INTERDEPENDENSI AKADEMISI-PRAKTISI DALAM ILMU MANAJEMEN DAN ORGANISASI Firmanzah
ubungan antara akademisi dan praktisi dalam ilmu manajemen dan organisasi kembali menjadi topik bahasan menarik. Setelah Academy of Management
Journal
(April,
2001)
menerbitkan
edisi
spesial
yang
membahas keterkaitan antara teori manajemen dan organisasi dengan praktek manajerial. Sementara Administrative Science Quarterly (September, 2002) juga mengupas permasalahan yang tidak jauh berbeda yaitu fungsi dan kontribusi teori manajemen dan organisasi terhadap tatanan sosialmasyarakat. Tulisan ini ditujukan untuk memberikan pemahaman mengapa selama ini terjadi ‘jarak’ antara teori dengan praktek. Seperti diungkapkan oleh Hekimian (1969) dan Thomas dan Tymon (1982) bahwa kebanyakan riset dan penelitian dalam ilmu manajemen dan organisasi (seperti perilaku organisasi, perubahan organisasi, teori organisasi, manajemen strategi) tidak menyentuh realitas organisasi karena sangat men-generalisasi realitas dan kehilangan apa yang disebut ‘descriptive relevance’. Riset dan penelitian dalam ilmu manajemen dan organisasi telah kehilangan informasi deskriptif dan gagal untuk menangkap keragaman dan kompleksitas realitas yang dilakukan oleh praktisi. Praktisi membutuhkan teori yang mampu menjawab tantangan yang mereka hadapi sehari-hari. Sementara sebagian besar teori yang ada dalam literatur manajemen dan organisasi secara metodologi sangatlah positivist, sehingga
menghasilkan
teori
yang
bersifat
universal
dan
general.
Sementara, praktisi membutuhkan pendekatan yang lebih sesuai dengan realitas bisnis (Mitrof & Mason, 1982). Selain itu juga, riset dan penelitian yang mempelajari perilaku manajemen dan organisasi semakin dirasakan sarat dengan bias observasi, bias perspektif peneliti atas realitas dan bias
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
judgement yang semakin menjauhkan dari realitas (Mitroff, 1980). Tidak jarang banyak peneliti yang menganjurkan untuk meninjau ulang kembali metodologi yang digunakan untuk melakukan penelitian, sehingga akan menghasilkan teori yang mudah diaplikasikan, meningkatkan relevansi dengan dunia praktek, tidak abstrak dan mengurangi efek bias. Meskipun usaha untuk memperbaiki kualitas aktivitas penelitian telah dilakukan (Shrivastava & Mitroff, 1984; Thomas & Tymon, 1984) namun sampai sekarang masih banyak kalangan yang melaporkan bahwa gap dan jarak antara teori dengan praktek masih terus ditemukan dan bahkan semakin melebar (Mowday, 1997; Porter & McKibben, 1988). Hal ini terutama ditemukan dalam sekolah-sekolah bisnis di Amerika. Keluhan yang semakin dirasakan adalah riset dan penelitian yang dilakukan semakin bersifat abstrak dan sulit diterapkan oleh para manajer. Konsep seperti knowlegde
management,
teori
pengambilan
keputusan,
sustainable
competitive advantage, dynamic capabilities dan lain sebagainya, sangat sulit diterjemahkan dalam praktek manajerial. Bahkan kebanyakan kasus para manajer berhasil menjalankan bisnis mereka tanpa mengetahui teoriteori manajemen dan organisasi (Hekimian, 1969). Sehingga antara teori manajemen strategi dan organisasi dengan praktek seolah-olah terdapat garis pemisah dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Diskusi tentang hubungan antara akademisi dan praktisi merupakan diskusi yang telah berlangsung lama. Isu ini muncul kembali dan menjadi pusat perhatian, ketika Porter dan McKibben (1988) dan Mowday (1997) menyatakan perlunya kembali memikir ulang peranan akademisi dalam praktek bisnis. Tidak hanya itu, Hinnings dan Greenwood (2002) juga menganjurkan untuk melihat kembali peranan teori manajemen dan organisasi dalam pengaruhnya atas tatanan sosial masyarakat dan peranannya dalam memprediksi apa yang akan terjadi dalam interaksi struktur sosial masyarakat. Menjadi pusat perhatian dalam artikel ini adalah menjelaskan mengapa gap dan jurang antara teori dan praktek bisnis selalu hadir,
2
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
meskipun segala upaya untuk menghubungkan keduanya telah banyak dilakukan. Menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi adalah penting untuk bisa menjembatani antara teori dan model (sebagai hasil aktivitas akademisi) dan praktek manajerial (sebagai hasil aktivitas praktisi). Saya setuju dengan Mohrman et al., (2002) bahwa akademisi dan praktisi adalah dua struktur sistem sosial yang berbeda. Bahwa prosedur dan rasionalitas yang mengatur ke dua sistem sosial itu sangatlah berbeda. Saya melihat bahwa faktor inilah yang nantinya membuat mengapa adanya perbedaan perspektif antara akademisi dan praktis dalam memandang realitas organisasi, yang nantinya akan mempengaruhi output yang dihasilkan. Teori dan model merupakan sintesa dan representatif dari abstraksi interpretasi akademisi atas realitas. Sementara, praktek manajerial merupakan fungsi pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh praktisi dalam interaksinya dengan realitas organisasi. Saya membangun tulisan ini berdasarkan pemikiran Mizruchi dan Fein (2002) bahwa knowledge dalam ilmu manajemen dan organisasi adalah ‘social construction’ dalam struktur sistem knowledge. Diasumsikan disini, bahwa struktur sistem knowledge terdiri dari dua sub-sistem sosial, yaitu sub-sistem sosial akademisi dan sub-sistem sosial praktisi. Masing-masing sub-sistem sosial memiliki karakteristik dan peran yang berbeda-beda dan saling terkait satu sama lain dalam konstruksi ilmu manajemen dan organisasi. Akademisi memberikan kontribusi terhadap sistematika pemikiran dalam menganalisa sebuah realitas melalui pembangunan instrumen, model dan teori. Sementara para praktisi berperan sebagai agen yang mengisi ruang-ruang organisasi dan memunculkan realitas untuk dapat diteliti dan diamati oleh akademisi. Hubungan keterkaitan dalam tulisan ini diartikan sebagai hubungan interdependensi, dimana terdapat ketergantungan antara dua sistem sosial dalam konstruksi ilmu manajemen dan organisasi. Seperti diungkapkan di atas, bahwa untuk memahami mengapa selalu terjadi perbedaan perspektif yang tercermin dari output yang dihasilkan, maka kita perlu untuk memahami kondisi bagaimana masingmasing sistem sosial ini berfungsi dan bekerja. Selanjutnya, fungsi sistem
3
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
sosial akademisi akan saya fokuskan pada fungsi penemuan dan integrasi untuk membangun knowledge baru dan bukan pada fungsi aplikasi dan pengajaran (Boyer, 1990)
