Interpretasi Bawah Permukaan Daerah Porong Sidoarjo Dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis Untuk Mendapatkan Bidang Patahan Teguh Setiyawan, Dr. Ir. Widya Utama, DEA Laboratorium Geofisika Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya Jl. Arief Rahman Hakim Sukolilo Surabaya 60111 E-mail:
[email protected] Abstrak Amblesan akibat semburan lumpur Porong Sidoarjo telah menyebabkan patahan dangkal di daerah semburan dan sekitarnya. Untuk mendeteksi keberadaan patahan digunakan metode geolistrik tahanan jenis dengan konfigurasi wenner Diambil 17 lintasan pengukuran dengan panjang masingmasing lintasan 300 meter. Pengolahan data dilakukan dengan software RES2DINV ver 5.6. Berdasarkan pengolahan dan analisa data didapat bahwa terdapat patahan dangkal akibat adanya amblesan lumpur Sidoarjo, kondisi kestabilan tanah/kekuatan batuan di daerah penelitian sangat rendah, jenis tanah/batuan pada ketujuhbelas lintasan memiliki penyusun yang sama tetapi hanya jumlah prosentase penyusunnya saja yang berbeda. Dari permukaan hingga kedalaman 50 meter jenis penyusun tanah/batuannya adalah kerikil, pasir, lempung dan serpih. Kata kunci : metode geolistrik, konfigurasi wenner, patahan, RES2DINV.
PENDAHULUAN Pembangunan sarana akses transportasi yang menghubungkan kota sidoarjo dengan kota-kota lainya merupakan suatu usaha untuk memberikan akses informasi, ekonomi, sosial dan budaya yang lancar, cepat dan aman. Tol merupakan sarana akses transportasi darat yang mempunyai posisi penting, karena TOL memberikan akses yang lancar, aman dan cepat dibandingkan dengan sarana akses transportasi darat lainya. Khususnya sarana dibangun dengan baik, aman dan benar. Sebelum dilakukan pembangunan jalan TOL ada dugaan bahwa dikawasan yang akan dilakukan pembangunan tersebut terdapat kondisi struktur geologi bawah permukaan yang dapat menganggu proses pembangunan jalan TOL. Struktur geologi yang dimaksud adalah sistem sesar/patahan. Dugaan awal patahan berasal dari aktivitas sesar/Patahan watukosek. Tetapi erupsi lumpur panas Sidoarja juga mempunyai kemungkinan cukup besar untuk menimbulkan patahan. Erupsi lumpur panas yang memyebabkan penimbunan masa yang sedemikian besar menyebabkan ketidakstabilan kekompakan batuan, sehingga kemungkinan terjadi amblesan sangat besar.
Dengan adanya sistem sesar/patahan ini akan menyebabkan kekuatan batuan/kestabilan tanah berkurang, karena bidang-bidang struktur tersebut akan menganggu kontiunitas kekuatan batuan/tanah, baik dalam skala kecil maupun besar. Dengan mengetahui kondisi bawah permukaan tanah akan dapat memberikan informasi mengenai jenis batuan dan srtuktur geologi yang menjadi acuan awal peletakan pondasi dari sebuah bangunan. Sehingga perlu adanya survei awal atau kajian khusus untuk mendapatkan informasi kondisi bawah permukaan tanah yang sesuai dengan kriteria diatas. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi patahan adalah metode geolistrik. Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi dan cara mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran potensial, pengukuran arus baik secara alamiah maupun akibat injeksi arus ke dalam bumi. Geologi Regional Daerah Penelitian Secara umum Jawa Timur terdiri dari tiga daerah geologi aktif yaitu bagian selatan (merupakan pegunungan api aktif), bagian tengah (merupakan cekungan laut transgesi), dan utara (pegunungan kapur). Daerah Porong
merupakan bagian tengah dari geologi Jawa Timur yang sudah terjadi sejak 40 juta tahun yang lalu, pada era Tersier (Van Bemmelen, 1949).
