembangkan ide lain dari suatu ide). Sedangkan Rhodes dan Davis, di dalam berpikir kreatif terdapat tiga bidang utama, yaitu (1) Proses, (2) Seseorang atau person dan (3) Produk Ciri-ciri perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang memberikan sumbangan kreatif yang menonjol terhadap masyarakat digambarkan sebagai berikut: berani dalam pendirian/keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan mempertimbangkan, bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya, intuitif, ulet dan bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja. Ciri pribadi kreatif yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi (30 orang) adalah sebagai berikut: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat yang luas, mandiri dalam berpikir, melit, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil resiko, dan berani dalam pendirian dan kemandirian. Sikap kreatif dioperasionalkan dalam dimensi berikut : (1) keterbukaan terhadap pengalaman baru; (2) kelenturan dalam berpikir; (3) kebebasan dalam ungkapan diri; (4) menghargai fantasi; (5) minat terhadap kegiatan kreatif; (6) kepercayaan terhadap gagasan sendiri; dan (7) kemandirian dalam memberi pertimbangan. Menurut Silver (1997), untuk mengidentifikasikan tingkat ketrampilan kreatif siswa, umumnya tiga komponen kreativitas yang merupakan tiga komponen utama dalam Torrance Test of Creative thinking (TTCT) yaitu aspek kefasihan (fluency), aspek fleksibilitas (flexibility)
1234
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan aspek kebaruan (Originality). Fluency atau kelancaran mengacu pada sejumlah besar ide, gagasan, atau alternative dalam memecahkan persoalan. Kelancaran menyiratkan pemahaman, tidak hanya mengingat sesuatu yang dipelajari. Flexibility atau fleksibilitas mengacu pada produksi gagasan yang menunjukkan berbagai kemungkinan. Fleksibilitas melibatkan kemampuan melihat berbagi hal dari sudut pandang yang berbeda serta menggunakan banyak strategi atau pendekatan yang berbeda. Originality atau kebaruan mengacu pada solusi yang berbeda dalam satu kelompok atau sesuatu yang baru atau belum pernah ada sebelumnya. Kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan kognitif untuk memunculkan dan mengembangkan gagasan baru, ide baru sebagai pengembangan dari ide yang telah lahir sebelumnya dan keterampilan untuk memecahkan masalah secara divergen (dari berbagai sudut pandang). Gomez (2007) berpendapat bahwa potensi kreatif siswa yang luar biasa bisa hilang oleh perencanaan pembelajaran yang tidak memadai. Oleh karena itu guru harus membuat strategi pembelajaran yang dapat menciptakan situasi dan kondisi yang dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan ketrampilan berpikir kreatif melalui aktivitas-aktivitas kreatif. Untuk memunculkan kreativitas dapat melalui berbagai pembelajaran, seperti pembelajaran kooperatif yang terdiri dari berbagai metode yang dapat dipakai, pembelajaran realistik, pembelajaran konstekstual. Namun berpikir kreatif merupakan proses berpikir tinggi bahkan Dewey memandang berpikir kreatif sebagai sebuah proses pemecahan masalah . Oleh karena itu dalam penelitian ini menerapkan problem based learning (pembelajaran berbasis masalah ). Pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa pada masalah autentik. Masalah autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah yang sering ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan PBM siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah melalui penyelidikan autentik baik mandiri maupun kelompok, meningkatkan kepercayaan diri serta menghasilkan karya dan peragaan. Terdapat lima karakteristik PBM yang dikemukan Arends, yakni (1) Pengajuan pertanyaan atau masalah; (2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin; (3) Penyelidikan autentik; (4) Menghasilkan produk dan memamerkannya; dan (5) Kolaborasi. Kelima karakteristik ini diharapkan dapat membantu siswa untuk berpikir kritis, berpikir kreatif, membantu siswa memproses informasi yang telah dimiliki, dan membantu siswa membangun serta menemukan sendiri pengetahuan tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya. Menurut Dienes, dengan permainan siswa lebih mampu memahami suatu konsep Matematika (Bell, 1981:127). Daya kreatif yang muncul dalam bermain juga bisa melatih proses pemikiran siswa, merangsang penalaran dan pemikiran logis di satu pihak dan pemikiran kreatif di lain pihak. Prinsip variabilitas matematis dan variabilitas persepsi yang dikemukakan Dienes tercermin pada berbagai macam soal yang ditemukan dan didiskusikan murid-murid pada permainan Puzzle. Teori Dienes ini juga didukung oleh Stanford and Standford (1969): “…to solve problems, to air opinions, to find out what others think, to vent feeling, to clarify one’s point of view, to reevaluate one’s opinions, and to gain feelings of acceptance and belonging” (Bell, 1981:352). Siswa yang berkerja berpasangan atau berkolaborasi dalam sebuah kelompok menghasilkan sesuatu yang lebih daripada siswa yang bekerja secara individu. Dalam diskusi kelompok siswa-siswi diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan teman sebayanya. Hal ini membuat suatu peralihan melewati daerah kemampuan murid sebelumnya sampai pada perkembangan yang lebih tinggi dan bahkan maksimal. Game make and match adalah sebuah permainan dimana Guru membagi siswa menjadi 2 kelompok besar yaitu satu kelompok sebagai kelompok soal, kelompok yang lain sebagai kelompok jawaban. Masing-masing siswa dari ke dua kelompok saling mencoba mencari pasangan yang cocok (make and match) sebagai pasangan soal dan jawaban. Siswa yang pertama kali berhasil menemukan pasangannya diminta mempresentasikan hasil temuannya dan diberi penghargaan. Permainan ini sangat mudah dimainkan dan menarik bagi segala usia, termasuk usia siswa SMA. Ketika dimainkan secara berkelompok, permainan ini akan menuntut kerja sama, saling mendukung dan saling pengertian dari setiap anggota kelompok Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah Seberapa besar persentase kemampuan berpikir kreatif siswa SMAN 1 Pulung dalam pembelajaran berbasis masalah (PBM) yang telah dipadukan dengan game make and match ? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase kemampuan berpikir 1235
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kreatif siswa SMAN 1 Pulung dalam pembelajaran berbasis masalah (PBM). Agar penelitian ini lebih efektif, efisien, terarah dan dapat dikaji lebih mendalam, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah kreativitas berpikir matematis siswa dengan sikap kreatif matematis dan produk kreatif matematis. Secara umum penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan sumbangan kepada sekolah terhadap pembelajaran matematika dengan Pembelejaran berbasis masalah (PBM). Mengingat seseorang memerlukan ketrampilan serta kecerdasan untuk memahami sesuatu, maka salah satu untuk mengasah kemampuan matematika adalah melalui pembelajaran berbasis masalah (PBM). Secara khusus, memberikan konstribusi kepada strategi pembelajaran matematika yang tadinya hanya mementingkan hasil ke pembelajaran yang mementingkan proses. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan kepada guru dan calon guru serta kepada siswa. Bagi guru matematika penggunaan pembelajaran berbasis masalah (PBM) digunakan untuk menyelenggarakan pembelajaran secara aktif dan kreatif. Bagi siswa, proses pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah (PBM) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam belajar matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), karena data yang dikumpulkan berupa data verbal dan bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas, terutama sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dalam penelitian ini peneliti sebagai instrumen utama karena peneliti yang merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan data, menarik kesimpulan dan membuat laporan. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan salah satu cara yang strategis bagi guru untuk memperbaiki layanan pendidikan yang harus diselenggarakan dalam kontrol pembelajaran di kelas dan peningkatan kualitas program sekolah secara keseluruhan (Aqib, 2006:18). PTK dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan dalam melaksanakan tugas, memperoleh pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya, serta memperbaiki kondisi dimana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan dan dilaksanakan berupa proses pengkajian bersiklus (cyclical). (Depdikbud, 1999:6). PTK mengundang partisipasi demokratis dan kerjasama setara diantara para anggota dari setting sosial tertentu, apakah pada setting kelas, sekolah atau wilayah. Siklus dalam PTK diawali dengan Planning (perencanaan tindakan), Action (pelaksanaan tindakan), Observation dan Evaluation (mengobservasi dan mengevaluasi proses dan hasil tindakan), dan Reflecting (melakukan Refleksi), dan seterusnya sampai perbaikan atau peningkatan yang diharapkan tercapai (kriteria keberhasilan). (Arikunto, S, 2009: 16-20). Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa PTK sebagai suatu bentuk investigasi yang bersifat reflektif, partisipatif/kolaboratif dan bersiklus, yang memiliki tujuan untuk melakukan perbaikan sistem model kerja, proses, isi, kompetensi, dan di kelas. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA1 SMAN Pulung Ponorogo, pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Jumlah siswa kelas XI.IPA 1 adalah 34 orang. Moleong (2012) menjelaskan sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen atau lainnya. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik observasi selama pembelajaran berlangsung melalui lembar observasi dengan identifikasi sikap kreatif siswa dan produk kreatif siswa. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama adalah peneliti, sedangkan instrumen bantuannya berupa Lembar pengamatan skala sikap kreatif dan lembar pengukuran produk kreatif. Lembar pengamatan skala sikap kreatif digunakan untuk mengamati kepribadian atau sikap siswa yang berkaitan dengan berpikir kreatif seperti rasa ingin tahu, berani mengambil resiko dan lain-lain. Tabel 1. Kisi-kisi Pengamatan Skala Sikap Kreatif Sikap Indikator Rasa ingin tahu Mengajukan banyak pertanyaan Membaca buku-buku selain buku wajib
1236
Butir 1 2
Skor 0-10 0-10
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Imanjinatif
Merasa tertantang oleh kemajemukan Berani mengambil resiko
Menghargai
Mengikuti pembelajaran dengan baik Member contoh-contoh konsep-konsp yang berbeda dengan yang sudah ada Mudah melihat kekurangan dan kelebihan dari suatu penyelesaian soal Merasa tertantang oleh soal-soal tidak rutin atau soal cerita Menyelesaikan tugas individu tanpa bantuan orang lain Berani empertahankan gagasan penyelesaian soal bila mendapat kritikan dari orang lain Berani mengemukakan masalah yang tidak dikemukakan orang lain Optimis pada kebenaran jawaban soal yang dibuat Mempertimbangkan setiap masukan dari orang lain untuk penyempurnaan penyelesaian tugas
3 4
0-10 0-10
5
0-10
6 7 8
0-10 0-10 0-10
9
0-10
10 11
0-10 0-10
Catatan: Siswa yang mempunyai sikap kreatif yang baik, jika skor kreatif diperoleh minimal 75 Lembar pengukuran produk kreatif digunakan untuk mengetahui kualitas produk yang terdiri dari tiga kategori yaitu fleuncy, flexibility dan originality. Berikut adalah kisi-kisi produk kreatif: Tabel 2. Kisi-kisi Produk Kreatif Kategori Kriteria Fluency siswa mampu meyelesaikan masalah dengan beragam ide penyelesaian yang disajikan secara lengkap dan benar Flexibility siswa menyelesaikan masalah dengan satu cara (metode) kemudian dengan cara yang lain. Disajikan secara lengkap dan benar Originality siswa mampu memberikan jawaban dari masalah dengan satu metode (cara penyelesaian yang tidak biasa digunakan oleh individu (siswa) pada tingkat pengetahuannya
Butir 1
Skor 0-10
2
0-10
3
0-10
Produk kreatif siswa dinilai berdasarkan kelompok, dan kelompok yang mempunyai produk kreatif siswa yang baik, jika skor produk kreatif yang diperoleh minimal 75. HASIL PENELITIAN Dari hasil pengamatan peneliti bersama observer terhadap pelaksanaan pembelajaran yang terdiri dari 2 (dua) siklus pada pokok bahasan fungsi komposisi dan fungsi invers diperoleh data sebagai berikut: Pengamatan Sikap Kreatif Siswa. Pada observasi skala sikap kreatif dilakukan pada 15 anak dari 34 anak, diperoleh sebagai berikut: Tabel 3. Tabel Pengamatan Skala Sikap Kreatif Kategori siklus I jumlah rata-rata nilai observasi 55,63 rata-rata 58,67 jumlah siswa yang memenuhi nilai obsevasi minimum 5 jumlah siswa yang belum memenuhi 10 jumlah sisa yang diobservasi 15 Persentase 33,33% persentase skala berpikir kreatif 40%
siklus II 61,72 7 8 15 46,67%
Dari data di atas diketahui jumlah rata-rata nilai observasi adalah 58,67 dan persentase siswa mempunyai sikap kreatif baik sebesar 40%. Pengamatan Produk Kreatif Siswa Pada pengukuran produk kreatif dilakukan pada setiap kelompok dan terdapat 6 kelompok dalam kelas itu yang dibagi secara acak melalui pengambilan kartu. Dari lembar pengukuran produk kreatif, pengamat menilai dari aspek produk kreatif yang telah disediakan peneliti. Dari hasil pengamatan dihitung nilai hasil observasi masing-masing kelompok, selanjutnya dihitung persentase kelompok yang tuntas (memenuhi nilai hasil observasi 75) 1237
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk masing-masing observer. Kemudian dihitung rata-rata Persentase untuk masingmasing pertemuan dan terakhir dihitung Persentase rata-rata. Data hasil pengukuran produk kreatif disediakan dalam tabel berikut: Tabel 4. Data Hasil Pengukuran Produk Kreatif Siklus I Siklus II 1 2 3 4 1 2 rata-rata hasil observasi 78 72 62 67 75 73 banyak kelompok yang tuntas 4 2 0 2 4 3 persentase kelompok yang tuntas 67 33 0 33 67 50 rata-rata persentase tuntas 33,25% 66,75% rata-rata total persentase yang tuntas 50% Kategori
3 76 5 83
4 75 4 67
Dari data di atas didapatkan persentase untuk produk kreatif yaitu sebesar 50%. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan persentase keterampilan berpikir kreatif matematis siswa SMA dalam PBM untuk skala sikap kreatif matematis siswa sebesar 40%. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam PBM, sikap kreatif matematis siswa SMA masih rendah. Namun demikian, berdasarkan pertemuan pertama ke pertemuan berikutnya terdapat peningkatan, yaitu dari 33,3% pada pertemuan I ke 46,67% pada pertemuan II. Hal ini menunjukkan selama proses pembelajaran berbasis masalah pada diri siswa, sikap kreatif matematis siswa SMA mulai tertanam pada diri siswa. Skala sikap kreatif ini meningkat karena dalam permainan make and match ( menjodohkan) adanya proses diskusi dan tanya jawab, yang melatih siswa untuk memunculkan rasa ingin tahu dan tertantang dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi lebih kreatif. Tanya jawab masih dilakukan guru selama proses belajar mengajar berlangsung, karena guru menganggap cara ini efektif untuk meningkatkan keaktifan siswa yang mendorong adanya peningkatan pada skala sikap kreatif dan aktivitas siswa. Sehingga dalam pembelajaran berbasis masalah ini tidak hanya membuat siswa untuk berpikir kritis, tetapi juga dapat membuat siswa bersikap kreatif. Sedangkan persentase kemampuan berpikir kreatif matematis siswa SMA dalam pembelajaran berbasis masalah untuk produk kreatif siswa sebesar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Pembelajaran Berbasis Masalah, produk kreatif matematis siswa SMA masih rendah. Namun demikian, berdasarkan siklus pertama ke siklus berikutnya terdapat peningkatan dari 33,25% pada siklus I pada siklus II meningkat menjadi 66,75%. Hal ini menunjukkan selama proses pembelajaran berbasis masalah, produk kreatif matematis siswa SMA mulai tertanam pada diri siswa. Di dalam kelompok melatih siswa agar dapat bekerja sama dengan semua siswa tanpa membedakan karakter. Guru membentuk 6 kelompok dari 34 siswa, kelompok terdiri dari 4-5 siswa. Setelah kelompok terbentuk, di setiap pertemuan siswa diberi LKS yang berisi permasalahan yang harus didiskusikan siswa dengan kelompoknya. Saat diskusi berlangsung guru menginformasikan bagaimana produk kreatif harus dibuat, sehingga dengan adanya ketentuan mengenai produk kreatif, diharapkan hasil produk kreatif siswa dapat meningkat. Setelah didiskusikan di dalam kelompok sesuai langkah pada pembelajaran berbasis masalah, selanjutnya beberapa kelompok dipersilahkan untuk mempresentasikan hasilnya. Setelah presentasi guru melakukan tanya jawab agar aktivitas siswa lebih meningkat, dan sikap kreatif siswa lebih meningkat. Setelah tanya jawab guru menyimpulkan hasil diskusi siswa agar sampai pada pengertian dan penyelesaian yang diharapkan. Setelah itu guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya bila masih merasa kesulitan, kemudian untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa guru mengadakan evaluasi dengan menggunakan Make and match yaitu sebuah game dengan membagi siswa menjadi 2 kelompok besar yaitu satu kelompok sebagai kelompok soal, kelompok yang lain sebagai kelompok jawaban. Masing-masing siswa dari ke dua kelompok saling mencoba mencari pasangan yang cocok sebagai pasangan soal dan jawaban. Guru meminta siswa yang pertama kali berhasil menemukan pasangannya diminta mempresentasikan hasil temuannya dan diberi penghargaan. Aktivitas- aktivitas ini membuat siswa antusias selama pembelajaran berbasis masalah berlangsung yang dapat mendorong penciptaan produk yang baik dan baru, yang berakibat pada siklus II produk kreatif matematis siswa dari hasil observasi produk kreatif matematis mencapai 66,75%
1238
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa persentase kemampuan berpikir kreatif siswa SMAN 1 Pulung dalam pembelajaran berbasis masalah adalah untuk skala sikap kreatif matematis siswa sebesar 40%, sedangkan persentase produk kreatif siswa sebesar 50%. SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, maka peneliti dapat menyarankan sebelum guru menggunakan suatu pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis masalah guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, terlebih dulu memperhatikan suasana lingkungan sekolah, karakteristik siswa dan faktor lain yang dapat berpengaruh pada pembelajaran di kelas, supaya tujuan capaian kemampuan berpikir kreatif siswa terwujud sesuai harapan. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi, Suhardjono, Supardi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company Dienes, Z.P. 1970. The Six Stages in the Process of Learning Mathematics. Berks: NFER Publishing Company Ltd Evan , BR (2012) “Editor’s Perspective Article: Problem Solving Abilities and Perceptions in Alternative Certification Mathematics Teachers” JNAAC, Vol. 7, Number 2, Fall 2012 Pace University
[email protected] Gamboa, F (2011) “creativity assessment in school setting through problem posing task “, TMME 2011 vol 8 no. 1 and 2 p.383 centre of technical development, unam Mexico Hitipieuw, I. 2009 Belajar dan pembelajaran . fakultas pendidikan universitas malang. Penerbit, Malang: UM Press Hilman, W 2003. learning how to learn: Problem based learning. Australian Journal of Teacher Education Vol. 28, No. 2, Nov. 2003 James Cook University Moleong, 2012. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya Munandar, Utami. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. 1999:21, 41, 36, 37, 70. Pehkonen, E. 1997 “fostering of mathematical creativity Through Patterns” Vol 29 (juni 1997) No. 3,p.63-67 Silver, E. A . 1997 fostering creativity through instructional problem solving and problem posing. June 1997. Vol. 29. Issue.3. pp 75-80 Sriraman, B. 2004. The Characteristics of mathematical, the mathematical educator 2004, vol. 14. No. 1, 19-34 Sriraman, B & Lee, K.H. 2010. The Element of creativity, ZDM mathematics education. DOI.10.1007/s.11858-008-0114.Z Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Perpustakaan Nasional. 2007:68.
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERSETTING KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) PADA MATERI TRIGONOMETRI Mariani, Sri Mulyati, dan Santi Irawati Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected], dan
[email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan suatu perangkat pembelajaran kontekstual yang valid, praktis dan efektif bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi Trigonometri. Desain pengembangan dalam penelitian ini
1239
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menggunakan penelitian pengembangan model Plomp yang terdiri dari : (1) preliminary research (fase penelitian awal), (2) prototyping phase (fase prototype ) dan (3) assessment phase (fase penilaian). Hasil validasi RPP dan LKS adalah valid dengan skor berturut-turut 3,66 dan 3,60. Hasil observasi mengenai tingkat keterlaksanaan penggunaan LKS berada dalam kriteria tinggi dan hasil observasi aktivitas guru dalam kriteria aktif, sehingga perangkat pembelajaran memenuhi kriteria kepraktisan. Keefektifan tercermin dari 100% siswa mendapat nilai minimal 70, aktivitas siswa dalam kategori aktif dan respon siswa positif. Kata kunci: pengembangan, perangkat, kontekstual, kooperatif, Two Stay Two Stray.
Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di Indonesia, di mana salah satu mata pelajarannya adalah matematika. Matematika sebagai mata pelajaran wajib diberikan pada semua siswa diharapkan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan, menantang dan memotivasi siswa agar siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. When students find meaning in their lessons, they will learn and remember what they study. ( Johnson, 2002:23). Artinya ketika para siswa menemukan makna dalam pelajaran mereka, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Salah satu pembelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut adalah pembelajaran matematika dengan pemdekatan kontekstual. Sesuai dengan pendapat Johnson (2002:24) “Contextual teaching and learning enabels student to connect the content of academic subjects with the immediate context of their daily lives to discover meaning”. Artinya pembelajaran kontekstual membuat siswa dapat menghubungkan isi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka untuk menemukan makna. Menurut Johnson (2002: 24) Contextual Teaching and Learning ( CTL) adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Sistem CTL mencakup delapan komponen, yaitu: (1) Making meaningful connections (membuat keterkaitanketerkaitan yang bermakna); (2) Doing significant work (melakukan pekerjaan yang berarti); (3) Self-regulated learning (melakukan pembelajaran yang diatur sendiri); (4) Collaborating (bekerja sama); (5) Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif); (6) Nurturing the individual (membantu individu untuk tumbuh dan berkembang); (7) Reaching high standards (mencapai standar yang tinggi); (8) Using authentic assessment (menggunakan penilaian autentik). Sedangkan Sabil (2011: 46) menyatakan bahwa ada tiga hal dalam konsep CTL yang perlu dipahami, yaitu: pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan mahasiswa/siswa untuk menemukan materi; kedua, CTL mendorong mahasiswa/siswa dapat menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata; dan ketiga, CTL mendorong mahasiswa/siswa menerapkan materi yang dipelajari dalam kehidupannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memberikan hasil yang memuaskan di sekolah. Diantaranya penelitian Mulyati (2008) menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif dari pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada hasil belajar matematika. Armiya (2006) menyimpulkan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang materi volume tabung dan kerucut. Penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran kontekstual pernah dilakukan Tati (2009) menghasilkan perangkat yang valid, praktis dan efektif. Demikian juga Irmawan (2013), Junaidi (2012), dan Asmadi (2011) yang mengembangkan perangkat pembelajaran berdasarkan model pengembangan Plomp. Pembelajaran kontekstual menekankan pada pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui interaksi dalam komunitas belajar, proses dan hasil belajar menjadi lebih bermakna. Menurut Johnson (2002:29): “Collaborating helps student’s identify issues, design plans, and explore solutions”. Artinya dengan bekerja sama, siswa terbantu dalam menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Pada kegiatan kolaboratif siswa saling berbagi ide dan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dapat mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk saling berbagi ide tersebut dalam mempelajari materi pelajaran. Slavin (1995:2) menyatakan : “In Coopertaif classrooms, students are expected to help each other, to discuss and argue with each other, to assess each other’s current knowledge and fill in gaps in each other’s un derstanding”. Artinya pada pembelajaran kooperatif, siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam 1240
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pemahaman masing-masing . Pembelajaran kooperatif adalah metode yang layak namun kurang dimanfaatkan (Jones 2008). Jones sangat menyarankan agar menerapkan pembelajaran kooperatif di kelas. Pembiasaan dengan dasar pembentukan kelompok yang variatif dalam model pembelajaran kooperatif akan mengembangkan kesadaran hidup sekarang dan nanti bagi siswa. (Suparmi, 2012). Adapun menurut Yuwono (2006) pembentukan kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan siswa pada saat diskusi kelompok akan lebih baik karena siswa biasanya tidak segan bertanya kepada kawannya dalam kelompok tersebut. Perbandingan hasil dari pembelajaran koperatif dan tradisional khususnya pada bidang matematika telah dibuktikan oleh Awofala (2012), Kupczynski (2012) dan Zaheer (2010). Pada penelitian Awofala (2012) siswa mula-mula mendapat skor pre test yang relatif sama, ternyata pada hasil pos testnya kelompok yang bekerjasama memiliki hasil yang lebih baik. Kupczynski (2012) menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif menemukan manfaat belajar lebih dari kelompok tradisional. Sedangkan pada penelitian Zaheer (2010) menyatakan juga terdapat perbedaan yang signifikan dalam nilai tes kedua kondisi tersebut, sehingga disarankan guru lebih memilih strategi pembelajaran yang inovatif seperti kooperatif daripada pembelajaran tradisional. Salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah Two Stay Two Stray (TSTS). Pada model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini siswa menjadi lebih aktif, yaitu pada saat diskusi dalam kelompok maupun saat bertamu ke kelompok lain siswa. Pembelajaran kooperatif menggunakan tipe Two Stay Two Stray (TSTS) sudah banyak dimanfaatkan dalam beberapa penelitan, antara lain oleh Hamiddin (2010), Mayasari (2012) dan Sary (2013). Menurut Hamiddin (2010) pembelajaran kooperatif tipe TSTS mampu memperbaiki pemahaman siswa. Menurut Mayasari (2012) metode pembelajaran TSTS dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa kelas XI IPA SMAN 1 Purwosari, dan menurut Sary (2013) model pembelajaran kooperatof tipe TSTS dan tipe NHT memberikan prestasi yang sama ditinjau dari aktivitas belajar siswa. Model pembelajaran yang didalamnya melibatkan siswa secara aktif untuk membangun pemahaman untuk menemukan penyelesaian soal sangat diperlukan skenario pembelajaran yang baik. Dari pengamatan peneliti selama mengajar matematika di SMA Negeri 5 Banjarmasin, pada umumnya pembelajaran matematika di sekolah masih bersifat konvensional, masih dengan urutan menerangkan, memberi contoh dan latihan soal. Selain itu, bahan ajar yang digunakan di SMA Negeri 5 Banjarmasin adalah Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dari penerbit tertentu. Biasanya penyajian LKS mencakup ringkasan materi, contoh soal dan latihan soal. Tetapi dari sajian LKS yang ada, siswa hanya mendapatkan keterampilan prosedural. Dapat disimpulkan LKS yang digunakan di SMA Negeri 5 Banjarmasin masih belum cukup membantu siswa dalam pemahaman konsep matematika. Berdasarkan data yang diperoleh, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang digunakan juga terkadang bukan buatan guru itu sendiri, melainkan buatan penerbit tertentu, download di internet atau disusun oleh MGMP namun masih belum lengkap, dan pada umumnya di RPP yang biasa digunakan tersebut kegiatan guru dan siswa tidak dideskripsikan dengan detail. Peneliti memilih materi trigonometri kelas X dalam penelitian pengembangan ini karena pada saat peneliti mengajar di kelas XI, ditemukan indikasi kesulitan siswa terhadap materi perbandingan trigonometri yang pernah mereka pelajari di kelas X. Pada saat siswa menggunakan rumus trigonometri, masih banyak yang salah dalam menentukan nilai perbandingan trigonometri sudut istimewa dan nilai perbandingan trigonometri di semua kuadran, hal ini berkaitan dengan pemberian materi Trigonometri di tingkat sebelumnya. Karena materi Trigonometri ini adalah materi yang berkelanjutan dari kelas X ke kelas XI. Kesulitan siswa terhadap materi trigonometri di kelas X juga terjadi di SMAN 50 Jakarta, ada dua penelitian yang dilaksanakan di sekolah tersebut terkait materi trigonometri. Wiyartimi (2010) dalam diagnosisnya menemukan letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal materi trigonometri. Kemudian Livia (2010) berupaya meningkatkan hasil belajar trigonometri dengan menggunakan sebuah metode pembelajaran yang memacu para siswa untuk bekerja sama dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengembangkan perangkat pembelajaran yang bertujuan untuk menghasilkam RPP dan LKS yang valid, praktis dan efektif bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi trigonometri. 1241
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE Model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan perangkat dalam penelitian yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merujuk pada Plomp (2010), yang terdiri dari tiga fase, yaitu: pertama, Preliminary research. Fase ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi yang sedang berjalan di SMA Negeri 5 Banjarmasin. Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan adalah analisis kebutuhan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran. Aktivitas tersebut meliputi : (a) melakukan pengamatan terhadap pembelajaran matematika, mengamati LKS dan RPP yang digunakan oleh guru pengajar matematika, (b) mengkaji teori tentang model pembelajaran kontekstual dan kooperatif, (c) melakukan kajian tentang pengembangan perangkat pembelajaran, (d) melakukan kajian teori tentang kualitas perangkat yang baik, (e) pemilihan perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan. Kedua, Prototyping phase. Pada fase ini dilakukan (1) perancangan instrumen yang meliputi RPP, LKS, lembar observasi keterlaksanaan LKS, lembar observasi aktiviras guru, lembar observasi aktivitas siswa, angket respon siswa dan soal tes, (2) perancangan lembar validasi instrumen. RPP dan LKS disusun menggunakan 8 komponen pembelajaran kontekstual dan skenario pembelajaran di desain bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Pembelajaran Kooperatif tipe TSTS dilakukan dengan urutan diskusi kelompok (4-5 orang). Kemudian setelah diskusi, dua orang dari kelompok semula berbagi tugas masing-masing bertamu ke dua kelompok lain, demikian juga untuk kelompok lainnya. Sisa anggota kelompok berperan sebagai “tuan rumah”. Siswa “tuan rumah” berbagi informasi kepada siswa “tamu”. Siswa “tamu” mengklarifikasi jawaban di lembar tamu. Setelah waktu bertamu selesai, maka siswa”tamu” kembali ke kelompok asal untuk mendiskusikan kembali isi lembar tamu dengan hasil diskusi kelompok semula. Hasil diskusi akhir ini akan di presentasikan di depan kelas. Ketiga, Assessment phase (fase penilaian). Fase ini mengetahui apakah perangkat memenuhi kriteria perangkat pembelajaran yang baik. Perangkat pembelajaran yang dibuat pada tahap sebelumnya (Prototipe 1) divalidasi para ahli kemudian di revisi menghasilkan prototipe 2. Prototipe 2 di uji cobakan terbatas pada 12 orang siswa dan kemudian di revisi menghasilkan prototipe 3. Selanjutnya untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan suatu perangkat, Prototipe 3 diuji coba di kelas (tidak termasuk 12 siswa sebelumnya). Hasil uji coba di kelas di analisis dan direvisi untuk menghasilkan Prototipe Final. HASIL Penelitian awal dalam pengembangan ini merupakan fase pengamatan terhadap kondisi pembelajaran yang tengah berjalan. Tahapan ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP dan LKS. Hasil diskusi dengan beberapa orang guru matematika SMA di Banjarmasin diketahui bahwa perangkat pembelajaran selama ini hanya menyajikan kumpulan rumus tanpa penjelasan proses bagaimana menemukan rumus itu. LKS yang digunakan oleh siswa tidak memuat bagaimana menemukan nilai trigonometri, tetapi langsung diberikan rumus-rumus yang harus digunakan untuk perbandingan trigonometri dan langsung dituliskan nilai perbandingan trigonometri sudut istimewa dan rumus sudut berelasinya. Siswa hanya mengandalkan LKS yang hanya memuat rumus-rumus disertai dengan latihan soal. ada tahap penelitian awal ini dilakukan pula kajian terhadap empat RPP yang pernah digunakan oleh guru matematika di SMA Negeri 5 Banjarmasin, tetapi tidak ditemukan RPP untuk materi trigonometri yang bersetting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Berdasarkan instrumen penilaian penyusunan RPP, catatan kelebihan dan kekurangan setiap RPP, maka peneliti membuat rancangan RPP untuk materi trigonometri yang bersetting kooperatif tipe TSTS dengan memperhatikan kekurangankekurangan yang ada pada RPP sebelumnya, serta dengan mempertimbangkan saran dari beberapa orang guru matematika mengenai perangkat pembelajaran untuk materi trigonometri. Hasil dari fase prototype adalah dihasilkannya rancangan perangkat pembelajaran kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri kelas X yang meliputi: (1) perancangan instrumen (RPP,LKS,lembar observasi, angket respon siswa dan soal tes penguasaan bahan belajar), (2) perancangan lembar validasi instrumen. Hasil fase penilaian didapat dari 2 kegiatan yaitu hasil validasi oleh ahli dan praktisi terhadap produk yang dikembangkan dan hasil uji coba. Perhitungan hasil validasi RPP dan 1242
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4, maka sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dapat disimpulkan bahwa RPP dan LKS yang dikembangkan valid. Berdasarkan saran dari validator, pengembang melakukan revisi. Hasil revisi menghasilkan RPP dan LKS yang akan digunakan dalam uji coba keterbacaan terhadap 12 orang siswa di luar kelas uji coba, baru kemudian direvisi kembali sesuai taggapan dari siswa pada uji coba keterbacaan. LKS yang sudah direvisi pada tahap penilaian ini baru digunakan untuk uji coba kelas. Adapun hasil pengembangan ini berupa perangkat pembelajaran yang telah mendapatkan validasi dan revisi. Perangkat pembelajaran yang sudah direvisi diujicobakan pada 30 siswa kelas X-1 SMAN 5 Banjarmasin. Tujuan dari uji coba ini untuk mengetahui tingkat kepraktisan dan keefektifan dari perangkat pembelajaran. Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan tentang kepraktisan dan keefektifan dari LKS yang telah dikembangkan, maka disajikan dalam tabel berikut ini. Indikator Kepraktisan Keefektifan
Tabel 1. Rangkuman Hasil Uji Coba Hasil Uji Coba Keterlaksanaan Penggunaan LKS Tinggi Aktivitas Guru Aktif Aktivitas Siswa Aktif Ketuntasan Belajar 100% siswa tuntas Respon Siswa Positif
Kesimpulan Memenuhi kriteria Memenuhi kriteria Memenuhi kriteria Memenuhi kriteria Memenuhi kriteria
PEMBAHASAN Pada penelitian pengembangan ini telah dihasilkan produk pengembangan berupa perangkat pembelajaran kontekstual bersetting kooperatif tipe TSTS pada materi trigonometri untuk 5 pertemuan yang telah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan dan keefektifan. Kriteria kevalidan diperoleh dari hasil validasi lembar RPP dan LKS dari ahli (1 orang dosen) dan praktisi (1 orang guru). Kriteria kepraktisan diperoleh dari hasil observasi keterlaksanaan penggunaan LKS dan hasil observasi aktivitas guru model. Sedangkan kriteria keefektifan diperoleh dari hasil observasi aktivitas siswa, ketuntasan belajar dan angket respon siswa. Berdasarkan hasil validasi dari dua orang validator, diperoleh skor kevalidan RPP dan LKS berturut-turut 3,66 dan 3,60 dari skor maksimal 4. Dengan demikian, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah valid dengan beberapa catatan dan revisi dari validator. Revisi dilakukan pada beberapa bagian yang ditunjukkan oleh validator. Berdasarkan masukan tersebut peneliti kemudian memperbaiki bagian-bagian tersebut. Hal ini sesuai dengan Plomp (2010) yang menyatakan pada fase validasi ini sering menghasilkan rekomendasi untuk perbaikan produk. Disamping itu sejalan dengan Kemp (1977) yang menyatakan bahwa tiap-tiap pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas perbaikan. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, tingkat keterlaksanaan penggunaan LKS pada tiap pertemuan berada dalam kategori tinggi dan hasil observasi aktivitas guru pada tiap pertemuan berada dalam kategori aktif, sehingga sudah memenuhi kriteria kepraktisan yang telah ditetapkan. Pada penyusunan RPP, skenario aktivitas guru ini dikembangkan berdasarkan Hobri (2010) yang telah memberikan kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas guru untuk setiap pertemuan. Kriteria keefektifan perangkat pembelajaran yang dilihat berdasarkan pada observasi aktivitas siswa, ketuntasan belajar dan respon siswa telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Untuk indikator ketuntasan belajar, berdasarkan perhitungan dari 30 siswa, 100% mendapat nilai minimal 70. Dengan kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan, yaitu minimal 85% siswa memperoleh nilai minimal 70 maka kriteria ketuntasan belajar yang diharapkan sudah terpenuhi. Perhitungan skor berdasarkan hasil observasi pengamatan aktivitas siswa semuanya berada dalam kategori aktif yang berarti termasuk katagori aktif, sehingga kriteria yang telah ditetapkan sudah terpenuhi. Berdasarkan perhitungan angket respon siswa diperoleh kesimpulan bahwa respon siswa positif. Dengan demikian menurut Johson (2007), apabila komunitas belajar sudah terbina sedemikian rupa di sekolah, guru tentu akan lebih berperan sebagai pelatih, fasilitator dan mentor. Aktivitas pada LKS disusun dengan tujuan memungkinkan siswa untuk menemukan suatu konsep dan rumus. Kemudian juga dilanjutkan aktivitas menggunakan media pembelajaran sehingga siswa dapat mengetahui salah satu manfaat materi trigonometri. Hal ini
1243
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan bermakna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata (Komalasari, 2011). Selain itu perangkat pembelajaran ini juga dilengkapi dengan soal latihan dan kuis untuk memantapkan pemahaman siswa. Soal latihan dikerjakan secara kelompok dan soal kuis dikerjakan secara individu, kemudian skor hasil latihan siswa dan kuis diperhitungkan sebagai suatu aspek dalam menentukan ketuntasan belajar. Berdasarkan hasil dari uji coba kelas, penggunaan perangkat pembelajaran ini dinilai efektif untuk membelajarkan trigonometri pada siswa kelas X SMA Negeri 5 Banjarmasin. Siswa yang belajar menggunakan perangkat pembelajaran ini bisa lebih terlibat aktif pada saat pembelajaran. Hal ini terkait karena perangkat pembelajaran ini harus dilengkapi oleh siswa sendiri untuk mengisi bagian-bagian yang masih kosong. Kegiatan penggunaan klinometer juga membuat siswa lebih memahami materi trigonometri yang disajikan pada LKS ini. Media memudahkan siswa untuk membawa konsep-konsep abstrak matematika ke dalam hal-hal yang lebih konkrit. Oleh karena itu untuk lebih mengefektifkan proses pembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran, peneliti membuat media klinometer untuk mengukur sudut elevasi. Arsyad (2011) menyatakan bahwa guru dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya. Kelly (2006), berpendapat bahwa benda manipulatif merupakan bagian dari media pembelajaran yang berupa alat yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan menanamkan ingatan yang lama dari siswa. Hal ini sesuai dengan rekomendasi NCTM (2000) yang menekankan pentingnya penggunaan penyajian visual dan manipulatif, peragaaan model matematika dalam pembelajaran di setiap tingkatan kelas. Berdasarkan pelaksanaan aktivitas pada LKS, siswa tidak hanya belajar dengan cara mengamati dan berdiskusi, tetapi siswa melakukan sesuatu. Misalkan pada saat menggunakan media klinometer, siswa dapat menentukan tinggi tiang bendera yang ada di lingkungan sekolah dengan jarak dan sudut yang tidak ditentukan, tetapi siswa dibebaskan mau mengukurnya dari tempat mana saja. Pada akhirnya mereka mengetahui manfaat materi perbandingan trigonometri dan memahami materi tersebut. Dari aktivitas ini siswa terlihat terlibat lebih aktif dalam pembelajaran, sehingga pada saat kegiatan tersebut, semua siswa aktif belajar, baik dalam menyampaikan ide, memecahkan masalah ataupun menerapkan apa yang mereka pelajari. Hal ini sejalan dengan pembelajaran aktif yang dikemukakan Confusius, yaitu (1) What I hear, I forget, (2) What I see, I remember, (3) What I do, I understand. Kemudian dikembangkan Mel Siberman dalam buku Active Learning menjadi 5 prinsip pembelajaran aktif. Pada pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini ada dominasi siswa dalam hal berbagi ide, menjelaskan ide, mempertahankan ide dan memperoleh kritik, baik pada saat diskusi dalam kelompok asal maupun pada saat berkunjung ke kelompok lain dan menerima siswa tamu yang berkunjung. Aktivitas ini termasuk pada komponen kontekstual berpikir kritis dan kreatif. Hal ini sejalan dengan Rohaeti (2008) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif juga berkenaan dengan kemampuan seseorang mengajukan ide-ide dan melihat hubungan yang baru. Menurut Gaspor dan Dau,O (2011) faktor signifikan yang mempengaruhi pendidikan kreatif di sekolah yang pertama dimulai dari guru. Sikap kreatif para guru dalam membentuk sikap kreatif siswa dapat membentuk kemampuan siswa untuk berpikir tingkat tinggi. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa produk yang dikembangkan berupa RPP dan LKS berkualitas karena memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Kelebihan-kelebihan dari perangkat pembelajaran ini meliputi: (a) sudah melalui proses validasi oleh dua orang validator dan telah diujicobakan sehingga memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif; (b) Perangkat pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk menemukan sendiri konsep yang dipelajari, sehingga membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran; (c) Adanya tuntunan langkah-langkah pada LKS ini dalam melakukan aktivitas menggunakan klinometer yang dapat membimbing siswa menemukan rumus. Kekurangan-kekurangan dari perangkat pembelajaran ini meliputi : (a) kebiasaan siswa yang pasif di kelas ini membuat guru model lebih sering membantu siswa memahami bagianbagian yang kurang dipahami. Kondisi ini menyulitkan siswa dalam mengerjakan LKS yang menuntut siswa bekerja secara mandiri dalam menemukan konsep trigonometri; (b) perangkat 1244
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran ini masih minim dengan contoh-contoh soal, sehingga guru perlu menambahkan sendiri contoh-contoh soal yang berkaitan dengan materi yang sedang diajarkan; (c) salah satu komponen CTL yang kurang nampak pelaksanaannya pada penelitian ini adalah penilaian autentik, di mana seharusnya pada setiap pertemuan siswa mengemukakan sesuatu yang berasal dari diri siswa tersebut untuk dinilai oleh guru. Untuk pengembangan produk lebih lanjut, disarankan agar guru model dalam melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang diberikan, maka skenario pembelajaran tidak hanya diberitahukan kepada guru model tetapi dapat dilihat di rekaman video peneliti saat memberikan contoh pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Armiya. 2006. Pembelajaran Volum Tabung dan Kerucut dengan Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas I SMA Negeri 1 Samudra. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana UM Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers Awofala. 2012. Achievment in Cooperative versus Individualistic Goal_Structured Junior Secondary School Mathematics Classroom in Nigeria. International Journal of Mathematics Trend and Technoloy, 3(1): 7-12 Gaspar dan Dau, O. (2011). The Teacher’s creative attitudes-An Influence Factor Of The students’ Creativity Attitudes, International conference, The Future of Education. (Online), Conference. Fixel.online.net/edu_future/common/download/paper_pdf/ITL53_Gaspar.pdf, diakses 6 oktober 2013. Hamiddin, 2010. Improving student’s comprehension of poems using the TSTS strategy. Online http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/vidya_karya/article /view/335 Diakses 14 Juli 2013 Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi Pada Penelitian Matematika). Jember: Pena Salsabila Irmawan. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Pendekatan Matematika Realistik Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas XI SMK. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 2 Tahun 2013. Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press Junaidi. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Humanistik Untuk Meningkatkan Kemahiran Matematis. Unnes Jorunal of Mathematics Education Research. UJMER 1 (2) (2012) Jones, K. 2008. Making Cooperative Learning Work in the College Classroom: An Application of the “Five Pillars” of Cooperative Learning to Post-Seconary Instruction. The Journal of Effective Teaching, 8(2): 61-76 Kelly, C. 2006. Using Manipulatives in Mathematical Probem Solving. A Performance Based Analysis. The Montana Mathematics Enthisiast, 3(2): 184-193 Kemp, J.E. 1977. Instructional Design. California : David S. Lake Publisher. Komalasari, 2011. Pembelajaran Kontekstual. Bandung : Refika Aditama. Kupczynski,L. 2012. Cooperative Learning In Distance Learning: A Mixed Methods Study. International Journal Of Instruction. 5(2): 81-90 Livia, 2010. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Trigonometri Dengan Menggunakan Metode Improve di SMAN 50 Jakarta. Jurnal Matematika Aplikasi dan Pembelajaran, 9(2): 2736 Mayasari, D. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Two Stay Two Stray untuk Meningkatkan Komunikasi Tertulis Siswa Kelas XI IPA 5 SMAN 1 Purwosari Pasuruan. Jurnal-online.um.ac.id. 1(2) Mulyati, S. 2008. Pengaruh Pendekatan Kontekstual Dalam Proses Belajar Mengajar Matematika Terhadap Sikap, Motivasi dan Hasil Belajar Siswa SMP. Malang: Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana UM Plomp. 2010. Educational Design Research an Introduction dalam an Introduction to Educational Research. Netherlands institute for curriculum development: SLO Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Jurnal Kreano, Volume 3 Nomor 1, Juni 2012. 1245
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rohaeti. 2018. Sulitnya berikir kreatif dalam matematika? Bagaimana dan Mengapa?. Jurnal Didaktik, Volume 2 Nomor 2, September 2008. Sabil, H. 2011. Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching & Learning (CTL) pada Materi Ruang Dimensi Tiga Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (MPBM) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNJA. Jurnal Edumatica, 1(1): 44-56 Sary, A. 2013. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dan Numbered Heads Together Ditinjau dari Aktivitas Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 16 Surakarta. Jurnal Pendidikan Matematika Solusi, 1(1): 47-53 Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research and Praktice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon. Suparmi, 2012. Pembelajaran Kooperatif Dalam Pendidikan Multikultural. Jurnal Pengembangan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi, 1(1): 108-115 Tati. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Kontekstual Pokok Bahasan Turunan Di Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika. Volume 3. No 1. Januari 2009. Wiyartimi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika Siswa Pada Materi Trigonometri Rumus-rumus Segitiga di Kelas X SMA Negeri 50 Jakarta. Jurnal Matematika Aplikasi dan Pembelajaran, 9(2): 89-99 Yuwono, I. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Jurnal MATHEDU, 1(2): 94-102 Zaheer, A. 2010. Effect of Cooperative Learning vs Traditional Instruction on Prospective Teachers’ Learning Experience and Achievement. Journal of Educational Sciences. 43(1): 151-164
BERPIKIR KRITIS DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Sutini, I Nengah Parta Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected] Abstrak: Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi. Sedangkan berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari konsep berpikir yang berhubungan dengan proses belajar dan kritis itu sendiri berbagai sudut pandang selain itu juga membahas tentang komponen berpikir kritis dalam pembelajaran matematika yang di dalamnya dipelajari karakteristik, sikap dan standar berpikir kritis, analisis pertanyaan kritis, hubungan pemecahan masalah, pengambilan keputusaan dan kreatifitas dalam berpikir kritis serta faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam mengajarkan pemecahan masalah pada siswa, karena salah satu indikasi adanya transfer belajar adalah kemampuan menggunakan informasi dan ketrampilan dalam memecahkan masalah. Kata kunci: Berpikir kritis, pemecahan masalah
Berpikir kritis merupakan keterampilan penting bagi siswa, akademisi dan mereka yang berpikir membentuk aspek penting dari pekerjaan mereka. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperolah informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Jika para siswa tidak dibekali dengan kemampuan berpikir kritis maka mereka tidak akan mampu mengolah menilai dan megambil informasi yang butuhkannya untuk menghadapi tantangan tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis adalah merupakan kemampuan yang 1246
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penting dalam mata pelajaran matematika. Sejalan dengan pernyataan di atas, penelitian – penelitian yang sudah yaitu Saurino R.dalam jurnal Concept Journaling to Increase Critical Thinking Dispositionsand Problem Solving Skills in Adult Education (2008) “ konsep jurnal meningkatkan disposisi berpikir kritis dan keterampilan dalam pemecahan masalah pendidikan tinggi” dan Einav Aizikovitsh-Udi dalam” Developing Critical Thinking Skill in Mathematics Education “(2009) “Strategi pembelajaran berorientasi pada pengembangan keterampilan berpikir lebih tinggi dipengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa. Siswa dibimbing dalam pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan keterampilan dan disposisi terhadap berpikir kritis siswa.” Berpikir kritis digambarkan sebagai pemikiran rasional tercermin dalam tindakan dan keputusan (Ennis, 1981; Hitchcock, 1983). Hal ini digunakan untuk memecahkan masalah, memilih antara alternatif, dan membuat penilaian (Beyer, 1995). Ini saham pertalian dengan pemikiran kreatif dan pengambilan keputusan (Innabi dan El Sheikh, 2007). Lipman mendefinisikan berpikir kritis sebagai skillfull, pemikiran bertanggung jawab memfasilitasi keputusan yang baik karena 1) bergantung pada kriteria di buat, 2) Mengoreksi diri, dan 3) sensitif terhadap konteks. Strategi yang paling sering dilakukan guru untuk mengaktifkan siswa adalah melibatkan siswa dalam diskusi dengan seluruh kelas, yaitu dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Berdasarkan kondisi kegiatan pembelajaran tersebut, siswa tidak terlatih berpikir kritis. Padahal salah satu tujuan jangka panjang pembelajaran matematika adalah mengembangkan pemikiran yang kritis. Seperti dikatakan Fruner dan Robinson (2004) bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural. Berpikir mengarah kepada sesuatu, menyadari informasi, pendekatan sistemik, dianggap dan logis untuk memutuskan apa yang harus percaya atau lakukan, dengan argumen dan kesimpulan yang lebih mungkin berlaku, dibuktikan, tahan terhadap kritik danwakil dari situasi. Berpikir kritis dapat muncul kapan pun dalam peroses penilaian, keputusan, atau penyelesaian masalah secara umum. Kapan pun seseorang berusaha untuk mengetahui apa yang perlu dipercaya, apa yang perlu diketahui alasannya. Proses pengolahannya melalui usaha dan reflektif seperti membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Semua dapat dilakukan secara kritis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran rasional yang tercermin dalam tindakan untuk memecahkan masalah dengan memahami penjelasan sederhana, mempertimbangkan sumber, menyimpulkan dan mengatur strategi dan teknik penyelesaian. BERPIKIR Berpikir adalah aktivitas yang sifatnya mencari idea tau gagasan dengan menggunakan berbagai ringkasan yang masuk akal. Tri Rusmi dalam Perilaku Manusia (1996), mengatakan berpikir adalah suatu proses sensasi, persepsi, dan memori/ ingatan, berpikir mengunakan lambang (visual atau gambar), serta adanya suatu penarikan kesimpulan yang disertai proses pemecahan masalah. Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi. Berpikir adalah proses dinamis, dimana individu bertindak aktif dalam menghadapi hal-hal yang bersifat abstrak . Pada proses berpikir individu membuat hubungan antara obyek yang menjadi pokok permasalahan dengan bagian-bagian pengetahuan yang sudah dimilikinya. Bagian dari pengetahuan adalah segala sesuatu yang sudah diperolehnya dalam ujud pengertian-pengertian, pendapat,dan keputusan. a. Pembentukan pengertian Berpikir dalam membentuk pengertian logis, ada empat tingkat yaitu:
1247
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menganalisis
Membandingkan
Mengabstraksikan
Pembentukan Pengertian Gambar 1. Tingkat Pengertian Logis
Menganalisis ciri – ciri sejumlah objek yang sejenis dengan memperhatikan unsur– unsur satu persatu yang ada dalam masalah, kemudian membandingkan ciri-ciri tersebut untuk ditemukan ciri yang sama dan selalu ada serta yang hakiki ,Mengabstraksikan, yaitu menyisihkan, dengan membuang ciri-ciri yang tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki sehingga diperoleh pembentukan pengertian . b. Pembentukan pendapat Pembentukan pendapat, yakni meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih. pendapat yang dinyatakan dalam bahasa disebut kalimat yang terdiri dari pokok kalimat/subyek, sebutan dan predikat. Ada tiga macam pendapat: a) Pendapat afirmatif/positip: pendapat yang mengiyakan, yang secara tegas menyatakan keadaan sesuatu, misalnya si budi itu rajin, si Wawan itu pandai, dst. b) Pendapat negatif: pendapat yang secara tegas menerangkan tentang tidak adanya sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya si Wawan tidak bodoh, si Ani tidak malas. c) Pendapat modalitas (kebarangkalian): pendapat yang menerangkan kebarangkalian atau kemungkinan-kemungkinan sesuatu sifat pada sesuatu hal, misalnya hari ini mungkin hujan c. Pembentukan Kesimpulan/Penarikan Keputusan Dalam pembentukan kesimpulan yang analisis dari pengertian dan pendapat yang sudah diperoleh sehingga diperoleh sebuah keputusan. Keputusan digolongkan menjadi 3 yaitu: 1. Keputusan induktif adalah keputusan yang diambil dari pendapat-pendapat khusus menuju ke satu pendapat umum. Contoh: tembaga, besi, perak dipanaskan memuai. Jadi semua logam dipanaskan memuai. 2. Keputusan deduktif adalah keputusan yang ditarik dari hal umum ke khusus. Misalnya: semua logam dipanaskan memuai. Besi adalah logam. Jadi besi dipanaskan memuai. 3. Keputusan analogis: keputusan diperoleh dengan jalan membandingkan atau menyesuaikan dengan pendapat-pendapat khusus yang telah ada. Contoh: Totok anak pandai, naik kelas. Titik anak pandai, naik kelas. Jadi Wawan anak yang pandai itu tentu naik kelas. BERPIKIR KRITIS Menurut Desmita (2009: 153) berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, dan produktif yang diaplikasikan dalam menilai situasi untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang baik. Martes (dalam Syaima, 2011: 18) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses kesadaran dan kesengajaan yang digunakan untuk menginterpretasikan atau mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan seperangkat kemampuan dan bakat reflektif yang menuntun kepada keyakinan dan tindakan. Sedangkan Wijayaan (dalam Nursyamsiah, 2011: 19) mengemukakan berpikir kritis merupakan kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih
1248
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sempurna. Dengan berpikir kritis siswa akan memiliki argumen yang lebih kuat sebagai dasar atas pilihan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Berpikirkritis adalah proses intelektual dengan melakukan pembuatan konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi,pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan melakukan suatu tindakan (Michael Seriven dan Richard Paul). Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. (Pery & Potter, 2005). Menurut Bandman dan Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan. Menurut Strader (1992), bepikir kritis adalah suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterprestasikannya serta mengevaluasi pandapat-pandapat tersebut untuk mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif/ pandangan baru. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Dengan berpikir kritis suatu masalah dapat direfleksikan secara mendalam dan terbuka terhadap berbagai pendekatan dan perspektif yang berbeda serta tidak mudah mempercayai informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber. ASPEK PERILAKU BERPIKIR KRITIS Kegiatan berpikir kritis dapat dilakukan dengan melihat penampilan pendidik maupun siswa dari beberapa perilaku selama proses berpikir kritis itu berlangsung. Perilaku berpikir kritis seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek: 1. Relevance 2. Importance 3. Novelty 4. Outside material 5. Ambiguity clarified 6. Linking ideas 7. Justification 8. Critical assessment 9. Practical utility 10. Width of understanding Secara garis besar, perilaku berpikir kritis diatas dapat dibedakan dalam beberapa kegiatan : a) Berpusat pada pertanyaan (focus on question) b) Analisa argument (analysis arguments) c) Bertanya dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi (ask and answer questions of clarification and/or challenge) d) Evaluasi kebenaran dari sumber informasi (evaluating the credibility sources of information). INDIKATOR BERPIKIR KRITIS Ennis (1985: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut: a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan. b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan. d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi. 1249
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. Ennis (Ornstein dan Hunkins, 1998: 119) memberikan kerangka kerja untuk Pembelajaran berpikir kritis. Dia membagi berpikir kritis dalam empat komponen, masingmasing terdiri dari beberapa keterampilan khusus yang dapat diajarkan ke siswa, yakni: 1. Mendefinisikan dan mengklarifikasi: a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi alasan yang dikemukakan c. Mengidentifikasi alasan yang tidak dikemukakan d. Melihat persamaan dan perbedaan e. Mengidentifikasi dan menangani ketidakrelevanan f. Meringkas 2. Menanyakan dengan pertanyaan yang tepat untuk memperjelas atau menghadapi tantangan: a. Mengapa ? b. Apa intinya? c. Apa artinya? d. Apa contohnya? e. Apa yang bukan contohnya? f. Bagaimana aplikasinya? g. Perbedaan apa yang dia buat? h. Apa faktanya? i. Apakah ini yang dikatakan? j. Apa yang lebih detailnya? 3. Menilai kredibilitas (kepercayaan) suatu sumber: a. Keahlian b. Kurangnya konflik yang menarik c. Persesuaian antar sumber d. Reputasi e. Penggunaan prosedur yang tepat f. Resiko yang diketahui untuk reputasi g. Kemampuan memberikan alasan h. Kebiasaan saksama (careful habits) 4. Memecahkan masalah dan menggambarkan kesimpulan: a. Menyimpulkan dan menilai validitas b. Mempengaruhi dan menilai kesimpulan c. Meramalkan konsekuensi yang mungkin Berpikir kritis matematis adalah berpikir kritis pada bidang ilmu matematika. Dengan demikian, berpikir matematis adalah proses berpikir kritis yang melibatkan pengetahuan matematika, penalaran matematika dan pembuktian matematika. Berpikir kritis dalam matematika merupakan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah matematika. Berdasarkan definisi-definisi berpikir kritis yang dikemukakan para ahli, dalam penelitian ini dikembangkan indikator berpikir kritis matematis, yang diklasifikasikan atas lima komponen berpikir kritis, yaitu 1. Analisis, meliputi: (1) Memisahkan informasi ke bagian-bagiannya (2) Mencari hubungan antar informasi (3) Mengorganisasikan informasi 2. Evaluasi, meliputi: (1) Membuat kriteria (2) Menentukan kerasionalan suatu jawaban (3) Menilai suatu argumen 3. Pembuktian, meliputi: (1) Memberikan alasan yang logis 1250
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2) Menyediakan bukti pendukung (3) Menentukan konsep yang termuat dalam membuktikan 4. Pemecahan Masalah, meliputi: (1) Membuat strategi pemecahan masalah (2) Menjalankan strategi pemecahan masalah (3) Mengevaluasi kebenaran hasil pemecahannya 5. Menemukan Analogi, meliputi: (1) Melihat keserupaan, (2) membuat kesimpulan atas dasar keserupaan PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Proses pembelajaran di kelas pada hakikatnya adalah proses komunikasi, baik komunikasi antara siswa dengan pendidik, komunikasi antar siswa, atau bahkan komunikasi antara siswa dengan lingkungan belajar. Namun belum tentu proses komunikasi yang terjadi bisa berlangsung efektif. Komunikasi dikatakan berjalan efektif apabila terdapat pemahaman yang sama terhadap sebuah informasi antara sumber pesan dengan penerima pesan. Selanjutnya akan terjadi umpan balik atau komunikasi dua arah apabila penerima pesan bisa berubah fungsi menjadi sumber pesan. Dalam matematika, masalah merupakan suatu situasi unik dimana individu menghadapi penghalang dalam mendapatkan solusi. Hudojo (2005: 123) berpendapat bahwa suatu pertanyaan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu untuk digunakan dalam usaha menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Hal ini berarti suatu pertanyaan merupakan suatu masalah bagi seorang siswa, tetapi belum tentu menjadi masalah bagi siswa yang lain. Sementara itu Suherman (dalam Budiyanto, 2010: 15) mengatakan bahwa suatu masalah memuat suatu situasi yang mendorong individu untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya. Dengan demikian suatu persoalan dikatakan suatu masalah jika persoalan tersebut memiliki solusi tetapi belum diketahui apa dan bagaimana mendapatkan solusi tersebut. Dalam bidang matematika, suatu permasalahan atau pertanyaan biasanya disebut soal. Polya (dalam Hudojo, 2005: 124), membedakan masalah di dalam matematika menjadi dua macam, yaitu: 1) Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah ini adalah mengenai apa yang dicari, apa yang diketahui, dan bagaimana syaratnya. 2) Masalah untuk membuktikan, yaitu masalah untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah atau mungkin tidak kedua-duanya. Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan pemecahan masalah matematika adalah suatu proses berpikir, beranalisis dan bernalar dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang terkait untuk mendapatkan solusi dari suatu masalah, dimana individu tidak dapat secara mudah untuk mendapatkan solusi tersebut. Hambatan ini bisa disebabkan karena ketidakmampuan individu dalam memahami soal ataupun karena soal yang akan dipecahkan memerlukan prosedur pemecahan yang tidak rutin. Faktor-faktor Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Menurut Resnick & Ford (dalam Danoebroto, 2011: 5), terdapat tiga aspek yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam memecahan masalah, yaitu: 1) Keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah. 2) Keterampilan siswa dalam memahami ruang lingkup masalah. 3) Struktur pengetahuan siswa. Danoebroto (2011: 5) mengemukakan adanya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika: 1) Kemampuan memahami ruang lingkup masalah dan mencari informasi yang relevan untuk mencapai solusi.
1251
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2)
Kemampuan dalam memilih pendekatan pemecahan masalah atau strategi pemecahan masalah di mana kemampuan ini dipengaruhi oleh keterampilan siswa dalam merepresentasikan masalah dan struktur pengetahuan siswa. 3) Keterampilan berpikir dan bernalar siswa yaitu kemampuan berpikir yang fleksibel dan objektif. 4) Kemampuan metakognitif atau kemampuan untuk melakukan monitoring dan kontrol selama proses memecahkan masalah. 5) Persepsi tentang matematika. Menurut Hudojo (2005: 131) terdapat beberapa strategi pemecahan masalah yang bisa digunakan untuk memecahkan sebuah permasalahan, antara lain: 1) Membuat gambar atau pola; hal ini dapat membantu siswa untuk mengungkapkan informasi mengenai hubungan antar komponen dalam masalah tersebut. 2) Menemukan pola; kegiatan yang bisa dilakukan yaitu dengan mengobservasi kesamaan sifat-sifat yang dimiliki oleh sekumpulan gambar atau bilangan tersebut. 3) Membuat tabel; data yang diubah dalam bentuk tabel dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu pola tertentu dan mengidentifikasi informasi yang tidak lengkap. 4) Menyederhanakan suatu masalah; masalah yang terlalu rumit dapat disederhanakan untuk memudahkan dalam menyelesaikannya. 5) Menebak dan mengecek; strategi menebak adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu serta kehati-hatian. Menebak bukanlah hakekat matematika namun terkadang stategi ini dapat digunakan. 6) Strategi kerja mundur; jika suatu masalah yang diketahui merupakan hasil dari proses tertentu, sedangkan yang ditanyakan merupakan komponen yang seharusnya muncul lebih awal, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan menggunakan strategi kerja mundur. 7) Menetukan yang diketahui, ditanyakan dan informasi yang diperlukan; strategi ini merupakan cara penyelesaian yang sangat terkenal sehingga seringkali muncul dalam buku-buku matematika sekolah. 8) Menyelesaikan masalah yang mirip; sebuah soal yang sulit untuk diselesaikan karena terdapat permasalahan yang kompleks misalnya menyangkut bilangan yang sangat besar atau berkaitan dengan pola yang kompleks. Untuk menyelesaikannya, dapat dilakukan dengan menggunakan analogi melalui penyelesaian masalah yang mirip. 9) Mengubah sudut pandang; ketika mencoba menggunakan suatu strategi kemudian gagal, kecenderungannya adalah memperhatikan kembali soal dengan menggunakan sudut pandang yang sama. Apabila dengan cara ini masih menemui kegagalan maka dapat mengubah sudut pandang dengan memperbaiki asumsi atau memeriksa logika berpikir yang digunakan sebelumnya. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Matematika Menurut Polya (1973) dalam pemecahan masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: 1) Memahami masalah; pada tahap ini individu memahami masalah yang berkaitan dengan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apa persyaratannya. 2) Merencanakan penyelesaian; pada tahap ini individu harus memikirkan alat dan strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. 3) Menyelesaikan masalah sesuai rencana; pada tahap ini individu menyelesaikan masalah seperti yang direncanakan sampai menemukan hasil dan setiap langkah diperiksa kebenarannya. 4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back); pada tahap ini individu memeriksa kembali hasil penyelesaian masalah dan memeriksa argumen pada tiap langkah. Hayes (dalam Solso, 2007: 437) mengemukakan tahapan dalam pemecahan masalah sebagai berikut: 1252
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1)
Mengidentifikasi permasalahan; pada tahap ini individu berusaha memahami masalah yang dihadapi berdasarkan fakta-fakta yang melatarbelakangi permasalahan tersebut. 2) Merepresentasikan masalah; dari masalah yang ada, individu membayangkan dampak dari masalah tersebut dan memikirkan apa yang harus dilakukan. 3) Merencanakan sebuah solusi; pada tahap ini individu menetapkan sebuah perencanaan untuk memecahkan masalah tersebut berdasarkan kemampuan yang dimiliki. 4) Merealisasikan rencana; rencana yang telah disusun dilaksanakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan. 5) Mengevaluasi rencana; tahap ini dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang salah dalam perencanaan. 6) Mengevaluasi solusi; proses pemecahan masalah yang telah dilakukan bisa digunakan sebagai pengetahuan dalam pemecahan masalah selanjutnya. Dari penjelasan diatas, pemecahan masalah matematika adalah memahami masalah, merencanakan dan mengembangkan metode pemecahan masalah yang tepat, melaksanakan rencana untuk memecahkan masalah dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh dengan argument – argumenn atau langkah – langkah yang telah dilakukan. BERPIKIR KRITIS DALAM MEMECAHKAN MASALAH Kataoka-Yahiro dan Saylor (Maryam :2006) telah mengembangkan sebuah model berpikir kritis bagi penilaian pembelajaran matematika. Model ini mendefinisikan hasil dari berpikir kritis sebagai penilaian pembelajaran matematika yang relevan atau sesuai dengan masalah-masalah pembelajaran matematika dalam kondisi yang bervariasi. Model ini dirancang untuk penilaian pembelajaran matematika ditingkat pelayanan, pengelolaan dan pendidikan. Ketika seorang pendidik berada di pelayanan, model ini mengemukakan 5 komponen berpikir kritis yang mengarahkan pendidik untuk membuat rencana tindakan agar pembelajaran matematika aman dan efektif. Berpikir kritis melalui pembelajaran melibatkan aktivitas sebagai berikut: a. Interprestasi b. Analisis c. Evaluasi d. Inferensi. e. Self regulation Sehingga dalam berpikir kritis melalui pembelajaran matematika diperlukan syarat supaya dapat berpikir kritis baik guru maupun siswa yaitu: a. Berpikiran Terbuka b. Percaya Diri c. Skeptis d. kreatif e. Rendah Hati f. Berpikiran Bebas g. Memiliki motivasi yang tinggi Langkah – langkah sederhana ini telah dideskripsikan dalam beberapa tahap seperti yang dijelaskan oleh Wolcott dan Lynch. Jika proses ini digunakan di sekolah, maka siswa memulai mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan pada setiap tahap seperti di bahwa ini, mulailah dari langkah 1, lanjutkan pada langkah 2 dan terus mengikuti langkah selanjutnya. Langkah 1
Langkah2
Langkah 3
Mengidentifikasi masalah, informasi yang relevan dan semua dugaan tentang masalah tersebut. Ini termasuk kesadaran akan kemungkinan adanya lebih dari satu solusi. Mengeksplorasi interpretasi dan mengidentifikasi hubungan yang ada. Ini termasuk mengenali bias/prasangka yang ada, menghubungkan alasan yang terkait dengan berbagai alternatif pandangan dan mengorganisir informasi yang ada sehingga menghasilkan data yang berarti. Menentukan prioritas alternatif yang ada dan mengkomunikasikan kesimpulan. Ini termasuk proses menganalisis dengan cermat dalam mengembangkan panduan yang dipakai untuk menentukan faktor, dan mempertahankan solusi yang terpilih.
1253
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
langkah 4
Mengintegrasikan, memonitor dan menyaring strategi untuk penanganan ulang masalah. Ini termasuk mengetahui pembatasan dari solusi yang terpilih dan mengembangkan sebuah proses berkelanjutan untuk membangkitkan dan menggunakan informasi baru.
Meyers (di Varaki, 2006) dipisahkan berpikir kritis dalam pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan, masing-masing dengan 8 langkah: 1. Pemecahan Masalah 2. Mengakui dan mendefinisikan masalah yang harus dipecahkan. 3. Mengidentifikasi akar penyebab masalah itu. 4. Mengidentifikasi kriteria untuk mengevaluasi solusi. 5. Mengidentifikasi solusi yang mungkin. 6. Mengevaluasi kemungkinan solusi terhadap kriteria. 7. Pilih "terbaik" solusi. 8. Mengembangkan rencana implementasi yang rinci 9. Mengevaluasi efektivitas dari solusi. Pengambilan Keputusan 1. Mengidentifikasi dan menentukan tujuan yang ingin dicapai. 2. Menganalisa isu-isu peluang / relevan. 3. Mengidentifikasi kriteria untuk menilai strategi dan tindakan. 4. Mengidentifikasi strategi yang mungkin dan tindakan. 5. Mengevaluasi kemungkinan strategi dan tindakan. 6. Pilih "terbaik" set strategi dan tindakan. 7. Mengembangkan rencana implementasi yang rinci. 8. Mengevaluasi efektivitas dan peluang. Indikator Berpikir Kritis Mengidentifikasi masalah Mencari informasi yang relevan dan semua dugaan tentang masalah tersebut. kesadaran akan kemungkinan adanya lebih dari satu solusi mengenali bias/prasangka yang ada menghubungkan alasan yang terkait dengan berbagai alternatif pandangan mengorganisir informasi yang ada sehingga menghasilkan data yang berarti. menganalisis dengan cermat dalam mengembangkan panduan yang dipakai untuk
Memahami Masalah V
Merencanakan Tindakan
Melaksanakan Tindakan
V
V
V
V
V
V
1254
Mengecek ulang/Kembali
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menentukan faktor. mempertahankan solusi yang terpilih. mengetahui pembatasan dari solusi yang terpilih mengembangkan sebuah proses berkelanjutan untuk membangkitkan dan menggunakan informasi baru.
V V
V
KESIMPULAN DAN SARAN Pemecahan masalah matematika adalah memahami masalah, merencanakan dan mengembangkan metode pemecahan masalah yang tepat, melaksanakan rencana untuk memecahkan masalah dan memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh dengan argument – argumenn atau langkah – langkah yang telah dilakukan. Berpikir kritis merupakan suatu proses bepikir yang di dalamnya memuat tentang pengetahuan dasar yang khusus, memiliki pengalaman, kompetensi, sikap dan standar. Supaya bisa berpikir secara kritis melibatkan suatu rangkaian yang terintegrasi tentang kemampuan dan sikap berpikir, berpikir secara aktif dengan menggunakan intelegensi, pengetahuan, dan ketrampilan diri untuk menjawab pertanyaan, dengan cermat menggali situasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan menjawab dengan relevan, berpikir untuk memperoleh hasil yang maksimal dan secara cermat menelaah berbagai ide dan mencapai kesimpulan atau keputusan yang berguna. DAFTAR RUJUKAN Annis, L. F., Ennis, D. B. (1974). The Impact of Philosophy on Students' Critical thinking Ability. Contemporary Educational Psychology, 4, 219-226. Aiken, L. R. (1974). Two Scales of Attitude Towards Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education, 5, 2, 67-71. Aieniah Rindah, 2012, Analisis keterampilan berpikir kritis siswa kelas XI Pada pembelajaran Hidrolisis Garam menggunakan Problem Solving, Skripsi jurusan pendidikanKimia ,FMIPA,UPI:tidakditerbitkan. Aizikovitsh-Udi, E., & Amit, M. 2010. Is It Possible to Improve the Students Critical Thinking Dispositions Through Teaching a Course In Probability Brief Research Report. In P. Brosnan, P., Erchick, D. B., and Flevares, L. Beyer, B.K. 1987.Critical thinking: What is it? "Social Education," 49, 270-276. Beyer, B. K. (1995). Critical thinking. Phi Delta Kappa Educational Foundation, (pp. 8). Indiana: Bloomington. Ennis .Robert. H (
[email protected]),2011, The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities :Emeritus Professor, University of Illinois Ennis, R. H. 1985. “Goals for a Critical Thinking Curriculum”. Costa, A. L. (ed). 1988. Developing Minds: A Resource Book For Teaching Thinking. Virginia: ASCD Suherman Erman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer . Bandung: JICA. Varaki, bakhtiar S. 2006. Math modeling in educational research: An Approach to methodological fallacie. Australian journal of teacher education, vol 31, No 2, 29-35. Fraivillig, J.L., Murphy, L.A., & Fuson, K.C. (1999). Advancing Children’s Mathematical Thinking in Everyday Mathematics Classrooms. Journal for Research in Mathematics Education, 30, 148-170. Herman Hudojo.(2005). Pengembangan Kurikulum danPembelajaran Matematika .Malang: UM Press http://www.psb-psma.org/content/blog/proses-berpikir Maryam Siti R. dkk (2007) Buku Ajar Proses Berpikir Kritis dalam Proses Pembelajaran matematika, Jakarta: EGC Http://Ismyaisyah.Blogspot.Com/2012_10_01_Archive.Html 1255
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Http://Makalahmajannaii.Blogspot.Com/2012/07/Makalah-Pembelajaran-Matematika.Html Http://File.Upi.Edu/Direktori/Dualmodes/Model_Pembelajaran_Matematika/Metode__Pembelajaran__Matematika,_Berm ain__Sambil__Belajar.Pdf Solso, Robert L. (2007). Cognitive Psychology. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon
1256
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PROSES BERPIKIR MAHASISWA MELALUI TIGA DUNIA MATEMATIKA: Studi Kasus untuk Tara Lia Budi Tristanti Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: David Tall memperkenalkan tiga dunia matematika: dunia perwujudan, dunia simbolik dan dunia formal. Dunia perwujudan (konseptual), berpikir tentang hal-hal yang dapat dirasakan dan dipahami dalam dunia fisik dan mental. Dunia simbolik (proceptual), berpikir dengan menggunaan simbol untuk perhitungan dan berpikir tentang konsep. Dunia formal (aksiomatik), berpikir didasarkan pada aksioma, definisi, teorema dan penalaran deduktif. Tiga Dunia matematika ini untuk tingkat matematika lanjut, dimana kebenaran pertama adalah aksioma dan definisi yang digunakan untuk bukti formal. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan soal tentang bilangan real dengan menggunakan tingkat berpikir dalam tiga dunia matematika. Kata kunci: berpikir, tiga dunia matematika
Saat seseorang belajar terjadi proses berpikir, dimana proses ini terdiri atas penerimaan informasi, pengolahan, peyimpanan dan pengambilan kembali informasi tersebut dari memori seseorang. Menurut Santrock (2010) berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi ke dalam memori. Pada saat berpikir, seseorang menghubungkan antara bagian-bagian informasi yang telah ada dalam pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui informasi kemudian dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, membentuk pengertian baru. Pengertian yang baru dikonstruksi berdasarkan pengetahuan yang ia miliki. Berpikir yang diungkapkan oleh Santrock merupakan proses yang terdiri atas penerimaan informasi, pengolahan, peyimpanan dan pengambilan kembali informasi tersebut dari memori seseorang. David Tall (2004) mengembangkan sebuah teori yang menggambarkan peserta didik melakukan perjalanan melalui dunia yang berbeda ketika membangun konsep. Teori tersebut dinamai teori tiga dunia matematika. Masing-masing dunia memiliki karakteristik sendiri untuk perkembangan kecanggihan dan garansi sendiri untuk kebenaran. Ketiga dunia matematika dari David Tall adalah Dunia perwujudan (konseptual), Dunia simbolik (proceptual) dan Dunia formal (aksiomatik). Dunia perwujudan (konseptual), berpikir tentang hal-hal yang dapat dirasakan dan dipahami dalam dunia fisik dan mental. Jaminan kebenaran dalam dunia perwujudan didasarkan pada eksperimen pemikiran dan pada "melihat" hal yang harus benar. Dunia simbolik (proceptual), berpikir dengan menggunaan simbol untuk perhitungan dan berpikir tentang konsep. Simbol bertindak sebagai proses dan sebagai konsep, dan seseorang secara fleksibel dapat berpindah antara keduanya. Dunia formal (aksiomatik) didasarkan pada aksioma, definisi, teorema dan penalaran deduktif. Dalam dunia formal, sesuatu adalah benar jika sesuatu adalah aksioma, definisi atau teorema yang kebenaraannya dapat dibuktikan secara formal. Pemilihan bilangan real sebagai materi penelitian ini dilatarbelakangi oleh hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa konsep bilangan real adalah campuran dari perwujudan sebagai garis bilangan, simbolisme sebagai (tak terbatas) desimal dan formalisme sebagai field terurut lengkap (Tall, 2008). Secara fisik garis bilangan dapat ditelusuri dengan jari dan jari melewati 1-2, rasanya seolah-olah seseorang melalui semua titik. Tapi ketika hal ini direpresentasikan sebagai desimal, setiap ekspansi desimal adalah titik yang berbeda (kecuali untuk kasus yang sulit dari pengulangan sembilan) dan sehingga tampaknya tidak mungkin untuk membayangkan berjalan melalui semua titik antara 1 dan 2 dalam waktu yang terbatas. Ada juga dilema kontrafaktual, jika titik tidak memiliki ukuran, maka tidak dapat membuat interval satuan karena jumlah tak terbatas mereka. Dalam dunia perwujudan kita mungkin membayangkan sebuah titik sebagai tanda sangat kecil dibuat dengan pensil halus, sehingga titik praktis memiliki ukuran kecil tak tentu bahkan jika titik tidak teoritis. Selain itu, jika titik tidak memiliki ukuran dan tidak ketebalan garis, maka kita tidak akan bisa melihat mereka.
1257
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Secara formal, bilangan real R adalah field terurut lengkap aksioma kelengkapan. Hal ini melibatkan memasuki dunia yang sama sekali berbeda di mana selain tidak lagi ditentukan oleh algoritma penghitungan atau penjumlahan desimal, melainkan hanya menegaskan bahwa untuk setiap pasangan bilangan real a, b, ada bilangan real ketiga yang dapat disebutkan jumlah a dan b dan dilambangkan dengan a + b. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tall, menunjukkan bahwa proses berpikir sangat penting untuk dikaji lebih mendalam karena proses berpikir berperan penting dalam pemecahan masalah. Peneliti bermaksud melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan soal tentang bilangan real dengan menggunakan tingkat berpikir dalam tiga dunia matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dan Lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Jombang. Proses penentuan subjek ini adalah pada saat perkuliahan analisis real masuk, peneliti memberikan lembar kerja kepada 30 mahasiswa untuk diselesaikan. Lembar kerja yang dimaksud terdiri dari 1 soal. Setelah selesai mengerjakan, saya mengumpulkan hasil pekerjaan dan selanjutnya mengoreksi pekerjaan mereka. Dari hasil yang peneliti koreksi, peneliti menetapkan salah satu mahasiswa, yaitu “Tara” (bukan nama asli subjek) yang dalam makalah ini sebagai subjek penelitian. Dalam perkuliahan sehari-hari mahasiswa ini cukup aktif meskipun kemampuannya tidak begitu istimewa. Dalam penelitian ini ada 1 soal yang dikerjakan oleh subjek. Soal ini untuk mendeskripsikan proses berpikir mahasiswa terhadap kesadaran suatu bilangan dan untuk proses berpikir mahasiswa terhadap kebenaran dari proses yang dijalankan. Instrumen dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri, karena peneliti sendiri yang berhubungan dengan subjek penelitian dan tidak dapat diwakilkan, sedangkan instrumen pendukung ada 2 macam, yaitu: tugas penyelesaian soal dan pedoman wawancara. Soal yang digunakan peneliti adalah
HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti mengalisis hasil pekerjaan dan rekaman subjek ketika menyelesaikan soal. Berikut hasil tulis subjek:
1258
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan hasil tertulis tersebut dapat diketahui bahwa untuk subjek menyatakan 𝑝 𝑟 𝑝 ∶𝑟 kebenaran dari 𝑞 ∶ 𝑠 = 𝑞 ∶ 𝑠 dengan mencoba suatu bilangan tertentu untuk membuat keyakinan 𝑝
dalam dirinya, apabila hasilnya sama dengan cara lama ( 𝑞 ∶
𝑟 𝑠
=
𝑝𝑠 ) 𝑞𝑟
maka ia menyimpulkan
benar, begitupun sebaiknya. Pada proses ini subjek menggunakan suatu bilangan tertentu sebagai pengganti simbol untuk perhitungan, subjek merubah aritmatika ke aljabar. Oleh karena itu subjek berada di dunia simbolik sebagaimana yang diungkapkan oleh Tall (2004): “The second world is the world of symbols that we use for calculation and manipulation in arithmetic, algebra, calculus and so on”. 𝑝
Peneliti : “apa maksud dari 𝑞 ?” 𝑝
: “𝑞 adalah suatu bilangan yang Real, lebih tepatnya pecahan, karna biasanya pecahan
Tara
dinyakan dalam bentuk seperti itu” 𝑝 Peneliti : “ohhh seperti itu.... sedangkan apa maksud dari 𝑞 ∶
𝑟 𝑠
?”
: “itu merupakan pembagian dua pecahan, yang harus diselesaikan untuk mendapatkan hasil, emmmm..... hasilnya bisa berupa bilangan bulat, bisa juga pecahan” 𝑝 ∶𝑟 Peneliti : “bagaimana dengan 𝑞 ∶ 𝑠 ?” Tara
: “ya ini (sambil menunjuk
Tara
𝑝 𝑞
∶
𝑟 𝑠
𝑝 ∶𝑟 𝑞 ∶𝑠
yang ada di soal) hasil dari ini tadi (sambil menunjuk
yang ada di soal)”
Dari ungkapan “Tara” nampak bahwa dia hanya melihat matematika (bilangan pecahan), melihat 𝑝 𝑞
𝑝 𝑞
∶
𝑟 𝑠
𝑝 𝑞
sebagai suatu objek
sebagai suatu proses (pembagian dua bilangan 𝑟 𝑠
pecahan, bilangan pecahan ( ) dibagi dengan bilangan ( ) untuk mendapatkan objek matematika 𝑝 ∶𝑟 ). 𝑞 ∶𝑠
baru (
Dapat disimpulkan bahwa subjek memahami konsep matematika pertama kali
dipahami sebagai proses dan setelah itu hasilnya. Teori APOS (Asiala & al., 1996), didasarkan pada asumsi bahwa konsepsi proses mendahului konsepsi objek. Sejalan dengan teori APOS, teori reifikasi dari Sfard (1991) menyatakan beberapa konsep matematika pertama kali dipahami sebagai proses dan setelah itu sebagai objek. Namun Tall (1999) telah mengkritisi teori APOS karena belajar tidak selalu berjalan sesuai dengan tingkatan APOS. Oleh karena itu, Tall (2004) memasukkan dunia perwujudan ke teori yang dikembangkannya, yaitu tiga dunia matematika (perwujudan, simbolik dan formal), di mana persepsi memiliki peran penting. Belajar di dunia simbolik terjadi dengan membangun objek dari tindakan. Namun, dalam dunia perwujudan, tidak berarti menggambarkan perkembangan dalam cara yang sama. Gray dan Tall (2001) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran mungkin juga memulai dengan mengamati konsep yang akan dipelajari sebagai objek. Dengan cara ini pebelajar membangun konsep dengan melakukan tindakan atasnya. Pada proses memanipulasi aljabar, subjek juga mengungkapkan suatu alasan dengan 𝑝 𝑟 menggunakan teorema 1 (dalam penulisan ini) “Jika 𝑞 dikali s maka𝑠 juga dikali s, dalam 𝑝
bentuk 𝑞 ∶
𝑟 𝑠
1
”, dimana s merupakan invers dari 𝑠 . Tujuan subjek melakukan Teorema 1 tersebut 𝑟
adalah merubah bentuk 𝑠 menjadi r dengan sifat 1 (identitas perkalian) bahwa “r dikali dan dibagi 1 sama dengan r”. Subjek juga menggunakan Teorema 2 yaitu “jika pembilang dikalikan a, maka penyebut juga harus dikalikan a, agar nilainya senilai”. Subjek menggunakan beberapa sifat dan teorema dalam bilangan real sehingga subjek berada pada dunia formal sebagaimana yang diungkapkan oleh Tall (2004) “The third world is based on properties, expressed in terms of formal definitions that are used as axioms to specify mathematical structures”. Subjek menggunakan sifat dan teorema tersebut secara berurutan yaitu mencari invers dari suatu bilangan, mengalikan/ membagi bilangan dengan 1. Perjalanan subjek menuju ke dunia formal didahului dari dunia simbolik terlebih dahulu. Sehinga adanya suatu dukungan dari dunia simbolik subjek.
1259
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Peneliti : “apa yang dapat kamu simpulkan?” 𝑝 𝑟 𝑝 ∶𝑟 Tara : “ternyata 𝑞 ∶ 𝑠 = 𝑞 ∶ 𝑠 , he.... he.... (tertawa senang) padahal anggapan saya 𝑝𝑠 𝑞𝑟
𝑝 𝑞
∶
𝑟 𝑠
=
loh bu.”
