Inilah Profil 18 Ujung Tombak Peradilan Agama di Perbatasan Indonesia-Malaysia Nunukan | pa‐nunukan.go.id PA Nunukan adalah satu dari 16 PA baru yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 3 Tahun 2011, dan telah diresmikan berdirinya oleh Ketua Mahkamah Agung R.I. Dr. H.
Harifin Tumpa, S.H., M.H., pada tanggal 16 November 2011, di Labuan Bajo, NTT, bersama 15 PA dan 6 PN baru. Tiga minggu kemudian, tepatnya tanggal 6 Desember 2011, bertempat di Kantor Bupati Nunukan, Ketua PTA Samarinda Drs. Yasmidi, S.H. melantik dan mengambil sumpah Drs. Rusliansyah, S.H. menjadi Ketua PA Nunukan yang pertama. Acara pengambilan sumpah jabatan dan pelantikan ini di samping dihadiri pejabat Pemkab. dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Muspida) Kab.Nunukan, juga dihadiri oleh Sekretaris Ditjen. Badilag. Drs. H. Farid Ismail, S.H., M.H., yang sekaligus meresmikan operasional PA Nunukan. Sejak itu satu persatu pegawai PA Nunukan berdatangan ke Nunukan, perbatasan Indonesia‐ Malaysia (Indo‐Mal), di Kaltim, dan dilantik oleh KPA Nunukan sesuai jabatannya masing‐masing hingga sekarang berjumlah 15 orang; terdiri dari 5 orang Hakim dan 10 pejabat Kepaniteraan, Kesekretariatan dan staf; ditambah 3 orang pegawai honor. Dengan telah “lengkapnya” pegawai PA Nunukan, maka tupoksi PA Nunukan segera dapat dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan prasarana terbatas dan seadanya. Dua petak ruko sewa, terletak di Jl. Tanjung No.1, Nunukan, yang sebelumnya menjadi “Balai Sidang” PA Tarakan yang menjadi induk PA Nunukan, disulap dan disekat menjadi ruang‐ruang kerja pegawai PA Nunukan. Di sinilah sehari‐hari ke‐18 orang pegawai PA Nunukan, termasuk pegawai honor, berjuang melayani masyarakat dan pencari keadilan di Kabupaten Nunukan, perbatasan Indo‐Mal. Untuk mengenal lebih dekat wajah‐wajah assabiqul awwalun “pejuang hukum” di perbatasan Indo‐ Mal di Kaltim ini, berikut adalah profil lengkap mereka : Rusliansyah Pria kelahiran “Kota Minyak” Balikpapan, 49 tahun lalu ini, adalah Ketua PA Nunukan pertama yang sudah malang‐melintang di perbatasan Indo‐Mal Tarakan‐Nunukan. Cakim angkatan pertama (1992) IAIN Syahid, Jakarta, ini menamatkan pendidikan dasar sampai menengah atas di kota kelahirannya sendiri, Balikpapan. Tahun 1983, nasib membawanya hijrah ke “Kota Gudeg” Yogya untuk rencananya kuliah di UMS Surakarta. Namun predikat Yogya sebagai “Kota Pelajar” ternyata lebih menarik minatnya untuk menuntut ilmu di sana. Dan pilihannya jatuh pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang sudah sangat terkenal itu. Sebagai abdi negara, CPNS cakim dan Hakim dijalaninya pertama kali di PA Tarakan hingga tahun 2000. Di sinilah pelajaran berharga dan pengalaman manis banyak dirasakannya ketika mendampingi KPTA Samarinda waktu itu H. Andi Syamsu Alam (sekarang Tuada Uldilag) dan WKPTA Samarinda H. Moh.Thahir (sekarang KPTA Padang), yang sering berkunjung ke daerah‐daerah dalam acara eksaminasi.