Gambar 1 Peta geologi daerah Porong (Sukardi, 1992)
Daerah Porong merupakan bagian delta sungai Brantas yang tersusun atas urutan formasi Ngimbang, Kujung, Tuban, Ngrayong, Wonocolo, Ledok, dan paling muda formasi Lidah. Sedangkan di permukaan terdiri dari endapan aluvial delta Brantas (di utara sungai Porong), endapan vulkanik kuarter atas dan tufaan di selatan sungai Porong. Endapan aluvial delta ini terdiri dari endapan yang berasal dari sungai Brantas yang secara stratigrafis oleh Kadar drr. (2007) diuraikan sebagai berikut perselingan antara pasir dengan serpih setebal ± 848 m (2.782,2 kaki) yang dikorelasikan dengan Formasi Pucangan. Di bagian tengah berupa lempung abu-abu kebiruan Formasi Kalibeng Atas setebal 1.285 m (4.215,9 kaki). Di bawah Formasi Kalibeng didapatkan pasir vulkanik abu-abu tua berbutir sedang sampai kasar, dengan tebal lebih dari 944 m ( > 3.097,1 kaki). Sifat Kelistrikan Batuan Menurut Telford et al. (1982: 445 447) aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik. 1. Konduksi secara elektronik Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan
dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas tersebut. 2. Konduksi secara elektrolitik Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang sangat tinggi. Batuan biasanya bersifat porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Batuan-batuan tersebut menjadi konduktor elektrolitik, di mana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang. 3. Konduksi Secara Dielektrik Konduksi pada batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi karena adanya pengaruh medan listrik dari luar maka elektron dalam bahan berpindah dan berkumpul terpisah dari inti, sehingga terjadi polarisasi. Potensial Dalam Medium Homogen Apabila suatu medium homogen dialiri arus listrik dengan rapat arus dan kuat medan linstrik , maka menurut hukum ohm :
dalam Volt/meter, adalah Dengan resistivitas medium. Medan listrik merupakan gradient dari potensial scalar yang ditulis sebagai berikut :
Dengan memasukan persamaan (2.6) ke dalam persamaan (2.5) diperolah :
Dengan mengigat syarat batas, bahwa arus yang memasuki suatu luasan tertentu sama dengan arus yang meninggalkannya, kecuali ditempat sumber arus dan lubuk arus, maka :
Sehingga diperoleh persamaan Laplace, yaitu :
Jadi syarat batas untuk arus yang memasuki suatu luasan tertentu sama dengan arus yang meninggalkannya. Untuk perhitungan dengan syarat batas pada arus tunggal yang diinjeksikan pada sebuah bahan seperti terlihat pada gambar 2. =
Gambar 2 elektroda
Gambaran
penyebaran
arus
Sehingga didapatkan besarnya potensial yang diakibatkan oleh elektroda tunggal adalah pada persamaan (2.13)
Dua arus elektroda dengan polarisasi berlawanan di permukaan medium homogen Menurut Telford et al. (1976: 633 637) saat jarak diantara dua arus elektroda adalah terbatas (lihatlah gambar 3) potensial yang dekat pada titik permukaan akan dipengaruhi oleh kedua arus elektroda tersebut.
dari Gambar 3 ua elektroda arus dan dua elektroda potensial pada permukaan tanah homogen isotropik pada resistivitas ρ (Telford et al. 1976)
dengan dimana
Sehingga beda potensial pada elektroda P1 yang dipengaruhi oleh elektroda arus C1 dan C2 adalah
Dengan syarat batas Dan beda potensial di elektroda P2 yang dipengaruhi oleh elektroda arus C1 dan C2 adalah Untuk K adalah faktor geometri yang besarnya bergantung dari susunan elektroda yang digunakan sebagai koreksi dalam pengolahan data. dengan
Gambar 4 Perubahan bentuk pada bidang equipotensial dan garis aliran arus untuk dua titik sisi vertikal
Bila mediumnya tidak homogeny isotrop, maka resistivitasnya disebut resistivitas semu. Dengan mengunakan susunan elektroda tertentu, maka harga K dapat diketahui. Beda potensial dan arus yang dialirkan ke dalam tanah dapat diukur. Dengan demikian resistivitas semu dapat dihitung. Pada gambar 2.2 menunjukan adanya arus ekipotensial yang tegak lurus terhadap garis aliran arus yang disebabkan oleh sumber arus ganda dipermukaan. Konfigurasi Elektroda Wenner Konfigurasi Wenner merupakan salah satu konfigurasi yang sering digunakan dalam eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak antar elektroda sama panjang seperti yang terlihat pada Gambar 6.
