INTEGRASI METODE INVERSI SEISMIK SIMULTAN, PREDIKSI TEKANAN PORI DAN PREDIKSI TOC DALAM STUDI AWAL EKSPLORASI SHALE GAS
Thesis Diajukan sebagai syarat untuk menempuh ujian magister Program Studi Teknik Geofisika-Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Oleh : ANDIKA PERBAWA
22309015
Program Studi Teknik Geofisika Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung 2011
i
LEMBAR PENGESAHAN
INTEGRASI METODE INVERSI SEISMIK SIMULTAN, PREDIKSI TEKANAN PORI DAN PREDIKSI TOC DALAM STUDI AWAL EKSPLORASI SHALE GAS
Thesis Diajukan sebagai syarat untuk menempuh ujian magister Program Studi Teknik Geofisika-Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Oleh : ANDIKA PERBAWA
22309015 disetujui dan disahkan: Bandung, Juni 2011
Pembimbing I
Ign. Sonny Winardhi Ph.D NIP : 19630205 198703 1 001
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahiim, Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah mencurahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Thesis ini. Salawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabi’in dan umatnya hingga akhir zaman yang senantiasa istiqomah dan berjuang di jalan-Nya. Thesis yang berjudul Integrasi Metode Inversi Seismik Simultan, Prediksi Tekanan Pori Dan Prediksi Toc Dalam Studi Awal Eksplorasi Shale Gas ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam jenjang pendidikan magister di Program
Studi
Teknik
Geofisika,
Fakultas
Teknik
Pertambangan
dan
Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. Penyusunan Thesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Ign. Sonny Winardhi Ph.D, selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama penulis mengerjakan Thesis. 2. Dr. Hendra Grandis, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Geofisika sekaligus dosen wali penulis, yang telah memberikan bimbingannya selama masa studi di ITB. 3. Mamah, Papah, Adik dan Nenekku (almh) tercinta, yang telah banyak memberikan nasihat, motivasi dan do’a yang tiada hentinya kepada penulis, “Ya Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangi kami sejak kecil”. 4. Seluruh dosen di lingkungan Program Studi Teknik Geofisika, dan Teknik Geologi atas segala ilmu pengetahuan yang diberikan selama perkuliahan. 5. Staf Tata Usaha dan seluruh karyawan Program Studi Teknik Geofisika ITB yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis selama masa studi. ii
6. Seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberikan dukungan dan do’a kepada penulis. 7. Indah Hermansyah Putri, yang selalu menemani dan mendukung baik dalam susah maupun senang, “Ya Allah semoga kami selalu dipertemukan dan dijodohkan sampai akhir hayat. Amin” 8. Kang Bayu selaku karyawan PT. Medco E&P Indonesia yang banyak berkontribusi khususnya segi penyedian data untuk Thesis ini. 9. Pak Harmen selaku Senior Manager dan Pak Firman selaku Eastern Indonesia Exploration Manager PT. Medco E&P Indonesia yang telah memberi saya keringanan dan izin meninggalkan pekerjaan kantor guna mencari ilmu dan menyelesaikan studi di kampus ITB. 10. Teman-teman S2 ITB angkatan 2009-2011, ex-GGT3 PT. Medco E&P indonesia, dan tim shale gas exploration PT. Medco E&P Indonesia. 11. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa Thesis masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran dari semua pihak untuk memperbaikinya. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan di hari pembaca. Kesalahan datang dari saya sendiri namun kebenaran itu datang dari Allah SWT. Akhir kata, penulis berharap agar tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bandung, Juni 2011
Penulis
iii
ABSTRAK
Saat ini, gas bumi secara konvensional dieksploitasi secara massal untuk mencapai ketahanan energi negara Indonesia. Namun, gas konvensional pun ada batasnya, lambat laun produksi dan cadangan gas konvensional akan menurun dan habis. Untuk mengantisipasi kekurangan gas, diperlukan eksplorasi akan sumber daya baru (unconventional resources), salah satunya adalah shale gas. Shale gas adalah suatu batulempung yang memiliki kandungan TOC tinggi, getas dan berada pada zona jendela gas kering (dry gas window). Penelitian ini memaparkan eksplorasi awal mengenai ada tidaknya potensi shale gas di salah satu blok di daerah cekungan sumatera selatan. Pada penelitian ini, akan dipaparkan integrasi antara data geokimia, fisika batuan dan inversi seismik simultan untuk mengkarakterisasi dan mencari potensi shale gas. Tahapan eksplorasi awal dari shale gas play ini meliputi analisa sweetspot menggunakan metode Passey kemudian membuat log pseudo TOC pada formasi target. Kedua, memetakan daerah overpressure untuk menghindari terjadinya pitfall saat memetakan zona potensial. Ketiga, melakukan inversi seismik simultan untuk memetakan distribusi batulempung berdasarkan parameter Vp/Vs serta memetakan kandungan TOC-nya melalui konversi parameter Vp. Hasilnya, berdasarkan analisa log, pada sumur penelitian memiliki satu zona target potensial shale gas dengan TOC diatas 1% dan ketebalannya 100 kaki. Integrasi data tekanan pori, distribusi batulempung dan distribusi TOC dari zona target menunjukkan 2 daerah potensial di bagian barat, berarah utara-selatan, dan di bagian timur dari sumur. Kedua lokasi tersebut menjadi rekomendasi dalam pengeboran selanjutnya yang bertujuan sebagai pilot hole untuk mengambil data baru yang lebih lengkap guna mengevaluasi lebih dalam reservoir shale gas. Kata kunci: Shale gas, pseudo TOC, tekanan pori, inversi seismik simultan
iv
ABSTRACT
Currently, conventional natural gas are exploited all out to achieve energy security state of Indonesia. However, conventional gas is finite, eventually the conventional gas production and reserves will decline and low. To anticipate the shortage of gas, we need to explore new resources (unconventional resources), one of which is shale gas. Shale gas is a claystone that has a high TOC content, brittle and is in the zone of dry gas window. This study describes the early exploration of the presence or absence of shale gas potential in one block in South Sumatra basin area In this study, will be described the integration of geochemical data, rock physics and simultaneous seismic inversion for characterization and searching for shale gas potential. Stages of early exploration of gas shale play covers sweetspot analysis using the log pseudo Passey then create a TOC in the target formation. Second, map the overpressure area to avoid any potential pitfall when mapping zone. Third, performing simultaneous seismic inversion to map the distribution of clay based on the parameters Vp / Vs and map its TOC content through conversion from Vp parameter. The result, based on log analysis, research well have one target zone of potential shale gas with TOC above 1% and thickness of 100 feet. Integration of pore pressure data, shale distribution and TOC distribution of the target zone shows two potential areas in western, north-south trending, and in the eastern part of the well. Both locations are to be recommendations for the next pilot holes to take a new complete data and to evaluate the shale gas reservoir deeply. Key words: shale gas, pseudo TOC, pore pressure, simultaneous seismic inversion
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................i KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii ABSTRAK .............................................................................................................. iv ABSTRACT .............................................................................................................v DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2.
Apa itu Shale gas? .................................................................................... 2
1.3.
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.4.
Batasan Masalah ....................................................................................... 4
1.5.
Metodologi Penelitian .............................................................................. 5
1.6.
Alur Kerja Penelitian ................................................................................ 5
1.7.
Sistematika Penulisan ............................................................................... 6
BAB II GEOLOGI REGIONAL............................................................................. 7 2.1.
Tinjauan Umum Geologi Regional Daerah Penelitian ............................. 7
2.2.
Evolusi Tektonik ...................................................................................... 9
2.3.
Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan .................................... 9
2.4.
Geologi Lapangan “AP” ......................................................................... 10
BAB III TEORI DASAR ...................................................................................... 12 3.1.
Geokimia Minyak Bumi ......................................................................... 12
vi
3.1.1.
Kekayaan Batuan Induk .................................................................. 12
3.1.2.
Tipe Kerogen ................................................................................... 13
3.1.3.
Kematangan..................................................................................... 14
3.1.4.
Prediksi Total Organic Content (TOC) ........................................... 14
3.2.
Petrofisika ............................................................................................... 17
3.2.1.
Prinsip dasar well log ...................................................................... 17
3.2.2.
Volume shale ................................................................................... 20
3.3.
Geofisika................................................................................................. 21
3.3.1.
Prinsip dasar seismik ....................................................................... 21
3.3.2.
Trace Seismik.................................................................................. 22
3.3.3.
Resolusi Horizontal ......................................................................... 23
3.3.4.
Resolusi Vertikal ............................................................................. 24
3.3.5.
Fasa dan Polaritas ............................................................................ 24
3.3.6.
Modulus Elastik Batuan .................................................................. 25
3.3.7.
Prediksi kecepatan shear ................................................................. 27
3.3.8.
Inversi Seismik ................................................................................ 31
3.3.9.
Inversi Simultan .............................................................................. 32
3.4.
Prediksi Tekanan Pori............................................................................. 35
BAB IV PENGOLAHAN DATA ......................................................................... 38 4.1. Prediksi Total Organic Content (TOC) ...................................................... 38 4.2. Prediksi Kecepatan Shear........................................................................... 41 4.3. Prediksi Tekanan Pori ................................................................................ 44 4.4. Seismik Inversi Simultan ........................................................................... 46 4.4.1. Pengkondisian data.............................................................................. 46 4.4.2. Well seismik tie ................................................................................... 48
vii
4.4.3. Seismik inversi simultan ..................................................................... 49 BAB V HASIL DAN ANALISA.......................................................................... 54 5.1. Tekanan Pori dan Equivalent Mugweight .................................................. 54 5.2. Hasil Seismik Inversi ................................................................................. 56 5.2.1. Produk inversi seismik simultan ......................................................... 56 5.2.2. Distribusi batulempung ....................................................................... 57 5.2.3. Distribusi TOC .................................................................................... 59 5.3. Daerah Potensial Shale gas Play ................................................................ 60 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 62 6.1.
Kesimpulan ............................................................................................. 62
6.2.
