Leading article
Insulin Resistance as a Predictor of Worsening of GlucoseTolerance inType 2 Diabetes Mellitus Asman Manaf
Subbagian Endokrin Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr M Jamil Padang
ABSTRACT
Type 2 diabetes mellitus is a progressive disease characterised by declining pancreatic β cell function and insulin action. The component of insulin resistant is found in more than 90% of T2DM patients. These processes begin years before diabetes is diagnosed, and accelerated by environmental factors leading to excess expossure to hyperglycemia. Hyperglycemia is a terminology used for abnormal increasing of blood glucose level either fasting or after meal. This excess circulating glucose, acts on cells and tissues to inhibit insulin secretion and action, and induce complication. This is referred to as glucotoxicity and usually found in uncontrolled diabetes mellitus. Glucotoxicity is responsible to the progressivity of T2DM because of a progressive decline in pancreatic β cells function and decreasing insulin sensitivity in peripheral tissues. Furthermore, expossure to metabolic dysregulation, substantially increases the risk of developing macro and microvascular complications and tissue damages. A more effective treatment approach is required to prevent patients from being exposed to excessive increasing blood glucose levels. Improvement of insulin action will be much more important and effective in reducing blood glucose levels. So, insulin sensitizer is a potent agent in reducing hyperglycemia due to disturbances of carbohydrate metabolism. The efficacy of insulin sensitizer in avoiding glucotoxicity will give a protective effects on more decreasing β cells function and tissue insulin sensitivity. Besides, it will be the most effective strategy in preventing cardiovascular complication. Keywords: Glucotoxicity, insulin resistance, diabetes progression, cardiovascular complication
PENDAHULUAN Menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin, dan gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas merupakan 2 faktor genetik utama etiologi DMT2.1,2 Faktor genetik lainnya masih banyak yang belum diketahui secara jelas. Dipihak lain, faktor lingkungan seperti kebiasaan buruk dalam hal makan, minimnya aktivitas jasmani, dan kegemukan, secara etiologis berperan dalam mempercepat progresivitas penyakit termasuk konversi pradiabetes menjadi diabetes, dan memicu terjadinya komplikasi DMT2.
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
MEDICINUS
3
leading article
Semakin terkendali diabetes, progresivitas penyakit dan komplikasi dapat ditekan atau diperlambat munculnya. Ketidakterkendalian diabetes akan memberi dampak glucotoxicity atau bahkan glucolipotoxicity, penyebab progresivitas penyakit dan berbagai kerusakan jaringan atau komplikasi.3,4 Progresivitas penyakit berhubungan erat dengan semakin mundurnya fungsi sel β pankreas dan peningkatan resistensi insulin. Kerusakan jaringan ditandai oleh gangguan mikro dan makrovaskuler meningkat sejalan dengan progresivitas penyakit. Lama dan intensitas ketidakterkendalian kadar glukosa darah, menentukan tingkat progresivitas dan kerusakan jaringan yang terjadi.5 Pengendalian kadar glukosa darah menjadi faktor utama yang harus dilakukan secara optimal dalam menghindari atau menunda progresivitas penyakit serta munculnya komplikasi. Disamping hiperglikemia kronis, fluktuasi kadar glukosa harian yang naik turun berulang-ulang memberi kontribusi terhadap proses progresi dan timbulnya kerusakan jaringan. Fenomena ini, yang lazim disebut hiperglikemia akut postprandial (postprandial spike), penting dicermati karena merupakan satu faktor risiko independen bagi progresivitas perjalanan penyakit dan kelainan kardiovaskuler pada DMT2. Lebih jauh, banyak