I a
C1
a
P1
V
a
P2
Batas pembesaran spasi elektroda ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai. Semakin sensitif dan besar arus yang dapat dihasilkan alat tersebut, maka semakin besar pula jarak spasi yang dapat pada tahanan jenis sounding, jarak spasi elektroda tersebut diperbesar secara gradual, mulai dari harga “a” kecil, untuk suatu titik sounding. Model pengukuran 2D dengan metode Wenner terlihat pada diukur, sehingga semakin dalam pula lapisan yang terdeteksi. Adanya sifat bahwa pembesaran jarak elektroda arus diikuti pula oleh pembesaran jarak elektroda potensial menyebabkan jenis konfigurasi Wenner dapat mendeteksi ketidakhomogenan lokal dari lokasi yang diamati. Dalam prosedur Wenner pada tahanan jenis mapping, empat elektroda konfigurasi (C2P2P1C1) dengan spasi yang sama dipindahkan secara keseluruhan dengan jarak yang tetap sepanjang garis pengukuran. Pemilihan spasi terutama tergantung pada kedalaman lapisan yang akan dipetakan (Sharma, 1997). Konfigurasi Wenner mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Burger (2006), kelebihan konfigurasi Wenner adalah dengan lebar spasi elektroda potensial yang besar maka tidak memerlukan peralatan yang sensitif. Sedangkan kekurangannya adalah semua elektroda harus dipindahkan untuk setiap pembacaan data resistivitas. Hal ini untuk mendapatkan sensitifitas yang lebih tinggi untuk daerah lokal dan variasi lateral dekat permukaan. Sedangkan faktor geometri Wenner sebesar:
C1
Gambar 5. Susunan elektroda konfigurasi Wanner
Dalam hal ini elektroda-elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara simetris terhadap titik sounding. Jarak antar elektroda arus tiga kali jarak antar elektroda potensial. Jadi, jika jarak masing-masing potensial terhadap titik souding adalah a/2 maka jarak masingmasing elektroda arus terhadap titik sounding adalah 3a/2. Pada tahanan jenis mapping, jarak spasi elektroda tersebut tidak berubahubah untuk setiap titik sounding yang diamati (besarnya a tetap). Sedangkan.
Resistivitas semu yang terbaca dalam konfigurasi wenner dapat dinyatakan dalam rumus :
dimana = resistivitas semu = jarak spasi elektroda = resistivitas yang terukur = R
Dari persamaan (2.17) tersebut suku merupakan factor geometri dari konfigurasi wenner. Adanya sifat tersebut menyebabkan konfigurasi wenner dapat mendeteksi ketidakhomogenan local dari lokasi yang diamati. Target kedalaman yang didapatkan untuk konfigurasi wenner Alpha adalah : dimana Zc = target kedalaman = jarak antar elektroda Pengertian Patahan/Sesar Menurut Hendrajaya dan Simpen (1993), bahwa sesar adalah struktur geologi yang terbentuk karena terdapatnya dislokasi atau patahan yang memotong bidang-bidang perlapisan antar batuan. Pada umumnya bidang sesar terisi oleh fluida atau mineral yang relatif lebih kondusif dari batuan sekitarnya. Hal ini akan mengakibatkan penurunan resistivitas. Jadi pada sesar/patahan akan mempunyai resistivitas yang relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya. Metode Penelitian Metode penelitian terdiri dari akuisisi data, pengolahan data, analisa data dan interpretasi data. Akuisisi data Proses pengambilan data pada metode geolistrik mempunyai beberapa tahap pelaksanaan. Tahap pelaksanaan tersebut adalah: Tahap I: Penentuan titik sounding pada peta lapangan. Pada umumnya, sebelum melakukan pengukuran geolistrik di lapangan, peta lapangan yang akan disurvei perlu dipelajari terlebih dahulu untuk menentukan posisi yang tepat bagi titiktitik sounding. Tahap II: Penempatan titik sounding di lapangan. Pada tahap ini, titik-titik sounding yang telah ditentukan pada peta lapangan di cari posisinya secara tepat di lapangan. Berdasarkan referensi-referensi yang didapat di lapangan, misalnya letak bangunan, pohon, sungai dan lain-lain dengan bantuan kompas. Letak titik-titik tersebut mestinya akan dapat ditentukan dengan tepat dan lurus. Tahap III: Pengambilan data. Pada titik sounding, ditentukan bentangan elektroda berupa garis lurus dengan titik sounding
merupakan titik tengah. Arah bentangan yang dipilih adalah arah bentangan yang lurus. Kemudian dibentangkan (tali yang sudah diberi jarak tertentu) sesuai dengan arah tersebut. Sementara itu, diatur peralatan pengukuran (resistivitymeter, 2 gulung kabel arus, 2 gulung kabel potensial, elektroda dan lainnya) sedemikian rupa sehingga mempermudah pelaksanaan pengukuran nantinya. Pertama diukur posisi awal dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk menentukan posisi terhadap garis lintang dan garis. Lokasi penelitian berada di daerah kecamatan porong Sidaorjo pada tanggal 3 juni 2009 sampai 19 juni 2009. Dilakukan pengukuran sebanyak 17 lintasan dengan panjang masing-masing lintasn 300 meter. Seperti ditunjukan pada gambar 6.
