INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY MALAYSIA ISLAMIC ECONOMICS COLLECTION
1020 DOC. NO.: _ _ _ __
AtTrllOR. ( S ) :
TITLE:
ABDULLA.H ALY
MENAIKKAN UPAH PEKERJA: ANTARA ARGUMENTASI EKONCMI DAN
ARGUMFNI'ASI MORALITAS
VOLUME:~__l_4_____________ ISSUE:~____l _____________
YEAR: ______l~9_9_6__________~ PAGES: _____7_8_-__s_s_________
SENARAI ISi
M. Tl1oyibi
II
Dari Reda ksi
II
Kristal: Budak, Buruh dan Pekerja
a
lndusttialisasi dan Martabat Kaum Buruh di Indonesia
Payaman ]. Slmandjuntak
II
Pembangunan dan Ketenagakerjaan
Munir
II
Cakapan Kita: Perlindungan Buruh dalam Pembangunan yang Kapitalis· tik
Zoinuddin Fa11JJni<
II
Produktivitas, UMR, dan Pemogokan: Potret Dua Buruh
m
Perlindungan Upah Buruh dengan Sanks! Pidana
Sritua Arif
Sudaryono Bambang Stti4ji
H11rtanto Abdullah Aly
Sami'an
Sri Gunor.si
M.ArifHakim
m m m m
m
IJ:I
Im
Wanita Pekerja lndustri Rumah Tang· ga; Kesejahteraan dan Perlindungan
Hak Kemanduun Serikat Buruh: Syarat Memperoleh Kesejahteraan Menaikah Upah Pekerja: Antara Argumentasi Ekonoml dan Argurnen· tasl Moralltas Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia (Upaya Menghadapi Persaingan Tenaga Kerja di Era Clo,. bal) Mogok: Perjuangan Kaum Buruh Simak Buku: Potret "Nyinyir" Rakyat Jelata yang 'Tersingkir" Senarai Penulis
Akademib, No. 01/Th. XIV /1996
MENAIKKAN UPAH PEKERJA: ANTARA ARGUMENTASI EKONOMI DAN ARGUMENTASIMORAUTAS Olm: Abdullah Aly
Islamic system of woges is nol only boHd on the,..../ living needs bul also on the proporhon of the labor's contri11utian and the """P"ny's productivity. The genml problem of tlw goom11nmt's push on the labor's welfare is the discrepancy rn the labor structure and IN complexity ofinefficiency variables.
Pcndahuluan Diskursus tenting ketenagal<erjaan di Indonesia belakangan inl kembali meng· hangat. Faktomya bennula dari Menteri Tenaga l<etja Indonesia, Abdul l.Atief, yang berusaha mendongkrak kesejahteraan para pekerja. Sebagaimana diketahul bahwa pada awal bulan April yang lalu Menaker RI, Abdul l.Atief, melalul l<epmenaker No. 2/1996 memberlakukan kenaikan UMR (Upah Minimum Regional) bagi segenap peketja seluruh Indonesia dan membuat gebrakan baru, di rnana pengusaha harus membayar upah peketja sebulan dalam hitungan 30 hari, bukan 25 hari seperti waktu-waktu sebelumnya (Sudarto, 1996). Cebrakan Menaker tersebu t mengundang pro dan kontra. Yang pro mengaJukan argumentaal bahwo 1udal\ Matnya para pekerja Indonesia mendapatkan tingkat upah yang layak berdasarkan kebutuhan rill merelc.o. Di antara yang masuk dalarn kategori "pro" adalah sejumlah pengamat sosiaL para birokrat, sejumlah SPSI dan para pekerja sendiri. Sementara itu, yang menolak kebijakan Menaker mengajukan argumentasi bahwa ada sejumlah kendala untuk menaikkan 78
upah para pekerja. l<endala yang dimaksud meliputi: ketimpangan struktur ketenagakerjaan dan kompleksit.as variabel inefisiensi. Termasuk dalam kategori "kontra" adalah sejumlah pengamat dan pengusaha. Tulisan inl tidak berrnaksud untuk memeta pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap kebijakan Menaker tersebut, melainkan hendak mencoba mendeskripsi.kan argumentasi pentingnya menaikkan upah para pekerja sehingga layak untuk kehidupan mereicA. Argumentasi yang ditawarkan meliputi dua ha!: per!llma, argumentasi segi ekonomi, dalam makna argumentasi yang disusun berdasar kan pertimbangan logika dan penalaran-penalaran dari segi ekonomi. KtdUA: argumentasi moralitas, dalam makna argumentasi yang dikemukakan berdasarkan pertimbangan pesan-pesan moral w prnaan -dalam ha! in! agama Islam. dan pert!mbangan amantt CBHN 1993. Upah d alam P• np•ktif l<•ialunan dan Kelndonesiaan Dalam Ensiklopedi Indonesia, Hassan Shadily mendefinisikan upah sebagai pembayaran yang diterima buruh untuk
