INTENSITAS IKATAN NON-LINIER FONON-FRAKTON DALAM JARING PERKOLASI DUA DIMENSI Heri Jodi*
ABSTRAK INTENSITAS IKATAN NON-LINEAR FONON-FRAKTON DALAM JARING PERKOLASI DUA DIMENSI. Kelakuan panas bahan amorf sangatlah spesifik dan berbeda dengan kristal biasa. Setelah membentuk daerah datar, konduktivitas panas bahan ini naik kembali pada temperatur diatas 10 K. Fenomena ini diperkirakan terjadi karena adanya ikatan non-linier antara fonon dengan moda yang terlokalisasi kuat. Dengan asumsi bahwa moda tersebut adalah frakton, telah dihitung intensitas ikatan fonon-frakton dalam sebuah jaring perkolasi dua dimensi. Didapatkan koefisien ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi lebih besar puluhan kali lipat dibandingkan dengan harganya untuk ikatan fonon-fonon. Disimpulkan bahwa frakton merupakan model yang efektif untuk menerangkan kelakuan konduktivitas panas bahan amorf pada suhu rendah. Kata-kata kunci : konduktivitas panas, frakton, jaring perkolasi, koefisien ikatan non-linier
ABSTRACT THE INTENSITY OF PHONON-FRACTON AN-HARMONIC COUPLING IN A 2-D PERCOLATION NET. Thermal conductivity of amorphous materials such as glasses has a very specific feature which is different from common crystals. The thermal conductivity has a plateau area around 10 K and increases again from the plateau area just above 10 K. This phenomenon may be resulted from the presence of an-harmonic coupling between vibrational mode called phonon with another vibrational mode which is strongly localized. Assuming that the strongly localized mode is fracton, we calculated the intensity of phonon-fracton coupling in a 2-D percolation net. The result is that the magnitude of an-harmonic phonon-fracton coupling arises to several ten times larger than that of phonon-phonon coupling. It is concluded that fracton is an effective model to explain the feature of thermal conductivity of amorphous material at low temperature. Keywords : thermal conductivity, fracton, percolation net, anharmonic coupling coefficient.
PENDAHULUAN Bahan-bahan amorf seperti gelas banyak digunakan dalam dunia teknologi sekarang. Silikon amorf misalnya, banyak digunakan sebagai baterai tenaga surya dengan biaya produksi lebih murah dibandingkan dengan kristal tunggal Silikon. Bahan-bahan ini tidak mempunyai keteraturan (periodisitas) dalam strukturnya. *
Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Bahan – BATAN
Kelakuan panas bahan amorf pada suhu rendah berbeda dengan kristal biasa. Pada suhu dibawah 10 K, amorf mempunyai konduktivitas panas sebanding dengan T2. Pada suhu sekitar 10 K, konduktivitas panas membentuk daerah datar (plateau), dan kemudian naik lagi di atas suhu 10 K. Kelakuan panas ini sangatlah spesifik dan merupakan kelakuan yang universal dari semua bahan gelas dan makromolekul [1]. Gambar 1 menunjukkan konduktivitas panas beberapa bahan gelas yang diambil dari hasil penelitian R.C. Zeller dkk. [1].