Saran ....................................................................................................... 62
BAB VII DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 63 LAMPIRAN 1 ....................................................................................................... 65
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 1 Skematik geologi minyak dan gas play. Shale gas play ditunjukkan oleh black shale (gas-rich shale) (http://files.myopera.com). ................................ 2 Gambar 1. 2 Skema sederhana proses penyimpaan gas di dalam batulempung. .... 3 Gambar 1. 3 Perbedaan tight gas sand, shale gas dan CBM berdasarkan TOC-nya (http://www.icis.com).............................................................................................. 4 Gambar 1. 4 Alur kerja penelitian ........................................................................... 5
Gambar 2. 1 Lokasi cekungan di pulau Sumatera (Bishop, 2001).......................... 7 Gambar 2. 2 Tektonik pada Cekungan Sumatra Selatan (Hutchinson, 1996)......... 8 Gambar 2. 3 Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah (modifikasi dari Argakoesoemah, 2005).................................. 10 Gambar 2. 4. Lingkungan pengendapan dari formasi Talang Akar bagian bawah (kiri) dan bagian atas (kanan) (Ginger dan Fielding, 2005). ................................. 11
Gambar 3. 1 Hubungan antara pantulan vitrinite (Ro) dengan Level of Maturity (LOM) ................................................................................................................... 15 Gambar 3. 2 Kiri adalah log gamma ray, kanan adalah tahanan jenis yang dioverlay dengan DT. Rbaseline dan DT baseline diambil ketika kedua log tersebut berhimpit.................................................................................................. 16 Gambar 3. 3 Log prediksi TOC yang telah divalidasi oleh data core (Passey, 1990)...................................................................................................................... 17 Gambar 3. 4 Konvolusi antara reflektivias dengan wavelet mengurangi resolusi (Hampson & Rusell, 2005).................................................................................... 23 Gambar 3. 5 Ilustrasi dari zona fresnel (Sherrif, 1977)......................................... 24 Gambar 3. 6 Model ideal penentuan polaritas (a) fasa minimum dan (b) fasa nol pada wavelet pada batas peningkatan impedansi akustik (Badley, 1985)............. 25 Gambar 3. 7 Skema deformasi batuan terhadap Gelombang Kompresi (P-Wave) dan Gelombang Shear (S-Wave), (Goodway, 2001) ............................................ 26 Gambar 3. 8 Skema diagram perambatan kecepatan gelombang seismik (Ensley, 1984)...................................................................................................................... 26 ix
Gambar 3. 9 Alur kerja prediksi kecepatan shear melalui modifikasi metode Lee (2005). ................................................................................................................... 28 Gambar 3. 10 Susunan matriks Voight dan Reuss (Mavko, 2004) ....................... 30 Gambar 3. 11 Ilustrasi proses dari inversi seismik (Sukmono, 2002)................... 31 Gambar 3. 12 Pembagian kategori metoda inversi seismik (Hampson & Russell, 2005)...................................................................................................................... 32 Gambar 3. 13 Prinsip dasar inversi seismik simultan ........................................... 32 Gambar 3. 14 Skematik anomali kecepatan yang dikarenakan overpressure (Chilingar, 2002) ................................................................................................... 35 Gambar 3. 15 Kecepatan P yang turun dapat disebabkan oleh kehadiran gas atau adanya daerah overpressure (Chilingar, et.al., 2002) ........................................... 37
Gambar 4. 1 Analisa geokimia sampel batuan di sumur APIH-83 ....................... 39 Gambar 4. 2 prediksi TOC dengan menggunakan metode Passey (1990). ........... 40 Gambar 4. 3 Cutoff parameter TOC dan Gammaray menghasilkan 1 zona target. ............................................................................................................................... 41 Gambar 4. 4 Uji metode Lee (2005) pada data yang terukur Vs-nya di lapangan menunjukkan prediksi Vs (merah) memiliki kecocokan dengan Vs asli (biru) .... 42 Gambar 4. 5 Beberapa crossplot antara data prediksi (merah) dengan data asli (biru). Terlihat adanya kecocokan yang tinggi baik dilihat dari krosplot Vp dengan Vs (kiri), Vp/Vs dengan PR (tengah) maupun korelasi yang hampir 1:1 pada data Vp dan Vs- nya (kanan). ........................................................................................ 42 Gambar 4. 6 Hasil prediksi Vs ditunjukkan oleh log kedua dari kiri. Bila dioverlay dengan litologic log terlihat bahwa untuk bagian bawah dari Talang akar yang bersifat lebih sandy membuat baik Vp maupun Vs meningkat (Vp/Vs ≈ 2), sedangkan bagian atasnya yang lebih shaly memiliki Vp dan Vs yang relatif lebih rendah (Vp/Vs ≈ 2.4)............................................................................................. 43 Gambar 4. 7 Krosplot antara Vp asli dan Vp prediksi (kiri) menunjukkan kecocokan Vp, sedangkan gambar kanan menunjukkan hubungan antara Vp dengan Vs yang terprediksi. .................................................................................. 43
x
Gambar 4. 8 Kalibrasi kecepatan pada data sonik (ungu), checkshot (hijau), resistivitas (merah), dan interval velocity (hitam)................................................. 45 Gambar 4. 9 Profil prediksi tekanan pori menunjukkan kenaikan tekanan saat memasuki formasi Talang Akar. Tenakan pori yang dirutunkan dari resistivitas (merah) dan ivel (hitam) menunjukkan bahwa pada formasi Talang Akar masih dalam kategori soft pressure regime. .................................................................... 45 Gambar 4. 10 Geometri seismik cube block “MU”. ............................................. 46 Gambar 4. 11 Time Structure Map dari top Formasi Talang akar (kiri) dan top SB23 (kanan).............................................................................................................. 47 Gambar 4. 12 Super gather seismik pada lintasan inline 2485. ............................ 47 Gambar 4. 13 CDP stack inline 2485 beserta interpretasi horizon dan strukturnya menggunakan software geoframe.......................................................................... 48 Gambar 4. 14 Well seismik tie. Dihasilkan koefisien korelasi sebesar 0.79......... 48 Gambar 4. 15 Wavelet dan spectrum frekuensi untuk tiap-tiap stack (atas). Korelasi antara sintetik dan seismik ditunjukkan oleh gambar yang di bawah. ... 49 Gambar 4. 16 Model awal (atas ke bawah) Zp, Zs, Vp, Vs dan densitas ............. 50 Gambar 4. 17 Penentuan konstanta k (1.53), kc (-6.09), m (0.12) dan mc (-0.28). ............................................................................................................................... 51 Gambar 4. 18 Parameter ln(Zp)=0.1462, Ln(Zs)=0,0617 dan Ln(densitas)=0.0274 ............................................................................................................................... 51 Gambar 4. 19 Jendela analisa inversi seismik simultan. ....................................... 52 Gambar 4. 20 Krosplot antara P-impedance hasil inversi dengan P-impedance asli maupun Vp/Vs....................................................................................................... 52 Gambar 4. 21 QC hasil inversi simultan dengan data asli menunjukkan pola yang koheren. ................................................................................................................. 53
Gambar 5. 1 Penampang tekanan pori untuk inline 2485 (atas) dan xline 10253 (bawah) .................................................................................................................. 54 Gambar 5. 2 Penampang equivalen mudweight pada inline 2485 dan xline 10253 ............................................................................................................................... 55 Gambar 5. 3 Hasil Inversi Simultan. (a) Zp, (b) Zs, (c) densitas dan (d) Vp/Vs .. 57 xi
Gambar 5. 4 Cutoff batupasir-batulempung menggunakan parameter Vp/Vs. nilai Vp/Vs di bawah 2.1 adalah sand sedangkan nilai Vp/Vs di atas 2.1 adalah shale. ............................................................................................................................... 57 Gambar 5. 5 Distribusi Batulempung pada penampang inline (atas) dan xline (bawah) .................................................................................................................. 58 Gambar 5. 6 Analisa krosplot menunjukkan trend dari batulempung organic (hijau), shalyssand (oranye) dan batupasir (kuning) ............................................. 59 Gambar 5. 7 Distribusi TOC pada penampang inline (atas) dan xline (bawah) ... 60 Gambar 5. 8 Peta sebaran batulempung atas, equivalent mudweight (bawah kiri) dan
distibusi
TOC
(bawah
kanan)
menunjukkan
lokasi
terbaik
untuk
dikembangkan shale gas play (garis merah putus-putus)...................................... 61
xii
DAFTAR TABEL Tabel 3. 1 Kuantitas batuan induk berdasarkan Peters (1986) .............................. 13 Tabel 3. 2 Pembagian tipe kerogen (modifikasi dari Waples 1985, Peters dan Cassa 1994) ........................................................................................................... 13 Tabel 3. 3 Tabel Kematangan batuan induk (Peters dan Cassa, 1994) ................. 14 Tabel 3. 4 Tabel klasifikasi tekanan pori (Dutta,1987)......................................... 37
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sudah menjadi fakta umum bahwa kebutuhan energi fosil khususnya
minyak dan gas bumi terus meningkat di seluruh belahan bumi ini. Sayangnya, minyak dan gas bumi tersebut termasuk ke dalam energi yang tidak terbaharukan. Untuk menghasilkan energi ini diperlukan waktu yang berjuta-juta tahun lamanya, terkubur dalam tanah (overburden) dan dengan tekanan (pressure) yang tinggi. Konsekuensinya, cadangan minyak dan gas bumi semakin berkurang dan sedikit bila kita memproduksinya secara massal dan gencar. Untuk mengantisipasi kelangkaan migas tersebut, pemerintah dan para pelaku bisnis meningkatkan kegiatan eksplorasi guna mendapatkan cadangan migas di lapangan yang baru. Namun, mencari cadangan migas yang baru itu sulitnya seperti mencari jarum di dalam jerami. Maka, diperlukannya teknologi tinggi, pengalaman dan metode baru untuk meningkatkan keberhasilan penemuan ladang migas baru dan ekonomis. Jika kegiatan eksplorasi migas secara konvensional seperti yang dikatakan di atas mulai gencar lambat laun cadangan migas tersebut akan menurun juga. Oleh karena itu, saat ini perusahaan-perusahaan migas dunia mulai melirik eksplorasi
migas
dengan
konsep
atau
play
baru
dan
dikenal dengan
unconventional resources. Play seperti ini terbilang baru sehingga jumlah cadangannya diperkirakan masih banyak dan besar. Cadangan migas yang termasuk unconventional resources ini membutuhkan teknologi yang canggih dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi baik dalam segi eksplorasi maupun produksinya. Beberapa contoh yang tergolong ke dalam kategori ini adalah Coal Bed Methane (CBM), heavy oil, basement fracture, tight gas, shale oil dan shale gas. Pada penelitian ini, penulis akan menjelaskan dan menunjukkan metode untuk mengidentifikasi potensi shale gas. Metode yang komperhensif antara 1
geokimia, rock physics dan inversi seismik simultan dapat menunjukkan dimana sweetspot atau lokasi terbaik gas di dalam batulempung terakumulasi. Intergrasi antara semua data tersebut adalah kunci keberhasilan dalam eksplorasi shale gas play.
1.2.
Apa itu Shale gas? Shale gas adalah batulempung yang kaya akan bahan organik dan
memiliki gas secara bebas atau terserap di dalam matriksnya serta memiliki permeabilitas yang sangat rendah. Permeabilitas yang sangat rendah ini membuat gas di dalam batulempung tidak mampu bermobilisasi secara bebas dan cepat. Namun dengan adanya natural atau artificial fracture gas di dalam batulempung ini dapat bermobilisasi. Sifat umum dari shale gas yakni: Gasnya melimpah (40 to 150 BC/mil2 ), Low recovery efficiency (8 sampai 15%), Masa pengembangan yang besar, membutuhkan fracture stimulation untuk memaksa gas bergerak, usia sumur yang lama, membutuhkan evaluasi teknis dan teknologi lebih lanjut/canggih. Dengan sifat-sifat seperti itu artinya kita membutuhkan modal dan teknologi yang besar namun akan memiliki reward yang besar pula. Secara umum gambaran shale gas play di dalam subsurface akan seperti ditunjukkan Gambar 1.1. di bawah ini:
Gambar 1. 1 Skematik geologi minyak dan gas play. Shale gas play ditunjukkan oleh black shale (gas-rich shale) (http://files.myopera.com).
2
Ada dua jenis shale gas yaitu biogenic shale gas dan self-sourcing shale gas, namun untuk penelitian kali ini, penulis membatasi hanya untuk kasus selfsourcing shale gas. Shale gas seperti ini memiliki karakter seperti kandungan organik batulempung berada pada kematangan
tinggi, aktif membentuk gas
dimana telah terakumulasi di dalam ruang pori dan fracture, produksi tergantung pada fracture natural dan fracture artificial melalui porositas intergranular. Skema penyimpanan gas dalam batulempung secara sederhana ditunjukkan oleh Gambar 1.2 di bawah ini.
Gambar 1. 2 Skema sederhana proses penyimpaan gas di dalam batulempung.
Parameter kunci dalam eksplorasi shale gas yakni: Kandungan Organic (TOC)>1.0% dengan HI>100, Refleksi Vitrinite>1.3% Ro (jendela gas kering), Ketebalan net batulempung > 75 ft, Tipe I dan II akan menghasilkan gas lebih banyak di bandingkan tipe III dalam sebuah batuan induk yang memiliki kandungan yang equivalent, Mineralogi/fabricnya lebih banyak kuarsa dan lebih sedikit
clay
sehingga
akan
menghasilkan
batulempung
yang
brittle
dan
berfracture banyak. Dengan berbagai parameter kunci di atas menjadikan shale gas sebagai salah satu unconventional resources di dunia saat ini bersanding dengan tight
batupasir dan CBM seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.3. Gambar
tersebut menunjukkan perbedaan ketiga unconventional resources dilihat dari kandungan TOC-nya.
3
Gambar 1. 3 Perbedaan tight gas sand, shale gas dan CBM berdasarkan TOC-nya (http://www.icis.com).
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: Melakukan identifikasi secara umum dimana potensi shale gas melalui:
1. Mengidentifikasi sweetspot dengan metode passey (1990). 2. Melakukan prediksi shear wave untuk input dalam inversi seismik simultan. 3. Memetakan sebaran batulempung. 4. Memetakan sebaran TOC di dalam batulempung. 5. Melakukan prediksi tekanan pori untuk menghindarkan interpretasi dari pitfall. 6. Memetakan daerah paling menarik untuk dikembangkannya eksplorasi shale gas.
1.4.
