INTERNALISASI DISIPLIN DALAM PENGGUNAAN INTERNET DI KALANGAN PELAJAR DI INDONESIA: SEBUAH KAJIAN FILOSOFIS PEMIKIRAN MICHEL FOUCAULT1 Oleh : Indraningsih E-mail:
[email protected] Abstrak Internet merupakan tempat bertemunya berbagai unsur (termasuk di dalamnya unsur budaya), ide, dan yang terutama adalah kepercayaan. Beraneka-ragam pemikiran tentang berbagai hal dapat ditemukan di dalam internet. Berbagai usia dapat mengakses berbagai berita, dari berita yang penting hingga berita yang justru dapat mengganggu ketenteraman jiwa karena apa yang didapatnya dari internet tersebut adalah hal yang baru sama sekali, yang menimbulkan keterkejutan budaya yang berpotensi mendorongnya ke arah ketidakpastian dan perubahan yang drastis. Dunia internet selalu menyajikan suatu jiwa jaman, yang spesifik bagi setiap komunitas yang hadir di dunia maya. Pengaruh internet justru terletak di persimpangan beribu-ribu ketidakpastian dan di pertentangan sekian banyak ketidakpastian yang justru merupakan tanda-tanda pembaharuan. Penggunaan internet telah meluas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pengguna internet di Indonesia yang sebagian besar anak-anak muda menjadi rentan terhadap pengaruh budaya yang asing dan tidak pasti. Hal ini akan menimbulkan kegamangan pada diri mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka berada pada persimpangan berbagai pilihan untuk menggapai jati diri mereka. Permasalahan yang berikutnya mengemuka adalah bagaimana cara memonitor penggunaan internet di bidang pendidikan, misalnya di sekolah, di pesantren, dan di rumah? Salah satu pemecahan yang ada adalah dengan cara menginternalisasikan disiplin ke dalam diri remaja/pelajar. Disiplin, menurut Michel Foucault, dalam hubungannya dengan teknologi dan pengembangannya, menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka membiasakan anak untuk sadar akan pengawasan yang selalu mengikutinya, meskipun pengawasan tersebut tidak lagi dilakukan. Internalisasi disiplin sebagai titik tolak menjadi sangat mendesak guna menyusun strategi pendidikan karakter yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Kata kunci: Internet, internalisasi disiplin, pelajar, pendidikan karakter
1) Kertas kerja ini dibentangkan pada Persidangan Antarabangsa Sains dan Teknologi di Alam Melayu (SALAM 1) pada tanggal 15 – 17 Desember 2010 di Pusat Konvensyen Kuala Lumpur.
1. Pendahuluan Manusia yang hidup di negara berkembang sudah selayaknya mempertimbangkan kembali keberadaan teknologi, yang semakin lama semakin canggih, yang ditransfer dari negara-negara maju. Hal yang patut dipertimbangkan adalah apakah penggunaan teknologi canggih tersebut benar-benar berguna untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan apakah kecanggihan tersebut membawa efek, baik secara langsung ataupun tidak langsung bagi budaya di negara berkembang. Budaya, yang merupakan pengalaman manusia, dapat berubah akibat penerapan teknologi yang sering kali asing baginya. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga menjadi semacam peringatan bagi manusia untuk menyadari efek yang dibawa oleh teknologi. Memilih teknologi yang tepat, yang berguna bagi masyarakat di negara berkembang, dan menggunakannya dengan bijaksana perlulah diperhatikan karena ada teknologi tertentu yang tidak cocok bagi budaya masyarakat tersebut. Bahkan, merugikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, kajian filosofis sangat berguna untuk menyadarkan masyarakat tentang efek buruk teknologi. Teknologi bersifat memaksakan karena teknologi tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan sebuah masyarakat. Teknologi akan terus-menerus bergerak menuju masayrakat sasarannya tanpa peduli. Bahkan pergerakan teknologi dirasakan sangat cepat dewasa ini. Alam semakin terdesak oleh teknologi. Demikian pula, pola pikir manusia. Bahkan ada pepatah: ”Jika sesuatu sedang berjalan, maka pasti itu sudah ketinggalan jaman”. Oleh karena itu, masyarakat berlomba-lomba untuk hidup dalam kerangka-kerangka yang tidak ketinggalan jaman. Heidegger (1993: 4) mengatakan ”One says: Technology is a means to an end. The other says: Technology is a human activity. The two definitions of technology belong together. For to posit ends and procure and utilize the means to them is a human activity. The manufacture and utilization of equipment tools, and machines, the manufactured and used things themselves, and the needs and ends that they serve, all belong to technology is. The whole complex of these contrivances is technology. Technology itself is a contrivance, or in Latin, an instrument. Dengan dikatakannya