Gambar 1. Konduktivitas panas beberapa bahan gelas naik sebanding dengan T2 pada suhu dibawah 10 K, membentuk daerah datar pada suhu sekitar 10 K dan naik kembali di atas 10 K[1]. Kenaikan konduktivitas panas gelas dari daerah datar dihubungkan dengan kemunculan moda vibrasi yang terlokalisasi dengan kuat dalam daerah temperatur tersebut. Moda terlokalisasi kuat itu adalah moda vibrasi yang terikat dalam daerah yang sempit yang dibangkitkan dari sistem acak (random) dengan korelasi yang kuat. Misalnya frakton, moda karakteristik dari sebuah sistem dengan simetri kesamaan diri (disebut fraktal), merupakan moda yang terlokalisasi kuat dengan ciri khas hanya memiliki satu skala besaran yaitu panjang korelasi. Frakton mempunyai besaran dimensi yang bukan bilangan rasional yang disebut dimensi frakton ð, dan rapat keadaan D(ω) ∝ ωð-1[2,3,4]. Sebagian besar sistem acak yang ada di alam ini dalam
arti statistik merupakan bentuk fraktal (fraktal acak). Bahan gelas yang memiliki struktur fraktal adalah Silica-aerogels [5]. Diperkirakan ada interaksi non-linear antara moda fonon dengan moda terlokalisasi kuat dalam bahan amorf yang menyebabkan konduktivitas panas bahan ini naik kembali dari daerah datar. Untuk melihat berapa besar intensitas ikatan tersebut, dilakukan penghitungan numerik dalam sebuah model fraktal acak yang disebut jaring perkolasi dua dimensi. Hasil penghitungan tersebut akan memberi pertimbangan tentang efektivitas model frakton sebagai model mikroskopik untuk menerangkan kelakuan konduktivitas panas gelas.
TEORI Dalam percobaan menggunakan hamburan neutron inelastik pada silika amorf ditemukan puncak moda vibrasi baru yang bukan fonon. Dari perhitungan dengan menggunakan model SiO4, diketahui moda tersebut merupakan moda terlokalisasi kuat dalam daerah penyebaran sekitar 10Å, dengan frekuensi sekitar 200 GHz atau setara dengan suhu 10 K[6]. Hal ini mengindikasikan bahwa moda terlokalisasi kuat mempunyai peranan yang penting terhadap kelakuan panas gelas pada temperatur rendah. Indikasi ini diperkuat oleh keberhasilan sebuah model menggambarkan konduktivitas panas gelas dalam daerah jangkauan suhu yang yang cukup lebar. Yang menjadi perhatian adalah model ini bekerja atas dasar asumsi bahwa di dalam bahan gelas terdapat moda terlokalisasi kuat, dan bahwa setiap moda mempunyai potensial yang merupakan fungsi non-linier[7]. Sehingga disimpulkan bahwa untuk melihat fenomena konduktivitas panas bahan gelas, perlu dipertimbangkan hadirnya moda terlokalisasi kuat pada suhu sekitar 10 K. Pada suhu rendah moda terlokalisasi kuat sangat sedikit jumlahnya, dan tidak mempunyai kontribusi pada penghantaran panas. Ketika T >10 K, energi serta amplitudo vibrasi tiap atom semakin besar, sehingga terjadi interaksi (ikatan) diantara moda yang ada. Ikatan antara moda fonon dengan moda terlokalisasi kuat mengakibatkan loncatan (hopping) pusat lokalisasi moda, dan terus bertambah seiring dengan kenaikan temperatur. Hal inilah yang diperkirakan membawa aliran panas dan mengakibatkan naiknya konduktivitas panas[8,9]. Probabilitas transisi moda λ ke moda λ’( Wλλ’) dari hukum emas (Golden Rule) dari Fermi, mengisyaratkan bahwa Wλλ’ ∝ (Ceff)2, di mana Ceff adalah koefisien efektif ikatan non-linier (intensitas ikatan moda). Wλλ’ = (2π/h) |<λ’| Hanh |λ>|2 δ(Eλ - Eλ’) Hanh = Ceff [∇ u(r)]3 d3r : Hamiltonian anharmonik
Setelah probabilitas tersebut dijumlahkan untuk seluruh moda λ, akan diperoleh umur moda λ (life time τλ ) sebagai berikut. 1/τλ ∝ (Ceff)2
.
(1)
Bila konduktivitas panas terjadi karena proses fonon + frakton ↔ frakton, maka κhopping ∝ Σ λ (fn,fr1→fr2) (1/τλ) ∝ T
.