Kembali ke kota kelahirannya tahun 2000 hingga tahun 2008, membawa berkah bagi pria yang menyukai masakan Padang ini. Gelar sarjana hukum berhasil diraihnya dari Fakultas Hukum Untri, Balikpapan, tahun 2002. Ayah 4 orang putra‐putri berdarah India‐Bugis‐Banjar ini akhirnya “dikembalikan” lagi ke PA Tarakan menjadi WKPA dari Mulawarman (sekarang Hakim PA Yogyakarta). Ketika PA Nunukan lahir, pilihan KPA Nunukan diamanatkan ke pundaknya yang dianggap sudah banyak makan asam‐garam di wilayah perbatasan karena waktu masih jadi WKPA Tarakan, setiap sebulan sekali bersidang keliling di “Balai Sidang PA Tarakan” di Nunukan. Lelaki yang sudah akrab dengan dunia tulis‐menulis sejak mahasiswa ini terbilang “rajin” mengomentari berita‐berita yang di‐publish badilag.net. Di samping kadang menulis artikel untuk menyalurkan hobinya sejak di “Kota Pelajar” dulu. Akibat “iseng‐iseng” ini, tanpa diduga tahun ini ia telah mencatatkan dirinya dalam deretan 10 besar komentator teraktif 2012 versi Tim Redaksi badilag.net, yang kemudian dibuatkan ulasan secara menarik dalam “ceRber” (cerita Ringan bersambung) di “Suara Pembaca” badilag.net beberapa waktu lalu. H. M. Taufiq H. M. Pria berperawakan tinggi besar yang pernah nyantri di P.M. Gontor, Ponorogo, ini adalah orang kedua di PA Nunukan. Kelahiran Amuntai, 10 April 1955, menyelesaikan sarjana mudanya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, tahun 1981. Gelar sarjana diraihnya dari Fakultas Hukum Untri, Balikpapan, tahun 1994. Pria berpenampilan kalem ini memulai karirnya sebagai CPNS PA Tanah Grogot tahun 1983. Sebelum menjadi Hakim, berbagai jabatan di Kepaniteraan PA Tanah Grogot sudah pernah dirasakannya. Suami dari Hj. Irawani, mantan pegawai PA Tanah Grogot ini dilantik menjadi hakim di PA Tanjung Redeb tahun 2001. Tahun 2010 ia dimutasikan ke PA Tanjung Selor. Tidak lama di sana, akhir 2011 ia terpilih menjadi salah seorang pimpinan “pejuang hukum” di perbatasan Indo‐Mal. Jabatan WKPA Nunukan berhasil diduduki hingga sekarang ini. Chamidah Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 36 tahun ini adalah satu‐satunya hakim wanita di PA Nunukan. Baginya Nunukan ini sudah seperti kota kelahiran keduanya setelah Jepara. Berpisah dengan suami tercinta karena menjalankan tugas sebagai PNS dan Hakim sudah beberapa kali dijalani wanita penyabar alumni IAIN Wali Songo, Semarang, ini. Karena harus mengikuti suami yang menjadi PNS di Pemkab. Nunukan, cakim PA Karang Anyar 2005 yang semula terpisah ini harus “rela” pindah sebagai cakim PA Tarakan, agar lebih dekat dengan suami. Ditugaskan di “Balai Sidang” PA Tarakan di Nunukan untuk menerimakan perkara dari pencari keadilan di Kab. Nunukan tentu sangat menggembirakan karena dapat bersatu dengan keluarga. Tahun 2008 nasib wanita ulet ini kembali diuji. Diangkat sebagai Hakim di PA Gianyar, Bali, bukan di PA Tarakan yang dekat dengan suami, kembali harus memisahkan suami‐istri ini. Kurang lebih 2 tahun dijalani, nasib baik kembali menyatukan suami‐istri ini ketika Pak Dirjen Wahyu Widiana mengetahui tentang nasib Bu Hakim satu ini. Dikembalikan ke PA Tarakan dan akhirnya dipindah ke PA Nunukan setelah lahir, nasib harus berpisah itu kembali terjadi setelah sang suami pindah tugas ke Jawa awal 2013 ini.