penelitian menunjukkan bahwa kelainan vaskuler baik mikro maupun makro, lebih ditentukan oleh fluktuasi kadar glukosa postprandial daripada kadar glukosa puasa. Hal ini ada hubungannya dengan stres oksidatif yang terjadi pada setiap lonjakan kadar glukosa darah yang berulang-ulang setiap hari. Bahkan fluktuasi kadar glukosa darah (postprandial) yang berlebihan pada tahap prediabetic sekalipun, meski kontrol metaboliknya masih relatif baik, telah dapat memicu terjadinya komplikasi vaskuler.6 Aksi insulin dalam metabolisme glukosa Pengaturan kadar glukosa darah secara normal berlangsung atas kerjasama yang harmonis antara mekanisme sekresi insulin dengan mekanisme aksi insulin di jaringan tubuh (tu. sel hepar dan otot serta lemak). Tujuannya adalah agar glukosa dalam darah memasuki sel untuk metabolisme secara fisologis. Proses metabolisme didalam jaringan tersebut membutuhkan suatu tahap dimana glukosa
4
MEDICINUS
yang bersifat polar harus melewati membrana sel yang non polar (tidak larut dalam air). Untuk tujuan ini diperlukan suatu “alat angkut” terdiri dari sejenis asam amino yang dinamai glucose transporter (GLUT). Didalam tubuh, sesuai tempat kerjanya, dikenal berbagai jenis GLUT (GLUT 1 s/d GLUT 5). Yang terpenting diantaranya, dalam metabolisme glukosa, dikenal GLUT 2 di sel hepar dan GLUT 4 di sel otot dan sel lemak. Aktivasi serta penempatan (translokasi) GLUT membutuhkan insulin. Metabolisme glukosa dalam sel memerlukan ikatan antara insulin dengan reseptor. Reseptor yang telah berikatan dengan insulin yang berada pada membrana sel tersebut, sekaligus bermanfaat pula untuk memancarkan atau transduksi sinyal kedalam sel. Ini diperlukan oleh sel beserta perangkatnya, sebagai perintah atau aba-aba bagi berlangsungnya suatu proses metabolisme glukosa. Reseptor tersebut terdiri dari 2 bagian yakni insulin receptor alpha (IR alpha) dan insulin receptor beta (IR beta). Proses ini baru dinamai tahap 1 dari mekanisme kerja insulin dalam metabolisme glukosa. Tahap selanjutnya (tahap 2), merupakan proses yang sampai saat ini masih rumit untuk dipahami, bahkan ada yang sama sekali belum diketahui secara pasti. Namun, tahap ini merupakan proses yang banyak melibatkan protein dalam bentuk enzim, yang bertujuan untuk pembentukan, aktivasi, dan juga translokasi dari GLUT. Sedangkan tahap 3 atau tahap akhir dari proses metabolisme glukosa, merupakan tahap yang relatif mudah dipahami yakni bagian dari proses fosforilasi dan defosforilasi.7 Resistensi insulin pada DMT2 Perdefinisi, resistensi insulin diartikan sebagai kemunduran dari efek fisiologis dari insulin dalam metabolisme glukosa, lipid, dan protein serta fungsi endotel dari vaskuler.8 Resistensi insulin pada DMT2 merupakan defek atau kelainan yang bersifat genetik,1 dimana jaringan tubuh tidak memberikan respons yang seharusnya terhadap insulin yang ada. Berdasarkan penelitian, hal tersebut bukanlah utama disebabkan karena kurangnya reseptor insulin pada sel secara kuantitas, tapi lebih disebabkan
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
leading article
gangguan pada post reseptor. Gangguan tersebut berupa pembentukan (sintesis) dan juga translokasi dari GLUT, suatu faktor yang penting bagi pemindahan glukosa dari darah kedalam sel untuk selanjutnya dimetabolisme. Pada DMT2, proses ini mengalami hambatan tidak pekanya jaringan terhadap insulin. Hambatan utama adalah pada tahap 2, yakni pada tahap pembentukan, pengaktivan, serta penempatan (translokasi) dari glucose transporter (GLUT). Bagaimana mekanisme terjadinya gangguan tersebut secara pasti belum terungkap. Diantara beberapa yang diketahui adalah bahwa pada tahap ini terdapat peran penting peroxisome proliferator activated receptors (PPARs), yang tidak mengalami aktivasi pada DMT2 terutama PPARγ. PPARγ merupakan