Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
148
INTELEGENSI GANDA SEBAGAI BASIS PEMBELAJARAN Alfauzan Amin Abstraction; This article aim to to know how study strategy base on Multipel Intelegensi. Strategy Study base on Multiple Intelligences (MI) represent a number of engineered step pursuant to tendency of intellegence of student to reach the target of study. In Islam, construction of edukatif interaction do not only limited to humanizing human being only pursuant to human being eksistensi under the sun eye (ardh fil khalifah), but also humanize human being as Allah slave. Exploiting Strategy study base on MI can be used in Islamic education interaction as effort physic balance tuition, liver and mind, grow pre-eminent person with akhlaqul karimah, and also guide human being comprehend and Islam teaching applicati hollisticly. Kata Kunci : Pembelajaran, Intelegensi, Islami A. PENDAHULUAN Pembelajaran yang dilaksanakan guru selama ini masih bersifat umum. Guru memberikan perlakuan dan layanan pembelajaran yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, setiap anak didik memiliki perbedaan pada tingkat motivasi, minat, bakat dan kreativitas. Pembelajaran seperti ini memang tepat untuk pemerataan dalam satu wilayah pendidikan, tetapi kurang menunjang usaha mengoptimalkan pengembangan potensi pada peserta didik. Bagi seorang guru, menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan memang tidak mudah. Apalagi didukung oleh karakter anak didik yang sulit diatur dan tidak bisa mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Permasalahan ini biasanya bermula pada interaksi edukatif antara guru dan siswa. Sering dijumpai guru yang mengeluh tentang kesulitannya dalam mendidik seperti sikap dan prilaku anak yang kurang sopan, tidak mengikuti pelajaran dengan baik, tidak mengerjakan tugas, suka membolos, susah diatur dan anak yang sulit menangkap pelajaran. Selanjutnya yang timbul dari permasalahan tersebut adalah terciptanya sekat antara siswa dan guru. Guru mulai mendikotomikan siswa pandai dan bodoh, 148
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
149
siswa yang penurut dan yang sulit diatur, siswa yang malas dan rajin, siswa yang baik dan nakal. Bagi peserta didik yang mampu mengikuti titah guru dengan baik akan mendapat predikat anak yang penurut, bisa menjadi teladan dan diidolakan banyak guru. Sementara bagi anak yang tidak bisa mengikuti peraturan yang ditetapkan guru akan dicap sebagai anak yang pembangkang, nakal dan tidak jarang disebut sebagai trouble maker. Permasalahan ini terus menjalar pada pembentukan kepercayaan diri seorang anak. Ramly (2006: 88) menyatakan, ”Cara guru memperlakukan muridnya mempengaruhi perilaku dan motivasi belajar siswa”. Peserta didik yang gagal menunjukkan prestasi akademiknya di sekolah sesuai dengan prosedur penilaian cenderung mendapat penghargaan yang rendah. Mereka akan merasa minder, bodoh dan tidak berguna. Motivasi dan minat untuk belajar pun semakin menurun. Potensi unik mereka tetap tidak terwujudkan, kemudian berangsur hilang baik di lingkungan sekolah ataupun masyarakat. Maka untuk membangun kekuatan yang ada pada diri siswa, guru memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan-kemungkinan strategi belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan (Fathurrohman, 2007: 3). Pembelajaran ketika dipadukan dengan teori Multiple Intelligences (MI) yang ditawarkan Dr. Howard Gardner merupakan solusi yang sangat efektif diterapkan guna memperbaiki problematika tersebut. Dalam teori MI, setiap orang dipandang cerdas, baik, unik dan berhak untuk diperlakukan istimewa. MI mampu menegaskan bahwa anak, di manapun berada dan dalam kondisi apapun memiliki potensi kecerdasan yang beragam macam. Melalui kecerdasan tersebut, anak bisa menemukan kondisi terbaik dirinya kemudian menentukan bagaimana mereka harus berkiprah dalam kehidupannya kelak. B.
STRATEGI PEMBELAJARAN Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai siasat, kiat, trik, atau cara.
