Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
INTEGRASI TECHNOPRENEURSHIP, PENGOBATAN BERBASIS BUKTI, DAN KAIDAH MORAL DALAM MODUL KEDOKTERAN ESTETIK PADA KURIKULUM PENDIDIKAN DOKTER Cholis Abrori*1, Ika Rahmawati Sutejo**, dan Rosita Dewi*** *Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember **Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Jember ***Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Jember Abstrak Technopreneurship in medical services, especially in the field of aesthetics medicine was often considered as the contrary to the moral norm of physician profession that emphasize on humanity. Further more, based on the fact most doctors did not work based on evidence-based medicine (EBM), which was used as a frame of thinking in taking a clinical decision. The aim of this writing was giving a clear description how to integrate technopreneurship education in the module of aesthetics medicine in the curriculum of medical education. Based on the study of the implementation of the module about aesthetics medicine in Medical Faculty of Jember University from 2009 to 2012, the integration of technopreneurship, EBM, and the morale could be applied. By using strategy of problem based learning, the students were expected to have the competence. They were given the opportunity to learn in an active way and to have the real learning experience in the laboratory or workplace. Technopreneurship education could be taught in medical education in an integrated way in the module of aesthetics medicine Keywords: technopreneurship, EBM, moral, aesthetics, education 1. Latar Belakang Peradaban masyarakat saat ini terus berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban dunia yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu tuntutan masyarakat modern yang juga berkembang pesat saat ini adalah bidang kecantikan yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran sehingga mendorong perkembangan bidang kedokteran estetik. Maraknya dunia hiburan menambah kuatnya dorongan untuk memperbaiki penampilan wajah dan tubuh. Bahkan klinik estetik saat ini menjadi salah satu komoditas yang diyakini oleh banyak investor sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan. Pemikiran ini tidak terlepas dari berkembangnya technopreneurship bidang kedokteran sehingga memunculkan ide-ide baru teknologi kedokteran yang dapat memberi inspirasi bagi pengembangan bidang kecantikan. Para ilmuwan pun banyak yang tertarik melakukan riset-riset yang menghasilkan obat dan berbagai metode yang dapat meningkatkan kualitas kecantikan seseorang.
1
[email protected]
1
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
Layanan bidang kedokteran estetik yang lebih menonjolkan kepuasan, kemewahan, dan gaya hidup seringkali dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan tradisi luhur dalam profesi dokter yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam menjalankan pekerjaannya. Perkembangan ilmu bedah plastik yang dapat mengubah struktur wajah dan bagian tubuh lain dianggap bertentangan dengan norma-norma oleh sebagian masyarakat. Penggunaan beberapa obat untuk kepentingan meningkatkan kecantikan dan penampilan seseorang dianggap sebagai langkah yang tidak bermoral sebagian masyarakat. Penggunaan berbagai bahan sintetik maupun bahan herbal untuk kecantikan yang tidak didasari oleh pengobatan berbasis bukti banyak juga dilakukan oleh dokter atas permintaan pasien. Risiko efek samping dan keracunan yang dapat terjadi pada konsumen seringkali tidak dipikirkan baik oleh dokter maupun konsumen. Bahkan saat ini klinik estetik semakin menjamur dan sebagian besar tidak menyediakan tenaga dokter yang kompeten untuk memberikan layanan-layanan tersebut. Sejak diberlakukan kurikulum berbasis kompetensi dalam pendidikan dokter di Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Jember (FK UNEJ) mencoba menawarkan matakuliah elektif Kedokteran Estetik. Program ini bertujuan membekali lulusan dengan kompetensi melakukan penapisan dan penerapan teknologi kedokteran estetik dalam layanan pengobatan berbasis bukti yang berlandaskan nilai-nilai moral profesi dokter. Karena modul ini sangat erat kaitannya dengan bidang enrepreneurship, maka mahasiswa diberi kesempatan mengembangkan diri menjadi seorang technopreneur di bidang kedokteran estetik secara profesional. Modul didisain agar mahasiswa mudah mencapai kompetensi tersebut melalui proses belajar aktif dengan melakukan kajian secara langsung di lapangan serta kontak langsung dengan pasien standar di laboratorium keterampilan klinis. Makalah ini diharapkan menjadi model bagaimana mengintegrasikan technopreneurship ke dalam Modul Kedokteran Estetik dalam Program Pendidikan Dokter. Selain itu makalah ini juga dapat dijadikan wahana dalam melatih kerangka berpikir pengobatan berbasis bukti serta pemahaman terhadap kaidah moral profesi dokter. 