bahwa salah satu bentuk aktivitas manusia adalah memanfaatkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan, maka ada kemungkinan bahwa pemanfaatan sarana tersebut tidak pada tempatnya bahkan salah. Pemanfaatan sarana bukanlah semata-mata untuk mencapai tujuan, melainkan justru digunakan untuk bersenang-senang dengan atau melalui sarana tersebut karena sarana tersebut bersifat menyenangkan dan menghibur. Fenomena ini juga terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas, yang banyak di antara mereka yang belum menyadari prioritas penggunaan teknologi, terlebih lagi teknologi informasi internet. Sesungguhnya, pelajar sebagai pengguna internet, dapat memperoleh informasi apapun dan permainan apapun yang sesuai dengan keinginannya. Permasalahan berikutnya adalah penggunaan waktu yang berlebihan untuk mengakses hiburan dan game on-line. Perilaku tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan prestasi belajar mereka dan tentunya, hal ini akan merugikan bagi kehidupan masyarakat secara umum. Dalam menggunakan teknologi, pelajar sebaiknya dibiasakan untuk mengatur dirinya sendiri. Peranan mereka dalam mempersiapkan diri mereka sendiri, bagaimana
cara belajar mereka, bagaimana kedisiplinan mereka dalam kehidupan sehari-hari baik selama di sekolah maupun di luar sekolah terutama dalam mengakses internet bagi kebutuhannya, sangatlah menjadi penentu keberhasilannya di dalam belajar. Peranan semua pihak dalam menginternalisasikan disiplin yang sesungguhnya sangat berpengaruh pada pola belajar, pola pergaulan, dan pola berpikir yang menjadi tiang kokoh dalam pembangunan karakter anak didik perlu dibicarakan. Tanpa disiplin yang diinternalisasikan melalui berbagai perangkat pembelajaran di rumah, di sekolah, pada sektor pendidikan secara luas, orang tidak akan memperoleh hasil maksimal. 2. Internalisasi Disiplin dalam Penggunaan Internet di Kalangan Pelajar di Indonesia Keberadaan manusia di dunia tidaklah pasif, melainkan aktif (Heidegger via Lim, 2008 : xi). Manusia peduli terhadap dunia. Ia memahami bahwa dirinya adalah potensialitas yang harus diarahkan ke masa depan. Ini hanya terjadi dengan mentransformasikan dunia. Teknologi adalah suatu cara khusus menemukan dan mentransformasikan realitas dari satu keadaan ke keadaan lain, dari keadaan ketersembunyian ke ketidaktersembunyian. Ciri khas teknologi modern adalah memberikan tantangan agar realitas disingkapkan, dibuka. Dalam interaksi dengan alam sebagaimana yang terjadi dengan teknologi, alam tidak lagi dibiarkan berfungsi atau membuka diri sebagaimana adanya, melainkan ditransformasikan ke dalam sumber daya yang terkuantifikasi, yang dapat disimpan dari konteks aslinya. Inilah ciri teknologi modern, suatu cara khusus mengungkapkan alam, menantang alam agar alam dibuka, ditransformasi, disimpan, didistribusi, tetapi selalu dalam “bingkai”, yaitu dalam “kerangka” tuntutan kegunaan, dalam fungsinya sebagai “sumber daya” untuk eksploitasi teknologis. Ada bahaya apabila “pembingkaian” (enframing) dalam kegunaan ini diperluas kepada manusia. Manusia direduksi kepada status “sumber daya” untuk manipulasi teknologis. Teknologi tidaklah netral, dalam arti teknologi sebagai mediator antara manusia dan dunianya mengubah pengalaman manusia mengenai dunia. Budaya juga ikut berubah dengan penerapan teknologi. Teknologi menjadi tidak netral akibat kekuasaan manusia (Ihde via Lim 2008: 17). Manusia dapat menggunakan teknologi sebagai sarana kekuasaan untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu. Pada saat ini, semua cabang teknologi berkembang sangat cepat, terlebih lagi teknologi informasi. Manusia menggunakan teknologi informasi ini, terutama internet, di semua sendi kehidupannya. Informasi tentang apa pun dapat diperolehnya dari internet. Manusia kemudian tertarik untuk terus-menerus melakukan hipertext dan cognitive track. Hal inilah yang kemudian menjadi candu bagi semua orang. Menurut Didier Heiderich (www.communication-sensible.com), internet is a place where are gathered lots of elements, communities of ideas or alike but above all communities of beliefs. These communities don’t share a common culture but codes and boundaries which compartmentalize discernment. Within this extreme normalized framework, the influence is limited to a Zeitgeist satisfaction, specific to each community in the cyberspace, the internet world is made of myriads of propositions divided by as many uncertainties due to the lack of real coherence. Influence seems to be at the crossroad of the uncertainties, in the confrontations of the uncertainties”, which is a sort of innovation.