Batasan Masalah Dalam thesis ini penulis membatasi masalah tentang shale gas play yang
ada di daerah blok “MU”, cekungan Sumatera Selatan. Analisa yang digunakan adalah analisa geokimia batuan induk, rock physics, inversi seismik simultan dan tekanan pori. Akhir dari penelitian ini adalah melokalisasi shale gas play yang potensial.
4
1.5.
Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui berbagai tahap yakni:
1. Studi pustaka mengenai konsep terbentuknya dan cara mengeksplorasi shale gas, 2. Melakukan analisa yang komperhensif antara geokimia, rock physics, seismik inversi dan tekanan pori menggunakan software microsoft excel®, Matlab dan HRS, 3. Menarik kesimpulan dan merekomendasikan lokasi pengeboran.
1.6.
Alur Kerja Penelitian Data Well (GR, ILD, Sonic, RHOB, NPHI)
Data Geokimia (Ro, TOC)
Interval Sweetspot dan prediksi TOC
Rock Physics (Prediksi SWave)
Data Seismik (PSTM Pre-Stack)
Identifikasi Overpressure
Inversi seismik simultan
Distribusi TOC
Distribusi Batulempung
Zona Potential Shale gas
Gambar 1. 4 Alur kerja penelitian
5
Zona Overpressure
1.7.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan Bab I menjelaskan latar belakang, tujuan penelitian, batasan masalah, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II. Geologi Regional Bab II menjelaskan geologi regional daerah cekungan Sumatera Selatan dilihat dari kacamata tektonik dan stratigrafi. Bab III. Teori Dasar Bab III menjelaskan mengenai teori dasar dari geokimia, rock physics, inversi seismik dan tekanan pori yang nantinya dapat diaplikasikan untuk mengkarakterisasi shale gas yang potensial. Bab IV. Pengolahan Data Bab IV menjelaskan pengolahan data geokimia, log, seismik, velocity cube sehingga dihasilkan data yang siap untuk dianalisa lebih lanjut. Bab V. Hasil dan Analisa Bab V berisi hasil penting yang diperoleh kemudian menganalisis secara komperhensif untuk melihat karakter reservoirnya serta sebaran shale gas yang potensial Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Bab VI berisi kesimpulan dari ulasan yang dibahas sebelumnya kemudian ditutup dengan rekomendasi pengeboran. Bab VII. Daftar Pustaka Bab VII berisi referensi yang digunakan selama melakukan penelitian.
6
BAB II GEOLOGI REGIONAL
2.1.
Tinjauan Umum Geologi Regional Daerah Penelitian Daerah penelitian termasuk ke dalam cekungan Sumatra Selatan yang
merupakan salah satu cekungan penghasil minyak yang berada di Indonesia bagian barat. Cekungan ini dibatasi oleh tinggian berarah timur laut-barat daya yang dikenal sebagai Tinggian Tiga Puluh (Gambar 2.1.).
Gambar 2. 1 Lokasi cekungan di pulau Sumatera (Bishop, 2001)
Cekungan ini berbentuk asimetris. Di sebelah utara dan barat laut, cekungan Sumatra Selatan dibatasi oleh Pegunungan Dua Belas dan Tinggian Tiga Puluh. Di sebelah barat daya, cekungan ini di batasi oleh sesar-sesar dan singkapan-singkapan
batuan
umur
Pra Tersier yang terangkat disepanjang
7
kawasan kaki Pengunungan Bukit Barisan. Selain itu di sebelah timur laut dibatasi oleh formasi-formasi endapan dari Paparan Sunda. Di sebelah selatan dan timur, cekungan ini dibatasi oleh Pegunungan Garba dan Tinggian Lampung serta suatu tinggian yang sejajar dengan Pantai Timur Sumatra. Evolusi cekungan Sumatra Selatan ini diawali sejak Mesozoic, dimana cekungan ini merupakan salah satu dari seri cekungan back arc Tersier yang terletak sepanjang Sumatra-Jawa dan berkembang sepanjang pinggiran utama dari Sunda Land Craton, sebagai hasil subduksi dari Indian Ocean Plate ke bawah dari South East Asian. Secara struktural cekungan Sumatra Selatan ini dapat dibagi menjadi 4 sub cekungan, yaitu: • Sub Cekungan Jambi • Sub Cekungan Palembang Utara • Sub Cekungan Palembang Tengah • Sub Cekungan Palembang Selatan
Gambar 2. 2 Tektonik pada Cekungan Sumatra Selatan (Hutchinson, 1996)
8
2.2.
Evolusi Tektonik Terdapat 3 fase tektonik yang membentuk stuktur regional Cekungan
Sumatera Selatan, yaitu : 1. Paleosen – awal Miosen: Ekstensi pembentukan graben. 2. Awal Miosen – awal pliosen: fasa tenang dengan beberapa sesar normal. 3. Pliosen – sekarang: sesar geser menganan thin-skin dan inversi membentuk trend sub-paralel Antiklinal WNW-ESE yang luas.
2.3.
Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan
a. Awal synrift (Eosen-awal Oligosen) Terdiri dari sedimen kontinental formasi Lahat dan Lematang. Fasies pada formasi ini adalah alluvial, endapan danau dan sedimen air payau diwakili oleh tufaceous, konglomerat pasir dan batulempung. b. Akhir synrift (Oligosen akhir-Miosen awal) Terdiri dari pembentukan fasies sedimen delta transgresif Talang Akar dari fluvial ke basinal. Sedimen delta biasanya terdiri dari pasir halus, lanau
dan
serpih.
Batubara
dan serpih hitam berkembang dalam
membentuk batuan induk tipe II dan III. c. Awal post-rift (awal Miosen tengah) Periode laut transgresif diwakili oleh platform dan build-up karbonat Baturaja yang berkembang di atas daerah tinggian. Pembentukan Gumai atau Telisa diendapkan di atas graben synrift d. Post-rift (Miosen tengah-kuarter) Selama periode ini, lingkungan menjadi dangkal dan diwakili oleh dua tahap progradasi delta dari formasi Air Benakat dan Muara Enim (disebut juga formasi Palembang atas dan bawah).
9
Gambar 2. 3 Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah (modifikasi dari Argakoesoemah, 2005)
2.4.
Geologi Lapangan “AP” Formasi Batuan yang dijadikan fokus pada penelitian ini adalah Formasi Talang Akar. Formasi ini didominasi oleh batupasir pada bagian bawah dan batulempung pada bagian atasnya. Batulempung ini berfungsi sebagai batuan induk karena memiliki kandungan organik totalnya yang cukup. Secara kematangan, formasi Talang Akar di lokasi ini sudah masuk ke daerah dry gas window dengan Ro>1.4% pada Top Talang Akarnya padahal kedalamnya baru mencapat 4995 ftmd. Dengan informasi seperti itu kemungkinan dulunya lokasi ini pernah berada di daerah dalaman kemudian terjadi pengangkatan sehingga daerah yang masuk dry gas window tersebut menjadi relatif lebih dangkal.
10
Lokasi sumur APIH-83 terletak di puncak antiklin struktur di blok “MU”. Pada awalnya sumur ini ditujukan untuk eksplorasi hidrokarbon konvensional namun penulis mencoba untuk menganalisa lebih dalam mengenai potensi shale gas di lokasi tersebut. Penelitian kali ini akan memetakan sebaran karbon organik total dari Formasi Talang Akar tersebut dari sedimen berumur 20-23 Ma. Lingkungan pengendapan formasi Talang Akar bagian bawah dan atas adalah Open Marine sehingga potensi diendapkannya shale sangat tinggi. Secara regional lingkungan pengendapan Talang Akar ditunjukkan oleh Gambar 2.4 di bawah ini: Talang Akar atas
Talang Akar bawah
Lokasi penelitian
Lokasi penelitian
Gambar 2. 4. Lingkungan pengendapan dari formasi Talang Akar bagian bawah (kiri) dan bagian atas (kanan) (Ginger dan Fielding, 2005).
11
BAB III TEORI DASAR
3.1.
Geokimia Minyak Bumi Geokimia minyak
bumi adalah suatu ilmu yang menerapkan
prinsip kimia untuk mempelajari asal mula, migrasi, akumulasi, dan alterasi petroleum yang
dikaitkan dengan eksplorasi migas.
Dalam
kaitannya dengan penelitian ini, batasan ilmu geokimia yang diulas adalah seputar kekayaan batuan induk
(source rock),
tipe kerogen dan
kematangan batuan induk dimana ketiga hal tersebut menjadi parameter penting dalam menentukan kualitas dari batuan induk. Pada mulanya, teori kemunculan hidrokarbon ada dua kubu, pertama teori abiogenik dimana pencetusnya adalah Kudryavtzev dari Rusia pada tahun 1959, kedua adalah teori biogenik dimana teori ini berasal dari Amerika dan Eropa serta teori yang sampai saat ini diakui kebenarannya. Dalam penelitian kali ini, teori yang digunakan adalah teori biogenik dimana hidrokarbon berasal dari batuan induk yang secara fisik adalah batulempung atau serpih yang banyak mengandung endapan organiknya (organic matter).
3.1.1. Kekayaan Batuan Induk Salah satu parameter dalam menentukan kuantitas dari batuan induk adalah kekayaan batuan induk yang dinyatakan sebagai Total Organic Carbon (TOC). TOC menunjukkan ada berapa banyak kandungan bahan organik yang tersimpan dan terendapkan bersama dengan batuan serpih. Semakin banyak kandungan organiknya maka semakin banyak pula potensi dihasilkannya hidrokarbon.
12
Tabel 3. 1 Kuantitas batuan induk berdasarkan Peters (1986)
Kuantitas
% TOC
Poor
< 0.5
Fair
0.5 – 1
Good
1–2
Very Good
>2
3.1.2. Tipe Kerogen Tipe kerogen batuan induk terbagi menjadi 4 tipe; tipe I, II, III, dan IV. Kerogen tersebut terbentuk dari jenis-jenis maseralnya dimana ditunjukkan oleh tabel di bawah ini:
Tabel 3. 2 Pembagian tipe kerogen (modifikasi dari Waples 1985, Peters dan Cassa 1994) M aseral
Tipe
HI
S2/S3
H/C
Lingkungan Pengendapan
Kecenderungan
Alginite
I
>600
>15
>1.5
Alga air bersih
M inyak
Exinite
II
200-600
5-15
1-1.5
Spora
M inyak/gas
Cutinite
II
200-600
5-15
1-1.5
Kutikula tumbuhan darat
M inyak/gas
Resinite
II
200-600
5-15
1-1.5
Kutikula tumbuhan darat
M inyak/gas
Liptinite
II
200-600
5-15
1-1.5
Semua tumbuhan darat, alga
M inyak/gas
marin Vitrinite
III
50-200
1-5
0.7-1
Tumbuhan berkayu dan
Gas
berselulosa Inertinite
IV
<50
<1
<0.7
Arang, material rombakan dan oksidasi
13
-
3.1.3. Kematangan Dalam
menentukan
kematangan
batuan
induk,
ada
beberapa parameter yang dapat digunakan seperti pantulan vitrinit (Ro) maupun Temperatur maksimum (Tmax) melalui tahapan pirolisis. Selengkapnya ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel 3. 3 Tabel Kematangan batuan induk (Peters dan Cassa, 1994)
Maturity
Maturation Ro (%)
Tmax
Generation TAI
Bit/TOC
Bitumen
PI
(mg/g) Immature
0.20-0.60
<435
1.5-1.26
<0.05
<50
<0.10
0.05-
50-100
0.10-
Mature Early
0.60-0.65
435-445
2.6-2.7
0.10 Peak
0.65-0.90
445-450
2.7-2.9
0.15-
0.15 150-250
0.25 Late
0.90-1.35
Post-
>1.35
0.250.40
450-470
2.9-3.3
--
--
>0.40
>470
>3.3
--
--
--
mature
3.1.4. Prediksi Total Organic Content (TOC) Untuk mendapatkan data TOC, biasanya data diambil berdasarkan laboratorium terhadap sampel cutting, side wall core atau core dimana datanya adalah diskrit dan hanya di lokasi tertentu saja.