Institusi Sistem Sosial Akademisi-Praktisi Mencoba memahami mengapa terdapat perbedaan perspektif antara kaum akademisi dan praktisi, yang kemudian akan berpengaruh terhadap aktivitas yang dilakukan, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan institusional. Institusi akademisi dan praktisi berbeda secara mendasar tentang proses, nilai, norma, prosedur, peraturan, legitimasi, struktur kognitif dan program yang mengatur aktivitas dan standar output yang dihasilkan. Masing-masing institusi melahirkan dan mengatur proses internal masing-masing sistem sosial (Meyer & Rowan, 1977; DiMaggio & Powell, 1983). Institusi dilihat sebagai sebuah media yang mampu mempengaruhi secara kultural dalam pengambilan keputusan dalam suatu struktur sosial. Bahwa populasi dalam suatu struktur sosial dalam mengambil keputusan sangat dipengarui oleh sistem nilai, norma, peraturan, kepercayaan, dan asumsi yang biasanya ditemukan dalam sistem dan prosedur (Meyer & Rowan, 1977). Institusi kemudian menyediakan konstrain atas pilihan individu atau kolektif, dimana konstrain ini bisa berubah seiring berevolusinya sistem sosial (Barley & Tolbert, 1997). Perubahan institusi dalam jangka panjang bisa dijelaskan melalui teori strukturasi (Gidden, 1976). Seperti halnya teori strukturasi, teori institusional melihat bahwa konstrain kultural tidak sepenuhnya bertindak sebagai determinis atas pilihan yang akan diambil (Oliver, 1991), namun institusi memberikan batasan atas alternatif pilihan yang bisa diambil, yang kemudian meningkatkan kemungkinan dan probablitas suatu perilaku tertentu dalam struktur sosial (Barley & Tolbert, 1997). Melalui pilihan dan aksi yang berakulasi dalam jangka panjang, individu dan kolektif dapat dengan sengaja untuk memodifikasi dan bahkan menghapus suatu institusi. Keengganan agen untuh berubah (Lawrence, 1973) merupakan salah satu
4
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
faktor yang menyebabkan mengapa institusi berubah secara perlahan-lahan dalam jangka panjang. Bertahapnya perubahan institusi yang dilakukan oleh interaksi aktor dan aksi juga tidak bisa mengabaikan nilai-nilai lama institusi yang telah tertanam baik dalam budaya, nilai, norma dan konvensi suatu sistem dan struktur sosial. Dalam hal ini, saya akan lebih memfokuskan pembahasan terhadap perbedaan dua institusi, institusi penelitian dan bisnis, dalam mempengaruhi perilaku dan aktivitas akademisi dan praktisi, yang kemudian akan berpengaruh atas perbedaan bagaimana kedua sistem sosial ini melihat realitas yang tercermin dari output yang dihasilkan. Akademisi dan praktisi adalah dua sistem sosial yang berbeda (Mohrman et al., 2001). Perbedaan mendasar itu dapat ditemukan dalam hal ontology, epistemology dan etika dalam menjelaskan realitas dan struktur praktek manajerial (Mitoff & Mason, 1982; Shrivastava & Mitroff, 1984). Ontologi mengacu kepada asumsi yang dibuat atas komponen sebuah realitas yang membentuk fenomena dasar atas obyek. Hal ini menjelaskan hal-hal seperti; pemilihan materi sebuah obyek, orang, organisasi, pikiran, jumlah, dan fakta yang harus dipertimbangkan. Epistemologi mengacu kepada bagaimana kita bisa mendapatkan knowledge dan batasan tentang knowledge itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar untuk mencari informasi dalam membangun sebuah knowledge. Sementara, etika mengacu kepada asumsi dasar atas nilai yang digunakan, standar atas perilaku dan judgment moral atas apa yang dilakukan. Secara ontology, antara institusi riset dan dunia bisnis berbeda mendefinisikan komponen sebuah realitas. Para akademisi membangun signifikasi obyek yang akan diteliti berdasarkan atas realitas dan model atau teori yang ada. Realitas menjadi obyek riset dan penelitian ketika realitas memberikan sinyal fenomena menarik untuk diteliti oleh peneliti. Sinyal itu bisa berupa efek baru sebuah realitas baru (misalnya pengaruh internet dalam teori organisasi), efek baru sebuah realitas lama (misalnya pencarian bentuk kontrol organisasi yang efektif dalam organisasi birokrasi) dan munculnya realitas baru (misalnya munculnya konsep virtual organization).
5
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Tentunya ukuran menarik untuk diteliti bukanlah ukuran obyektif, namun lebih ke ukuran ‘interpretasi’ (Daft & Weick, 1984). Dimana para akademisi berperan aktif dalam pemberian makna tentang penting tidaknya sebuah realitas. Bahkan terkadang obyek yang diteliti menjadi penting hanya karena para peneliti senior berpendapat bahwa obyek itu penting untuk diteliti dan bukan karena pentingnya obyek itu sendiri. Selain itu juga pentingnya sebuah obyek untuk diteliti dan dibahas juga dipengaruhi oleh bahan dan materi yang dibaca melalui jurnal-jurnal ilmiah. Misalnya, topik ini menjadi penting bagi saya, ketika saya menemukan rentetan pembahasan topik di jurnal-jurnal ilmiah yang saya baca. Sementara penetapan obyek penelitian juga bisa bersumber dari teori dan model yang telah ada. Teori dan model bisa memberikan inspirasi bagi peneliti dalam penetapan penting tidaknya sebuah obyek. Misalnya, penelitian yang dilakukan Schamalense (1985) tentang peranan Industrial Organization (IO) dan firm-capability dalam penentuan kinerja perusahaan, telah dan sangat menarik perhatian penelitian berikutnya dalam literatur manajemen strategi. Tidak kurang puluhan penelitian akhirnya muncul diberbagai jurnal manajemen strategi yang membahas tentang hal ini1. Penelitian yang dilakukan Schamalense (1985) telah memberikan makna penting atas pertanyaan fundamental tentang peranan IO dan firm-capability dalam diskusi dalam literatur manajemen strategi. Pada kenyataannya dalam penetapan obyek yang akan diteliti, sampai batas tertentu, para peneliti tidak dapat melepaskan tekanan institusi akademis. Institusi akademis dibangun berdasarkan atas azas rasionalitas, sehingga peneliti dalam pengajuan obyek yang akan diteliti harus mampu memberikan alasan-alasan logis mengapa topik dan obyek itu menjadi perlu untuk diteliti. Mekanisme ini sering kita jumpai ketika mahasiswa PhD menyampaikan usulan tentang topik penelitian mereka. Mahasiswa tersebut 1
Publikasi berturut-turut tentang penelitian yang membahas antara Industrial Organization (IO) dan firm-capability dalam penentuan kinerja perusahaan berikutnya muncul di Strategic Management Journal. Publikasi dilakukan oleh Hansen and Wernerfelt, 1989; Rumelt, 1991; Powell, 1996; Roquebert et ai., 1996 McGahan and Porter, 1997; Mauri and Michael, 1998; Hawawini et al., 2003.