Internet merupakan tempat bertemunya berbagai unsur (termasuk di dalamnya unsur budaya), ide, dan yang terutama adalah kepercayaan. Beraneka-ragam pemikiran tentang berbagai hal dapat ditemukan di dalam internet. Berbagai usia dapat mengakses berbagai berita, dari berita yang penting hingga berita yang justru dapat mengganggu ketenteraman jiwa karena apa yang didapatnya dari internet tersebut adalah hal yang baru sama sekali, yang menimbulkan keterkejutan budaya yang berpotensi mendorongnya ke arah ketidakpastian dan perubahan yang drastis. Dunia internet selalu menyajikan suatu jiwa jaman, yang spesifik bagi setiap komunitas yang hadir di dunia maya. Pengaruh internet justru terletak di persimpangan beribu-ribu ketidakpastian dan di pertentangan sekian banyak ketidakpastian yang justru merupakan tanda-tanda pembaharuan. Penggunaan internet telah meluas di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Pengguna internet di Indonesia yang sebagian besar anak-anak muda menjadi semakin rentan terhadap pengaruh budaya yang asing dan tidak pasti. Hal ini akan menimbulkan kegamangan pada diri mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka berada pada persimpangan berbagai pilihan untuk menggapai jati diri mereka. Berikut ini dikutip satu pendapat dari bahwa: Indonesia’s uniqueness in the muslim world as a pluralistic society is important to maintain and support. The limited use of the internet and the lack of any uniformity of popular sites suggest its future potential to influence young people. It will be important to monitor the growing use of the internet by Indonesian youth in pesantrens and other schools as it could serve to reinforce Indonesia’s tradition of pluralism, or alternatively to convey norms, values and lifestyles alien to Indonesia’s society. Permasalahan yang berikutnya mengemuka adalah bagaimana cara memonitor penggunaan internet di bidang pendidikan, misalnya di sekolah, di pesantren, dan di rumah? Salah satu pemecahan yang ada adalah dengan cara menginternalisasikan disiplin ke dalam diri remaja/pelajar. Disiplin, dalam hubungannya dengan teknologi dan pengembangannya, menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka membiasakan anak untuk sadar akan pengawasan yang selalu mengikutinya, meskipun pengawasan tersebut tidak lagi dilakukan. Internalisasi disiplin sebagai titik tolak menjadi sangat mendesak guna menyusun strategi pendidikan karakter yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Di dalam khazanah filsafat, internalisasi disiplin didasari oleh konsep Panoptisme yang pertama-tama dikemukakan oleh Jeremy Bentham tahun 1785 yang merupakan sebuah rancangan arsitektur, yang digunakan pada bangunan penjara, dengan pola sebagai berikut. Keliling bangunan berbentuk lingkaran, di tengah-tengah bangunan tersebut terletak sebuah menara pusat. Menara ini memiliki jendela besar yang terbuka ke arah bagian dalam bangunan melingkar. Bagian yang mengelilingi menara ini dibagi menjadi ruang-ruang (sel-sel) yang menempati sepenuh lebar bangunan dengan dua jendela pada masing-masing ruang sel tersebut. Jendela satu mengarah ke menara, jendela satunya menghadap luar untuk mendapatkan cahaya terang bagi seluruh ruangan. Rancangan yang disebut Panoptikon dapat dilihat pada gambar berikut.
