INTERAKSI TRI-TROFIK DAN KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERTANAMAN KEDELAI DENGAN BEBERAPA TEKNIK PENGELOLAAN HAMA
CIPTADI ACHMAD YUSUP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Interaksi tri-trofik dan keanekaragaman serangga pada pertanaman kedelai dengan beberapa teknik pengelolaan hama” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 Ciptadi Achmad Yusup NIM A351130041
ii
RINGKASAN CIPTADI ACHMAD YUSUP. Interaksi Tri-trofik dan Keanekaragaman Serangga pada Pertanaman Kedelai dengan Beberapa Teknik Pengelolaan Hama. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan I WAYAN WINASA. Lahan pertanaman kedelai merupakan suatu ekosistem kompleks yang terdiri dari berbagai tingkatan trofik yang saling berhubungan dan membentuk suatu jaring-jaring makanan. Interaksi tri-trofik merupakan gambaran umum dari jaringjaring makanan yang ada pada suatu ekosistem. Interaksi tri-trofik pada lahan kedelai melibatkan tumbuhan sebagai produsen dengan serangga fitofag sebagai konsumen primer dan musuh alami sebagai konsumen sekunder. Aplikasi insektisida sintetik merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai. Namun, penggunaan insektisida sintetik akan berdampak langsung maupun tidak langsung kestabilan ekosistem pertanaman kedelai. Pola interaksi antar tingkatan trofik dapat digunakan untuk melihat pengaruh teknik pengendalian hama terhadap keseimbangan ekosistem pertanaman kedelai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola interaksi tri-trofik yang terbentuk pada lahan pertanaman kedelai yang ditanam dengan tiga teknik pengelolaan hama. Selain itu juga untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga pada lahan kedelai yang diaplikasikan ketiga teknik pengelolaan hama tersebut. Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau II (MKII) bulan Juni hingga September 2014 bertempat di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (BALITKABI) di Ngale, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Penelitian ini menguji tiga teknik pengelolaan hama, yaitu teknik pengelolaan hama campuran, teknik pengelolaan hama kimiawi, dan teknik pengelolaan hama versi petani. Penelitian menggunakan rancangan percobaan acak kelompok (RAK). Teknik pengelolaan hama campuran menggunakan perlakuan benih dengan PGPR, penggunaan tanaman pinggir jagung, aplikasi insektisida nabati ekstrak mimba berbasis kalender dengan interval aplikasi seminggu sekali, bioinsektisida Spodoptera litura Nuclopolyherdal Virus (SlNPV) untuk hama ulat grayak, dan insektisida sintetik bahan aktif imidakloprid, deltamethrin, dan fipronil. Teknik pengelolaan hama kimiawi menggunakan perlakuan benih dengan insektisida sintetik berbahan aktif karbosulfan dan aplikasi insektisida sintetik berbahan aktif fipronil, imidakloprid, dan deltamethrin berbasis kalender dengan interval aplikasi dua minggu sekali. Teknik pengelolaan hama versi petani menggunakan perlakuan benih dengan insektisida berbahan aktif karbosulfan, dan aplikasi insektisida sintetik berbasis monitoring populasi hama dengan insektisida berbahan aktif klorfluazuron, imidakloprid, deltamethrin, dan fipronil. Keanekaragaman dan kelimpahan serangga diamati dengan menggunakan jaring serangga dan lubang jebakan pada masing-masing petak perlakuan dengan interval pengamatan seminggu sekali. Masing-masing teknik pengelolaan hama diulang sebanyak lima kali dengan ukuran petak perlakuan sebesar 7.5 m x 20 m (150 m2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sembilan spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan 30 spesies serangga fitofag dan 16 spesies musuh alami. Jumlah tautan trofik dan pola interaksi yang terbentuk antara tingkatan trofik
iii pertama dan kedua pada lahan kedelai yang ditanam dengan ketiga teknik pengelolaan hama tidak terlalu berbeda. Interaksi antara trofik kedua (serangga fitofag) dengan trofik ketiga (musuh alami) pada lahan kedelai dengan perlakuan teknik pengelolaan hama kimiawi menghasilkan 26 tautan trofik, jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan lahan kedelai yang diaplikasikan teknik pengelolaan hama campuran (50 tautan trofik) dan teknik pengelolaan hama versi petani (41 tautan trofik). Hal ini menyebabkan pola interaksi trofik kedua dan ketiga pada teknik pengelolaan hama kimiawi lebih sederhana dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya. Berdasarkan pengamatan langsung pada tanaman kedelai, kutukebul Bemisia tabaci Gennadius merupakan serangga fitofag yang memiliki populasi tertinggi di seluruh petak perlakuan. Sedangkan spesies musuh alami yang memiliki populasi tertinggi adalah kumbang koksi Menochilus sexmaculatus Fabricus. Berdasarkan hasil penjaringan, keanekaragaman dan kelimpahan serangga fitofag, predator, dan parasitoid tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada seluruh petak perlakuan. Komposisi spesies serangga yang tertangkap dengan jaring serangga didominasi oleh serangga fitofag (47-50%), diikuti oleh parasitoid (30-35%), predator (14-22%), dan artropoda lain yang belum diketahui peran ekologinya (1-4%). Sedangkan untuk hasil pengamatan dengan lubang jebakan menunjukkan hasil keanekaragaman spesies predator di lahan kedelai dengan teknik pengelolaan hama versi petani memiliki keanekaragaman spesies predator yang lebih tinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Namun untuk keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga fitofag dan parasitoid, dan kelimpahan spesies predator hasil yang diperoleh menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar petak perlakuan. Komposisi spesies serangga yang tertangkap lubang jebakan didominasi oleh fitofag (32-39%), diikuti oleh predator (32-36%), parasitoid (13-17%), dan artropoda lain (16-17%). Sebagian besar spesies serangga yang ditemukan di seluruh petak merupakan spesies yang sama. Lahan kedelai dengan aplikasi insektisida berbasis monitoring populasi hama memiliki tingkat keanekaragaman spesies predator yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kedelai dengan aplikasi insektisida berbasis kalender, baik itu dengan menggunakan insektisida nabati maupun sintetik. Kata kunci:
hama kedelai, jaring-jaring makanan, keanekaragaman serangga, musuh alami, pestisida
iv
SUMMARY CIPTADI ACHMAD YUSUP. Tri-trophic Interactions and Insect Diversity on Soybean Field under Several Pest Management Techniques. Supervised by PURNAMA HIDAYAT and I WAYAN WINASA. Soybean field is a complex ecosystem consists of several trophic levels that connect to each other and build a food web. Tri-trophic interaction is a general overview of ecosystem’s food web. Tri-trophic interaction in soybean field involves plants as producers (1st trophic level), phytophagous insects as first consumers (2nd trophic level), and their natural enemies as second consumers (3rd trophic level). Application of synthetic insecticides is one of the efforts to increase soybean production. However, synthetic pesticide applications will affect directly or indirectly on stability of soybean field ecosystem. The interaction petterns between trophic levels can be use to evaluate the effects of pest management technique on stability of soybean field ecosystem. The objectives of this study were to evaluate the tri-trophic interaction patterns on soybean field planted with three pest management techniques. In addition, to evaluate diversity and abundance of insect species on soybean field applied by the three pest management techniques. Experiment was conducted during dry season from June to September 2014 at the experimental field of BALITKABI, Ngawi District, East Java. This study examined three pest management techniques, namely mixed pest management technique, chemical-based pest management technique, and farmer’s pest management technique. The experimental design used was a randomized complete block experimental design. Mixed pest management technique used a seed treatment with plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), corn border plant, weekly application of botanical insecticide (neem extract), bioinsecticide Spodoptera litura Nuclopolyhedral Virus (SlNPV) for controlling oriental leafworm, and synthetic insecticide application with imidakloprid, deltamethrin, and fipronil active ingredients. Chemical-based pest management technique used a seed treatment with karbosulfan insecticide and biweekly application of synthetic insecticide with fipronil, imidakloprid, and deltamethrin active ingredients. Farmer’s pest management technique used a seed treatment with karbosulfan insecticide and application of synthetic insecticide with klorfluazuron, imidakloprid, deltamethrin, and fipronil active ingredient based on pest population level. Insect species diversity and abundance were observed using insect net and pitfall trap on each treatment with one-week interval. Each pest management technique repeated five times with a plot size 7.5 m x 20 m (150 m2). The results of study showed that there were nine plant species were associated with 30 species of phytophagous insects and 16 species of natural enemies. Trophic links number and interaction pattern formed between first and second trophic levels on soybean field were not so different in all treatments. The interaction between second trophic level (phytophagous insects) and third trophic level (natural enemies) on soybean field with chemical-based pest management technique was fewer (26 trophic links) than soybean field with mixed pest management technique (50 trophic links) and farmer’s pest management technique (41 trophic links). This condition caused the trophic interaction patterns on the chemical-based pest
v management technique was simpler with less natural enemies species diversity compared to two other treatments. Based on the direct observation on soybean plants, the whitefly Bemisia tabaci Gennadius was the most dominant phytophagous insect on the soybean field, while the most dominant natural enemy species was ladybug Menochilus sexmaculatus Fabricus. Based on the observation using insect net, the diversity and abundance of phytophagous insects, predators, and parasitoids were not significantly different among treatment plots. Insect species composition collected using insect net was dominated by phytophagous insects (47-50%), followed by parasitoids (30-35%), predators (14-22%), and other arthropods with unknown ecological role (1-4%). Observation result using pitfall traps showed that soybean fields applied with farmer’s pest management technique had a higher diversity of predator species than the two other treatments. However, for diversity and abundance of phytophagous insects and parasitoids, also abundance of predator species, the result showed there was not significantly different among treatments plot. Insect species composition collected using fitfall trap was dominated by phytophagous insects (32-39%), followed by predators (32-36%), parasitoids (13-17%), and other arthropods (1617%). Most of the insect species found in all pest management techniques were similar. The soybean field with pest population-based insecticide application had higher diversity of predator species compared to soybean field with calendar-based insecticide application, either using bioinsecticide or synthetic insecticide. Key words: Foodweb, insect diversity, natural enemy, pesticide, soybean pest
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INTERAKSI TRI-TROFIK DAN KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERTANAMAN KEDELAI DENGAN BEBERAPA TEKNIK PENGELOLAAN HAMA
CIPTADI ACHMAD YUSUP Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas berkah dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 ini ialah Interaksi Tri-trofik dan Keanekaragaman Serangga pada Pertanaman Kedelai dengan Beberapa Teknik Pengelolaan Hama. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Dr Ir Purnama Hidayat, MSc dan Bapak Dr Ir I Wayan Winasa, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini. 2. Bapak Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc sebagai Dosen Penguji Luar Komisi dan Bapak Dr Ir Pudjianto, MSi sebagai Ketua Program Studi Entomologi yang telah banyak memberi masukan dan saran. 3. Rekan-rekan keluarga besar Kebun Percobaan BALITKABI di Ngale, Ngawi, Jawa Timur atas segala bantuannya saat di lapangan dan atas rasa kekeluargaan yang diberikan kepada penulis selama pengambilan data. 4. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Endang Priatna, SP, Ibunda Yuyu Yulianingsih, serta kakak Krisna Primanti, MPd atas do’a, kasih sayang, dan dukungan yang tiada henti bagi penulis. 5. Serta kepada seluruh teman dan sahabat Laboratorium Taksonomi Serangga, Entomologi 2013 IPB, Mbak Atiek, dan Ibu Aisyah. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juni 2016 Ciptadi Achmad Yusup
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
Tanaman Kedelai
4
Hama Tanaman Kedelai
4
Musuh Alami Hama pada Pertanaman Kedelai
5
Jaring-jaring Makanan
6
3 METODE
8
Tempat dan Waktu Penelitian
8
Alat dan Bahan
8
Metode Penelitian
9
4 HASIL
13
Struktur Trofik di Pertanaman Kedelai
13
Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Serangga
18
5 PEMBAHASAN
25
6 SIMPULAN DAN SARAN
30
Simpulan
30
Saran
30
UCAPAN TERIMA KASIH
31
DAFTAR PUSTAKA
32
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL 1 2
3
4
5
6
Komponen teknik pengelolaan hama yang digunakan Spesies yang ditemukan pada masing-masing tingkatan trofik di pertanaman kedelai berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman kedelai dan pemeliharaan parasitoid ANOVA pengaruh teknik pengelolaan hama yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil penjaringan pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST Lima spesies serangga fitofag, predator, dan parasitoid yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan jaring serangga ANOVA pengaruh teknik pengelolaan hama yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST Lima spesies serangga fitofag, predator, dan parasitoid yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan pengamatan dengan lubang jebakan
9
13
19
21
22
24
DAFTAR GAMBAR 1
Lokasi penelitian yang ditandai dengan garis kuning, dilihat dari satelit. Sumber : Google Maps (2016) 2 Aplikasi insektisida dengan border plastik pada masing-masing petak perlakuan 3 Posisi unit contoh dalam petak perlakuan 4 Titik penjaringan dan penempatan lubang jebakan pada petak perlakuan 5 Koloni kutukebul Bemisia tabaci pada daun tanaman kedelai 6 Pola interaksi antara tingkatan trofik pertama dan kedua pada pertanaman kedelai. (a) pola pengelolaan hama campuran (P-C); (b) pola pengelolaan hama kimiawi (P-K); (c) pola pengelolaan hama versi petani (P-P) 7 Pola interaksi antara tingkatan trofik kedua dan ketiga pada pertanaman kedelai. (a) pola pengelolaan hama campuran (P-C); (b) pola pengelolaan hama kimiawi (P-K); (c) pola pengelolaan hama versi petani (P-P) 8 Imago kumbang koksi Menochilus sexmaculatus 9 Keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil penjaringan di pertanaman kedelai pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST. (■) Teknik pengelolaan hama campuran (P-C), (▲) Teknik pengelolaan hama kimiawi (P-K), dan (●) Teknik pengelolaan hama versi petani (P-P) 10 Komposisi spesies serangga hasil penjaringan yang ditemukan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani
8 10 11 12 15
16
17 18
19
20
11 Diagram Venn jumlah spesies serangga hasil penjaringan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani 12 Keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil lubang jebakan di pertanaman kedelai pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST. (■) Teknik pengelolaan hama campuran (P-C), (▲) Teknik pengelolaan hama kimiawi (P-K), dan (●) Teknik pengelolaan hama versi petani (P-P) 13 Komposisi spesies serangga hasil lubang jebakan yang ditemukan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani 14 Diagram Venn jumlah spesies serangga hasil lubang jebakan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani
21
22
23
24
DAFTAR LAMPIRAN 1
Bahan penelitian: A. Insektisida nabati ekstrak mimba; B. PGPR; C. benih jagung untuk tanaman pagar; D. insektisida sintetik untuk perlakuan benih; E. biakan murni SlNPV 2 Denah plot perlakuan teknik pengelolaan hama kedelai di lahan percobaan. 3 Kelimpahan spesies serangga dan artropoda lain pada masingmasing perlakuan berdasarkan hasil penjaringan. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani 4 Spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama berdasarkan hasil penjaringan 5 Kelimpahan spesies serangga dan artropoda lain pada masingmasing perlakuan berdasarkan hasil lubang jebakan. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani 6 Spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama berdasarkan hasil lubang jebakan 7 Lahan melon disekitar lokasi penelitian yang gagal panen akibat serangan kutukebul 8 Grafik rata-rata suhu maksimal harian bulan Juni hingga Oktober 2014 di lahan penelitian KP. Ngale, Ngawi, Jawa Timur. Sumber: Data Klimatologi KP Ngale Tahun 2014 9 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST 10 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST
37 37
38 42
44 48 49
49 50 50
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST
50 50 50 51 51 51 51 51 52 52 52 52 52 53 53 53 53 53 54 54 54 54 54 55
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST
55 55 55 55 56 56 56 56 56 57