Berdasarkan interpretasi peneliti bahwa adanya suatu pengetahuan sebelumnya yang mendukung subjek dalam menyelesaikan soal tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan David Tall (2008) Personal development builds on experiences that the individual has met-before. Previous experiences form connections in the brain that affect how we make sense of new situations. Selain dipengaruhi pengetahuan sebelumnya, subjek juga mengalami adaptasi skema 𝑝 𝑟 𝑝 𝑠 dalam pikiran subjek misalnya skema lama subjek menyatakan 𝑞 ∶ 𝑠 = 𝑞 × 𝑟 . Setelah mendapatkan informasi yang ada di soal, skema subjek diperbarui bahwa untuk mengoperasikan 𝑝 𝑟 𝑝 𝑠 𝑝 ∶𝑟 ∶ 𝑠 tidak hanya diperoleh dari hasil proses 𝑞 × 𝑟 tetapi bisa juga dari proses 𝑞 ∶ 𝑠 . Hal ini 𝑞 sesuai dengan ungkapan Piaget adaptasi skema, adaptasi skema dapat dilakukan dengan dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi (Skemp, 1982). Asimilasi terjadi ketika struktur masalah dapat diintegrasikan langsung ke dalam skema yang ada. Proses asimilasi terjadi pada seseorang ketika struktur masalah yang dihadapi sudah sesuai dengan skema yang telah ada, karena skema yang telah tersedia sudah sesuai atau lebih lengkap dari struktur masalah. Sedangkan akomodasi terjadi ketika struktur skema yang dimiliki belum sesuai dengan struktur masalah yang dihadapi, sehingga perlu mengubah skema lama agar sesuai dengan struktur masalah. Informasi yang diterima mungkin saja tidak sesuai dengan skema lama, oleh karena itu skema lama harus disesuaikan atau dirubah hingga sesuai dengan informasi yang masuk. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa Tara menggunakan pengetahuan sebelumnya (met-before) untuk menyelesaikan soal. Tara menggunakan beberapa sifat dan teorema dalam bilangan real sehingga Tara berada pada dunia formal. Perjalanan Tara menuju ke dunia formal didahului dari dunia simbolik terlebih dahulu. Tara perlu menyesuaikan informasi yang didapat dengan pengetahuan yang ada (adaptasi skema). Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan bahwa perlu diadakan penelitian lebih mendalam antara adaptasi skema (asimilasi dan akomodasi) dalam berpikir matematis (Tiga dunia matematika). DAFTAR RUJUKAN Asiala, M et al, (1996) . A framework for research and curriculum development in Undergraduate mathematics education. Research in Collegiate Mathematics Education II. Issues in Mathematics Education (CBMS), American Mathematical Society, 1-32. Asiala, M. et al, (1997). The development of students’ graphical understanding of the derivative. Journal of Mathematical Behavior, 16(4), 399-431. Gray, E. & Tall, D. (2001). Relationships between embodied objects and symbolic procepts: an explanatory theory of success and failure in mathematics. In M. van den Heuval-Panhuizen (Ed.) Proceedings of the 25th conference of the international group for the psychology of mathematics education (PME), Vol. 3, Utrecht, 65-72. Santrock, John W. 2011. Educational psychology. McGraw-Hil: New York. Tall, David. (1999). Reflections on APOS theory in elementary and advanced mathematical thinking. In O. Zaslavsky (Ed.) Proceedings of the 23rd conference of the international group for the psychology of mathematics education (PME), Haifa, Israel, Vol. 1, 111118. Tall, David.2004. Introducing Three Worlds of Mathematics. For the Learning of Mathematics, 23 (3). 29–33 Tall, David. 2005. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism and Proof. Plenary Lecture for the International Colloquium on Mathematical Learning from Early Childhood to Adulthood, Belgium, 5-7 July, 2005 Tall, David. 2008. The Transition to Formal Thinking in Mathematics. Mathematics Education Research Journal, 2008, 20 (2), 5-24 [A summary of the framework of three worlds of mathematics as applied to the shift to formal thinking]
1260
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PROSES ILLUSION ZONE (IZ) DOSEN MATEMATIKA DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS Jauhara Dian Nurul Iffah dan Subanji Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini membahas munculnya Illusion Zone (IZ) Dosen pendidikan Matematika pada sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang. Peneliti memunculkan IZ dari perluasan teori Zone of Proximal Development (ZPD) yang dikemukan oleh Vygotsky, yaitu adanya Zone of Free Movement (ZFM) dan Zone of Promoted Action (ZPA) yang dikembangkan oleh Valsiner. Tindakan pendidik yang dipromosikan di kelas, namun tidak memungkinkan atau tidak berhasil disebut dengan Illusion Zone (IZ). Illusion Zone (IZ) ini diamati selain untuk mendapatkan data tentang Illusion Zone (IZ), juga untuk menjadikan refleksi bagi dosen maupun guru tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan, apakah telah sesuai dengan perencanaan dan pelaksanaan atau belum. Penelitian ini dilakukan pada tiga dosen pendidikan matematika yang sedang mengajar di kelas. Peneliti menemukan adanya IZ yang terjadi di semua kelas subjek dengan bentuk IZ yang berbeda-beda. Kata kunci: Illusion Zone, dosen matematika, pembelajaran matematika
Merrilyn Goos (2012) menyatakan bahwa perspektif sosial budaya pada penelitian dengan guru matematika dapat bermanfaat baik untuk memahami pembelajaran guru dan untuk memajukan perkembangan mereka. Dalam perspektif ini, belajar dikonseptualisasikan sebagai partisipasi dalam praktek-praktek sosial yang mengembangkan identitas profesional guru, dan unit analisis yang tepat bukanlah individu maupun pengaturan sosial, tetapi orang-orang dalam praktek tersebut. Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas memiliki karakteristik masingmasing yang sesuai dengan karakteristik siswa, guru dan materi. Setiap siswa memiliki kecepatan belajar dan gaya yang paling tepat baginya, namun membedakan pembelajaran untuk masing-masing siswa menjadi tantangan berat. Pada saat yang sama, guru juga ketika dalam memberikan pengajaran tanpa memperhitungkan apakah siswa sudah mampu memahami dan apa yang masih harus dikerjakan adalah tidak efektif. Dengan fokus pada membedakan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan masing-masing anak dalam mencapai tujuan pembelajaran, konsep zone of proximal development (ZPD) sangat penting untuk membantu guru menargetkan pembelajaran mereka dan memastikan bahwasemua siswa mengalami kemajuan pada kecepatan yang tepat. Shabani (2010) mengungkapkan Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan rekan lebih mampu. Blanton (2005) menyatakan bahwa Valsiner (1987) memperluas gagasan Vygotsky tentang ZPD dengan menyertakan dua zona tambahan interaksi: Zone of Free Movement (ZFM) dan Zone of Promoted Action (ZPA). ZFM adalah agen yang mengikat dimana orang dewasa membatasi akses anak ke daerah, benda, atau cara bertindak atas benda-benda. Valsiner menggambarkan ZFM dari sudut pandang perkembangan sebagai mekanisme penghambatan psikologis bahwa orang dewasa menciptakan untuk membatasi kebebasan pilihan anak berpikir dan bertindak. Pada dasarnya, ZFM adalah fungsi dari apa yang diperbolehkan anak oleh orang dewasa. Selain itu, ZFM adalah secara bersamaan struktur tindakan anak dalam lingkungan pada waktu tertentu, dan pemikiran masa depan anak. Hussein (2011) menyatakan ZFM mencirikan hubungan anak dan lingkungan, pada waktu tertentu dan dalam lingkungan tertentu, kebebasan pilihan tindakan anak (dan berpikir) dibatasi oleh satu set kendala. ZFM merupakan konstruksi sosial yang diciptakan melalui interaksi budaya timbal balik antara anak dan orang dewasa. Kami mencatat bahwa ZFM membentuk norma-norma budaya tertentu dan nilai-nilai tentang tindakan masa depan yang diperbolehkan yang mungkin terjadi. The ZFM memainkan peran kunci dalam penataan
1261
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tindakan saat ini dan masa depan anak dalam suatu lingkungan tertentu dan bersifat dinamis, tidak tetap, dan dapat direkonstruksi sesuai dengan situasi. Blanton (2005) ZPA didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan, benda, atau area di lingkungan yang mana orang dewasa berusaha untuk membujuk anak untuk bertindak dengan cara tertentu. ZPA menjelaskan apa yang orang dewasa mempromosikan, tanpa kewajiban bagi anak untuk menerima apa yang sedang dipromosikan. Sedangkan menurut Goos (2005) menyatakan bahwa Zone of Free Movement (ZFM) mewakili kendala lingkungan yang membatasi kebebasan bertindak dan berpikir; dan Zone of Promoted Action (ZPA), serangkaian kegiatan yang ditawarkan oleh orang dewasa dan berorientasi pada promosi keterampilan baru. Goos (2007) berpendapat bahwa ZPD mewakili pengetahuan dan keyakinan guru, dan mencakup pengetahuan guru disiplin, pengetahuan konten pedagogi, dan keyakinan tentang disiplin mereka dan bagaimana hal itu yang terbaik diajarkan dan dipelajari. ZFM merupakan kendala dan affordances dalam konteks profesional, yang dapat mencakup persepsi guru latar belakang siswa, kemampuan dan motivasi, kurikulum dan penilaian persyaratan, akses ke sumber daya, struktur organisasi dan budaya, dan sikap orangtua dan masyarakat untuk kurikulum dan perubahan pedagogis. ZPA dapat diartikan sebagai strategi pengembangan profesional yang mendefinisikan tindakan mengajar secara khusus dipromosikan. Goos (2008) menyatakan bahwa ZFM merupakan kendala yang struktur cara dimana sebuah akses individu dan berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan. ZPA terdiri kegiatan, benda, atau area di lingkungan dalam hal mana tindakan individu yang dipromosikan. ZFM dapat diartikan sebagai hambatan dalam lingkungan sekolah, seperti siswa (perilaku mereka, motivasi, kemampuan yang dirasakan), akses ke sumber daya dan bahan pengajaran, kurikulum dan penilaian persyaratan, dan struktur organisasi dan budaya, sedangkan ZPA mewakili formal dan informal kesempatan untuk belajar, misalnya, dari pendidikan guru preservice, pengembangan profesional, dan rekan-rekannya di sekolah. Rahardi (2011) ZFM itu adalah pembatasan dalam struktur dengan cara dimana akses individual dan tidak berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan. Ketika kebebasan bertindak dan berpikir siswa diakui, ZFM adalah struktur kognitif dari kendala lingkungan yang membatasi kebebasan bertindak dan berpikir. Lingkungan ini secara sosial dibangun oleh orang lain. Selanjutnya, bagian dari ZPA merupakan setiap tindakan guru ditujukan untuk membangun pengetahuan (pemahaman) peserta didik, seperti Pendekatan guru untuk pemecahan masalah, stimulus guru, dan scaffolding guru lainnya adalah semua bagian dari ZPA. Muncul zona tambahan lagi, IZ adalah tanggapan peserta didik terhadap promosi guru, tetapi tanggapan tidak membuat peserta didik memahami Material Yang Dipromosikan oleh guru atau Timbul Karena tanggapan tidak menerima reaksi guru sehingga masih menjadi 'ilusi pembelajar. Blanton (2005) menambahkan adanya zona ilusi dari ZPA, yang disebut IZ dan mendefinisikan ini untuk menjadi zona kebolehan bahwa guru muncul untuk membangun melalui perilaku dan rutinitas yang digunakan dalam pembelajaran, tetapi dalam kenyataannya, tidak memungkinkan. Dari latar belakang tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian terhadap Illusion Zone (IZ) yang muncul dari seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jombang. Illusion Zone (IZ) ini diamati selain untuk mendapatkan data tentang Illusion Zone (IZ), juga untuk menjadikan refleksi bagi dosen maupun guru tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan, apakah telah sesuai dengan perencanaan dan pelaksanaan atau belum. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jombang. Subjek yang dipilih berjumlah tiga orang yang dipilih secara acak. Tiga subjek tersebut terdiri dari 1 orang laki-laki yaitu SM dan 2 orang perempuan yaitu RU dan LB. Langkah awal adalah peneliti melakukan wawancara singkat yang berisi tentang pertanyaan seputar apa yang akan diajarkan dan menggunakan metode apa dalam mengajar. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah mengamati proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh masing-masing subjek di kelas. Proses pembelajaran ini direkam agar peneliti dapat memperoleh data secara lengkap dan tidak terlewatkan. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Subjek SM
1262
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Proses pembelajaran dilaksanakan pada mata kuliah teori bilangan, khususnya materi urutan bilangan cacah. Proses pembelajaran dilaksanakan pada mahasiswa semester 1 program studi pendidikan matematika. Dosen pertama menjelaskan sifat urutan pada bilangan cacah. Dilanjutkan dengan membahas definisi pada urutan bilangan cacah. Subjek memberikan definisi “jika a dan b bilangan-bilangan cacah, a lebih kecil dari b (dinyatakan a
b, maka b < a dan selanjutnya menggunakan sifat yang di atas. Mengerti? M : ya pak (Subjek telah memberikan bantuan dengan angka untuk membantu mahasiswa dalam memahami definisi di atas. Mahasiswa menyatakan paham, sehingga subjek mulai memberikan contoh soal) S : kita ke contoh soal, jika 𝑎 < 𝑏, 𝑏 < 𝑐 buktikan bahwa 𝑎 < 𝑐. Kalau ada soal tentang kurang dari, usahakan definisikan kurang dari itu… paham maksud saya? M : tidak.. S : begini, pernyataan ini bukan pernyataan jika dan hanya jika. Jadi hanya membutuhkan pembuktian satu kali saja. Yang diketahui hanya 𝑎 <𝑏, 𝑏 < 𝑐. Jadi berangkatnya mulai dari sini. Usahakan definisikan yang diketahui ini. M : maksudnya bagaimana pak? S : seperti yang saya sampaikan ini (menunjuk pada pembuktian tanda kurang dari yang telah dijelaskan sebelumnya). Bisa diterima? M : tidak… tidak nyambung pak S : ok. Misal saya punya s < y. tolong erta sari.. bagaimana definisinya ini? M1: bingung S : ohh.. coba sekarang ahmad fahrizal, definisinya bagaimana? M2: jika s, y bilangan cacah maka s < y dinyatakan s < y bila dan hanya bila, ada c bilangan asli sedemikian hingga a.. ehhh s + c = y (mencoba membaca definisi yang diberikan) S : bicaranya tidak jelas mas, lha sambil lihat buku.. coba bicara, saya yang tulis. M2: s < y bila dan hanya bila y…eh.. s + c = y .. sudah pak S : ok, sekarang retno. Betul atau salah ini? (menunjuk pada tulisa yang baru saja diucapkan oleh M2) M3: tidah tahu pak S : wahhh…ok, selanjutnya desy. Ini benar atau salah? M4: benar S : yakin? M4: yakin hehhehee S : kalau c ini nol boleh tidak? M4: tidak, kan bilangan asli pak S : mana ini keterangannya? M4: wah iya, tidak ada. Saya tambahi pak. S : jadi ini benar atau salah? M4: salah (mahasiswa masih banyak yang belum bisa menerima keterangan yang diberikan, sehingga subjek mencoba kembali menjelaskan dengan menggunakan pemisalan bilangan, sesuai dengan cara yang pertama kali dijelaskan)
1263
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
S : jadi tinggal nambahi syarat itu ya. Saya tambahi cara yang lain untuk yang belum paham. Begini 7 < 9 𝑗ℎ𝑗 ∃2 ∈ 𝐴 ∋ 7 + 2 = 9. Ini kan sudah di alam nyata, bawa ke tingkat di atasnya. 7 dimisalkan t, 9 dimisalkan u, 2 tak misalkan r. maka bahasanya menjadi 𝑡 < 𝑢 𝑗ℎ𝑗 ∃𝑟 ∈ 𝐴 ∋ 𝑡 + 𝑢 = 𝑟. Paham kalau seperti ini? M : paham Berdasarkan uraian di atas, peneliti menangkap ZFM subjek adalah untuk mengajarkan definisi urutan bilangan cacah disertai dengan soal-soalnya. Subjek menetapkan ZPA berupa menjelaskan definisi yang dimaksud dengan memisalkan terlebih dahulu variabel-variabel yang ada dengan menggunakan angka. Selanjutnya diterangkan dengan lebih abstrak dan akhirnya pada soal, mengganti variabel yang ada dengan huruf lain. Soal ini digunakan untuk melihat pemahaman mahasiswa terhadap definisi yang telah dijelaskan. Pada proses pembelajaran hal ini berlangsung dan mahasiswa menyatakan telah paham dengan definisi yang dimaksud. Peneliti menangkap IZ subjek, ketika subjek memberikan soal kepada mahasiswa. Soal yang diberikan bentuknya sama dengan definisi yang telah dijelaskan. Ketika variabel diubah hurufnya, mahasiswa tidak bisa lagi mengerjakan. Walaupun pada awalnya subjek telah memisalkan dengan contoh bilangan dan telah menjelaskan semuanya. Mahasiswa mengungkapkan bahwa soal yang diberikan tidak sama dengan apa yang telah dijelaskan. Hal ini menunjukkan, usaha subjek untuk membuat analogi dengan angka dan membawa ke bentuk abstrak belum membuat mahasiswa langsung memahami konsep yang diberikan. IZ yang muncul dari subjek ini sesuai dengan IZ yang muncul pada salah satu subjek yang diteliti oleh Blanton. Dimana maksud dan tujuan yang diinginkan subjek yang coba dimunculkan melalui aktivitas di kelas tidak dapat tercapai. Soal yang kedua, subjek memberikan bantuan kepada mahasiswa secara klasikal, namun banyaknya bantuan telah dikurangi dari soal yang pertama. Subjek melatih untuk langsung menerapkan konsep yang abstrak. Hasil yang tampak adalah, hanya beberapa siswa yang mampu mengikuti perubahan tersebut dengan baik. Peneliti menyimpulkan munculnya IZ dan berkurangnya IZ yang muncul dipengaruhi oleh cara mengajar dosen dan latar belakang dari pendidikan mahasiswa. Cara mengajar dosen yang telaten dan mau untuk mengulang-ngulang konsep serta melakukan perubahan seketika ketika proses pembelajaran, membuat IZ dapat terkurangi. Selain itu, latar belakang pendidikan mahasiswa yang beraneka ragam dengan berbagai jurusan ketika di sekolah mempengaruhi daya tangkap mereka terhadap materi matematika. b. Subjek RU Proses pembelajaran dilaksanakan pada mata kuliah statistik, materi penaksiran parameter p (proporsi). Pembelajaran dilaksanakan pada kelas mahasiswa program studi pendidikan matematika semester 3. Proses pembelajaran diawali dengan Subjek menjelaskan materi penaksiran parameter p dengan 1 sampel dan 2 sampel yang dilanjutkan dengan latihan soal. Proses pembelajaran berlangsung cepat, dengan anggapan bahwa mahasiswa telah mempelajari buku yang menjadi pegangan. Subjek mulai menjelaskan dari mengidentifikasi istilah-istilah dalam materi penaksiran parameter populasi sampai pada rumus yang digunakan. Dalam penjelasannya, subjek seringkali menggunakan tanya jawab kepada mahasiswanya untuk melihat sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam kegiatan pembelajaran sehariharipun subjek sering memberikan tugas kepada mahasiswa karena ingin membuat proses belajar berlangsung mandiri. Setelah satu sub materi dijelaskan, subjek meminta mahasiswa untuk mengerjakan soal yang terdapat pada buku. Subjek menunjuk salah seorang mahasiswa secara acak untuk maju mengerjakan di papan tulis, sambil membawa buku dan kalkutator. Peneliti lebih fokus pada proses latihan soal yang dikerjakan mahasiswa secara individu di papan tulis. Setelah salah seorang mahasiswa maju untuk mengerjakan, mahasiswa tersebut menuliskan informasi yang terdapat pada soal. Namun, mahasiswa terlihat masih bingung dengan maksud dari soal, sehingga subjek memberikan bantuan dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada semua mahasiswa tentang maksud dari soal, apa yang ditanyakan, kejadian apa dalam soal tersebut dan populasi yang ada dalam soal. Jawaban 1264
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang diberikan oleh semua mahasiswa mencoba untuk ditulis oleh seorang mahasiswa yang berada di depan. Subjek mengarahkan proses pekerjaan mahasiswa dengan mengingatkan untuk menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Dalam prosesnya mahasiswa bingung dan mengajukan pertanyaan lagi kepada subjek. Hal yang sama dilakukan oleh subjek adalah mengajukan pertanyaan terbuka untuk dijawab seluruh mahasiswa tentang berapa banyak sampel yang terdapat dalam soal. Ketika mahasiswa menulis nilai p1=120, hal ini tidak sesuai dengan yang ditanyakan dalam soal. Perlakuan yang sama kembali diterapkan oleh subjek, yaitu membuka pertanyaan terbuka kepada semua mahasiswa untuk mendapatkan nilai p1 dan menjelaskan kembali maksud dari simbol p1. Selanjutnya mahasiswa ini bertanya, apakah langkah selanjutnya mencari 𝑝̂. Sejauh ini, ada begitu banyak scaffolding yang diterapkan subjek, mulai dari memahami soal sampai menentukan langkah menyelesaikan soal, namun yang terlihat oleh peneliti adalah mahasiswa menunjukkan kurang dapat menangkap dengan baik, hal itu terlihat dengan masih adanya kesalahan dalam menanggapi, serta langkah yang dilakukan oleh mahasiswa sebatas mengikuti arahan subjek, tanpa mampu mengerjakan sendiri. Peneliti menilai adanya IZ di sini, ketika setiap scaffolding yang diberikan subjek, kurang dapat diterima dengan baik, segala arahan yang diberikan oleh subjek hanya sebatas dilakukan tanpa dipahami sehingga mahasiswa tidak mampu menyelesaikan sendiri soal seperti yang telah dicontohkan. Harapan subjek pada mulanya adalah dengan berbekal buku panduan yang telah dimiliki mahasiswa, di mana terdapat contoh soal yang ada, ini membuat mahasiswa menjadi lebih mampu untuk dapat menyelesaikan soal secara mandiri, jika ada bantuan dari subjek, itu hanya sebatas membantu bukan menjadi arahan utama dalam menyelesaikan soal. Namun ternyata hal ini tidak sepenuhnya terjadi mahasiswa, di mana mahasiswa melakukan apa yang diinstruksikan oleh subjek, namun mahasiswa tersebut tidak dapat memahami maksud dari apa yang dilakukan. Berdasarkan pengamatan peneliti, jika dikaitkan antara pengamatan pada kelas pertama dengan kelas kedua, perbedaan yang cukup signifikan terjadi. Dimana pada kelas pertama, situasi pembelajaran berjalan komunikatif sedangkan pada kelas kedua, hal ini kurang terjadi. Mahasiswa terlihat cukup pasif dan hanya mengikuti instruksi dari subjek. Cara mengajar yang berbeda juga tampak dari dua kelas ini. Jika pada kelas pertama, pembelajaran berjalan pelan-pelan dan mencoba memfasilitasi segala kesulitan mahasiswa, maka pada kelas kedua ini proses pembelajaran berjalan sangat cepat. Ketika subjek menemukan pekerjaan mahasiswa yang tidak sesuai, subjek langsung menanyakan dan meminta pembenaran, sehingga kadang terlihat mahasiswa hanya terpaku pada arahan subjek saja. Dalam proses pembelajaran pada kelas kedua, penyelesaian soal oleh kedua mahasiswa juga mengalami perbedaan yang mengakibatkan tampak atau tidaknya IZ. Hal ini dipahami peneliti, termasuk karena adanya perbedaan kemampuan setiap mahasiswa. Mahasiswa juga dibatasi oleh kemampuan mereka dan minat serta motivasi yang mengakibatkan perbedaan hasil yang diperoleh. c. Subjek LB Proses pembelajaran ini pada mata kuliah program linier, materi metode simplek. Materi ini bukan materi asing bagi mahasiswa karena materi ini telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya. Pada saat penelitian, proses pengajaran yang dilaksanakan adalah pembahasan soal yang hampir serupa dengan soal yang pernah dibahas, hanya ada perbedaan tanda saja. Subjek mencoba untuk membahas 1 soal tersebut dengan model pembelajran langsung. Subjek menuntun mahasiswa untuk dapat menyelesaikan soal secara bersama-sama. Sebenarnya subjek membuka peluang lebar untuk adanya tanya jawab, namun jeda waktu yang diberikan subjek untuk mahasiswa dalam memikirkan dan menjawab sangat pendek, sehingga mahasiswa tidak memiliki cukup waktu untuk dapat menjawab dengan baik. Sehingga terlihat subjek selalu memunculkan sendiri jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan. Dalam hal ini, peneliti dapat menangkap IZ yang terjadi dalam proses pembelajaran. Peneliti menarik kesimpulan bahwa, dalam proses pembelajaran pada kelas ketiga ini, peneliti menangkap adanya IZ dikarenakan interaksi yang dibangun antara subjek dan 1265
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mahasiswa sangat pendek, atau bisa dikatakan ZPA yang dibangun oleh subjek kurang begitu dikembangkan. Subjek memberikan waktu hanya singkat kepada mahasiswa dalam memunculkan jawaban, sehingga bantuan yang berupa langsung jawaban sering kali muncul dalam proses pembelajaran. Sehingga dalam gaya mengajar, adanya jeda waktu untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan jawaban atau dapat dikatakan mengembangkan ZFM sangat mempengaruhi tampak atau tidaknya IZ. SIMPULAN DAN SARAN Dalam observasi ini, peneliti melakukan observasi pada tiga orang dosen pendidikan matematika di sebuah perguruan tinggi swasta di Jombang. Pada dua diantara tiga subjek tersebut ditemukan munculnya IZ. Pada Subjek SM, usaha subjek untuk membuat analogi dengan angka dan membawa ke bentuk abstrak belum membuat mahasiswa langsung memahami konsep yang diberikan. Dimana maksud dan tujuan yang diinginkan dosen yang coba dimunculkan melalui aktivitas di kelas tidak sesuai. Pada subjek RU, peneliti menilai adanya IZ di sini, ketika setiap ZPA yang diberikan subjek, kurang dapat diterima dengan baik, segala arahan yang diberikan oleh subjek hanya sebatas dilakukan tanpa dipahami sehingga mahasiswa tidak mampu menyelesaikan sendiri soal seperti yang telah dicontohkan. Pada subjek LB, peneliti menarik kesimpulan bahwa, dalam proses pembelajaran pada kelas ketiga ini, peneliti menangkap adanya IZ yang tampak ketika interaksi yang dibangun antara subjek dan mahasiswa sangat pendek, atau bisa dikatakan ZPA yang dibangun oleh subjek kurang begitu dikembangkan. Subjek memberikan waktu hanya singkat kepada mahasiswa dalam memunculkan jawaban, sehingga bantuan yang berupa langsung jawaban sering kali muncul dalam proses pembelajaran. Peneliti menyarankan dalam penelitian selanjutnya untuk lebih fokus dalam melakukan pengamatan mendalam dan wawancara, sehingga adanya IZ dapat diseskripsikan dengan jelas. DAFTAR RUJUKAN Blanton, m. L., westbrook, s & carter, g (2005). Using valsiner‟s zone theory to interpret Teaching practices in mathematics and science Classrooms. Journal of mathematics teacher education (2005) 8:5–33. Goos, Merrilyn. 2005. a sociocultural analysis of learning to teach. Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 3, pp. 49-56. Melbourne: PME Goos, Merrilyn, 2012. Sociocultural Perspectives on Research With Mathematics teachers: A Zone Theory Approach. EM TEIA – Revista de Educação Matemática e Tecnológica Iberoamericana – vol. 3 -número 2 – Hussein, dkk. 2011. Extending Valsiner’s zone theory to theorise student-teacher development. Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics 31(1) March 2011 Rahardi, Rustanto. 2011. Valsiner‟s Zone Theory As The Teachers‟ Zone Of Proximal Development. Proceeding international seminar and the fourth national conference on mathematics education. ISBN: 978-979-16353-7-0 Shabani k, dkk. 2010. Vygotsky's Zone of Proximal Development: Instructional Implications and Teachers' Professional Development. Published by Canadian Center of Science and Education. Vol. 3, No. 4; December 2010 Valsiner, Jaan. 1983. Variability of adult-child interaction and instability of behavior settings in children’s home environment. Final report of the research grant, awarded for 1982/83 by the foundation for child development
PROSES CONJECTURING DALAM PEMECAHAN MASALAH GENERALISASI POLA Sutarto dan Subanji Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected] 1266
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Subjek penelitiannya adalah 6 siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang, pada tahap pertama siswa menyelesaikan masalah generalisasi pola dan pada tahap kedua siswa diwawancara berdasarkan lembar jawaban masing. Hasil penelitian menunjukan: 1) tidak semua tahapan proses conjecturing dilaksanakan, dan 2) memahami masalah merupakan titik awal untuk pemecahan masalah generalisasi pola. Kata kunci: Conjecturing, pemecahan masalah, dan generalisasi pola
Pemecahan masalah dan conjecturing merupakan bagian penting dari kegiatan matematika. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) yaitu banyak peneliti telah menyarankan bahwa pemecahan masalah dan conjecturing adalah bagian penting dari kegiatan matematika. Menurut NCTM (2000) pemecahan masalah merupakan salah satu bagian dari standar matematika sekolah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berpikir matematis dan keterampilan penalaran, termasuk membuat conjectures adalah penting karena berfungsi sebagai dasar untuk mengembangkan wawasan baru dan meningkatkan kajian lebih lanjut. Sedangkan menurut Sutarto, dkk (2014) conjecturing berperan dalam pembelajaran matematika yaitu: (1) conjecturing sebagai jalan dalam menyelesaikan masalah (2) conjecturing sebagai proses yang membantu siswa dalam memahami materi, dan (3) conjecturing sebagai proses yang melatih siswa dalam bernalar. Pemecahan masalah dan conjecturing merupakan dua hal yang saling berhubungan. Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) pemecahan masalah dan conjecturing sebagai kegiatan matematika yang terjalin dalam banyak cara. Dalam NCTM (2000) pemecahan masalah berarti terlibat dalam tugas yang solusi belum diketahui sebelumnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa melakukan matematika berarti melibatkan penemuan, conjecture adalah jalur utama untuk penemuan. Proses investigasi terjadi dalam proses problem solving, dalam proses investigasi salah satu tahapanya adalah perumusan dan pengujian conjectures (Yeo & Yeap, 2010). Conjecture merupakan suatu pernyataan yang dihasilkan dari proses penalaran tapi kebenarannya belum dapat dipastikan. Menurut Stacey, Burton, & Mason (2010) conjecture adalah pernyataan yang masuk akal, tapi yang kebenarannya belum dapat dipastikan, dengan kata lain, belum diyakini kebenarannya namun tidak memiliki contoh penyangkal. Canada & Castro (2005) menyatakan bahawa conjecture adalah pernyataan berdasarkan fakta empiris, yang belum divalidasi. Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menyatakan bahwa proses conjecturing menggunakan berbagai jenis penalaran. Salah satu penalaran yang digunakan dalam proses conjecturing adalah penalaran induktif. Penalaran induktif adalah proses melihat keteraturan yang dimulai dari contoh-contoh tertentu dan menghasilkan generalisasi. Menurut Pólya (1967) bahwa penalaran induktif adalah metode menemukan sifat dari fenomena dan menemukan keteraturan dengan cara yang logis. Canada & Castro (2005) menyatakan bahwa penalaran induktif dalam pendidikan matematika adalah proses penalaran yang dimulai dengan kasus-kasus tertentu dan menghasilkan generalisasi. Penalaran induktif mengacu pada pendeteksian keteraturan dan ketidakteraturan dalam rangka membentuk aturan dan membuat generalisasi (Klauer & Phye, 2008). Hasil penelitian tentang tahapan penalaran induktif. Pólya (1967) menunjukkan empat langkah proses penalaran induktif: pengamatan kasus-kasus tertentu, merumuskan conjecture berdasarkan kasus tertentu sebelumnya dan verifikasi conjecture dengan kasus-kasus tertentu yang baru. Dalam konteks induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit, Reid (2001) menjelaskan tahapan ini: pengamatan pola, conjecturing (dengan keraguan) bahwa pola-pola ini berlaku secara umum, pengujian conjecture, dan generalisasi conjecture. Canada & Castro (2005) tujuh tahapan yang menjelaskan proses penalaran induktif: mengamati kasus-kasus tertentu, mengorganisasikan kasus-kasus tertentu, mencari dan memprediksi pola, merumuskan conjecture, memvalidasi conjecture, meggeneralisasi conjecture, dan membenarkan conjecture umum. Penalaran induktif penting dalam pemecahan masalah. Menurut Koedinger dan Anderson (Papageorgiou & Christou, 2005) bahwa penalaran induktif berperan penting dalam matematika dan pemecahan masalah. Pólya (1967) menyatakan bahwa penalaran induktif sangat 1267
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penting dari sudut pandang ilmiah karena memungkinkan kita untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Sedangkan menurut Harverty, dkk (2000) mengutip beberapa penelitian lain yang melihat penalaran induktif sebagai faktor penting untuk pemecahan masalah, belajar konsep, belajar matematika, dan pengembangan keahlian. Penalaran induktif digunakan dalam proses conjecturing. Proses conjecturing melalui penalaran induktif adalah proses menghasilkan conjecture melalui tahapan penalaran induksi. Menurut Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) bahwa conjecturing dalam menyelesaikan masalah dapat dilakukan dengan conjecturing tipe induksi empiris dari berhingga kasus diskrit. Lebih lanjut dikatakan bahwa conjecturing melalui penalaran induktif dapat dibuat berdasarkan pengamatan dari bilangan berhingga kasus diskrit, dimana pola yang diamati konsisten. Selanjutnya Cañadas & Castro (2005) dalam Cañadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menyatakan bahwa tujuh tahapan kategorisasi untuk menggambarkan conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit: mengamati kasus, mengorganisir kasus, mencari dan memprediksi pola, merumuskan conjecture, memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi conjecture tersebut, dan membenarkan generalisasi. Tahapan Conjecturing tersebut merupakan tahapan penalaran induksi yang dikemukakan oleh Cañadas & Castro (2005) dan dijadikan salah satu tipe conjecturing. Penjelasan tujuh tahapan kategorisasi untuk menggambarkan conjecturing tipe induksi empiris dari sejumlah berhingga kasus diskrit atau conjecturing melalui penalaran induktif. Ketika mengamati kasus titik awal kasus tertentu adalah pengalaman dengan kasus-kasus tertentu dari masalah yang diajukan. Mengorganisir kasus melibatkan penggunaan strategi untuk melakukan sistematisasi dan memfasilitasi pekerjaan dengan kasus-kasus tertentu. Strategi yang paling umum digunakan adalah organisasi kasus-kasus tertentu dengan daftar data atau tabel. Mencari dan memprediksi pola ketika seseorang mengamati pengulangan dan situasi yang biasa yang bersifat gambaran bahwa pola mungkin berlaku untuk kasus berikutnya yang tidak diketahui dengan pasti. Merumuskan conjecture, berarti membuat pernyataan tentang semua kemungkinan kasus yang terjadi, berdasarkan fakta-fakta empiris, tetapi dengan unsur keraguan. Memvalidasi conjecture, ketika siswa merumuskan conjecture dengan keraguan, mereka yakin tentang kebenaran conjecture mereka untuk kasus-kasus tertentu tetapi tidak untuk yang lain. Generalisasi conjecture, hal ini terkait dengan perubahan pada pernyataan yang diyakini. Melihat contoh tambahan tidak cukup untuk membenarkan generalisasi, membenarkan generalisasi conjecture mencakup pemberian alasan yang menjelaskan conjecture tersebut, mungkin dengan maksud meyakinkan orang lain bahwa generalisasiny benar. Jika diperlukan, orang bisa membuat bukti matematis sebagai justifikasi yang menjamin kebenaran conjecture tersebut. Generalisasi pola merupakan aspek penting dalam matematika yang terdapat dalam setiap topik dan merupakan sesuatu yang disorot dalam pengajaran di hampir semua tingkatan (Dindyal, 2007). Generalisasi pola dapat berkontribusi pada pengembangan kemampuan yang berkaitan dengan pemecahan masalah, melalui penekanan analisis kasus-kasus tertentu, mengorganisasikan data secara sistematis, conjecturing dan mengeneralisasi (Barbosa, 2011). Sedangkan menurut Küchemann (2010) menyatakan generalisasi harus menjadi inti dari kegiatan matematika di sekolah. Dalam kurikulum 2013 terkait pola, generalisasi, dan conjecturing merupakan kompetensi dasar yang diberikan di SMP/MTs kelas VII, VIII dan IX, ini menunjukan bahwa pola, generalisasi dan conjecturing merupakan kompetensi yang penting dan harus di miliki oleh siswa. Kenyataannya menggeneralisasi pola, dan membangun conjecture dalam penyelesaian masalah masih dirasakan sulit oleh siswa. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Sutarto, dkk (2014) bahwa siswa mengalami kesulitan dalam proses membangun conjecture yaitu siswa mengalami kesulitan dalam mengamati kasus (3,57%), mengorganisir kasus (17,86%), mencari dan memprediksi pola (53,57%), merumuskan conjecture (64,29 %), memvalidasi conjecture (71,43%), generalisasi conjecture (82,86%), dan membenarkan generalisasi (92,86%). Berdasarkan uraian ini sangat penting untuk mendeskripsikan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola sehingga guru dapat memahami dengan benar proses conjecturing yang dilakukan oleh siswa. Selanjutnya guru dapat membantu siswa membuat, memperbaiki, dan mengeksplorasi conjecture. 1268
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE Jenis penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola, maka siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang adalah deskriptif ekploratif dengan memberikan lembar masalah generalisasi pola “Tentukan banyaknya diagonal dari segitiga 𝑛 beraturan?” untuk diselesaikan kepada 6 siswa. Pada tahap pertama siswa menyelesaikan masalah generalisasi pola dan pada tahap kedua siswa diwawancara berdasarkan lembar jawaban masing untuk mengetahui proses conjecturing yang dilakukan. Soal ini termasuk masalah matematika karena penyelesaian yang benar tidak diketahui oleh siswa sehingga ini merupakan masalah bagi mereka. Untuk mendeskripsikan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola lembar jawaban siswa dikumpulkan, selanjutnya diwawancara dan dianalisis satu persatu untuk melihat proses berpikirnya. HASIL Berdasarkan hasil wawancara dan analsis lembar jawaban siswa dapat dilihat pada tabel 1 dan diagram 1 berikut: Tabel 1. Pelaksanaan tahapan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola TAHAPAN PROSES CONJECTURING SUBJEK Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 S1 X S2 X X X X X S3 X X X X X X S4 X X S5 X X X X S6 X -
Keterangan: X = Melaksanakan - = Tidak melaksanakan . Tahap 1: mengamati kasus, Tahap 2: mengorganisir kasus, Tahap 3: mencari dan memprediksi pola, Tahap 4: merumuskan conjecture, Tahap 5: memvalidasi conjecture, Tahap 6: generalisasi conjecture, dan Tahap 7: membenarkan generalisasi. Membenarkan Generalisasi Generalisasi Conjecture Memvalidasi Conjecture
Tahapan Proses Conjecturing
Merumuskan Conjecture Mencari dan Memprediksi pola Mengorganisir kasus Mengamati kasus S1
S2
1269
S3
S4
S5
S6
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Subjek Diagram 1. Proses pelaksanaan tahapan proses conjecturing dalam pemecahan masalah generalisasi pola
PEMBAHASAN Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S1 dan S6 menunjukan bahwa S1 dan S6 tidak memahami maksud dari masalah yang diberikan, tapi S1 dan S6 mengetahui bahwa segi tiga tidak mempunyai diagonal dan segi empat memiliki dua diagonal. Subjek S1 dan S6 tidak bisa melanjutkan ketahapan selanjutnya. Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S2 menunjukan bahwa S2 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan mempredik pola tetapi karna mengalami kebingungan S2 kembali mengorganisir kasus dengan menggambar segi tiga dengan diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalya 9, segi tujuh diagonalnya 14 seperti yang terlihat pada gambar 1. Tahap selanjutnya S2 merumuskan conjecture bahwa rumus ke 𝑛 adalah 𝑛 − 3 + 1 Dan melakukan validasi dengan mensubstitusi segi empat (𝑛 = 4) ke 𝑛 − 3 + 1 = 2 hasilnya sesuai dengan banyaknya diagonal pada segi empat. Selanjutnya S2 membuat generalisasinya dengan meyakini bahwa 𝑛 − 3 + 1 adalah benar. Peneliti bertanya apakah 𝑛 − 3 + 1 berlaku untuk segi-segi beraturan lainnya, S2 menjawab iya pak tapi saat S2 mencoba dengan segi 5 diaganol yang di dapat 3 tidak sesuai dengan tahapan mengorganisir kasus yaitu segilima diagonalnya lima. Wawancara yang dilakukan pada subjek S3 menunjukan bahwa S3 mengamati kasus dengan menjawab pertanyaan masalah ini mencari rumus untuk menentukan jumlah diagonal segi beraturan ini terkait pola bilangan, dengan pengetahuannya tentang segi beraturan dan diagonal selanjutnya S3 mencari dan memprediksi pola dengan menggambar menggambar segi tiga diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalya 9 dan mengurutkan segi beraturan dengan jumlah diagonalnya dan mengetahui diagonal segi tujuh dan segi delapan tanpa menggambar. Subjek S3. Pada tahap selanjutnya S3 telah merumuskan conjecture bahwa diagonal segi selanjutnya di jumlahkan dengan bilangan berurut maksudnya di tambah 2, tambah 3, tambah 4, tambah 5 dan seterusnya dan ini terkait dengan jumlah deret aritmatika. Pada tahap memvalidasi conjecture S3 menggambar lagi segi tujuh untuk memastikan bahwa segi tujuh diagonalnya 14 ternyata benar. Kemudian S3 mengeneralisasi dengan menghitung jumlah deret aritmatika. Dalam membenarkan conjecture S3 substitusi segi enam pada rumus yang telah ditemukan dan hasilnya benar. Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S4 menunjukan bahwa subjek S4 mengamati kasus dengan menggambar dua segi 𝑛 beraturan, dan melanjutkan ke tahap mengorganisir kasus dengan mengurutkan segi 𝑛 beraturan dengan jumlah diagonalnya tapi subjek S4 tidak mencari dan menemukan polanya sehingga tidak dapat melanjutkan ketahapan berikutnya. Hasil wawancara yang dilakukan pada subjek S5 menunjukan bahwa S5 mulai dengan mengamati kasus dan langsung mencari dan memprediksi pola dengan menggambar segi tiga dengan diagonalnya nol, segi empat diagonalnya dua, segi lima diagonalnya 5, segi enam diagonalya 9, Tahap selanjutnya S2 mencoba merumuskan beberapa conjecture dan langsung divalidasi tapi dugaannya salah. Subjek S2 tidak melanjutkan ke tahapan berikutnya. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa 1) tidak semua tahapan proses conjecturing dilaksanakan dan 2) memahami masalah merupakan titik awal untuk pemecahan masalah generalisasi pola. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melihat jenis dari proses conjecturing di tinjau dari proses, hasil dan faktor pemicunya. DAFTAR RUJUKAN Barbosa, A. 2011. Patterning problems: sixth graders‟ ability to generalize. Proceedings of the CERME 7 International Conference Canada, M.C., & Martinez, E, C. 2005. A proposal of categorisation for Analysing inductive reasoning Solving. Proceedings of the CERME 4 International Conference (pp. 41409). Sant Feliu de Guíxols, Spain.
1270
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Cañadas, M.C., Deulofeu, J. Figueiras, L., Reid, D., & Yevdokimov, O. 2007: The Dugaan Process: Perspectives in Theory and Implications in Practice: Journal Of Teaching And Learning, 2007, VOL. 5, NO.1 Dindyal, J. 2007. High School Students‟ Use of Patterns and Generalisations. Proceedings of the Fifth Congress of the European Society for Research in Mathematics Education, 2007, pp. 844-851 Harverty , L. A., Koedinger, K. R., Klahr, D., & Alibali, M. W. (2000). Solving inductive reasoning problems in mathematics: No-so-trivial pursuit. Cognitive Science Vol 24 Klauer, K. J., & Phye, G. D. (2008). Inductive reasoning: A training approach. Review of Educational Research, 78, 85 – 123 Küchemann, D. 2010. Using patterns generically to see structure. Pedagogies: An International Journal Vol. 5, No. 3, July–September 2010, 233–250 Lee, K.H., & Sriraman, B. 2010. Dugaan via reconceived classical analogy: Educational Studies in Mathematic, DOI 10.1007/s10649-010-9274-1 Lin, P.J., & Tsai, W.H. 2013. A Task Design for Dugaan in Primary Classroom Contexts. Proceedings of ICMI Study 22 (Vol. 1). Oxford Martha, G. & Alma, B. 2011. Using Multiple Representations to Make and Verify Dugaan. USChina Education Review B 3 (2011) 430-437 Earlier title: US-China Education Review, ISSN 1548-6613 Dafid publishing. Nasional Council of Teacher of Mathematics. 2000. Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM. Reid, D.A., & Scotia, N. 2002. Dugaan and Refutations in Grade 5 Matematics. Journal of Research Mathematics and Education, Vol. 33, No.1.5-29 Stacey, Burton, & Mason. 2010. Thingking Mathematically Second Edition. Pearson Education Limited. Sutarto, dkk. 2014. Identifikasi kesulitan siswa dalam membangun conjecturing pada pemecahan masalah matematika. Preceding Seminar Nasional Pendidikan UTY ISBN 978-979-1334-33-4 Sutarto, dkk. 2014. Peran conjecturing dalam pembelajaran matematika. Preceding Seminar Nasional matematika dan Pendidikan Matematika USD. Yeo, J.B.W., & Yeap, B.H. 2010. Characterising the Cognitive Processes Matthematical Investigation. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. ISSN 1473 – 0111. Articles published to date 5 Oct 2010. Yevdokimov, S. 2005. About A Constructivist Approach For Stimulating Students‟ Thinking To Produce Dugaan And Their Proving In Active Learning Of Geometry. Proceedings of the CERME 4 International Conference (pp. 469-480). Sant Feliu de Guíxols, Spain
MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR ILMU PENGETAHUAN ALAM MELALUI METODE BELAJAR AKTIF MODEL PENGAJARAN AUTENTIK PADA SISWA KELAS VI SEKOLAH DASAR NEGERI 002 TENGGARONG Hasmi SDN 002 Tenggarong
Dalam menggunakan metode terkadang guru harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah peserta didik mempengaruhi penggunaan metode. Tujuan instruksional adalah pedoman yang mutlak dalam pemilihan metode. Dalam perumusan tujuan, guru perlu merumuskannya dengan jelas dan dapat diukur. Dengan begitu mudah bagi guru menentukan metode yang bagaimana yang dipilih guna menunjang pencapaian tujuan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam mengajar, guru jarang sekali menggunakan satu metode, karena mereka menyadari bahwa semua metode ada kelebihan dan kelemahannya. Penggunaan satu metode 1271
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
lebih cenderung menghasilkan kegiatan belajar mengajar yang membosankan bagi peserta didik. Jalan pengajaran pun tampak kaku. Peserta didik terlihat kurang termotivasi dalam belajar. Kejenuhan dan kemalasan menyelimuti kegiatan belajar peserta didik. Kondisi seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi guru dan peserta didik. Sementara itu ada pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika peserta didik “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan „mengetahui‟-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi „mengingat‟ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali peserta didik memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas di sekolah kita. Pendekatan kontekstual (contextual teaching learning/CTL) adalah suatu pendekatan pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu. Sekarang ini pengajaran kontekstual menjadi tumpuan harapan para ahli pendidikan dan pengajaran dalam upaya menghidupkan kelas secara maksimal. Kelas yang hidup diharapkan dapat mengimbangi perubahan yang terjadi di luar sekolah yang sedemikian cepat. Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang langgeng. Yang bisa membuahkan hasil belajar yang langgeng hanyalah kegiatan belajar aktif.Sesuai dengan harapan dan tujuan Kurikulum 2013. Apa yang menjadikan belajar aktif? Agar belajar menjadi aktif siswa harus mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka harus menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh gairah. Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan berfikir keras (moving about dan thinking aloud). Setiap akan mengajar, guru perlu membuat persiapan mengajar dalam rangka melaksanakan sebagian dari rencana bulanan dan rencana tahunan. Dalam persiapan itu sudah terkandung tentang, tujuan mengajar, materi yang akan diajarkan, metode mengajar, bahan pelajaran, alat peraga dan teknik evaluasi yang digunakan. Karena itu setiap guru harus memahami benar tentang tujuan mengajar, secara khusus memilih dan menentukan metode mengajar sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, cara memilih, menentukan dan menggunakan alat peraga, cara membuat tes dan menggunakannya, dan pengetahuan tentang alat-alat evaluasi dan penilaiannya. Sementara itu teknologi pembelajaran adalah salah satu dari aspek tersebut yang cenderung diabaikan oleh beberapa pelaku pendidikan, terutama bagi mereka yang menganggap bahwa sumber daya manusia pendidikan, sarana dan prasarana pendidikanlah yang terpenting. Padahal kalau dikaji lebih lanjut, setiap pembelajaran pada semua tingkat pendidikan baik formal maupun non formal apalagi tingkat Sekolah Dasar, haruslah berpusat pada kebutuhan perkembangan peserta didik sebagai calon individu yang unik, sebagai makhluk sosial, dan sebagai calon manusia seutuhnya. Hal tersebut dapat dicapai apabila dalam aktivitas belajar mengajar, guru senantiasa memanfaatkan teknologi pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran struktural dalam penyampaian materi dan mudah diserap peserta didik atau siswa yang lain. Khususnya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, agar peserta didik dapat memahami materi yang disampaikan guru dengan baik, maka proses pembelajaran kontekstual, guru akan memulai membuka pelajaran dengan menyampaikan kata kunci, tujuan yang ingin dicapai, baru memaparkan isi materi dan diakhiri dengan memberikan soal-soal kepada peserta didik. Dengan menyadari gejala-gejala atau kenyataan tersebut diatas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Belajar Aktif Model Pengajaran Autentik Pada Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Negeri 002 Tenggarong.” Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk Ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam setelah diterapkannya metode belajar aktif model pengajaran autentik pada siswa Kelas VI SDN 002 Tenggarong tahun pelajaran 2012 – 2013. Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam setelah diterapkan
1272
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
metode belajar aktif model pengajaran autentik pada siswa Kelas VI SDN 002 Tenggarong tahun pelajaran 2012 - 2013 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. Menurut Oja dan Sumarjan (dalam Titik Sugiarti, 1997: 8) mengelompokkan penelitian tindakan menjadi empat macam yaitu, (a) guru sebagai peneliti, (b) penelitian tindakan kolaboratif; (c) simultan terintegratif; (d) administrasi sosial eksperimental. Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian tindakan ini adalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di Kelas VI SDN 002 Tenggarong tahun pelajaran 2012 - 2013 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret semester genap tahun pelajaran 2012 – 2013 3. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah siswa-siswi Kelas VI SDN 002 Tenggarong tahun pelajaran 2012 – 2013 pada Energi dan Perubahannya. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2000: 3). Sedangkan menurut Mukhlis (2000: 5) PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan pratik pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertanya adalah menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2000: 5). Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997: 6), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perncanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.
1273
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Putaran 1 Rencana awal/rancangan
Refleksi
Putaran 2
Tindakan/ Observasi
Rencana yang direvisi
Refleksi Tindakan/
Putaran 3
Observasi Rencana yang direvisi
Refleksi Tindakan/ Observasi
Gambar 1. Alur PTK
Penjelasan alur di atas adalah: 1. Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran. 2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model gabungan ceramah dan model pengajaran autentik. 3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat. 4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya. Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu Kompetensi Dasar yang diakhiri dengan tes formatif di akhir masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah dilaksanakan. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Silabus Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolaan kelas, serta penilaian hasil belajar. 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran. Masing-masing RPP berisi antara lain : Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Indikator pencapaian hasil belajar, Tujuan pembelajaran, Materi, Metode pembelajaran dan Langah – langkah kegiatan pembelajaran. 3. Lembar Kegiatan Siswa Lembar kegiatan ini yang dipergunakan siswa untuk membantu proses pengumpulan data hasil eksperimen. 4. Tes formatif
1274
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep Ilmu Pengetahuan Alam pada Standar Kompetensi Energi dan Perubahannya . Tes formatif ini diberikan setiap akhir putaran. Bentuk soal yang diberikan adalah isian (objektif). Sebelumnya soal-soal ini berjumlah 46 soal yang telah diujicoba, kemudian penulis mengadakan analisis butir soal tes yang telah diuji validitas dan reliabilitas pada tiap soal. Analisis ini digunakan untuk memilih soal yang baik dan memenuhi syarat digunakan untuk mengambil data. Langkah-langkah analisis butir soal adalah sebagai berikut: a. Validitas Tes Validitas butir soal atau validitas item digunakan untuk mengetahui tingkat kevalidan masing-masing butir soal. Sehingga dapat ditentukan butir soal yang gagal dan yang diterima. Tingkat kevalidan ini dapat dihitung dengan korelasi Product Moment:
N XY X Y
rxy
N X
Dengan:
rxy N ΣY ΣX ΣX2 ΣXY
2
X N Y Y 2
2
2
(Suharsimi Arikunto, 2001: 72)
: Koefisien korelasi product moment : Jumlah peserta tes : Jumlah skor total : Jumlah skor butir soal : Jumlah kuadrat skor butir soal : Jumlah hasil kali skor butir soal
b. Reliabilitas Reliabilitas butir soal dalam penelitian ini menggunakan rumus belah dua sebagai berikut:
r11
2r1 / 21/ 2 (Suharsimi Arikunto, 2001: 93) (1 r1 / 21/ 2 )
Dengan:
r11 : Koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan r1/21/2 : Korelasi antara skor-skor setiap belahan tes Kriteria reliabilitas tes jika harga r11 dari perhitungan lebih besar dari harga r pada tabel product moment maka tes tersebut reliabel. c. Taraf Kesukaran Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal adalah indeks kesukaran. Rumus yang digunakan untuk menentukan taraf kesukaran adalah:
P
B Js
(Suharsimi Arikunto, 2001: 208)
Dengan:
P : Indeks kesukaran B : Banyak siswa yang menjawab soal dengan benar Js : Jumlah seluruh siswa peserta tes Kriteria untuk menentukan indeks kesukaran soal adalah sebagai berikut: - Soal dengan P = 0,000 sampai 0,300 adalah sukar - Soal dengan P = 0,301 sampai 0,700 adalah sedang - Soal dengan P = 0,701 sampai 1,000 adalah mudah d. Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda desebut indeks diskriminasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi adalah sebagai berikut:
D
B A BB PA PB JA JB
(Suharsimi Arikunto, 2001: 211)
Dimana: D : Indeks diskriminasi BA : Banyak peserta kelompok atas yang menjawab dengan benar 1275
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
BB : Banyak peserta kelompok bawah yang menjawab dengan benar JA : Jumlah peserta kelompok atas JB : Jumlah peserta kelompok bawah
BA Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar. JA B PB B Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar JB PA
Kriteria yang digunakan untuk menentukan daya pembeda butir soal sebagai berikut: - Soal dengan D = 0,000 sampai 0,200 adalah jelek - Soal dengan D = 0,201 sampai 0,400 adalah cukup - Soal dengan D = 0,401 sampai 0,700 adalah baik - Soal dengan D = 0,701 sampai 1,000 adalah sangat baik Metode Pengumpulan Data Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi pengolahan belajar aktif, observasi aktivitas siswa dan guru, dan tes formatif. Teknik Analisis Data Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana yaitu: 1. Untuk menilai ulangan atau tes formatif Peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga diperoleh rata-rata tes formatif dapat dirumuskan:
X
X N
: X = Nilai rata-rata Σ X = Jumlah semua nilai siswa Σ N = Jumlah siswa 2. Untuk ketuntasan belajar Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar kurikulum 1994 (Depdikbud, 1994), yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65% atau nilai 65 ( sesuai dengan KKM ), dan kelas disebut ketuntasan belajar bila di kelas tersebut terdapat 85% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama dengan 70%. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut: Dengan
P
Siswa. yang.tuntas.belajar x100% Siswa
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal, data observasi berupa pengamatan pengelolaan belajar aktif dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran, dan data tes formatif siswa pada setiap siklus. Data hasil uji coba item butir soal digunakan untuk mendapatkan tes yang betul-betul mewakili apa yang diinginkan. Data ini selanjutnya dianalisis tingkat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. 1276
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Data tes formatif untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik. Analisis Item Butir Soal Sebelum melaksanakan pengambilan data melalui instrumen penelitian berupa tes dan mendapatkan tes yang baik, maka data tes tersebut diuji dan dianalisis. Uji coba dilakukan pada siswa di luar sasaran penelitian. Analisis tes yang dilakukan meliputi: 1. Validitas Validitas butir soal dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan tes sehingga dapat digunakan sebagai instrument dalam penelitian ini. Dari perhitungan 46 soal diperoleh 16 soal tidak valid dan 30 soal valid. Hasil dari validitas soal-soal dirangkum dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Soal Valid dan Tidak Valid Tes Formatif Siswa Soal Valid Soal Tidak Valid 2, 3, 4, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 19, 21, 23, 25, 25, 27, 1, 5, 6, 8, 15, 16, 18, 20, 22, 28, 29, 30, 31, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45 24, 32, 33, 34, 35, 40, 46
2.
Reliabilitas Soal-soal yang telah memenuhi syarat validitas diuji reliabilitasnya. Dari hasil perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas r11 sebesar 0, 596. Harga ini lebih besar dari harga r product moment. Untuk jumlah siswa (N = 34) dengan r (95%) = 0,339. Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah memenuhi syarat reliabilitas. 3. Taraf Kesukaran (P) Taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran soal. Hasil analisis menunjukkan dari 46 soal yang diuji terdapat: - 21 soal mudah - 15 soal sedang - 10 soal sukar 4. Daya Pembeda Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui kemampuan soal dalam membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Dari hasil analisis daya pembeda diperoleh soal yang berkriteria jelek sebanyak 16 soal, berkriteria cukup 21 soal, berkriteria baik 9 soal. Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah memenuhi syarat-syarat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Analisis Data Penelitian Persiklus 1. Siklus I a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, LKS 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2013 di Kelas VI SDN 002 Tenggarong dengan jumlah 34 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif 1 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada siklus I adalah sebagai berikut: Table 2. Distribusi Nilai Tes Siklus I Keterangan No. Urut Skor No. Urut T T 1 80 √ 18 2 60 √ 19 3 80 √ 20 4 60 √ 21
1277
Skor 60 70 70 70
Keterangan T TT √ √ √ √
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
5 60 √ 22 6 80 √ 23 7 70 √ 24 8 60 √ 25 9 70 √ 26 10 80 √ 27 11 90 √ 28 12 50 √ 29 13 70 √ 30 14 80 √ 31 15 60 √ 32 16 80 √ 33 17 60 √ 34 Jumlah 1190 10 7 Jumlah Jumlah Skor Tercapai 2380 Jumlah Skor Maksimal Ideal 3400 Rata-Rata Skor Tercapai 70,00 Keterangan: T TT Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal
No 1 2 3
2.
80 70 80 60 40 70 80 90 80 60 70 70 70 1190
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 13
4
: Tuntas : Tidak Tuntas : 23 : 11 : Belum tuntas
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Tes Pada Siklus I Uraian Hasil Siklus I Nilai rata-rata tes formatif 70,00 Jumlah siswa yang tuntas belajar 23 Persentase ketuntasan belajar 67,65
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 70,00 dan ketuntasan belajar mencapai 70,00% atau ada 23 siswa dari 34 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 67,65% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik. c. Refleksi Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut: 1) Guru kurang baik dalam memotivasi siswa dan dalam menyampaikan tujuan pembelajaran 2) Guru kurang baik dalam pengelolaan waktu 3) Siswa kurang begitu antusias selama pembelajaran berlangsung. d. Revisi Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya refisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya. 1) Guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Dimana siswa diajak untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan. 2) Guru perlu mendistribusikan waktu secara baik dengan menambahkan informasiinformasi yang dirasa perlu dan memberi catatan 3) Guru harus lebih terampil dan bersemangat dalam memotivasi siswa sehingga siswa bisa lebih antusias. Siklus II a. Tahap perencanaan
1278
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 2, LKS, 2, soal tes formatif 2 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap kegiatan dan pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2013 di Kelas VI SDN 002 Tenggarong dengan jumlah 34 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif II. Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai berikut. Table 4. Distribusi Nilai Tes Siklus II Keterangan No. Urut Skor No. Urut Skor T TT 1 80 √ 18 70 2 70 √ 19 60 3 90 √ 20 90 4 60 √ 21 90 5 70 √ 22 80 6 60 √ 23 80 7 70 √ 24 80 8 80 √ 25 60 9 60 √ 26 70 10 70 √ 27 80 11 80 √ 28 90 12 90 √ 29 80 13 80 √ 30 70 14 80 √ 31 70 15 70 √ 32 60 16 90 √ 33 90 17 60 √ 34 90 Jumlah 1260 13 4 Jumlah 1310 Jumlah Skor Tercapai 2570 Jumlah Skor Maksimal Ideal 3400 Rata-Rata Skor Tercapai 75,59 Keterangan:
T TT Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal
Keterangan T TT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14 3
: Tuntas : Tidak Tuntas : 27 :7 : Belum tuntas
Tabel 4.5. Rekapitulasi Hasil Tes Pada Siklus II No Uraian Hasil Siklus II 1 Nilai rata-rata tes formatif 75,59 2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 27 3 Persentase ketuntasan belajar 79,41
Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 75,59 dan ketuntasan belajar mencapai 79,41% atau ada 27 siswa dari 34 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa 1279
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3.
yang dimaksudkan dan dinginkan guru dengan menerapkan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik. c. Refleksi Dalam pelaksanaan kegiatan belajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut: 1) Memotivasi siswa 2) Membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep 3) Pengelolaan waktu d. Revisi Pelaksanaan kegiatan belajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangankekurangan. Maka perlu adanya revisi untuk dilaksanakan pada siklus II antara lain: 1) Guru dalam memotivasi siswa hendaknya dapat membuat siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar berlangsung. 2) Guru harus lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada perasaan takut dalam diri siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya. 3) Guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep. 4) Guru harus mendistribusikan waktu secara baik sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 5) Guru sebaiknya menambah lebih banyak contoh soal dan memberi soal-soal latihan pada siswa untuk dikerjakan pada setiap kegiatan belajar mengajar. Siklus III a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 3, LKS 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap kegiatan dan pengamatan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2013 di Kelas VI SDN 002 Tenggarong dengan jumlah siswa 34 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif III. Adapun data hasil penelitian pada siklus III adalah sebagai berikut: Table 4.6. Distribusi Nilai Tes Siklus III Keterangan Keterangan No. Urut Skor No. Urut Skor T TT T TT 1 80 √ 18 70 √ 2 90 √ 19 80 √ 3 90 √ 20 90 √ 4 60 √ 21 90 √ 5 90 √ 22 90 √ 6 90 √ 23 80 √ 7 90 √ 24 90 √ 8 80 √ 25 80 √ 9 80 √ 26 80 √ 10 70 √ 27 80 √ 11 90 √ 28 90 √ 12 90 √ 29 80 √ 13 60 √ 30 90 √ 14 80 √ 31 70 √ 15 90 √ 32 80 √ 16 90 √ 33 90 √
1280
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
17 60 √ 34 Jumlah 1380 14 3 Jumlah Jumlah Skor Tercapai 2800 Jumlah Skor Maksimal Ideal 3400 Rata-Rata Skor Tercapai 82,35 Keterangan: T TT Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal
90 1420
√ 17
-
: Tuntas : Tidak Tuntas : 31 :3 : Tuntas
Tabel 4.7. Rekapitulasi Hasil Tes Pada Siklus III No Uraian Hasil Siklus III 1 Nilai rata-rata tes formatif 82,35 2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 31 3 Persentase ketuntasan belajar 91,17
Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 82,35 dan dari 34 siswa yang telah tuntas sebanyak 31 siswa dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 91,17% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus III ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan belajar aktif sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan. c. Refleksi Pada tahap ini akah dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan penerapan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar. 2) Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar berlangsung. 3) Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik. 4) Hasil belajar siswsa pada siklus III mencapai ketuntasan. d. Revisi Pelaksanaan Pada siklus III guru telah menerapkan belajar aktif dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakah selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. PEMBAHASAN 1. Ketuntasan Hasil belajar Siswa Melalui hasil peneilitian ini menunjukkan bahwa gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 67,65%, 79,41%, dan 91,17%. Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai. 2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran
1281
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan. 3. Aktivitas Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada materi Energi dan Perubahannya dengan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik yang paling dominan adalah mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas isiwa dapat dikategorikan aktif. Sedangkan untuk aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkahlangkah belajar aktif dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul di antaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan LKS/menemukan konsep, menjelaskan, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktivitas di atas cukup besar. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (67,65%), siklus II (79,41%), siklus III (91,17%). 2. Penerapan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa yang ditunjukan dengan rata-rata jawaban siswa hasil wawancara yang menyatakan bahwa siswa tertarik dan berminat dengn gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar. Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar Ilmu Pengetahuan Alam lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai berikut: 1. Untuk melaksanakan belajar aktif memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan gabungan metode ceramah dengan metode belajar aktif model pengajaran autentik dalam proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal. 2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan metode pengajaran yang berbeda, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. 3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil penelitian ini hanya dilakukan di Kelas VI SDN 002 Tenggarong Kec. Tenggarong tahun pelajaran 2012 - 2013 4. Untuk penelitian yang serupa hendaknya dilakukan perbaikan-perbaikan agar diperoleh hasil yang lebih baik. DAFTAR RUJUKAN Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindon. Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Mengajar Secara Manusiawi. Jakarta: Rineksa Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineksa Cipta. Combs. Arthur. W. 1984. The Profesional Education of Teachers. Allin and Bacon, Inc. Boston. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa Cipta. 1282
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Djamarah. Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineksa Cipta. Foster, Bob. 1999. Seribu Pena SLTP Kelas I. Jakarta: Erlangga. Hadi, Sutrisno. 1981. Metodogi Research. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Yoyakarta. Hasibuan. J.J. dan Moerdjiono. 1998. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Margono. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta. Rineksa Cipta. Melvin, L. Seiberman. 2000. Active Learning. Bandung: Nuansa dan Nusamedia Mukhlis, Abdul. (Ed). 2000. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah PanitianPelatihan Penulisan Karya Ilmiah untuk Guru-guru se-Kabupaten Tuban. Mursell, James ( - ). Succesfull Teaching (terjemahan). Bandung: Jemmars. Ngalim, Purwanto M. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nur, Moh. 2001. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Surabaya. University Press. Universitas Negeri Surabaya. Poerwodarminto. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Bina Ilmu. Rustiyah, N.K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara. Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan Model Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka. Suryosubroto, b. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineksa Cipta. Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wetherington. H.C. and W.H. Walt. Burton. 1986. Teknik-teknik Belajar dan Mengajar. (terjemahan) Bandung: Jemmars.
UPAYA MENINGKATKAN MINAT BELAJAR SISWA DI KELAS X SMK WISNUWARDHANA MALANG MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENT) Firda Alfiana Patricia SMK Wisnuwardhana Malang [email protected] Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) di kelas X AP dan X PJ SMK Wisnuwardhana Malang. Penelitian dilakukan dengan mengamati proses pembelajaan. Data yang diperoleh adalah data verbal, diolah, dan dideskripsikan berdasarkan tahapan TGT. Hasil penelitian ini adalah siswa terlihat sangat antusias dalam pembelajaran ini sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik.
Proses pembelajaran merupakan inti dari pelaksanaan kurikulum untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu terjadinya perubahan pada siswa dari tidak tahu menjadi tahu ataupun dari tidak bisa menjadi bisa. Untuk mencapai tujuan tersebut siswa dikondisikan belajarnya oleh guru melalui metode pembelajaran. Pada umumnya metode pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru adalah metode komunikasi satu arah di mana guru yang berperan aktif dalam memberikan pengajaran, sedangkan siswa hanya bersikap pasif menerima apa adanya apa yang guru berikan. Siswa dianggap sebagai objek semata yang masih bodoh. Metode ini dirasa sangat konvensional sehingga mengakibatkan siswa lekas jenuh karena terasa monoton dan kurang memberikan stimulus dalam pengembangan dan pembentukan kreativitas. Pengajaran metode konvensional merupakan metode tradisional yang umum digunakan di sekolah-sekolah tidak cukup untuk meningkatkan sikap siswa terhadap matematika (Akinsola : 2008). Hal ini menunjukkan kebutuhan untuk bergeser dari pengajaran metode konvensional dan merangkul beberapa strategi pembelajaran lainnya yang telah ditemukan memiliki efek fasilitatif dalam mempromosikan sikap positif siswa terhadap matematika.
1283
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Di sisi lain proses pembelajaran seharusnya berkorelasi dengan bekal pengetahuan yang dimiliki siswa. Siswa diharapkan mampu mengkaitkan berbagai hal telah mereka pelajari dengan cara memanfaatkan pengetahuan tersebut di kemudiaan hari. Siswa akan mencoba, mencari, dan mendapati fakta-fakta pembelajaran secara mandiri. Dalam pembelajaran guru yang berperan sebagai fasilitator, mediator, motivator, suporter, open mind, dan guide. Merencanakan pembelajaran, memberikan arahan - arahan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran, mengakomodasikan segala cara untuk mencapai efektivitas pembelajaran. Menyediakan kegiatan - kegiatan yang merangsang keingintahuan, membantu mengekpresikan gagasan - gagasannya, dan menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara kreatif dan produktif. Bila kita berbicara tentang masalah pendidikan pastinya dalam diri kita semua sebagai guru ingin mempunyai siswa yang terdidik, pandai, berakhlak, punya daya kreativitas, motivasi yang tinggi dalam menjalani studinya sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat menjadi manusia-manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, negara dan agamanya. Menurut Anthony (2009) sekolah, masyarakat, dan negara-negara perlu memastikan bahwa guru mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, sumber daya, dan insentif untuk menyediakan peluang pembelajaran yang terbaik bagi siswa. Dengan cara ini, setiap siswa akan dapat meningkatkan kemahiran matematika mereka. Dengan cara ini juga, setiap siswa memiliki kesempatan untuk meningkatkan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri sebagai pembelajar matematika yang kuat. Menurut Abrantes (2007) siswa menghargai interaktif dan metode yang terfokus pada siswa. Selain itu, kualitas pribadi pengajar dan karakteristik mengajar (respon,kepedulian, dan metode pembelajaran) sangat mempengaruhi dalam belajar. Esensi pengajaran yang baik diantaranya pertama, guru harus menggunakan metode instruksional yang melibatkan siswa. Kedua, guru harus menyenangkan dan penuh perhatian. Ketiga, guru harus efisien dalam memberikan pelayanan mereka karena respon tersebut dapat meningkatkan minat siswa. Terakhir, guru harus menyajikan program yang terstruktur dengan baik dan terorganisir karena dirasakan dampak positif yang signifikan pada pembelajaran. Minat belajar merupakan aspek psikologis seseorang yang menampakkan diri dalam beberapa gejala seperti : gairah, keinginan, semangat, perasaan suka untuk melakukan proses perubahan tingkah laku melalui berbagai kegiatan yang meliputi mencari pengetahuan dan pengalaman, dengan kata lain minat belajar merupakan perhatian, rasa suka, ketertarikan seseorang terhadap proses belajar yang dijalaninya dan yang kemudian ditunjukkan melalui keantusiasan, partisipasi dan keaktifan dalam mengikuti proses belajar yang disajikan. Lima faktor motivasi diukur pada skala motivasi : self efficacy, strategi belajar kooperatif, nilai belajar matematika, tujuan , dan lingkungan belajar (Purwanti : 2013). Dengan demikian minat belajar merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan belajar siswa. Di samping itu minat belajar juga dapat mendukung dan mempengaruhi proses belajar mengajar di sekolah. Namun dalam prakteknya tidak sedikit guru yang menemukan kendala dalam mengajar di kelas karena kurangnya minat siswa terhadap materi yang disampaikan. Jika hal ini terjadi, maka proses belajar mengajar akan mengalami hambatan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Minat siswa dalam belajar dan sikap instruksional guru keduanya memiliki pengaruh interaktif yang signifikan pada hasil belajar (Lee : 2011). Jam belajar siswa dan sikap instruksional guru, keduanya memiliki pengaruh interaktif yang signifikan terhadap hasil belajar. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan akademik dan pertumbuhan afektif siswa karena memberikan pendekatan interaktif untuk belajar. Interaksi timbal balik di antara peserta dalam kelompok dapat merangsang kegiatan kognitif, mempromosikan tingkat prestasi yang lebih tinggi dan meningkatkan sikap positif terhadap pembelajaran. Cooperatif learning merupakan pendekatan pengajaran yang efektif. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif sangat dianjurkan sebagai pedagogi alternatif pembelajaran dengan tujuan membuat lingkungan belajar yang lebih merangsang bagi siswa. Sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif dapat dideteksi tidak hanya oleh sarana kuesioner tetapi juga dengan cara observasi dan wawancara untuk mencapai temuan yang lebih konklusif (Tran : 2013). Pengajaran menggunakan pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan kolaboratif yang lebih besar, meningkatkan perspektif mereka, peningkatan retensi mereka
1284
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terhadap materi, membawa perilaku lebih siap tugas, dan mempromosikan prestasi lebih tinggi (Morgan : 2012). Pembelajaran kooperatif, dengan dukungan empiris yang kuat untuk itu dan fakta bahwa itu masuk akal bagi prestasi siswa dan sikap terhadap studi, adalah pilihan yang sangat layak antara metode pembelajaran lainnya untuk pengajaran sains di sekolah menengah (Ajaja : 2010). Pola interaksi guru-siswa selama pembelajaran kooperatif memiliki implikasi bagi pengajaran dan pembelajaran sains di sekolah. Tujuan utama interaksi guru-siswa selama pembelajaran kooperatif adalah untuk mempromosikan independensi dalam berpikir. Pertukaran antara guru dan siswa di kelas kooperatif fokus untuk mendapatkan peserta didik untuk berpikir sendiri, independen dari teks. Interaksi antara siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif sangat ketat dan berkepanjangan. Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, siswa secara bertahap mengambil tanggung jawab untuk masing-masing belajar satu sama lain. Selama pembelajaran kooperatif, umpan balik, penguatan, dan dukungan berasal dari rekan-rekan siswa dalam kelompok. Menurut Plass (2013) terdapat dukungan empiris untuk potensi permainan pendidikan sebagai pembelajaran yang efektif memberikan suasana yang intensif bagi siswa untuk bermain berulang dari waktu ke waktu. Banyak dari hasil pembelajaran dengan lingkungan seperti permainan menunjukkan sebuah sifat afektif dan bahwa hasil afektif permainan seperti motivasi dan minat harus dipertimbangkan di samping kognitif dari hasil belajar. Fokus masalah yang diambil pada artikel ini adalah melaksanakan pembelajaran dengan cooperatif learning tipe TGT (Teams Games Tournament) untuk menciptakan suasana pembelajaran yang tidak monoton agar minat belajar siswa meningkat sehingga materi persamaan kuadrat dapat tersampaikan dengan baik. PEMBAHASAN Sebagian besar dari metode Cooperative Learning (CL) saat ini mengabaikan peran penting bahwa : 1) persaingan antar kelompok, 2) akuntabilitas individual, dan 3) keterlibatan semua peserta didik dalam proses pembelajaran hanya mungkin untuk menghambat daripada meningkatkan pembelajaran, padahal ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran dalam pembelajaran kooperatif (Hosseini : 2014). Prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif menciptakan kondisi seperti saling ketergantungan positif, sosialisasi, dan sebagainya (Kazemi : 2012). Setelah peserta didik berinteraksi maka proses pembelajaran mengarah ke keberhasilan dalam belajar. Peserta didik dapat bertindak dalam pembelajaran dengan bantuan dari ahli di daerah di mana mereka tidak dapat melakukan secara mandiri. Di kelas tradisional, guru merupakan satu-satunya sumber dari segala pengetahuan. Guru berdiri di depan kelas dan menanamkan pengetahuan. Menurut Ozsoy (2004) belajar dengan teknik metode pembelajaran kooperatif lebih efektif daripada metode tradisional dalam pengajaran matematika. Peningkatan prestasi dalam matematika pada siswa yang belajar dengan menerapkan teknik metode pembelajaran kooperatif lebih tinggi dari tingkat siswa yang menerapkan metode pengajaran tradisional. Dalam belajar dengan teknik metode pembelajaran kooperatif, siswa secara permanen menghubungkan satu sama lain dan guru mereka untuk belajar dan mengajar, sedangkan pada metode pengajaran tradisional, ada suasana yang koneksinya kurang dan guru menjadi pusat. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa menjelaskan pendapat mereka; menyajikan strategi alternatif dan perkiraan yang membantu mereka untuk memahami konsep-konsep matematika. Ketika siswa menjelaskan, mentransfer dan menyatakan pendapat mereka, mereka lebih nyaman daripada di atmosfer kelas tradisional. Dengan belajar cooperatif siswa memperoleh kepercayaan diri. Dalam kelompok kooperatif, mereka lebih mengerti dengan menggunakan bahasa matematika dalam proses memutuskan dengan teman-teman mereka. Dengan memahami strategi logika dan analisis masalah bersama teman-teman di kelompok mereka untuk menemukan konten. Menjelaskan pendapat mereka dan cara-cara memecahkan masalah kepada teman-teman di kelompok mereka dan guru, menyediakan lebih banyak bantuan kepada siswa jika dibandingkan dengan metode tradisional. Ketika salah satu murid mengajar, yang lain mengontrol diri, kesalahpahaman dijelaskan, aturan matematika dipahami, dan kesalahan yang terjadi dalam aplikasi yang kemudian dikoreksi. Metode pembelajaran kooperatif adalah dasar yang kuat untuk belajar. Dalam metode pembelajaran kooperatif, siswa belajar mengemudi 1285
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
logika matematis, berbagi pendapat mereka dengan yang lain, dan menggunakan matematika untuk memecahkan masalah. Dalam pengajaran matematika, metode pembelajaran kooperatif adalah pilihan yang baik untuk belajar secara efektif. Ketika guru memilih untuk menerapkan CL, mereka harus menentukan bagaimana kelas akan diatur (yaitu, komposisi dan ukuran kelompok), jenis tugas (yaitu, tingkat kompleksitas), modus instruksi (yaitu, pengajaran langsung atau interaksi kelompok kecil), pola komunikasi (yaitu, bahasa yang diperlukan untuk menengahi pembelajaran), dan jenis perilaku akademik dan social expected dari siswa (misalnya, standar kinerja dan keterampilan interpersonal dari kelompok kecil khusus yang diperlukan) (Gillies : 2010). Pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan metode yang efektif terhadap keterampilan Matematika dan motivasi belajar siswa. Pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan metode yang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika dalam hal aspek keterampilan matematika siswa dan motivasi siswa (Syahrir : 2011). Model pembelajaran TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status. Melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan salah satu model pembelajaran yang menarik karena didalamnya terdapat kegiatan turnamen akademik yang diharapkan dapat membuat siswa agar lebih kreatif, cepat dan tepat dalam menyelesaikan masalah Matematika dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap pelajaran, mendorong siswa berpartisipasi aktif dan dapat menghadapkan siswa pada keterampilan yang menantang agar siswa terlatih melakukan penyelesaian masalah dan berfikir analitik. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa TGT lebih disukai dalam hal mendorong sikap positif Matematika (Ke : 2007). Dibandingkan dengan tidak ada gameplaying, TGT dipromosikan baik bagi kognitif dan afektif belajar siswa. Dengan menggunakan teknik TGT bermanfaat dalam pengaturan pembelajaran matematika. Kerjasama TGT lebih efektif daripada persaingan antar pribadi dalam memfasilitasi sikap positif matematika. Permainan tersusun dari pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan konten yang dirancang untuk mengetes pengetahuan siswa yang diperoleh dari diskusi kelompok dan tournament antar kelompok. Diadakan aturan tantangan yang memungkinkan seorang pemain mengemukakan jawaban berbeda untuk menantang jawaban siswa yang lain. Pembelajaran dengan menggunakan metode TGT ini dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan dengan kelas yang berbeda tetapi dengan materi yang sama yaitu persamaan kuadrat. Pada pertemuan pertama dilaksanakan di kelas X AP (Administrasi Perkantoran) dan pada pertemuan kedua dilaksanakan di kelas X PJ (Penjualan). Setelah dilaksanakan pembelajaran pada pertemuan pertama dilakukan refleksi yang akan dijadikan sebagai patokan dalam perbaikan untuk pertemuan kedua. Pertemuan kedua dilakukan 2 minggu kemudian dengan memperbaiki hal-hal yang telah direfleksi dari pertemuan pertama. Pembelajaran dengan metode TGT ini dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2014 dan 13 Maret 2014. Pada hari Rabu pukul 11.40 – 13.55 dan hari Kamis pukul 11.40 – 13.55. Pembelajaran dengan metode TGT dilaksanakan di SMK Wisnuwardhana Malang. Pada pertemuan pertama dilaksanakan di kelas X AP (Administrasi Perkantoran) yang terdiri dari 24 siswa, sedangkan pada pertemuan kedua dilaksanakan di kelas X PJ (Penjualan) yang terdiri dari 18 siswa. Pada metode pembelajaran TGT dibagi menjadi 3 sesi dalam satu pertemuan. Sesi pertama siswa diminta untuk berdiskusi dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh guru, kemudian pada sesi kedua masing-masing anggota kelompok akan menyelesaikan turnamen untuk mengumpulkan skor sebanyak mungkin, sedangkan pada sesi terakhir siswa menyelesaikan tugas individu untuk lebih memantapkan pemahaman terhadap materi tersebut. Alur model pembelajaran TGT dibagi menjadi 3 sesi (bagian). Pada sesi yang pertama siswa membentuk kelompok heterogen dengan anggota tiap kelompok 4 - 5 orang dan menempati posisi urutan kelompok sesuai yang ditentukan guru, siswa membahas dan berdiskusi mempertanyakan materi yang terdapat pada lembar kerja kelompok dan mencatat serta memahami apa yang sudah didiskusikan bersama. Kemudian pada sesi yang ke-2 setiap 1286
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
anggota kelompok menempati posisi yang sudah ditentukan oleh guru, siswa melakukan hompimpa untuk menentukan urutan dalam meja turnamen, siswa menempati urutan posisi seperti yang sudah dijelaskan oleh guru, siswa menempatkan kartu soal dan amplop jawaban di bangku tersendiri agar tidak terjadi kecurangan, siswa yang mendapat giliran sebagai reader mengocok kartu soal dan mengambil kartu teratas kemudian membacakan soal kuis untuk dikerjakan juga oleh para chalenger, setelah semua peserta turnamen dalam meja turnamen tersebut selesai mengerjakan maka reader membacakan hasil jawabannya, para chalenger boleh memberikan jawaban yang berbeda sesuai dengan apa yang menurutnya benar, kemudian chalenger yang terakhir mendapat tugas membuka kunci jawaban yang sudah disediakan oleh guru di dalam amplop, bagi yang jawabannya sesuai dengan kunci jawaban maka dia berhak memegang kartu tersebut, setiap kartu soal terdiri dari poin yang nilainya berbeda-beda, sedangkan untuk chalenger lain yang jawabannya salah tidak mendapat nilai dan tidak mendapat sanksi apa-apa, untuk chalenger lain yang menjawab dengan benar tetapi bukan yang memegang kartu soal mendapat poin 1. Peserta turnamen yang sebelumnya menjadi chalenger 1 pada giliran berikutnya menjadi reader, dan seterusnya berputar searah jarum jam dan urutannya sesuai dengan yang sudah ditentukan di awal. Peserta turnamen menyelesaikan pertanyaan di kartu soal sampai kartu soal habis, sedangkan poin yang sudah didapat ditulis di lembar skor tournament table yang sudah disediakan oleh guru. Setelah semua peserta di tiaptiap meja turnamen menyelesaikan soal kuis yang disajikan oleh guru maka siswa dan guru bersama-sama menghitung perolehan skor yang didapat. Bagi kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi mendapatkan bingkisan yang sudah disediakan oleh guru. Bingkisan ini bertujuan sebagai penghargaan bagi kelompok yang sudah bekerja keras mengumpulkan skor dengan berusaha menjawab soal kuis dengan benar. Pada sesi yang ke-3 yaitu sesi yang terakhir siswa kembali ke posisi awal sebelum dibentuk kelompok untuk mengerjakan lembar kerja individu yang dibagikan oleh guru. Setelah semua siswa menyelesaikannya maka tugas individu tersebut dikumpulkan kepada guru untuk diperiksa dan diberi nilai sesuai dengan yang sudah dikerjakan. Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2014 pukul 11.40 – 13.55 di kelas X AP (Administrasi Perkantoran). Materi yang disajikan adalah tentang Persamaan Kuadrat dengan sub bab menentukan hasil penjumlahan dan hasil perkalian dari akar-akar persamaan kuadrat dan menentukan persamaan kuadrat baru dari akar-akar yang sudah diketahui. Dalam perencanaannya pada pertemuan pertama ini akan dilaksanakan 3 sesi, yaitu sesi pertama belajar kelompok, sesi kedua melaksanakan tournament antar kelompok dan sesi terakhir tugas individu. Tetapi pada pelaksanaannya hanya dapat terlaksana 2 sesi dikarenakan waktunya sudah habis sehingga siswa belum sempat menyelesaikan tugas individu sehingga guru tidak bisa mengetahui tingkat pemahaman siswa dari materi tersebut. Setelah dilakukan refleksi bersama anggota kelompok PPL ternyata yang menyebabkan waktu menjadi tidak cukup adalah karena sub materi yang terdiri dari 2 sehingga butuh waktu lama bagi siswa untuk memahaminya dalam diskusi kelompok sebelum melaksanakan tournament antar kelompok. Selain itu banyaknya soal kuis dalam tournament antar kelompok yang terdiri dari 10 juga dirasa terlalu banyak padahal soal kuis tersebut dimaksudkan hanya sebagai sarana belajar bagi siswa yang dikemas dalam bentuk tournament antar kelompok. Dikarenakan siswa belum sempat menyelesaikan tugas individu maka pada pertemuan pertama ini guru tidak bisa mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi tersebut. Pertemuan selanjutnya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 13 Maret 2014 pukul 11.40 – 13.55. Pertemuan kedua ini dilaksanakan di kelas X PJ (Penjualan) dengan materi yang sama seperti pada kelas sebelumnya yaitu tentang Persamaan Kuadrat, tetapi pada pertemuan ini dilakukan pengurangan sub materi dan banyaknya soal kuis pada turnamen antar kelompok. Sub materi yang dihilangkan pada pertemuan kedua ini adalah menentukan persamaan kuadrat baru dari akar-akar yang sudah diketahui. Pada pertemuan kali ini dengan pengurangan sub bab dan jumlah soal kuis pada tournament antar pembelajaran dengan metode TGT berjalan sesuai dengan rencana. Jadi alokasi waktu yang disediakan dengan proses pembelajaran berjalan dengan sesuai. Sesi 3 yaitu mengerjakan tugas individu yang pada pertemuan pertama tidak bisa terlaksana karena kekurangan waktu, pada pertemuan kali ini dapat terlaksana dengan baik. Pada pertemuan pertama rencana pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini dikarenakan apersepsi yang diberikan oleh guru terlalu lama dan berbelit-belit, kemudian sub bab yang disajikan juga terlalu luas sehingga siswa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempelajarinya dalam diskusi kelompok. Selain itu jumlah soal kuis yang 1287
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
disajikan dalam tournament antar kelompok juga terlalu banyak sehingga siswa membutuhkan waktu yang banyak untuk menyelesaikannya padahal soal kuis tersebut dimaksudkan sebagai latihan soal yang disajikan dalam bentuk permainan. Pada pertemuan pertama ini guru belum bisa mengukur pemahaman siswa karena kehabisan waktu sehingga siswa belum sempat mengerjakan tugas individu. Sedangkan pada pertemuan kedua setelah pengurangan sub bab dan jumlah soal kuis pada tournament antar kelas proses pembelajaran berjalan sesuai dengan rencana. Semua sesi berjalan dengan baik. Dimulai dengan diskusi kelompok, pelaksanaan game, dan pengerjaan tugas individu. Hasil tugas individu menunjukkan pemahaman siswa sangat baik terhadap materi yang disajikan. Siswa juga mampu menyelesaikan tugas individu dengan tepat waktu, percaya diri, dan mandiri. Pada sesi pertama ketika dilakukan diskusi kelompok masih terdapat siswa yang enggan untuk belajar bersama anggota kelompok yang lain, setelah guru mendekati kelompok tersebut untuk mencari tahu penyebab keengganan siswa tersebut untuk belajar ternyata siswa tidak cocok dengan anggota kelompok yang lain karena bukan teman dekatnya, tetapi bisa diatasi dengan pendekatan yang dilakukan oleh guru dengan meyakinkan siswa tersebut bahwa dalam belajar tidak perlu memilih-milih teman. Sedangkan pada sesi ke-2 siswa tidak ditemukan siswa yang enggan menyelesaikan turnamen karena sudah diingatkan oleh teman kelompoknya untuk berusaha mendapatkan skor yang tinggi agar mendapatkan hadiah yang sudah disediakan oleh guru. Mereka saling berteriak memberi semangat kepada anggota kelompoknya yang sedang menyelesaikan turnamen di meja yang berbeda. Ketika menjawab soal kuis para peserta turnamen menutupi jawaban masing-masing agar tidak dilihat oleh peserta turnamen yang lain, terlihat aroma persaingan yang sehat dalam turnamen ini. Ketika jawaban dibacakan siswa semakin terlihat heboh, bagi yang berhak memegang skor dia sangat kegirangan sambil mengiming-imingi anggota turnamen yang lain, sedangkan bagi yang belum mendapatkan skor terlihat kecewa tetapi terus berusaha untuk mendapatkan skor. Begitu juga ketika penghitungan skor, wajah mereka terlihat sangat tegang berharap kelompok mereka yang mendapat skor tertinggi demi mendapatkan hadiah dari guru. Secara keseluruhan pembelajaran dengan menggunakan metode TGT mampu meningkatkan minat siswa dalam belajar. Hal ini ditunjukkan dengan antusiasme siswa dalam melaksanakan game, mereka saling bersaing di meja tournament masing-masing dan menyemangati anggota kelompoknya di meja tournament yang lain agar berusaha mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya. Mereka juga bersemangat dalam penghitungan skor untuk menentukan pemenang dari tournament antar kelompok. Teknik TGT lebih efektif daripada menggunakan metoda ceramah untuk meningkatkan prestasi dan retensi siswa (Wyk: 2011). Teknik TGT lebih efektif daripada menggunakan metoda ceramah terlihat dari sikap siswa terhadap instruksi. Garfield (2013) merekomendasikan penggunaan penilaian cooperatif sebagai cara untuk memotivasi siswa untuk berpikir lebih keras, dan memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan dan menjelaskan alasan mereka. Penilaian metode ini tampaknya untuk lebih banyak belajar mempromosikan sebagai bagian dari proses penilaian, karena siswa harus menjelaskan dan mempertahankan solusi mereka satu sama lain. Awofala (2012) merekomendasikan bahwa varian pembelajaran kooperatif STAD / TGT harus digunakan oleh guru matematika dan mata pelajaran lainnya dalam mengajar siswanya di sekolah. Hal ini disarankan agar gurumatematika perlu menyadari manfaat dan pentingnya pembelajaran kooperatif dan dengan demikian mengubah praktek metode pengajaran yang berpusat pada guru kepada berpusat pada siswa yang merupakan metode pengajaran berbasis penyelidikan yang menekankan bermakna belajar. Tetapi menurut Toumasis (2004) tidaklah tepat untuk membahas atau mencoba untuk menilai dan membandingkan metode pengajaran atau gaya yang berbeda. Sebaliknya lebih bermanfaat untuk menanyakan apakah metode yang dipilih bekerja atau tidak dengan pengajar yang khusus dan kelas tertentu. PENUTUP Kesimpulan Model pembelajaran TGT merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan di kelas untuk meningkatkan minat belajar siswa, dengan terjadinya peningkatan minat belajar siswa maka diharapkan akan terjadi peningkatan dalam hasil belajar. Model 1288
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran TGT ini menghabiskan waktu yang tidak sedikit sehingga guru diharapkan mampu mengoptimalkan waktu yang tersedia tetapi keseluruhan prosedur dapat diselesaikan dengan baik. Model pembelajaran TGT ini juga membutuhkan persiapan yang matang dan tidak asal-asalan karena guru harus menyiapkan kartu soal untuk kuis, menyiapkan jawaban dalam amplop tertutup, menyediakan lembar skor untuk masing-masing meja turnamen dan hadiah bagi kelompok yang mendapatkan skor tertinggi. Selain itu guru juga harus mampu menjelaskan alur pelaksanaan model pembelajaran TGT kepada siswa dengan jelas agar tidak terjadi hambatan karena siswa tidak paham apa yang harus dilakukan sehingga semakin menghabiskan waktu pembelajaran yang berakibat pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan rencana yang dibuat. Guru juga dituntut untuk lebih bersabar ketika menggunakan metode pembelajaran TGT ini karena ada pergantian urutan peserta turnamen dalam menyelesaikan soal kuis bukan tidak mungkin ada siswa yang kurang konsentrasi sehingga harus dijelaskan berulang-ulang sampai memahami apa yang harus dilakukan. Model pembelajaran TGT ini cocok untuk diaplikasikan pada semua mata pelajaran dan lebih baik diterapkan pada siswa kelas atas mengingat prosedur turnamen antar kelompok yang agak rumit yang membutuhkan pemahaman yang lebih. Model pembelajaran TGT tidak terlalu banyak menggunakan media papan tulis sehingga dapat diterapkan di luar kelas untuk mendapatkan suasana belajar yang berbeda dengan harapan siswa akan lebih berminat dalam belajar dan hasil belajarnya juga akan meningkat. Saran Untuk pertemuan selanjutnya bisa dicoba model pembelajaran lain yang mengandung unsur scientific sesuai dengan amanat Kurikulum 2013. Pengenalan pengajaran berbasis penyelidikan di kelas matematika memberikan siswa sebuah kesempatan ruang fisik, sosial dan intelektual dalam proses pembelajaran (Khan : 2012). DAFTAR RUJUKAN Abrantes, J. L, Seabra, C., & Lages, L. F. 2007. Pedagogical Affect, Student Interest, and Learning Performance. Journal of Business Research 60 (2007), 960 – 964. Ajaja, O. P., & Eravwoke, O. U. 2010. Effects of Cooperative Learning Strategy on Junior Secondary School Students Achievement in Integrated Science. Electronic Journal of Science Education, Vol 14, No 1 (2010). Akinsola, M. K., & Olowojaiye, F. B. 2008. Teacher Instructional Methods and Student Attitudes Towards Mathematics. International Electronics Journal of Mathematics Education, Volume 3, Number 1, February 2008. Anthony, G., & Walshaw, M. 2009. Characteristics of Effective Teaching of Mathematics : A View From The West. Journal of Mathematics Education, Vol 2, No 2, pp 147-164. Apriatun, 2012. Menumbuhkan Minat Belajar Siswa, (Online), (http://apria3.blogspot.com/2014/01/menumbuhkan-minat-belajar-pada- siswa.html, diakses 29 April 2014) Awofala, A. O. A., Fatade, A. O., & Ola-Oluwa, S. A. 2012. Achievement in Cooperative Versus Individualistic Goal-Structured Junior Secondary School Mathematics Classroom in Nigeria. International Journal of Mathematics Trends and Technology, Volume 3, Issue 1, 2012. Garfield, Joan. 2013. Cooperative Learning Revisited : From an Instructional Method to a Way of Life. Journal of Statistics Education, Volume 21, Number 2 (2013). Gillies, R. M., & Boyle, M. 2010. Teachers’ Reflections on Cooperative Learning : Issues of Implementation. Teaching and Teacher Education 26 (2010), 933 – 940. Hosseini, Seyed Mohammad Hassan. 2014. Competitive Team-Based Learning versus Group Investigation With Reference to The Language Proficiency of Iranian EFL Intermediate Students. International Journal of Instruction, January 2014, Vol 7, No 1. Kazemi, M., & Sabet, M. K. 2012. Exploring The Iranian EFL Learners’ Reading Performance : The Effect of Teaching Methode. International Journal of Applied Linguistics & English Literature, Vol 1, No 6, November 2012. Ke, F., & Grabowski, B. 2007. Gameplaying for Maths Learning : Cooperative or Not ?. British Journal of Educational Technology, Vol 38, No 2, 2007.
1289
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Khan, Abdul Wali. 2012. Inquiry-Based Teaching in Mathematics Classroom In a Lower Secondary School of Karachi Pakistan. International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, April 2012, Vol 1, No 2. Lee, Y. J., Chao, C. H., Chen, C. Y. 2011. The Influences of Interest in Learning and Learning Hours on Learning Outcomes of Vocational College Students in Taiwan : Using a Teachers’ Instructional Attitude as The Moderator. Global Journal of Engineering Education, Volume 13, Number 3, 2011. Morgan, Bobbette. M., 2012. Teaching Cooperative Learning With Children’s Literature. National Forum of Teacher Education Journal, Volume 22, Number 3, 2012. Ozsoy, N., & Yildiz, N. 2004. The Effect of Learning Together Technique of Cooperative Learning Method on Student Achievement in Mathematics Teaching 7th Class of Primary School. The Turkish Online Journal of Educational Technology, Volume 3, Issue 3, Article 7, July 2004. Plass, J. L., Homer, B. D., Case, J., O‟keefe, P. A., Hayward, E. O., Stein, M., & Perlin, K. 2013. The Impact of Individual, Competitive, and Collaborative Mathematics Game Play on Learning, Performance, and Motivator. Journal of Educational Psychology. Pratiwi, Budiarti, D., Chaerohmah, RR. Indah., & Hasan, Norman. 2013. Teams Games Tournament (TGT), (Online), (http://3bkelompok5.blogspot.com/, diakses 29 April 2014) Purwanti, Dian Eki. 2013. The Comparison Between STAD and TGT on Students Achievement and Motivation : Senior High School. Makalah disajikan dalam Proceeding of The Global Summit on Education 2013, 11-12 March 2013, Kuala Lumpur. Syahrir. 2011. Effects of The Jigsaw and Teams Game Tournament (TGT) Cooperative Learning on The Learning Motivation and Mathematical Skills of Junior High School Students. Makalah disajikan dalam International Seminar and The Fourth National Conference on Mathematics Education 2011 “Building The Nation Character Through Humanistic Mathematics Education”, Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University, Yogyakarta, July 21 – 23 2011. Toumasis, Charalampos. 2004. Cooperative Study Teams in Mathematics Classrooms. International Journal Mathematics Education Science Technology, Vol 35, No 5, 669-679. Tran, Van Dat. 2013. Effects of Student Teams Achievement Division (STAD) on Academic Achievement, and Attitudes of Grade 9th Secondary School Students Towards Mathematics. International Journal of Science, Volume 2, Issue Apr 2013. Wyk, Michael. M. 2011. The Effects of Teams Games Tournaments on Achievement, Retention, and Attitudes of Economics Education Students. Journal Social Science, 26 (3) : 183 – 193 (2011).
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATERI TRIGONOMETRI SISWA KELAS X-4 SMA NEGERI 3 KEDIRI Machrus Bachroni Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memajukan daya pikir, serta analisa manusia. Peran matematika dewasa ini semakin penting, karena banyaknya informasi yang disampaikan orang dalam bahasa matematika seperti, tabel, grafik, diagram, persamaan dan lain-lain. Pembelajaran kooperatif menekankan interaksi antar sesamanya sebagai tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat memaksimalkan kerja sama antar siswa dalam kelompok adalah dengan model Think Pair Share . Pembelajarannya diawali dengan siswa berpikir secara
1290
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
individu (Think), kemudian berpasangan (Pair) dan terakhir berbagi (Share). Tujuan dari penggunaan metode Think Pair Share dalam pembelajaran Trigonometri adalah mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran model Think Pair Share yang dapat meningkatkan hasil belajar Trigonometri dan mengetahui respon siswa terhadap desain pembelajaran Think Pair Share kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri. Beberapa temuan berhasil ditemukan dalam penelitian ini diantaranya ada siswa yang sulit membedakan kapan menggunakan rumus aturan sinus dan kapan menggunakan rumus aturan cosinus. Akhirnya dari beberapa temuan yang berhasil ditemukan, diperoleh hasil penelitian yaitu hasil belajar siswa pada konsep aturan sinus dan cosinus melalui pembelajaran metode Think Pair Share meningkat dan respon siswa terhadap pembelajaran metode Think Pair Share pada konsep aturan sinus dan cosinus dalam penelitian ini positif. Kata kunci: pembelajaran kooperatif, think pair share, hasil belajar
Matematika adalah ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memajukan daya pikir, serta analisa manusia. Peran matematika dewasa ini semakin penting, karena banyaknya informasi yang disampaikan orang dalam bahasa matematika seperti, tabel, grafik, diagram, persamaan dan lain-lain. Hudojo (2005:30) mengatakan matematika merupakan pengetahuan yang esensial sebagai dasar untuk bekerja seumur hidup dalam abad globalisasi. Berdasarkan observasi awal di kelas X SMAN 3 Kediri, dimana peneliti sebagai guru ditempat tersebut didapatkan bahwa kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari trigonometri yaitu pada materi aturan sinus dan cosinus. Hal ini terbukti, selain dilihat dari hasil belajar tetapi juga berdasar pengakuan sendiri oleh para siswa. Berdasarkan nilai ulangan harian siswa kelas X semester genap tahun pelajaran 2012/2013 menunjukkan bahwa nilai ulangan siswa khususnya pada materi trigonometri masih belum mencapai ketuntasan. Setelah peneliti amati, ternyata dalam mempelajari materi trigonometri khususnya menggunakan aturan sinus dan cosinus, sebagian besar dari siswa membangun pola pikir materi trigonometri ini dengan secara individu. Padahal materi trigonometri merupakan materi yang sangat membutuhkan penalaran yang tinggi, sehingga jika siswa membangun pola pikir secara individu akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran berkelompok untuk membantu mengatasi kesulitan belajar siswa dalam materi trigonometri ini. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas (Ali, 2011). Kegiatan pembelajaran di sini terpusat pada siswa yang sedang berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing. Guru hanya menjadi fasilitator di dalam pembelajaran, mengarahkan siswa kepada hasil belajar yang akan dicapai, dan mengembangkan ide-ide kreatifnya. Menurut Christiso(2009), pembelajaran kooperatif dikembangkan atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang benar-benar memaksimalkan kerja sama antar siswa dalam kelompok adalah dengan model Think Pair Share. Model ini dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawannya dari Universitas Maryland dan mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan. Metode Think-Pair-Share memberikan kepada para siswa untuk berpikir dan merespons serta saling bantu satu sama lain (Tanya, 2008). Penelitian terkait dengan model Think Pair Share yang telah dilakukan beberapa peneliti seperti: Wawan Gunawan (2008), Septi Triwahyu (2009) dan penelitian Irma Wulandari (2008) Berdasarkan uraian di atas maka peneliti akan melakukan penelitian berjudul ” Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Trigonometri Siswa Kelas X-4 SMAN 3 Kediri”. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut 1. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran model Think Pair Share yang dapat meningkatkan hasil belajar trigonometri siswa kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri?