6
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
harus mampu meyakinkan profesornya dan tidak jarang di depan seminar penelitian bahwa topik dan obyek yang diteliti adalah penting kontribusinya bagi perkembangan teori ataupun dunia praktek. Sementara jurnal-jurnal ilmiah yang berskala internasional turut berperan aktif dalam penetapan signifikasi obyek dan realitas yang akan diteliti. Tidak jarang jurnal-jurnal tersebut menggunakan metode ‘call for papers’ untuk membahas topik-topik tertentu. Selain itu juga, pembahasan topik dalam jurnal ilmiah juga mengikuti trend yang ada2. Sehingga untuk dapat dipublikasikan di jurnaljurnal ilmiah, para peneliti harus terus mengikuti topik besar yang telah ditentukan oleh redaktur jurnal ilmiah tersebut. Berbeda
dengan
para
peneliti,
praktisi
membangun
realitas
berdasarkan interaksi dengan dunia nyata. Perbedaan mendasar antara praktisi dan akademisi adalah, praktisi menentukan penting tidaknya sebuah realitas berdasarkan penting tidaknya membuat keputusan atas event atau peristiwa yang terjadi. Interaksi dengan berbagai elemen manajerial seperti interaksi dengan pesaing, konsumen, supplier, peraturan pemerintah, kondisi sosial-politik dan lain-lain, menghasilkan berbagai macam realitas. Proses ‘screening’ penting tidaknya realitas dilakukan berdasarkan skala prioritas. Karena tidak semua realitas hasil interaksi penting, menjadi pusat perhatian dan diambil tindakan aksi. Selain adanya keterbatasan rasional (Simon, 1960) sumber daya yang dimiliki organisasi pun terbatas, sehingga alokasi sumberdaya ke hal-hal yang paling penting perlu dilakukan. Hanya event yang memiliki dampak besar bagi organisasi yang pertama kali menjadi ‘penting’ bagi praktisi dan diambil keputusan. 2
Di awal perkembangan manajemen strategi dan organisasi, sebagian besar literatur didominasi oleh pendekatan internal perusahaan dimotori karya Selznick (1957), Penrose (1959), Learned et al., (1965, 1969), Ansoff (1965) dan Chandler (1962). Publikasi-publikasi yang sering muncul dalam jurnal-jurnal ilmiah terfokus pada pembahasan internal perusahaan. Sementara di periode 60 sampai munculnya teori Resources Based Value (RBV) di awal tahun 80-an, kebanyakan literatur didominasi oleh pembahasan tentang industrial organization, seperti Porter (1980, 1985) dan munculnya teori tentang Strategic Groups (Hunt, 1972; Newman, 1973; Porter, 1973). Perhatian akademisi kemudian kembali ke aspek internal perusahaan dengan adanya RBV (Wernerfelt, 1984; Barney, 1991). Sehingga sekarang kita sering menjumpai topik-topik tentang knowledge management, dynamic capability, dan sustainable competitive advantage diberbagai jurnal ilmiah manajemen strategi dan organisasi. Dominasi pembahasan di jurnal-jurnal ilmiah juga mengikuti mainstream aliran pemikiran dan teori dalam ilmu manajemen dan organisasi.
7
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Dalam pemilihan signifikasi realitas, praktisi juga tidak bisa terlepas dari tekanan institusi. Tidak jarang institusi formal seperti lembaga dan peraturan pemerintah dan asosiasi mengarahkan signifikasi atas realitas dan apa yang harus dilakukan oleh manajer. Sebuah realitas tiba-tiba menjadi penting dan menjadi pusat perhatian oleh manajer, ketika institusi resmi mewajibkan para manajer untuk mentaati sebuah peraturan. Misalnya pengenaan standard ISO terhadap produk yang dihasilkan. Isu ini menjadi sangat penting ketika terdapat institusi formal mewajibkan pengenaan standar kualitas atas produk yang dihasilkan. Isu menjadi penting dalam dunia praktek juga bisa terjadi secara ‘mimetic’ (DiMaggio & Powell, 1983). Misalnya, suatu ceruk pasar yang selama ini tidak dianggap penting, kemudian menjadi sangat penting hanya karena pesaing utama masuk ke pasar tersebut. Secara epistomologi juga terdapat perbedaan mendasar antara akademisi dan praktisi. Dalam melalukan riset dan peneltian, akademisi harus melalui seleksi epistemology yang ketat. Dalam ilmu manajemen dan organisasi terdapat tiga pilihan yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengamati dan menganalisa sebuah realitas, yaitu paradigma positivist, interpretatif dan konstruktivist (Séville & Perret, 1999). Paradigma menurut Kuhn (1970) berisikan model, skema itelektual atau bingkai referensi yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisa sebuah obyek. Paradigma positivist mencoba menjelaskan dan menggambarkan sebuah realitas, dalam paradigma ini realitas bebas dari intervensi interaksi perspektif si peneliti. Paradigma interpretatif mencoba memahami dan mengerti sebuah realitas melalui pemahaman peneliti atas realitas dan sangat subyektif. Sementara paradigma konstruktivis mencoba untuk membangun realitas baik yang telah dijelaskan dalam teori dan model yang sudah ada atau membangun realitas yang belum dijelaskan. Secara metodologi, sebagian besar penelitian dibagi atas dua bentuk yaitu
kuantitatif
dan
kualitatif.