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan kedelai merupakan suatu ekosistem kompleks yang terdiri atas beberapa tingkatan trofik yang saling berhubungan dan membentuk suatu jaringjaring makanan. Jaring-jaring makanan merupakan interaksi antar tingkatan trofik organisme yang saling mengeksploitasi satu sama lainnya dan setidaknya terdiri atas tiga tingkatan trofik (tri-trofik) dan lebih dari dua spesies yang terlibat untuk masing-masing tingkatan trofik (Begon et al. 2003). Panjang jaring-jaring makanan yang terbentuk ditentukan oleh struktur trofik yang terlibat didalamnya (Hutchinson 1959). Struktur trofik tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang juga memengaruhi kepadatan populasi masing-masing tingkatan trofik yang terhubung (Huxel dan McCann 1998). Interaksi tri-trofik merupakan hubungan yang terjadi diantara tumbuhanherbivora dan herbivora-predator (Mooney et al. 2012). Interaksi tri-trofik dianggap cukup untuk menggambarkan suatu jaring-jaring makanan pada suatu ekosistem (Begon et al. 2003). Pada ekosistem pertanaman kedelai, tingkatan trofik pertama dihuni oleh tanaman kedelai dan tumbuhan lain yang tumbuh disekitar tanaman kedelai. Tingkatan trofik kedua dihuni oleh serangga hama kedelai, serangga penyerbuk, dan serangga lain yang berasosiasi dengan tanaman kedelai. Sedangkan untuk tingkatan trofik ketiga dihuni oleh musuh alami hama tanaman kedelai. Ketiga tingkatan trofik tersebut saling berhubungan dan membentuk interaksi tritrofik. Serangga memiliki peranan yang sangat penting dalam berbagai jenis ekosistem (Speight et al. 2008). Serangga merupakan salah satu penyusun tingkatan trofik yang penting pada ekosistem pertanaman kedelai, terutama perannya sebagai hama yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil tanaman kedelai mendapat perhatian khusus dari petani terutama dalam praktek budidaya tanaman kedelai. Kedelai sebagai salah satu komoditas pangan penting di Indonesia, masih memiliki tingkat produksi yang rendah jika dibandingkan dengan negara penghasil kedelai lainnya. Produksi kedelai Indonesia hanya mencukupi sebanyak lebih kurang 40% rata-rata kebutuhan kedelai nasional (BAPPENAS 2013). Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi kedelai adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya hama kedelai. Oleh sebab itu, petani kedelai secara intensif melakukan pengendalian hama kedelai dengan berbagai cara. Salah satu upaya yang dilakukan oleh petani kedelai adalah dengan menerapkan teknik pengendalian hama kedelai baik secara kimiawi dengan menggunakan pestisida sintetik, maupun secara pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami dan pestisida nabati (Marwoto et al. 1991). Menurut Marwoto et al. (1991) musuh alami hama kedelai telah dapat menekan populasi hama kedelai tetap berada pada tingkatan yang stabil. Sehingga usaha pengendalian hama harus memperhatikan kelangsungan hidup dari musuh alami yang bermanfaat. Penggunaan pestisida sintetik yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak kehilangan produksi akan mengakibatkan perubahan lingkungan yang tidak diinginkan (Altieri dan Nicholls 2004). Zacharia (2011) juga melaporkan bahwa
2 pestisida dapat secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi ekologi, dalam hal ini serangga hama sebagai target utama dan serangga-serangga lainnya dalam ekosistem tersebut. Upaya pengendalian hama dengan menggunakan pestisida akan memengaruhi struktur trofik dan jaring-jaring makanan yang terbentuk. Menurut Hanski (1998), struktur komunitas serangga di ekosistem selalu berubah begitu juga komponen yang berhubungan dengan jaring-jaring makanan. Interaksi antara komponen biotik dan abiotik di ekosistem akan memengaruhi mortalitas, natalitas, penyebaran serangga pada ekosistem, sehingga komposisi spesies selalu dinamis. Pendekatan jaring-jaring makanan dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak dari upaya pengendalian hama yang diterapkan. Hal tersebut dikarenakan upaya pengendalian hama akan memengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan organisme penyusun jaring-jaring makanan (Schoenly et al. 1996). Schoenly et al. (1996) juga melaporkan bahwa penyemprotan pestisida akan mengurangin panjang jaring-jaring makanan yang terbentuk dan meningkatnya populasi serangga hama dikarenakan dampak penyemprotan pestisida yang membunuh musuh alami. Ekosistem pertanaman kedelai tidak hanya dihuni oleh tanaman kedelai sebagai tingkatan trofik pertama, namun terdapat beberapa jenis tumbuhan dan gulma yang juga hidup dalam ekosistem pertanaman kedelai. Menurut penelitian Susilo (2004) terdapat beberapa jenis gulma dominan yang tumbuh di pertanaman kedelai, yaitu Paspalum distichum, Leptochloa chinensis, Echinochloa crusgalli, dan Digitaria sanguinalis. Gulma tersebut dapat berpotensi sebagai inang alternatif bagi serangga hama kedelai, sehingga observasi mengenai serangga yang hidup pada gulma dan tanaman lain disekitar kedelai penting untuk dilakukan dalam hubungannya sebagai tingkatan trofik pertama dalam jaring-jaring makanan. Perumusan Masalah Tingginya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi petani kedelai Indonesia. Serangan OPT akan menurunkan kuantitas dan kualitas hasil produksi kedelai. Langkah umum yang diambil oleh petani kedelai Indonesia untuk mengatasi serangan OPT adalah dengan menggunakan insektisida sintetik, meskipun pestisida sintetik memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Pendekatan jaring-jaring makanan dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak dari teknik pengelolaan hama terhadap struktur dan komposisi ekosistem pertanaman kedelai. Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang dirumuskan pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk pola interaksi tri-trofik yang terbentuk pada pertanaman kedelai yang ditanam dengan beberapa teknik pengelolaan hama? 2. Bagaimana kondisi keanekaragaman dan komposisi spesies serangga pada pertanaman kedelai Anjasmoro yang ditanam dengan beberapa teknik pengelolaan hama?
3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pola interaksi tri-trofik yang terbentuk pada pertanaman kedelai yang ditanam dengan beberapa teknik pengelolaan hama, dan juga (2) mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga yang ada di dalamnya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memahami pengaruh teknik pengelolaan hama kedelai terhadap pola interaksi tri-trofik yang terjadi antara tanaman, serangga fitofag, dan musuh alaminya di pertanaman kedelai. Selain itu juga dapat memberikan informasi tentang keanekaragaman dan komposisi spesies serangga yang hidup pada ekosistem pertanaman kedelai. Dengan demikian informasi tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi dan menyusun strategi pengendalian hama kedelai yang lebih efektif dan efisien.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kedelai Tanaman kedelai merupakan salah satu tanaman golongan legum atau polong-polongan yang menjadi komoditas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia karena memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan pangan, pakan, dan bahan baku industri (Sumarno 2010). Tanaman kedelai Indonesia, selain dikonsumsi sebagai sumber protein nabati utama, kedelai juga digunakan sebagai komponen pakan ternak. Kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan pesatnya perkembangan industri pangan dan pakan olahan berbahan baku kedelai. Produksi kedelai dalam tiga tahun terakhir memang mengalami peningkatan dari 779 992 ton pada tahun 2013, menjadi 954 997 ton pada tahun 2014, dan sebanyak 963 099 ton biji kering pada tahun 2015. Namun angka tersebut masih belum bisa memenuhi rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia yang mencapai 2.2 juta ton per tahun (BAPPENAS 2013; BPS 2016). Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan mengimpor kedelai dari negara lain. Hama Tanaman Kedelai Tanaman kedelai secara alami dapat terinfestasi oleh serangga hama selama pertumbuhan dan penyimpanan (Tengkano dan Soehardjan 1985; Jackai et al. 1990). Jenis hama yang biasa menyerang tanaman kedelai relatif banyak, baik yang berpotensi merusak tanaman salam kategori berat maupun ringan. Hama-hama tersebut dapat menyerang kedelai baik pada fase vegetatif maupun fase generatif. Mulai dari fase tanaman muda hingga fase pemasakan polong. Secara umum diketahui bahwa serangga yang berasosiasi dengan tanaman kedelai di Indonesia tercatat 266 jenis, 111 di antaranya sebagai hama, 53 serangga bukan hama seperti polinator dan detritivora, 61 predator, 41 serangga parasitoid (Okada et al. 1988). Sedangkan Jackai et al. (1990) melaporkan ada 56 spesies hama tanaman kedelai. Namun hanya sekitar 12-14 spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu lalat kacang Ophiomyia phaseoli Tryon., kumbang daun kedelai Phaedonia inclusa Stal., ulat grayak Spodoptera litura Fabricius, ulat jengkal semu Chrysodeixis chalcites Esper, Lamprosema indicata Fabricius, pemakan polong Helicoverpa armigera Hubner, penggerek polong Etiella zinckenella Treitschke dan Etiella hobsoni Butler, pengisap polong Nezara viridula Linnaeus, Piezodorus hybneri Gmelin, Riptortus linearis L., dan dua jenis vektor virus, yaitu kutudaun Aphis glycines Matsumura, dan kutukebul Bemicia tabaci Gennadius (Nakasuji et al. 1985). Fase perkembangan tanaman kedelai dapat dibagi menjadi lima berdasarkan hubungan antara fase rentan tanaman terhadap serangan hama. Fase-fase tersebut antara lain fase tanaman muda (<11 HST), fase vegetatif (11-30 HST), fase berbunga dan pembentukan polong (31-50 HST), fase pertumbuhan polong dan biji (51-70 HST), dan fase pemasakan polong dan pengeringan polong (71 HST – panen) (Tengkano 2009). Masa pemasakan polong dan pengeringan polong ditandai dengan menguningnya daun kedelai. Berdasarkan pembagian tersebut maka dapat dibedakan hama maupun musuh alami pada masing-masing fase. Hama
5 pada fase tanaman muda yang mulai muncul antara lain O. phaseoli, dan P. inclusa, A. glycines, dan B. tabaci. Pada fase vegetatitif yang menjadi hama utama yaitu P. inclusa, S. litura, C. chalcites, H. armigera, A. glycines, dan B. tabaci. Pada fase berbunga dan pembentukan polong hama dominan antara lain P. inclusa, S. litura, C. chalcites, H. armigera serta vektor virus A. glycines, dan B. tabaci. Pada fase pertumbuhan polong dan biji hama utama antara lain P. Inclusa, S. litura, C. chalcites, H. armigera, E. zinckenella, N. viridula, P. hybneri, R. linearis. Hama utama pada fase pemasakan polong antara lain E. zinckenella, E. hobsoni, N. viridula, P. hybneri, dan R. linearis (Tengkano 2009). Musuh Alami Hama pada Pertanaman Kedelai Tajuk kedelai dihuni oleh komunitas predator dan parasitoid yang secara bersama berpotensi menekan populasi hama yang menjadi mangsanya. Musuh alami yang sering ditemukan pada pertanaman kedelai adalah dari famili Syrphidae, Carabidae, Coccinellidae, dan Staphylinidae. Jumlah spesies serangga predator ditemukan pada tanaman kedelai berdasarkan penelitian Meidiwarman (2007) terdapat 15 spesies dengan total populasi 120 ekor dengan komposisi berdasarkan ordo dan famili. Spesies tersebut antara lain dari ordo Coleoptera Famili Carabidae antara lain: Claenius acroxanthus, Claenius circumdatus, Microlestes ater, Poeilus sp., Pherosophus sp. Spesies dari ordo Coleoptera Famili Coccinellidae antara lain: Coccinella arcuata, Coccinella repanda, dan Coccinella transversalis. Predator dari ordo Dermaptera adalah Famili Labiidae: Labia sp. Predator dari ordo Diptera adalah Syrphidae: Ischidion sp. Predator dari ordo Hemiptera adalah Famili Corixidae antara lain: Mesovelia vittigera. Predator dari Famili Pentatomidae adalah Andrallus sp, dan dari ordo Hymenoptera Famili Formicidae adalah Solenopsis gemminata. Predator dari ordo Odonata Famili Coenagrionidae adalah Anachipa sp. dan dari ordo Orthoptera Famili Gryllidae adalah Metioche sp. Berdasarkan pembagian terhadap fase-fase perkembangan kedelai musuh alami pada masing-masing fase pertumbuhannya menurut Tengkano (2009) antara lain: pada fase tanaman muda yaitu Coccinella sp., Eurytoma sp., Cynipoide sp., Trigonogastra sp., Secodella sp. Musuh alami pada fase vegetatif yang paling banyak ditemukan adalah Andrallus spinidens, Reduviidae, kumbang Coccinellidae, Asilidae, Syrphidae, capung, semut, dan belalang sembah. Parasitoid yang banyak dijumpai adalah parasitoid hama Agromyzidae, hama daun, dan vektor virus. Parasitoid pada Agromyzidae antara lain Eurytoma poloni, Eurytoma sp., Cynipoide sap., dan Trigonogastra sp. Parasitoid hama daun seperti Braconidae, Tachinidae, Apanteles sp., Ichneumonidae, Snellenius sp., Macroplitis sp., Elasmus sp., Aphelinus sp., Brachymena sp., Litomastik sp. Parasitoid vektor virus seperti Encarsia sp., Aphelinus sp., Euryischia sp., Syrcophagus sp. dan Trichogramatidae. Pada fase berbunga dan pembentukan polong predator yang sering ditemui antara lain Coccinella sp., Paederus sp., Syrphidae, Carabidae, Vespidae, Andrallus sp., Rhinocoris sp., Hierodula sp., Odonata, Formicidae, Chrysopa sp., Micraspis sp., Coranus sp., Sycanus sp., Asilidae, Cicindelidae, Tettigonidae, dan Conocephalus longipennis. Sedangkan parasitoid yang ditemukan pada fase ini hampir sama pada fase vegetatif yaitu parasitoid hama Agromyzidae, hama daun, dan vektor virus. Musuh alami pada fase pertumbuhan polong dan biji untuk predator hampir sama pada predator fase berbunga dan pembentukan polong namun paraitoid yang paling
6 sering ditemukan mengalami perbedaan. Pada fase ini parasitoid yang ditemukan adalah dari parasitoid hama daun seperti Tachinidae, Snellenius sp.; parasitoid penggerek polong seperti Antrocephalus sp., Prismerus naitoi, Temelucha etiellae, Temelucha sp., Trathala sp., Trichogramma sp.; parasitoid telur pengisap polong seperti Anastatus sp., Ooencyrtus sp., Trisolcus sp., Telenomus sp. dan Gryon sp., dsb. Predator yang sering ditemukan pada fase pemasakan polong hampir sama pada predator yang ditemukan pada fase pertumbuhan polong dan biji namun untuk parasitoid yang sering ditemukan adalah parasitoid dari penggerek polong dan parasitoid telur pengisap polong. Jaring-jaring Makanan Jaring-jaring makanan adalah interaksi antar tingkatan trofik organisme yang saling mengeksploitasi satu sama lainnya. Jaring-jaring makanan dimulai dari tumbuhan sebagai produsen yang dimakan oleh hewan herbivora sebagai konsumen primer, yang kemudian hewan herbivora tersebut dimakan oleh hewan karnivora primer, dan seterusnya. Jaring-jaring makanan terbentuk dari setidaknya 3 tingkatan trofik dan juga lebih dari 2 spesies yang terlibat untuk masing-masing tingkatan trofik (Begon et al. 2003). Studi tentang jaring-jaring makanan lebih banyak difokuskan terhadap interaksi antara trofik didalamnya. Selain itu adanya interaksi intratrofik mengakibatkan adanya kompetisi didalam tingkatan trofik yang sama dan memengaruhi tingkat populasi dari masing-masing organisme yang bersaing. Penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa ukuran dari sebuah rantai makanan haruslah tidak terlalu panjang, sekitar 3-5 hubungan trofik (Pimm 1979; Pimm dan Kitching 1987). Hal ini menyangkut hubungan dengan teori termodinamika yang menyebutkan adanya pembatasan energi pada tingkatan trofik yang lebih tinggi. Serangga memiliki peran yang esensial dalam jaring-jaring makanan, selain menjadi mangsa dari berbagai jenis hewan predator, serangga juga berperan sebagai predator itu sendiri. Dalam interaksinya dengan tumaman, serangga menjadi hama ketika tanaman tersebut merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh manusia. Dalam menangani persoalan hama di lapangan, pola interaksi yang terjadi antara tanaman sebagai inang serangga hama dan serangga hama sebagai inang serangga entomofag perlu dipahami, serta perlu diketahui pengaruh tanaman inang serangga entomofag. Hubungan antar tingkat trofik inilah yang menjadi dasar pengembangan strategi pengendalian hama di lapangan. Tidak diragukan bahwa tanaman memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap evolusi dan ekologi perilaku interaksi inang-musuh alami (Price et al. 1980; Godfray 1994). Peranan musuh alami seperti parasitoid dan predator dalam interaksi trofik antara tanaman inang dan serangga herbivora telah mendapat perhatian serius dari para ahli setelah tahun 1980-an (Mooney et al. 2012). Pengaruh tanaman terhadap interaksi antara musuh alami dan inangnya telah banyak dibahas oleh (Price et al. 1980). Dalam kenyataanya, semua komunitas yang hidup di wilayah daratan paling tidak tersusun oleh tingkatan trofik yang berbeda: tanaman, herbivor dan musuh alami dari herbivora. Price et al. (1980) berargumentasi bahwa teori interaksi serangga tanaman tidak dapat berlangsung tanpa mempertimbangkan keterlibatan tingkat trofik ke-tiga. Tingkat trofik ke tiga, harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
7 pemicu pertahanan tanaman melawan serangga herbivor begitu juga pada tingkat trofik di atasnya. Interaksi tri-trofik atau struktur komunitas merupakan interaksi paling sederhana, yaitu interaksi antara tanaman-herbivor-musuh alami, dalam jarringjaring makanan. Dalam interaksi tri-trofik ini, tanaman merupakan tingkat trofik pertama, herbivor merupakan tingkat trofik kedua, dan musuh alami merupakan tingkat trofik ketiga (Vet dan Dicke 1992). Pada tingkat trofik tersebut terdapat pertarungan kekuatan antara tingkat yang di bawah dengan tingkat yang di atasnya. Tingkat trofik yang lebih bawah berevolusi untuk mengurangi serangan, sedangkan tingkat trofik yang lebih tinggi berevolusi untuk meningkatkan serangan (Price et al. 1980). Tanaman menyediakan makanan (nektar, polen) dan tempat berlindung untuk musuh alami herbivor, dengan cara demikian tanaman mendapatkan pelindung yang permanen. Tanaman melepas senyawa volatil yang diinduksi oleh pelukaan dan herbivor yang dapat menarik predator atau parasitoid, ini merupakan sifat pertahanan tidak langsung dari tanaman. Pelepasan senyawa volatil organik dapat juga berfungsi sebagai pertahanan langsung dengan menolak oviposisi herbivor dan mungkin sebagai perantara interaksi antara tanaman dengan tanaman (Kessler dan Baldwin 2002). Kerentanan serangga herbivor untuk diserang oleh predator dan parasitoid sering dimediasi oleh interaksi dengan tanaman inang dimana herbivor makan. Herbivora spesialis mengatasi pertahanan tanaman dengan mengambil toksin kimia yang dihasilkan oleh tanaman di dalam tubuhnya sebagai pertahanan melawan musuh alaminya (De Moraes dan Mescher 2004) Penelitian mengenai pengaruh aplikasi pestisida terhadap pola jaring-jaring makanan serangga pada tanaman padi telah dilakukan oleh Schoenly et al. (1996) yang melaporkan bahwa aplikasi insektisida akan memengaruhi struktur trofik dan panjang jaring-jaring makanan yang terbentuk. Aplikasi insektisida pada lahan padi juga akan membuat kelimpahan serangga hama lebih tinggi dibandingkan dengan lahan padi yang tidak diaplikasikan dengan insektisida.