Semoga nasib akan menyatukan kembali srikandi “pejuang hukum” perbatasan ini dengan sang suami tercinta. M u h l i s Inilah satu‐satunya hakim PA Nunukan kelahiran Sumatera berdarah Banjar, Kalimantan Selatan. Dilahirkan di Penggalangan, 7 Januari 1977, pria berkaca mata ini memulai karirnya sebagai CPNS dan cakim di‐3 PA berbeda: PA Simalungun; PA Lubuk Pakam; dan PA Kabanjahe. Pertama menjadi cakim di PA Simalungun, lalu diperbantukan ke PA Lubuk Pakam. Tiga bulan PNS di PA Simalungun, sudah diangkat menjadi Kaur Kepegawaian di PA Kabanjahe. Jabatan PP lokal dan jurusita pengganti juga dirangkapnya selama menjadi cakim di PA Kabanjehe. Aliran darah Kalimantan yang bersemayam di dalam dirinya ternyata harus memangilnya pulang kembali ke tanah leluhurnya ketika diangkat menjadi Hakim di PA Kotabaru, Kalsel. Akhir 2011 lalu pria tinggi besar yang gemar berolah raga tenis ini dipindah tugas ke PA Nunukan, Kaltim, untuk berjuang bersama “pejuang hukum’ lainnya di perbatasan Indo‐Mal. Kalau di PA Kotabaru masih menjadi Hakim Anggota, di PA Nunukan inilah pengalaman pertama sebagai Ketua Majelis berhasil didapatkan adik kandung dari KPA Binjai ini. Bahkan karena pengabdiannya yang tanpa kenal lelah selama setahun terakhir ini, PA Nunukan telah memberikan “reward” (penghargaan) kepadanya sebagai “role model” PA Nunukan tahun 2012 bidang integritas. H. M. Baedawi A. Rahim Hakim berrdarah Bugis ini sangat tepat ditugaskan di PA Nunukan karena banyak famili yang berdiam di sini. Sekali waktu ia bisa menjadi penerjemah sidang pihak berperkara yang kesulitan berbahasa Indonesia. Lelaki kelahiran Bantaeng, Sulsel, 43 tahun lalu ini menghabiskan masa kanak‐ kanak dan mudanya di Bantaeng dan Makassar. Di sana pula gelar sarjana dipeolehnya tahun 1993 dari Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin, Makassar. Menantu dari WKPTA Banjarmasin ini sudah memulai pengabdiannya di PA sejak tahun 2006 sebagai CPNS cakim PA Amuntai. Lalu PNS dijalaninya di PA Kotabaru, Kalsel, PA di mana ia pernah membantu hakim sebagai PP lokal. Tahun 2009 ia diangkat menjadi Hakim PA Tanjung hingga akhir 2011. Kemudian dimutasikan ke PA Nunukan untuk berjuang bersama pejuang lainnya sebagai “Pengadil” hingga sekarang ini. Bahrudin Nama Pansek kelahiran Berau 50 tahun lalu ini sudah tidak asing lagi di Kaltim. Apatah lagi dengan Nunukan. Pendidikan menengah atas pernah beberapa tahun dijalaninya di sini. Pria berperawakan sedang yang setiap 1‐2 minggu sekali harus “pulang kampung” ke Tarakan ini sudah memulai pengabdiannya sebagai PNS sejak lulus SMA tahun 1983. Pernah bertugas di PTA Samarinda, beberapa PA di Kaltim pun pernah “dimasukinya”, seperti PA Tanjung Redeb, PA Samarinda, PA Balikpapan, PA Sangatta, PA Tarakan, dan terakhir berjuang di PA Nunukan. Alumni Magister Hukum Untag, Surabaya, tahun 2006, ini sangat profesional di bidang pekerjaannya. Kepaniteraan oke; Kesekretariatan apalagi; bahkan penguasaan Siadpa Plus‐nya patut diacungi jempol.
