REDUKSI MAGNESIOTERMIK SILIKA AMORF DAN KRISTALIN
TUGAS SARJANA
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
Ahmad Zadi Maad 13709005
PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2013
PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Gd. Labtek IX Lt.2, JL. Ganesha 10 Bandung 40132, Telp: +6222 2504243, Fax: +6222 2534099
TUGAS SARJANA
Diberikan kepada
: Ahmad Zadi Maad
NIM
: 13709005
Dosen Pembimbing : Ir. Ahmad Nuruddin, M.Sc. Ph.D Waktu Pengerjaan : 6 (enam) bulan Judul
: Reduksi Magensiotermik Silika Amorf dan Kristalin
Tujuan Penelitian : Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kristalinitas silika dan temperatur reduksi terhadap persen berat silikon yang dihasilkan.
Bandung, Juni 2013 Pembimbing
Ir. Ahmad Nuruddin, M.Sc. Ph.D NIP. 131626712
PROGRAM STUDI TEKNIK MATERIAL FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Gd. Labtek IX Lt.2, JL. Ganesha 10 Bandung 40132, Telp: +6222 2504243, Fax: +6222 2534099
LEMBAR PENGESAHAN
Tugas Sarjana REDUKSI MAGNESIOTERMIK SILIKA AMORF DAN KRISTALIN
Oleh
Ahmad Zadi Maad 13709005
Disetujui dan disahkan
Bandung, Juni 2013 Pembimbing
Ir. Ahmad Nuruddin, M.Sc. Ph.D NIP. 131626712
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmnirrahim. Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan kekuatan dan petunjuk kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Reduksi Magnesiotermik Silika Amorf dan Kristalin”. Shalawat beserta salam semoga terus tercurah limpahkan pada Nabi Agung Sayyidina wa Habibana wa Maulana Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Semoga semua yang sudah penulis kerjakan dapat menjadi ladang amal dan bermanfaat bagi orang lain. Secara pribadi penulis berterima kasih kepada semua pihak yang sudah secara langsung dan tidak langsung membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Rasa terima kasih ini khususnya penulis sampaikan kepada : 1. Ibu dan Bapak sebagai orangtua terhebat, atas doa dan ilmu untuk penulis serta menjadi motivasi terbesar untuk menyelesaikan karya ini, juga Kakak dan Adik penulis yang selalu memberi dukungan. 2. Ir. Ahmad Nuruddin Ph.D sebagai dosen pembimbing Tugas Akhir dan Dr. Aditianto Ramelan yang sudah meluangkan banyak waktu dan tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini. 3. K.H Chabib Makki (Abah) selaku guru di Ponpes Al-Amin, Purwokerto atas doa yang selalu mengalir untuk penulis. 4. Ust. Bambang, Ust. Hilman, Ust. Ajil Yumna, Ust. Anwar, Ust. Khafidzin, Ust. Ahmad Souban, Ust. Ahmad Rifa’i, dan Ust. Mustofa selaku guru di Ponpes Mahasiswa Miftahul Khoir, Dago Bandung atas ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. K.H. Yahya Zainul Maarif (Buya Yahya) selaku pendiri Ponpes AlBahjah, Cirebon, Habib Lutfhi bin Yahya, Pekalongan, dan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, pemimpin Majelis Ahbabul Mustofa, Solo yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan doa bagi penulis. 6. Dr. Arif Basuki selaku dosen wali dan pembimbing Lomba Metalografi Internasional serta Dr. Hermawan Judawisastra yang selalu memberikan pengarahan untuk penulis.
i
7. Dr. Slameto Wiryolukito sebagai dosen penguji, Om Firmansyah, Dr. Bambang Widyanto dan seluruh jajaran dosen ITB yang telah memberikan pendidikan yang sangat berharga selama kurang lebih 4 tahun menuntut ilmu di Program Studi Teknik Material. 8. Agung, Ponti, Dodi, Jere, Alan, Uti, Teh Dita, Fahri, Paco, Awan, Adek, Aswin, Cucus, Jeki, Pengky, DG, Fandi, Titis, Ayub dan seluruh teman Warastika sebagai teman seperjuangan selama menimba ilmu di Prodi Teknik Material. 9. Salman, Iril, Kang Choe, Hendra, Lutfi, Arif, Furqon, Anis, Pras, Bang Anto, Rijal, Ahsan, Ginanjar, Kang Karizal, Kang Deding, Subhan dan semua santri di Ponpes Mahasiswa Miftahul Khoir, Dago, Bandung yang selalu mengajak kepada kebaikan. 10. Alip, Pala, Darmaji, Bogi, Batu yang menjadi teman seperjuangan dalam kos tikus di Plesiran, Bandung. 11. Massa MIM dan MTM serta kepanitian IEC 2010 yang menjadi bagian hidup selama di ITB. 12. Keluarga KPA ITB yang memberi banyak teman dan keluarga di ITB. 13. Teh Wulan, Pak Idrus, Tika dan Killang MG 09, Staf FTMD, MT, FT, Lab Tambang, Tekkim yang sudah membantu penulis dalam hal administrasi, percobaan dan karakterisasi. 14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini. 15. Wanita sholehah yang selalu menjadi motivasi dan dinanti. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan agar penelitian ini bisa menjadi lebih baik lagi.
Bandung, Mei 2013
Ahmad Zadi Maad
ii
Judul
Reduksi Magnesiotermik Silika Amorf dan
Ahmad
Kristalin
Zadi Maad
Teknik Material
13709005
Program Studi
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung
Abstrak Indonesia memiliki sumber silika yang sangat besar dalam bentuk pasir kuarsa berjumlah 18 miliar ton serta sekam padi yang berpotensi menghasilkan 2,7 juta ton silika per tahun. Silika dari pasir kuarsa memiliki struktur kristalin dan silika dari sekam padi berstruktur amorf. Silika merupakan bahan panel surya yang penting, diperoleh melalui reduksi silika dengan agen pereduksi. Banyaknya silikon yang dihasilkan dalam proses reduksi silika dipengaruhi oleh struktur awal silika dan variabel pemrosesan. Dalam penelitian tugas akhir ini, proses reduksi magnesiotermik silika amorf dan kristalin dilakukan pada temperatur 700, 800 dan 900oC. Larutan asam digunakan untuk pemurnian silikon. Analisis kualitatif dan kuantitatif produk reduksi dilakukan dengan mengkarakterisasi spesimen menggunakan X-rays Diffraction. Ditemukan bahwa senyawa magnesium selalu terbentuk dari reduksi silika amorf dan kristalin. Silika yang tidak bereaksi sealu ditemukan pada silika kristalin di semua temperatur reduksi. Pada temperatur reduksi kurang dari 800oC silika amorf lebih reaktif dibanding silika kristalin. Transformasi fasa amorf menjadi kristalin pada temperatur 900 oC menghambat proses reduksi silika. Persen berat maksimum 22,5% silikon didapatkan dari reduksi silika amorf pada temperatur 800 oC.
Kata kunci: Silika, kristalin, amorf, reduksi magnesiotermik, silikon.
iii
Title
Magnesiothermic Reduction of Amorphous and
Ahmad
Crystalline Silica
Zadi Maad
Materials Engineering
13709005
Major
Faculty of Mechanical and Aeronautic Engineering Bandung Institute of Technology
Abstract Indonesia has a great resource of silica in the form of 18 billion tons of quartz sand and rice husk, with the potential to produce 2.7 million tonnes silica per year. Silica from quartz sand have a crystalline structure and silica from rice husk have an amorphous structure. Silicon is an important raw material for solar panels, obtained from the reduction of silica by a reducing agent. The amount of silicon extracted from the silica reduction process depends on the crystal structure and the process variables. In this research, magnesiothermic reduction process of amorphous and crystalline silica were conducted at 700 oC, 800 oC and 900 oC. An acid solution was used for the leaching of the silicon. Qualitative and quatitative analysis of the product obtained from reduction is achieved by characterizing the speciments with X-rays Diffraction. It is found that magnesium compounds are always formed in both reduction of amorphous and crystalline silica. Unreacted silica was found in the reduced crystalline silica at the tested temperatures. At temperatures less than 800 o
C, the reduction process of amorphous silica is found to be more reactive than
crystalline silica. Phase transformation from the amorphous to the crystalline at 900 oC inhibits the reduction process. Maximum yield of 22,5% weight silicon can be produced from reduction of amorphous silica at temperature 800 oC.
Keyword : Silica, crystalline, amorphous, magnesiothermic reduction, silicon.