Paradigma
positivist
sering
sekali
menggunakan metode kuantitatif dalam analisa variabel. Sedangkan,
8
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
paradigma interpretasi dan konstruktivis seringkali menggunakan metode kualitatif. Sampai sekarang perdebatan epistemologi dan metodologi dalam komunitas peneliti tidak kunjung menemukan kesimpulan epistemologi dan metodologi mana yang terbaik dan yang harus digunakan dalam penelitian ilmu manajemen dan organisasi. Namun, sebagian besar penelitian dalam manajemen dan organisasi di dominasi oleh paradigma positivist (Séville & Perret, 1999). Sementara banyak kalangan yang melihat paradigma ini melahirkan teori dan model yang over-generalis. Semakin dibuktikan bahwa realitas berjalan begitu dinamis dan kompleks, dan tidak semua kasus bisa dijelaskan oleh teori universal. Sehingga hal ini membuat sebagian peneliti menggunakan metode yang lebih kualitatif dalam menganalisa variabel, seperti penggunaan metode studi kasus. Pilihan
yang
dilakukan
peneliti
dalam
membangun
sebuah
knowledge, model dan teori berdasarkan kerangka epistemologi dan metodologi yang telah ada, meskipun terdapat kecenderungan adanya pengembangan metodologi lintas disiplin ilmu, seperti penggunaan methode ethnografi dan partisipatif dalam penelitian manajemen dan organisasi. Epistemologi dan metodologi sebagai hasil dari pilihan asumsi dan paradigma peneliti akan menentukan legitimasi hasil peneltian, menjelaskan bagaimana penelitian akan dilakukan dan juga mempengaruhi kesimpulan yang akan dihasilkan (Shrivastava & Mitroff, 1984) sehingga suatu even atau realitas yang diamati dan diteliti dengan menggunakan metodologi berbeda akan menghasilkan kesimpulan, model dan teori yang berbeda. Berbeda
dengan
akademisi
yang
menggunakan
pendekatan
sistematis dan sangat terstruktur dalam melakukan pengamatan atas obyek, praktisi menggunakan pendekatan yang kurang terstruktur, bekerja dalam time-frame yang ketat, improvisasi dan sangat subyektif (Shrivastava & Mitroff, 1984). Seperti diungkapkan diatas bahwa praktisi harus berinteraksi secara fisik dengan masalah yang tidak terstruktur, rumit, kompleks dan tidak bisa melakukan penyederhanaan seperti yang dilakukan peneliti. Sementara terdapat keterbatasan rasionalitas (Simon, 1959), keterbatasan sumber daya
9
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
dan alokasinya, yang akhirnya membuat praktisi cenderung untuk lebih pragmatis dan lebih memfokuskan pada aspek utilitas. Pemilihan metode yang paling efisien (yang paling murah, akurat, tepat waktu dan paling cepat) menjadi prioritas utama. Praktisi tidak terlalu mempermasalahkan aspek intelektual dari metode yang digunakan, pertimbangan utama adalah bagaimana bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan metode seefisien mungkin. Kepragmatisan dari praktisi sangat bisa dimengerti, karena mereka hidup dalam lingkungan yang kompleks, dinamis dan dituntut untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat, cepat dan akurat. Hal ini tercermin dalam metode pengambilan keputusan para praktisi. Sementara rasionalitas dan obyektifitas sangat dituntut oleh para peneliti, praktisi cenderung menggunakan intuitif dan subyektifitas dalam pengambilan keputusan (meskipun tidak menutup kemungkinan praktisi juga rasional dalam pengambilan keputusan). Karena peluang dan ancaman di pasar harus bisa ditangkap dengan cepat, diproses dan direspon. Kelambatan dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan dalam hal ini bisa berakibat fatal bagi organisasi (perusahaan). Institusi akademisi dan praktisi juga sangat berbeda dalam etika. Dalam institusi akademisi terdapat hal-hal yang sangat tabu untuk dilakukan, misalnya penjiplakan riset dan penelitian. Sehingga membuat praktisi terdorong untuk merancang penelitian yang unik dan belum pernah dilakukan oleh orang sebelumnya. Hasilnya adalah studi pustaka yang panjang dan melelahkan untuk mempelajari apa saja yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dan untuk menghindari duplikasi karya penelitian. Hukuman moral atas penjiplakan dalam institusi akademis sangatlah keras, dari mulai tidak diakuinya penelitian oleh komunitas intelektual, penurunan kredibilitas peneliti, sampai pada pencopotan gelar akademis. Selain itu etika yang dijunjung tinggi dalam institusi adalah faham rasionalitas intelektual. Peneliti bisa saja membuat riset dan penelitian ala kadarnya, namun hanya riset dan penelitian yang memiliki standar kualitas
10
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
rasionalitas intelektual tinggi yang dapat dipublikasikan oleh jurnal-jurnal ilmiah terkenal. Standar rasionalitas intelektual ini bisa tercermin dari kekayaan penggunaan dan kontribusi atas teori (Sutton & Staw, 1995). Alasan utama para editor jurnal ilmiah untuk tidak menerbitkan hasil riset dan penelitian adalah riset dan penelitian tidak memiliki kandungan teori yang cukup. Hal ini mendorong akademisi untuk semakin meningkatkan kemampuan
rasionalitas
intelektual
mereka.
Kalaupun
akademisi
menggunakan intuisi dan subyektifitas, hal ini harus didukung oleh data dan informasi yang akurat dan bisa dibuktikan secara intelektual. Harus kita akui bahwa etika berbisnis semakin lama semakin condong ke nilai-nilai kapitalis dan pasar, dengan ditandai semakin luasnya diterapkan liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN dan sistem ekonomi, dan semakin ditumbuhkan iklim persaingan bebas. Etika bisnis yang melandasi faham kapitalis adalah persaingan dan inovasi. Sehingga membuat praktisi untuk terus mencari cara paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan mereka, yaitu pemuasan stakeholder. Berbeda dengan para akademisi, etika rasionalitas intelektual dalam pencapain tujuan bisnis tidak terlalu penting. Bahkan dalam beberapa kasus tergambar bagaimana seorang entrepreneur berhasil dalam usaha mereka dengan mengandalkan intuisi bisnis semata. Dalam dunia praktisi batasan antara strategi dengan keberuntungan sangatlah tipis. Intusi dan subyektivitas bisnis adalah hasil dari akumulasi pengalaman praktisi dalam bergelut dengan kompleksitas permasalahan bisnis.
Interdependensi Sementara Duncan (1972) menggunakan pertimbangan atas ; (1) ruang dan waktu, (2) materi dan enerji, dan (3) informasi, yang membagi sistem dalam tiga kategori, yaitu; (1) sistem konseptual, (2) sistem konkret, dan (3) sistem abstrak. Sistem konseptual adalah sistem yang ditemukan
11
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
dalam sistem pikiran dan kognitif dimana bertemunya dan berinteraksinya simbol-simbol. Sistem konkret berisikan unit dan materi yang bisa diukur dengan menggunakan dimensi ruang dan waktu, sedangkan, sistem abstrak adalah sistem yang berisikan unit dan interaksi yang dipilih oleh investigator. Menerapkan ketiga sistem dalam diskusi akademisi-praktisi, maka akademisi cenderung untuk membangun sistem konseptual (melalui konstruksi teori dan model) dengan menggunakan sistem konkret dan sistem abstrak. Sementara praktisi cenderung untuk memfokuskan diri pada sistem abastrak dan konkret dengan menggunakan sintesa sistem konseptual yang dikembangkan oleh akademisi.