Akademika, No. 01 /Th. XIV /1996
jasa-jasa yang diberikannya. Pembayaran dapat berupa uang atau jasa, tetapi biasanya berupa uang. Sedikit ada perbedaan dengan gaji. Gaji biasanya merupakan jumlah uang yang sudah ditentukan sebelumnya dan bersifat lebih tetap. Misalnya, gaji pegawai negeri yang berdasarkan skala-skala tertentu dan dibayarkan setiap bulan. Sedangkan upah, misalnya upah borongan, upah jam-jaman, upah harian, upah lembur, dsb. (Shadily, 1980: 3718). Definisi df atas, agaknya belum menggambarkan adanya batasan normatif ten tang nilai kepantasan upah, bahkan penentuan upah pekerja pun tak terdefinisikan secara jelas. Bila definisi ini diterima sebagai referensi oleh para pengusaha, maka tidak mustahil tetjadi penentuan upah secara sepihak oleh para pengusaha, yang pada gilirannya akan merugikan para pekerja. Di antara beberapa rumusan definisi upah yang ada, barangkali definisi yang dirumuskan Dewan Penelitian Pengupahan Nasional yang agak lengkap. Menurut Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, upah adalah "suatu penerimaan sebagai suatu imbalan dari pemberian kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu petjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja" (fim IPWI, 1995: 113). Merujuk kepada definisi yang kedua, jelaslah bahwa ada beberapa prinsip yang fundamental dalam persoalan upah. Prinsip-prinsip fundamental tersebut berupa: bahwa upah itu berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan; penentu-
an upah didasarkan atas persetujuan, peraturan dan undang·undang yang berlaku; pembayarannya atas dasar suatu perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Dalam perspektif Islam, prinsip-prinsip fundamental yang menjadi muatan moral dalam definisi di atas sungguh sangat humanis dan Islami. Humanis dalam makna mempertimbangkan hak-hak azasi manusia dan nilai-nilai kemartabatannya. Islami, dalam makna sesuai dengan nilai-nilai normativitas wahyu dan pesan-pesan moralnya. Bukti humanitasnya terletak pada komitmen bahwa upah para tenaga kerja haruslah sesuai dengan standar kelayakan hidup, penentuan besar kecilnya upah dan waktu pembayarannya berdasarkan peraturan dan undang-undang serta kesepakatan bersama antara pekerja dan pengusaha (majikan). Untuk konteks Indonesia, agaknya para pengusaha belum sepenuhnya memperhatikan aspek humanitas ini. Misalnya, aturan pemerintah yang memberlakukan ·sistem perupahan bagi para pekerja itu harus sebanding dengan kebutuhan fisik minimum (KFM) belum diimplementasikan secara penuh. Penentuan besar kecilnya upah pun sering dilakukan secara sepihak, sehingga banyak data yang menginformasikan tentang nilai ketidaklayakan upah yang diberikan kepada para pekerja. Data-data pada tabel 1 dan 2 memperjelas pemyataan di atas. Tabel 1: Rata·rata Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dalam Rupiah untuk Beberap11 Propinsi di Indonesia Tahun 1992 Propinsi OKI Jakarta JawaTengah Jawa Timur Sumatera Utara
PL
K2
K3
86,424 107,381 74,909
178,551 187,714 164,360 177,682
220,495 215,962 198,294 222,457
79,304
Ktttrangan: PL : Pekerja Lajang S111nbtr:
K2 : Pekerja dengan 1 isbi dan 2 anak l<3 : Pekerja dengan 1 isbi dan 3 anak BPS Pusot, 1994.11111. 81.