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................. i Abstrak ....................................................................................................... iii Abstract ...................................................................................................... iv Daftar Isi...................................................................................................... v Daftar Gambar........................................................................................... vii Daftar Tabel ............................................................................................... ix Bab I.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang............................................................................ 1
1.2
Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.3
Batasan Masalah ......................................................................... 3
1.4
Sistematika Penulisan ................................................................. 3
Bab II.
Tinjauan Pustaka
2.1
Sumber Listrik Indonesia............................................................ 4
2.2
Pembangkit Listrik Tenaga Surya .............................................. 6
2.3
Silika ........................................................................................... 8
2.4
Silikon....................................................................................... 11
2.5
Metode Reduksi Silika.............................................................. 14
2.6
Termodinamika Reaksi Reduksi Magnesiotermik ................... 15
2.7
Proses Pemurnian Larutan Asam .............................................. 16
Bab III.
Metodologi Penelitian
3.1
Bahan Awal Silika .................................................................... 18
3.2
Proses Sintering ........................................................................ 19
3.3
Proses Reduksi .......................................................................... 20
3.4
Proses Pemurnian ..................................................................... 21
v
3.5
Proses Karakterisasi .................................................................. 22
Bab IV. Data dan Analisis 4.1
Struktur Silika Amorf dan Silika Kristalin ............................... 23
4.2
Termodinamika Senyawa Hasil Reduksi .................................. 27
4.3
Struktur Silika Hasil Reduksi ................................................... 28
4.4
Analisa Hasil Reduksi Silika .................................................... 32
4.5
Analisis Produk Akhir Silikon .................................................. 37
Bab V.
Kesimpulan dan Saran
5.1
Kesimpulan ............................................................................... 39
5.2
Saran ......................................................................................... 39
Daftar Pustaka ........................................................................................... 40 Lampiran .................................................................................................. 42
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Sumber pembangkit listrik Indonesia tahun 2005-2011 .................... 4 Gambar 2.2 Proses pembuatan panel surya ........................................................... 7 Gambar 2.3 Komposisi harga panel surya ............................................................. 8 Gambar 2.4 Pola difraksi sinar-X silika dari batuan quartz .................................. 9 Gambar 2.5 Pola difraksi sinar-X silika amorf dari abu sekam padi ..................... 10 Gambar 2.6 Pola difraksi sinar-X silika kristalin .................................................. 10 Gambar 2.7 Pola difraksi sinar-X silika dari sekam padi yang disintering ........... 11 Gambar 2.8 Diagram Ellingham ............................................................................ 12 Gambar 2.9 Perbandingan pola difraksi sinar-X dari Si sekam padi dan Si standard ................................................................................................................. 13 Gambar 2.10 Skema pembuatan metallurgical grade silikon ............................... 14 Gambar 3.1 Bahan awal silika .............................................................................. 19 Gambar 3.2 Tungku listrik Nabertherm ............................................................... 20 Gambar 3.3 Tube furnace lingkungan argon ........................................................ 21 Gambar 3.4 Proses pemurnian larutan asam ........................................................ 22 Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-X silika komersial (Merck) ................................ 23 Gambar 4.2 Pola difraksi sinar-X silika hasil sintering (a) 850 oC selama 4 jam, (b) 950 oC selama 1 jam, (c) 1000 oC selama 6 jam dan (d) 1000 oC selama 12 jam......................................................................................................... 24 Gambar 4.3 Pola difraksi sinar-X (a) silika kristalin, (b) JCPDS cristobalite (75-923) dan (c) JCPDS tridymite (71-197) .......................................................... 25 Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X silika kristalin ................................................ 26 Gambar 4.5 Tampak visual serbuk silika (a) amorf dan (b) kristalin ................... 27 Gambar 4.6 Tampak visual hasil reduksi (a) silika amorf dan (b) silika kristalin................................................................................................................... 28 Gambar 4.7 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 700 o
C, (b) JCPDS Mg2SiO4 (34-189), (c) JCPDS MgO (43-1022), (d) JCPDS Si
(27-1402) dan (e) JCPDS Mg2Si (35-773) ............................................................ 29 Gambar 4.8 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika kristal temperatur 700 oC, (b) JCPDS tridymite (3-218), (c) JCPDS MgO (43-1022), (d) JCPDS
vii
Mg2SiO4 (76-563), (e) JCPDS cristobalite (77-1316), (f) JCPDS Si (77-2108) dan (g) JCPDS Mg2Si (35-773).............................................................................. 30 Gambar 4.9 Pola difraksi sinar-X hasil reduksi (a) silika amorf dan (b) silika kristalin................................................................................................................... 31 Gambar 4.10 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 800 oC, (b) JCPDS Mg2SiO4 (34-189), (c) JCPDS MgO (43-1022), dan (d) JCPDS Si (27-1402) ............................................................................................... 33 Gambar 4.11 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 900 oC, (b) JCPDS Mg2SiO4 (78-1372), (c) JCPDS MgO (43-1022), (d) JCPDS Si (27-1402) dan (e) JCPDS Cristobalite – SiO2 (76-939) .................................... 30 Gambar 4.12 Pola difraksi sinar-X hasil reduksi silika amorf pada (a) 700 oC, (b) 800 oC dan (c) 900 oC ....................................................................................... 33 Gambar 4.12 Pola difraksi sinar-X (a) setelah dan (b) sebelum proses pemurnian............................................................................................................... 38
viii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Produksi listrik berdasarkan jenis pembangkit.................................... 5 Tabel 2.2 Rasio elektrifikasi di beberapa daerah................................................. 5 Tabel 2.3 Intensitas radiasi matahari di Indonesia .............................................. 6 Tabel 2.4 Berbagai tipe panel surya .................................................................... 6 Tabel 2.5 Komposisi abu sekam padi .................................................................. 9 Tabel 2.6 Sifat silikon........................................................................................ 12 Tabel 3.1 Komposisi bahan awal silika ............................................................. 19 Tabel 4.1 Komposisi fasa pada silika kristalin .................................................. 26 Tabel 4.2 Pengaruh struktur terhadap hasil reduksi silika ................................. 32 Tabel 4.3 Variasi temperatur terhadap hasil reduksi ......................................... 35
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar minyak dan gas masih menjadi sumber energi terbesar untuk pembangkit listrik di Indonesia yaitu mencapai 44% [1]. Dengan terus meningkatnya harga minyak dan gas, serta belum optimalnya pengalihan sumber energi ke sumber yang terbarukan, Indonesia akan menghadapi krisis energi di masa depan. Dari data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia, masih terdapat 183 kabupaten yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal dengan salah satu indikatornya adalah infrastruktur yang mencakup tersedianya listrik untuk keperluan rumah tangga [2]. Wilayah Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi dengan persentase pemakaian listrik paling kecil diantara wilayah lain, dimana separuh penduduk di daerah tersebut tidak bisa mengakses listrik untuk keperluan rumah tangga. Ironisnya, Indonesia merupakan negara yang berada di daerah garis khatulistiwa dan mendapatkan intensitas radiasi matahari yang melimpah dengan rata-rata sekitar 4,8 kWh/m2 per hari, dan daerah Ngada di Nusa Tenggara Timur mendapatkan 5,1 kWh/m2 per hari [3]. Dengan jumlah intensitas radiasi matahari sebesar itu, sudah mencukupi untuk digunakan sebagai sumber pembangkit listrik untuk keperluan rumah tangga. Namun, biaya pembuatan pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia masih lebih mahal dibandingkan biaya pembangkit listrik tenaga konvensional, karena harga panel surya yang relatif mahal dan belum ada produsen lokal yang mampu membuatnya. Oleh karena itu, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia menjadi penting untuk dilakukan. Terdapat beberapa jenis panel surya yang berkembang di dunia, yaitu berbahan senyawa semikonduktor, berbahan senyawa organik dan berbahan silikon [4]. Panel surya berbahan senyawa semikonduktor seperti galium arsenida (GaAs) memiliki efisiensi energi yang tinggi yaitu mencapai 30 – 40%. Namun, panel surya ini sangatlah mahal karena bahan dasarnya yang jarang ditemukan.