Sehingga setelah daerah datar, konduktivitas panas menjadi κ = κ plateau + α T, (α adalah konstanta). Ketergantungan konduktivitas panas terhadap temperatur ini telah dibuktikan dalam eksperimen menggunakan resin epoxy[10]. Bahan gelas memiliki struktur tidak teratur (acak), akan tetapi belum tentu merupakan sistem fraktal. Bahan ini mempunyai banyak panjang korelasi dalam skala 5~20 Å, tetapi kelakuan panasnya tidak tergantung pada ragam panjang korelasi tersebut[11]. Bahan ini juga mempunyai moda yang terlokalisasi kuat. Sehingga dengan menganggap salah satu panjang korelasinya sebagai korelasi fraktal dan moda terlokalisasi kuatnya sebagai moda frakton, menjadikan fraktal sebagai model untuk mengetahui kelakuan panas gelas tidak akan memberikan gambaran yang salah. Dalam percobaan yang menggunakan resin epoxy dengan struktur tatanan Cantor, ditemukan bahwa harga intensitas ikatan fonon-frakton lebih besar lima kali lipat dibandingkan dengan harganya untuk ikatan fonon-fonon[12]. Untuk menghitung intensitas ikatan fonon-frakton tersebut, kali ini digunakan model jaring perkolasi, sebuah bentuk fraktal acak yang mempunyai ikatan-ikatan lemah dalam strukturnya yang tidak terdapat dalam struktur tatanan Cantor[3,13]. Ikatan-ikatan ini diharapkan memberikan efek non-linieritas yang lebih besar sehingga didapatkan harga intensitas ikatan fonon-frakton yang lebih besar.
METODA PENGHITUNGAN Dalam sebuah sistem kisi yang terbentuk dari N buah partikel bermassa m yang saling berikatan, keseluruhan energi sistem dapat dituliskan sebagai berikut, E = (1/2) m Σ i (ui)2 + (1/2) Σ i,j kij ui uj + (1/3) Σ i,j,k lijk ui uj uk di mana ul adalah besar amplitudo getaran (jarak pergeseran) partikel ke l, kij adalah konstanta pegas yang menghubungkan partikel ke i dengan partikel ke j, di mana
berlaku (kij = kji). Sedangkan lijk adalah variabel yang berharga konstan untuk setiap ijk tertentu. Bila pada kondisi awal moda λ0 mempunyai energi sebesar E0, maka seiring dengan bertambahnya waktu t, energinya akan berkurang oleh interaksi energi dengan moda lain. Sehingga energi sistem pada saat t bisa dituliskan sebagai berikut. Eλo(t) = E0 exp (- t / τλ ).
(2)
Energi moda Eλo akan berkurang dengan cepat seiring dengan menguatnya intensitas interaksi antar moda, dan mengakibatkan umur moda (life-time) τλo menjadi pendek. Ini berarti bila harga Ceff semakin besar, maka harga τλo akan menjadi kecil. Oleh karena itu dengan mencari besarnya energi, maka akan didapatkan harga τ dan Ceff. Rasio (perbandingan) intensitas ikatan fonon-frakton dengan intensitas ikatan fonon-fonon bisa dihitung dari persamaan (1). ( Ceff )ph-fr / ( Ceff )ph-ph ≈ √[τph / τfr ]
(3)
Urutan penghitungan kali ini adalah sebagai berikut: ♦ Menghitung pola moda (mode pattern) frakton dalam jaring perkolasi. ♦ Menghitung energi sistem dengan persamaan gerak yang memiliki suku non-linear dengan menggunakan metoda ekspansi waktu. Jarak pergeseran awal partikel diperoleh dari hasil penghitungan pola moda. ♦ Mendapatkan harga τ (umur moda) frakton dari energi moda. ♦ Dengan urutan yang sama melakukan penghitungan untuk moda fonon. ♦ Menghitung rasio intensitas ikatan fonon-frakton dengan ikatan fonon-fonon. Metoda penghitungan yang dipakai untuk menghitung rapat keadaan (DOS) sistem dan pola modanya adalah Metoda Gaya Penggetar Luar (Forced Oscillator Method) yaitu dengan memanfaatkan gejala resonansi yang diakibatkan oleh pemberian gaya luar yang periodik secara terus-menerus pada setiap titik kisi[4,14]. Ketika ke dalam sebuah sistem kisi diberikan sebuah gaya luar yang periodik, persamaan gerak kisi tersebut adalah Mj(uj)’’(t) = -Σ k Φ jk uk(t) + Fj cos(Ω t)
(4)
di mana Fj = Fo cos(φj ) √mj ; adalah gaya luar yang berikan pada titik kisi j, Fo adalah konstanta dan φj adalah bilangan acak pada daerah [0;2π]. Jarak pergeseran titik kisi uj(t) merupakan penjumlahan dari amplitudo moda-moda standar Qλ(t). uj (t) = Σ λ Qλ(t) ej(λ)/√mj
.