Sedangkan secara umum strategi ialah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Fathurrohman, 2007: 3). Pengertian
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
150
strategi biasanya dikaitkan dengan taktik yang dikenal di lingkungan militer. Taktik adalah segala cara dan daya untuk menghadapi sasaran tertentu dalam kondisi tertentu agar memperoleh hasil yang diinginkan secara maksimal. Dalam proses pendidikan taktik tidak lazim digunakan, akan tetapi dipergunakan istilah metode atau teknik. Metode dan teknik mempunyai pengertian yang berbeda meskipun tujuannya sama. Metode adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Sedangkan teknik adalah cara mengerjakan sesuatu. Strategi yang baik adalah bila dapat melahirkan metode yang baik pula, sebab metode merupakan cara pelaksanaan strategi (Basuki, 2007: 129). Fathurrohman (2007: 3) menyatakan bahwa strategi pembelajaran bisa diartikan sebagai pola umum kegiatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Atau dengan kata lain, strategi pembelajaran merupakan sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Dengan demikian, strategi pembelajaran bisa juga dikatakan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pembelajaran. Karena merupakan rencana tindakan, maka penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan dalam pembelajaran harus diperhatikan dengan baik. Ibarat kata pepatah, “Gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”. Kegiatan pembelajaran pada dasarnya memiliki implikasi sebagai berikut: 1. Proses mengenal karakteristik dasar anak didik harus dicapai melalui proses pembelajaran. 2. Memiliki sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan kultur, aspirasi, dan pandangan filosofis manusia. 3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik mengajar. 4. Menetapkan
norma-norma
(Fathurrohman, 2007: 3).
atau
kriteria-kriteria
keberhasilan
belajar
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
151
MULTIPLE INTELLIGENCES (MI)
C.
Multiple Intelligences (MI) berasal dari bahasa Inggris yang berarti kecerdasan majemuk/jamak/ganda. Kata MI sendiri merupakan sebuah teori penemuan Dr. Howard Gardner dalam dunia psikologi sebagai sebuah kritik terhadap sempitnya pengertian kecerdasan pada masa itu. Teori MI membuka pandangan baru bagi para psikolog dan praktisi pendidikan untuk mengintropeksi kembali definisi kecerdasan. Gardner mengemukakan bahwa kecerdasan anak bukan hanya berdasarkan pada standar semata (tes IQ), melainkan dengan ukuran: 1. Kemampuan menyelesaikan masalah. 2. Kemampuan menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan. 3. Kemampuan menciptakan sesuatu atau memberikan penghargaan dalam budaya seseorang (Campbell, 2002: 2). Ringkasnya, kecerdasan menurut Gardner adalah kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah dan menciptakan sesuatu yang memiliki nilai budaya. Penilaian berdasarkan skor IQ patut dikritisi. Dengan Teori IQ, manusia diperlalukan seperti robot, IQ belum mampu membaca kemampuan manusia secara menyeluruh, IQ belum menjamin kesuksesan. Walau penting, kebutuhan manusia untuk diperlakukan secara manusiawi tidak dapat dibohongi. Beberapa penelitian ilmiah yang mengaitkan teorinya dengan pembaharuan definisi kecerdasan ditemukan oleh beberapa ahli kemudian. Di antaranya seperti teori
Emotional
Quotient
Intelligences/Kecerdasan
Sosial
(EQ)/Kecerdasan (Daniel
Emosional
Goleman),
dan
Spiritual
Sosial Quotient
(SQ)/Kecerdasan Spiritual (Danah Zohar dan Ian Marshall), dan ESQ (Ary Ginanjar Agustian). Ini membuktikan bahwa temuan Gardner telah berhasil memberikan kekuatan dan inspirasi bagi ilmuan dunia untuk kembali merenungkan makna kecerdasan yang manusiawi. Gardner menyatakan beberapa karakteristik konsep MI: 1. Semua inteligensi itu berbeda-beda, tetapi semuanya sederajat.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
152
2. Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang tidak persis sama. Semua kecerdasan dapat dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal. 3. Terdapat banyak indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, setiap orang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki dan menipiskan kelemahan-kelemahan. 4. Semua kecerdasan yang berbeda-beda tersebut bekerja sama mewujudkan aktivitas yang dilakukan individu. Satu kegiatan mungkin memerlukan lebih dari satu kecerdasan, dan satu kecerdasan dapat digunakan dalam berbagai bidang. 5. Semua jenis kecerdasan tersebut ditemukan di semua lintas kebudayaan di seluruh dunia dan kelompok usia. 6. Saat seseorang menginjak dewasa, kecerdasan diekspresikan melalui rentang pencapaian profesi dan hobi (Uno, 2009: 44). Gardner ternyata sengaja memberi nama teorinya dengan kata “Multiple Intelligences” karena ada kemungkinan penemuan terhadap indikator seseorang dikatakan cerdas akan meluas. Pada awalnya Gardner menemukan enam jenis kecerdasan. Kemudian berkembang menjadi delapan dan yang terakhir ditemukan ada 9 kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logis-matematis, naturalis, intrapersonal, interpersonal, kinestetik, visual-spasial, musikal, dan eksistensial. Saat ini basis yang digunakan oleh para praktisi teori MI dalam dunia pendidikan hanya delapan jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik, logismatematis, kinestetik, musikal, visual-spasial, interpersonal, intrapersonal, natural. D.
Pembelajaran berbasis Multiple Intelligences (MI) dalam Interaksi Edukatif Islami Harus diakui, teori yang dikemukakan Howard Gardner tentang Multiple
Intelligences (MI) memenuhi tuntutan jiwa pendidikan selama ini. Seperti ungkapan
Gardner,
“Satu-satunya
sumbangan
paling
penting
untuk
perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
153
cocok dengan bakatnya, yang akan membuatnya puas dan kompeten. Sumbangan paling penting ini adalah dari pendidikan” (Suparlan, 2005, www.suparlan.com). Di lain kesempatan, Gardner pada Tarreytown Conference Center menyatakan, “Saat ini, para pendidik di seluruh dunia mencari cara efektif menerapkan teori ini sebagaimana mereka mencari cara membantu siswa mengenali dan mengembangkan kekuatan mereka, dan dalam prosesnya, mendapatkan cara mengajar baru yang lebih efektif” (Chatib, 2009: 118). Pernyataan-pernyataan ini menggiring pemikiran praktisi dan pemerhati pendidikan bahwa pendidikan membutuhkan perubahan strategi mengajar yang lebih fokus pada pengembangan potensi peserta didik. Implikasi teori MI dalam ruang lingkup pendidikan sangat potensial merubah wajah dunia pendidikan menjadi lebih humanis, karena belajar dengan menggunakan teori MI bukan cuma menegaskan “How smart they are” tapi “How they are smart”. Bukan “Seberapa pintar anak” tapi “Bagaimana mereka bisa menjadi pintar”. Sementara itu, sebagai agama yang sempurna (QS. Al Maidah [6]: 3), konsep pendidikan yang ideal juga tak luput dari ajaran Islam. Islam menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat penting. Nilai-nilai yang terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW menjadi pondasi umat Islam dalam mengembangkan sistem pendidikan yang relevan. Al Quran telah mencantumkan bahwa manusia lahir memiliki bentuk yang paling baik. Manusia itu kompleks. Manusia memiliki variasi modal hidup yang bisa dikembangkan dan digunakan dalam menjalani kehidupan. Begitupun dengan kecerdasan. Manusia punya berbagai kecerdasan yang bisa dikembangkan sebagaimana yang tersirat dalam konsep ulul albab. Manusia memiliki panduan berupa indera, akal, hati, dan wahyu Allah untuk menumbuhkembangkan modal tersebut. Penghargaan Al Quran terhadap potensi kecerdasan telah menimbulkan kemajuan yang amat penting. Ayat Al Quran yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah seruan untuk mengucapkan syahadat atau melaksanakan shalat, melainkan perintah untuk membaca (QS. Al Alaq [96]: 1-5).