8
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan milik Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (BALITKABI) di Ngale, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasi geografis kebun percobaan terletak pada titik koordinat 7.408705, 111.372931 (Gambar 1) dengan ketinggian tempat sekitar 55 m diatas permukaan laut (dpl). Jenis tanah pada lahan percobaan adalah vertisol. Identifikasi serangga yang diperoleh dilaksanakan di Laboratorium Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dilaksanakan pada musim tanam kemarau II (MKII) bulan Juni hingga September 2014 dilanjutkan dengan proses identifikasi di laboratorium pada bulan Oktober 2014 hingga Juni 2015.
◊
-7.408705,111.372931
Gambar 1 Lokasi penelitian yang ditandai dengan garis kuning, dilihat dari satelit. Sumber : Google Maps (2016) Lahan penelitian berbatasan langsung dengan lahan kedelai lainnya di sebelah Barat, Utara, dan Selatan, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan lahan kacang tunggak. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% untuk penyimpanan serangga sampel yang diperoleh dari lapangan, bibit kedelai unggul varietas Anjasmoro yang didapat dari BALITKABI, bibit jagung BISI 2 untuk tanaman pagar, air sabun untuk cairan lubang jebakan, plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) Bacillus polimixa dan Pseudomonas flourescens; Rhizomax yang didapat dari PT. Wish Indonesia, pestisida botanis ekstrak mimba 5 ml/liter (Azadirachtin; Organeem, Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITAS)), agens hayati Sl-NPV (Spodoptera litura Nucleopolyhedro Virus; biakan murni BALITAS) dengan dosis 100 gr/Ha, insektisida perlakuan benih berbahan aktif Karbosulfan (Marshal 25 ST), insektisida sintetik berbahan aktif klorfluazuron (Atabron 50 EC), fipronil (Reagent 50 EC), dan deltamethrin (Decis 25 EC) (Lampiran 1). Untuk alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kaca pembesar, mikroskop stereo OLYMPUS SZ51, handcounter, jaring serangga,
9 perangkap lubang jebakan, botol koleksi serangga, cawan petri, terpal plastik dengan tinggi 1 m dan panjang 55 m, alat tulis, dan kamera digital. Metode Penelitian Persiapan Lahan Percobaan dan Penanaman Percobaan dilakukan dalam satu hamparan lahan dengan pembagian petak untuk masing-masing perlakuan. Ukuran satu petak percobaan adalah 7.5 m x 20 m (150 m2) dan setiap perlakuan diulang sebanyak lima kali. Antar masing-masing petak perlakuan dipisahkan oleh area border dengan lebar 2 m yang dilengkapi dengan saluran air. Penentuan posisi petak perlakuan dilakukan secara acak sistematis (Lampiran 2). Jarak tanam yang digunakan adalah 15 cm x 20 cm baik untuk tanaman pinggir dan tanaman utama. Penanaman jagung untuk tanaman pinggir dilakukan sehari sebelum penanaman kedelai, dengan tujuan agar pertumbuhan jagung nantinya dapat bersamaan dengan pertumbuhan kedelai. Tanaman pinggir ditanam sebanyak dua baris. Benih kedelai ditanam sebanyak 4 butir per lubang tanam. Penjarangan tanaman kedelai menjadi 3 tanaman per lubang tanam dilakukan pada umur tanaman 2 MST untuk seluruh lahan. Teknik Pengelolaan Hama Terdapat tiga teknik pengelolaan hama kedelai yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik pengelolaan hama campuran berbasis kalender (P-C), teknik pengelolaan hama dengan insektisida sintetik berbasis kalender (P-K), dan teknik pengelolaan hama versi petani berbasis monitoring populasi hama (P-P) (Tabel 1). Tabel 1 Komponen teknik pengelolaan hama yang digunakan Komponen perlakuan Herbisida sebelum tanam Perlakuan benih Tanaman pinggir Waktu aplikasi insektisida
Insektisida yang digunakan Insektisida aplikasi serempak d,e a
Teknik Pengelolaan Hama Campuran (P-C)a Paraquat diklorida (1.5 L/ha) PGPR 50 g + 5 L air bersih (15-20 menit) Jagung
Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi (P-K)b Paraquat diklorida (1.5 L/ha) Karbosulfan (25 g/kg benih) Kedelai
Teknik Pengelolaan Hama versi Petani (P-P)c Paraquat diklorida (1.5 L/ha) Karbosulfan (25 g/kg benih) Kedelai
Seminggu sekali (12 HST, 19 HST, 26 HST, 33 HST, 40 HST, 47 HSTd, 52 HSTd, 54 HST, 61 HST, 67 HSTd) 5 ml/L ekstrak mimba, 100 g/Ha SINPV; VS: 4.5 L/petak Imidakloprid 3 ml/ 4 Ld Deltamethrin + Fipronil 200 ml/ 200 Le
Dua minggu sekali (12 HST, 26 HST, 40 HST, 47 HSTd, 52 HSTd, 61 HST, 67 HSTd) Fipronil 1 ml/L; VS: 4.5 L/petak
Berdasarkan monitoring populasi hama (17 HST, 25 HST, 32 HST, 39 HST, 47 HSTd, 52 HSTd, 54 HST, 67 HSTd) Klorfluazuron 1 ml/L; VS: 4.5 L/petak
Imidakloprid 3 ml/ 4 Ld Deltamethrin + Fipronil 200 ml/ 200 Le
Imidakloprid 3 ml/ 4 Ld Deltamethrin + Fipronil 200 ml/ 200 Le
Waktu penyemprotan insektisida berbasis sistem kalender satu minggu sekali. Waktu penyemprotan insektisida berbasis sistem kalender dua minggu sekali. c Waktu penyemprotan insektisida berbasis monitoring populasi hama. d,e Penyemprotan serempak seluruh perlakuan. HST: hari setelah tanam; VS: volume semprot b
10 Perlakuan benih kedelai Anjasmoro sebelum tanam untuk perlakuan P-C menggunakan larutan PGPR selama 15-20 menit sebelum ditanam dengan dosis 50 g PGPR + 5 liter air bersih. Air larutan PGPR sisa perendaman benih kemudian disiramkan kedalam lubang tanam secara merata. Untuk perlakuan P-K dan P-P, benih kedelai Anjasmoro dilumuri dengan insektisida perlakuan benih berbahan aktif Karbosulfan sebelum ditanam. Proses aplikasi insektisida sintetik untuk perlakuan P-K dan P-P dilakukan pada pagi hari, sedangkan aplikasi insektisida nabati untuk petak P-C dilakukan sore hari untuk mengurangi paparan sinar matahari. Penggunaan border plastik saat aplikasi insektisida dimaksudkan untuk mengurangi dampak penyemprotan terhadap petak lainnya (Gambar 2).
Gambar 2 Aplikasi insektisida dengan border plastik pada masing-masing petak perlakuan Penyemprotan serentak pertama dan kedua pada seluruh petak perlakuan dilakukan untuk mengendalikan populasi hama kutukebul yang meningkat pada umur tanaman 47 dan 52 hari setelah tanam (HST). Sedangkan penyemprotan serentak ketiga dilakukan untuk mengendalikan populasi ulat gerayak meningkat pada umur tanaman 67 HST. Pengairan lahan kedelai dilakukan 3 kali, yaitu sebelum penanaman, saat tanaman kedelai berumur 14 HST, dan saat tanaman kedelai berumur 28 HST. Pemupukan dilakukan setelah proses pengairan lahan, hal ini agar proses penyerapan pupuk lebih cepat. Pengumpulan Data Interaksi Tri-trofik Pengumpulan data untuk penyusunan interaksi tri-trofik di pertanaman kedelai dilakukan dengan dua metode, yaitu pengamatan langsung pada tanaman kedelai dan pemeliharaan serangga parasitoid. Pengamatan langsung pada tanaman kedelai dilakukan pada 10 unit contoh untuk masing-masing perlakuan. Satu unit contoh terdiri atas 4 rumpun tanaman kedelai yang dipilih pada transek diagonal pada masing-masing petak percobaan (Gambar 3). Serangga yang teramati kemudian dihitung jumlah individu dan diambil sampel untuk kemudian diidentifikasi. Khusus untuk penghitungan populasi kutukebul, unit contoh terdiri atas satu daun trifoliet per rumpun amatan. Pemilihan daun trifoliet berdasarkan bentuk daun yang sudah terbuka sempurna dan tidak banyak terdapat lubang.
11 Pengamatan dilakukan dari pukul 06.00-11.00 mulai umur tanaman 1 minggu setelah tanam (MST) hingga umur tanaman 10 MST dengan interval pengamatan 1 minggu. Untuk pengamatan pada tanaman pinggir jagung dan gulma hanya dilakukan pengambilan sampel dan identifikasi.
Gambar 3 Posisi unit contoh dalam petak perlakuan Pemeliharaan serangga parasitoid dilakukan dengan mengumpulkan serangga hama yang memiliki gajala terparasit untuk kemudian dilakukan pemeliharaan hingga serangga imago parasitoid muncul. Proses pemeliharaan dilakukan dalam cawan petri yang diberi alas tisu. Selama proses pemeliharaan serangga hama diberi makan daun kedelai. Imago parasitoid yang muncul kemudian dikoleksi dan diidentifikasi hingga tingkat genus. Pengumpulan Data Keanekaragaman Serangga Pengamatan keanekaragaman spesies serangga di pertanaman kedelai dilakukan dengan menggunakan jaring ayun dan pemasangan lubang jebakan. Pengamatan dilaksanakan dari mulai umur tanaman 1 MST hingga 10 MST dengan interval pengamatan 1 minggu. Penjaringan dilakukan sebanyak lima kali ayunan ganda pada lima titik yang dipilih secara diagonal per petak perlakuan (Gambar 4a). Proses penjaringan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 7.00 – 9.00 dan pada hari yang berbeda dengan kegiatan pengamatan langsung pada tanaman kedelai. Pemasangan lubang jebakan dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.0017.00 pada hari yang sama dengan pengamatan dengan jaring serangga dan dibiarkan selama 1x24 jam sebelum perangkap diambil. Lubang jebakan berupa gelas plastik dengan volume 240 ml. Permukaan atas lubang jebakan dipasang sejajar dengan permukaan tanah. Gelas plastik tersebut diisi dengan air sabun hingga setengah volumenya. Air sabun dibuat dengan melarutkan detergen sebanyak dua sendok makan per liter air. Serangga yang terperangkap segera disortasi dan dipindahkan ke dalam alkohol 70% untuk proses identifikasi. Jumlah lubang jebakan yang dipasng adalah lima per petak pengamatan, dengan penempatan secara diagonal (Gambar 4).
12
Gambar 4 Titik penjaringan dan penempatan lubang jebakan pada petak perlakuan Identifikasi Serangga Identifikasi semua serangga yang diperoleh dilakukan dengan bantuan mikroskop stereo OLYMPUS SZ51. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi (Van Duzee 1916; Tottenham 1954; Chapin 1965; Masner 1980; Alexander dan Byers 1981; Downes dan Wirth 1981; Steffan 1981; Steyskal dan Knutson 1981; Stone 1981; Rao dan Hayat 1983; Foote dan Steyskal 1987; Huckett dan Vockeroth 1987; McAlpine 1987; Peterson 1987; Sabrosky 1987; Wirth et al. 1987; Choate 1990; Dondale dan Redner 1990; Goulet dan Huber 1993; Froeschner 1996; Willemse 2001; Smith dan Holmes 2002; Jocqué dan Alderweireldt 2005; Disney dan Fayle 2008; Falamarzi et al. 2009; Telnov 2010; Suhardjono et al. 2012), dan spesimen pembanding dari berbagai sumber. Selanjutnya serangga hasil identifikasi dikelompokkan ke dalam kelompok serangga fitofag, parasitoid, predator, dan serangga lain. Pembagian kelompok serangga dilakukan berdasarkan hasil pengamatan langsung dan studi literatur yang dicocokkan dengan hasil identifikasi. Pengolahan Data dan Penyusunan Pola Interaksi Tri-trofik Data hasil pengamatan dengan jaring serangga dan perangkap lubang jebakan dimasukkan kedalam tabel pivot pada perangkat lunak Microsoft Excel 2016, kemudian digunakan sebagai database untuk pembuatan tabel dan grafik untuk proses analisa. Penyusunan pola interaksi tri-trofik dilakukan dengan menggunakan program R Statistic 3.2.2 paket vegan dan bipartite (Dormann et al. 2008; Oksanen et al. 2013; R-Core-Team 2015) yang dimodifikasi. Analisis varians (Anova) dilakukan terhadap data keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga dengan metode rancangan acak kelompok (RAK) dengan menggunakan perangkat lunak SAS v.9 for windows. Hubungan antar spesies yang terdapat pada masing-masing teknik pengelolaan hama digambarkan dalam bentuk diagram venn. Lingkaran yang tumpang tindih menggambarkan jumlah morfospesies yang memiliki kesamaan diantara teknik pengelolaan hama, sedangkan perbedaan morfospesies yang dimiliki teknik pengelolaan hama digambarkan dalam porsi lingkaran yang tidak tumpang tindih. Perangkat ini tersedia secara online pada website interaktif (Oliveros 2015).