1291
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Bagaimana respon siswa terhadap rancangan pembelajaran Think Pair Share untuk siswa kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri? Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran model Think Pair Share yang dapat meningkatkan hasil belajar trigonometri siswa kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri. 2. Mengetahui respon siswa terhadap rancangan pembelajaran Think Pair Share untuk siswa kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi siswa, dapat meningkatkan hasil belajar dan keaktifan siswa. 2. Bagi guru, dapat mengetahui penerapan model Think Pair Share sebagai salah satu variasi pembelajaran untuk meningkatkan sistem pembelajaran di kelas. 2. Bagi sekolah, dapat memberikan sumbangan dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah lokasi penelitian atau sekolah lain dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa. 3. Bagi peneliti lain, sebagai sumber informasi dan referensi untuk mengembangkan teori pembelajaran atau ilmu pengetahuan menjadi lebih luas lagi. METODE Penelitian ini berusaha mendeskripsikan pembelajaran trigonometri dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share pada mata pelajaran matematika untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penjelasan tentang pembelajaran materi trigonometri dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini, peneliti adalah instrumen utama karena peneliti yang merencanakan, merancang, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan membuat laporan. Melihat karakteristik penelitian seperti di atas maka pendekatan yang sesuai dan digunakan adalah pendekatan kualitatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong (2005:8) bahwa karakteristik penelitian kualitatif antara lain : (1) peneliti bertindak sebagai instrumen utama, karena disamping sebagai pengumpul data dan penganalisis data, peneliti juga terlibat langsung dalam proses penelitian, (2) mempunyai latar alami (natural setting), data yang diteliti dan dihasilkan akan dipaparkan sesuai kejadian di lapangan, (3) hasil penelitian bersifat deskriptif, karena data yang dikumpulkan bukan berupa angka–angka melainkan berupa kata– kata atau kalimat, (4) lebih mementingkan proses daripada hasil, (5) adanya batas permasalahan yang ditentukan dalam fokus penelitian, dan (6) analisis data cenderung bersifat induktif. Ditinjau dari bagaimana penelitian ini dilakukan, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian tindakan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Arikunto (2002:2) bila penelitian tindakan yang berkaitan dengan bidang pendidikan dan dilaksanakan dalam kawasan suatu kelas maka disebut penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas merupakan salah satu upaya guru atau praktisi yang dilakukan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. Penelitian tindakan kelas merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan tugas guru di lapangan. Dengan kata lain penelitian tindakan kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian ini adalah guru. Tujuan utama dari penelitian tindakan ini adalah untuk meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan. HASIL Analisis data kualitatif (Moleong, 2005: 248) adalah upaya yang digunakan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
1292
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dengan demikian, analisis data diperlukan sebagai media untuk membaca rincian data yang telah dikumpulkan pada penelitian ini. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif, yaitu dengan cara menganalisis langkah-langkah pembelajaran kooperatif model Think Pair Share. Data-data apa saja yang dianalisis dan bagaimana teknik analisisnya dijelaskan sebagai berikut: 1. Data Penerapan Model Think Pair Share pada materi trigonometri Siswa Kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri. Untuk mengetahui penerapan model Think Pair Share, maka data yang diperlukan berupa data hasil pengamatan melalui lembar observasi mengenai ketepatan guru dan siswa dalam menerapkan tahapan pembelajaran dengan model Think Pair Share berdasarkan rencana pelaksanaan pembelajaran dan data dari catatan lapangan. Deskriptor pada masingmasing tahap pembelajaran dengan model Think Pair Share yang dijadikan sebagai penentu tingkat keberhasilan tindakan hasil pengamatan ini dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Teknik analisis yang digunakan dengan cara membandingkan persentase keberhasilan tindakan guru dalam menerapkan pembelajaran dengan model Think Pair Share pada siklus 1 dan siklus 2. Persentase keberhasilan tindakan guru ini dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: Persentase keberhasilan =
Deskriptor yang muncul X 100% Deskriptor maksimal
(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2005:235-236) Kemudian hasil perhitungan persentase keberhasilan tindakan pada masing-masing tahapan pembelajaran selama penerapan pembelajaran dengan model Think Pair Share yang diperoleh akan dibandingkan dengan penentuan skor klasifikasi pada tabel berikut ini. Tabel 1. Penentuan Skor Klasifikasi Ketepatan Guru Menerapkan Rencana Pembelajaran Persentase Keberhasilan Taraf Nilai dengan Nilai dengan Tindakan Keberhasilan Huruf Angka 81%-100% Sangat Baik A 5 61%-80% Baik B 4 41%-60% Cukup C 3 21%-40% Kurang D 2 0%-20% Sangat Kurang E 1 (Sumber: diadobsi dari Munfaridah, 2006:33)
2. Data Hasil Belajar dengan Menerapkan Model Think Pair Share pada materi trigonometri siswa kelas X-4 SMA Negeri 3 Kediri Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar dengan menerapkan model Think Pair Share maka data yang diperlukan berupa data hasil belajar dari aspek kognitif pada penelitian ini. Data hasil belajar dari aspek kognitif diperoleh dari hasil atau nilai uji kompetensi. Penentuan taraf keberhasilan tindakan dapat dilihat pada tabel sebelumnya. Hasil Belajar dianalisis dengan teknik analisis hasil evaluasi untuk mengetahui ketuntasan belajar baik secara individual maupun secara klasikal dengan cara menganalisis data hasil tes formatif menggunakan kriteria ketuntasan belajar. Persentase hasil belajar yang diperoleh siswa tersebut kemudian dibandingkan dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang telah ditentukan. Seorang siswa disebut tuntas belajar jika telah mencapai skor 76 , dan ketuntasan klasikal apabila 75% kelas mencapai skor 76 ke atas. Menghitung hasil belajar siswa dengan cara membandingkan jumlah skor yang diperoleh siswa dengan jumlah skor maksimum kemudian dikalikan 100%. Berikut rumus perhitungan persentase hasil belajar. Persentase hasil belajar =
Skor yang dicapai X 100% Skor maksimum
(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2005: 235-236)
1293
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Adapun teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada penelitian ini, yakni dengan membandingkan persentase ketuntasan belajar secara klasikal pada penerapan model Think Pair Share siklus 1 dan siklus 2. Sedangkan persentase ketuntasan belajar secara klasikal dihitung dengan cara membandingkan banyak siswa yang mencapai ketuntasan belajar dengan banyak siswa secara keseluruhan (siswa maksimal) kemudian dikalikan 100%. Persentase ketuntasan belajar klasikal =
Siswa yang tuntas X 100% Siswa maksimal
(Sumber: Suharsimi Arikunto, 2005:235-236) 3. Data Angket Respon Siswa Terhadap Penerapan Pembelajaran Dengan Model Think Pair Share Untuk mengetahui respon siswa terhadap penerapan pembelajaran dengan model Think Pair Share digunakan teknik analisis data sebagai berikut: Prosentase Rata-Rata (NR) =
Jumlah Skor Skor Maksimum
Keterangan: 80% ≤ NR ≤ 100% menyatakan Sangat Baik 60% ≤ NR < 80% menyatakan Baik 40% ≤ NR < 60% menyatakan Cukup Baik 20% ≤ NR < 40% menyatakan Kurang Baik 0% ≤ NR < 20% menyatakan Tidak Baik (Sumber: diadobsi dari Rochana, 2008:60) PEMBAHASAN 1. Pembelajaran dengan Metode Think Pair Share Sebelum materi trigonometri diajarkan, peneliti mempersiapkan siswa agar benarbenar siap untuk belajar. Hal ini didukung oleh pendapat Orton (1992:9-10) bahwa siswa yang siap untuk belajar akan belajar lebih banyak daripada siswa yang tidak siap. Kegiatan menyiapkan siswa meliputi persiapan fisik dan persiapan mental. Persiapan fisik meliputi menyediakan semua sarana yang diperlukan berupa manipulasi benda kongkret bangun ruang, lembar kerja siswa, dan membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Sedangkan persiapan mental meliputi kegiatan menyampaikan salam, bertanya kabar, menyampaikan tujuan, memotivasi siswa tentang pentingnya materi trigonometri, dan mengingatkan materi prasyarat. Penyampaian tujuan pembelajaran Think Pair Share dalam penelitian ini dapat memberikan motivasi belajar pada siswa dan menjadikan siswa terfokus pada satu tujuan yang perlu mereka capai. Dalam penelitian ini, siswa nampak sangat antusias menyimak penyampaian tujuan pembelajaran oleh guru. Buktinya siswa benar-benar memperhatikan penyampaian tujuan. Keantusiasan siswa ini menjadi satu bukti bahwa siswa mulai termotivasi dengan pembelajaran Think Pair Share yang telah disampaikan guru. Dalam pembelajaran dengan model Think Pair Share, pertama siswa berpikir secara individu, kemudian berpasangan dan terakhir berbagi. Untuk lebih meningkatkan motivasi siswa, peneliti juga menyampaikan pentingnya trigonometri dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk menentukan jarak tanpa harus mengukur. Ternyata siswa tertarik dengan penyampaian pentingnya materi trigonometri dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti dengan siswa banyak bertanya tentang aplikasi lain dari materi trigonometri dalam kehidupan sehari-hari.. Hal ini didukung pendapat Orton (1992:9-10) bahwa siswa yang termotivasi, tertarik, dan mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar lebih banyak. Pemberian motivasi semata kepada siswa belum cukup untuk menyiapkan siswa agar benar-benar siap belajar. Hal lain yang sangat diperlukan adalah pemahaman siswa terhadap materi yang diperlukan untuk mempelajari trigonometri. Oleh karena itu, peneliti melakukan kegiatan tanya jawab untuk mengecek pemahaman siswa terhadap materi trigonometri. Hal ini didukung pendapat Skemp (1987:20) bahwa jika pemahaman konsep
1294
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kurang sempurna, maka konsep lain yang berkaitan dengan konsep tersebut akan berada dalam keadaan yang membahayakan. Pembelajaran materi trigonometri dilakukan dengan menggunakan LKS. Penggunaan LKS terbukti sangat membantu arah kerja siswa. Langkah-langkah yang ditentukan dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Hal-hal yang perlu dilakukan siswa sehubungan dengan pemanfaatan alat peraga juga dijelaskan dalam LKS. Meskipun demikian, LKS tidak menuntun siswa secara mutlak. LKS hanya menguraikan langkah-langkah secara garis besar. Siswa masih diberikan kebebasan untuk mengungkapkan ide dan kreativitasnya. Dengan demikian, siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri bersama dengan kelompoknya secara aktif dengan bantuan LKS. Hal ini mendukung pendapat Machmud (2001:7) yang menyatakan bahwa LKS dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri dan bekerja sama, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan Think Pair Share. Pembelajaran materi trigonometri dalam penelitian ini dilakukan dengan membagi siswa kedalam kelompok berpasangan, kemudian berpasangan berempat. Pembentukan kelompok dilakukan secara heterogen dari segi kemampuan didasarkan pada pertimbangan bahwa jika semua anggota kelompok berkemampuan tinggi atau sedang, maka dikhawatirkan terjadi kompetisi dalam kelompok tersebut. Sebaliknya, jika semua anggota kelompok berkemampuan rendah, maka aktivitas kelompok diperkirakan menjadi terhenti. Dengan kelompok heterogen ini siswa berbagi tugas, yakni ada siswa yang bertugas sebagai ketua, pelapor, dan anggota. Pembagian tugas ini ternyata membuat kerja kelompok menjadi efisien. Penggunaan belajar secara kelompok dalam penelitian ini memberikan banyak keuntungan bagi siswa. Terbukti siswa saling berdiskusi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Masing-masing anggota kelompok saling memberikan bantuan dan masukan dalam meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep. Anggota kelompok yang kurang mampu bertanya kepada anggota kelompok yang lebih mampu mengenai hal-hal yang belum dipahami. Sedangkan siswa yang lebih mampu telah bertambah pemahamannya melalui proses menjelaskan kepada anggota yang kurang mampu. Hal ini mendukung pendapat Eggen & Kauchak (1996:282) bahwa dalam kerja kelompok siswa akan saling belajar melalui proses saling menerima dan memberi yang terjadi dalam kelompok. Hasil kerja kelompok selanjutnya dipresentasikan di depan kelas. Untuk setiap sub pokok bahasan dipresentasikan oleh satu kelompok secara bergiliran. Melalui diskusi antar kelompok, kelompok yang belum tepat atau belum selesai akhirnya dapat mengetahui kesalahannya tentang konsep jarak dan sudut dalam bangun ruang. Koreksi yang diberikan kelompok lain dan mengamati penyajian kelompok lain saat sharing sangat berguna untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan suatu kelompok. Hal ini mendukung pendapat Sutawidjaja (2002:358) bahwa ketika kelompok menyajikan laporannya (benar atau salah), kelompok akan mempunyai kesempatan berharga untuk memperbaiki laporan mereka. Pemberian penghargaan terhadap presentasi kelompok dan tanya jawab yang terjadi membuat siswa senang. Aplaus yang diberikan oleh siswa lain membuat siswa pelapor kelihatan senang. Penghargaan ini ternyata dapat memotivasi siswa dalam belajar. Hal ini mendukung pendapat Hudojo (1988:279-280) bahwa penghargaan sangat diperlukan untuk meningkatkan sikap, rasa puas, dan bangga siswa terhadap matematika. Selanjutnya guru mengadakan evaluasi melalui tanya jawab lisan untuk mengecek kembali pemahaman siswa. Guru perlu memastikan bahwa semua siswa dapat memahami materi yang baru dipelajari. Sebagai penutup, atas arahan dan bimbingan guru siswa menuliskan hasil diskusinya sebagai simpulan akhir pembelajaran. Hal ini didukung pendapat Degeng (1997:28) bahwa membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk mempertahankan retensi. 2. Hasil Belajar Siswa melalui Pembelajaran Metode Think Pair Share Pembelajaran konsep jarak dan sudut dalam bangun ruang dengan metode Think Pair Share dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa pada materi trigonometri. Peningkatan penguasaan siswa dalam penelitian sesuai analisis peneliti meliputi peningkatan penguasaan siswa penggunaan aturan sinus dan cosinus. Dalam penelitian ini, siswa secara aktif melakukan pemahaman sendiri terlebih dahulu, berdiskusi 1295
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berpasangan jika dalam pemahaman sendiri mengalami kesulitan dan selanjutnya berbagi, sehingga jika dalam berpasangan mengalami kesulitan juga bersama dengan kelompoknya. Penemuan konsep trigonometri yang dilakukan sendiri oleh siswa serta tidak langsung diberikan oleh guru akan menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Hal ini didukung pendapat Bruner (dalam Dahar, 1988:125) yang menyatakan bahwa berusaha sendiri untuk menemukan pengetahuan akan menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Lebih lanjut Ausubel (dalam Dahar, 1988:141) mengatakan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna dapat diingat lebih lama. Bukti kebermaknaan pengetahuan yang diperoleh siswa dapat dilihat dari wawancara terhadap subyek wawancara. Semua subyek wawancara mengatakan bahwa mereka lebih memahami materi trigonometri dengan berpikir sendiri, berpasangan jika kesulitan sendiri, dan selanjutnya berpasangan jika masih kesulitan. Hasil wawancara ini sesuai dengan hasil tes subyek wawancara yaitu 3 orang memperoleh skor di atas 80 dan hanya 1 orang memperoleh skor di bawah 80. Peningkatan penguasaan siswa terhadap materi jarak dan sudut dalam bangun ruang ini dapat juga dilihat dari cara kerja siswa pada LKS setiap pertemuan. Terlihat cara kerja siswa semakin mantap dari LKS 3.4 sampai LKS 3.11. Buktinya kelompok yang pernah melakukan kesalahan pada LKS sebelumnya, tidak lagi membuat kesalahan pada LKS selanjutnya. 3. Respon Siswa terhadap Pembelajaran dengan Metode Think Pair Share Respon siswa terhadap pembelajaran dengan metode Think Pair Share dalam penelitian ini sangat positif. Hal ini terlihat dari hasil angket siswa.. Dari hasil wawancara terhadap subyek wawancara secara umum menyatakan senang dan tertarik terhadap pembelajaran dengan metode Think Pair Share. Begitu pula pada catatan lapangan oleh guru dan pengamat menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode Think Pair Share dapat membuat siswa aktif dalam diskusi dan menyampaikan ide-idenya. Rasa senang siswa juga disebabkan oleh adanya kerja sama kelompok dalam menyelesaikan tugas. Dalam kelompok peran siswa dihargai oleh siswa lain. Penghargaan yang diberikan siswa lain ini menimbulkan perasaan senang pada diri siswa. Siswa menyatakan bahwa mereka senang belajar dengan metode Think Pair Share karena adanya kerja sama, saling menghormati, dan saling menghargai. Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen & Kauchak (1996:281) bahwa proses kerja sama dalam kelompok dapat menimbulkan motivasi instrinsik pada siswa. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. 1. Pembelajaran dengan metode Think Pair Share dapat meningkatkan penguasaan konsep aturan sinus dan cosinus trigonometri. 2. Peningkatan hasil belajar siswa pada konsep jarak dan sudut dalam bangun ruang melalui pembelajaran metode Think Pair Share dalam penelitian ini meliputi penguasaan tentang pemilihan aturan sinus dan cosinus dalam menyelesaikan soal. Respon siswa terhadap pembelajaran metode Think Pair Share pada konsep trigonometri aturan sinus dan cosinus dalam penelitian ini positif. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban siswa saat di wawancara dan hasil angket, umumnya mereka dapat lebih mudah mengerjakan soal-soal trigonometri aturan sinus dan cosinus yang tidak terselesaikan ketika dilakukan secara individu. Respon positif lainnya yang ditunjukkan siswa dari hasil wawancara dan hasil angket yaitu mereka menjadi belajar bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain, karena selama berdiskusi mereka akan saling berinteraksi dalam membuat solusi soal-soal yang diberikan guru. Beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi guru matematika SMA jika akan menggunakan metode Think Pair Share dalam menyampaikan suatu konsep, hendaknya mempersiapkan rancangan pembelajaran dengan matang. Hal ini sangat diperlukan, agar pembelajaran dengan metode Think Pair Share menjadi lancar. 2. Bagi guru yang ingin menerapkan metode Think Pair Share untuk pembelajaran materi jarak dan sudut dalam bangun ruang, hendaknya mempersiapkan sarana dan prasarana yang 1296
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
diperlukan dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dalam penelitian ini penggunaan alat peraga sangat terbatas, begitu juga pengadaan LCD dan komputer yang dapat membantu proses belajar mengajar. Selain alat peraga, waktu yang dibutuhkan untuk memahami dan mengerjakan LKS saat berpikir sendiri, berpasangan, dan berpasangan berempat hendaknya disesuaikan dengan bobot soalnya, sehingga pembelajaran dengan metode Think Pair Share menjadi lebih efektif. 3. Bagi peneliti lain yang berminat mengadakan penelitian serupa hendaknya melakukan pada sekolah yang lain sehingga akan diperoleh gambaran lebih lanjut mengenai efektifitas pembelajaran dengan metode Think Pair Share pada materi jarak dan sudut dalam bangun ruang. DAFTAR RUJUKAN Ali, H. 2011. A comparison of cooperative learning and traditional lecture method in the project management department of a tertiary level institution in Trinidad and Tobago. Educational Research Assiciation, 1(1): 49-64. Allison, B., & Rehm, M. 2007. Teaching strategies for diverse learners in FCS classrooms. Journal of Family and Consumer Sciences, 99:8-10. Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Arra, C.T., D‟Antonio, M.D & D‟Antonio, Mark. 2011. Students‟ Preferences for Cooperative Learning Instructional Approaches: Considerations for College Teachers. Journal of Research in Education, 21(1): 114-125. Arrends, R.I. 2012. Learning to Teach. 9th ed. New York: McGraw Hill Azlina, N. A. N. 2010. CETLs : Supporting Collaborative Activities Among Students and Teachers Through the Use of Think-Pair-Share Techniques. International Journal of Computer Science Issues, 7( 5)): 1694-0814. Buschman, Larry. 2003. Share and Compare. Amerika. NCTM. Cardoso, D. C., Cristiano, M. P. & Arent, C. O. 2009. Development of new didactic materials for teachingscience and biology: The importance of new education practices. OnLine Journal of BiologicalSciences , 9(1):1-5. Chanchalor, S., & Somchitchob, S. 2007. A study of the utilisations on cooperative learning technology of short course students towards basic blouse making course. The International Journal of Learning ,14(7):57-63. Christison, M. A. 2009. Cooperative learning in the EFL classroom. English Teaching Forum , 28(4):139-147. Erman, H. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. Eppler, Martin J. 2006. “A Comparison Between Concept Maps, Mind maps, Conceptual Diagrams and Visual Metaphors as Complementary Tools for Knowledge Construction and Sharing”. Information Visualization. 5: 202-120. Fong, H. F. 2007. Exploring The Effectiveness Of Cooperative Learning As A Teaching And Learning Strategy In The Physics Classroom. Proceedings of the Redesigning Pedagogy: Culture, Knowledge and Understanding Conference. Gagnon, W, George. Collay, Michelle. 2001. Designing for Learning. California. Corwin Press, Inc. Glowacki_Dudka, M. & Barnett, N. 2007. Connecting critical reflection and group development in online adult education classrooms. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, 19(1):43-52. Henning-Stout, M. 1999. Learning consultation: An ethnographic analysis. Journal of School Psychology, 37: 73-98. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. Ibrahim, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA. Jhonstone, A. H. 2006. “Why is Science is Difficult to Learn? Things are seldom What They Seem”. Journal of Computer Assisted Learning. 7. Pp 75-83(2) Kazdin, A. E. 1981. Acceptability of child treatment techniques: The influence of treatment efficacy and adverse side effects. Behavior Therapy, 11: 329-344. Koich, Kumagai. 2000. Approaches to Whole-Class Lesson in Mathematics: Perspektive on Sharing. Japan Society of mathematical Education (JSME), ____: 200-203. 1297
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kienle, A. 2005. Integration of knowledge management and collaborative learning by technical supported communication processes. Education and Information Technologies, 11 (2):161 –185. Lie, A. 2005. Cooperatif Learning. Jakarta: PT. Gramedia. Martens, B. K., Peterson, R. L., Witt, J. C., & Cirone, S. 1986. Teacher perceptions of s choolbased interventions. Exceptional Children, 53:213-223. Millis, B. J.,and Cottel, PG.,Jr. 1998. Cooperatif Learning for higher education faculty, American Council on Education, Series on Higher Education, (Online), (www.wcer.wisc.edu/archive/c11/CL/doingel/thinksq.htm),diakses 24 februari 2013). Mills, B. J. 2009. Becoming an effective teacher using cooperative learning. Peer Review , 2(2):17-21. Moleong, L. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. Nuriana, R.D. Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Video Campact Disk dalam Pembelajaran Matematika. (Online), (http://www.mathematic. transdigit.com/index.php/mathematic-journal/model-pembelajaran-creative-problemsolving-dengan-video-compact-disk-dalam-pembelajaran-matematika.html), diakses 3 September 2013. Nurhadi. 2001. Realistic Mathematics Education. Makalah Pada Penelitian Calon Pelatih SLTP Tanggal 21 Juni sampai dengan 6 Juli 2001 di Surabaya. Jakarta: Dirjen Dikti. Pandoyo. 1992. Strategi Belajar Mengajar. Semarang : IKIP Semarang Press. Peek, L. E., Winking, C., &Peek, G. S. (1995). Cooperative learning activities: Managerial accounting. Issues in Accounting Education, , 10(1):111-125. Powell, K. C., & Kalina, C. J. 2009. Cognitive and social constructivism: developing tools for an effective classroom. Education , 130(2):241-250. Reimers, T. M., Wacker, D. P., & Koeppl, G. 1987. Acceptability of behavior treatments: A review of the literature. School Psychology Review, 16: 212-227. Resnick, L, B. Ford, Wendy, W. 1981. The Psychologi of Mathematics for Instructions. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Publisher. Sharan, Y. 2010. Cooperative learning for academic and social gains: Valued pedagogy, problematic practice. European Journal of Education, 45:300-313. Shimazoe, J., & Aldrich, H. Group work can be gratifying: Understanding and overcoming resistance to cooperative learning. College Teaching, 58: 52-57. Slavin, R.E. 1995. Education Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon Slavin, R. E. 1995. Education Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon. Suyitno, A.P., Hidayah, I & Suhito, S. 2000. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang : Pendidikan Matematika FPMIPA Unnes. Tanya Y. 2008. Getting Active In The Classroom. Journal of College Teaching & Learning, 5(6): 19-24. Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Makalah, Laporan penelitian, Edisi Kelima. Malang: Biro Administrasi Akademik, Perencanaan Sistem Informasi bekerja sama dengan penerbit Universitas Negeri Malang. Vanides, Jim, Yin, Yue, Tomita, Miki, Ruiz-Primo, Maria Araceli. 2005. “Using Concept Map in The Science Classroom”. National Science Teachers Association. 28 (8): 27-31. Witt, J. C. 1986. Teachers‟ resistance to the use of school-based interventions. Journal of School Psychology, 24:37-44. Witt, J. C. & Martens, B. K. 1983. Assessing the acceptability of behavioral interventions used in the classrooms. Psychology in the Schools, 20:510-517. Witt, J. C., Martens, B. K., & Elliott, S. N. 1984. Factors affecting teachers‟ judgments of the acceptability of behavioral interventions: Time involvement, behavior problem severity, and type of intervention. Behavior Therapy, 15:204-209.
1298
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN PERSAMAAN KUADRAT DAN SCAFFOLDING YANG DIBERIKAN Deddy Setiawan SMA Laboratorium UM [email protected] Abstrak: Guru yang profesional tidak hanya dapat melakukan pembelajaran yang berkualitas tetapi juga harus dapat mengetahui kesulitan siswa dan bagaimana cara mengatasinya.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan persamaan kuadrat dan bentuk scaffolding yang dapat membantu mengatasi kesulitan tersebut. Dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa kesulitan siswa. Pertama, memahami akar/selesaian persamaan kuadrat, kesulitan siswa terletak pada ketidakmampuan siswa dalam menghubungkan antara variabel dan akar. Kedua, menentukan akar/selesaian persamaan kuadrat. Ketiga, menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya. Scaffolding yang diberikan berbentuk pertanyaan-pertanyaan (questioning) yang mengarah pada penyelesaian, sehingga dapat membantu mengatasi kesulitan yang dialami siswa. Kata kunci : diagnosis, kesulitan, persamaan kuadrat, scaffolding Abstract: Profesional teachers are not only able to run a qualified learning but also know their students difficulties and how to overcome the problem occur. This research to find the difficulties faced by the student and give a scaffolding to overcome the problem. The result of research was able to know the difficulties student. First, understanding the solutions of quadratics equations. They can’t connect between variable and solutions. Second, determining the solutions of quadratics equations. Third, posing the equations of the given solutions. Scaffolding formed as a set of questions from which the answers is revealed and to handle the solutions of student main problem. Keywords: diagnosis, difficulties, quadratic equation, scaffolding
Hudojo (2005) menyatakan bahwa matematika adalah suatu alat yangdigunakan untuk mengembangkan cara berpikir. Oleh karena itu matematika diperlukan dalam kehidupan seharihari maupun dalam rangka menghadapi kemajuan IPTEK sehingga matematika perlu diberikan kepada peserta didik sejak mulai sekolah dasar bahkan TK (Taman Kanak-kanak). Oleh karena itu matematika diberikan pada semua jenjang pendidikan dan jurusan, tidak hanya mereka yang jurusan IPA saja yang belajar matematika tetapi mereka yang jurusan Bahasa dan IPS pun mempelajari matematika. Dari hasil Ujian Nasional tahun 2013 pada tiga jurusan di SMA Laboratorium UM terlihat bahwa nilai matematika pada jurusan Bahasa memiliki nilai terendah. Rata-rata nilai matematika yang diperoleh masih dibawah 5. Dengan mencermati soal Ujian Nasional Matematika program Bahasa tahun 2013 terlihat bahwa komposisi soal yang berkaitan dengan persamaan kuadrat mencapai 20 % dari seluruh soal yang diujikan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di kelas XII jurusan Bahasa yang terdiri dari 20 siswa diperoleh hasil bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Studi yang dilakukan adalah dengan memberikan beberapa soal Ujian Nasional tahun 2013 yang berkaitan dengan persamaan kuadrat. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat juga didukung pada penelitian sebelumnya, Isma’il (2011) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam mengambar grafik fungsi kuadrat terutama menentukan titik potong sumbu-X karena siswa tidak dapat menyelesaikan persamaan kuadrat . Penelitian yang lain Hasan (2011) menyatakan bahwa kesulitan siswa dalam menyederhanakan pecahan aljabar paling banyak terletak pada ketidakmampuan siswa dalam memfaktorkan bentuk linear maupun kuadrat. Didis dkk (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memfaktorkan jika persamaan kuadrat disajikan tidak pada bentuk umum.
1299
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Zakaria dkk (2010) menyatakan bahwa kesalahan terbanyak siswa menyelesaikan persamaan kuadrat terletak pada kesalahan transformasi (transformations error) dan ketrampilan dalam mengerjakan (process skill). Valyavutjamai dan ken (2006) mengemukakan sebagian besar siswa masih bingung tentang konsep variabel dan solusi (akar) pada persamaan kuadrat. Dalam hal ini siswa belum dapat memahami keterkaitan atau hubungan antara akar dan variabel pada persamaan kuadrat. Guru yang profesional tidak hanya dapat melakukan pembelajaran yang berkualitas tetapi juga harus dapat mengetahui kesulitan siswa dan bagaimana cara mengatasinya. Menurut Widdiharto (2008) dorongan guru untuk memecahkan masalah kesulitan siswa merupakan salah satu unsur dalam pengembangan profesi guru. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui jenisjenis kesulitan belajar siswa dan penyebab siswa mengalami kesulitan. Pada akhirnya guru diharapkan dapat mencari alternatif penyelesaiannya sehingga kesulitan siswa dapat diselesaikan. Hudojo (2005) mengemukakan di dalam proses pembelajaran, munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep merupakan hal yang wajar. Ini menggambarkan bahwa anak sedang melakukan proses berpikir. Mereka berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Skemata atau pengetahuan awal setiap siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang dihadapi setiap anak pun tidaklah selalu sama. Sebagai seorang guru atau orang yang membimbing mereka belajar, sebaiknya kita dapat mengenali dan memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak. Karena jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu masalah yang dapat menghambat perkembangan intelektual anak. Widdiharto (2008) mengemukakan Ada beberapa sumber atau faktor yang yang menjadi penyebab utama kesulitan belajar siswa. Sumber itu dapat berasal dari dalam diri siswa sendiri (internal) maupun dari luar diri siswa (eksternal). Dari dalam diri siswa dapat disebabkan oleh faktor biologis maupun psikologis. Dari luar diri siswa, kesulitan belajar dapat bersumber dari keluarga (pendidikan orang tua, hubungan dengan keluarga, keteladanan keluarga dan sebagainya), keadaan lingkungan dan masyarakat secara umum. Kesulitan belajar tidak dialami hanya oleh siswa yang berkemampuan di bawah ratarata atau yang dikenal sungguh memiliki learning difficulties, tetapi dapat dialami oleh siswa dengan tingkat kemampuan manapun dari kalangan atau kelompok manapun. Tingkat dan jenis sumber kesulitannya beragam. Mengutip Brueckner dan Bond, Cooney, Davis, dan Henderson (1975, dalam Widdiharto, 2008) mengelompokkan sumber kesulitan itu menjadi lima faktor yaitu: faktor fisiologis, emosional, sosial, intelektual dan pedagogis. Dalam mendiagnosis kesulitan siswa guru berinteraksi secara langsung untuk memotivasi dan membimbing siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Penerapan teori kognitif sosial menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan faktor penting dalam mendorong perkembangan kognitif siswa (Vygotsky dalam Lambas 2004:21). Perkembangan kognitif akan membantu siswa dalam pemecahan masalah setelah siswa mendapatkan bantuan dari orang yang lebih mampu dalam hal ini adalah guru. Konsep bantuan tersebut yang disebut dengan scaffolding. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding menurut Wood, dkk (Budiningsih, 2008) merupakan dukungan pembelajar kepada peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya sendiri. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development) dari Vigotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya. Menurut Vigotsky, “peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan dari seorang yang lebih ahli atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi” (Martinis, 1960, 2010). Menurut Mckenzie (dalam Stuyf: 2002) menyatakan bahwa karakteristik scaffolding adalah 1).Provides clear directions and reduces student confutions. Guru berusaha memberikan arah yang jelas sehingga dapat mengurangi kebingungan siswa. Dalam hal ini siswa diarahkan untuk dapat memahami masalah yang dihadapi. Sehingga siswa dapat mengemukakan apa yang diketahui dalam masalah tersebut. 2). Clarifies purpose. Guru berusaha membantu dan 1300
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengarahkan menggapai tujuan yang jelas. Siswa diharapkan dapat memahami langkah-langkah apa yang dilakukannya. 3). Keep student on task. Guru berusaha untuk mengarahkan terhadap tugas yang dibebankan dengan siswa. 4).Clarifies expectations and incorporates assesment and feedback. Guru mengklarifikasi dan memberikan umpan balik terhadap pekerjaan siswa. 5).Ponts students to worthy sources. Guru memberikan arahan untuk menggunakan sumbersumber yang layak. 6).Reduces uncertainty, surprise, and disappointment. Guru berusaha mengurangi ketidakpastian, kejutan dan kekecewaan Sedangkan menurut Coggins (2007) ada tiga bentuk scaffolding, yaitu: 1) Scaffolding secara verbal yaitu penafsiran, pengulangan dan pertanyaan. 2) Scaffolding prosedural melalui pembelajaran kooperatif dan bimbingan secara individual. 3) Scaffolding instruksional yaitu mengorganisasi grafik, menempatkan benda-benda dalam kelas. Adapun strategi yang digunakan Coggins (2007) adalah: 1) Activating prior knowledge by first focusing on what students know and understand. Mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang diketahui dan dipahami. 2) Engaging students in interactive activities to discuse math ideas and real world applications. Melibatkan siswa dalam aktivitas interaktif untuk mendiskusikan ide-ide matematika dalam dunia nyata. 3) Checking for students understanding and how to help them advance. Mengecek pemahaman siswa dan membantu perkembangan siswa. 4) Using visual and tactile. Menggunakan visual dan alat peraga. Selanjutnya peneliti melakukan penelitian kualitatif yang berjudul “Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Persamaan Kuadrat dan Scaffolding yang Diberikan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui letak kesulitan siswa kelas XI Bahasa SMA Laboratorium UM dalam menyelesaikan persamaan kuadrat dan menentukan bentuk scaffolding yang dapat membantu menyelesaikan kesulitan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualilatif. Pendekatan kualitatif dapat memberikan gambaran secara utuh tentang letak kesulitan siswa dan penyebab siswa mengalami kesulitan. Proses berpikir siswa diamati dengan mencermati (mengkaji) hasil kerja siswa dalam menyelesaikan soal yang dihadapi. Ketika siswa menemui kesulitan atau kemacetan dalam menyelesaikan permasalah tersebut, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada siswa tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru dirancang dengan maksud untuk memberikan seminimal mungkin bantuan (scaffolding) pada siswa, sehingga siswa tersebut dapat melanjutkan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Penelitian dilakukan di SMA Laboratorium UM Malang, yaitu diambil lima siswa kelas IX jurusan Bahasa di sekolah tersebut. Subjek penelitian terdiri dari tiga kelompok siswa yang ditetapkan dengan rincian dua orang siswa yang kemampuan matematikanya tinggi; satu orang siswa yang kemampuan matematikanya sedang; dan dua orang siswa yang kemampuan matematikanya rendah. Siswa yang ditetapkan sebagai subjek penelitian diberi kesempatan untuk melakukan refleksi terhadap apa yang telah dikerjakannya, dan kemudian peneliti mengajaknya untuk berdiskusi tentang apa yang telah ia kerjakan. Diskusi ini dimaksudkan untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal dan menemukan letak kesulitan yang dialami siswa, serta mengarahkan agar siswa tersebut dapat memperbaiki pekerjaannya. Ketika siswa memperbaiki pekerjaanya, siswa diminta untuk menyuarakan dengan keras apa yang dipikirkannya (Think Out Louds). Arahan dari peneliti dimaksudkan untuk mendorong perkembangan kognitif siswa sehingga ia dapat menyelesaikan masalah yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya. Pada penelitian ini mempunyai tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Pada awalnya peneliti melakukan studi pendahuluan di kelas XII Bahasa untuk mengetahui bahwa di kelas jurusan bahasa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan persamaan kuadrat. Studi pendahuluan tersebut juga didapat digunakan untuk mencari kemungkinan lain kesulitan yang dialami siswa. 2) Peneliti merancang instrumen penelitian berupa soal tes awal (tes diagnostik), tes akhir dan pedoman scaffolding serta memvalidasinya dengan validasi ahli. 3) Peneliti memilih kelas XI Bahasa sebagai subjek penelitian selanjutnya diberikan tes awal (tes diagnostik) kepada seluruh siswa kelas tersebut. 4) Peneliti memeriksa jawaban hasil tes awal siswa. Dan siswa yang jawabannya salah menjadi calon subjek 1301
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penelitian. 5) Peneliti memilih lima siswa sebagai subjek penelitian berdasarkan hasil tes awal dan informasi dari guru pengajar matematika. 6) Peneliti memberikan scaffolding kepada subjek penelitian. 7) Memberikan tes akhir kepada subjek penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian dapat diuraikan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, Kesulitan pertama yang dialami siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat adalah memahami akar persamaan kuadrat (gambar 1).
Gambar 1. Kesalahan Subjek dalam Memahami Akar
Pada gambar 1 terlihat bahwa Siswa tidak dapat mengaitkan antara akar dan variabel dalam persamaan kuadrat. Ketika pada soal sudah diketahui akar persamaan kuadrat siswa cederung kebingungan dalam mengghubungkan antara akar dan variabel dalam persamaan kuadrat tersebut. Kedua, dalam menentukan akar persamaan kuadrat siswa lebih cenderung menggunakan cara pemfaktoran. Tetapi dalam proses pemfaktoran siswa belum dapat memahami konsep jika ab 0 maka a 0 atau b 0. Sehingga dalam menentukan hasil akhir akar persamaan kuadrat siswa mengalami kesalahan (gambar 2). Kesalahan Siswa dalam menentukan Akar Hasil Pemfaktoran
Gambar 2. Kesalahan Subjek dalam Menentukan Akar Hasil Pemfaktoran
Ketiga, dalam menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya (gambar 3), kesulitan siswa terletak pada ketidakmampuan siswa menghubungkan atau mengaitkan antara konsep menentukan akar jika diketahui persamaan kuadratnya dengan menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya. Sehingga dua hal tersebut dianggap tidak saling berhubungan.
Kesalahan tanda. dan tidak menuliskan = 0
Gambar 3. Kesalahan Subjek 5 dalam Menentukan Persamaan Kuadrat
Selain itu juga terdapat beberapa siswa yang masih belum menguasai materi prasyarat dalam menyelesaikan persamaan kuadrat. Misalnya tentang perpangkatan bilangan bulat dan perkalian bentuk aljabar. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu kemampuan awal siswa sebelum melanjutkan ke materi yang akan diajarkan. 1302
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pemberian scaffolding pada awal yaitu dengan menanyakan kembali soal yang diberikan untuk mengetahui pemahaman Subjek terhadap soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan karakteristik scaffolding menurut Coggins (2007) yaitu repetition and questioning sedangkan menurut McKenzie (dalam Stuyf:2002) Clarifies expectations and incorporates assesment and feedback. Peneliti mengklarifikasi dan memberikan umpan balik terhadap pekerjaan siswa. Dalam proses ternyata Subjek masih kebingungan dalam menyelesaikan soal sehingga perlu scaffolding berikutnya. Scaffolding yang dilakukan Peneliti adalah dengan mencoba memberikan permasalahan yang lebih sederhana yaitu dengan meminta subjek untuk menyelesaikan persamaan linear sederhana. Hal ini menurut McKenzie (dalam Stuyf:2002) merupakan Provides clear directions and reduces student confutions. Sedangkan menurut coggins(2007) activating prior knowledge by first focusing on what students know and understand yaitu mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang diketahui dan dipahami. Pemberian scaffolding untuk memahamkan siswa tentang akar dapat dilakukan dengan terlebih dahulu siswa dihadapkan dengan persamaan linear satu variabel. Karena dengan memberikan persamaan linear satu variabel siswa dapat menentukan selesaian/akar dengan mudah sehingga siswa dapat memahami akar dan bukan akar. Pemberian scaffolding dapat dimulai dengan menanyakan pemahaman siswa tentang permasalahan yang diberikan. Diharapkan siswa dapat mengetahui apa yang diketahui dan ditanyakan dalam soal tersebut permasalahan yang lebih kongkret menuju ke abstrak. Dalam menentukan persamaan kuadrat peneliti mengaitkan dengan apa yang sudah dipelajari dan dikuasai siswa berkaitan dengan konsep pemfaktoran. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hudojo (2005:11) bahwa “ pengalaman belajar harus disesuaikan dan disusun relevan dengan struktur kognitif siswa agar dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajarnya” sedangkan menurut Coggins (2007) yaitu activating prior knowledge by first focusing on what students know and understand. Peneliti berusaha mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang diketahui dan dipahami. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan persamaan kuadrat antara lain: 1) Memahami akar/selesaian persamaan kuadrat, kesulitan siswa terletak pada ketidakmampuan siswa dalam menghubungkan antara variabel dengan akar. 2) Menentukan akar/selesaian persamaan kuadrat, dalam menentukan akar/selesaian persamaan kuadrat siswa lebih cenderung menggunakan cara pemfaktoran dan rumus kuadrat. Dalam menggunakan cara pemfaktoran mereka lebih banyak menggunakan cara coba-coba (trial and errors). Dalam memahami pemfaktoran sebagian besar siswa tidak memahami konsep jika ab 0 maka a 0 atau b 0. 3) Menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya, kesulitan siswa terletak pada ketidakmampuan siswa menghubungkan antara konsep menentukan akar jika diketahui persamaan kuadratnya dengan menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya. Sehingga dua hal tersebut dianggap tidak saling berhubungan. Bentuk scaffolding dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penyelesaian dapat membantu mengatasi kesulitan yang dialami siswa. adapun bentuk scaffolding pada masing-masing kesulitan yang dialami siswa adalah sebagai berikut: 1) Dalam memahami akar/selesaian persamaan kuadrat dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan permasalahan yang lebih sederhana. Siswa dihadapkan dengan persamaan linear satu variabel sehingga dengan mudah siswa dapat menentukan akar dan bukan akar/selesaian. Dengan memahami selesaian persamaan linear satu variabel kemudian dihubungkan dalam memahami selesaian persamaan kuadrat. sehingga karakteristik scaffolding yang diberikan adalah mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang diketahui dan dipahami (activating prior knowledge by first focusing on what students know and understand). Dengan memberikan persamaan yang sederhana sehingga siswa lebih mudah dalam memahami akar dan bukan akar/selesaian. 2) Dalam menentukan akar/selesaian persamaan kuadrat dengan metode pemfaktoran siswa terlebih dahulu diberikan permasalahan yang lebih kongkret atau nyata. Peneliti berusaha melibatkan siswa dalam aktivitas interaktif untuk mendiskusikan ide-ide matematika dalam dunia nyata atau kongkret (engaging students in 1303
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
interactive activities to discuse math ideas and real world applications). Permasalahan tersebut misalnya dengan memahamkan siswa tentang perkalian dua bilangan yang menghasilkan nol. Sehingga siswa dapat memahami konsep jika ab 0 maka a 0 atau b 0. selain itu juga diberikan bukan contoh. Misalnya di Ring Z6 mempunyai pembagi nol yaitu 2 dan 3. Sehingga 2 3 0 tetapi 2 0 dan 3 0. Dalam menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya, siswa diharapkan dapat menghubungkan dengan konsep pemfaktoran yang sudah mereka pahami (activating prior knowledge by first focusing on what students know and understand). Peneliti berusaha mengaktifkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan memfokuskan apa yang diketahui dan dipahami tentang pemfaktoran. Jika konsep pemfaktoran bertujuan untuk menentukan akar sedangkan ketika akarnya sudah diketahui maka dapat dilakukan dengan cara sebaliknya. . Dari hasil penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1) Dalam mengatasi kesulitan siswa, hendaknya guru terlebih dahulu memahami letak kesulitan yang dialami siswa sehingga guru dapat memberikan scaffolding yang tepat untuk membantu kesulitan yang dialami. 2) Dalam menyelesaikan persamaan kuadrat konsep yang pertama yang perlu ditekankan adalah memahamkan tentang konsep akar pada siswa. setelah konsep akar dapat dipahami dengan baik oleh siswa maka dapat dilanjutkan dengan konsep menentukan akar dan menentukan persamaan kuadrat jika diketahui akar-akarnya. 3) Guru harus mengecek kembali pengetahuan awal siswa tentang materi prasyarat yang harus dikuasai sebelum dilanjutkan ke materi yang diajarkan. DAFTAR RUJUKAN Budiningsih, C. Asri. 2008. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Coggins D, dkk.2007. Scaffolding English Language Learners (ELLS) in the Mathematics Classrooms. English Language Learner in The Mathematics Classroom. Didis, dkk. 2010. Student Reasoning in Quadratics Equations With One Unknown. Mathematics Education Reseach Journal. Hasan, A. 2011. Diagnosis kesulitan siswa dalam menyederhanakan pecahan aljabar dan upaya mengatasinya dengan menggunakan scaffolding. Tesis tidak diterbitkan, Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Is’mail. 2011. Diagnosis dan scaffolding siswa dalam menggambar grafik fungsi kuadrat. Tesis tidak diterbitkan, Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Lambas,dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Martinis. 2010. Model Pembelajaran Scaffolding. (online).(http://martinis1960. wordpress.com/2010/07/29/model-pembelajaran-scaffolding diakses 4 Januari 2014) Stuyf. 2002. Scaffolding is a teaching strategy. Adolescent learning and development journal. Section 0500A - Fall 2002 Valyavutjamai, dan Ken. 2006.. Effect Of Classroom Instructions on student’s understanding of quadratics equations. Mathematics Education Reseach Journal. Vol 18 No.I 47-77 Widdiharto,R. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Paket fasilitas pemberdayaan KKG/MGMP Matematika. Yogyakarta: Depdiknas Zakaria, dkk. 2010.. Analysis of student’s error in learning of quadratics equations. International educations studies. Vol.3 no.3
1304
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
IMPLEMENTASI TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT) PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA SMA NEGERI 5 BANJARMASIN Meta Ariyani, Purwanto, dan Sri Mulyati Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskrifsikan pelaksanaan masingmasing langkah pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) yang mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar limit siswa SMA Negeri 5 Banjarmasin. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TGT yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu: (1) Penyajian kelas, (2) Diskusi kelompok, (3) Games, (4) Tournament dan, (5) Penghargaan kelompok. Pada tahap games dan tournament peneliti melakukan modifikasi dalam bentuk permainannya. Gamesnya berupa permainan menjawab soal yang ada pada kartu soal. Setiap siswa diberikan papan jawaban untuk menuliskan hasil jawaban mereka. Apabila waktu pengerjaan soal sudah selesai, maka seluruh siswa diwajibkan mengangkat papan jawabannya ke atas untuk dicocokkan dengan kunci jawaban yang ada pada layar LCD. Tahap games dan tournament merupakan tahap yang paling menyenangkan untuk seluruh siswa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pada Team Games Tournament (TGT) dapat dimanipulasi sedemikian hingga, sehingga meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa SMA Negeri 5 Banjarmasin. Kata kunci: TGT, Motivasi Belajar, Hasil Belajar
Berdasarkan pengalaman mengajar peneliti di SMA Negeri 5 Banjarmasin, selama 4 tahun mulai dari tahun 2009 sampai dengan 2013 dan hasil wawancara terhadap guru matematika dan beberapa siswa, didapatkan hasil bahwa hasil belajar matematika siswa masihmsangat rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Ditunjukkan bahwa ada sekitar 40% siswa saja per kelasnya yang memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sedangkan 60% nya lagi memperoleh nilai di bawah KKM. Nilai KKM matematika di SMA Negeri 5 Banjarmasin pada saat itu adalah 65. Siswa dinyatakan tuntas belajar matematika apabila nilai hasil akhir belajarnya memperoleh nilai minimal 65 yang berarti semua kompetensi dasar (KD) yang dipelajari sudah dikuasai siswa, sedangkan siswa yang memperoleh nilai kurang dari 65 dinyatakan belum tuntas yang berarti ada KD yang belum mampu dikuasai siswa dan harus melakukan remedial sampai tuntas. Rendahnya hasil belajar siswa tersebut dapat dilihat pada hasil ulangan harian limit siswa kelas XI IPS dalam beberapa tahun. Padahal materi limit merupakan materi yang harus dikuasai siswa karena materi tersebut merupakan materi prasyarat untuk mempelajari materi selanjutnya yaitu turunan. Rendahnya hasil ulangan siswa tersebut merupakan suatu masalah yang harus di atasi guru agar matematika di SMA negeri 5 tidak lagi menjadi mata pelajaran yang selalu memiliki nilai rata-rata terendah. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada awal tahun 2013, rendahnya hasil belajar siswa dalam beberapa tahun sebelumnya bukan dikarenakan kurangnya pengetahuan yang dimiliki siswa tetapi sangat sedikit siswa yang termotivasi untuk belajar matematika. Hal ini ditunjukkan dengan adanya siswa yang sering terlambat masuk kelas, mengobrol pada saat guru mengajar, tidak memperhatikan guru pada saat materi disampaikan, mengganggu teman, bermain handphone, malu untuk mengeluarkan pendapat atau bertanya. Hanya beberapa siswa saja (kurang dari 10 orang) yang mau bertanya atau mengeluarkan pendapat. Bahkan ada siswa yang asyik melakukan aktivitas selain pembelajaran matematika saat pembelajaran berlangsung. Hal tersebut di atas terjadi antara lain disebabkan karena guru dalam proses belajar mengajar selama ini membiarkan siswa belajar dengan pasif. Mereka hanya dibiarkan menerima materi pelajaran tanpa diperhatikan daya kreatifnya, sehingga akhirnya siswa lebih dituntut untuk belajar hafalan, yang menyebabkan informasi yang diterima siswa tidak mampu bertahan lama dan mudah untuk dilupakan.
1305
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan hal tersebut salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan cara mengubah cara belajar siswa dengan memberikan suasana belajar yang baru. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Tyas (2012), pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) mampu meningkatkan minat dan hasil belajar matematika. Hasil penelitian Anriani, dkk (2008) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa. Selain itu menurut hasil penelitian Saryantono, B (2013) menyatakan bahwa nilai rata-rata hasil pembelajaran siswa menggunakan Team Games Tournament (TGT) lebih tinggi dari pada siswa yang proses pembelajarannya tidak menggunakan Team Games Tournament (TGT). Tetapi kelemahan pada penelitian TGT terdahulu adalah peneliti hanya menerapkan langkah-langkah TGT dalam pembelajaran dan melihat hasil belajarnya saja, tidak mendeskrifsikan secara rinci langkah-langkah TGT seperti apa yang mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Padahal penelitian seperti ini penting untuk dilaksanakan karena dengan penelitian ini kita dapat mengetahui langkah-langkah TGT yang seperti apa yang mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Menurut Uno (2011) motivasi merupakan dorongan atau kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Motivasi belajar merupakan keinginan atau dorongan seseorang untuk belajar. Seseorang akan berhasil dalam belajar jika di dalam dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar. Jika di dalam diri siswa tidak ada keinginan atau dorongan untuk belajar maka siswa tidak akan memperoleh hasil belajar yang maksimal. Motivasi dan suasana kelas yang menyenangkan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Menurut Dailey (2009) kenikmatan dan kesenangan dalam belajar dapat meningkatkan motivasi siswa. Tetapi ada juga siswa termotivasi karena adanya fakor ekstrinsik seperti, untuk menerima pujian , uang , atau hadiah , serta menghindari hukuman. Selain itu mewajibkan siswa (tekanan eksternal) untuk mengikuti kelas tertentu juga dapat menghilangkan motivasi siswa. Menurut Farkhana (2010) faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang ditemukan dalam penelitiannya ada dua jenis yaitu faktor internal (motivasi dan sehat) dan faktor eksternal (guru, beasiswa, dan fasilitas), sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam belajar. Terkait dengan itu, tampaknya pelaksanaan TGT bisa dimodifikasi sedemikian rupa karena TGT memiliki langkah-langkah pembelajaran yang di dalamnya dapat dimodifikasi sehingga motivasi dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Pelaksanan TGT ini dapat dilakukan pada materi limit. Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam TGT adalah sebagai berikut: (1) Penyajian kelas, (2) Diskusi kelompok, (3) Games, (4) Tournament dan, (5) Penghargaan kelompok (Slavin, 2011). Penelitian penerapan TGT ini akan dimodifikasi sedimikian rupa pada setiap langkahnya. Peneliti memilih memodifikasi pada setiap langkah TGT karena berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama mengajar disana, sekitar 70 % siswa menunjukkan mereka sangat aktif mengikuti proses pembelajaran yang diikuti dengan suatu permainan (games). Dampak positifnya dari diadakannya penelitian ini adalah memberikan suasana nyaman dan menyenangkan bagi siswa. Diharapkan juga dapat membuat siswa menjadi termotivasi untuk mengikuti proses pembelajaran matematika khususnya pada materi limit. Apabila motivasi siswa meningkat maka akan menyebabkan siswa bersungguh-sungguh mengikuti proses belajar matematika sehingga akan dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada materi tersebut. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk memperoleh gambaran atau deskripsi tentang pelaksanaan masing-masing langkah pembelajaran Team Games Tournament (TGT) yang mampu meningkatkan motivasi dan belajar siswa pada pembelajaran limit. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian di SMA Negeri 5 Banjarmasin dengan judul “ Implementasi Tipe Team Games Tournament (TGT) pada Pembelajaran Matematika Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa. METODE Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan bagaimana pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) pada materi limit yang mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Penelitian tindakan ini dilakukan secara kolaborasi, yaitu kerja sama yang sejajar antara peneliti dengan praktisi pembelajaran di lapangan. Peneliti dan guru terlibat langsung dalam berbagi ide, merencanakan , melaksanakan, pengamatan, refleksi dan lain-lain 1306
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(Arikunto, 2010). Penelitian ini akan dilaksanakan menggunakan tahapan siklus, dimana pada setiap akhir siklus dicek apakah sudah sesuai indikator kaberhasilan yang sudah ditentukan. Apabila pada siklus pertama belum sesuai atau tidak berhasil maka dilakukan perencanaan tindak lanjut atau merevisi rencana pada siklus selanjutnya. Subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPS 2 SMA Negeri 5 Banjarmasin sebanyak 32 orang, seorang guru model dan 2 orang observer. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 5 Banjarmasin pada bulan april 2014 sebanyak 2 siklus, dengan 2 kali tindakan per siklusnya. Data penerapan TGT diperoleh dari observasi aktivitas guru, aktivitas siswa dan wawancara, data motivasi belajar siswa diperoleh dari observasi motivasi siswa dan angket motivasi, sedangkan data hasil belajar siswa diperoleh melalui tes hasil belajar pada setiap akhir siklus. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian dilakukan berdasarkan aspek-aspek yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Aspek-aspek yang dimaksud adalah pembelajaran dengan tipe Team Games Tournament (TGT), peningkatan motivasi belajar siswa melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT, hasil belajar siswa melalui pembelajaran tipe TGT, dan respon siswa terhadap pembelajaran dengan tipe TGT. Pembelajaran Dengan Tipe TGT Salah satu kegiatan awal yang dilakukan guru pada saat memulai pembelajaran adalah memberitahukan kepada siswa bahwa pembelajaran yang akan dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran yang tidak biasa mereka lakukan yaitu pembelajaran kooperatif tipe TGT. Memberikan suasana pembelajaran yang baru yang didalamnya terdapat suatu permainan, seperti penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang belum pernah dikenal siswa membuat siswa menjadi lebih antusias untuk mengikuti proses pembelajaran. Penjelasan dari guru tentang sintaks TGT yang didalamnya terdapat games dan tournament membuat siswa lebih termotivasi mengikuti proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena siswa merasa penasaran dengan model pembelajaran yang belum pernah dikenalnya. Apalagi dalam model pembelajaran tersebut terdapat tahap permainan. Suatu proses pembelajaran yang didalamnya diselipkan suatu permainan dapat membuat motivasi siswa menjadi meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat Uno (2011) bahwa ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator motivasi belajar siswa yaitu adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Guru melakukan kegiatan tanya jawab untuk mengecek pemahaman siswa dan menggali pengetahuan prasyarat siswa sebelum menyajikan materi. Guru juga menyajikan beberapa soal prasyarat yang harus dikerjakan oleh siswa, antara lain fungsi¸ persamaan kuadrat, perkalian akar sekawan dan sebagainya.. Salah satu cara untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dan keterlibatan siswa terhadap materi yang akan diajarkan, guru berusaha memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini senada dengan pendapat Elliot,dkk (1996) bahwa rasa ingin tahu berpengaruh penting terhadap motivasi. Selain itu, guru selalu memberikan penghargaan verbal terhadap hasil kerja siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Uno (2011) bahwa penghargaan verbal terhadap prilaku siswa yang baik atau hasil kerja siswa yang baik merupakan cara yang paling mudah untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Pada pemahaman materi guru meminta siswa untuk melakukan diskusi kelompok. Pada saat diskusi kelompok siswa dapat bertanya dengan temannya di dalam kelompok atau bertanya kepada guru apabila ada yang tidak mereka pahami. Dengan adanya diskusi kelompok ini membuat siswa lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Hal ini terjadi karena pada saat diskusi kelompok siswa dituntut untuk berani bertanya atau berani mengeluarkan pendapatnya dan harus percaya diri akan kemampuan dirinya. Siswa yang memiliki kemampuan rendah dapat bertanya kepada teman di kelompoknya yang berkemampuan tinggi. Diskusi kelompok juga dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk dapat lebih memahami materi bersama teman sekelompoknya. Hal ini senada dengan pendapat Slavin (2011) bahwa dalam metode pembelajaran kooperatif, siswa bekerja sama dalam kelompok kecil untuk membantu belajar satu sama lain. Selain itu, diskusi kelompok juga dapat dijadikan sebagai tahap untuk mempersiapkan anggota kelompok agar dapat bekerja dengan baik pada saat games dan tournament.
1307
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tahap games dan tournament adalah tahap yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa. Pada tahap ini peneliti melakukan modifikasi pada bentuk permainannya. Permainannya adalah bersaing dengan sehat untuk menjawab soal yang terdapat pada kartu soal dalam waktu 5 menit. Setiap siswa diminta untuk menuliskan hasil pengerjaannya pada papan jawaban yang telah disediakan. Apabila waktu pengerjaan soal sudah habis, seluruh siswa wajib mengangkat papan jawabannya ke atas dan mencocokkan hasil jawabannya pada layar LCD yang terdapat di ruang kelas. Pada tahap pencocokkan jawaban ini suasana kelas akan menjadi ramai, karena kebanyakan siswa menunjukkan rasa kepuasan mereka dengan cara bersorak sorai atau melakukan kegiatan apapun yang dapat mengungkapkan rasa kepuasan terhadap hasil yang mereka peroleh. Pada tahap ini masing-masing siswa berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik buat kelompoknya. Dari seluruh kegiatan pembelajaran tipe TGT, tahap ini merupakan tahap yang paling menyenangkan untuk seluruh siswa, karena pada tahap ini siswa dapat menjadi lebih aktif dan dapat menyebabkan suasana kelas menjadi ramai. Suasana kelas yang menyenangkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Uno (2011) dan Dailey (2009) bahwa kenikmatan dan kesenangan dapat meningkatkan motivasi siswa. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa orang siswa didapatkan hasil bahwa dengan adanya games dan tournament membuat pembelajaran matematika menjadi lebih menyenangkan. Pembelajaran matematika tidak lagi menjadi pelajaran yang menakutkan karena didalamnya terdapat suatu permainan. Guru selalu memberikan penghargaan kepada setiap hasil kerja siswa, seperti pemberian penghargaan terhadap siswa yang menjawab pertanyaan prasyarat dengan benar dan kelompok yang memperoleh skor tertinggi. Pemberian penghargaan ini membuat siswa menjadi senang. Hal ini dapat dilihat dari sikap siswa dan raut wajah siswa yang menunjukkan kesenangan. Pada tahap ini jelas terlihat kepuasan dari anggota kelompok atau siswa yang memperoleh penghargaan. Penghargaan yang diberikan juga diusahakan semenarik mungkin. Hal ini didukung oleh pernyataan Keller (2000) bahwa teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepuasan siswa adalah dengan cara memberikan penghargaan terhadap siswa. Motivasi Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Pada kegiatan awal pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan model pembelajaran yang akan digunakan. Selain itu guru juga memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat siswa menjadi merasa ingin tahu. Pemberian pertanyaan tersebut digunakan untuk menumbuhkan rasa penasaran dan ketertarikan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran selanjutnya. Hal ini didukung oleh pendapat Uno (2011) bahwa membuat siswa menjadi merasa ingin tahu adalah salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Permasalahan dalam pembelajaran disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah motivasi belajar siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Slavin (2011) bahwa motivasi belajar adalah salah satu bagian terpenting dalam pembelajaran yang efektif. Pada tahap penyajian materi, guru meminta siswa melakukan diskusi kelompok untuk memahami materi yang diberikan. Untuk lebih meningkatkan keaktifan siswa, guru memberikan lembar kerja kelompok siswa (LKKS). Diharapkan dengan adanya diskusi kelompok siswa dapat lebih berani bertanya dan mengungkapkan pendapatnya kepada teman sekelompok atau guru. Terlihat jelas pada saat penelitian siswa sangat antusias membahas materi yang ada pada LKKS dengan teman sekelompoknya. Apabila ada kelompok yang tidak bisa memahami soal maka mereka menanyakannya kepada guru. Hal ini membuat siswa yang awalnya pendiam menjadi lebih berani bertanya kepada teman ataupun terhadap guru. Belajar secara berkelompok berfungsi untuk memastikan apakah masing-masing anggota kelompok dapat memahami materi yang dipelajari dan mempersiapkan anggota kelompok untuk mengikuti games dan tournament. Siswa yang mengalami kesulitan akan dibantu oleh siswa yang lebih memahami materi yang sama. Keberhasilan kelompok ditentukan oleh pencapaian poin individu. Pada saat masuk tahap games dan tournament siswa nampak terlihat gembira. Games dan tournament merupakan tahap yang paling mnyenangkan buat siswa. Pada pembelajaran sebelumnya mereka tidak menemukan adanya games dan tournament pada saat pembelajaran. Adanya games dan tournament merupakan tantangan baru buat siswa. Mereka sangat antusias dalam mengikuti pelaksanaan games dan tournament. Mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk kelompok mereka. Kekalahan dan kemenangan dari games dan tournament merupakan salah satu motivasi siswa untuk melakukan yang terbaik pada pertemuan 1308
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
selanjutnya. Hal ini didukung oleh pendapat Uno (2011) bahwa belajar dengan bersaing dapat menimbulkan upaya belajar yang sungguh-sungguh. Penghargaan yang diberikan guru dalam penelitian ini berupa piagam penghargaan dan hadiah makanan ringan atau voucher belanja di koperasi baik kepada individu maupun kelompok. Penghargaan kelompok merupakan salah satu indikator penting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Dengan adanya pemberian penghargaan baik berupa verbal maupun hadiah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Pemberian penghargaan dapat meningkatkan rasa kepuasan pada diri siswa. Penghargaan yang diberikan tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi bagi siswa untuk aktif, kreatif dan bekerja keras dalam belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (2011) yang menyimpulkan bahwa belajar individu terus meningkat, jika pembelajaran diberi penghargaan kelompok. Pada individu kelompok yang menerima penghargaan terlihat sangat senang dan puas. Pencitraan siswa ditunjukkan dengan bersorak, bertepuk tangan dan berpelukan, karena hasil pembelajarannya dihargai, keberhasilan kelompoknya diakui oleh seluruh siswa dalam kelas. Hasil Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Hasil belajar siswa yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa dalam ranah kognitif, sehingga alat ukur yang digunakan adalah tes hasil belajar kognitif. Tes hasil belajar kognitif yang dibuat terdiri dari 4 soal uraian dengan skor yang sama. Adapun syarat ketuntasan minimal (KKM) adalah 70, sedangkan ketuntasan klasikal adalah 70%. Peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat dari perkembangan hasil skor tes siswa pada setiap akhir siklus. Pada tes akhir siklus I diperoleh hasil persentase siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 70 adalah sebanyak 75%, dan pada siklus II naik menjadi 78,13% siswa. Secara umum peningkatan hasil belajar kognitif siswa dari siklus I ke siklus II sangat mungkin terjadi karena dalam melakukan kegiatan pembelajaran dari satu pertemuan ke pertemuan selanjutnya baik guru maupun siswa sama-sama melakukan perubahan dan perbaikan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara terhadap siswa, diperoleh kesimpulan bahwa sintak kegembiraan yang dimunculkan dalam pembelajaran TGT membuat siswa menjadi senang dan termotivasi untuk belajar. Motivasi menjadi landasan bagi siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan sangat terbantu dalam menghadapi sesuatu. Pelaksanaan TGT membuat siswa lebih siap menghadapi tes karena siswa telah terlatih menyelesaikan permasalahan baik secara individu maupun kelompok sebelum tes dilaksanakan. Hal ini didukung oleh pendapat Park H (2012) bahwa permainan instruksional memiliki efek positif pada prestasi akademik. Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Respon siswa terhadap pembelajaran dengan tipe TGT dalam penelitian ini sangat positif. Hal ini terlihat dari hasil observasi aktivitas siswa, wawancara dan angket. Hal ini terlihat dari kriteria cukup pada observasi aktifitas guru siklus I meningkat menjadi baik pada observasi aktifitas guru siklus II. Berdasarkan hasil wawancara terhadap subjek wawancara, secara umum menyatakan senang dan tertarik terhadap pembelajaran TGT. Hasil angket motivasi belajar siswa juga terjadi peningkatan dari 75,12% menjadi 78,32%. Pada saat wawancara, siswa menyatakan bahwa pembelajaran TGT dapat memotivasi siswa untuk menjadi lebih aktif dalam diskusi serta berani menyampaikan pendapatnya tanpa rasa malu maupun takut. Siswa juga menyatakan mereka sangat senang belajar dengan tipe TGT karena adanya kerjasama, adanya games dan tournament, serta adanya penghargaan kelompok yang dapat membuat siswa merasa keberadaannya diakui oleh siswa lain. Hal ini didukung oleh pendapat Williams K & Williams C yang menyatakan bahwa suatu penghargaan dan pengakuan dapat menumbuhkan kepercayaan diri siswa. Kelemahan Penelitan Pembelajaran kooperatif tipe TGT yang dilaksanakan dalam penelitian ini telah berjalan sesuai rencana dan dikategorikan berhasil, namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kelemahan anatara lain: 1. Siklus penelitian hanya dilaksanakan sampai siklus ke II, padahal motivasi dan hasil belajar yang ditingkatkan melalui implementasi TGT ini belum dapat dikatakan stabil atau permanen. Karena pada saat siklus I, hasil observasi aktifitas guru dan motivasi siswa 1309
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berada pada kategori cukup dan pada siklus II meningkat menjadi baik. Seharusnya diadakan siklus lanjutan yang menjamin bahwa hasil observasi aktifitas guru dan siswa tetap berada pada kategori baik. 2. Keterangan waktu diadakannya diskusi antara peneliti dengan dua orang observer tidak dicantumkan. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Tahapan-tahapan pembelajaran kooperatif tipe TGT yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; a. Tahap penyajian kelas Pada tahap ini guru memberikan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang merupakan materi prasyarat untuk materi yang akan diajarkan, seperti materi fungsi, persamaan kuadrat, dan perkalian akar sekawan. Guru memberikan penghargaan verbal dan hadiah seperti pulpen kepada siswa yang bisa mengerjakan pertanyaan prasyarat dengan benar. Pada tahap ini guru tidak melakukan penjelasan tentang materi limit, guru hanya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi. Pertanyaanpertanyaan tersebut diberikan untuk menumbuhkan rasa penasaran atau rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan mereka bahas dalam diskusi kelompok. Apabila mereka penasaran maka siswa akan tertarik mengikuti proses pembelajaran selanjutnya. b. Tahap diskusi kelompok Pada tahap ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Siswa dibagi menjadi 8 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Pada saat diskusi kelompok siswa diberikan Lembar Kerja Kelompok Siswa (LKKS) yang berisi tentang materi limit yang akan dibahas. Materi dalam LKKS menuntut siswa untuk lebih bisa memahami materi limit. Siswa diarahkan untuk menemukan sendiri apa itu limit atau bagaimana menghitung limit pada suatu titik dengan berbagai pendekatan. Dengan adanya diskusi kelompok membuat siswa menjadi lebih berani untuk mengeluarkan pendapatnya dan dapat mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan games dan tournament. c. Tahap games dan tournament Pada tahap games dan tournament perwakilan setiap kelompok bersaing dalam satu meja tournament. Ada 4 meja tournament dan setiap meja terdiri dari 8 orang siswa. Pada tahap ini siswa diberikan kartu soal yang didalamnya terdapat pertanyaan. Siswa diberikan waktu selama 5 menit untuk menjawab satu pertanyaan. Siswa menuliskan jawaban pada papan jawaban yang telah disediakan. Apabila waktu pengerjaan soal sudah selesai, maka seluruh siswa wajib mengangkat papan jawabannya keatas, dan mencocokkan hasil jawaban mereka dengan jawaban yang ada pada layar LCD. Pada tahap pengecekan siswa sangat antusias karena ini adalah bagian penentuan apakah poin yang mereka dapat akan meningkat atau tidak. Setelah tahap games dan tournament selesai, peserta tournament kembali ke kelompok asalnya masing-masing untuk melakukan perhitungan total poin yang sudah mereka peroleh. d. Tahap penghargaan kelompok Pada tahap penghargaan kelompok, guru memberikan hadiah berupa piagam penghargaan dan makanan ringan atau voucher belanja di koperasi kepada 3 (tiga) kelompok yang memperoleh nilai kelompok tertinggi. Pemberian penghargaan membuat siswa merasa sangat senang, hal ini terlihat dari sikap dan raut wajah mereka ketika menerima piagam dan hadiah. 2. Respon siswa terhadap pembelajaran tipe TGT sangat positif. Siswa merasa bahwa pembelajaran matematika menggunakan tipe TGT tidak membosankan tetapi sangat menyenangkan karena adanya games dan tournament. Tahap games dan tournament adalah tahap yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa. Pada tahap ini masing-masing siswa berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik buat kelompoknya. Dari seluruh kegiatan pembelajaran tipe TGT, tahap ini merupakan tahap yang paling menyenangkan untuk seluruh siswa, karena pada tahap ini siswa dapat menjadi lebih aktif dan dapat 1310
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menyebabkan suasana kelas menjadi ramai. Suasana kelas yang menyenangkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan temuan peneliti, maka disarankan kepada para guru untuk menggunakan pembelajaran tipe TGT dalam pembelajaran matematika di kelas, dengan memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Guru dapat menggunakan tipe pembelajaran TGT sebagai inovasi dalam pembelajaran tetapi tidak menggunakan tipe pembelajaran ini secara terus menerus, karena apabila diberikan secara menerus apapun jenis model pembelajarannya akan membuat siswa merasa bosan. 2. Pada saat penentuan kelompok pemenang guru harus bisa memberikan perhatian kepada kelompok yang kalah, karena apabila kelompok yang kalah merasa tidak senang maka akan berdampak tidak baik pada pembelajaran selanjutnya. 3. Pemilihan soal pertanyaan pada saat games dan tournament sangat penting, karena apabila soalnya terlalu rumit maka akan menghambat jalannya games dan tournament. 4. Pada saat games dan tournament suasana kelas akan menjadi sangat ramai. Keramaian atau keributan ini merupakan salah satu dampak dari keaktifan siswa dalam tahap ini. Oleh karena itu guru harus bisa mengatur dan menguasai kelas agar kelas disekitarmya tidak terganggu. 5. Pada saat peneliti menjelaskan cara penggunaan alat instrumen seperti lembar observasi kepada observer sebaiknya menggunakan media pembelajaran seperti menayangkan video pembelajaran TGT. DAFTAR RUJUKAN Anriani, N., Novaliosi & Fathurrahman, M. 2008. Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Guna Meningkatkan Kemandirian Belajar Mahasiswa Statistika Matematika Program Studi Pendidikan matematika FKIP UNTIRTA. Jurnal Online. http://eprints.uny.ac.id/6940/1/P-20%20Pendidikan%28Nurul%20Anriani%29.pdf Diakses pada tanggal 9 Mei 2013, 11.57 WIB Arikunto,S. Suhardjono & Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Dailey, A. 2009. Key Motivational Factors and How Teachers Can Encourage Motivation in their Students. Jurnal Online. www.birmingham.ac.uk/.../DailySLAKeyMotivationalFactors. Diakses pada tanggal 10 Juni 2013, 08.53 WIB Elliot, S.N., Kretochwill, T.R. & Liitlefield.J Travers, J.F. 1996. Educational Psychology: Effective Teaching and Effective Learning. Dubuque: Brown & Bencmark Farkhana, N. 2010. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Siswa Sekolah Menengah Pertama Di Kecamatan Demak. Jurnal Online. http: eprints.undip.ac.id/19898/ Diakses pada tanggal 10 Mei 2013, 09.43 WIB Uno Hamzah. 2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara Keller John. 2000. How To Integrated Learner Motivation Planning Into Lesson Planning: The ARCS Model Approach. Paper presented at VII Semanario, Santiago, Cuba. http://apps.fischlerschool.nova.edu/toolbox/instructionalproducts/itde8005/weeklys/200 0-Keller-ARCSLessonPlanning.pdf Diakses pada tanggal 2 januari 2014, 16.02 WIB Park H. 2012. Relationship between Motivation and Student’s Activity on Educational Game. International Journal of Grid and Distributed Computing Vol. 5, No. 1, March, 2012 101. www.sersc.org/journals/IJGDC/vol5_no1/8.pdf Diakses pada tanggal 17 oktober 2014, 01.00 WIB Saryantono, B. 2013. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (Tgt) Dalam Pembelajaran Matematika. Junal online http://lenterastkippgribl..com/2013/02/pengaruh-pembelajaran-kooperatif-tipe.html Diakses pada tanggal 9 Juni 2013, 06.15 WIB Slavin. 2000. Educational Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon Slavin. 2011. Cooperatif Learning Teori Riset dan Praktik. Terjemahan Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media Williams Kaylene & Williams Caroline (tanpa tahun). Five Key Ingredients For Improving Student Motivation. Research in Higher Education Journal. California State University, 1311
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Stanislaus www.aabri.com/manuscripts/11834.pdf Diakses pada tanggal 17 oktober 2014, 01.05 WIB
PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW) BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI LOGIKA MATEMATIKA Nor Izatil Kamilah, Purwanto, dan Edy Bambang Irawan Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Kecakapan seorang guru dalam memyampaikan materi yang dapat menunjang tujuan pembelajaran agar penyampaian materi pembelajaran dapat diterima oleh siswa dengan baik yang menunjukkan keprofesionalan guru yang bersangkutan. Lesson Study merupakan salah satu bentuk pembinaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Penggunaan model pembelajaran juga merupakan strategi untuk menunjang keberhasilan dalam pembelajaran. Dalam hal ini strategi yang dipilih adalah strategi pembelajaran Think Talk Write (TTW). Pembelajaran dengan menerapkan TTW mampu memberikan keleluasaan bagi siswa untuk mengemukakan jawaban dan lebih bersifat merangsang daya nalar siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan pembelajaran TTW yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi logika matematika kelas XA SMAN 2 Kotabaru Kalimantan Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitiannya adalah penelitian tindakan kelas. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan penggambaran kondisi kelas yang terjadi secara alami. Hasil penelitian memperlihatkan 97,14% dari 35 siswa tuntas dari KKM yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran TTW dapat meningkatkan pemahaman siswa dan dapat digunakan sebagai alternatif strategi pembelajaran. Kata kunci: Lesson Study, Model Think Talk Write, pemahaman siswa
Pendidikan memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa di berbagai kehidupan. Melalui pendidikan diharapkan mampu membentuk sumber daya manusia yang terampil, kreatif dan inovatif. Untuk membentuk sumber daya manusia sesuai dengan perkembangan jaman diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan menekankan pada proses belajar yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri manusia baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pendidikan formal yang dilakukan di sekolah-sekolah sampai sekarang tetap merupakan lembaga pendidikan utama yang merupakan pusat pengembangan sumber daya manusia dengan didukung oleh pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Metode ceramah yang dilakukan oleh guru selama ini dalam pembelajaran berakibat siswa menjadi pasif karena siswa kurang diberi kebebasan untuk mengemukakan ide-ide dan pendapat yang dimilikinya. Pembelajaran yang demikian membuat kermampuan siswa untuk memahami konsep matematika selalu bergantung dengan pernjelasan dari gurunya. Jarang sekali guru mengelompokkan siswa dalam kelompok belajar, sehingga tidak terjadi interaksi antara siswa dengan siswa, ataupun siswa dengan guru untuk mengemukakan ide-ide atau pendapat yang dimilikinya. Berdasarkan permasalahan di atas sebaiknya guru memilih suatu metode yang mengharuskan siswa bekerja dalam suatu kelompok untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Ada beberapa tipe dari metode pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah Think Talk Write (TTW). Think Talk Write (TTW) pertama kali diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin (1996) ini didasarkan pada pemahaman dimana belajar adalah metode kooperatif sebuah prilaku sosial. Pembelajaran TTW mendorong siswa untuk berpikir, berbicara, kemudian menuliskan suatu
1312
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
topik tertentu (Huda, 2013). Metode pembelajaran Think Talk Write (TTW) ini sudah pernah diteliti oleh Ansari (2003) yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran TTW dapat meningkatkan pemahaman konsep, komunikasi matematika siswa, dan hasil belajar siswa. Kusumawati (2010) Fahrudin (2011), Sugandi (2011), Zulkarnaini (2011), Sunyoto dkk (2011) semuanya menyebutkan bahwa pembelajaran TTW dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika dan penalaran siswa terhadap matematika. Pembelajaran TTW ini nantinya akan dikaitkan dengan pembelajaran yang berbasis Lesson Study. Lesson Study mulai dikenal di Jepang pada tahun 1900-an, sebuah metode analisis kasus pada proses pembelajaran, ditujukan untuk pengembangan profesional para guru dan membuka kesempatan bagi guru untuk saling belajar berdasarkan praktik-praktik nyata di tingkat kelas (Rusman, 2010:287). Menurut Sukirman (2006:4) Lesson Study merupakan kerja kolektif sekelompok guru, bisa dengan mahasiswa dan dosen. Pembuatan rencana pembelajaran (planning) dapat dikerjakan secara bersama-sama, diimplementasikan dengan menunjuk salah satu anggota sebagai guru model, guru lain dan pakar bertindak sebagai observer, kemudian dari hasil observasi tersebut dianalisis (melalui tahapan reflecting) secara bersama-sama. Freidkin (2005) mendefinisikan Lesson Study sebagai proses yang melibatkan guru-guru yang bekerjasama dalam merencanakan, mengobservasi, menganalisis dan memperbaiki pembelajarannya. Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi guru melalui kegiatan pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community (Rusman, 2010:384). Menurut Sriyati (2005), Lesson Study merupakan pembelajaran secara nyata (riil) di dalam kelas dengan siswa yang diamati guru-guru lain sebagai observer dan dilakukan kegiatan refleksi setelah proses pembelajaran selesai. Sedangkan Mulyana (2007) merumuskan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan. Jadi, kegiatan Lesson Study merupakan salah satu usaha untuk mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi guru dalam pembelajaran, baik dalam merancang juga dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut Cerbin dan Kopp (2005), Lesson Study memiliki empat tujuan utama yaitu untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar, memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya diluar peserta Lesson Study, meningkatkan pembelajaran secara kolaboratif, dan membangun pengetahuan pedagogis dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Menurutnya lagi Lesson Study melewati 6 tahapan yaitu: 1. Form A Team, yaitu pembentukan tim pelaksana Lesson Study yang terdiri dari guru-guru dan pihak-pihak yang berkompeten dan memiliki kepentingan. 2. Develop Student Learning Goals, yaitu kegiatan yang mendiskusikan tujuan pembelajaran yang dicanangkan untuk siswa sebagai hasil akhir dari Lesson Study. 3. Plan the Research Lesson, yaitu kegiatan guru-guru dalam merencanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mengantisipasi kemungkinankemungkinan respon siswa. 4. Gather Evidence of Student Learning, yaitu kegiatan pelaksanaan pembelajaran dengan menunjuk satu orang sebagai model dan yang lainnya menjadi pengamat untuk mengumpulkan bukti dari siswa. 5. Analyze Evidence of Learning, yaitu kegiatan tim untuk mendiskusikan hasil kegiatan pembelajaran dan menilai kemajuan siswa. 6. Repeat the Process, yaitu diawali dengan kegiatan revisi pembelajaran oleh tim dan mengulang kegiatan ke-2 sampai dengan kegiatan ke-5 di atas dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.
1313
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1. Siklus Lesson Study (Santyasa, 2009)
Menurut Santyasa (2009) dalam pelaksanaannya, Lesson Study terbagi tiga tahapan kegiatan, yaitu: (1) Perencanaan (Plan) yang bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa. Kegiatan Lesson Study berpusat pada siswa sehingga perencanaan terkait dengan bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan guru-guru, pihak-pihak terkait (kepala sekolah, pengawas, pakar pendidikan, dan dosen) untuk memperkaya ideide. Sama seperti dalam penelitian tindakan kelas (PTK) kegiatan perencanaan berangkat dari permasalahan yang dihadapi siswa dalam pembelajaran, yang dapat berupa materi pembelajaran,penjelasan suatu konsep, metode pembelajaran, mensiasati permasalahan media dan fasilitas pembelajaran. Selanjutnya hasil diskusi tim dituangkan dalam rancangan pembelajaran (RPP), materi pembelajaran media, lembar kerja siswa (LKS) dan alat evaluasi. (2) Implementasi (Do) untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Dalam perencanaan telah disepakati siapa yang akan menjadi guru model dan sekolah mana yang akan menjadi tuan rumah. Langkah ini bertujuan untuk mengujicoba efektifitas model pembelajaran yang telah dirancang. Tugas guru lain dalam tim adalah sebagai pengamat (observer) pembelajaran. Dalam pengamatan jiga biasa menggunakan dosen dan kepala sekolah yang nantinya akan bertugas sebagai pemandu kegiatan. Biasanya sebelum pelajaran dimulai dilakukan broefing kepada pengamat untuk menginformasikan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan mengingatkan etika selama pembelajaran bagi seorang pengamat. Setiap pengamat harus membekali diri dengan lembar observasi yang biasanya telah dipersiapkan sebelumnya supaya ada kesamaan aspek yang diamati. Fokus pengamatan selama kegiatan berlangsung ditujukan pada interaksi siswa-siswa, siswa dengan bahan pelajaran, siswa dengan guru, dan siswa dengan lingkungannya. (3) Merefleksi (See) etelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara guru dan pengamat. Guru mengawali diskusi dengan menyampaikan komentar dari pembelajaran yang telah dilaksanakan terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Tentunya, kritik dan saran untuk guru disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajaran. Sebaiknya guru harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali perencanaan pembelajaran berikutnya. Kegiatan Lesson Study ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil dan perbaikan proses pembelajaran. Menurut Lewis (2006) bahwa peluang yang diperoleh oleh guru apabila dia melaksanakan Lesson Study secara berkesinambungan sangat erat kaitannya dengan pengembangan profesionalisme guru, yaitu (1) memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran, materi pokok dan bidang studi, (2) mengkaji dan mengembangkan pembelajaran yang terbaik yang dapat dikembangkan, (3) memperdalam pengetahuan mangenai materi pokok
1314
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang diajarkan, (4) memikirkan secara mendalam tujuan jangka panjang yang akan dicapai yang berkaitan dengan siswa, (5) merancang pembelajaran secara kolaboratif, (6) mengkaji secara cermat dan proses belajar serta tingkah laku siswa, (7) mengembangkan pengetahuan pedagogis yang kuat penuh daya, dan (8) melihat hasil pembelajaran sendiri melalui siswa dan kolega. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian PTK (penelitian tindakan kelas) dengan menerapkan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) berbasis Lesson Study di SMAN 2 Kotabaru. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus untuk melihat keterterapan model pembelajaran Think Talk Write (TTW) terhadap materi logika matematika sub pokok bahasan konjungsi dan disjungsi pada siklus 1 dan materi implikasi dan biimplikasi pada siklus 2. Subjek yang dijadikan pada penelitian ini adalah semua siswa kelas XA SMAN 2 Kotabaru yang terdiri dari 35 siswa. Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahapan atau prosedur sebagai berikut: tahap plan, yaitu membuat lesson plan (membuat RPP dan LKS, menentukan model pembelajaran yang akan dilaksanakan dan menentukan materi yang akan dipergunakan untuk praktik); tahap do, yaitu seorang guru menjadi model dalam pembelajaran dan guru yang lain sebagai observer yang akan mengamati semua aktivitas guru dan siswa; tahap see, yaitu guru model dan guru yang menjadi observer melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan. Untuk memantau aktifitas belajar siswa selama kegiatan Lesson Study digunakan lembar observasi. Kegiatan selama pembelajaran diobservasi oleh guru lain yang tergabung dalam tim Lesson Study. Hal-hal yang perlu dicatat dalam lembar observasi berupa aktivitas guru, aktivitas siswa secara detail ketika pembelajaran berlangsung dimulai dari kegiatan awal pembelajaran, kegiatan inti sampai kegiatan penutupan pembelajaran. Dalam lembar observasi juga disediakan kolom untuk masukan dan saran dari observer. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Lesson Study di SMAN 2 Kotabaru seperti biasanya meliputi tahap plan (perencanaan), do (pelaksanaan), dan see (refleksi). Siklus 1 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 17 April 2014, dan siklus 2 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 24 April 2014. Pelaksanaan Lesson Study di SMAN 2 Kotabaru selain dihadiri guru sebagai observer juga dihadiri oleh seorang pengawas bidang akademik matematika dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kotabaru, yang mana hal ini dapat menjadi motivasi dan semangat para guru, baik guru model maupun guru lain yang menjadi observer. Tahap-tahap yang dilaksanakan pada saat pembelajaran yang berbasis Lesson Study sebagai berikut: Plan (Perencanaan) Siklus 1 dan 2 Pada tahap plan siklus 1 dan 2 para guru secara kolaboratif melakukan pengkajian terhadap kurikulum KTSP, Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD), indikator dan tujuan dari pembelajaran yang akan dilaksanakan. Selanjutnya masing-masing guru model menentukan metode dan media pembelajaran yang akan digunakan. Hasil dari kegiatan plan-nya berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Dan Lembar Kerja Siswa (LKS), satu model format pembelajaran, dan kesepakatan jadwal pelaksanaan pembelajaran dan refleksi. Pada tahap ini para guru masing-masing menetapkan model pembelajaran yang akan dipergunakan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Dalam hal ini model yang dipergunakan adalah model Think Talk Write (TTW). Do (Pelaksanaan) Pelaksanaan Do dan See pada siklus 1 terdiri dari 1 orang guru model dan 2 orang observer. Pada siklus 2 ada tambahan observer dari guru pamong dan pengawas bidang akademik matematika dari Dinas Pendidikan Kotabaru. 1. Kegiatan Awal Pembelajaran Kegiatan awal pembelajaran dimulai dengan guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam dan memeriksa daftar hadir siswa. Selanjutnya guru model memotivasi siswa dengan memberikan apersepsi materi sebelumnya yaiu tentang kalimat pernyataan dan negasi dari pernyataan. Guru memberitahukan tujuan pembelajaran yang akan 1315
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilaksanakan dan menjelaskan model TTW dan tahapan masing-masing yang akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya guru membagi siswa dalam kelompok kecil dengan tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. 2. Kegiatan Inti Dalam kegiatan inti pada saat tahap Think siswa diberi permasalahan yang harus dipikirkan oleh siswa secara individu selama 15 menit. Dalam tahap ini siswa belum masuk ke dalam kelompok kecilnya. Permasalahan yang diberikan pada siklus 1 adalah materi logika matematika pokok bahasan konjungsi, disjungsi dan negasinya, sedangkan pada siklus 2 pokok bahasan implikasi, biimplikasi dan negasinya. Semua permasalahan harus diselesaikan oleh siswa secara individu. Kemudian setelah selesai tahap Think dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu Talk. Pada tahap Talk ini semua siswa masuk kedalam kelompoknya masing-masing yang telah ditentukan. Tahap Talk ini siswa berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada pada LKS. LKS yang diberikan kepada siswa semuanya ada kaitannya dengan tahap pertama yaitu tahap Think. Permasalahan yang ada pada LKS harus diselesaikan oleh siswa dalam waktu 30 menit, dan menuliskan hasilnya ke karton untuk dipresentasikan di depan kelas. Siswa yang presentasi ke depan dipilih secara acak. Siswa perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok lain dipersilakan untuk bertanya atau menanggapi hasil kerja kelompok yang presentasi. Selanjutnya tahap yang terakhir yaitu tahap Write. Pada tahap Write ini semua siswa menuliskan hasil diskusi kelompoknya masing-masing secara individu yang kemudian dikumpulkan. Hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel. 1. Hasil Belajar Siswa Siklus I Siklus II Kriteria Tes Akhir Tes Akhir Kuis I Kuis II Kuis I Kuis II Siklus Siklus Siswa yang hadir 35 35 35 35 33 35 Siswa yang tidak hadir 0 0 0 0 2 0 Siswa yang tuntas 34 34 35 34 33 35 Siswa yang tidak tuntas 1 1 0 1 0 0 % ketuntasan siswa 97,14% 97,14% 100% 97,14% 100% 100%
Pada tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan Think Talk Write (TTW) dikatakan berhasil meningkatkan pemahaman siswa. Pembelajaran pada siklus I dan II pada saat pelaksanaan tes akhir siklus menyatakan 100% siswa berhasil dan tuntas dari KKM yang ditetapkan 70. 3. Kegiatan Akhir/Penutup Kegiatan akhir diawali dengan meminta siswa untuk menyimpulkan kembali hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan, kemudian guru memberikan penguatan konsep untuk menyempurnakan kesimpulan yang telah diungkapkan oleh siswa. Selanjutnya guru memberi PR dan memotivasi siswa agar belajar di rumah terlebih dahulu untuk materi selanjutnya dan memberikan pesan-pesan yang mendidik, kemudian ditutup dengan salam. See (Refleksi) Refleksi dilaksanakan setelah proses pembelajaran siklus 1 selesai dilaksanakan. Tahap refleksi adalah tahap dimana guru model melaporkan kegiatan pembelajaran yang baru berlangsung apakah kegiatan pembelajaran tersebut sudah sesuai dengan paln yang telah dibuat atau tidak, serta perasaan yang dialaminya selama mengajar. Pada refleksi juga disampaikan hasil pengamatan para observer selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Berdasarkan hasil observasi dari beberapa observer, pelaksanaan Lesson Study di SMAN 2 Kotabaru berjalan lancar. Pelaksanaan Lesson Study di sekolah ini berjalan sesuai dengan plan yang sebelumnya sudah dibuat para guru model dalam tim Lesson Study. Pada siklus 1 secara keseluruhan siswa telah aktif dalam mengikuti pembelajaran dan interaksi antara guru dan siswa sudah baik. Kerjasama antar kelompok sudah bagus dan tidak ada siswa yang individualis,semuanya aktif berdiskusi dalam kelompoknya dan aktif pertanyaan kelompok lain pada saat presentasi kelompok.
1316
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Adapun hasil temuan para observer dalam kegiatan Lesson Study adalah sebagai berikut: 1. Guru terlihat agak sedikit grogi dan belum mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan jelas, serta di akhir presentasi guru tidak menyimpulkan presentasi siswa tersebut. 2. Kerjasama antar kelompok cukup bagus dan siswa aktif menjawab pertanyaan dari kelompok lain. Usaha guru untuk membuat siswanya aktif yaitu dengan mendatangi masing-masing kelompok dan memberikan kesempatan tiap siswa untuk bertanya. 3. Sebagian siswa ada yang sibuk dengan tugas kelompoknya sehingga tidak konsentrasi saat pengerjaaan tugas. Pada pelaksanaan siklus 2 secara keseluruhan kegiatan pembelajaran sudah lebih baik dan berhasil daripada siklus 1. Secara keseluruhan siswa sudah paham akan materi yang disampaikan dalam tugas kelompoknya masing-masing. Pada saat tahap Think siswa sudah bisa memaksimalkan waktu yang diberikan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Demikian juga pada tahap Talk dan Write, semuanya berjalan lancar dari penyelesaian masalah dalam kelompok, presentasi dan menuliskan hasil diskusi kelompoknya di atas karton juga baik. Sampai diakhir kegiatan inti yaitu menuliskan kesimpulan dari hasil diskusi secara individu juga berjalan lancar.adapun hasil temuan para observer dalam kegiatan Lesson Study pada siklus 2 antara lain: 1. Guru sangat baik dalam menghidupkan suasana dan aktivitas siswa di kelas. 2. Guru tidak menuliskan judul dari materi yang akan dipelajari. 3. Tujuan pembelajaran harus disampaikan dengan jelas dan diulang-ulang dalam proses pembelajaran. 4. Guru sebaiknya memperhatikan waktu yang telah direncanakan dan selalu menyampaikan target waktu terhadap siswa agar siswa bekerja secara efektif. 5. Observer sebaiknya lebih fokus kepada aktivitas siswa dan guru jangan asyik sendiri. Hasil pembelajaran pada siklus 2 lebih baik karena pemahaman siswa akan konsep dari implikasi dan biimplikasi mereka kuasai dengan baik. Pembelajaran dengan model TTW dapat dikatakan berhasil dan bisa dijadikan alternatif model pembelajaran untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran. Kelebihan Lesson Study Kelebihan yang didapati selama pelaksanaan Lesson Study yaitu; 1. Terjadinya kolaborasi antara guru model dengan guru observer dalam mensukseskan Lesson Study. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masukan-masukan dari tim Lesson Study dalam menyusun perencanaan pembelajaran sehingga munculnya ide-ide yang inovatif dalam proses pembelajaran dan pengelolaan kelas. 2. Pelaksanaan pembelajaran lebih aktif dengan adanya keberanian siswa dalam merespon setiap pertanyaan baik di dalam diskusi maupun pada saat presentasi. Terjadinya komunikasi yang baik antara siswa. Siswa mendapatkan perhatian dari guru ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan baik secara individu maupun kelompok. Siswa sangat antusias dalam belajar karena penerapan model pembelajaran yang berbeda dan menyenangkan. 3. Banyaknya pembelajaran yang dapat diambil oleh semua observer, dan dapat mereka terapkan dalam pembelajran dan juga mereka dapat memberikan masukan-masukan dalam penyusunan perencanaan pembelajaran. 4. Hasil pembelajaran baik karena meningkatnya pemahaman siswa pada materi yang telah disampaikan. Penerapan model pembelajaran TTW berbasis Lesson Study dinyatakan berhasil. Kekurangan Lesson Study Kekurangan Lesson Study yang didapati pada saat pelaksanaan Lesson Study yaitu: 1. Banyak menyita waktu ketika observer melakukan pengamatan, karena observer adalah guru juga. 2. Siswa banyak yang merasa waktu mereka dibatasi karena harus sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan.