2. Metode Penulisan Makalah ini disusun berdasarkan hasil kajian terhadap penerapan Modul Kedokteran Estetik pada Program Pendidikan Dokter di FK UNEJ tahun 20092012. Matakuliah ini diselenggarakan di setiap semester dengan model blok yang berjalan selama enam minggu termasuk kegiatan ujian. Peserta matakuliah ini adalah mahasiswa semester tujuh atau delapan yang sebelumnya telah menempuh blok yang mendasari bidang kedokteran estetik. Modul ini melibatkan bidang ilmu penyakit kulit dan kelamin, histologi, fisiologi, farmakologi, etiko-medikolegal, dan bidang entrepreneurship atau technopreneursip. Data diperoleh secara kualitatif, berasal dari wawancara dengar responden mahasiswa, pasien standar, dan pengelola klinik estetik. Data dilengkapi dengan hasil kajian pustaka yang berasal dari penelusuran berbagai artikel ilmiah dari internet, perpustakaan, dan buku koleksi.
2
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
3. Diskusi Pendidikan Technopreneur dalam Modul Kedokteran Estetik Entrepreneur merupakan seorang yang memiliki kemampuan memberikan nilai lebih pada sebuah produk yang dijualnya dengan mengupayakan semaksimal mungkin sumberdaya yang dimiliki (Herrick, 2008). Pengertian technopreneur adalah seorang entrepreneur yang mampu memberikan nilai lebih pada produk yang dijual dengan basis ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Dalam konteks seorang dokter maka technopreneur adalah seorang dokter yang mampu menjual produk dengan kreativitas dan inovasi yang dimiliki berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Menjadi seorang dokter yang juga technopreneur diharapkan secara bijak memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang dimiliki sehingga meningkatkan kesejahteraan umat manusia di muka bumi. Dalam menjalankan tugas profesi seorang dokter sebenarnya telah menjadi seorang technopreneur. Hanya saja karena para dokter tidak pernah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang entrepreneur atau technopreneur secara formal sehingga tidak menyadari telah menerapkan prinsip tersebut meskipun tidak maksimal. Selama pendidikan biasanya calon dokter hanya mempelajari aspek-aspek teknis medis sehingga kepekaan sosial yang terkait dengan manajemen dan peningkatan kualitas jasa yang dihasilkan kurang dipikirkan. Layanan jasa yang diberikan oleh para dokter masih terbatas meniru pengalaman dari seniornya sehingga kurang berkembang. Padahal pesatnya teknologi informasi saat ini mengubah masyarakat menjadi sadar dan menuntut layanan yang lebih berkualitas. Akibatnya terjadi perbedaan yang sangat tajam antara layanan dokter dengan tuntutan masyarakat yang berdampak pada rendahnya kepuasan pasien sebagai konsumen jasa dokter di Indonesia. Pendidikan technopreneurship bagi calon dokter sebenarnya menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan lagi, namun dianggap sulit diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dokter. Padahal calon dokter perlu dibekali dengan kemampuan ini agar dapat memberikan layanan jasa profesi dokter dengan baik. Pasien bukan hanya orang yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan, tetapi juga membutuhkan sikap dan layanan yang baik dari dokter. Bahkan sebagai konsumen, pasien berhak ikut andil dalam mengambil keputusan klinis sehingga memperoleh hasil terbaik. Kemampuan technopreneur dibutuhkan dokter dalam menjalankan layanan kedokteran estetik untuk memberikan pilihan pengobatan dan metode terbaik bagi konsumen. Dengan demikian diharapkan dokter juga dapat mengembangkan kemampuan dirinya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Kompetensi technopreneur dapat dibangun selama menjalani pendidikan dokter melalui Modul Kedokteran Estetik secara bertahap dimulai dengan pemahaman tentang konsep-konsep technopreneur dan kompetensi tersebut ditingkatkan dengan melakukan kajian pada pasien standar hingga praktik di dunia kerja nyata. Bertemu langsung dengan pelaku bisnis kedokteran estetik akan meningkatkan wawasan dan merangsang mahasiswa untuk meningkatkan kompetensinya. Pengalaman memberikan konsultasi dan edukasi kepada konsumen merupakan pengalaman yang sangat berharga yang menjadi bagian dari pengembangan diri seorang dokter di bidang
3
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
kedokteran estetik technopreneur sejati.