(5)
Bila solusi persamaan (4) mempunyai ketergantungan waktu sebesar ~ exp(iωt), maka persamaan gerak kisi sebagai fungsi amplitudo moda Qλ(t) adalah Qλ’’(t) + ωλ2 Qλ(t) = Σ j Fj cos (Ωt) ej(λ)/√mj .
(6)
Bila penambahan gaya luar tersebut dilakukan terus menerus dalam waktu yang relatif panjang, energi rata-rata sistem yang diakibatkannya adalah <E> = (1/8)πtFo2 Σ λ δ(ωλ - Ω) sehingga dengan membandingkan persamaan tersebut terhadap rumus umum kerapatan keadaan, diperoleh rapat keadaan (DOS) sistem dengan N buah titik kisi adalah sebagai berikut. D(Ω) = 8 <E> / πtFo2 N
.
(7)
Solusi persamaan (6) dengan kondisi awal Qλ(t=0) = 0 adalah Qλ(t) = 2 Σ j Fj ej(λ) /(√mj ) [2 sin (Ω+ωλ)t/2 sin (Ω-ωλ)t/2] / (Ω2 - ωλ2) . Ketika ke dalam sistem diberikan gaya luar selama selang satuan waktu t pertama, amplitudo titik kisi ke j adalah merupakan penjumlahan amplitudo moda-moda yang mempengaruhinya, dan menjadi sebagai berikut. uj(1) (t) = 1/(√mj ) Σ λ Fλ h(Ω,ωλ,t) ej(λ) Fλ = Σ j Fj ej(λ) / √mj h(Ω,ωλ,t) = [2 sin (Ω+ωλ)t/2 sin (Ω-ωλ)t/2] / (Ω2 - ωλ2) . Dengan berlandaskan pada besar pergeseran tiap titik kisi ini, ditetapkan besar amplitudo gaya luar periodik yang diberikan pada tiap titik kisi pada putaran waktu t selanjutnya sebagai berikut. Fj(1) = mj uj(1) (t) Setelah sistem dikembalikan ke dalam kondisi awal, maka diberikan lagi gaya luar periodik Fj(1) cos(Ωt) selama selang satuan waktu t selanjutnya. Angka dalam kurung superskrip menunjukkan jumlah proses pemberian gaya luar yang telah diberikan. Setelah proses tersebut dilakukan p kali, pergeseran tiap titik kisi akan menjadi
uj(p)(t) = 1/(√mj ) Σ λ Fλ hp(Ω,ωλ,t) ej(λ) .