1317
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kegiatan Lesson Study di SMAN 2 Kotabaru berjalan dengan lancar. 2. Pola pembelajaran guru sudah baik sehingga sebagian besar siswa telah aktif mengikuti pembelajaran. 3. Hasil observasi yang intensif kepada siswa dapat mengukur kadar pemahaman siswa dalam memahami materi yang diberikan. 4. Tahap refleksi sangat membantu guru memperbaiki cara mengajar dan memilih metode pembelajaran yang tepat dalam memahami suatu materi pelajaran. 5. Lesson Study mengubah siswa pasif menjadi aktif dan kreatif dalam pembelajaran. 6. Meningkatnya hasil belajar, suasana kelas yang aktif terjadinya sharing informasi dengan adanya kolaborasi antar guru dan observer sehingga Lesson Study dapat dilaksanakan atau diterapkan pada materi lain atau bidang studi yang lain. SARAN 1. Sebaiknya masing-masing observer mempunyai RPP dan LKS sehingga dapat memantau jalannya pembelajaran secara maksimal. 2. Dalam Lesson Study seharusnya lebih fokus pengamatan kepada siswa, agar dapat dilihat dan diketahui perbedaannya antara yang memakai model pembelajaran dengan yang konvensional. 3. Sebaiknya siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran, misalnya siswa diajak untk mengoreksi jawaban temannya sendiri dan jawaban yang salah diperbaiki oleh siswa senidiri. DAFTAR PUSTAKA Anggara, Rian & Chotimah, Umi. 2012. Penerapan Lesson Study Berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Terhadap Peningkatan Kompetensi Profesional Guru PKn SMP Se-Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Forum Sosial, Vol. 1, No. 2 September 2012. Cerbin, B. & Kopp, B. A Brief Introduction to College Lesson Study Project. Online: http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm. diakses tanggal 6 April 2014 Cheng, Lu Pien & Yee, Lee Peng. 2012. A Singapore Case of Lesson Study. The Mathematics Educator. 2011/2012 Vol. 1 No. 2 . Page 34-57 Dwikoranto. 2009. Meningkatkan Profesionalisme Guru Mipa Melalui Implementasi Lesson Study Berbasis MGMP Di Kota Surabaya. Seminar nasional pembelajaran matematika sekolah, 6 desember 2009. Lewis, C., Perry, R., Hurd, J., & O’Connel, M. P. 2006. Teacher Collaboration: Lesson Study comes of age in North America. Tersedia pada http://www.Lessonresearch.net/LS_06Kappan.pdf diakses pada tanggal 6 April 2014. Fahrudin, 2011. Penggunaan think talk write dengan menyertakan hand out untuk membantu pemahaman siswa pada materi persamaan garis lurus di kelas VIIIC MTsN Kepanjen. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM Friedkin, Shelly. 2005. Overview of Lesson Study. Online http://www.lessonresearch.net Diakses pada tanggal 6 April 2014. Huda, Miftahul. 2013. Model –model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Kusumawati, Laila, Nur. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Think Talk Write Dengan Menggunakan Lembar Kerja Siswa Untuk Meningkatkan Pemahaman Matematika Pada Bangun Datar Lingkaran Bagi Siswa Kelas Viii Semester II Di Smp Negeri 1 Sawit. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta Mulyana, Slamet. 2007. Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP- Jawa Barat http://eduarticles.com/menuju-guru-yang-profesional-melalui-lesson-studi diakses pada tanggal 6 April 2014 Murtiani., Fauzan, Ahmad.,Wulan, Ratna. 2012. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching And Learning Berbasis Lesson Study Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Fisika Di SMP Negeri Kota Padang. Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika 1 Februari 2012 hal 1-21
1318
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Bandung: Raja Grafindo Persada Santyasa, I Wayan. 2009. Implementasi Lesson Study Dalam Pembelajaran. Universitas Pendidikan Ganesha. Disajikan Dalam Seminar Implementasi Lesson Study Dalam Pembelajaran Bagi Guru-Guru TK, SD, Dan SMP Di Kecamatan Nusa Penida, tanggal 24 Januari 2009, di Nusa Penida Subanji & Isnandar. 2010. Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teacher Quality Improvement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP, Tahun 1, Nomor 1, November 2010 Sugandi, Asep Ikin. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write Terhadap Kemampuan Komunikasi Dan Penalaran Matematis. (Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY pada tanggal 3 Desember 2011) Sujana, I Made. & Narasintawati, Sri. (2010). Lesson Study Sebagai Alternatif Peningkatan Kompetensi Calon Guru di LPTK. Online. http://www.imadesujana.com/index.php?option=com_content&view=article&i d=64:lesson-study&catid=36:tefl&Itemid=56 Sukirman. 2006. Peningkatan Keprofesionalan Guru Melalui Lesson Study. Makalah Disajikan Dalam Pelatihan Lesson Study Bagi Guru Berprestasi Dan MGMP MIPA SMP Seluruh Indonesia, Yogyakarta, 26 November-10 Desember 2006 Sulistyaningrum, Ervina Maret. 2011. Peningkatan Hasil Belajar Mahasiswa Matematika Melalui Lesson Study Pada Pembelajaran Berbasis IT dengan Menggunakan MINITAB. Jurnal Pendidikan MIPA, Vol.3 No. 2 September 2011. Sunyoto & Fitriatien. 2011. Penerapan Stategi TTW Untuk Meningkatkan Komunikasi Matematika Dan Penalaran Siswa Pada Materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel Kelas X TITL SMKN 2 Bangkalan. Seminar Nasional Pendidikan Matematika (Surabaya, 09 Juli 2011) Suprapto, Edi. 2013. Impelementasi Pendidikan Karakter berbasis Lesson Study pada mata kuliah vektor. JEMS (Jurnal Edukasi Matematika dan Sains). Vol 1 No. 1 Maret 2013 Tim Revisi UM. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (edisi kelima). Malang : Universitas Negeri Malang. Wahyuni, Sri. 2013. Optimalisasi Pembelajaran Melalui Pelaksanaan Lesson Study. Jurnal Pendidikan Almuslim, Vol. 1 No. 1. Agustus 2013 Widarti, Hayuni Retno. 2012. Study tentang Pelaksanaan Lesson Study di SMA Brawijaya Smart School Malang Semester Genap 2010-2011. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012. Surabaya 25 Februari 2012 W. S. Rustono. 2008. Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar. No. 10 Oktober 2008 Zulkarnaini. 2011. Model Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) Untuk Meningkatkan Menulis Karangan Deskripsi Dan Berpikir Kritis. (Edisi Khusus No.2 Agustus 2011)
PENGGUNAAN IKLAN HARGA JUAL DALAM PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMA NEGERI 7 BANJARMASIN Samitun, Gatot Muhsetyo, dan I Made Sulandra Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan iklan daftar harga jual dalam pembelajaran Think Pair Share untuk meningkatkan hasil belajar matematika. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA SMA Negeri 7 Banjarmasin. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret dan April 2014.Tindakan pembelajaran yang dilakukan adalah (a) kegiatan awal, (b) kegiatan
1319
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
inti yang terdiri dari tiga tahap pembelajaran Think Pair Share (TPS) yaitu (1) Think, siswa berpikir secara individu dalam mengerjakan LKS dengan bantuan media iklan harga jual (2) Pair, mendiskusikan jawaban LKS masing-masing dengan pasangan (3) Share, mempresentasikan jawaban LKS di depan kelas, (c) kegiatan penutup, guru mengarahkan siswa membuat kesimpulan dan melaksanakan evaluasi.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada siklus I (1) aktivitas guru dan siswa berada pada kategori sangat baik (2) hasil belajar menunjukkan 73,5 % siswa mencapai nilai lebih dari atau sama dengan 80. Pada siklus II (1) aktivitas guru dan siswa berada pada kategori sangat baik, (2) hasil belajar menunjukkan 88 % siswa mencapai nilai lebih dari atau sama dengan 80. Terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 14,5 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan iklan harga jual dalam pembelajaran Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 7 Banjarmasin pada materi matriks. Kata kunci: iklan harga jual, PTK, pembelajaran Think Pair Share (TPS), matriks, hasil belajar
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru di SMA Negeri 7 Banjarmasin selama 8 tahun dari tahun 2005 sampai tahun 2013, ternyata siswa mengalami kesulitan dalam perkalian matriks yaitu perkalian matriks dengan matriks, yang seharusnya perkalian baris dengan kolom, tetapi siswa cenderung melakukan perkalian baris pada kolom yang tidak sesuai atau siswa melakukan perkalian matriks seperti pada operasi penjumlahan dan pengurangan matriks, terlihat pada hasil tes pada gambar berikut:
Gambar 1
Gambar 2
Perkalian matriks seperti di atas ini salah, tidak sesuai dengan definisi perkalian matriks. Jika kesalahan ini terus berlanjut maka akan menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika karena matriks adalah salah satu pokok bahasan yang diajar kan dan soal tentang matriks ada di soal ujian nasional. Berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru dan hasil diskusi dengan guru di SMA Negeri 7, ada siswa yang cepat dalam belajar disebabkan karena kecerdasannya sehingga dengan cepat dan mudah menyelesaikan tugas-tugas belajar dan meraih nilai tinggi pada setiap tes. Ada juga siswa yang lambat dalam belajar dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyerap materi maupun tugas –tugas belajarnya. Untuk menghadapi situasi ini, guru sebagai pendidik perlu bantuan media atau alat peraga untuk memudahkan menyampaikan materi matematika. Menurut Ruseffendi(1988:2), semua benda yang digunakan sebagai alat bantu untuk menerangkan suatu konsep matematika atau mengubah konsep matematika yang bersifat abstrak menjadi konkret di sebut alat peraga matematika. Alat peraga matematika dapat berupa apa saja yang ada dalam kehidupan sehari-hari, berwujud benda-benda yang dapat diraba, dipegang, dipindahkan, dipasangkan dan dimanfaatkan untuk membantu pemahaman siswa tentang konsep matematika. Wujud benda dapat berupa batu cetakan paving untuk mengajarkan materi barisan dan deret dan nota belanja untuk mengajarkan materi sistem persamaan linear. Penelitian ini memilih iklan daftar harga jual sebagai media pembelajaran. Iklan promosi daftar harga jual memenuhi kriteria media, karena iklan daftar harga jual dapat digunakan untuk membantu siswa memahami materi matriks. Pada penelitian ini selain menggunakan media iklan harga jual dalam pembelajaran matriks, peneliti juga menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), karena metode ini memberi kesempatan siswa untuk membangun pikirannya sendiri dan bekerja 1320
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sama saling membantu dalam menyelesaikan masalah serta mendorong partisipasi mereka di dalam kelas. Sehingga dengan Think Pair Share (TPS) ini diharapkan siswa lebih tertantang untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Penelitian tentang kesulitan materi matriks sudah banyak dilakukan. Menurut Surmilasari (2012), siswa mengalami kesulitan pada materi perkalian dua matriks dan setelah diberikan LKS berbasis konstruktivisme maka hasil belajar perkalian dua matriks menjadi lebih baik. Sedangkan Arifin (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dengan menerapkan model kooperatif STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada materi matriks. Menurut Yunas dkk (2013) , rendahnya hasil belajar siswa disebabkan kurangnya partisipasi dalam kegiatan pembelajaran matematika sehingga perlu adanya fasilitas penunjang pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika pada materi matriks dan dengan pembelajaran Microsoft math dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi matriks. Mufidah dkk (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pokok bahasan matriks. Sedangkan Handoyo dkk (2006) mengatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode Think Pair share (TPS) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian Kothiyal dkk (2013) mengatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan metode Think Pair share (TPS) pada prestasi siswa dalam matematika. Menurut adebola dan Sunday (2013), hasil penelitiannya merekomendasikan strategi pembelajaran Think Pair share (TPS) digunakan oleh guru matematika dalam pembelajaran. Sedangkan menurut Kathleen (2013), metode Think Pair Share (TPS) sama efektifnya dengan metode yang lain. Menurut Ferrer dalam penelitiannya mengatakan penggunaan kombinasi Think Pair Share (TPS), Corners dan Graffiti menunjukkan bahwa struktur pembelajaran kooperatif mendukung kinerja siswa pada tingkat pendidikan tinggi (orang-orang yang memerlukan penggunaan proses sains yang terintegrasi dan kemampuan memecahkan masalah). Menurut Ofodu dkk (2011)mengatakan bahwa Metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) sangat penting untuk guru bahasa Inggris, pelatih guru, perencana kurikulum, penulis buku, penerbit , dan pemerintah. Oleh karena itu, dianjurkan pengajaran yang harus menggunakan instruksi kooperatif Think Pair Share (TPS) dalam mengajar memahami bacaan dalam rangka meningkatkan kinerja peserta didik terutama dengan prestasi rendah dan rata-rata. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin meneliti tentang Penggunaan iklan harga jual dalam pembelajaran Think Pair Share untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 7 Banjarmasin. METODE Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian yaitu siswa kelas XII IPA 4 SMA Negeri 7 Banjarmasin sebanyak 34 orang, seorang guru model dan 2 orang observer. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 7 Banjarmasin pada bulan maret-april 2014 sebanyak 2 siklus, dan 2 kali tindakan per siklusnya. Data penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) diperoleh dari observasi aktivitas guru dan aktivitas siswa, data hasil belajar siswa diperoleh melalui tes hasil belajar pada setiap akhir siklus. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian dilakukan berdasarkan aspek-aspek yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Aspek-aspek yang dimaksud adalah pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan media iklan harga jual, dan peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran TPS. Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan Media Iklan Harga Jual Pembelajaran Think Pair Share (TPS ) dengan media iklan harga jual perumahan dan iklan harga jual komputer di kelas XII IPA pada materi matriks berjalan dengan baik dan berhasil. Berdasarkan paparan data penelitian dapat dinyatakan bahwa keterlaksanaan aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran matriks dengan media iklan harga jual mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Keterlaksanaan aktivitas guru dalam pembelajaran meningkat dari 91,5 % pada siklus I menjadi 92,75% pada siklus II. Dan aktivitas siswa dalam 1321
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran juga meningkat dari 90,75 % pada siklus I menjadi 93% pada siklus II. Dalam kegiatan pembelajaran Think Pair Share (TPS ), peran guru hanya sebagai fasilitator dan siswa yang berperan aktif dalam menemukan konsep dengan LKS dan bantuan media iklan harga jual perumahan dan iklan harga jual komputer. Pada tahap Think, siswa mengerjakan LKS secara individu dan menuangkan hasil pikirannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Pada kenyataan di kelas, ada siswa yang meminta bantuan temannya. Guru mengingatkan kembali bahwa dalam mengerjakan LKS, dikerjakan secara individu terlebih dahulu. Guru berperan sebagai fasilitator, sejalan dengan pendapat Tahmir (2007), pembelajaran lebih banyak berpusat kepada siswa. Sebagai fasilitator, guru berkeliling kelas memperhatikan jalannya tahap Think dan memberi bantuan kepada siswa yang merasa kesulitan mengerjakan LKS dengan media iklan harga jual dengan scaffolding. Pada tahap Pair, siswa berdiskusi berdua dengan pasangannya. Dimana pasangannya ini adalah teman satu bangku. Hal ini dimaksudkan agar diskusi berjalan lebih baik, karena sudah akrab dan sudah tahu karakter masing-masing. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (Rusman, 2010) bahwa dengan berkelompok dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain. Saling memaparkan jawaban dengan pasangan, dan membantu teman yang belum paham dalam mengerjakan LKS matriks berbantuan media iklan harga jual. Dengan iklan harga jual perumahan dan iklan harga jual komputer, siswa berdiskusi tentang materi matriks. Ada siswa yang pasif dalam berdiskusi, malu-malu untuk berbicara dengan teman kelompok atau hanya mendengarkan temannya menjelaskan tanpa berkomentar atau memberi tanggapan balik. Guru mendekati siswa tersebut dan mengarahkan agar mau berdiskusi dengan pasangannya. Pada tahap Share, kelompok yang terpilih maju ke depan kelas mempresentasikan jawaban LKS hasil diskusi kelompok. Guru meminta tanggapan kelompok lain tentang jawaban kelompok yang sedang presentasi. Pada saat jawaban kelompok lain sama dengan jawaban kelompok yang sedang presentasi, diskusi tidak berjalan dengan baik. Tapi pada saat jawaban berbeda, maka diskusi berjalan baik. Ada interaksi dalam kelas, saling mengemukakan pendapat kelompok masing-masing. Kegiatan pembelajaran dengan media iklan harga jual perumahan dan iklan harga jual komputer membantu meningkatkan hasil belajar siswa pada materi matriks. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I ke siklus II. Berikut ini adalah beberapa hasil pekerjaan siswa yang salah dalam mengerjakan soal pada siklus I.
Gambar 3. Hasil pekerjaan siswa 1
1322
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4. Hasil pekerjaan siswa 2
Gambar 5. Hasil pekerjaan siswa 3
Gambar 3.1 siswa salah menghitung nilai a, seharusnya nilai a adalah -3 siswa menuliskan 3 sehingga semua nilai yang dicari menjadi salah. Gambar 3.2 siswa salah menentukan semua nilai yang dicari, karena tidak mengerti yang dimaksud dengan kesamaan dua matriks. Gambar 3.3 siswa mengalami kesalahan karena tidak bisa operasi aljabar saat menghitung 9 = -3a, siswa ini menghitung bahwa nilai a itu adalah hasil penjumlahan 9 dan 3. Sehingga saat mencari nilai b menjadi salah. Dan siswa ini tidak mengerjakan mencari nilai c, d, e dan f karena tidak bisa operasi aljabar pada kesamaan dua matriks. Siswa masih ada kesalahan dalam konsep matriks sehingga dalam mengerjakan soal ada yang salah dan juga untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam hasil belajar menggunakan media iklan harga jual maka perlu tindakan selanjutnya pada siklus II dengan terlebih dahulu dilakukan perbaikan dari kekurangan pada siklus I. Setiap siswa diberi LKS dan iklan harga jual. Dimana iklan harga jual tersebut dimaksudkan untuk memudahkan dalam memahami materi dan mengerjakan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi(1988:2), semua benda yang digunakan sebagai alat bantu untuk menerangkan suatu konsep matematika atau mengubah konsep matematika yang bersifat abstrak menjadi konkret di sebut alat peraga matematika atau media. Menurut Muhsetyo (2007), kegunaan media pembelajaran dalam matematika adalah (1) menyederhanakan konsep yang
1323
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sulit, (2) menyajikan bahan yang relatif abstrak menjadi lebih nyata, dan (3) menjelaskan pengertian atau konsep secara lebih konkrit. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Setelah Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan Media Iklan Harga Jual Hasil belajar siswa yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa dalam ranah kognitif. Sehingga alat ukur yang digunakan adalah soal uraian dengan skor maksimum 100. Kriteria minimal yang ditetapkan adalah lebih dari atau sama dengan 75 % siswa mencapai skor lebih dari atau sama dengan 80. Persentase dihitung dengan membagi jumlah siswa yang mencapai kriteria minimal dengan jumlah seluruh siswa dikalikan dengan 100 %. Hasil belajar siswa dapat terlihat pada keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran materi matriks dengan media iklan harga jual melalui pembelajaran Think Pair Share (TPS) saat proses pembelajaran dilaksanakan. Terlihat dari aktivitas siswa selama pembelajaran, saat mengerjakan LKS secara individu maupun saat berkelompok dengan pasangan dan saat presentasi di depan kelas. Berdasarkan hasil analisis tes hasil belajar dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II. Rata-rata kelas pada siklus I adalah 82,29 dan pada siklus II adalah 86,41. Berarti terjadi peningkatan sebesar 4,12. Persentase siswa yang memenuhi kriteria minimal pada siklus I sebesar 73,5 % dan pada siklus II sebesar 88 %. Berarti terjadi peningkatan sebesar 14,5 %. Peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II terjadi karena selama dalam pembelajaran dari setiap pertemuan ke pertemuan berikutnya selalu dilakukan perbaikan dan siswa semakin terbiasa dengan pembelajaran yang dilaksanakan yaitu pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan media iklan harga jual untuk mempelajari materi matriks. Berdasarkan pada paparan data yang diperoleh selama pelaksanaan pembelajaran siklus I dan siklus II, dapat dinyatakan bahwa ada peningkatan pada keterlaksaan kegiatan pembelajaran dan peningkatan hasil belajar siswa pada materi matriks. Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran oleh guru diamati menggunakan lembar observasi aktivitas guru oleh observer selama siklus I dan siklus II. Hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan tingkat keterlaksanaan. Peningkatan tersebut disajikan pada tabel berikut. Tabel 5.1 Persentase Peningkatan keterlaksanaan kegiatan guru dalam Pembelajaran pada siklus I dan siklus II Tindakan Rata-rata peningkatan Siklus I 91,5 % Siklus II 92,75 % 1,25 %
Keterlaksanaan aktivitas siswa diamati menggunakan lembar observasi aktivitas siswa oleh observer selama siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan tingkat keterlaksanaan. Peningkatan tersebut disajikan pada tabel berikut. Tabel 5.2 Persentase Peningkatan keterlaksanaan aktivitas siswa pada siklus I dan siklus II Tindakan Rata-rata Peningkatan Siklus I 90,75 % Siklus II 93 % 2.25 %
Berdasarkan tes hasil belajar dapat dinyatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dari siklus I ke siklus II. Peningkatan hasil belajar siswa disajikan pada tabel berikut. Tabel 5.3 Persentase Peningkatan Hasil Belajar Siswa Tindakan Nilai rata-rata Persentase Siklus I 82,29 73,5 % Siklus II 86,41 88 % Peningkatan 4,12 14,5 %
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Langkah-langkah pembelajaran Think Pair Share (TPS) menggunakan iklan harga jual 1324
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2.
yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMA Negeri 7 Banjarmasin pada materi matriks adalah sebagai berikut. Pendahuluan a) Mengucapkan salam dengan semangat b) Mengecek kehadiran siswa c) Menyampaikan tujuan pembelajaran dan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) d) Memberi motivasi atau mereview pelajaran sebelumnya Tahap inti a) Think meliputi : membagikan LKS yang berisi materi matriks untuk dikerjakan secara individu, membagikan iklan harga jual yang digunakan untuk mengerjakan LKS, meminta siswa mengerjakan secara individu, dan memberi bimbingan bagi siswa yang mengalami kesulitan dengan scaffolding. b) Pair meliputi, meminta siswa berpasangan dengan teman sebangku untuk mendiskusikan jawaban LKS, berkeliling kelas melihat jalannya diskusi dan memberi bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. c) Share meliputi, meminta satu kelompok siswa untuk mempresentasikan jawaban mereka di depan kelas, meminta kelompok lain untuk memberi tanggapan atau bertanya kepada kelompok yang di depan kelas. Penutup a) Membuat kesimpulan bersama siswa, dengan menunjuk siswa untuk mengetahui apa yang bisa disimpulkan dari pelajaran yang telah dipelajari b) Memberi kuis untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa c) Memberitahu tentang materi pelajaran yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya. Pembelajaran matematika melalui pembelajaran Think Pair Share dengan bantuan iklan harga jual dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 7 Banjarmasin untuk materi matriks.
SARAN Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas yang menerapkan pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan media iklan harga jual maka peneliti memberi saran sebagai berikut. 1. Mengelola waktu dengan lebih cermat agar pelaksanaan pembelajaran berjalan sesuai rencana, terutama saat pair dan share. 2. Menggunakan media iklan yang lebih bervariasi atau lebih banyak. 3. Membuat iklan harga jual yang dipakai terlihat lebih menarik sehingga membuat siswa lebih bersemangat dalam mempelajari materi matriks. Misalkan dengan mencetak iklan harga jual di kertas yang lebih tebal dan berwarna warni DAFTAR RUJUKAN Arikunto,dkk. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Arsyad, A. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers. Asyhar, R. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Pers. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hamalik. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Pt Bumi Aksara Handoyo, dkk. 2006.Penerapan Think Pair Share (TPS) Dalam Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Geografi. Jurnal Pendidikan Inovatif. Volume 2 .Nomor 1.2006 Heinich, R., Molenda , M., Russel, J.D. 1985. Instructional Media and The new Technologies of Instruction Second edition. United States of America: John Wiley & Sons Inc. Hudojo. H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Ifamuyiwa, Adebola S & Onakoya. 2013. Impact Of Think-Pair-Share Instructional Strategy on Students’ Achievement in Secondary School Mathematics. Journal of the Science Teachers Association of Nigeria. Volume 45, Issue 1. 2013
1325
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ledlow, Susan . 2001. Adapted From Using Think Pair Share In The College Classroom. Center for Learning and Teaching Excellence. Arizona State University . 2001 Ledlow, Susan . 2007. Strategies for Success with English Language Learners, Association for Supervision and Curriculum Development, Alexandria, Virginia . 2007 Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo Mc Tighe,Jay and Frank T Lyman. 1988. Cueing Thinking In Classroom : The Promise Of Theory Embedded Tools. Educational Leadership, p. 18 – 24. 1988 Mufidah, Lailatul dkk. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Matriks. Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo. Vol. 1 No.1 April 2013. Muhsetyo, G, dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka Ofodu,dkk. 2011. Cooperatif Instructional Strategies and Performance Levels Of Student In Reading Comprehension. Internasional Jurnal Education Science, 3(2) : 103-107. 2011 Ruseffendi, E.T. 1988. Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini Untuk Guru dan SPG. Seri ke Lima. Bandung: Tarsito Rusman. 2010. Model-model Pembelajaran mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta : Rajawali Press Slameto. 2010. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: UM Press Subdin Bina Dikmen. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA/MA. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Trent,Kathleen Sipes. 2013. The Effect of The Peer Instruction Technique Think Pair Share On Student Performance In Chemistry. Tesis. Nicholls State University Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research): Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Karya
MATHEMATIC MOBILE LEARNING MODULE (MMLM) SEBAGAI SOLUSI PEMBELAJARAN UNTUK SISWA SMK YANG SEDANG MELAKSANAKAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) Agus Setio Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Prakerin merupakan salah satu ciri khas Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dilaksanakan selama 3 – 6 bulan di dunia industri. Pelaksanaan prakerin juga berimplikasi terhadap materi pelajaran matematika, sehingga diperlukan terobosan yang dapat membantu siswa tetap dapat belajar matematika walaupun mereka sedang berada di dunia industri. Salah satunya adalah modul pembelajaran yang dikemas dalam bentuk elektronik/ e-module yang bersifat “mobile”. Modul jenis ini disebut dengan Mathematic Mobile Learning Module (MMLM). Kata kunci: prakerin, modul, Mobile Learning
Salah satu tujuan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 adalah membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Implementasinya adalah pelaksanaan Praktek Kerja Industri (Prakerin) yang harus dilaksanakan oleh siswa SMK dalam kurun waktu tertentu di dunia usaha/ dunia industri. Selama melaksanakan prakerin, siswa berkesempatan menerapkan dan mengembangkan teori dan praktik kejuruan (mata pelajaran produktif) yang mereka dapatkan di sekolah. Selain itu, siswa juga dituntut tetap belajar secara mandiri materi mata pelajaran adaptif (Matematika, Bahasa Inggris, dll) dan mata pelajaran normatif (Pendidikan Agama, PKn, dll), yang masih terdapat alokasi waktunya saat pelaksanaan prakerin. 1326
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan siswa tersebut menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (DPSMK) (2008:1-2) adalah siswa belajar dengan modul. Lebih lanjut disebutkan, bahwa modul dapat membantu sekolah dalam mewujudkan pembelajaran yang berkualitas, dan dapat mengkondisikan kegiatan pembelajaran lebih terencana dengan baik, mandiri, tuntas, dan dengan hasil (output) yang jelas. Modul juga memiliki karakteristik self instruction, yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dan tidak tergantung dengan pihak lain. Tetapi modul yang diberikan kepada siswa selama ini mayoritas masih berbentuk hardcopy (cetak). Ditinjau dari segi content (isi) dan distribution (pendistribusian), modul berbentuk cetak masih memiliki kekurangan. Menurut Locsin (2014), dari segi content, print media (media cetak) tidak dapat memuat audio, video, dan content bergerak; sedangkan dari segi distribution media cetak membutuhkan banyak waktu dan biaya. Lai (2014) juga mengatakan, media cetak kurang adaptif terhadap perubahan, jika terdapat kesalahan atau kekurangan pada tulisannya. Fernchild (2014) juga mengatakan bahwa media cetak juga memerlukan tempat dan agak berat untuk dipindah-pindah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka modul berbentuk cetak kurang praktis bagi siswa yang sedang melaksanakan prakerin, karena siswa prakerin juga dituntut bekerja layaknya pegawai di tempat prakerin mereka. Untuk mengatasi kekurangan modul berbentuk cetak tersebut, modul dapat dikemas dalam bentuk elektronik (electronic module/ e-module). Dibandingkan dengan modul berbentuk cetak, e-module memiliki beberapa kelebihan antara lain: isi yang dapat disampaikan lebih bervariasi, pendistribusiannya lebih mudah dilakukan, dan bentuk serta ukurannya lebih fleksibel. Sehingga sebuah modul yang dapat dijalankan pada perangkat mobile yang banyak dimiliki oleh siswa akan dapat membantu siswa tetap dapat belajar dengan menarik, walaupun mereka sedang melaksanakan prakerin. PEMBAHASAN Mathematic Mobile Learning Module (MMLM) adalah modul matematika yang dikemas dalam bentuk Mobile Learning, sehingga modul ini memiliki fleksibilitas layaknya sebuah aplikasi Mobile tetapi tetap memiliki fungsi sebuah modul pembelajaran. MMLM juga harus memiliki fungsi sebagaimana modul pada umumnya, seperti dinyatakan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (DPSMK) (2008:4) yang menyebutkan bahwa modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik. Goldsmich (1972:5) mengatakan modul adalah serangkaian bahan belajar mandiri yang dirancang untuk membantu siswa memahami materi tertentu. Sedangkan Sejpal (2013) mendefinisikan modul sebagai bahan belajar yang bersifat self-contained yang terbagi kedalam unit-unit kecil. DPSMK (2008b:4) juga menyebutkan, modul berfungsi sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri, sehingga peserta didik dapat belajar sesuai dengan kecepatan masingmasing. Modul juga befungsi sebagai bahan belajar yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran peserta didik. Dengan modul peserta didik dapat belajar lebih terarah dan sistematis (Purwanto, dkk, 2007:10). MMLM juga harus memiliki karakteristik seperti yang dijelaskan oleh DPSMK (2008b:4-7) dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) (2008:3-5) sebagai berikut. a. Self Instruction: yaitu melalui modul tersebut siswa mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada pihak lain. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka dalam modul harus: (1) memuat tujuan yang dirumuskan dengan jelas, (2) memuat materi pembelajaran yang dikemas kedalam unit-unit kecil sehingga memudahkan belajar secara tuntas. Modul juga harus memuat (3) contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan meteri pembelajaran, (4) memuat latihan soal dan tugas yang memungkinkan siswa memberikan respon dan dapat mengukur tingkat penguasaannya, (5) memuat permasalahan kontekstual, (6) menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif, (7) memuat rangkuman materi pembelajaran, (8) memuat instrumen penilaian yang memungkinkan penggunaan melakukan self assessment , (9) memuat umpan balik atas penilaian, sehingga penggunaannya mengetahui tingkat penguasaan materi, (10) 1327
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
b.
c.
d.
e.
menyediakan informasi tentang rujukan atau referensi yang mendukung materi pembelajaran dan modul. Self Contained: yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam suatu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberi kesempatan siswa untuk belajar secara tuntas sesuai rangkaian kegiatan belajar yang direncanakan. Stand Alone: yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan media pembelajaran yang lain. Dengan menggunakan modul, siswa tidak perlu bahan ajar lain untuk mempelajari atau mengejakan tugas pada modul tersebut. Adaftive: yaitu modul dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel digunakan. Selain itu modul yang adaptive adalah jika isi materi pembelajaran dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu. User Friendly: yaitu modul harus memiliki sifat bersahabat dengan pemiliknya. Dengan kata lain modul harus mudah digunakan dan dipahami sehingga memudahkan siswa untuk memahami isi modul yang sudah disediakan.
MMLM juga harus memiliki sifat-sifat Mobile Learning secara umum, sebagaimana didefinisikan oleh O’Malley, dkk (2003) sebagai jenis pembelajaran dimana pebelajar tidak tergantung lokasi dan waktu, atau pembelajaran yang memanfaatkan teknologi mobile. Menurut El-Hussein dan Cronje (2010) Mobile Learning didefinisikan sebagai pembelajaran yang menggunakan mobility of technology, mobility of learners and mobility of learning. Quinn (2011:2) mendefinisikan Mobile Learning sebagai “both augmenting formal learning, and moving to performance support, informal, and social learning as well”. MMLM dalam kegiatan pembelajaran dapat bermanfaat sebagai: suplemen/ tambahan yang sifatnya pilihan/ opsional, pelengkap/ komplemen, atau pengganti/ substitusi (Majid, 2012). a. Suplemen: Mobile Learning berfungsi sebagai suplemen berarti peserta didik mempunyai kebebasan memilih untuk memanfaatkan materi Mobile Learning atau tidak. Walaupun sifatnya opsional, peserta didik yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan pengetahuan atau wawasan. b. Komplemen: Mobile Learning berfungsi sebagai komplemen berarti materi dalam Mobile Learning diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang diterima siswa di dalam kelas, dan menjadi materi pengayaan atau remedial bagi siswa di dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. c. Substitusi: Mobile Learning berfungsi sebagai substitusi berarti Mobile Learning sebagai pengganti tatap muka di kelas. Tujuannya agar siswa dapat secara fleksibel mengelola kegiatan belajarnya sesuai dengan waktu dan aktifitas sehari-hari siswa. Sesuai dengan kebutuhan, pendidik dapat pula memberikan kesempatan pada siswa untuk mengakses bahan belajar tertentu, maupun soal ujian yang hanya dapat diakses oleh siswa sekali saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula. Pengembangan dan penerapan MMLM sangat memungkinkan dilakukan terhadap siswa SMK dewasa ini, mengingat perangkat mobile khususnya Handphone (HP) merupakan gadget wajib bagi siswa. Hampir semua siswa SMK memiliki HP dengan spesifikasi yang mendukung fungsi multimedia, sehingga pemasangan MMLM sangat dapat dilakukan. Hasil penelitian Zulkefly dan Baharudin (2009) di Malaysia menunjukkan, rata-rata siswa menggunakan HP mereka selama 353,36 menit atau sekitar 5,89 jam perhari. Waktu yang mungkin sama dengan rata-rata pemakaian HP oleh pelajar di Indonesia. Berbeda jauh dengan kemungkinan rata-rata lama belajar siswa di rumah per hari. Fenomena tersebut menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk memanfaatkan dan mengintegrasikan teknologi HP sebagai sarana belajar siswa. Sebagaimana semangat kurikulum 2013 yang mengamanatkan pembelajaran ber-TIK (menggunakan teknologi informasi dan komunikasi). Pengembangan MMLM dewasa ini juga sangat mungkin dilakukan oleh siapapun yang berminat mengembangkannya. Dengan dukungan software dan tutorial yang banyak tersedia di dunia maya. Misalnya untuk mengembangkan MMLM yang dapat berjalan pada HP bersistem Android dapat menggunakan SDK Eclipse, Phonegap, Adobe Flash, App Inventor, dll. Kita 1328
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
juga dapat mencari aplikasi produk jadi yang tersedia di play store/ google market yang sesuai. Beberapa lembaga di Indonesia yang juga mengembangkan produk pembelajaran Mobile Learning antara lain: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (Kemendikbud) yang beralamatkan di http://m-edukasi.kemdikbud.go.id. Berikutnya adalah Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika (PPPPTK Matematika) yang beralamatkan di m.p4tkmatematika.org. MMLM ini masih merupakan hal baru dalam dunia pendidikan kita, sehingga penelitian dan pengembangannya perlu terus dikembangkan untuk menyongsong era baru baru dalam belajar yang cenderung “mobile”. Dan slogan belajar dimanapun dan kapanpun dapat dilakukan oleh siswa kita. KESIMPULAN DAN SARAN MMLM merupakan media belajar yang sesuai untuk membantu siswa yang sedang melaksanakan prakerin untuk tetap dapat belajar matematika. MMLM juga sangat sesuai dengan perkembangan TIK dewasa ini dan semangat K-13. Untuk menerapkan atau mengembangkan sebuah MMLM perlu adanya penelitian secara mendalam tentang teknologi dan isi/ materinya, sehingga penerapan atau pengembangan MMLM sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. DAFTAR RUJUKAN Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK). 2008. Penulisan Modul. Depdiknas. Jakarta. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (DPSMK). 2008a. Pelaksanaan Prakerin. Depdiknas. Jakarta. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (DPSMK). 2008b. Teknik Penyusunan Modul. Depdiknas. Jakarta. El-Hussein, M. O. M., & Cronje, J. C. (2010). Defining Mobile Learning in the Higher Education Landscape. Educational Technology & Society, 13 (3), 12–21. Fernchild, Daisy Peasblossom. 2014. What Is the Advantage & Disadvantage of Print & Electronic Media?. Online. url: http://www.ehow.com/info_8681731_advantagedisadvantage-print-electronic-media.html. Diakses tanggal 18 Maret 2014. Goldsmich, Barbara dan Goldsmich, Marcel L. 1972. Modular Instruction in Higher Education: A Review. McGill University. Montreal Lai, Julia. 2014. Disadvantages of an Education With Print Media. Online. url: http://www.ehow.com/list_7211281_disadvantages-education-print-media.html. Diakses tanggal 18 Maret 2014. Locsin, Aurelio. 2014. Disadvantages of Print Media. Online. url: http://www.ehow.com/facts_5246266_disadvantages-print-media.html. Diakses tanggal 18 Maret 2014. Majid, Abdul. 2012. Mobile Learning. Artikel. url: http://jurnal.upi.edu/file/Mobile_Learning_ok.pdf. Diunduh tanggal 18 Maret 2014 O’Malley, C. dkk. 2003. Guidelines for Learning/ Teaching/ Tutoring in a Mobile Environment. MOBIlearn/UoN, UoB, OU/D4.1/1.0. Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010). Jakarta. Purwanto, dkk. 2007. Pengembangan Modul. Depdiknas. Jakarta Quin, Clark N. 2011. Mobile Learning: Landscape and Trend. Santa Rosa Sejpal, Kandarp. 2013. Modular Method of Teaching. International Journal for Research in Education. Vol. 2, Issue:2, February 2013. hal. 169-171. ISSN:2320-091X Zulkefly, S. N. and Baharudin, R. 2009. Mobile Phone use Amongst Students in a University in Malaysia: Its Correlates and Relationship to Psychological Health. European Journal of Scientific Research. ISSN 1450-216X Vol.37 No.2.
1329
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENGEMBANGAN BUKU SISWA “ALJABAR AWAL” YANG VALID, PRAKTIS DAN EFEKTIF BERCIRIKAN PENEMUAN TERBIMBING Arifin [email protected] SMP Negeri 2 Gondanglegi/Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang Akbar Sutawidjaja dan Abdur Rahman As’ari Universitas Negeri Malang Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk buku siswa pada kompetensi dasar menentukan variabel pada persamaan dan pertaksamaan linear satu variabel yang menerapakan langkahlangkah penemuan terbimbing. Melalui penemuan terbimbing diharapkan siswa aktif mengonstruksi sendiri pemahamannya terhadap materi yang sedang dipelajari. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Gondanglegi kelas tujuh tahun pelajaran 2013/2014 menggunakan metode model 4D (four D model) yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Semmel & Semmel (1974) yang terdiri define, design, develop dan disseminate. Hasil validasi ahli dan praktisi menunjukkan buku siswa valid dengan skor ratarata aspek isi 2,52. Instrumen yang dikembangkan berturutturut RPP [2,48], lembar observasi [2,67], angket respon siswa [2,58] dan tes penguasaan materi [2,66], berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan disimpulkan semua instrumen valid. Hasil uji coba buku siswa skor ratarata berturutturut 2,34 dan 2,6 disimpulkan buku siswa memenuhi kriteria praktis. Hasil analisis angket respon siswa dan tes penguasaan materi diperoleh kesimpulan buku siswa efektif. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan buku siswa dapat digunakan pada pembelajaran di SMP Negeri 2 Gondanglegi. Pengembang berikutnya disarankan juga melakukan penelitian lanjutan uji coba buku siswa ini pada sekolah lain di Kabupaten Malang atau tempat lain. . Kata Kunci: Pengembangan, buku siswa, aljabar awal, penemuan terbimbing, valid, praktis, efektif.
Variabel adalah bagian penting dari aljabar awal yang konsepnya harus dikuasai dengan benar. Penelitian terkait variabel telah dilakukan oleh beberap ahli diantaranya (Malisani & Spagnolo, 2009; Asquith, Stephens, Knuth, & Alibali, 2007; Xiaobao Li, 2006; Soedjadi, 2000). Hasilnya menunjukkan materi variabel adalah materi yang krusial transisi dari arimatik ke aljabar, sehingga dibutuhkan pemahaman yang betul tentang variabel dalam berbagai macam situasi dan masalah yang berbeda (Malisani & Spagnolo, 2008). Guru jarang mengidentifikasi kesalahan konsep tentang pemahaman variabel dan tanda sama dengan, padahal kesalahan pemahaman konsep variabel dan tanda sama dengan akan menghambat kemampuan siswa menyelesaikan masalah (Asquith, Stephens, Knuth, & Alibali, 2007). Kesulitan siswa terletak pada bagaimana cara mengoperasikan variabel lebih lanjut masalah yang mendasar adalah memahami variabel (Xiaobao Li, 2006). Objek matematika yang dapat dipandang sebagai peralihan dari arimatika ke aljabar adalah ― variabel‖ atau sering disebut ― peubah‖. Penggunaan simbol di SMP dan sekolah tingkat diatasnya akan semakin banyak. Karena itu penekanan symbol sense atau pemahaman terhadap simbol atau kepekaan terhadap simbol perlu mendapat perhatian serius Materi ini sangat penting karena ragamnya semesta memungkinkan matematika digunakan diberbagai bidang kerja dan keilmuan (Soedjadi, 2000). Penelitian masa transisi dari arimatika ke aljabar telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Patton & Santos, 2012; Malisani & Spagnolo, 2009; Amit & Neria, 2008; Anthony & Hunter, 2008; Tabach & Arcavi & Hershkowitz, 2008; Livneh & Linchevski, 2007; Middleton & Oksuz, 2007; Breiteig & Grevholm, 2006; Lannin & Barker, 2006; Ferrari & Luigi, 2006; Gallardo & Hernandes, 2005; Kieren, 2004; Healy & Hoyles, 2000; Knuth, 2000). Hasilnya menunjukkan menulis bentuk angka, kemudian bentuk visual baru bentuk aljabar akan memudahkan kaitan konsep arimatika dan aljabar (Patton & Santos, 2012). Menganalisa apakah dugaan dari ― tidak diketahui‖ ada kaitannya dengan penafsiran dari variabel (Malisani & Spagnolo, 2009). Kemampuan generalisasi sangat berpengaruh dalam menyelesaikan problem dalam aljabar (Amit & Neria,
1330
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2008). Proses transisi dari arimatika ke bernalar aljabar adalah proses yang sulit, hal ini bisa atasi oleh guru dengan memberikan aktivitas berkait dengan pola (Anthony & Hunter, 2008). Membuat generalisasi dari transisi aritmatik ke aljabar menggunakan bantuan komputer akan bermanfaat terhadap efektifitas waktu (Tabach & Arcavi & Hershkowitz, 2008). Intervensi langsung dalam konteks numerik tertentu membawa ke pemahaman aljabar yang lebih baik (Livneh & Linchevski, 2007). Perkembangan penalaran siswa sekolah menengah tentang hasil bagi dalam konteks aritmatika dan aljabar (Middleton, 2007). Siswa dapat meyelesaikan soal aljabar yang diberikan, menjelaskan penyelesaian dan membenarkan mengapa masalah tersebut dapat diselesaikan (Breiteig & Grevholm, 2006). strategi generalisasi siswa dipengaruhi oleh (a) nilai masukan, (b) struktur tugas, (c) strategi sebelumnya, (d) visualisasi kondisi, dan (e ) interaksi antara guru dan siswa, dan antar siswa (Lannin & Barker, 2006). Proses simbolisasi dari arimatik ke aljabar merupakan hal yang krusial (Ferrari & Luigi, 2006). Kesulitan siswa melakukan operasi hitung pada bilangan negatif dalam ruang lingkup aljabar (Hernandes, 2005). Berpikir secara aljabar sudah diawali sejak tingkat dasar dan terintegrasi dengan kelas berikutnya (Kieren, 2004). Banyak siswa sukses menyampaikan pembuktian dalam kehidupan sehari-hari tidak menggunakan aljabar (Healy & Hoyles, 2000). Siswa sukses menyelesaikan problem dengean menkoneksikan/ menghubungkan antara aljabar dan gambar grafik (Knuth, 2000). Penelitian lain terkait aljabar dilakukan oleh para ahli diantarannya (Koca, 2010; Banerjee, 2008; Berger, 2008; Novotná & Hoch, 2008; Ruthven, Deaney & Hennessy, 2008; Katz, 2007; Radford & Puig, 2007; Fransisco & Hähkiöniemi, 2006; Hallagan, 2006). Koca (2010) menemukan teknologi Computer Aljabar System bagus digunakan setelah siswa memahami dan menguasai ketrampilan simbolisasi. Banerjee (2008) menemukan membelajarkan aljabar suku dan kesamaan dihubungkan dengan aritmatika akan memudahkan siswa. Berger (2008) menemukan Computer Algebra System (CAS) sebagai alat semiotic ketika tidak ada benda nyata yang kontekstual dengan masalah matematika. Novotná & Hoch (2008) mengungkapkan banyak siswa kesulitan konsep dasar aljabar disekolah maupun di universitas. Ruthven & Deaney & Hennessy (2008) membelajarkan materi menggambar grafik bentuk aljabar menggunakan software mempunyai banyak keuntungan diantannya dapat menghemat waktu. Sehingga penguasaan konsep dasar aljabar disekolah akan memudahkan siswa ketika belajar aljabar di universitas. Katz (2007) menemukan 4 tingkat belajar aljabar yaitu the rhetorical stage, the syncopated stage, and the symbolic stage dan abstract stage. Radford & Puig (2007) menemukan prosedur dari aljabar dalam pikiran menjadi simbol dengan semiotic. Fransisco & Hähkiöniemi (2006) menyatakan wawasan siswa harus dikembangkan dalam berpikir aljabar. Dari penelitian yang ada menunjukkan pentingnya materi variabel, transisi aritmatika ke aljabar sehingga perlu dikembangkan bahan ajar berkait masalah tersebut. Hallagan (2006) menyimpulkan murid akan terbantu dalam membuat ekivalensi bentuk aljabar bila guru memberikan visualisasi diawal bekerja. Berlakunya kurikulum baru 2013 mengamanatkan pembelajaran bercirikan pendekatan saintifik yaitu mengamati (observing), menanyakan (questioning), menalar (associating), mencipta (conjecturing), mencoba (experimenting), mengkomunikasikan (communicating). Dalam pendekatan saintifik perlu diterapkan model pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning) (Lampiran B Permendikbud No 65 tahun 2013: 3). Dalam lampiran tersebut disebutkan tentang prinsip prinsip pembelajaran diantaranya dari peserta didik diberitahu menuju peserta didik mencari tahu. Pembelajaran dengan peserta didik mencari tahu disebut inquiry atau penemuan. Penelitian terkait dengan prinsip pembelajaran penemuan telah dilakukan oleh beberapa ahli (Delcourt & McKinnon, 2011; Sikko & Pepin, 2011; Effendi, 2012; Hunter, 2010; Pais, 2009; Abdullah & Shariff, 2008; Santos, 2008; In Woo. dkk, 2007; Makar, 2007; Jaworski, 2006; Leikin & Rota, 2006; Diezmann, 2004; Goos, 2004; Muhsetyo, 2004). Hasilnya menunjukkan bertanya adalah kemampuan dasar dalam pembelajaran inquiry (Delcourt &Mc Kinnon,2011). Inquiry dapat meningkatkan kedalaman belajar dan menambah literatur guru dalam pembelajaran (Sikko & Pepin, 2011). Dengan penemuan terbimbing kemampuan-kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa lebih baik bila dibanding diajar dengan metode konvensional. Selain itu siswa memiliki sikap positif terhadap matematika dan pembelajaran (Effendi, 2012). Untuk menciptakan komunitas inquiry diantaranya dengan mengembangkan pertanyaan murid dengan cara yang tepat (Hunter, 2010). Pembelajaran 1331
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan metode penemuan terbimbing berkelompok dapat meningkatkan penguasaan siswa pada materi volume bangun ruang (Pais, 2009). Inquiry dapat meningkatkan kemampuan bernalar, kerjasama dan pemahaman konsep (Abdullah & Shariff, 2008). Ada banyak cara mengembangkan petunjuk aktivitas untuk membantu perkembangan siswa dalam bernalar matematika (Santos, 2008). Pembelajaran inquiry dapat meningkatkan kapasitas metacognisi (In Woo dkk , 2007). Dengan inquiry kepercayaan diri siswa dapat meningkat (Makar, 2007). Praktik inquiry membawa pemahaman siswa terhadap teori menjadi lebih baik dan berkembang (Jaworski, 2006). Kualitas guru dalam membangun partisipasi diskusi pada penemuan terbimbing sangat dipengaruhi oleh keahliaan bertanya dalam mengajar (Leikin & Rota, 2006). Tipe tugas inquiry dan implikasinya pada assessment (Diezmann, 2004). Dalam pembelajaran inquiry, partisipasi respon, ide dan pendapat siswa akan sesuai harapan apabila guru mampu memberikan scafolding yang tepat dan menyarankan dalam pembelajaran perlu diciptakan komunitas dan kultur belajar dikelas melaui inquiry (Goos, 2004). Metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan kualitas pendidikan (Muhsetyo, 2004). Dari penjabaran masalah diatas perlu dikembangkan buku siswa aljabar awal yang memfasilitasi aktivitas belajar siswa SMP Negeri 2 Gondanglegi yang berorientasi kepada siswa untuk mengonstruksi konsep dengan bahasa siswa sendiri dengan bantuan atau bimbingan guru sehingga kualiatas belajar siswa menjadi lebih bermakna. Karena buku siswa yang ada belum membelajarkan materi secara penemuan terbimbing maka diperlukan pengembangan buku tersebut sehingga siswa SMP Negeri 2 Gondanglegi dalam belajar bisa terlibat aktif dalam pembelajaran, menemukan suatu konsep dengan bimbingan guru. Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk buku siswa aljabar awal bercirikan penemuan terbimbing. Pokok permasalahan tersebut dijadikan pertanyaan penelitian bagaimanakah bentuk buku siswa aljabar awal pada pelajaran matematika SMP yang bercirikan penemuan terbimbing yang valid, praktis dan efektif?. Dengan masalah yang telah diuraikan diatas peneliti memberi judul penelitian pengembangan buku siswa ―aljabar awal‖ bercirikan penemuan terbimbing yang valid, praktis dan efektif. Bahan ajar telah didefinisikan oleh para ahli ( Daryanto & Dwicahyono, 2014; Lestari, 2013; Prastowo, 2013; Majid, 2012; Darmadi, 2009; Widodo & Jasmadi, 2008; Mbulu, 2004; Dick & Carey, 2001). Bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis baik tertulis maupun tidak sehingga tercipta lingkungan/ suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar (Daryanto & Dwicahyono, 2014). Bahan ajar diartikan segala bentuk bahan yang disusun secara sistematis yang memungkinkan siswa dapat belajar dengan dirancang sesuai kurikulum yang berlaku (Lestari, 2013). Bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran (Prastowo, 2013). Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi yang telah ditentukan (Darmadi, 2009). Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/intsruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (Madjid, 2009). Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran, metode, batasan–batasan, cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu kompetensi atau sub kompetensi dengan segala kompleksitasnya (Widodo & Jasmadi, 2008 ). Bahan ajar dalam penelitian ini adalah berupa buku teks yang digunakan oleh siswa yang berisi aktivitas pembelajaran sehingga dicapai tujuan pembelajaran. Aktivitas pembelajaran disusun berdasarkan karakteristik siswa, pengetahuan yang sudah dimiliki sehingga akan membantu siswa dalam belajar baik di sekolah maupun di rumah. Menurut Hobri (2010: 31-32) buku siswa adalah bagian sumber yang memungkinkan siswa dan guru melakukan pembelajaran. Buku siswa merupakan bagian dari perangkat pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika. Agar pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, dalam buku siswa diberikan kegiatan yang berisi petanyaan atau petunjuk yang direncanakan untuk dikerjakan. Pengertian buku siswa juga diuraikan oleh (Trianto, 2013; Prastowo, 2013). Trianto (2013) mengartikan buku siswa adalah buku panduan kegiatan pembelajaran bagi siswa memuat 1332
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
materi pelajaran, penyelidikan penemuan konsep kegiatan sain, contoh-contoh penerapan sain dalam kehidupan seharihari. Sedangkan Prastowo (2013) mendefinisikan buku adalah bahan tertulis yang menyajikan ilmu pengetahuan buah pikiran pengarangnya. Dalam penelitian ini buku siswa adalah buku yang disusun sebagai panduan bagi siswa dalam belajar di sekolah maupuan di luar sekolah. Prastowo (2013) menyatakan ciri-ciri buku yang baik adalah bahasanya mudah dimengerti, penyajiannya menarik, keterangannya dilengkapi gambar, isi dan kandungannya disesuaikan kurikulum atau tafsiran kurikulum yang berlaku. Buku siswa dalam penelitian ini, siswa diajak terlibat aktif untuk mengonstruksi pemahaman konsep melalui bimbingan guru seperlunya. Selain itu ada aktivitas mendefinisikan konsep menggunakan bahasa siswa sendiri. Untuk menguji pemahaman konsep diberikan latihan soal. Slavin (2006: 243) memberikan uraian tentang pembelajaran konstruktivis sebagai berikut. One of the most important principles of educational psychology is that teachers cannot simply give students knowledge. Students must construct knowledge in their own minds. The teacher can facilitate this process by teaching in ways that make information meaningful and relevant to students, by giving students opportunities to discover or apply ideas themselves, and by teaching students to be aware of consciously use their own strategies for learning. Taechers can give students ladders that lead to higher understanding, yet the students themselves must clim these ladders. Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan dalam pembelajaran konstruktivis guru tidak memberikan pengetahuan, tetapi siswa harus mengonstruksi pengetahuan dengan pikirannya. Guru dapat memberikan fasilitas berupa informasi yang bermakna dan relevan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan idenya sendiridan mengajarakan siswa kesadaran menggunakan cara mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi tangga untuk pemahaman lebih baik, tetapi siswa sendiri yang harus menaiki tangga tersebut. Bell (1978: 241) menyatakan discovery learning is learning which occurs as result of learner manipulating, structuring and transforming information so that he or she finds new information. In discovery learning, learner may make a conjecture, formulate an hypothesis, or find a mathematical “truth” by using inductive or deductive processes, observation and extrapolation.The essential of element in discovering new information is that discoverer must take an active part in formulating and attaining the new information. Dari uraian Bell dapat disimpulkan dalam belajar dengan penemuan terdapat hasil dari manipulasi, menyusun atau mentrasfer informasi sehingga siswa mendapat informasi baru. Hal yang esensi dalam penemuan, dalam menemukan informasi baru tersebut siswa harus terlibat aktif mungkin dengan membuat konjektur/hypotesis/induktif/ deduktif/observasi dan ekstrapolasi. Parta (2009 : 23) menyatakan bahwa menurut Akker, J.V.D, Branch, R.M., Gustafan, K., Nieveen, N., Plom, T. (1999:126-127) terdapat tiga kriteria untuk mengukur kualitas produk yaitu kevalidan, kepraktisan dan kefeektifan dalam mengembangkan buku siswa. METODE PENGEMBANGAN Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah Model Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974) dikenal dengan 4D (Four D Model). Keempat tahap tersebut adalah tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap pengembangan (develop) dan tahap penyebaran (desseminate). Tahap pendefinisian bertujuan mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan pembelajaran dengam melakukan analisis tujuan dan batasan materi. Tahap perencanaan bertujuan merancang buku siswa sehingga diperoleh prototipe perangkat pembelajaran. Tahap pengembangan untuk menghasilkan prototipe1 perangkat yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli. Tahap Desiminasi merupakan tahap penggunaan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas. Prosedur pengembangan didasarkan pada model four D model yang dikembangkan Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974). Pada tahap pendefinian dilakukan analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, penetapan tujuan 1333
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran. Pada tahap selanjutnya Perancangan dihasilkan buku siswa draf awal untuk divalidasi ahli dan praktisi. Langkah perancangan adalah Penyusunan tes berbasis kriteria, Pemilihan media, Pemilihan Format, Rancangan awal. Tahap ketiga adalah Pengembangan uji produk dan validasi ahli dan praktisi. Subyek uji coba dalam penelitian ini siswa kelas VII A dan VII C SMPN 2 Gondanglegi Kabupaten Malang tahun pelajaran 2013/2014. Data yang diperoleh dari hasil uji coba produk pengembangan adalah berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa komentar dan saran perbaikan berdasarkan hasil penilaian validator, dan konversi dari data kuantitatif menjadi huruf atau kategori untuk mengabil keputusan. Data kuantitatif berupa skor yang diberikan oleh subyek uji coba terhadap produk yang dikembangkan sesuai dengan kriteria penilaian yang diberikan pada lembar validasi, lembar observasi, dan tes yang diberikan. Keseluruhan data tersebut berfungsi untuk merevisi dan menilai kualitas produk pengembangan bahan ajar pembelajaran. HASIL PEMBAHASAN Hasil perhitungan skor dari ketiga validator diperoleh diperoleh skor rata-rata seluruh aspek 2,60 yang terdiri aspek isi 2,52, aspek bahasa 2,83 dan aspek tampilan 2,44. Karena aspek isi yang didalamnya terdapat aspek konstruk dengan skor 2,52 berdasar kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan buku siswa memenuhi kriteria valid karena aspek isi berada pada rentang 2 ≤ 𝑉𝑎 ≤ 3. Aspek isi terdiri dari kebenaran konsep [2,67], kesesuaian urutan materi [2,67], masalah yang disajikan menarik siswa untuk belajar [2,67], kegiatan pembelajaran yang disusun dalam buku siswa sesuai tujuan pembelajaran [2,67], menerapkan langkah pertama penemuan terbimbing yaitu diberikan permasalahan [2,33], memungkinkan siswa menyusun atau memproses atau menganalisa data [2,33], ada pernyataan yang meminta siswa menyusun konjektur atau dugaan [2,33], kegiatan verbalisasi konjektur diberikan pada urutan yang tepat [2], latihan soal sudah bervariasi, kegiatan menuntun siswa membangun pemahaman secara mandiri [2,67], aktivitas tersusun sistematis berkesinambungan runtut mencerminkan penerapan langkah penemuan terbimbing [2,67]. Dari uraian diatas buku siswa yang dihasilkan telah memenuhi memenuhi kevalidan isi dan konstruk sehingga diperoleh kesimpulan buku siswa memenuhi standar yang diharap yaitu bercirikan penemuan terbimbing. Buku siswa yang dihasilkan telah valid sehingga dapat diuji cobakan pada tahap selanjutnya. Revisi produk berdasarkan masukan dari tiga validator diuraikan sebagai berikut: pertama pada halaman sampul terjadi perubahan aljabar mula menjadi aljabar awal. Kedua, sintaks penemuan terbimbing pada draf awal buku siswa tidak dinyatakan secara eksplisit setelah direvisi diberikan petunjuk pengunaan buku secara eksplisi. Ketiga pada halaman 3 ada penambahan pertanyaan jelaskan perbedaan poin a, b dan c. Setelah revisi ditambahan poin d siswa diminta menjelaskan perbedaan kata suatu, sebarang dan setiap. Keempat bagian halaman validator memberikan masukan pada bentuk 𝑎 + 1, 𝑎 variabel pada himpunan 𝐴. Dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa 1 pada bentuk 𝑎 + 1 adalah contoh konstanta dari himpuanan 𝐴. Berdasarkan masukan tersebut peneliti mengmbangkan pada bentuk 𝑎 + 2 , 𝑎 + 3 , 𝑎 + 4 , 𝑎 + 5 𝑎 + 6 , 𝑎 + 7 , 𝑎 + 8 dan 𝑎 + 9. Diharapkan dengan bentuk yang diberikan siswa lebih mudah memahami bahwa konstanta adalah anggota tertentu dari suatu himpunan. Hasil Validasi Instrumen Hasil perhitungan skor penilaian dari ketiga validator terhadap RPP diperoleh diperoleh skor rata-rata 𝑉 𝑎 = 2,48 berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan RPP memenuhi kriteria valid karena berada pada rentang 2 ≤ 𝑉𝑎 ≤ 3. Hasil perhitungan skor penilaian dari tiga validator terhadap lembar observasi keterlaksanaan buku siswa diperoleh 𝑉 𝑎 = 2,67 berdasar kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan lembar observasi keterlaksanaan buku siswa memenuhi kriteria valid karena berada pada rentang 2 ≤ 𝑉𝑎 ≤ 3. Hasil perhitungan skor penilaian dari tiga validator terhadap tes penguasaan materi diperoleh 𝑉 𝑎 = 2,5 berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan tes penguasaan materi memenuhi kriteria valid karena berada pada rentang 2 ≤ 𝑉𝑎 ≤ 3. Hasil perhitungan skor penilaian dari tiga validator terhadap angket respon siswa diperoleh 𝑉 𝑎 = 2,58 Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan angket respon siswa memenuhi kriteria valid karena berada pada rentang 2 ≤ 𝑉𝑎 ≤ 3.
1334
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Secara keseluruhan instrumen yang terdiri dari RPP, lembar observasi keterlaksanaan buku siswa, tes penguasaan materi dan angket respon siswa memenuhi kriteria valid sehingga bisa digunakan dalam mengukur kepraktisan dan keefektifan buku siswa. Lembar observasi keterlaksanaan buku siswa tidak ada ada revisi setelah validasi. Untuk RPP, tes pengusaan materi dan angket respon siswa dilakukan revisi dengan mengacu saran dan masukan dari validator. Penyajian dan Analisis Data Hasil Uji Coba Hasil Uji Kepraktisan Pada uji coba pertama di kelas 7C hasil perhitungan skor penilaian dari dua observer terhadap keterlaksanaan buku siswa pertemuan pertama diperoleh (𝐴i) = 2,32; kedua diperoleh (𝐴i) = 2,5; ketiga diperoleh (𝐴i) = 2,27; keempat diperoleh (𝐴i) = 2,14; kelima diperoleh (𝐴i) = 2,45; Rata-rata total (𝐼𝑂) untuk lima pertemuan adalah (2,32 + 2,5 + 2,27 + 2,14 + 2,45) : 5 = 2,34. Dari perhitungan 𝐼𝑂 = 2,34 Berdasar kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan buku siswa praktis karena 𝐼𝑂 memenuhi kriteria tinggi karena berada pada rentang 2≤ 𝐼𝑂 ≤ 3. Pada uji coba kedua di kelas 7A hasil perhitungan skor penilaian dari dua observer terhadap keterlaksanaan buku siswa pertemuan pertama diperoleh(𝐴i) =2,59; kedua diperoleh (𝐴i) =2,64; ketiga diperoleh (𝐴i) =2,59; keempat diperoleh (𝐴i) =2,55; kelima diperoleh (𝐴i) =2,64. Rata-rata total (𝐼𝑂) untuk lima pertemuan adalah (2,59 + 2,64 + 2,59 +2,55 + 2,64) : 5 = 2,6 Dari perhitungan 𝐼𝑂 = 2,6 sehingga berdasar kriteria yang telah ditetapkan diperoleh kesimpulan buku siswa dikatakan praktis karena 𝐼𝑂 memenuhi kriteria tinggi berada pada rentang 2 ≤ 𝐼𝑂 ≤ 3. Dari uji coba pertama dan kedua diperoleh kesimpulan buku siswa praktis. Hasil Uji Keefektifan Pada uji coba pertama pada kelas 7C dengan jumlah siswa 25 diperoleh keimpulan untuk penguasaan materi semua siswa mendapat nilai tidak kurang dari 2,66. Untuk repon semua siswa memberi repon positif dengan rata-rata 1,3. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan pada uji coba pertama diperoleh kesimpulan buku siswa efektif. Pada uji coba kedua pada kelas 7A dengan jumlah siswa 23 diperoleh kesimpulan untuk penguasaan materi setiap siswa mendapat nilai tidak kurang dari 2,66. Untuk repon kelas dengan rata-rata skor 1,42 berdasar kriteria yang telah ditetapkan disimpulkan kelas memberi repon positif. Karena penguasaan materi setiap siswa tidak kurang 2,66 dan respon kelas positif maka pada uji coba kedua diperoleh kesimpulan buku siswa efektif. Secara keseluruhan dapat diperoleh informasi bahwa produk yang dikembangkan yaitu buku siswa telah valid. Data yang diambil pada saat uji coba menggunakan instrumen yang valid. Data hasil uji coba menunjukkan bahwa produk telah praktis dan efektif. Sehingga secara keseluruhan disimpulkan buku siswa aljabar awal telah valid, praktis dan efektif. Revisi Produk Hasil Pengembangan Berdasar hasil analisis data kuantitatif telah dihasilkan buku siswa yang valid, praktif dan efektif sehingga tidak perlu direvisi. Namun pada data kualitatif ada beberapa masukan, saran maupun hasil pengamatan selama uji coba, sehingga buku siswa yang telah dihasilkan dilakukan perbaikan. Produk hasil perbaikan dapat dilihat pada lampiran. Beberapa, saran, masukan maupun hasil pengamatan selama uji coba buku siswa yang perlu diperbaiki dan perbaikannya disajikan dalam pada tabel 4.6 Tabel 4.6 Perbaikan Buku Siswa Berdasar Masukan, Saran dan Hasil Pengamatan Selama Uji Coba
No 1
Masukan/saran/hasil pengamatan Pada halaman 3 baris terakhir terjadi kesalahan ketik "unutk"
1335
Perbaikan Menjadi "untuk"
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2
3
4 5
Pada halaman 8 Poin b (bilangan genap lebih dari 10 kurang dari 60) Poin c ( bilangan positif kelipatan 2 kurang dari 30)
bilangan genap lebih dari 10 kurang dari 30
Pada halaman 9 Tuliskan bilangan yang dapat direpresentasikan bentuk 10 − 5𝑦 Halaman 15 Soal no 2 seharusnya no 1 Halaman 19 Kalimat "Bentuk 2𝑎 + 3𝑎 karena memiliki variabel yang sama disebut suku sejenis" Sebagai penekanan kalimat tesebut yang perlu dicetak tebal atau diberi border
Dihilangkan karena tidak sesuai
bilangan positif kelipatan 2 kurang dari 20
Soal no 2 diubah menjadi no 1 Kalimat dimaksud dicetak tebal
Kajian Produk yang Telah Direvisi Berdasarkan validasi ahli, praktisi diperoleh kesimpulan buku siswa yang dihasilkan valid. Begitu juga dengan uji coba produk buku siswa aljabar awal bercirikan penemuan terbimbing melalui pengamatan keterlaksanaan buku siswa, angket respon siswa dan tes pengusaan materi diperoleh kesimpulan buku siswa yang dihasilkan praktis dan efektif. Sintaks penemuan terbimbing dalam buku siswa aljabar awal ini meliputi (1) penyajian masalah, (2) menyusun/memproses/mengorganisasikan data [bantuan guru dapat diberikan sesuai kebutuhan berupa pertanyaan], (3) menyusun dugaan, (4) menyajikan dugaan dengan tulisan atau lisan, (5) latihan soal untuk menguji kebenaran dugaan. Pembelajaran dengan penemuan merupakan bagian dari model pembelajaran pada kurikulum 2013. Sehingga buku siswa ajabar awal bercirikan penemuan terbimbing yang dihasilkan pada penelitian pengembangan ini sesuai dengan pembelajaran pada kurikulum 2013. Penemuan terbimbing memiliki beberapa keuntungan (a) The increase in intellectual potency, (b) the shift from extrinsic to intrinsic rewards, (c) learning the heuristics of discovering, and (d) the aid to memory processing (Bruner, 2006: 58). Dari pernyaataan Bruner diperoleh informasi dengan penemuan akan menambah potensi intelektual, penghargaan berubah dari luar diri menuju dari dalam diri dan membantu proses mengingat. Untuk belajar suatu materi pada buku siswa yang telah dikembangkan, siswa dituntut aktif terlibat dalam menemukan dengan pemahamannya sendiri dan dimungkinkan mengatasi kesulitan yang didapatkan dengan bertanya kepada guru. Keterlibatan siswa menemukan suatu konsep menurut Hudojo (2005: 95) berdampak pemahaman konsep menjadi lebih baik, ingat lebih lama dan mampu menggunakannya ke dalam konteks yang lain. Pada buku siswa yang dikembangkan untuk mempelajari suatu konsep siswa tidak diberikan dalam bentuk konsep jadi, tetapi siswa dilibatkan mengonstruksi konsep tersebut. Hal ini sesuai pendapat Bruner (1973: 406) "Discovery in learning has precisely the effect upon the learner of leading him to be constructionist". Cobb (2007) belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuan matematika. Nurhadi (2004: 43) menyatakan guru dalam metode penemuan ini harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Subanji (2013) berpendapat hal penting dalam pembelajaran penemuan adalah siswa harus menjadi bagian yang aktif dalam memformulasikan dan dalam mencapai atau mendapatkan informasi baru. Penemuan terbimbing sejalan dengan pembelajaran kontruktivis hal ini didukung oleh Kuhlthau (2007) Guided Inquiry has a solid theoretical foundation grounded in the constructivist approach to learning. It is based on the work of major educational theorists and researchers, including Dewey, Bruner, Kelly, Vygotsky, and Piaget. Keuntungan pembelajaran penemuan bagi siswa menurut Kuhlthau (2007: 6) diantaranya (a) mengembangkan kemampuan sosial, membaca dan bahasa komunikasi, (b) membangun pemahamannya sendiri (construct their own meaning), (c) keuntungan mandiri dalam meneliti dan belajar (gain independence in research and learning), (d) pengalaman dalam level yang tinggi dalam motivasi dan berjuang (experience a high level of motivation and
1336
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
engagement), (e) Strategi belajar dan transfer ketrampilan untuk proyek penemuan yang lain (learn strategies and skill transferable to other inquiry projects). Penelitian pembelajaran dengan metode penemuan telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Saragih dan Afriati, 2012; Yunari, 2012; Effendi, 2012; Pais, 2009; Abdullah dan Shariff , 2008; Jaworski, 2006; Syafiruddin, 2005; Goos, 2004). Hasilnya menunjukkan bahwa penemuan terbimbing dapat membantu membangun dan meningkatkan pemahaman (Saragih dan Afriati, 2012; Pais, 2009; Jaworski, 2006; Syafiruddin , 2005). Penemuan terbimbing juga meningkatkan kemampuan bernalar (Abdullah dan Shariff , 2008). Metode penemuan terbimbing juga dapat meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa (Effendi, 2012). Metode penemuan juga dapat meningkatkan partisipasi, respon, ide dan pendapat siswa dalam pembelajaran apabila guru mampu memberikan scafolding yang tepat. Disarankan dalam pembelajaran perlu diciptakan komunitas dan kultur belajar di kelas melalui penemuan (Goos, 2004). Salain itu metode penemuan juga dapat meningkatkan hasil belajar (Yunari, 2012). Pemahaman siswa terhadap materi pada buku siswa aljabar awal dengan penemuan terbimbing sangat baik hal ini ditunjukkan penguasaan materi pada uji coba pertama dari 25 siswa dengan kriteria penguasaan materi minimal 2,66 diperoleh hasil setiap siswa memperoleh nilai tidak kurang dari 2,66. Begitu juga pada uji coba kedua semua siswa sebanyak 23 siswa penguasaan materinya lebih dari 2,66. Hal ini sejalan temuan penelitian (Saragih dan Afriati, 2012; Yunari, 2012; Pais, 2009; Jaworski, 2006; Syafiruddin , 2005) yang menyatakan bahwa metode penemuan terbimbing dapat membantu membangun dan meningkatkan pemahaman siswa. Kriteria praktis disandarkan pada hasil observasi keterlaksaana buku siswa yang meliputi aspek (1) kegiatan dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa sesuai dengan yang terdapat dalam buku siswa, (2) siswa melakukan aktivitas menyusun atau memproses atau menganalisa data secara individu dilanjutkan diskusi kelompok, (3) siswa menyusun dugaan berdasaran pemahamannya, (4) siswa melakukan diskusi kelas atau kelompok, (5) guru memberikan konfirmasi konsep yang dipelajari, (6) Siswa mengerjakan latihan yang ada di buku siswa, (7) siswa dapat menyimpulkan konsep berdasarkan aktivitas yang telah dilakukan, (8) siswa melaksanakan kegiatan yang diminta secara runtut berdasaran langkahlangkah yang terdapat pada buku siswa, (9) siswa melaksanakan kegiatan yang diminta secara keseluruhan, (10) latihan yang diberikan guru kepada siswa terdapat pada buku siswa, (11) secara keseluruhan buku siswa dapat digunakan dalam proses pembelajaran dengan waktu yang telah direncanakan. Kepraktisan buku ini didukung oleh adanya petunjuk yang jelas dalam setiap aktivitas kegiatan membuat siswa mampu membelajarkan diri sendiri, seluruh materi dari satu unit kompetensi terdapat dalam satu bahan ajar secara utuh, buku siswa tidak tergantung pada bahan ajar lain. Karakteristik buku siswa yang dihasilkan sesuai pendapat Lestari (2013: 2) yaitu self instructional, self contained, stan alone, adaptive, dan user friendly. Dari hasil angket respon siswa pada uji produk pertama skor rata-rata respon dari 25 siswa adalah 1,3. Pada uji produk pertama ditunjukkan bahwa siswa memberikan respon positif. Begitu juga pada uji produk kedua skor rata-rata respon dari 23 siswa adalah 1,42. Hal tersebut menunjukkan siswa memberi respon positif. Temuan tersebut sesuai dengan penelitian oleh Effendi (2012) menemukan siswa memiliki sikap positif terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing. Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan setelah direvisi menjadi buku siswa aljabar awal bercirikan penemuan terbimbing yang valid, praktis dan efektif. Hasil validasi ahli, praktisi dan uji coba terhadap buku siwa aljabar awal memberikan kesempatan peserta didik belajar mandiri. Pentingnya belajar mandiri dikemukakan oleh beberapa ahli dan peneliti (Hariadi, 2012; Yamin 2012, Chaeruman, 2007; Aisyah & Hiltrimartin, 2004; Moedjiono & Hasibuan, 2002; Syam, 1999) Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran pendekatan pola belajar mandiri dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Hariadi, 2012;). Belajar mandiri memiliki manfaat diantaranya mengasah multiple intelligences, mempertajam analisis, memupuk tanggung jawab, mengembangkan daya tahan mental, meningkatkan ketrampilan, berpikir kreatif, berpikir kritis, percaya diri yang kuat, dan menjadi pembelajar bagi dirinya sendiri (Yamin, 2012). istem belajar mandiri akan menjadi trend model pendidikan masa depan (Chaeruman, 2007). Kemampuan belajar mandiri di kalangan mahasiswa dapat dilakukan melalui pemberian tugas berkelompok (Aisyah & 1337
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hiltrimartin, 2004). Belajar mandiri menjadi satu alternatif mengembangkan sumber daya manusia (Syam, 1999). Menurut Moedjiono dan Hasibuan (2002: 10) mengemukakan pergeseran tanggung jawab belajar ke arah siswa, sehingga perancangan dan implementasi kegiatan belajar mengajar dilandasi bagaimana kegiatan belajar meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Dengan meningkatnya keterlibatan siswa dalam belajar pengalaman belajar yang diperoleh mampu mendorong kemandirian siswa. Holstein (1986: 1) meyatakan kemandirian belajar merupakan keharusan untuk hari depan pelajar yang dapat dilihat manfaatnya pada masa akan datang dalam keluarga dan masyarakat. Dengan siswa dilatih belajar mandiri dimungkinkan dalam belajar siswa lebih terlatih menjadi pribadi yang mandiri yang akan berguna bagi masa depan. Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan secara eksplisit mencantumkan tahaptahap penemuan terbimbing, hal ini memiliki keuntungan diantaranya memudahkan ketercapain orientasi pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga siswa difasilitasi dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar secara utuh dan bermakna serta bertahan lama. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Sanjaya (2011) menyatakan pembelajaran penemuan merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student centered approach) hal ini bisa dicapai jika bahan pelajaran yang diajarkan tidak berbentuk konsep yang sudah jadi tetapi memerlukan keterlibatan siswa membuat suatu kesimpulan. Lebih lanjut sanjaya menyatakan dalam pembelajaran penemuan menempatkan siswa sebagai subjek belajar, dimana seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dalam model pembelajaran ini guru diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar bagi siswa bukan satu-satunya sumber belajar. Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan juga menyajikan pentingnya penulisan simbol dalam matematika. Proses simbolisasi dari arimatik ke aljabar merupakan hal yang krusial (Ferrari & Luigi, 2006). Menurut Soedjadi (2000) di Sekolah Dasar penekanan kepada number sense , untuk di SLTP atau SMP penekanan kepada symbol sense karena simbol-simbol yang tidak selalu berarti bilangan itu banyak digunakan dalam matematika di SLTP. Bagian ini merupakan pendasaran matematika yang teramat penting karena dengan aneka ragamnya semesta memungkinkan matematika digunakan diberbagai bidang kerja atau keilmuan. Pyke (2003) dalam penelitiannya menyatakan penggunaan symbol, kata, diagram memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan ide, masingmasing berkontribusi dengan level berbeda untuk mampu menyelesaikan tugas dan dengan cara berbeda berkontribusi dalam proses kognitive dalam menyelesaikan masalah. Ryan & William (2007) menyebutkan simbol aljabar 𝑥 bagi siswa membingungkan, 𝑥 mewakili sebuah bilangan, sebarang bilangan atau kumpulan bilangan atau semua bilangan. Van de Walle (2010) bernalar aljabar meliputi membentuk generalisasi dari pengalaman dengan bilangan dan peenghitungan, formalisasi ide ini menggunakan pemaknaan yang kuat terhadap sistem simbol, dan mengekplorasi konsep pola dan fungsi . Berpikir aljabar meliputi semua matematik dan pokok dari itu membuat matematika berguna dalam kehidupan sehari-hari. Goos (2007) masalah disekolah menengah tentang aljabar khususnya mengintepretasi dan manipulasi symbol. Belajar simbol sejak sekolah menengah akan bermanfaat menjadi transisi dari matematika sekolah ke matematika universitas yang formal (Tall, 2008). Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan juga memberikan tumbuhnya kemampuan sosial, membaca dan komunikasi. Kemampuan membaca sangat penting dan strategis dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan global yang kompetitif (Rivalina dan Siahaan, 2007). Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan juga menumbuhkan menuntun siswa aktif dalam belajar. Bell (1978) menyatakan jika siswa aktif maka partisipasi dalam kelas meningkat. Soedjadi (2000: 102) menyatakan siswa aktif belajar bila pendekatan penemuan digunakan dalam pembelajaran. Hudojo (2005:195) menyatakan jika siswa aktif terlibat dalam menemukan suatu prinsip dasar sendiri, maka akan memahami konsep lebih baik, ingat lebih lama dan akan mampu menggunakannya pada konteks lain. Selain itu siswa akan bergairah mempelajari matematika dan akan membawa siswa mengetahui lebih lanjut hubunganhubungan yang lain. Yunari (2012) menyatakan jika siswa selalu aktif dalam
1338
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengonstruksi pengetahuan baru kegiatan belajar akan berlangsung optimal, sehingga diperoleh hasil belajar yang memuaskan. Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan berdasar uraian diatas memiliki beberapa kelebihan antara lain: a. Memberikan kesempatan peserta didik dapat belajar mandiri. b. Memuat tahap-tahap penemuan terbimbing secara eksplisit. c. Meningkatkan kepercayan diri siswa karena materi diberikan memperhatikan kemampuan siswa. d. Diberikan catatan-catatan yang harus diperhatikan oleh siswa tentang hal penting dalam penulisan simbol matematika. e. Membantu meningkatkan kemampuan sosial, membaca dan komunikasi. f. Melibatkan siswa untuk aktif dalam belajar. Buku siswa sudah divalidasi oleh ahli dan praktisi serta diuji cobakan terdapat petunjuk belajar, peta konsep, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan soal, petujuk kerja sehingga buku siswa yang telah dikembangkan sesuai pendapat Majid (2012) dalam mengembangkan bahan ajar paling tidak mencakup antara lain petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan-latihan, petunjuk kerja dan evaluasi. PENUTUP Saran Pemanfaatan, Diseminasi dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut Saran Pemanfaatan Produk Pengembangan Produk hasil penelitian pengembangan berupa buku siswa yang dilengkapi rencana pelaksanaan pembelajaran sudah divalidasi oleh ahli dan prktisi serta diuji cobakan di kelas 7C dan 7A SMP Negeri 2 Gondanglegi sehingga produk ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran di kelas 7 sekolah tersebut. Guru lain pada sekolah peneliti dapat melakukan pembelajaran dengan menggunakan buku tersebut untuk dijadikan bahan pendamping buku paket dari pemerintah. Saran Diseminasi Produk Pengembangan Produk yang dihasilkan pada pengembangan pengembangan telah diuji cobakan terbatas di dua kelas SMP Negeri 2 Gondanglegi, disarankan tahun pelajaran yang akan datang produk hasil pengembangan ini dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar pada seluruh kelas tujuh di sekolah tersebut. Bagi sekolah lain yang akan menggunakan buku siswa ini perlu disesuiakan karena buku siswa ini dikembangkan didasarkan pada karakteristik siswa SMP Negeri 2 Gondanglegi. Saran untuk Pengembangan Produk lebih lanjut Disamping hal positif yang telah ada dimuka ada beberapa hal yang kurang dalam pengembangan buku siswa yaitu a) Tidak ada kunci jawaban dari setiap latihan soal yang diberikan. b) Ada kata yang kurang familier bagi siswa seperti merepresentasikan. c) Terlalu banyak kata-kata sehingga membuat siswa jenuh. d) Tidak dicetak hard cover sehingga kurang menarik. e) Kurang gambargambar yang sesuai dengan materi aljabar Karena itu disarankan untuk pengembang berikutnya memperbaiki kekurangan yang ada. Karena keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan pengembang, produk pengembangan buku siswa materi aljabar awal belum dilengkapi buku guru, sehingga disarankan pengembang berikutnya mengembangkan buku guru. Mengembangkan buku siswa pada materi lain dengan metode penemuan terbimbing akan bermanfaat bagi siswa sehingga pengembang berikutnya disarankan mengembangkan buku siswa pada materi lain. Pengembangan buku siswa pada materi lain juga akan bermanfaat bagi Guru dalam Penilaian Kinerja Guru. Pada saat mengembangkan istrumen validasi RPP pertanyaan yang mengarah pada apakah RPP sudah menerapkan penemuan terbimbing masih kurang baru, dalam lembar validasi pertanyaan tentang penerapan penemuan terbimbing baru dua indikator, sehingga untuk pengembang berikutnya disarankan dalam mengembangkan instrumen validasi RPP lebih banyak memuat pertanyaan bahwa RPP menerapkan penemuan terbimbing. 1339
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Abdullah, S., & Shariff, A. 2008. The Effects of Inquiry-Based Computer Simulation with Cooperative Learning on Scientific Thinking and Conceptual Understanding of Gas Laws. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, Vol. 4, No. 4, pp. 387 398 Aisyah, N., & Hiltrimartin, C. 2004. Peningkatan Kemampuan Belajar Mandiri Mahasiswa melalui Pemberian Tugas secara Berkelompok. Jurnal Forum Kependidikan, Volume 24, Nomor 1, Halaman 113. Amit, M., & Neria, D. 2008. Methods for the generalization of non-linear patterns used by talented pre-algebra student. International Group for the Psychology of Mathematics Education Proceedings of the Joint Meetingof PME 32 and PME-NA XXX, Vol. 2, pp. 49 56. Anthony, G., & Hunter, J. 2008. Developing algebraic generalisation strategies. International Group for the Psychology of Mathematics Education Proceedings of the Joint Meetingof PME 32 and PME-NA XXX , Vol. 2, pp. 65 72. Arends, R. I. 2012. Learning To Teach, Ninth Edition. USA New York: Mc Graw-Hill. Asquith, P., Stephens, A. C., Knuth, E. J., & Alibali, M. W. 2007. Middle School Mathematics Teachers‘ Knowledge of Students‘ Understanding of Core Algebraic Concepts: Equal Sign and Variable. Mathematical thinking and learning,Vol. 9, No.3, pp. 249 – 272 Banerjee, R., Subramaniam, K., & Naik, S. 2008. Bridging arithmetic and algebra: evolution of a teaching sequence, International Group for the Psychology of Mathematics Education Proceedings of the Joint Meeting of PME 32 and PME-NA XXX, Vol. 2, pp. 121 128. Bell, F. H. 1978. Teaching and Learning Mahematics (in Secondory Schools). USA: Wn. C. Brown Company Publiser Berger, M. 2008. Computer algebra systems, semiotic activity and the cognitive paradox. International Group for the Psychology of Mathematics Education Proceedings of theJoint Meetingo PME 32 and PME-NA XXX, Vol. 2, pp. 153 160. Breiteig, T., & Grevholm, B. 2006. The Transition From Arithmetic To Algebra : To Reason, Explain, Argue, Generalize and Justif. Proceeding 30th Coneference of the International Group for the Psychology of mathematics education, Vol. 2, Number 2, Bruner, J. S. 2006. In Search of Pedagogy Volume I. New York: Routledge. Bruner, J. S.1973. Beyond The Information Given. New York: W. W. Norton & Company Cobb, P. 2007. Where Is the Mind? Constructivist and Sociocultural Perspectiveson Mathematical Development. EducationalResearcher, Vol. 23, No.7, pp. 13 20. Chaeruman, U. A. 2007. Suatu Model Dengan Sistem Belajar Mandiri. Jurnal Teknodik, Volume XI, Nomor 21, Halaman 737. Darmadi, H. 2009. Kemapuan Dasar Mengajar. Bandung: Alfabeta Daryanto., & Dwicahyono, A. 2014. Pengembangan Perangkat Pembelajaran (Silabus, RPP, PHB, Bahan Ajar). Yogyakarta: Penerbit Gava Media Delcourt, M. A. B,. & McKinnon. 2011. Tools for Inquiry: Improving Questioning in the Classroom. LEARNing Landscapes | Vol. 4, No. 2, Spring, pages 145 -158. Diezmann, C. M. 2004. Assessing Learning From Mathematical Inquiry: Challenges For Students,Teachers And Researchers. Proceedings Mathematical Association of Victoria Conference. pages 80-85, Melbourne. Dick, W., Carey, L., & Carey .J. O. 2001. The systematic Design of Intruction fifth edition. USA: Addiso Wesley Educational Publiher Inc. Effendi, L A. 2012. Pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Jurnal penelitian Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Volume 13, Nomor 2, Halaman 19. Ferrari & Luigi, P. 2006. From verbal texts to symbolic expressions: A semiotic approach to early algebra. Proceedings of the 30thConference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Prague, Czech Republic July 16-21, page 73 80.
1340
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Francisco, J., & Hähkiöniemi, M. 2006. Insights Into Students‘ Algebraic Reasoning. Proceedings of the 30thConference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education Prague, Czech Republic July 16-21, page 105-112. Gallardo, A., & Hernandez, A. 2005. The Duality Zero in the Transition From Arithmetic to Algebra. Procceding of the 29th Conference of the International Group for the psychology of Mathematics Education, Vol. 3 Goos, M.2004. Learning mathematics in a classroom community of inquiry. Jurnal for Research in mathematic education 2004, Vol. 35, No. 4, pp. 258 291 Hallagan, J. E. 2006. The Case of Bruce.ATeacher's Modelo fhis Students' Algebraic Thinking about Equivalent Expressions. Mathematics Education Research Journal, Vol. 18, No.1, pp.104 124 Hariadi, S. 2012. Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Melaui Model Pembelajaran Sistem Kontrak Kerja dengan Pendekatan Pola Belajar Mandiri pada Mata Pelajaran Matematika Kelas VIII C SMP Negeri 1 Tenggarang. Jurnal Riset Pendidikan dan Pembelajaran, Voleme III, No 11, Halaman 1189 1196. Hasibuan, J. J., & Moedjiono. 1985. Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Healy, L., & Hoyles, C. 2000. A Study of Proof Conceptions in Algebra. Journal for Reseach in Mathematics Education, Vol 31, No. 4, pp. 396 428. Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan, Pena Salsabila Jember Holstein, H. 1986. Murid Belajar Mandiri, Situasi Belajar Mandiri dalam Pelajaran Sekolah. Bandung: PT Remadja Karya Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang Hunter R. 2010. Changing roles and identities in the construction of a community of mathematical inquiry. J Math Teacher Educ,Vol. 13: pp. 397 – 409. In Woo, J. H., Lew, H. C., Park, K. S. & Seo,D. Y. (Eds.). 2007. The Influence Of InquiryBased Mathematics Teaching On 11th Grade High Achievers: Focusing On Metacognition. Proceedings of the 31st Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Volume 2, pp. 129-136. Seoul: PME. Jaworski, B. 2006. Theory And Practice In Mathematics Teachingdevelopment: Critical Inquiry As A Mode Of Learning In Teaching. Journal of Mathematics Teacher Education, Vol.9, pp. 187 – 211. Katz, V. J. 2007. Stages In The History Of Algebra With Implications For Teaching. Educational Studies in Mathematics, Vol. 66, pp. 185 – 201. Kazemi, E., & Franke, M. L. 2004. Teacher Learning In Mathematics: Using Student Work To Promote Collective Inquiry. Journal of Mathematics Teacher Education, Vol. 7, pp. 203 – 235. Kieren, C. Algebraic Thinking in the Early Grades: What Is It?. The Mathematics Educator 2004, Vol.8, No.1, pp 139 151. Knuth, E. J. 2000. Student Understanding of the Cartesian Connection : An Exploratory Study. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 31, No. 4, pp. 500508. Koca. 2010. Prospective teachers‘ views on the use of calculatorswith Computer Algebra System in algebra instruction. J Math Teacher Educ, Vol.13, pp. 49 – 71. Kuhlthau, C.C., Maniotes, L. K., & Caspari A. K. Guided Inquiry Learning in the 21st Century. United States of America : Libraries Unlimited, Inc Lannin, J., & Barker, D. 2006. Algebraic Generalisation Strategies : Factors Influencing Student Strategy Selection. Mathematics Education Research journal , Vol.I, No.3, pp. 3 28. Leikin, R., & Rota, S. 2006. Learning through Teaching:A Case Study on the Development of a Mathematics Teacher's Proficiency in Managingan Inquiry-Based Classroom. Mathematics Education Research Joumal, Vol.18, No.3, pp. 44 68. Lestari, I. 2013 Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Padang Indonesia: Indeks Akademia Permata.. Livneh, D., & Linchevski, L. 2007. Algebrification Of Arithmetic : Developing Algebraic structure Sense In The Context Of Arithmetic. Proceeding of the 3st Coneference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol 3. 1341
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Majid, A. 2012. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Makar, K. 2002. ―Connection Levers‖: Developing Teachers‘ Expertise with Mathematical Inquiry. Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia Mathematics: Essential Research, Essential Practice , Volume 2, page 483 492. Malisani, E., & Spagnolo, F. 2009. From arithmetical thought to algebraic thought: The role of the―variable‖. Educ Stud Math, Vol. 71, pp. 19 – 41. Markaban. 2006. Model pembelajaran matematika Dengan pendekatan penemuan terbimbing. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Dan Penataran Guru Matematika Yogyakarta Mbulu, J., & Suhartono. 2004. Pengembangan bahan ajar. Malang: Penerbit Elang Emas Middleton, J. A., & Oksuz, C. 2007. Middle School Children‘s Understanding of Algebra Fraction as Quotiens. Journal Science Mathematica Education Volume 7 Muhsetyo, G. 2004. Pembelajaran Matematika Berbasis Komppetensi, Jurnal Matematika, Tahun X, Nomor 2, pp. 125 139. Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Novotná, J., & Hoch, M. 2008. How Structure Sense for Algebraic Expressions or Equations is Related to Structure Sense for Abstract Algebra. Mathematics Education Research Journal, Vol. 20, No. 2, pp. 93 104. Pais. 2009. Peningkatan Penguasaan Konsep Volume Bangun Ruang Dengan Metode Penemuan Terbimbing Berkelompok Di MTs Darussa’adah Gubugklakah Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.Tesis Tidak diterbitkan: PPs Universitas Negeri Malang Parta, I. N. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Inquiry untuk memperhalus Pengetahuan Matematika Mahasiswa Calon Guru melalui Pengajuan Pertanyaan. Disertasi Tidak diterbikan: PPs UNESA Patton, B., & Santos, E. D. L. 2012. Analyzing Algebraic Thinking Using ―Guess My Number‖ Problems. International Journal of Instruction, Vol.5, No. 1, pp. 1308-1470 Prastowo, A. 2013. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Penerbit Diva Press Pyke, C. L. 2003. The Use of Symbols, Words, and Diagrams as Indicators of Mathematical Cognition: A Causal Model. Journal for Reseach in Mathematics Education, Vol. 34, No. 5, pp. 406 432. Radford, L., & Puig L. Syntax And Meaning As Sensuous, Visual, Historical Forms Of Algebraic Thinking. Educational Studies in Mathematics, Vol. 66, pp. 145–164 Reed, S. K. 1999.Word problem: Reseach and curriculum reform, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Rivalina, R., & Siahaan, S. 2007. Strategi Meningkatkan Minat Baca: Menjadikan Membaca Sebagai Kebiasaan Hidup Sehari-hari. Jurnal Teknodik, Volume XI, Nomor 22, Halaman 169186. Ruthven, K., Deaney, R., & Hennessy, S. 2009. Using graphing software to teach about algebraic forms: a study of technology-supported practice in secondary-school mathematics. Educ Stud Math, Vol. 71, pp. 279 – 297. Ryan, J., & Williams, J. 2007. Children’s Mathematics 4-15 Learning from errors and Misconception. Open University Press McGraw- Hill Edducatio. Sanjaya, W. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media. Saragih, S. & Afriati, V. 2012. Peningkatan Pemahaman Konsep Grafik Fungsi Trigonometri Siswa SMK Melalui Penemuan Terbimbing Berbantuan Software Autograph. Jurnal Pendidikan & Kebudayaan, Volume 18, Nomor 4, Halaman 368 381. Santos, M., & Trigo.2008. An Inquiry Approach to Construct Instructional Trajectories Based on The Use of Digital Technologies. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, Vol.4, No.4, pp. 347 357. Sikko, S. A., Lyngved, & Pepin. Working with Mathematics and Science teachers on inquiry based learning (IBL) approaches: Teacher beliefs. Visions Coference Teacher Education, Vol. 6, No.1, pp. 117. 1342
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Slavin, R. E.2006. Educational Psychology Theorv and Practice. United States of America: Pearson Education, Inc Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia Konstatasi keadaan masa kini menuju masa depan . Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Suherman, E, dkk.2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Syafiruddin. 2005. Pembelajaran Luas Segitiga dengan Metode Penemuan Terbimbing. Jurnal Penelitian Kependidikan, Volume 15 Nomor 1, Halaman 6674. Syam, M. N. 1999. Mengembangkan Sikap dan Praktik Belajar Mandiri: Alternatif Model Belajar Mengajar Aktif dan Efektif. Jurnal Filsafat, Teori dan Praktik kependidikan, Volome 26, Nomor 2, Halaman 115 126. Tabach, M., Arcavi, A., & Hershkowitz, R. 2008. Transitions among different symbolic generalizations by algebra beginners in a computer intensive environment. Educ Stud Math, Vol.69, pp. 53 – 71. Tall, D. 2008. The Transition to Formal Thinking in Mathematics, Mathematics Education Research Journal, Vol. 20, No. 2, pp. 5 24. Thiagarajan, S. Semmel, D.S., & Semmel, M.I. 1974. Intruksional Development for Training Teachers of Exceptional Children .Minnepolis, Minnesta; Leadership training Institut/Spesial education, University of Minnesota Trianto. 2013. Mendesain Model Pembelajaran InovatifProgresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group . Trianto. 2011. Modelmodel Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Konstektual di Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Uno, H. B. 2011. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara Van de Walle, 2007. John A. Elementary and middle school mathematics: teaching developmentally. — 7th ed.Pearson ISBN-13: 978-0-205-57352-3 Widodo, C. S., & Jasmadi. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Xiaobao Li .2006. Cognitive Analysis Of Students’ Errors And Misconceptions In Variables, Equations, And Functions. Dissertation. Texas A &M University Diunduh dari http://repository.tamu.edu/bitstream/handle/1969.1/ETD-TAMU-1098/LIDISSERTATION.pdf?sequence=1 tanggal 10 september 2013 Yamin, M. 2012. Desain Baru Pembelajaran Konstruktivistik. Jakarta: Referensi Yerusalmy, M. 2006. Slower Algebra students Meet Faster Tools : Solving Algebra Word Problem With Graping Software. Jurnal for Research in Mathematic Education, Vol. 37, No 5, pp. 356 387. Yunari, N. 2012. Increasing the Achievement Of Fraction Material In Mathematics Subject by Discovery Learning at the Third Year Students of SDN 1 Wonorejo Tulungagung. Jurnal Riset Pendidikan dan Pembelajaran, Voleme III, No 11, Halaman 1220 1226.
1343
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
IDENTIFIKASI GESTURE SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Intan Dwi Hastuti Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UM [email protected] Subanji Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan gesture siswa dalam proses menyelesaikan masalah matematika. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Subjek penelitiannya adalah 6 siswa kelas VIII SMPN 1 Malang. Penelitian dilakukan dengan memberikan soal pemecahan masalah kepada setiap kelompok yang terdiri dari dua orang siswa dengan kemampuan heterogen. Pada tahap pertama, peneliti meminta masing-masing kelompok berdiskusi dengan pasangannya untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah. Selama siswa melakukan diskusi, peneliti hanya fokus pada video recording untuk merekam proses diskusi siswa dan mengamati gesture yang muncul. Tahap kedua, peneliti melakukan wawancara berbasis tugas sekaligus mengonfirmasi gesture yang muncul saat menyelesaikan masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa menggunakan 3 jenis gesture untuk mengomunikasikan ide-ide matematis terkait dengan solusi masalah yaitu 1) pointing gesture dengan persentase 50% , 2) representational gesture dengan persentase 5%, dan 3) writing gesture dengan persentase 45% Kata Kunci: Gesture, pemecahan masalah matematika
Siswa sering menggunakan gesture untuk mengomunikasikan ide-ide matematis terkait dengan solusi masalah. Menurut Wilson (2002: 625) gesture merupakan salah satu aspek penting yang merupakan wujud kognisi matematis seseorang dan dapat dijadikan sebagai indikator perwujudan representasi mental. Gesture juga memfasilitasi pembelajaran anak terhadap konsep-konsep matematika dan meningkatkan strategi kognisi mereka untuk solusi masalah (Francaviglia & Servidio, 2011: 91). Pendapat ini juga diperkuat oleh Yoon, Thomas, & Dreyfus (2011) bahwa gesture membantu menciptakan konstruksi matematika, yang pada gilirannya mengarah pada strategi pemecahan masalah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gesture merupakan representasi pemikiran seseorang. McNeill (2005: 38) menjelaskan bahwa terdapat empat jenis gesture, yaitu: 1) Iconic, 2) methaporic, 3) deictic, dan 4) beat. Berpijak pada teori McNeill, penelitian Shein (2012) menguraikan 3 (tiga) jenis gesture sebagai berikut: 1) pointing gesture, 2) representational gesture, dan 3) writing gesture. Pointing gesture adalah gesture yang ditandai dengan penggunaan jari-jari, tangan, alat tulis, benda fisik, tempat, atau orang, atau untuk menunjukkan unsur-unsur dalam ruang gestural yang disebut dalam ucapan tetapi tidak secara hadir secara visual. Representational gesture adalah tindakan atau gerakan yang menggambarkan ide-ide konkrit dan abstrak, entitas, atau kejadian yang disampaikan dalam kata-kata. Writing gesture terjadi ketika gerakan/isyarat meninggalkan bekas permanen pada media baru (misalnya lembar kerja, papan tulis, atau representasi visual). Beberapa ahli telah melakukan penelitian terkait dengan gesture dalam pemecahan masalah matematika. Hasil penelitian dari Wittmann, Black, & Flood (2013: 169) mengungkapkan bahwa siswa memecahkan masalah aljabar dengan benar dan efisien tanpa menggunakan bahasa matematika yang jelas tetapi sebaliknya mereka menggunakan gerakan dan ucapan saat menyelesaikan masalah aljabar. Penelitian yang dilakukan oleh Ehrlich, Levine, & Meadow (2006: 1259) mengungkap bahwa gesture memberikan informasi yang berguna tentang strategi spasial anak-anak, dan pelatihan gesture akan sangat efektif dalam meningkatkan keterampilan rotasi mental anak-anak. Penelitian dari Yoon, Thomas, & Dreyfus (2011: 891) mengungkapkan bahwa pada saat siswa bekerja pada masalah kalkulus, siswa menggunakan gesture untuk memperjelas hubungan antara fungsi, turunan dan antiturunan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, menunjukkan bahwa gesture sangat penting untuk dikaji lebih mendalam karena gesture siswa dapat dilihat sebagai fasilitator dari ekspresi verbal yang mengarah pada strategi kognisi untuk solusi masalah. Oleh karena gesture 1344
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
berperan penting dalam pemecahan masalah, peneliti bermaksud melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan gesture siswa dalam proses menyelesaikan masalah matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengeksplorasi dan mendeskripsikan gesture siswa dalam proses menyelesaikan masalah matematika, oleh karena itu jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2014 di SMPN 1 Malang. Penelitian dilakukan dengan memberikan soal pemecahan masalah kepada 3 kelompok siswa dimana setiap kelompok terdiri dari dua orang siswa dengan kemampuan heterogen. Tahap pertama dalam proses pengambilan data ini, peneliti meminta masing-masing kelompok berdiskusi dengan pasangannya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Selama siswa melakukan diskusi, peneliti tidak melakukan intervensi atau tidak terlibat dalam interaksi apapun dengan siswa. Peneliti hanya fokus pada video recording untuk merekam proses diskusi siswa dan mengamati gesture yang muncul ketika mereka menyelesaikan masalah. Tahap kedua peneliti menganalisis hasil pekerjaan siswa dan melakukan wawancara dengan siswa untuk mengkaji lebih jauh gesture siswa yang terkait dengan aktivitas mereka saat menyelesaikan masalah. Selanjutnya untuk tahap ketiga peneliti akan mengkaji hasil rekaman video, hasil wawacara, dan hasil pekerjaan siswa, serta mengelompokkan gesture yang muncul ke dalam tiga jenis gesture yang telah ditetapkan. Jenis gesture yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis gesture yang dikemukakan oleh Shein (2012) yaitu : 1) pointing gesture, 2) representational gesture, dan 3) writing gesture. HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti menganalisis hasil rekaman video dan dari hasil analisis ini ada 20 gesture yang muncul saat siswa berdiskusi menyelesaikan masalah termasuk diantaranya adalah pointing gesture, representational gesture, dan writing gesture. Jenis gesture dan frekuensi gesture yang muncul dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jenis Gesture Dan Frekuensi Gesture Yang Muncul
Frekuensi Persentase
Pointing 10 50%
Representational 1 5%
Writing 9 45%
Total 20 100%
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa frekuensi pointing gesture adalah 10 dengan persentase 50%, ini artinya bahwa selama siswa berdiskusi menyelesaikan masalah, pointing gesture muncul sebanyak 10 kali. Selanjutnya frekuensi representational gesture adalah 1 dengan persentase 5%, dan frekuensi writing gesture adalah 9 dengan persentase 45%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa frekuensi gesture terbesar adalah pointing gesture, artinya pointing gesture adalah gesture yang paling banyak diproduksi siswa saat mereka berdiskusi menyelesaikan masalah. 1. Pointing Gesture Gesture memfasilitasi pembelajaran anak terhadap konsep-konsep matematika dan meningkatkan strategi kognitif mereka untuk solusi masalah (Francaviglia & Servidio, 2011: 91). Selanjutnya gesture dapat mengungkapkan makna, memanfaatkan kerangka linguistik kognisi, dan memberikan masukan untuk paduan konseptual terkait ide-ide matematika (Edwards, 2009: 127). Gesture yang terkait dengan proses pemecahan masalah akan memperkuat dan meningkatkan representasi konseptual dari konsep-konsep matematika (Fracaviglia & Servidio, 2011: 95). Dengan demikian gesture memberikan informasi penting tentang penalaran siswa pada saat mereka menetapkan strategi pemecahan masalah matematika. Berdasarkan hasil observasi di SMPN 1 Malang, gesture muncul saat siswa berdiskusi dengan temannya dalam menyelesaikan masalah matematika. Melalui gesture, pendengar atau teman yang diajak berdiskusi akan lebih dapat memahami apa yang orang katakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Radford bahwa gesture dan ucapan merupakan bagian dari sumber kognitif dan merupakan aspek mental dari pembicara (Radford, 2009: 113). Selanjutnya temuan observasi ini juga sesuai dengan pendapat Edwards (2009: 127) yang menyatakan bahwa gesture dapat mengungkapkan makna, memanfaatkan kerangka linguistik kognisi, dan 1345
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memberikan masukan untuk paduan konseptual terkait ide-ide matematika. Dengan demikian gesture yang muncul dapat dilihat sebagai fasilitator dari ekspresi verbal yang mengarah pada proses kognisi. Berdasarkan hasil observasi dan hasil analisis rekaman video, salah satu gesture yang sering muncul saat siswa berdiskusi dengan temannya dalam menyelesaikan masalah matematika adalah pointing gesture. Pointing gesture seperti pada gambar 2 ditandai dengan adanya penggunaan jari untuk menunjuk aspek khusus dalam hal ini adalah menunjuk gambar pada lembar soal pemecahan masalah. Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh gesture siswa yang terkait dengan aktivitas siswa saat mereka menyelesaikan masalah, peneliti menganalisis hasil pekerjaan siswa dan melakukan wawancara dengan siswa yang berinisial AU. Gambar 1 adalah hasil pekerjaan AU dan SYH saat berdiskusi menyelesaikan masalah.