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
154
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (Departemen Agama RI, 2005: 597). Terlihat jelas, ayat ini dengan tegas memerintahkan manusia untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya dimulai dengan membaca. Kemampuan intelektual inilah yang membedakan eksistensi manusia dari makhluk lain, sehingga manusia menjadi makhluk paling unggul bahkan di atas malaikat sekalipun, seperti kisah Nabi Adam yang mengalahkan para malaikat sehingga Allah memerintahkan mereka untuk bersujud menghormati Adam (QS. Al Baqarah [2]: 30-34). Dengan kegiatan belajar, manusia bukan saja akan melahirkan penemuanpenemuan baru, tetapi juga akan menemukan asal muasal alam semesta. Kegiatan membaca dan berpikir ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan (QS. Al An’am: 75-80) serta oleh Nabi Muhammad SAW ketika berkontemplasi di Hira’ memikirkan tingkah laku masyarakatnya. Sayangnya, mayoritas umat muslim malah mengadopsi sistem pendidikan Barat yang menekankan intelektualitas, justru ketika Barat sedang menata kembali sistem pendidikan mereka dengan menyinergikan potensi akal dan hati. Sejarah menceritakan terdapat pergolakan silih berganti antara akal dan hati di Barat. Sedangkan di Barat dominasi akal terlalu besar sehingga orang ada yang mengambil materialisme dan atheisme sementara hati, tatkala mendominasi, menentang akal secara total (Tafsir, 2008: 236). Walaupun sejarah telah membuktikan bahwa dalam Islam, akal dan hati sangat dihargai dan memiliki posisi yang sama-sama penting, tetap saja umat Islam masih banyak yang belum tertarik memperdalami risalah Islam secara menyeluruh. Padahal, dalam surat Al Baqarah (2) ayat 177 disebutkan :
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
155
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta; dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (Departemen Agama RI, 2005: 27). Ayat ini menunjukkan bahwa kebajikan, kebenaran, kesuksesan, ataupun kebahagiaan itu tidak berkiblat ke Barat ataupun Timur. Kebajikan diperoleh bagi siapa yang mengikuti syariat Islam, baik itu dalam bentuk aqidah, ibadah, dan muamalah. Puncak/ultimate goal bagi yang melaksanakannya adalah takwa. Maka, manusia yang menjalankan syariat Islam secara totalitas akan mencapai posisi muttaqin (orang-orang yang bertakwa). Sehubungan dengan strategi pembelajaran, tata cara penyajian materi dalam Islam tidak mempunyai pedoman khusus. Namun ada beberapa petunjuk pengelolaan strategi pembelajaran bersumber dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Disari dari “Membumikan Al Quran” karya Quraisy Shihab pada bagian Konsep Pendidikan dalam Al Quran, beberapa ciri khas cara penyajian materi dalam Al Quran adalah sebagai berikut: 1. Al Quran membuktikan kebenaran materi melalui pembuktian-pembuktian, baik dengan argumentasi-argumentasi yang dikemukakannya maupun yang dapat dibuktikan sendiri oleh manusia (peserta didik) melalui penalaran akalnya. Salah satu metode yang digunakan Al Quran untuk mengarahkan manusia ke arah yang dikehendakinya adalah dengan menggunakan “kisah”. Setiap kisah menunjang materi yang disajikan, baik kisah tersebut benar-benar terjadi maupun kisah simbolik. 2. Al Quran al Karim menggunakan juga kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Tetapi nasihat yang disampaikannya ini selalu disertai dengan panutan dari si pemberi atau penyampaian nasehat tersebut, dalam hal ini Rasulullah SAW.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
156
