BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kantor Urusan Agama merupakan ujung tombak Kementerian Agama dalam melayani masyarakat di bidang keagamaan. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI yang berada di tingkat Kecamatan, satu tingkat dibawah
Kantor
Kementerian
Agama
tingkat
Kota/Kabupaten.
KUA memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten di bidang urusan agama Islam dan membantu pembangunan pemerintahan umum di bidang agama di tingkat kecamatan. KUA sebagai perpanjangan tangan Kementerian Agama memiliki banyak peran yang sangat krusial. Peran tersebut dapat kita ketahui dari pelayanan yang diberikan KUA, yaitu: 1) Administrasi (Pendaftaran, Pengesahan dan Pencatanan Nikah dan Rujuk); 2) Pendaftaran dan Penerbitan Akte Ikrar Wakaf; 3) Pembinaan Keluarga Sakinah; 4) Pembinaan Kemasjidan; 5) Pembinaan syariah; 6) Pembinaan Pangan Halal; 7) Pembinaan Zakat; 8) Pembinaan wakaf; 9) Penyelenggaraan Bimbingan Manasik Haji
1
Dari sekian banyak peran di bidang pembangunan keagamaan tersebut, fungsi atau peran paling menonjol yang dijalankan KUA saat ini adalah administrasi pernikahan. Hal ini sesuai dengan amanat UU No.1 tahun 1974 Pasal 2 yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam Pasal 5, 6 dan 7. Produk-produk hukum ini
ditunjang
dengan
peraturan-peraturan
di
tingkat
menteri
yang
menjabarkan dengan rinci hal-hal terkait administrasi perkawinan, yang kesemuanya bermuara pada diperlukannya peran KUA di tingkat kecamatan untuk melakukan administrasi pencatatan perkawinan. Peran KUA di bidang pencatatan perkawinan ini, beberapa tahun belakangan mendapat sorotan dari banyak pihak. Hal ini terutama tekait dengan besaran biaya administrasi perkawinan yang harus dibayarkan oleh para calon pengantin (catin), yang jumlahnya variatif antara satu catin dengan catin yang lain. Besaran biaya faktual yang dikeluarkan masyarakat untuk membayar petugas KUA saat melakukan pencatatan perkawinan bervariasi, mulai dari Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. (Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2008). Penerimaan uang tersebut oleh sebagian pihak dinyatakan sebagai bentuk gratifikasi berdasarkan peraturan yang mengatur Gratifikasi, yaitu Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
2
Kini persoalan biaya pencatatan perkawinan kembali menjadi perdebatan karena banyak pihak yang melaporkan adanya kasus penerimaan uang oleh petugas KUA dari masyarakat. Hal ini makin jelas terlihat setelah ditangkapnya salah satu Kepala KUA di Kediri oleh Kejaksaan Negeri Kediri, karena Kepala KUA tersebut melakukan mark up biaya nikah. Dalam kasus ini, yang bersangkutan diketahui memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000,untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000,- di dalam kantor (situs tempo.co). Hal ini dianggap menyalahi ketentuan PP No.47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak, di mana biaya pencatatan nikah hanya sebesar Rp 30 ribu. Dana itu kemudian diserahkan ke Kas Negara dan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Biaya pencatatan nikah itu bisa digratiskan, dengan catatan terdapat surat keterangan miskin yang dikeluarkan pihak kecamatan. Dalam kasus biaya pencatatan nikah yang kontroversial ini, salah satu faktor utama yang mengakibatkan maraknya penghulu menerima gratifikasi atau pemberian uang di luar ongkos resmi pencatatan nikah adalah terbatasnya anggaran operasional di KUA. Hal ini merupakan kesimpulan diskusi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Faktor lain penyebab munculnya masalah petugas KUA yang menerima (menetapkan) uang dari masyarakat diluar ketentuan, diduga karna
3
tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya pencatatan perkawinan di luar kantor. Selain kasus biaya pencatatan nikah yang kontroversial tersebut, terdapat pula kasus yang efeknya juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Pada beberapa daerah di Kota serta Kota Bekasi, sejumlah pasangan suami istri yang baru menikah November 2013 lalu terpaksa hanya menerima selembar surat bertuliskan keterangan nikah alias SKN karena tidak tersedianya buku nikah saat pasangan tersebut menikah. Hal ini merupakan akibat dari terjadinya kelangkaan buku nikah pada KUA kecamatan yang bersangkutan. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, sejumlah provinsi mengalami kekurangan buku nikah karena jumlah peristiwa nikah yang tinggi. Namun kelangkaan buku nikah, ternyata bukan saja disebabkan oleh tingginya volume pernikahan. Penyebab lain, menurut Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, akibat terlambatnya pencairan persetujuan anggaran. Dampaknya, proses tender tentang buku nikah tersebut ikut terlambat. Kejadian seperti itu layaknya efek domino, mata rantainya menjadi panjang jika diurai. Apalagi, anggaran 2013 kementerian baru turun pada Juli. Enam bulan ke belakang, Kemenag praktis kesulitan untuk mengatur agenda kegiatannya karena ketiadaan dana (situs antaranews.com).