1
Kemudian, panel surya berbahan organik bisa dibuat dengan harga yang murah karena prosesnya yang tidak membutuhkan temperatur tinggi. Namun, masih membutuhkan penelitian lebih lanjut karena efisiensi energinya yang masih rendah yaitu sekitar 4 – 6%. Panel surya yang saat ini sudah diproduksi secara massal adalah panel surya berbahan silikon karena bahan dasarnya yang mudah didapatkan. Dengan efisiensi energi mencapai 16 – 18%, pengembangan panel surya tipe ini lebih cepat dibandingkan tipe lain. Dalam proses pembuatan panel surya ini, unsur silikon menjadi komponen yang paling banyak digunakan yaitu mencapai 91% dari bahan panel surya [5]. Oleh karena itu, ketersediaan silikon sebagai bahan dasar menjadi hal yang penting dalam pengembangan panel surya di Indonesia. Bahan dasar pembuatan silikon yang banyak digunakan adalah pasir kuarsa yang mengandung silika berfasa kristalin berupa quartz dan cristobalite. Bahan dasar lain yang berpotensi untuk dikembangkan adalah sekam padi yang mengandung silika berfasa amorf. Dari data Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki 18 miliar ton pasir kuarsa yang tersebar di seluruh pelosok negeri dan dari data Kementerian Pertanian, petani Indonesia memproduksi 68 juta ton padi per tahunnya yang bisa menjadi 2,7 juta ton silika per tahunnya [6,7]. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan silika sebagai bahan dasar silikon untuk panel surya. Saat ini, silikon dari pasir kuarsa diproduksi melalui proses reduksi carbothermic untuk mendapatkan metallurgical grade silikon dan di proses lagi melalui Chemical Vapour Deposition untuk mendapatkan solar grade silikon. Proses ini membutuhkan temperatur yang tinggi yaitu sekitar 2000 oC, sehingga harga silikon yang dihasilkan menjadi mahal. Oleh karena itu, tantangan industri panel surya kedepan adalah mendapatkan solar grade silikon dengan harga yang lebih murah salah satunya dengan menggunakan metode reduksi dengan temperatur yang lebih rendah. Metode yang sedang dikembangkan untuk mendapatkan silikon yaitu proses reduksi silika menggunakan agen pereduksi logam dan proses pemurnian dengan menggunakan asam. Pada penelitian sebelumnya, metallurgical grade
2
silikon dengan kemurnian 99,5% dari abu sekam padi telah berhasil didapatkan [8]. Dalam penelitian lain, pengaruh agen pereduksi, temperatur reduksi dan waktu pemanasan reduksi yang menghasilkan persen berat silikon maksimum juga telah banyak dibahas [9]. Namun, sejauh ini belum ada penelitian yang mempelajari pengaruh kristalinitas dari silika terhadap persen berat silikon yang dihasilkan dan menggunakan silika komersial sebagai bahan awal. Pengaruh kristalinitas ini menjadi perlu untuk diketahui karena dua bahan dasar silika yang banyak ditemukan di Indonesia yaitu pasir kuarsa dan sekam padi, memiliki kristalinitas yang berbeda. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dibahas mengenai reduksi silika (SiO2) komersial melalui magneshiothermic reduction dengan variasi kristalinitas silika dan proses pemurnian menggunakan larutan asam.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kristalinitas silika dan temperatur reduksi terhadap persen berat silikon yang dihasilkan.
1.3 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah -
Bahan awal silika merupakan silika komersial (Merck)
-
Proses reduksi yang dilakukan pada temperatur : 700, 800 dan 900 oC
1.4 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab. Bab I berisikan pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang penelitian, tujuan penelitian, batasan masalah penelitian, dan sistematika penulisan penelitian. Bab II adalah tinjauan pustaka yang menjelaskan teori-teori yang mendukung penelitian. Bab III adalah metodologi penelitian, yaitu menjelaskan langkahlangkah dan metode yang digunakan selama penelitian. Bab IV memuat data hasil penelitian yang kemudian dianalisis oleh penulis. Bab yang terakhir merupakan Bab V, yaitu kesimpulan dan saran penulis terhadap penelitian yang dilakukan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumber Listrik Indonesia Saat ini, minyak dan gas masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di Indonesia yaitu mencapai 44% selain penggunaan bahan bakar batubara yang mencapai 42% [1]. Namun, semakin meningkatnya harga minyak dan gas di dunia, membuat Indonesia menjadi rentan terhadap krisis energi di masa depan. Oleh karena itu, pengalihan sumber pembangkit listrik Indonesia ke energi terbarukan perlu dilakukan secepatnya. Berdasarkan data dari PLN (Perusahaan Listrik Negara), rasio elektrifikasi atau tingkat ketersediaan listrik di suatu daerah, di seluruh Indonesia pada tahun 2011 adalah 67,98% dengan masih terdapat 3 wilayah yaitu Papua, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat yang memiliki rasio elektrifikasi dibawah 50% [10]. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di pelosok daerah masih sulit untuk mendapatkan pasokan listrik meskipun hanya untuk keperluan rumah tangga.
Air 8%
Gas 31%
Batubara 42%
Minyak 13%
Angin 0% Surya 0%
Panas Bumi 5%
Biomass 0,04%
Gambar 2.1 Sumber pembangkit listrik Indonesia tahun 2005-2011 [1].
4
Tabel 2.1 Produksi listrik berdasarkan jenis pembangkit [1]. Sumber Pembangkit
Daya Rata-rata (dalam GWh)
Air Panas Bumi Batubara Minyak Gas Biomass Surya Angin Total
12.060,17 8.088,01 64.423,89 19.440,89 47.804,16 70,14 0,44 0,03 151.887,73
Tabel 2.2 Rasio elektrifikasi di beberapa daerah [10]. Provinsi / Wilayah
Rasio Elektrifikasi (%)
Jambi
32,74%
Sulawesi Barat
33,56%
Wilayah Papua
36,79%
Nusa Tenggara Barat
47,20%
Nusa Tenggara Timur
34,52%
Indonesia
67,98%
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah khatulistiwa yang menerima intensitas cahaya matahari sepanjang tahun. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki pontensi untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya. Intensitas radiasi matahari rata-rata di seluruh wilayah Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2 per hari dengan intensitas tertinggi terletak di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang mencapai 5,7 kWh/m2 per hari [3]. Namun, potensi itu masih belum dikembangkan dengan baik hingga sekarang. Padahal, pembangkit listrik tenaga surya bisa menjadi salah satu energi alternatif yang bisa menjangkau hingga ke pelosok negeri. Oleh karena itu, pengembangan
pembangkit
listrik
tenaga
surya
menjadi
perlu
untuk
dikembangkan, dan dalam karya ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal tersebut.
5
Tabel 2.3 Intensitas radiasi matahari di Indonesia [3]. Intensitas Radiasi (Wh/m2)
Lokasi Kabupaten Lampung Selatan
5,234
Semarang
5,488
Gorontalo
4,911
Donggala, Sulawesi Tengah
5,512
Jayapura, Papua
5,720
Denpasar, Bali
5,263
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
5,747
Ngada, Nusa Tenggara Timur
5,117
2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Surya Panel surya yang berkembang saat ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu berbahan senyawa semikonduktor, berbahan senyawa organik dan berbahan silikon[4]. Pembagian panel surya tersebut dapat terlihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Berbagai tipe panel surya [4].
Representative type
Bulk Silicon system
type
system
volume
(module,%) Current (2007)
Target (2030)
Polycrystalline
61
13-17
22
Single crystal
27
16-18
-
Ribbon
1
16
-
4
7-12
-
-
30-40
-
1
13
18
(amorphous, crystalline)
semicondutor
Power conversion efficiency
(2003)
Thin film type
Compound
Production
Single crystal type (GaAs system) Polycrystalline type (CIGS, CdTe)
Organic
Dye-sensitized type
-
6
15
system
Organic thin film type
-
4
-
6
Panel surya berbahan senyawa semikonduktor memiliki efisiensi konversi energi yang paling besar yaitu 30 – 40%. Namun tipe ini sulit berkembang karena memiliki harga yang sangat tinggi yang disebabkan oleh keterbatasan bahan baku dan proses pembuatan yang lebih rumit. Selain itu, penggunaan unsur arsenida (As) dalam jumlah banyak akan menyebabkan permasalahan lingkungan. Kemudian, panel surya berbahan senyawa organik memiliki potensi untuk dikembangkan karena tidak memerlukan pemrosesan dalam temperatur tinggi sehingga harga panel surya bisa menjadi lebih murah. Namun, efisiensi konversi energinya yang kecil yaitu 6%, membuat pengembangan panel surya ini masih dalam tahap penelitian. Panel surya yang sudah banyak dikembangkan dan diproduksi secara masal adalah panel surya berbahan silikon. Hal tersebut karena bahan dasar silikon yang banyak tersedia di alam dan efisiensi konversi energinya yang cukup tinggi. Panel surya ini terbagi lagi menjadi beberapa jenis dan polycrystalline silikon merupakan panel surya yang paling banyak diproduksi saat ini.