sehingga
mahasiswa
akan
memiliki
sikap
seorang
Penerapan Pengobatan Berbasis Bukti dalam Kedokteran Estetik Dalam layanan kedokteran estetik seorang konsumen selalu menginginkan hasil yang terbaik, namun informasi bidang estetik di masyarakat seringkali tidak didasari pada bukti ilmiah yang memadai sehingga menajadi korban pelaku bisnis ini. Banyak pengobatan atau metode diberikan kepada konsumen meskipun belum manfaatnya belum jelas secara ilmiah bahkan sebagian tidak jarang malah membahayakan. Salah satu contoh adalah penggunaan silikon cair untuk mengubah bentuk wajah dan bagian tubuh banyak menimbulkan reaksi penolakan tubuh dan infeksi yang sulit diperbaiki. Pengobatan berbasis bukti atau dikenal dengan evidence-based medicine (EBM) merupakan kerangka berpikir dokter dalam mengelola pasien yang mengintegrasikan bukti ilmiah terkini, pengalaman klinis dokter, dan nilai-nilai yang diyakini oleh pasien. Penerapan EBM ini akan menjamin keputusan medis yang diberikan merupakan yang terbaik. Pasien juga merasa puas karena diberi kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Sayangnya saat ini masih banyak dokter yang belum memahami kerangka berpikir EBM ini. Dalam mengambil keputusan sebagian dokter mengandalkan pengalaman sendiri atau orang lain yang belum tentu tepat untuk pasien. Sebagian dokter juga hanya mengandalkan informasi ilmiah terkini tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang diyakini pasien. Pasien tidak diberi kesempatan memberikan pendapat terhadap keputusan dokter terkait dengan nilai-nilai yang diyakini, misalnya aspek sosial, budaya, ekonomi, serta agama. Banyak contoh pengobatan atau penerapan metode yang tidak sesuai dengan prinsip EBM dalam layanan kedokteran estetik. Pemilihan milk cleanser dibandingkan dengan sabun untuk membersihkan wajah, penggunaan injeksi vitamin C untuk pemutihan kulit, merupakan bentuk-bentuk layanan yang tidak berbasis iptekdok. Akibatnya ketika pasien tidak memperoleh hasil yang diinginkan bahkan mendapatkan risiko efek samping yang berujung pada ketidakpuasan konsumen. Dalam Modul Kedokteran Estetik ini kerangka berpikir EBM diintegrasikan dalam aktivitas pembelajaran. Pada pertemuan awal mahasiswa diberi tugas mengumpulkan informasi berbagai pengobatan dan teknologi yang sering digunakan dalam kedokteran estetik. Kemudian mahasiswa melakukan penelusuran informasi terkini dan melakukan telaah terhadap informasi. Selanjutnya dengan cara simulasi dan skenario kasus mereka mendiskusikan pilihan-pilihan pengobatan dan teknologi yang tepat bagi konsumen. Melalui latihan menggunakan kerangka EBM ini diharapkan nantinya dokter di klinik estetik dapat mengembangkan kemampuan technopreneurnya dengan tepat sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini. Kemampuan menggunakan kerangka berpikir EBM ini sangat membantu seorang technopreneur dalam mengembangkan kreativitasnya serta menghasilkan inovasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ide cemerlang yang dihasilkan akan sesuai dengan zaman serta tuntutan kebutuhan masyarakat sehingga jasa layanan kedokteran estetik yang ditawarkan dapat dikerjakan secara profesional.