13
4 HASIL Struktur Trofik di Pertanaman Kedelai Struktur trofik yang diamati pada pertanaman kedelai terdiri atas tiga tingkatan trofik (tri-trofik). Tingkatan trofik pertama ditempati oleh tanaman atau tumbuhan sebagai produsen. Tingkatan trofik kedua ditempati oleh serangga fitofag yang ditemukan pada lahan penelitian, serangga fitofag tersebut termasuk serangga hama kedelai dan serangga yang memakan tanaman lain di lahan pertanaman kedelai. Tingkat trofik ketiga ditempati oleh artropoda predator dan serangga parasitoid sebagai musuh alami serangga fitofag (Tabel 2). Tabel 2 Spesies yang ditemukan pada masing-masing tingkatan trofik di pertanaman kedelai berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman kedelai dan pemeliharaan parasitoid Tingkatan Trofik
Ordo
Famili
Spesies
Pertama
Caryophyllales
Amaranthaceae Portulacaceae Fabaceae Rubiaceae Cyperaceae Poaceae
Amaranthus sp. Portulaca oleracea Glycine max Borreria alata Cyperus sp. Echinochloa colonum, Oryza sativa, Zea mays Physalis angulata
Fabales Gentianales Poales
Kedua
Solanales
Solanaceae
Acarina Coleoptera
Tetranychidae Chrysomelidae
Diptera Hemiptera
Lepidoptera
Orthoptera
Thysanoptera
Tetranychus sp. Aulacophora sp., Diabrotica sp., Epitrix sp., Longitarsus sp. Phyllus sp. Coccinellidae Henosepilachna sp. Agromyzidae Melanagromyza sp., Ophiomyia phaseoli, Liriomyza sp. Aphididae Aphis glycines Aleyrodidae Bemisia tabaci Coreidae Cletus sp. Cicadellidae Elymana sp., Empoasca sp. Pentatomidae Nezara viridula, Piezodorus hybneri Delphacidae Nilaparvata lugens Pseudococcidae Pseudococcus sp. Alydidae Riptortus linearis Gracillaridae Caloptilia sp. Noctuidae Chrysodeixis sp., Helicoperva armigera, Spodoptera litura Pyralidae Etiella zinckenella, Lamprosema indicata Acrididae Oxya sp. Pyrgomorphidae Atractomorpha sp. Tetrigidae Tetrix sp. Thripidae Thrips sp.
14 Tabel 2 (Lanjutan) Tingkatan Trofik Ketiga
Ordo
Famili
Spesies
Araneae Coleoptera
Lycosidae Coccinellidae Staphylinidae Syrphidae Anisolabididae Pentatomidae Geocoridae Braconidae Chalcididae Encyrtidae Eulophidae Formicidae Mantidae Chrysopidae
Lycosa sp. Menochilus sexmaculatus, Verania sp. Paederus fucipes Syrphus sp. Euborellia sp. Andrallus sp. Geocoris sp. Baeognatha javana Brachymeria sp. Copidosoma sp. Elasmus sp., Sympiesis sp. Pheidole sp. Mantis sp. Chrysopa sp.
Diptera Dermaptera Hemiptera Hymenoptera
Mantodea Neuroptera
Interaksi Tri-trofik pada Pertanaman Kedelai Penyusunan pola interaksi antar tingkatan trofik pada pertanaman kedelai melibatkan populasi masing-masing organisme. Asumsi mengenai posisi masingmasing organisme dalam tingkatan trofik didasarkan pada hasil pengamatan langsung di lahan pertanaman kedelai dan hasil studi literatur. Penyusunan pola interaksi ketiga tingkatan trofik dibagi menjadi interaksi trofik pertama-kedua dan interaksi trofik kedua-ketiga, sehingga menghasilkan dua pola interaksi trofik untuk masing-masing perlakuan teknik pengelolaan hama. Interaksi Trofik Pertama dan Kedua Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman kedelai, terdapat berbagai spesies serangga fitofag yang berasosiasi langsung dengan tanaman kedelai dan tumbuhan lain yang hidup pada ekosistem pertanaman kedelai. Hubungan antara tumbuhan sebagai tingkatan trofik pertama dengan serangga fitofag sebagai tingkatan trofik membentuk suatu pola interaksi trofik. Terdapat sebanyak total 30 spesies serangga fitofag yang berinteraksi dengan sembilan spesies tumbuhan pada seluruh perlakuan. Dari 30 spesies serangga fitofag yang teramati, sebanyak 24 spesies diantaranya merupakan hama kedelai. Pola interaksi yang terbentuk untuk tingkatan trofik pertama dan kedua pada ketiga teknik pengelolaan hama cenderung tidak berbeda (Gambar 6). Untuk perlakuan P-C, terdapat sembilan spesies tumbuhan dengan 27 spesies serangga fitofag yang saling berinteraksi membentuk 43 tautan trofik. Perlakuan P-K memiliki 38 tautan trofik yang terbentuk dari delapan spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan 26 spesies serangga fitofag. Sedangkan untuk perlakuan P-P, jumlah tautan trofik yang terbentuk sebanyak 44 tautan dari interaksi delapan spesies tumbuhan dengan 30 spesies serangga fitofag. Jumlah tautan trofik yang terbentuk pada perlakuan P-K lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah tautan trofik yang terbentuk pada perlakuan P-C dan P-P. Ukuran pita pada diagram pola interaksi antar tingkatan trofik merepresentasikan populasi dari masing-masing spesies pada tingkatan trofik tersebut. Ukuran pita tersebut dapat pula digunakan untuk melihat dominansi masing-masing spesies dalam
15 jaring-jaring makanan. Pada tingkatan trofik pertama, tanaman kedelai merupakan produsen utama yang ada pada ekosistem pertanaman kedelai. Sedangkan untuk tingkatan trofik kedua, kutukebul (Bemisia tabaci) (Gambar 5) merupakan serangga fitofag yang memiliki populasi paling tinggi di lahan kedelai pada ketiga teknik pengelolaan hama. Serangga fitofag lain yang memiliki populasi cukup tinggi di lahan pertanaman kedelai adalah trips (Megalurothrips sp.), kutudaun (Aphis glycines), dan wereng hijau (Empoasca sp.).
Gambar 5 Koloni kutukebul Bemisia tabaci pada daun tanaman kedelai Interaksi Trofik Kedua dan Ketiga Interaksi trofik kedua dan ketiga menggambarkan hubungan antara serangga fitofag dengan musuh alaminya di ekosistem pertanaman kedelai. Sebanyak 13 spesies dari 30 spesies serangga fitofag yang berasosiasi dengan tanaman kedelai ditemukan berinteraksi dengan 16 spesies musuh alami. Interaksi antara serangga fitofag dan musuh alaminya membentuk pola yang cenderung berbeda untuk masing-masing teknik pengelolaan hama. Perlakuan P-K secara keseluruhan memiliki pola interaksi yang lebih renggang untuk tingkatan trofik kedua dan ketiga dibandingkan dengan perlakuan P-C dan P-P. Pola interaksi tingkatan trofik kedua dan ketiga pada perlakuan P-K memiliki 10 spesies musuh alami yang mengeksploitasi 11 spesies serangga fitofag dan menghasilkan sebanyak 26 tautan trofik. Perlakuan P-C memiliki jumlah musuh alami terbanyak, yaitu sebanyak 16 spesies yang berinteraksi dengan 13 spesies serangga fitofag dan menghasilkan 50 tautan trofik. Sedangkan untuk perlakuan P-P, jumlah musuh alami yang teramati sebanyak 14 spesies yang berinteraksi dengan 13 spesies serangga fitofag dan menghasilkan 41 tautan trofik (Gambar 7). Spesies musuh alami yang teramati kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis mangsanya. Terdapat dua kelompok utama musuh alami yang ditemukan di lahan pertanaman kedelai, yaitu musuh alami polifag dan monofag. Musuh alami polifag pada diagram pola interaksi trofik ketiga dicirikan dengan warna pita yang lebih gelap, sedangkan musuh alami monofag dicirikan dengan warna pita yang lebih terang. Spesies musuh alami polifag yang ditemukan di lahan kedelai berasal dari kelompok predator, antara lain Lycosa sp., Geocoris sp., Paederus fucipes, Mantis sp., Pheidole sp., Menochilus sexmaculatus, Verania sp., Euborellia sp., Chrysopa sp., dan Andrallus sp. Untuk spesies musuh alami monofag berasal dari kelompok parasitoid, diantaranya yaitu Sympiesis sp., Capidosoma sp., Elasmus sp., Baeognatha javana, dan Brachymeria sp., sedangkan spesies musuh alami monofag lain yang merupakan predator adalah Syrphus sp. Secara keseluruhan jumlah musuh alami polifag di pertanaman kedelai lebih banyak dibandingkan dengan musuh alami monofag.
16
(a)
(b)
(c)
Gambar 6 Pola interaksi antara tingkatan trofik pertama dan kedua pada pertanaman kedelai. (a) pola pengelolaan hama campuran (P-C); (b) pola pengelolaan hama kimiawi (P-K); (c) pola pengelolaan hama versi petani (P-P). Keterangan: 1=Glycine max, 2=Zea mays, 3=Oryza sativa, 4=Physalis angulata, 5=Cyperus sp., 6=Amaranthus sp., 7=Echinochloa colonum, 8= Borreria alata, 9=Portulaca oleracea, A=Ophiomyia phaseoli, B=Bemisia tabaci, C=Empoasca sp., D=Diabrotica sp., E=Longitarsus sp., F=Lamprosema indicata, G=Megalurothrips sp., H=Henospilachna sp., I=Melanagromyza sp., J=Aphis glycines, K=Epitrix sp., L=Spodoptera litura, M=Chrysodeixis, N=Liriomyza sp., O=Phyllus sp., P=Caloptilia sp., Q=Nezara viridula, R=Riptortus linearis, S=Tetranychus sp., T=Helicoperva armigera, U=Etiella zinckenella, V=Piezodorus hybneri, W=Cletus sp., X=Aulacophora sp., Y=Elymana sp., Z=Tetrix sp., AA=Oxya sp., AB=Nilaparvata lugens, AC=Attractomorpha sp., AD=Pseudococcus sp.
(a)
(b)
(c)
17
Gambar 7 Pola interaksi antara tingkatan trofik kedua dan ketiga pada pertanaman kedelai. (a) pola pengelolaan hama campuran (P-C); (b) pola pengelolaan hama kimiawi (P-K); (c) pola pengelolaan hama versi petani (P-P). Keterangan: B=Bemisia tabaci, C=Empoasca sp., F=Lamprosema indicata, G=Megalurothrips sp., J=Aphis glycines, L=Spodoptera litura, M=Chrysodeixis sp., P=Caloptilia sp., Q=Nezara viridula, S=Tetranychus sp., T=Helicoperva armigera, U=Etiella zinckenella, AD=Pseudococcus sp., AE=Lycosa sp., AF=Menochilus sexmaculatus, AG=Verania sp., AH=Euborellia sp., AI=Chrysopa sp., AJ=Andrallus sp., AK=Syrphus sp., AL=Sympiesis sp., AM=Copidosoma sp., AN=Elasmus sp., AO=Baeognatha javana, AP=Brachymeria sp., AQ=Pheidole sp., AR=Geocoris sp., AS=Mantis sp., AT=Paederus fucipes
18 Berdasarkan pola yang terbentuk untuk interaksi trofik kedua dan ketiga pada ketiga teknik pengelolaan hama, kumbang koksi Menochilus sexmaculatus (Gambar 8) merupakan spesies musuh alami yang memiliki populasi tertinggi. Tingginya populasi kumbang koksi di lahan pertanaman kedelai berhubungan dengan tingginya populasi kutukebul yang merupakan salah satu mangsa dari kumbang koksi. Selain kumbang koksi musuh alami lain yang memiliki peran penting di ekosistem pertanaman kedelai berdasarkan pola interaksi trofik adalah laba-laba Lycosa sp., kumbang Verania sp., dan semut Pheidole sp.
Gambar 8 Imago kumbang koksi Menochilus sexmaculatus Keanekaragaman dan Kelimpahan Spesies Serangga Pengamatan keanakaragaman dan kelimpahan spesies serangga dibagi berdasarkan perangkap yang digunakan. Pengamatan dengan menggunakan jaring serangga ditujukan untuk mengamati jenis serangga yang aktif bergerak diantara tanaman kedelai. Sedangkan pengamatan dengan menggunakan lubang jebakan ditujukan untuk mengamati jenis serangga yang aktif bergerak diatas permukaan tanah disekitar tanaman kedelai. Pengamatan dengan Jaring Serangga Hasil pengambilan sampel serangga dan artropoda lain yang berasosiasi dengan tanaman kedelai selama sepuluh kali pengamatan menggunakan jaring serangga didapatkan total individu sebanyak 103 568 yang berasal dari 9 ordo, 62 famili, dan 114 morfospesies (Lampiran 3). Namun, pengolahan data dilakukan terhadap hasil pengamatan pada umur tanaman 1 hingga 6 minggu setelah tanam (MST). Hal ini dikarenakan adanya aplikasi insektisida serempak pada umur tanaman 7 MST. Adanya aplikasi serempak ini diduga akan memengaruhi hasil data yang diperoleh. Seluruh spesies serangga yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan peranan ekologinya. Secara umum kenekaragaman dan kelimpahan spesies serangga yang diperoleh dengan menggunakan jaring serangga tidak berbeda nyata pada masing-masing teknik pengelolaan hama (Tabel 3). Hal ini dapat diartikan bahwa teknik pengelolaan hama kedelai memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga yang aktif bergerak diantara tanaman kedelai.
19 Tabel 3
ANOVA pengaruh teknik pengelolaan hama yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil penjaringan pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST
Variabel
Keanekaragaman Fitofag Keanekaragaman Predator Keanekaragaman Parasitoid Kelimpahan Fitofag Kelimpahan Predator Kelimpahan Parasitoid
Umur Tanaman (MSTa) 2 4 6 FFKK KK FKK hitungb hitungb (%)c (%)c hitungb (%)c 0.59 tn 35.56 0.11 tn 045.54 0.85 tn 016.46 0.42 tn 49.88 0.42 tn 049.88 0.81 tn 053.17 0.91 tn 54.26 1.04 tn 047.81 0.09 tn 145.48 0.67 tn 49.66 0.63 tn 114.15 0.06 tn 054.64 1.23 tn 38.77 0.42 tn 134.29 2.33 tn 075.62 2.42 tn 55.90 2.25 tn 063.66 0.28 tn 165.84
a
MST= minggu setelah tanam. tn= menunjukkan berpengaruh tidak nyata. *= menunjukkan berpengaruh nyata. c KK= koefisien keragaman. Hasil transformasi menunjukkan hasil yang sama dengan data asli. b
Selama enam umur tanaman, keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga di lahan pertanaman kedelai berdasarkan hasil penjaringan mengalami fluktuasi di ketiga perlakuan (Gambar 9). Kelimpahan Fitofag Jumlah individu
Jumlah spesies
Keanekaragaman Fitofag 10 5 0 2
4
2
Jumlah individu
Jumlah spesies
2 0 4
4
6
4 2 0 4 6 Umur Tanaman (MST)
10 0 2
6
4
6
Kelimpahan Parasitoid 10 Jumlah individu
6
2
0
Kelimpahan Predator 20
Keanekaragaman Parasitoid Jumlah spesies
200
6
Keanekaragaman Predator 4
2
400
5 0 2 4 6 Umur Tanaman (MST)
Gambar 9 Keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil penjaringan di pertanaman kedelai pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST. (■) Teknik pengelolaan hama campuran (P-C), (▲) Teknik pengelolaan hama kimiawi (P-K), dan (●) Teknik pengelolaan hama versi petani (P-P)
20 Keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga berdasarkan hasil penjaringan hingga umur tanaman 6 MST secara keseluruhan memiliki tren yang sama. Keanekaragaman spesies serangga fitofag dan predator sedikit menurun pada umur tanaman 4 MST, namun meningkat pada umur tanaman 6 MST. Sedangkan untuk keanekaragaman spesies serangga parasitoid justru meningkat pada umur tanaman 4 MST, namun mengalami penurunan pada umur tanaman 6 MST. Kelimpahan spesies serangga fitofag cenderung stabil hingga umur tanaman 4 MST, namun meningkat drastis pada umur tanaman 6 MST dikarenakan adanya peningkatan populasi hama kutukebul di lahan kedelai. Untuk kelimpahan predator mengalami penurunan yang cukup besar pada umur tanaman 4 MST, dan mengalami sedikit peningkatan pada umur tanaman 6 MST. Sementara kelimpahan parasitoid untuk perlakuan P-K dan P-P mengalami peningkatan pada umur tanaman 4 MST dan menurun pada umur tanaman 6 MST, sedangkan untuk perlakuan P-C kelimpahan parasitoid cenderung menurun dari mulai umur tanaman 2 MST hingga 6 MST. Berdasarkan hasil penjaringan, komposisi spesies serangga fitofag merupakan yang paling dominan dan berkisar antara 47-50%, keanekaragaman serangga predator berkisar antara 14-22%, sedangkan keanekaragaman spesies serangga parasitoid berkisar antara 30-35% (Gambar 10). Artropoda lain yang tertangkap dengan jaring serangga di pertanaman kedelai berkisar antara 1-4%. Artropoda lain ini terdiri atas artropoda yang memiliki peran ekologi sebagai saprofag dan peran lainnya yang belum diketahui.