Gambar 6 Lokasi pengambilan data Pengambilan data dilakukan dengan metode geolistrik konfigursi Wenner. Untuk semua lintasan digunakan spasi awal yang sama, yaitu 5 meter kemudian untuk pengukuran selanjunya berturut-turut spasinya diperbesar kelipatan pertambahan 10 sampai n = 10 sesuai dengan target kedalaman yang diinginkan. Pengolahan data Setelah dilakukan akuisisi data di lapangan maka didapatkan hasil data tentang resistivitas dari tiap-tiap titik, kemudian data tersebut dikalikan dengan faktor geometri (konfigura Wenner) untuk mendapatkan harga resistivitas semu (ρaw) yang akan digunakan dalam membuat kontur dengan menghubungkan tiap-tiap nilai ρaw tersebut. Dalam tahap pengolahan data ini dilakukan dengan komputer dengan menggunakan perangkat lunak Res2DInv. Perangkat lunak ini mengolah data yang didapatkan dari akuisisi lapangan. Pemodelan 2-D dilakukan dengan menggunakan program
inversi. Program inversi ini menggambarkan dan membagi keadaan bawah permukaan dalam bentuk penampang 2-D. Program inversi ini juga menentukan harga resistivitas semu terukur dan terhitung. Metode inversi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat terkecil (least square). Analisa data Pada penelitian ini telah dilakukan pengambilan data geolistrik dengan konfigurasi Wenner. Data-data geolistrik tersebut kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Res2dinv untuk mendapatkan tampilan 2 dimensi kontur resistivitas dari struktur lapisan tanah bawah permukaan. Tampilan 2 dimensi yang dihasilkan dari perangkat lunak Res2dinv tersebut terdiri dari tiga kontur isoresistivitas pada penampang kedalaman semu (pseudodepth section). Penampang yang pertama menunjukkan kontur resistivitas semu pengukuran (measured apparent resistivity), yaitu data resistivitas semu yang diperoleh dari pengukuran di lapangan (akusisi data). Penampang yang kedua menunjukkan kontur resistivitas semu dari hasil perhitungan (calculated apparent resistivity). Dan penampang yang ketiga adalah kontur resistivitas sebenarnya yang diperoleh setelah melalui proses pemodelan inversi (inverse model resistivity section) (Telford, 1976). Untuk mendapatkan kesesuaian jenis tanah/batuan yang berada dilapangan dengan hasil pengolahan, dibutuhkan data pembanding berupa data bor. Data bor ini didapatkan dari penelitian dilokasi Jl.Bhayangjari, Porong yang dilakukan pada tanggal 29 juni 2009 dan diambil pada titik dari salah satu lintasan pengambilan data. Jika terjadi kecocokan jenis baruan dari data bor dengan data hasil pengolahan, maka bisa dikatakan data hasil pengolahan sudah benar. Sehingga dari data pengolahan dapat dilanjutkan ketahap berikutnya, yaitu interpretasi data. Data jenis tanah terhadap kedalaman pada daerah penelitian ditunjukan pada table 1. Tabel 1 Hubungan antara penyusun jenis tanah/batuan dengan kedalaman. Kedalaman Penyusun jenis (Meter) tanah/batuan 1. Kerikil : 2,21% 5 2. Pasir : 43,16% 3. Silt : 35,06%
10
15
20
25
30
4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4.