Gambar 1. Hasil Pekerjaan AU dan SYH pada Masalah Pertama
2a
2b
1346
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Pointing Gesture Ditandai dengan Adanya Penggunaan Jari Tangan untuk Menunjuk Aspek Khusus dalam Hal ini adalah Menunjuk Gambar pada Lembar Soal Pemecahan Masalah
Gesture pada gambar 2 terjadi saat siswa yang berinisial AU bermaksud untuk memperjelas kalimat matematika yang telah ditulisnya. Melalui gesture pada gambar 2a dan 2b, AU ingin menjelaskan pada teman diskusinya yaitu SYH bahwa gambar pada masalah pertama dapat dibagi menjadi empat bagian sehingga terbentuklah 4 persegi kecil dengan sisi 21 cm. Selanjutnya di dalam setiap persegi kecil ada 1 daerah berwarna putih (dianggap sebagai satu daun), sehingga untuk mendapatkan luas satu daun dicari dahulu luas tembereng. Luas tembereng diperoleh dari luas seperempat lingkaran dikurangi luas segitiga dan hasilnya adalah 126 cm2 dan oleh karena satu daun terdiri dari 2 tembereng maka luas satu daun adalah 126 × 2 = 252. Selanjutnya melalui gesture pada gambar 2b, AU ingin menegaskan bahwa gambar yang berwarna putih pada masalah nomor 2 dianggap sebagai 4 daun, sehingga untuk mencari luas yang diarsir adalah luas persegi dikurangi luas 4 daun. 2. Representational Gesture Gesture merupakan wujud kognisi matematis seseorang dan dapat dijadikan sebagai indikator perwujudan representasi mental. Nemirovsky & Ferrara (2009: 162) mengungkapkan bahwa ekspresi wajah, gesture, gerakan, nada suara, produksi suara, gerakan mata, ketenangan tubuh, dan tatapan merupakan aspek penting dari perwujudan kognisi. Gesture spontan yang dihasilkan oleh seseorang dalam hubungannya dengan ucapan dapat dapat dipertimbangkan sebagai sumber data tentang pemikiran matematika, dan sebagai modalitas integral dalam komunikasi dan kognisi (Edwards, 2009: 127). Berdasarkan hasil observasi di SMPN 1 Malang dan analisis hasil video, siswa melakukan representational gesture untuk mengomunikasikan pemikirannya dan memperjelas kalimat matematika yang telah ditulisnya. Melalui gesture yang diproduksi oleh seseorang diharapkan pendengar atau teman diskusi yang lain akan dapat memahami apa yang dia katakan. Gambar 4 merupakan representational gesture siswa dengan menggunakan kedua telapak tangannya untuk merepresentasikan luas dua buah lingkaran yang saling bertumpukan. Menurut Shein (2012) representational gesture adalah tindakan atau gerakan yang menggambarkan ideide konkrit dan abstrak, entitas, atau kejadian yang disampaikan dalam kata-kata. Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh gesture siswa yang terkait dengan aktivitas siswa saat mereka menyelesaikan masalah, peneliti menganalisis hasil pekerjaan siswa dan melakukan wawancara dengan siswa yang berinisial ADT. Gambar 3 adalah hasil pekerjaan ADT dan HLM saat berdiskusi menyelesaikan masalah.
Gambar 3. Hasil Pekerjaan ADT Dan HLM Pada Masalah Kedua
1347
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4
Gesture pada gambar 4 (representational gesture) menunjukkan luas dua buah lingkaran yang saling bertumpukan.
Gambar 4. Representational Gesture Siswa untuk Merepresentasikan Luas Dua Buah Lingkaran yang Saling Bertumpukan
Gesture pada gambar 4 merupakan representational gesture dimana siswa menggunakan dua telapak tangannya untuk merepresentasikan luas dua buah lingkaran yang saling bertumpukan. Gesture pada gambar 4 ini terjadi saat siswa yang berinisial ADT bermaksud menjelaskan ke teman diskusinya yaitu HLM bahwa untuk menghitung luas daerah yang diarsir adalah luas dua lingkaran yang saling bertumpukan dikurangi luas persegi dan hasilnya adalah 112. Selanjutnya maksud simbol berlabel merah pada gambar 4 adalah menyatakan luas dua buah lingkaran yang saling bertumpukan. 3. Writing Gesture Gesture berperan penting dalam pemecahan masalah matematika, melalui gesture yang diproduksi oleh siswa akan mengarahkan mereka pada solusi masalah. Cook & Meadow (2006: 211) menyatakan bahwa penggunaan gesture akan memungkinkan anak-anak untuk menghasilkan strategi pemecahan masalah. Bahkan Wittmann, Black, & Flood (2013: 169) menyatakan bahwa siswa memecahkan masalah dengan benar dan efisien bukan menggunakan bahasa matematika melainkan mereka menggunakan gesture dan ucapan sebagai satu-satunya solusi aljabar yang digunakan pada saat itu. Gesture merupakan representasi dari pemikiran siswa. Gesture merupakan salah satu aspek penting yang merupakan wujud kognisi matematis seseorang dan dapat dijadikan sebagai indikator perwujudan representasi mental (Wilson, 2002: 625). Menurut Radford (2009: 111) bahwa berpikir tidak semata-mata hanya terjadi di kepala tetapi juga melalui koordinasi semiotik dari ucapan, tubuh, gesture, simbol-simbol, dan alat. Pendapat ini diperkuat oleh Chen & Patricio bahwa gesture merupakan wujud pemikiran siswa dan penalaran siswa (Chen & Patricio, 2013: 285). Berdasarkan hasil observasi di SMPN 1 Malang, siswa menggunakan writing gesture untuk menuliskan tabel dan menggambar grafik (gambar 6). Writing gesture terjadi ketika gerakan/isyarat meninggalkan bekas permanen pada media baru misalnya lembar kerja, papan tulis, atau representasi visual (Shein, 2012: 187). Selanjutnya untuk mengkaji lebih jauh gesture siswa yang terkait dengan aktivitas siswa saat mereka menyelesaikan masalah, peneliti menganalisis hasil pekerjaan siswa dan melakukan wawancara dengan siswa yang berinisial JO. Gambar 5 adalah hasil pekerjaan JO dan FLO saat berdiskusi menyelesaikan masalah. Jawaban pertama:
1348
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jawaban kedua:
Gambar 5. Hasil Pekerjaan JO Dan FLO Pada Masalah Ketiga
Gambar 6. Writing Gesture dimana Siswa Menuliskan Tabel dan Menggambar Grafik
Gesture yang muncul pada gambar 6 merupakan writing gesture yang muncul saat JO membuat tabel atau grafik. JO menjelaskan ke teman diskusinya yang berinisial FLO bahwa ketika dia menggunakan cara pertama itu tidak akan efektif karena kunci utama dari masalah ini adalah tergantung pada jarak tempuhnya untuk sehari sehingga dengan membuat tabel atau grafik seperti cara kedua itu akan lebih efektif dan akan menemukan solusinya. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa siswa sering menggunakan gesture untuk mengomunikasikan ide-ide matematis terkait dengan solusi masalah. Gesture yang mereka gunakan merupakan fasilitator dari ekspresi verbal yang mengarah pada strategi kognisi untuk solusi masalah. Berdasarkan hasil penelitian di SMPN 1 Malang, gesture yang paling sering muncul adalah pointing gesture dengan persentase 50% , selanjutnya adalah writing gesture dengan persentase 45%, dan representational gesture dengan persentase 5%. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan bahwa pembelajaran matematika perlu memanfaatkan gesture untuk proses konstruksi dan penekanan materi matematika. Siswa perlu difasilitasi dengan gesture untuk memahami ide-ide matematik. DAFTAR RUJUKAN
1349
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Chen, C. & Herbst, P. 2013. The Interplay Among Gestures, Discourse, And Diagrams In Students‘ Geometrical Reasoning. Educational Studies in Mathematics, 83 (2): 285– 307. Cook, S. & Meadow, S. 2006. The Role of Gesture in Learning: Do Children Use Their Hands to Change Their Minds. Journal Of Cognition And Development, 7 (2): 211–232 Edwards, L. 2009. Gesture And Conceptual Integration In Mathematical Talk. Education Study Mathematic, 70 (2): 127-141. Ehrlich, S., Levine, S. & Meadow, S. 2006. The Importance of Gesture in Children‘s Spatial Reasoning. Developmental Psychology, 42 (6): 1259-1268. Francaviglia, M. & Servidio, R. 2011. Gestures as a Cognitive Support to Solve Mathematical Problems. Scientific Research, 2 (2): 91-97. Kapa, E. 2002. A Metacognitive Support During The Process of Problem Solving In A Computerized Environment. Educational Studies In Mathematics, 47 (3): 317-336. McNeill, David. 2005. Gesture and Thought. London. Cambridge University Press Nemirovsky, R. & Ferara, F. 2009. Mathematical Imagination And Embodied Cognition. Education Study Mathematic, 70 (3): 159-174. Radford, L. 2009. Why Do Gestures Matter? Sensuous Cognition And The Palpability Of Mathematical Meanings. Education Study Mathematic, 70 (2): 111-126. Shein, Paichi Pat. 2012. Seeing With Two Eyes: A Teacher‟s Use of Gestures in Questioning and Revoicing to Engage English Language Learners in the Repair of Mathematical Errors. Journal for Research in Mathematics Education, 2 (43). Wilson, M. 2002. Six Views Of Embodied Cognition. Psychonomic Bulletin & Review, 9 (4): 625-636. Wittmann, M., Black, K. & Flood, V. 2013. Algebraic Manipulation As Motion Within A Landscape. Education Study Mathematic, 82 (2): 169-181. Yoon, C., Thomas, M. & Dreyfus, T. 2011. Gesture And Insight in Advanced Mathematical Thinking. International Journal of Mathematical Education Science Technology, 42 (7): 891-901.
IDENTIFIKASI PEMAHAMAN SISWA TENTANG KONSEP FUNGSI Imam Rofiki Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang [email protected] Toto Nusantara, Subanji, dan Tjang Daniel Chandra Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman siswa tentangkonsep fungsi. Data dikumpulkan dari 32 siswa kelas IX SMP Negeri 1 Jogoroto Jombang dan 12 siswa kelas XII MA Amanatul Ummah Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa kesulitan mengidentifikasi fungsi yang disajikan dalam bentuk tabel karena siswa tidak menemukan rumus atau aturan relasi yang mengaitkannya. Ditemukan juga miskonsepsi siswa tentang konsep fungsi. Misalnya, 25 siswa SMP dan 7 siswa MA menyatakan bahwa 𝑦 = 10 bukan fungsi, 15 siswa SMP dan 2 siswa MA menyatakan bahwa ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 bukan fungsi, dan 10 siswa MA menyatakan bahwa persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 merupakan suatu fungsi. Dalam membuat definisi fungsi, siswa SMP membuat definisi secara akurat (10 siswa), kurang akurat (12 siswa), dan tidak akurat (10 siswa). Sedangkan siswa MA membuat definisi secara akurat (0 siswa/ tidak ada siswa yang membuat definisi fungsi secara akurat), kurang akurat (2 siswa), dan tidak akurat (10 siswa). Kekurangakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa tidak mensyaratkan menghubungkan setiap anggota himpunan (domain) dengan tepat satu ke anggota himpunan lain (kodomain).Sedangkan ketidakakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa memahami fungsi sebagai kumpulan angka dan variabel. Kata Kunci: pemahaman siswa, konsep fungsi
1350
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Konsep fungsi sangat penting dalam matematika maupun aplikasi matematika (Evangelidou, Spyrou, Elia, & Gagatsis, 2004; Mousoulides & Gagatsis, 2004) dan dalam pembelajaran matematika (Tall & Bakar, 1992; Dubinsky & Harel, 1992). Fungsi tidak hanya penting dalam membangun ide-ide matematis tetapi juga membangun pemahaman materi untuk topik lain di matematika (Romberg, Carpenter, & Fennema, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi memiliki peran sentral dalam matematika, pembelajaran matematika, dan untuk membangun pemahaman matematika. Telah banyak hasil penelitian (Tall, 1991; Tall & Bakar, 1992; Vinner, 1992; Sfard, 1992; Zachariades, Christou, & Papageorgiou, 2000; Bossé, Adu-Gyamfi, & Cheetham, 2011) yang menunjukkan siswa kesulitan memahami konsep fungsi. Aspinwall, Shaw, & Presmeg (1997) mengemukakan bahwa representasi grafis (visual) dari suatu fungsi dapat menyebabkan kesulitan kognitif siswa karena analisis dan sintesis perceptual siswa dari informasi matematis yang disajikan secara implisit dalam diagram menjadi masalah bagi siswa. Sementara Vinner (1992) menyatakan bahwa konsep fungsi yang dibelajarkan di sekolah sering diidentifikasi hanya dengan satu representasi, simbol atau grafik, padahal fungsi dapat diintrepetasi sebagai formula. Hasil penelitian Tall & Bakar (1992) menunjukkan bahwa sebagian besar siswa maupun mahasiswa kurang memahami konsep fungsi yang disajikan melalui grafik yaitu 95% siswa sekolah menengah dan 80% mahasiswa menyatakan grafik 𝑦 = ± 𝑥 merupakan suatu fungsi. Sedangkan Sfard (1992) menemukan bahwa siswa tidak mampu merepresentasikan fungsi secara aljabar dan grafik. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap berbagai macam representasi fungsi sangat diperlukan untuk dapat memahami konsep fungsi dengan baik. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengidentifikasi pemahaman siswa terkait konsep fungsi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi guru untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membenahi kesalahan/ miskonsepsi siswa dan dalam merancang pembelajaranyang dapat meningkatkan pemahaman siswaterkait konsep fungsi. METODE PENELITIAN Peneliti melakukan observasi di kelas IX SMP Negeri 1 Jogoroto Jombangpada tanggal 11 Oktober 2014 dan observasi di kelas XII MA Amanatul Ummah Surabayapada tanggal 14 Oktober 2014. Untuk keperluan pengumpulan data, peneliti memberikan lembar tugas kepada32 siswa kelas IX SMP Negeri 1 Surabaya dan 12 siswa kelas XII MA Amanatul Ummah Surabaya. Siswa diminta menyelesaikan tugas tersebut. Adapun lembar tugas yang diberikan kepada siswa adalah sebagai berikut. Lembar Tugas untuk Siswa SMP 1. Apakah 𝑦 = 10 merupakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 2. Apakah ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 merupakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 3. Apakah tabel berikut menyatakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 5 7 9 𝑥 3 9 13 17 𝑦 5 4. Tuliskan pengertian fungsi! Lembar Tugas untuk Siswa MA 1. Apakah 𝑦 = 10 merupakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 2. Apakah persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 merupakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 3. Apakah ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 merupakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 4. Apakah tabel berikut menyatakan suatu fungsi? Berikan alasanmu. 5 7 9 𝑥 3 5 9 13 17 𝑦 5. Tuliskan pengertian fungsi! Lembar tugas siswa SMP dan MA terdapat sedikit perbedaan yaitu adanya penambahan satu butir soal pada lembar tugas siswa MA yaitu tentang persaman lingkaran. Hal ini disebabkan karena siswa MA sudah mempelajari materi persamaan lingkaran sedangkan siswa SMP belum mendapatkan materi tersebut. 1351
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini penelitimelakukan pembahasan tiap butir soal berdasarkan hasil pekerjaan siswa pada lembar tugas yang diberikan. Pada pertanyaan ―apakah 𝑦 = 10 merupakan suatu fungsi?‖, 25 siswa SMP menjawab fungsi, 7 siswa SMP menjawab bukan fungsi, 7 siswa MA menjawab fungsi, dan 5 siswa MA menjawab bukan fungsi. Alasan-alasan siswa yang menjawab 𝑦 = 10bukan fungsi karena 1) kalau fungsi biasanya dinyatakan dalam bentuk f(x), 2) hanya menunjukkan angka/ tidak ada variabel, 3) tidak berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tentang konsep fungsi. Sedangkan alasan-alasan siswa yang menjawab 𝑦 = 10merupakan fungsi karena 1) anggota-anggota domain mempunyai hubungan tepat satu dengan 10, 2) terdapat/ memuat variabel y, 3) biasanya fungsi dalam bentuk 𝑦 = ⋯ atau 𝑓 𝑥 … , 4) membentuk garis y. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat siswa yang memperoleh jawaban benar (y = 10 merupakan fungsi) dengan alasan yang benar (alasan nomor 1). Siswa yang seperti ini dikategorikan sebagai siswa yang benar sesungguhnya karena jawaban yang diperoleh siswa benar dan siswa tersebut mampu memberikan alasan yang logis. Terdapat juga siswa yang memperoleh jawaban benar (𝑦 = 10 merupakan fungsi) dengan alasan yang salah (alasan nomor 2, 3, 4). Siswa yang seperti ini dikategorikan sebagai siswa yang benar tak sesungguhnya karena jawaban yang diperoleh siswa benar tetapi alasan yang diberikan siswa tidak logis. Pada pertanyaan ―apakah persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 merupakan suatu fungsi?‖, 10 siswa MA menjawab fungsi dan 2 siswa MA menjawab bukan fungsi. Untuk pertanyaan soal ini tidak diberikan kepada siswa SMP karena siswa SMP belum mendapat materi persamaan lingkaran. Alasan-alasan siswa yang menjawab persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 adalah fungsi karena 1) terdiri dari 2 variabel, 2) memuat variabel, 3) membentuk persamaan lingkaran. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tentang konsep fungsi yaitu menganggap persamaan lingkaran adalah fungsi. Sedangkan alasan-alasan siswa yang menjawab persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 bukan fungsi karena 1) di soalnya sudah tertulis persamaan lingkaran, 2) fungsi tidak ada yang dalam bentuk kuadrat (𝑥 2 = ⋯ atau 𝑦 2 = ⋯), biasanya 𝑦 = ⋯ atau 𝑓 𝑥 = ⋯. Siswa ini memperoleh jawaban yang benar tetapi alasan yang diberikan siswa tidak logis. Alternatif alasan logis yang dapat diungkapkan siswa yaitu karena terdapat satu anggota domain yang dipetakan/ dihubungkan dengan dua anggota kodomain (dipetakan/ dihubungkan tidak tepat satu anggota kodomain). Misalnya, 1 dipetakan/ dihubungkan dengan 3 dan − 3. Pada pertanyaan ―apakah ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 merupakan suatu fungsi?‖, 17 siswa SMP menjawab fungsi, 15 siswa SMP menjawab bukan fungsi, 10 siswa MA menjawab fungsi, dan 2 siswa MA menjawab bukan fungsi. Alasan-alasan siswa yang menjawab ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 bukan fungsi karena 1) nilai fungsi h(a) tidak diketahui, 2) fungsi h → a tidak dicantumkan dalam rumus. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tentang konsep fungsi. Sedangkan alasan-alasan siswa yang menjawab ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 merupakan fungsi karena 1) memuat variabel, 2) membentuk garis jika digambar pada kurva, 3) karena dapat dinyatakan dalam himpunan pasangan berurutan. Siswa ini memperoleh jawaban yang benar tetapi alasan yang diberikan siswa tidak logis. Alternatif alasan logis yang dapat diungkapkan siswa yaitu 1) karena setiap anggota himpunan pertama muncul sekali sebagai elemen pertama pasangan berurutan, 2) karena untuk setiap anggota domain (∀𝑎 ∈ ℝ) dipetakan/ dihubungkan tepat satu anggota kodomain. Pada pertanyaan ―apakah tabelberikutmenyatakan suatu fungsi?‖, 23 siswa SMP menjawab fungsi, 9 siswa SMP menjawab bukan fungsi, 8 siswa MA menjawab fungsi, dan 4 siswa MA menjawab bukan fungsi. Alasan-alasan siswa yang menjawab tabel tersebut tidak menyatakan fungsi karena 1) hanya menunjukkan nilai x dan y, 2) tidak dapat dihubungkan dengan himpunan lainnya, 3) tidak menunjukkan fungsi terhadap apa tetapi hanya diketahui x dan y saja, 4) relasinya tidak diketahui/ tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi tentang konsep fungsi. Sedangkan alasan-alasan siswa yang menjawab tabel tersebut menyatakan fungsi karena 1) memuat variabel, 2) variabelx dan y diketahui dalam tabel, 3) karena setiap anggota domain 𝑥 3 5 7 memiliki tepat satu 9 kawan di anggota kodomain yang bisa 𝑦 5 9 13 17 dirumuskan 2𝑥 − 1, 4) anggota y merupakan range dari anggota domain x yang mempunyai rumus fungsi 𝑦 = 2𝑥 − 1, 5) x dan y saling berhubungan dan nilai fungsinya sudah diketahui. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat siswa yang memperoleh jawaban benar
1352
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan alasan yang logis yaitu alasan nomor 3 dan 4. Untuk siswa yang memberikan alasan seperti nomor 3 atau 4 menunjukkan bahwa siswa memiliki pemahaman tentang domain, range dan aturan/ rumus relasinya. Terdapat juga siswa yang memperoleh jawaban benar tetapi alasan siswa tersebut tidak logis yaitu alasan nomor 1, 2, 5. Siswa yang seperti ini dikategorikan sebagai siswa yang benar tak sesungguhnya. Selanjutnya, peneliti mengeskplorasi pemahaman siswa tentang definisi fungsi. Siswa SMP memberikan definisi fungsi sebagai berikut: 1) fungsi adalah daerah asal yang mempunyai pasangan hanya satu pasangan, 2) fungsi adalah relasi khusus yang menghubungkan tiap anggota himpunan A dengan tepat satu anggota himpunan B, 3) fungsi adalah relasi yang menghubungkan satu anggota dari himpunan satu ke anggota himpunan yang lain dengan benar dan tepat, 4) fungsi adalah relasi yang menghubungkan setiap anggota himpunan dengan tepat satu anggota ke himpunan lain, 5) fungsi adalah relasi yang menghubungkan setiap anggota satu dengan anggota himpunan lain, 6) fungsi adalah relasi khusus yang menghubungkan setiap anggota A dipasangkan ke anggota B, 7) fungsi adalah dua himpunan yang menghubungkan anggota himpunan ke anggota himpunan lain, 8) fungsi adalah dua himpunan yang menghubungkan anggota himpunan ke anggota himpunan lain, 9) fungsi adalah daerah asal yang memiliki pasangan, 10) fungsi adalah daerah asal yang memiliki satu pasangan, 11) fungsi adalah dua himpunan A dan B yang menghubungkan anggota himpunan A ke himpunan B, 12) fungsi adalah relasi khusus yang mana domain memiliki satu kawan dari kodomain, 13) fungsi adalah relasi yang menghubungkan setiap anggota daerah asal dan harus mempunyai hubungan dengan daerah kawan satu saja, 14) fungsi adalah relasi yang menghubungkan setiap anggota daerah asal dengan tepat satu anggota ke daerah kawan, 15) fungsi adalah relasi yang menghubungkan setiap anggota himpunan A (domain) dengan tepat satu anggota himpunan B (kodomain), 16) fungsi adalah hubungan antar 2 himpunan yang setiap anggota dari setiap himpunannya mempunyai satu pasang/ kawan, 17) fungsi adalah hubungan yang pasti dengan ketentuan khusus. Dari 17 definisi fungsi yang dikemukakan siswa dapat digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu akurat (nomor 2, 4, 13, 14, 15), kurang akurat (nomor 3, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 16, 17), dan tidak akurat (nomor 1, 9, 10). Jumlah siswa yang membuat definisi fungsi secara akurat adalah 10. Sementara jumlah siswa yang membuat definisi fungsi secara kurang akurat adalah 12. Sedangkan jumlah siswa yang membuat definisi fungsi dengan tidak akurat adalah 10. Kekurangakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa tidak mensyaratkan menghubungkan setiap anggota himpunan (domain) dengan tepat satu ke anggota himpunan lain (kodomain). Sedangkan untuk siswa MA memberikan definisi fungsi sebagai berikut: 1) fungsi adalah suatu bentuk/ rumusan matematika yang terdapat variabel, 2) fungsi itu pokoknya setahu saya angka di dalam lingkaran terus dihubungkan dengan angka yang di dalam lingkaran yang lain dengan syarat yang sesuai, 3) fungsi adalah operasi hitung yang menggunakan satu/ lebih variabel yang mana untuk mengetahui nilainya masing-masing memerlukan fungsi yang lain, 4) fungsi adalah kumpulan angka-angka dan variabel-variabel, 5) fungsi itu seperti kurva yang melalui titik (x, y), 6) fungsi adalah kumpulan angka yang di dalamnya mengandung variabel, 7) fungsi adalah suatu persamaan yang menunjukkan fungsi terhadap sumbu x atau sumbu y, 8) fungsi adalah 𝑦 = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 atau ditulis dalam bentuk 𝑦 = ⋯ atau 𝑓 𝑥 = ⋯ , 9) fungsi adalah suatu perhitungan dengan meibatkan variabel untuk memudahkan mencari hasilnya. Dari 9 definisi fungsi yang dikemukakan siswa dapat digolongkan ke dalam 3 kategori yaitu akurat (tidak ada siswa yang membuat definisi fungsi secara akurat), kurang akurat (nomor 2), dan tidak akurat (nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang membuat definisi fungsi secara akurat. Sementara jumlah siswa yang membuat definisi fungsi secara kurang akurat adalah 2. Sedangkan jumlah siswa yang membuat definisi fungsi dengan tidak akurat adalah 10. Ketidakakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa memahami fungsi sebagai kumpulan angka dan variabel. Sedangkan kekurangakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena 1) siswa kurang memahami domain dan kodomain, 2) siswa memahami anggota domain hanya berupa angka, dan 3) siswa hanya menghafal bentuk simbol fungsi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kurang memahami konsep fungsi dengan baik. KESIMPULAN DAN SARAN
1353
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa siswa kesulitan mengidentifikasi fungsi yang disajikan dalam bentuk tabel karena siswa tidak menemukan rumus atau aturan relasi yang mengaitkannya. Ditemukan juga miskonsepsi siswa tentang konsep fungsi. Misalnya, 25 siswa SMP dan 7 siswa MA menyatakan bahwa 𝑦 = 10 bukan fungsi, 15 siswa SMP dan 2 siswa MA menyatakan bahwa ℎ 𝑎 = 2 − 𝑎2 bukan fungsi, dan 10 siswa MA menyatakan bahwa persamaan lingkaran 𝑥 2 + 𝑦 2 = 4 merupakan suatu fungsi. Dalam membuat definisi fungsi, siswa SMP membuat definisi secara akurat (10 siswa), kurang akurat (12 siswa), dan tidak akurat (10 siswa). Sedangkan siswa MA membuat definisi secara akurat (0 siswa/ tidak ada siswa yang membuat definisi fungsi secara akurat), kurang akurat (2 siswa), dan tidak akurat (10 siswa). Kekurangakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa tidak mensyaratkan menghubungkan setiap anggota himpunan (domain) dengan tepat satu ke anggota himpunan lain (kodomain). Sedangkan ketidakakuratan siswa dalam membuat definisi terjadi karena siswa memahami fungsi sebagai kumpulan angka dan variabel. Dalam pembelajaran konsep fungsi sebaiknya guru menekankan bahwa fungsi adalah relasi yang menghubungkan dengan tepat satu anggota himpunan ke anggota himpunan lain dan pembelajaran konsep fungsi dikaitkan dengan situasi nyata atau kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan pemahaman siswa. Selain itu, guru juga perlu menyajikan berbagai bentuk representasi fungsi dan variasi contoh fungsi dan non-contoh fungsi. Misalnya, fungsi dan noncontoh fungsi yang disajikan dalam bentuk simbol, grafik, dan tabel. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan kajian mendalam tentang faktor-faktor penyebab miskonsepsi siswa tentang fungsi, proses berpikir siswa dalam mengonstruksi konsep fungsi berdasarkan kerangka kerja asimilasi-akomodasi, dan penalaran siswa dalam memecahkan masalah fungsi. DAFTAR RUJUKAN Aspinwall, L., Shaw, K. L., & Presmeg, N. C. 1997. Uncontrollable mental imagery: Graphical connections between a function and its derivative. Educational Studies in Mathematics, 33, 301-317. Bossé, Michael J., Adu-Gyamfi, Kwaku, & Cheetham, Meredith R. 2011. Assessing the Difficulty of Mathematical Translations: Synthesizing the Literature and Novel Findings.International Electronic Journal of Mathematics Education – IΣJMΣ, Vol.6, No.3. Evangelidou, Anastasia, Spyrou, Panayiotis, Elia, Iliada, & Gagatsis, Athanasios. 2004. University Students‘ Conceptions of Function. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 2004 Vol. 2 pp. 351–358. Mousoulides, Nikos & Gagatsis, Athanasios. 2004. Algebraic and Geometric Approach in Function Problem Solving. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 2004 Vol. 3 pp. 385–392. Romberg, T. A., Fennema, E., & Carpenter, T. P. (Eds.). 1993. Integrating research on the graphical representation of functions. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Sfard, A. 1992. Operational Origins of Mathematical Objects and the Quandary of ReificationThe Case of function. In E. Dubinsky, & G. Harel (Ed.), The concept of function: Aspects of epistemology andpedagogy (pp. 59-84), United States: Mathematical Association of America. Tall, David. 1991.Advanced mathematical thinking. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer, Academic Press. Tall, David & Bakar, MdNor. 1992. Students‘ Mental Prototypes for Functions and Graphs.International Journal of Mathematics Education in Science & Technology, 23(1), 39–50. Vinner, S. 1992. The function concept as a prototype for problems in mathematics learning. In E. Dubinsky, & G. Harel (Ed.), The concept of function: Aspects of epistemology and pedagogy (pp. 195-214), United States: Mathematical Association of America. Zachariades, Theodossios, Christou, Constantinos, & Papageorgiou, Eleni. 2000. The Difficulties and Reasoning of Undergraduate Mathematics Students in the Identification of Functions. http://www.math.uoc.gr/~ictm2/pap353.pdf. Diakses 30 Agustus 2014.
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN SEGITIGA 1354
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA SMP KELAS VII Yapi J. Rauta Guru Matematika SMPN 18 Kota Kupang, NTT [email protected] Sri Mulyati dan Santi Irawati Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan modul pembelajaran segitiga dengan pendekatan kontekstual pada siswa SMP kelas VII yang berkualitas. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Pengembangan produk ini mengikuti prosedur pengembangan model four-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, dkk. (1974: 5 – 9). Karakteristik modul yang dikembangkan dengan mempertimbangkan 3 (tiga) komponen dari 8 (delapan) komponen pembelajaran kontekstual menurut Jhonson, yaitu: (1) making meaningful connections, (2) doing signifikant work, dan (3) self regulated learning. Subjek yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah ahli, guru, dan siswa kelas VII A SMPK Mardi Wiyata Malang. Kualitas produk ditinjau dari 3 (tiga) aspek, yaitu: kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Hasil uji lapangan terhadap produk pengembangan diperoleh: (1) tingkat kevalidan modul, panduan guru, dan RPP masing-masing berturut-turut adalah Va1 = 3,28, Va2 = 3,29, dan Va3 = 3,29, (2) tingkat kepraktisan berdasarkan penilaian praktisi, untuk modul, panduan guru, dan RPP masing-masing berturut-turut adalah IP1 = 3,88, IP2 = 4, dan IP3 = 4. Keterlaksanaan modul diperoleh IO = 3,375, (3) tingkat keefektifan berdasarkan respon siswa diperoleh RS = 3,4 dan persentasi ketuntasan belajar siswa secara klasikal 85,36 % siswa dinyatakan tuntas. Kata Kunci: pengembangan modul, pendekatan kontekstual, model four-D
Perubahan paradigma pembelajaran dari paham behaviorisme yang memandang pembelajaran sebagai proses pemindahan pengetahuan dari guru ke siswa, ke paham konstruktivisme yang memandang pembelajaran tidak hanya sekedar guru memberikan pengetahuan kepada siswa tetapi siswa membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya dan dapat mengaitkannya dengan kehidupan nyata siswa (Trianto, 2011:13). Perubahan paradigma ini telah menghasilkan beberapa model pembelajaran diantaranya adalah pembelajaran kontekstual/contextual teaching and learning (CTL) (Baharuddin dan Wahyuni, 2012:129). Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menurut Johnson (2002:24) terdiri dari 8 (delapan) komponen, yaitu: (1) membuat hubungan bermakna (making meaningful connection); (2) melakukan pekerjaan berarti (doing significant work); (3) pembelajaran mandiri (selfregulated learning); (4) bekerja sama (collaborating); (5) berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking); (6) membantu individu (nurturing individual); (7) mencapai standar yang tinggi (reaching high standards); (8) menggunakan asesmen otentik (using authentic assessment). Selanjutnya Sabil (2011: 46) menyatakan bahwa ada tiga hal dalam konsep CTL yang perlu dipahami, yaitu: pertama, CTL menekankan pada proses keterlibatan mahasiswa/siswa untuk menemukan materi; kedua, CTL mendorong mahasiswa/siswa dapat menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata; dan ketiga, CTL mendorong mahasiswa/siswa menerapkan materi yang dipelajari dalam kehidupannya. Muslich dalam Sofnidar dan Sabil (2012) mengemukakan kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan bagaimana pemanfaatan pengetahuannya dalam kehidupan nyata. Hal ini sejalan dengan salah satu komponen pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menurut Johnson, yaitu self-regulated learning, di mana siswa secara mandiri dapat menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Untuk memaksimalkan kemandirian siswa tersebut diperlukan suatu bahan belajar mandiri yang terstruktur, salah satunya adalah penggunaan modul dalam pembelajaran. Hudojo (2005:88) mengatakan bahwa salah satu bentuk dari metode belajar sendiri (mandiri) yaitu bentuk proses belajar perorangan di bawah 1355
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bimbingan guru adalah dengan sistem modul. Mularsih dalam Indaryanti, dkk. (2008: 36) menyatakan bahwa salah satu pembelajaran individual yang dapat digunakan dalam kelas adalah pembelajaran dengan modul. Menurut Rusman (2011:355-358) belajar mandiri tidak harus belajar secara sendiri. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri adalah peningkatan kemampuan dan ketrampilan siswa dalam proses belajar tanpa ketergantungan pada orang lain. Siswa berusaha dahulu dalam memahami materi pelajaran, jika mengalami kesulitan barulah siswa bertanya kepada tutor/guru. Selanjutnya, Prastowo (2012:107) menyatakan bahwa pembelajaran dengan modul memungkinkan peserta didik yang memiliki kecepatan tinggi dalam belajar akan lebih cepat menyelesaikan satu atau lebih kompetensi dasar dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Ditjen PMPTK (2008) menyatakan bahwa penggunaan modul dalam pembelajaran dapat mengkondisikan kegiatan pembelajaran lebih terencana dengan baik, mandiri, tuntas, dan dengan hasil (output) yang jelas. Purnomo (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan modul pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konsep tentang materi lingkaran. Sedangkan Amalia (2011) dalam penelitiannya tentang pengembangan lembar kerja peserta didik (LKPD) dapat meningkatkan pemahaman siswa SMP tentang materi balok dan kubus. Selanjutnya Cahyanti (2012) dan Wulandari (2012) melaporkan bahwa pembelajaran topik-topik matematika dengan menggunakan modul telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman konsep matematika dan peningkatan hasil belajar siswa. Demikian juga Ismiarsi (2013) dan Agustiani (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa pembelajaran dengan modul dapat membantu siswa memahami materi barisan dan deret geometri serta meningkatkan penalaran matematika siswa pada materi program linear. Fakta di lapangan berdasarkan pengalaman peneliti sebagai guru SMP dan hasil diskusi dengan beberapa rekan guru matematika SMP khususnya di SMPK Mardi Wiyata Malang diperoleh data bahwa pembelajaran masih berpusat pada guru dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri. Dalam pembelajaran ini, guru hanya menjelaskan materi, membahas contoh soal, dan memberikan soal latihan serta kurang mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari siswa. Bahan ajar yang digunakan juga terbatas pada buku-buku paket dan LKS yang dibeli di toko-toko buku. Pembelajaran belum memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruk sendiri pengetahuan, siswa hanya menerima dan menghafal materi yang disampaikan guru. Selain itu, peneliti mendapati bahwa pembelajaran dengan modul untuk tingkat SMP selama ini lebih banyak diterapkan di SMP Terbuka dan Program Kesetaraan (Paket) B. Berdasarkan hasil kajian peneliti pada modul SMP terbuka khususnya Modul Matematika Kelas VII Semester 2 masih belum menggunakan pendekatan kontekstual. Selain itu ketergantungan siswa SMP Terbuka dan siswa yang mengikuti Program Kesetaraan (Paket) B terhadap tutor/guru masih sangat tinggi. Peneliti memilih materi segitiga kelas VII dalam penelitian pengembangan ini karena materi segitiga ini merupakan prasyarat untuk materi-materi di kelas VIII dan kelas IX. Sedangkan menurut Mulyati (tanpa tahun: 78) menyatakan bahwa segitiga adalah poligon yang paling sederhana dan suatu poligon dapat dipartisi ke dalam segitiga-segitiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk berupa modul pembelajaran segitiga yang valid, praktis, dan efektif untuk siswa SMP kelas VII dan panduan guru yang dilengkapi dengan RPP, sehingga dapat dipergunakan dalam pembelajaran di kelas di mana guru berperan sebagai fasilitator/mediator. METODE Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan, dan model pengembangan yang digunakan adalah model four-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, dkk. (1974: 5–9). Model ini terdiri dari empat tahap pengembangan, yaitu Define (pendefinisian), Design (perancangan), Develop (pengembangan), dan Disseminate (penyebaran), seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Penelitian ini hanya terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Define (Pendefinisian), (2) Design (Perancangan), dan (3) Develop (Pengembangan) seperti terlihat pada Gambar 3.2. Tahap disseminate (penyebaran) tidak dilakukan karena pertimbangan waktu yang terbatas dan biaya yang cukup besar. Selanjutnya produk yang dikembangkan duijicobakan di lapangan dengan tujuan untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai dasar menetapkan tingkat kevalidan,
1356
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kepraktisan, dan keefektifan dari produk yang dihasilkan. Desain uji coba dalam pengembangan modul ini secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.3. Front-end analysis Learner analysis Stage I: Define Task analysis
Concept analysis
Specifying instructional objectives Specifying instructional objectives
Learner analysis
Criterion-test construction Stage II: Design
Media selection Format selection Initial Design Initial Design
Criterion-test construction
Expert appraisal
Stage III: Develop
Developmental testing Developmental testing Validation testing
Stage IV: Disseminate
Packaging Diffusion and adoption Gambar 3.1 Tahapan Model Pengembangan Four-D menurut Thiagarajan, dkk. (1974: 5–9)
1357
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Analisis Siswa
Analisis Tugas
Analisis Konsep
Penetapan tujuan pembelajaran
PENDEFINISIAN
Analisis Awal-Akhir
Penyusunan tes
PERANCANGAN
Pemilihan Media Pemilihan Format Perancangan Awal Rancangan Awal Modul (Draft 1)
Ya Revisi Kecil
Draft ke-i
Validasi Ahli Tidak
Revisi Besar
Analisis (Apakah modul valid ?) Draft 2
Ya Revisi Kecil
Draft ke-i Tidak
Analisis (Apakah modul praktis ?)
Revisi Besar
Draft 3 Draft ke-i
Uji Lapangan 2 Ya Revisi Kecil
Tidak Analisis (Apakah modul efektif ?)
Revisi Besar
PRODUK AKHIR PENGEMBANGAN Gambar 3.2 Tahap Model Four-D yang Dimodifikasi
1358
PENGEMBANGAN
Uji Lapangan 1
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rancangan Awal Modul (Draft 1) Draft ke-i
Validasi Ahli Ya Revisi Kecil
Tidak Analisis (Apakah modul valid ?)
Revisi Besar
Draft 2 Draft ke-i
Uji Lapangan 1 Ya
Tidak Analisis (Apakah modul praktis ?)
Revisi Kecil
Revisi Besar
Draft 3 Uji Lapangan 2 Ya
Draft ke-i Tidak
Analisis (Apakah modul efektif ?)
Revisi Kecil
Revisi Besar
PRODUK AKHIR PENGEMBANGAN Gambar 3.3 Desain Uji Coba Pengembangan Modul
Subyek uji coba dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang ahli (dosen pendidikan matematika di perguruan tinggi, minimal berpendidikan S2), dua orang guru matematika di SMP (berpendidikan minimal S1 dan mempunyai pengalaman mengajar minimal lima tahun), dan siswa kelas VIIA SMPK Mardi Wiyata Malang yang berjumlah 42 orang. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian pengembangan ini berupa lembar validasi, lembar observasi, angket respon siswa, dan tes hasil belajar siswa. Lembar validasi dan lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan data hasil revisi dari validator/ahli dan praktisi/guru, angket respon siswa digunakan untuk merekam data respon siswa terhadap modul dan pembelajaran dengan modul, dan tes hasil belajar untuk mengumpulkan data hasil belajar siswa. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan kualitas produk yang dikembangkan. Selanjutnya, Nieveen dalam Hobri (2010: 27) menyatakan bahwa suatu material/produk dikatakan berkualitas, jika memenuhi aspek-aspek: validitas (validity), kepraktisan (practicality), dan keefektifan (effectiveness). Uji Kevalidan Uji kevalidan dilakukan untuk mengetahui apakah produk yang dikembangkan berdasarkan pada rasional teoritik yang kuat, dan apakah didapat konsistensi internal dari produk terhadap aspek format, isi, dan bahasa. Uji kevalidan dilakukan dengan meminta penilaian, komentar, dan saran dari 3 (tiga) orang ahli materi (dosen). Selanjutnya data hasil penilaian ahli dianalisis untuk menentukan tingkat kevalidan produk dengan mengikuti langkahlangkah berikut: a) Melakukan rekapitulasi data penilaian dalam tabel yang meliputi: aspek (Aj), kriteria (Ki), dan nilai Vji untuk masing-masing validator. b) Menentukan rata-rata setiap kriteria (Ki ) dari ketiga validator ditentukan dengan rumus : 𝑛
𝑉 𝑗𝑖
Ki = 𝑗 =1 (Hobri, 2010) 𝑛 Keterangan : 𝑉𝑗𝑖 = skor hasil penilaian validator ke-j untuk kriteria ke-i n = banyaknya validator c) menentukan rata-rata untuk setiap aspek (Aj ) dihitung dengan rumus : 1359
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang 𝑚
𝐾𝑖𝑗
Aj = 𝑖=1𝑚 (Hobri, 2010) Keterangan : 𝐾𝑖𝑗 = rata-rata untuk kriteria ke-i aspek ke-j m = banyak kriteria dalam aspek ke-j d) Selanjutnya nilai rata-rata total (Va) dari rata-rata semua aspek ditentukan dengan rumus : 𝑛 𝑗 =1 𝐴𝑗
Va = 𝑛 Keterangan : Aj = rata-rata aspek ke-j n = banyaknya aspek
(Hobri, 2010)
Kevalidan modul pembelajaran ditentukan berdasarkan interval berikut : Va = 4 : sangat valid 3 ≤ Va < 4 : valid 2 ≤ Va < 3 : kurang valid 1 ≤ Va < 2 : tidak valid Modul pembelajaran dikatakan berkualitas, jika minimal tingkat validitas yang dicapai adalah valid. Jika tingkat validitasnya di bawah valid, maka dilakukan revisi berdasarkan masukan dari ahli. Uji Kepraktisan Uji kepraktisan dilakukan untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan produk di lapangan berdasarkan penilaian praktisi/intended-perseived (IP) dan penilaian pengamat/intendedoperational (IO). (Hobri, 2010: 54). IP dari Praktisi Kepraktisan produk ditentukan berdasarkan penilaian 2 (dua) orang guru matematika SMP untuk menyatakan dapat-tidaknya produk digunakan di lapangan berdasarkan persepsi dan pengalamannya. Tingkat kepraktisan produk ditentukan dengan rumus berikut. 𝑛
𝑃
IP = 𝑖=1 𝑖 𝑛 Keterangan : 𝑃𝑖 = rata-rata skor penilaian praktisi terhadap kriteria ke-i n = banyaknya kriteria Selanjutnya tingkat kepraktisan produk ditentukan dengan interval berikut. IP = 4 : sangat tinggi 3 ≤ IP < 4 : tinggi 2 ≤ IP < 3 : sedang 1 ≤ IP < 2 : rendah Modul dikatakan berkualitas, jika minimal tingkat IP yang dicapai adalah tinggi. Jika tingkat IPnya di bawah tinggi, maka dilakukan revisi berdasarkan masukan dari praktisi. IO dari Pengamat Kepraktisan modul juga ditentukan berdasarkan hasil penilaian pengamat untuk menyatakan dapat tidaknya modul digunakan di kelas. Tingkat kepraktisan produk ditentukan mengikuti langkah-langkah berikut : a) Melakukan rekapitulasi hasil observasi keterlaksanaan pembelajaran dengan modul ke dalam tabel yang meliputi : aspek (Ai), kriteria (Ki), dan nilai Pji untuk 5 kali pertemuan. b) Menentukan rata-rata nilai hasil observasi untuk 5 kali pertemuan dan untuk setiap kriteria pengamatan (Ki) dengan rumus : 𝑛 𝑗 =1 𝑃𝑗𝑖
Ki = 𝑛 Keterangan : 𝑃𝑗𝑖 = rata-rata skor pengamatan pertemuan ke-j terhadap kriteria ke-i n = banyaknya pertemuan c) Menentukan rata-rata nilai untuk setiap aspek pengamatan (Ai) dengan rumus : 1360
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang 𝑚
𝐾𝑖𝑗
Aj = 𝑖=1𝑚 Keterangan : 𝐾𝑖𝑗 = rata-rata kriteria ke-i untuk aspek ke-j m = banyaknya kriteria dalam aspek ke-j d) Menentukan nilai rata-rata total (IO) untuk semua aspek dengan rumus : 𝑛 𝑗 =1 𝐴𝑗
IO = 𝑛 Keterangan : 𝐴𝑗 = rata-rata nilai untuk aspek ke-j n = banyaknya aspek Selanjutnya tingkat kepraktisan modul ditentukan dengan merujuk pada kriteria dengan interval berikut : IO = 4 : sangat tinggi 3 ≤ IO < 4 : tinggi 2 ≤ IO < 3 : sedang 1 ≤ IO < 2 : rendah Modul dikatakan berkualitas, jika minimal tingkat IO yang dicapai adalah tinggi. Jika tingkat pencapaian IO-nya di bawah tinggi, maka dilakukan revisi berdasarkan masukan dari pengamat. Uji Keefektifan Keefektifan produk ditentukan berdasarkan tes hasil belajar dan respon siswaterhadap modul dan pembelajaran dengan modul. Tes Hasil Belajar Setelah pembelajaran dengan modul dilakukan, siswa dites untuk mengetahui tingkat penguasaan/ketuntasan siswa terhadap materi yang telah dipelajari, yaitu jika siswa mencapai skor lebih dari atau sama dengan 75. Modul dikatakan berkualitas, jika secara klasikal siswa yang tuntas minimal 80 %. Respon Siswa terhadap Modul dan Pembelajaran dengan Modul Tingkat respon siswa ditentukan dengan langkah-langkah berikut : a) Menentukan rata-rata skor penilaian siswa terhadap setiap kriteria (Ri). 𝑛
𝑃𝑗𝑖
𝑛
𝑅
𝑅𝑖 = 𝑗 =1𝑛 Keterangan : 𝑃𝑗𝑖 = Skor penilaian siswa ke-j terhadap kriteria ke-i 𝑛 = Banyaknya siswa b) Menentukan tingkat respon siswa (RS). 𝑖 RS = 𝑖=1 𝑛 Keterangan : Ri = Rata skor penilaian siswa terhadapa kriteria ke-i n = banyaknya kriteria.
Selanjutnya tingkat respon siswa (RS) ditentukan dengan merujuk pada kriteria dengan interval berikut : RS = 4 : sangat positif 3 ≤ RS < 4 : positif 2 ≤ RS < 3 : kurang positif 1 ≤ RS < 2 : tidak positif Modul dikatakan berkualitas, jika minimal tingkat respon siswa (RS) adalah positif. HASIL PENGEMBANGAN Uji kevalidan dilaksanakan pada tanggal 15, 20, dan 28 Agustus 2013 dengan melibatkan 3 (orang) ahli/dosen. Uji lapangan tahap 1 dilaksanakan tanggal 10 dan 13 1361
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
September 2013 dengan melibatkan 2 (dua) orang guru matematika SMP. Sedangkan uji lapangan tahap 2 dilaksanakan di SMPK Mardi Wiyata Malang pada tanggal 12 – 27 Nopember 2013 dengan melibatkan 1 (satu) orang guru matematika, 2 (dua) orang pengamat, dan 42 orang siswa kelas VII A. Berdasarkan hasil uji ahli dan uji lapangan tahap 1 dan 2, diperoleh data sebagai berikut. Tabel 1 Hasil Uji Kevalidan terhadap Produk Pengembangan
Produk Modul Panduan Guru RPP
Rata-Rata Skor Kevalidan (Va) 3,28 3,29 3,29
Tingkat Kevalidan Valid Valid Valid
Tabel 2 Hasil Uji Kepraktisan berdasarkan Penilaian Praktisi (Ip)
Produk Modul Panduan Guru RPP
Rata-Rata Skor Kepraktisan (IP) 3,88 4 4
Tingkat Kepraktisan Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
Tabel 3 Hasil Uji Kepraktisan berdasarkan Penilaian Pengamat (Io)
Aspek Aktifitas Guru Aktifitas Siswa
Rata-Rata Skor Kepraktisan (IO) 3,23 3,52
Tingkat Kepraktisan Tinggi Tinggi
Tabel 4 Hasil Uji Keefektifan berdasarkan Hasil Tes dan Respon Siswa
Aspek Hasil Tes Siswa Respon Siswa
Hasil Uji 85,36 % tuntas RS = 3,4
Tingkat Keefektifan Efektif Positif
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji kevalidan, uji kepraktisan, dan uji keefektifan yang telah diuraikan sebelumnya, diperoleh informasi sebagai berikut. Kevalidan Produk Produk yang dikembangkan memenuhi kriteria valid, yaitu masing-masing untuk modul, panduan guru, dan RPP berturut-turut diperoleh nilai Va1 = 3,28, Va2 = 3,29, dan Va3 = 3,29. Meskipun demikian tetap dilakukan revisi pada beberapa bagian produk berdasarkan komentar dan saran dari validator untuk penyempurnaan produk. Kepraktisan Produk Produk yang dikembangkan memenuhi kriteria praktis, yaitu masing-masing untuk modul, panduan guru, dan RPP berturut-turut diperoleh nilai IP1 = 3,88, IP2 = 4, dan IP3 = 4. Sedangkan untuk keterlaksanaan produk diperoleh nilai IO = 3,375. Meskipun demikian tetap dilakukan revisi pada beberapa bagian produk berdasarkan komentar dan saran dari praktisi maupun pengamat untuk penyempurnaan produk. Kefektifan Produk Produk yang dikembangkan memenuhi kriteria praktis, yaitu siswa yang mencapai skor hasil tes belajar secara klasikal adalah 85,36 % dan respon siswa diperoleh nilai RS = 3,4. Meskipun demikian tetap dilakukan revisi pada beberapa bagian modul berdasarkan komentar dan saran dari siswa untuk penyempurnaan modul. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa produk yang dikembangkan berupa modul, panduan guru, dan RPP berkualitas karena memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Adapun kelebihan dan kekurangan modul dan pembelajaran menggunakan modul pembelajaran segitiga dengan pendekatan kontekstual dapat dikemukakan sebagai berikut : 1362
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Kelebihan-kelebihan dari modul dan pembelajaran menggunakan modul ini meliputi: (a) modul dirancang dengan pendekatan kontekstual sehingga memungkinkan siswa membuat hubungan yang bermakna, melakukan pekerjaan berarti, dan pembelajaran secara mandiri; (b) peran guru sebagai fasilitator/moderator menjadi lebih efektif; (c) pembelajaran membuat siswa aktif dan memberikan respon positif. 2. Kekurangan-kekurangan dari modul dan pembelajaran dengan modul ini meliputi: (a) modul dikembangkan hanya pada materi segitiga untuk siswa SMP kelas VII; (b) modul dikembangkan berdasarkan karakteristik siswa SMPK Mardi Wiyata Malang kelas VII; (c) masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran karena belum terbiasa dengan pembelajaran menggunakan modul. SARAN Beberapa saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan pengembangan dan pemanfaatan produk pengembangan ini antara lain: 1. Modul pembelajaran segitiga ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa kelas VIIA SMPK Mardi Wiyata Malang. 2. Apabila modul pembelajaran ini dipergunakan pada siswa lain, perlu ada penyesuaianpenyesuaian karena modul ini dikembangkan berdasarkan karakteristik siswa kelas VIIA SMPK Mardi Wiyata Malang. 3. Untuk pengembangan lebih lanjutnya, perlu dikembangkan juga modul pembelajaran untuk materi-materi lain bagi siswa SMPK Mardi Wiyata Malang. 4. Pengembangan produk ini tidak dimaksudkan untuk mengatasi seluruh permasalahan dalam pembelajaran matematika, sehingga perlu dicarikan solusi yang representatif untuk pemecahan masalah lainnya. DAFTAR RUJUKAN Agustiani, I. 2013. Pengembangan Modul berbasis Masalah yang Dapat Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa pada Materi Program Linear. Thesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Amalia, R. 2011. Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) pada Materi Balok dan Kubus untuk SMP Negeri 1 Bangil. Thesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Baharudin, H. dan Wahyuni, Esa N. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: ArRuzz Media. Cahyanti, N. 2012. Pengembangan Modul Matematika Materi Matriks untuk Siswa SMK Negeri 5 Malang. Thesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Ditjen PMPTK, 2008. Penulisan Modul. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. (Online), http://teguhsasmitosdp1.files.wordpress.com). Diakses tanggal 18 Pebruari 2013. Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi pada Penelitian Pendidikan Matematika). Jember: Pena Salsabila. Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Indaryanti, dkk. (2008). Pengembangan Modul Pembelajaran Individual dalam Mata Pelajaran Matematika di Kelas XI SMA Negeri 1 Palembang. Jurnal Pendidikan Matematika, (Online) 2 (2): 35-44, (http://eprints. unsri.ac.id/1456/1/ Artikel_JPM_2008.pdf), diakses tanggal 10 Pebruari 2014. Ismiarsi, T. 2013. Pengembangan Modul Pembelajaran Berbasis Masalah yang Dapat Membantu Siswa Memahami Materi Barisan dan Deret Geometri. Thesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Say. California: Corwin Press-Inc. Mulyati, Sri. Tanpa Tahun. Individual Textbook : Geometri Euclid. Malang : Jurusan Pendidikan Matematika. FMIPA – UM. Prastowo, A. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif: Menciptakan Metode Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan. Yogyakarta: DIVA Press.
1363
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Purnomo, S. 2010. Pengembangan Modul Terstruktur Berdasarkan KTSP untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep tentang Lingkaran di Kelas VIII SMPN 5 Kepanjen Kabupaten Malang. Thesis tidak diterbitkan. Malang : PPS Universitas Negeri Malang. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran : Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Sabil, H. 2011. Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching & Learning (CTL) pada Materi Ruang Dimensi Tiga Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (MPBM) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNJA. Jurnal Edumatica, (Online), 01 (01): 44-56, (http://onlinejournal.unja.ac.id/index.php/edumatica/article/view/185/ 167), diakses tanggal 10 Pebruari 2014. Sofnidar dan Sabil, H. 2012. Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan Matematika I dengan Pendekatan Kontekstual. Jurnal Edumatica, (Online), 02 (02): 57-67, (http://onlinejournal.unja.ac.id/index.php/edumatica/ article/), diakses tanggal 09 Pebruari 2014. Thiagarajan, S., dkk. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Minnesota: Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota. Trianto, 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Wulandari, Tri Chandra. 2012. Pengembangan Modul Pembelajaran Matematika Kelas XI yang Bercirikan Kontekstual pada Program Keahlian Jasa Boga SMKN 2 Malang. Thesis Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM.
IMPLEMENTASI LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN MODEL VAN HIELE PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR Sri Wahyuni Pendidikan Matematika, Pascasarjana Universitas Negeri Malang SMP Islam Al Azhaar Tulungagung, Jl. Pahlawan 40 Kedungwaru Tulungagung [email protected] Abstract: Implementation of PPL basedProject Lesson Study has been carried out in SMP Islam Al Azhaar Tulungagung . The material covered in the lesson study is Polyhedra using the Van Hiele model of learning .Generally, the implementation of the learning ran well, despite facing some obstacles. At the end of the implementation of lesson study found students were enthusiastic, serious and all students in the class were involved in active learning and discussion, the results of the evaluations worksheets also were obtained an understanding and increasing the quality of students' thinking . Key Words: Lesson Study, Van Hiele model of learning,Polyhedra Abstrak: Pelaksanaan PPL berbasis Project Lesson Study telah dilaksanakan di SMP Islam Al Azhaar Tulungagung. Materi yang dibahas dalam lesson studyadalah Bangun Ruang Sisi Datar dengan menggunakan model pembelajaran Van Hiele. Secara umum pelaksanaan pembelajaran berlangsung lancar, meskipun menghadapi beberapa kendala. Pada akhir pelaksanaan lesson study didapatkan siswa terlihat antusias, serius dan semua siswa di kelas terlibat dalam pembelajaran serta aktif berdiskusi, dari hasil evaluasi LKS juga didapatkan pemahaman dan kualitas pemikiran siswa meningkat. Kata Kunci: Lesson Study, Fase belajar model Van Hiele,Bangun Ruang Sisi Datar.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendahtingkat kompetisi dan relevansinya.Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 mengungkapkanbahwa kualitas pendidikan di Indonesia menempati posisi ke-110 dari 117 negara (Santyasa, 2009).Survey Trends Insternational Mathematics and Science Study 1364
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(TIMMS) pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 34 dari 45 negara (Wardhani, 2011). Data-data tersebut mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatifrendah. Hal ini tidak bisa lepas dari peranan guru dalam proses pembelajaran. Guru sebagai agen pembelajaran berperan antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi siswa (Subanji, 2014). Cara guru menciptakan suasana di kelas sangat berpengaruh pada reaksi yang ditampilkan siswa dalam kegiatan pembelajaran (Candra, 2005). Hudoyo (1988: 96) menyatakan bahwa, ―strategi belajar mengajar akan menentukan terjadinya proses belajar mengajar yang selanjutnya akan menentukan hasil belajar‖. Pemilihan strategi yang tepat akan mempermudah proses terbentuknya pengetahuan pada siswa, apalagi pada topik-topik yang dianggap sulit dipelajari siswa. Peningkatan kualitas guru mutlak diperlukan dengan meningkatkan proses pembelajarannya. Salah satu cara meningkatkan proses pembelajaran adalah dengan mengajak kerja sama guru lain (Puspitasari, 2005). Program PPL berbasis project lesson study Mahasiswa Prodi S2 Pendidikan Matematika dari input guru dilaksanakan dalam rangka menyiapkan dan mengupayakan peningkatan kualitas dan keprofesionalan lulusan sehingga diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas guru. Pada tulisan ini akan disampaikan tentang lesson study, fase belajar model Van Hiele dan penerapannya pada materi Bangun Ruang Sisi Datar, serta pelaksanaan PPL dan hasil-hasil yang diperoleh. LESSON STUDY Easton (2009) menjelaskan bahwa Lesson Study merupakan salah satu strategi pengembangan pembelajaran profesional dimana guru mengembangkan pembelajaran secara kolaboratif antara guru-guru untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran. Menurut Garfield (2002) Lesson Study merupakan suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi, dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Kegiatan utama Lesson Study dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama: (1) identifikasi tema penelitian (research theme); (2) pelaksanaan sejumlah research lesson yang akan mengeksplorasi research theme; dan (3) refleksi proses pelaksanaan Lesson Study , termasuk pembuatan laporan tertulis (Yoshida, 1999 dalam Subanji, 2014). Dalam pelaksanaan di Indonesia, kegiatan tersebut dinyatakan dalam bentuk : (1) PLAN (merencanakan); (2) DO (melaksanakan); dan (3) SEE (refleksi). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus. Kegiatan utama yang dilakukan dalam masing-masing tahapan tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. PELAKSANAAN (DO)
PERENCANAAN (PLAN) -
Penggalian akademik Perencanaan pembelajaran Penyiapan alat-alat
-
Pelaksanaan Pembelajaran Pengamatan oleh rekan sejawat
REFLEKSI (SEE)
Refleksi dengan rekan sejawat
Gambar 1 Bagan Daur Lesson Study yang Terorientasi pada Praktik (Saito, 2005 dalam Subanji, 2014)
Tujuan dari kegiatan Lesson Study di Indonesia menurut Marsigit (2007) adalah(1) to develop instrument and equipment for teaching learning process, (2) to develop teacing method and model for teaching learning process, (3) to develop teaching material for teaching learning
1365
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
process, and (4) to develop teaching evaluation for teaching learning process. Dengan kata lain Lesson Study bertujuan untuk mengembangkan instrumen dan perangkat pembelajaran; mengembangkan metode dan model pembelajaran; mengembangkan bahan ajar; serta mengembangkan evaluasi. Sehingga dapat mewujudkan profesionalisme guru secara utuh. Sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh Karim (2006) dan Dudley (2012) yang menyatakan bahwa lesson study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. FASE BELAJAR MODEL VAN HIELE Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van HieleGeldof sekitar tahun 1950-an memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah (Crowley, 1987:1 dan Anne, 1999). Bahkan Uni Soviet dan Amerika Serikat telah menjadi contoh negara yang mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele (Anne, 1999). Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar Van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Sedangkan Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model Van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa.Sementara Yadil (2009) menyatakan bahwa pembelajaran model Van Viele dapat meningkatkan pemahaman siswa pada konsep bangun-bangun segiempat. Tahap berpikir siswa dalam belajar geometri menurut Van Hiele ada lima tahap yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Tahap 0 (Visualisasi) Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, dan tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan. 2. Tahap 1 (Analisis) Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa. 3. Tahap 2 (Deduksi Informal) Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri. 4. Tahap 3 (Deduksi) Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif. 5. Tahap 4 (Rigor) Clements & Battista (1992:428) juga menyebut tahap ini dengan tahapmetamatematika, sedangkan Muser dan Burger (1994) menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami. Teori Van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada 1366
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne,1999). Burger dan Culpepper (1993:141) juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri. Clements & Battista (1992:426-427) menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat ―lompatan‖ dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley (1987:4) menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) intrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa. BANGUN RUANG SISI DATAR Berdasarkana standar isi kurikulum satuan pendidikan SMP, materi bangun ruang khususnya pada Kompetensi Dasar 1 (mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang sisi datar), diharapkan mampu menanamkan konsep bangun ruang kepada siswa secara mendalam. Materi bangun ruang sisi datar yang diberikan kepada siswa kelas VIII meliputi kubus, balok, prisma, dan limas. Bangun ruang sisi datar merupakan salah satu materi geometri yang sudah dikenalkan kepada siswa jenjang Sekolah Dasar dan lebih diperdalam di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, seiring berjalannya waktu siswa SMP masih banyak yang belum memahami konsep bangun ruang sisi datar tersebut. Salah satu faktornya adalah kurang bermaknanya pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Pembelajaran geometri akan efektif apabila sesuai dengan struktur kemampuan berpikir siswa. Hasil belajar dapat diperoleh melalui lima fase yang sekaligus sebagai tujuan pembelajaran. Fase-fase tersebut mengarah ke level berpikir yang lebih tinggi. Perputaran melalui lima fase ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperkaya pemahaman melalui berpikir deskriptif dan visual yang melibatkan berbagai macam bentuk dan ciri-ciri mereka. Selanjutnya lima fase pembelajaran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Fase 1 (Inkuiri/Penyeledikin/Informasi) Pengajaran sebaiknya diawali dengan fase penyelidikandimana bahan perangkat dan media pembelajaran mengarahkan siswa untuk menyelidiki dan menemukan struktur-struktur tertentu. Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaian konsep-konsep awal tentang materi yang akan dipelajari. Guru menjelaskan informasi baru dalam setiap pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki siswa, misalnya: Prisma tegak segi empat memiliki berapa sisi tegak? Apa yang dimaksud dengan titik sudut pada prisma tegak segiempat? dan seterusnya. Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk menggali tentang Bahasa matematika dan interpretasi atas konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya. Di sisi lain, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya. Fase 2 (Orientasi Berarah) Pada fase kedua ini, tugas disampaikan sedemikian rupa sehingga struktur karakteristik siswa tampak muncul secara bertahap contohnya melalui permainan atau media ajar lain, sehingga siswa meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar yang dirancang guru. Pada fase ini, guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus dari siswa. Misalnya, guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macam-macam bangun ruang. Selanjutnya, siswa diminta mengelompokkan jenis bangun ruang, setelah itu menggambarkan kembali macam-macam benda yang menyerupai bangun ruang tersebut dengan berbagai ukuran yang mereka tentukan sendiri. Aktivitas ini bertujuan untuk memotivasi siswa 1367
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
agar aktif mengeksplorasi objek-objek di sekitar mereka (berdasarkan sifat-sifat dan karakteristik bangun yang dipelajari). Fase ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep khusus dari bangun ruang. Fase 3(Uraian/Penjelasan) Pada fase ketiga ini, guru memperkenalkan terminologi geometri dan mendorong siswa menggunakannya dalam percakapan dan tugas tertulis. Siswa diberi motivasi untuk mengemukaan pengalamannya tentang struktur bangun yang diamati dengan menggunakan bahasanya sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah pengetahuan intuitif siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Pada kegiatan ini, guru membawa objek-objek (ide-ide geometri, hubungan-hubungan, pola-pola, dan sebagainya) ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan Bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangunbangun yang diamati. Misalnya, menjelaskan unsur-unsur kubus dengan kata-kata sendiri kepada teman baik di dalam kelompok maupun di depan kelas. Fase 4 (Orientasi Bebas) Pada fase keempat ini, guru menyampaikan tugas yang bisa diselesaikan dengan caracara yang berbeda dengan tujuan siswa menjadi lebih mahir menerapkan apa yang sudah mereka ketahui. Contohnya, melalui eksplorasi membuat bentuk-bentuk atau benda-benda yang menyeruai bangun ruang sisi datar. Pada kegiatan ini, siswa ditantang dengan diberikan tugastugas yang lebih kompleks. Mereka diarahkan untuk belajar memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri, sehingga akan semakin jelas dalam melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat suatu bangun ruang.Fase ini lebih bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan masalah dan menerapkan strategi-strateginya sendiri. Peran guru adalah membantu siswa mengarahkan dalam mencapai tujuan tersebut dan memilih materi/masalah-masalah yang sesuai untuk mendapatkan pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi siswa. Fase 5 (Integrasi) Pada fase yang kelima sekaligus yang terakhir, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan apa yang telah mereka pelajari, mungkin dengan menciptakan aktifitas isyarat mereka sendiri. Siswa diminta membuat ringkasan tentang semua hasil dari setiap fase yang telah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat sintesis dari konsep-konsep dan hubungan-hubungan baru). Tujuan pada fase ini adalah menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah dipelajari dan didiskusikan bersama kelompok. Peran guru adalah membantu menginterpretasikan pengetahuan siswa dengan meminta mereka membuat refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada penggunaan struktur matematika.Pada aktivitas terakhir, siswa dapat menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara bangun prisma tegak segiempat, kubus, dan balok yang merupakan konsep yang sangat penting dalam pembelajaran bangun ruang selanjutnya yang harus dipahami siswa. METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tindakan kelas (PTK) dalam Lesson Study.PTK merupakan penelitian tindakan yang dilakukan dalam kelas dengan tujuan memperbaiki atau meningkatkan praktik mutu pembelajaran (Cresswell, 2012:577). Ibrohim (2010) menjelaskan bahwa dalamLessonstudydapatdilakukan PTKbahkanbukanhanyaPTK,namun jugadapatdilakukanpenelitianpengembanganpembelajaran. Penelitian dilakukan di SMP Islam Al Azhaar Tulungagung kelas VIII C dengan jumlah siswa 24 anak.Lesson Study dilaksanakan dalam 2 siklus. Pelaksanaan (DO) siklus I pada tanggal 5 Maret 2014 dan siklus II pada tanggal 12 Maret 2014, pada jam pembelajaran sesuai dengan yang sudah dijadwalkan, dan dihadiri oleh 3 observer. Materi pembelajaran yang dibahas pada lesson study adalah materi Bangun Ruang Sisi Datar dengan pembelajaran mengikuti fase belajar model van hiele. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar observasi dari para observer, wawancara dan dokumentasi (foto dan video rekaman). Teknik pengumpulan data dilakukan selama proses pelaksanaan Do atau setelah pelaksanaan Do.
1368
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PELAKSANAAN LESSON STUDY Lesson Study dilaksanakan dengan tahapan Plan, Do, dan See. Sebelum melaksanakan kegiatan Plan, peneliti melakukan koordinasi dengan guru pengajar kelas VIII C untuk mengetahui capaian materi pada saat itu serta kondisi awal siswa yang meliputi keaktifan dan hasil belajar siswa. Dari hasil koordinasi didapatkan bahwa materi pembelajaran saat itu adalah bangun ruang sisi datar, kondisi keaktifan siswa sebagian siswa masih kurang dan cenderung menggantungkan diri pada temannya. Pemahaman siswa tentang bangun ruang sisi datar juga masih kurang, hal ini didapat dari hasil tanya jawab dengan siswa. Dari hasil tanya jawab, siswa cenderung menghafal konsep-konsep bangun ruang sisi datar tanpa memahami konsep tersebut, hal ini terbukti ketika diberi pertanyaan asal dari suatu konsep siswa tidak bisa menjelaskan. Kegiatan Plandilaksanakan di Mushola FMIPA Universitas Negeri Malang pada tanggal 25 Pebruari 2014. Pada tahap ini peneliti bersama rekan dalam satu kelompok selaku observator berdiskusi untuk merancang perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, menentukan model pembelajaran apa yang akan diterapkan, merancang Lembar Kerja Siswa, serta lembar observasi. Kegiatan Plan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa model pembelajaran yang diterapkan adalah mengikuti fase belajar model van hiele. Kemudian dilanjutkan dengan membuat perangkat pembelajarannya. Pada tahap pelaksanaan (Do), guru model menyajikan pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang sudah disusun. Dalam proses pembelajaran tersebut, guru didampingi oleh 3 guru lain sebagai observer. Dalam proses pembelajaran siswa dibagi menjadi kelompokkelompok yang terdiri dari 4 orang. Pada kegiatan awal guru memberikan motivasi dengan melakukan tanya jawab tentang bentuk-bentuk bangun ruang sisi datar yang ada di sekitar siswa dan juga manfaat penggunaan bangun ruang sisi datar dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu guru memberikan arahan tentang pembelajaran yang akan dilakukan.Pada kegiatan inti siswa berdiskusi mengerjakan LKS yang sudah disusun berdasarkan 5 fase belajar model van hiele. Pembelajaran diakhiri dengan kegiatan penutup yaitu menyimpulkan dan penegasan dari guru, serta guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa. Proses pembelajaran didokumentasikan dengan menggunakan camera dan video. Hasil foto dan video digunakan sebagai bahan diskusi pada pelaksanaan see (refleksi). Pada proses pembelajaran siklus I masih banyak kekurangan diantaranya alokasi waktu yang tidak sesuai dengan perencanaan. Masukan dan perbaikan-perbaikan disampaikan pada pelaksanaan see (refleksi) I sehingga masalah tidak berulang pada siklus lesson studyberikutnya. Pada pelaksanaan sikus II pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan perencanaan, mulai dari kegiatan awal siswa terlihat antusias dan siap mengikuti pembelajaran. Pada kegiatan inti siswa melakukan diskusi untuk mengerjakan LKS dengan scaffolding yang diberikan guru hingga dapat menuntaskan LKS pada semua fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Begitu juga pada kegiatan penutup, siswa menyimpulkan dari apa yang telah mereka pelajari dengan lengkap dan kemudian dikuatkan dengan penjelasan dari guru. HASIL-HASIL YANG DIPEROLEH Berdasarkan hasil observasi dan hasil pengerjaan LKS pada keseluruhan pembelajaran sebagai berikut : 1. Siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik, meskipun pada awalnya mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan model pembelajaran yang baru mereka kenal, tetapi pada akhirnya siswa terlihat antusias, serius dan semua siswa dalam kelas terlibat dalam pembelajaran serta aktif berdiskusi. Hal ini tidak lepas dari scaffolding yang diberikan guru. 2. Pembelajaran dengan model van hiele memerlukan waktu lebih lama dari pada metode ceramah karena siswa dituntut untuk berdiskusi yang memerlukan pemikiran dan penalaran pada setiap fasenya. 3. Dari observasi dan evaluasi hasil pengerjaan LKS didapatkan sebagian besar siswa mengalami kemajuan dalam memahami konsep-konsep bangun ruang sisi datar dan kualitas pemikiran siswa meningkat, serta berani tampil untuk menjelaskan. Bahkan ada siswa yang baru menyadari bahwa dia menemukan konsep baru yang belum dipahaminya di SD dulu. 4. Hanya beberapa siswa yang memanfaatkan alat peraga berupa kerangka bangun ruang karena keterbatasan alat peraga yang disediakan.
1369
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
SIMPULAN DAN SARAN Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan Lesson Study ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya, diantaranya siswa pada awalnya mengalami kesulitan menyesuaikan dengan model pembelajaran namun pada akhirnya terlihat antusias, serius dan semua siswa dalam kelas terlibat dalam pembelajaran serta aktif berdiskusi. Pelaksanaan pembelajaran dengan model van hiele memerlukan waktu lebih lama dari pada pembelajaran dengan metode ceramah, namun dapat meningkatkan pemahaman siswa pada suatu konsep dan dapat membantu siswa untuk mencapai tahap berpikir yang lebih tinggi. Dengan pelaksanaan Lesson Study guru mendapat pengalaman baru dan masukanmasukan dari rekan-rekan kolaborasinya sehingga dapat meningkatkan mutu pembelajarannya di kelas. Seperti yang disampaikan Sulandra (2004) bahwa Lesson Study dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran juga kualitas keprofesionalan guru. Akhirnya, kegiatan Lesson Study akan dapat menjadi suatu kegiatan rutin yang mudah dilaksanakan dan menjadi wahana untuk meningkatkan kolaborasi antar guru baik dalam satu bidang studi atau tidak. DAFTAR RUJUKAN Anne, T.. 1999. The van Hiele Models of Geometric Thought. (Online) (Http://euler.slu.edu/teach_material/van_hiele_model_of_geometry.html), diakses 8 Mei 2014). Aeston, Lois Brown. 2009. An Introduction to Lesson Study. Florida Comprehensive Centre. (online) (http://www.ets.org/flicc/pdf/Nov4LessonStudyPacketOne.pdf), diakses 8 Mei 2014 Bobango, J.C.. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc. Burger, W.F. & Culpepper, B.. 1993. Restructuring Geometry. Dalam Wilson Patricia S. (Ed). Reseach Ideas for The Classroom: High Scholl Mathematics. New York: MacMillan Publishing Company. Candra, T. Daniel. 2005. Pelaksanaan Piloting Bidang Studi Matematika di SMP. Makalah disajikan dalam Prosiding 2 Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang: FMIPA UM bekerjasama dengan Dirjen Dikti. Depdiknas. Clements, D.H. & Battista, M.T.. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam Grouws, D.A. (ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan Publishing Company. Cresswell, John W. 2012. Educational Research Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualiatative Research. 4th ed. Pearson: University of Nebraska. Crowley, M.L. 1987. The van Hiele Model of the Geometric Thought.. Dalam Linquist, M.M. (eds) Learning ang Teaching Geometry, K-12. Virginia: The NCTM, Inc. Dudley, Peter. 2012. ―Lesson Study Development in England: from School Network to National Policy‖. International Journal for Lesson and Learning Studies. Vol.1.lss : 1, pp.85-100 Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson study on Developing Effective Statistics Curriculum, (Online), (www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publications/11/-Garfield.doc), diakses 6 Mei 2014. Hudoyo, Herman. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : P2LPTK. Husnaeni. 2001. Membangun Konsep Segitiga Melalui Penerapan Teori van Hiele Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Ibrohim. 2009. Panduan Pelaksanaan Lesson Study di KKG. Universitas Negeri Press. Malang. Karim, Muchtar Abdul. 2006. ―Implementation of Lesson Study for Improving the Quality of Mathematics Instruction in Malang‖. Tsukuba Journal of Educational Study in Mathematics. Vol.25. 2006. Marsigit. 2007. Mathematics Teachers Professional Development Through Lesson Study In Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(2), 141-144. Muser, E.L. & Burger, W.F.. 1994. Mathematics for Elementary teachers: A Contemporary Approach, Third Edition. New York: MacMillan Publishing Company. 1370
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Puspitasari, Lila. 2005. Penerapan Lesson Study di SMP 4 Malang. Makalah disajikan dalam Prosiding 2 Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang: FMIPA UM bekerjasama dengan Dirjen Dikti.Depdiknas. Santyasa, Wayan I. 2009. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran. Makalah disajikan dalam ‖Seminar Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran bagi Guru-guru TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Nusa Penida. Subanji. 2014. Pedoman Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Project Lesson Study Prodi S2 Pendidikan Matematika. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Sulandra, I Made. 2005. Dapatkah Kualitas Pembelajaran Ditingkatkan melalui Lesson Study? (Suatu Studi Kasus di Malang). Makalah disajikan dalam Prosiding 2 Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang: FMIPA UM bekerjasama dengan Dirjen Dikti. Depdiknas. Wardhani, Sri. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kementrian Pendidikan Nasional. Yadil, M. Nur. 2009. Penerapan Model Pembelajaran Van Hiele untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa SMP Karunadipa Palu Terhadap Konsep Bangun- Bangun Segiempat. Makalah disajikan dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yoshida, M. (1999). Lesson Study: A Case of a Japanese Approach to Improving Instruction Through School-Based Teacher Development. Disertasi Doktoral yang tidak diterbitkan, The University of Chicago.
PEMBELAJARAN PROBLEM POSING SETTING KOOPERATIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS VIIIA SMPN I KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PONOROGO PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR Sri Purwati SMPN I Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo [email protected] Subanji dan Sisworo Dosen Matematika Universitas Negeri Malang [email protected]; [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran problem posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIIA SMPN I Kecamatan Sukorejo yang berjumlah 24 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa langkah-langkah pembelajaran problem posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah guru (1) menyampaikan tujuan, (2) menyajikan informasi dan memberi contoh melalui penjelasan atau tanya jawab, (3) mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar, (4) membantu kerja tim yang mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikannya (problem posing), (5) melakukan evaluasi dengan saling bertukar soal dan menjawab soal, dan (6) memberikan penghargaan bagi kelompok yang terbaik. Persentase kemampuan berpikir kreatif siswa pada siklus I sebesar 59,5% dan pada siklus II sebesar 75,4% sehingga terjadi peningkatan sebesar 15,9%. Kategori kemampuan berpikir kreatif siswa naik dari kategori cukup baik menjadi kategori baik. Kata Kunci: pembelajaran problem posing setting kooperatif, bangun ruang sisi datar, kemampuan berpikir kreatif
Pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah matematika. Hal ini karena matematika berhubungan dengan ide-ide dan konsep-konsep
1371
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang abstrak. Sebagaimana pernyataan Hudojo (2005:36) bahwa matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak dan penalarannya deduktif. Soedjadi (1999:13) mengatakan salah satu karakteristik matematika adalah memiliki objek kajian abstrak. Objek kajian abstrak meliputi fakta, konsep, operasi ataupun relasi, dan prinsip. Dalam geometri terdapat simbol tertentu yang merupakan konvensi dan objek kajian abstrak contohnya, ―∕∕‖ yang bermakna ―garis sejajar,‖∠‖ yang bermakna ―sudut‖. Siswa seringkali mengalami kesulitan untuk memahami keabstrakan matematika. Kesulitan siswa ini layak dan urgen untuk diteliti dan dicarikan pemecahannya melalui tindakan nyata. Salah satu wujud kesulitan siswa adalah kesulitan menyelesaikan soal pada materi bangun ruang sisi datar. Pada materi bangun ruang sisi datar dengan kompetensi dasar menghitung luas permukaan dan volume kubus, balok, prisma, dan limas, dari 29 siswa 12 siswa tuntas dan 17 siswa tidak tuntas sehingga harus diremidi. Guru dalam mengajar kurang memperhatikan kemampuan berpikir kreatif siswa, hal tesebut terlihat dengan dominasi guru dalam proses belajar mengajar sedangkan siswa hanya sebagai pendengar, sehingga siswa kurang diberi kesempatan untuk menunjukkan ide-idenya. Menurut Irwan (2011:2) kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, bernalar, dan kemauan bekerjasama yang efektif dapat dikembangkan melalui belajar matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional. Kesulitan siswa juga terjadi di SMPN I Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Kesulitan tersebut adalah siswa pasif dalam pembelajaran, siswa kurang berpikir kreatif yang dapat diamati dari kurangnya partisipasi siswa dalam mengajukan pertanyaan serta menjawab pertanyaan, dan kurang adanya komunikasi antar siswa. Maka diperlukan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Penelitian tentang kreativitas matematika telah dilakukan oleh banyak ahli antara lain: (Silver, 1997; Siswono, 2009). Silver dalam Irwan (2011) mengatakan bahwa dalam pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: 1) problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving), 2) problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain atau mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan, dan 3) problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang telah diberikan. Nuh (2005:1) mengatakan dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil saling membantu belajar satu sama lainnya, kelompok-kelompok tersebut beranggotakan siswa dengan hasil belajar tinggi, rata-rata, dan rendah; laki-laki dan perempuan; siswa dengan latar belakang suku berbeda yang ada di kelas; dan siswa penyandang cacat bila ada. Silver (1997) menjelaskan ―The Torrance Test of Creative Thinking (TTCT)‖ sering digunakan untuk menilai kemampuan berpikir pada anak dan dewasa. Tiga komponen kunci dari kreatif yang dinilai oleh TTCT adalah kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan. Kefasihan mengacu pada jumlah ide yang dihasilkan dalam menanggapi perintah; fleksibilitas untuk perubahan jelas dalam pendekatan yang diambil saat membuat tanggapan terhadap perintah; dan kebaruan untuk keaslian ide-ide yang dihasilkan dalam menanggapi perintah. Berpikir kreatif pada penelitian ini adalah berpikir yang mempunyai ciri sebagai berikut: mampu dan lancar dalam mengajukan banyak soal sekaligus menyelesaikannya (kefasihan), mampu mengajukan soal yang berbeda-beda dan dapat menyelesaikannya (fleksibilitas), mampu mengajukan soal yang berbeda (tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat pengetahuannya) dan dapat menyelesaikannya (kebaruan). Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif adalah menggunakan pembelajaran problem posing setting kooperatif. Pembelajaran problem posing setting kooperatif adalah pembelajaran yang menekankan pada siswa untuk mengajukan soal dan menyelesaikannya berdasarkan informasi yang diberikan, yang dilakukan dengan bekerjasama dalam suatu kelompok. Penelitian ini akan mendeskripsikan penerapan pembelajaran problem posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIIIA SMPN I Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo tahun ajaran 2012/2013. \ 1372
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE Penelitian akan dilakukan pada bulan Mei dan bulan Juni 2013 di SMPN I Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan peneliti sebagai pengajar. PTK menggunakan diagram alir (flowchart) yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart sebagai berikut. Siklus I Persiapan data awal
Perencanaan tindakan
Pelaksanaan tindakan Refleksi Observasi
Perencanaan tindakan
Siklus II
Pelaksanaan tindakan Refleksi Observasi Berhasil
Ya
Pembuatan laporan
tidak dst Gambar 1. Siklus penelitian tindakan yang dikembangkan Kemmis dan Taggart.
Tahap-tahap penelitian adalah observasi awal, perencanaan tindakan, dan pelaksanaan tindakan dan observasi. Kegiatan penelitian dimulai dengan observasi awal sebagai dasar untuk mengidentifikasi masalah. Setelah mengkaji hasil observasi awal, mengidentifikasi masalah, mengkaji teori-teori yang relevan, serta merumuskan fokus penelitian, selanjutnya peneliti merencanakan tindakan dengan dengan merancang RPP, LKS, instrumen uji berpikir kreatif, lembar observasi aktivitas guru, lembar observasi aktivitas siswa, format wawancara, dan lembar catatan lapangan. Pelaksanaan tindakan dan observasi antara lain: 1) pelaksanaan validasi perangkat pembelajaran dan perangkat penelitian, 2) pelaksanaan kegiatan pembelajaran, 3) observasi/pengamatan, dan 4) refleksi. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Pertemuan Pertama Pada tahap awal, guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, mengabsen siswa, menanyakan kesiapan siswa untuk mengikuti pelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu siswa dapat menyebutkan unsur-unsur yang terkait dengan kubus, balok, prisma, dan limas yaitu rusuk, bidang sisi, diagonal bidang sisi, diagonal ruang, bidang diagonal. Pada tahap ini guru melakukan dialog dengan siswa, adapun cuplikan dialognya sebagai berikut.
1373
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
P : Apakah kalian masih ingat tentang kubus, balok, prisma, dan limas? ASW : Masih ingat bu, saya masih ingat bentuk bangun dari kubus, balok, prisma, dan limas. IP : Saya juga masih ingat bu, bentuk dari kubus, balok, prisma dan limas. Saya juga ingat tentang unsur-unsur kubus dan balok tetapi saya tidak ingat tentang unsur-unsur prisma dan limas. Pada tahap inti, guru melakukan kegiatan pembelajaran yaitu menyampaikan materi pelajaran tentang menyebutkan unsur-unsur pada kubus, balok, prisma, dan limas, memberikan contoh problem posing, meminta siswa memahami LKS, membentuk kelompok, menjelaskan tanggungjawab kelompok, meminta siswa bekerja secara kooperatif, membantu kelompokkelompok yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas/LKS. Berikut salah satu soal dalam LKS pada pertemuan pertama Buatlah masing-masing minimal 2 soal yang berkaitan dengan kubus dan balok serta jawablah soal yang anda buat tersebut! Berikut ini soal yang dibuat oleh kelompok 5.
Jawaban kelompok 3 untuk soal dari kelompok 5.
Perhatikan jawaban yang diberikan oleh kelompok 3 sudah benar. Salah satu jawaban untuk soal dari kelompok 5 no 1, kelompok 3 telah menyebutkan 6 unsur dari kubus ABCDEFGH. Pemberian soal seperti diatas dimaksudkan agar tercapai ketiga indikator yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Pada pembuatan soal dan jawaban yang dibuat oleh siswa pada LKS I soal no 1 terlihat hanya indikator kefasihan dan fleksibilitas yang tercapai. Kefasihan tercapai karena siswa dapat membuat masing-masing minimal 2 soal yang berkaitan dengan unsur-unsur pada kubus dan balok serta dapat menyelesaikannya. Fleksibilitas tercapai karena soal-soal yang dibuat oleh siswa, ada soal yang berbeda dan siswa dapat menyelesaikannya, soal yang berbeda seperti menyebutkan unsur-unsur kubus, mencari panjang diagonal sisi kubus, menyebutkan diagonal sisi-diagonal sisi pada balok dan menggambar balok. Kebaruan (novelty) belum tercapai karena siswa belum mampu membuat soal yang berbeda (tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat pengetahuannya) yang berkaitan dengan unsur-unsur pada kubus dan balok serta dapat menyelesaikannya. Pertemuan kedua Pada tahap awal, guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, mengabsen siswa, menanyakan kesiapan siswa untuk mengikuti pelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu siswa dapat membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas. Pada 1374
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tahap ini guru berdialog dengan siswa menanyakan apakah siswa masih ingat tentang membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas, sebagian besar siswa masih ingat dan ada beberapa siswa yang mengaku bisa menggambar jaring-jaring kubus. Adapun cuplikan dialognya sebagai berikut. P MHP RJ
: Siapakah diantara kalian yang bisa membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas? : Saya bisa membuat jaring-jaring kubus, tetapi untuk membuat jaring-jaring balok, prisma dan limas saya sudah lupa. : Sama bu, saya juga seperti MHP.
Pelaksanaan pembelajaran pada tahap inti dimulai dengan guru menyampaikan materi tentang membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas, memberi contoh problem posing, meminta siswa untuk memahami LKS dan bertanya bagi siswa yang merasa ada yang kurang dipahami, meminta siswa membentuk kelompok dan bekerja secara kooperatif serta membantu kelompok yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas /LKS. Pada pertemuan kedua siklus I, siswa diberikan LKS II yang berisikan empat soal tentang materi membuat jaring-jaring kubus, balok, prisma, dan limas. Berikut salah satu soal yang terdapat pada LKS II. Buatlah 1 soal yang berbeda dari biasa yang berkaitan dengan membuat jaring-jaring bangun ruang sisi datar dan selesaikan soal tersebut!
Perhatikan jawaban yang diberikan oleh kelompok 4 untuk soal yang dibuat kelompok 6 berikut ini!
Jawaban yang diberikan oleh kelompok 4 salah. Pada soal LKS II no 4 dimaksudkan agar indikator kebaruan tercapai, tetapi karena kelompok 6 membuat soal benar dan kelompok 4 menjawab soal salah, maka kebaruan belum tercapai. Kebaruan tercapai jika siswa mampu membuat satu soal yang berbeda (tidak biasa dibuat oleh siswa pada umumnya) yang berkaitan dengan membuat jaring-jaring bangun ruang sisi datar dan dapat menyelesaikan soal tersebut. Pada akhir pembelajaran siswa diminta untuk mengumpulkan hasil kerja kelompoknya. Sebelum mengakhiri pertemuan guru meminta siswa untuk lebih giat belajar, menginformasikan materi pelajaran pada pertemuan berikutnya, mengatur kelas dalam posisi semula, dan memberi salam. Berdasarkan observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran, pada pertemuan pertama rata-rata persentase dari kedua pengamat 80,7%, pada pertemuan kedua rata-rata persentase dari kedua pengamat 81,5%. Hasil observasi terhadap aktivitas guru, pada pertemuan pertama rata-rata persentase dari kedua pengamat 83,8%, pada pertemuan kedua rata-rata persentase dari kedua pengamat 83,4%. Dengan demikian proses pembelajaran pada siklus I telah dilaksanakan dengan sangat baik.
1375
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil Uji Kemampaun Berpikir Kreatif pada Siklus I Hasil uji kemampuan berpikir kreatif siswa adalah 0% siswa termasuk kategori tidak baik, 16,7% siswa termasuk kategori kurang baik, 29,1% siswa termasuk dalam kategori cukup baik, 37,5% siswa termasuk kategori baik dan 16,7% siswa termasuk kategori sangat baik.
Berikut jawaban siswa yang dapat berpikir fasih (IK).
Fasih karena siswa dapat membuat dua soal tentang kerangka balok dan dapat menyelesaikannya.
Berikut jawaban siswa yang dapat berpikir fleksibel (ERN). Fleksibel karena kedua soal yang dibuat berbeda, soal pertama tentang membuat jaringjaring prisma segilima dan soal yang kedua tentang menyebutkan
unsur-unsur prisma segilima
Berikut jawaban siswa yang belum dapat berpikir baru (ERN). Baru jika dapat membuat soal yang berbeda (tidak biasa dibuat siswa pada tingkat pengetahuannya dan dapat menyelesaikannya)
Dari hasil analisis terhadap pekerjaan siswa pada LKS, didapatkan bahwa kemampuan siswa dalam materi prasyarat masih rendah sehingga siswa belum mampu membuat soal dan menyelesaikan soal yang dibuat tersebut. Kelompok belum mampu membuat soal berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, seringkali ada soal yang dibuat kelompok tidak sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil analisis terhadap uji kemampuan berpikir kreatif sebesar 59,5% termasuk kategori cukup baik. Hasil wawancara dengan siswa menunjukkan siswa mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikan soal yang dibuat tersebut. Berdasarkan hasil analisis terhadap keseluruhan proses dan hasil pembelajaran, pembelajaran siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kesimpulannya bahwa tindakan dilanjutkan ke siklus II dengan perbaikan terhadap kelemahankelemahan yang terjadi pada siklus I. 1376
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 1 berikut ini memberikan deskripsi tentang kelemahan dan penyebabnya yang terjadi pada siklus I dan kemudian perbaikan-perbaikan yang dilakukan pada siklus II. Tabel 1 Deskripsi Kelemahan dan Penyebabnya pada Pembelajaran Siklus I dan Perbaikan Pada Pembelajaran Siklus II
No Kelemahan Penyebab 1 Kerjasama antar anggota Penerapan pembelajaran kelompok masih kurang. secara berkelompok jarang dilakukan. 2 Pembagian tugas antar Siswa masih berkonsentrasi anggota kelompok sudah untuk mengerjakan tugasnya terlaksana tetapi kurang sendiri dan belum mengecek adanya koordinasi. pekerjaan kelompok secara keseluruhan. 3 Berpikir kreatif masih Belum terbiasa untuk kurang dan siswa masih membuat soal sekaligus mengalami kesulitan menyelesaikan soal yang dalam membuat soal dan dibuat tersebut. menyelesaikannya berdasarkan informasi yang diberikan.