P-C P-K P-P Gambar 10 Komposisi spesies serangga hasil penjaringan yang ditemukan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani Lima spesies serangga fitofag yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan jaring serangga adalah kutukebul B. tabaci, Megalurothrips sp.02, Nostima sp.02, Empoasca sp., dan Thrips sp. Untuk spesies predator, lima spesies dengan populasi tertinggi adalah Forcipomyia sp.01, Lycosa sp.01, Culicoides sp., M. sexmaculatus, dan Verania sp. Sedangkan untuk lima spesies parasitoid yang memiliki populasi tertinggi adalah Anagrus sp., Tetrastichus sp., Copidosoma sp., Megaselia sp.01, dan Aphytis sp. (Tabel 4).
21 Tabel 4 Lima spesies serangga fitofag, predator, dan parasitoid yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan jaring serangga Fitofag Spesies B. tabaci Megalurothrips sp.02 Nostima sp.02 Empoasca sp. Thrips sp.
∑ 86293 01497 01462 00682 00340
Predator Spesies Forcipomyia sp.01 Lycosa sp. 01 Culicoides sp. M. sexmaculatus Verania sp.
∑ 846 170 110 55 15
Parasitoid Spesies Anagrus sp. Tetrastichus sp. Copidosoma sp. Megaselia sp.01 Aphytis sp.
∑ 19 17 16 16 15
Hasil penggambaran kekayaan jumlah spesies serangga hasil penjaringan menunjukkan bahwa sebagian besar spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama tumpang tindih (40.4%) atau sebanyak 46 spesies (Lampiran 4). Spesies yang hanya ditemukan di salah satu teknik pengelolaan hama disebut spesies unik. Spesies unik yang ditemukan pada perlakuan P-C sebanyak 11 spesies (9.6%), 16 spesies unik (14%) ditemukan pada perlakuan P-K, dan 18 spesies unik (15.8%) ditemukan pada perlakuan P-P (Gambar 11).
Gambar 11 Diagram Venn jumlah spesies serangga hasil penjaringan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani Pengamatan dengan Lubang Jebakan Hasil pengambilan sampel serangga dan artropoda lain yang berasosiasi dengan tanaman kedelai selama sepuluh kali pengamatan menggunakan lubang jebakan didapatkan total individu sebanyak 11 829 yang berasal dari 13 ordo, 60 famili, dan 122 morfospesies (Lampiran 5). Seluruh spesies serangga yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan peranan ekologinya. Secara umum kenekaragaman dan kelimpahan spesies serangga yang diperoleh dengan menggunakan lubang jebakan tidak berbeda nyata pada masing-masing teknik pengelolaan hama, kecuali keanekaragaman predator pada umur tanaman 6 MST (Tabel 5). Hal ini dapat diartikan bahwa teknik pengelolaan hama kedelai memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman spesies predator yang aktif diatas permukaan tanah pada lahan pertanaman kedelai pada umur tanaman 6 MST.
22 Tabel 5
ANOVA pengaruh teknik pengelolaan hama yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST 2
Variabel
Keanekaragaman Fitofag Keanekaragaman Predator Keanekaragaman Parasitoid Kelimpahan Fitofag Kelimpahan Predator Kelimpahan Parasitoid
Fhitungb 0.34 tn 1.02 tn 1.15 tn 0.10 tn 1.80 tn 0.09 tn
KK (%)c 38.35 31.00 38.37 76.31 20.48 48.76
Umur tanaman (MSTa) 4 6 FKK FKK hitungb (%)c hitungb (%)c 0.72 tn 41.08 0.60 tn 050.55 0.57 tn 43.84 4.78 * 028.18 2.50 tn 42.23 1.00 tn 093.75 1.26 tn 46.51 1.26 tn 046.51 0.01 tn 24.90 4.28 tn 028.44 2.49 tn 47.20 0.95 tn 114.56
a
MST= minggu setelah tanam. tn= menunjukkan berpengaruh tidak nyata. *= menunjukkan berpengaruh nyata. c KK= koefisien keragaman. Hasil transformasi menunjukkan hasil yang sama dengan data asli. b
Selama enam umur tanaman, keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga pada ketiga perlakuan berdasarkan hasil lubang jebakan memiliki tren yang cenderung sama. Tren yang sedikit berbeda hanya terdapat pada keanekaragaman fitofag (Gambar 12).
2 0 4
6
Jumlah spesies
Keanekaragaman Predator 10
0 4
6
Jumlah spesies
Keanekaragaman Parasitoid 4 2 0 2
0 4
6
4
6
Kelimpahan Predator 40
5
2
5
2
4 6 Umur tanaman (MST)
Jumlah individu
2
Jumlah individu
Kelimpahan Fitofag 10
20 0 2
Kelimpahan Parasitoid 10 Jumlah individu
Jumlah spesies
Keanekaragaman Fitofag 4
5 0 2
4 6 Umur tanaman (MST)
Gambar 12 Keanekaragaman dan kelimpahan serangga hasil lubang jebakan di pertanaman kedelai pada umur tanaman 2, 4, dan 6 MST. (■) Teknik pengelolaan hama campuran (P-C), (▲) Teknik pengelolaan hama kimiawi (P-K), dan (●) Teknik pengelolaan hama versi petani (P-P)
23 Keanekaragaman spesies serangga fitofag untuk perlakuan P-C dan P-P cenderung menurun pada umur tanaman 4 MST dan kembali meningkat pada umur tanaman 6 MST, sedangkan pada perlakuan P-K keanekaragaman spesies serangga fitofag justru menurun pada umur tanaman 6 MST. Keanekaragaman predator di ketiga perlakuan terus menurun dari umur tanaman 2 MST hingga 6 MST. Sedangkan untuk kenekaragaman parasitoid pada ketiga perlakuan cenderung menurun dari umur tanaman 2 MST hingga 6 MST, namun pada perlakuan P-C penurunan yang terjadi lebih besar dibandingkan dua perlakuan lainnya. Kelimpahan fitofag pada seluruh perlakuan meningkat tajam pada umur tanaman 6 MST. Berlawanan dengan kelimpahan serangga fitofag, kelimpahan predator dan parasitoid di pertanaman kedelai cenderung menurun tajam dari umur tanaman 2 MST hingga 6 MST pada seluruh perlakuan teknik pengelolaan hama. Hal ini diduga disebabkan oleh efek penyemprotan insektisida yang dilakukan lebih memengaruhi populasi musuh alami dibandingkan dengan populasi serangga fitofag. Berdasarkan hasil lubang jebakan, secara umum komposisi spesies serangga yang ada lebih berimbang dibandingkan dengan hasil penjaringan. Keanekaragaman serangga fitofag berkisar antara 32-39%, keanekaragaman serangga predator berkisar antara 32-36%, sedangkan keanekaragaman spesies serangga parasitoid berkisar antara 13-17% (Gambar 13). Artropoda lain yang ditemukan di atas permukaan tanah lahan kedelai berkisar antara 16-17%. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan jenis artropoda lain yang tertangkap oleh jaring serangga.
P-K P-C P-P Gambar 13 Komposisi spesies serangga hasil lubang jebakan yang ditemukan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani Lima spesies serangga fitofag yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan lubang jebakan adalah kutukebul B. tabaci, Diabrotica sp., Teleogryllus sp., Spodoptera litura, dan Frankliniella sp. Untuk spesies predator, lima spesies dengan populasi tertinggi yang tertangkap lubang jebakan adalah Lycosa sp.01, Euborellia sp., Pheropsophus sp., Euaesthetus sp., dan Lycosa sp.02. Sedangkan untuk lima spesies parasitoid, populasi tertinggi berturut-turut adalah Megaselia sp., Trichopria sp., Baeus sp., Trimorus sp., dan Idiotypa sp. (Tabel 6).
24 Tabel 6 Lima spesies serangga fitofag, predator, dan parasitoid yang memiliki populasi tertinggi berdasarkan pengamatan dengan lubang jebakan Fitofag Spesies B. tabaci Diabrotica sp. Teleogryllus sp. Spodoptera litura Frankliniella sp.
∑ 500 98 77 49 40
Predator Spesies Lycosa sp.01 Euborellia sp. Pheropsophus sp. Euaesthetus sp. Lycosa sp.02
∑ 716 46 37 34 29
Parasitoid Spesies Megaselia sp.01 Trichopria sp. Baeus sp. Trimorus sp. Idiotypa sp.01
∑ 85 35 29 22 8
Hasil penggambaran kekayaan jumlah spesies serangga hasil pengamatan dengan lubang jebakan menunjukkan bahwa sebagian besar spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama merupakan spesies yang sama (42.6%) atau sebanyak 52 spesies (Lampiran 6). Spesies unik yang ditemukan pada perlakuan P-C sebanyak 20 spesies (16.4%), 14 spesies unik (11.5%) ditemukan pada perlakuan P-K, dan 8 spesies unik (6.6%) ditemukan pada perlakuan P-P (Gambar 14).
Gambar 14 Diagram Venn jumlah spesies serangga hasil lubang jebakan pada teknik pengelolaan hama yang berbeda. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani
25
5 PEMBAHASAN Lahan pertanaman kedelai merupakan suatu ekosistem yang kompleks, dimana terdapat jaring-jaring makanan yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Jaring-jaring makanan tersebut terbentuk atas interaksi dari beberapa tingkatan trofik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat sembilan spesies tumbuhan yang berperan sebagai produsen. Tingkatan trofik diatasnya merupakan serangga fitofag, ditemukan lebih kurang 30 spesies serangga fitofag yang berasosiasi langsung dengan tumbuhan di ekosistem pertanaman kedelai. Sebanyak 26 spesies dari jumlah tersebut merupakan spesies hama kedelai yang telah dikonfirmasi sebelumnya (Jackai et al. 1990). Tingkatan trofik ketiga ditempati oleh artropoda musuh alami, ditemukan lebih kurang 16 spesies musuh alami yang berinteraksi dengan serangga fitofag di pertanaman kedelai. Sebagian spesies yang ditemukan merupakan spesies musuh alami yang telah dilaporkan sebalumnya (Tengkano 2009). Penyusunan pola interaksi antar tingkatan trofik di pertanaman kedelai didasarkan kepada kelimpahan populasi masing-masing spesies pada masingmasing tingkatan trofik yang ada (Schigel 2011). Penyusunan pola interaksi trofik dibagi berdasarkan hubungan dua tingkatan trofik. Hal ini ditujukan untuk mempermudah melihat berbedaan diantara teknik pengelolaan hama yang diterapkan. Interaksi trofik pertama dan kedua di ekosistem pertanaman kedelai menunjukkan pola yang cenderung tidak berbeda. Jumlah tautan trofik yang terbentuk pada ketiga teknik pengelolaan hama berkisar antara 38-44 tautan, dimana perlakuan P-C memiliki jumlah tautan trofik yang paling sedikit. Walaupun demikian, perbedaan jumlah tautan yang terbentuk tidak memengaruhi bentuk pola interaksi yang dihasilkan ketiga teknik pengelolaan hama. Kondisi ini diduga disebabkan oleh tingginya populasi kutukebul (Bemisia tabaci) pada saat penelitian berlangsung. Huxel dan McCann (1998) juga mengungkapkan bahwa jaring-jaring makanan sangat dipengaruhi berbagai faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi masing-masing struktur trofik, sehingga tingginya populasi salah satu spesies akan memengaruhi kestabilan jaring-jaring makanan yang terbentuk. Selain itu tingginya populasi salah satu spesies di dalam suatu ekosistem dengan sumberdaya yang terbatas akan menekan dan mengurangi kompetisi interspesies dari serangga fitofag lainnya, hal ini lah yang menyebabkan terjadinya dominansi (Speight et al. 2008). Tingginya populasi kutukebul disebabkan oleh beberapa faktor, faktor yang pertama adalah adanya perpindahan populasi kutukebul dari lahan melon yang terserang kutukebul disekitar lokasi penelitian (Lampiran 7). Faktor lain yang mendukung tingginya populasi kutukebul adalah kondisi suhu yang cenderung panas dan kering pada saat dilaksanakannya penelitian mendukung perkembangan populasi kutukebul. Rata-rata suhu maksimum harian pada saat penelitian berlangsung berkisar antara 31–33 oC dikarenakan curah hujan yang sangat rendah (Lampiran 8). Menurut penelitian Bonato et al. (2007) suhu optimum untuk perkembangan kutukebul adalah 32.5 oC, dan suhu lingkungan 30–35 oC akan mempercepat siklus hidup kutukebul di lapangan. Selain itu suhu lingkungan 2534 oC akan meningkatkan kemampuan bertahan hidup dari kutukebul (Bonato et al. 2007). Penelitian lain yang dilakukan oleh Subagyo dan Hidayat (2014)
26 menunjukkan hasil bahwa pada suhu 29 oC populasi kutukebul memiliki waktu untuk berlipat ganda lebih tinggi dibandingkan pada suhu 25 oC. Tingginya populasi kumbang koksi sebagai salah satu predator kutukebul tidak mampu mengendalikan populasi kutukebul di lahan kedelai. Hal ini diduga disebabkan karena populasi kutukebul yang terlalu tinggi, sehingga hadirnya musuh alami tidak dapat menurunkan populasi kutukebul. Selain itu, menurut penelitian Ooi (2015) penggunaan insektisida yang terus menerus akan menurunkan efektifitas musuh alami dalam mengendalikan populasi hama. Faktor lain yang mendukung tingginya populasi kutukebul adalah varietas kedelai Anjasmoro yang merupakan varietas kedelai yang rentan terhadap serangan kutukebul, dengan kehilangan hasil yang disebabkan oleh serangan kutukebul dapat mencapai 65.2% (BALITKABI 2015). Interaksi trofik kedua dan ketiga di ekosistem pertanaman kedelai melibatkan 13 spesies serangga fitofag yang berinteraksi dengan 16 spesies musuh alami. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat banyak spesies fitofag yang tidak memiliki musuh alami di lahan kedelai, namun spesies serangga fitofag tersebut bukan merupakan hama utama kedelai. Interaksi antara trofik kedua dan ketiga menghasilkan pola yang berbeda pada masing-masing teknik pengelolaan hama. Perlakuan P-K memiliki pola interaksi trofik kedua dan ketiga yang terlihat lebih renggang dibandingkan dengan pola interaksi pada perlakuan P-C dan P-P. Jumlah tautan trofik yang terbentuk antara trofik kedua dan ketiga pada perlakuan P-K sebanyak 26 tautan, jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan jumlah tautan trofik yang terbentuk pada perlakuan P-C (50 tautan) dan perlakuan P-P (41 tautan). Jumlah tautan trofik yang lebih sedikit pada perlakuan P-K disebabkan oleh jumlah spesies musuh alami yang ada pada perlakuan P-K (10 spesies) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah spesies musuh alami di perlakuan P-C (16 spesies) dan perlakuan PP (14 spesies). Faktor yang diduga menyebabkan kondisi ini adalah intensitas penyemprotan insektisida sintetik yang tinggi pada petak perlakuan P-K. Zacharia (2011) melaporkan bahwa penggunaan pestisida memiliki dampak yang tidak dapat diprediksi terhadap ekologi dan jaring-jaring makanan, pestisida dapat membunuh spesies kunci yang akan memengaruhi berbagai jenis spesies pada tingkatan trofik diatasnya. Pestisida juga dapat membunuh spesies penting yang dapat memengaruhi fungsi keseluruhan ekosistem, atau dapat menyebabkan tingginya populasi hama tertentu yang tidak diinginkan, atau dapat menurunkan jenis dan jumlah spesies yang ada dalam ekosistem (Zacharia 2011). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Schoenly et al. (1996) menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan insektisida akan lebih memengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami dibandingkan dengan keanekaragaman dan kelimpahan serangga fitofag. Teknik pengelolaan hama versi petani (P-P) memiliki pola interaksi trofik kedua dan tiga yang cukup kompleks meskipun menggunakan insektisida sintetik. Hal ini diduga disebabkan oleh tindakan penyemprotan insektisida yang didasarkan kepada monitoring populasi hama di lahan kedelai. Monitoring populasi hama merupakan dasar dalam pengambilan keputusan pengendalian hama dalam prinsip pengendalian hama terpadu (Binns dan Nyrop 1992). Dengan melakukan monitoring, penggunaan pestisida yang tidak perlu juga dapat dihindari. Berdasarkan jenis mangsanya, spesies musuh alami di pertanaman kedelai dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu musuh alami polifag dan musuh alami monofag. Jumlah spesies musuh alami polifag lebih banyak dibandingkan dengan