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
79
Tabel2 Rata-rata Upah Perhari untuk Industri Pengolahan untuk Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 1991 Propinsi
Laki-laki
Perempuan
OKI Jakarta JawaTengah Jawa Timur Sumatera Utara
Rp 5,513 Rp3,0S2 Rp 4,232 Rp4,472
Rp3,736 Rp 1,755 Rp2,577 Rp2,466
Sumber: BPS Pusat, 1994, hat. 83.
Bila dikonfinnasikan antara tabel 1 dan 2 di atas, temyata tingkat upah yang diterima para pekerja, tergolong masih rendah. Terlebih lagi bila dicermati ternyata dalatn sistem pengupahannya pun tidak mempertimbangkan beban tanggungan masing-masing pekerja. Sebagaimana tergambarkan dalam tabel 1 bahwa KFM bervariasi menurut beban tanggungan pekerja. KFM untuk pekerja lajang, misalnya, kurang dari sep'.'1"°~ KFM untuk pekerja dengan 1 orang IStri dan 2 orang anak. KFM juga bervariasi men~ rut propinsi sesuai dengan antara lain biaya hidup. Tetapi dalam kenyataannya sistem perupahan yang berlaku tidak selalu mengikuti pola tersebut (Ibid., hal. 29).
Sementara itu, Islamisitas muatan moral pada definisi upah di atas untu~ konteks Indonesia juga masih harus diperjuangkan terus-menerus. Sebab dalam perspektif Islam ada beberapa prinsip ketenagakerjaan yang selama ini belum sepenuhnya dijadikan panduan oleh para pengusaha Indonesia, sehingga ada pihak·pihak yang dirugikan. Di ~ tara prinsip-prinsip tersebut adalah pnnsip upah yang jelas dan pemberiannya yang baik, serta prinsip keadilan (Marpuji Ali, 1996: 3). Kejelasan upah diperlukan mengingat upah merupakan sesuatu yang te~ penting dalam kehidupan para pekel)a 80
dan ia menjadi sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya. Demikian pentingnya arti upah bagi para pekerja, sehingga Islam memandang bahwa perumusan tentang kejelasan upah merupakan kewajiban syara' (Rozihan, 1995). Kejelasan upah ini diisyaratkan oleh alQuran pada surat al-Ahqaf (46): 19 dan surat al-A'raf (7): 85. Di samping kejelasan upah, waktu pemberiannya pun juga harus jelas: harian, mingguan a tau bulanan. Dalatn konteks ini, Rasulullah saw. menginstruksikan agar upah para pekerja itu diberikan sebelum kering kering~t nya: "Berilah upah peJcer_ja itu sebelum k~ng keringatnya" (Hadis Riwayat lbnu Ma1ah dari Abdullah lbnu Umar). Tentang perlunya prinsip keadilan dalam sistem ketenagakerjaan diisyaratkan al-Quran dalam surat al-Hadid (57): 25 dan surat al- Nahl (16): 90. Dalam dua ayat tersebut digambarkan betapa pentingnya keadilan bagi kehidupan ma~u sia. Di antara keadilan yang harus d1tegakkan adalah terlaksananya kehidupan atas dasar keseimbangan: yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin. Sebaliknya yang lemah pun mendukung tegaknya keadilan: tidak merongrong kepada yang kuat dan yangkaya. Berdasarkan prinsip keadilan di atas, upah dalam masyarakat Islam akan ditetapkan melalui negosiasi antara pekerja, pengusaha (majikan) dan negara (Fazlurrahman, 1995: 3765). Dalam pengambilan keputusan tentang upah antara kepentingan pekerja dan pengusaha haNS dipertimbangkan secara adil. Untuk itu menjadi tanggungjawab negara untuk mempertimbangkan tingkat upah yang ditetapkan agar tidak terlalu rendah sehingga tidak mencukupi biaya kebutuhan pokok para pekerja juga tidak terlalu tinggi sehingga pengusaha kehilangan bagiannya yang sesungguhnya da~i ~asil kerjasama itu. Dalam konteks milah,
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
agaknya terdapat faktor hambatan untuk menaikkan upah para pekerja Indonesia.
Faktor Hambatan Menaikkut Up.ah Lima tahun terakhir ini dilaporkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia relatifbaik. Bank Dunia, misalnya, melaporkan bahwa pada tahun 1994 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6-7 persen pertahun, bahkan pada tahun 1995 naik sampai 8,7 persen pertahun (Sudarto, 1996). Kenyataan ini diperkuat dengan munculnya banyak konglomerat dan perusahaan-perusahaan tingkat menengah kian kukuh. Salah satu faktor penyebab terjadinya pertumbuhan ekonomi yang relatif baik ini adalah adanya produktivitas kerja yang tinggi. Persoalannya adalah mengapa peningkatan produktivitas kerja ini tak dibarengi dengan kenaikan upah yang pantas? Agaknya upaya memperjuangkan nasib pekerja di negeri ini terbentur pad a pelbagai macam hambatan struktural, yakni ketimpangan struktur ketenagakerjaan dan kompleksitas variabelvariabel inefisiensi. Ketimpangan struktur ketenagakerjaan mewujud dalam bentuk ketimpangan antara tingkat pennintaan (demand) dan penawaran (supply) pada pasar input tenaga kerja. Ini merupakan gambaran umum kondisi pasar input tenaga kerja Indonesia. Kuantitas permintaan terhadap input tenaga kerja masih jauh di bawah tingkat penawarannya. Hal yang memprihatinkan, excess supply itu terjadi pada tenaga kerja berlevel tak terdidik dan tak terlatih (low skill). Sedangkan pada pasar input tenaga kerja high skill justru terjadi sebaliknya, yakni kelebihan permintaan (excessive demand). Akibatnya, kita cenderung untuk mengimpor tenaga ketja high skill, misalnya manajer
kelas menengah ke atas, konsultan dan teknisi. sekalipun dengan standar pengupahan dan konpensasi yang sangat tinggi (lsmawan, 1996). Ketimpangan struktur ketenagakerjaan ini diperparah oleh latar belakang pendidikan para pekerja Indonesia yang relatif masih rendah. Berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik bahwa sebagian besar angkatan tenaga kerja Indonesia tahun 1993 memiliki latar belakang pendidikan yang amat rendah. Tabel 3 berikut ini menggambarkan hal tersebut. Tabel3 Latar Belakang Pendidikan Tenaga I<erja Indonesia Tahun 1993 'Yo Frekuensi .Je_n_;a_n .. .... g_P_en_di_'d_ikan _ _ _ __.;,.;~=~-~
Tidak/blm. pemah sekolah Tidak/blm. tamat SD Sekolah Da.sar
SMTPUmwn SMTP Kejuruan
10,428.854 19,770,163 29,164,168 7,343,216 1,161,207
13,28 25,18 37,14 9,35 1,43
SMTAUmum
4,726,S~
6.02
SMTA Kejuruan
4,249,684 294.167 633.781 746,559
5.41 0,37 0,81 0,95
78,518,372
99,99
Diploma I/II Diploma lll Universitas Total
Sumba: BPS, 1994, Ital. 68-69. Pembuatan pasentast dari ptnulis smdiri.