Pembuatan Metallurgical Silikon
Pembuatan Poly-Crystalline Silikon
Silikon wafers
Sel Surya
Panel Surya
Gambar 2.2 Proses pembuatan panel surya [11]. Seperti terlihat dalam Gambar 2.2, proses pembuatan satu panel surya multi-kristalin silikon membutuhkan proses yang cukup panjang. Unsur silikon menjadi salah satu faktor penting dalam proses pembuatan ini karena menjadi unsur yang paling banyak digunakan yaitu hingga 91% dalam komponen panel surya dan mencapai porsi 20% dari komposisi harga untuk pembuatan satu panel surya [5,12].
7
Solar grade silikon 20%
instalasi PV sistem 30%
pembuatan ingot dan wafer 28% pembuatan solar cell 13%
pembuatan solar module 9%
Gambar 2.3 Komposisi harga panel surya [12]. Di Indonesia, harga pembangkit listrik tenaga surya masih lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga konvensional. Hal tersebut bisa terjadi karena masih mahalnya komponen modul fotovoltaik yang juga harus diimpor dari luar negeri dan rendahnya daya listrik yang dihasilkan. Oleh karena itu, untuk menekan harga pembuatan panel surya, para peneliti mencari cara untuk menemukan metode yang menghasilkan silikon dengan harga yang lebih murah. Salah satunya adalah proses reduksi silika dari sekam padi.
2.3 Silika Silikon merupakan unsur yang paling melimpah di dunia setelah oksigen. Silikon ini banyak ditemukan dalam bentuk senyawa silika (SiO2) dan silikat (SiO4). Bahan dasar utama pembuatan unsur silikon saat ini adalah silika yang ditemukan dalam bentuk batuan quartz dan pasir kuarsa. Kandungan silika juga banyak ditemukan dalam tanaman dan hewan seperti sekam padi dan kerang. Sekam padi mengandung sekitar 71 – 87% bahan organik dan 13 – 29% bahan anorganik [13]. Dari persentase jumlah bahan anorganik tersebut, sekitar 87-97% adalah silika. Silika yang ditemukan pada batuan quartz dan pasir kuarsa memiliki fasa kristalin berupa quartz dan cristobalite, berbeda dengan silika pada sekam padi yang memiliki fasa amorf. Dari data Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki 18 miliar ton pasir kuarsa yang tersebar di seluruh pelosok
8
negeri [6]. Kemudian dari data Kementerian Pertanian, Indonesia menghasilkan 68 juta ton padi per tahunnya yang berpotensi menjadi 2,7 juta ton silika per tahunnya dengan asumsi 20% dari padi menjadi sekam padi [7]. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan panel surya berbahan silikon karena cadangan sumber daya alam yang melimpah. Tabel 2.5 Komposisi abu sekam padi [13] Unsur
Persen berat (%) 80 – 90 1 – 2,5 0,5 Tidak ditemukan 1–2 0,5 – 2 0,2 – 0,5 0,2 0,5 – 2 10 – 20
Silika (SiO2) Alumina Ferric oxide Titanium dioksida Kalsium oksida Magnesium oksida Sodium oksida Kalium karbonat Magnesium oksida Hilang dalam pembakaran
Kurva pola difraksi sinar-X silika yang didapatkan dari batuan quartz dan pasir kuarsa ditunjukkan pada gambar 2.4. Terlihat bahwa silika berbahan ini memiliki puncak yang tajam dan tinggi dibeberapa sudut. Hal tersebut menunjukkan bahwa silika dari batuan quartz dan pasir kuarsa memiliki fasa kristalin. Terdapat tiga jenis fasa kristalin yang sering muncul dalam silika yang terdapat di alam yaitu quartz, tridymite, dan cristobalite. Namun pada silika batuan quartz, hanya terdapat dua jenis fasa kristalin yaitu cristobalite dan quartz.
Gambar 2.4 Pola difraksi sinar-X silika dari batuan quartz [14]. Simbol Q adalah quartz dan C adalah cristobalite. 9
Sedangkan kurva pola difraksi sinar-X silika yang berasal dari sekam padi memiliki pola yang landai serta tidak memiliki puncak yang tinggi dan curam. Hal tersebut menunjukkan bahwa silika dari sekam padi memiliki fasa amorf.
Gambar 2.5 Pola difraksi sinar-X silika amorf dari abu sekam padi [15] Silika dari sekam padi yang memiliki fasa amorf ini juga bisa bertransformasi menjadi fasa kristalin jika dilakukan pemanasan pada temperatur tertentu. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa transformasi fasa silika amorf menjadi kristalin bisa dilakukan pada temperatur 1000 oC pada tekanan atmosfer. Transformasi fasa dari silika amorf menjadi kristalin juga dipengaruhi oleh jumlah pengotor dan jumlah residu gugus hydroxyl dalam sampel. Dalam beberapa jurnal dijelaskan bahwa pengotor seperti Cl, K2O dan Na2O merupakan senyawa yang banyak mempengaruhi transformasi fasa pada silika [16,17,18].
Gambar 2.6 Pola difraksi sinar-X silika kristalin [17] 10
Sejauh ini, penelitian yang dilakukan untuk mempelajari proses reduksi silika, selalu menggunakan silika amorf yang mengandung sedikit fasa kristalin seperti Gambar 2.7 [8,9]. Sedangkan, pengaruh kristalinitas silika belum banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya. Pengaruh kristalinitas silika ini menjadi perlu untuk diketahui karena silika yang banyak ditemukan di alam memiliki fasa yang berbeda-beda dimana silika pasir kuarsa memiliki fasa kristalin dan silika abu sekam padi memiliki fasa amorf.
Gambar 2.7 Pola difraksi sinar-X silika dari sekam padi yang disintering [8]. 2.4 Silikon Secara termodinamika, kestabilan silika berada pada tingkat menengah. Hal tersebut terlihat pada diagram Ellingham yang menggambarkan kestabilan suatu oksida sebagai fungsi dari temperatur. Semakin rendah garis reaksi di diagram tersebut seperti Ca dan Mg, menandakan bahwa logam tersebut semakin reaktif tetapi oksidanya menjadi lebih sulit untuk direduksi. Kemudian, jika garis reaksi suatu logam berada pada garis oksida logam lain, maka logam tersebut dapat mereduksi suatu oksida logam lain. Contohnya adalah garis 2Mg + O2 = 2MgO yang berada dibawah garis Si + O2 = SiO2, sehingga magnesium dapat mereduksi silika menjadi silikon. Oleh karena itu, silika bisa direduksi oleh beberapa logam seperti Ti, Al, dan Ca. Akan tetapi, pemilihan agen pereduksi tersebut perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti harga, ketersediaan, kemudahan memisahkan dengan produk reaksi, serta aspek lingkungan.
11
Gambar 2.8 Diagram Ellingham [19] Tabel 2.6 Sifat silikon [8] Sifat
Nilai
Massa atom (gr/mol)
28,025 3
5,22 x 1022
Berat jenis atom (atom/cm ) Titik leleh (oC)
1410
Titik didih (oC)
2355
Berat jenis (gr/cm3)
2,329
Saat ini, silikon terbagi dalam tiga jenis [20]: 1. Metallurgical grade silikon (MG-Si) Memiliki kemurnian 98% yang banyak digunakan pada industri alumunium dan baja sebagai bahan campuran. Silikon jenis ini dicampurkan hingga 12,6% dalam alumunium yang berguna untuk meningkatkan fluiditas pada lelehan alumunium dan meningkatkan sifat mekanik pada paduan alumunium [21]. Namun, silikon jenis ini 12
tidak bisa digunakan untuk aplikasi panel surya karena kemurniannya yang tidak cukup tinggi. 2. Solar grade silikon (SoG-Si) Memiliki kemurnian 99,9999% juga biasa disebut 6N atau six nines pure. Silikon jenis ini merupakan yang paling cocok untuk digunakan sebagai aplikasi panel surya. 3. Electronic grade silikon (EG-Si) Memiliki kemurnian 99,9999999% juga disebut 9N atau nine nines pure.
Silikon
jenis
ini
digunakan
sebagai
bahan
pembuat
semikonductor. Silikon jenis ini sangatlah mahal yaitu sekitar 30-40 kali lipat dibandingkan harga metallurgical grade silikon karena pada pembuatannya membutuhkan proses yang rumit dan energi yang besar. Dalam penelitian sebelumnya [8], silikon dari proses reduksi abu sekam padi menggunakan magnesium bisa menghasilkan pola difraksi sinar-X yang menyerupai serbuk silikon standard yang memiliki kemurnian tinggi.