27 musuh alami monofag. Musuh alami polifag tersebut berasal dari kelompok predator. Faktor yang menyebabkan keanekaragaman spesies predator di lahan kedelai lebih tinggi, antara lain karena predator memiliki kisaran mangsa yang luas serta dapat memangsa berbagai stadia mangsanya. Sedangkan parasitoid hanya dapat memarasit stadia inang tertentu sehingga keberadaannya tidak selalu mudah ditemukan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Hawkins et al. (1997) yang melaporkan bahwa parasitoid memang lebih banyak membunuh serangga fitofag dibandingkan predator, namun keberadaannya di ekosistem sangat tergantung kepada keberadaan inang spesifik dan menyerang pada stadia tertentu. Spesies musuh alami yang paling dominan ditemukan di masing-masing perlakuan berdasarkan pengamatan langsung adalah kumbang koksi M. sexmaculatus dan laba-laba Lycosa sp. Kumbang koksi merupakan predator generalis yang memangsa serangga-serangga kecil, diantaranya adalah kutukebul. Tingginya populasi kumbang koksi ini berhubungan dengan tingginya populasi kutukebul yang merupakan salah satu mangsanya. Selain itu stadia pradewasa dan imago kumbang koksi adalah predator yang aktif mencari mangsa. Kumbang M. sexmaculatus merupakan predator yang memangsa serangga kecil bertubuh lunak seperti kutudaun, kutukebul, dan trips (Saleem et al. 2014). Kumbang ini sangat efektif dalam menekan populasi hama, Saleem et al. (2014) melaporkan bahwa jumlah kutudaun yang dibutuhkan oleh seekor M. sexmaculatus selama fase larva (4 instar) berkisar antara 93 hingga 133 individu. Jumlah mangsa yang dibutuhkan M. sexmaculatus per stadia akan bertambah seiring pertumbuhannya. Sedangkan Laba-laba Lycosa sp. merupakan predator generalis yang memiliki peran penting di berbagai ekosistem pertanian termasuk di lahan kedelai. Lycosa sp. termasuk kedalam jenis laba-laba yang tidak membuat jaring dan aktif mencari makan, sehingga sangat efektif berperan sebagai musuh alami. Hal ini juga yang menyebabkan laba-laba ini mudah dijumpai di lahan kedelai. Lycosa sp. merupakan laba-laba yang aktif pada siang hari (diurnal), sangat aktif mencari makan, dan mudah dijumpai di habitat mereka yaitu diatas permukaan tanah (Jocqué dan Alderweireldt 2005). Pengujian sidik ragam dilakukan terhadap hasil data keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga pada umur tanaman 1-6 MST (Lampiran 9-44). Hal ini dikarenakan pada saat umur tanaman 49 hari setelah tanam (HST) seluruh petak perlakuan telah diaplikasikan insektisida sintetik secara serempak. Aplikasi serempak pertama dilakukan untuk mengendalikan populasi kutukebul (B. tabaci) yang sangat tinggi pada umur tanaman 47 HST, namun upaya pengendalian tersebut tidak mampu menurunkan populasi kutukebul di lapangan sehingga aplikasi serempak kembali dilakukan pada umur tanaman 52 HST dengan target pengendalian yang sama. Penyemprotan serempak ketiga dilakukan untuk mengendalikan populasi ulat grayak (S. litura) yang tinggi pada umur tanaman 67 HST. Aplikasi insektisida serempak ini diduga akan menyebabkan data menjadi bias, sehingga pengolahan data hanya dilakukan hingga sebelum aplikasi insektisida serempak. Berdasarkan hasil penjaringan, didapatkan hasil keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga pada umur tanaman 2 hingga 6 MST tidak berbeda nyata di ketiga teknik pengelolaan hama. Fluktuasi keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga hingga umur tanaman 6 MST diketiga teknik pengelolaan hama memiliki tren yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa teknik
28 pengelolaan hama tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga yang aktif bergerak diantara tanaman kedelai. Keanekaragaman spesies fitofag bertambah seiring pertumbuhan tanaman kedelai, hasil ini didukung dengan hasil penelitian Tengkano dan Soehardjan (1985) yang melaporkan bahwa jumlah hama kedelai pada fase generatif lebih banyak dibandingkan pada fase vegetatif. Hal tersebut dikarenakan pada tanaman kedelai fase generatif, sumber makanan yang ada lebih banyak dibandingkan pada tanaman kedelai fase vegetatif. Kelimpahan serangga fitofag mulai meningkat pada umur tanaman 6 MST, namun sebaliknya untuk kelimpahan musuh alami (predator dan parasitoid) menurun pada umur tanaman 6 MST. Menurut Speight et al. (2008), populasi musuh alami akan mengikuti populasi dari mangsa atau inangnya. Namun meningkatnya populasi musuh alami ini tidak akan secepat peningkatan populasi mangsa atau inangnya tersebut (Crawley 2009). Berdasarkan hasil uji sidik ragam, keanekaragaman spesies predator yang diamati dengan menggunakan lubang jebakan menunjukkan perbedaan yang nyata antar teknik pengelolaan hama pada umur tanaman 6 MST, dimana perlakuan P-P memiliki keanekaragaman spesies predator yang lebih tinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Namun untuk kelimpahan spesies predator serta keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga fitofag dan parasitoid, hasil lubang jebakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa teknik pengelolaan hama memengaruhi keanekaragaman predator yang aktif diatas permukaan tanah di sekitar tanaman kedelai. Hasil penelitian Everts et al. (1989) melaporkan bahwa terdapat beberapa jenis predator seperti kumbang Staphylinidae, Carabidae, dan beberapa jenis laba-laba sensitif terhadap insektisida dengan bahan aktif tertentu. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Purwanta dan Rauf (2000) menunjukkan bahwa aplikasi insektisida perbahan aktif BPMC, profenos, dan deltamethrin menurunkan kelimpahan populasi predator secara nyata pada pertanaman kedelai. Efek samping yang ditimbulkan aplikasi insektisida terhadap predator berupa pengaruh langsung yang mematikan spesies predator, dan juga dampak tidak langsung karena predator memangsa serangga yang telah terpapar insektisida. Hasil pengamatan dengan menggunakan lubang jebakan menunjukkan bahwa keanekaragaman dan kelimpahan spesies serangga fitofag mengalami peningkatan pada umur tanaman 6 MST. Namun untuk keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami (predator dan parasitoid) mengalami penurunan pada umur tanaman 6 MST. Kesamaan sumberdaya yang dieksploitasi diduga menjadi penyebab keanekaragaman dan kelimpahan serangga yang ada pada masing-masing perlakuan sebagian besar tidak berbeda. Selain itu menurut penelitian Ristiyadi (2011) melaporkan bahwa efek penggunaan insektisida terhadap struktur komunitas artropoda pada pertanaman kedelai hanya berdampak signifikan pada kelimpahan artropoda, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekayaan spesies. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Afifah (2015) yang melaporkan bahwa pengelolaan kesehatan tanaman berbasis pengelolaan hama terpadu (PHT), pengendalian hama non-kimiawi, dan pengendalian hama kimiawi pada tanaman kedelai tidak mempengaruhi keanekaragaman serangga didalamnya. Penelitian Schoenly et al. (1996) juga melaporkan bahwa aplikasi insektisida meningkatkan populasi hama, namun tidak memengaruhi keanekaragaman spesies hama pada pertanaman padi.
29 Komposisi spesies serangga yang tertangkap didominasi oleh serangga fitofag, khususnya pada pengamatan dengan menggunakan jaring serangga. Kondisi ini dikarenakan serangga fitofag umumnya merupakan serangga yang aktif terbang untuk berpindah dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Persentase spesies predator tinggi pada pengamatan dengan menggunakan lubang jebakan. Kondisi ini menunjukkan bahwa predator lebih banyak ditemukan aktif diatas permukaan tanah disekitar tanaman kedelai. Sedangkan persentase parasitoid lebih banyak ditemukan dengan menggunakan jaring serangga. Selain itu pengaruh komoditas padi yang ditanam sebelum musim tanam kedelai diduga memengaruhi keanekaragaman spesies serangga fitofag yang ditemukan. Hal ini dikarenakan lahan tersebut tidak diolah terlebih dahulu sebelum ditanami kedelai, sehingga masih banyak sisa tanaman padi yang tertinggal di lahan. Ekosistem sawah sendiri merupakan ekosistem yang kompleks dengan jenis serangga fitofag yang berbeda dengan ekosistem pertanaman kedelai. Selain itu vegetasi disekitar lahan penelitian juga sangat berpengaruh, dimana lahan penelitian dikelilingi lahan pertanaman kacang tunggak dan kedelai varietas lain. Menurut Altieri dan Nicholls (2004) biodiversitas di agroekosistem tergantung pada empat karakteristik; diversitas vegetasi disekitar agroekosistem, diversitas tanaman budidaya yang ditanam, intensitas manajemen lahan, dan isolasi agroekosistem dari vegetasi alami. Hasil penggambaran kekayaan jumlah spesies yang terdapat pada ketiga teknik pengelolaan hama menunjukkan bahwa sebagian besar spesies serangga ditemukan diketiga perlakuan tumpang tindih (40.5% untuk pengamatan dengan jaring serangga dan 42.6% untuk pengamatan dengan lubang jebakan). Hal ini disebabkan kesamaan sumberdaya utama yang ada, yaitu tanaman kedelai. Hasil ini dapat diartikan bahwa sebagian besar serangga yang ditemukan di ketiga perlakuan cenderung sama. Spesies unik merupakan spesies yang hanya ditemukan pada masing-masing teknik pengelolaan hama. Secara keseluruhan spesies unik yang ditemukan pada petak perlakuan P-P lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan P-C dan P-K. Diduga hal ini berhubungan dengan intensitas penyemprotan insektisida yang dilakukan. Intensitas penyemprotan insektisida pada petak perlakuan P-P lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga jumlah spesies unik pada petak perlakuan P-P lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Teknik pengelolaan hama P-C memiliki jumlah spesies unik yang hampir sama dengan perlakuan P-K. Hal ini disebabkan walaupun perlakuan P-C menggunakan insektisida nabati dan biologis, namun penyemprotan yang terlalu intensif akan mengurangi kekayaan spesies serangga yang ada.
30
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Teknik pengelolaan hama kedelai yang diterapkan tidak memengaruhi pola interaksi yang terjadi antara tumbuhan dan serangga fitofag di lahan pertanaman kedelai. Namun, teknik pengelolaan hama memengaruhi pola interaksi yang terjadi diantara serangga fitofag dan musuh alaminya di pertanaman kedelai. Teknik pengelolaan hama dengan menggunakan insektisida sintetik berbasis kalender memiliki pola interaksi yang lebih sederhana pada tingkatan trofik ketiga, karena keanekaragaman spesies musuh alami yang lebih sedikit dibandingkan dengan teknik pengelolaan hama campuran dan versi petani. Teknik pengelolaan hama kedelai dengan aplikasi insektisida berbasis monitoring populasi hama memiliki tingkat keanekaragaman spesies predator yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik pengelolaan hama dengan aplikasi insektisida berbasis kalender, baik menggunakan insektisida nabati maupun sintetik. Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai jaring-jaring makanan serangga di pertanaman kedelai secara keseluruhan yang melibatkan tingkatan trofik lain seperti serangga pengurai dan pada varietas kedelai yang berbeda.
31
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh program Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) Kementerian Pertanian tahun anggaran 2014 dengan SPK Nomor: 68/PL.220/I.1/3/2014.K Tanggal 10 Maret 2014.
32
DAFTAR PUSTAKA Afifah L. 2015. Pengaruh pola pengelolaan kesehatan tanaman terhadap struktur komunitas serangga pada tanaman kedelai di Ngale, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Alexander CP, Byers GW. 1981. Tipulidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 1. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 153-190. Altieri M, Nicholls C. 2004. Biodiversity and pest management in agroecosystems. New York (US): Food Product Press. [BALITKABI] Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Galur-Galur Kedelai Toleran terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci) [Internet]. Malang: BALITKABI; [Diakses pada 2015 Okt 9]. Tersedia pada: http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/info-teknologi/1934-galur-galurkedelai-toleran-terhadap-hama-kutu-kebul-bemisia-tabaci.html [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 2015-2019 [Internet]. Jakarta: BAPPENAS; [Diakses pada 2016 Mar 29]. Tersedia pada: https://www.bappenas.go.id Begon M, Townsend C, Harper J. 2003. Ecology - From Individuals to Ecosystems. Oxford (UK): Blackwell Publisher. Binns M, Nyrop J. 1992. Sampling insect populations for the purpose of IPM decision making. Annu Rev Entomol. 37(1):427-453. Bonato O, Lurette A, Vidal C, Fargues J. 2007. Modelling temperature-dependent bionomics of Bemisia tabaci (Q-biotype). Physiol Entomol. 32(1):50-55. [BPS] Badan Pusat Statistik. Produksi kedelai Indonesia 2013-2015 [Internet]. Jakarta: BPS; [Diakses pada 2016 Mar 29]. Tersedia pada: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/871 Chapin EA. 1965. Coleoptera Coccinellidae. Insects of Micronesia. 16(5):189-254. Choate PM. 1990. Checklist of the ground beetles of Florida (Coleoptera: Carabidae) literature records. Fla Entomol:476-492. Crawley M. 2009. Natural enemies: the population biology of predators, parasites and diseases. John Wiley & Sons. De Moraes CM, Mescher MC. 2004. Biochemical crypsis in the avoidance of natural enemies by an insect herbivore. Di dalam: editor. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America; hlm 89938997. Disney RHL, Fayle TM. 2008. A new species of scuttle fly (Diptera: Phoridae) parasitizing an ant (Hymenoptera: Formicidae) in Borneo. Sociobiology. 51(2):327-332. Dondale CD, Redner JH. 1990. The insects and arachnids of Canada. Part 17. The wolf spiders, nurseryweb spiders, and lynx spiders of Canada and Alaska. Araneae: Lycosidae, Pisauridae, and Oxyopidae. Canada Agr (English ed.)(1856). Dormann CF, B. G, Fruend J. 2008. Introducing the bipartite Package: Analysing Ecological Networks. R news. 8(2):8-11.
33 Downes JA, Wirth WW. 1981. Ceratopogonidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 1. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 393-422. Everts J, Aukema B, Hengeveld R, Koeman J. 1989. Side-effects of pesticides on ground-dwelling predatory arthropods in arable ecosystems. Environ Pollut. 59(3):203-225. Falamarzi S, Asadi G, Hosseini R. 2009. Species inventory, preys and host plants of Anthocoridae sensu lato (Hemiptera: Heteroptera) in Shiraz and its environs (Iran, Fars province). Acta Entomol Musei National Prag. 49(1):33-42. Foote RH, Steyskal GC. 1987. Tephritidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 817-832. Froeschner RC. 1996. Lace Bug Genera of The World. Washington DC (US): Smithsonian Institution Press. Godfray HCJ. 1994. Parasitoids: behavioral and evolutionary ecology. New Jersey (US): Princeton University Press. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identifixation Guide to Families. Ottawa (CA): Canada Communication Group. Hanski I. 1998. Spatial structure and dynamics of insect populations. In: Demster JP, McLean IFG, editors. Insects Populations; In theory and in practice. Dordrecht,: Kluwer Academic Publishers. Hawkins BA, Cornell HV, Hochberg ME. 1997. Predators, parasitoids, and pathogens as mortality agents in phytophagous insect populations. Ecology. 78(7):2145-2152. Huckett HC, Vockeroth JR. 1987. Muscidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 1115-1132. Hutchinson GE. 1959. Homage to Santa Rosalia or why are there so many kinds of animals? Am Nat. 93(870):145-159. Huxel GR, McCann K. 1998. Food web stability: the influence of trophic flows across habitats. Am Nat. 152(3):460-469. Jackai L, Panizzi A, Kundu G, Srivastava K. 1990. Insect pests of soybean in the tropics. Di dalam: Singh SR, editor. Insect pests of tropical food legumes. New York John Wiley and Sons. hlm 91-156. Jocqué R, Alderweireldt M. 2005. Lycosidae: the grassland spiders. Acta Zool Bulg. 1(1):125-130. Kessler A, Baldwin IT. 2002. Plant mediated tritrophic interaction and biological pest control. AgBiotechNet. 4. Marwoto, Wahyuni E, Neering K. 1991. Pengelolaan pestisida dalam pengendalian hama kedelai secara terpadu. Monograf Balittan Malang(7):38. Masner L. 1980. Key to genera of Scelionidae of the Holarctic region, with descriptions of new genera and species (Hymenoptera: Proctotrupoidea). Mem Entomol Soc Canada. 112(S113):1-54. McAlpine JF. 1987. Lonchaeidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 791-798.