3. Al Quran menuntun peserta didiknya untuk menemukan kebenaran melalui usaha peserta didik sendiri, menuntut agar materi yang disajikan diyakini kebenarannya melalui argumentasi-argumentasi logika, dan kisah-kisah yang dipaparkan mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan dalam berbagai aspeknya, dan nasihat ditunjang dengan panutan. 4. Al Quran tidak hanya menekankan pentingnya belajar, tetapi juga pentingnya mengajar. Dalam surat Al Ashr ditegaskan bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya adalah saling wasiat-mewasiati (ajar-mengajari) tentang al haqq (kebenaran). Ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya (Shihab, 2006: 175-178). Pernyataan Quraisy Shihab ini memberikan keterangan bahwa Al Quran mencontohkan beberapa strategi pembelajaran, seperti penalaran, argumentasi, logika, pembuktian-pembuktian ilmiah, kisah/cerita nyata dan simbolik, penggugahan emosi (hati), belajar mandiri (menemukan sendiri), dan membantu orang yang belum tahu untuk diberi tahu. Yang menarik, bukankah ini sejalan dengan konsep pembelajaran berbasis MI? Penalaran, logika, pembuktian ilmiah masuk pada kategori kecerdasan logis-matematis. Argumentasi, kisah, gaya bahasa Al Quran berhubungan dengan kecerdasan lingusitik, penggugah emosi, membantu sesama berkaitan dengan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, belajar mandiri masuk pada kategori kecerdasan naturalis dan kinestetik, menyimak suara-suara termasuk kecerdasan musikal, memperhaitikan alam merupakan kecerdasan visual. Keterangan ini menunjukkan bahwa dalam Islam, strategi pembelajaran berbasis kecenderungan kecerdasan siswa memang mutlak diperlukan dalam proses edukasi, karena manusia butuh diperlakukan layaknya manusia, bukan robot. Rasulullah SAW sendiri telah memandu umatnya untuk mengajar sesuai dengan potensi anak. Dalam buku terjemahan Tarbiyatul Aulad karya Abdullah Nasih Ulwan tertulis: Tidaklah mudah bagi anak untuk bisa menonjol dalam semua cabang ilmu pengetahuan yang ia pelajari. Akan tetapi akan sangat mudah bagi anak untuk menonjol dalam mata pelajaran tertentu yang disenanginya.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
157
Benarlah sabda Rasulullah SAW, sebagaimana yang diriwayatkan Thabrani dan Ibnu Abbas :
ُاِﻋْﻠَﻤُﻮْا ﻓَﻜُﻞﱡ ﻣُﯿَﺴﱢﺮُ ﻟِﻤَﺎ ﺧُﻠِﻖَ ﻟَﮫ
Bekerjalah, maka setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang memang diciptakan untuknya (Ulwan, 1999: 604).
Rasulullah SAW, 14 abad yang lalu, mengajarkan manusia untuk memaksimalkan potensi yang telah diberikan pada diri mereka masing-masing untuk berkiprah di muka bumi. Keragaman sifat, sikap, karakter, bakat, juga kecerdasan sahabat disikapi dengan bijak oleh Rasullullah. Beliau selalu menempatkan seseorang sesuai dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Beliau mengajar sesuai dengan cara yang dipahami sahabat. Beliau tidak hanya mengajar dengan kata-kata, tetapi juga dengan perbuatan. Dengan demikian, tugas guru adalah merangsang potensi kecerdasan siswa untuk menemukan “ayat-ayat Allah” yang tersirat dalam segala ciptaan-Nya dan yang termaktub dalam kitab-Nya dengan bermacam metode sesuai dengan kecenderungan kecerdasan siswa. Oleh karena itu, dibutuhkan arahan untuk mengolah kecerdasan agar bisa sejalan dengan syariat Islam. Maka ditemukan beberapa petunjuk yang bisa dipedomi guru untuk merancang strategi pembelajaran berbasis MI dalam interaksi edukatif Islami, yaitu: 1. Menggunakan MI untuk Meningkatkan Takwa Guru bertugas menggunakan MI anak didik untuk membangun dan membangkitkan keimanan, jiwa agama, karakter dan kepribadian mereka. Karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah menjadi manusia bertakwa, maka penggunaan strategi mengajar melalui ragam kecerdasan yang dimiliki harus dapat menumbuhkan kesadaran spiritual, sehingga dalam diri anak didik terbentuk akidah yang kuat. Interaksi edukatif yang dibina adalah interaksi dari hati ke hati, mencerahkan hati nurani dan meningkatkan ketakwaan. 2. Menggunakan MI untuk Membangun Karakter Guru bertugas menggunakan MI anak didik untuk membentuk karakter pribadi muttaqin anak didik. Ary Ginanjar Agustian (2006: 278-279) memberi gambaran yang sangat apik bagaimana kiat membangun karakter. Ia menyatakan