Perbaikan Meningkatkan kerjasama antar anggota kelompok. Meningkatkan koordinasi antar anggota kelompok sehingga pembagian tugas dapat terlaksana dengan baik Memberikan bimbingan kepada anggota kelompok yang mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikan soal berdasarkan informasi yang diberikan.
Kelemahan-kelemahan yang ada pada pembelajaran siklus I dicari penyebabnya kemudian dicarikan solusi perbaikannnya. Sebagain besar siswa masih belum terbiasa bekerja secara berkelompok, sulit berkoordinasi untuk menyelesaikan tugas kelompok, dan kesulitan untuk membuat soal dan menyelesaikan soal berdasarkan informasi yang diberikan. Setelah diketahui kelemahan dan penyebabnya maka akan dilakukan perbaikan pembelajaran pada siklus II. Siklus II Pertemuan ketiga Pada tahap awal, guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, mengabsen siswa, menanyakan kesiapan siswa mengikuti pelajaran, membangkitkan keterlibatan siswa secara optimal dalam pembelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Guru melakukan dialog dengan siswa, menanyakan apakah siswa masih ingat tentang luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas, sebagian besar siswa menjawab tidak ingat tentang luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas. Adapun cuplikan dialognya sebagai berikut. P
: Apakah diantara kalian ada yang masih ingat tentang rumus luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas? ASH : Saya lupa bu. APK : Sama bu, saya juga lupa. Pelaksanaan pembelajaran pada tahap inti antara lain guru menyampaikan materi pelajaran, mengajukan contoh problem posing, meminta siswa memahami LKS, membentuk kelompok, menjelaskan tanggung jawab kelompok, meminta siswa bekerja secara kooperatif dan membantu kelompok menyelesaikan tugas. Pada tahap inti guru membagikan LKS kepada siswa, LKS ini harus dipahami sebelum mereka mengerjakannya. Guru meminta siswa untuk bertanya hal-hal yang belum dipahami dalam LKS. LKS III terdiri dari 4 soal tentang menghitung luas permukaan kubus, balok, prisma, dan limas. Perhatikan salah satu LKS pada pertemuan ketiga berikut ini! Perhatikan gambar di bawah ini!
1377
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Buatlah soal sebanyak mungkin yang berkaitan dengan gambar diatas dan jawablah soal tersebut ! Berikut ini soal yang dibuat oleh kelompok 2.
Jawaban kelompok 3 untuk soal yang dibuat oleh kelompok 2.
Jawaban kelompok 3 untuk soal yang dibuat oleh kelompok 2 sudah benar. Pada soal LKS III no 3 dari soal yang dibuat oleh kelompok 2 dan dikerjakan oleh kelompok 3, indikator kefasihan dan fleksibilitas tercapai. Indikator kefasihan tercapai karena siswa dapat membuat 3 soal yang berkaitan dengan luas permukaan berdasarkan gambar yang diberikan serta dapat menyelesaikan soal tersebut. Indikator fleksibilitas tercapai karena dari soal-soal yang dibuat siswa, ada soal yang berbeda dan siswa dapat menyelesaikan soal tersebut. Indikator kebaruan belum tercapai karena siswa belum mampu membuat soal berbeda (tidak biasa dibuat siswa pada tingkat pengetahuannya) yang berkaitan dengan luas permukaan bangun berdasarkan gambar yang diberikan dan dapat menyelesaikan soal tersebut. Pertemuan keempat Pada pertemuan keempat terdiri dari tiga tahap yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Tahap awal seperti pada pertemuan sebelumnya guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, mengabsen siswa, menanyakan kesiapan siswa mengikuti pelajaran, membangkitkan keterlibatan siswa secara optimal dalam pembelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada pertemuan ini guru menanyakan ke siswa apakah masih ingat materi volume kubus, balok, prisma, dan limas, sebagian besar siswa mengatakan masih ingat tentang volume kubus dan balok tetapi tidak ingat tentang volume prisma dan limas. Adapun cuplikan dialognya sebagai berikut. P : Siapa diantara kalian yang masih ingat rumus volume kubus, balok, prisma, dan limas? ABP : Saya ingat bu rumus volume kubus dan balok, volume kubus itu sama dengan sisi kali sisi kali sisi sedangkan volume balok sama dengan panjang kali lebar kali timggi. HRA : Yang saya ingat hanya volume kubus dan balok, sedangkan prisma dan limas tidak begitu ingat. Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya tahap inti terdiri dari guru menyampaikan materi pelajaran, mengajukan contoh problem posing, meminta siswa memahami LKS, membentuk kelompok, menjelaskan tanggung jawab kelompok, meminta siswa bekerja secara kooperatif dan membantu kelompok menyelesaikan tugas.
1378
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada tahap inti, guru membagikan LKS kepada siswa, LKS ini harus dipahami siswa sebelum mereka mengerjakannya. Guru menjelaskan cara pengerjaan LKS bagi siswa yang belum memahami maksud-maksud yang ada pada LKS. Perhatikan salah satu soal pada LKS pertemuan keempat berikut ini! Buatlah 1 bangun yang merupakan gabungan dari 2 bangun ruang sisi datar (balok dan prisma), Buatlah 1 soal yang berbeda dan selesaikan soal tersebut! Berikut jawaban yang diberikan oleh siswa. Berikut soal yang dibuat oleh kelompok 6.
Jawaban kelompok 4 untuk soal yang dibuat kelompok 6.
Perhatikan jawaban yang diberikan kelompok 4 sudah benar. Pemberian soal seperti diatas dimaksudkan agar tercapai indikator kebaruan. Pada pembuatan soal dan jawaban yang dibuat oleh siswa terlihat indikator kebaruan sudah tercapai. Berdasarkan observasi aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran, rata-rata persentase dari kedua pengamat 84,4% untuk pertemuan ketiga dan 85,0% untuk pertemuan keempat. Hasil observasi aktivitas siswa, rata-rata persentase kedua pengamat 84,2% untuk pertemuan ketiga dan 82,1% untuk pertemuan keempat. Dengan demikan proses pembelajaran pada siklus II telah terlaksana dengan sangat baik. Hasil Uji Kemampuan Berpikir Kreatif pada Siklus II Hasil uji kemampuan berpikir kreatif pada siklus II dari 24 siswa yang mengikuti tes, 0,0% termasuk kategori tidak baik, 0,0% siswa termasuk kategori kurang baik, 12,5% siswa termasuk kategori cukup baik, 50,0% siswa termasuk kategori baik dan 37,5% siswa termasuk kategori sangat baik. Berikut jawaban siswa yang dapat berpikir fasih (IFH). Fasih karena soal tidak berbeda karena kedua soal tentang luas persegi panjang dan luas permukaan balok
serta dapat menyelesaikannya
Berikut jawaban siswa yang dapat berpikir fleksibel (ASW). Fleksibel karena soal yang dibuat berbeda yaitu tentang luas permukaan dan volume dan dapat menyelesaikannya dengan benar
1379
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berikut jawaban siswa yang dapat berpikir baru (APK). Baru karena dapat membuat soal yang berbeda (tidak biasa dibuat oleh siswa pada tingkat pengetahuannya) dan dapat menyelesaikan soal yang dibuat dengan
benar.
Hasil wawancara peneliti dengan subjek wawancara pada akhir siklus II diperoleh informasi bahwa dibandingkan dengan hasil wawancara dengan siklus I, siswa mengalami peningkatan dalam berpikir fasih, siswa mampu membuat beberapa soal dan menyelesaikan soal yang dibuat tersebut. Hasil wawancara dengan beberapa subjek penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan terhadap kemampuan berpikir kreatif. Dengan demikian disimpulkan penelitian sudah berhasil memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tindakan pada siklus II telah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan dengan kemampuan berpikir kreatifnya termasuk kategori baik sehingga mengalami peningkatan dari kategori cukup baik menjadi kategori baik. Terjadi peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yaitu pada siklus I sebesar 59,5% dan pada siklus II sebesar 75,4%, sehingga peningkatan yang terjadi sebesar 15,9% dan dari kategori cukup baik menjadi baik. Penerapan problem posing setting kooperatif yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, penjelasan pelaksanaan terhadap fase-fase pembelajaran problem posing setting kooperatif sebagai berikut. Fase 1: Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik. Pada tahap ini, peneliti memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali materi yang akan diajarkan hari ini, pada kesempatan ini terlihat siswa terbagi menjadi bermacam-macam karakter antara lain: 1) siswa yang paham, 2) siswa kurang paham, dan 3) siswa tidak paham. Siswa yang kurang paham dan siswa yang tidak paham diminta untuk lebih giat belajar agar kemampuan awalnya meningkat. Selain itu, pada tahap ini guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Menurut Ausubel dalam Joyce (2009:280) mengatakan sangat penting guru secara langsung membahasakan tujuan materi pelajaran. Dengan menyebutkan tujuan materi pelajaran diharapkan siswa mengetahui tujuan suatu materi pelajaran diberikan oleh guru. Hal ini penting, karena akan membuka wawasan siswa tentang kenapa dia harus belajar materi tersebut. Selain itu menurut Sanjaya (2008:64) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu pembelajaran adalah karena tujuan pembelajaran dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan kegiatan belajar siswa. Fase 2: Menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberi contoh problem posing. Fase selanjutnya adalah peneliti menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberi contoh problem posing. Materi pelajaran diajarkan dengan ceramah dan tanya jawab, sedangkan problem posing merupakan model pengajaran yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya, sehingga perlu waktu relatif lama untuk menjelaskannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosenshine dalam Joyce (2009:423) bahwa guru yang efektif menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjelaskan dan menyajikan materi baru dibandingkan guru yang kurang efektif. Fase 3: Mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar dengan satu tim beranggotakan 4 siswa yang bersifat heterogen baik kemampuan dan jenis kelamin. Pembentukan kelompok dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti. Hal ini dilakukan agar pembentukan kelompok bersifat heterogen. Untuk itu peneliti memberikan tes awal dan hasil tes awal digunakan oleh peneliti untuk membentuk kelompok. Kelompok yang terbentuk terdiri dari laki-laki dan perempuan, kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 1380
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembentukan kelompok secara heterogen didasarkan pada pertimbangan bahwa siswa yang kemampuannya tinggi akan memberikan bantuan kepada siswa yang kemampuannya sedang dan rendah. Selain itu, dengan kelompok yang heterogen digunakan untuk menghindari persaingan antar siswa yang kemampuannya tinggi, juga untuk menghindari agar suatu kelompok tidak hanya terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah sehingga akan memperlambat proses kerjasama kelompok. Selanjutnya, jika kelompok mempunyai kemampuan yang berbeda, kerjasama akan berjalan lebih baik, dan saling membantu satu dengan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa beberapa ahli pendidikan diantaranya: Joyce (2009:303) mengatakan dalam ruang kelas yang teroganisir dengan baik, siswa mengerjakan tugas dalam sebuah kelompok yang lebih besar, saling mengajari, saling menghargai, maka akan ada sebuah penguasan yang lebih baik terhadap satu subjek pembelajaran dibandingkan dengan pola pembacaan dan pembelajaran tunggal (yang dilakukan sendiri) dan Lie dalam Sanjaya (2008:248) mengatakan bahwa kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan asisten untuk setiap tiga orang. Fase 4: Membantu kerja tim yang mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikannya (problem posing). Dalam pembelajaran guru berperan sebagai fasilitator. Guru membantu siswa yang mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerjakan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (2008:23) mengatakan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Pada LKS terdapat beberapa soal dan setiap siswa dapat satu soal untuk dibuat pertanyaan dan menyelesaikan pertanyaan yang dibuat tersebut (problem posing). Pada saat menyelesaikan problem posing, siswa dengan kemampuan sedang dan rendah mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya maka peran guru penting untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan. Fase 5: Mengevaluasi. Pada fase ini guru meminta kelompok saling bertukar soal dan meminta kelompok lain untuk menjawab soal serta melakukan evaluasi dengan cara tanya jawab lisan dengan siswa secara acak. Siswa mengoreksi jawaban dari kelompok lain dengan jawaban kelompoknya atas pertanyaan yang dibuat oleh kelompoknya berdasarkan informasi yang diberikan pada LKS. Evaluasi dilakukan dengan cara tanya jawab lisan dengan siswa secara acak. Evaluasi ini digunakan untuk mengecek kepahaman siswa tentang materi yang telah diberikan. Menurut Sanjaya (2008:33) bahwa evaluasi sebagai kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan siswa. Fase 6: Memberikan pengakuan atau penghargaan Memberikan pengakuan atau penghargaan kelompok yang telah menyelesaikan tugas dengan baik. Tugas yang diberikan adalah mengerjakan LKS. Hal ini, diharapkan dapat meningkatkan kerjasama kelompok sehingga hasil kerja kelompok semakin baik. Menurut Sanjaya (2008:249) mengatakan pengakuan dan pemberian penghargaan dapat memotivasi kelompok untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi kelompok lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka. Penelitian ini mempunyai kelemahan antara lain: 1) tugas yang meminta siswa untuk membuat soal dan menyelesaikan soal berdasarkan informasi yang diberikan merupakan hal yang baru, sehinga kebanyakan siswa mengalami kesulitan pada pembelajaran pertemuan pertama; 2) siswa membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengerjakan LKS, dan 3) Kegiatan belajar mengajar (KBM) membutuhkan waktu yang relatif lama. PENUTUP Kesimpulan Bertolak dari temuan penelitian dan pembahasan, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran problem posing setting kooperatif pada materi bangun ruang sisi datar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah sebagai berikut: (1) menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik, selain itu siswa diminta mengingat kembali materi yang akan dipelajari hari ini; (2) menyampaikan materi pelajaran (informasi) baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya memberikan contoh problem posing; (3) mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar dengan satu tim beranggotakan empat orang yang bersifat heterogen baik kemampuan dan jenis kelamin dengan tujuan agar 1381
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa saling bekerja sama dengan baik dan saling membantu satu dengan lainnya; (4) membantu kerja tim yang mengalami kesulitan dalam membuat soal dan menyelesaikannya, bantuan ini bisa berasal dari guru atau teman satu kelompok; (5) mengevaluasi dengan cara siswa saling bertukar soal dan menjawab soal dari kelompok lain serta guru melakukan tanya jawab lisan dengan siswa secara acak, dan (6) memberi pengakuan atau penghargaan kepada kelompok yang telah melaksanakan tugas dengan baik. Pembelajaran problem posing setting kooperatif pada penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa meningkat dari kategori cukup baik (59,5%) menjadi kategori baik (75,4%). Ini berarti terjadi peningkatan persentase kemampuan berpikir kreatif siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 15,9%. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran/rekomendasi yang diajukan, agar dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, peneliti menyarankan kepada para guru sebagai berikut: 1) menerapkan pembelajaran problem posing setting kooperatif; 2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan menjawab soal; 3) memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam kegiatan pembelajaran; 4) memberikan kesempatan kepada siswa yang ―mampu‖ untuk membantu siswa yang ―tidak mampu‖; 5) merancang perangkat pembelajaran dengan baik; 6) menghargai setiap soal dan jawaban yang dibuat oleh siswa. DAFTAR RUJUKAN Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Irwan. 2011. Pengaruh Pendekatan Problem Posing Model Search, Solve, Create and Share (SSCS) dalam upaya meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Mahasiswa Matematika. Jurnal Penelitian Pendidikan. April 2011. Vol. 12 No. 1 Isjoni. 2012. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. 2009. Model-Model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nuh, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Goup. Silver, Edward. A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. (online). http://link.springer.com/article/10.1007/s11858-997-0003-x. diakses 8 Februari 2013 Siswono, Tatag Yuli Eko. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. (online). http//:tatagyes.files.wordpress.com/2009/11/paper05_problem posing.pdf. diakses 9 februari 2013. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
KESALAHAN SISWA KELAS VIII SMP DALAM ALJABAR DAN UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING Shandi Pratama [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar pada aspek variabel, bentuk aljabar, persamaan aljabar, dan soal cerita, serta upaya pemberian scaffolding untuk membantu mengatasi kesalahan siswa dalam aljabar. Penelitian diawali dengan pemberian soal tes aljabar kepada 80 siswa kelas VIII. Kemudian jawaban siswa diklasifikasikan ke dalam tabel jawaban untuk setiap nomor
1382
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
soal. Kemudian dibuat dua tabel (tabel persentase jawaban tidak tepat dan tabel jenis kesalahan untuk setiap aspek). Tabel pertama untuk menggambarkan pada aspek apa yang paling banyak dan paling sedikit terjadi kesalahan. Tabel kedua untuk melihat lebih rinci jenis kesalahan apa saja yang muncul pada setiap aspek. Selanjutnya, tabel dua tersebut dapat membantu peneliti untuk memilih beberapa subjek yang selanjutnya akan diwawancarai secara mendalam dan diberikan scaffolding atas kesalahan yang dilakukan. Hasilnya adalah sebagai berikut. Kesalahan siswa pada aljabar paling banyak terdapat pada aspek soal cerita dan paling sedikit pada aspek persamaan. Aspek soal cerita mempunyai persentase kesalahan terbesar (89%), diikuti oleh bentuk aljabar (77%), variabel (71%), dan persamaan (38%). Kesalahan pada aspek variabel: memberikan nama (label), nilai yang berubah-ubah, atau kata kerja untuk variabel dan konstanta; kurang memahami konsep ―kesatuan‖ ketika dihadapkan dengan variabel; membentuk persamaan (atau pertidaksamaan) yang salah sebagai jawaban. Kesalahan pada aspek bentuk aljabar: penyederhanaan tidak lengkap; perkalian pecahan tidak tepat; penyederhanaan berlebihan; distribusi yang tidak tepat; kesalahan urutan; beragam jawaban tidak tepat. Kesalahan pada aspek persamaan aljabar: bilangan sebagai nama (label); salah mengartikan metode eliminasi dalam menyelesaikan persamaan. Kesalahan pada aspek soal cerita: menebak tanpa penalaran; penalaran tidak tepat. Untuk mengatasi kesalahan tersebut, enam subjek dipilih berdasarkan kategori kesalahan yang dilakukan untuk diwawancarai serta diberikan scaffolding. Setelah pemberian scaffolding, keenam siswa tersebut menjadi paham letak kesalahannya dan mampu menyelesaikan pertanyaan yang diberikan dengan tepat. Kata Kunci: kesalahan, aljabar, scaffolding
Pada jenjang sekolah dasar di Indonesia, siswa telah mempelajari aritmetika atau ilmu hitung. Simbol yang digunakan merupakan angka-angka yang dengan langsung sering dapat dibayangkan seberapa besarnya, atau minimal siswa dapat mengenalnya sebagai bilangan tertentu. Sedangkan Samo (2009:2) menyatakan bahwa aljabar adalah bentuk generalisasi dari aritmetika dan untuk menuju generalisasi tersebut, digunakan juga beberapa huruf dan tanda. Tidak bisa diragukan lagi, penggunaan huruf dan tanda membuat aljabar menjadi sesuatu yang abstrak. Oleh karena itu, banyak kesalahan yang dilakukan siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) dalam aljabar. Hal ini didukung oleh Krismanto (2004:1) yang menyatakan bahwa karena aljabar juga menggunakan huruf selain angka, maka bentuk aljabar yang dimulai di kelas VII sungguh merupakan bagian yang sangat perlu dipahami siswa. Mengenai aljabar, NCTM (2008) menyatakan bahwa aljabar adalah suatu cara berpikir dan suatu himpunan konsep dan keterampilan yang memungkinkan siswa untuk menggeneralisasi, memodelkan, dan menganalisis situasi matematis. Aljabar menyediakan suatu cara yang sistematis untuk menyelidiki hubungan, membantu untuk menggambarkan, mengorganisasi, dan memahami dunia. Tambahan pula, Egodawatte (2011:1) menyatakan bahwa aljabar digunakan dalam perusahaan untuk mengetahui anggaran tahunan yang melibatkan pengeluaran tahunan mereka. Berbagai toko menggunakan aljabar untuk memprediksi permintaan produk tertentu dan kemudian menempatkan pesanan mereka. Aljabar juga digunakan bentuk perhitungan penghasilan kena pajak tahunan, bunga bank, dan pinjaman angsuran. Bentuk aljabar dan persamaan berfungsi sebagai model untuk menafsirkan dan membuat kesimpulan tentang data. Selanjutnya, penalaran aljabar dan notasi simbolis juga berfungsi sebagai dasar untuk desain dan penggunaan model spreadsheet komputer. Oleh karena itu, penalaran matematika yang dikembangkan melalui aljabar diperlukan sepanjang hidup, memengaruhi keputusan yang kita buat dalam berbagai bidang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman aljabar yang lebih baik dapat meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan dalam masyarakat. Hasil penelitian Egodawatte di Toronto, Kanada (2011:131) menunjukkan sejumlah kategori kesalahan dari masing-masing aspek. Pada aspek variabel, alasan utama terjadi kesalahan adalah kurangnya pemahaman konsep dasar dari variabel dalam konteks yang berbeda. Struktur abstrak pada aspek bentuk aljabar menghadirkan masalah pada siswa seperti masalah dalam memahami atau memanipulasi bentuk aljabar sesuai aturan, prosedur, atau algoritma. Pemahaman yang kurang mengenai penggunaan tanda sama dengan dan sifatsifatnya bila digunakan dalam persamaan merupakan masalah utama yang menghambat siswa menyelesaikan persamaan dengan benar. Kesulitan utama dalam aspek soal cerita adalah menerjemahkan soal cerita ke dalam bahasa aljabar. Siswa banyak menggunakan metode 1383
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tebakan atau trial and error dalam menyelesaikan soal cerita. Dalam penelitiannya, Egodawatte
A 1 menjadi 2 A , dan A A
menemukan kasus sebagai berikut. Amanda menyederhanakan A
ax a . menjadi bx b
juga menyederhanakan x
Lebih lanjut, penelitian Seng (2010:159) di Malaysia telah memperoleh 12 jenis kesalahan dalam menyederhanakan bentuk aljabar. Perbandingan jenis kesalahan diperoleh dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Perbandingan ditinjau dari aspek: suku sejenis, bilangan bulat, bentuk aljabar sederhana, bentuk aljabar melibatkan perkalian, perluasan tanda kurung, dan bentuk aljabar rumit. Contoh kesalahan siswa yang ditemukan Seng adalah: seorang siswa menyederhanakan -6a + 3a menjadi 3a. hal ini didukung pula oleh Hall (2001:13) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa mengenai penyederhanaan bentuk aljabar, penggunaan tanda negatif dapat membuat siswa bingung dan meningkatkan banyaknya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal. Sakpakornkan dan Harries (2003:91) dalam penelitiannya terhadap 103 siswa Inggris dan 186 siswa Thailand menyatakan bahwa siswa Inggris dan Thailand tersebut sama-sama menggunakan proses yang sama pada soal aljabar level satu (menyederhanakan bentuk aljabar satu variabel). Perbedaan mulai nampak ketika mereka dihadapkan pada soal aljabar dengan level yang lebih tinggi, seperti menyederhanakan bentuk aljabar dua variabel dengan dan tanpa kurung, serta dengan urutan operasi tertentu. Siswa Inggris lebih banyak yang menjawab dengan tepat dari pada siswa Thailand. Namun, ternyata siswa yang tidak menjawab dengan tepat jauh lebih banyak pada kedua negara tersebut. Matz dalam Jacobs (2007:261) menemukan bahwa terjadi kesalahan dalam penyederhanaan bentuk aljabar yang konsepnya dibawa dari sifat distributif pada penjumlahan bilangan bulat- seperti: 6x + 3y = 9xy atau 5(y + 8) = 5y + 8. Tall (2008:10) juga menemukan kasus dari kesalahan siswa seperti 2 + 3x = 5x. Andarwati (2012:2) menemukan kesalahan siswa seperti 2x + 3x = 5x2. Siswa berpikir bahwa bentuk aljabar 2x + 3x terdiri dari bilangan dua dan tiga, serta terdiri dari dua variabel x. Bilangan dua dan tiga jika dijumlahkan akan memperoleh bilangan lima. Sedangkan variabel x sebanyak dua ditulis menjadi x pangkat dua. Oleh karena itu, bentuk sederhanya dari 2x + 3x adalah 5x2. Lebih lanjut Tall (2007:7) juga menyatakan bahwa beberapa aspek aljabar dapat diibaratkan sebagai suatu benda, seperti bentuk aljabar 2a + 3b + 4a dapat disederhanakan dengan ‗membawa 4a dan memindahkannya ke sebelah 2a‘ lalu mengelompokkan mereka bersama menjadi 6a, menghasilkan 6a + 3b. Versi ‗fruit salad‘ dari aljabar, yaitu memperlakukan huruf sebagai objek (apel dan pisang), lebih mudah dipahami tapi ternyata juga dapat terjadi suatu kesalahan. Misalnya, jika tersedia ‗6 apel dan 3 pisang‘ maka kita punya ‗9 apel dan pisang‘ ditulis ‗9ab‘. Penelitian oleh Ihsan (2003:97) yang lebih spesifik pada pecahan bentuk aljabar menyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa secara umum dalam menyederhanakan pecahan bentuk aljabar adalah siswa belum memahami konsep pemfaktoran, siswa lupa atau tidak tahu pola pemfaktoran, siswa belum memahami konsep penyederhanaan pecahan bentuk aljabar. Yakin (2011:88) juga menyatakan bahwa kesalahan siswa dalam menyederhanakan pecahan aljabar terletak pada ketidakmampuan dalam memfaktorkan. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan beberapa kelemahan, yaitu sebagai berikut. Penelitian Seng (2010) hanya menggunakan siswa laki-laki sebagai responden, sehingga belum diketahui dengan jelas apakah jenis kesulitan yang ditemukan juga dialami oleh siswa perempuan. Penelitian Sakpakornkan dan Harries (2003) hanya dilakukan pada siswa di satu sekolah di Inggris dan satu sekolah di Thailand. Penelitian Hall (2001) hanya menyelidiki kesalahan yang terjadi pada 5 siswa yang melakukan kesalahan saat menentukan hasil dalam menyederhanakan bentuk aljabar. Beberapa siswa yang melakukan kesalahan seperti berhenti di tengah-tengah proses penyederhanaan bentuk aljabar tidak ikut diselidiki. Penelitian Egodawatte (2011) mengansumsikan bahwa pembelajaran di sekolah responden menggunakan pendekatan inkuiri dan responden mempunyai banyak kesempatan untuk belajar menggunakan pendekatan konstruktivis. Egodawatte tidak melakukan observasi mendalam mengenai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran di kelas yang sebenarnya. Selain itu, Egodawatte juga belum memberikan upaya untuk mengatasi kesalahan siswa dalam aljabar. Beliau hanya menuliskan 1384
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesalahan yang ditemukan pada tiap responden tanpa mengatasinya. Sedangkan, penelitian Ihsan (2003) dan Yakin (2011) yang khusus meneliti penyederhanaan pecahan bentuk aljabar memperoleh hasil berupa kesalahan mendasar dalam penyederhanaan aljabar. Keduanya belum secara rinci menjelaskan bagaimana kesalahan tersebut bisa terjadi. Dari beberapa penelitian di atas, pemberian scaffolding untuk membantu siswa dalam meminimalkan kesalahannya belum diterapkan. Sehingga tidak ada tindak lanjut setelah para peneliti tersebut menganalisis maupun menggolongkan kesalahan tiap siswanya. Padahal, pemberian scaffolding sangat penting bagi siswa yang melakukan kesalahan. Proses berpikir siswa dalam penyelesaian masalah bersifat unik, dan secara umum proses berpikir tersebut dapat berkembang dengan pemberian scaffolding (Sujiati, 2011:7). Scaffolding adalah istilah yang digunakan Vygotsky untuk bantuan dari sesorang yang lebih kompeten dalam menyelesaikan masalah dengan tingkat kesulitan di atas kemampuan dasar siswa. Bantuan ini dapat berupa pertanyaan, arahan, petunjuk, peringatan, dorongan, memberi contoh, ataupun langkah-langkah cara mengerjakan soal yang memungkinkan siswa meningkat kemampuan bernalarnya. Scaffolding berarti menyediakan banyak bantuan atau dukungan kepada seorang anak pada tahap awal pembelajaran kemudian menghilangkan dukungan tersebut dan selanjutnya meminta anak untuk lebih bertanggung jawab begitu siswa sanggup dalam menyelesaikan masalah. Tujuan diterapkannya scaffolding untuk menggambarkan jenis dukungan terhadap proses yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan masalah, melaksanakan tugas atau mencapai tujuannya (Kolikant dan Broza, 2010:3). Lebih lanjut, siswa dengan kemampuan tinggi ketika menyelesaikan tugas dapat memberikan scaffolding pada siswa dengan kemampuan rendah hingga proses berpikirnya sesuai dengan struktur masalah. Anghileri (2006) di dalam penelitiannya menyampaikan bahwa terdapat 3 level scaffolding yaitu Scaffolding level 1 (environmental provisions), Scaffolding level 2 (explaining, reviewing, and restructuring), dan Scaffolding level 3 (developing conceptual thinking). Scaffolding dalam penelitian ini merupakan bantuan secukupnya dari peneliti untuk siswa yang tidak dapat menyelesaikan masalah pada masing-masing aspek aljabar, yaitu: variabel, bentuk aljabar, persamaan, soal cerita. Eksplorasi yang lebih rinci dari kesalahan dalam aljabar merupakan prasyarat penting bagi setiap upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika dan pengetahuan siswa. Dengan memperhatikan masalah ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan kepada guru, perencana kurikulum, penulis buku, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperluas pemahaman mereka tentang bagaimana kesalahan dalam aljabar dapat diidentifikasi dan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Jadi, jika peneliti dapat mengetahui dan menjelaskan cara-cara pemahaman siswa dalam aljabar dengan cara rinci, akan lebih mudah bagi para guru dan peneliti untuk merancang pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan pemahaman siswa. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mendeskripsikan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar yang berkaitan dengan variabel, bentuk aljabar, persamaan aljabar, dan soal cerita, (2) mendeskripsikan upaya pemberian scaffolding untuk membantu mengatasi kesalahan siswa dalam aljabar. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed method dua fase, atau yang lebih dikenal dengan Explanatory Design. Lebih khususnya, Explanatory Design model seleksi partisipan. Model seleksi partisipan digunakan ketika peneliti membutuhkan informasi kuantitatif untuk mengidentifikasi dan sengaja memilih peserta untuk tindak lanjut untuk diteliti lebih mendalam dalam penelitian kualitatif.
1385
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1 Skema Rancangan Penelitian
Gambar 1adalah skema rancangan penelitian ini. Penelitian diawali dengan pemberian soal tes aljabar kepada siswa kelas VIII SMP Negeri 4 Malang. Kemudian jawaban siswa diklasifikasikan ke dalam tabel jawaban untuk setiap nomor soal. Dari sini dapat dibuat dua tabel, yang pertama tabel persentase jawaban tidak tepat untuk setiap aspek. Yang kedua adalah tabel jenis kesalahan untuk setiap aspek. Tabel pertama untuk menggambarkan pada aspek apa yang paling banyak dan paling sedikit terjadi kesalahan. Sedangkan tabel kedua untuk melihat lebih rinci jenis kesalahan apa saja yang muncul pada setiap aspek. Selanjutnya, tabel dua tersebut dapat membantu peneliti untuk memilih beberapa subjek yang selanjutnya akan diwawancarai secara mendalam dan diberikan scaffolding atas kesalahan yang dilakukan. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah soal tes dan pedoman wawancara. Soal tes digunakan pada tahap kuantitatif, sedangkan pedoman wawancara digunakan pada tahap kualitatif. Berikut penjelasannya. Soal Tes Soal tes yang digunakan adalah soal tes diagnosis. Kata diagnosis di sini berarti identifikasi dan karakterisasi kesalahan siswa selama mereka dilibatkan dalam menyelesaikan masalah. (Brueckner & Bond dalam Egodawatte, 2011:8). Jadi soal tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal tes yang dapat mengidentifikasi dan mengarakterisasi kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar. Soal tes disusun oleh peneliti berdasarkan adaptasi dan adopsi dari penelitian sebelumnya, yaitu dari penelitian Egodawatte (2011). Soal tes disusun dan dikonsultasikan dengan pembimbing, guru matematika SMP tempat penelitian, dan divalidasi isi nya oleh para validator. Validator terdiri dari dosen yang berpengalaman dalam bidang pendidikan matematika dan guru matematika SMP tempat penelitian. Bentuk soal tes yang diberikan kepada subjek penelitian adalah berupa permasalahan aljabar yang memuat aspek variabel (nomor 1 dan 2), bentuk aljabar (nomor 3), persamaan aljabar (nomor 4 dan 5), dan soal cerita aljabar (nomor 6 dan 7). Alokasi waktu untuk menyelesaikan ketujuh butir soal ini adalah 35 menit. Berikut adalah soal tes setelah selesai divalidasi oleh validator. Pedoman Wawancara Wawancara yang digunakan sesuai model Newman (dalam Egodawatte, 2011) yaitu memuat poin-poin berikut: membaca, komprehensi/interpretasi, pemilihan strategi, proses, pengkodean/penyajian, konsolidasi, verifikasi, dan konflik. Berdasarkan saran dari validator, pedoman wawancara ini tidak memiliki kalimat-kalimat baku yang akan diterapkan sama kepada satu subjek dan subjek lainnya. Pertanyaan wawancara diberikan sesuai jawaban yang
1386
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mereka tuliskan dalam menyelesaikan soal tes. Meskipun begitu, pertanyaan wawancara diharapkan memuat poin-poin model Newman tersebut. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Dalam wawancara ini, subjek mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan juga mengetahui tujuan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap 6 siswa yang dipilih berdasarkan tabel jenis kesalahan. Wawancara dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kesalahan yang telah dilakukan. Dengan wawancara ini diharapkan dapat membantu siswa dalam meminimalkan kesalahannya. Selama wawancara juga dilakukan proses scaffolding. Wawancara dilaksanakan diluar jam pelajaran, dengan harapan tidak mengganggu proses pembelajaran. Semua informasi selama wawancara direkam dengan kamera, dan teknik wawancara diusahakan sedemikian sehingga partisipan tidak merasa terbebani dengan kegiatan wawancara. Jika diperlukan, partisipan diperkenankan menggunakan penjelasan tertulis selama wawancara untuk menguatkan jawabannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Aljabar Dari paparan data kuantitatif dan kualitatif sebelumnya, dapat dilihat bahwa kesalahan siswa pada aljabar paling banyak terdapat pada aspek soal cerita. Sedangkan kesalahan paling sedikit adalah pada aspek persamaan. Aspek soal cerita mempunyai persentase kesalahan terbesar (89%), diikuti oleh bentuk aljabar (77%), variabel (71%), dan persamaan (38%). Menyelesaikan soal cerita bisa jadi sulit bagi siswa karena ada banyak langkah yang diperlukan untuk proses penyelesaian. Selain itu, soal cerita yang diberikan bukan merupakan soal yang umum atau yang rutin diselesaikan oleh siswa. Pada aspek bentuk aljabar, siswa melakukan kesalahan dalam mengoperasikan pecahan aljabar. Penyederhanaan yang belum tuntas juga ditemukan dalam pekerjaan siswa. Kekurangtelitian dalam menyelesaikan operasi pecahan juga merupakan kesalahan yang banyak dilakukan siswa. Pada aspek variabel, beberapa siswa belum memahami soal dengan tepat. Selain itu, ada beberapa siswa yang menganggap konstanta dalam soal tersebut merupakan variabel. Aspek persamaan relatif mudah bagi siswa daripada ketiga aspek sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan hanya ditemukan kesalahan sebesar 38% pada aspek ini. Sebagian besar siswa sepertinya sudah terlatih dan terbiasa jika dihadapkan dengan soal menyelesaikan persamaan linier maupun sistem persasmaan linier. Kesalahan Siswa pada Aspek Variabel Sesuai paparan data yang telah disajikan pada bab sebelumnya, jenis kesalahan siswa pada aspek variabel meliputi: a) Memberikan nama (label), nilai yang berubah-ubah, atau kata kerja untuk variabel dan konstanta; b) Kurang memahami konsep ―kesatuan‖ ketika dihadapkan dengan variabel; c) Membentuk persamaan (atau pertidaksamaan) yang salah sebagai jawaban. Persentase jawaban tertinggi setiap jenis kesalahan tersebut secara berurutan adalah 11%, 9% dan 3%. Temuan yang cukup mencengangkan pada aspek variabel adalah 94% siswa (75 dari 80 siswa) melakukan kesalahan dalam menentukan variabel yang termuat dalam soal yang berbentuk cerita/pernyataan. Kesalahan tersebut memiliki persentase tertinggi pada aspek variabel yang rata-rata kesalahannya adalah 71%. Mereka sulit membedakan antara variabel dan bukan variabel dalam permasalahan yang diberikan. Sering kali mereka bingung dengan melihat variabel sebagai konstanta atau sebaliknya. Hal ini terlihat ketika siswa diminta untuk menuliskan sesuatu dalam pertanyaan yang bukan variabel, jawaban seperti ―Ani‖, ―Budi‖, dan ―kue‖ diberikan. Dalam pengertian umum, jawaban ini dapat dianggap benar. Kadang-kadang, kata-kata ―Ani‖, ― Budi‖, ―kue‖ dapat dianggap sebagai simbol yang mewakili variabel dalam beberapa konteks. Namun, jawaban tersebut salah dalam konteks masalah yang diberikan karena ada suatu variabel atau bilangan yang melekat pada kata-kata tersebut. Beberapa siswa menyalahartikan variabel sebagai suatu ―label‖ atau sebagai ―sesuatu‖ atau bahkan sebagai kata kerja seperti ―membeli‖. Mereka benar-benar tidak melihat interpretasi yang benar dari variabel sebagai ―banyak sesuatu‖. Hal ini dapat dilihat pada pertanyaan nomor 2. Ketika harga suatu pensil adalah s rupiah dan ketika mereka harus mengetahui harga 3 pensil, mereka seharusnya paham bahwa harga satuan s harus dikalikan dengan 3. Ini adalah konsep aritmetika dasar. Satu-satunya perbedaan dalam pertanyaan ini adalah bahwa harga diberikan sebagai suatu variabel. Mereka menyatakan suku ―3s‖ sebagai ―3 pensil‖. Di sini jelas bahwa 1387
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mereka menganggap s sebagai nama (label) untuk ―pensil‖, bukan harga satuan pensil seperti yang seharusnya. Temuan-temuan tersebut didukung oleh penelitian Egodawatte (2011:132) yang menyatakan bahwa sulit bagi siswa untuk membedakan antara variabel dan bukan variabel secara aljabar. Mereka sering menggunakan nama orang, sesuatu, atau huruf untuk menyatakannya. Egodawatte menuliskan bahwa dia menemukan bahwa siswa memberi label B untuk ‗mobil biru‘, bukan untuk ‗banyak mobil biru‘. Tambahan pula, menurut beberapa peneliti terkenal (Clement, 1982; Kaput 1985), penyalahartian huruf sebagai label adalah kesalahan dasar yang akan membawa ke banyak kesalahan lain pada aljabar. Temuan mereka yang sejalan dengan temuan di penelitian ini adalah bahwa siswa menggunakan huruf ‗p‘ untuk menyatakan ‗profesor‘ daripada ‗banyak profesor‘ dan ‗s‘ menyatakan ‗siswa‘ daripada ‗banyak siswa‘. Kesalahan Siswa pada Aspek Bentuk Aljabar Pada aspek berikutnya, yaitu aspek aljabar, jenis kesalahannya meliputi: a) Penyederhanaan tidak lengkap; b) Perkalian pecahan tidak tepat; c) Penyederhanaan berlebihan; d) Distribusi yang tidak tepat; e) Kesalahan urutan; f) Beragam jawaban tidak tepat. Persentase jawaban tertinggi untuk setiap jenis kesalahan secara berurutan adalah 13%, 35%, 18%, 10%, 21%, dan 4%. Sebanyak 90% siswa (72 dari 80 siswa) melakukan kesalahan dalam menyederhanakan
r 12 2s r 6 s . Mayoritas dari 72 siswa tersebut menjawab . Padahal 4 4 2 r 12 2s jawaban yang benar adalah . Siswa tersebut tidak tepat dalam menggunakan sifat 4 bentuk aljabar
distribusi. Distribusi yang tidak tepat adalah semacam penyalahgunaan sifat distributif dalam aljabar. Sifat distributif menyatakan bahwa a b c ab ac . Ini berarti bahwa kita dapat melakukan penambahan dahulu kemudian mengalikan, atau mengalikan dahulu kemudian menambahkan. Ketika suku tidak sejenis terletak didalam tanda kurung, tidaklah mungkin untuk saling menambahkan mereka. Siswa harus mengalikan tanda kurung dengan suatu huruf diluar kurung tersebut. Sesungguhnya, sifat distributif membantu kita untuk menyederhanakan sejumlah bentuk aljabar dengan membawa kita untuk mengganti suku yang memuat kurung dengan suku yang tidak memuat kurung. Seperti jawaban
r 12 2s r 12 2s yang 4 4 4
dimana siswa melakukan kesalahan penerapan distributif yang memuat bilangan negatif. Temuan ini sejalan dengan temuan Egodawatte (2011:139) yaitu beliau menemukan kasus dimana siswanya menuliskan (e + 2)3 = 3e + 2. Siswa ini mengalikan suku di luar kurung hanya dengan salah satu suku di dalam kurung. Hal ini didukung pula oleh Hall (2001:13) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa mengenai penyederhanaan bentuk aljabar, penggunaan tanda negatif dapat membuat siswa bingung dan meningkatkan banyaknya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal. Penyebab utama atas kesalahan ini adalah kekurangpahaman konsep aritmetika atau kegagalan transfer pemahaman aritmetika ke konteks aljabar (Stacey dan Chick, 2004; Stacey dan MacGregor, 1999). Temuan selanjutnya adalah 95% siswa (76 dari 80 siswa) melakukan kesalahan dalam
a . Dari 76 siswa tersebut, paling banyak hasil akhirnya b xa ax adalah sebanyak 35%, diikuti sebanyak 21%. Kesalahan tersebut memiliki persentase xb bx menyederhanakan bentuk aljabar x
tertinggi pada aspek bentuk aljabar yang rata-rata kesalahannya adalah 71%. Ketika siswa
a , mereka sering b xa ax mengalikan pembilang dan penyebut dengan huruf tersebut, yaitu menjadi atau . xb bx mengalikan suatu pecahan aljabar dengan suatu huruf yaitu seperti x
Kadang-kadang, mereka berasumsi bahwa tidak ada penyebut pada huruf tersebut. Hal ini sering 1388
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
terjadi pada siswa ketika tidak ada penyebut yang terlihat. Mereka tampaknya memiliki kesulitan dalam menyadari bahwa satu huruf dapat dinyatakan oleh pecahan aljabar dengan membuat 1 sebagai penyebutnya. Karena kekurangpahaman ini, siswa cenderung menganggap bahwa pembilang dan penyebut harus keduanya dikalikan dengan huruf tersebut. Temuan ini sejalan dengan Ihsan (2003:97) yang menyatakan bahwa pada pecahan bentuk aljabar menyatakan bahwa kesalahan yang dilakukan siswa secara umum dalam menyederhanakan pecahan bentuk aljabar adalah siswa belum memahami konsep penyederhanaan pecahan bentuk aljabar. Sebanyak 84% siswa (67 dari 80 siswa) melakukan kesalahan dalam menyederhanakan bentuk aljabar
x a b xa xb . Dari 67 siswa tersebut, 10 siswa (13%) menganggap bahwa x xd x 1 d
adalah bentuk yang paling sederhana. Suatu jawaban dikategorikan tidak lengkap ketika siswa menghentikan penyederhanaan bentuk aljabar di tengah proses tanpa mencapai jawaban akhir. Pada sudut pandang siswa, jawaban tersebut adalah akhir, tetapi tidak lengkap jika dibandingkan dengan prosedur aljabar dasar. Kemungkinan lain adalah bahwa siswa tersebut mungkin tidak tahu bagaimana untuk memprosesnya lebih lanjut. Beberapa dari mereka menulis jawaban dengan menyusun bentuk aljabar dan kemudian berhenti tanpa menyederhanakannya. Kesalahan Siswa pada Aspek Persamaan Aljabar Kesalahan Siswa pada Aspek Persamaan Aljabar meliputi: a) Bilangan sebagai nama (label); b) Salah mengartikan metode eliminasi dalam menyelesaikan persamaan. Persentase jawaban tertingginya secara berurutan adalah 1% dan 9%. Salah satu temuan pada aspek ini adalah 14% siswa (11 dari 80 siswa) melakukan kesalahan dalam menyelesaikan persamaan 4x + 25 = 73 . Kesalahan tersebut memiliki persentase terendah pada aspek persamaan, bahkan juga terendah dari semua jenis kesalahan pada semua aspek. Seorang siswa menggunakan suatu bilangan sebagai nama (label) untuk mengganti atau mensubstitusi suatu variabel. Cari selesaian untuk x: 4x + 25 = 73, siswa ini menuliskan x = 8 dengan maksud menyisipkan bilangan 8 ke dalam posisi variabel x untuk mendapatkan 48. Siswa ini mengerti sifat ekuivalensi dan dia menghasilkan bilangan yang benar untuk membuat persamaan tersebut benar, meskipun dia tidak mengikuti prosedur penyelesaian persamaan. Kesalahan ini muncul karena pengetahuan awal siswa tentang persamaan bilangan dimana siswa harus memasukkan bilangan untuk memenuhi persamaan tersebut. Sama halnya, siswa ini menggunakan bilangan sebagai nama (label) untuk huruf untuk memenuhi persamaan tersebut. Temuan selanjutnya adalah ketika mengeliminasi/menghilangkan variabel dari suatu sistem persamaan linier, beberapa siswa salah menentukan operasi yang akan dilakukan. Beberapa dari mereka memilih operasi sebaliknya, misalnya menambahkan ketika harus mengurangi atau sebaliknya. Mungkin kesalahpahaman ini datang dari pemahaman mereka yang belum kokoh mengenai menyederhanakan bilangan bulat dan memanipulasi tanda. Kesulitan mereka diperparah ketika variabel di dua persamaan saling berlawanan tanda (+b, -b). Sedangkan mengenai pertanyaan: Akankah kalian memperoleh solusi yang sama jika kalian saling menambahkan atau mengurangi dua persamaan tersebut? Ada siswa yang menjawab tidak sama dengan berbagai alasan. Siswa menganggap konstanta (5 pada persamaan 1 dan 7 pada persamaan 2) akan mengubah solusi. Sementara siswa lain berpikir bahwa tandatanda pada variabel kedua persamaan akan memengaruhi solusi. Siswa-siswa ini tampaknya memiliki pemahaman yang lemah mengenai solusi dari sistem persamaan linier. Aspek persamaan relatif mudah bagi siswa daripada ketiga aspek lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan hanya ditemukan kesalahan sebesar 38% pada aspek ini. Soal yang diberikan merupakan soal yang menuntut siswa menentukan solusi yang tepat pada suatu persamaan linier. Sebagian besar siswa sudah menjawab dengan tepat. Dari sini dapat kita lihat bahwa siswa sudah sangat terbiasa menyelesaikan soal yang berhubungan dengan prosedural daripada soal pemahaman konsep. Kesalahan Siswa pada Aspek Soal Cerita Kesalahan Siswa pada Aspek Soal Cerita meliputi: a) Menebak tanpa penalaran; b) Penalaran tidak tepat. Persentase jawaban tertingginya adalah 4% dan 5%. Aspek soal cerita 1389
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mempunyai persentase kesalahan terbesar (89%), diikuti oleh bentuk aljabar (77%), variabel (71%), dan persamaan (38%). Menyelesaikan soal cerita bisa jadi sulit bagi siswa karena ada banyak langkah yang diperlukan untuk proses penyelesaian. Selain itu, soal cerita yang diberikan bukan merupakan soal yang umum atau yang rutin diselesaikan oleh siswa. Oleh karena itu, pada soal cerita ditemukan kesalahan pada pemahaman makna soal, perumusan metode penyelesaian, dan proses penyelesaian menggunakan suatu metode yang dipilih. Kesalahan yang dihasilkan ketika siswa menyelesaikan masalah dengan menebak yaitu ketika tidak ada bukti yang jelas bahwa informasi yang dinyatakan adalah hasil dari operasi matematis. Kita perhatikan bahwa mungkin siswa telah melakukan suatu operasi mental. Oleh karena itu, kita sebut jawaban ini berdasarkan hasil dari menebak-nebak. Menebak merupakan fenomena umum ketika siswa menjawab soal matematika. Sering ada beberapa alasan yang dapat diterima di balik menebak meskipun jawaban tidak benar. Kadang-kadang, ada kemungkinan bahwa siswa telah melakukan operasi mental. Namun, ketika tidak ada bukti yang jelas bahwa jawaban yang dinyatakan adalah hasil dari operasi matematis, maka jawaban ini dipandang sebagai tebakan. Dalam penelitian ini, ada beberapa siswa yang menebak nebak jawaban dari pertanyaan tanpa alasan atau operasi yang benar. Selain itu, siswa tersebut tidak memverifikasi kebenaran dari jawaban mereka. Mereka tidak mengecek apakah jawaban mereka sudah sesuai/cocok dengan masalah yang diberikan. Pada kategori ini kesalahan yang ditemukan pada hasil pekerjaan siswa juga beragam. Pertama, ada jawaban akhir siswa yang sudah benar, tetapi prosedur atau operasinya tidak tepat. Ada pula jawaban siswa yang operasi hingga jawaban akhirnya tidak tepat. Ada juga mereka memperoleh jawaban dengan menebak, kemudian baru membuat operasi atau prosedur untuk memperoleh jawaban tersebut, yang mana prosedur tersebut juga tidak tepat jika diterapkan pada masalah yang sama dengan bilangan yang berbeda. Temuan ini sejalan dengan temuan Egodawatte (2011:151) yang menyatakan bahwa soal cerita adalah hal yang paling bermasalah bagi siswa. Mereka kesulitan menyelesaikan karena harus melewati tiga tahap: menerjemahkan menjadi bentuk matematis, menyelesaikannya, dan menyatakan hasilnya. Siswa membutuhkan kerja tambahan untuk menyelesaikan soal cerita karena suatu soal cerita memuat konsep yang saling terkait satu dengan yang lain diantara ketiga aspek lainnya (variabel, bentuk aljabar, persamaan). Upaya Pemberian Scaffolding untuk Membantu Mengatasi Kesalahan Siswa dalam Aljabar Berikut adalah upaya scaffolding yang diberikan kepada masing-masing subjek yang telah dipilih. Pemilihan subjek berdasarkan kesalahan yang dilakukan sesuai kelompok kesalahan yang ditemukan pada tahap kuantitatif. Untuk tahap kualitatif ini, telah dipilih enam subjek, yaitu S1 untuk aspek variabel (pertanyaan soal tes aljabar nomor 1 dan 2), S2 untuk aspek bentuk aljabar (pertanyaan nomor 3), S3 dan S4 untuk aspek persamaan (pertanyaan nomor 4 dan 5), S5 dan S6 untuk aspek soal cerita (pertanyaan nomor 6 dan 7). Berikut penjelasannya masing-masing. Kasus S1 Berdasarkan wawancara, S1 sebenarnya sudah paham makna dari suatu variabel. Namun, dia mengalami kesulitan saat menentukan variabel pada pertanyaan yang diberikan (nomor 1). Dia menuliskan variabel-variabelnya dan memberi nama (label) untuk mereka. Seharusnya, hal itu tidak perlu dilakukan. Cukup dengan menuliskan variabel saja seperti y, x, atau yang lain sesuai pertanyaan. Setelah peneliti memberi sedikit bantuan berupa pertanyaanpertanyaan pemancing, S1 menyadari sendiri bahwa dia melakukan kesalahan dalam pengerjaannya. Dia menyadari bahwa variabelnya adalah y dan x, dengan x bisa dinyatakan sebagai 3y. Tambahan pula, dia juga menyadari bahwa 2.500 bukan termasuk variabel seperti yang dia tuliskan pada jawabannya. Dia akhirnya paham bahwa 2.500 adalah konstanta. Oleh karena itu, 2.500 menurutnya masuk pada jawaban nomor 1b. Pada wawancara mengenai pertanyaan nomor 2, setelah diberi pertanyaan dan sedikit pernyataan bantuan, S1 pun menyadari sendiri kekurangannya. Dia paham bahwa yang dituliskannya adalah kurang tepat. Yang seharusnya ditulis harga pensil, olehnya ditulis pensil
1390
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
saja. Akhirnya S1 mengklarifikasi bahwa jawaban yang benar adalah 3s + 2p menyatakan total harga untuk 3 pensil dan 2 buku. Kasus S2 Pada pertanyaan nomor 3a, S2 kurang lengkap dalam menyederhanakan bentuk aljabar yang diberikan. Hasil akhir yang ditulisnya bukan merupakan bentuk aljabar yang paling sederhana. Setelah diberi sedikit pertanyaan arahan dari peneliti, S2 pun mampu menyederhanakan bentuk aljabar tersebut dengan lengkap hingga sampai pada bentuk yang paling sederhana. Pada pertanyaan nomor 3b tersebut, S2 melakukan kesalahan berupa pengalian pecahan yang kurang tepat. S2 mengalikan x dengan pembilang dan juga dengan penyebut. Yang tentu saja hal itu tidak tepat. Setelah diberi pertanyaan arahan dari peneliti, S2 pun bisa memahami bahwa yang dikerjakannya adalah tidak tepat. S2 pun bisa memperbaiki jawabannya hingga mendapatkan hasil akhir yang tepat, yaitu x hanya dikalikan dengan penyebut, sehingga S2 menuliskan jawaban yang benar adalah
ax . b
Pada pertanyaan 3c ini, S2 juga belum lengkap dalam menyederhanakan bentuk aljabar. Hasil akhir pada jawabannya bukan merupakan bentuk aljabar yang paling sederhana. Setelah diberikan scaffolding berupa pertanyaan arahan, S2 mampu memahaminya dan melengkapi penyederhanaan bentuk aljabar tersebut. Dia pun menuliskan hasil akhir yang tepat sesuai yang diharapkan, yaitu
ab . 1 d
S2 sudah menyadari bahwa jawabannya untuk nomor 3d tidak tepat, tapi saat ditanyai dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Setelah diberi pertanyaan arahan oleh peneliti, S2 mengetahui letak kekurangannya dan bisa menyelesaikannya dengan tepat, yaitu
AC AB . BC
Kasus S3 S3 menganggap x pada suku 4x adalah hanya sebagai nama (label). Dia pun mengganti x dengan angka 8. S3 memahami cara menyelesaikan soal tersebut hanya sampai 4x = 48. Dia tidak memahami dengan benar makna dari 4x. dia menganggap x hanyalah label, sehingga dia menjawab x = 8. Setelah peneliti memberikan scaffolding berupa pertanyaan arahan, S3 pun paham dimana letak kesalahannya. Dia pun paham makna dari 4x, yaitu 4 dikalikan dengan x. Sehingga dia mampu menyelesaikan persamaan dengan tepat dengan memperoleh hasil x = 12. Untuk menguji pemahamannya, peneliti memberikan soal lain yang sejenis. S3 pun mampu menyelesaikan soal tersebut dengan tepat. Kasus S4 S4 sempat mengalami kebingungan ketika ditanyai mengenai pertanyaan nomor 5b, yaitu bingung antara menambahkan atau mengurangkan kedua persamaan di sistem persamaan tersebut. Namun, setelah diberi scaffolding berupa pertanyaan arahan yang berkaitan dengan penggunaan tanda plus dan minus pada suatu bilangan, S4 pun mengerti dan mampu menyelesaikan pertanyaan dengan benar. Saat memberikan alasan untuk pertanyaan nomor 5c pun, S4 mampu menuliskan langkah-langkah eliminasi dan substitusi dengan tepat. Kasus S5 Pada pertanyaan nomor 6 yang telah dikerjakan okeh S5, hasil akhir nya sudah tepat. Namun prosesnya masih ada sedikit kekurangan. Saat dikonfirmasi untuk mengklarifikasi, ternyata S5 sudah benar-benar paham maksud pertanyaannya. Hanya saja dia tidak menuliskan pemisalannya menyatakan apa di awal proses penyelesaian. Setelah diminta menuliskan kekurangannyapun S5 mampu menuliskannya dengan tepat. Kasus S6 Pada pertanyaaan nomor 7 yang dikerjakan oleh S6, hasil akhir dan proses penyelesaiannya tidak tepat. Setelah diberi scaffolding berupa pertanyaan arahan, S6 pun mampu menjawabnya dengan dua cara yang berbeda. Yaitu yang pertama dengan cara aritmetika biasa, yaitu 1391
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengecek tiap tahun sampai ketemu umur ayah dua kali umur Siti. Cara yang kedua adalah cara aljabar yang bentuk aljabarnya disusun oleh siswa sendiri dengan bantuan pertanyaan arahan dari peneliti. Setelah diselesaikan kembali oleh S6, akhirnya diperoleh hasil akhir yang tepat baik dengan cara pertama maupun dengan cara kedua, yaitu 12 tahun lagi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari paparan data kuantitatif dan kualitatif sebelumnya, dapat dilihat bahwa kesalahan siswa pada aljabar paling banyak terdapat pada aspek soal cerita. Sedangkan kesalahan paling sedikit adalah pada aspek persamaan. Aspek soal cerita mempunyai persentase kesalahan terbesar (89%), diikuti oleh bentuk aljabar (77%), variabel (71%), dan persamaan (38%). Kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah aljabar adalah sebagai berikut. Kesalahan pada aspek variabel meliputi: memberikan nama (label), nilai yang berubah-ubah, atau kata kerja untuk variabel dan konstanta; kurang memahami konsep ―kesatuan‖ ketika dihadapkan dengan variabel; membentuk persamaan (atau pertidaksamaan) yang salah sebagai jawaban. Kesalahan pada aspek bentuk aljabar meliputi: penyederhanaan tidak lengkap; perkalian pecahan tidak tepat; penyederhanaan berlebihan; distribusi yang tidak tepat; kesalahan urutan; beragam jawaban tidak tepat. Kesalahan pada aspek persamaan aljabar meliputi: bilangan sebagai nama (label); salah mengartikan metode eliminasi dalam menyelesaikan persamaan. Kesalahan pada aspek soal cerita meliputi: menebak tanpa penalaran; penalaran tidak tepat. Untuk mengatasi kesalahan tersebut, enam subjek dipilih berdasarkan kategori kesalahan yang dilakukan untuk diwawancarai serta diberikan scaffolding. Setelah pemberian scaffolding, keenam siswa tersebut menjadi paham letak kesalahannya dan mampu menyelesaikan pertanyaan yang diberikan dengan tepat. Saran Penelitian ini memberikan informasi tentang kesalahan yang dilakukan siswa kelas VIII SMP pada aljabar. Informasi tersebut bisa digunakan sebagai dasar penelitian yang lain misalkan penelitian mengenai proses berpikir siswa atau penelitian mengenai pembelajaran di kelas. Penelitian ini menyediakan ruang bagi peneliti lain untuk mengeksplorasi lebih jauh penyebab kesalahan yang dilakukan siswa. Selain itu, jenis kesalahan yang lain juga bisa lebih digali lagi oleh peneliti berikutnya. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian sejenis yang mungkin diterapkan oleh peneliti lain di tingkat kelas yang berbeda atau pada materi yang berbeda. Untuk para guru, pengajar, atau peneliti lain, dengan ditemukannya jenis kesalahan pada aljabar ini bisa dijadikan masukan dalam menentukan model, strategi, pendekatan pembelajaran. DAFTAR RUJUKAN Andarwati, V. 2012. Pengembangan Bahan Ajar Matematika yang berorientasi Penemuan Terbimbing pada Materi Bentuk Aljabar SMP kelas VII. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM. Anghileri, J. 2006. Scaffolding Pactices that Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education. Clement, J. 1982. Algebra Word Problem Solutions: Thought Processes Underlying a common misconception. Journal for Research in Mathematics Education, 13(1): 16-30. Egodawatte, G. 2011. Secondary School Students’ Misconceptions in Algebra. Tesis tidak diterbitkan. Toronto: University of Toronto. Hall, R D. G. 2001. An Analysis of Thought Processes during Simplification of an Algebraic Expression. UK: Exeter University. Ihsan. 2003. Mendiagnosis dan Membantu Kesulitan Siswa dalam Menyederhanakan Pecahan Bentuk Aljabar di Kelas III SLTP PGRI 6 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM. Jacobs, V, dkk. 2007. Professional Development Focused on Children‘s Algebraic Reasoning in Elementary School. Journal for Research in Mathematics Education, 38(3): 258-288. Kaput, J. 1985. Research in the Learning and Using of Mathematics: Some Genuinely New Directions. Dalam D. J Albers, S. B Rodi, & A. E Watkins (Eds.), New Directions in Two-year College Mathematics: Proceedings of the Sloan Foundation Conference on 1392
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Two-year College Mathematics. Atherton, California, (hlm.313-340). Newyork: Springer-Verlag. Krismanto. 2004. Aljabar. Yogyakarta: PPPG MATEMATIKA. Kolikant,Y.B. & Broza, O. 2010. The effect of using a video clip presenting a contextual story on low-achieving students' mathematical discourse. Jerusalem: The Hebrew University of Jerusalem. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics). 2008. Algebra: What, When, and for Whom. A Position of the National Council of Teachers of Mathematics, (Online), (http://www.nctm.org/about/content.aspx? id=16229), diakses 15 Maret 2013. Sakpakornkan, N & Harries, T. 2003. Pupils‘ Processes of Thinking: Learning to Solve Algebraic Problems in England and Thailand. Dalam Williams, J. (Ed.), Proceedings of the British Society for Research into Learning Mathematics (hlm.91-96). England. Samo. 2009. Students’ Perceptions About The Symbols, Letters and Signs in Algebra and How Do These Affect Their Learning of Algebra: A Case Study in a Government Girls Secondary School Karachi. (Online), (http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/samo.pdf), diakses 21 Maret 2013. Seng, L K. 2010. An Error Analysis of Form 2 (Grade 7) Students in Simplifying Algebraic Expressions: A Descriptive Study. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 8(1): 139-162. Stacey, K. & Chick, K. 2004. Solving the Problem with Algebra. Dalam K. Stacey, H. Chick, & M. Kendal (Eds.), The Future of Teaching and Learning of Algebra. The 12th ICMI Study (hlm.1-20). Boston: Kluwer. Stacey, K. & MacGregor, M. 1999. Taking the Algebraic Thinking Out of Algebra. Mathematics Education Research Journal, 1, 24-38. Sujiati, A. 2011. Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah dengan Pemberian Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Tall, D. 2007. Embodiment, Symbolism and Formalism in Undergraduate Mathematics Education. Disajikan dalam 10th Conference on Research in Undergraduate Mathematics Education, San Diego, California, USA, 22-27 Pebruari. Tall, D. 2008. The Historical & Individual Development of Mathematical Thinking: Ideas that are Set-Before and Met-Before. Disajikan dalam colóquio de histório e tecnologia no ensino da mathemática,UFRJ, Rio de Janeiro, Brazil, 5 Mei. Yakin, M.H.A. 2011. Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyederhanakan Pecahan Aljabar dan Upaya Mengatasinya dengan Menggunakan Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana UM.
1393
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PELEVELAN KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN Lilis Widayanti Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak : Suatu tindakan untuk lebih mengenal level kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika penting dilakukan dalam upaya pengembangan proses berpikir siswa. Konteks problem solving memberi guru kesempatan untuk menilai seberapa baik siswa dapat menggabungkan dan menerapkan berbagai aspek pengetahuan aljabar. Dalam penelitian ini kemampuan siswa dikelompokkam berdasarkan taksonomi SOLO. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelevelan kemampuan siswa SMP dengan tipe kepribadian ekstrovert dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan taksonomi SOLO. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mengelompokkan siswa sesuai tipe kepribadiannya, memberikan tes matematika untuk subjek penelitian, dan wawancara subjek penelitian. Calon subjek penelitian adalah siswa kelas IX.3 SMPN 5 Malang. Setelah diberikan tes penggolongan tipe kepribadian, terdapat siswa dengan kepribadian ekstrovert sebanyak 10,714 % dan siswa dengan kepribadian introvert sebanyak 17,857 %. Sehingga terdapat 3 siswa ekstrovert dan 4 siswa introvert sebagai fokus penelitian selanjutnya. Siswa dengan kepribadian ekstrovert dan introvert diberi tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika. Kemudian diwawancarai untuk mengklarifikasi jawaban yang telah diberikan pada lembar jawaban tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika. Dari tiga siswa ekstrovert yang telah diwawancarai, SE 1 memiliki level kemampuan menyelesaikan masalah matematika multistruktural, SE 2 memiliki level kemampuan mutistrukturalrelasional, dan SE 3 memiliki level kemampuan prastruktural. Sedangkan keempat siswa introvert memiliki level multistruktural dalam menyelesaikan masalah matematika, dan level relasional pada masalah kedua. Kata Kunci: Penyelesaian masalah matematika, taksonomi SOLO, dan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert
Suatu tindakan untuk lebih mengenal level kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika penting dilakukan dalam upaya pengembangan proses berpikir siswa. Tindakan mengenal level kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika berguna untuk memberikan wawasan pendidik dalam merancang pembelajaran dan perangkat ajar matematika khususnya tentang aljabar serta mengembangkan pembelajaran yang memfasilitasi pengembangan berpikir aljabar siswa. Dengan pembelajaran yang dirancang secara baik dan dapat mengembangkan berpikir siswa akan berdampak kepada kemampuan siswa menyelesaikan masalah matematika. Krutetskii dan Schoenfeld (dalam Dobrynina, dkk, 2005) menyatakan bahwa pengetahuan tentang aljabar sangat penting untuk pembelajaran matematika dan disiplin ilmu lainnya. Salah satu kekuatan utama dari aljabar adalah bahwa aljabar merupakan salah satu alat untuk menggeneralisasi dan menyelesaikan berbagai masalah. Proses menggeneralisasi ide tersebut termasuk dalam kegiatan penalaran aljabar. Penalaran aljabar penting dalam menyelesaikan masalah matematika karena memungkinkan siswa melihat struktur masalah dan menjadi pemecah masalah yang lebih baik. Falcon (2009) menyatakan bahwa, “Algebraic reasoning in the middle grades is important to facilitate and provide a foundation for success in the higher grades”. Jika seorang siswa menginginkan belajar aljabar dengan menyenangkan dan mudah di tingkat yang lebih tinggi maka perlu memahami konsep dasar aljabar. Di Indonesia konsep dasar aljabar dikenalkan kepada siswa mulai kelas VII. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012:56) menunjukkan bahwa salah satu kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan soal persamaan garis lurus adalah setelah siswa memasukkan nilai gradien dan titik potong ke dalam rumus umum persamaan, siswa melakukan kesalahan dalam mengoperasikannya. Kesalahan tersebut disebabkan karena siswa kurang memahami langkah-langkah menyederhanakan bentuk aljabar. Adanya kesalahan tersebut menunjukkan siswa kesulitan dalam menggunakan konsep aljabar termasuk di 1394
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalamnya siswa tidak memahami variabel dan kurangnya penguasaan dasar-dasar aljabar seperti menyederhanakan bentuk aljabar dan mengubah bentuk persamaan. Kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dapat disebabkan karena pembelajaran yang dilakukan guru. Subanji (2008) menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar masih banyak pengajar matematika yang mengajarkan prosedur tanpa menjelaskan mengapa prosedur tersebut digunakan. Sehingga siswa beranggapan bahwa dalam menyelesaikan masalah, cukup memilih prosedur penyelesaian yang sesuai dengan masalah. Bahkan seringkali terjadi, dalam menanamkan konsep guru hanya menekankan bahwa konsep merupakan aturan yang harus dihafal, tanpa perlu tahu darimana rumus itu dikonstruksi. Dengan demikian pembelajaran matematika menjadi tidak bermakna dan hanya sebatas doktrin kepada siswa yang harus diikuti, dihafal, dan selanjutnya digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, penalaran siswa bisa dipastikan kurang berkembang. Suryadi & Turmudi dalam Laisouw (2012) seorang guru perlu memiliki kemampuan yang diantaranya adalah: (1) kemampuan guru untuk mengidentifikasi serta menganalisa respons siswa sebagai akibat dari proses pendidikan, (2) kemampuan guru untuk melakukan tindakan lanjutan berdasarkan hasil respons siswa menuju pencapaian target pembelajaran. Konteks problem solving memberi guru kesempatan untuk menilai seberapa baik siswa dapat menggabungkan dan menerapkan berbagai aspek pengetahuan aljabar (Bill dan Melinda, 2013). Dominowski (dalam Napitupulu, 2008) menyatakan bahwa penalaran adalah bagian tertentu dari pekerjaan memecahkan masalah. Penalaran adalah alat untuk memahami matematika dan pemahaman matematika tersebut digunakan untuk menyelesaikan masalah. Pengalaman menyelesaikan masalah pada gilirannya memperkuat pemahaman dan penalaran matematika yang kemudian kembali menjadi modal untuk memecahkan masalah baru atau masalah lain lagi yang tentunya lebih rumit dan kompleks sifatnya. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kemampuan siswa dikelompokkan berdasarkan taksonomi SOLO. Taksonomi Structure of Observed Learning Outcome (SOLO) yang dikembangkan oleh Biggs dan Collis pada tahun 1982 merupakan desain yang utamanya untuk menilai kemampuan kognitif siswa dalam konteks pembelajaran sekolah. Model SOLO menyediakan suatu kerangka untuk mengklasifikasikan kualitas respon yang dapat disimpulkan dari struktur jawaban dari stimulus yang diberikan (Lian & Yew, 2011). Taksonomi SOLO telah digunakan untuk menganalisis struktur berpikir matematis siswa, pemahaman tentang konsep matematika, dan kemampuan pemecahan masalah dengan rentang pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat atas (Lian dan Yew, 2011). Yang membedakan taksonomi SOLO dengan taksonomi yang lain adalah SOLO memfokuskan perhatiannya pada kualitas respon siswa daripada tahap perkembangan siswa. Kekuatan dari taksonomi SOLO adalah menyediakan suatu kerangka yang memungkinkan interpretasi yang konsisten dari struktur dan kualitas respon sejumlah subjek dan area topik (Pegg & Tall, 2005). Asikin (dalam Hardiyanto, 2012) menyatakan bahwa dalam kegiatan evaluasi yang selama ini berlangsung, perangkat evaluasi dan pendekatannya menggunakan taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom membagi pencapaian hasil belajar peserta didik pada domain kognitif menjadi 6 level, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Namun model taksonomi ini belum secara keseluruhan memfasilitasi peserta didik untuk berpikir kritis dan pemecahan masalah. Sedangkan taksonomi SOLO memiliki karakter memfasilitasi karakter berpikir kritis dan pemecahan masalah. Telah banyak penelitian yang mengaitkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan taksonomi SOLO antara lain, Rider (2004), Kamol (2005), Lian dan Idris (2006), Lian dan Yew (2011), dan Putri & Manoy (2013). Beberapa ahli menggolongkan kepribadian dalam berbagai macam tipe. Salah satunya Jung menggolongkan tipe kepribadian dalam dua kelompok besar, yaitu tipe kepribadian extrovert dan introvert. Secara umum, orang extrovert mempunyai pikiran, perasaan, dan tindakan yang terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Atau dengan kata lain orang extrovert pikirannya tertuju ke luar sedangkan orang introvert, pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor subjektif dan penyesuaian dengan dunia luar kurang baik. Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud menggali kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan taksonomi SOLO. Oleh karena itu peneliti 1395
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ingin mengadakan penelitian dengan judul „„Pelevelan Kemampuan Siswa SMP dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Taksonomi Solo Ditinjau dari Tipe Kepribadian „„. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Disebut penelitian kualitatif karena prosedur penelitiannya menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau tentang perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan di SMPN 5 Malang. Subjek penelitian adalah siswa SMPN 5 Malang. Subjek dipilih dari beberapa siswa SMP karena di tingkat ini siswa telah mengenal bentuk aljabar dimulai dari kelas VII. Karena dalam penelitian ini membutuhkan penjelasan siswa secara lisan dan tulisan, maka subjek lebih diutamakan kepada siswa yang memiliki kemampuan komunikasi lisan dan tulisan baik. Subjek yang dipilih juga dari siswa dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Banyaknya subjek berdasarkan banyaknya siswa yang memiliki kepribadian ekstrovert dan introvert setelah diberikan tes penggolongan tipe kepribadian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu: (1) data berupa hasil tes kepribadian, (2) data berupa hasil tulis kemampuan penyelesaian masalah matematika, dan (3) data berupa hasil wawancara dengan masing-masing subjek mengenai proses penyelesaian masalah matematika. Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis instrumen, yaitu instrumen utama dalam pengumpulan data adalah peneliti sendiri dan instrumen pendukung terdiri dari tes penggolongan tipe kepribadian dan tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika. Dalam penelitian ini angket tipe kepribadian yang digunakan diambil dari skala tipe kepribadian yang disusun Fadly (dalam Kudratullah, 2014: 42). Skala ini disusun berdasarkan karakteristik tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang meliputi perasaan, penginderaan, intuisi, dan pikiran. Angket ini berisi 25 item yang terdiri atas 11 item ekstrovert, 12 item introvert, dan 2 item kontrol. Berikut skor untuk item-item pada tes penggolongan kepribadian yang digunakan. Tabel 3.1Ketentuan Penskoran Alat Ukur Tipe Kepribadian Pilihan Jawaban Skor Item Ekstrovert Skor Item Introvert Sering 3 0 Jarang 2 1 Kadang-kadang 1 2 Tidak Pernah 0 3
Seluruh jawaban subjek kemudian diberi skor sesuai dengan ketentuan pada tabel 3.1, dengan memperhatikan tipe yang ada di setiap pertanyaan. Selanjutnya menghitung rata-rata dan standar deviasi untuk menentukan selisih dan jumlahnya. Adapun kategorisasi menentukan tipe kepribadian berdasarkan tabel berikut ini. Batas Kategori
0≤X≤Bo Bo<X
Tabel 3.2 Kategorisasi Tipe Kepribadian Tipe Kepribadian Introvert Keduanya Ekstrovert
Keterangan Calon Subjek Bukan Calon Subjek Calon Subjek
Keterangan: Bo : Selisih rata-rata dan standar deviasi skor tes tipe kepribadian dari siswa satu kelas B1 : Jumlah rata-rata dan standar deviasi skor tes tipe kepribadian dari siswa satu kelas X : Total skor tes tipe kepribadian masing-masing siswa Tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika merupakan tes yang berupa masalah matematika pada subbab Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV) yang
1396
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tercantum pada kompetensi dasar SMP kelas VIII. Peneliti menggunakan masalah dengan konstruksi pemecahan masalah karena mampu melihat penalaran siswa dalam menyelesaikan masalah. Wawancara berfungsi sebagai pengklarifikasian dari hasil tes tertulis untuk menggali data atau informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan taksonomi SOLO. Agar tidak ada informasi yang terlewatkan dan data yang diperoleh dijamin keabsahannya, maka wawancara direkam menggunakan alat perekam suara. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode perbandingan tetap (constant comparative method) yang dikemukakan oleh Glaser dan Strauss (1967: 105). Terdapat 4 tahap dalam metode perbandingan tetap, yaitu: 1. Reduksi data a. Identifikasi satuan (unit) yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian. Dalam hal ini adalah mendeskripsikan kemampuan matematika masing-masing subjek dalam menyelesaikan masalah matematika. b. Sesudah satuan diperoleh langkah berikutnya adalah membuat koding. Membuat koding berarti memberikan kode pada setiap satuan. Koding kemampuan masing-masing subjek dibedakan menurut level awal tempat siswa berada dalam taksonomi SOLO. c. Setelah koding satuan untuk masing-masing kategori, membandingkan tiap kode dengan satuan lain pada kelompok yang sama atau berbeda yang dikodekan dengan kategori sama. Pembandingan ini dilakukan secara berulang-ulang pada semua kode. 2. Kategorisasi a. Menyusun kategori. Setiap satuan yang memiliki kesamaan kemampuan dikelompokkan menjadi satu bagian yang disebut kategori. b. Setiap kategori tersebut diberi nama yang disebut label. 3. Sintesisasi a. Mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. b. Kaitan satu kategori dengan kategori lainnya diberi nama atau label lagi. Artinya jika ternyata ada kemampuan atau kategori yang berbeda dengan indikator awal yang telah dibuat, maka kemungkinan dibuat level lain yang tidak termasuk dalam level taksonomi SOLO yang sudah ada. 4. Menyusun Hipotesis Kerja Menyusun hipotesis kerja, sama halnya dengan menentukan teori yang dihasilkan dalam penelitian. Dalam hal ini peneliti merumuskan deskripsi masing-masing level pada taksonomi SOLO sesuai dengan temuan yang sudah didapat. Setelah penelitian deskripsi pada temuan tersebut dapat berubah sesuai temuan penelitian. Dan dimungkinkan adanya level-level baru di antara level-level tersebut. BAHASAN UTAMA Instrumen penggolongan tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 25 pertanyaan. Instrumen tersebut divalidasi oleh seorang validator dari guru BK SMPN 5 Malang dengan pendidikan terakhir S2. Validasi yang dilakukan terfokus pada kesesuaian isi, konstruksi pernyataan, dan bahasa yang digunakan. Tidak terdapat pernyataan instrumen yang memerlukan revisi. Instrumen kemampuan menyelesaikan masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua soal, satu soal dalam bentuk verbal dan yang lain dalam bentuk piktorial. Instrumen kemampuan menyelesaikan masalah matematika telah divalidasi oleh seorang dosen matematika dengan pendidikan terakhir S3 yang ditunjuk oleh dosen pembimbing dan peneliti. Validasi diarahkan pada kesesuaian isi, konstruksi masalah, dan bahasa yang digunakan. Calon subjek penelitian adalah siswa kelas IX.3 SMPN 5 kota Malang tahun ajaran 2014/2015. Calon subjek diberi tes penggolongan tipe kepribadian. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan hasil tes penggolongan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Dari hasil tes penggolongan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yang dilaksanakan pada hari kamis, 30 Oktober 2014 diperoleh rata-rata nilai 42,93 dan standar deviasi 6,67. Sesuai dengan tabel 3.2 dapat diperoleh tabel sebagai berikut.
1397
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Batas Kategori
0≤X≤36,26 36,26<X<49,59 X≥49,59 Jumlah
Tabel 4.1 Kategorisasi Tipe Kepribadian Frekuensi Persentase 5 17,857% 20 71,429% 3 10,714% 28 100%
Kecenderungan Introvert Keduanya Ekstrovert
Fokus penelitian ini hanya ditujukan pada siswa dengan kepribadian ekstrovert sebanyak 10,714 % dan siswa dengan kepribadian introvert sebanyak 17,857 %. Sehingga terdapat 3 siswa ekstrovert dan 5 siswa introvert sebagai fokus penelitian selanjutnya. Berdasar hasil analisis tes penggolongan tipe kepribadian, terdapat 3 siswa berkepribadian ekstrovert, 5 siswa berkepribadian introvert, dan 20 siswa dalam kawasan kepribadian ekstrovert dan introvert. Kemudian 3 siswa berkepribadian ekstrovert dan 5 siswa berkepribadian introvert yang dipilih sebagai subjek penelitian. Langkah berikutnya subjek diberi tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika yang terdiri dari dua masalah tentang materi sistem persaman linier dua variabel. Data yang diambil adalah jawaban siswa pada lembar jawaban tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika. Pada tahap wawancara subjek ditanyai kembali tentang pengerjaan masalah yang telah dilakukan mereka sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai triangulasi data yang diperoleh sebelumnya melalui tes. Data wawancara ini direkam dengan alat perekam suara. a.
Subjek Berkepribadian Ekstrovert (SE) Pada saat pengerjaan masalah terlihat bahwa jawaban yang dikemukakan hampir lengkap dan benar. Ketiga subjek berkepribadian ekstrovert mampu memahami masalah dengan baik dan mampu membuat hubungan informasi yang mereka dapat. Hal ini didukung oleh wawancara lanjutan yang dilakukan oleh peneliti. Dalam menyelesaikan masalah matematika SE lebih sistematis secara lisan dibandingkan dengan tulisan mereka. Hal ini juga didukung dengan kriteria yang ada pada diri siswa berkepribadian ekstrovert yang menyukai berbicara dengan orang lain. Saat wawancara dilakukan SE mampu terbuka tentang apa yang mereka pikirkan, mereka menerima arahan-arahan yang diberikan peneliti. Saat peneliti melakukan wawancara kepada SE dan memberikan arahan-arahan SE mampu mengikuti sehingga jawabannya mengarah kepada jawaban yang hampir sesuai. SE mampu memberikan beberapa alternatif jawaban. Hal ini menunjukkan SE mampu tidak tertutup hanya pada satu kemungkinan jawaban. Sikap ini juga sesuai dengan yang ditunjukkan oleh indikator seseorang berkepribadian ekstrovert. Setelah wawancara peneliti menganalisis bahwa level kemampuan SE dalam menyelesaikan masalah matematika berbeda-beda. Untuk masalah pertama, SE 1 mampu berpikir tingkat multistruktural, sedangkan SE 2 mampu berpikir relasional tetapi belum sempurna, dan SE 3 mampu berpikir multistruktural. Untuk masalah kedua, SE 1 mampu berpikir pada level unistruktural, SE 2 mampu berpikir level relasional, dan SE 3 mampu berpikir pada level mutistruktural. b.
Subjek Berkepribadian Introvert (SI) SI dalam menyelesaikan masalah matematika mengungkapkan jawaban lebih baik secara tulisan daripada secara lisan. Saat wawancara siswa introvert kurang fleksibel daripada siswa ekstrovert. SI kurang mampu memberikan beberapa alternatif jawaban. SI perlu waktu lebih untuk memikirkan alternative jawaban meskipun telah diberikan arahan-arahan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan karakter SI yang harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Saat peneliti melakukan wawancara kepada SI dan memberikan arahanarahan kepada SI, jawaban yang diberikan tidak mudah dipengaruhi arahan-arahan peneliti. Jika ditelaah proses berfikir SI, SI mampu mencapai level berpikir multistruktural. Dimana sebenarnya mereka menggunakan lebih dari satu penggal informasi, namun tidak mampu melihat keterhubungan informasi tersebut. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan analisis data yang telah dilakukan peneliti mengenai kemampuan matematika siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan 1398
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
taksonomi SOLO ditinjau dari tipe kepribadian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui level kemampuan menyelesaikan masalah matematika, peneliti memberikan tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika kepada siswa dengan kepribadian ekstrovert dan introvert. Setelah selesai mengerjakan tes kemampuan menyelesaikan masalah matematika, peneliti mewawancarai subjek. Wawancara berfungsi sebagai triangulasi data pada lembar jawaban tes subjek. 2. Melalui wawancara peneliti dapat melihat lebih dalam proses berpikir siswa berkepribadian ekstrovert dan introvert. Siswa dengan kecenderungan kepribadian ekstrovert berpikir lebih terbuka yaitu memiliki beberapa alternatif jawaban. Siswa ekstrovert memiliki kecenderungan terpengaruh dengan lingkungan. Seperti saat peneliti berikan arahanarahan, maka jawaban yang diberikan akan berbeda. Dari tiga siswa ekstrovert yang telah diwawancarai, SE 1 memiliki level kemampuan menyelesaikan masalah matematika multistruktural, SE 2 memiliki level kemampuan mutistruktural-relasional, dan SE 3 memiliki level kemampuan prastruktural. 3. SI dalam menyelesaikan masalah matematika mengungkapkan jawaban lebih baik secara tulisan daripada secara lisan. Saat wawancara siswa introvert kurang fleksibel daripada siswa ekstrovert. SI kurang mampu memberikan beberapa alternatif jawaban. SI perlu waktu lebih untuk memikirkan alternative jawaban meskipun telah diberikan arahan-arahan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan karakter SI yang harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Saat peneliti melakukan wawancara kepada SI dan memberikan arahan-arahan kepada SI, jawaban yang diberikan tidak mudah dipengaruhi arahan-arahan peneliti. Jika ditelaah proses berfikir SI, SI mampu mencapai level berpikir multistruktural. Dimana sebenarnya mereka menggunakan lebih dari satu penggal informasi, namun tidak mampu melihat keterhubungan informasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, maka diberikan saran kepada: (1) Penelitian ini dapat dilakukan kembali dengan karakteristik responden pada tingkat pendidikan yang berbeda. Responden yang digunakan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pada pelajar atau mahasiswa yang memiliki prestasi yang lebih bervariasi sehingga hasil yang diperoleh dapat memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai hubungan tipe kepribadian dengan prestasi akademik atau prestasi belajar. (2) Pertanyaan yang diajukan kepada responden sebaiknya menggunakan instrumen baku dan membuat pedoman wawancara yang lebih sistematis untuk memeriksa level kemampuan menyelesaikan masalah matematika siswa. (3) Guru matematika untuk mengajarkan siswa (khususnya siswa introvert) untuk berpikir alternatif-alternatif jawaban dalam menyelesaikan masalah matematika, selalu menghimbau siswa untuk melihat kembali pemecahan dan melihat kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti langkahlangkah yang tidak benar), (2) peneliti lain agar artikel ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk melakukan penelitian yang lain. DAFTAR RUJUKAN Bill & Melinda. 2013. Modelling Situations With Linear Equations. (online), educore.ascd.org/resource/9e7fb2f7-255d-4e6a-9743-633e382e3172. Diakses tanggal 6 Juli 2013. Dobrynina, G., dkk. 2005. Algebraic Reasoning of Young Students and Preservice Elementary Teachers. Dalam Lloyd, G. M., Wilson, M., Wilkins, J. L. M., & Behm, S. L. (Eds.).Proceedings of the 27th annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (hal. 1-8). Virginia Tech Dewi, Retno, dkk. 2012. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP pada Materi Persamaan Garis Lurus. Unnes Journal of Mathematics Education, Vol 1, No. 1, 52-57. Falcon, raymond. 2009. Algebric Reasoning in The Midle Grades: A view of student strategies in pictorial and algebric system of equation. (online) http://www.academia.edu/581708/Algebraic_Reasoning_in_the_Middle_Grades _A_View_of_Student_Strategies_in_Pictorial_and_Algebraic_System_of_Equat ions. Diakses tanggal 14 april 2013. Francisco, John. 2006. Insights Into Students‟ Algebraic Reasoning. PME 30, Prague, Vol. 3, 105-112. 1399
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ferrucci, Beverly, J., Yeap, B. H., Carter, Jack, A. (2003). A modeling approach for enhancing problem solving in the middle grades. Mathematics Teaching in the Middle School, 8(9), 470-476. Glaser, B.G., & Strauss, A.L. 1967. The Discovery of Grounded Theory Strategies for Qualitative Research. New Brunswick (U.S.A.) and London (U.K.): A Division of Transaction Publishers. Hasanah, Nana, dkk. 2013. Analisis Proses Berpikir Siswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Tipe Kepribadian Extrovert-Introvert dan Gender. Jurnal Pasca UNS, (Online), http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/s2math/article/viewFile/3516/2450, diakses tanggal 22 Oktober 2014. Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press. Kaput, J. James & Blanton, L. Maria. 2005. Characterizing a Classroom Practice. That Promotes Algebraic Reasoning Education. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 36, No. 5, 412-446. Suma, Ketut, dkk. 2007. Pengembangan Keterampilan Berpikir Divergen Melalui Pemecahan Masalah Matematika-Sains Terpadu Open-Ended Argumentatif. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, 40 (4): 800-816. Bali. Laisouw, R., dkk. 2013. Profil Respons Siswa dalam Memecahkan Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi Solo Ditinjau dari Minat Belajar Matematika. Jurnal pasca UNS. Universitas Negeri Solo. Lambas,dkk,2004. Matari pelatihan terintegrasi. Dirjen pendidikan dasar dan menengah, departemen Pendidikan nasional Lazakidou, G. 2007. The transitory phase to the attainment of self-regulatory skill in mathematical problem solving. International Education Journal 8(1): 71-81. Shannon Research Press. Lian, Hooi Lim & Idris, Noraini. 2006. Assessing Algebraic Ability of Form Four Students. International Electronic Journal for Mathematics Educatio, 1(1), 55-76. Lian, Hooi Lim & Yew, Thiam Wun. 2009. Superitem Test: An Alternative Assessment Tool To Assess Students‟ Algebraic Solving Ability. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. Lim, kien. 2007 vol. 3, 193-200. Improving student‟ algebraic thinking:the case of talia. Proceedings of the thirthy-first conference of the internatioanal group for the psychology of mathematics education. The university of texas at el paso. Musser, Gary L., dkk. 2004. Mathematics for Elementary Teachers: Seventh Edition. John Wiley & Sons, Inc. Napitupulu, Elvis. 2008. Peran Penalaran dalam Pemecahan Masalah Matematik. Dalam Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008. http://eprints.uny.ac.id/6923/1/P-14%20Pendidikan(Elvis%20Napitupulu).pdf. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: The NCTM Inc. Panasuk, M. Regina, dkk. 2010. Algebra Students‟ Ability to Recognize Multiple Representations and achievement. International Journal for Mathematics and Learning, (online), www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/, diakses tanggal 8 Mei 2013. Perdana, Andreana. 2013 Pengertian dan Tipe-tipe Kepribadian. (Online), http://www.yuwonoputra.com/2013/06/pengertian-dan-tipe-tipekepribadian.html, diakses tanggal 22 Oktober 2014. Putri, Luvia F. & Manoy, Janet T. 2013. Identifikasi Kemampuan Matematika Siswa dalam Memecahkan Masalah Aljabar di Kelas VIII Berdasarkan Taksonomi SOLO. (online), ejournal.unesa.ac.id/article/2368/30/article.pdf, diakses tanggal 8 Mei 2013. Subanji. 2008. Pembelajaran Sistem Persamaan Linear Secara Bermakna untuk Mengembangkan Kemampuan Penalaran Siswa. Jurnal Pendidikan Inovatif, Vol. 3, No. 2, 79-82. Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Konteporer (Edisi Revisi). Bandung: JICA. Watson, Anne. 2007. Key Understandings in Mathematics Learning. Paper 6: Algebraic Reasoning. The Nuffield Foundation commissioned: The University of Oxford 1400
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Van de Walle, John A. 2007. Elementary and Middle School Mathematics: Teaching Developmentally. New York: Pearson Education, Inc. Zafar, S. & Meenakshi, K. 2012. A Study on The Relationship Between ExtroversionIntroversion and Risk-Taking in The Context of Second Language Acquisition. International Journal of Research Studies in Language Learning, 1(1): 33-40.