J. Bentham. Plan du Panopticon (Foucault, 1975: 211) Di menara pusat tersebut hanya ada satu pengawas dan di setiap ruangan hanya ditempatkan seorang narapidana, atau pada konteks yang meluas, seorang penderita penyakit jiwa di rumah sakit jiwa, seorang pasien di rumah sakit umum, seorang murid di dalam klas/sekolah, dan seorang pekerja pabrik. Berkat cahaya yang berasal dari menara pusat, orang dapat melihat siluet di dalam sel, layaknya orang melihat ke panggung dengan seorang aktor, yang benar-benar seorang diri dan dapat ditonton setiap saat (Foucault: 1975: 243). Kondisi panoptik ini dirancang pada satu kesatuan ruang yang memungkinkan orang dapat terus-menerus mengawasi seluruh gerak-gerik orang lain di ruangan lain. Pada jaman dahulu, di setiap penjara, pastilah ada sel bawah tanah yang gelap, pengap dan menyiksa, yang dipergunakan untuk narapidana yang membutuhkan pengawasan secara khusus. Sejak abad XVIII, konsep Panoptisme ingin mengubah situasi ini, yaitu bahwa sinar terang dan pendangan seorang pengawas akan melindungi orang di dalam sel, meskipun aspek visibilitas ini tetap saja layaknya sebuah perangkap. Panoptic kon mengandung efek negatif pula, yaitu bahwa setiap orang di dalam ruangnya masingmasing benar-benar tertutup dan terpisah satu sama lain. Mereka selalu diawasi dari depan, namun tembok menghalangi mereka untuk berhubungan satu sama lain. Di bangunan melingkar tersebut, mereka dilihat, tetapi tidak melihat. Mereka menjadi objek informasi, tetapi tidak pernah menjadi subjek komunikasi. Sedangkan pada menara pusat, pengawas dapat melihat semuanya tanpa pernah dilihat orang-orang di luar menara. Konsep pengawasan tersebut dapat dilihat pada bangunan arsitektur rancangan Bentham berikut ini.
Intérieur du pénitencier de Stateville, Étas-Unis, XXe siècle (bagian dalam penjara Stateville, Amerika-Serikat, abad XX) (Foucault, 1975: 218) Letak ruang yang menghadap menara pusat memungkinkan visibilitas axial, namun pembagian bangunan melingkar atas ruang-ruang berbatas tembok tersebut tidak memungkinkan orang memandang apalagi berkomunikasi dengan orang lain di ruang sebelah (invisibilitas lateral) (Foucault, 1975: 234) Invisibilitas lateral ini adalah jaminan bagi sebuah keteraturan. Apabila hal tersebut diterapkan pada narapidana, diharapkan tidak ada perkomplotan, pelarian diri bersama-sama, rencana kejahatan kelompok apabila mereka bebas, serta pengaruh buruk satu sama lain yang dapat terjadi setiap saat. Apabila konsep Panoptisme ini diterapkan di rumah sakit, tidak akan ada penularan penyakit ataupun saling serang pada penderita penyakit jiwa. Foucault menjelaskan bahwa penerapan konsep Panoptisme ini pada pendidikan akan menghindarkan anak-anak dari kegiatan saling mencontek, membuat keributan, mengobrol di sela-sela pelajaran, serta tindakan indisipliner yang lain. Dengan demikian, guru dapat menilai performansi anak yang bebas dari peniruan, mengapresiasi karakter masing-masing anak, dan membedakan anak yang malas dan keras kepala dengan anak yang memang bodoh. Panoptisme sebagai konsep kekuasaan bersifat visible dan inveriaviable, dalam arti bahwa visible: orang yang diawasi secara jelas melihat bayangan menara pengawas dan inveriaviable: orang yang diawasi tersebut tidak pernah mengetahui bahwa dirinya diperhatikan tetapi dia harus yakin bahwa dia selalu diawasi. Sedemikian merasuknya efek ini ke dalam diri orang yang diawasi sehingga bagi dia ada banyak observator anonim yang setiap saat mengikuti dan membuat mereka waspada dan selalu merasa diawasi. Panoptikon adalah mesin yang sangat menakjubkan dalam menimbulkan efek homogen kekuasaan