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (75,6 %) angkatan tenaga kerja Indonesia memiliki Jatar belakang pendidikan yang sangat rendah. Dari sejumlah itu, 13,28 % belum pemah sekolah, 25,18 % belum tamat SD dan 37,14 % tamat SD. Selebihnya (24, 39 %) berpendidikan SMTP, SMTA, dan perguruan tinggi. Kondisi latar belakang pendidikan tenaga kerja yang masih relatif rendah ini berkonsekuensi logis pada tingkat upah yang rendah. Bahkan karena kon-
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
81
disi latar belakang pendidilcan tersebut tak jarang para pengusaha bersikap "~ maunya sendiri" dalaJn menerapkan SlStem dan mekanisme pengupahan kepada mereka. Hambatan lain yang dirasakan para pengusaha untuk menaikkan tingk~t upah pekerja adalah adanya kompleks1tas variabel inefisiensi. Salah satu bentuk inefisiensi di sini adalah adanya pungutan birokrasi atau sering disebut pungli (pungutan liar) dan pungres (punguta~ resmi), yang oleh beberapa pengamat d1sinyalir sudah mencapai angka 27 persen dari seluruh biaya produksi. Sinyalamen ini ternyata dibenarkan oleh Kadin sendiri. Pungutan birokrasi yang sudah mencapai angka 27 persen ini jelas jauh melebihi biaya upah pekerja (labor cost) yang rata-rata hanya 7-8 persen dari blaya produksi. Pantas bila ada sejumlah pengusaha mengeluh karena tingginya pungutan birokrasi ini. Keluhan mereka, di satu sisi, menggambarkan betapa posisi mereka lemah dalam menghadapi pungutan birokrasi, sementara di sisi lain mereka harus tetap memperoleh keuntungan. Menghadapi realitas ini mereka terpaksa mengambil resiko yang paling ringan: membayar pungutan birokrasi dan menekan tingkat upah yang serendah-rendahnya. Dengan demikian, tingginy~ pu-ngutan birokrasi jelas berkorela~1 dengan rendahnya tingkat upah pekelJa (Radjab, 1996). Namun demikian, perlu diingat bahwa inefisiensi tidak hanya bersumber dari birokratisasi. Memang jalur birokrasi dan "biaya siluman" menjadi faktor paling signifikan. Tetapi juga terdapat sinyalemen bahwa faktor-faktor internal perusahaan dapat pula menjadi .penyebab inefisiensi, termasuk mentalitas pengusaha. Sebab "biaya siluman" yang sering untuk memperlicin perizinan dan mempermudah negosiasi dengan birok82
rat, justru terjadi atas inisiatif pengusaha (Indra Ismawan, 1996). Bila sinyalemen ini benar, maka yang menjadi korban adalah para pekerja. Mereka dipaksa bekerja keras tetapi dengan tingkat upah yang sangat kurang pantas. Menaikkan Upah: Antara Argwnentasi Ekonomi dan Argumentasi Moralitas Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pada umumnya dalam struktur biaya perusahaan di Ind.onesia, ~ersen tase upah dari seluruh b1aya masih ber~ ada jauh di bawah 10 pers~~· A~gka d~ bawah 10 persen itu menjad1 irorus sekah jika kita bandingkan dengan pungli (pungutan liar) dan pungres (pungutan resmi), yang menurut Kadin sudah n:'encapai angka 27 persen dari seluruh b1aya produksi. Keberadaan upah itu menjadi makin terpuruk jika kita membandmgkan dengan tingkat bunga bank yang mencapai 20 sampai 24 persen pertahun atau setara dengan 15 persen dari total biaya produksi (Prasetyo, 1996). Melihat kenyataan ini maka menaikkan tingkat upah pekerja menjadi kewajiban moral bagi pihak-pihak yang berwenang: para pengusaha dan pemerintah sendiri. Para pengusaha, misalnya, perlu segera menata diri - khususnya yang menyangkut status dan sistem i:iengupahan peketja. Sedangkan pemer~ tah perlu mengganti perangkat perlmdungan tenaga kerja, termasuk perundangan-undangan yang sud ah tidak relevan Iagi dengan alam pembangunan sekarang. Untuk konteks Jawa Tengah, hampir ada tiga ratus perusahaan yang siap menata sistem pengupahan pekerja sesuai dengan ketentuan UMR dari pemerintah. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan UMR tahun ini berdasarkan peraturan baru No. Per-01/MEN/1996 (tentang UMR) dan Kep-02/MEN/1996 (tentang
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
peningkatan UMR pada 25 wilayah di Indonesia) mengaJami kenaikan rata-rata 10,63 persen (Dudung Abdul Muslim, 1996). Dalam struktur upah di Jawa Tengah, berdasarkan rekomendasi Gubernur H. Soewardi, kenaikan UMR tidak hanya 10,63 persen melainkan mencapai 13 persen: dari Rp 3.000 menjadi Rp 3.450 perhari. Momentum kenaikan UMR nasional kali ini adalah merupakan implementasi dari nilai-nilai keadilan. Sebab kenaikan UMR tampaknya merupakan kebijakan untuk mengakomodasi kepentingan yang lebih luas dari pada sekedar kepentingan pekerja. Setidaknya ada dua argumentasi yang tercakup dalam komponen kebijakan pengupahan: argumentasi segi ekonomi dan argumentasi segi moralitas. Dalam perspektif ekonomi upah pekerja sesungguhnya bukan semata-mata sebagai biaya (labor cost), melainkan juga sebagai investasi untuk meraih keuntungan jangka panjang. Sejak manajemen ilrniah (scientific management) mengalami surut dan kemudian berkembang manajemen sumber daya manusia (human resources managemen: HRM), seperti yang dapat disaksikan belakangan ini sesungguhnya anggapan bahwa upah pekerja sebagai biaya sudah merupakan prinsip kuno dan konvensional. Dari perspektif teori HRM ini, upah bagi pekerja lebih bermakna sebagai investasi bagi kelanjutan hidup perusahaan (lsmawan, 1996). Logika dan teori HRM ini bila dikonfirmasikan dengan realitas dunia perusahaan temyata menemukan nilai validitasnya. Pemberian upah yang layak bagi para pekerja temyata merupakan cara eliminasi yang efektif terhadap potensi pemogokan dan unjuk rasa. Fenomena pemogokan dan unjuk rasa yang marak belakangan ini mestinya tak perlu terjadi bila ada kesadaran dari para pengusaha untuk mengakomodasi tuntutan kenaikan upah para pekerja, seperti yang di-
amanatkan oleh Undang-undang. LaJu, siapa yang bakal menanggung kerugian bila terjadi pemogokan kerja? Yang akan menanggung kerugian akibat dari pemogokan adalah para pengusaha dan pekerja sendiri. Lebih jauh, bahwa implikasi positif teori HRM yang berorientasi pada perhatian yang proporsional terhadap para pekerja sebagai sumber daya manusia - termasuk di dalamnya mekanisme pengupahan yang fair, menaikkan tingkat upah para pekerja - tampak jelas dalam dunia perusahaan. Misalnya, dengan menaikkan tingkat upah bagi para pekerja ternyata akan berakibat logis pada peningkatan motivasi mereka, sehingga produktivitas mereka akan meningkat pula. Bila produktivitas kerja mereka meningkat, maka otomatis tingkat out put dan laba yang diterima perusahaan juga meningkat. Dengan demikian, ada take and give yang ideal antara pekerja dan pengusaha. Inilah barangkali yang dimaksud oleh teori HRM bahwa upah itu merupakan investasi bagi kelanjutan hidup perusahaan. Sementara itu, menaikkan tingkat upah para pekerja bisa juga dilihat dari