Gambar 2.9 Perbandingan pola difraksi sinar-X dari Si sekam padi dan Si standard [8] 13
2.5 Metode Reduksi Silika Proses pembuatan metallurgical grade silikon saat ini dilakukan dengan menggunakan proses reduksi karbon. Batuan quartz dicampurkan dengan kokas, batubara dan serpihan kayu, kemudian dilelehkan hingga temperatur 2127 oC dengan menggunakan tungku busur listrik [9]. Proses reduksi yang terjadi, terlihat pada reaksi berikut: SiO2(l) + Si(l) = 2SiO(g)
(2.1)
SiO(g) + 2C(s) = SiC(s) + CO(g)
(2.2)
SiO(g) + SiC(s) = 2Si(l) + CO(g)
(2.3)
Gambar 2.10 Skema pembuatan metallurgical grade silikon [21] Salah satu agen pereduksi lain yang banyak digunakan untuk mendapatkan silikon adalah magnesium. Silikon dengan kemurnian 99,98% berhasil didapatkan dari hasil reduksi silika dari sekam padi dengan agen pereduksi Mg pada suhu yang rendah yaitu 650 oC yang juga merupakan temperatur leleh dari Mg [22]. Namun, penggunaan agen pereduksi Mg ini jarang digunakan dalam skala industri karena menyebabkan pembentukan senyawa Mg2Si yang seharusnya dihindari dan
14
reaksinya yang eksotermik menyebabkan temperatur berlebih [9]. Pembentukan senyawa Mg2Si ini dihindari karena akan mengurangi jumlah Si yang dihasilkan. Dalam peneletian sebelumnya dijelaskan bahwa reaksi yang terjadi pada saat proses reduksi silika dengan agen pereduksi Mg adalah sebagai berikut [9]: SiO2(s) + 2Mg(g) = 2MgO(s) + Si(s)
(2.4)
Reaksi lain yang terjadi yaitu pembentukan Mg2Si, berlangsung pada tahap awal reaksi reduksi silika, yang kemudian Mg2Si akan bereaksi dengan SiO2 seperti yang terlihat pada reaksi kimia berikut: SiO2(s) + 4Mg(g) = 2MgO(s) + Mg2Si(s)
(2.5)
Mg2Si(s) + SiO2(s) = 2MgO(s) + 2Si(s)
(2.6)
Dalam keadaan Mg yang berlebih dari stoikiometri, maka akan terjadi reaksi tambahan yaitu Si(s) + 2Mg(g) = Mg2Si(s)
(2.7)
Dan pembentukan senyawa Mg2SiO4 di jelaskan seperti reaksi berikut: 3SiO2(s) + 2Mg(g) = Mg2SiO4(s) + 2SiO(g)
(2.8)
4SiO(g) + 2Mg(g) = Mg2SiO4(s) + 3Si(s)
(2.9)
2MgO(s) + SiO2(s) = Mg2SiO4(s)
(2.10)
2.6 Termodinamika Reaksi Reduksi Magnesiotermik Dalam jurnal penelitian lain, dijelaskan secara termodinamika bahwa terdapat
beberapa
kemungkinan
terjadinya
reaksi
saat
proses
reduksi
magnesiotermik [23]. Reaksi yang terjadi saat awal reduksi dijelaskan seperti reaksi berikut: SiO2 + Mg = MgO + SiO
(2.11)
SiO2 + 2Mg = 2MgO + Si
(2.12)
SiO2 + 4Mg = 2MgO + Mg2Si
(2.13)
Kemudian, terdapat beberapa kemungkinan produk reaksi diatas bereaksi lagi seperti reaksi berikut: SiO2 + Si = 2SiO
(2.14)
SiO2 + MgO = Mg2SiO3
(2.15)
SiO2 + 2MgO = Mg2SiO4
(2.16)
15
Energi bebas Gibbs reaksi diatas bisa dihitung dari penjumlahan energi bebas Gibbs dari masing-masing reaksi penyusunnya seperti berikut ini: Si(s) + O2(g) = SiO2 (s)
(2.17)
∆Go (298-1688 K) = -218670 – 4.62·T·lgT + 58.12·T cal/mol Mg(l) + ½ O2(g) = MgO(s)
(2.18)
∆Go (923–1368 K) = -145540 – 0.23·T·lgT + 28.29·T cal/mol Si(s) + ½ O2(g) = SiO(g)
(2.19)
o
∆G (298-1688 K) = -23640 + 6.73·T·lgT – 41.75·T cal/mol Si(s) + 2Mg(l) = Mg2Si(s)
(2.20)
∆Go (923–1358K) = -22150 + 3.63·T·lgT – 5.0·T cal/mol Mg(l) + Si(s) + 1.5O2(g) = MgSiO3(s)
(2.21)
∆Go (923–1368K) = -370400 – 4.41·T·lgT + 81.16·T cal/mol 2Mg(l) + Si(s) + 2O2(g) = Mg2SiO4(s)
(2.22)
o
∆G (923–1368 K) = -523930 – 8.12·T·lgT+125.01·T cal/mol
2.7 Proses Pemurnian Larutan Asam Proses reduksi silika menggunakan agen pereduksi Mg akan menghasilkan produk samping seperti MgO, Mg2Si dan Mg2SiO4. Untuk menghasilkan silikon dengan kemurnian tinggi, harus dilakukan proses pemurnian selanjutnya. Salah satu pemurnian yang bisa dilakukan adalah acid leaching (pemurnian menggunakan larutan asam). Larutan asam yang biasa digunakan untuk proses pemurnian ini adalah HCl, CH3COOH, dan HF. Dari beberapa penelitian [9], proses pemurnian yang dilakukan dengan dua tahap terbukti bisa menghilangkan senyawa produk samping yang dihasilkan. Pada tahap pertama, pemurnian menggunakan larutan HCl yang akan bereaksi dengan MgO dan Mg2Si. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: MgO(s) + HCl(aq) = MgCl2(aq) + H2O(l)
(2.17)
Mg2Si(s) + HCl(aq) = SiH4(g) + 2MgCl2(aq)
(2.18)
Gas silane (SiH4) yang dihasilkan dari reaksi ini merupakan gas yang reaktif dan dalam udara bebas akan menghasilkan semburan api.
16
Kemudian pada tahap kedua, pemurnian menggunakan campuran antara CH3COOH dan HF yang akan menghilangkan Mg2SiO4 dan sisa silika yang tidak bereaksi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: CH3COOH(aq) + H2O(l) = H3O+(aq) + CH3COO-
(2.19)
MgO(s) + 2H3O+(aq) = Mg2+(aq) + 3H2O(l)
(2.20)
Mg2+(aq) + 2CH3COO- = (CH3COO)2Mg(aq)
(2.21)
4HF(aq) + SiO2(s) = SiF3(aq) + 2H2O(aq)
(2.22)
17
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini akan menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan selama penelitian. Metodologi penelitian ditunjukkan pada diagram alir sebagai berikut: Silika komersial (Merck)
Sintering 1000 oC
Silika kristalin
Reduksi magnesiotermik T= 700, 800, 900 oC, t= 2 jam, ekses 5%.
Karakterisasi XRD
Produk reduksi
Pemurnian larutan asam - HCl - HF dan CH3COOH
Silikon
3.1 Bahan Awal Silika Bahan awal silika yang digunakan pada penelitian ini adalah silika hidrat (SiO2 .x H2O) yang diproduksi oleh Merck Jerman dengan komposisi seperti pada tabel 3.1.
18
Gambar 3.1 Bahan silika awal. Tabel 3.1 Komposisi bahan awal silika. Komposisi
Kadar
SiO2
99,0%
Chloride
< 0,05%
Sulfate
< 0,5%
Fe
< 0,03%
3.2 Proses Sintering Bahan awal silika disintering pada temperatur 1000 oC selama 6 jam dalam crucible alumina menggunakan tungku Nabertherm dengan lingkungan udara biasa dan pendinginan dalam tungku untuk mendapatkan silika dengan fasa kristalin.
19
Gambar 3.2 Tungku listrik Nabertherm.
3.3 Proses Reduksi Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab II, unsur Mg, Ca, Al dan Ti merupakan logam yang sering digunakan dalam mereduksi SiO2. Pada penelitian ini dipilih Mg sebagai agen pereduksi karena faktor harga dan ketersediaannya, serta kemudahan dalam memisahkan senyawa hasil reaksi. Reaksi yang terjadi saat proses reduksi sesuai stoikiometri adalah sebagai berikut: SiO2 + 2Mg = 2MgO + Si Komposisi magnesium yang akan digunakan untuk proses reduksi dihitung seperti persamaan berikut: Berat Mg = Berat SiO2 (gr) dimana
ekses (dilebihkan) dari reaksi stoikiometri.