34 Meidiwarman. 2007. Biodiversitas arthropoda predator pada habitat pinggir tanaman kedelai Agroteksos. 17(3):173-176. Mooney KA, Pratt RT, Singer MS. 2012. The tri-trophic interactions hypothesis: interactive effects of host plant quality, diet breadth and natural enemies on herbivores. PloS one. 7(4):34403-34403. Nakasuji F, Ichikawa T, Susilo F. 1985. Insect pest and insect borne disease of soybean in Lampung. Di dalam: I Yamamoto SS, editor. Ecological Impact of Pest Management in Indonesia. Crop Protection Studies in the Frame Work of the Agroecosystem. Tokyo Tokyo Univ. Agric. hlm 17-36. Okada T, Tengkano W, Djuwarso T. 1988. An Outline of Soybean Pest In Indonesia In Faunistic Aspect. Di dalam: Hardjosumadi S, editor. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): hlm 37. Oksanen J, Blanchet FG, Kindt R, Legendre P, Minchin PR, O'Hara RB, Simpson GL, Solymos P, Stevens MHH, Wagner H. 2013. vegan: Community Ecology Package. R package version 2.0-10. tersedia pada: http://CRAN.Rproject.org/package=vegan. Oliveros JC. 2015. Venny. An interactive tool for comparing lists with Venn's diagrams. tersedia pada: http://bioinfogp.cnb.csic.es/tools/venny/ index.html. Ooi PA. 2015. Common insect pests of rice and their natural biological control. UTAR Agric. Sci. J. 1(1):49-59. Peterson BV. 1987. Phoridae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 675680. Pimm S, Kitching R. 1987. The determinants of food chain lengths. Oikos. 50(3):302-307. Pimm SL. 1979. The structure of food webs. Theo Pop Bio. 16(2):144-158. Price PW, Bouton CE, Gross P, McPheron BA, Thompson JN, Weis AE. 1980. Interactions among three trophic levels: influence of plants on interactions between insect herbivores and natural enemies. Ann Rev Ecol Syst. 11:4165. Purwanta F, Rauf A. 2000. Pengaruh samping aplikasi insektisida terhadap predator dan parasitoid pada pertanaman kedelai di Cianjur. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. 12:35-43. R-Core-Team. 2015. R: A language and environment for statistical computing. Vienna (AT): R Foundation for Statistical Computing. tersedia pada: https://www.R-project.org/. Rao B, Hayat M. 1983. Key to the genera of Oriental Mymaridae, with a preliminary catalog (Hymenoptera: Chalcidoidea). Contrib of the Ame Entomol Inst. Ristiyadi D. 2011. Influence of pesticide type and adjacent crop vegetation on arthropod community structure through a soybean / sorghum cropping cycle [thesis]. Armidale: University of New England. Sabrosky CW. 1987. Chloropidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 1049-1068. Saleem M, Hussain D, Anwar H, Ghouse G, Abbas M. 2014. Predation Efficacy of Menochilus sexmaculatus Fabricus (Coleoptera: Coccinellidae) against
35 Macrosiphum rosae under laboratory conditions. J Entomol Zool Studi. 2(3):160-163. Schigel DS. 2011. Fungus-beetle food web patterns in boreal forests. Russian Entomol. J. 20(2):141-150. Schoenly KG, Cohen JE, Heong K, Arida GS, Barrion AT, Litsinger JA. 1996. Quantifying the impact of insecticides on food web structure of ricearthropod populations in a Philippine farmer’s irrigated field: a case study. Di dalam: Polis GA, Winemiller KO, editor. Food Webs. New York (US): Springer. hlm 343-351. Smith R, Holmes A. 2002. Literature-based key to Florida "burrowing bugs" (Heteroptera: Cydnidae). Pub ENY. 4161(6166):1-5. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 2008. Ecology of Insects: Concepts and Applications. Oxford (UK): Blackwell Science Ltd. Steffan WA. 1981. Sciaridae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 1. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 247256. Steyskal GC, Knutson LV. 1981. Empididae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 1. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 607-624. Stone A. 1981. Culicidae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 1. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 341350. Subagyo VNO, Hidayat P. 2014. Neraca kehidupan kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius)(Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman cabai dan gulma babadotan pada suhu 25° C dan 29° C. J Entomol Indon. 11(1):11-18. Suhardjono YR, Deharveg L, Bedos A. 2012. Collembola - Ekor Pegas. Bogor (ID): Vegamedia. Sumarno. 2010. Pemanfaatan Teknologi Genetika Untuk Peningkatan Produksi Kedelai. J Peng Inov Perta. 3(4):247-259. Susilo E. 2004. Penerapan sistem budi daya dan cara pengendalian gulma pada kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dan padi (Oryza sativa L.) dalam pola tumpang sari [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Telnov D. 2010. Ant-like flower beetles (Coleoptera: Anthicidae) of the UK, Ireland and Channel Isles. British J Entomol Nat His. 23(2):99. Tengkano W. 2009. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Tanaman Kedelai di Indonesia. Malang (ID): Balai Penelitian KacangKacangan dan Umbi-Umbian. Tengkano W, Soehardjan M. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. Di dalam: Somaatmadja S, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi, editor. Kedelai. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 295-318. Tottenham C. 1954. Handbooks for the Identification of British Insects Vol. IV Part 8a. Di dalam: Tottenham C, editor. Coleoptera, Staphylinidae, Section (a): Piestinae to Euaesthhetinae. London (UK): Royal Entomological Society of London. Van Duzee EP. 1916. Synoptical keys to the genera of the North American Miridae. University of California Press.
36 Vet LE, Dicke M. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritrophic context. Ann Rev Entomol. 37(1):141-172. Willemse LPM. 2001. Fauna Malesiana Guide to the Pest Orthoptera of the IndoMalayan Region. Leiden (NL): Backhuys Publishers. Wirth WW, Mathis WN, Vockeroth JR. 1987. Ephydridae. Di dalam: McAlpine JF, editor. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA): Canada Communication Grup. hlm 1027-1048. Zacharia JT. 2011. Ecological effects of pesticides. Dar es Salaam (TZ): Dar es Salaam University Press.
LAMPIRAN
37
LAMPIRAN Lampiran 1 Bahan penelitian: A. Insektisida nabati ekstrak mimba; B. PGPR; C. benih jagung untuk tanaman pagar; D. insektisida sintetik untuk perlakuan benih; E. biakan murni SlNPV
A
D
B
C
E
Lampiran 2 Denah plot perlakuan teknik pengelolaan hama kedelai di lahan percobaan.
38 Lampiran 3 Kelimpahan spesies serangga dan artropoda lain pada masing-masing perlakuan berdasarkan hasil penjaringan. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani Peranan Ekologi
Ordo
Famili
Morfospesies
Fitofag
Orthoptera
Acrididae
Coleoptera
Tetrigidae Chrysomelidae
Melicodes sp. Heteropternis sp. Tetrigidae sp. 01 Chaetocnema sp. Diabrotica sp. Chrysomelidae sp. 01 Aulacophora sp. 01 Chrysomelidae sp. 02 Ophiomyia sp. Egle sp. Chlorops sp. 02 Chloropidae sp. 01 Chlorops sp. 04 Chlorops sp. 03 Conopidae sp. 01 Achalcus sp. Nostima sp. 02 Nostima sp. 01 Protearomyia sp. Neomyia sp. Musca sp. Mycetophila sp. Epidapus sp. 02 Oedicarena sp. Tipula sp. Bemisia tabaci Riptortus linearis Aphis gossypii Empoasca sp. Elymana sp. Nilaparvata lugens Plagiognathus sp. Nezara viridula Piezodorus hybneri Cletus sp. Megacopta cribraria
Diptera
Agromyzidae Anthomyiidae Chloropidae
Conopidae Dolichopodidae Ephydridae Lonchaeidae Muscidae
Hemiptera
Mycetophilidae Sciaridae Tephritidae Tipulidae Aleyrodidae Alydidae Aphididae Cicadellidae Delphacidae Miridae Pentatomidae
Plataspididae
P-C 3 0 0 6 3 1
∑ P-K 0 0 1 7 6 2
P-P 1 1 4 13 6 0
0 0
2 0
0 1
17 15 11 0 1 0 1 5 3 3 1 2 0 1 0 1 0 0 3 7 7 0 0 1 604 454 404 2 0 6 23 24 31 1 0 1 1 0 0 0 2 2 0 0 3 0 0 1 0 1 1 30780 31996 23517 17 23 22 5 2 4 195 237 250 1 4 0 0 3 0 7 10 14 3 1 4 0 1 2 1 0 0 0 1 0
39 Lampiran 3 (Lanjutan) Peranan ekologi
Ordo
Famili
Morfospesies
Hymenoptera Lepidoptera
Aphidae Amatiidae Gracillaridae Lycaenidae
Apis sp. Amata sp. Caloptilia sp. Zizinia sp. Lycaenidae sp. 02 Spodoptera litura Chryxodeixis sp. Etiella zinckenella Haplothrips sp. Megalurothrips sp. 02 Thrips sp. Scirtothrips sp. 02 M. usitatus Frankliniella sp. Selenothrips sp. Scirtothrips sp. 01 Microcephalothrips abdominalis Megaselia sp. 01 Megaselia sp. 02 Aphytis sp. Encarsia sp. Apanteles xantostigma Apanteles flaviconchae Ceraphron sp. Brachymeria excarinata Trichopria sp. Idiotypa sp. 02 Copidosoma sp. Granotoma micromorpha Leptopilina sp. Granotoma sp. Kleidotoma sp. Tetrastichus sp. Aulogymnus sp. Hemiptarsenus sp. Eupelmidae sp.01
Noctuidae
Thysanoptera
Parasitoid
Pyralidae Phlaeothripidae Thripidae
Diptera
Phoridae
Hymenoptera
Aphelinidae Braconidae
Ceraphronidae Chalcididae Diapriidae Encyrtidae Eucoilidae
Eulophidae
Eupelmidae
P-C 1 1 25 1 0 31 2 6 0 397
∑ P-K 1 0 20 1 0 31 0 5 1 530
P-P 0 0 25 0 1 49 0 7 2 570
56 62 57 15 1 1 1
163 27 40 20 1 0 0
121 108 60 20 0 0 0
4 2 6 1 0
1 0 3 4 0
11 0 6 1 1
0
0
1
2 2
2 0
3 0
1 0 5 3
0 1 5 1
1 0 6 1
1 1 1 3 1 0 0
0 1 0 9 0 0 1
1 0 0 5 1 1 0
40 Lampiran 3 (Lanjutan) Peranan ekologi
Predator
Ordo
Famili
Hymenoptera
Ichneumonidae
Araneae Coleoptera
Diptera
Hemiptera
Morfospesies
Charops brachypterum Mutillidae Mutillidae sp.01 Mymaridae Anagrus sp. Gonatocerus sp. Anagrus atomus Mymar schwanni Platygastridae Platygastrinae sp. 01 Pteromalidae Trichomalopsis apanteloctenae Pteromalus sp. Scelionidae Telenomus remus Telenomus sp. Trissolcus sp. T. brochymenae T. basalis Scelionidae sp. 02 TrichogrammaTrichogramma tidae platneri Oligosita naias Trichogrammatoidea chilonis Araneidae Araneidae sp. 02 Lycosidae Lycosa sp.02 Anthicidae Anthicus sp. Coccinellidae Menochilus sexmaculatus Verania sp. Staphylinidae Paederus fucipes Tachyporus sp. Erichsonius sp. Ceratopogonidae Forcipomyia sp. 01 Culicoides sp. Forcipomyia sp. 02 Empididae Drapetis sp. 03 Drapetis sp. 01 Syrphidae Syirphus sp. Lygaeidae Geocoris sp. Pentatomidae Andralus sp. Reduviidae Sycanus sp.
1
∑ P-K 0
0 6 1 0 0 0
1 4 1 2 0 1
0 9 3 1 1 0
7
1
2
2 4 4 1 0 0 1 1
0 3 2 2 3 2 0 1
1 1 1 3 0 1 0 2
0 0
1 1
2 0
1 47 2 19
0 51 11 21
0 72 1 15
3 1 0 0 293 24 9 3 0 1 3 1 1
5 3 0 1 279 43 0 2 1 1 1 0 0
7 0 1 0 274 43 0 1 0 0 4 0 0
P-C
P-P 0
41 Lampiran 3 (Lanjutan) Peranan Ekologi
Serangga lain
Ordo
Famili
Morfospesies
Hymenoptera
Formicidae
Tapinoma melanocephalum Rhoptromyrmex sp. Cardiocondyla sp. 01 Vespidae sp. 01 Chironomidae sp. 01 Chironomidae sp. 02 Taxorhynchites sp.
Diptera
Vespidae Chironomidae
Culicidae
P-C 3
∑ P-K 5
P-P 4
0 1
4 0
0 0
1 3985
0 3668
0 3212
0
2
0
0
1
0
42 Lampiran 4 Spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama berdasarkan hasil penjaringan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Ordo Araneae Coleoptera
Famili Lycosidae Coccinellidae
Morfospesies Lycosa sp. 03 Menochilus sexmaculatus Verania sp. Chrysomelidae Chaetocnema sp. Diabrotica sp. Anthicidae Anthicus sp. Diptera Chironomidae Chironomidae sp. 01 Ephydridae Nostima sp. 02 Ceratopogonidae Forcipomyia sp. 01 Culicidae Culicoides sp. Lonchaeidae Protearomyia sp. Agromyzidae Ophiomyia sp. Phoridae Megaselia sp. 01 Chloropidae Chloropidae sp. 01 Chloropidae Chlorops sp. 02 Conopidae Conopidae sp. 01 Empididae Drapetis sp. 03 Hemiptera Aleyrodidae Bemisia tabaci Cicadellidae Empoasca sp. Alydidae Riptortus linearis Miridae Plagiognathus sp. Aphididae Aphis gossypii Pentatomidae Nezara viridula Geocoridae Geocoris sp. Hymenoptera Pteromalidae Trichomalopsis apanteloctenae Aphelinidae Aphytis sp. Hymenoptera Aphelinidae Encarsia sp. Encyrtidae Capidosoma sp. Scelionidae Telenomus remus Scelionidae Telenomus sp. Scelionidae Trissolcus sp. Formicidae Tapinoma melanocephalum Eulophidae Tetrastichus sp. Ceraphronidae Ceraphron sp. Mymaridae Anagrus sp. Mymaridae Gonatocerus sp. Trichogrammatidae Trichogramma platneri Lepidoptera Noctuidae Spodoptera litura Gracillaridae Caloptilia sp. Pyralidae Etiella zinckenella Orthoptera Gryllidae Gryllus micromorpha
43 Lampiraan 4 (Lanjutan) No Ordo 42 Thysanoptera 43 44 45 46
Famili Thripidae Thripidae Thripidae Thripidae Thripidae
Morfospesies Megalurothrips sp. 02 Scirtothrips sp. 02 Megalurothrips usitatus Thrips sp. Frankliniella sp.