Kita dapat melakukan prediksi TOC
dengan
menggunakan data log resistivity, DT, dan trend dari LOM (level of maturity). Apabila kita tidak memiliki data LOM, maka trend kematangan dari Ro dapat dikonversi menjadi LOM dengan merujuk pada Gambar 3.1. di bawah ini:
14
Gambar 3. 1 Hubungan antara pantulan vitrinite (Ro) dengan Level of Maturity (LOM)
Passey, 1990, membuat sebuah persamaan yang dapat digunakan untuk memprediksi TOC sepanjang sumur yang di-log oleh resistivity dan DT. Langkah ini dilakukan untuk memprediksi nilai TOC dimana tidak dilakukan mengambilan sampel dan pengujian laboratorium. Namun, data diskrit sampel yang telah diuji di laboratorium tetap harus digunakan untuk mengkalibrasi prediksi ini. Persamaan yang diajukan oleh Passey adalah sebagai berikut: ( (
) (
)
( )
)
(3.1) (3.2)
Keterangan: R
: tahanan jenis dalam (ILD) (ohmm)
DT
: sonic travel-time (µs/ft)
Rbaseline
: nilai resistivitas ketika berhimpitan dengan DT
(ohmm) DTbaseline
: nilai resistivitas ketika berhimpitan dengan R
(µs/ft)
15
Rbaseline
dan
DTbaseline
diperoleh
dengan
cara
melakukan overlaying antara R dan DT dengan skala 1 periode log resistivitas setara dengan 50 nilai DT seperti dicontohkan oleh Gambar 3.2. di bawah ini:
Gambar 3. 2 Kiri adalah log gamma ray, kanan adalah tahanan jenis yang dioverlay dengan DT. Rbaseline dan DT baseline diambil ketika kedua log tersebut berhimpit.
Passey mengatakan bahwa, ketika terjadi crossover antara tahanan jenis dan DT (seperti ditunjukkan warna merah saat di kedalaman sekitar 3000 ft) maka zona tersebut adalah zona potensial untuk shale gas play. Setelah kita mendapatkan ΔlogR (persamaan 3.1) dengan memasukkan variabel Rbaseline dan DT baseline, serta data log tahanan jenis (R) dan DT, maka kita dapat memperoleh log prediksi TOC dengan menggunakan persamaan 3.2. Data log prediksi TOC sebaiknya di validasi dengan data hasil laboratorium terhadap sampel batuannya secara langsung. Dengan memainkan nilai Rbaseline dan DTbaseline, kita dapat mengurangi error antara log prediksi TOC dengan data TOC asli.
16
Dengan metode trial and error dan tampilan secara visual, kita dapat menentukan ketika nilaiberapa log resisitivitas dan DT berhimpit (Gambar 3.3).
Gambar 3. 3 Log prediksi TOC yang telah divalidasi oleh data core (Passey, 1990)
3.2.
Petrofisika
3.2.1. Prinsip dasar well log Well log adalah suatu alat untuk memperoleh data langsung pada lubang bor/sumur yang ditampilkan pada rekaman berupa log. Kurva
log
memberikan
informasi
geologi
bawah
permukaan
berdasarkan parameter tertentu di lubang bor dengan resolusi yang tinggi. Sampling interval data untuk setiap data well log data mencapai ½ - 1 feet.
17
a. Log Gamma-ray (GR) Prinsip log GR adalah perekaman radioaktivitas batuan di dinding sumur. Semakin tinggi nilai pembacaan GR maka semakin tinggi pula persentasi dari kandungan bahan radio aktif. Umumnya, batulempung memiliki tingkat radioaktif yang relatif lebih besar dibandingkan dengan batupasir. Tetapi ada juga litologi yang memiliki jenis radioaktif yang sama dengan lempung sehingga log GR memerlukan perbandingan dengan data log lainnya. Unsur radioaktif utama yang dibaca oleh log GR adalah unsur Uranium, Thorium, dan Kalium. Ketiga unsur ini dapat dibaca dengan jelas menggunakan spectral gamma-ray, namun, log GR biasa hanya dapat mengukur total radioaktivitas dari ketiga unsur tersebut. Dari karakter tersebut log GR hanya digunakan untuk membagi batuan (litologi) tetapi tidak berhubungan dengan kandungan fluida.
b. Log Tahanan Jenis (Resistivitas) Prinsip dari log Resistivitas adalah mengukur tahanan jenis total suatu batuan (matriks batuan dan fluida pengiri pori) di dalam dinding
sumur.
Resistivitas
dari
formasi
parameter utama yang diperlukan untuk
adalah
salah
satu
menentukan saturasi
hidrokarbon. Batuan kering dan hidrokarbon merupakan insulator yang baik (bacaan resisitivitasnya tinggi) kecuali beberapa jenis mineral seperti graphite dan sulfida besi. Log Resistivitas ini biasa digunakan untuk mendeterminasi dimana zona hidrokarbon (minyak dan gas) dan juga dimana zona brine dilihat besar kecilnya nilai resisitivitas. Dengan mengetahui nilai resistivitas brine, resistivitas total, porositas, dan konstanta parameter lainnya, kita dapat mengetahui besarnya saturasi air di dalam dinding sumur.
18
c. Log Bulk Densitas (RHOB) Prinsip Log RHOB adalah dengan memancarkan sinar gamma energi menengah ke dalam suatu formasi sehingga sinar gamma akan bertumbukan dengan elektron-elektron yang ada, kemuadian tumbukan tersebut akan menyebabkan hilangnya energi sinar gamma yang kemudian akan dipantulkan dan diterima oleh detektor yang akan diteruskan untuk direkam ke permukaan. Pengurangan energi yang terrekam merupakan fungsi dari jumlah elektron yang terdapat dalam formasi yaitu densitas elektron yang mewakili densitas keseluruhan.
d.
Log Neutron Porosity (NPHI) Prinsip Log NPHI adalah dengan memancarkan partikelpartikel neutron energi tinggi dari suatu sumber kedalalam formasi batuan, kemudian partikel-partikel neutron ini akan bertumbukan dengan atom-atom pada batuan sehingga mengakibatkan hilangnya energi. Atom H secara fisis memiliki massa atom yang serupa dengan neutron. Dengan demikian tumbukan neutron dengan atom H
akan
penyerapan
bersifat
efektif,
merupakan
artinya
jumlah
energi yang hilang akibat
tertinggi
dibanding
tumbukan
dengan atom lain. Partikel yang telah kehilangan energi tersebut kemudian akan dipantulkan kembali, diterima oleh detektor dan direkam ke dalam log. Jumlah atom Hidrogen yang terkandung dalam batuan diasumsikan berbanding lurus dengan banyaknya pori batuan. Biasanya pori-pori batuan ini terisi fluida (baik gas, air, atau minyak). Ketiga jenis fluida tersebut secara relatif memiliki jumlah atom hidrogen tertentu, dari sini dapat ditentukan jenis fluida pengisi pori batuan/ formasi yang diukur.
19
e. Log Sonic Interval Transite Time (DT) Prinsip log sonik adalah memancarkan gelombang suara pada dinding sumur kemudian mengukur waktu kedatangan (transit time) dari gelombang surara tersebut di suatu receiver pada jarak tertentu. Besarnya selisih waktu tersebut tergantung pada jenis batuan dan besarnya porositas batuan tersebut sebagai fungsi dari parameter elastik seperti K (bulk modulus), λ (young modulus), μ (shear Modulus),
dan densitas (ρ) yang terkandung dalam
persamaan kecepatan Gelombang Kompresi (Vp) dan Gelombang Shear (Vs). Log sonik sering digunakan untuk mengetahui porositas litologi selain itu juga digunakan untuk membantu interpretasi data seismik, terutama untuk mengkalibrasi kedalaman formasi dan menghubungkannya dengan penampang seismik. Pada batuan yang mempunyai kerapatan lebih kecil maka kurva log sonik akan mempunyai
harga
lebih
besar.
Apabila
batuan
mempunyai
kerapatan yang besar, maka kurva log sonik akan berharga kecil seperti pada batu gamping. Besaran dari pengukuran log sonik di tuliskan sebagai harga kelambatan/slowness (1 dibagi kecepatan).
3.2.2. Volume shale Volume
shale
(Vsh)
Merupakan
jumlah
kandungan
mineral
lempung di dalam suatu matriks batuan dimana semakin banyak kandungan mineral lempung maka tingkat konektivitas pori akan semakin kecil karena “tersumbat” oleh lempung. Konsekuensinya, permeabilitas batuan menjadi semakin kecil. Vsh ini sebaiknya di hitung karena akan digunakan untuk membuat model litologi dan dihubungkan dengan model fisika batuannya yang pada akhirnya akan digunakan sebagai jembatan ke metoda seismik. Perhitungan Vsh mengikuti rumus di bawah ini:
20
(3.3)
3.3.
Geofisika
3.3.1. Prinsip dasar seismik Metoda seismik memanfaatkan perambatan gelombang elastis ke dalam bumi yang mentransfer energi gelombang menjadi pergerakan partikel batuan. Gelombang seismik membawa informasi mengenai litologi dan fluida bawah permukaan dalam bentuk waktu rambat (travel time), amplitudo refleksi, dan variasi fasa. Didukung oleh perkembangan teknologi komputerisasi, pengolahan data seismik, juga teknik interpretasi, data seismik secara umum sekarang dapat dianalisis untuk delinisasi sifat fisika (akustik) batuan dan determinasi litologi, porositas, fluida pori, dan sebagainya. Salah satu sifat akustik yang khas pada batuan adalah Impedansi Akustik (IA) yang merupakan hasil perkalian densitas () dan kecepatan (V) . ( )
( )
( )
(3.4)
Orde nilai kecepatan lebih besar dibandingkan dengan orde nilai densitas, maka harga AI lebih dikontrol oleh kecepatan gelombang seismik pada batuan. Pada saat gelombang seismik melalui dua media yang impedansi akustiknya berbeda maka sebagian energinya akan dipantulkan. Besarnya koefisien pantulan tersebut, dinyatakan dalam koefisien refleksi, menunjukkan perbedaan keras dan lunaknya batuan yang ada di bawahnya dibandingkan dengan batuan di atasnya.
(3.5)
21
keterangan : ri = Koefisien Refleksi ke-i Zi = Impedansi Akustik Lapisan ke-I (ft/s*g/cc) Zi+1 = Impedansi Akustik Lapisan ke-(i + 1) (ft/s*g/cc)
3.3.2. Trace Seismik Model dasar yang digunakan dalam model satu dimensi untuk trace seismik menyatakan bahwa tiap trace merupakan hasil konvolusi sederhana dari refelektivitas bumi dengan fungsi sumber seismik (wavelet) ditambah dengan noise (Russell, 1996). Dalam bentuk persamaan dapat dituslikan sebagai berikut: ()
()
()
()
(3.6)
keterangan: S(t) = trace seismik W(t) = wavelet seismik r(t)
= reflektivitas bumi
n(t) = noise Konvolusi dapat dinyatakan sebagai “penggantian” setiap koefisien refleksi
dalam
skala
wavelet
kemudian
menjumlahkan
hasilnya
(Russell, 1996). Sudah diketahui bahwa refleksi utama berasosiasi dengan perubahan harga impedansi tiap lapisan batuan. Selain itu, wavelet seismik umumnya lebih panjang (low frequency) daripada spasi antara kontras impedansi yang menghasilkan koefisien refleksi (high frequency). Hasil dari konvolusi ini diilustrasikan dalam Gambar 3.4
22
Gambar 3. 4 Konvolusi antara reflektivias dengan wavelet mengurangi resolusi (Hampson & Rusell, 2005).