(8)
Jika pengulangan di atas dilakukan dengan cukup, maka akan terdapat sebuah moda (misal λ1) yang mempunyai amplitudo sangat besar dibandingkan dengan modamoda lain. Moda ini mempunyai frekuensi ωλ memberikan harga yang paling besar pada harga mutlak dari fungsi-h persamaan (8). Dengan cara ini dihitung pola-pola moda frekuensi tertentu. Terhadap pola-pola moda yang dihitung, diperlukan penilaian atas ketunggalannya. Untuk itu telah digunakan sebuah indeks δl yang merupakan parameter pencampuran moda pada titik kisi j. δj = - (1/√mj ) {Σ k φjk uk + ϖ2 mj uj } δl akan berharga =0 jika dan hanya jika pada titik kisi j terdapat hanya satu-satunya moda yang terbentuk (λo), jadi pada saat ϖ = ωλo. Bila uj merupakan pola moda lain yang mempunyai frekuensi yang dekat dengan Ω, maka ϖ ≈ ωλo dan δl akan mempunyai harga yang kecil. Jaring perkolasi kisi segi empat dua dimensi yang digunakan, memiliki tingkat non-linieritas orde empat dengan Hamiltonian sebagai berikut. H = Σ j (pj)2/2m + (1/2) Σ jj' kjj' ( uj' – uj )2 + (1/4) Σ jj' βjj' ( uj' – uj )4 kjj’ adalah konstanta pegas yang menghubungkan titik ke j dengan titik ke j’ (kjj’ = 1), dan βjj' adalah konstanta pegas non-linier. Di antara keduanya berlaku hubungan βjj' = α kjj' di mana α<< 1. Titik-titik kisi yang diperhitungkan hanyalah titik-titik kisi terdekat (4 buah) di sekeliling titik kisi acuan. Semua massa partikel pada tiap titik kisi dimuat m = 1, dan setiap konstanta pegas (non-linier) dikalikan dengan sebuah indeks c = 1 bila di antara kedua titik kisi terdapat ikatan dan c = 0 bila diantaranya tidak terdapat ikatan. Kondisi awal tiap titik kisi ditetapkan menggunakan pola moda ej(λo) yang telah dihitung pada proses sebelumnya. uj (0) = C ej(λo) ; vj (0) = 0 C adalah konstanta yang tak bergantung pada waktu dan koordinat titik kisi. Energi moda λo ditulis sebagai fungsi amplitudo moda. Eλo (t) = (1/2) { (Qλo’ (t))2 + (ωλo Qλo(t))2 } Qλo(t) diperoleh dengan cara mengalikan persamaan (5) dengan ej(λo) √mj dan hasilnya dijumlahkan untuk seluruh titik kisi.
Σ j uj (t) ej(λo) √mj = Σ λ Qλ(t) Σ j ej(λ) ej(λo) = Qλo(t) Semua penghitungan dijalankan dengan program komputer menggunakan bahasa pemograman FORTRAN, dilakukan dengan cara mengubah parameter kontinyu waktu t menjadi parameter diskrit dengan interval ∆t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jaring perkolasi yang digunakan berbentuk kisi segi empat dua dimensi ukuran 200 x 200 titik kisi, dibuat dengan cara menghilangkan ikatan dari kisi normal secara acak dengan probabilitas 1-p. Harga probabilitas pengikatan p = 0,6 dan harga dimensi frakton ð = 4/3. Tahap pertama dihitung rapat keadaan (Density Of States/DOS) sistem. Dari hasil penghitungan didapatkan bahwa daerah frekuensi frakton meliputi daerah sekitar ω ≈ 0,2 ∼ 0,7 (s-1) -- daerah di mana D(ω) ∝ ωð-1. Daerah frekuensi yang lebih rendah dari daerah tersebut adalah daerah fonon (Gambar 2).
Gambar 2. Rapat Keadaan (DOS) dari sistem jaring perkolasi ikatan dengan harga p=0,6. Daerah frekuensi frakton terdapat pada daerah frekuensi ω ≈ 0,2 ∼ 0,7 (s-1) Selanjutnya dihitung pola moda untuk frakton pada tiga buah frekuensi eigen yang berbeda, masing-masing ω1 =0,2 s-1, 0,3 s-1 dan 0,4 s-1. Gambar pola moda-moda disekitar pusat lokalisasi moda disajikan pada Gambar 3. Rasio pengotoran moda
untuk semua pola moda yang dihitung adalah δl < 10-5 sehingga bisa dikatakan modamoda tersebut merupakan moda-moda frakton murni. Dengan cara yang sama telah dihitung pula pola moda untuk sistem kisi teratur (p=1). Kondisi batas sistem ini telah dibuat mengikuti kondisi batas periodik.