4
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
Kaidah Moral dalam Technopreneurship Kedokteran Estetik Dalam memberikan layanan kedokteran estetik seorang technopreneur seringkali dihadapkan pada masalah dilema moral karena tidak sesuai dengan profesi seorang dokter (Relman & Reinhardt, 1986). Dokter dianggap tabu melakukan hal-hal yang bersifat semata-mata mengambil keuntungan ekonomi dari pekerjaannya. Minimnya pengetahuan dan pengalaman dalam hal ini membuat dokter sulit dalam mengambil keputusan untuk pasien. Dokter menjadi ragu apakah keputusan yang diambil tepat sesuai dengan norma-norma yang ada. Melalui Modul Kedokteran Estetik ini mahasiswa diberikan bekal pemahaman dan kesadaran untuk menghadapi permasalahan etikolegal sehingga mampu mengambil keputusan yang tepat. Menurut peraturan yang ada di Indonesia, seorang dokter dapat melakukan pelanggaran etik, pelanggaran disiplin, atau pelanggaran hukum. Masing-masing pelanggaran tersebut telah jelas diatur sanksinya, namun seringkali dokter tidak memahami perbedaan ketiga pelanggaran tersebut. Persoalan etik sebenarnya adalah persoalan pantas atau tidaknya seorang dokter melakukan suatu tindakan yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah disiplin seringkali disalahartikan dengan kedisiplinan dalam bekerja terkait tata tertib, padahal pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter sebenarnya adalah masalah ilmiah atau tidaknya keputusan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, dan hal ini terkait dengan EBM. Yang terakhir, masalah hukum adalah masalah benar atau salah seorang dokter dalam menjalani profesi, dan hal ini terkait dengan KUHP, KUHAP, Undang-undang Praktik Kedokteran, serta peraturan perundangan yang lain. Dalam modul ini mahasiswa dilatih untuk mengambil sikap yang tepat menghadapi berbagai persoalan moral yang dihadapi. Ketika bekerja sebagai seorang technopreneur, diharapkan mereka dapat menjalani dengan aman dan bebas dari permasalahan. Di bidang kedokteran estetik, kompetensi dan kewenangan dokter dibatasi oleh jenis dan tingkat pendidikan yang dimiliki. Di luar kompetensi dan kewenangannya, seorang dokter harus merujuk kepada orang yang memiliki keahlian yang lebih tinggi atau kepada sejawat yang mampu. Karena masalah moral adalah masalah sikap, maka perlu latihan dan belajar dari pengalaman dari senior atau orang lain yang pernah mengalami permasalahan. Cara lain adalah belajar dari kasus-kasus yang banyak terjadi dan melakukan telaah dan mendiskusikan dengan sesama mahasiswa. Agar dokter mudah dalam mengambil keputusan moral kerangka berpikir CoRE-Value (Manson, 2008) merupakan salah satu instrumen yang bisa digunakan. Dengan konsep ini dokter akan mempertimbangkan Codes of Professional Conduct (Kodeki), Regulation (peraturan perundangan), Ethical Principles (Prinsip dasar etik), dan Value (nilai-nilai di masyarakat) dalam setiap permasalahan moral yang dihadapi. Modul Kedokteran Estetik sebagai Wahana Belajar Calon Technopreneur Dalam Modul Kedokteran Estetik mahasiswa tidak semata-mata mempelajari bagaimana mengelola permasalahan kecantikan saja, namun bagaimana seorang dokter diharapkan juga dapat menerapkan konsep technopreneurship secara profesional. Dokter diharapkan dapat memberikan layanan jasa yang maksimal dengan mengoptimalkan seluruh sumberdaya yang
5
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