Gambar 1. Interdependensi Akademisi-Praktisi
absorpsi
Realitas dan Praktek Manajerial
Akademisi
output
Praktisi
output
absorpsi Teori dan Model
Hubungan interdependensi antara praktisi-akademisi bisa dilihat dalam gambar 1. Dalam artikel ini, saya melihat bahwa antara akademisipraktisi terdapat hubungan timbal balik dan saling ketergantugan, dimana output dari aktivitas satu sistem sosial dibutuhkan oleh sistem sosial lainnya, dan begitu sebaliknya. Konstruksi knowledge dalam ilmu manajemen dan organisasi adalah konstruksi sosial (Mizruchi & Fein, 1999). Sistem sosial terdiri dari berbagai sub-sistem yang saling berinteraksi dan memiliki
12
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
karakteristik institusi yang berbada-beda. Sub-sistem akademisi dan subsistem praktisi adalah struktur sosial yang diatur oleh institusi yang berbeda. Sepertinya kita tidak dapat menganalisa knostruksi knowledge tanpa membahas peran dalam interaksi masing-masing sub-sistem ini. Terdapat dua aktivitas akademisi dalam konstruksi ilmu manajemen dan organisasi, yaitu absorpsi dan output. Dalam absorpsi, akademisi melakukan aktivitas mencoba menangkap sinyal, informasi dan data yang tergambar dalam realitas organisasi (misalnya aktifitas praktisi) untuk diamati, dianalisa, diukur dan dibuat sintesanya. Tentunya sumber analisa tidak hanya dari realitas dan praktek manajerial saja, karena dalam proses penganalisaan, akademisi akan menggabungkan model dan teori yang sudah ada. Ketika terdapat ‘anomali’ (Kuhn, 1970), dimana muncul fenomena baru yang tidak dapat dijelaskan oleh kerangka model dan teori yang ada, maka akademisi mulai mencari jawaban mengapa anomali ini terjadi. Analisa tidak hanya mencari tahu mengapa fenomena ini terjadi, tapi juga melihat bagaimana konsekuensinya terhadap praktek manajerial dan model dan teori yang telah ada. Konstruksi model dan teori digunakan untuk dua hal. Pertama, konstruksi
ini
digunakan
oleh
akademisi
sebagai
bahan
analisa
perbandingan dengan model dan teori yang sudah ada. Apakah realitas yang muncul dan yang diamati memperkuat atau membantah model dan teori yang ada. Kedua, model dan teori dikembangkan untuk menjelaskan dan mensistematiskan realitas; sehingga orang lain bisa belajar dari pengalaman sebuah realitas tanpa harus berada dalam realitas tersebut. Misalnya, melalui teori konflik organisasi kita bisa memahami realitas sebuah konflik dalam organisasi tanpa harus mengalami dan membuat konflik secara nyata. Dan melalui teori konflik organisasi yang kita baca, kita bisa mengantisipasi agar konflik dalam organisasi tidak terjadi, dan kalaupun terjadi model dan teori akan memberikan gambaran bagaimana kita harus menyikapinya. Boyer (1990) menjelaskan terdapat empat aktifitas yang berkaitan dengan output akademisi, yaitu; (1) akademisi penemuan (scholarship of
13
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
discovery), (2) akademisi integrasi (scholarship of integration), (3) akademisi aplikasi
(sholarship
of
application),
dan
(4)
akademisi
pengajaran
(scholarship of teaching). Akademisi penemuan berkaitan dengan aktivitas tradisional peneliti yaitu berkontribusi terhadap penemuan dan inovasi ilmu pengetahuan. Akademisi integrasi meliputi aktivitas pemberian makna dan arti dari kejadian yang terpisah, menggabungkan dan menjadikannya dalam satu perspektif untuk membuat riset dan penelitian yang orisinil. Akademisi aplikasi mengaplikasikan instrumen-instrumen dalam model dan teori untuk beragam aktivitas. Akademisi pengajaran bertugas untuk mentransfer knowledge ke pihak lain, dalam hal ini praktisi. Keempat fungsi akademisi saya lihat sebagai mata-rantai dan proses yang menjembatani antara konstruksi model dan teori, penerapan dan transfer ke praktisi. Akademisi aplikasi
dan
akademisi
pengajaran
dibutuhkan
oleh
praktisi
untuk
mempermudah dan memfasilitasi daya serap praktisi akan model dan teori yang dikembangkan oleh akademisi. Sementara akademisi penemuan dan integrasi
dibutuhkan
untuk
menjaga
kelangsungan
penemuan
dan
pengembangan model dan teori. Praktisi menggunakan model dan teori yang dikembangkan oleh akademisi untuk tiga hal, yaitu; (1) instrumental, (2) konseptual, dan (3) simbolik (Pelz, 1978). Penggunaan model dan teori terjadi secara instrumentalis, ketika hasil riset dan penelitian mempengaruhi secara langsung
aktivitas
praktek
manajerial.
Misalnya
penggunaan
model
‘Balanced-Score Card’ untuk pengukuran standar kinerja perusahaan (Kaplan & Norton, 1992) menggantikan standar pengukuran kinerja tradisional.