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
158
bahwa pembangunan karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi saja. Hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung sepanjang hidup seperti melalui gerakan shalat. Shalat merupakan suatu kekuatan afirmasi atau ‘penegasan’ kembali yang dapat membantu seseorang untuk lebih menyelaraskan nilai-nilai keimanan dengan realitas kehidupan. Shalat merupakan contoh tentang pentingnya pembiasaan dan kontinyuitas dalam membangun karakter keshalihan anak. Stephen R. Covey juga menyatakan, “Taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; taburlah karakter, tuailah nasib” (Covey, 1997: 35). 3. Menggunakan MI untuk Memperkaya Ilmu Guru bertugas menggunakan MI siswa untuk memperkaya rumah ilmu anak didik, karena ilmu merupakan pegangan hidup dunia dan akhirat. Hal yang penting untuk diperhatikan guru, ilmu yang diajarkan harus dilandasi keimanan. Tanpa keimanan, ilmu bisa menyesatkan. Seringkali orang terpukau dengan teori dan penemuan seorang ahli lalu mengaguminya, bukan Allah, padahal ilmu itu bersumber dari Allah. Oleh karena itu, setelah menyampaikan suatu ilmu, tugas guru selanjutnya adalah mengarahkan anak didik untuk mengembalikan ilmu tersebut kepada Allah, agar ilmu tersebut tidak terputus. Dengan demikian, melalui ilmu pengetahuan, anak didik tidak hanya mampu berpikir tetapi juga berzikir. 4. Menggunakan MI untuk meningkatkan amal ibadah Apresiasi ilmu adalah amal. Karena itu, tugas guru selanjutnya adalah menggunakan MI anak didik untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas amal ibadah mereka. Ibadah merupakan suatu amalan bukti rasa hamba makhluk terhadap Khaliknya. Ibadah tidak terbatas pengabdian pada Tuhan seperti shalat, puasa, haji dan zakat semata, tetapi juga dalam setiap gerak amalan yang dilakukan. Jika setiap kegiatan positif diniatkan karena Allah, maka itupun bernilai ibadah. 5. Menggunakan MI meningkatkan akhlak
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
159
Akhlak merupakan puncak bukti keshalihan seseorang. Maka tidak heran Rasulullah
pernah
menyatakan
bahwa
visi
kenabiannya
adalah
untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Oleh karena itu, guru bertugas menggunakan MI anak didik untuk bersikap santun, bekerja keras, jujur, bertanggung jawab dan memiliki komitmen hidup sebagai cerminan akhlaqul karimah. 6. Menggunakan MI untuk kepedulian sosial Guru bertugas mendorong siswa untuk berlomba beramal shaleh dan membangun interaksi sosial. Dengan demikian, anak bukan hanya mengetahui potensi ataupun bakat diri untuk kesejahteraan dirinya sendiri, tetapi sejauh mana faedah dirinya dalam masyarakat. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan MI dalam pembelajaran
mengacu
pada
pengenalan
diri
sebagai
hamba
Allah,
memaksimalkan potensi aqliyah, memperkokoh akhlak berdasarkan ilmu yang telah diperoleh, dan melakukan ibadah berupa amalan-amalan shaleh, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. Dengan demikian, manusia tidak hanya menjadi sosok pekerja keras dan berprestasi, tetapi juga mampu mencari karunia Allah yang tersebar di muka bumi (QS. Al Jumuah [62]: 10) melalui pendidikan. Satu hal yang tak kalah penting, dalam interaksi edukatif Islami, guru mesti menjadi uswah bagi peserta didiknya dari segala apa yang ia perbuat dan ucapkan. Menjadi guru merupakan sebuah profesi dan siapa yang memerankannya berarti harus profesional. Guru harus berusaha agar anak didik aktif dan kreatif secara optimal sesuai dengan potensi dan bakat yang mereka miliki. Seperti yang dikemukakan Said Hawwa, “Dalam sistem pendidikan Islam, kebutuhankebutuhan ruh, hati dan jiwa manusia harus dipenuhi. Hal ini tidak mungkin terealisir kecuali bila seorang murid setiap harinya berada dalam lingkungan yang kondusif” (Hawwa, 2002: 278). William Athur Ward (dalam Hidayatullah, 2009: 1) menyatakan, “Guru yang biasa, berbicara; guru yang bagus, menerangkan; guru yang hebat, mendemonstrasikan; guru yang agung, memberi inspirasi”. Dengan demikian, guru, sebagai pewaris para Nabi diharapkan tidak hanya telaten dalam merancang