suatu nuclear receptor yang bila teraktivasi akan berfungsi dalam proses transkripsi, dan juga translokasi glucose transporter.9 Dampak lebih jauh dari inaktivasi PPAR, tidak hanya pada tidak optimalnya fungsi GLUT sehingga muncul hiperglikemia, tapi juga berdampak negatif pada metabolisme lipid. Secara normal, PPARγ berperan tidak hanya dalam proses glikolisis, glukoneogensis, dan glikogenesis, tapi juga dalam proses fatty acid uptake, lipogenesis, dan differensiasi sel lemak. Inaktivasi PPAR juga akan menyebabkan perubahan komposisi sel lemak dalam tubuh yakni bergeser kearah large cell adipocyte yang dikenal resisten terhadap insulin. Komposisi yang tidak normal ini memicu proses lipolisis dan ekspresi sitokin inflamasi. Secara klinis, gangguan pada metabolisme karbohidrat dan lipid ini menyebabkan berbagai kelainan diantaranya masalah kardiometabolik. Pada dasarnya semua kerusakan jaringan pada DMT2 berawal dari glucotoxicity dan lipotoxicity, erat kaitannya dengan resistensi insulin. Insulin resistance merupakan masalah utama (core defect) pada sebagian besar diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), yang tentu saja menimbulkan dampak utama hiperglikemia, disamping dampak lainnya. Utilisasi glukosa tidak berjalan normal, sehingga tingkat toleransi tubuh terhadap glukosa semakin rendah, dan berakhir pada hiperglikemia. Dipihak lain, di jaringan hepar resistensi insulin menurunkan efek inhi-
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
bisi insulin terhadap proses glukoneogenesis dan gliko- genolisis yang terlihat pada meningkatnya kadar glukosa darah puasa. Sindroma resistensi insulin bahkan telah mulai muncul pada prediabetes yakni pada tahap TGT, yang mana komplikasi makrovaskuler mulai meningkat. Selanjutnya, begitu diabetes muncul, komplikasi mikrovaskulerpun muncul secara tajam. Hiperglikemia dan peningkatan resistensi insulin Sampai saat ini, masih banyak yang belum begitu jelas mengenai mekanisme sesungguhnya dari insulin resistance. Bagian yang paling rumit dan jutru masih belum terungkap secara jelas itu adalah pada fase 2 (post signaling) dari proses utilisasi glukosa dalam sel.7 Bagian ini merupakan proses setelah terjadi ikatan antara insulin dengan reseptor pada membran (IRS1 dan IRS2). Fase pertengahan ini merupakan suatu proses yang melibatkan banyak senyawa protein dalam bentuk enzim, yang tujuan akhirnya adalah translokasi dan kemudian aktivasi terhadap GLUT 4, suatu wahana transportasi glukosa dari luar kedalam sel. Pada tingkat molekuler, insulin resistance dapat disebabkan oleh defek pada berbagai sistem enzim seperti phosphatidylinositol-kinase (PI3-kinase) dan protein kinase C (PKC) (Gb. 1). Pada fase selanjutnya dari metabolisme glukosa relatif lebih mudah dipahami, peristiwa fosforilasi-defosforilasi. Insulin resistance dalam perjalanan penyakit, cenderung selalu mengalami peningkatan oleh karena adanya interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan (enviromental factors). Faktor lingkungan yang seringkali memicu proses tersebut pada DMT2 adalah obesitas. Obesitas sendiri dipengaruhi kombinasi faktor genetik (insulin resistance) dan lingkungan yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Interaksi kedua faktor tersebut, genetik dan lingkungan, secara klinis akan memberikan gejala hiperglikemia yang terjadi secara langsung atau tidak langsung.10,11 Hiperglikemia (glucotoxicity), pada gilirannya akan memberi dampak desensitisasi jaringan terhadap insulin (insulin desensitisizer). Pada post receptor, hiperglikemia berpengaruh pada insulin receptor substrate (IRS) yang menghalangi sintesis maupun translokasi GLUT-4. Aktifasi protein kinase C berperan
MEDICINUS
5
leading article