44 Lampiran 5 Kelimpahan spesies serangga dan artropoda lain pada masing-masing perlakuan berdasarkan hasil lubang jebakan. P-C = Teknik Pengelolaan Hama Campuran. P-K = Teknik Pengelolaan Hama Kimiawi. P-P = Teknik Pengelolaan Hama versi Petani Peranan ekologi Fitofag
Ordo
Famili
Acari Coleoptera
Tetranychidae Chrysomelidae
Diptera
Chloropidae
Ephydridae Mycetophilidae Sciaridae
Hemiptera
Aleyrodidae Alydidae Cicadellidae Cydnidae Delphacidae Pentatomidae
Hymenoptera Lepidoptera
Orthoptera
Aphidae Gracillaridae Lycaenidae Noctuidae Pyralidae Acrididae
Gryllidae
Thysanoptera
Gryllotalpidae Phlaeothripidae Thripidae
Morfospesies
∑
P-C P-K P-P Tetranychus sp. 9 10 7 Diabrotica sp. 33 34 31 Aulacophora sp. 02 5 1 4 Aulacophora sp. 03 3 1 0 Systena sp. 1 0 2 Aulacophora sp. 01 2 1 0 Aulacophora sp. 04 3 0 0 Chaetocnema sp. 1 1 0 Chlorops sp. 01 6 1 3 Chlorops sp. 04 2 1 1 Chlorops sp. 03 0 1 0 Nostima sp. 01 3 7 5 Nostima sp. 02 0 1 0 Mycetophila sp. 0 1 0 Epidapus sp. 01 5 3 0 Epidapus sp. 03 1 0 1 Epidapus sp. 02 1 0 0 134 209 157 Bemisia tabaci 0 3 1 Riptortus linearis Elymana sp. 1 1 5 Empoasca sp. 1 1 4 Amnestus sp. 0 0 1 0 3 1 Nilaparvata lugens Amaurochrous sp. 01 0 2 2 Amaurochrous sp. 02 0 0 2 Apis sp. 1 0 0 Caloptilia sp. 2 0 4 Zizinia sp. 1 1 1 9 31 9 Spodoptera litura 1 3 3 Etiella zinckenella Melicodes sp. 1 0 2 Attractomorpha 0 0 1 crenulata Teleogryllus sp. 31 21 25 11 6 7 Gryllus assimilis Gryllotalpa sp. 1 0 0 Haplothrips sp. 0 1 0 Frankliniella sp. 13 10 17
45 Lampiran 5 (Lanjutan) Peranan ekologi
Parasitoid
Ordo
Famili
Diptera
Phoridae
Hymenoptera
Aphelinidae Braconidae Ceraphronidae Diapriidae
Dryinidae Elasmidae Eurytomidae Ichneumonidae Mymaridae Platygastridae Scelionidae
Predator
Araneae
Coleoptera
Agelenidae Araneidae Lycosidae
Sparassidae Anthicidae Anthocoridae Carabidae
Morfospesies Megalurothrips usitatus Echinothrips sp. Ceratothripoides sp. Selenothrips sp. Scirtothrips sp. 01 Megaselia sp. 01 Megaselia sp. 02 Aphytis sp. Baeognatha javana Ceraphronidae sp. 01 Trichopria sp. Idiotypa sp. 01 Idiotypa sp. 02 Acanthopria sp. Trichogonatopus sp. Elasmus sp. Eurytoma sp. Ichneumonidae sp. 01 Anagrus sp. Platygaster sp. Baeus sp. Trimorus sp. Trisacantha sp. Telonomus sp. Scelionidae sp. 01 Agelenidae sp. Araneidae sp. 01 Lycosa sp.01 Lycosa sp.03 Lycosa sp.02 Sparassidae sp. Anthicus sp. Anthelephila sp. Anthocoris sp. Pheropsophus sp. Anisodactylus sp. Clivina sp. Chlaenius sp. 04 Bembidion sp.
∑ P-C 14
P-K 11
P-P 10
9 1 0 0 28 2 1 1 0 9 1 1 0 0 0 0 0
1 0 0 0 27 3 1 0 1 13 4 1 0 1 0 0 1
2 0 1 1 30 0 6 0 5 13 3 0 1 0 1 1 0
0 0 10 3 2 0 0 2 11 241 0 2 1 0 0 0 10 11 4 3 2
1 0 13 8 2 0 0 1 8 255 2 5 0 8 0 1 14 5 5 3 4
2 2 6 11 1 3 1 2 10 220 5 0 1 5 1 0 13 8 5 5 1
46 Lampiran 5 (Lanjutan) Peranan ekologi
Ordo
Dermaptera Diptera
Hemiptera Hymenoptera
Artropoda Coleoptera lain Diplopoda Diptera Entomobryomorpha
Famili
Morfospesies
Chlaenius sp. 01 Scarites sp. Chlaenius sp. 02 Chlaenius sp. 03 Coccinellidae Menochilus sexmaculatus Verania sp. Cryptognatha sp. Coccinellidae sp. 01 Staphylinidae Euaesthetus sp. Neobisnius sp. Tachyporus sp. Anisolabididae Euborellia sp. Ceratopogonidae Forcipomyia sp. 01 Forcipomyia sp. 02 Culicoides sp. Empididae Drapetis sp. 01 Drapetis sp. 03 Lygaeidae Geocoris sp. Reduviidae Sycanus sp. Formicidae Cardiocondyla sp. 01 Rhoptromyrmex sp. Tapinoma melanocephalum Iridomyrmex sp. Pheidole sp. Cardiocondyla sp. 02 Camponotus sp. Dolichoderus sp. Dorylus sp. Tenebrionidae Gonocephalum sp. Isomira sp. Diplopoda Diplopoda sp. 01 Chironomidae Chironomidae sp. 01 Culicidae Taxorhynchites sp. Entomobryidae Entomobrya sp. Lepidocyrtus sp. 01 Collembola sp. 01 Lepidocyrtus sp. 02
∑ P-C 0 1 0 0 0
P-K 3 1 0 0 1
P-P 4 2 1 1 1
1 1 0 9 7 0 13 1 2 1 2 0 0 0 10
1 0 0 18 10 0 12 2 0 0 4 1 2 0 3
0 1 1 7 9 1 21 8 0 1 0 0 2 1 8
6 12
3 1
9 3
1 0 0
1 0 1
1 1 0
0 1 0 1 0 1 6 3 1 1 6 10 1 0 3 3 2077 2270 525 493 46 51 4 1
0 0 0 4 1 7 0 1 2810 401 104 7
47 Lampiran 5 (Lanjutan) Peranan ekologi
Ordo
Famili
Morfospesies
Hypogastruridae
Hypogastruridae sp. 01 Isotoma sp. Collembola sp. 02 Isotomorus sp. 01 Collembola sp. 05 Sminthuridae sp. 01 Tomocerus sp. Cantacader sp. Tridactylus sp.
Isotomidae
Hemiptera Orthoptera
Sminthuridae Tomoceridae Tingidae Tridactylidae
∑ P-C 13
P-K 133
P-P 109
205 0 0 0 5 0 0 0
96 4 3 1 15 2 0 0
98 4 4 0 4 0 1 2
48 Lampiran 6 Spesies serangga yang ditemukan di ketiga teknik pengelolaan hama berdasarkan hasil lubang jebakan No
Ordo
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Acarina Araneae
Famili
Tetranychidae Lycosidae Araneidae Agelenidae Coleoptera Chrysomelidae Chrysomelidae Carabidae Carabidae Carabidae Carabidae Carabidae Carabidae Staphylilidae Staphylilidae Tenebrionidae Tenebrionidae Dermaptera Anisolabididae Diplopoda Diplopoda Diptera Phoridae Chloropidae Chloropidae Culicidae Ephydridae Ceratopogonidae Entomobryomorpha Entomobryidae Entomobryidae Entomobryidae Entomobryidae Isotomidae Hypogastruridae Sminthuridae Hemiptera Aleyrodidae Cicadellidae Cicadellidae Hymenoptera Formicidae Formicidae Formicidae Formicidae Scelionidae Diapriidae
Morfospesies Tetranychus sp. Lycosidae sp. 01 Araneidae sp. 01 Agelenidae sp. Diabrotica sp. Aulacophora sp. 02 Anisodactylus sp. Pheropsophus sp. Clivina sp. Chlaenius sp. 04 Bembidion sp. Scarites sp. Euaesthetus sp. Neobisnius sp. Gonocephalum sp. Isomira sp. Euborellia sp. Diplopoda sp. 01 Megaselia sp. 01 Chlorops sp. 01 Chlorops sp. 04 Taxorhynchites sp. Nostima sp. 01 Forcipomyia sp. 01 Entomobrya sp. Lepidocyrtus sp. 01 Collembola sp. 01 Lepidocyrtus sp. 02 Isotoma sp. Hypogastruridae sp. 01 Sminthuridae sp. 01 Bemisia tabaci Elymana sp. Empoasca sp. Tapinoma melanocephalum Cardiocondyla sp. 01 Rhoptromyrmex sp. Iridomyrmex sp. Baeus sp. Trichopria sp.
49 Lampiran 6 (Lanjutan) No
Ordo
Famili
Morfospesies
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Hymenoptera
Scelionidae Scelionidae Aphelinidae Diapriidae Noctuidae Lycaenidae Pyralidae Gryllidae Gryllidae Thripidae Thripidae Thripidae
Trimorus sp. Trisacantha sp. Aphytis sp. Idiotypa sp. 01 Spodoptera litura Zizinia sp. Etiella zinckenella Teleogryllus sp. Gryllus assimilis Megalurothrips usitatus Frankliniella sp. Echinothrips sp.
Lepidoptera
Orthoptera Thysanoptera
Lampiran 7
Lahan melon disekitar lokasi penelitian yang gagal panen akibat serangan kutukebul
36 34 32 30 28 Juni
Juli
Agustus September Oktober
Suhu maksimum harian (0C)
Lampiran 8 Grafik rata-rata suhu maksimal harian bulan Juni hingga Oktober 2014 di lahan penelitian KP. Ngale, Ngawi, Jawa Timur. Sumber: Data Klimatologi KP Ngale Tahun 2014
50 Lampiran 9 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 3.333 56.933 22.667
Kuadrat Tengah 1.667 14.233 2.833
F-Hitung 0.59 5.02
Pr > F 0.578 0.025
Lampiran 10 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 0.400 26.667 14.933
Kuadrat Tengah 0.200 6.667 1.897
F-Hitung 0.11 3.57
Pr > F 0.899 0.059
Lampiran 11 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 2.800 8.400 13.299
Kuadrat Tengah 1.400 2.100 1.650
F-Hitung 0.85 1.27
Pr > F 0.463 0.356
Lampiran 12 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 4.800 8.000 21.200
Kuadrat Tengah 2.400 2.000 2.650
F-Hitung 0.91 0.75
Pr > F 0.442 0.582
Lampiran 13 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 8.400 11.733 32.267
Kuadrat Tengah 4.200 2.933 4.033
F-Hitung 1.04 0.73
Pr > F 0.396 0.598
51 Lampiran 14 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 0.400 2.667 16.933
Kuadrat Tengah 0.200 0.667 2.117
F-Hitung 0.09 0.31
Lampiran 15 ANOVA keanekaragaman spesies serangga penjaringan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 1.200 2.933 11.467
Kuadrat Tengah 0.600 0.733 1.433
Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 1.733 4.267 4.933
Kuadrat Tengah 0.867 1.067 0.617
0.42 0.51
1.41 1.73
Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 3.600 11.067 17.733
Kuadrat Tengah 1.800 2.767 2.217
0.672 0.730
0.81 1.25
hasil
Pr > F 0.300 0.236
predator
F-Hitung
hasil
Pr > F
predator
F-Hitung
Lampiran 17 ANOVA keanekaragaman spesies serangga penjaringan pada umur tanaman 6 MST
0.911 0.860
predator
F-Hitung
Lampiran 16 ANOVA keanekaragaman spesies serangga penjaringan pada umur tanaman 4 MST
Pr > F
hasil
Pr > F 0.477 0.365
Lampiran 18 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 26.800 291.333 159.867
Kuadrat Tengah 13.400 72.833 19.983
F-Hitung 0.67 3.64
Pr > F 0.538 0.057
52 Lampiran 19 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 93.733 46.867 0.63 0.555 Blok 4 228.400 57.100 0.77 0.573 Galat 8 591.600 73.950 Lampiran 20 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 4426.53 92618.27 282242.93
Kuadrat Tengah 2213.27 23154.57 35280.27
F-Hitung 0.06 0.66
Pr > F 0.940 0.640
Lampiran 21 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 19.600 19.600 32.400
Kuadrat Tengah 9.800 4.900 4.050
F-Hitung 2.42 1.21
Pr > F 0.151 0.378
Lampiran 22 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 58.53 8.667 104.133
Kuadrat Tengah 29.267 2.167 13.017
F-Hitung 2.25 0.17
Pr > F 0.168 0.949
Lampiran 23 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 3.333 7.067 47.333
Kuadrat Tengah 1.667 1.767 5.917
F-Hitung 0.28 0.30
Pr > F 0.762 0.871
53 Lampiran 24 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 2 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 64.933 32.467 1.23 0.343 Blok 4 932.267 233.067 8.81 0.005 Galat 8 211.733 26.467 Lampiran 25 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 15.600 59.067 147.733
Kuadrat Tengah 7.800 14.767 18.467
F-Hitung 0.42 0.80
Pr > F 0.669 0.558
Lampiran 26 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil penjaringan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 85.733 76.667 146.933
Kuadrat Tengah 42.867 19.167 18.367
F-Hitung 2.33 1.04
Pr > F 0.159 0.442
Lampiran 27 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 0.933 28.933 11.067
Kuadrat Tengah 0.467 7.233 1.383
F-Hitung 0.34 5.23
Pr > F 0.723 0.023
Lampiran 28 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 1.733 10.000 9.600
Kuadrat Tengah 0.867 2.500 1.200
F-Hitung 0.72 2.08
Pr > F 0.515 0.175
54 Lampiran 29 ANOVA keanekaragaman spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 2.533 1.267 0.60 0.570 Blok 4 2.400 0.600 0.29 0.879 Galat 8 16.800 2.100 Lampiran 30 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 2.533 3.600 8.800
Kuadrat Tengah 1.267 0.900 1.100
F-Hitung 1.15 0.82
Pr > F 0.364 0.548
Lampiran 31 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 3.333 4.267 12.933
Kuadrat Tengah 1.667 1.067 0.667
F-Hitung 2.50 1.60
Pr > F 0.143 0.265
Lampiran 32 ANOVA keanekaragaman spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 4.133 3.067 16.533
Kuadrat Tengah 2.067 0.767 2.067
F-Hitung 1.00 0.37
Pr > F 0.410 0.823
Lampiran 33 ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 6.933 10.933 27.067
Kuadrat Tengah 3.467 2.733 3.383
F-Hitung 1.02 0.81
Pr > F 0.402 0.554
55 Lampiran 34 ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 3.733 1.867 0.57 0.588 Blok 4 3.733 0.933 0.28 0.880 Galat 8 26.267 3.283 Lampiran 35 ANOVA keanekaragaman spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 6.533 4.933 5.467
Kuadrat Tengah 3.267 1.233 0.683
F-Hitung 4.78 1.80
Pr > F 0.043 0.221
Lampiran 36 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 2.533 55.333 101.467
Kuadrat Tengah 1.267 13.833 12.683
F-Hitung 0.10 1.09
Pr > F 0.906 0.423
Lampiran 37 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 6.533 30.400 20.800
Kuadrat Tengah 3.267 7.600 2.600
F-Hitung 1.26 2.92
Pr > F 0.335 0.092
Lampiran 38 ANOVA kelimpahan spesies serangga fitofag hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 3.733 76.933 102.267
Kuadrat Tengah 1.867 19.233 12.783
F-Hitung 0.15 1.50
Pr > F 0.866 0.288
56 Lampiran 39 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 1.200 0.600 0.09 0.918 Blok 4 12.933 3.233 0.47 0.760 Galat 8 55.467 6.933 Lampiran 40 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 6.400 6.933 10.267
Kuadrat Tengah 3.200 1.733 1.283
F-Hitung 2.49 1.35
Pr > F 0.144 0.332
Lampiran 41 ANOVA kelimpahan spesies serangga parasitoid hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 10.000 10.000 42.000
Kuadrat Tengah 5.000 2.500 5.250
F-Hitung 0.95 0.48
Pr > F 0.426 0.753
Lampiran 42 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 2 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 75.600 149.600 168.400
Kuadrat Tengah 37.800 37.400 21.050
F-Hitung 1.80 1.78
Pr > F 0.227 0.227
Lampiran 43 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 4 MST Sumber Keragaman
db
Perlakuan Blok Galat
2 4 8
Jumlah Kuadrat 0.400 92.933 150.267
Kuadrat Tengah 0.200 23.233 18.783
F-Hitung 0.01 1.24
Pr > F 0.989 0.368
57 Lampiran 44 ANOVA kelimpahan spesies serangga predator hasil lubang jebakan pada umur tanaman 6 MST Jumlah Kuadrat Sumber Keragaman db F-Hitung Pr > F Kuadrat Tengah Perlakuan 2 28.933 14.467 4.28 0.054 Blok 4 11.733 2.933 0.87 0.523 Galat 8 27.067 3.383
58
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1990 di Bandung, Provinsi Jawa Barat sebagai putra bungsu dari pasangan Bapak Endang Priatna dan Ibu Yuyu Yulianingsih. Tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Soreang kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Penulis memilih Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2012. Tahun 2013 penulis melanjutkan studi Magister Sains pada program studi Entomologi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya sendiri.