Prestasinya yang menonjol adalah saat menjadi Pansek PA Tarakan. Bersama KPA dan WKPA, PA Tarakan waktu itu berhasil mengadakan kegiatan–kegiatan yang mendatangkan Bpk. Tuada Uldilag, Hakim Agung Prof. Manan, Dirjen Badilag lama dan baru sekarang ini, Sekretaris Ditjen Badilag serta beberapa petinggi Badilag lainnya. Salah satunya yang paling fenomenal dan bersejarah adalah melakukan “Kunjungan Muhibah dan Studi Banding Ke Konsulat Jenderal R.I dan Mahkamah Syariah di Tawau dan Sabah, Malaysia,” yang menjadi cikal‐bakal lahirnya ”sidang keliling di luar negeri.” Dengan kepiawaiannya melobi dan pengalaman selama di PA Sangatta dan PA Tarakan, PTA pun akhirnya memilih Pansek pintar untuk menemani KPA menjalankan roda organisasi PA Nunukan yang baru. Dengan “janji” hanya 6 bulan bertugas di PA Nunukan, resiko tidak bisa naik pangkat terpaksa harus diterimanya dengan sabar. Seperti di PA Tarakan, peran Pansek satu ini sangat besar dalam menyukseskan keberhasilan satu program kegiatan. Dengan ide‐ide kreatifnya, Oktober 2012 kemarin, PA Nunukan yang baru belajar berjalan itu berhasil menyelenggarakan acara “Bimtek Siadpa Plus PA‐PA se‐Kaltim” yang melibatkan KPA/WKPA, Pansek dan Admin PA‐PA se‐Kaltim. Diikuti kemudian dengan “Kunjungan Muhibah dan Studi Banding Jilid II ke Konsulat Jenderal R.I dan Mahkamah Syari’ah di Tawau, Malaysia. “ Satu tahun lebih sudah pria beranak‐cucu ini berjuang bersama teman‐teman seperjuangan di perbatasan Indo‐Mal membangun dan memajukan PA Nunukan, sembari sabar menunggu “janji” itu turun. Dan buah kesabaran itu, Insya Allah, pasti akan berakhir manis bagi perjalanan karir selanjutnya. Wahdatan Nusrah Wanita kelahiran Murung Pudak, Tanjung, Kalsel, tahun 1969, ini adalah Wapan pertama PA Nunukan yang sekaligus merangkap Kasir. Pendidikan dasar dan menengah dilaluinya di kota kelahirannya, Tanjung, dan sarjana diperolehnya tahun 1994 dari IAIN Antasari, Banjarmasin. Ibu dari 2 orang putera‐puteri yang pandai baca Al‐Qur’an (qariah) dan gemar baca buku ini adalah istri dari Nurhalis, Kaur Keuangan PA Nunukan. Memulai awal masa tugasnya sebagai CPNS di PA Tanjung Redeb, tahun 1999. Tidak pernah dimutasi keluar dari PA Tanjung Redeb, akhir 2011, ia dan suami harus rela “diberangkatkan” tugas ke Nunukan untuk bergabung dan berjuang bersama “pejuang hukum” perbatasan lainnya. Obsesi wanita yang menjadi “role model” PA Nunukan tahun 2012 bidang kejujuran ini untuk memulai hidup baru bersama suami dan anak di Nunukan begitu besar. Setelah mengetahui ditempatkan di Nunukan, melalui seorang teman, rumah tempat tinggal di Nunukan sudah disiapkannya pasca keluarnya SK Wapan. Indra Yanita Yuliana Ibu dari seorang putera ini adalah Wakil Sekretaris PA Nunukan. Wanita kelahiran “Kota Tepian” Samarinda 30 tahun lalu ini menamatkan seluruh jenjang pendidikannya di kota kelahirannya. Mulai dari pendidikan dasar hingga S.2 diperolehnya dari lembaga pendidikan ternama di Samarinda. Pengabdiannya sebagai CPNS dimulai di PA Tenggarong, tahun 1991. Tahun 2010 nasib membawanya pulang ke kota kelahirannya dan menjadi staf di PTA Samarinda. Tapi masa‐masa “bulan madu” itu tidak lama dijalani. Akhir 2011 ia dan suami harus rela “dibuang” ke perbatasan di PA Nunukan, mengabdi dan berjuang bersama “pejuang hukum” perbatasan Indo‐Mal lainnya.