Foucault berpendapat bahwa Panoptikon haruslah menjadi model yang dapat difungsikan secara umum, yaitu sebagai suatu cara untuk menentukan hubungan antara kekuasaan dan kehidupan sehari-hari manusia. Namun demikian , Panoptikon tidak harus dimengerti sebagai sebuah rumah impian, dalam arti bahwa dia berfungsi sebagai suatu mekanisme kekuasaan yang mengarah pada bentuk idealnya, mampu mengatasi segala rintangan, tahan terhadap segala cuaca, dan tempat semua orang dapat berlindung di dalamnya. Sesungguhnya, Panoptikon merupakan sebuah figur teknologi politik yang dapat dan harus dipisahkan dari semua praktek spesifik. Dalam aplikasinya, Panoptikon bersifat multifungsi; dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi nara pidana, merawat orang sakit, membangun sekolah, menjaga orang gila, mengawasi para pekerja, dan mempekerjakan pengemis dan penganggur. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Panoptikon adalah sebuah tipe penempatan tubuh dalam ruang, distribusi individu dalam hubungannya satu sama lain, organisasi hirarkhis, peletakan pusat dan cabang-cabang kekuasaan, penentuan instrumen dan cara-cara intervensi, yang kesemuanya ini dapat diterapkan di rumah sakit, pabrik, sekolah, dan penjara (Foucault, 1975: 239 – 240) Setiap kali orang memiliki urusan dengan beragam tipe manusia yang harus diserahi tugas dan kewajiban, skema panoptik ini dapat digunakan. Panoptikon – dengan beberapa modifikasi bila diperlukan – dapat diterapkan untuk semua tempat kerja dimana batasan ruang tidak terlalu luas, dengan sejumlah orang yang harus diawasi. Dalam hal ini, kekuasaan semakin diuji, karena jumlah orang yang berkuasa (yang mengawasi) semakin sedikit sedang jumlah orang yang diawasi semakin banyak. Semua bentuk kesalahan dan kejahatan setiap saat mungkin saja timbul. Namun demikian, sistem ini memberi kepastian ekonomis (dalam hal materi, personil, dan waktu), efektivitas, dan mekanisme otomatis. Sebagai suatu ide arsitektural sederhana, Panoptikon dapat mereformasi moral, memelihara kesehatan masyarakat, memperkuat industri, menyebar-luaskan perintah, meringankan beban publik, dan menyiapkan perekonomian yang kuat. Oleh karena itulah, sistem ini disebut sebagai sebuah cara untuk memfungsikan relasi-relasi kekuasaan di dalam sebuah fungsi, dan fungsi dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. (Foucault, 1975: 241) Skema panoptik ditujukan untuk dapat meresap ke dalam tubuh sosial karena dia memiliki kesempatan untuk menjadi sebuah fungsi umum di dalam tubuh sosial ini. Panoptikon memiliki peran menyebarluaskan. Apabila dia mengatur kekuasaan dan dapat membawanya menjadi lebih ekonomis dan efisien, hal tersebut bukanlah ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi, sistem ini akan secara terus-menerus memperkokoh kekuatan-kekuatan sosial yaitu meningkatkan produksi, memperbaiki perekonomian, dan menaikkan tingkat moral masyarakat. Dengan demikian, panoptisme adalah prinsip umum sebuah anatomi politik yang objek dan tujuan akhirnya bukanlah hubungan otoritas tertinggi, melainkan hubungan disiplin. Prinsip ini dapat memperkuat kekuasaan sampai ke akar yang paling halus dari sebuah masyarakat, tanpa terasa membebani, memaksa, bahkan mengikat mereka. Berbicara tentang Panoptikon adalah berbicara mengenai suatu mekanisme yang menganalisis distribusi, kesenjangan, dan keanekaragaman dengan menggunakan instrumen-instrumen yang mampu memperjelas, mencatat, membedakan, dan membandingkan hal-hal tersebut secara intensif dan maksimal, bukan mengacu pada penguasa tetapi pada individu-individu dalam masyarakat (Foucault, 1975:243)
Konsep Panoptisme mensyaratkan adanya disiplin yang merupakan metode, yang memungkinkan kontrol yang detil terhadap tubuh, dan memastikan adanya penguasaan secara terus-menerus terhadap potensi tubuh serta meletakkannya dalam hubungan ketaatan (Foucault, 1975: 161-162). Disiplin telah menjadi pernyataan kekuasaan sejak abad 18. Disiplin berbeda dengan perbudakan karena tidak dibangun berdasarkan kepemilikan tubuh. Disiplin berbeda dengan domestikasi, yaitu hubungan majikan dengan pembantunya yang semata-mata dibentuk atas dasar kehendak majikan. Lain pula dengan ketergantungan yang melahirkan hubungan kekuasaan dengan pengaturan yang ketat, serta lain sama sekali dengan asketisme yang menuntut kepatuhan orang