Dalam penelitian ini, akan dilakukan proses reduksi dengan komposisi Mg dengan ekses 5%. Proses reduksi ini dilakukan dengan mencampurkan serbuk Mg dan silika yang kemudian dihaluskan agar bercampur secara merata. Hal ini dilakukan agar lelehan Mg menyebar dengan mudah dan bereaksi dengan silika.
20
Kemudian, serbuk tersebut direduksi pada temperatur 700, 800, dan 900 oC selama 2 jam dalam tungku listrik dalam lingkungan gas argon yang mengalir.
Gambar 3.3 Tube furnace lingkungan argon. 3.4 Proses Pemurnian Proses pemurnian menggunakan larutan asam dilakukan dengan dua tahapan. Pertama dengan menggunakan larutan HCl 2M pada temperatur 80 oC selama 1 jam. Kemudian dilakukan pemurnian tahap kedua menggunakan larutan HF 5% dan larutan CH3COOH 25% dengan rasio volume 1:9 pada temperatur 80 o
C selama 1 jam.
21
Gambar 3.4 Proses pemurnian larutan asam.
3.5 Proses Karakterisasi Sampel produk reduksi yang didapatkan dari penelitian ini dikarakterisasi menggunakan X-Ray Difractometer (XRD). XRD dilakukan untuk menganalisa secara kualitatif dan kuantatif unsur beserta senyawa yang terdapat dalam sampel.
22
BAB IV DATA DAN ANALISIS 4.1 Struktur Silika Amorf dan Silika Kristalin Pola difraksi sinar-X dari silika komersial (Merck) ditunjukkan oleh gambar 4.1. Pada rentang sudut difraksi 10o hingga 90o, hanya terdapat satu puncak yang lebar pada rentang 15o – 30o dengan nilai tertinggi pada saat sudut 22o. Pola difraksi seperti ini menandakan bahwa silika komersial (Merck) ini memiliki struktur yang amorf. Dengan tidak adanya puncak lain yang tajam, menunjukkan bahwa silika komersial ini tidak memiliki fasa kristalin.
Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-X silika komersial (Merck). Silika komersial tersebut kemudian disintering dengan variasi temperatur dan lama pemanasan. Pola difraksi sinar-X hasil proses sintering dapat dilihat pada gambar 4.2.
23
Gambar 4.2 Pola difraksi sinar-X silika hasil sintering (a) 850 oC selama 4 jam, (b) 950 oC selama 1 jam, (c) 1000 oC selama 6 jam dan (d) 1000 oC selama 12 jam. Silika amorf yang disintering pada temperatur 850 oC selama 4 jam dan 950 oC selama 1 jam, masih menghasilkan struktur silika yang tetap amorf. Hal tersebut ditandai dengan puncak yang lebar pada rentang sudut 15o – 30o dengan intensitas tertinggi pada sudut 22o. Kemudian pada proses sintering temperatur 1000 oC selama 6 jam dan 12 jam menghasilkan pola difraksi sinar-X yang identik yaitu memiliki puncak yang tajam di beberapa sudut. Proses sintering ini menyebabkan silika amorf bertransformasi menjadi silika berfasa kristalin. Pola difraksi sinar-X silika kristalin ini kemudian dibandingkan dengan JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) dari fasa kristalin yang terbentuk yaitu fasa cristobalite dan tridymite.
24
Gambar 4.3 Pola difraksi sinar-X (a) silika kristalin, (b) JCPDS cristobalite (75-923), dan (c) JCPDS tridymite (71-197). Pada gambar 4.3, menunjukkan pola difraksi sinar-X dari silika berfasa kristalin pada rentang sudut 15o – 50o dengan puncak tajam paling tinggi pada sudut 22o. Jika dibandingkan dengan JCPDS, maka puncak tajam pada sudut 22 o, 28,4o; 31,4o dan 36,1o menunjukkan fasa cristobalite. Sedangkan fasa tridymite ditunjukkan dengan puncak dari dua sudut yang berdekatan sehingga membentuk puncak yang cukup tinggi yaitu pada sudut 20,5o dan 21,7o serta 26,5o dan 27,6o.
25
Dengan menggunakan software X-Powder untuk analisa kuantitatif pola difraksi sinar-X, didapatkan komposisi fasa pada silika hasil sintering sebagai berikut: Tabel 4.1 Komposisi fasa pada silika kristalin Fasa
% Berat
Cristobalite
85,8
Tridymite
14,2
Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X silika kristalin. Simbol C dan T adalah posisi puncak cristobalite dan tridymite. Silika amorf yang disintering mengalami penyusutan setelah dilakukan pemanasan. Penyusutan silika amorf mulai terjadi pada temperatur diatas 950 oC yang dipanaskan lebih dari 1 jam. Oleh karena itu, silika kristalin memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan silika amorf.
26
Gambar 4.5 Tampak visual serbuk silika (a) amorf dan (b) kristalin.
4.2 Termodinamika Reaksi Reduksi Pada Bab 2.6 sudah dijelaskan mengenai kemungkinan terjadinya reaksi ditinjau dari termodinamikanya. Sehingga, jika dihitung menurut persamaan di Bab 2.6, maka didapatkan energi bebas Gibbs dari reaksi yang kemungkinan terjadi dalam reduksi magnesiotermik, yaitu: ∆Go (700oC) = 50,93 kJ/mol (4.1)
SiO2(s) + Mg(l) = MgO(s) + SiO(g)
∆Go (800oC) = 37 kJ/mol ∆Go (900oC) = 23,27 kJ/mol ∆Go (700oC) = -258,62 kJ/mol (4.2)
SiO2(s) + 2Mg(l) = 2MgO(s) + Si(s)
∆Go (800oC) = -253,27 kJ/mol ∆Go (900oC) = -247,85 kJ/mol SiO2(s) + 4Mg(l) = 2MgO(s) + Mg2Si(s)
∆Go (700oC) = -327,5 kJ/mol (4.3) ∆Go (800oC) = -319,01 kJ/mol ∆Go (900oC) = -310,39 kJ/mol ∆Go (700oC) = 360,49 kJ/mol (4.4)
SiO2(s) + Si(s) = 2SiO(g)
∆Go (800oC) = 327,29 kJ/mol ∆Go (900oC) = 294,39 kJ/mol ∆Go (700oC) = -41,91 kJ/mol (4.5)
SiO2(s) + MgO(s) = MgSiO3(s)
∆Go (800oC) = -43,48 kJ/mol ∆Go (900oC) = -45,03 kJ/mol ∆Go (700oC) = -54,33 kJ/mol (4.6)
SiO2(s) + 2MgO(s) = Mg2SiO4(s)
∆Go (800oC) = -54,4 kJ/mol ∆Go (900oC) = -54,52 kJ/mol
27
Selain itu, dihitung juga energi bebas Gibbs dari reaksi reduksi yang mungkin terjadi, seperti berikut ini: Mg2Si(s) + SiO2(s) = 2MgO(s) + 2Si(s)
∆Go (700oC) = -189,75 kJ/mol (4.7)
3SiO2(s) + 2Mg(g) = Mg2SiO4(s) + 2SiO(g) ∆Go (700oC) = 47,52 kJ/mol (4.8) 4SiO(g) + 2Mg(g) = Mg2SiO4(s) + 3Si(s)
∆Go (700oC) = -1033,95 kJ/mol (4.9)
Seperti yang sudah diketahui bahwa semakin negatif energi bebas Gibbs dari suatu reaksi menandakan reaksi tersebut bisa terjadi secara spontan tanpa tambahan energi dari luar. Sehingga dapat terlihat bahwa reaksi berikut sukar untuk terjadi di dalam reaksi reduksi ini, SiO2(s) + Mg(l) = MgO(s) + SiO(g)
∆Go (700oC) = 50,93 kJ/mol (4.10)
SiO2(s) + Si(s) = 2SiO(g)
∆Go (700oC) = 360,49 kJ/mol (4.11)
3SiO2(s) + 2Mg(g) = Mg2SiO4(s) + 2SiO(g) ∆Go (700oC) = 47,52 kJ/mol (4.12)
4.3 Struktur Silika Hasil Reduksi Proses reduksi dilakukan dengan memanaskan silika komersial berfasa amorf dan silika komersial berfasa kristalin yang disintering pada temperatur 1000 o
C selama 6 jam, dalam satu combustion boats. Proses reduksi dilakukan mulai
dari temperatur paling rendah yaitu 700 oC selama 2 jam dengan ekses magnesium sebesar 5% yang kemudian divariasikan temperaturnya hingga 900 oC untuk mencari persen berat silikon maksimum yang dihasilkan.