Istri dari Cahyo Komahally, jurusita pengganti PA Nunukan ini terbilang wanita pendiam tapi cerdas. Gelar M.Si. di belakang namanya adalah bukti dari kecerdasan wanita berputera satu ini. Tidak heran jika belum genap setahun di PA Nunukan, ia berhasil lulus ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa. Bahkan jabatan Kaur Kepegawaian terpaksa ditanggalkannya karena September 2012 kemarin ia dilantik menjadi Wakil Sekretaris PA Nunukan, yang dijabatnya bersama‐sama dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ali Fatoni Pria berkulit gelap kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 1972, ini adalah Panmud Gugatan PA Nunukan. Ia termasuk salah satu dari 5 pegawai PA Tarakan sebagai PA induk yang ditugaskan di perbatasan Nunukan ini. Seperti masa kecil dan mudanya yang banyak dihabiskan di kota kelahirannya, Pemalang, pendidikan dasar hingga menengah juga berhasil diselesaikannya di sini. Setamat Aliyah, lelaki yang gemar oleh raga tenis ini, sempat nyantri di salah satu pondok pesantren salafiyah terkenal di “Kota Batik” Pekalongan. Tidak tanggung‐tanggung; 2 tahun kehidupan pondok yang penuh disiplin dijalaninya sebelum akhirnya kuliah dan mendapatkan gelar sarjana dari Unisula, Semarang. Memulai pengabdiannya sebagai CPNS di PA Tarakan tahun 2002, berturut‐turut jabatan jurusita pengganti, Kaur Keuangan, dan terakhir PP berhasil dilaluinya di PA Tarakan. Karena dinilai berhasil dan untuk mengisi formsi jabatan di PA Nunukan yang akan dilahirkan PA Tarakan, akhir 2011 ia diangkat menjadi Panmud Gugatan yang dijabatnya hingga sekarang ini. Hijerah Wanita kelahiran “Kota Beriman” Balikpapan, 33 tahun lalu ini menjalani masa kanak‐kanak dan remaja di kota kelahirannya. Begitu pula pendidikan dasar dan menengah semua ditamatkannya di sini. Kecuali gelar kesarjanaan S.H. dan S.HI., berhasil diperolehnya dari Universitas Muhammadiyah Malang, tahun 2003. Perkenalannya dengan PA sudah dimulai sejak masa‐masa terakhir sebagai mahasiswi. Pernah PKL (magang) di PA Balikpapan, setelah lulus kuliah ia langsung mendaftarkan diri sebagai CPNS dan lulus. PA Bontang menjadi tempat pengabdian pertamanya sebagai CPNS tahun 2003. Setelah diangkat menjadi PNS, tidak begitu lama jabatan Panitera Pengganti sudah berada di tangannya. Di “Kota Pupuk” inilah ia mendapatkan jodoh PNS Pemda.Bontang yang memberikannya 3 orang anak. Namun jodoh ini pula yang memaksanya harus berpisah dengan suami tercinta di Bontang. Seperti namanya, Hijerah, akhir 2011 perintah “berhijrah” ke perbatasan berupa SK sebagai Panmud Hukum PA Nunukan, keluar. Berpisah dengan suami dan anak‐anak tercinta adalah pengorbanan dan resiko terbesar yang terpaksa harus dijalani srikandi berdarah Bugis‐Mandar ini, demi pengabdian dan tugas sebagai abdi negara. “Hijrah” (bertugas) di perbatasan Indo‐Mal, Nunukan, Kaltim, untuk berjuang bersama para “pejuang hukum” lainya yang senasib dan sependeritaan, ternyata mampu menjadikannya sebagai wanita tegar dan sabar merasakan manis‐pahitnya perjuangan di dunia hukum. Ana Suryaningrum Wanita kelahiran “Kota Tepian”, Samarinda, 33 tahun lalu ini telah menghabiskan masa kanak‐kanak dan remajanya di Samarinda. Karena itu jenjang pendidikan SD hingga PT diselesaikannya di sini juga.