IDENTIFIKASI PROSES PEMEROLEHAN PEMAHAMAN KONSEP SEGIEMPAT PADA SISWA YANG MEMPUNYAI MULTIPLE INTELLIGENCES BERBEDA Iin Purwanti, Akbar Sutawijaya dan Abdurrahman Asari [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengindentifikasikan dan mengklasifikasikan proses pemerolehan pemahaman konsep segiempat siswa yang mempunyai kecerdasan linguistic; 2) mengindentifikasikan dan mengklasifikasikan proses pemerolehan pemahaman konsep segiempat siswa yang mempunyai kecerdasan matematis-logis; 3) mengindentifikasikan dan mengklasifikasikan proses pemerolehan pemahaman konsep segiempat siswa yang mempunyai kecerdasan visual-spatial. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan tehnik deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian adalah (1) Proses pemerolehan pemahaman konsep awal persegi panjang siswa dengan kecerdasan linguistik dan matematis-logis adalah contructing models, shaping dan internalizing. (2) Tetapi proses pemerolehan pemahaman konsep awal persegi panjang siswa dengan kecerdasan visual-spatial adalah shaping, contructing models dan internalizing.(3) Proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang siswa dengan kecerdasan linguistik dan visualspatial adalah contructing models, shaping dan internalizing. (4) Sedangkan pada siswa dengan kecerdasan matematis-logis, proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang adalah contructing models, shaping-internalizing dan internalizing, (5) Ada siswa dengan kecerdasan Matematis-logis mendapat nilai dibawah kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan bukan hanya satu-satunya faktor yang menentukan hasil belajar. Kata Kunci : multiple Inteligences, Contructing models, shaping dan internalizing
Dalam suatu pengajaran dan pembelajaran matematika, pemahaman konsep merupakan aspek fundamental yang menjadi pokok perhatian dan menjadi salah satu tujuan dari proses (Nickerson, 1985). Menurut Sutawidjaja (2013), proses memahami konsep sangat penting digunakan untuk melihat mengapa sebagian siswa berhasil, sedangkan sebagian siswa kurang berhasil dalam mempelajari matematika. Menurut Ali Hasan(2012) tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan pemahaman konsep. Jika konsep yang paling dasar tidak dipahami dengan baik maka pembentukan konsep-konsep selanjutnya akan semakin sulit, untuk itu kemampuan materi awal matematika sangat perlu dipahami oleh siswa dengan baik dan benar. Faktor yang mempengaruhi hasil dan proses belajar adalah faktor intern dan ekstern.Intelligence adalah salah satu faktor intern yang mempengaruhi hasil dan proses pembelajaran. Sehingga intelligence menentukan cara siswa dalam belajar atau pemerolehan pemahaman konsep. Menurut Gardner (2011) menggolongkan kecerdasan manuasia ke dalam sembilan jenis yaitu : 1). Verbal-linguistic intelligence (well-developed verbal skills and sensitivity to the sounds, meanings and rhythms of words);2). Logical-mathematical intelligence (ability to think conceptually and abstractly, and capacity to discern logical and numerical patterns);3). Spatial-visual intelligence (capacity to think in images and pictures, to visualize accurately and abstractly; 4). Bodily-kinesthetic intelligence (ability to control one’s body movements and to handle objects skillfully),; 5). Musical intelligences (ability to produce and appreciate rhythm, pitch and timber);6). Interpersonal intelligence (capacity to detect and respond appropriately to the moods, motivations and desires of others) ; 7). Intrapersonal (capacity to be self-aware and in tune with inner feelings, values, beliefs and thinking processes) ;8). Naturalist intelligence (ability to recognize and categorize plants, animals and other objects in nature); 9). Existential intelligence (sensitivity and capacity to tackle deep questions about human existence such as, What is the meaning of life? Why do we die? How did we get here 1401
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Seluruh kecerdasan ada pada diri setiap indifidu dengan variasi yang berbeda. Sehingga setiap siswa mempunyai gaya belajar yang berbeda pula, Winkel (1995: 53) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersikap secara relatif konstan dan berbekas”. Belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar(Hudojo, 1990:2). Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh siswa dan lingkungannya, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi siswa yang sedang belajar. Menurut Mulyoto (2010), terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung dalam mental. Tetapi proses belajar dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan siswa selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Bagi Piaget (2010) pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang atau siswa terhadap lingkungannya. Kejadian siswa dengan kecerdasan majemuk untuk memperoleh konsep dilihat kegiatan atau aktifitas siswa selama belajar. Kegiatan belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh yang melibatkan intelektual, emosional, fisik dan mental secara optimal yang meliputi visual activities, oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental activities, dan emotional activities. Sanjaya (2007 : 141) mengemukakan bahwa keaktifan siswa itu ada yang secara langsung dapat diamati dan ada yang tidak dapat diamati. Keaktifan yang secara langsung dapat diamati, seperti mendengarkan, berdiskusi, memproduksi sesuatu, menyusun laporan, memecahkan masalah, dan lain sebagainya, sedangkan yang tidak bisa diamati, seperti kegiatan mendengarkan dan menyimak. Dengan mengacu pada karakteristik aktivitas belajar, yaitu respon atau keterlibatan siswa baik secara fisik, mental, emosional, maupun intelektual dalam setiap proses pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui aktivitas belajar siswa, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran di kelas. Identifikasi dilakukan dengan melihat dimensi-dimensi yang merupakan kegiatan/aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran di kelas, yaitu construct models, shape, dan internalize. Menurut Marzano(1997: 49), “ learning procedural knowledge requires tree phases: Contructing models, shaping, internalizing.” Belajar pengetahuan prosedur memiliki tiga tahapan yaitu membentuk model pengetahuan, membangun pengetahuan, dan pengintergrasian pengetahuan. Informasi mengenai proses pemerolehan pemahaman konsep pada siswa sangat diperlukan dalam menyusun perangkat pembelajaran, mengembangkan media dan sumbersumber belajar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang bagaimana proses pemerolehan pemahaman konsep segiempat pada siswa yang mempunyai Multiple Intelligences berbeda? METODE Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif , dan dianalisis dengan tehnik deskriptif. Penelitian dilakukan di SMP IT MIsykat Al-Anwar Jombang. Dalam penelitian ini, sumber data yang penulis maksud adalah seluruh siswa SMP IT Misykat Al-anwar, yang beralamat di desa Kwaron kecamatan Diwek kabupaten Jombang. Sedangkan subjek penelitian adalah kelompok siswa dengan Multiple Intelligences berbeda. Kelompok siswa yang terdiri dari 1 kelompok siswa dengan kecerdasan linguistic, 1 kelompok siswa dengan kecerdasan matematis-logis dan 1 kelompok siswa dengan kecerdasan visual-spatial. Subjek penelitian telah dipilih melalui tes Multiple Intelligences Riset (MIR) dan tes kemampuan terhadap konsep persegi panjang. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi proses pemerolehan pemahaman kosep siswa dengan kecerdasan Linguistik Berikut ini data tahap awal proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang :
1402
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pertanyaan
subjek L1
Bagaimana kamu tahu kalau L2 pedoman tersebut adalah persegi panjang? L3
Fase 1 Saya memperhatikan saat guru menerangkan. Construc model Saya memperhatikan setiap bentuk bangunnya. Construc model
Fase 2 Saya memperhatikan setiap bentuk bangunnya. shape Saya mengamati setiap bentuk bangun. shape
Fase 3 Saya suka memilih-milih berbagai bentuk bangun yang ada. Internalize Saya biasa memilih bangunbangun yang berbeda. Internalize
Saya memperhatikan guru saat menerangkan. Construc model
Saya memperhatikan setiap bentuk bangun yang berbeda-beda. shape
Saya membiasakan membaca buku dan memilih persegi panjang yang berbedabeda. Internalize
Gambar 1 : Diagram Proses Awal Pemerolehan Pemahaman Konsep
Aktivitas awal dalam proses pemerolehan pemahaman konsep siswa dengan kecerdasan Linguistik yaitu dengan cara memperhatikan, mengamati saat guru menerangkan sebuah konsep. Dalam dimensi Marzano termasuk fase Construc model. Daya tangkap siswa pada komunikasi verbal antara guru dan siswa. Guru memberi umpan berupa pertanyaan dan siswa menjawab apa yang siswa ketahui. Kekuatan ini sebenarnya ada pada semua upaya manusia untuk membangun pemahaman, tetapi potensi tersebut merupakan inti upaya pemahaman matematis (Sabri,2012). Hal yang tidak sesuai dengan pemahaman yang dimiliki maka timbul upaya adanya pemicu pertanyaan. Sehinga timbul interaksi antara guru dan siswa. Siswa melakukan oral activity, listening activity, dan mental activity secara bersamaan. Oleh karena itu, seluruh pembelajaran seyogyanya dimulai dengan pertanyaan (Menson, 2004). Aktifitas siswa selanjutnya dalam proses pemerolehan pemahaman konsep yaitu mengamati, memperhatikan dan mengamati berdasarkan bentuk bangun sesuai dengan fase shaping. Aktivitas yang dilakukan siswa visual activity dan mental activity. Aktifitas secara sadar yang dilakukan siswa dalam proses pemerolehan pemahaman. Siswa berada pada fase internalizing ketika siswa sudah dapat melakukan aktivitas secara rutin dan terbiasa dalam memilih, mencari literatur dan membandingkan bentuk bangun yang berbeda-beda. Aktivitas yang dilakukan siswa yaitu visual activity, reading activity dan mental activity. Seluruh aktivitas siswa dalam proses pemerolehan pemahaman konsep sifat-sifat persegi panjang adalah Contructing models, shaping, internalizing. Proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang : Pertanyaan
subjek L1
Bagaimana kamu tahu cara menyelesaikan soal persegi panjang? L2
Fase 1 Saya memperhatikan saat guru menerangkan. Construc model
Fase 3 Bila saya mengerjakan latihan soal dan kemudian tidak bisa, saya kembali membuka buku atau LKS. Internalize Saya Saya mengerjakan Saya menghafal memperhatikan soal berbagai cara. setiap langkah penjelasan dari shape yang dilakukan guru. untuk 1403
Fase 2 Saya diskusi dengan temanteman saat mengerjakan soal. shape
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Construc model L3
Saya memperhatikan guru saat menerangkan. Construc model
Saya mengerjakan soal dengan berbagai cara dan menerangkan di papan tulis . Shape
mengerjakan soal. Internalize Saya membuat langkah-langkah baru untuk menyelesaikan soal. internalize
Gambar 2 : Proses Pemerolehan Pemahaman Konsep Aplikasi Persegi Panjang Siswa dengan Kecerdasan Linguistik
Proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang siswa fokus perhatiannya pada guru yang menerangkan. Aktifitas guru merupakan pusat perhatian utama, sehingga kemampuan guru dalam menjelaskan sebuah konsep harus sedapat mungkin menarik minat dan perhatian siswa dalam pembelajaran. Menurut Piaget (2010) pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang atau siswa terhadap lingkungannya. Selanjutnya siswa dalam fase shape, siswa mengerjakan soal dengan variasi yang beragam diantaranya dengan mendiskusikan dengan siswa lain, mengerjakan dengan variasi yang berbeda dan mengungkapkan ide terbuka (menjelaskan pada siswa yang lain). Salah satu proses konstruksi pemahaman, menurut Von Glasserfeld (dalam Suparno, 1997) diperlukan beberapa kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, Dan pengalaman di sini adalah mengerjakan soal yang berkaitan dengan aplikasi konsep persegi panjang. Siswa untuk internalize mengerjakan soal baik dengan cara rutin maupun membuat jawaban alternatif lain. Kemampuan siswa tidak hanya hafal cara mengerjakan soal, tapi kemampuan siswa sudah dalam kategori paham konsep Menurut Kastberg, 2002 : “The problem is that to use such understanding the student must be able to identify the problem type and associate it with a solution procedure “. Seluruh aktivitas pada proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang, siswa dengan dominan kecerdasan linguistik tidak terlepas dari kegiatan yang menggunakan bahasa baik secara lesan atau tulisan. Aktivitas siswa dalam proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang adalah Contructing models, shaping dan internalizing. b. Identifikasi proses pemerolehan pemahaman konsep siswa dengan kecerdasan Matematis - logis Hasil wawancara dengan subjek siswa dengan kecerdasan matematis -logis, diperoleh data pemerolehan pemahaman konsep pedoman persegi panjang sebagai berikut: Pertanyaan
Bagaimana kamu tahu kalau pedoman tersebut adalah persegi panjang?
subjek M3
Fase 1 Saya memperhatikan penjelasan guru. Construc model
Fase 2 Saya mengamati bentuk bangun. shape
Fase 3 Saya menghafalkan setiap bangun. internalize
M4
Saya memperhatikan guru saat menerangkan. Construc model
Saya mengamati setiap bentuk bangun. shape
Saya menghafalkan setiap bentuk bangun. Internalize
M5
Saya memperhatikan guru saat menjelaskan guru. Construc model
Saya mengamati setiap bentuk bangun shape
Saya menghafal dengan memilih bangun-bangun yang berbeda. Internalize
Gambar 3 : Diagram Proses Awal Pemerolehan Pemahaman Konsep Siswa dengan Kecerdasan Matematis - Logis
Aktivitas awal dalam proses pemerolehan pemahaman konsep siswa dengan kecerdasan matematis-logis yaitu memperhatikan guru menerangkan sebuah konsep. Siswa dengan 1404
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kecerdasan matematis-logis dalam proses pemerolehan pemahaman sama dengan siswa dengan kecerdasan linguistik, fokus pada guru menjelasan guru dalam Construc model. Kemampuan guru dalam mengkonstuksi pemahaman siswa memegang peranan penting. Jika konsep yang paling dasar tidak dipahami dengan baik maka pembentukan konsep-konsep selanjutnya akan semakin sulit, untuk itu kemampuan materi awal matematika sangat perlu dipahami oleh siswa dengan baik dan benar. Pada fase shaping siswa selalu melakukan pengamatan bentuk bangun.. Dalam mengamati bentuk bangun siswa dengan kecerdasan matematis-logis, lebih menekankan pada sifat dasar atau ciri bangun tersebut hal ini yang berbeda dari siswa dengan kecerdasan visualspatial. Dalam fase internalizing, siswa lebih suka menghafal bentuk dan sifat – sifat bangun. Siswa dengan kecerdasan matematis – logis lebih menyukai hal-hal rutin dari kosep yang diperoleh. Proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang: Pertanyaan
subjek M3
Bagaimana kamu tahu cara M4 menyelesaikan soal persegi panjang?
M5
Fase 1 Saya memperhatikan penjelasan guru. Construc model
Fase 2 Saya menghafalkan rumus dan mencoba berbagai soal. shape/ Internalize Saya Saya mengerjakan memperhatikan soal langkah demi penjelasan dari langkah sesuai guru saya. yang dijelaskan guru. Construc model Shape Saya Saya menulis memperhatikan pekerjaan di papan penjelasan guru tulis, agar guru dan langkah demi teman-teman saya langkah mengoreksi pekerjaaan saya. Construc model Shape/ Internalize
Fase 3 Saya mengerjakan soal dengan cara lain. Internalize Saya mencoba mengerjakan soal terus menerus. internalize
Saya menghafalkan rumus dan mengerjakan soal berulang-ualng. internalize
Gambar 4 : Proses Pemerolehan Pemahaman Konsep Aplikasi Persegi Panjang Siswa dengan Kecerdasan Matematis-Logis
Aktivitas awal dalam proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang, siswa dengan dominan kecerdasan matematis-logis adalah memperhatikan penjelasan guru. Siswa sangat memperhatikan tahapan-tahapan dalam mengerjakan soal. Konsep hendaknya diberikan secara bertahap sehingga siswa mampu memahami konsep secara mendasar. Menurut Mulyono (2010), konsep-konsep matematika itu bersifat hirarkis, artinya untuk bisa mengerti sebuah konsep harus mengerti konsep sebelumnya. Dalam aktifitas kedua siswa pada proses Shape/Internalize, tahapan ini siswa tidak hanya mengerjakan soal berulang-ulang tetapi juga melakukan tahapan menghafal langkalangkah mengerjakan soal. Siswa memperoleh pengalaman ketika melakukan pengamatan secara cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Dalam mengkonstruk matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna dari sekedar menghafalkannya (Marpaung, 2003). Tahapan ini siswa melakukan dua fase sekaligus. Fase internalizing siswa dengan kecerdasan matematis-logis sudah dapat mengerjakan soal dengan variasi berbeda, mengerjakan soal berulang ulang dan bersama-sama dengan siswa lain. Aktivitas pada proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang, siswa dengan dominan kecerdasan matematis-logis sangat memperhatikan tahapan berfikir logis. Aktivitas tersebut meliputi visual activity, listening activity dan mental activity. Fase yang dilakukan
1405
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa dengan kecerdasan matematis-logis dalam proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang adalah Contructing models, shaping/internalizig dan internalizing. C.Identifikasi proses pemerolehan pemahaman konsep siswa dengan kecerdasan Visual spatial Dari hasil wawancara dengan subjek siswa dengan kecerdasan visual - spatial, diperoleh data, sebagai berikut: Pertanyaan
Subjek
Fase 1
Fase 2
Fase 3
V1
Saya mengamati setiap bentuk bangun. shape
Saya memperhatikan penjelasan dari guru saya. Construc model
Saya harus mengetahui dan menghafal sifat persegi panjang sampai saya benar-benar bisa. Internalize Saya menghafalkan setiap bentuk bangun-bangun yang berbeda. internalize
Bagaimana kamu tahu kalau pedoman V2 tersebut adalah persegi panjang?
V3
Saya mengamati bentuk dan ciri setiap bangun. shape
Saya bentuk bangun. shape
Saya mencari perbedaan penjelasan guru tentang persegi panjang dengan benda aslinya. Construc model melihat Saya mengamati setiap bentuk bangun persegi panjang berbeda dengan bangun yang lain Construc model
Saya membiasakan memilih bangunbangun yang berbeda. internalize
Gambar 5 : Diagram Proses Awal Pemerolehan Pemahaman Konsep Siswa dengan Kecerdasan Visual – Spatial
Aktifitas awal siswa dengan kecerdasan Visual-spatial dalam proses pemerolehan pemahaman konsep yaitu mengamati bentuk, mengamati bentuk ciri dan melihat berdasarkan bentuk bangun sesuai dengan fase shaping. Dalam mengamati bentuk siswa lebih tertarik pada bentuk benda. Sehingga seorang guru dalam pembelajaran siswa dengan kecerdasan ini harus menyediakan alat peraga yang sesuai. Sesuai dengan pendapat Xie (2009) : “ Teachers involved in multiple intelligences teaching should pay equal attention to students displaying giftsin different intelligences and allow them a variety of ways to express themselves.” Aktivitas yang dilakukan siswa visual activity dan mental activity. Memperhatikan penjelasan guru, mencari perbedaan penjelasan dan mengamati bentuk bangun persegi panjang berbeda dengan bangun yang lain, dalam dimensi Marzano termasuk fase construkting models. Mengetahui, menghafal sifat persegi panjang, menghafalkan setiap bentuk bangun dan membiasakan memilih bangun dalam dimensi Marzano termasuk fase internalizing. Kemampuan siswa dalam memperhatikan wujud benda sangat bagus. Fase yang dilakukan siswa dengan kecerdasan visual - spatial dalam proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang adalah shaping, contructing models dan internalizing. Subjek dengan dengan kecerdasan visual - spatial dalam proses pemerolehan pemahaman konsep lebih menekankan melihat bentuk benda baik dari gambar atau wujud benda tersebut. Proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang siswa dengan kecerdasan visual – spatial, diperoleh data sebagai berikut: Pertanyaan
Subjek
Fase 1
Fase 2
1406
Fase 3
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
V1
Bagaimana kamu tahu cara V2 menyelesaikan soal persegi panjang?
V3
Saya memperhatikan penjelasan dari guru. Construc model
Saya mengerjakan soal langkah demi langkah shape
Saya memperhatikan penjelasan guru. Construc model
Saya mengerjakan soal dengan variasi berbeda. shape
Saya menghafal setiap langkah mengerjakan soal persegi panjang. Internalize
Saya menyelesaikan soal bersamasama dengan teman-teman. internalize Saya Saya mengerjakan Saya berlatih memperhatikan soal bermacam- mengerjakan soal guru saat macam. setiap hari. diterangkan. Shape internalize Construc model
Gambar 6 : Diagram Proses Pemerolehan Pemahaman Konsep Aplikasi Persegi Panjang Siswa dengan Kecerdasan Visual – Spatial
Aktivitas awal pada proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang, siswa dengan dominan kecerdasan visual-spatial adalah memperhatikan guru saat diterangkan. Seperti halnya subjek dengan kecerdasan lain, subjek ini juga memperhatikan guru saat diterangkan, tetapi hal yang lebih diperhatikan adalah alat peraga dan visual yang ditampilkan guru. Dalam dimensi Marzano fase yang dilakukan siswa adalah Construc model. Aktivitas tersebut meliputi visual activity, drawing activity dan listening activity. Selanjutnya siswa melakukan kegiatan mengerjakan soal tahap demi tahap dan mengerjakan soal dengan berbagai cara. Dalam dimensi Marzano fase yang dilakukan siswa adalah shape. Dalam fase internalize, siswa dengan kecerdasan visual-spatial melakukan mengerjakan soal setiap hari, mengerjakan soal bersama-sama dengan siswa lain dan menghafal langkah mengerjakan soal. Secara keseluruhan aktivitas pada proses pemerolehan pemahaman konsep persegi panjang, siswa dengan dominan kecerdasan visual-spatial memperhatikan gambar, bentuk bangun dan benda nyata. Aktivitas tersebut meliputi visual activity, drawing activity dan listening activity. Fase yang dilalui siswa dalam proses pemerolehan pemahaman konsep aplikasi persegi panjang adalah construc model, shape dan internalize. PENUTUP Kesimpulan Proses pemerolehan pemahaman konsep awal persegi panjang siswa dengan kecerdasan Linguistik dan matematis-logis adalah contructing models, shaping, Contructing models dan internalizing. Tetapi proses pemerolehan pemahaman konsep awal persegi panjang siswa dengan kecerdasan visual-spatial adalah shaping, contructing models dan internalizing. Proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang siswa dengan kecerdasan Linguistik dan visual-spatial adalah contructing models, shaping dan internalizing. Sedangkan pada siswa dengan kecerdasan matematis-logis, proses pemerolehan pemahaman aplikasi konsep persegi panjang adalah contructing models, shaping-internalizing dan internalizing. Ada siswa dengan kecerdasan Matematis-logis mendapat nilai dibawah kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini membuktikan bahwa kecerdasan bukan hanya satu-satunya faktor yang menentukan hasil belajar. Dalam menyampaikan ide siswa yang mempunyai multiple intelligences berbeda mempunyai karakteristik berbeda pula. Saran Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: guru yang terlibat dalam pembelajaran siswa dengan Multiple intelligences, 1407
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
harus merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan keberagaman kecerdasan siswa; dalam melakukan evaluai pembelajaran guru harus mengerti dan memahami kecerdasan yang dimiliki siswa. DAFTAR PUSTAKA Budiningsih, C Asri. 2011. Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Dalam Penelitian Pembelajaran, Cakrawala Pendidikan, Jurnal Ilmiah Pendidikan tahun XXX no.1, vol 160-17. Chotib, Munif. 2012. Sekolahnya Manusia: Sekolah berbasis Multiple Intelligences di Indonesia (cetakan XIII), Kaifa, Bandung. Chotib, Munif. 2011. Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara, Kaifa, Bandung. Depdiknas. 2004. Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/Kep/PP/2004 tentang indicator pemahaman, Jakarta. Crowley, Mary L. 1987: "The van Hiele Model of the Development of Geometric Thought." In Learning and Teaching Gemretry, K-12, Year book of the National Council of Teachers of Mathematics, edited by Mary Montgomery Lindquist, pp.1-16. Reston, Va.: National Council af Teachers of Mathematics. Gardner, Howard. 2011: Frame Of Mind (second edition), New York, Basic Book. Gardner, Howard. Multiple intelligences, http://www.howardgardner.com/MI/mi.html, diakses 23 Desember 2013. Gardner, Howard. 2004: Howard Gardner‟s Theory Of Multiple Intelligences, Northern Illinois University, Faculty Development and Instructional Design Center [email protected], www.niu.edu/facdev, 815.753.0595. Griggs, LeeAnn, dkk. 2009.”Varying Pedagogy to Address S Student Multiple Intelegences, Human An hitecture”: Jurnal of the Sociology of Self-Kowledge: vol 7: Iss.I Aricle 6. Gray,E.M & Tall, D.O. 1994. Duality, Ambiguity and flexibility : A Proceptual View of Simple Aritmatic, Journal for research in Mathematic Education, 26(2), 115-141. Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdibud,LPKT Hudojo, Herman. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika, IKIP Negeri Malang, Malang. Hoffer, A.R, and Hoffer, S. A. 1992. Geometry and Visual Thinking dalam Post, T.R (ED), Teaching Mathematics in Grade K-8, Research Bases Methods (2 nd ed). (hal 249-277). Iannone, Paola & Anne D. Cockburn. 2006. Fostering Conceptual Mathematical Thinking In The Early Years: A Case Study, In Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. & Stehlíková, N. (Eds.). Proceedings 30th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 3, pp. 289-296. Prague: PME. 3 – 289. Kamus Bahasa Indonesia (online), http;//kamusbahasaindoesia.org/belajar, diakses 10 Februari 2014. Kamus Bahasa Indonesia (online), http;//kamusbahasaindoesia.org/pemahaman , diakses 10 Februari 2014. Kastberg,E.Signe. 2002. Understanding Mathematical Concepts: The Case Of The Logarithmic Function, A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements of the Degree, Doctor Of Philosophy, Athens, Georgia. Kesumawati, Nila. 2008. Pemahaman Konsep Matematika dalam Pembelajaran , Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika (2) 229-235. Lexy J Moleong. 1991. Metode Penelitian Kualitatif , Bandung: Remaja Rosda Karya. Marpaung, Y. 1986. Proses Berpikir Siswa dalam Pembentukan Konsep Algoritma Matematis. Makalah Pidato Dies Natalies XXXI IKIP Sanata Dharma Salatiga, 25 Oktober 1986. Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata. Mulyono. 2010. Proses Berpikir Mahasiswa Dalam Mengkonstruk Konsep Matematika, Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2010, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang. Mulyoto. 2010. Perolehan dan Penerapan Pengetahuan dalam Pembelajaran Matematika, Jurnal Ilmiah Inkoma, Volume 21, Nomor 2. Marzano Robert J. 1997. Dimension of Learning, 1408
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ndraha, Faaso. 2013. Proses Berfikir Siswa SMP mengkontruksi Bukti geometri sebagai Procep, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNY, Yokyakarta. Nazir Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Nickerson, R.S. 1985. Understanding – Understanding, American Journal Education, 43(2), 201-239. Piaget, Jean. 2010. The psychology of the Child, Basic Books, Inc., New York. Terjemahan Miftahul Janah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ruseffendi, E. T. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru MengembangakanKompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Bandung: Tarsito. Sardiman, A.M. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Raja Grafindo, Jakarta. Sharifi, Hassan-Passa. 2008. The Introductory Study of Gardner's Multiple Intelligence Theory, in the Field of Lesson Study Subjects and The Sudents Compatibility, Quarterly Journal of Educational Innnovation, No.24, Spring. Shoimatul U. S. 2013. Revolusi Belajar : Optimalisasi Kecerdasan Melalui Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk, Ar-Ruzz media, Yogyakarta. Signe E. Kastberg. 2002. Understanding Mathematical Concepts: The Case Of The Logarithmic Function, A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements of the Degree, Doctor Of Philosophy, Athens, Georgia. Skemp. R. 1979. Relational Understanding And Instrumental Understanding. Mathematics Teaching. No.77, m.s 20-26. Suparno. 1997. Filsafat Konstruktifisme dalam Pendidikan, Kanisius, Yokyakarta. Supinah. Bagaimana Mengukur Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran ?, Widyaswara PPPPTK Matematika, diunduh 14 Februari 2014. Titin Nur Hidayati. 2011. Implementasi Teori Belajar Gestalt pada Proses Pembelajaran . Jurnal Falasifa. Vol. 2 No. 1.
HAMBATAN BERPIKIR SISWA SMP DALAM MEMECAHKAN MASALAH BILANGAN BULAT SERTA PEMBERIAN SCAFFOLDING UNTUK MENGATASINYA Gunanto Amintoko Universitas Negeri Malang [email protected] Abstrak: Bilangan merupakan materi dasar dalam kurikulum matematika sekolah menengah pertama. Penelitian ini mendeskripsikan hambatan berpikir siswa SMP dalam memecahkan masalah bilangan bulat dan mendeskripsikan pemberian scaffolding yang sesuai untuk mengatasinya. Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah kata – kata berupa tulisan atau lisan dari 6 siswa kelas VII-G SMP unggulan amanatul ummah yang menjadi subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika memecahkan masalah bilangan bulat berdasarkan tahapan Polya terdapat tiga hambatan berpikir yaitu hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan analogi siswa, hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa, dan hambatan berpikir karena kurangnya pengetahuan awal siswa. Hambatan berpikir yang dialami oleh semua subjek adalah hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa. Untuk mengatasi hambatan berpikir tersebut, enam subjek diajak untuk berdiskusi dan diberikan scaffolding sesuai dengan hambatan berpikir yang dialami. Setelah pemberian scaffolding, keenam siswa tersebut mampu mengatasi hambatan berpikir yang dialami dan bisa menyelesaikan soal yang diberikan. Kata Kunci: Hambatan berpikir, Bilangan bulat, scaffolding
Bilangan adalah materi dalam kurikulum matematika sekolah yang sangat penting. Hal 1409
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
ini dapat dilihat pada materi-materi lain serta cabang ilmu selain matematika yang memuat tentang bilangan. Peled (2006: 303) menyatakan bahwa bilangan merupakan konsep dasar yang dipelajari sebelum mempelajari tentang konsep-konsep aljabar da fungsi. Lestari (2011: 2) memberikan contoh bahwa untuk menyederhanakan bentuk aljabar −3 siswa harus memahami materi operasi hitung bilangan bulat yaitu 1 − 3. Contoh materi yang lain adalah fungsi, untuk mengetahui nilai suatu fungsi 𝑓 = +3 pada = −1 siswa harus memahami operasi hitung bilangan bulat −1 + 3. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang melakukan kesalahan dalam melakukan operasi bilangan bulat. Seng (2010: 152) menemukan bahwa 4 dari 7 kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam menjumlahkan dan mengurangkan aljabar dikarenakan kesalahan operasi bilangan bulat. Khalid (2008: 90) juga menemukan bahwa 35% siswa membuat kesalahan dalam menambahkan dua bilangan negatif, 40,3% melakukan kesalahan dalam menentukan hasil operasi penjumlahan ataupun pengurangan bilangan negatif dengan bilangan positif, 41,6% melakukan kesalahan dalam menentukan hasil operasi pengurangan dua bilangan negatif serta beberapa kesalahan yang lainnya. Kesalahan menurut Corder (1982: 5) dibagi menjadi dua, yaitu kesalahan yang berhubungan dengan pendidikan dan kesalahan teori. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa yang dikarenakan kesalahan dalam operasi merupakan kesalahan teori. Hal ini dikarenakan siswa belum memahami operasi pada bilangan bulat. Khalid (2008: 90) memberikan beberapa contoh kesalahan yang dilakukan oleh siswa antara lain,– 2 + (– 6) = 8,– 2 + 6 = – 8, – 6 – 2 = – 4, – 6 – (– 6) = – 12, 2 – (– 6) = – 4, serta 8 – (– 6) = 2. Kilhamn (2008: 6) juga memberikan contoh kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam melakukan operasi pengurangan bilangan bulat negatif (−3) – (−8) = −11 padahal seharusnya jawaban yang benar adalah 5. Meifiani (2011) dalam penelitian mengenai analisis soal ujian nasional, juga menemukan kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam menghitung bilangan bulat. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa tidak lepas dari banyaknya materi pada matematika yang bersifat abstrak. Legutko (2007: 141) dalam penelitiannya menyampaikan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang bersifat abstrak dan menggunakan bahasa khusus. Pada awalnya siswa diperkenalkan dengan konsep bilangan asli dan operasinya, tetapi hal itu kurang sesuai dengan cara berpikir siswa yang kongkret. Lebih lanjut, Legutko (2007: 141) juga menyampaikan bahwa yang dialami oleh anak merupakan transisi pertama dari dunia nyata ke dunia matematika yang sangat penting untuk memahami konsep matematika lainnya. Oleh karena itu, kesalahan yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah bilangan bulat harus diatasi agar siswa dapat menguasai konsep materi setelah bilangan bulat. Guru harus benar-benar menganalisis kesalahan siswa, mencoba untuk memahami kesalahan, dan menemukan apa yang menyebabkan terjadinya kesalahan tersebut. Guru perlu melakukan diskusi dengan siswa seperti penelitian yang dilakukan oleh Crespo dkk (2003) untuk mengetahui cara berpikir siswa. Seng (2010: 142) menyatakan bahwa proses pembelajaran pada siswa dapat dipahami melalui kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Mekanisme yang digunakan oleh siswa dalam memperoleh, menglah, dan menyampaikan kembali informasi yang terkandung dalam tugas matematika dapat diidentifikasi melalui kesalahan siswa tersebut. Lebih lanjut, Seng (2010) juga menyampaikan bahwa kesalahan yang dilakukan oleh siswa selanjutnya dianalisis untuk menemukan berbagai kesulitan yang dialami siswa. Joseph (2008: 3) juga melakukan hal yang sama, yaitu dengan menemukan kesulitan siswa berdasarkan kesalahan yang telah dibuat oleh siswa. Kesulitan dalam mempelajari matematika pasti pernah dialami oleh siswa. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bingolbali (2010: 40) bahwa siswa pada setiap tingkatan pasti mengalami kesulitan dalam belajar matematika dan salah satu materi yang dirasakan sulit oleh siswa sekolah menengah adalah materi bilangan bulat. Penelitian yang dilakukan oleh Seng (2010: 157) memperoleh bahwa terdapat beberapa materi yang menyulitkan siswa dan diantaranya adalah tentang bilangan bulat negatif. Kesulitan juga dialami siswa pada sekolah dasar dan menengah yang melakukan kesalahan pengurangan, penjumlahan, perkalian dan pembagian bilangan bulat (Bala, 2012). Beberapa penelitian tentang kesulitan siswa, disebabkan oleh kurangnya kemampuan siswa dalam pemahaman konsep. Hal ini seperti yang disampaikan Whitacre dkk (2011: 2) bahwa bilangan bulat serta operasi pada bilangan bulat menyajikan kesulitan konseptual untuk 1410
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa. Peled (2006: 306) menyampaikan bahwa dalam kehidupan sehari – hari siswa dan guru tidak mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan seperti 3 + 4 atau 4 × 5, tetapi mereka sering bingung ketika menemukan permasalahan yang melibatkan bilangan negatif. Contohnya, siswa mengalami kesulitan ketika mencoba untuk menyelesaikan permasalahan seperti 2 - 7 atau 7 - (-5). Kilhamn (2008) dan Bishop (2014) di dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa siswa merasa bilangan negatif sangat abstrak dan sulit dihubungkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa mengalami kesulitan yang besar dalam memahami dan melakukan operasi bilangan negatif karena tidak mampu untuk memahami aturan dalam operasi bilangan negatif (Nool, 2012). Menurut Joseph (2008: 5) kesulitan yang dialami siswa sekolah menengah adalah: (a) kurangnya pemahaman terhadap masalah, (b) kurangnya pengetahuan strategi, (c) ketidakmampuan untuk menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika, dan (d) ketidakmampuan untuk menggunakan matematika yang benar. Lestari (2011:3) menyatakan ada 2 faktor penyebab rendahnya pemahaman siswa tentang operasi bilangan bulat, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa sebagai berikut: 1. Siswa tidak mengerti masalah bilangan bulat yang dihadapi sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah yang seharusnya telah diketahui. Dalam hal ini siswa mengalami kesulitan untuk menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. 2. Siswa kurang memahami apa yang ada di dalam soal, sehinga siswa kesulitan mengubah soal dari bentuk verbal menjadi model matematika yang sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Kesulitan siswa dalam memahami masalah, kurangnya pengetahuan strategi, ketidakmampuan untuk menerjemahkan masalah ke dalam bentuk matematika, dan ketidakmampuan untuk menggunakan matematika yang benar sering ditemui dalam hal pemecahan masalah matematika. Siswa mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah karena selain harus memperhatikan hubungan antar konsep matematika siswa juga harus memperhatikan bahasa pada soal (Pape, 2004). Kesulitan – kesulitan yang dialami siswa dalam pemecahan masalah antara lain: 1. Siswa mengalami kesulitan dalam mentransfer pengetahuan yang diperoleh dari permasalahan yang telah ada sebelumnya (Weber, 2005). 2. Siswa terkadang mampu menggunakan konsep tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah, tetapi ketika diberikan masalah lain yang sedikit berbeda siswa mengalami kesulitan (Seifi, 2012). 3. Siswa terkadang sudah mampu untuk meniru dan mentransfer rumus serta algoritma yang sudah diberikan sebelumnya tetapi ketika dihadapkan dengan pemecahan masalah siswa mengalami kesulitan (Onhemus, 2010). 4. Siswa mampu mengerjakan masalah matematika yang berhubungan langsung dengan konsep matematika tetapi siswa mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (Yuan, 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Culaste (2011) bahwa siswa mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang kurang, hal ini bisa dilihat dari bagaimana siswa mengalami kesulitan dalam memilih operasi yang digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah. Sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan membahas tentang kesulitan ataupun kesalahan yang dialami siswa. Sedangkan penelitian tentang hambatan siswa dalam menyelesaikan masalah bilangan bulat belum pernah dilakukan. Adapun ketika penelitian tersebut membahas tentang kesulitan dan kesalahan siswa, penyebab dari kesulitan dan kesalahan tersebut tidak dibahas secara mendalam. Kesulitan dan kesalahan yang dilakukan oleh siswa menandakan adanya hambatan yang dialami siswa dalam menyelesaikan masalah bilangan bulat. Cara yang mungkin dilakukan oleh guru dalam membantu siswa untuk mengatasi hambatan dalam memecahkan masalah bilangan bulat adalah dengan memberikan scaffolding. Menurut Hitipeuw (2009: 113) scaffolding adalah bantuan yang diberikan oleh orang lain kepada anak agar bisa melaksanakan pekerjaannya sendiri. Bantuan ini dapat berupa pertanyaan, arahan, petunjuk, peringatan, dorongan, memberi contoh, ataupun langkah-langkah 1411
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
cara mengerjakan soal yang memungkinkan siswa meningkat kemampuan bernalarnya. Qomar (2013: 4) juga menyampaikan bahwa sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang guru kepada siswa dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus. Slavin (2000: 256) menyatakan bahwa scaffolding berarti bantuan kepada seorang siswa yang dilakukan oleh orang dewasa atau teman yang lebih mampu. Fernandez (2001: 40) menyatakan bahwa Scaffolding adalah bantuan kognitif yang diberikan oleh guru untuk membantu tugas siswa ketika siswa tidak mampu untuk menyelesaikannya sendiri. Sedangkan Magno (2010: 93) menyatakan bahwa segala bantuan yang diberikan oleh orang dewasa dinamakan scaffolding Penelitian tentang scaffolding telah banyak dilakukan, Lutfiyah (2009) mengemukakan bahwa siswa dengan kemampuan tinggi ketika menyelesaikan tugas dapat memberikan scaffolding pada siswa dengan kemampuan rendah hingga proses berpikirnya sesuai dengan struktur masalah. Hasil penelitian Sujiati (2011) menyimpulkan bahwa proses berpikir siswa dalam pemecahan masalah bersifat unik, dan secara umum proses berpikir tersebut dapat berkembang dengan pemberian scaffolding. Crespo (2003) dan Speer (2009) melakukan pemberian scaffolding dengan melakukan diskusi dengan siswa. Anghileri (2006: 39) di dalam penelitiannya menyampaikan bahwa terdapat 3 level scaffolding yaitu Scaffolding level 1 (environmental provisions), Scaffolding level 2 (explaining, reviewing, and restructuring), dan Scaffolding level 3 (developing conceptual thinking). Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mendeskripsikan hambatan berpikir siswa SMP dalam memecahkan masalah bilangan bulat, (2) mendeskripsikan pemberian scaffolding yang sesuai untuk memecahkan masalah bilangan bulat. METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatitif. Hal ini dikarenakan data yang dihasilkan adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari subjek dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian diawali dengan observasi dan juga pelaksanaan studi pendahuluan yang digunakan untuk mengetahui gambaran awal tentang hambatan berpikir siswa serta pemberian scaffolding yang akan diberikan. Gambaran awal tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat pedoman scaffolding. Selanjutnya dilakukan tes tertulis kepada kelas yang tidak diberikan uji pendahuluan dan ditentukan sebagai tempat penelitian. Berdasarkan jawaban tes, ulangan harian bilangan bulat, dan masukan dari guru mata pelajaran matematika dipilih enam siswa yang menjadi subjek penelitian. Keenam siswa tersebut kemudian disuruh untuk mengungkapkan hasil pengerjaan ketika tes dengan metode think aloud yang selanjutnya akan diwawancarai secara mendalam dan diberikan scaffolding atas hambatan berpikir yang dialami oleh siswa. Jika siswa sudah bisa memperbaiki jawaban setelah dilakukan scaffolding, maka selanjutnya akan dilakukan analisis. Akan tetapi jika masih belum bisa memperbaiki atau tidak memberikan respon dari scaffolding yang diberikan maka akan diberikan scaffolding pada tingkat selanjutnya. Instrumen Penelitian Instrumen utama pada penelitian ini adalah peneliti sendiri. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini peneliti yang bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Instrumen lain yang digunakan oleh peneliti adalah soal tes. Soal tes yang diberikan pada penelitian ini berbentuk lembar tugas yang diselesaikan siswa secara individu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui hambatan berpikir siswa dalam pemecahan masalah bilangan bulat melalui pemberian masalah sebelum mendapatkan bantuan dari peneliti (scaffolding). Adapun 2 soal yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Permainan roda bilangan adalah permainan memutar roda sehingga tanda panah berhenti pada bilangan -2, -1, 0, 1 atau 2. Pemain yang telah memutar roda, langsung mencatat bilangan yang telah diperoleh. Budi telah memutar roda sebanyak 8 kali, kemudian menjumlahkan bilangan yang telah dicatat sehingga diperoleh total nilai 9. Sebutkan kemungkinan bilangan - bilangan yang dapat ditunjuk oleh tanda panah ketika Budi memutar roda ! 1412
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Pada ujian tes masuk sebuah sekolah, calon siswa baru diberikan soal tes sebanyak 30 soal. Setiap jawaban yang benar akan memperoleh nilai 5, jawaban yang salah memperoleh nilai –3 dan yang tidak dijawab akan memperoleh nilai 0. Dalam ujian tersebut seorang calon siswa baru memperoleh total nilai 57. Tentukan kemungkinan banyak soal yang dijawab dengan benar, soal yang dijawab dengan salah dan yang tidak dijawab oleh calon siswa tersebut ! Untuk memberikan Scaffolding agar sesuai dengan hambatan berpikir siswa, maka diperlukan panduan pemberian scaffolding tersebut. Pada lembar panduan scaffolding berisi pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan yang diajukan kepada siswa. Pertanyaan dan pernyataan ini dimaksudkan untuk membantu dan mengarahkan siswa agar dapat memperbaiki kesalahan yang dibuat. Selain itu juga berisi pertanyaan untuk menyelidiki hambatan apa saja yang menyebabkan kesalahan tersebut. Pemberian scaffolding ini daharapkan mampu mengatasi hambatan berpikir yang dialami siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 3 Maret 2014. Pada saat studi pendahuluan, siswa kelas 7-F dan 7-H di SMP Unggulan Amanatul Ummah diberikan 2 soal pemecahan masalah bilangan bulat. Dari studi pendahuluan tersebut diperoleh 3 siswa yang jawabannya salah ketika mencoba menjawab satu soal, 14 siswa yang jawabannya salah ketika mencoba menjawab kedua soal, 15 siswa mencoba menjawab kedua soal tetapi hanya satu soal yang mendekati jawaban yang benar, 4 siswa mencoba menjawab kedua soal dan kedua jawaban mendekati jawaban yang benar, serta 3 siswa yang mencoba menjawab kedua soal dengan benar serta memberikan beberapa solusi. Hasil pengerjaan siswa yang salah dalam menjawab soal tersebut selanjutnya dirinci sesuai dengan gambaran awal hambatan berpikir yang dialami siswa sebagai berikut Langkah Pemecahan No. Masalah
1.
Jenis Hambatan Pemikiran
Pemahaman Kurangnya masalah kemampuan analogi siswa
Kesalahan yang Dilakukan Siswa
Pengerjaan Siswa
-
Visualisasi
-
Kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa
-
Koneksi Informasi -
Kurangnya pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa
-
Ide awal
-
-
1413
Siswa tidak bisa memvisualisasikan permasalahan
Siswa tidak mengaitkan antar informasi yang ada dalam permasalahan (apa yang diketahui)
Siswa tidak mempunyai ide yang akan digunakan untuk menyelesaikan pemasalahan Siswa memunculkan ide awal berdasarkan pengetahuan yang dimiliki tetapi tidak sesuai dengan permasalahan yang ada
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2.
Perencanaan Kurangnya penyelesaia n kemampuan
-
Koneksi konsep
-
-
Ide awal dan konsep
-
-
koneksi konsep
-
koneksi matematika siswa Kurangnya pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa 3.
Penyelesaia n masalah
Kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa
Kurangnya
-
-
Pemilihan strategi -
-
Penghitungan
pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa
-
Kurangnya kemampuan analogi siswa
-
Kelengkapan informasi
-
-
4
Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaia n
Kurangnya pengetahuan
-
Penghitungan
-
-
Hasil akhir
-
awal yang dimiliki oleh siswa Kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa
1414
Siswa menentukan konsep berdasarkan Informasi yang diperoleh dari permasalahan tetapi konsep yang dipilih tidak sesuai Siswa memaksa menghubungkan ide dengan konsep yang sebenarnya tidak sesuai
Siswa tidak mengaitkan apa yang sudah dipelajari dengan apa yang ada dalam permasalahan Siswa tidak mengaitkan apa yang diketahui dengan apa yang menjadi pertanyaan dalam permasalahan Siswa salah dalam membuat strategi karena kurangnya pengetahuan siswa tentang permasalahan dengan tipe yang sama Karena salah dalam membuat strategi maka terjadi perhitungan yang banyak Siswa belum memahami operasi bilangan Siswa tidak menuliskan apa yang diketahui sehingga siswa akan mengalami kesulitan ketika akan membuat strategi dalam menyelesaikan masalah Siswa tidak menuliskan apa yang ditanyakan dalam masalah sehingga jawaban siswa tidak sesuai dengan solusi yang diharapkan Siswa belum memahami operasi bilangan sehingga tidak konsisten dalam menuliskan tanda pada bilangan
Siswa tidak mengkomunikasikan solusi yang diperoleh, sudah sesuai dengan pertanyaan atau tidak.
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hambatan berpikir yang dialami siswa dengan kemampuan matematika tinggi berdasarkan langkah pemecahan masalah yang disampaikan oleh Polya terletak pada langkah penyelesaian masalah dan memeriksa kembali prosedur serta hasil penyelesaian. Jenis hambatan berpikir yang banyak dialami siswa dengan kemampuan matematika tinggi adalah hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan analogi siswa dan kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa. Hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan analogi siswa bisa dilihat pada kesalahan siswa yaitu tidak menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan oleh soal. Sedangkan kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa dapat dilihat dari kesalahan siswa yaitu tidak menghubungkan kembali solusi yang sudah diperoleh dengan pertanyaan yang ada pada soal.
Siswa langsung menuliskan solusi tanpa menulis informasi dari soal Gambar 1 : Jawaban awal soal nomor 1 subjek S1
Pada jawaban S1 diatas, dapat dilihat bahwa S1 sudah memahami masalah dan bisa memvisualisasikan soal dengan baik. S1 juga sudah memperhatikan yang ditanyakan oleh soal yaitu siswa disuruh untuk menyebutkan kemungkinan bilangan yang dapat ditunjuk oleh tanda panah. Kemampuan S1 dalam mengaitkan antar informasi serta kemampuan dalam mengaitkan yang diketahui dengan yang ditanyakan menunjukkan bahwa S1 sudah bisa memahami soal dengan benar. S1 memberikan 3 solusi, akan tetapi S1 tidak menuliskan informasi dari soal. S1 tidak menuliskan apa yang diketahui dan apa yang menjadi pertanyaan pada soal.
Siswa tidak menghitung nilai dari jumlah yang tidak menjawab
Gambar 2 : Jawaban S1 untuk soal nomor 2 sebelum scaffolding
Meskipun tidak menuliskan informasi yang diketahui pada soal, S1 sudah bisa mengaitkan informasi yang ada sehingga solusi yang diberikan benar. Tetapi dalam pengerjaannya, S1 hanya menyebutkan satu solusi saja. S1 tidak memeriksa kembali solusi yang telah diperoleh berdasarkan pertanyaan dari soal nomor 2. Hal ini menunjukkan masih adanya hambatan berpikir siswa karena kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa. Gambar struktur berpikir siswa dengan kemampuan matematika tinggi sebelum dan sesudah diberikan scaffolding adalah sebagai berikut
1415
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
a. Soal nomor 1 sebelum dan sesudah scaffolding
b. Soal nomor 2 sebelum dan sesudah scaffolding
Gambar 3 Struktur Berpikir Siswa Kemampuan Matematika Tinggi
Scaffolding yang diberikan pada siswa dengan kemampuan matematika adalah Scaffolding pada tingkatan reviewing untuk mengatasi ketidaktelitian dalam menuliskan informasi yang diketahui dan yang ditanyakan oleh soal serta tingkatan developing conceptual thinking untuk membantu siswa menggunakan konsep lain dalam menemukan solusi. Scaffolding pada tingkatan developing conceptual thinking diberikan karena siswa dengan kemampuan matematika tinggi sudah bisa memahami soal dengan benar. Siswa dengan kemampuan matematika sedang, memberikan jawaban yang mendekati benar hanya pada satu soal dan jawaban salah pada soal yang lain. Hambatan berpikir yang dialami siswa dengan kemampuan matematika sedang berdasarkan langkah pemecahan masalah yang disampaikan oleh Polya terletak pada langkah perencanaan penyelesaian, penyelesaian masalah dan memeriksa kembali prosedur serta hasil penyelesaian. Jenis hambatan berpikir yang banyak dialami siswa dengan kemampuan matematika sedang adalah hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan analogi siswa, kurangnya pengetahuan awal siswa dan kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa. Kurangnya kemampuan analogi siswa dapat ditunjukkan dari kesalahan siswa yaitu tidak bisa memvisualisasi soal dan tidak menuliskan informasi dari soal dengan lengkap. Kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa dapat dilihat dari kesalahan siswa yaitu tidak bisa mengaitkan informasi yang ada pada soal, salah dalam mengaitkan konsep matematika yang sesuai dengan soal, dan tidak memeriksa dan menghubungkan kembali solusi yang dihasilkan dengan soal. Kurangnya pengetahuan awal siswa bisa dilihat dari kesalahan siswa yaitu salah dalam menentukan ide dan strategi penyelesaian, salah dalam menentukan konsep yang sesuai dengan soal, dan tidak meneliti kembali prosedur dan perhitungan yang dilakukan. Berdasarkan hasil pengerjaan lembar tugas terstruktur soal nomor 1, S4 sudah bisa memahami masalah dan juga memvisualisasikan soal dengan benar. Pemahaman S4 juga sudah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh soal sehingga strategi yang digunakan juga benar yang menghasilkan solusi yang benar pula. Hal ini bisa ditunjukkan berdasarkan gambar hasil pengerjaan lembar tugas oleh S4 berikut ini
Gambar 4: Jawaban S4 untuk soal nomor 1 sebelum diberikan scaffolding
Pada jawaban S4 diatas, dapat dilihat bahwa S4 sudah memahami masalah dan bisa memvisualisasikan soal dengan baik. S4 juga sudah memperhatikan yang ditanyakan oleh soal yaitu siswa disuruh untuk menyebutkan kemungkinan bilangan yang dapat ditunjuk oleh tanda panah serta mempunyai total 9. Kemampuan S4 dalam mengaitkan antar informasi serta kemampuan dalam mengaitkan yang diketahui dengan yang ditanyakan menunjukkan bahwa S1 sudah bisa memahami soal dengan benar. Akan tetapi S4 hanya memberikan 1 solusi dan menunjukkan bahwa S4 tidak memeriksa dan menghubungkan kembali solusi yang dihasilkan dengan soal. Dari jawaban S4 untuk soal nomor 2 ini, S4 tidak mempunyai ide dalam mengerjakan soal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari hasil pekerjaan S4 yang mengalikan semua soal dengan 5 1416
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan kemudian dikurangi dengan 57. Selain itu, S4 juga memilih hasil pengurangan 150 dengan 57 yaitu 93 : 31 = 3 yang mana 31 sebagai jawaban yang salah dan 3 sebagai banyaknya jawaban yang tidak dijawab. Ini menunjukkan S4 mengalami kesulitan dalam memahami masalah pada soal nomor 2. Sama seperti pada pengerjaan soal nomor 1, dalam usaha memahami masalah tersebut tidak diikuti dengan penulisan informasi yang ada pada soal dengan lengkap sehingga S4 tidak bisa mengaitkan informasi yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil pekerjaan S4 pada lembar tugas terstruktur pada gambar berikut.
Gambar 5: kesalahan jawaban S4 untuk soal nomor 2 sebelum scaffolding
Gambar struktur berpikir siswa dengan kemampuan matematika sedang sebelum dan sesudah diberikan scaffolding adalah sebagai berikut
a. Soal nomor 1 sebelum dan sesudah scaffolding b. Soal nomor 2 sebelum dan sesudah scaffolding
Gambar 6: Struktur Berpikir siswa kemampuan matematika sedang
Scaffolding yang diberikan kepada siswa dengan kemampuan matematika sedang dimulai dari tingkatan explaining dan reviewing yang membantu siswa untuk memahami masalah dan melihat kembali jawaban yang salah. Scaffolding selanjutnya adalah pada tingkatan restructuring yang mana siswa melakukan pengerjaan soal berdasarkan hasil dari tingkatan reviewing. Selain itu siswa dengan kemampuan matematika sedang juga diberikan scaffolding pada tingkatan developing conceptual thinking dikarenakan sudah bisa memahami satu soal dengan benar. Hambatan berpikir yang dialami siswa dengan kemampuan matematika rendah terletak pada setiap langkah pemecahan masalah yang disampaikan oleh Polya. Siswa dengan kemampuan matematika rendah sudah mengalami hambatan berpikir sejak tahap pemahaman masalah. Jenis hambatan berpikir yang dialami siswa dengan kemampuan matematika rendah adalah hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan analogi siswa, kurangnya pengetahuan awal siswa dan kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa. Kurangnya kemampuan analogi siswa dapat ditunjukkan dari kesalahan siswa yaitu salah dalam memvisualisasikan soal dan tidak menuliskan informasi yang diketahui dan yang ditanyakan oleh soal. Kurangnya
1417
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kemampuan koneksi matematika siswa dapat dilihat dari kesalahan siswa yaitu tidak bisa mengaitkan antar informasi yang ada pada soal, salah dalam mengaitkan konsep matematika yang sesuai dengan soal, dan tidak tidak memeriksa dan menghubungkan kembali solusi yang dihasilkan dengan pertanyaan pada soal. Kurangnya pengetahuan awal siswa bisa dilihat dari kesalahan siswa yaitu tidak bisa menentukan ide dan strategi penyelesaian, salah dalam menentukan konsep yang sesuai dengan soal, dan tidak meneliti kembali prosedur dan perhitungan yang dilakukan. Berdasarkan hasil pengerjaan lembar tugas terstruktur soal nomor 1, S6 yang sudah mengalami hambatan ketika memvisualisasikan soal. Pemahaman S6 tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh soal. S6 salah dalam memvisualisasikan permasalahan dengan menuliskan tanda operasi pengurangan. Hal ini bisa ditunjukkan berdasarkan gambar berikut
Gambar 7: jawaban S6 untuk soal nomor 1 sebelum scaffolding
S6 tidak menuliskan informasi yang diperoleh dari soal. Hal ini mengakibatkan siswa mengalami hambatan dalam mengaitkan informasi yang ada dalam soal. Selain itu S6 juga akan mengalami kesulitan dalam mengaitkan konsep matematika dengan masalah yang dihadapi. Dalam mengaitkan informasi yang ada pada soal, S6 hanya fokus terhadap informasi penjumlahan bilangan-bilangan yang berasal dari roda bilangan yaitu −2, −1, 0, 1, dan 2 serta total nilai bilangan yang diperoleh adalah 9. Akan tetapi S6 tidak memperhatkan bahwa Budi memutar roda bilangan sebanyak 8 kali yang artinya bilangan yang diperoleh Budi sebanyak 8 bilangan. Akibat dari tidak diperhatikannya 8 kali banyak putaran yang dilakukan oleh Budi, S6 mengalami kesalahan dengan menjumlahkan bilangan sebanyak 7 bilangan yang mempunyai total nilai 9. Gambar struktur berpikir siswa dengan kemampuan matematika rendah sebelum dan sesudah diberikan scaffolding adalah sebagai berikut
a. Soal nomor 1 sebelum dan sesudah scaffolding b. Soal nomor 2 sebelum dan sesudah scaffolding Gambar 8: Struktur Berpikir siswa kemampuan matematika rendah
Scaffolding yang diberikan pada siswa dengan kemampuan matematika rendah adalah scaffolding pada tingkatan explaining dan reviewing. Hal ini bertujuan agar siswa mengetahui dengan benar informasi yang diketahui pada soal serta mengaitkan informasi yang diperoleh dengan apa yang menjadi pertanyaan pada soal. Selain itu tujuan scaffolding ini adalah agar siswa melihat lagi prosedur pengerjaan yang telah dilakukan dan melakukan refleksi terhadap pengerjaannya. Scaffolding selanjutnya adalah pada tingkatan restructuring yang mana siswa melakukan pengerjaan soal berdasarkan hasil dari tingkatan reviewing.
1418
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Siswa dengan kemampuan tinggi banyak mengalami hambatan bepikir yang dikarenakan kurangnya kemampuan analogi siswa dan kurangnya kemampuan koneksi siswa yang ditunjukkan dengan tidak dituliskannya informasi yang ada pada soal dan tidak memeriksa kembali solusi yang dihasilkan. Untuk mengatasinya adalah dengan memberikan Scaffolding pada tingkatan restructuring dan developing conceptual thinking. Scaffolding yang diberikan guru yaitu meminta siswa untuk membaca kembali pertanyaan pada soal, mengajukan pertanyaan agar siswa memeriksa kembali kesesuaian antara solusi yang diperoleh dengan yang ditanyakan. Selanjutnya siswa diminta untuk menjawab kembali dengan rancangan yang lebih baik. Selain itu, guru juga memberikan pertanyaan arahan yang membuat siswa menemukan adanya konsep lain yang berhubungan dengan masalah. Hambatan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah bilangan bulat pada subjek dengan kemampuan sedang dan rendah memiliki perbedaan pada kedua subjek. Tetapi hambatan yang dialami hampir sama, hambatan terjadi dimulai dari saat memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian. Scaffolding yang diberikan untuk mengatasi hambatan berpikir pada subjek dengan kemampuan sedang dan rendah dimulai dari Scaffolding pada pada tahap explaining, yaitu siswa dibantu untuk memahami masalah dengan pertanyaaan ataupun pernyataan. Siswa diminta untuk membaca ulang permasalahan pada lembar tugas yang telah diberikan dengan lebih cermat dan teliti. Selain itu, guru juga memberikan arahan berupa penjelasan agar siswa dapat memahami permasalahan. Pada tahap reviewing, siswa diminta untuk melakukan refleksi terhadap hasil pekerjaannya sehingga siswa menemukan kesalahan yang telah dilakukan. Pada tahap restructuring siswa diminta untuk menyusun kembali rancangan penyelesaian yang digunakan ketika menyelesaikan masalah berdasarkan reviewing yang sudah dilakukan. Selanjutnya, siswa diminta untuk menjawab kembali dengan rancangan yang lebih baik. Saran Penelitian ini memberikan informasi tentang hambatan berpikir siswa kelas VII SMP dalam memecahkan masalah bilangan bulat. Hambatan berpikir karena kurangnya kemampuan koneksi matematika siswa dialami oleh semua subjek sehingga diharapkan guru lebih menekankan kepada siswa tentang pentingnya tahap keempat dalam pemecahan masalah yaitu memeriksa kembali dan mengkomunikasikan solusi yang diperoleh. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian sejenis yang mungkin diterapkan oleh peneliti lain di tingkat kelas yang berbeda, pada materi yang berbeda dan juga bahkan subjek yang lebih banyak lagi. Selain itu, hambatan berpikir yang lain juga bisa lebih digali lagi oleh peneliti berikutnya. Untuk para guru, pengajar, atau peneliti lain, dengan ditemukannya hambatan – 1419
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
hambatan berpikir dalam memecahkan masalah bilangan bulat ini bisa dijadikan masukan dalam menentukan model, strategi, pendekatan pembelajaran sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi bilangan bulat. DAFTAR RUJUKAN Anghileri, Julia. 2006. Scaffolding practice that enhance mathematics learning . Journal of mathematics Teacher Education, 9. 33 - 52 Bala, Ruchi. 2009. A study of specific errors committed by 6th class students in learning integers in Mathematics. International Indexed & Referred Research Journal, July, 2012. ISSN- 0975-3486, RNI-RAJBIL /30097;VoL.III ISSUE-34 Bingolbali, Erhan. 2010. Pre-Service and In-Service Teachers' Views of the Sources of Students' Mathematical Difficulties. International Electronic Journal of Mathematics Education – HJMI. Vol 6, No.1. Bishop, Jessica Pierson dkk. 2014. Obstacle and Affordances for Integer Reasoning: An Anaylisis of Children‟s Thinking and The History of Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education. Vol 45, No.1, 19-61. Crespo, S. & Nicol, C. (2003). Learning to investigate students' mathematical thinking: The role of student interviews. In N. A. Pateman, B. Dougherty, & J. T. Zilliox (Eds). Proceeding of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 27, (vol. 2) (pp. 261-268). Cullaste, Irene Coto. 2011. Cognitive Skills of Mathematical Problem Solving of Grade 6 Children. International Journal of Innovative Interdisciplinary Research. Issue 1. Fernandez, Manuel. 2001. Re-conceptualizing “Scaffolding” and the Zone of Proximal Development in the Context of Symmetrical Collaborative Learning. Journal of classroom interaction 36(2) Joseph, Kei kow. 2008. Secondary 2 Students‟ Difficulties in Solving Non-Routine Problems. National Institute of Education Nanyang Technological University. Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Khalid, Madihah dkk. 2008. Using the Jar Model to Improve Student‟s Understanding of Operations on Integers. Proceeding of 11th International Congress on Mathematical Education. Kilhamn, cecilia. 2008. Making sense of negative numbers through metaphorical reasoning. Göteborgs Universitet. Legutko, Maria. 2007. An analysis of students‟ mathematical errors in the teaching-research process. Pedagogical University of Kraków (Poland). Lestari, Hendri. 2011. Penerapan Pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk memahamkan operasi bilangan bulat pada siswa kelas VII SMPN 5 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Lutfiyah. 2009. Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Pengetahuan himpunan Melalui Aktivitas Think Pair Share. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Magno, Carlo. 2010. The Effect of Scaffolding on Children‟s Reading Speed, Reading Anxiety, and Reading Proficiency. TESOL JURNAL. Vol.3. 92-98 Meifiani, Nely I. 2011. Analisis Kesulitan Matematika Siswa SMP Negeri Pacitan Pada Ujian Nasional Tahun 2009/2010. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta. Nool, Nelvin R. 2012. Effectiveness of an Improvised Abacus in Teaching Addition of Integers. International Conference on Education and Management Innovation IPEDR, vol.30 IACSIT Press, Singapore. Pape, S.J. 2004. Middle School Children‟s Problem solving behavior : Cognitive Analysis from reading comprehension perspective. Journal for research in Mathematics Education. National Council of Teacher of Mathematics. Ohnemus, Loretta. 2010. Mathematical Literacy: Journal Writing to Learn Problem Solving. University of Nebraska-Lincoln Peled, Irit. 2006. Signed Numbers and Algebraic Thinking. University of Haifa. 1420
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Qamar, kawakibul. 2012. Pemanfaatan short massage service (SMS) dalam remedial teaching dgn menggunakan scaffolding pada materi peluang di SMK PGRI. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Seifi, Mohammad. 2012. Recognition of Students‟ Difficulties in Solving Mathematical Word Problems from the Viewpoint of Teachers. J. Basic. Appl. Sci. Ranes., 2(3)2923-2928 Seng, Lim Kok. 2010. An Error Analysis of Form 2 (Grade 7) Students in simplifying Algaebraic Expression : A descriptive study. Eletronic Journal of Research in Educational Psychology. 8(1), 139-162. (n.20). ISSN: 1696-2095 Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon Speer, Natasha M. dkk. 2009. Knowledge Needed by a Teacher to Provide Analytic Scaffolding During Undergraduate Mathematics Classroom Discussions. Journal for Research in Mathematics Education. Vol 40, No.5, 530-562. Sujiati, Anik.2011. Students Thinking Process in problem solving by providing Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Weber, Keith. 2005. Strands of challenging mathematical problems and the construction of mathematical problem-solving schema. Rutgers University Whitacre, Ian, dkk. 2011. Integers: History, Textbook Approaches, And Children‟s Productive Mathematical Intuitions. San Diego State University. Yuan, Shenglan. 2013. Incorporating Polya's Problem Solving Method in Remedial Math. Journal of Humanistic Mathematics. Vol 3 No1.
PENERAPAN METODE PQ4R BERBANTUAN “BEBIBULAN” UNTUK MEMAHAMKAN MATERI GARIS DAN SUDUT PADA SISWA KELAS VII B SMP NEGERI 2 TANGGUL JEMBER Giri Pramudya SMP Negeri 2 Tanggul, Jalan Urip Sumoharjo 65 Tanggul Jember [email protected] Abstrak: Bebibulan adalah media pembelajaran yang terdiri dari benang, bingkai, busur derajat, dan bandulan yang sengaja dirancang agar dapat dimanipulasi serta digunakan sebagai alat bantu untuk membelajarkan materi garis dan sudut lebih secara konkrit. Beberapa penyebab kelemahan terhadap memahami materi garis dan sudut adalah: (1) ketiadaan media pembelajaran yang tepat guna, (2) pembelajaran berpusat kepada guru sehingga siswa pasif, (3) siswa kurang memperoleh kesempatan dalam pembelajaran, (4) Data kelas menunjukkan bahwa ketuntasan belajar klasikal masih 72,78%.Untuk itu perlu dirancang suatu pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah menerapkan metodePQ4R berbantuan bebibulan,untuk meningkat- kan aktivitas belajar siswa yang berdampak pada prestasi hasil belajar. Langkat-langkah penerapan metode dan media tersebut dilakukan melalui lima langkah, yaitu:(1) siswa memahami selintas (preview) informasi pada LKS; (2) siswa mengajukan pertanyaan/soal (question); (3) siswa membaca (read); (4)siswa merefleksi (reflect);(5) siswa meresitasi (recite); (6) siswa memeriksa ulang (review). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas (PTK) untuk mendiskripsikan bagaimanakah penerapan metode PQ4R berbantuan bebibulan yang dapat memahamkanmateri garis dan sudut pada siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Tanggul Jember. Kata Kunci: metode PQ4R, bebibulan, memahamkan garis dan sudut
Sesuai dengan standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, tujuan mempelajari matematika bagi peserta didik adalah memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006: 346): 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan
1421
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Formulasi kelima tujuan pelajaran matematika menunjukkan pentingnya memfasilitasi para siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk mempelajari kemampuan berpikir dan bernalar selama proses mempelajari matematika di kelas. Pada saat ini, berbagai upaya terpadu juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, misalnya melalui implementasi Kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika, sosialisasi model pembelajaran inovatif dan produktif melalui kegiatan workshop atau seminar yang diselenggarakan oleh instansi terkait. Namun demikian, semua usaha tersebut belum memberikan hasil yang optimal. Sebaliknya hasil laporan MGMP Matematika Jember Barat Program BERMUTU (Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading) tahun 2012/2013 (2013: 18), sebanyak 65% dari 20 orang guru peserta MGMP Matematika Wilayah Jember Barat, secara rutin masih melaksanakan cara mekanistik dalam membelajarkan matematika di kelas selama 40 menit, yaitu: duapuluh menit membahas tugas-tugas yang lalu; limabelas menit memberi pelajaran baru; dan lima menit memberi tugas kepada murid-murid. Bagi siswa, cara membelajarkan matematika seperti ini tampaknya hanya untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik menganggap pelajaran matematika tidak menarik, tidak bermanfaat, serta membosankan, sehingga berakibat pada rendahnya pemahaman dan prestasi belajar siswa terhadap materi pembelajaran matematika. Pada observasi yang peneliti lakukan pada hari Rabu tanggal 15 Mei 2013 di SMP Negeri (SMPN) 2 Tanggul Jember. Guru matematika kelas VII B yang sudah berpengalaman mengajar selama 28 tahun, menyatakan bahwa: 1) Membelajarkan materi garis dan sudut secara langsung dan berpusat kepada guru; 2) Belum mempunyai media pembelajaran yang tepat; 3) Siswa cenderung pasif membaca materi; 4) Siswa kurang berinisiatif membuat pertanyaan atau bertanya; 5) Siswa masih mengalami kesulitan membuat rangkuman. Demikian pula dengan ketuntasan belajar materi garis dan sudut pada tahun pelajaran 2011/2012, siswa yang mendapat nilai di atas KKM, yaitu 75 sebesar 72,78% dari 36 siswa. Marpaung (2002) menegaskan bahwa salah satu masalah dalam pendidikan adalah mengetahui bagaimana siswa mempelajari dan dapat menguasai konsep-konsep, aturan-aturan, prosedur, atau proses yang rumit dalam matematika. Guru dituntut tidak hanya untuk memahami materi matematika, tetapi harus juga memahami bagaimana siswa memahami materi matematika tersebut, termasuk memahami kemampuan berpikir logis siswa. Melvin, L. Silberman (2006: 23) menyatakan bahwa lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius menyatakan: Yang saya dengar, saya lupa. Yang saya lihat, saya ingat. Yang saya kerjakan, saya pahami. Dari yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami. Dari beberapa hal tersebut, pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan untuk memahamkan materi garis dan sudut, dengan memanfaatkan benda konkrit benang, bingkai, busur, dan bandulan selanjutnya peneliti sebut sebagai “bebibulan”. Penggunaan bebibulan, diharapkan dapat membantu memahamkan materi garis dan sudut secara lebih konkrit, sesuai dengan standar kompetensi yang harus dikuasai siswa, yaitu memahami hubungan garis dengan garis, garis dengan sudut, sudut dengan sudut, serta menentukan ukuran besar sudut.Hasil uji coba penggunaan “bebibulan” (Pramudya, 2009:27) menyatakan “Implementasi model pembelajaran skrip kooperatif berbantuan alat sederhana bebibulan dalam pembelajaran garis dan sudut, meningkatkan nilai rata-rata kelas sebesar 13,93%, daya serap (DS) sebesar 34,71%, dan ketuntasan belajar (KB) sebesar 26,67%”. Slavin, Abrani, dan Chambers (dalam Sanjaya 2008: 244) berpendapat bahwa belajar melalui kelompok dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaboratif kognitif. Pembelajaran berkelompok mempunyai manfaat yang positif apabila diterapkan di kelas. Pembelajaran berkelompok dapat membelajarkan kepada siswa menjadi lebih percaya diri, kemauan dan kemampuan untuk berpikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari 1422
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa yang lain. Kemudian dengan pembelajaranberkelompok juga dapat mendorong siswa untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide atau pendapat temannya; dan membantu siswa untuk dapat saling menghargai dan menghormati. Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran berkelompok sebagaimana dikemukakan oleh Slavin (1995: 5), pertama, penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Kedua, pertanggungjawaban individu menitik beratkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Ketiga, kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan. Pada penelitian lain Thomas dan Robinson (dalam Mohamad Nur, 1999: 47), menyatakan salah satu metode belajar untuk membantu siswa memahami dan mengingat materi yang mereka baca adalah metode PQ4R. Kepanjangan dari PQ4R adalah preview (pratinjau), question (bertanya), read (membaca), reflect (merefleksi), recite (menceritakan atau mengucapkan) dan review (periksa ulang). Prosedur PQ4R berikut ini memusatkan siswa pada pengorganisasian informasi bermakna dan melibatkan siswa pada strategi-strategi lain yang efektif, seperti pengajuan pertanyaan, elaborasi, dan “latihan terdistribusi”, kesempatankesempatan untuk mereview informasi sepanjang periode pada waktu tertentu. Metode PQ4R yang dikembangkan oleh Tomas dan Robinson (Arends, 1997, dalam Sudarman 2009:67) adalah sebagai berikut:1)Preview (pratinjau), merupakan kegiatan membaca selintas informasi. Siswa dapat memulai dengan membaca topik-topik, judul dan sub judul, kalimat permulaan atau akhir suatu paragraf, atau ringkasan pada akhir suatu bab. Jika tidak, siswa juga dapat memeriksa setiap halaman dengan cepat, sehingga memperoleh sedikit gambaran mengenai apa yang akan dipelajari ataupun ide pokok dari informasi yang diberikan. Informasi yang dilengkapi dengan gambar-gambar sebagai media grafis, dapat menimbulkan stimulus dan motivasi. Sesuai dengan pernyataan Rustaman et al. (2005: 141) tentang beberapa fungsi media, yaitu memberikan stimulus dan mendorong respon siswa serta meningkatkan motivasi dan perhatian siswa untuk belajar. Selain itu Djamarah (2008: 123) menyatakan bahwa dengan mencari ide pokok yang terdapat dalam bacaan penting dilakukan untuk mempermudah sistem memori dalam menyerap dan mengolah item-item informasi yang terkandung dalam bacaan tersebut; 2) Question (bertanya), merupakan kegiatan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada diri sendiri, mengenai materi garis dan sudut dengan menggunakan kata-kata “apa, siapa, mengapa, atau bagaimana?”. Menurut Erman Suherman, dkk. (2003: 226), mengajukan pertanyaan atau bertanya adalah pusat aktivitas dalam sebagian besar strategi belajar mengajar matematika dan dalam prosedur evaluasi hasil belajar; 3)Read (membaca), merupakan kegiatan membaca informasi secara aktif, sehingga siswa memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Tahap ini ditandai dengan pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada tahap sebelumnya. Menurut Trianto (2007: 148), pengalaman telah menunjukan bahwa apabila seseorang membaca untuk menjawab sejumlah pertanyaan, maka akan membuat dia membaca lebih hati-hati serta seksama akan dapat membantu mengingat yang dibaca dengan baik. Selain itu siswa dapat memberi tanda (stabilo, menggaris bawahi, atau memberi tanda tanya) pada bagian-bagian informasi yang dianggap penting dan merupakan jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat atau pada konsep yang tidak dimengerti; 4)Reflect (merefleksi), merupakan kegiatan memahami informasi yang ada. Tahap ini merupakan komponen yang essensial dari tahap sebelumnya (read). Selama membaca pada tahap read siswa tidak hanya mengingat atau menghafal saja, tetapi siswa memahami informasi yang ada. Pemahaman informasi tersebut dapat dilakukan dengan cara menghubungkan informasi tersebut dengan hal-hal yang telah ketahui, mengaitkan subtopiksubtopik dengan konsep-konsep yang utama, memecahkan kontradiksi di dalam informasi yang disajikan, dan menggunakan konsep tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang disimulasikan dari materi garis dan sudut. Tahapan ini dapat dilakukan dengan cara berdiskusi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kegiatan penggunaan bebibulan untuk memenuhi tahap reflect ini. Dengan harapan dapat memahamkan materi garis dan sudut, dengan menghubungkan konsep yang telah dibacanya dari informasi melalui kegiatan penggunaan bebibulan; 5)Recite (meresitasi, menceriterakan atau mengucapkan), merupakan tahapan mengingat kembali informasi yang telah dipelajari dengan cara membuat rangkuman (intisari) dari informasi yang telah ditandai serta dari hasil penggunaan bebibulan yang telah dilaksanakan. Setelah membuat rangkuman, siswa dapat menjawab pertanyaan yang sebelumnya telah diajukan dengan tidak melihat rangkuman, atau 1423
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
simbol-simbol penting yang ditonjolkan dalam materi garis dan sudut. Beberapa hasil penelitian yang dinyatakan oleh Djamarah (2008: 186) menunjukkan bahwa dengan resitasi, jumlah isi bacaan yang dapat siswa ingat setelah dua minggu dapat mencapai tiga kali lebih banyak (30%) daripada membaca tanpa resitasi (10%). Keuntungan lain dari dari resitasi adalah bahwa minat dan konsentrasi siswa terpelihara dengan baik; 6)Review (periksa ulang), menggambarkan kegiatan siswa untuk membaca rangkuman (intisari) yang telah dibuatnya, dan jika masih belum yakin akan jawaban dari pertanyaannya, siswa dapat membaca ulang bagian materi yang diperkirakan mengandung jawaban dari pertanyaan tersebut. Ahmad (2010: 71) menyatakan bahwa review membantu menyempurnakan kerangka pemikiran dalam suatu bab dan membangun daya ingat terhadap materi pada bab tersebut. Anderson (dalam Mohamad Nur, 1999: 47) menyatakan bahwa langkah-langkah di atas dapat menjadikan siswa sadar terhadap pengorganisasian informasi, sehingga dapat mengatur dirinya sendiri untuk memproses informasi secara lebih mendalam dengan elaborasi yang lebih besar. Jadi, dengan metode PQ4R, siswa tidak sekedar menghafal dan mengulang tanpa pemahaman makna (rote memorization), tetapi juga dapat melibatkan siswa pada proses berpikir mencari pemahaman makna dari informasi yang sedang dipelajari. Dengan demikian, siswa terlibat aktif dalam pembentukan atau konstruksi pengetahuan. Selanjutnya Mahayukti (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pembelajaran generatif dengan metode PQ4R dapat mereduksi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas II B SLTP Laboratorium IKIP Negeri Singaraja. Pada penelitian berbeda Patricia Moyer, Johnna Bolyard, dan Mark Spikell(2002: 373) menegaskan media pembelajaran atau alat peraga (Concrete Manipulatives) adalah alat yang dapat dimanipulasi untuk mengkonkritkan konsep-konsep matematika. Sesuai dengan taraf perkembangan berpikir siswa menurut Piaget ada empat yaitu: taraf berpikir konkrit, taraf berpikir semi konkrit, taraf berpikir semi abstrak, dan taraf berpikir abstrak.Batas-batas umur untuk tahap-tahap berpikir ini sangat relatif sifatnya, demikian pula dengansiswa kelas VII SMP, mereka masih perlu membayangkan hal-hal konkrit bila dihadapkan pada konsep-konsep matematika yang baru dipelajari. Bagi siswa kelas VII SMP materi garis dan sudut merupakan materi penting untuk dapat memahami materi matematika lainnya. Antara lain materi identifikasi sifat-sifat segitiga berdasarkan sisi dan sudut-sudutnya, materi identifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajar-genjang, belah ketupat dan layang-layang, pemecahan masalah yang berkaitan dengan besaran-besaran pada lingkaran, dan kesebangunan. Sehingga perlu menggunakan benda konkrit untuk membelajarkan materi garis dan sudut.Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Penerapan metode PQ4R berbantuan “Bebibulan” untuk memahamkan materi Garis dan Sudut pada Siswa Kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember. Adapun permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Bagaimana pelaksanaan metode PQ4R berbantuan bebibulan yang dapat memahamkan materi garis dan sudut pada siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember? Tujuan dalam penelitian ini untuk mendiskripsikan penerapan metode PQ4R berbantuan bebibulan yang dapat memahamkan materi garis dan sudut pada siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember. Penelitian ini difokuskan padaserangkaian proses yang dilakukan untuk menjadikan siswa memiliki pengertian yang mendalam, dalam hal ini tentang kedudukan dua garis, besar dan jenis sudut; serta memahami sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar berpotongan dengan garis lain. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena sumber data berupa data aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil angket respon siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersifat deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilakunya yang dapat diamati (Moleong, 2001:6). Namun demikian dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini digunakan, karena ada sebagian sumber data berupa angka-angka, yaitu data hasil observasi aktivitas guru, dan siswa serta data hasil tes akhir tindakan.
1424
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas.Masalah diangkat dari praktek pembelajaran keseharian yang benar-benar dirasakan oleh guru dan siswanya. Menurut Kemmis dan Mc Taggart (1998) penelitian tindakan adalah adanya tindakan berkelanjutan dari langkah-langkah yang berbentuk spiral, setiap langkah berisi perencanaan, pelaksanaan tindakan dan evaluasi, observasi dan refleksi. Pelaksanaan penelitian tindakan terdiri dari 4 tahap, yaitu: perencanaan (plan), melakukan tindakan (action), mengamati (observation), refleksi (reflection). Dalam penelitian ini peneliti berpartisipasi langsung dalam pembelajaran mulai awal sampai akhir kegiatan.Peneliti bertindak sebagai perencana, perancang, pelaksana, pengumpul data, penganalisis data dan pelapor penelitian. Rancangan penelitian ini diambil berdasarkan masalah yang diangkat terjadi dalam situasi nyata, yaitu kurang maksimalnya pembelajaran untuk pemahaman siswa. Berdasarkan rumusan masalah yang dimaksudkan sebagai jalan keluar untuk memperbaiki pembelajaran sebelumnya.Rancangan penelitian yang dipandang sesuai adalah rancangan penelitian tindakan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi: Hasil validasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa, lembar tes. Hasil pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Hasil tes awal dan tes akhir setelah tindakan Data penelitian dikumpulkan secara alamiah dari sumbernya. Sumber data dalam penelitian ini, yaitu validator, guru, dan seluruh siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember semester dua tahun pelajaran 2012/2013 yang mengikuti pembelajaran garis dan sudut. Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Data hasil validasi, diperoleh dari validator terhadap instrumen pembelajaran yang telah disusun oleh peneliti. Validator yang dipilih adalah dosen atau guru yang berkompeten dibidangnya; 2) Data hasil observasi, dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas peneliti sebagai pengajar dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan oleh 2 (dua) orang guru matematika SMPN 2 Tanggul Jember; 3) Data hasil tes, yaitu: tes awal dan tes akhir. Tes awal dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa, untuk pembentukan kelompok dan juga untuk mengetahui kemampuan awal siswa terkait dengan materi prasyarat. Tes akhir dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan materi dan untuk mengetahui peningkatan pemahaman siswa terhadap materi garis dan sudut setelah pembelajaran, selanjutnya dianalisis guna malakukan refleksi pada tindakan selanjutnya; 4) Wawancara, adalah percakapan antara peneliti dengan siswa selaku subjek penelitian, untuk mendapatkan informasi pemahaman siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul mempelajari materi garis dan sudut menggunakan bebibulan dengan metode PQ4R; 5) Catatan lapangan, dimaksudkan untuk melengkapi data yang tidak terekam dalam lembar observasi dan bersifat penting sehubungan dengan kegiatan pembelajaran. Teknik pembuatan media bebibulan Alat dan bahan yang diperlukan Alat
Tabel 1. Alat dan bahan pembuatan bebibulan Bahan
Busur derajat, gergaji kayu, staples, patar, tata, Kayu lis, kertas amplas, paku tripleks, gunting, penggaris 40 cm, cutter, tang, palu, kasiplas, benang siet warna-warni, bandul, cat kuas. warna, tiner, lem kayu. Pines pentul
Kasiplas 25 cm benang bandul 20 cm
Gambar 1. Skema bebibulan
1425
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Langkah kerja membuat media bebibulan - Potonglah kayu lis (lebar 3 cm) dengan gergaji potong sepanjang 20 cm sebanyak 3 (tiga) dan sepanjang 25 cm sebanyak 2 (dua) potong. - Bentuklah potongan kayu lis menjadi bingkai dengan ukuran 20cm x 25cm (gambar 2) menggunakan lem kayu. Rata dan haluskan permukaan bingkai dengan menggunakan patar dan kertas amplas, setelah itu dicat (gambar 2).
Gambar 2. Benang siet, kayu lis yang telah dibentuk menjadi bingkai, busur derajat, dan bandulan (dari kiri)
-
Bebibulan siap digunakan sebagai media pembelajaran untuk menjelaskan secara konkrit materi garis dan sudut. Model titik pada bebibulan menggunakan pines pentul berwarna, misal: pines warna biru melambangkan titik B, warna hijau melambangkan titik H, warna kuning melambangkan titik K, warna merah melambangkan titik M, dan warna putih melambangkan titik P.
Prinsip-prinsip penggunaan bebibulan Memperjelas pengertian kedudukan dua garis Titik Kedudukan titik pada penggunaan bebibulan menggunakan pines pentul berwarna, pines pentul warna biru melambangkan titik B, warna hijau melambangkan titik H, warna kuning melambangkan titik K, warna merah melambangkan titik M, warna putih melambangkan titik P, dan pines pentul warna hitam melambangkan titik T. M
B
●B M●
P
K ●K
P●
Gambar 3. Bebibulan untuk titik-titik B, K, M, dan P (kiri)
Ruas garis - Tancapkanlah pines pentul warna merah (M), dengan jarak tertentu tancapkanlah pines pentul warna putih (P) pada permukaan bingkai (kasi plas). - Hubungkanlah M dan P dengan seutas benang siet, usahakan benang siet selalu dalam keadaan lurus sehingga diperoleh ruas garis MP ditulis 𝑀𝑃.(gambar 4)
M● B● H●
𝑘
●P ●K ●M
Gambar 4. Bebibulan untuk ruas garis MP, BK, dan HM (kiri)
1426
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dua garis berpotongan - Buatlah ruas garis MP pada permukaan bingkai. - Tancapkanlah pines warna biru (B) dan pines warna kuning (K) saling berseberangan diluar ruas garis MP. - Hubungkanlah B dan K dengan seutas benang siet, sehingga ruas garis BK memotong ruas garis MP. - Tancapkanlah pines pentul warna hijau (H) tepat pada perpotongan kedua ruas garis MP dan BK. - Jadi dua garis MP dan BK disebut berpotongan, jika dan hanya jika kedua garis bersekutu hanya pada satu titik saja, yaitu titik H.
𝑘
M● ●K ● H
B●
a
●P
b
B● Gambar 5. Bebibulan untuk dua garis berpotongan (a dan b) ●
●H
P
Dua garis berimpit - Buatlah ruas garis pada permukaan bingkai, misal ruas garis MP. - Tancapkanlah pines pentul warna hijau (H) di sisi kiri ruas garis MP, dan pines pentul warna Kuning (K) di sisi kanan ruas garis MP. Hubungkanlah H dan K dengan seutas benang siet sehingga melalui ruas garis MP. - Jadi dua garis dan yang terletak pada satu bidang datar disebut berhimpit, jika dan hanya jika kedua garis itu memiliki paling sedikit dua titik potong (dua titik persekutuan), yaitu titik M dan titik P. ● M H●
● P
● M
● P
●K
Gambar 7. Bebibulan untuk dua garis berimpit (tengah).
Dua garis sejajar - Tancapkan pines pentul warna kuning (K) pada permukaan bingkai. - Buatlah bandulan, ikat atau lilitkan ujung benang bandulan pada K, diperoleh ruas garis vertikal 𝑘. - Tancapkanlah pines pentul warna merah (M) pada permukaan bingkai. - Buatlah bandulan, ikat atau lilitkan ujung benang bandulan pada M, diperoleh ruas garis vertikal 𝑚. - Jadi diperoleh dua ruas garis vertikal sejajar, yaitu garis 𝑘 sejajar garis 𝑚. - Jadi dua garis vertikal 𝑘 dan 𝑚, disebut sejajar (dinotasikan dengan 𝑘 ∥ 𝑚 ), jika dan hanya jika kedua garis tidak memiliki titik sekutu. 𝑘
𝑚
Gambar 8. Bebibulan untuk dua garis vertikalsejajat 𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒎 (tengah).
1427
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Memperjelas keakuratan pengukuran besar sudut dan membedakan jenis- jenis sudut (lancip, siku, tumpul) Pengukuran besar sudut - Letakkanlah busur derajat pada permukaan bingkai, tancapkan pines pentul B tepat pada pusat busur derajat. (gambar 9). - Tancapkanlah pines pentul K tepat pada angka 0 (nol) busur derajat, hubungkan B dan K dengan benang siet diperoleh kaki sudut BK tepat menunjuk pada angka 0 (nol) busur derajat. (gambar9). - Tancapkanlah pines pentul M tepat pada angka 50 busur derajat, hubungkan B dan M dengan benang siet diperoleh kaki sudut BM tepat menunjuk pada angka 50 busur derajat. (gambar 9). - Jadi besar sudut lancip KBM adalah 50 derajat atau ditulis 𝑢 ∠𝐾𝐵𝑀 = 𝑢 ∠𝑀𝐵𝐾 = 50°
●M
50° ●K
B●
Gambar 9. Bebibulan untuk sudut lancip 𝒖 ∠𝑴𝑩𝑲 = 𝟓𝟎° (tiga dari kiri)
Pasangan sudut yang saling berpelurus (bersuplemen) - Letakkanlah busur derajat pada permukaan bingkai, tancapkan pines pentul P tepat pada pusat busur derajat. - Tancapkanlah pines pentul M tepat pada angka 0 (nol) dan pines pentul K pada angka 180 busur derajat, M dan K hubungkan dengan benang siet melalui P diperoleh sudut lurus KPM tepat menunjuk pada angka 0 dan 180. - Tancapkanlah pines pentul B tepat pada angka 70 busur derajat, P dan B hubungkan dengan benang siet diperoleh kaki sudut PB tepat menunjuk pada angka 70 busur derajat. Sehingga diperoleh 𝑢 ∠𝑀𝑃𝐵 = 110° dan 𝑢 ∠𝐵𝑃𝐾 = 70° . - Jadi pasangan sudut MPB dan sudut MBH saling berpelurus, jika dan hanya jika jumlah dua sudut tersebut adalah 180° atau 𝑢 ∠𝑀𝑃𝐵 + 𝑢 ∠𝐵𝑃𝐾 = 110° + 70° = 180° . ●B
110° 70° ● P
● M
● K
Gambar 10. Bebibulan untuk pasangan sudut saling berpelurus (kiri)
Pasangan sudut yang saling berpenyiku (berkomplemen) - Letakkanlah busur derajat pada permukaan bingkai, tancapkan pines pentul B tepat pada pusat busur derajat. - Tancapkanlah pines pentul K tepat pada angka 0 (nol) busur derajat, B dan K hubungkan dengan benang siet melalui diperoleh kaki sudut BK tepat menunjuk pada angka 0 busur derajat. - Tancapkanlah pines pentul H tepat pada angka 55 busur derajat, B dan H hubungkan dengan benang siet diperoleh kaki sudut BH tepat menunjuk pada angka 55 busur derajat. Sehingga diperoleh 𝑢 ∠𝐾𝐵𝐻 = 55° . - Tancapkanlah pines pentul M tepat pada angka 90 busur derajat, B dan M hubungkan dengan benang siet diperoleh kaki sudut BM tepat menunjuk pada angka 90 busur derajat. Sehingga diperoleh sudut KBM siku atau 𝑢 ∠𝐾𝐵𝑀 = 90° .
1428
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
-
Jadi pasangan sudut KBH dan sudut HBM saling berpenyiku, jika dan hanya jikajumlah dua sudut tersebut adalah 90° atau 𝑢 ∠𝐾𝐵𝐻 + 𝑢 ∠𝐻𝐵𝑀 = 55° + 35° = 90° . M
H 35°
55°
K
B
Gambar 11. Bebibulan untuk pasangan sudut saling berpenyiku (kiri)
Memperjelas pengertian sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis berpotongan, dan dua garis sejajar dipotong garis lain Pengertian sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis berpotongan. - Tancapkanlah pines pentul B dan pines pentul H, hubungkan B dan H dengan seutas benang siet sehingga diperoleh ruas garis BH. - Tancapkanlah pines pentul M dan pines pentul K, di luar ruas garis BH hubungkan M dan K dengan seutas benang siet sehingga diperoleh ruas garis MK memotong ruas garis BH. - Tancapkanlah pines pentul P tepat pada perpotongan ruas garis MK dan ruas garis BH. sehingga diperoleh 4 (empat) daerah sudut. Setiap dua sudut yang tidak berdampingan yaitu ∠𝐾𝑃𝐻 dan ∠𝐵𝑃𝑀; ∠𝐵𝑃𝐾 dan ∠𝑀𝑃𝐻 disebut sudut bertolak belakang. - Gunakanlah busur derajat untuk menyelidiki bahwa 𝑢 ∠𝐾𝑃𝐻 = 𝑢 ∠𝐵𝑃𝑀 dan 𝑢 ∠𝐵𝑃𝐾 = 𝑢 ∠𝑀𝑃𝐻. Pasangan sudut yang bertolak belakang besarnya sama. K● ●H 1 3
2
1
● 3 P
4
2 4
B●
M●
Gambar 12. Bebibulan untuk sifat-sifat sudut yang terbentuk, jika dua garis berpotongan (kiri) (𝒖∠𝑩𝑷𝑲 = 𝒖∠𝑴𝑷𝑯; 𝒖∠𝑲𝑷𝑯 = 𝒖∠𝑩𝑷𝑴atau 𝒖∠𝟏 = 𝒖∠𝟒; 𝒖∠𝟐 = 𝒖∠𝟑)
Model sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar dipotong garis lain. - Tancapkan pines pentul warna kuning (K) pada permukaan bingkai (kasi plas). - Buatlah bandulan dan ikat atau lilitkan ujung benang bandulan pada K, diperoleh model ruas garis vertikal 𝑘. - Tancapkan pines pentul warna merah (M) pada permukaan bingkai (kasi plas). - Buatlah bandulan dan ikat atau lilitkan ujung benang bandulan pada M, diperoleh model ruas garis vertikal 𝑚. - Diperoleh model ruas garis vertikal 𝑘 sejajar model ruas garis vertikal 𝑚. - Tancapkanlah pines pentul P dan B, di antara dua ruas garis sejajar 𝑘 dan 𝑚. - Hubungkanlah P dan B dengan benang siet, diperoleh ruas garis PB memotong dua ruas garis sejajar 𝑘 dan 𝑚. - Tancapkanlah pines pentul warna hitam (T) dan pines pentul warna hijau (H) tepat pada masing-masing perpotongan dua ruas garis sejajar 𝑘 dan 𝑚. - Diperoleh 8 (delapan) daerah sudut, untuk memudahkan penyelidikan beri nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 pada masing-masing daerah sudut (gambar 3.12). - Dengan busur derajat dapat diketahui 6 (enam) sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar dipotong garis lain. Sudut berseberangan luar, 𝑢 ∠1 = 𝑢 ∠8, dan 𝑢 ∠3 = 𝑢 ∠6, Sudut berseberangan dalam, 𝑢 ∠2 = 𝑢 ∠7, dan 𝑢 ∠4 = 𝑢 ∠5, Sudut luar sepihak, 𝑢 ∠1 = 𝑢 ∠5, dan 𝑢 ∠3 = 𝑢 ∠7, Sudut dalam sepihak, 𝑢 ∠2 + ∠5 = 1800 , dan 𝑢 ∠3 + ∠8 = 1800 , 1429
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sudut bertolak belakang, 𝑢 ∠1 = 𝑢 ∠4, dan 𝑢 ∠2 = 𝑢 ∠3, Sudut bertolak belakang, 𝑢 ∠5 = 𝑢 ∠8, dan 𝑢 ∠6 = 𝑢 ∠7. 𝑚
𝑘 6 25 7 8 3 4
●B
1
1
B●
2
4
5
6
● 8 7P
3 P●
Gambar 3.13. Bebibulan untuk sudut yang terbentuk jika, dua garis sejajar dipotong garis lain (𝒖∠𝟏 = 𝒖∠𝟓 (sehadap); 𝒖∠𝟐 = 𝒖∠𝟕 (dalam beseberangan))
Penggunaanmedia bebibulan dalam pembelajaran Kegiatan siswa selama pembelajaran - Membuat model dan menjelaskan kedudukan dua garis. - Mengukur besar sudut dan membedakan jenis-jenis sudut (lancip, siku, tumpul). - Membuat model dan menemukan sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis berpotongan. - Membuat model dan menemukan sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar dipotong garis lain. - Mencatat data hasil pengukuran ke dalam lembaran yang telah disediakan - Menginformasikan secara logis keakuratan hasil pengukuran dan perhitungan yang dihasilkan. - Menyimpulkan hasil pengamatan dan pengukuran garis dan sudut menggunakan bebibulan Pedoman penilaian penggunaan bebibulan Tabel 2. Pedoman Penilaian PenggunaanBebibulan
NO. 1.
Kegiatan PERSIAPAN Kelengkapan alat dan bahan bebibulan
2.
PELAKSANAAN 1. Menggunakan bebibulan sesuai dengan petunjuk penggunaan. 2. Urutan membuat model menggunakan bebibulan sesuai tahapan metode PQ4R 3. Membuat model menggunakan bebibulan sesuai dengan lembar kerja. HASIL 1. Model yang dihasilkan tidak akurat dan tidak disertai ukuran. 2. Model yang dihasilkanakurat dan tidak disertai ukuran. 3. Model yang dihasilkanakuratdan
3.
Rentang Skor 1-3 3 = lengkap 2 = kurang lengkap 1 = tidak lengkap 1-3 3 = benar 2 = kurang benar 1 = tidak benar 1-3 3 = sesuai 2 = kurang sesuai 1 = tidak sesuai 1-3 3 = model sesuai 2 = model kurang sesuai 1 = model tidak sesuai 1-3 3 = model akurat 2 = model kurang akurat 1 = model tidak akurat
1430
Bobot 10
Nilai Akhir SP x Bobot SM
40
SP x Bobot SM
30
SP x Bobot SM
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
disertai ukuran. 4.
KERJASAMA 1. Tidak ada kerjasama dalam kelompok. 2. Kurang menghargai pendapat anggota kelompok. 3. Menghargai pendapat anggota dan bekerjasama dalam kelompok Keterangan: SP: Skor perolehan; SM: Skor maksimum; SP terendah = 6; SP tertinggi = 18
1-3 3 = Kelompok bekerjasama 2 = Kelompok kurang bekerjasama 1 = Kelompok tidak bekerjasama
20
SP x Bobot SM
Hasil Penelitian Data penelitian ini menunjukkan hasil catatan lapangan yang dilakukan oleh dua orangobservermasing-masing meliputi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Menurut pengamat 1 jumlah aktivitas guru yang dilakukan pada siklus I (terdiri dari pertemuan I dan II) 15 adalah 15 aktivitas dari 16 aktivitas. Jadi besar persentase: × 100% = 93,75%. Menurut 16
15
pengamat 2 jumlah aktivitas yang dilakukan siswa juga 15, sehingga besar persentase : 16 × 100% = 93,75%. Dari kedua pengamat dapat disimpulkan bahwa aktivitas peneliti dalam pembelajaran, menurut kriteria yang telah ditetapkan dalam kategori sangat baik. Demikian juga, dari deskripsi tindakan siswa yang di tulis oleh pengamat menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam menerapkan metode PQ4R berbantuan bebibulan selama mengikuti pembelajaran dalam kategori sangat baik. Berdasarkan hasil analisis data observasi terhadap kegiatan guru dan siswa dapat disimpulkan bahwa kegiatan peneliti dalam mengajar dan kegiatan siswa dalam belajar sudah sangat baik. Walaupun masih ada 1 aktivitas peneliti sebagai guru, menurut pengamat 1 dan 2 tidak terlaksana, yaitu siswa tidak mengumpul- kan hasil LKS 1. Hal ini terjadi karena penelitian ingin mengumpulkan hasil LKS 1 dan LKS 2 secara bersamaan, dengan tujuan bahwa untuk menyelesaikan LKS 2 siswa masih memerlukan LKS 1. Kegiatan refleksi dilakukan untuk menentukan apakah siklus I sudah berhasil atau belum. Hasil observasi dari dua orang pengamat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan sangat baik. Sedangkan dari hasil tes akhir siklus I, diperoleh data bahwa 81,25% dari 32 orang siswa atau 26 orang siswa mendapat skor ≥ 75, dengan nilai rata-rata kelas 79,36. Dengan demikian kriteria keberhasilan tindakan yang ditentukan yaitu 85% siswa mendapat skor ≥ 75, belum terpenuhi. Sedangkan hasil wawancara dari empat subjek, diperoleh data mengenai respon terhadap pembelajaran, semua subjek menyatakan senang, tertarik, tertantang, dan termotivasi atau memenuhi kriteria positif. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian pada siklus I, belum memenuhi kriteria keberhasilan penelitian yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil refleksi dari data yang diperoleh pada siklus I, ditentu- kan rencana perbaikan pada RPP dan LKS untuk siklus II sebagai berikut: 1) Perbaikan RPP ditekankanpada kegiatan intiproses pembelajaran,yaitu memberi tambahan waktu pada tahap merefleksi (reflect) dari 10 menit menjadi 15 menit, dan meresitasi (recite) dari 10 menit menjadi 15 menit, dan untuk tahap periksa ulang (review) tetap 10 menit; 2) Pada tahap refleksi, meminta siswa untuk lebih teliti membaca informasi pada LKS, bekerja tepat waktu, fokus pada pertanyaan/soal yang disimulasikan. Siswa berkemampuan tinggi diminta aktif bekerja sama, dan membantu temannya yang mengalami kesulitanmemahami informasi/materi pada LKS; 3) Pada tahap resitasi, memberi kesempatan lebih banyak kepada siswa berkemampuan rendah, untuk mengkomunikasikanhasil kerjanya dalam diskusi kelompok; 4) Meminta semua kelompok untuk aktif dalam diskusi kelas.