Gambar 4.6 Tampak visual hasil reduksi (a) silika amorf, dan (b) silika kristalin. Dari pola difraksi sinar-X yang didapat, terlihat bahwa proses reduksi menghasilkan produk samping reduksi berupa MgO, Mg2Si, dan Mg2SiO4 yang dibuktikan dengan membandingkannya dengan JCPDS. Kemudian, dengan menggunakan software Xpowder, didapatkan analisa kuantitatif dari pola difraksi sinar-X. 28
Gambar 4.7 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 700oC (b) JCPDS Mg2SiO4 (34-189) (c) JCPDS MgO (43-1022) (d) JCPDS Si (27-1402) dan (e) JCPDS Mg2Si (35-773). 29
Gambar 4.8 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika kristal temperatur 700oC, (b) JCPDS tridymite (3-218), (c) JCPDS MgO (43-1022), (d) JCPDS Mg2SiO4 (76-563), (e) JCPDS cristobalite (77-1316), (f) JCPDS Si (77-2108) dan (g) JCPDS Mg2Si (35-773) 30
Pada gambar 4.8 (a) terlihat pola difraksi sinar-X hasil reduksi silika amorf yang memiliki rentang sudut 15o – 85o dengan memiliki puncak-puncak yang tajam di beberapa sudut. Jika dibandingkan dengan JCPDS, maka terlihat senyawa Mg2SiO4 memiliki puncak tajam di sudut 17,3o ; 22,8o ; 23,8o ; 25,4o ; 29,8o ; 32,3o ; 35,7o ; 36,5o ; 39,7o ; dan 52,2o. Kemudian senyawa MgO ditunjukkan dengan puncak yang tajam pada sudut 36,9o ; 42,9o ; 62,2o ; 74,6o ; dan 78,6o. Senyawa Mg2Si ditunjukkan dengan puncak tajam pada sudut 24,2o dan 40,1o. Dan unsur Silikon ditunjukkan dengan puncak yang tajam di sudut 28,4 o ; 47,3o ; 56,1o ; dan 76,3o. Pada gambar 4.9 (a) terlihat pola difraksi sinar-X hasil reduksi silika kristalin yang memiliki rentang sudut 15o – 85 dengan puncak-puncak yang tajam yang identik dengan gambar 4.8 (a). Namun terdapat perbedaan sedikit yaitu munculnya puncak fasa tridymite yang muncul pada sudut 20,5o dan 21,7o serta cristobalite yang muncul pada sudut 22o.
Gambar 4.9 Pola difraksi sinar-X hasil reduksi (a) silika amorf dan (b) silika kristalin. 31
Tabel 4.2 Pengaruh struktur terhadap hasil reduksi silika Kondisi Reduksi
Persen Berat
Bahan
Temp
Si
MgO
Mg2Si Mg2SiO4
Awal
(oC)
SiO2
700
20,4
52,1
11,3
700
20,2
50,9
9,3
SiO2-
SiO2-
Cristobalite
Tridymite
16,2
-
-
11,2
5,3
3,0
amorf SiO2 kristalin Dari analisa kuantitatif pola difraksi sinar-X, terlihat bahwa jumlah senyawa Mg2Si dan Mg2SiO4 pada hasil reduksi silika kristalin lebih rendah dibandingkan silika amorf. Hal tersebut terjadi karena hasil reduksi silika kristalin masih menyisakan SiO2 berfasa cristobalite dan tridymite yang tidak bereaksi dengan Mg. Kemudian, dapat terlihat juga bahwa jumlah unsur silikon yang dihasilkan dari silika amorf dan kristalin relatif tidak jauh berbeda. Namun, hasil tersebut belum memberikan jumlah yang maksimum, sehingga dilakukan variasi temperatur 800 dan 900 oC.
4.4 Analisa Hasil Reduksi Silika Pengaruh
temperatur
terhadap
pembentukan
senyawa
magnesium
dilakukan dengan memvariasikan temperatur reduksi yaitu pada 700 – 900 oC. Selain itu, struktur bahan awal silika juga divariasikan antara silika amorf dan kristalin. Pola difraksi sinar-X yang didapat kemudian dibandingkan dengan JCPDS senyawa-senyawa dari magnesium dan silikon. Analisa kuantitatif dari pola difraksi sinar-X dilakukan menggunakan bantuan software Xpowder. Analisa kualitatif dari pola difraksi sinar-X hasil reduksi silika amorf pada temperatur 800 dan 900 oC dapat dilihat pada gambar 4.11 dan 4.12. Perbandingan pola difraksi sinar-X silika amorf yang divariasikan temperatur reduksinya, dapat dilihat pada gambar 4.13. Sedangkan analisa kuantitatif dari hasil kondisi reduksi tersebut terlihat dalam tabel. 4.3.
32
Gambar 4.10 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 800oC (b) JCPDS Mg2SiO4 (34-189), (c) JCPDS MgO (43-1022), dan (d) JCPDS Si (27-1402).
33
Gambar 4.11 Pola difraksi sinar-X (a) hasil reduksi silika amorf temperatur 900oC (b) JCPDS Mg2SiO4 (78-1372) (c) JCPDS MgO (43-1022) (d) JCPDS Si (27-1402) dan (e) JCPDS Cristobalite-SiO2 (76-939).
34
Gambar 4.12 Pola difraksi sinar-X hasil reduksi silika amorf pada (a) 700 oC (b) 800 oC dan (c) 900 oC. Tabel 4.3 Variasi temperatur terhadap hasil reduksi Kondisi Reduksi Bahan Awal
Temp(oC)
Persen Berat Si
MgO Mg2Si Mg2SiO4
SiO2-
SiO2-
Cristobalite
Tridymite
Silika amorf
700
20,4
52,1
11,3
16,2
-
-
Silika amorf
800
22,8
58,7
-
18,5
-
-
Silika amorf
900
19,9
53,7
-
23,8
2,6
-
Silika kristalin
700
20,2
50,9
9,3
11,2
5,3
3,0
Silika kristalin
800
21,6
56,2
-
8,7
13,5
-
Silika kristalin
900
20,5
61,5
-
13,5
4,4
-
35
Secara termodinamika, senyawa produk reduksi magnesiotermik terjadi seperti reaksi-reaksi berikut: SiO2(s) + 4Mg(l) = 2MgO(s) + Mg2Si(s)
∆Go (800oC) = -319,01 kJ/mol (4.13)
SiO2(s) + 2Mg(l) = 2MgO(s) + Si(s)
∆Go (800oC) = -253,27 kJ/mol (4.14)
SiO2(s) + Mg2Si(s) = 2MgO(s) + 2Si(s)
∆Go (800oC) = -187,54 kJ/mol (4.15)
SiO2(s) + 2MgO(s) = Mg2SiO4(s)
∆Go (800oC) = -54,4 kJ/mol (4.16)
SiO2(s) + MgO(s) = MgSiO3(s)
∆Go (800oC) = -43,48 kJ/mol (4.17)
Dari reaksi diatas terlihat bahwa pembentukan senyawa MgO dan Mg2Si akan lebih banyak dibandingkan pembentukan MgO dan Si. Namun dalam penelitian ini, pada temperatur 800 dan 900 oC tidak terdeteksi terbentuknya senyawa Mg2Si. Hal tersebut bisa terjadi karena senyawa Mg2Si bereaksi lagi dengan silika membentuk MgO dan Si. Kemudian senyawa Mg2SiO4 bisa terbentuk karena reaksi antara MgO bereaksi dan silika. Senyawa MgSiO3 tidak terdeteksi pada penelitian ini, hal tersebut bisa terjadi karena memiliki energi bebas Gibbs paling besar. Dari tabel 4.3 terlihat bahwa hasil reduksi silika amorf memiliki senyawa Mg2SiO4 yang lebih banyak dibandingkan dengan hasil reduksi silika kristalin. Selain itu, reduksi silika kristalin masih menyisakan SiO 2 yang tidak bereaksi. Ini membuktikan bahwa silika amorf memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan silika kristalin. Hal tersebut bisa terjadi karena ukuran partikel silika amorf yang relatif kecil sehingga memudahkan bereaksi dengan senyawa lain. Reaktivitas silika amorf menyebabkan reaksi silika dan MgO terjadi lebih banyak dibandingkan silika kristalin sehingga menghasilkan senyawa Mg2SiO4 yang lebih besar pula. Kemudian, jika dilihat pengaruh variasi kristalinitas silika terhadap persen berat silikon yang terbentuk, maka tidak terjadi pembentukan silikon yang jauh berbeda antara silika amorf dan kristalin. Pembentukan senyawa Mg2SiO4 bertambah seiring dengan meningkatnya temperatur. Hal tersebut terlihat pada hasil reduksi silika amorf. Namun, pada hasil reduksi silika kristalin dengan temperatur 800 oC, pembentukan Mg2SiO4 lebih kecil dibandingkan dengan temperatur 700 dan 900 oC. Hal tersebut bisa
36
terjadi karena terdapat sisa SiO2 sebesar 13,5% yang tidak bereaksi dengan senyawa lain. Kemudian, terbentuknya senyawa silika berfasa cristobalite pada hasil reduksi silika amorf temperatur 900 oC, menunjukkan bahwa selain terjadi proses reduksi magnesiotermik juga terjadi transformasi fasa silika amorf menjadi kristalin. Hasil reduksi silika amorf pada temperatur 800 oC menghasilkan persen berat silikon yang paling besar dibandingkan dengan kondisi reduksi yang lain yaitu 22,8% meskipun menghasilkan senyawa Mg2SiO4 sebesar 18,5%.