Clay : 19,57% Kerikil : 6,61% Pasir : 41,55% Silt : 28,64% Clay : 23,20% Kerikil : 1,72% Pasir : 50,78% Silt : 24,48% Clay : 23,02% Kerikil : 0,00% Pasir : 32,37% Silt : 43,40% Clay : 23,23% Kerikil : 0,00% Pasir : 34,36% Silt : 36,26% Clay : 29,38% Kerikil : 3,12% Pasir : 44,31% Silt : 27,10% Clay : 25,48%
Tabel 1 Daftar harga resistivitas tanah/batuan (Roy, E.H.,1984) Harga Jenis tanah/batuan resistivitas (Ohm.meter) • Tanah lempung, basah 1,5-3,0 lembek • Tanah lanau & tanah 3-15 lanau basah lembek 15-150 • Tanah lanau, pasiran • Batuan dasar berkekar 150-300 terisi tanah lembab • Pasir kerikil terdapat ± 300 lapisan lanau • Batuan dasar terisi 300-2400 tanah kering • Batuan dasar tak >2400 lapuk Berdasarkan tabel 1 diperoleh bahwa disetiap kedalaman memiliki kecenderunga penyusan jenis tanah/batuan yang sama, hanya dibedakan oleh besarnya prosentase intensitas dari setiap penyusun tanah/batuan tersebut. Perbedaan besarnya prosentase intensitas dari penyusun tanah/batuan ini akan berpengaruh terhadap nilai resistivitas tanah/batuan, seperti terlihat pada tabel 2. Jika dilakukan korelasi antara table 1 dengan table 2 diperoleh bahwa untuk resisitivitas tertinggi berada pada kedalaman 5 meter dan berturut-turut lebih kecil pada kedalaman 10, 15, 30, 25 dan 20 meter.
Lintasan 1 Akuisisi data pada lintasan 1 dilakukan di desa Ketapang Sidoarjo dengan panjang lintasan 300 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada koordinat 112042’231”BT dan 07031’023” dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 25 meter dan bertambahan kelipatan 10 meter hingga spasi 95 meter dan trakhir 100 meter. Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,155 – 95.1 Ωm. Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 1 diperoleh penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 4.1.
Gambar 4.2 Penampang kontur resistivitas semu pada lintasan 2
Pengolahan data dengan menggunakan Res2DInv untuk lintasan 2 diperoleh penampang harga resistivitas semu seperti pada Gambar 4.2. Berdasarkan gambar 4.2. Terlihat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna hijau muda pada jarak 250 meter yang memotong perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-bidang ini diperkirakan merupakan patahan.
Gambar 4.1 Penampang kontur resistivitas semu pada lintasan 1.
Berdasarkan gambar 4.1. Terdapat beberapa bidang lemah yang ditunjukkan dengan warna biru hijau pada jarak 250 meter yang memotong perlapisan antar batuan yang memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi. Bidang-bidang ini diperkirakan merupakan patahan. Lintasan 2 Akuisisi data pada lintasan 2 dilakukan di desa Wunut Sidoarjo dengan panjang lintasan 300 meter dengan titik awal (titik 0 meter) berada pada koordinat 112042’231”BT dan 07031’023” dengan variasi jarak antar elektroda berturut-turut 5 meter, 10 meter, 25 meter dan pertambahan kelipatan 10 meter hingga spasi 95 meter dan trakhir 100 meter. Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya berkisar antara 0,560 – 97.8 Ωm.