1431
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kegiatan observasi difokuskan terhadap aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Proses pengamatan dilakukan terhadap aspek yang muncul, yaitu dengan mengisi lembar observasi yang telah disediakan, kemudian lembar observasi tersebut akan dianalisis dengan menggunakan persentase, yaitu dengan menghitung banyaknya aktivitas yang dilakukan dibagi dengan banyaknya aktivitas yang tersedia dikalikan 100 %. Data hasil observasi dari dua observer terhadap aktivitas guru selama kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan selama penelitian dapat disimpulkan bahwa pengamat I dan pengamat II menjelaskan bahwa jumlah aktivitas guru yang dilakukan dalam kegiatan 16 pembelajaran adalah 16 aktivitas dari 16 aktivitas dengan prosentase 16 x100 % = 100 % dan sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan adalah sangat baik. Demikian pula dengan data hasil observasi terhadap aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang dapat diamati oleh pengamat sesuai dengan pedoman pada lembar observasi yang telah disediakan dapat dijelaskan bahwa pengamat 1 dan pengamat 2 menyimpulkan bahwa jumlah aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran adalah 16 aspek yang dilaksanakan dari 16 16 aspek yang diamati, diperoleh jumlah aktivitas dari kedua pengamat adalah 16 x 100 % = 100 %, dan sesuai dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditetapkan aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan termasuk dalam kategori sangat baik.Jadi dari hasil analisis data observasi terhadap aktivitas guru dan siswa dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran dapat berlangsung dengan sangat baik sesuai dengan yang direncanakan. Berdasakan hasil tes akhir siklus II, diperoleh data sebagai berikut : Peserta tes akhir siklus II hadir 32 orang, siswa yang telah memperoleh skor ≥ 75 sebanyak 30 orang siswa, dan 2 orang siswa mendapat skor < 75, skor rata-rata 85,38. Setelah dihitung maka persentase keberhasilan tes akhir siklus II mencapai 93,75 %. Dengan demikian sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian yang telah ditetapkan, yaitu jika ≥ 85% untuk siswa yang mendapat skor ≥ 75, maka ketuntasan secara klasikal berdasarkan hasil tes akhir dikatakan sudah berhasil. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama kegiatan pembelajaran terlihat bahwa umumnya respon siswa positif yaitu siswa senang, aktif, tertarik, termotivasi dan antusias dalam mengikuti proses pembelajaran (diskusi). Kegiatan pembelajaran melalui diskusi kelompok sudah terlaksana dengan baik, siswa aktif berdiskusi dalam mengerjakan tugas yang diberikan pada setiap kelompok, akan tetapi pada saat presentasi umumnya tidak banyak lagi pertanyaan karena secara umum langkah-langkah pembelajaran pada siklus II sama dengan langkahlangkah pembelajran pada siklus I Sesuai dengan paparan data di atas, berikut ini dikemukakan beberapa temuan selama penelitian:1) Pada awal penelitian siswa kelihatan bingung terhadap penerapan metode PQ4R berbantuan bebibulan. Setelah beberapa kali pertemuan mereka terbiasa dengan metode dan media tersebut. Pembelajaran dapat berlangsung dengan sangat baik. Bahkan mereka dapat membuat pertanyaan sesuai dengan informasi pada LKS; 2) Berdasarkan hasil kerja siswa dalam mengajukan pertanyaan dapat dilihat bahwa mereka telah dapat mengajukan pertanyaan dengan baik walaupun dari segi bahasa masih perlu perbaikan. Pertanyaan/soal buatan siswa pada siklus I meliputi remember (C1),understan (C2),dan apply (C3). Pada siklus II pertanyaan/soal yang diajukan siswa meliputi understan (C2), dan apply (C3). Hal ini menunjukkan bahwa pada siklus kedua, mereka sudah lebih banyak memahami informasi yang diberikan berbekal dari pengalaman pada siklus I; 3) Pada tahap penerapan dapat dilihat bahwa rata-rata siswa dapat menggunakan bebibulan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan garis dan sudut. Hal ini dilihat dari hasil kerja mereka yang rata-rata sudah benar; 4) Dari hasil pengamatan kegiatan siswa pada LKS 4 pada siklus I dan LKS 6 pada siklus II. Setiap siswa diminta membuat pertanyaan/soal untuk diselesaikan oleh teman sebangkunya, tampak bahwa setiap siswa saling berkompetisi dan berusaha membuat soal yang menurutnya sulit namun soal tersebut masih berkaitan dengan informasi pada LKS. Rata-rata siswa dapat menyelesaikan soal buatan temannya; 5) Terjadinya peningkatan pemahaman terhadap materi garis dan sudut dalam kegiatan pembelajaran, baik dari segi proses maupun hasilnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi, wawancara dan rata-rata skor tes akhir tindakan; 6) Dilihat dari hasil wawancara terhadap 4 siswa diperoleh data mengenai respon siswa terhadap pembelajaran dengan metode PQ4R berbantuan bebibulan, semua siswa mengatakan senang, 1432
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
suka, termotivasi dan tertantang dalam pembelajaran atau dengan kata lain memenuhi kategori sangat positif; 7) Pemahaman terhadap materi garis dan sudut, rata-rata siswa menyatakan dapat memahami materi tersebut. Sedangkan kesalahan memahami informasi, selama proses pembelajaran dapat segera diperbaiki dan dikurangi (direduksi). PEMBAHASAN Penyajian materi pembelajaran diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator yang tertulis di RPP.Hal ini penting disampaikan kepada siswa, seperti dikatakan Dahar (1998:74) bahwa, memberitahukan tujuan pembelajaran dapat membentuk siswa untuk mengaktifkan motivasi dan memusatkan perhatian terhadap aspek-aspek yang relevan terhadap pembelajaran. Melalui tanya jawab peneliti berusaha memancing kreativitas siswadengan memberikan contoh, permasalahan kontekstual untuk diselesaikan dengan menggunakan konsep garis dan sudut. Pada tahap pembagian kelompok, awalnya semua siswa menginginkan pembentukan kelompok sesuai dengan yang mereka inginkan.Setelah peneliti menjelaskan, bahwa pembentukan kelompok harus heterogen baik kemampuan akademik, jenis kelamin maupun etnis, maka semua siswamemahaminya dan selanjutnya pembentukan kelompok sesuai yang diharapkan peneliti tanpa ada siswayang keberatan.Seperti halnya dikatakan Nur (1998:4) bahwa dalam pembelajaran kelompok (kooperatif) siswasaling memotivasi untuk belajar, saling memperkuat upaya-upaya akademik dan menerapkan norma yang menerapkan pencapaian hasil belajar yang tinggi. Di samping bebibulan peneliti juga menggunakan LKS untuk dikerjakan siswasecara berkelompok,kemudian dipresentasikan oleh kelompok yang ditunjuk oleh peneliti. Pada LKSyang memuat petunjuk, materi pokok/informasi serta diberi tempat untuk mengisikan nama anggota kelompok dan ketua. Setiap anggota kelompok bertanggungjawab atas penyelesaian LKS yang telah didiskusikan masing-masing kelompok. Tanggungjawab ini juga memacu semangat berkompetisi dengan kelompok lainnya yang akan ditampilkan dalam presentasi di depan kelas. Rick Wormell (2011: 184) menyatakan bahwa informasi dalam bentuk tabel mudah untuk diajarkan dan digunakan, dan teknik ini adalah salah satu yang siswa akan ingat dan gunakan di masa depan mereka. Teknik ini dapat berhasil dengan siswa dari berbagai kemampuan termasuk yang mempunyai kesulitan belajar. Pada pertemuan pertama siklus I masih dibutuhkan waktu untuk beradaptasi antar anggota kelompok karena mereka baru pertama kali melaksanakan belajar kelompok dalam pembelajaran matematika.Pada pertemuan pertama terdapat beberapa siswayang tidak berkonsentrasi mengikuti pembelajaran. Waktu penelitimenanyakan atas materi yang telah disampaikan, yaitu tentang kedudukan dua garis, ternyata mereka tidak tanggap sama sekali. Menurut peneliti, merekabelum punya motivasi dalam belajar. Ketikapeneliti tanya, mereka menyatakan bahwa belum tahu apa yang harus dikerjakan dalam kelompok. Selanjutnya guru menjelaskanbahwa tugas kelompok adalah tugas bersama bukan tugas individu. Peneliti kemudian meminta agar semua anggota kelompok aktif dalam diskusi kelompok,dan saling memotivasi temannya dengan cara menanyakan pemahaman materi/informasi apa yang perlu dibantu. Pada pertemuan berikutnya,siswa sudah mulaiaktif berdiskusi karena motivasi dari sesama anggota kelompoknya. Sesuai yang dikatakan Asma (2006) bahwa pembelajaran kelompok dapat menyebabkan unsur-unsur psikologis siswamenjadi terangsang dan menjadi lebih aktif. Sebaliknyadua orang dari kelompok 1 terlihat masih canggung saatdiskusi kelompok. Mereka hanya diam saja seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakan saat belajar kelompok, sedangkan yang terlihat aktif bekerja hanya siswaberkemampuan tinggi. Setelah peneliti tanyakan, dua orang siswa tersebutmenyatakan bahwa tugas kelompok sudah dikerjakan oleh siswa yang berkemampuan tinggi, sehinggamereka tinggal menyalin saja hasilnya. Setelah diberi penjelasan bahwa semua anggota kelompok harus aktif mengerjakan LKS dan berdiskusi, maka pada pertemuanselanjutnyadua orang siswa tersebut sudah terlihat aktif, terjalin kerjasama tanpa ada rasa canggung, bahkan mereka sangat antusias. Pada setiap pertemuan peneliti menunjuk dua kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Pada saat kelompok tiga mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, anggota kelompok lain memberi tanggapan yaitu dari kelompok tujuh. Tanggapan disampaikan dengan sopan dengan mengacungkan tangan terlebih dahulu dan diberi kesempatan oleh
1433
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
guru.Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Slavin (1995:78) bahwa anggota kelompok boleh saling berbicara secara sopan dan saling menghargai. Pada saat belajar berkelompok, peneliti memberikan keleluasaan penuh kepada siswauntuk berdiskusi. Saat berkeliling, peneliti memberi kesempatan kepada tiap anggota kelompok yang menemui kesulitan untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas baik tentang materi maupun informasi pada LKS.Terdapat kaitan yang erat antara kekompakan dalam diskusi kelompok dan prestasi yang diperoleh di akhir siklus baik individu maupun kelompok.Pada sikluspertama kelompok tiga sangat kompak dalam berdiskusi kelompok.Siswayang berkemampuan rendah yaitu sangat aktif bertanya kepada teman satu kelompoknya.Sedemikian rupa sehingga siswa tersebut bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi. Keempat anggota kelompok tersebut aktif berdiskusi dan kompak dalam mengerjakan tugas kelompok.Pada akhir siklus pertama, dua dari empat anggota kelompok tiga memperoleh peningkatan skor dari skor tes awal.Untuk dua anggota kelompok yang laintidak mengalami perubahan, sedangkan satu orang siswa mengalami penurunan skor karena kurang teliti. Pemahaman Siswaterhadap Materi Garis dan Sudut Selama penelitian berlangsung, siswatelah banyak belajar dalam memahami materi garis dan sudut pada saat belajar berkelompok sebanyak empat kali dengan menerapkan metode PQ4R berbantuan bebibulan. Melalui diskusi mereka telah mendapatkan pengetahuan baik dari teman, guru, maupun pengetahuan yang dibangunnya sendiri. Selanjutnya pengetahuan yang telah dimiliki ini digunakan untuk menyelesaikan tes individual.Dalam kenyataannya terdapat siswayang berkemampuan rendah dengan daya ingat yang lemah, sehingga materi yang sudah dipelajari pada diskusi kelompok tidak menjadikan jaminan dia dapat menyelesaikan tes individual dengan baik. Menurut Vygotsky (1978), siswayang banyak mengalami kesulitan mempunyai daerah perkembangan terdekat (zpd) yang lebar. Karena itulah mereka membutuhkan banyak bantuan.Dalam penelitian ini siswayang mempunyai banyak kesulitan yaitu BW dari kelompok enam banyak mendapatkan bantuan dari teman sesama anggota kelompoknya maupun dari guru.Saat tes akhir siklus dia berhasil melampaui kriteria keberhasilan dengan baik. Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan siswaadalah ketelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan peserta didik, kebanyakan kesalahan yang membuat skor tidak sempurna adalah tidak teliti. Penyebab ketidaktelitian antara lain pembawaan dalam keseharian yang sering teledor, tergesa-gesa, kekurangan waktu dalam mengerjakan tes, atau faktor psikologis yang membuat kurangnya rasa percaya diri. Melalui wawancara, peneliti mengetahui sejauh mana pemahaman siswaterhadap materi garis dan sudut.Siswaberkemampuan tinggi dan dua siswaberkemampuan sedang bisa menjawab pertanyaan tentang materi garis dan sudut dengan baik. Untuk mengetahui pemahaman materi garis dan sudutpeneliti mewawancarai siswaberkemampuan rendah, ternyata jawabannya masih kurang sempurna terutama pada pegunaan operasi bentuk aljabar dalam sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar dipotong garis lain. Setelah diingatkan kembali oleh peneliti, dia bisa ingat kembali materi yang ditanyakan peneliti. Secara umum keempat responden menyatakan senang, suka, termotivasi, dan tertantang selama mengikuti proses pembelajaran atau memenuhi kriteria sangat positif. Terhadap penggunaan bebibulan, rata-rata mereka menyatakan dapat belajar materi garis dan sudut secara lebih nyata (konkrit). Sedangkan dengan metode PQ4R, mereka menyatakan dapat belajar membuat soal sendiri dengan teman sejawat, sehingga kesalahan dapat segera diketahui dan diperbaiki atau dikurangi (direduksi). Peningkatan skor rata-rata tes siswa dan ketuntasan klasikal masing-masing sebesar 7,21% dan 15,39%. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah penerapan metode PQ4R berbantuan bebibulan siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember dapat memahami materi garis dan sudut. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data dan pembahasan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Penerapan metode PQ4R berbantuan bebibulan yang dapat memahamkan siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember terhadap materi garis dan sudut adalah:(1) siswa memahami selintas (preview) informasi yang ada dalam LKS untuk menentukan kedudukan dua garis, ukuran sudut, dan membedakan jenis-jenis sudut (lancip, siku, tumpul) serta bekerja sesuai petunjuk, (2) siswa atau kelompok mengajukan pertanyaan/soal (question) berdasarkan 1434
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
informasi yang tersedia pada LKS, (3) siswa membaca (read) dengan teliti informasi pada LKS sebelum menyelesaikan pertanyaan/soal buatannya sesuai dengan langkah-langkah yang ditentukan, tentang garis dan sudut yang baru mereka pelajari, (4) siswa memahami informasi dengan merefleksi (reflect) untuk menyelesaikan pertanyaan/soal yang simulasikan sesuai dengan langkah-langkah yang ditentukan pada LKS, (5) siswa meresitasi (recite) atau mengingat kembali informasi yang dipelajari dengan cara mendiskripsikan atau mempresentasikan hasil kerjanya dan berdiskusi dengan kelompok lain;dan (6) siswa memeriksa ulang (review) rangkuman (intisari) dan hasil pekerjaan masing-masing, bila perlu membaca ulang informasi pada LKS, serta membetulkan apabila ada selesaian yang diyakini belum benar; 2) Pemahaman siswa terhadap materi garis dan sudut. Penerapan pembelajaran penggunaan bebibulan dengan metode PQ4R dapat memahamkan siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember terhadap materi garis dan sudut dengan rata-rata hasil tes akhir siklus kedua (85,38) lebih tinggi dari pada rata-rata hasil tes akhir siklus pertama (79,64).Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan catatan lapangan ternyata (1) Siswa terampil menerapkan metode PQ4R berbantuan bebibulan untuk menentukan kedudukan dua garis, keakuratan pengukuran besar sudut dan membedakan jenis-jenis sudut (lancip, siku, tumpul), sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis berpotongan, dan sifat-sifat sudut sudut yang terbentuk jika dua garis sejajar berpotongan dengan garis lain, sehingga miskonsepsi memahami materi garis dan sudut dapat direduksi; (2) respon siswa terhadap pembelajaran penggunaan bebibulan dengan metode PQ4R, sangat positif artinya siswa tertarik, termotivasi, aktif, senang, serta antusias, karena materi garis dan sudut dapat dipelajari secara lebih konkrit. (3) skor tes siswa pada siklus pertama diperoleh skor rata-rata 79,64 dengan ketuntasan klasikal sebesar 81,25%, pada siklus kedua diperoleh skor rata-rata 85,38 dengan ketuntasan klasikal sebesar 93,75% dari 32 orang siswa. Peningkatan skor rata-rata tes siswa dan ketuntasan klasikal masing-masing sebesar 7,21% dan 15,39%. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah proses pembelajaran dengan menerapkan metode PQ4R berbantuan bebibulan, siswa kelas VII B SMPN 2 Tanggul Jember dapat memahami materi garis dan sudut. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini maka dikemukakan saransaran:1) Kepada guru agar mengembangkan media bebibulan lebih lanjut sebagai media alternatif pembelajaran matematika khususnya materi garis dan sudut, karena dapat membuat siswa aktif dan termotivasi dalam belajar. Belajar dengan media dapat membantu siswa untuk lebih mudah memahami materi tersebut, sehingga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal. Serta lebih bertanggung jawab atas pekerjaannya yang pada akhirnya meningkatkan hasil belajar siswa; 3) Bagi peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini yang akan menerapkan metode lain berbantuan bebibulan dalam pembelajaran disarankan agar dapat memperhatikan hal-hal berikut:a) Jika seting belajar dalam bentuk kelompok, disarankan sebelum pembelajaran berlangsung sebaiknya diinformasikan terlebih dahulu tata cara pembentukan kelompok untuk menghindari terjadinya keributan dalam kelas saat pembelajaran dan diskusi; b) Di awal pembelajaran, dengan bimbingan guru diharapkan siswa benar-benar sudah dapat memahami model pembelajaran yang diterapkan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimumkan kesalahan siswa dalam melakukan langkah-langkah pembelajaran; 4) LKS dalam penelitian ini masih belum konstruktivistik, disarankan kepada peneliti berikutnya agar membuat LKS yang konstruktivistik sehingga keaktifan siswa dapat dimaksimalkan sehingga pembelajaran menjadi bermakna. DAFTAR RUJUKAN Gantert, Xavier Ann. 2008. Amsco‟s Geometry. United States of America: Amsco School Publication. Inc. Mahayukti Gusti Ayu. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Generatif dengan Metode PQ4R dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Siswa Kelas II B SLTP Laboratorium IKIP Ngeri Singaraja. On line padahttp://www.pasca.undiksha.ac.id/images/img_item/494.doc.Diakses 11 Pebruari 2013.
1435
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Moyer,
S. Patricia. dkk. 2002. Teaching Children Mathematics. On line pada http://www.grsc.k12.ar.us/mathresources/instruction/manipulatives/VirtualManipulative s.pdf. Diakses 8 Pebruari 2013. Nieven, N. 1999.Prototyping to Reach Product Quality.p.125-135.from Design Approaches and Tools in Education and Training. Van den Akker. Jan.et.al Dordrecht.the Nederlands.Kluwer: Academic.Publisher. Nur, Mohamad, dkk. 1999. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Pramudya, Giri. 2009. Implementasi Strategi Cooperative Script Berbantuan Alat Sederhana “Bebibulan” Dalam Pembelajaran Konsep Garis dan Sudut. Laporan Penelitian Tindakan. Rahadi, Arsito. 2003. Media Pembelajaran. Depdiknas: Dirjen Dikdasmen. Robinson & Thomas. 1972. The PQ4R Method of Studying. Diadaptasi dari Bovair. On line pada http://www.splashurl.com. Diakses 22 Oktober 2013. Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Predana Media Group. Silberman, L. Melvin. 2006. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusa Media. Sobel, A. Max, Maletsky, M. Evan. 2003. Teaching Mathematics.Jakarta: Erlangga. Sudarman. 2009. Peningkatan Pemahaman dan Daya Ingat Siswa Melalui Strategi Preview, Question, Read, Reflect, Recite, dan Review (PQ4R). Jurnal Pendidikan Inovatif. Jilid 4 Nomor 2. Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas Pendidikan Indonesia: Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Suryosubroto, B. 2002.Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Slavin, Robert, E. 1995. Cooperative LearningTheory, Research, and Practice (second edition). United States of America: Allyn and Bacon. Untung, TS. Wiyoto Jakim. 2009. Kapita Selekta Pembelajaran Geometri Datar Di Kelas VII SMP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Widodo, A. 2006. Revisi Taksonomi Bloom dan Pengembangan Butir Soal. Bandung: FPMIPA – UPI. Widyantini, Th. Guntoro Tri Sigit. 2010. Penggunaan Alat Pembelajaran Matematika di SMP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Wormeli, Rick. 2011. Meringkas Mata Pelajaran. Jakarta: Erlangga Yuwono, I. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika secara Membumi.Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
PROSES BERPIKIR ANALOGI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Arik Indrayani
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang [email protected] Toto Nusantara dan Abdul Qohar
Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang
Penalaran perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika, sebagaimana tertera dalam Kurikulum 2013. National Council of Teacher Mathematics (NCTM, 2000) menjadikan penalaran sebagai salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa. Lebih lanjut NCTM menyatakan, orang yang bernalar dan berpikir secara analitik akan cenderung mengenal pola, struktur, atau keberaturan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada simbol-simbol. Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan 1436
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk membentuk sebuah konsep baru atau membuat sebuah kesimpulan. Nasoetion (2004:4) mengatakan bahwa salah satu manfaat penalaran dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan dari yang hanya sekedar mengingat fakta, aturan, dan prosedur kepada kemampuan pemahaman. Berdasarkan hal tersebut maka penalaran merupakan kemampuan yang sangat penting dalam belajar matematika. Pembelajaran matematika melibatkan dua aspek penalaran yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif (Sumarmo, 2010). Penalaran induktif menurut Fathima (2008:27) adalah suatu proses penggeneralisasian prinsip atau sebuah kesimpulan berdasarkan fakta-fakta khusus yang ada. Salah satu jenis penalaran induktif adalah penalaran analogi. Polya (1973:37) menyatakan bahwa analogi merupakan bentuk dari kemiripan sifat. Menurut Isoda dan Katagiri (2012:57), analogi adalah proses penarikan kesimpulan dengan membandingkan dua hal yang berbeda dan hanya memperhatikan persamaan antara dua hal tersebut. Diane (1996) mengatakan bahwa dengan analogi suatu permasalahan mudah dikenali, dianalisis hubungannya dengan permasalahan lain, dan permasalahan yang kompleks dapat disederhanakan. Mofidi (2012) menyatakan salah satu metode efektif yang dapat digunakan oleh para guru untuk mengajarkan konsep matematika adalah dengan menggunakan permasalahan-permasalahan yang melibatkan penalaran analogi. Holyoak (dalam English, 2004:5) berpendapat bahwa inti dari penggunaan analogi dalam pembelajaran untuk memecahkan masalah adalah siswa menerapkan pengetahuan yang sudah diketahui untuk memecahkan masalah yang baru. Hasil penelitian Sasanti (2005) terhadap siswa SMP menunjukkan bahwa analogi dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Dengan demikian, analogi dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah matematika. Pemecahan masalah dan matematika merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan. Hal tersebut terjadi karena dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan aktivitas yang penting (Haryani, 2012). Pentingnya pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika juga tercantum dalam Kurikulum 2013 yang menyebutkan bahwa kemampuan memecahkan masalah juga merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Pernyataan tersebut sejalan dengan National Council of Teacher Mathematics (2000) yang menekankan pentingnya pemecahan masalah untuk mengembangkan penalaran siswa. Pemecahan masalah merupakan aktivitas dan tujuan yang penting dalam pembelajaran matematika, tetapi pemecahan masalah masih diakui sebagai tugas yang sulit. Suherman (2001) menyatakan bahwa pemecahan masalah masih dianggap sebagai tugas yang paling sulit bagi siswa untuk mempelajarinya dan bagi guru untuk mengajarkannya. Hal ini sesuai dengan temuan Siswono (2005) bahwa salah satu masalah dalam pembelajaran matematika di SMP adalah rendahnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah khususnya soal tidak rutin. Pemecahan masalah pada Kurikulum 2013 merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa rendah. Ruseffendi (1988) menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa rendah karena kurang memahami konsep dan kesalahan konsep disebabkan kurangnya kemampuan penalaran siswa. Berdasarkan hasil penelitian Alamsyah (2009), kemampuan penalaran analogi siswa masih sangat rendah. Oleh karena itu perlu untuk mengetahui penalaran analogi siswa dalam memecahkan masalah matematika. Novick (dalam English, 1999:25) mengatakan bahwa penggunaan analogi dalam memecahkan masalah matematika melibatkan masalah sumber dan masalah target. Masalah sumber dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah target. Hal ini dapat terjadi jika siswa dalam menyelesaikan masalah target memperhatikan masalah sumber dan menerapkan struktur masalah sumber pada masalah target tersebut. Siswa dalam menyelesaikan masalah sumber akan menggunakan strategi yang diketahui dan konsep-konsep yang dimilikinya, sedangkan dalam menyelesaikan masalah target siswa akan menjadikan masalah sumber sebagai pengetahuan awal untuk menyelesaikan masalah target. Novick (dalam English, 2004:5-6) mengatakan bahwa seseorang dikatakan melakukan penalaran analogi dalam memecahkan masalah, jika dapat mengidentifikasi apakah ada hubungan antara masalah yang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber), dapat mengidentifikasi suatu struktur masalah sumber yang sesuai dengan masalah target, dan dapat mengetahui bagaimana cara menggunakan masalah sumber dalam memecahkan masalah target. Menurut Goswami (2004), perkembangan kemampuan penalaran analogi seseorang dapat diketahui dengan menggunakan soal-soal analogi, salah satunya dengan menggunakan permasalahan analogi. Selanjutnya dalam 1437
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
penelitian ini, peneliti ingin menelusuri tentang proses berpikir analogi siswa dalam memecahkan masalah matematika. Proses berpikir analogi adalah cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah target dengan menggunakan masalah sumber. Sternberg (dalam English, 2004:4-5) menyatakan bahwa komponen dari proses berpikir analogi meliputi empat hal yaitu encoding (pengkodean), inferring (penyimpulan), mapping (pemetaan), dan applying (penerapan). Siswa dikatakan telah mencapai proses encoding (pengkodean) apabila siswa dapat mengidentifikasi struktur masalah yang dihadapi (masalah target) dengan menentukan makna kata-kata kunci dari masalah tersebut. Dengan demikian, pada proses ini siswa dapat menjelaskan permasalahan dari masalah yang dihadapi (masalah target). Kemudian siswa dikatakan telah mencapai proses inferring (penyimpulan) jika siswa dapat memilih strategi yang sesuai dengan menjadikan masalah yang sudah diketahui (masalah sumber) sebagai pengetahuan awal dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (masalah target). Sedangkan siswa dikatakan mencapai proses mapping (pemetaan) apabila siswa dapat melakukan proses matematika secara benar dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (masalah target) dengan menggunakan strategi penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber. Selanjutnya proses applying (penerapan) dicapai apabila siswa dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam masalah target dengan tepat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan, menemukan hubungan yang erat antara kemampuan penalaran analogi siswa dengan kemampuan matematisnya. Alexander dan Buehl (2004) menemukan bukti bahwa terdapat hubungan antara kemampuan penalaran analogi dengan kemampuan matematis siswa dalam penelitian yang mereka lakukan. Goswami (2004) menyatakan bahwa pengalaman dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan analogi dan kebiasaan berpikir tentang hubungan antara hal-hal yang memiliki kemiripan sifat dapat meningkatkan kemampuan matematis seseorang. Alexander, White, dan Daugherty (2004) mengemukakan bahwa proses penalaran dalam matematika berkorespondensi sangat dekat dengan proses penalaran analogi dan membuktikan bahwa terdapat sebuah hubungan yang kuat antara kemampuan penalaran analogi seseorang dengan kemampuan matematisnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kemampuan penalaran analogi dengan kemampuan matematis seseorang, dapat disimpulkan bahwa peran penalaran analogi dalam pembelajaran matematika sangatlah penting karena permasalahan-permasalahan yang melibatkan penalaran analogi dapat digunakan sebagai salah satu sarana peningkatan kemampuan matematis siswa. Sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian sehubungan dengan kemampuan penalaran analogi siswa dalam pemecahan masalah matematika. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pentingnya kemampuan penalaran analogi dalam pemecahan masalah matematika. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penalaran analogi memiliki peranan penting dalam pembelajaran matematika karena permasalahan-permasalahan yang melibatkan penalaran analogi dapat digunakan sebagai salah satu sarana peningkatan kemampuan matematis siswa. Berdasar dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti akan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir analogi siswa dalam memecahkan masalah matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Al Falah Sidoarjo pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Teknik pemilihan subjek penelitian dalam penelitian ini adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa hasil lembar tugas pemecahan masalah dan wawancara berbasis tugas dari masingmasing subjek penelitian. Dalam penelitian ini, proses analisis data mengacu pada teknik analisis data model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013:246) dengan langkah-langkah, yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan.
1438
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mendeskripsikan proses berpikir analogi siswa dalam memecahkan masalah perbandingan, yaitu cara berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah target dengan menggunakan masalah sumber yang meliputi empat komponen, yaitu encoding (pengkodean), inferring (penyimpulan), mapping (pemetaan), dan applying (penerapan). Untuk itu dipaparkan tiga kelompok subjek penelitian yaitu subjek kelompok atas (siswa yang berkemampuan tinggi), subjek kelompok menengah (siswa yang berkemampuan sedang), dan subjek kelompok bawah (siswa yang berkemampuan rendah). Ketiga kelompok subjek penelitian digunakan untuk mengeksplorasi terjadinya proses berpikir analogi siswa dalam memecahkan masalah perbandingan. Selanjutnya akan dipaparkan terjadinya proses berpikir analogi dari masing-masing kelompok subjek ini. Deskripsi Proses Berpikir Analogi Subjek 1 (S1): Subjek Kelompok Atas Pada proses encoding (pengkodean), hasil kerja S1 memperlihatkan bahwa S1 mampu mengidentifikasi ciri-ciri atau struktur dari masalah yang diberikan (masalah target). S1 menuliskan kata-kata kunci dari masalah tersebut dan menyatakan dalam simbol semua fakta yang diketahui dan yang tidak diketahui dari masalah yang diberikan, yaitu S1 menuliskan perbandingan antara kertas, jam, dan mesin.
Gambar 1 Jawaban Masalah Proses Encoding oleh S1
Kutipan hasil wawancara berikut menunjukkan bahwa S1 mampu mengidentifikasi ciriciri atau struktur dari masalah sumber dan masalah target. P S1 P S1
P S1 P S1 P S1 P S1 P S1
“Apakah anda memahami semua kata-kata dalam soal ini?” “Ya, saya memahaminya” “Coba ungkapkan maksud masalah ini dengan kata-kata anda sendiri?” “Percetakan punya 12 mesin Y dapat memproduksi 900 lembar selama 5 jam. Percetakan sekarang mempunyai 30 mesin Y, maka berapa banyaknya produksi kertas yang dihasilkan oleh 30 mesin Y selama 6 jam “ “Jadi, apa yang diketahui?” “Yang diketahuin di sini….12 mesin Y dapat memproduksi 900 lembar kertas dalam waktu 5 jam” “Oke…terus,,,,?” “Percetakan tersebut mempunyai 30 mesin Y, berapa banyaknya produksi kertas yang dihasilkan dalam waktu 6 jam?” “Coba jelaskan, mengapa kamu menuliskan dalam tabel?” “ Supaya mudah untuk mengetahui apa yang dibandingkan bu,,,saya buat tiga kolom, yaitu banyaknya kertas, waktu, dan banyaknya mesin” “Apakah menurut anda masalah ini berbeda dengan yang sudah anda dapatkan?” “Konsepnya hampir sama” “Apakah struktur soalnya tidak ada perbedaan sama sekali?” “Ya ini Bu,,..masalah yang biasanya perbandingannya melibatkan 2 saja , sedangkan masalah ini perbandingannya melibatkan 3”
Pada proses inferring (penyimpulan), terlihat pada hasil pekerjaannya bahwa S1 dapat menuliskan metode penyelesaian atau cara apa yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan (masalah target). S1 menyusun rencana penyelesaian masalah dengan membuat pemisalan y adalah banyaknya produksi kertas yang dikerjakan oleh 30 mesin selama 5 jam, sehingga diperoleh perbandingan antara 2 objek, yaitu perbandingan antara banyaknya kertas dan mesin. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep dan strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan senilai. 1439
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2 Jawaban Masalah Proses Inferring oleh S1
Pada proses inferring, S1 mampu mencari hubungan masalah yang sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber). Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan wawancara berikut. P S1 P S1 P S1 P S1
“Lalu apakah anda dapat menyelesaikan masalah ini?” “Ya, bisa” “Strategi atau cara apa yang kamu lakukan dalam menyelesaikan masalah ini?” “Saya akan menggunakan perbandingan senilai” “Coba jelaskan, langkah-langkah yang akan kamu lakukan dalam memecahkan masalah ini?” “Saya buat misalkan y adalah banyaknya produksi oleh 30 mesin dalam waktu 5 jam,,,,,sehingga perbandingannya seperti yang saya buat.” “Oke…trus?” “Dari tabel itu diperoleh perbandingan antara banyaknya produksi dan banyaknya mesin”
Pada proses mapping, S1 merealisasikan apa yang sudah dipersepsikan sebelumnya pada proses inferring yaitu menyelesaikan masalah target dengan konsep perbandingan senilai. S1 meretrieval (memanggil kembali) pengetahuan dari memori jangka panjangnya secara berturut-turut tentang konsep perbandingan senilai, konsep perkalian silang, dan konsep aljabar, yaitu penyelesaian persamaan linear satu variabel. Adapun tulisan S1 terkait dengan proses mapping (pemetaan) ini sebagai berikut.
Gambar 3 Jawaban Masalah Proses Mapping oleh S1
Pada proses mapping, S1 memecahkan masalah yang diberikan (masalah target) menggunakan penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber. S1 menyelesaikan perbandingan senilai yang sudah dituliskan pada proses inferring dengan melakukan perkalian silang. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh NCTM (2000) bahwa siswa biasanya menggunakan algoritma perkalian silang sebagai teknik untuk menyelesaikan masalah perbandingan senilai. Dalam menyelesaikan masalah target menggunakan konsep yang sama pada masalah sumber yaitu konsep perbandingan senilai. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan wawancara berikut. P S1 P S1 P S1
“Untuk selanjutnya, bagaimana menyelesaikannya?” “Dengan melakukan perkalian silang sehingga didapat nilai y” “ok,,,setelah didapatkan nilai y,,,langkah selanjutnya bagaimana?” “Terdiam sejenak…..Saya buat pemisalan x adalah banyaknya produksi kertas oleh 30 mesin dalam waktu 6 jam” “Baik….selanjutnya apa yang kamu lakukan” “Saya buat tabel perbandingannya lagi bu…Dari tabel ini saya peroleh perbandingan antara banyaknya produksi dan waktu”
1440
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
P S1
“Oke…trus?” “Saya lakukan proses perhitungan seperti mendapatkan nilai y”
Pada proses applying, S1 dapat melakukan pemilihan jawaban dengan benar yaitu dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam soal. Jawaban S1 menunjukkan kesesuaian pernyataan yang dikutip dari informasi yang ditanyakan dalam lembar jawaban dengan jawaban akhir yang tepat. Selama proses pemecahan masalah, S1 tidak pernah melakukan pengulanganpengulangan (rehearsal). Hal itu terlihat dari kelancaran proses penyelesaian masalah yang dilakukan S1 dan tidak pernah muncul pertanyaan kepada diri S1. Oleh karena berfungsi dengan baiknya komponen-komponen proses berpikir analogi pada diri S1, mengakibatkan jelas dan benarnya jawaban S1 seperti hasil akhir yang dituliskan berikut.
Gambar 4 Jawaban Masalah Proses Applying oleh S1
Deskripsi Proses Berpikir Analogi Subjek 2 (S2): Subjek Kelompok Menengah Pada proses encoding, hasil kerja S2 memperlihatkan bahwa S2 mampu mengidentifikasi ciri-ciri atau struktur dari masalah yang dihadapi (masalah target). S2 menyatakan bahwa dia kurang paham akan maksud soal dan S2 mencoba membaca ulang lagi soal yang ada dan mencoba meretrieval pengetahuan yang ada di dalam memori jangka panjangnya sebagaimana pernyataannya yang menyatakan ”dulu pernah dapat seperti ini, tapi bentuknya tidak begini”. Pada proses inferring, S2 menyusun rencana penyelesaian masalah dengan mencari rasio yang ekuivalen dari perbandingan antara banyaknya mesin. Proses inferring ini tidak terlihat jelas pada hasil pekerjaan S2, namun hal tersebut dapat diketahui dari kutipan wawancara berikut. “Katanya dulu pernah dapat seperti ini, tapi bentuknya tidak begini.....Lalu apakah kamu dapat menyelesaikannya?” S2 “Ya, bisa” P “Strategi atau cara apa yang kamu lakukan dalam menyelesaikannya?” S2 “Saya gunakan perbandingan yang ekuivalen” P “Coba jelaskan, langkah-langkah yang akan kamu lakukan dalam memecahkan masalah ini?” S2 “Saya tulis dulu perbandingan antara banyaknya mesin” P “Oke…trus?” S2 “kemudian….saya cari perbandingan yang lebih sederhananya” Pada penyelesaian masalah yang diberikan (masalah target) ini, S2 menggunakan penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber, meskipun pada awalnya mengalami kesulitan dalam menggunakan masalah sumber untuk menyelesaikan masalah yang diberikan (masalah target). Pada proses applying, S2 dapat melakukan pemilihan jawaban dengan benar, yaitu dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam soal. Jawaban S2 menunjukkan kesesuaian pernyataan yang dikutip dari informasi yang ditanyakan dalam lembar jawaban dengan jawaban akhir yang tepat. P
Deskripsi Proses Berpikir Analogi Subjek 3 (S3): Subjek Kelompok Bawah Pada proses encoding, S3 kurang mampu mengidentifikasi ciri-ciri atau struktur dari masalah yang dihadapi (masalah target). Pada proses inferring, terlihat bahwa S3 tidak dapat menuliskan metode penyelesaian atau cara apa yang digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi (masalah target). S3 tidak menggunakan konsep perbandingan, tetapi S3 langsung melakukan perhitungan bilangan-bilangan tanpa ada prosedur yang berarti. Pada proses inferring, S3 tidak mampu mencari hubungan masalah yang sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber). Pada proses mapping ini, S3 tidak dapat menyelesaikan masalah dengan benar karena pada proses inferring, S3 tidak 1441
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dapat menentukan metode penyelesaian dengan tepat. Hal tersebut mengakibatkan pada proses applying, S3 juga tidak dapat melakukan pemilihan jawaban dengan benar yaitu tidak dapat menuliskan jawaban akhir yang relevan dengan yang ditanya pada masalh yang dihadapi. Jawaban S3 memperlihatkan kesalahan yang dilakukan pada saat mengidentifikasi struktur masalah terbawa hingga ke jawaban akhir dan menyebabkan jawaban tidak tepat. Berdasarkan hasil paparan data, maka proses berpikir analogi untuk setiap kelompok kemampuan disajikan dalam tabel berikut. Proses Kelompok Atas Kelompok Menengah Kelompok Bawah Encoding Siswa mampu Siswa mampu Siswa kurang mengidentifikasi mengidentifikasi struktur mampu struktur dari masalah dari masalah yang mengidentifikasi yang diberikan diberikan (masalah target) struktur dari masalah (masalah target) dengan menuliskan katayang diberikan dengan menuliskan kata kunci dari masalah (masalah target) kata-kata kunci dari tersebut dan menyatakan dengan menuliskan masalah tersebut dan dalam simbol semua fakta kata-kata kunci dari menyatakan dalam yang diketahui dan yang masalah tersebut dan simbol semua fakta tidak diketahui dari menyatakan dalam yang diketahui dan masalah yang diberikan simbol semua fakta yang tidak diketahui yang diketahui dan dari masalah yang yang tidak diketahui diberikan dari masalah yang diberikan Inferring Siswa mampu Siswa cenderung mampu Siswa tidak mampu mencari hubungan mencari hubungan antara mencari hubungan antara masalah yang masalah yang sedang antara masalah yang sedang dihadapi dihadapi (masalah target) sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang (masalah target) dengan pengetahuan telah dimilikinya dengan pengetahuan yang telah (masalah sumber) yang telah dimilikinya (masalah dimilikinya (masalah sumber) dengan sumber) sangat baik Mapping Siswa mampu Siswa cenderung Siswa tidak mampu menyelesaikan mengalami kesulitan menyelesaikan masalah yang dalam menyelesaikan masalah yang diberikan (masalah yang diberikan (masalah diberikan (masalah target) menggunakan target), target) menggunakan penyelesaian atau Penyelesaian yang penyelesaian atau konsep yang sama digunakan pada masalah konsep yang sama dengan masalah sumber kurang dapat dengan masalah sumber membantu dalam sumber memecahkan masalah target Applying Siswa dapat Siswa cenderung dapat Siswa tidak dapat menuliskan jawaban menuliskan jawaban dari menuliskan jawaban dari apa yang apa yang ditanyakan dari apa yang ditanyakan dalam dalam soal dengan tepat ditanyakan dalam soal dengan tepat. soal dengan tepat Jawaban siswa menunjukkan kesesuaian pernyataan yang dikutip dari informasi yang ditanyakan dalam lembar jawaban 1442
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Proses berpikir analogi pada subjek kelompok atas terjadi cukup baik, yaitu mampu melakukan setiap komponen proses berpikir analogi dengan baik. Hal ini disebabkan karena siswa mengetahui bahwa masalah sumber dapat membantu memecahkan masalah target, meskipun masalah target memuat gagasan tambahan. Hal tersebut sebagaimana pendapat Novick (1999) yang menjelaskan bahwa penalaran analogi dalam pemecahan masalah mencakup penggunaan suatu struktur masalah yang sudah diketahui (masalah sumber) untuk membantu memecahkan masalah baru terkait (masalah target). Langkah-langkah dalam penyelesaian permasalahan awal tersebut yang selanjutnya akan diterapkan untuk penyelesaian permasalahan target (English, 2004). Subjek kelompok menengah cenderung mengalami hambatan pada beberapa komponen proses berpikir analogi. Hal ini disebabkan siswa dalam kategori ini sebenarnya mengetahui bahwa masalah sumber dapat membantu memecahkan masalah target, namun siswa cenderung kurang bisa mengaplikasikan bagaimana masalah sumber tersebut dapat membantu memecahkan masalah target atau kurang mengetahui bagaimana penggunaan masalah sumber dalam memecahkan masalah target. Padahal menurut Holyoak (dalam English, 2004:5) bahwa inti dari penggunaan analogi dalam pembelajaran untuk memecahkan masalah adalah siswa menerapkan pengetahuan yang sudah diketahui untuk memecahkan masalah yang baru. Novick (dalam English, 1999:25) mengatakan bahwa penggunaan analogi dalam memecahkan masalah matematika melibatkan masalah sumber dan masalah target. Masalah sumber dapat membantu siswa untuk memecahkan masalah target. Hal ini dapat terjadi jika siswa dalam menyelesaikan masalah target memperhatikan masalah sumber dan menerapkan struktur masalah sumber pada masalah target tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sumber, siswa akan menggunakan strategi yang diketahui, konsep-konsep yang dimilikinya, sedangkan dalam menyelesaikan masalah target siswa akan menjadikan masalah sumber sebagai pengetahuan awal untuk menyelesaikan masalah target. Subjek kelompok bawah, langkah-langkah proses berpikir analogi belum dapat dilakukan dengan baik. Hal ini disebabkan siswa dari kategori ini tidak mengetahui bahwa masalah sumber dapat membantu memecahkan masalah target, bahkan tidak mampu mengidentifikasi masalah sumber yang tepat untuk membantu memecahkan masalah target. Padahal menurut Cobb & Boufi (1997), pemecahan masalah sebagai “seeing the structure of the base object and building a structure of a new object (the target)”. Oleh karena itu, siswa perlu didorong untuk melihat kembali yang telah mereka pelajari atau menemukan keserupaan pada objek dasar dalam menyelesaikan objek target. Holyoak, Novick & Metz (2004) melakukan studi penelitian yang menggambarkan bagaimana masalah sumber mempengaruhi masalah target ketika seseorang melakukan proses penalaran analogi. Pada pengetahuan awal terjadi kesalahan konsep sehingga dalam menyelesaikan masalah sumber masih belum tepat dan mengakibatkan kesalahan dalam menyelesaikan masalah target. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Duit, et. al. (dalam Kariadinata, 2002: 546) bahwa kelebihan dari penalaran analogi adalah dapat mendorong guru untuk mengetahui kemampuan prasyarat siswa, sehingga miskonsepsi atau kesalahan konsep pada siswa dapat terungkap. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian ini, dapat diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama proses berpikir analogi siswa kelompok kemampuan tinggi yaitu, pada proses encoding siswa mampu mengidentifikasi struktur dari masalah yang diberikan (masalah target) dengan menuliskan kata-kata kunci dari masalah tersebut dan menyatakan dalam simbol semua fakta yang diketahui dan yang tidak diketahui dari masalah yang diberikan, pada proses inferring siswa mampu mencari hubungan antara masalah yang sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber) dengan sangat baik, sedangkan pada proses mapping siswa mampu menyelesaikan masalah yang diberikan (masalah target) menggunakan penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber, sehingga pada proses applying siswa dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam soal dengan tepat. Kedua, proses berpikir analogi siswa kelompok kemampuan sedang yaitu, pada proses encoding siswa mampu mengidentifikasi struktur dari masalah yang diberikan (masalah target) dengan menuliskan kata-kata kunci dari masalah tersebut dan menyatakan dalam simbol semua fakta yang diketahui dan yang tidak diketahui dari masalah yang diberikan, pada proses 1443
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
inferring siswa cenderung mampu mencari hubungan antara masalah yang sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber), sedangkan pada proses mapping siswa cenderung mengalami kesulitan dalam menyelesaikan yang diberikan (masalah target) dan penyelesaian atau konsep yang digunakan pada masalah sumber kurang dapat membantu dalam memecahkan masalah target. Pada proses applying siswa cenderung dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam soal. Ketiga, proses berpikir analogi siswa kelompok kemampuan rendah yaitu, pada proses encoding siswa kurang mampu mengidentifikasi struktur dari masalah yang diberikan (masalah target) dengan menuliskan kata-kata kunci dari masalah tersebut dan menyatakan dalam simbol semua fakta yang diketahui dan yang tidak diketahui dari masalah yang diberikan, pada proses inferring siswa tidak mampu mencari hubungan antara masalah yang sedang dihadapi (masalah target) dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (masalah sumber), sedangkan pada proses mapping siswa tidak mampu menyelesaikan masalah yang diberikan (masalah target) menggunakan penyelesaian atau konsep yang sama dengan masalah sumber, sehingga pada proses applying siswa tidak dapat menuliskan jawaban dari apa yang ditanyakan dalam soal dengan tepat. Beberapa saran dapat disampaikan yaitu, guru seharusnya berusaha meningkatkan kemampuan berpikir analogi siswa dalam memecahkan masalah matematika dengan melaksanakan pembelajaran menggunakan pendekatan penalaran analogi. Hal ini disebabkan kemampuan berpikir analogi sangat penting dalam membentuk perspektif untuk menemukan pemecahan masalah. Selain itu, guru hendaknya memfasilitasi siswanya secara mandiri selama proses pembelajaran agar dapat mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna (meaningful) seperti yang digagas Ausubel. Kajian proses berpikir analogi siswa dalam penelitian ini masih terbatas, sehingga perlu adanya penelitian dengan kajian yang lebih mendalam dengan masalah yang lain. DAFTAR RUJUKAN Alexander, P.A. & Buehl, M.M. 2004. Seeing the Possibilities: Constructing and Validating Measures of Mathematical and Analogical Reasoning for Young Children. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Cobb, P. & Boufi, A. 2007. Reflective discourse and collective reflection. Journal for Research in Mathematics Education, 28 (3): 258-278. English, Lyn D. 1999. Reasoning by Analogy . Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. Reston: The National Council of Teacher of Mathematics, Inc. English, L. D. 2004. Mathematical and Analogical Reasoning of Young Learners. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Fathima, S.K. 2008. Reasoning Ability of Adolescents Students. New Delhi: Discovery Publishing House. Goswami, Usha. 2004. Analogical Reasoning. Child Development 62. Haryani, D. 2012. Profil Proses Berpikir Kritis Siswa SMA dengan Gaya Kognitif Field Independent dan Berjenis Kelamin Laki-laki dalam Memecahkan Masalah Matematika. Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret. Holyoak, K. J., Novick, L., & Metz, E. R. 2004. Component processes in analogical transfer: Mapping, pattern completion, and adaptation. Advances in connectionist and neural computation theory, 2: 113-180. Isoda, M. & Katagiri, S. 2012. Mathematical Thinking. Singapura: World Scientific. Kariadinata, Rahayu. 2002. Pembelajaran Analogi Matematika di Sekolah Menengah Umum (SMU) dalam Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Universitas Negeri Malang. Mofidi, S., Amiripour, P., & Bijan-Zadeh, M. H. 2012. Instruction of Mathematical Concepts Through Analogical Reasoning Skill. Indian Journal of Science and Technology, 5: 2916-2923. Nasoetion, A. H. 2004. Nalar dan Hafal, Mana Didahulukan?. Jakarta: Gramedia. NCTM. 2000. Principle and Standards for School Mathematics. Reston, Va: NCTM. Novick, L.R. 2004. Analogical transfer, problem similarity, and expertise. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory and Cognition, 14(3): 510-520. Novick, L. R., & Holyoak, K. J. 2004. Mathematical problem solving by analogy. Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition, 17: 398–415. 1444
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Polya, G. 1973. How To Solve It. Princeton: Princeton University Press. Russefendi, E. T. 1988. Pengantar Kepada Guru, Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Mengembangkan CBSA. Bandung: Tarsito. Siswono, Tatag Y. E. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun X, No. 1. Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suherman, E. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Sumarmo, U. 2010. Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. http:/math.sps.upi.edu/wp-content/upload/2010/02BERPIKIR-DAN-DIPOSISI-MATEMATIKSPS-2010.pdf
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN FASE BELAJAR MODEL VAN HIELE PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR DI SMP ISLAM AL-AZHAAR TULUNGAGUNG Ranti Kurniasih SMP ISLAM AL-AZHAAR TULUNGAGUNG [email protected] Abstrak: Bangun ruang sisi datar merupakan bagian dari geometri yang mempunyai peranan penting dalam matematika dan banyak diterapkan dalam kehidupan, sehingga pemahaman konsep bangun ruang perlu diajarkan pada siswa sejak dini. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap konsep bangun ruang masih rendah. Salah satu faktor kesulitan siswa dalam memahami bangun ruang dipengaruhi oleh penyajian materi dari guru kurang membekas bagi siswa. Siswa tidak diberi kesempatan untuk menemukan konsep bangun ruang secara mandiri berdasarkan karakteristik tahap berpikirnya. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar geometri tersebut, cara yang dapat ditempuh adalah dengan penerapan teori van Hiele. Kata Kunci: bangun ruang sisi datar, fase belajar model Van Hiele
Matematika sebagai ilmu dasar memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan sains, teknologi, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, maupun managemen, karena matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuh kembangkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, dan kritis. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini, sehingga mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari usia dini. Belajar matematika merupakan proses aktif siswa untuk merekonstruksi makna atau konsep-konsep matematika, yang berarti bahwa belajar matematika merupakan proses untuk menghubungkan materi yang dipelajari dengan pemahaman yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pandangan Hudojo ( 1988:96 ) bahwa agar transfer belajar dapat optimal, dalam mengajar guru harus menekankan pada pengertian terhadap konsep dan setelah pengertian diperoleh siswa diberikan latihan yang cukup, jika siswa hanya diberikan ketrampilan tanpa pemahaman, maka siswa akan mengalami kesulitan belajar pada materi berikutnya sehingga siswa akan beranggapan bahwa matematika itu merupakan pelajaran sulit. Maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman materi merupakan salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika. Untuk mencapai pemahaman materi matematika selain memiliki keuletan diperlukan adanya keberanian dan rasa percaya diri siswa dalam menyelesaikan masalah/soal, keinginan dan ketertarikan siswa untuk belajar dan juga pada diri siswa memiliki pemahaman pada materi sebelumnya karena materi matematika saling ada keterkaitan. Hal ini sesuai yang tercantum
1445
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam Standar Kompetensi & Kompetensi Dasar Tingkat SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK yang ada pada Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (2006: 137) disebutkan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pemahaman materi oleh siswa juga sangat didukung oleh adanya penerapan pembelajaran yang inovatif dari guru sebagai wujud implementasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Guru sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan dituntut untuk selalu mengadakan pembaharuan dalam setiap proses pembelajaran. Pemahaman dapat pula dibangun melalui kegiatan di dalam kelas yang mampu mendukung siswa aktif berinteraksi dengan materi, teman dan guru (Hirschfeld, 2008). Matematika secara garis besar dibagi ke dalam 4 cabang yaitu aritmetika, aljabar, geometri, dan analisis (Bell, 1978:27). Diantara keempat cabang tersebut geometri merupakan cabang matematika yang menempati posisi penting untuk di-pelajari karena geometri banyak berperan dalam kehidupan sehari-hari. Geometri merupakan salah satu cabang dalam Matematika yang mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Selama mempelajari geometri, siswa akan belajar tentang bentuk dan struktur geometris, misalnya bidang datar, bidang ruang, diagram, system koordinat, vector dan transformasi. Ilmuwan, arsitek, artis, insinyur, dan pengembang perumahan adalah sebagian kecil contoh profesi yang menggunakan geometri secara reguler. Dalam kehidupan sehari-hari, geometri digunakan untuk mendesain rumah, taman, atau dekorasi (Van de Walle, 1990:269). Budiarto (2000:439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen matematik. Pembelajaran geometri harus dimulai pada tingkat dasar. Dengan bereksperimen di tingkat dasar murid dapat menemukan hubungan dan dengan cara itu murid akan membangun jaringan relasi sendiri. Siswa harus membangun jaringan hubungan sendiri, guru tidak dapat berbicara kepadanya ke dalam pengetahuan ini. Bekerja di tingkat konkret dan dalam kasus ilmu ukur bidang geometri ini juga berarti bekerja dengan bahan konkret karena itu juga level Van Hiele membentuk dasar untuk memahami. Model Van Hiele mencoba menjelaskan kemampuan siswa untuk belajar memahami geometri (Halat:2006). Model Van Hiele memiliki 5 tahap: visual, analisis, kesimpulan yang terkait dengan pengalaman/abstraksi, resolusi inferensi, dan periode lanjutan (Erdogen Akkaya dan Celebi Akkaya:2009). Ada lima tingkat perkembangan penalaran geometris berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dina van Hiele-Geldof dan suaminya, Pierre Marie van Hiele (1986). yaitu: • Level 0 (Basic Level): Visualisasi Pada tingkat ini siswa dapat membedakan bentuk berdasarkan nama atau penampilan tetapi mereka tidak mampu untuk membedakan bentuk-bentuk berdasarkan sifatnya (Erdogen Akkaya & Celebi Akkaya:2009; Halat:2008). Seperti contoh siswa mengatakan “bentuknya seperti roda” atau “persegi panjang yang tampak seperti pintu” (Geometry penemuan:tahap Van Hiele:2011) • Level 1: Analisis Siswa mulai bereksperimen dengan bentuk dan membuktikan fitur dan aturan tentang bentuk melalui kegiatan di kelas (Erdogen Akkaya & Celebi Akkaya:2009; Halat:2008). Sebagai contoh, seorang siswa pada tahap ini mungkin mengatakan bahwa persegi memiliki 4
1446
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sisi yang sama dan empat sudut yang tetap, tetapi tidak menyatakan bahwa persegi adalah jajargenjang (Geometry penemuan:tahap Van Hiele:2011). • Level 2: Deduksi Informal Pada tingkat ini siswa memahami hubungan antara sifat-sifat dalam geometri dan dari satu himpunan angka yang lain. Siswa mampu mengikuti bukti, tetapi tidak mampu membuat pembuktian. • Level 3: Deduksi Pada tingkat ini siswa dapat membangun bukti geometris dan memahami hubungan antara postulat, teorema, dan istilah yang terdefinisi. • Level 4: Rigor Pada tingkat ini siswa melihat geometri secara abstrak. Siswa dapat bergerak di antara berbagai sistem geometris dan dapat membandingkannya (Crowley, 1987). Pemahaman yang kuat tentang geometri merupakan aspek penting dalam memahami matematika lanjut dan ilmu-ilmu lain. geometri tidak terisolasi ke dalam kelas-kelas seperti sering terjadi dalam Aljabar, Trigonometri, Kalkulus, Fisika, Kimia, dan Teknik serta kursus matematika yang lebih lanjut seperti Teori Bilangan, Analisis, dan Topologi. Menurut Halat (2008), sebagian besar sekolah tinggi berada pada tingkat pertama atau kedua, dimana menurut NCTM (2000) siswa harus berada di tingkat kedua kelas 8, dan tingkat ketiga atau keempat kelas 12. Ini berarti bahwa siswa tidak tampil sesuai standart NCTM (Halat, 2008). Penyebab perbedaan ini adalah metode pengajaran dari guru yang kurang benar (Halat, 2008; Unal, Jakubowski & Corey, 2009; Villiers, 2004) Selama tahun-tahun pertama di sekolah menengah, sebagian besar siswa membuat transisi dari metode penalaran induktif (kesimpulan berdasarkan beberapa pengamatan masa lalu) menuju metode penalaran deduktif (membuktikan pernyataan dari postulat, definisi, teorema dan informasi yang diberikan) (NCTM, 2000). Namun, siswa pada usia ini mungkin memiliki berbagai kemampuan tingkat penalaran. Oleh karena itu, sebelum memulai instruksi, penting untuk menilai tingkat penalaran siswa. Hal ini memungkinkan guru untuk membedakan instruksi berdasarkan kesiapan siswa. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan, ada beberapa isu utama yang perlu disoroti, yaitu pembaruan kurikulum dan efektivitas metode pembelajaran (Nurhadi dalam wahyu, 2010:2). Pembaruan kurikulum terus dilakukan Depdiknas untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional, yaitu dari kurikulum 1994 diganti dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), disempurnakan lagi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan yang saat ini hangat dibicarakan adalah kurikulum 2013 (K-13) yang sudah diterapkan pada beberapa jenjang sekolah. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah paradigma lama sehingga orientasi pembelajaran bergeser dari ”guru dan apa yang harus dilakukan” ke ”siswa dan apa yang harus mereka lakukan”, dari ”teacher-oriented ke ”student-oriented”. Oleh karena itu, diharapkan guru dapat menerapkan pembelajaran yang inovatif yang mampu membuat siswa lebih kreatif dalam pembelajaran matematika. Salah satu materi matematika yang diajarkan untuk siswa kelas VIII semester II adalah Bangun Ruang Sisi Datar dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Untuk Standar Kompetensi (SK) mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang sisi datar, siswa masih banyak menemui kesulitan dalam memahami konsep bangun ruang tersebut secara menyeluruh. Mereka masih hafal betul mengenai materi tersebut yang sudah diperkenalkan sejak Sekolah Dasar (SD), namun mereka belum dapat membuat keterkaitan sifat-sifat antar bangun ruang sisi datar yang ada sehingga pemahaman mereka juga masih sangat kurang. Bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prestasi geometri siswa SD masih rendah (Sudarman, 2000:3). Sedangkan di SMP sesuai penelitian Sugiyarti (2013) ditemukan bahwa banyak siswa salah dalam menyelesaikan soal-soal terkait dengan unsur-unsur bangun ruang sisi datar, serta menyimpulkan bahwa kubus termasuk balok dengan panjang rusuk yang sama, dan balok termasuk prisma tegak segiempat. METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) ini adalah Lesson Study dengan pendekatan fase belajar model Van Hiele. Project Lesson Study ini 1447
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilaksanakan untuk siswa kelas VIIIB SMP Islam Al-Azhaar Tulungagung dengan Standar Kompetensi (SK): Memahami sifat – sifat Kubus, Balok, Prisma, Limas, dan bagian – bagiannya, serta menentukan ukurannya; Kompetensi Dasar (KD): Mengidentifikasi sifat – sifat Kubus, Balok, Prisma, dan Limas serta bagian – bagiannya; dan indikator: Menyebutkan rusuk, bidang, diagonal bidang, bidang diagonal, diagonal ruang prisma, balok, dan kubus. Pembelajaran dilaksanakan selama 2 kali tatap muka @ 80 menit. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) bagi mahasiswa pendidikan matematika pascasarjana Universitas Negeri Malang input guru. Kegiatan ini dilaksanakan oleh satu kelompok guru yeng terdiri dari 1 guru model dan 3 pengamat (observer). Langkah-langkah kegiatan Lesson Study ini diawali dengan perencanaan yaitu, dengan menyusun RPP dan LKS, lembar observasi open class lesson study serta meyiapkan alat peraga pembelajaran. Selanjutnya pelaksanaan Lesson Study di dalam kelas. Kegiatan akhir yaitu refleksi, di mana guru model bersama observer bersama-sama mendiskusikan pelaksanaan kegiatan dengan memberikan komentar serta saran dan masukan kepada guru model untuk pembelajaran selanjutnya. Data yang dikumpulkan dalam Lesson Study ini meliputi: (1) hasil observasi open class lesson study, (2) hasil dokumentasi, (3) hasil pekerjaan siswa dalam kelompok (LKS). Sedangkan sumber data berasal dari siswa kelas VIIIB SMP Islam Al-Azhaar Tulungagung tahun ajaran 2013-2014 serta 3 orang observer. HASIL DAN PEMBAHASAN Bangun ruang sisi datar merupakan salah satu materi geometri yang sudah dikenalkan kepada siswa pada jenjang Sekolah Dasar dan lebih diperdalam di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, seiring berjalannya waktu siswa SMP masih banyak yang belum memahami konsep bangun ruang sisi datar tersebut. Salah satu faktornya adalah kurang bermaknanya pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Pembelajaran geometri akan efektif apabila sesuai dengan struktur kemampuan berpikir siswa. Menurut pandangan Van Hiele dalam artikelnya (1986), dan Foys, Goddes, Lovett dan Tuchler (1988) serta Malati (tanpa tahun) hasil belajar dapat diperoleh melalui lima fase yang sekaligus sebagai tujuan pembelajaran. Untuk mendukung perpindahan dari level satu ke level berikutnya, baik materi ataupun pengajaran sebaiknya mengikuti susunan aktivitas yang terdiri dari lima fase. Fase-fase tersebut mengarah ke level berpikir yang lebih tinggi. Perputaran melalui lima fase ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperkaya pemahaman melalui berpikir deskriptif dan visual yang melibatkan berbagai macam bentuk dan ciri-ciri mereka. Selanjutnya lima fase pembelajaran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Fase 1 (Inkuiri/Penyeledikian/Informasi) Pengajaran sebaiknya diawali dengan fase penyelidikan dimana bahan perangkat dan media pembelajaran mengarahkan siswa untuk menyelidiki dan menemukan struktur-struktur tertentu. Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaian konsep-konsep awal tentang materi yang akan dipelajari. Guru menjelaskan informasi baru dalam setiap pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki siswa, misalnya: Prisma tegak segi empat memiliki berapa sisi tegak? Apa yang dimaksud dengan titik sudut pada prisma tegak segiempat?, dan seterusnya. Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk menggali tentang Bahasa matematika dan interpretasi atas konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya. Di sisi lain, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya. Fase 2 (Orientasi Berarah) Pada fase kedua ini, tugas disampaikan sedemikian rupa sehingga struktur karakteristik siswa tampak muncul secara bertahap contohnya melalui permainan atau media ajar lain, sehingga siswa meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar yang dirancang guru. Pada fase ini, guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus dari siswa. Misalnya, guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macam-macam bangun ruang. Selanjutnya, siswa diminta mengelompokkan jenis bangun ruang, setelah itu menggambarkan kembali macam-macam benda yang menyerupai bangun ruang tersebut dengan berbagai ukuran yang mereka tentukan sendiri. Aktivitas ini bertujuan untuk memotivasi siswa 1448
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
agar aktif mengeksplorasi objek-objek di sekitar mereka (berdasarkan sifat-sifat dan karakteristik bangun yang dipelajari) melalui kegiatan seperti mengukur sudut, menentukan panjang sisi untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk bangun-bangun tersebut. Fase ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep khusus dari bangun ruang. Fase 3 (Uraian/Penjelasan) Pada fase ketiga ini, guru memperkenalkan terminologi geometri dan mendorong siswa menggunakannya dalam percakapan dan tugas tertulis. Siswa diberi motivasi untuk mengemukaan pengalamannya tentang struktur bangun yang diamati dengan menggunakan bahasannya sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah pengetahuan intuitif siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Pada kegiatan ini, guru membawa objek-objek (ide-ide geometri, hubungan-hubungan, pola-pola, dan sebagainya) ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan Bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangunbangun yang diamati. Misalnya, menjelaskan unsur-unsur kubus dengan kata-kata sendiri kepada teman baik di dalam kelompok maupun di depan kelas. Fase 4 (Orientasi Bebas) Pada fase keempat ini, guru menyampaikan tugas yang bisa diselesaikan dengan caracara yang berbeda dengan tujuan siswa menjadi lebih mahir menerapkan apa yang sudah mereka ketahui. Contohnya, melalui eksplorasi membuat bentuk-bentuk atau benda-benda yang menyeruai bangun ruang sisi datar. Pada kegiatan ini, siswa ditantang dengan diberikan tugastugas yang lebih kompleks. Mereka diarahkan untuk belajar memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri, sehingga akan semakin jelas dalam melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat suatu bangun ruang. Jadi, siswa mengelaborasi sintesis dari penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya dengan kemampuan mereka. Fase ini lebih bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan masalah dan menerapkan strategi-strateginya sendiri. Peran guru adalah membantu siswa mengarahkan dalam mencapai tujuan tersebut dan memilih materi/masalah-masalah yang sesuai untuk mendapatkan pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi siswa. Fase 5 (Integrasi) Pada fase yang kelima sekaligus yang terakhir, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan apa yang telah mereka pelajari, mungkin dengan menciptakan aktifitas isyarat mereka sendiri. Siswa diminta membuat ringkasan tentang semua hasil dari setiap fase yang telah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat sintesis dari konsep-konsep dan hubungan-hubungan baru). Tujuan pada fase ini adalah menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah dipelajari dan didiskusikan bersama kelompok. Peran guru adalah membentu menginterpretasikan pengetahuan siswa dengan meminta mereka membuat refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada penggunaan struktur matematika. Van de Walle (2010) meringkaskan karakteristik utama level-level pada fase belajar Van Hiele yaitu (a) level-level itu berurutan, (b) setiap level memiliki bahasannya sendiri, sejumlah symbol, dan jaringan hubungan, (c) apa yang tampak implisit pada satu level menjadi eksplisit di level berikutnya, (d) materi yang lebih atas dan diajarkan pada siswa di level yang lebih bawah haruslah sikurangi tingkat kesulitannya, (e) peningkatan dari satu level ke level berikutnya lebih tergantung pada pengalaman pengajaran yaitu materi dan pengajarannya daripada usia dan kematangan biologis, (f) siswa harus melalui lima fase belajar ketika bergerak dari satu level ke level berikutnya. Berdasarkana standar isi kurikulum satuan pendidikan SMP, materi bangun ruang dengan Kompetensi Dasar 1 (mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang sisi datar), diharapkan mampu menanamkan konsep bangun ruang kepada siswa secara mendalam. Materi bangun ruang sisi datar yang diberikan kepada siswa kelas VIII meliputi kubus, balok, prisma, dan limas. Berikut uraian materi dalam pembelajaran Van Hiele: Klasifikasi awal dari bentuk-bentuk tiga dimensi (Identifikasi bangun ruang) Manakah bentuk-bentuk bangun di bawah ini yang menyerupai bangun prisma, yang biasa kalian temui di sekitar kita?
1449
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(a)
(b)
(c)
(d)
Contoh dan bukan contoh Bukan contoh bangun prisma
contoh bangun prisma
Siswa dapat membedakan bangun prisma dan bangun bukan prisma dari unsur-unsur yang telah mereka temukan dalam setiap fase belajar model Van Hiele. Siswa dapat mengetahui bahwa prisma adalah bangun ruang yang dibentuk oleh sisi/bidang sejajar segi-n dan bidang tegak yang berbentuk segiempat. Bukan hanya itu, siswa juga dapat mengetahui konsep bangun ruang sisi datar lain dan dapat menyebutkan mana yang contoh dan bukan contoh bangun ruang sisi datar. Selanjutnya, siswa dapat menemukan dan menggambarkan unsur-unsur tiap bangun ruang sisi datar seperti banyak sisi/bidang, rusuk, titik sudut, diagonal bidang, diagonal ruang, bidang diagonal, sisi yang saling sejajar, sisi yang saling berpotongan, dan sisi yang saling bersilangan. Pada aktivitas terakhir, siswa dapat menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara bangun prisma tegak segiempat, kubus, dan balok yang merupakan konsep yang sangat penting dalam pembelajaran bangun ruang selanjutnya yang harus dipahami siswa. Kesimpulan tersebut, yaitu (1) kubus adalah balok yang semua rusuknya sama panjang, (2) balok adalah prisma tegak segiempat yang alasnya berbentuk persegi panjang, (3) kubus adalah prisma tegak segiempat yang semua rusuknya sama panjang. Untuk mengaitkan pembelajaran yang pernah diterima siswa dengan yang akan dipelajari (apersepsi), guru mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan bangun ruang yang memiliki sisi datar. Contoh: sebutkan beberapa benda di sekitar kalian yang merupakan bangun ruang sisi datar. Selanjutnya untuk memotivasi siswa, guru menjelaskan kepada siswa manfaat penerapan bangun ruang sisi datar untuk pembuatan berbagai barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga memberitahukan bahwa untuk pembelajaran padahari itu, akan menggunakan fase belajar model Van Hiele dengan sedikit menyinggung lima fase belajar yang akan berlangsung. Dari kegiatan apersepsi dan memotivasi siswa, terlihat bahwa guru memulai pembelajaran dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan dipelajari. Guru memulai kegiatan inti dengan pembagian LKS yang bercirikan fase belajar model Van Hiele. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam LKS, siswa dibagi dalam 5 kelompok beranggotakan 3-4 siswa dan setiap kelompok mendapat 1 LKS. Dalam kelompoknya siswa terlihat antusias, serius dan semua siswa dalam kelas terlibat dalam pembelajaran serta aktif berdiskusi. Interaksi yang terjadi antar siswa karena masalah yang diberikan guru dalam LKS. Jika mereka tidak menemukan informasi yang kuat dalam LKS, mereka berinisiatif untuk menemukan penyelesaian masalah dari buku pegangan. Adapula beberapa siswa yang memanfaatkan alat peraga berupa kerangka bangun ruang yang telah disediakan guru. 1450
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Selama siswa berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyelesaikan setiap masalah dalam LKS, guru berkeliling membantu siswa yang megalami kesulitan dan 3 observer mengamati semua keaktifan dan aktifitas siswa dalam pembelajaran. Guru juga mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pancingan bagi siswa yang masih menemui kesulitan dalam menjawab soal untuk mendapatkan informasi baru dan memperbaiki jawaban mereka. Interaksi yang terjadi antara siswa dengan guru pada saat siswa menemui kesulitan dalam memahami maksud kata-kata yang ada pada LKS. Dari fase pertama (inkuiri) dimana tanpa penjelasan awal dari guru, siswa dapat menemukan sendiri konsep mengenai unsur-unsur serta konsep keterhubungan antara prisma, balok, dan kubus. Pada fase selanjutnya (orientasi terarah), siswa dapat menggambarkan unsur-unsur prisma tegak segiempat seperti rusuk yang salaing sejajar, rusuk yang saling berpotongan, dan rusuk yang saling bersilangan. Selain itu, siswa dapat menentukan ukuran panjang diagonal sisi/bidang dan diagonal ruang sebuah kubus jika ukuran panjang rusuk kubus diketahui. Dalam kegiatan ini, siswa banyak menemui kesulitan dalam penghitungan akhir menentukan panjang diagonal sisi dan diagonal ruang, sehingga guru memberikan scaffolding (bantuan kecil) kepada mereka. Fase ketiga (penjelasan), mmeberikan kesempatan kepada siswa untuk menceritakan kembali mengenai unsur-unsur prisma, balok, dan kubus seperti yang telah mereka temukan dalam fase sebelumnya dengan kata-kata sendiri. Mereka harus mengeksplorasi semua informasi yang mereka dapat dari fase sebelumnya. Pada fase keempat (orientasi bebas) ini, siswa diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kembali unsur-unsur prisma tegak segitiga dan prisma tegak segienam dan mencari keterhubungan antara unsur-unsur kubus dan balok. Pada fase kelima (integrasi/kesimpulan) ini, siswa diberi kesempatan untuk menuliskan kesimpulan semua informasi yang telah mereka dapatkan dari fase-fase sebelumnya. Dari fase ini, terlihat bahwa kelompok/siswa yang benar-benar aktif mampu memberikan kesimpulan yang runtut dan rapi. Kegiatan selanjutnya, guru bersama dengan siswa membahas LKS yang telah mereka kerjakan. Siswa diberi kesempatan untuk mempresentasikan jawaban mereka di depan kelas secara bergantian. Beberapa siswa yang terlihat kurang aktif saat kegiatan diskusi diberi kesempatan lebih untuk mempresentasikan jawaban kelompok dimaksudkan agar memiliki andil dalam pembelajaran. Penilaian terhadap siswa dilakukan dengan melihat hasil pekerjaan siswa secara berkelompok (LKS), keaktifan dalam berdiskusi, kerjasama dalam kelompok, sopan santun, dan keberanian serta kesesuaian dalam menyampaikan pendapat di depan kelas. Sebagai penutup, guru menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya dan memberi penguatan serta memberi kesimpulan terhadap materi pada pembelajaran hari itu. SIMPULAN Dari uraian pembahasan di atas, dapat dikemukakan bahwa keaktifan dan pemahaman siswa dapat ditumbuhkembangkan melalui pembelajaran dengan fase belajar model Van Hiele. Fase belajar Van Hiele memiliki karakteristik yang sesuai dengan karakteristik berpikir siswa di SMP Islam Al-Azhaar Tulungagung. Meskipun sebelumnya belum pernah diterapkan model pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, siswa dapat menyesuaikan diri dengan model pembelajaran yang baru diterapkan. Dengan adanya tindak lanjut dan latihan yang berkesinambungan, diharapkan pemahaman dan keaktifan siswa dapat dikembangkan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar guru mau mencoba menerapkan pembelajaran denga fase belajar model Van Hiele yang sederhana dan sesuai dengan karakteristik berpikir siswa agar siswa dapat lebih aktif dalam pembelajaran, lebih percaya diri dan memiliki keberanian dalam menyampaikan pendapat mereka serta dapat menumbuhkan kreatifitas terhadap perubahan yang pasti terjadi. DAFTAR RUJUKAN Clements, D. H.,& Battista, M. T (1992). Geometry and Spatial Reasoning. Handbook of Research on Mathematics Teaching And Learning. Crowley, M. L (1987): The Van Hiele Model of the development of geometric thought, in NCTM (1987): Learning ang Teaching Geomatry, K-12. (NCTM: Reston, USA), pp.116. Depdiknas, 2006. Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.
1451
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
De Villiers, M. (2004). Using dynamic geometry to expand mathematics teachers understanding of proof. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, pp. 703-724. Discovering Geometry: The Van Hiele. (2011). Retrieved November 1, 2011, from Key Curriculum Press:http://www.keypress.com/x6772.xml. Erdogan, T., Akkaya, R.,& Celebi Akkaya, S. (2009). The Effect of the Van Hiele Model Based Instruction on the Creative Thinking Levels of 6th Grade Primary School Students. Educational Sciences:Theory & Practice, 181-194. Halat, E. (2008). In-Service Middle and High School Mathematics teachers:Geometric Reasoning Stages and Gender. The Mathematics Educator, pp.8-14. Halat, E. (2006). Sex-related Differences In The Acquisition Of The Van Hiele Levels and Motivation in Learning Geometry. Asia Pasific Education Review, pp. 173-183. Hirschfeld,Kimberly. 2008. Mathematical Communication, Conceptual Understanding and Students „Attitude Toward Mathematics. Department of Mathematics. University of Nebraska. Hudojo, H. 1988. Strategi Mengajar Belajar Matematika.IKIP Malang Kumar,K.,Kumar,V.2010. comparison of NCERT and PSEB Geometry text Books on the Basis of Van Hiele‟s level of thinking in geometry. (online). Jurnal Learning Community:Vol 1. No 2 Dec.2010 (page 253-257):India. Mason, M. 2010. The Van Hiele Levels of Geometric Understanding (online) Professional Handbook for Teacher, Geometry: Explorations and Applications, McDougal Litteli Inc. Unal, H., Jakubowski, E.,&Corey, D. (2009, December 15). Differences in learning geometry among high and low spatial ability pre-service mathematics teachers International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, pp.997-1012. Van Hiele P.M (1986). Strusture and Insight: A Theory og Mathematics Education. Orlando: Academic Press. Sugiyarti, 2013. Pengembangan buku siswa dengan mengacu lima fase belajar model Van Hiele pada materi bangun ruang sisi datar kelas VIII SMP laboratorium unievrsitas Negeri Malang Tesis tidak diterbitkan.Malang:Pps UM.
PENINGKATAN PEMAHAMAN SISWA PADA MATERI SEGI EMPAT MELALUI PEMBELAJARAN BERDASARKAN TEORI VAN HIELE BERSETING STAD Amalia Itsna Yunita Pascasarjana Universitas Negeri Malang [email protected] Prof. Purwanto, Ph.D dan Dr. I Nengah Parta, S.Pd, M.Si Abstrak: Setiap siswa memiliki kemampuan berpikir yang berbeda terutama dalam materi geometri. Sehingga diperlukan metode pembelajaran yang memperhatikan tingkat berpikir siswa, salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele. Level berpikir menurut Van Hiele yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga, yaitu level 0 (visualisasi), level 1 (analisis), dan level 2 (deduksi informal). Pembelajaran ini dipadukan dengan pembelajaran kooperatif Student Teams Achievement Division (STAD). Dengan pembelajaran kooperatif, siswa termotivasi untuk melakukan kerja sama dan pembelajaran bermakna. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi segi empat. Dalam setiap level berpikir terdiri dari tahap-tahap pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD, yaitu tahap informasi pada presentasi kelas, tahap orientasi terbimbing, eksplisitasi, orientasi bebas, dan integrasi pada diskusi kelompok, kuis, dan rekognisi tim. Peningkatan pemahaman siswa pada setiap pembelajaran terlihat dengan munculnya indikasi level berpikir yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya siswa yang
1452
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
meningkat pemahamannya pada siklus I berturut-turut sebanyak 25, 0, 27, 24, 17, dan 3 orang. Sedangkan pada siklus II, berturut-turut sebanyak 15, 16, 22, 25, 28, dan 8 orang. Kata Kunci: teori Van Hiele, STAD, peningkatan pemahaman, segi empat
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, geometri, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Depdiknas, 2006:345). Geometri tidak jauh dari kehidupan manusia sehingga sejak dini, siswa perlu mempelajarinya. Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah, disebutkan adanya beberapa kompetensi dasar mengenai materi geometri yang harus dikuasai oleh siswa. Geometri yang diajarkan di sekolah merupakan dasar bagi siswa dalam memahami fenomena visual yang ada di sekitarnya. Salah satu materi geometri yang dipelajari di kelas VII adalah segi empat. Untuk mengetahui tingkat pemahaman pada materi segi empat, dilakukan pemberian tes pada siswa dan diperoleh hasil bahwa masih banyak siswa yang kurang memahami konsep segi empat. Pemahaman konsep sangat penting dalam pembelajaran, dengan memahami konsep maka siswa akan lebih lama mengingat materi tersebut dibandingkan dengan hanya menghafalkan materi. Pemahaman konsep matematika menurut NCTM (2000:11) dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu siswa dapat (1) mendeskripsikan konsep dengan kata-kata sendiri, (2) mengidentifikasi atau memberikan contoh dan bukan contoh konsep, (3) menggunakan konsep dengan benar dalam berbagai situasi. Pembelajaran di sekolah ini masih berpusat pada guru dan masih menerapkan pembelajaran yang memperlakukan semua siswa secara sama. Dalam mengajar, terlebih dahulu guru menyajikan materi kepada siswa, kemudian memberikan contoh soal, dan selanjutnya memberikan soal-soal latihan. Siswa memperhatikan penjelasan guru kemudian mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa, diketahui bahwa siswa cenderung hanya menghafalkan materi yang sudah diberikan oleh guru tanpa memahami isi materi tersebut, sehingga siswa mengalami pembelajaran kurang bermakna. Dengan metode ini, siswa kurang memahami materi karena setiap siswa memiliki tingkatan berpikir yang berbeda. Salah satu metode pembelajaran yang memperhatikan tingkat berpikir siswa adalah pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele. Terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai tahap berpikir siswa berdasarkan teori Van Hiele, diantaranya : Martina (2003) menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele dapat memberikan pengalaman belajar sesuai tahap berpikir siswa dan membantu mengarahkan siswa pada pemahaman konsep segitiga yang tepat. Pembelajaran geometri berdasarkan teori Van Hiele dapat membuat aktivitas belajar geometri siswa lebih terorganisir dan sistematis (Abdullah & Zakaria, 2011:787). Menurut teori Van Hiele, dalam belajar geometri, perkembangan tingkat berpikir siswa dibagi menjadi lima (5) level, yaitu: level 0 (visualisasi) adalah siswa mengenali gambar hanya dari penampakannya, level 1 (analisis) adalah siswa mengenali gambar berdasarkan sifatsifatnya, level 2 (deduksi informal) adalah siswa dapat melihat hubungan antara sifat-sifat dan antara gambar-gambar, level 3 (deduksi) adalah siswa dapat mengkonstruksi bukti, dan level 4 (rigor) adalah siswa memahami aspek formal dari deduksi (Mason, 2002:4). Masing-masing siswa mungkin tidak sama dalam hal pencapaian level berpikir. Oleh karena itu diperlukan kerja sama yang baik antar siswa maupun dengan guru supaya tujuan belajar tercapai. Untuk menciptakan suasana kerja sama yang baik, maka pembelajaran geometri berdasarkan teori van Hiele dipadukan dengan pembelajaran kooperatif. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif adalah Student Teams Achivement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin. Dalam STAD siswa belajar dalam kelompok untuk saling memotivasi supaya dapat mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan guru. Melalui interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Dengan mengkondisikan pembelajaran dalam kelompok diharapkan dapat membantu siswa termotivasi untuk belajar dan memahami konsep.
1453
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD merupakan perpaduan antara pembelajaran berdasarkan teori van Hiele dengan berseting STAD. Tahapan yang digunakan adalah tahap informasi yang dilaksanakan pada tahap presentasi kelas. Tahapan selanjutnya yaitu orientasi terbimbing, eksplisitasi, orientasi bebas dan integrasi dilaksanakan pada diskusi kelompok, dilanjutkan tahap kuis dan rekognisi tim. Pada tahap informasi guru menyampaikan materi yang akan dipelajari dan pada tahap orientasi terbimbing siswa mengeksplorasi konsep melalui kegiatan dalam kelompok. Tahap eksplisitasi siswa mengidentifikasi sifat-sifat dari suatu konsep dengan kata-kata sendiri secara berkelompok, pada tahap orientasi bebas siswa mengaplikasikan materi dengan mengerjakan latihan soal dalam LKS secara berkelompok. Pada tahap integrasi siswa menyimpulkan sifat-sifat segiempat berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan secara berkelompok, pada tahap kuis siswa mengerjakan soal secara individual dan pada tahap rekognisi tim guru memberi penghargaan pada kelompok terbaik. Van de Walle (2010:404) menyatakan bahwa kebanyakan siswa SMP hanya mampu berada sampai pemahaman level 2 (deduksi informal). Pemahaman siswa dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 3: (1) Pemahaman level 0 (visualisasi) adalah kemampuan siswa mengidentifikasi suatu bangun geometri berdasarkan apa yang tampak secara visual. (2) Pemahaman level 1 (analisis) adalah kemampuan siswa mengidentifikasi sifat-sifat dasar tentang sisi dan sudut yang dimiliki bangun segi empat. (3) Pemahaman level 2 (deduksi informal) adalah kemampuan siswa menentukan hubungan antar bangun segi empat berdasarkan sifat-sifatnya dengan menggunakan argumen informal. Pemahaman siswa pada materi segiempat dikatakan meningkat apabila berdasarkan hasil kerja siswa pada LKS, hasil kuis, dan tes akhir siklus siswa dapat menunjukkan adanya indikasi pemahaman level yang lebih tinggi pada setiap pembelajaran. Penelitian ini dilakukan karena adanya permasalahan dalam pembelajaran di kelas yang dihadapi oleh guru yaitu salah satunya siswa kurang memahami materi segiempat. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang didasarkan pada fokus permasalahan di kelas dan merupakan upaya untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. METODE Penelitian tindakan kelas ini mengacu pada model yang dikembangkan oleh McKernan. Dalam penelitian ini, satu siklus terdiri dari tujuh tahap, yaitu (1) pendefinisian masalah, (2) asesmen kebutuhan, (3) hipotesis tindakan, (4) perencanaan, (5) pelaksanaan dan pengamatan, dan (6) evaluasi tindakan, dan (7) refleksi (Hopkins, 2008:53). Penelitian ini dilakukan sebanyak dua siklus, setiap satu siklus terdiri dari enam kali pembelajaran dan satu kali tes akhir siklus. Subyek penelitiannya adalah siswa MTs Attaraqqie kelas VII B dan VIIA tahun pelajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam mengerjakan LKS adalah diskusi kelompok. Pada pertemuan yang pertama kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan tujuan siswa dapat mengklasifikasikan bangun datar ke dalam kelompok segi empat atau bukan. Pada kegiatan pembelajaran kedua tujuannya adalah siswa mampu mengidentifikasi sifat-sifat jajargenjang. Pada pertemuan yang ketiga kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan tujuan siswa dapat mengidentifikasi sifat-sifat belah ketupat. Pada kegiatan pembelajaran keempat tujuannya adalah siswa mampu mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang. Pada kegiatan pembelajaran kelima tujuannya adalah siswa mampu mengidentifikasi sifat-sifat persegi. Adapun tujuan pembelajaran pada pertemuan keenam yaitu siswa dapat menentukan hubungan antara bangun jajargenjang, belah ketupat, persegi panjang, dan persegi berdasarkan sifat yang dimiliki. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang dikumpulkan di sini adalah catatan lapangan yang berasal dari observer dan validator. Catatan lapangan ini meliputi catatan observer mengenai semua tindakan guru selama proses pembelajaran, dan saran serta komentar dari validator maupun observer. Data kuantitatif yang dikumpulkan meliputi hasil validasi perangkat pembelajaran yang berasal dari validator. Kemudian hasil kerja siswa kelas VII B MTs Attaraqqie Malang tahun pelajaran 2013/2014 di LKS, hasil kuis dan tes akhir siklus untuk mengukur tingkat pemahaman siswa pada materi segiempat. Sedangkan hasil observasi aktivitas siswa dan guru berasal dari observer dalam lembar observasi. 1454
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
START
PENDEFINISIAN MASALAH
ASESMEN KEBUTUHAN
HIPOTESIS TINDAKAN
1. 2. 3. 4. 5.
PERENCANAAN: RPP LKS LEMBAR OBSERVASI KUIS DAN TES LEMBAR VALIDASI
VALIDASI PELAKSANAAN TIDAK
YA
EVALUASI TINDAKAN
VALID PENGAMATAN
REFLEKSI
TIDAK
MEMENUHI KRITERIA YA LAPORAN
END
Gambar 1 Skema Penelitian Tindakan Kelas (dimodifikasi dari model McKernan)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi segi empat sebagai berikut: (1) Fase informasi dilaksanakan pada tahap presentasi kelas dari STAD. Guru memberi pertanyaan lisan tentang materi prasyarat kepada siswa. (2) Fase orientasi terbimbing, yaitu siswa mulai mengeksplorasi bangun segitiga dari mika secara berkelompok untuk mendapatkan bangun segi empat. (3) Fase eksplisitasi, setiap kelompok diarahkan menuliskan sifat-sifat dari segi empat berdasarkan pertanyaan dalam LKS. (4) Fase orientasi bebas, guru mengarahkan setiap kelompok untuk mengerjakan latihan soal terkait sifat, luas dan keliling segi empat. (5) Fase integrasi, guru membimbing siswa untuk menuliskan sifat-sifat jajargenjang berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan. Kemudian salah satu perwakilan kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompoknya. Sedangkan kelompok lain diminta memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap jawaban yang berbeda. Guru mengklarifikasi jawaban dalam LKS yang benar dan menjawab pertanyaan di luar LKS dari
1455
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa. Selain itu guru menjelaskan kesimpulan dan tujuan kegiatan pembelajaran setiap pertemuan (6) Kuis, guru memberikan kuis individu kepada siswa, untuk dikerjakan selama tiga puluh (30) menit. (7) Rekognisi tim, guru memberikan penghargaan bagi kelompok yang memiliki skor tertinggi. Skor tersebut diperoleh dari jumlah skor kuis yang diperoleh masingmasing anggota kelompok. Berdasarkan hasil kerja siswa pada LKS, siswa menunjukkan adanya peningkatan pemahaman yaitu dengan terlihatnya indikasi pemahaman level yang lebih tinggi pada setiap pembelajaran. Selain itu dari siklus I dan siklus II terdapat peningkatan jumlah siswa yang meningkat pemahamannya pada setiap pembelajaran. Hasil kuis menunjukkan bahwa banyaknya siswa yang meningkat pemahamannya pada siklus I berturut-turut sebanyak 25, 0, 27, 24, 17, dan 3 orang. Sedangkan pada siklus II, berturut-turut sebanyak 15, 16, 22, 25, 28, dan 8 orang. Pada pembelajaran pertama dan ketiga tidak terjadi peningkatan, disebabkan karena pada siklus I banyak siswa menyontek jawaban teman, sehingga guru lebih ketat dalam mengawasi siswa mengerjakan kuis pada siklus II. Pada siklus I dan siklus II, karena semua siswa pada awalnya berada pada level 0, maka siswa mampu mengklasifikasikan segi empat berdasarkan penampakan secara visual. Pada pembelajaran berikutnya yaitu mengidentifikasi sifat-sifat segi empat, dengan LKS dan kuis siswa mampu berada pada pemahaman level 1 yaitu siswa mampu mengidentifikasi sifat-sifat segi empat. Pembelajaran terakhir yaitu pembelajaran keenam. Pembelajaran untuk mencapai pemahaman level 2, yaitu bertujuan siswa mampu menentukan hubungan antara jajargenjang, belah ketupat, persegi panjang, dan persegi. Kendalanya adalah siswa belum dapat menentukan hubungan di antara keempat bangun segi empat tersebut. Penyebabnya siswa belum dapat mengisi tabel sifat-sifat bangun segiempat dengan tepat, terutama bagian sifat sudutnya. Sehingga guru menjelaskan cara mengisi tabel tersebut dan memberi pertanyaan tentang sifat sudut salah satu segi empat yang belum dipahami. Selain itu, penyebab siswa belum mampu berada pada level 2 adalah siswa belum dapat mendefinisikan konsep segi empat dengan tepat. Proses mengklasifikasikan dan menghubungkan konsep tidak dapat dipisahkan dari proses mendefinisikan (de Villiers, 1994:12), sehingga guru harus memantapkan definisi dari masingmasing segi empat.
Gambar 2 Jawaban siswa pada tabel sifat-sifat segi empat
Gambar 3 Jawaban siswa pada bagan hubungan antar bangun segi empat
Setelah melalui pembelajaran keenam, siswa diberikan tes akhir siklus yang meliputi pemahaman level 0, 1, dan 2. Diperoleh hasil bahwa siswa hanya mampu menjawab dengan benar soal yang berhubungan dengan pemahaman level 0 dan 1. Sedangkan untuk soal pemahaman level 2, siswa masih belum dapat menjawab dengan benar. Hal tersebut terjadi karena pada pembelajaran keenam, siswa belum dapat menentukan hubungan antar bangun segi
1456
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
empat, sehingga siswa belum dapat berada pada pemahaman level 2. Langkah yang dilakukan guru mengajak siswa mereview materi hubungan antar bangun jajargenjang, belah ketupat, persegi panjang, dan persegi dengan memberi pertanyaan pancingan tentang hubungan antar bangun tersebut. Siswa yang bertransisi dari level 1 ke level 2 memerlukan lebih dari hanya kemahiran bahasa, tetapi mampu mengkaitkan hubungan baru antar konsep dan pembaharuan konsep yang sudah ada (de Villiers, 2010:2).
Gambar 4 Jawaban siswa pada tes akhir siklus materi segi empat
PENUTUP Berdasarkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan diperoleh bahwa pemahaman matematika siswa berdasarkan teori Van Hiele meningkat pada setiap pertemuan, hal ini terlihat dengan munculnya indikasi pemahaman level yang lebih tinggi pada setiap pertemuan. Pembelajaran yang efektif terjadi saat siswa secara aktif memiliki pengalaman dengan objek dalam konteks yang tepat dalam geometri, selain itu siswa mengaitkan objek dalam diskusi dan refleksi menggunakan bahasa selama pembelajaran (Idris, 2010:105). Pemahaman matematika siswa berdasarkan teori Van Hiele hanya mampu berada pada pemahaman level 1, yaitu siswa mampu mengidentifikasi sifat-sifat dasar tentang sisi dan sudut yang dimiliki bangun segi empat. Pada siklus 1 belum ada siswa yang berada pada pemahaman level 2, sedangkan pada siklus 2 hanya satu kelompok siswa yang berada pada pemahaman level 2. Sebelum menerapkan pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD, hendaknya guru memantapkan materi prasyarat dengan baik. Sehingga dalam pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele, guru tidak terlalu mendominasi dalam memberi bimbingan kepada siswa. Guru sebaiknya melakukan pretest untuk mengetahui level pemahaman awal siswa sebelum menerapkan pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD. Untuk menerapkan pembelajaran berdasarkan teori Van Hiele berseting STAD memerlukan waktu yang lebih lama, sehingga penggunaan waktu harus seefisien mungkin supaya semua fase pembelajaran dapat terlaksana dan pemahaman siswa berkembang dengan maksimal. DAFTAR RUJUKAN Abdullah, A.H. & Zakaria, E. 2011. Students‟ Perceptions Towards the Van Hiele‟s Phases of Learning Geometry Using Geometer‟s Sketchpad Software. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 5(7): 787-792, ISSN 1991-8178. Depdiknas. 2006. Standar Isi. Jakarta : Depdiknas. De Villiers, Michael. 2010. Some Reflections on the Van Hiele theory. University of KwaZuluNatal. South Africa. De Villiers, Michael. 1994. The role and function of a hierarchical classification of the quadrilaterals. For the Learning of Mathematics, 14(1), 11-18. (Available from http://mzone.mweb.co.za/residents/profmd/classify.pdf ) Hopkins, David. 2008. A Teacher‟s Guide to Classroom Research. Fourth Edition. Mc Graw Hill. 1457
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Idris, N. (2009). The Impact Of Using Geometer‟s Sketchpad On Malaysian Students‟ Achievement And Van Hiele Geometric Thinking. Journal of Mathematics Education, Dec, Vol. 2, No. 2, pp. 94-107. Martina,Hj. 2003. Pemahaman Konsep Segitiga dengan Penerapan Teori Van Hiele bagi Siswa Kelas I SLTP Negeri 3 Banjarmasin. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Mason, M. 2002. Professional Handbook For Teachers, Geometry: Explorations And Applications. McDougal Littell Inc. NCTM. 2000. Mathematics Assessment: a Practical Handbook for grade 6-8. USA. Van de Wall, J.A., Karp, K.S, dan Bay-William, J.M. 2010. Elementary and Middle School Mathematics Teaching Developmentally. Seventh Edition. USA : Pearson Education, Inc
1458