Disiplin meletakkan detil pada peringkat utama kehidupan manusia. Foucault bahkan menyebutkan betapa berbahayanya menganggap sepele hal-hal kecil. Disiplin adalah kesetiaan pada hal-hal kecil yang akan membawa orang pada tingkat hidup paling tinggi karena sesungguhnya hal-hal kecil akan menciptakan hal-hal besar. Disiplin berawal dari seni menempatkan tubuh dalam ruang. Oleh karena itu, ada beberapa teknik yang perlu disimak. Pertama, disiplin mensyaratkan adanya ketertutupan (la clôture) dari heterogenitas lingkungan, adanya tempat yang terlindung yang hanya diwarnai dengan monotoni kedisiplinan. Sekolah Menengah Atas dengan model asrama (di Indonesia telah banyak diterapkan dengan model pesantren) adalah model yang sering dipakai dalam pembentukan disiplin. Peserta didik paham benar tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang (licite et illicite) dengan menerapkan prinsip kepatuhan terhadap aturan. Pemahaman ini sampai kepada internalisasi kepatuhan dan kedisiplinan, peserta didik tidak merasa dikejar-kejar oleh sebuah pengawasan yang sebenarnya tidak tampak namun dihayatinya sebagai peraturan yang tidak boleh dilanggar. Kedua, meskipun ada prinsip ketertutupan, perangkat kedisiplinan haruslah berfungsi dengan lebih supel dan halus agar terjadi internalisasi disiplin, hingga akhirnya disiplin tersebut akan mendarah daging dalam diri semua pelaku pendidikan. Dalam hal pendidikan, disiplin sangat berkaitan dengan detil sebagai berikut, mencermati kehadiran dan ketidakhadiran anak didik, mengetahui dimana dan bagaimana menemukan anakanak didik yang tidak masuk kelas, membangun komunikasi yang efektif (guru dan anak didik saling menyapa dengan menyebut nama, misalnya), mengucap salam setiap kali berjumpa, mengawasi setiap peri laku individu, menghargai orang lain (termasuk menghargai pendapat orang lain dan membiasakan antre di kantin sekolah), menjatuhkan sanksi yang tepat terhadap tindakan indisipliner (anak didik harus tahu apa kesalahannya), mengukur kualitas belajar (pemberian tugas yang berkesinambungan dan bervariasi), serta memberikan penghargaan terhadap anak didik yang memiliki prestasi dan kedisiplinan yang tinggi. Detil-detil itulah yang menciptakan karakter disiplin pada diri peserta didik, yang di Indonesia, diamanatkan di dalam Undang-undang nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang standar nasional pendidikan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bagi jenjang pendidikan dasar dan menengah (Riandiarni, 2007) Konsep Panoptisme dalam pendidikan yang selalu mengedepankan internalisasi disiplin mengandung pula urgensi kontrol aktivitas belajar-mengajar. Kontrol pertama adalah jadual (l’emploi du temps) yang menyangkut pengaturan waktu kapan seorang pelajar menggunakan internet bagi proses belajarnya. Di sekolah, penjadualan berarti pula pengaturan mata pelajaran yang menggunakan internet sebagai sumber belajar
ataupun media pembelajaran. Situs yang dibuka oleh murid harus mendukung kegiatan belajar-mengajar. Pengawasan oleh guru dan oleh sistem harus memungkinkan kontrol disiplin ini. Oleh karena itu, pembahasan secara sistem untuk situs yang boleh diakses sebaiknya dilakukan. Untuk memastikan apakah internalisasi disiplin ini berjalan atau tidak, pembatasan terhadap siklus yang diakses sekali-sekali dilepas. Guru tetap mencermati dari kejauhan situs apa yang diakses oleh murid. Apabila internalisasi disiplin telah terbentuk pada diri murid, maka dia tidak akan mengakses situs-situs yang dilarang meskipun pembatasan dan pengawasan tidak lagi dilakukan. Kontrol kedua adalah pengaturan aspek waktu dalam setiap tindakan anak didik, maksudnya adalah bahwa setiap tindakan pastilah memiliki aspek waktu yang harus diatur. Kontrol ini menjadi ritme yang wajib dan kolektif, diatur dari luar namun mampu menjamin adanya pengembangan dari dalam diri individu itu sendiri. Konsep waktu melebur ke dalam tubuh dan bersamaan dengan itu pula kekuasaan dapat mengontrol