Penggunaan
konseptual
terjadi
ketika
model
dan
teori
mempengaruhi ide, konsep dan pemikiran para praktisi. Misalnya teori ‘Transaction Cost’ (Wiliamson, 1975), menginspirasi secara konseptual para praktisi dalam strategi diversifikasi unit-unit perusahaan. Sementara, model dan teori digunakan secara simbolik ketika praktisi menggunakannya untuk melegitimasi keputusan, aksi dan ide mereka. Hal ini terjadi ketika teori ‘Resouces-Based-Value’ (Penrose, 1959) digunakan oleh para praktisi untuk
14
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
melegitimasi keputusan arah ekspansi bisnis. Sehingga, kegunaan model dan teori ilmu manajemen dan organisasi bagi para praktis bisa terjadi dalam tiga mekanisme di atas. Dalam aplikasinya di lapangan, saya sependapat dengan Gabriel (2002), bahwa penggunaan model dan teori terjadi secara ‘paragrammatic’. Penggunaan model dan teori tidak terjadi secara pasif, melainkan terjadi secara kreatif, opportunist dan individualis. Model dan teori digunakan secara luas melalui berbagai macam cara yang berpotensi menghasilkan output yang beragam. Praktisi menggunakan model dan teori tidak secara kaku, melainkan melalui improvisasi, menggabungkan beberapa model dan teori, dan menyesuaikan dengan lingkungan dimana praktisi berada. Lawrence dan Lorsch (1967) menyatakan adanya ‘contingency’ dalam penerapan teori manajemen organisasi. Penerapan teori manajemen organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi itu berada dan ‘no one best way’ untuk memecahkan semua persoalan organisasional. Praktisi membutuhkan improvisasi dan penyesuaian aplikasi model dan teori ketika harus berhubungan dengan realitas bisnis. Hal ini perlu dilakukan karena dunia bisnis berjalan dengan sangat kompleks dan dinamis, hasil interaksi beragam variabel. Sementara model dan teori dikembangkan melalui penyederhanaan, banyaknya asumsi dan terkadang sangat reduksionis. Beragamnya cara pengaplikasian model dan teori oleh praktisi berpeluang menghasilkan ‘anomali’ (Kuhn, 1969) dan beragam output (Gabriel, 2002). Anomali dan beragam output ini yang kemudian memunculkan realitas baru bagi kaum akademisi. Sebuah realitas yang harus dianalisa, dimengerti dan dibuat kembali model dan teorinya guna menjelaskan fenomena yang muncul. Dari gambar dan keterangan di atas, antara akademisi dan praktisi terdapat hubungan saling ketergantungan. Akademisi menghasilkan sintesa realitas praktek manajerial melalui konstruksi model dan teori, sementara model dan teori akan bisa terus berkembang melalui aplikasi yang dilakukan oleh praktisi. Beragamnya aplikasi model dan teori yang dilakukan oleh
15
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
praktisi akan memberikan inspirasi, ide, energi, konsep dan kerangka analisa baru bagi akademisi. Kemudian dikembangkan untuk melahirkan model dan teori baru.
Proses Komunikasi Sampai saat ini, kita membahas bagaimana dua sistem sosial ini bekerja dan kontribusi masing-masing sistem sosial bagi perkembangan knowledge dalam ilmu manajemen dan organisasi. Selanjutnya kita perlu memahami bagaimana kedua institusi ini berinteraksi dan saling tukar informasi untuk mengembangkan ilmu manajemen dan organisasi. Saya memfokuskan diri pada proses komunikasi sebagai media transfer informasi, data dan knowledge antara kedua sistem sosial ini. Proses komunikasi ini hanya akan bisa terjadi kalau terdapat ‘tolerance ambiguity’ (Astley & Zammuto, 1992) antara akademisi-praktisi dan terdapat ‘language game’ (Wittgenstein, 1953) antara akademisi dan praktisi. Masing-masing sistem sosial membangun signifikasi arti dan makna dari ‘language’ yang digunakan, yang kemudian mengarahkan tindakan yang akan dilakukan. Dalam ‘language game’, Wittgenstein (1953) menyatakan bahwa kata-kata diberi makna dan arti bukan dari aksi atau obyek yang dirujuk oleh kata tersebut, melainkan makna dan arti sebuah kata berasal dari konteks dan nilai historisnya. Misalnya, kata ‘struktur organisasi’ bisa diartikan berbeda antara praktisi dan akademisi. Praktisi lebih melihat ‘struktur organisasi’ sebagai bagan dan diagram yang mencerminkan pembagian kerja dan divisionalisasi kerja dalam sebuah organisasi. Sementara akademisi, yang terilhami oleh teori sosial, bisa mengartikan kata ‘struktur organisasi’ sebagai bentuk dan pola interaksi antar variabel yang terjadi dalam suatu organisasi (Gidden, 1967; Ranson et al., 1980). Akademisi melihat bahwa pola interaksi antara dua variabel atau lebih juga sebuah struktur, di samping struktur organisasi sebagai pembagian kerja dan divisi yang tercermin dalam bagan dan diagram organisasi.
16
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
Sehingga tidaklah mengherankan kalau Astley dan Zammuto (1992) menyatakan bahwa harus ada ‘tolerance ambiguity’. Karena masing-masing struktur sosial, akademisi-praktisi, membangun signifikasi arti dan makna secara berbeda dari ‘language’ yang digunakan. Harus disadari oleh akademisi dan praktisi bahwa terkadang dan mungkin seringkali, terdapat perbedaan arti dan makna sebuah aktivitas. Masing-masing sistem berjalan dengan logika institusinya sendiri-sendiri. Memahami adanya perbedaan (toleransi) perlu dikembangkan dalam proses komunikasi, dimana transfer knowledge, informasi dan data terjadi. Ketidakhadiran toleransi hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan pendeskreditan masing-masing sistem sosial. Akademisi akan merasa bahwa nilai-nilai yang dibangun melalui model dan teori merasa paling benar (normatif) dan praktisi harus mengadopsinya. Sementara praktisi merasa, model dan teori yang dikembangkan oleh akademisi tidak relevan dan tidak cocok untuk diterapkan dalam dunia praktek. Dan praktisi merasa bahwa akumulasi knowledge yang didapat dari pengalaman adalah cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan dunia praktek dan bisnis, dan mengesampingkan model dan teori akademisi. Menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Giao dan Chittipeddi (1991), saya melihat proses komunikasi berguna untuk mengembangkan ‘sensemaking’ dan ‘sensegiving’. Sensemaking sangat berkaitan dengan konstruksi dan rekonstruksi pemahaman, makna dan arti melalui penyerapan informasi dari sistem sosial lain. Sementara, sensegiving mengacu kepada usaha untuk mentransfer pemahaman, makna dan arti. Terdapat tiga mekanisme bagiamana praktisi melakukan sensegiving dan mekanisme sensemaking praktisi. Yaitu melalui; (1) publikasi model dan teori, (2) konsultasi, dan (3) pengajaran. Publikasi melalui jurnal ilmiah, majalah populer dan media lain dianggap sebagai salah satu indikator keberhasilan akademis (Mowday, 1996; Mizruchi & Fein, 1999) dan memiliki efek paling besar dalam mempengaruhi struktur tatanan sosial-masyarakat (Bartunek, 2002). Bagi
17
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