dalam meningkatkan fosforilasi dari serine dan menurunkan aktifitas reseptor insulin dan juga IRS-1. Hiperglikemia juga memberi peluang bagi peningkatan glucosamine pathway sehingga meningkatkan resistensi insulin. Disamping peningkatan kadar glukosa plasma, asam lemak bebas yang ditemukan dalam serum dengan kadar tinggi juga berkaitan dengan insulin resistance.12 Obesitas sendiri diperkirakan menyebabkan peningkatan resistensi insulin melalui jalur gangguan pada aktifitas insulin reseptor kinase.9 Terdapat bukti bahwa semakin tinggi indeks massa tubuh maka semakin tinggi tingkat resistensi insulin. Terdapat satu komponen metabolik lainnya yang juga memberi dampak negatif terhadap sensitifitas jaringan terhadap insulin yakni keadaan hiperinsulinemia itu sendiri. Hiperinsulinemia merupakan bagian dari sindroma resistensi insulin, dan sering ditemukan pada tahap prediabetes atau diabetes tahap awal. Hiperinsulinemia sesungguhnya adalah bagian dari gangguan dinamika sekresi insulin, diawali oleh tidak adekuatnya fase 1 sekresi insulin, diikuti oleh hiperglikemia akut postprandial (HAP), kemudian muncul mekanisme kompensasi pada fase 2, hipersekresi insulin sebagai antisipasi.
6
MEDICINUS
Hiperglikemia pemicu kerusakan jaringan tubuh Proses glikolisis didalam sel berlangsung secara normal kalau enzim glyceraldehyde-3 phosphate dehydrogenase (GADPH) mencukupi. Gangguan proses glikolisis akibat tidak aktifnya atau tidak cukupnya enzim GADPH terjadi pada keadaan glucotoxicity. Kadar glukosa yang tinggi dalam sel, produksi superoksida mitokondria berlebihan yang merusak DNA, dan teraktivasinya PARP, merupakan urutan proses yang menghambat enzim GADPH.12 Sel endotel kapiler retina, sel mesangial glomerulus neuron dan sel Schwann saraf perifer misalnya, rawan kerusakan. Sel sel tersebut tidak mereduksi transportasi glukosa yang berlebihan dari darah ke dalam sel, seperti yang dilakukan jaringan lainnya yang tidak rentan. Unifying mechanism menjelaskan teraktivasinya empat jalur kerusakan akibat terhalangnya proses glikolisis yang normal akibat hiperglikemia yang diikuti oleh excess fuel substrate intra sel.13 Keadaan patologis diatas diperkirakan dapat berlangsung secara cepat atau lambat tergantung pada faktor pemicu kerusakan, dalam hal ini se-
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
leading article
Glucolipotoxicity
Brownie, 2003
Gambar 2. Peningkatan superoksida pada mitokhondria berperan sebagai unifyingmechanism pada kerusakan sel akibat hiperglikemia pada diabetes
berapa tinggi derajat hiperglikemia dan seberapa lama keadaan tersebut dibiarkan berlangsung. Dalam keseharian penderita DM, hiperglikemia akut postprandial (HAP) merupakan faktor risiko yang dapat terjadi dengan frekuensi yang berulangkali, dan sangat potensial memicu kerusakan jaringan. Pengobatan resistensi insulin dengan Metformin Metformin telah dikenal semenjak lama sebagai pengobatan untuk diabetes melitus, berkhasiat dalam menurunkan tingkat resistensi jaringan terhadap insulin. Seperti diungkapkan diatas, efektivitas metformin yang pada dasarnya terutama bekerja post reseptor, berdampak terhadap perbaikan mekanisme kerja glucose transporter (GLUT). Metformin dalam waktu bersamaan juga mempunyai khasiat dalam mencegah terjadinya kerusakan jaringan endotel akibat keadaan hiperglikemia. Khasiat ini diperoleh tidak saja oleh karena sifat anti hiperglikemia secara farmakologis, tapi juga langsung efek inhibisi terjadinya kerusakan sel endotel pembuluh darah.14 Beberapa khasiat Metformin yang berdampak positif perbaikan hiperglikemia sehingga mencegah glucotoxicity serta berbagai dampaknya telah terbukti. Perbaikan proses glikogenesis, peningkatan re-
Vol. 27, No.2, Agustus 2014