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
strategi,
menyampaikan
ilmu,
menerangkan
pelajaran,
160
ataupun
mendemonstrasikan materi ajar sesuai dengan kecerdasan siswa, tetapi juga dapat memberikan inspirasi dan bekas yang mendalam pada diri siswa untuk mengeksplorasi kecerdasannya. Sehingga apa yang peroleh melalui bangku sekolah tidak lepas begitu saja setelah meninggalkan sekolah, tetapi bisa berguna dan bermashlahah bagi diri sendiri dan masyarakat sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. E. Pembelajaran Multiple Intelligences dalam Interaksi Edukatif Islami Munif Chatib menyatakan bahwa alur kegiatan pembelajaran berbasis MI harus sesuai dengan tabel di bawah ini: Tahapan
Waktu
1. Preparation-Persiapan Persiapan lingkungan kelas dan peralatan. Memuaskan otak reptil. Menumbuhkan minat.
30%
2. Presentation-Penyampaian Perjumpaan pertama dengan pengetahuan atau ketrampilan baru. 3. Practice-Pelatihan Integrasi pengetahuan atau ketrampilan baru dengan kecerdasan siswa. 4. Performance-Penampilan Hasil
70%
Penerapan pengetahuan dan ketrampilan baru pada situasi dunia nyata. Dari tabel di atas diketahui bahwa proses pembelajaran berbasis MI hampir sama dengan proses pembelajaran pada umumnya. Perbedaannya terletak pada kuantitas aktivitas guru dan siswa. Dalam pembelajaran berbasis MI, porsi waktu siswa beraktivitas lebih dominan dari porsi guru menjelaskan. Karena ketika guru mengajar, anak belum tentu belajar, ketika anak beraktivitas maka secara otomatis ia akan belajar. Dalam KTSP, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sudah ditentukan, maka langkah yang guru lakukan adalah menentukan aktivitas yang
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
161
akan dilakukan siswa, menentukan materi yang sesuai dengan aktivitas belajar, dan menentukan penilaian. Beberapa ketentuan yang mesti diperhatikan guru dalam menentukan aktivitas belajar menurut Munif Chatib dalam presentasinya tentang lesson plan adalah: 1. Aktivitas harus merujuk kepada Indikator Hasil Belajar (IHB). Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh siswa harus merujuk pada indikator hasil belajar dari Kompetensi Dasar. Aktivitas pembelajaran yang tidak dianjurkan adalah yang tidak ada hubungannya dengan indikator hasil belajar. Pelaksanaan aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dalam bentuk kelompok atau individu. Guru harus dapat menyeimbangkan jumlah aktivitas bentuk kelompok atau individu. 2. Aktivitas dapat lebih dari 1 kali dalam setiap Kompetensi Dasar. Guru dapat melakukan lebih dari satu aktivitas untuk memenuhi sebuah indikator pembelajaran. 3. Aktivitas yang dipilih mewakili kecerdasan para siswa. 4. Sebelum aktivitas dilakukan, harus diperhatikan 2 hal penting, yaitu: a. Cek kondisi emosi siswa. b. Menggunakan scene seting. 5. Penentuan penilaian aktivitas Guru memilih aktivitas mana saja yang akan dimasukkan dalam penilaian portofolio. Artinya tidak harus seluruh aktivitas dinilai. Aktivitas yang dinilai tentunya harus mewakili indikator yang sudah ditentukan. Setelah guru menentukan aktivitas yang dinilai, maka guru harus menentukan indikator aktivitas penilaian dalam aktivitas tersebut. Hal ini dapat dibicarakan bersama konsultan dan dilakukan sebelum pembelajaran dalam kelas di mulai. F.