dimilikinya sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan. Dalam menjalankan jasa ini dokter dituntut untuk berkreativitas dan berinovasi, misalnya dalam melakukan pemilihan obat untuk terapi kelainan kulit, atau mengembangkan produk-produk herbal untuk kecantikan, serta bagaimana menciptakan menu bagi seorang yang ingin membentuk tubuh. Di modul ini mahasiswa diberikan tantangan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam produk layanan yang akan diberikan. Mahasiswa diberikan tugas untuk berkreasi dan berinovasi terhadap produk jasa yang ditawarkan setelah melakukan survey lapangan, mencari pengalaman, dan melakukan penelusuran berbagai informasi. Implementasi modul ini di FK Unej tidaklah mudah. Mahasiswa kedokteran pada umumnya kurang berminat mempelajari technopreneurship yang sering dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar profesi dokter. Mereka lebih tertarik mempelajari bidang teknis medis tentang pengelolaan penyakit dan masalah kesehatan. Matakuliah ini tergolong baru ditawarkan sehingga pengalaman staf pengajar dan fasilitas yang tersedia juga masih terbatas. Fasilitas laboratorium yang tersedia tidak selengkap dan sebaik yang dimiliki klinik-klinik kecantikan yang ada saat ini. Agar aspek technopreneurship dalam kedokteran estetik menarik bagi mahasiswa perlu dilakukan inovasi dalam pembelajaran yang diterapkan. Selain dipilih metode team-based learning yang relatif baru dan jarang digunakan oleh matakuliah yang lain, technopreneurship disajikan dalam bentuk pemaparan pada permasalahan secara langsung. Dengam metode team-based learning mahasiswa didorong untuk belajar secara kolaboratif dan berkompetisi secara positif dalam belajar. Pengiriman mahasiswa ke klinik kecantikan secara langsung melakukan observasi dan mendatangkan pasien standar sehingga mereka kontak langsung dengan situasi nyata merupakan salah satu strategi yang dilakukan. Mahasiswa tidak hanya belajar teori saja, tetapi ditantang untuk mencoba menyelesaikan permasalahan nyata yang kelak akan dihadapi bila bekerja dengan memanfaatkan pengetahuan technopreneurshipnya. Mahasiswa juga mengasah keterampilan dan sikap kepada pasien melalui pelatihan keterampilan klinis baik dengan manekin maupun pasien standar yang disediakan. Mahasiswa berlatih kontak langsung dengan pasien standar dan mengerjakan tugas-tugas seorang dokter. Dalam seluruh aktivitas belajar, mahasiswa didampingi tutor yang berperan sebagai fasilitator belajar yang memberikan motivasi kepada mahasiswa. 4. Kesimpulan Pendidikan technopreneur dalam pendidikan dokter di FK UNEJ telah diimplementasikan dengan cara mengintegrasikan ke dalam Modul Kedokteran Estetik. Implementasi modul tersebut juga menggabungkan kerangka berpikir EBM dan menanamkan kaidah moral profesi dokter sehingga membekali mahasiswa menjadi technopreneur di bidang kedokteran secara profesional. Mahasiswa diberikan kesempatan belajar secara aktif, yaitu terjun langsung ke lapangan di klinik estetik serta pelatihan di laboratorium keterampilan klinis dengan pasien standar. Strategi PBL dengan berbagai inovasi metode pembelajaran diharapkan akan menjamin pencapaian kompetensi mahasiswa.
6
Konferensi Nasional “Inovasi dan Technopreneurship” IPB International Convention Center, Bogor, 18-19 Februari 2013
Daftar Pustaka Herrick, D.M., 2008. Health Care Entrepreneurs: The Changing Nature of Providers, National Center for Policy Analysis, Policy Report; 318: Dec. Lee C, 2006. Medical Tourism, an Innovative Opportunity for Entrepreneur, Journal of Asia Enrepreneurship and Sustainability; Vol III:1. Loscalzo J., 2007. Entrepreneurship in the Medical Academy: Possibilities and Challenges in Commercialization of Research Discoveries, Circulation; 115:1504-07. Manson, H.M., 2008. The Development of the CoRE-Values frame-Work as an Aid to ethical Decision-Making, Medical Teacher; 34: e258-68. McCullough, L.B., 2006. John Gregory’s Medical Ethics and The Reform of Medical Practice in Eighteenth-Century Edinburgh, J.R. Coll Physicians Edinb; 36:86-92. Privitera, M.B. and Grood E.S. 2004. Medical Device Innovation and Entrepreneurship Program at the University of Cincinnati: An Overview. Education that Works: The NCIIA 8th Annual Meeting, March 18-20, 2004. Relman, A.S. & Reinhardt U.E., 1986. Debating for-Profit Health Care and The Ethics of physician, Health Affair: Summer.
7