4
Kasus tersebut tidak hanya menunjukan lemahnya layanan publik Kementerian Agama saat itu, namun ternyata hal tersebut juga memunculkan potensi kecurangan. Hal ini bisa terjadi justru karena terbitnya SKN (Surat Keterangan Nikah). Menurut tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat, bisa muncul potensi penyalahgunaan SKN karena surat tersebut memiliki format isian kosong lalu hari dan tanggal pernikahan kosong, kemudian nama mempelai wanita dan pria kosong. Hal ini membuat kemungkinan muncul oknum-oknum yang mengisi blanko tersebut dan menggunakan SKN tersebut untuk fungsi yang tidak seharusnya. Dari uraian-uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa KUA sebagai salah satu instansi pemerintah Indonesia sebenarnya menjalankan fungsi yang sangat krusial dan berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun yang terjadi adalah belum optimalnya kebijakan maupun regulasi yang membuahkan kelemahan pada pelayanan oleh KUA. Ditambah lagi banyaknya kasus yang dilakukan oknum-oknum KUA yang mengakibatkan terjadinya tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dan ternyata hal itu sudah diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi melalui IIN (Indeks Integritas Nasional). Layanan Pernikahan oleh KUA di bawah Kementerian Agama mendapatkan nilai terendah dalam Indeks Integritas Nasional (IIN) 2012. Unit Layanan Administrasi Pernikahan di KUA merupakan salah satu dari tiga unit layanan dengan nilai terendah di unit layanan vertikal. Melihat gambaran belum optimalnya kualitas pelayanan yang diberikan KUA tersebut, maka diperlukan suatu mekanisme atau proses untuk
5
memastikan pelayanan dari KUA senantiasa baik dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu, KUA sebagai sebuah organisasi harus memiliki pengendalian internal. Mengapa harus pengendalian internal? Pengendalian internal seperti yang dikenal sekarang ini, awalnya dipicu oleh banyaknya temuan kecurangan pada profesi akuntan global yang merugikan stakeholder, terutama sejak kasus Enron, Worldcom, Xerox, Tyco, Global Crossing dan lainnya di tahun 2001. Lalu, dengan diterapkannya Sarbanes-Oxley Act di Amerika Serikat, hal tersebut menuntut pengendalian internal untuk menyajikan keyakinan yang memadai yang mencerminkan adanya proses untuk menjaga aset perusahaan, menyajikan informasi yang diandalkan dan akurat, mendukung dan meningkatkan efisiensi operasional, dan mendorong kepatuhan terhadap regulasi yang beraku. Berdasarkan penjelasan Comitte of Sponsoring Organization of the Treadway Comission (COSO) pengendalian internal adalah suatu proses yang dilakukan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personel lain yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai terkait pencapaian tujuan sebagai berikut: (1) Keandalan pelaporan keuangan; (2) Kepatuhan terhadap hukum dan aturan yang berlaku; (3) Efektivitas dan efisiensi kegiatan operasional perusahaan. Hingga saat ini, pengendalian internal telah menjadi salah satu unsur penting dalam pengelolaan suatu organisasi. Tanpa pengendalian internal maka manajemen tidak akan mengetahui dan merasa yakin apakah yang telah
6
mereka lakukan sudah sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu dengan pengendalian internal, maka manajemen akan memperoleh peringatan dini bila ada sesuatu yang akan membahayakan organisasi. Oleh karena itu keberadaan pengendalian internal dalam manajemen modern merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-ditawar. Begitu pula pada organisasi pemerintah di Indonesia. Pada pemerintahan Indonesia, pengendalian internal menjadi langkah untuk mencapai tujuan organisasi melalui kinerja yang efektif & efisien. Pengendalian internal akan melengkapi pengendalian eksternal yang sudah ditegakkan pemerintah, seperti melalui lembaga kepolisian, kejaksaan, pemberantas korupsi, pengawas keuangan maupun lembaga peradilan lainnya. Yang membedakan pengendalian internal ini adalah mekanisme pengendaliannya yang lebih menjamin kualitas dan kinerja pemerintahan secara keseluruhan (Gita Indrawanti, 2010). Pengendalian internal yang dianut oleh Pemerintah Indonesia awalnya diambil dari pengendalian internal menurut GAO (Government Accounting Organization) yaitu lembaga Badan Pemeriksa Keuangan di Amerika Serikat. Pengendalian internal menurut GAO mengandung 8 unsur pengendalian manajemen yaitu pengorganisasian, kebijakan, prosedur, perencanaan, pencatatan/akuntasi, personil, pelaporan dan reviu intern. Lalu, pengendalian internal di Indonesia berkembang dengan mengadopsi prinsip pengendalian internal menurut COSO (Commitee Of Sponsoring Organization of Treadway Commision) yaitu komisi yang bergerak di bidang manajemen organisasi.