PENUTUP Dalam konsep Islam, kecerdasan disandarkan kepada ulul albab, yaitu
orang-orang yang mampu menyinergikan ragam potensi akal dan hati berlandaskan dalil aqliyah dan naqliyah untuk mendapat posisi takwa.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
162
Strategi pembelajaran berbasis Multiple Intelligences (MI) merupakan sejumlah langkah yang direkayasa berdasarkan kecenderungan kecerdasan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam Islam, pembinaan interaksi edukatif tidak hanya sebatas memanusiakan manusia hanya berdasarkan eksistensi manusia di bumi semata (khalifah fil ardh), melainkan juga memanusiakan manusia sebagai hamba Allah. Pemanfaatan strategi pembelajaran berbasis MI dapat digunakan dalam interaksi edukatif Islami sebagai usaha bimbingan keseimbangan jasad, akal dan hati, menumbuhkan pribadi unggul dengan ber-akhlaqul karimah, serta membimbing manusia memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam secara kaffah.[] Penulis; Alfauzan Amin, M.Ag adalah Dosen Tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar. 2006. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Cet. 31. Jakarta: Arga Wijaya Persada. Aly, Hery Noer & Munzier S. 2000. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Armstrong, Thomas. 1998. “Multiple Intelligences”. Dalam www.ThomasArmstrong.com (diakses pada tanggal 8 Januari 2010). Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Campbell, Linda, dkk. 2002. Teaching and Learning Through Multiple Intelligences. Penerjemah Tim Inisiasi. Depok: Inisiasi Press. Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences. Bandung: Kaifa. Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis. Cet. 2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
163
Fadli. 2010. Makalah “Teori Kecerdasan Ganda dan Penerapannya dalam Pembelajaran”. Dalam http://fadlibae.wordpress.com (diakses pada tanggal 27 April 2010). Fathurrohman, Pupuh, dkk. 2007. Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Cet. 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Hawwa, Said. 2002. Al Islam. Jilid I. Penerjemah. Abu Ridho & Aunur Rafiq Shaleh Tamhid. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat. . 2002. Al Islam. Jilid II. Penerjemah. Fakhruddin Nus Syam & Muhil Dhofir. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat. Hidayatullah, M. Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka. Khaeruddin, dkk. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Konsep dan Implementasinya di Madrasah. Jogjakarta: Pilar Media. Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Cet. 7. Jakarta: Bumi Aksara. Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung. Mizan Learning Center. Ramly, Amir Tengku & Erlin Trisyulianti. 2006. Pumping Teacher: Memompa Teknik pengajaran Menjadi Guru Kaya. Jakarta: Kawan Pustaka. Rosyada, Dede. 2007. Paradigma Pendidikan Demokrasi: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Cet. 3. Jakarta: Kencana. Shihab, Quraish. 2006. Membumikan Al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. 29. Bandung: Mizan Pustaka. Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cet. 16. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad. 1997. Metodologi Pengajaran agama Islam. Cet. 3. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Alfauzan Amin, Intelegensi Ganda Sebagai Basis Pembelajaran
164
U. Maman, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ulwan, Abdullah Nashih. 1999. Tarbiyatul Aulad fil Islam. Penerjemah Jamaludin Miri. Cet. 2. Jakarta: Pustaka Amani. Uno, Hamzah B & Masri Kudrat Umar. 2009. Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran: Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan. Jakarta: Bumi Aksara. Zuchdi, Darmiyati. 2008. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara.