INOVASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BILINGUAL Sabri1 Abstrak:
Pendidikan yang mengembang misi emansipasi (pemberdayaan) tidak hanya berfokus pada upaya membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kemampuan komunikasi yang baik. Bahasa sebagai parameter budaya dan alat komunikasi menjadi keterampilan yang mutlak dikuasai oleh peserta didik. Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi internasional yang dikuasai oleh peserta didik dapat dijadikan alat untuk lebih memahami matematika. Ini dimungkinkan karena dengan menguasai cara berbahasa yang mewarnai cara berpikir pada pengembang matematika akan sangat membantu mempermudah memahami hasil pemikiran pengembang matematika itu. Pendidikan matematika bilingual (dan berbasis teknologi informasi dan komunikasi) adalah suatu inovasi pembelajaran yang sangat pontesial untuk diimplementasikan secara efektif guna mencapai tujuan pembelajaran matematika yang dicita-citakan, yaitu terwujudnya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang berdaya saing dan memungkinkannya bertahan hidup dan sekaligus melaju secara aktif, partisipatif, beradaptasi, mengikuti, dan menggerakkan dinamika perkembangan zaman.
Kata Kunci: Pendidikan matematika, pembelajaran bilingual, inovasi pembelajaran.
RASIONAL Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) menuntut setiap kita untuk memiliki kompetensi yang memungkinkan bertahan hidup dan sekaligus melaju secara aktif, partisipatif, beradaptasi, mengikuti, dan menggerakkan dinamika perkembangan zaman. Hasil riset terkini menunjukkan bahwa kecakapan komunikasi menempati posisi tertinggi dalam daftar kompetensi sumber daya manusia unggul dan kompetitif yang dibutuhkan di dunia. Kemudian menyusul, kompetensi lain misalnya keterampilan kerja tim, kemauan bekerja keras, dan kompetensi keilmuan (kognitif). Penyiapan sumber daya manusia yang demikian diyakini hanya dapat diupayakan melalui penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada sistem yang unggul, berstandar mutu tinggi, dan bertaraf internasional. Pada tataran yang sangat esensial, proses pendidikan dituntut untuk mampu menghasilkan manusia yang tidak hanya cerdas dan berkompetensi ipteks yang tinggi, tetapi juga memiliki kecakapan Bahasa Inggris yang tinggi. Melalui pendidikan, siswa tidak hanya dibekali dengan kompetensi penguasaan ipteks, tetapi juga kompetensi komunikasi dalam Bahasa Inggris secara umum, dan secara khusus, kompetensi untuk mengkomunikasikan ipteks yang mereka kuasai dengan menggunakan Bahasa Inggris. Kelak, merekalah yang akan
1
Dosen Jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, Makassar Indonesia
1
mampu untuk ikut berperan serta sebagai warga aktif masyarakat dunia global yang cenderung mengabaikan sekat-sekat geografis antar negara. MENGAPA INOVASI DIPERLUKAN? Inovasi model pembelajaran perlu terus dikembangkan dan hasilnya seyogyanya diimplementasikan secara tepat pada tingkat sekolah atau pendidikan tinggi yang sesuai. Kita tidak boleh lagi semata-mata mengandalkan hasil inovasi dari luar negeri yang belum tentu konteksnya sejalan dengan konteks kita. Namun, inovasi dari luar bukannya harus ditolak mentah, karena ada saja kemungkinan bahwa dengan adaptasi yang tepat, inovasi tersebut justru sangat membantu menciptakan suatu proses belajar mengajar yang efektif. Pembelajaran kooperatif (Arends, 1997, Steven & Slavin, 1995) adalah sebuah inovasi model pembelajaran yang secara luas telah terbukti efektif meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya dalam pembelajaran matematika— yang menjadi bidang fokus tulisan ini. Hasil ini tidak hanya diperoleh pada tingkat sekolah, tetapi juga pada tingkat pendidikan tinggi. Banyak lagi inovasi model pembelajaran lain yang telah dikembangkan dengan mengacu pada filsafat konstruktivisme dengan basis pendekatan yang kontekstual. Paradigma pembelajaran yang berpusat pada siswa sebagai suatu lompatan paradigma dari pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi warna dalam model pembelajaran inovatif, di samping integrasi teknologi informasi dan komunikasi sebagai basisnya. Khusus dalam pendidikan matematika, perkembangan terkini mengarah pada bagaimana mengintegrasikan Bahasa Inggris ke dalam pembelajaran matematika sehingga kompetensi siswa terbangun secara lebih utuh, yaitu, memiliki kemampuan matematika yang memadai sekaligus memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang cakap. Pada sekolah-sekolah yang ditetapkan sebagai SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), pembelajaran matematika dilaksanakan dengan mengimplementasikan model-model pembelajaran inovatif yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa instruksional. Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas telah membuka kelas bilingual pendidikan matematika, misalnya Universitas Negeri Makassar dan Universitas Negeri Surabaya. BILINGUALISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Pentingnya pembelajaran bilingual mendapat dukungan dari para ahli pendidikan matematika seperti Candia Morgan (2007). Beliau mengajukan suatu pertanyaan retoris “Who is not multilingual now?” untuk menggugah kalangan yang terlibat dalam pendidikan bahwa pembelajaran matematika perlu menciptakan suasana yang memberdayakan peserta didik dalam hal keragaman bahasa instruksional yang dipakai. Pendekatan kontekstual yang telah diterapkan secara meluas dalam pembelajaran matematika di berbagai tingkat pendidikan perlu didukung dengan kesadaran bahwa di samping perlu mengaitkan matematika dengan konteks keseharian peserta didik agar mereka bisa lebih mudah memahaminya, perlu juga memperhatikan budaya yang menjadi konteks awal pengembangan kajian matematika. 2
Lebih lanjut, Stathopoulou dan Kalabasis (2007) menyatakan bahwa jika kita memandang bahwa bahasa adalah parameter budaya yang mempengaruhi pembelajaran matematika, maka kita tidak bisa mengabaikan peran kultural bahasa, misalnya, keterkaitannya dengan identitas diri. Mengacu pada pandangan ini, sangat beralasan untuk menyatakan bahwa cara pengungkapan dan pembahasan konsep-atau ide-ide matematika yang dikembangkan oleh para matematikawan—yang lebih banyak di negara Barat— pasti dipengaruhi oleh budaya berbahasa mereka. Oleh karena itu, mempelajari matematika dengan pengantar Bahasa Inggris—menggunakan pola pikir Bahasa Inggris—akan mempengaruhi pemahaman peserta didik tentang matematika yang dipelajarinya. Adalah wajar jika banyak kalangan mempertanyakan: Bagaimana pembelajaran yang menggunakan bahasa kedua berpengaruh pada perkembangan intelektual peserta didik? Hingga akhir tahun 1960-an, keyakinan yang meluas dimiliki oleh beberapa kalangan masyarakat dan juga peneliti adalah bahwa pembelajaran bilingual (dwibahasa) bias menghambat perkembangan kecerdasan peserta didik. Mereka berpendapat bahwa efek berimbang adalah implikasi dari pembelajaran dwibahasa, artinya, peserta didik memang menguasai kompetensi berbahasa kedua, akan tetapi mereka tertinggal dalam perkembangan kognitif dibandingan dengan sejawat mereka yang hanya menggunakan satu bahasa—bahasa ibu—dalam belajar. Keyakinan semula sebagaimana yang tertera di atas sesungguhnya didasarkan pada pemahaman yang terbatas tentang makna dari skor tes IQ. Para peneliti memiliki keyakinan lebih dari sekedar jaminan validitas dan universalitas skor tes IQ tersebut. Seringkali, peserta didik bilingual dites dengan menggunakan bahasa yang masih belum dikuasai dan kemudian dibandingkan dengan peserta didik satu bahasa yang dites dengan menggunakan bahasa ibu mereka. Perlakuan ini sekarang dihindari dan para peneliti psikologi pendidikan menyadari bahwa faktor lain, misalnya sosial ekonomi dan linguistik, perlu dipertimbangkan dalam menafsirkan skor test IQ. Kenyataannya, para peneliti (lihat Barwell, Barton, & Setati, 2007; Moschkovich, 2007; Clarkson, 2007) menemukan bahwa peserta didik yang menguasai dengan baik dua bahasa cenderung menunjukkan pencapaian prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menguasai hanya satu bahasa. Beberapa temuan lain, terangkum dalam Sarasas Ektra School (2008), yang menjanjikan adalah: 1. Peserta didik dalam program bilingual memiliki kesadaran metalinguistik yang lebih dibandingkan dengan mereka yang hanya monolingual. Sebagai contoh, mereka yang berdwibahasa cenderung lebih menyadari bahwa nama dari sesuatu semata-mata adalah kesepakatan bahasa dan bukan sifat yang melekat sebagai sifat dari sesuatu tersebut. Dalam matematika, Bahasa Indonesia menggunakan segiempat (mengacu pada titik sudutnya), tetapi Bahasa Inggris menggunakan quadrilateral (mengacu pada sisinya). Pemahaman semacam ini menyadarkan peserta didik, bahwa dalam suasana multibudaya dan multibahasa, tidak sepantasnya ada klaim bahwa bahasa tertentu lebih benar atau tepat jika dibandingkan dengan bahasa lain. 3
2. Peserta didik bilingual lebih mampu menguasai pembentukan konsep yang lebih tinggi. Alasannya adalah bahwa mereka memiliki pengalaman berbahasa yang lebih luas karena terlibat aktif dalam dua sistem budaya dan bahasa. Terkadang nama dari sebuah konsep pada satu sistem bahasa memandu peserta didik memahami konsep itu dalam bahasa ibunya dengan lebih baik. Contoh (ini mungkin bukan konsep yang tinggi): Bahasa Inggris, 2 > 1 dibaca ‘two is greater than one’, atau 3 < 4 dibaca ‘three is less than four.’ Terkadang dalam Bahasa Indonesia, pendidik secara sembrono mengatakan dua lebih besar dari(pada) satu dan tiga lebih kecil dari(pada) empat. Kebiasaan itu diikuti oleh peserta didik. Setelah diperhadapkan pada kasus: Bandingkan antara:
2 dan Peserta didik mungkin akan mengalami konflik kognitif. Untuk kasus di atas, ada saja yang akan mengatakan bahwa ’dua lebih kecil dari(pada) satu,’ tetapi tetap ’dua lebih dari satu.’ Dalam matematika, yang dibandingkan adalah value (nilai) dari sebuah bilangan, bukan size (ukuran). Sehingga, pada kasus di atas, dua lebih kecil dari(pada) satu, tetapi (nilai dari) dua lebih dari(pada) (nilai dari) satu. Atau, satu lebih besar dari dua (ukuran bentuk tulisannya), tetapi (nilai dari) satu tetap kurang dari(pada) (nilai dari) dua. 3. Terkait dengan code switching (pengalihan dan satu bahasa ke bahasa lainnya), peserta didik bilingual lebih mampu dalam pengorganisasian konsep. Alasannya, mereka terbiasa beralih dari satu sistem bahasa ke sistem bahasa yang lain—yang sangat mungkin berbeda—sehingga kemampuan memandang sesuatu dari sudut pandang, sistem, atau konteks yang berbeda (baru) lebih baik. Contoh: Definition of function A relation f from a non-empty set A to another non-empty set B is called a function if and only if each member of A is assigned to a unique member of B. Dengan simbol logika, dikatakan bahwa: sebuah pengaitan f: A → B disebut fungsi ⇔ ∀a∈A, ∃!b∈B ∋ f(a) = b. Atau:
4
If f is a subset of A×B and each member of A occurs exactly once as the first component of ordered pairs contained in f, then f is a function. POTENSI LAINNYA: INTERNET-BASED LEARNING Teknologi informasi dan komunikasi masih dan akan terus menjadi topik utama dalam pembicaraan tentang inovasi pembelajaran matematika dewasa ini. Kekayaan potensi yang ditawarkan oleh teknologi ini demikian menjanjikan dan semuanya dapat diberdayakan guna menfasilitasi pembelajaran matematika yang efektif. Dan lagi, semua itu bisa djangkau cukup dengan menggunakan ujung jari. Semakin mudah dan murahnya akses internet menjadi potensi baru yang dapat diberdayakan dalam proses belajar mengajar. Di dalamnya, tersedia banyak sekali sumber belajar yang dapat membantu peserta didik memahami matematika. Di pihak pendidik, pemanfaatan sumber belajar berbasis internet yang tepat lewat penyeleksian yang cerdas dan arif sangat membantu mereka menjalankan fungsi fasilitator sekaligus mendukung upaya pengembangan profesionalisme mereka. Mudahnya akses internet sangat mendukung pembelajaran matematika bilingual. Banyak sekali sumber belajar berbahasa Inggris yang tersedia di dunia maya. Beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan di antaranya adalah pentingnya seleksi terhadap sumber-sumber belajar tersebut. Sangat banyak tersedia sumber belajar berbasis internet yang baik dan benar, tetapi banyak juga yang tidak benar atau tidak baik. Akan sangat mudah menemukan situssitus pembelajara matematika yang sangat efektif karena dibangun oleh universitas-universitas bonafid sebagai salah satu wujud tanggung jawab sosial mereka, tetapi banyak juga publikasi di internet yang berupaya mengajukan ideide tidak berdasar yang cenderung menyesatkan dan merusak pemahaman konsep matematika, misalnya publikasi yang berisi argumentasi bagaimana pembagian bilangan real dengan nol. Oleh karena itu, sepanjang masih bisa dilakukan, pendidik seharusnya mampu menunjukkan kepada peserta didik sumber mana yang baik dan benar untuk diakses. Untuk itu, pendidik dituntut lebih aktif menelusuri sumbersumber belajar matematika berbasis internet dan menganalisisnya secara komprehensif untuk kemudian memilih sumber-sumber yang layak untuk diakses oleh peserta didik. Langkah di atas hanya dapat dilakukan secara terbatas karena peserta didik dengan mudah bisa mengakses internet secara bebas tanpa kendali dari pendidik. Di luar kendali pendidik, misalnya akses internet yang tidak dilakukan di lingkungan sekolah atau pusat internet kampus, peserta didik diharapkan mampu menyeleksi sendiri sumber belajar yang diterbitkan oleh pihak yang memiliki authority (kewenangan) yang jelas. Tantangan bagi mereka adalah bagaimana menentukan kelayakan suatu sumber belajar untuk dijadikan acuan dalam mengkaji suatu ide matematika, sedangkan pada saat yang sama juga mereka justru baru memulai mengkaji ide tersebut.
5
PENUTUP Pendidikan yang mengembang misi emansipasi (pemberdayaan) tidak hanya berfokus pada upaya membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga kemampuan komunikasi yang baik. Bahasa sebagai parameter budaya dan alat komunikasi menjadi keterampilan yang mutlak dikuasai oleh peserta didik. Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi internasional yang dikuasai oleh peserta didik dapat dijadikan alat untuk lebih memahami matematika. Ini dimungkinkan karena dengan menguasai cara berbahasa yang mewarnai cara berpikir pada pengembang matematika akan sangat membantu mempermudah memahami hasil pemikiran pengembang matematika itu. Sampai saat ini, para pengembang matematika lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris (sebagai bahasa ibu) atau menggunakan Bahasa Inggris untuk mempublikasikan temuan, ide, atau gagasan yang dikembangkan. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dalam konteks bilingual (dan berbasis teknologi informasi dan komunikasi) adalah suatu inovasi pembelajaran yang sangat pontesial untuk diimplementasikan secara efektif guna mencapai tujuan pembelajaran matematika yang dicita-citakan. DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Barwell, R., Barton, B., & Setati, M. 2007. Multilingual Issues in Mathematics Education: Introduction, Educational Studies in Mathematics, 64, 113-119. Clarkson, P.C. 2007. Australian Vietnamese Students Learning Mathematics: High Ability Bilinguals and Their Use of Their Language, Educational Studies in Mathematics, 64, 191-215. Morgan, C. 2007. Who is not Multilingual Now?, Educational Studies in Mathematics, 64, 239-242. Stathopoulou, C. & Kalabasis, F. 2007. Language and Culture in Mathematics Education: Reflections on Observing A Romany Class in a Greek School, Educational Studies in Mathematics, 64, 231-238. Moschkovich, J. 2007. Using Two Languages When Learning Mathematics, Educational Studies in Mathematics, 64, 121-144. Sarasas Ektra School. 2007. Bilingualism and Intelligence. Di-download dari http://www.ektra.ac.th/EngVersion/academic4.html pada tanggal 9 Februari 2008. Stevens, R. J., & Slavin, R. E. 1995. The Cooperative Elementary School: Effects on Students’ Achievement, Attitudes, and Social Relations. American Educational Research Journal, 32, 321-351.
6