Mengikuti jejak sang ayah, Pak Ismun Shobari, mantan Wasek PA Samarinda, wanita ini memulai pengabdiannya sebagai CPNS di PA Samarinda, tahun 2006. Tidak pernah pindah dari PA Samarinda, tahun 2011 PA Nunukan “memilihnya” menjadi salah seorang srikandi “pejuang hukum” di perbatasan dengan mengangkatnya menjadi Kaur Umum. Tidak mau berpisah, alumni STAIN Samarinda tahun 2003 yang punya momongan bayi ini, terpaksa harus memboyong kedua orang tuanya ke Nunukan, menemani perjalanan hari‐hari perjuangan di perbatasan Indo‐Mal, Nunukan, Kaltim. Nurhalis Kaur Keuangan PA Nunukan kelahiran Barito Kuala, 43 tahun lalu ini adalah suami dari Wapan PA Nunukan. Menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengahnya di Maraban, Kalsel, gelar sarjana berhasil diraihnya dari Universitas Kartini, Surabaya, tahun 2005. Sama seperti sang istri, sejak menjadi CPNS tahun 2003 hingga Kaur Keuangan PA Tanjung Redeb tahun 2009, ia pun tidak pernah pindah tugas keluar dari Berau. Lelaki yang sering “doktor” (mondok di kantor) menyelesaikan laporan keuangan ini terbilang sangat profesional di bidangnya. Mungkin karena itu nasib memilihnya untuk berjuang di perbatasan Indo‐Mal, Nunukan. Membantu “dapur” PA Nunukan, memberikan pasokan amunisi kepada seluruh personil “pejuang hukum” di perbatasan Kaltim ini. Walau terkadang timbul juga “kejenuhan” dari dalam dirinya menatap masa depan daerah perbatasan yang jauh tertinggal dari kemajuan daerah lainnya. Namun tekad semula sebagai abdi negara dan “pejuang hukum” telah mengalahkan “kejenuhan” pria pelantun shalawat ini untuk menembus perbatasan Indo‐Mal yang penuh resiko perjuangan.
Husaini Pria kelahiran Angkinang, Kalsel, 1972, ini adalah jurusita pengganti PA Nunukan. Pendidikan dasar hingga menengah dijalaninya di beberapa daerah dan lembaga pendidikan. Memulai pengabdiannya sebagai CPNS di PA Tanah Grogot, 2006, dengan golongan ruang I/c, jurusita pengganti PA Tanah Grogot pernah disandangnya, di samping pembuat daftar gaji. Karena itu ketika dimutasikan ke PA Nunukan 2011 kemarin, lelaki yang kental logat Banjarnya ini kembali dipercaya untuk memegang jabatan semula sebagai jurusita pengganti dan pembuat daftar gaji PA Nunukan. Role model PA Nunukan 2012 bidang kejujuran ini gemar bermain tenis. Kemaunnya untuk belajar dan mendapatkan gelar sarjana patut diapresiasi. Saat ini yang bersangkutan masih tercatat aktif sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggai di Samarinda. Cahyo Komahally Suami dari Wasek PA Nunukan ini adalah jurusita pengganti PA Nunukan. Lahir dan dibesarkan di Samarinda, 27 tahun lalu, pendidikan dasar hingga perguruan tinggi semua ditamatkannya di “Kota Tepian”. PA Tanah Grogot adalah tempat pertama pengabdiannya sebagai CPNS tahun 2005. Pernah dipindah ke PTA Samarinda tahun 2007, tahun 2011 PA Nunukan
“memilih” dan “memanggilnya” berjuang di perbatasan Indo‐Mal ditemani sang istri. Sempat timbul kegalauan dan “protes” ke atas tentang nasib yang memilihnya berjuang di perbatasan Indo‐Mal yang jauh dari ibukota provinsi lagi sepi dari keramaian, “pejuang hukum” ini akhirnya menemukan hikmah dari permainan nasib ini. Pengalaman “Semalam di Malaysia,” bermalam di Tawau, Sabah, Malaysia, sudah dirasakannya seperti yang juga dirasakan oleh para “pejuang hukum” perbatasan Indo‐Mal lainnya. Akhir 2012 lalu ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan berhak atas gelar