PEMBAHASAN 4.2 Pembahasan Penyusun tanah/batuan permukaan di daerah porong sidoarjo merupakan endapan alluvial yang berasal dari sedimentasi sungai brantas. Pada kedalaman 0 sampai ± 800 meter endapan di dominasi oleh perselingan pasir, lempung dan serpih. Berdasarkan data bor yang diambil pada kedalaman 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 meter diperoleh bahwa disetiap kedalaman memiliki kecenderungan penyusan jenis tanah/batuan yang sama, hanya dibedakan oleh besar jumlah prosentase dari setiap penyusun tanah/batuan tersebut. Perbedaan besarnya prosentase dari penyusun tanah/batuan ini akan berpengaruh terhadap nilai resistivitas tanah/batuan Berdasarkan hasil pengolahan data dari ketujuh belas lintasan dengan software res2dinv didapatkan penampang kontur resitivitas. Kontur resistivitas ini memberikan gambaran kondisi tanah/batuan bawah permukaan. Jika dikorelasikan dengan data bor, pada kedalaman 0 sampai ± 59 meter
diperkirakan terdapat tigaperselingan endapan tanah/batuan. Endapan paling atas pada kedalaman 0 sampai ± 15 meter dengan kisaran nilai resitivitas ± (6 – 30) ohm.m. Endapan tengah berada pada kedalaman ± (15 – 40) meter dengan kisaran nilai resistivitas ± (0,4 – 6) ohm.m. Dan endapan bawah berada pada kedalaman ± (40 – 59) meter dengan kisaran nilai resistivitas ± (6 – 25) ohm.m. Patahan/sesar adalah rekahan pada masa batuan yang yang telah memperlihatkan gejala pergeseran pada kedua belah sisi bidang rekaha (Simpson, 1968). Dimana rekahanrekahan ini biasanya terisi oleh fluida atau mineral yang memiliki harga resistivitas lebih kecil dari pada bidang rekahanya. Berdasarkan asumsi tersebut, pendugaan patahan dengan metode geolistrik terdapat pada lintasan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 13, 14, 15, 16. Seperti terlihat lampiran pada gambar 4.18 Berdasarkan gambar 4.18 terlihat bahwa patahan terdapat pada lintasan yang mengelilingi pusat semburan lumpur porong Sidoarjo. Hal ini menandakan bahwa patahanpatahan tersebut terjadi akibat adanya amblesan yang disebabkan oleh massa lumpur yang begitu besar. Erupsi atau keluarnya lumpur secara terus-menerus menyebabkan penimbunan massa batuan yang sangat luar biasa, sehingga tanah/batuan dipermukaan tidak kuat lagi menahan massa lumpur yang ada diatasnya. Salah satu sarana transportasi jalan TOL juga menjadi ancaman karena dampak dari amblesan tersebut telah menyebabkan adanya patahan yang tepat berada di bawah permukaan jalan TOL porong Sidoarjo. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Adanya patahan dangkal yang disebabkan oleh amblesan lumpur porong Sidoarjo. 2. Kondisi kestabilan tanah/kekuatan batuan di daerah penelitian sangat rendah. 3. Sarana jalan TOL mendapat dampak dari amblesan lumpur porong Sidoarjo, yaitu berupa patahan yang berada di bawah permukaan jalan TOL. 4. Jenis tanah/batuan pada ketujuhbelas lintasan memiliki penyusun yang sama
tetapi hanya jumlah prosentase penyusunnya saja yang berbeda. Dari permukaan hingga kedalaman 50 meter jenis tanah/batuannya adalah pasir, lempung dan serpih. Saran
1. Pembangunan jalan tol sebaiknya tidak dilakukan didaerah penelitian.
2. Perlu dilakukan interpretasi 3D untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Adhi,
M.A. 2007. Modul Praktikum Geolistrik. Semarang : Unnes (tidak dipublikasikan). Alonso, M. dan E.J. Finn. 1980. Dasar-Dasar Fisika Universitas. Jakarta : Penerbit Erlangga. Ristianto, D. 2007. Skripsi (Penentuan Resistivitas Tanah Pada Zona Labil Dengan Aplikasi Geolistrik Metode Tahanan Jenis Konfigurasi Schlumberger (Studi Kasus di Desa Bambankerep, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah)). Semarang : Unnes (tidak dipublikasikan). Pulmmer, C.C. 1982. Physical Geology. Mc Graw-Hill. Santoso, D. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Departemen Teknik Geofisika ITB. Suseno, H. 2007. Skripsi (Penentuan Pola Resistivitas Batuan Di Daerah Labil dengan Aplikasi Geolistrik Metode Tahanan Jenis (Metode Schlumberger (Studi Kasus Di Sukorejo Kota Semarang)). Semarang : Unnes (tidak dipublikasikan).
Lampiran
U
: Lintasan pengukuran : Patahan
Gambar 8. Patahan pada setiap lintasan