ceptor binding, dan terjadinya peningkatan aktivitas IRTK, semuanya bermuara kepada mencegah terjadinya hiperglikemia atau glucotoxicity. Keadaan ini sejalan dengan penurunan produksi methylglioxal seperti peningkatan senyawa carbonyl dan pembentukan AGEs, yang membuktikan pula khasiat Metformin dalam penurunan stres oksidatif. Suatu khasiat unik lainnya dari Metformin adalah menyangkut salah satu hormon pencernaan. Hormon yang dimaksud adalah incretin khususnya GLP-1 yang diproduksi oleh usus halus. Hormon ini dikenal meningkatkan kepekaan sel beta pankreas terhadap rangsangan glukosa untuk menghasilkan insulin. Hormon ini berperan penting pula dalam menjaga kadar glukosa darah agar normal melalui keseimbangan kerja antara insulin dan glukagon. Khasiat Metformin adalah dalam kerjanya menghambat proses degradasi dari GLP-1 dalam tubuh. Disamping itu dilaporkan juga Metformin berkhasiat dalam mempertahankan rasa kenyang lebih lama melalui perlambatan pengosongan lambung, dan menghambat rangsang lapar. Penurunan kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh khasiat Metformin dalam menurunkan asbsorpsi glukosa di usus halus.
MEDICINUS
7
leading article
Thiazolidinediones (Glitazone ) Thiazolidinediones merupakan golongan obat anti hiperglikemik yang bekerja menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer). Di Indonesia saat ini golongan obat yang beredar adalah pyoglitazone. Mekanisme kerja pyoglitazone dalam pengobatan DMT2 didasarkan atas perannya mengaktivasi PPARγ dalam tubuh terutama pada jaringan otot, lemak dan hati.15 Peran glitazone intraseluler ini menghasilkan rangsangan dalam sintesis GLUT dan juga sekaligus translokasi transporter tersebut mendekat ke dinding sel siap untuk mengangkut glukosa bagi keperluan metabolisme. Khasiat ini akan memberi pengaruh positif sebagai pengobatan diabetes melalui berbagai proses yang diperlukan seperti glucose uptake, gluconeogenesis, glycogenesis, glycolysis, fatty acid uptake, lipogenesis, dan adipocyte differentiation. Dengan sasaran utama perbaikan terhadap sensitivitas insulin dihampir seluruh jaringan tubuh tersebut, glitazone akan memberikan dampak membaiknya regulasi glukosa darah, proteksi terhadap perburukan sel beta, serta penurunan risiko kardiovaskuler. Ini merupakan multiple effects dari penggunaan glitazone terhadap penderita diabetes demikian juga pada prediabetes, yakni penurunan hampir seluruh komponen sindroma resistensi insulin. DLBS3233 (Inlacin®) DLBS3233 (Inlacin®) memiliki khasiat dalam perbaikan resistensi insulin. Senyawa ini diperoleh dari ekstrak tumbuh-tumbuhan yang banyak
terdapat di Indonesia yakni Lagerstroemia speciosa dan Cinnamomum burmanii. Dalam berbagai uji coba terbukti berkhasiat dalam meningkatkan sintesis dari GLUT.16,17 Hal ini terjadi oleh karena proses fosforilasi diarahkan pada alur yang tepat yakni terhadap tyrosine. Dengan demikian maka pembentukan (sintesis) GLUT4 teraktivasi. Selanjutnya, senyawa ini terbukti meningkatkan translokasi GLUT4 tersebut. Khasiat penting lainnya adalah efeknya dalam menurunkan kadar TNFα, yang bersifat meningkatkan resistensi insulin. Pada uji klinik terhadap manusia juga membuktikan perbaikan terhadap kadar glukosa darah penderita DMT KESIMPULAN 1. Resistensi insulin memberi kontribusi penting terhadap progresivitas serta komplikasi DMT2. 2. Hiperglikemia (glucotoxicity) merupakan kelainan sentral pada DMT2 yang menjadi penyebab utama dari peningkatan resistensi insulin (insulin resistance) serta kemunduran fungsi sel beta (β cell dysfunction). 3. Perubahan lifestyle dalam bentuk diet yang berimbang, penurunan berat badan, dan latihan fisik yang terukur adalah upaya pertama yang dapat efektif dalam mengatasi hiperglikemia dan resistensi insulin. 4. Penggunaan insulin sensitizer, bersama dengan perubahan lifestyle meningkatkan efektivitas dalam mengatasi hiperglikemia, resistensi insulin beserta dampak yang ditimbulkannya.