halhal yang paling kecil sekalipun. Sehubungan dengan kontrol kedua ini dapat dicermati semua kegiatan murid, baik di sekolah maupun di rumah dalam menggunakan internet. Di sekolah, pada jam-jam tertentu, internet dapat diakses melalui laboratorium komputer/multimedia, netbook, dan telepon selular. Di rumah, ada pula jam-jam tertentu saat anak dapat menggunakan internet untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dan bermain games on-line. Pada saat ini, dilakukan juga pemblokiran situs-situs tertentu yang tidak layak diakses, terutama situs porno dan kekerasan/perkelahian. Selain jam-jam tersebut, akses internet dimatikan dan telepon selular disimpan oleh orang tua. Lamakelamaan, setelah si anak terbiasa dengan jadual tersebut, akses internet tetap dihidupkan dan dilihat apakah anak berhenti atau terus bermain di luar jadual. Apabila disiplin telah diinternalisasikan, maka si anak akan berhenti mengakses internet pada jam-jam setelah mereka menyelesaikan tugas dan permainannya di internet. Selanjutnya, anak akan melakukan aktivitas lain, sembahyang lima waktu, olah raga, membaca, berjalan-jalan dengan keluarga, dan lain-lain meskipun internet tidak pernah dimatikan dan telepon genggam dibawanya sendiri. Kontrol ketiga, keserasian tubuh secara keseluruhan dengan tindakan, dengan kata lain kontrol ini mengatur perilaku tubuh dengan gerakan yang efektif dan cepat. Tubuh yang disiplin membentuk konteks operasional gerak dengan sangat rinci. Misalnya, tulisan tangan yang rapi dan indah (di dalam bahasa Jawanya tulisan kandel alus) mengarah pada sebuah gerakan di dalam gimnastik. Seluruh rutinitas gerak yang teratur berguna bagi keseluruhan tubuh. Hal tersebut langsung berhubungan dengan artikulasi tubuh terhadap benda yang digunakannya dalam proses belajar, yang merupakan kontrol disiplin yang keempat. Dalam hal ini, ketrampilan tubuh menggunakan atau memainkan peralatan belajar sangat diutamakan (contoh bagaimana mengolah bola sebelum memasukkannya ke gawang). Kontrol disiplin yang kelima mempunyai dampak ekonomi yang positif. Artinya, pengaturan waktu yang efektif sesuai jadual akan menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seorang remaja/murid. Kontrol-kontrol tersebut akan menyebabkan anak/murid dapat menggunakan internet menurut prioritas, efektif, dan cepat. Ketrampilan menggunakan komputer, mencari situs informatif bagi dirinya, menentukan situs yang tepat di antara ribuan situs, di dalam waktu yang terbatas menjadi kontrol internalisasi disiplin di dalam penggunaan internet.
3. Penutup Perihal teknologi internet dan penggunaannya di kalangan pelajar dapat langsung tampak atau muncul di dalam kurikulum. Internalisasi disiplin dalam penggunaan internet, baik di sekolah maupun di rumah, dilakukan terus-menerus dengan dukungan contoh dan teladan bagi para pelajar tersebut sebagai implementasi pendidikan karakter. Contoh dan teladan yang dimaksud adalah dari orang tua dan guru. Prinsip internalisasi disiplin dengan sistem Panoptikon adalah pengawasan bersifat diskontinyu tetapi dampaknya kontinyu. Pada saat pengawasan dihentikan, dengan sendirinya telah terbentuk pola kedisiplinan yang telah melekat pada diri murid. Bahkan, tanpa pengawasan pun dia merasakan tidak layak apabila mengerjakan hal-hal yang dilarang. Efek pengawasan tetap masih dirasakan dan kepatuhan pun telah terwujud di dalam diri individu meskipun pengawasan dalam arti yang sesungguhnya tidak lagi dilakukan. Apabila ternyata disiplin belum terinternalisasi , penjadualan, pengawasan, dan pemblokiran situs-situs porno tetap dilakukan dengan pemberian pemahaman dan teladan dari orang tua dan guru. Rujukan Henny Riandiarni. (2007). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA. Solo: Tiga Serangkai Pustaka. Michel Foucault. (1975). Surveiller et Punir. Paris: Gallimard. Michel Foucault. (1976). Histoire de la Sexualité I La Volonté de Savoir. Paris : Gallimard. http://www.allacademic.com www.communication-sensible.com