S.HI. dari STIS Samarinda. Penyesuaian ijazah ke‐ III/a sudah diusulkan PA Nunukan tahun ini. Dan tahun ini pria yang penguasaannya terhadap komputer cukup bagus kembali dipercaya dan diangkat sebagai Admin Siadpa Plus PA Nunukan, di samping pegawai honor Rahmat. Mulia Rahman Pemuda lajang kelahiran Banjarmasin 1990 ini adalah pegawai termuda PA Nunukan. Begitu lepas SMA di Tanah Grogot, langsung bergabung dengan PA Tarakan tahun 2009, mengikuti jejak sang paman yang Wapan PTA Samarinda. Tahun 2010 dipercaya menjadi jurusita pengganti PA Tarakan yang dijabatnya hingga akhir masa dinasnya di PA Tarakan, 2011. Di PA Nunukan jabatan itu kembali dipercayakan kepadanya hingga saat ini. Dipanggil oleh nasib menjadi “pejuang hukum” di perbatasan bisa dijalaninya dengan enjoy. Nunukan bukanlah tempat asing bagi pria yang hobi tenis ini. Sebagai jurusita, pekerjaan pulang‐pergi Tarakan‐Nunukan‐Sebatik, dan daerah lain di Nunukan yang masuk yurisdiksi PA Tarakan waktu itu, sudah sering di‐lakoni‐nya. Keinginannya untuk kuliah di perguruan tinggi tidak pernah surut. Maklum usia masih muda belia. Namun kabupaten di utara Kalimantan ini seolah tidak “mendukung” dan “bersahabat” dengan cita‐ citanya karena tidak menyediakan lembaga perguruan tinggi atau universitas. Jalan satu‐satunya adalah mutasi‐pindah ke PA yang mendukung cita‐citanya tersebut. Sementara itu tenaga “pejuang hukum” yang selalu energik ini masih diperlukan organisasi dalam menata dan meletakkan dasar‐dasar organisasi yang kuat di perbatasan bersama pejuang‐pejuang hukum lainnya. Apabila organisasi ini sudah kuat dan lengkap, pada saatnya nanti akan datang pejuang‐pejuang hukum lainnya menggantikan dan melanjutkan perjuangan. Dan keinginan yang terpaksa harus “dikubur” itu akan dapat digali kembali menggapai cita‐cita.
Rahmat Pria berperawakan besar kelahiran 1985 ini adalah pegawai honor PA Tarakan. Lahir dan dibesarkan di Nunukan, pendidikan SD hingga SMA diselesaikannya di sini. Merantau ke Makassar, daerah asal orangtua, gelar D.3 bidang Manajemen Informatika berhasil diraihnya dari AMIK Profesional, Makassar, 2005. Direkrut PA Nunukan awal 2012 lalu, ia dipercaya memegang IT dan website PA Nunukan. Keberhasilan upload putusan ke Direktori Putusan, upload Siadpa Plus ke portal infoperkara.badilag.net. dan pengisian menu‐menu website PA Nunukan tidak lepas dari peran lelaki yang selalu menjaga shalat jama’ahnya ini.
Ayu Wandira Wanita kelahiran Nunukan 1993 ini mulai bergabung dengan PA Nunukan Januari 2012 sebagai pegawai honor. Seluruh jenjang pendidikan diselesaikannya di kota kelahirannya, Nunukan. Di samping tugas utama sebagai pramubhakti, buku‐buku register perkara juga dipercayakan pengisiannya ke tangan wanita satu ini. Lulus SMA Paket C tahun 2012 lalu, wanita berdarah Bugis ini bercita‐cita satu waktu dapat menjadi PNS di PA Nunukan.
Munaqisyah Sama seperti 2 pegawai honor lain, wanita kelahiran Nunukan tahun 1986 ini juga menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota kelahirannya. Gelar sarjana ekonomi berhasil diraihnya dari STIEM Bongayya, Makassar, 2010. Baru bergabung dengan PA Nunukan tahun 2013 ini, ia telah mencatatkan dirinya sebagai srikandi “pejuang hukum” termuda PA Nunukan saat ini.
Selamat berjuang wahai para assabiqul awwalun “pejuang hukum” di perbatasan Indo‐Mal, Kaltim. Doa kami selalu menyertai perjuanganmu! (Tim Redaksi jurindomal pa‐nnk)