daftar pustaka 1. Gerich JE. 1998. The genetic basis of type 2 diabetes mellitus: impaired insulin secretion versus impaired insulin sensitivity. Endocrine Reviews 19:491–503. 2. Vauhkonen I. 1998. Defects in insulin secretion and insulin action in non insulin dependent diabetes melitus are inherited. J Clin Invest 101:86–96. 3. Haffner S.1997. Defining the problem of glucose toxicity in type 2 diabetes. Glucose toxicity: Clinical implication for type 2 diabetes: 4–6. 4. Brownlee M. 2000.Negative consequences of glycation. Metabolism Clinical and Experimental 49: S9-S13. 5. UKPDS 33. 1998. Intensive blood glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes. Lancet 352: 837–853. 6. Ceriello A.1998. The emerging role of postprandial hyperglycemic spikes in the pathogenesis of diabetic complications. Diabetic Medicine 15:188–193, 1998 7. Suryohudoyo P, Ilmu kedokteran molekuler. Ed I, Jakarta: Perpustakaan Nasional, hal 48-58, 2000 8. ADA.Consensus development on insulin resistance. 1997 9. Matthaei S. 2000. Pathophysiology and pharmacological treatment of insulin resistance. Endocrine reviews 21:585–618.
8
MEDICINUS
10. Poitout V, Robertson RP. 2002. Minireview : Secondary β-cell failure in type 2 diabetes- A convergence of glucotoxicity and lipotoxicity. Endocrinology 143:339-342. 11. Rabuazzo AM, Piro S, Anello M, Patane G, Purrello F. 2003. Glucotoxicity and lipotoxicity in the beta cell. International Congress Series 1253:115-121. 12. Brownlee, M. 2003. A radical explanation for glucose-induced β cell dysfunction. J Clin Invest 112 :1788-1790. 13. Brownlee M. The pathology of diabetic complication 2005; A unifying mechanism. Diabetes 54 :1615-1625. 14. Detalle , Guigas B, Chauvin C et al. 2005. Metformin prevents high glucose induced endothelial cell deaths through a mitochondrial permeablity transition dependent process. Diabetes 54:2179-2187. 15. Smith U. Pioglitazone 2001. Mechanism of action. IJCP 121:S13– S18 16. Tandrasasmita OM, Wulan DD, Nailufar F, Sinambela J, Tjandrawinata RR. 2011. Glucose lowering effect of DLBS3233 is mediated through phosphorylation of tyrosine and upregulation of PPARγ and GLUT4 expression. International Journal of General Medicine.4:345-357 17. Nailufar F, Tandrasasmita OM, Tjandrawinata RR. 2011.DLBS3233increases glucose uptake by mediating upregulation of PPARγ and PPARδ expression. Biomedicine & Preventive Nutrition.1: 71-78
Vol. 27, No.2, Agustus 2014