3.3.3. Resolusi Horizontal Refleksi seismik terjadi pada daerah dimana terjadi interaksi antara muka gelombang dengan bidang reflektor. Daerah yang dapat menghasilkan refleksi tersebut disebut sebagai zona fresnel (Gambar 3.5) yang dinyatakan dengan persamaan:
√
(3.7)
keterangan: RF = radius zona Fresnel (m) V = kecepatan rata-rata (m/s) t = waktu rambat TWT (s) f = frekuensi dominan (Hz)
23
Gambar 3. 5 Ilustrasi dari zona fresnel (Sherrif, 1977)
3.3.4. Resolusi Vertikal Resolusi dalam gelombang seismik didefinisikan sebagai kemampuan gelombang seismik untuk memisahkan dua objek yang berbeda secara vertikal. Ketebalan minimum suatu objek dinyatakan sebagai tunning thickness yang besarnya dinyatakan oleh persamaan berikut: (3.8) Keterangan: RV : resolusi vertikal (ft) V : kecepatan interval batuan (ft/s) f : frekuensi (hz)
3.3.5. Fasa dan Polaritas SEG menetapkan suatu standar dalam merepresentasikan akustik impedanse batuan terkait dengan fasa dan polaritas dari wavelet sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3.6. di bawah ini:
24
Normal polarity
Reverse polarity
Gambar 3. 6 Model ideal penentuan polaritas (a) fasa minimum dan (b) fasa nol pada wavelet pada batas peningkatan impedansi akustik (Badley, 1985)
3.3.6. Modulus Elastik Batuan Kecepatan Kompresi (Vp) dan Kecepatan Shear (Vs) Kecepatan kompresi dinyatakan sebagai kecepatan yang arah
pergerakan
partikelnya
searah
dengan
arah
rambat
gelombangnya sedangkan kecepatan Shear dinyatakan sebagai kecepatan yang arah pergerakan partikelnya tegak lurus dengan arah rambat gelombangnya (Gambar 3.7 dan 3.8). kedua jenis kecepatan di atas dinyatakan dengan persamaan:
√
√
(3.9)
√
(3.10)
√
(3.11)
(
(3.12)
)
25
Keterangan; VP : kecepatan kompresional (ft/s) VS : kecepatan shear (ft/s) VE : kecepatan young (ft/s) K : bulk modulus / incompressibility (Gpa) λ : koefisien lame (Gpa) σ : poisson ratio E : young modulus (Gpa) ρ : densitas (g/cc)
Gambar 3. 7 Skema deformasi batuan terhadap Gelombang Kompresi (P-Wave) dan Gelombang Shear (S-Wave), (Goodway, 2001)
Gambar 3. 8 Skema diagram perambatan kecepatan gelombang seismik (Ensley, 1984).
26
3.3.7. Prediksi kecepatan shear Dalam penelitian ini, penulis menggunakan persamaan Lee (2005) untuk memprediksi kecepatan shear. Penulis memodifikasi persamaan Lee dengan melakukan estimasi parameter konsolidasi (α). Penulis juga
menggunakan
menghitung
modulus
persamaan frame.
dari
Sedangkan
Hashin-Strikman
untuk
persamaan Voight-Reuss
digunakan untuk mencampur modulus fluidanya. Selain itu juga, penulis menggunakan persamaan dari Gassman (1951) untuk menghitung saturated modulus yang nantinya dapat dihitung kecepatan P. apabila kecepatan P perhitungan sudah cocok dengan kecepatan P asli dari sumur artinya estimasi parameter kita sudah tepat. Selebihnya, penulis mengambil nilai saturated µ saja untuk menghitung kecepatan shearnya. Akhirnya kecepatan shear telah didapatkan. Optimalisasi parameter ini menggunakan software Matlab (LAMPIRAN 1) dengan alur kerja sebagai berikut (Gambar 3.9):
27
Input: Vp, ρ, Vsh, Sw, Ф
𝛼
Inisial nilai α=0.01
𝛼 𝛼
𝛾
Update 𝛼
HashinStrikmann
Vsh, 𝜇 𝑐𝑙, 𝜇 𝑞𝑟𝑡𝑧, 𝐾𝑐𝑙, 𝐾𝑞𝑟𝑡𝑧, 𝜇 𝑏𝑟, 𝜇𝑔 , 𝐾𝑏𝑟 , 𝐾𝑔
𝜇 𝑑𝑟𝑦
𝜇 𝑚( − 𝜃) ( 𝛾𝛼𝜃)
𝐾𝑑𝑟𝑦
𝐾𝑚 ( − 𝜃) ( 𝛼𝜃)
Gassman equation
𝑉𝑝(𝛼)
√𝐾𝑑𝑟𝑦
𝜌
4 3 𝜇 𝑑𝑟𝑦
𝑉𝑝 (𝛼) − 𝑉𝑝 𝑎𝑠𝑙𝑖 ≈ 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚
𝑉𝑠
𝜇 𝑑𝑟𝑦 √ 𝜌
ya
tidak
Gambar 3. 9 Alur kerja prediksi kecepatan shear melalui modifikasi metode Lee (2005).
28
a. Model Hashin-Strikman Model Hashin Strikman digunakan untuk mengestimasi parameter elastik batuaan (K dan µ) suatu batuan yang memiliki dua kompoen mineral. Suatu batuan akan berada di suatu titik dimana dibatasi oleh batas atas dan batas bawah (upper bound dan lower bound) yang secara matematis ditumuskan sebagai berikut: (3.13) (
(
) (
)
)
(
)
(
)
(3.14)
Keterangan: K1,2 : Bulk Modulus untuk kuarsa(1) dan clay (2) (Gpa) µ1,2 : Shear Modulus untuk kuarsa(1) dan clay (2) (Gpa) f1,2 : fraksi untuk kuarsa(1) dan clay (2) (Gpa) b. Model Voight-Reuss Perataan Voigt memodelkan susunan matriks batuan secara seri atau strain homogen (homogeneous strain). Karena hasilnya yang
relatif selalu
lebih
tinggi dibandingkan dengan model
perataan lainnya, maka sering dijadikan sebagai upper bound dari modulus elastik batuan. Persamaan Voight dinyatakan sebagai berikut: ̂
∑
(3.15)
Keterangan: E = Modulus elastik total fi = fraksi mineral ke-i Ei = Modulus mineral ke-i Perataan Reuss memodelkan susunan matriks batuannya adalah
paralel atau
Karena
hasilnya
stress yang 29
homogen (homogeneous relatif
selalu lebih
stress).
rendah
bila
dibandingkan dengan
model
perataan
lainnya, maka
sering
dijadikan lower bound modulus elastik batuan. Model reuss dapat dihitung berdasarkan persamaan di bawah, sedangkan Gambar 3.10 menunjukkan susunan matriks Voight dan Reuss. ̂
∑
(3.16)
Gambar 3. 10 Susunan matriks Voight dan Reuss (Mavko, 2004)
c. Model Hill Hill menyederhanakan
modulus
elastik
batuan
dengan
persamaan sebagai berikut: (
)
(
)
(3.17) (3.18)
d. Persamaan Gassmann Gassmann
(1951)
menurunkan
persamaan
yang
menunjukkan hubungan antara modulus dry rock dengan saturated rock sebagai mana ditunjukkan persamaan di bawah ini:
(3.19)
30
Keterangan: Ф : porositas (fraksi) K : bulk modulus (Gpa) Untuk µsaturated akan sama dengan µdry. 3.3.8. Inversi Seismik Inversi seismik didefiniskan sebagai teknik pemodelan geologi bawah permukaan menggunakan data seismik sebagai input dan data sumur sebagai kontrolnya (Sukmono, 2002) . Inversi seismik juga disebutkan sebagai proses ekstraksi sifat fisika geologi bawah permukaan dari data seismik (Hampson & Russell, 2005). Ilustrasi dari inversi seismik ditunjukkan pada Gambar 3.11 di bawah ini.
Gambar 3. 11 Ilustrasi proses dari inversi seismik (Sukmono, 2002)
Metoda inversi seismik dapat dibagi menjadi beberapa kategori seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.12 dibawah ini.
31
Gambar 3. 12 Pembagian kategori metoda inversi seismik (Hampson & Russell, 2005)
3.3.9. Inversi Simultan Inversi simultan adalah metode inversi menggunakan data partial stack gelombang P dan kemudian diinversikan dengan wavelet hasil estimasi dari masing masing stack untuk memperoleh informasi Vp, Vs, Zp, Zs, dan p. Data seismik gather
Data Near
Data Far
Inversi seismik simultan
Data well Vp, Vs, Densitas
Zp
Data Mid
Zs
Vp
Vs
Vp/Vs
Gambar 3. 13 Prinsip dasar inversi seismik simultan
32
Densitas
Metode ini menggunakan CDP gathers sebagai fungsi sudut, dengan menggunakan formula Fatti et al (1994), yang merupakan modifikasi dari formula Aki-richard (1980): ( )
3
(3.20)
Keterangan:
c1 = 1 +tan2 ( ) c2 = -8 2 tan2 c3 = -0.5tan2 + 2 2 sin2 ⁄ Untuk mendapatkan nilai impedansi dari reflektivity, diasumsikan suatu variable baru, Lp=ln(Zp), Lp merupakan logaritmik natural dari impedansi P, Rp dapat dibuat: (
−
)
(3.21)
Dalam bentuk matrix, formula diatas dapat menjadi: [
]
[
−
][
−
]
(3.22)
Trace seismik merupakan matriks ditambahkan faktor wavelet T=W*Rp
(3.23)
Bentuk lainnya adalah: [
( ) ( )
− ]
[
3
( )
][ 3
−
][
−
( ) ( )
]
(3.24)
( )
Bentuk dari matriks di atas berlaku juga untuk Ls dan Ld Maka, bentuk formula Aki Richard/ Fatti menjadi: ( )
( )
( )
33
( )
(3.25)
Dapat dilihat diatas, wavelet dari berbagai sudut dapat digunakan untuk inversi simultan. Dalam aplikasi inverse simultan, terdapat hubungan antara Zs, Zd dengan Zp. Hubungan ini merupakan hubungan wet, simpangan dari hubungan ini diakibatkan hidrokarbon dan simpangan inilah yang akan di generate. Hubungan ini didasarkan dari persamaan Gardner dan Poisson ratio. Hubungan ini diasumsikan: (
)
(
)
(3.26) ( )
(
)
(3.27)
Hal ini mengubah persamaan Fatti’s menjadi: ( )
( )
( )
( )
(3.28)
Keterangan: C’1 : (1/2)c1 +(1/2)kc2 +mc3 C’2 : (1/2)c2 Proses inversi simultan menggunakan algoritma seperti berikut: 1. Data input berupa : a. Data seismik angle gather b. Wavelet untuk setiap sudut c. Model initial untuk Zp, Zs dan 2. Kalkulasi nilai k dan m dari analisa crossplot 3. Kalkulasi tebakan pertama: [lp
Ls Ld]T = [ln (Zp) 0 0]T
4. Mencari solusi dengan error minimum menggunakan system iterasi 5. Kalkulasi nilai akhir untuk Zp, Zs dan a. Zp = exp (Lp) b. Zs = exp (kLp + kc + Ls) c.
= exp (mLp + mc + LD)
34
dimana :
3.4.
Prediksi Tekanan Pori Tekanan pori adalah suatu usaha fluida dalam batuan untuk menekan
keluar
melalui
pori-porinya.
Suatu
batuan
dikatakan
overpressure bila tekanan dari fluida sangat tinggi sekali sehingga pengukuran soniknya terkesan drop. Chilingar, 2002 mengilustrasikan tekanan pori pada Gambar 3.14 sebagai berikut:
Gambar 3. 14 Skematik anomali kecepatan yang dikarenakan overpressure (Chilingar, 2002)
Dalam melakukan prediksi tekanan pori, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi nilai kecepatan antara kecepatan dari sonik, checkshot, resistivitas dan interval velocity. Untuk sonik, checkshot dan interval velocity dapat langsung dilakukan kalibrasi dengan faktor pengali tertentu.
Sedangkan
untuk
35
resisitivitas
harus
ditransform dahulu
menggunakan
persamaan
Faust
(1953)
sehingga
keempat
data
kecepatan tersebut cukup match. (
)
(3.29)
Keterangan: Vp: kecepatan P Rd: resistivity a, c: konstanta (penelitian ini menggunakan a = 1320 dan c = 1/6) Dalam memprediksi tekanan pori suatu batuan,
Eaton (1975)
merumuskan sebagai berikut: −(
−
)* +
(3.30)
−(
−
)*
(3.31)
+
Keterangan: PP : tekanan pori PS : tekanan overburden Pn : tekanan normal Ro : nilai resisitivity di titik pengukuran Rn : nilai resisitivity normal di titik pengukuran ΔTo : nilai delta-time di titik pengukuran ΔTn : nilai delta-time normal di titik pengukuran Namun, persamaan di atas dapat dimodifikasi menjadi: −(
−
)*
+
(3.32)
Dengan n sebagai variable coba-coba yang mana nilai tekanan pori yang akan dihitung nantinya harus dikalibrasi dengan data pressure test di dalam sumur. Data pressure dapat ditransformasi menjadi equivalent mudweight dengan rumus: (3.33)
36
Pembagian zona pressure diklasifikasikan oleh Dutta (1987) sebagai berikut: Tabel 3. 4 Tabel klasifikasi tekanan pori (Dutta,1987)
Gradient (psi/ft)
Equivalent mudweight
Karateristik geopressure
0.465-0.65
8.95 – 12.51
Soft atau mild
0.65-0.85
12.51 – 16.36
Mild
>0.85
> 16.36
hard
Kecepatan yang tiba2 turun/drop dikatakan di awal karena adanya overpressure namun, turunnya kecepatan itu dapat berarti adanya gas juga seperti yang diilustrasikan Gambar 3.15 sebagai berikut:
Gambar 3. 15 Kecepatan P yang turun dapat disebabkan oleh kehadiran gas atau adanya daerah overpressure (Chilingar, et.al., 2002)
Untuk data kecepatan P, baik daerah overpressure maupun saturasi gas, akan turun seperti ilustrasi di atas. Ternyata kecepatan shear di daerah
tersaturasi akan
normal saja,
sedangkan untuk
daerah
overpressure kecepatan shear akan tetap berkurang. Ini menjadi salah satu alternatif dalam mendeterminasi daerah overpressure.