akademisi, publikasi karya penelitian sangat fundamental dalam penentuan seleksi, promosi dan reputasi (Mizruchi & Fein, 1999). Publikasi dalam sebuah jurnal ditujukan sekaligus untuk mendapatkan kritikan atas model dan teori yang dikembangkan, dan juga harapan bisa mempengaruhi pemikiran akademisi lainnya dan dunia praktek manajerial. Pengaruh sebuah model dan teori di kalangan akademisi tercermin dari pencantuman dan digunakannya referensi oleh peneliti lainnya (Mizruchi & Fein, 1999). Sementara model dan teori akan mempengaruhi praktisi, ketika praktisi menggunakan model dan teori tersebut sebagai instrumen, inspirasi konseptual dan untuk memperoleh legitimasi atas apa yang dilakukan praktisi (Pelz, 1978). Konsultasi juga bisa dilihat sebagai media komunikasi untuk sensegiving dari akademisi dan pembentukan sensemaking praktisi. Tidak semua model dan teori dapat dengan mudah untuk diterjemahkan dalam dunia praktek, sehingga baik akademisi dan praktisi membutuhkan media antara untuk menjembatani antara model dan teori dengan praktek manajerial. Namun, Bartunek (2002) mengingatkan bahwa keterlibatan kehadiran para profesor sebagai konsultan pribadi sebuah perusahaan hadir dalam ‘corporate board’ berpotensi membuat akademisi tidak mau melakukan kritikan pada perusahaan dimana akademisi berada, dan seringkali melupakan penelitian yang harus dilakukan. Untuk itu keterlibatan akademisi dalam praktek konsultasi harus dilakukan secara hati-hati dan proporsional. Mengajar adalah salah satu aktivitas yang dianggap paling efektif untuk mentransfer knowledge ke praktisi (Mowday, 1996; Bartunek, 2002). Melalui
proses
pengajaran
di
sekolah-sekolah
bisnis,
akademisi
berkesempatan untuk berdialog secara langsung dengan praktisi. Proses ini juga dilihat sebagai media untuk saling bertukar data dan informasi akademisi-praktisi. Saya melihat proses pengajaran adalah proses dua arah, dimana akademisi mentransfer knowledge ke mahasiswa dan pada saat yang sama juga akademisi menerima umpan balik (feedback) dari para
18
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
mahasiswanya. Sementara dengan menerima knowledge dari akademisi, praktisi mampu untuk mengelaborasi model dan teori dalam pemberian arti dan makna sebuah peristiwa (sensemaking). Sementara praktisi juga melakukan sensegiving dan akademisi menganalisanya
untuk
membangun
sensemaking.
Komunikasi
yang
dilakukan oleh praktisi untuk sensegiving bisa terjadi secara; (1) informal, dan (2) formal. Informal terjadi ketika praktisi mengkomunikasikan praktek manajerial dan bisnis secara inter-personal dengan akademisi. Hal ini bisa terjadi melalui proses pengajaran di ruang kuliah sekolah bisnis ataupun melalui jalur konsultasi. Ketika praktisi menyampaikan analisa tentang even dan peristiwa baik melalui ruang kelas atau konsultasi, pada saat itu juga akademisi mencoba memahami dan memberi makna dan arti dari even yang disampaikan praktisi (sensemaking). Seperti diungkapkan di atas, bahwa proses sensemaking yang dilakukan akademisi menggabungkan model dan teori yang ada dengan even dan fenomena yang disampaikan praktisi. Ketika terjadi anomali, maka akademisi akan bergerak lebih lanjut dengan pengembangan instrumen, model dan teori baru. Sensegiving bisa juga dilakukan oleh praktisi melalui jalur formal, yaitu signaling melalui laporan resmi perusahaan dan liputan media massa. Laporan resmi perusahaan dan liputan media massa merupakan transfer informasi dari praktek manajerial ke akademisi. Melalui proses ini, akademisi bisa melakukan anlisa atas apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi dalam dunia bisnis. Dengan menggunakan kerangka instrumen, model dan teori yang ada, akademisi bisa mempelajari laporan resmi perusahaan dan liputan media untuk dipahami, diberi arti dan dimaknai (sensemaking). Ketika pemahaman dan pemberian arti keluar dari kerangka konseptual model dan teori yang ada, maka akademisi akan mencoba menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi, bagaimana mengantisipasinya dan apa konsekuensinya atas model dan teori yang ada dan praktek manajerial di kemudian hari. Proses komunikasi antara akademisi dan praktisi adalah proses dua arah dimana kedua sistem sosial tersebut saling belajar memaknai dan
19
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
mentransfer perspektif satu sama lainnya. Sekali lagi proses ini bisa berlangsung kalau ada ‘tolerance ambiguity’ (Astley & Zammuto, 1992) satu dengan yang lainnya. Proses konstruksi knowledge bisa terjadi kalau kedua sistem sosial saling membuka diri untuk berkomunikasi dalam mentranser informasi dan data.
Kesimpulan Institusi akademisi dan praktisi adalah dua sistem sosial yang berbeda (Mohrman et al., 2001). Masing-masing institusi mengembangkan sistem nilai dan pemahaman yang berbeda-beda dalam menganalisa sebuah even. Sehingga sangatlah wajar kalau terdapat perbedaan perspektif dan sudut pandang antara kedua sistem sosial tersebut dalam memahami sebuah realitas. Menggunakan kerangka ini kita bisa mengerti mengapa selama ini output akademisi berupa model dan teori berbeda dengan praktek manajerial (Hekimian, 1969; Mitroff, 1980; Mitrof & Mason, 1982; Shrivastava & Mitroff, 1984). Meskipun usaha telah lama dan terus dilakukan untuk semakin meningkatkan utilitas model dan teori (Duncan, 1972; Gabriel, 2002; Mohrman et al., 2001; Mitrof & Mason, 1982), namun tetap saja selalu terjadi gap antara output akademisi berupa model dan teori dengan output praktisi yaitu praktek manajerial. Salah satu sumber dari perbedaan ini terletak pada perbedaan institusi yang mengatur dan mengarahkan proses sistem sosial antara akademisi dan praktisi. Memahami bagaimana karakteristik masing-masing institusi adalah penting dalam menganalisa bagaimana suatu sistem sosial bekerja. Tulisan ini menunjukkan bahwa institusi akademisi dan praktis berbeda secara mendasar dalam hal ontologi, epistemologi dan etika (Mitoff & Mason, 1982; Shrivastava & Mitroff, 1984). Ketiga hal tersebut merupakan sumber dari perbedaan institusi akademisi dan praktisi, mengarahkan aktifitas yang akan dilakukan dan mempengaruhi hasil yang akan dihasilkan. Sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam ilmu manajemen dan organisasi terdapat
20
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
perbedaan mendasar antara hasil penelitian yaitu model dan teori dan praktek manajerial seperti yang selama ini diungkapkan banyak kalangan. Menjembatani gap pemahaman antara model dan teori, salah satunya, bisa dilakukan melalui proses komunikasi antara dua sistem sosial ini. Proses komunikasi yang memungkinkan adanya sensegiving dan sensemaking antara dua komunitas (Gioa & Chittipeddi, 1991). Seperti diungkapkan oleh Wittgenstein (1953) bahwa dalam ilmu sosial terdapat ‘language game’, dimana kata yang sama diartikan berbeda oleh sistem sosial yang berbeda. Karena masing-masing sistem sosial memiliki nilai sejarah dan konteks dimana kata itu digunakan. Sehingga kita perlu mengembangkan ‘tolerance ambiguity’ (Astley & Zammuto, 1992) dalam proses komunikasi untuk mengkonstruksi knowledge manajemen dan organisasi (Mizruchi & Fein, 1999). Meningkatkan dan memperbaiki proses komunikasi antara dua sistem sosial perlu dilakukan untuk terus mengembangkan ilmu manajemen dan organisasi. Usaha untuk terus memperbaiki kualitas hasil riset dan penelitian oleh akademisi, dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas proses komunikasi dalam transfer ilmu dan aplikasi dari akademisi ke praktisi. Pada sisi lain akademisi membutuhkan inovasi dan improvisasi dari praktisi untuk memperkaya perkembangan ilmu manajemen dan organisasi. Melalui anomali model dan teori lama (Kuhn, 1970) akademisi bisa mengkonstruksi model dan teori baru.