perspektif moralitas: untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan pekerja sebagai praksis penegakan peraturan baru dari pemerintah sebagai implementasi GBHN tahun 1993 dan praksis bagi implementasi nilai-nilai ajaran agama Islam. Dalam GBHN 1993 terdapat sinyal antara lain bahwa kebijakan pengupahan dan penggajian dalam dunia usaha harus didasarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri dan keluarga tenaga kerja dalam sistem upah yang tidak menimbulkan gejolak sosial. Dari amanat GBHN ini jelas sekali bahwa pada akhir pelita VI ini upah pekerja haruslah setara dengan kebutuhan hidup minimum (I
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
83
93 persen I
"Sesungguhnya perumpamaanmu dan perumpaman orang-orang sebelum kamu adalahlaksanaseseorangyangmemper-kerjakan buruh. Beliau berkata: "barangsiapa bekerja dari fajar hingga dhuhur ma- ka ia akan memperoleh upah satu qirat, orangorangYahudimelakukanhalitu .Lalu,beliau melanjutkan: "barangsiapa be-kerja dari dhuhur hingga ashar maka ia akan memperolehupahsebesarsatuqirat,orang-orang Nasranimelakukanhalitu.Kemudianbeliau melanjutkan:"barangsiapabekerjadariashar hingga maghribmaka ia akan memperoleh upah d ua qirat, kalian telah melakukan hat itu" (Fakh-ruddin, 1993: 87).
llustrasi di atas menunjukkan bahwa Islam menghendaki tingkat upah yang pantas bagi para pekerja, sesuai dengan produktivitas kerjanya. Bukan seperti sistem pengupahan yang telah mentradisi di dalam komunitas Yahudi dan Nasrani, yang memberikan upah para peker· ja secara semaunya sendiri, tanpa mempertimbangkan aspek produktivitas kerja. Lebih jauh, perspektif Islam tentang sistem pengupahan ini diisyaratkan dalam al-Quran surat Thaha (20): 118-119 dan surat Hud (11): 6. Dalam surat Thaha (20): 118-119, misalnya, digambarkan bahwa tingkat upah minimum yang pantas itu didefinisikan dalam bentuk makanan, minuman dan tempat tinggal yang layak. Bahkan anak-anak mereka pun memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dan pengobatan. Artinya tingkat upah yang diberikan pihak pengusaha kepada para pekerjanya dihitung berdasarkan kebutuhan rill para pekerja. Kebutuhan rill yang dimaksud adalah kebutuhan makan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Logika ten tang sistem pengupahan ini diperkua t oleh surat Hud (11): 6 dan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari: "Dia ha-
rus memberi makan kepada mereka sesuai apa
Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
yang dia sendiri makan dan memberi pakaian seperti apa yang dill pakai sendiri. H
Bila batas upah minimum itu didasarkan atas kebutuhan rill para pekerja, maka batas upah maksimum menurut Islam adalah produktivitas kerja. Artinya tingkat upah yang diberikan pihak pengusaha kepada para pekerja sebanding dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada perusahaan. Logika sistem pengupahan ini diisyaratkan oleh alQuran dalam surat Al-Najm (53): 39, Yasin (36): 54 dan Al-Nahl (16): 96. Agaknya, dari ketiga ayat inilah lahir sebuah hukum alam bahwa seseorang yang melakukan sesuatu akan memperoleh imbalannya sebanding dengan apa yang dilakukannya, tidak terkecuali kegiatankegiatan manusia yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