37
BAB IV PENGOLAHAN DATA
4.1. Prediksi Total Organic Content (TOC) Dalam melakukan analisa geokimia untuk Shale Gas Play ini idealnya diperlukan data-data yang berasal dari sampel SWC atau CORE dengan aspekaspek analisa seperti berikut: a. Kuantitas batuan induk melalui TOC b. Kematangan batuan induk, dapat melalui Ro, Tmax atau TAI c. Rock eval seperti HI, OI, S1, S2, S3 d. Spectral Gammaray untuk melihat dominan radio aktif content-nya e. SEM, XRD dan sayatan tipis untuk mendefinisikan mineral- mineralnya. f.
Data Sw dan Sg dari laboratorium (archie tidak berlaku untuk shale gas)
g. Gas chromatograph untuk melihat kandungan gasnya. Namun, data-data yang tersedia pada penelitian ini berasal dari cutting yang mana kedalamannya kurang begitu akurat. Adapun data-data yang dianalisa dari cutting tersebut adalah Total Organic Carbon (TOC), Vitrinite Reflectance (Ro) dan Hydrogen Index (HI). Gambar 4.1. di bawah ini menunjukkan sifat geokimia sampel-sampel di daerah penelitian sumur APIH83. Karena keterbatasan data seperti disebutkan di atas maka analisa yang dapat dilakukan nantinya pun terbatas hanya untuk menyebarkan TOC nya saja di sepanjang seismik cube. Karena diperlukannya data pendukung lain maka harus dilakukan pengeboran yang baru dimana sumur baru tersebut sebaiknya di tempatkan di sweetspot yang penulis analisa pada penelitian ini.
38
Gambar 4. 1 Analisa geokimia sampel batuan di sumur APIH-83
Gambar di atas memiliki informasi bahwa sampel batuan di sumur APIH83 memiliki HI: 10-140 yang mana berkategori kerogen tipe IV dan III dimana semakin ke atas semakin tinggi HI-nya. Dengan HI antara 50-200 menunjukkan bahwa kerogen di lokasi ini bertipe gas prone dengan vitrinite sebagai maceralnya. Apabila sampel yang dianalisa merupakan kerogen tipe III maka kematangan batuan induk menggunakan vitrinite reflectance (Ro) dapat dikatakan valid. Untuk sampel Ro pada sumur APIH-83, nilainya mencapai 1.42 %Ro saat di top Formasi Talang Akar di 4995 ft dan 1.82%Ro di bottom hole well. Hal ini menunjukkan formasi target (TAF) sudah memasuki dry gas window. Kondisi seperti
ini adalah ideal untuk eksplorasi shale gas dimana
batulempung yang menjadi target sudah dalam kondisi matang. Secara kualitatif, sampel-sampel yang dianalisa TOC-nya tergolong poor dan fair. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.1. dimana secara umum, semakin dalam TOC-nya semakin jelek namun, semakin dangkal TOC-nya semakin 39
tinggi, artinya kita memiliki harapan untuk batuan di formasi talang akar bagian atas memiliki TOC yang relatif lebih tinggi. Karena data TOC tersebut bersifat diskrit dan hanya terlokalilasi di bagian bawah dari Talang Akar, maka dilakukan prediksi TOC sepanjang formasi Talang Akar dengan menggunakan metode Passey (1990) seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.2. di bawah ini.
Gambar 4. 2 prediksi TOC dengan menggunakan metode Passey (1990).
Dengan melihat pseudo log TOC secara umum, dapat dikatakan bahwa bahwa bagian bawah dari Talang akar memiliki kandungan TOC yang rendah dan hal ini terkonfirmasi dengan baik oleh data TOC dari cutting. Dengan metode Passey yang disebutkan sebelumnya kita dapat memprediksi bagian yang tidak tersampel cutting yaitu di bagian atas dari Talang Akar. Hasilnya menunjukkan
bahwa
bagian
atas
dari
Talang
akar
lebih
prospektif
dibandingkan bagian bawahnya secara kualitas TOC. Terlihat pula bahwa tingginya TOC berkaitan dengan rendahnya kecepatan Vp.
40
Penulis melakukan meng-cutoff zona-zona yang interest (sweetspot) dengan kriteria TOC-nya diatas 1 % pada zona batulempung (GR > 86) dengan ketebalan net diatas 75 ft. Hasil cutoff itu ditunjukkan oleh Gambar 4.3 dimana terdapat 1 zona target dengan
ketebalan 100ft di bagian atas
Formasi Talang Akar. Untuk selanjutnya, zona target ini akan dievaluasi dan dipetakan di seluruh seismik 3D. Dikarena resolusi vertikal di zona ini sebesar 109 ft artinya seismik mampu mendefinisikan zona ini dengan baik.
Gambar 4. 3 Cutoff parameter TOC dan Gammaray menghasilkan 1 zona target.
4.2. Prediksi Kecepatan Shear Berdasarkan uraian sebelumnya, ditemukanlah 1 zona yang prospek dan menarik secara kuantitas TOC nya dimana zona tersebut berada di bagian atas dari formasi Talang Akar. Untuk melihat hubungan TOC dengan beberapa parameter elastic dibutuhkan data-data seperti Vp, Vs, dan Densitas. Untuk Vp dan densitas sudah tersedia di dalam LAS file dan terukur di lapangan secara langsung sedangkan Vs-nya tidak tersedia. Oleh karena itu, penulis
41
melakukan prediksi Vs dengan menggunakan metode Lee (2005) yang telah dimodifikasi khususnya di bagian optimalisasi parameter alfa (α). Flow chart prediksi Vs ditunjukkan oleh Gambar 3.13 pada bab sebelumnya. Sebelum metode Lee ini diaplikasikan pada sumur APIH-83, penulis melakukan validasi metode terlebih dahulu pada sumur lain yang sudah diukur Vs-nya langsung di lapangan. Pemilihan sumur referensi ini berdasarkan kemiripan litologinya dengan sumur APIH-83
yaitu shaly-sand dimana
metode Lee ini cocok untuk jenis litologi seperti itu. Hasil dari analisa metode Lee tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4. 4 Uji metode Lee (2005) pada data yang terukur Vs-nya di lapangan menunjukkan prediksi Vs (merah) memiliki kecocokan dengan Vs asli (biru)
Gambar 4. 5 Beberapa crossplot antara data prediksi (merah) dengan data asli (biru). Terlihat adanya kecocokan yang tinggi baik dilihat dari krosplot Vp dengan Vs (kiri), Vp/Vs dengan PR (tengah) maupun korelasi yang hampir 1:1 pada data Vp dan Vs -nya (kanan).
42
Berdasarkan krosplot dan kecocokan Vs hasil prediksi dengan Vs asli lapangan maka dapat dikatakan metode Lee ini cocok dan siap diaplikasikan untuk sumur APIH-83. Hasil dari dari prediksi Vs pada sumur APIH-83 ditunjukkan oleh Gambar 4.6 dan 4.7. Setelah Vs yang diperoleh melalui prediksi Lee didapat, selanjutnya akan dimasukkan ke dalam Hampson Russel untuk dianalisa lebih lanjut sebagai input untuk inversi simultan.
Gambar 4. 6 Hasil prediksi Vs ditunjukkan oleh log kedua dari kiri. Bila dioverlay dengan litologic log terlihat bahwa untuk bagian bawah dari Talang akar yang bersifat lebih sandy membuat baik Vp maupun Vs meningkat (Vp/Vs ≈ 2), sedangkan bagian atasnya yang lebih shaly memiliki Vp dan Vs yang relatif lebih rendah (Vp/Vs ≈ 2.4).
Gambar 4. 7 Krosplot antara Vp asli dan Vp prediksi (kiri) menunjukkan kecocokan Vp, sedangkan gambar kanan menunjukkan hubungan antara Vp dengan Vs yang terprediksi.
43
4.3. Prediksi Tekanan Pori Tekanan
pori harus
diprediksi karena
akan
menjadi
pitfall saat
mengevaluasi TOC. Seperti ditunjukkan sebelumnya saat prediksi TOC, tingginya TOC berhubungan dengan penurunan kecepatan, namun penurunan kecepatan juga dapat terjadi akibat terjadi overpressure. Secara genetik, overpressure terjadi pada batuan yang memiliki kandungan fluida yang tinggi yang tidak sempat lepas saat diendapkan. Keadaan seperti ini terjadi pada lingkungan yang influx sedimentasinya tinggi dan kemampuan butiran batuan menyimpan fluida juga tinggi. Ironisnya batuan yang memiliki sifat seperti itu adalah batulempung. Oleh karena itu penulis mencoba untuk melakukan prediksi tekanan pori melalui data dari well dan interval velocity dan mendistribusikan tekanan porinya ke seluruh area. Pertama-tama, dilakukan kalibrasi dulu antara sonik, checkshot, sonik dari resistivity (Faust, 1953) dan di dapatkan kurva seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.8. Setelah itu dilakukan prediksi tekanan pori menggunakan formula Eaton (1975). Sebaiknya data hasil prediksi tekanan pori ini dikalibrasi dahulu dengan pressure test seperti LOT, sayangnya untuk data LOT di sumur ini kurang dapat digunakan dengan baik karena laporan posisi kedalaman tes tidak tercatat akurat. Untuk profil tekanan ditunjukkan oleh Gambar 4.9. Tahap terakhir yaitu menyebarkan nilai dari tekanan pori menggunakan data kecepatan interval. Setelah itu mengkonversi nilai tekanan pori menjadi ekuivalen mudweight-nya dimana mudweight diatas 12.6 ppg sudah mulai masuk ke regim tekanan pori sedang sedangkan regim tekanan pori tinggi berada diatas 16 ppg.
44
2000 0
4000
kecepatan (ft/s) 6000 8000
10000
12000
1000
kedalaman (ft)
2000
Normal trend
3000 4000 5000
6000 7000 8000 Checkshot
Sonic
ILD
ivel seismic 1
Gambar 4. 8 Kalibrasi kecepatan pada data sonik (ungu), checkshot (hijau), resistivitas (merah), dan interval velocity (hitam).
Gambar 4. 9 Profil prediksi tekanan pori menunjukkan kenaikan tekanan saat memasuki formasi Talang Akar. Tenakan pori yang dirutunkan dari resistivitas (merah) dan ivel (hitam) menunjukkan bahwa pada formasi Talang Akar masih dalam kategori soft pressure regime.
45
4.4. Seismik Inversi Simultan 4.4.1. Pengkondisian data Dalam mendistribusikan batulempung dan TOC dilakukan seismik inversi simultan. Alasan dilakukannya inversi ini yaitu untuk mendapatkan banyak parameter elastik
yang nantinya akan dicari hubungannya dengan sifat
batulempung dan TOC. Jika hanya melakukan inversi post-stack dengan metode bandlimited atau model-based atau spare-spike, kita hanya akan mendapat nilai AI, Vp dan densitas saja. Namun dengan inversi pre-stack simultan ini, akan didapat nilai AI, SI, densitas, Vp, Vs, Vp/Vs dan lain-lain dari turunan parameter-parameter tersebut. Sehingga memungkinkan kita mendapatkan variasi parameter untuk melihat hubungannya dengan sifat batulempung dan TOC. Luasan daerah penelitian dalam thesis ini adalah 390 KM2 dengan 937 inline dan 465 xline serta spasi antar inline maupun
xline adalah 30 m.
Adapun geometri dari seismik cubenya ditunjukkan oleh Gambar 4.10. Lokasi sumur APIH-83 terletak di tengah-tengah cube 3D.