4.5 Analisa Produk Akhir Silikon Hasil reduksi silika dimurnikan dengan menggunakan larutan asam seperti HCl, HF, dan CH3COOH. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan semua produk samping yang dihasilkan dari proses reduksi. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II, larutan asam akan melarutkan produk samping dan hanya menyisakan unsur silikon. Pada tahap pertama pemurnian, senyawa MgO dan Mg2Si akan larut dalam asam seperti reaksi berikut ini: MgO(s) + HCl(aq) = MgCl2(aq) + H2O(l)
(4.18)
Mg2Si(s) + HCl(aq) = SiH4(g) + 2MgCl2(aq)
(4.19)
Kemudian, pada tahap kedua pemurnian, senyawa Mg2SiO4 dan sisa SiO2 akan hilang seperti reaksi berikut: Mg2SiO4(s) + 4H+ = 2Mg2+(aq) + H4SiO4o
(4.20)
Mg2+(aq) + 2CH3COO- = (CH3COO)2Mg(aq)
(4.21)
4HF(aq) + SiO2(s) = SiF3(aq) + 2H2O(aq)
(4.22)
37
Gambar 4.13 Pola difraksi sinar-X (a) setelah dan (b) sebelum proses pemurnian. Namun pada penelitian ini, setelah proses pemurnian larutan asam tidak sepenuhnya mendapatkan unsur silikon saja. Namun terdapat senyawa magnesium lain yang masih tersisa, yaitu pada rentang sudut 15 – 27,5o dan pada sudut 30 – 32 o.
38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang sudah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Silika amorf akan bertransformasi menjadi kristalin setelah disintering pada temperatur 1000 oC. 2. Silika amorf memiliki kereaktifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan silika kristalin. 3. Pengaruh variasi kristalinitas silika tidak menghasilkan perbedaan persen berat silikon yang terlalu besar. 4. Hasil reduksi silika amorf pada temperatur 800 oC menghasilkan persen berat silikon yang paling tinggi. 5. Proses pemurnian larutan asam dapat menghilangkan senyawa magnesium seperti MgO dan Mg2Si.
5.2 Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, penulis menyarankan hal berikut untuk perbaikan penelitian selanjutnya: 1. Diperlukan metode untuk meminimalisir terbentuknya senyawa magnesium seperti Mg2Si dan Mg2SiO4, yaitu dengan pemisahan serbuk magnesium dan silika dalam combustion boats.
39
DAFTAR PUSTAKA 1. Statistik Listrik 2012, Pusdatin KESDM RI (Pusat Data dan Sistem Informasi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia). 2. Situs resmi Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia (http://www.kemenegpdt.go.id, diakses 25 April 2013). 3. I. Rahardjo dan I. Fitriana, Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia, Strategi Penyediaan Listrik Nasional Dalam Rangka Mengantisipasi Pemanfaatan PLTU Batubara Skala Kecil, PLTN dan Energi Terbarukan, hal. 43-52. 4. H. Kawamoto, K. Okuwada, Development Trend for High Purity Silicon Raw Material Technologies, Quarterly Review 24, July 2007. 5. R. M. Swanson, A Vision for Crystalline Silicon Photovoltaics, Progress in Photovoltaics: Research and Application, 14:443-453, 2006. 6. Laporan Tahunan Badan Geologi 2011, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. 7. Situs
resmi
Kementrian
Pertanian
Republik
Indonesia
(http://www.deptan.go.id, diakses 31 Mei 2013) 8. K. K. Larbi, Synthesis of High Purity silikon form Rice Husk, M.S. Thesis, Department of Material Science and Engineering, University of Toronto, 2010. 9. S. E. Sadique, Production and Purification of Silicon by Magnesiothermic Reduction of Silica Fume, M.S Thesis, Department of Material Science and Engineering, University of Toronto, 2010 10. Statistik PLN 2011, PT. Pembangkit Listrik Negara (Persero). 11. S. Ranjan, S. Balaji, R.A. Panella, B.E. Ydstie, Review Silicon Solar Cell Production, Computers and Chemical Engineering, 35:1439-1453, 2011. 12. A. Muller, M. Ghosha, R. Sonnenschein, and P. Woditsch, Silicon for Photovoltaics Application, Material Science and Engineering B, 134:257262, 2006. 13. Badruzaman, Pengaruh Ekses Aluminium dan Temperatur Reaksi pada Proses Ekstraksi Silikon dari Abu Sekam Padi, Tugas Sarjana, Teknik Material FTMD ITB, 2011. 40
14. Onojah, A., Amah, A.N. and Ayomanor, B.O. Comparative Studies of Silicon from Rice Husk Ash and Natural Quartz. American Journal of Scientific and Industrial Research, 3(3):146-149, 2012. 15. N. Ikram and M. Akhter, X-ray Diffraction Analysis of Silicon Prepared from Rice Husk Ash, Journal of Material Science, 23:2379-2381, 1988. 16. V.J. Fratello, J. F. Hays and D. Turnbull, Dependence of growth rate of quartz in fused silica on pressure and impurity content, Journal of applied physic, 51(9):4718-4728, 1980. 17. J.P. Nayak and J. Bera, Effect of Sintering Temperature on Phase-Formation Behaviour and Mechanical Properties of Silica Ceramics Prepared from Rice Husk Ash, Phase Trasnsitions, 82(12):879-888 , 2009. 18. Y. Shinohara and N. Kohyama, Quantitative Analysis of Trydimite and Cristobalite Crystallized in Rice Husk Ash by Heating. Industrial Health, 42:277-285, 2004. 19. B.R. Bathey, M.C. Cretella. Review Solar Grade Silicon, Journal of Material Science, 17:3077-3096, 1982. 20. S. Amendola, Overview of Manufacturing Processes for Solar-Grade Silicon, RSI Silicon, 2011. 21. A. Ciftja, T.A. Engh, M. Tangstad, Refining and Recyling of Silicon : A Review, Norwegian University of Science and Technology, Trondheim, February 2008. 22. E. Swatsitang and M. Krochai, Preparation and Characterization of Silikon from Rice Hulls, Journal of Metals, Materials and Minerals, 19(2):91-94, 2009. 23. A. Nadiradze, I. Baratashvili, I. Pulariani and K. Ukleba, Thermodynamic Probability of Realization of the Process of Silicon Dioxide Reduction by Magnesium at High Temperatures, Bulletin of The Georgian National Academy of Science, 3(2):95-99, 2009.
41
LAMPIRAN
Hasil Karakterisasi
Gambar 1. Pola difraksi sinar-X bahan awal silika amorf komersial. 42
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X silika amorf setelah disintering pada temperatur 850 oC selama 4 jam.
43
Gambar 3. Pola difraksi sinar-X silika amorf setelah disintering pada temperatur 1000 oC selama 12 jam.
44
Gambar 4. Pola difraksi sinar-X silika amorf setelah disintering pada temperatur 1000 oC selama 12 jam. 45
Gambar 5. Pola difraksi sinar-X silika amorf setelah disintering pada temperatur 950 oC selama 1 jam.
46
Gambar 6. Pola difraksi sinar-X reduksi silika amorf pada T = 800oC.
47
Gambar 7. Pola difraksi sinar-X reduksi silika kristalin pada T = 800oC.
48
Gambar 8. Pola difraksi sinar-X reduksi silika amorf pada T = 700oC. 49
Gambar 9. Pola difraksi sinar-X silika kristalin pada T = 700oC.
50
Gambar 10. Pola difraksi sinar-X serbuk Mg dan silika amorf.
51
Gambar 11. Pola difraksi sinar-X produk akhir silikon.
52