Gambar 3. Pola moda jaring perkolasi ikatan dua dimensi di sekitar pusat lokalisasi, dari kiri ke kanan masing-masing ω1 = 0,2 s-1 , ω2 = 0,3 s-1, ω3 = 0,4 s-1. Probabilitas pengikatan p=0,6. Dengan menggunakan harga pola moda, dihitung energi moda untuk setiap tahapan waktu. Harga konstanta non-linieritas adalah α= 0,2 (untuk ω=0,2 s-1), α= 0,05 (ω=0,3 s-1), α= 0,02 (ω=0,4 s-1). Hasil penghitungan energi moda ini disajikan pada gambar 4. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam setiap kasus yang dihitung, energi frakton berkurang dengan cepat jauh dibandingkan dengan energi fonon (p=1), yakni berkurang mendekati aturan ~ exp (-t/τ).
Gambar 4. Grafik ketergantungan energi moda terhadap waktu (s), dinormalisasikan terhadap Eλo(0)=1. Frekuensi karakteristiknya ω = 0,2 s-1, ω = 0,3 s-1 dan ω = 0,4 s-1
Hasil penghitungan umur moda dan perbandingan koefisien intensitas ikatan non-linier fonon-frakton, dirangkum dalam tabel dibawah ini. ω (s-1) 0,2 0,3 0,4
τph (s) 24912 95504 261364
τfr (s) 77 40 43
Ceff (ph-fr) / Ceff (ph-ph) 18 49 78
Harga rasio koefisien ikatan semakin besar seiring dengan naiknya frekuensi yang dipakai. Hal ini sesuai dengan penghitungan bahwa besaran (panjang) lokalisasi frakton bergantung pada frekuensi sesuai aturan Λ(ω) ∼ ω-(γ) (γ : konstan). Ini berarti bahwa besaran lokalisasi akan mengecil bila frekuensinya bertambah besar. Hal tersebut mengakibatkan amplitudo vibrasi di sekitar pusat lokalisasi menjadi besar dan menambah efek non-linieritas dalam sistem. Dari data di atas diketahui bahwa intensitas ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi lebih kuat puluhan kali lipat dibandingkan dengan intensitas ikatan fononfonon. Hasil ini menunjukkan bahwa intensitas ikatan fonon-frakton dalam jaring perkolasi cukup besar bila dibandingkan dengan intensitasnya dalam sistem yang berstruktur tatanan Cantor. Dengan membandingkan model ini dengan model tatanan Cantor, hasil penghitungan intensitas ikatan non-linier fonon-frakton kali ini membuktikan bahwa frakton sebagai moda terlokalisasi kuat cukup efektif sebagai sebuah model untuk menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama fenomena naiknya konduktivitas panas dari daerah datar. Tatanan Cantor adalah fraktal yang mempunyai struktur ketidakteraturan dalam satu dimensi, sedangkan dalam jaring perkolasi struktur ketidakteraturan terdistribusi dalam dua dimensi. Jaring perkolasi mempunyai ikatan-ikatan lemah yang tidak dimiliki oleh tatanan Cantor. Saat bergetar, ikatan-ikatan lemah ini akan mempunyai amplitudo yang lebih besar, sehingga akan berpengaruh besar terhadap peningkatan efek non-linieritas dalam sistemnya.
KESIMPULAN Menghitung perbandingan harga intensitas ikatan fonon-frakton dengan ikatan fonon-fonon sangatlah penting artinya untuk menjelaskan efektif atau tidaknya moda terlokalisasi kuat seperti frakton untuk dijadikan model yang menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama kelakuan konduktivitas panas gelas pada daerah suhu di atas 10 K.