Gambar 4. 10 Geometri seismik cube block “MU”.
Secara struktur, posisi dari sumur APIH-83 berada pada puncak antiklin seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.11. Gambar sebelah
kiri menunjukkan
time structure map dari top formasi Talang Akar sedangkan gambar sebelah 46
kanan menunjukkan time structure map dari top SB-23 (sebagai batas bawah inversi nantinya). Awalnya sumur APIH-83 ini diajukan sebagai sumur eksplorasi gas konvensional namun, penulis mencoba untuk menggali potensi selain gas konvensional melalui eksplorasi shale gas.
Gambar 4. 11 Time Structure Map dari top Formasi Talang akar (kiri) dan top SB-23 (kanan).
Tahapan
sebelum melakukan inversi adalah pengkondisian data seismik.
Maksudnya adalah data seismik yang akan dianalisa di bandpass filter dulu dengan maksud untuk membuang frekuensi tinggi (diatas 60 Hz) yang berkaitan dengan random noise. Kemudian menkonvert dari offset gather menjadi angle gather. Setelah itu dilakukan super gather agar S/N nya meningkat. seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.12.
Gambar 4. 12 Super gather seismik pada lintasan inline 2485.
47
4.4.2. Well seismik tie Tahapan selanjutnya yaitu membuat CDP stack (Gambar 4.13) yang dimaksudkan untuk tahapan awal well seismik tie (Gambar 4.14).
APIH-83
Gambar 4. 13 CDP stack inline 2485 beserta interpretasi horizon dan strukturnya menggunakan software geoframe.
Gambar 4. 14 Well seismik tie. Dihasilkan koefisien korelasi sebesar 0.79.
48
4.4.3. Seismik inversi simultan Setelah seismik dan well sudah cocok dari segi hubungan antara waktu dan kedalamannya, dilakukan partial stack menjadi 3 bagian yaitu near-stack, mid-stack dan far-stack. Lalu diekstraklah wavelet dari masing-masing ketiga partial stack dan diperoleh wavelet seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.15. Well to seismic tie dilakukan lagi pada near stack saja karena akan tetap terjadi shifting dengan kurva waktu-kedalaman sebelumnya. Well to seismic tie tidak dilakukan pada mid stack maupun far stack karena untuk menghindari terjebak dengan NMO scratching. Pada penelitian kali ini, koefisien korelasi untuk near stack bernilai 0.71.
near
mid
far
Gambar 4. 15 Wavelet dan spectrum frekuensi untuk tiap-tiap stack (atas). Korelasi antara sintetik dan seismik ditunjukkan oleh gambar yang di bawah.
49
Tahapan selanjutnya yaitu membuat model awal low frekuensi yang nantinya akan diiterasi agar memperoleh nilai yang optimal dan sedekat mungkin dengan data seismik asli. Model awal yang dibuat yaitu model awal Vp, Vs, ρ yang ketiganya dihasilkan berdasarkan ekstrapolasi dari sumur APIH-83. Gambar 4.16 menunjukkan model awal dalam sebgai input dalam melakukan seismik inversi simultan.
Gambar 4. 16 Model awal (atas ke bawah) Zp, Zs, Vp, Vs dan densitas
50
Kemudian data well (Vp, Vs, ρ), seismik gather yang sudah dikondisikan dan ketiga wavelet masuk ke jendela analisa untuk mengestimasi parameterparameter untuk melakukan inversi seismik simultan seperti k, kc, m, mc, ln(Zp), ln (Zs) dan ln (densitas) seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.17, Gambar 4.18. hasil korelasi antara inversi dengan data asli ditunjukkan oleh Gambar 4.19. Sedangkan gambar 4.20 menunjukkan krospot antara Pimpedanse asli dengan hasil inversi. Untuk meng-QC hasil inversi dapat dilihat pada Gambar 4.21.
Gambar 4. 17 Penentuan konstanta k (1.53), kc (-6.09), m (0.12) dan mc (-0.28).
Gambar 4. 18 Parameter ln(Zp)=0.1462, Ln(Zs)=0,0617 dan Ln(densitas)=0.0274
51
Gambar 4. 19 Jendela analisa inversi seismik simultan.
Gambar 4. 20 Krosplot antara P-impedance hasil inversi dengan P-impedance asli maupun Vp/Vs .
52
Gambar 4. 21 QC hasil inversi simultan dengan data asli menunjukkan pola yang koheren.
Langkah terakhir dalam pemrosesan inversi seismik simultan adalah QC hasil dari inversi dengan data log asli. Pada Gambar 4.21 di atas terlihat bahwa inversi seismik dapat mengikuti pola dari data log asli sehingga dapat dikatakan bahwa hasil inversi seismik simultan ini cukup berhasil.
53
BAB V HASIL DAN ANALISA
5.1. Tekanan Pori dan Equivalent Mugweight Setelah dilakukan prediksi tekanan pori di sepanjang sumur APIH-83, dan didapatkan parameter yang cocok dan sesuai dari interval velocity dengan velocity dari resistivitas maka, diberlakukanlah ke seluruh nilai interval velocity. Hasil dari prediksi tekanan pori di blok “MU” ini ditunjukkan oleh Gambar 5.1.
Inline 2485
Xline 10253 Gambar 5. 1 Penampang tekanan pori untuk inline 2485 (atas) dan xline 10253 (bawah)
Setelah didapatkan penampang tekanan pori seperti ditunjukkan oleh gambar di atas maka penulis mengkonvert tekanan pori tersebut menjadi equivalent mudweight seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.2. 54
Inline 2485
Xline 10253 Gambar 5. 2 Penampang equivalen mudweight pada inline 2485 dan xline 10253
Berdasarkan Gambar 5.1 dan Gambar 5.2. terlihat bahwa semakin dalam tekanan pori batuan semakin tinggi begitu pun equivalent mudweightnya. Hal ini dikatakan bahwa trend pressure di daerah ini adalah normal. Adanya overpressure bila tekanan naik secara tiba-tiba atau equivalent mudweightnya mencapai 12.5 ppg. Untuk daerah penelitian khususnya Formasi Talang Akar, tidak mengalami overpressure di lokasi dekat sumur APIH-83. Oleh karena itu, penulis mencoba memetakan sebaran equivalent mudweight untuk melihat ada atau tidaknya indikasi overpressure di lokasi lain pada zona target di Formasi Talang akar.
55
5.2. Hasil Seismik Inversi 5.2.1. Produk inversi seismik simultan Hasil inversi seismik simultan ditunjukkan oleh Gambar 5.3 di bawah ini, (atas-bawah : Zp, Zs, Densitas, dan Vp/Vs). bila dibandingkan dengan nilai di sumur APIH-83, terdapat kecocokan pola diantara keduanya. Langkah selanjutnya adalah menganalisa parameter elastik yang berhubungan dengan target analisa yaitu batulempung dan TOC.
56
Gambar 5. 3 Hasil Inversi Simultan. (a) Zp, (b) Zs, (c) densitas dan (d) Vp/Vs
5.2.2. Distribusi batulempung Penulis melakukan krosplot anatar parameter elastik dan gammaray yang bertujuan
memetakan
distribusi batulempung di seluruh zona target.
Dari
beberapa krosplot, penulis menemukan bahwa untuk kasus di daerah ini, parameter elastik yang cocok untuk memetakan batulempung adalah Vp/Vs sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.4. di bawah ini. Dilihat dari kacamata gammaray, batupasir dan batulempung dipisahkan oleh nilai gammaray 86. Dilihat dari kacamata Vp/Vs, untuk batupasir, Vp/Vs-nya bernilai dibawah 2.1 sedangkan batulempung Vp/Vs-nya benilai diatas 2.1. jika dibandingkan dengan litologic log seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.4 sebelah kanan, terlihat terdapat kecocokan diantara keduanya. Maka dapat dikatakan bahwa, pemisahkan batupasir dan batulempung dengan menggunakan Vp/Vs di daerah ini cocok. Gammaray
86
2.1
Vp/Vs
Gambar 5. 4 Cutoff batupasir-batulempung menggunakan parameter Vp/Vs . nilai Vp/Vs di bawah 2.1 adalah sand sedangkan nilai Vp/Vs di atas 2.1 adalah shale.
57
Setelah diputuskan bahwa cutoff batupasir dan batulempung adalah vp/Vs dengan nilai 2.1, maka, Cube Vp/Vs hasil inversi seismik simultan di-cutoff juga nilainya.
Penampang
distribusi batupasir
(kuning)
dan
batulempung (hijau)
ditunjukkan oleh Gambar 5.5. di bawah ini. Terlihat bahwa bagian atas Formasi Talang Akar didominasi oleh warna hijau yang merepresentasikan batulempung. Sedangkan bagian bawah Talang akar terdapat perselingan batupasir dan batulempung.
Gambar 5. 5 Distribusi Batulempung pada penampang inline (atas) dan xline (bawah)
58
5.2.3. Distribusi TOC Untuk mendistribusikan TOC pada batulempung, terlebih dahulu memilih parameter elastik yang memiliki hubungan yang paling bagus dengan nilai TOC. Setelah penulis menganalisa dari berbagai parameter, diputuskanlah menggunakan Vp sebagai variabelnya. Hubungan antara Vp dengan TOC ditunjukkan oleh Gambar 5.6. Warna hijau menunjukkan trend dari batulempung organik, warna oranye menunjukkan trend dari batuan shalysand (non organic shale dan sand), dan kuning menunjukkan trend dari batupasir.
Gambar 5. 6 Analisa krosplot menunjukkan trend dari batulempung organik (hijau), shalyssand (oranye) dan batupasir (kuning)
Penulis menarik trend dari krosplot TOC dan Vp dan diperoleh persamaan TOC = 9.5238E-08(Vp)2 - 2.1333E-03(Vp) + 1.1257E+01. Dengan persamaan ini, penulis melakukan trasformasi dengan modul trace math pada HRS dan dihasilkan distribusi TOC seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.7. zona potensial shale gas terpadapat pada daerah yang berwarna hijau-biru-krem dan hitam. Sedangkan
warna
merah
dan
kuning
berpotensial untuk shale gas play.
59
menunjukkan
daerah
yang
kurang
Gambar 5. 7 Distribusi TOC pada penampang inline (atas) dan xline (bawah)
5.3. Daerah Potensial Shale Gas Play Setelah diperoleh cube dari equivalent mudweight, distribusi shale dan distribusi TOC, maka langkah terakhir adalah memetakan ketiga parameter tersebut di zona target dan diperoleh peta seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.8.
60
Untuk masalah distribusi batulempung, zona target tidak memiliki kendala karena hamper
seluruh
overpressure,
sona
target
secara umum,
adalah
batulempung
semua.
Untuk
masalah
zona target tidak memiliki kendalah dengan
overpressure kecuali sedikit di daerah tenggara dan utara dari sumur APIH-83. Daerah potensi dikembangkannya Shale gas play ditunjukkan oleh gambar pojok kanan bawah yaitu peta sebaran TOC. Warna hijau adalah daerah degan TOC > 1% sedangkan warna kuning dan merah adalah daerah dengan TOC < 1%. Untuk lokasi pengeboran, penulis mengusulkan di daerah sebelah barat dari suur APIH-83 dengan trend utara-selatan dan daerah sebelah timur dari sumur APIH-83. Luasan daerah potensial (sweetspot) ditujukkan oleh garis putusputus merah. Dengan ditunjukkannya peta seperti di bawah ini, maka penulis mengusulkan
bahwa
sumur
pengeboran
selanjutnya
yang
diusulkan
untuk
melakukan pengukuran logging standar ditambah dengan log shear wave, mengambil sampel SWC atau CORE untuk dilakukan analisa lebih dalam dan FMI/STAR untuk melihat adanya indikasi fracture dan orientasinya.
Gambar 5. 8 Peta sebaran batulempung atas, equivalent mudweight (bawah kiri) dan distibusi TOC (bawah kanan) menunjukkan lokasi terbaik untuk dikembangkan shale gas play (garis merah putus-putus)
61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1. Metode Passey menunjukkan sweetspot Shale Gas Play berada di Formasi Talang Akar bagian atas. 2. Formasi Talang Akar bagian atas pada Sumur APIH-83 memiliki potensi untuk Shale gas Play karena memiliki interval Batulempung yang tebal, TOC > 1 % dengan tebal 100 ft. 3. Formasi Talang Akar bagian bawah kurang berpotensi Shale gas Play karena interval TOC > 1% tipis-tipis serta banyak perselingan dengan batupasir. 4. Terdapat 2 lokasi paling menarik untuk dikembangkannya Shale Gas Play yaitu berada di sebelah barat dari sumur APIH-83 berarah utara-selatan dan sebelah timur dari sumur APIH-83.