21
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Daftar Pustaka Astley, W.G., & Zammuto, R.F. (1992). Organization science, managers, and language game. Organization Science.(3).4.p.443-460 Barley, S.R., & Tolbert, P.S. (1997). Institutionalization and structuration: studying the links between action and institution. Organization Science. (18).1.p.93-117 Bartunek, J.M. (2002). The proper place of organizational scholarship: a comment of Hinings and Greenwood. Administrative Science Quarterly.(47).3-4.p.422427 Boyer, E.L. (1990). Scholarship reconsidered: priorities of the professiorate. Princeton, NJ: the Carnegie Foundation for the Advancement Teaching Daft, R. L., & Weick, K. E. (1984). Toward a Model of Organizations as Interpretative Systems. Academy of Management Journal. (9).2.p.284-295 DiMaggio, P.J., & Powell. W.W. (1983). The iron cage revisited: institutional isomorphism and collective rationality in organizational field. American Sociology Review. (48).4.p.147-160 Duncan, D.M. (1972). James G. Miller’s living system theory: issue for management thought and practice. Academy of Management Journal. (15).4.p.513-523 Gabriel, Y. (2002). Essai: on progammatic uses of organization theory-A provocation. Organization Studies. (23).1.p.133-151 Gidden, A. (1976). New rules of sociology method. London: Hutchinson Gioia, D.A., & Chittipeddi, K. (1991). Sensemaking and sensegiving in strategic chance initiation. Strategic Management Journal. (12).6.p.433-448 Hekimian, J.S. (1969). The growing split between management theory and practice. Academy of Management Journal. (12).p.115-116 Hinnings, C.R., & Greenwood, R. (2002). Disconnects and consequences in organization theory. Administrative Science Quarterly. (47).3-4.p.411-421 Kaplan, R.S., & Norton, D.P. (1992). The balanced scorecard-measures that drive performance. Harvard Business Review.(70).1.p.71-80 Kuhn, T. (1970). The structure of scientific revolutions. (2nd Ed.). Chicago: University of Chicago Press Lawrence, P.R. (1973). How to deal with Resistance to Change. In Bartlett, A.C., & Kayser, T.A (Eds.). Changing Organizational behavior. Prentice-Hall, Inc. New Jersey
22
Firmanzah “Interdependensi Akademisi-Praktisi”
Lawrence, P.R., & Lorsch, J.W. (1967). Organization and Environment. Homewood, IL: Irwin Meyer, J.W. & Rowan, B. (1977). Institutionalized organization: formal structure as myth and ceremony. American Journal of Sociology. (83).2.p.340-363 Mitroff.I.I. (1980). Reality as a scientific strategy: revising our concepts of science. Academy of Management Review.(5).4.p.513-515 Mitroff, I.I., & Mason, R.O. (1982). Business policy and metaphysics: some philosophical consideration. Academy of Management Review. (7).3.p.361371 Mizruchi, M.S., & Fein, L.C. (1999). The social construction of organizational knowledge: a case study of the uses of coercive, mimetic, and normative isomorphism. Administrative Science Quarterly. (44).4.p.653-683 Mohrman, S.A., Gibson, C.A., & Mohrman, A.M.Jr. (2001). Doing research that is useful to practice: a model and empirical exploration. Academy of Management Journal. (44).2.p.357-375 Mowday, R.T. (1997). Reaffirming our schoolarly values. Academy of Management Review. (22).2.p.335-345 Oliver, C. (1991). Strategic response to institutional process. Academy of Management Review. (16).1.p.145-179 Pelz, D.C. (1978). Some expanded perspective on use of social science in public policy. In Yinger, J.M., & Cutler, S.J. (Eds.). Major social issues: a multidisciplinary view. New York. Fre Press Penrose, E.T. (1959). The Theory of The Growth of The Firm. Oxford, U.K.: Basil Blackwell Porter, L.W., & McKibben, L.E. (1988). Management education and development: drift or thrust into 21st century. New York: McGraw-Hill Ranson, S., Hinings, B., & Greenwood, R. (1980). The structuring of organizational structures. Administrative Science Quarterly.(25).1.p.1-17 Schmalansee, R. (1985). Do market differ much? The American Economic Review. (75).3.p.341-351 Séville, M.G., & Perret, V. (1999). Fondements épistémologiques de la recherche. In Thiétart et al., (Eds). Méthodes de rechreche en management. Paris. Dunod Simon, H.A. (1960). The new science of management decision. Prentice-Hall, Inc. New Jersey
23
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 194-204
Shrivastava, P., & Mitroff, I.I. (1984). Enhancing organizational research utilization: the role of decision makers’ assumption. Academy of Management Review. (9).1.p.8-36 Sutton, R.I., & Staw, B.M. (1995). What theory is not. Administrative Science Quarterly. (40).1.p.371-384 Thomas, K.W., & Tymon, W.G.Jr. (1982). Necessary properties of relevant research: lessons from recent criticism of the organizational sciences. Academy of Management Review.(7).3.p.345-352 Williamson, O. (1975). Markets and hierarchies. New York. Free Press Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations. New York: MacMillan
24