Ikatan-ikatan lemah dalam suatu sistem mempunyai kontribusi yang sangat besar untuk terjadinya interaksi non-linier antara moda terlokalisasi kuat dengan moda fonon. Jaring perkolasi sebagai salah satu contoh sistem fraktal juga mengandung ikatan-ikatan lemah. Sehingga, terdapat harapan untuk mendapatkan harga intensitas ikatan non-linier fonon-frakton yang besar dalam sistem tersebut. Telah dihitung perbandingan intensitas ikatan non-linier fonon-frakton dengan harga intensitas ikatan fonon-fonon di dalam jaring perkolasi dua dimensi yang mempunyai bentuk kisi segi empat dengan probabilitas p=0,6. Dari hasil penghitungan tersebut diketahui hal-hal berikut. 1. Intensitas ikatan non-linier fonon-frakton, lebih besar 15 - 70 kali lipat dibandingkan dengan intensitas ikatan fonon-fonon. 2. Ikatan-ikatan lemah dalam jaring perkolasi menyebabkan amplitudo vibrasi menjadi besar, mengakibatkan naiknya efek non-linieritas. Hasil-hasil di atas sangat penting untuk memberikan bukti bahwa naiknya konduktivitas panas dari daerah datar disebabkan oleh adanya kontribusi dari moda terlokalisasi kuat seperti halnya frakton. Sehingga bisa disimpulkan bahwa model frakton merupakan model yang efektif untuk menerangkan kelakuan panas gelas pada suhu rendah terutama fenomena naiknya konduktivitas panas dari daerah datar.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Professor T. Nakayama, K. Yakubo serta Sdr. M. Nemoto atas diskusi-diskusinya yang berharga yang menjadi dasar acuan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. R.C. ZELLER, R.O. POHL: Phys. Rev. B 4, 2029 (1971) 2. S. ALEXANDER AND R. ORBACH: J. Phys. Lett. 43, L-625 (1982) 3. Y.GEFEN, A. AHARONY, S. ALEXANDER: Phys. Rev. Lett. 50, 77 (1983) 4. B. B. MANDELBROT, “The Fractal Geometry of Nature”, W. H. Freeman & Co., San Francisco (1983) 5. K.YAKUBO, T. NAKAYAMA: Phys. Rev. B 36, 8933 (1987)
6. K. YAKUBO, T. NAKAYAMA: Phys. Rev. B 40, 517 (1989) 7. J. FRICKE: Scientific American 258, 68 (1988) 8. U. BUCHENAU, N. NUCKER AND A.J. DIANOUX: Phys. Rev. Lett. 53, 2316 (1984); 9. U. BUCHENAU, H.M. ZHOU, N. NUCKER, K.S. GILROY AND W.A. PHILIPS: Phys. Rev. Lett. 60, 1318 (1988) 10. V. G. KARPOV, M. I. KLINGER, F. N. IGNAT’EV: Sov. Phys. JETP 57, 499 (1983) 11. L. GIL, M.A. RAMOS, A. BRINGER, U. BUCHENAU: Phys. Rev. Lett. 70, 182 (1993)
12 J. MICHALSKI: Phys. Rev. B 45, 7054 (1992) 13 S. ALEXANDER, O. ENTIN-WOHLMAN AND R. ORBACH: Phys. Rev. B 34, 2726 (1986) 14 A. JAGANNATHAN, R. ORBACH AND O. ENTIN-WOHLMAN: Phys. Rev. B 39, 13465 (1989) 15. E. de Oliveira, J.N. Page and H.M. Rosenberg: Phys. Rev. Lett. 62, 780 (1989) nd
16. S. R. ELLIOTT: Physics of Amorphous Materials, 2
Ed., (Longman
Scientific & Technical, 1990) 17. A.ALIPPI, G.SCKERDIN, A.BETTUCCI, F.CRACIUN, E.MOLINARI
AND A. PETRI, Phys. Rev. Lett. 69, 3318 (1992) 18. F. GRACIUN, A. BETTUCCI, A. PETRI AND A. ALIPPI; Phys. Rev. Lett. 68, 1555 (1992) 19. D. STAUFER: Introduction to Percolation Theory (Taylor & Francis, London 1985) 20. M. L. WILLIAMS AND H. J. MARIS: Phys. Rev. B 31, 4505 (1985)
21. K. YAKUBO, T. NAKAYAMA, H. J. MARIS: J. Phys. Soc. Jpn. 60, 3249 (1991) 22. T. NAKAYAMA, K. YAKUBO, R. L. ORBACH: Rev. Mod. Phys. 66, 381 (1994)
HOME
KOMPUTASI DALAM SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR XII