Penutup Uraian di depan menunjukkan bahwa perspektif GBHN tahun 1993 tentang kebijakan pengupahan dan penggajian dalam dunia usaha yang harus didasarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri dan keluarga tenaga kerja temyata sebanding dengan perspektif Islam, jika tidak dikatakan merupakan implementasi nilai-nilai moralitas Islam. Sebagaimana diketahui bahwa dalam GBHN ta-
hun 1993 diamanatkan agar pada akhir pelita VI ini upah pekerja haruslah setara dengan kebutuhan hidup minimum (KHM). Tahun 1996, UMR setara dengan 93 persen KHM dan pada akhir pelita VI UMR harus setara dengan 100 persen KHM. Sementara itu, perspektif Islam dalam sistem pengupahan ini sekurangkurangnya didasarkan atas perhitungan kebutuhan riil para pekerja, bahkan bila memungkinkan didasarkan atas besar kecilnya tingkat kontribusi dan produktivitas kerja mereka dalam perusahaan. Namun demikian, implemetasi nilainilai idealitas dan moralitas ini tidak sedikit kendala yang harus dihadapi. Fenomena umum yang selama ini dikeluhkan untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan pekerja sebagai praksis penegakan peraturan baru dart pemerintah sebagai implementasi GBHN tahun 1993 dan praksis bagi implementasi nilai-nilai ajaran agama Islam adalah adanya ketimpangan struktur ketenagakerjaan dan kompleksitas variabel-variabel ~efisiensi. Kedua kendala ini tentu saja bisa dicarikan jalan keluamya. Namun tulisan ini tidak diorientasikan untuk mencari dan sekaligus menawarkan solusi atas beberapa faktor yang menjadi kendala bagi usaha menaikkan upah para pekerja. Semoga ada tulisan lain yang mencoba menjawab permasalahan ini.
Daftar Pusub Ali, Marpuji. 1996. "Prinsip-prinsip Kerjasama dalam Perburuhan: Perspektif Islam", dalam Shuhuf, No. I Tahun Vlll-1996.
BPS Pusat. 1994. Statistik Indonesia 1993. Jakarta: BPS Pusat. Bukhari. "Shahih Bukhari Vol. I," dalam Kitab al-Ijarah. Depag. RI. 1990. Al-Quran dan Terjemahannya. Madinah: Pere. Khadim al-Haramain al-Syarifain Raja Fahd. Akademika, No. 01/Th. XIV /1996
85
Fakhruddin, Muhammad al-Razi. 1993. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 16. Kairo: Dar al·Fikr. IPWI.1995. "Evaluasi Kinetja", dalamManajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta: Badan Penerbit IPWI. lsmawan, Indra . 1996. "lmplementasi Kenaikan UMR," dalam Suara Merdeka. Edisi Rabu, 3 April. Muslim, Dudung Abdul . 1996. "Upah Pekerja dan Kelayakan Hidup," dalam Suara Merdeka. Edisi Minggu, 21 April. v
M. Zuhri. 1995. "Perburuhan dalam Perspektif Islam," dalam Shabran, Nomor 01 tahun
ix, 1995. Prasetyo, Djoko. 1996. "Strategi Menghadapi Kenaikan UMR," dalam KOMPAS. Edisi Kamis, 18 April. Radjab, Suryadi A .. 1996. "Dunia Usaha dan Birokrasi Pungutan," dalam KOMPAS. Edisi Rabu, 31Januari1996. - - - - . ''Menghitung Kebutuhan Rill Buruh," dalam KOMPAS. Edisi Kamis, 11 April. Rahman, Afzalur. 1995. Economic Doctrins of Islam. Edisi terjemahan Indonesia oleh Soeroyo, MA, dkk. Doktrin Ekonomi Islam, jilid I dan 2. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Rozihan. 1995. "Masalah Perburuhan dalam Islam", dalamMakalah yang disampaikan pada Musyawarah Tatjih PWMJawa Tengah, tanggal28-29Januari1995 di UMM Magelang. Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedi Indonesia, /ilid 6. Jakarta: Penerbit lchtiar Baru-Van Hoeve. Sudarto.1996. "UMR30Hari,NasibPeketja VsPengusaha", dalamSuaraMerdeka. Edisi Minggu, 21 April.
86
Akademib, No. 01/Th. XIV /1996