6.2.
Saran
1. Lakukan pre-conditioning data seismik yang lebih baik lagi khususnya meredam noise pada far-angle dan kemenerusan reflector seismiknya. 2. Lakukan picking velocity analysis yang lebih detail lagi secara lateral (tiap 10 inline dan 10 xline) maupun vertikal (50 ms di formasi target dan 100ms di luar formasi target) yang di-guide oleh interpretasi horizon pick. 3. Gunakan data shear wave yang langsung diambil dari wireline log untuk mengurangi ketidakpastian data. 4. Gunakan data pressure test yang benar untuk mengkalibrasi prediksi tekanan pori. 5. Gunakan data TOC dari SWC atau CORE untuk hasil yang lebih akurat baik dari segi data maupun lokasi kedalaman sampel itu diambil. 6. Lakukan pilot drill untuk analisa lebih lanjut dan memvalidasi semua tahapan awal eksplorasi potensi shale gas ini.
62
BAB VII DAFTAR PUSTAKA Aki, K., and P. G. Richards, 1980. Quantitative seismology: Theory and methods. W.H. Freeman. Argakoesoemah R.M.I., Raharja M., Winardhi S., Tarigan R., Maksum T.F., Aimar A., 2005, Telisa Shallow Marine sandstone As An Emerging Exploration Target In Palembang High, South Sumatra Basin, Proceedings Indonesian Petroleum Association, 30th Annual Convention, Jakarta. Badley, M.E, 1985. Practical Seismik Interpretation. Prentice Hall. USA Bishop, Michele. G., 2001. South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat/Talang Akar-Cenozoic Total Petroleum System. USGS 99-50-S. USA Chilingar, G.V., V.A. Serebryakov., J.O Robertson Jr., 2002. Origin and Prediction of abnormal formation pressure. ELSEVIER. pp-134 dan 182.. Ensley, R.A., 1984. Comparison of P- and S-wave seismik data: A new method for detecting gas reservoirs. Geophysics 49, 1420-1431. Fatti, J. L., P. J. Vail, G. C. Smith, P. J. Strauss, and P. R. Levitt, 1994. Detection of gas in sandstone reservoirs using AVO analysis: A 3D seismik case history using the Geostack technique. Geophysics, 59, 1362–1376. Faust, L. Y., 1953. A velocity function including lithologic variation, Geophysics, 18, 271-288. Gassmann, F., 1951. Elasticity of porous media: Uber die Elastizitat poroser Medien: Vierteljahrsschrift der Naturforschenden Gesselschaft in Zurich 96, 1-23. Ginger, D., K. Fielding. 2005. The Petroleum Systems and Future Potential of the South Sumatra Basin. IPA05-G-039
63
Goodway W, 2001. AVO and Lame’ constants for rock parameterization and fluid detection. Recorder, 26, 39-60. Hampson, D, Russel, H. 2005. Simultaneous inversion of pre-stack seismik data, Hampson–Russel Software ServiceLtd, and Brad Bankhead. Veritas DGC, SEG/Houston Hampson, D, Russel, H. 2006. The Old and the new in seismik inversion. Hampson – Russel Software Service Ltd. Hutchison, C. S., 1996. South-East Asian Oil, Gas, Coal and Mineral Deposits: Clarendon Press Oxford. Lee. M.W., 2005. A simple method of predicting S-wave velocity. Geophysics 71, 161164. Passey. Q. R., 1990. A Practical Model For Organic Richness from Porosity and Resistivity Logs. AAPG Bulletin V.74, No.12. Peters, K. E., 1986. Guidelines for evaluating petroleum source rock using programmed analysis. AAPG Bull., V. 7 0 : 3 1 8 -3 2 9 . Peters, K. E. and Cassa, M. R., 1994. Applied Source Rock Geochemistry, In: Magoon, L. B. and Dow, W. G. (Ed.) The Petroleum Systems from Source to Trap. AAPG Memoir 60, AAPG, Tulsa, pp. 93-120. Sheriff, R. E. 1977, Limitations on resolution of seismic reflections and geologic detail derivable from them, in Seismic stratigraphy – Application to hydrocarbon exploration: AAPG Memoir 26, 3–14 Sukmono,
S., 2002.
Seismik Inversion and AVO
Analysis
For
Reservoir
Characterization. Program Studi Teknik Geofisika ITB, Bandung. Waples. D., 1985. Geochemistry in Petroleum Exploration. International Human Resources Development Corporation, Boston. http://files.myopera.com/nielsol/blog/GasDepositDiagram.jpg http://www.icis.com/blogs/east-european-chemicals/2011/05/19/shale-gas.jpg
64
LAMPIRAN 1 MATLAB SCRIPT : PREDIKSI Vs METODE LEE clear all,close all; clc; %% input parameter %% k1 = 38; %bulk modulus quartz Gpa k2 = 21; % bulk modulus dry clay Gpa k3 = 76; %bulk modulus limestone mu1 = 44; % shear modulus quartz Gpa mu2 = 7; % shear modulus dry clay Gpa mu3 = 32; %shear modulus limestone % fluid modulus Kb =2.1; Kg =0.039; Ko =1.232; %% input data DATA=load('rombongin2new.dat'); Depth = DATA(:,1); Vpori = DATA(:,2); rhob = DATA(:,3); por = DATA(:,4); sb = DATA(:,5); vdcl = DATA(:,6); vqz = DATA(:,7); ndata=length(Depth); %% Kgrain calculation % Hashin-strikmann %% Kfluid calculation % voight-reuss-hill f1 = vqz; f2 = vdcl; [kavg,gavg]= khash(k1,k2,mu1,mu2,f1,f2); [Kreuss,Kvoigt,Kfluid] = vrh(sb,Kb,Ko,Kg); %% Newton rhapson opt kavg=smooth(kavg,9,'moving'); gavg=smooth(gavg,9,'moving'); por=smooth(por,9,'moving'); sb=smooth(sb,9,'moving'); rhob=smooth(rhob,9,'moving'); Kfluid=smooth(Kfluid,9,'moving'); Vpori=smooth(Vpori,11,'moving'); % Vsori=smooth(Vsori,11,'moving'); %% calculating kfluid %
65
sg =1.-sb; so =1.-sb-sg; Cd = (por)./ Kfluid; %% calculating kdry and mudry % %============================================================== ====== alfa = [1:0.05:40]; alfa=alfa'; nalfa=length(alfa); gama =(1+2.*alfa)./(1.+alfa); %gamma %%alfa optimalization % h = waitbar(0,'Please wait...'); for i=1:ndata kdry = (kavg(i)*(1-por(i)))./(1.+alfa.*por(i)); gdry = (gavg(i)*(1-por(i)))./(1.+(gama.*alfa).*por(i)); %% Vp Vs calculation % Bd = 1. - (kdry./kavg(i)); %(Biot Coefficient)% %Ksat Dd = (Bd-por(i))./kavg(i); Ksat= kdry + ((Bd.^2)./(Cd(i)+Dd)); gsat= gdry; %Vp trial% VpLee = 1000.*(sqrt ((Ksat + 4/3.*gsat)./(rhob(i)))); Vperror=Vpori(i)-VpLee; alfatake(i)=alfa(1); errortake(i)=Vperror(1); for j=1:(nalfa-1) if (abs(Vperror(j))>abs(Vperror(j+1))); alfatake(i)=alfa(j+1); errortake(i)=Vperror(j+1); end end waitbar(i / ndata) end close(h) alfatake=alfatake'; errortake=errortake'; gamatake=(1+2.*alfatake)./(1.+alfatake); kdrytake = (kavg.*(1.-por))./(1.+alfatake.*por); gdrytake = (gavg.*(1.-por))./(1.+(gamatake.*alfatake).*por); Bdtake = 1.-(kdrytake./kavg); %(Biot Coefficient)%
66
%Ksat Ddtake = (Bdtake-por)./kavg; Ksattake= kdrytake + ((Bdtake.^2)./(Cd+Ddtake)); gsattake= gdrytake; VpLeetake = 1000.*(sqrt ((Ksattake + 4/3.*gsattake)./(rhob))); VsLeetake = 1000.*(sqrt (gsattake./(rhob))); poisson1=((Vpori.^2-(2.*VsLeetake.^2))./(2.*(Vpori.^2-VsLeetake.^2))); vpvs1=Vpori./VsLeetake; lamda1=((Vpori.^2).*rhob)-((2/3).*((VsLeetake.^2).*rhob)); young=(rhob.*(poisson1.*2.*VsLeetake.^2+2.*VsLeetake.^2))./1000000; figure(1) subplot(1,4,1) plot(Vpori,(-1*Depth), 'LineWidth',1); hold on; plot(VpLeetake, (-1*Depth),'LineWidth',1,'Color','red'); title('VpOri(blue) VpPred(red)', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlabel ('Vp(m/s)'); ylabel ('Depth (ft)'); xlim([0 4000]); grid on; hold on; subplot(1,4,2) plot(VsLeetake, (-1*Depth),'LineWidth',1,'Color','red'); title('Vs Prediction', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlabel ('Vs(m/s)'); ylabel ('Depth (ft)'); xlim([0 4000]); grid on; subplot(1,4,3) plot(vpvs1, (-1*Depth),'LineWidth',1); title('Vp/Vs', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlabel ('Vp/vs)'); ylabel ('Depth (ft)'); xlim([0 5]); grid on; subplot(1,4,4) plot(alfatake, (-1*Depth),'LineWidth',1); title('Alfa', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlabel ('alfa (unitless)'); ylabel ('Depth (ft)'); xlim([0 40]); grid on;
67
figure(2) plot(Vpori,VpLeetake,'x'); hold on; title('Vp original vs Vp prediction', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 14); xlabel ('Vp original(m/s)', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); ylabel ('Vp prediction (m/s)', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlim ([1000 5000]); ylim ([1000 5000]); grid on;
figure(3) plot(young,poisson1,'x'); hold on; title('Young Modulus versus Poisson ratio', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 14); xlabel ('Young Modulus', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); ylabel ('Poisson Ratio', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); ylim ([0 1]); %xlim ([0 5]); grid on; figure(4) plot(Vpori,VsLeetake,'x'); title('Vp versus Vs', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 18); xlabel ('Vp(m/s)', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); ylabel ('Vs (m/s)', 'fontweight', 'bold', 'fontsize', 10); xlim ([0 4000]); ylim ([0 4000]); grid on; content=[Depth Vpori VpLeetake errortake VsLeetake alfatake]; save('rombongin-2new-out.dat','-ascii','content');
FUNGSI HASHIN-STRIKMANN function [kavg,gavg]= khash(k1,k2,mu1,mu2,f1,f2) n=length(f1); kper=1/(k2-k1); muper=1/(mu2-mu1); vel1=(k1+(4/3)*mu1); vel2=(k2+(4/3)*mu2); kavg=[]; gavg=[]; for i=1:n; kupper=k1+(f2(i)/((1/(k2-k1))+(f1(i)/vel1))); klower=k2+(f1(i)/((1/(k1-k2))+(f2(i)/vel2))); k(i)=(kupper+klower)/2; gupper=mu1+(f2(i)/((1/(mu2-mu1))+((2*f1(i)*(k1+2*mu1))/(5*mu1*vel1)))); glower=mu2+(f1(i)/((1/(mu1-mu2))+((2*f2(i)*(k2+2*mu2))/(5*mu2*vel2))));
68
g(i)=(gupper+glower)/2; kavg=[kavg k(i)]; gavg=[gavg g(i)]; end kavg=kavg'; gavg=gavg'; end
FUNGSI VOIGHT-REUSS-HILL function [Kreuss,Kvoigt,Kfluid] = vrh(sb,Kb,Ko,Kg) sg=1-sb; Kreuss=(sb/Kb)+((1-sb-sg)/Ko)+(sg/Kg); Kvoigt=(sb*Kb)+((1-sb-sg)*Ko)+(sg*Kg); Kfluid=(0.5*(Kreuss+Kvoigt)); end
69