7
Pengendalian Internal tersebut diwujudkan dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Pada PP 60/2008, pengendalian internal dijelaskan sebagai proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terusmenerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (PP 60/2008, Bab I Ps. 1 butir 1). Dengan adanya pengendalian internal ini, diharapkan dapat tercipta manajemen
publik
yang
mampu
memberikan
pelayanan
kepada
publik/masyarakatnya dengan efektif, efisien dan ekonomis, serta taat pada peraturan, perundangan dan ketentuan lainnya. Sebagai contoh, dapat mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pernikahan dan mempermudah pemerintah memantau peristiwa pernikahan. Lalu terkait masalah yang sudah dijelaskan sebelumnya, pengendalian internal juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pungli dan gratifikasi dan memastikan pelayanan administrasi berjalan secara efektif dan efisien, sebagai contoh dengan peningkatan kesadaran atas perilaku pemberian gratifikasi, perbaikan tingkat upaya anti korupsi, adanya keterbukaan informasi, pemanfaatan teknologi informasi, adanya mekanisme pengaduan masyarakat, dan lain sebagainya. Sehingga KUA sebagai lembaga perkawinan yang merupakan gerbang awal pembangunan bangsa bisa terjaga dengan baik.
8
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, peneliti mengangkat penelitian dengan judul “Evaluasi Efektivitas Pengendalian Internal Pada Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi”. Melalui penelitian ini ingin diketahui apakah desain pengendalian internal KUA Kota Bekasi telah memadai dan fungsi pengendalian internal tersebut telah berjalan secara efektif dan efisien. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah aktivitas KUA telah berjalan sesuai dengan kriteria Standard Operating Procedure yang ditetapkan
oleh
pemerintah.
Sehingga
diharapkan
nantinya,
desain
pengendalian internal yang sudah memadai serta fungsinya yang telah efektif dan efisien bisa meningkatkan pelayanan publik Kantor Urusan Agama. 1.2 RUMUSAN MASALAH Penyelenggaraan pengendalian internal atau yang lebih dikenal dengan SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) di lingkungan Kementerian Agama maupun pemerintahan, bertujuan untuk mengendalikan dan mendorong para pimpinan unit kerja mandiri dan Unit Pelaksana Teknis dalam melaksanakan tugas, fungsinya dan kewenangannya secara efektif, efisien sehingga tercapai tujuan organisasi (Peraturan Menteri Agama Nomor 24 Tahun 2011, Pasal 2). KUA sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama RI menyelenggarakan pengendalian internal yang didesain oleh Kementerian Agama RI melalui Ditjen Bimas Islam.
9
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti melakukan penelitian yang berkaitan dengan bahasan di atas, maka rumusan masalah utama pada penelitian ini adalah: 1. Apakah desain pengendalian internal Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi telah memadai? 2. Apakah fungsi kelima komponen pengendalian internal menurut COSO telah diterapkan pada pelayanan Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi? 3. Apakah fungsi pengendalian internal pada Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi telah efektif dan efisien? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menilai apakah desain pengendalian internal pada Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi sudah memadai atau belum. 2. Mengevaluasi kelima komponen pengendalian internal menurut COSO pada pelayanan di Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi. 3. Menganalisis serta memberikan rekomendasi yang diperlukan terhadap efektivitas fungsi pengendalian internal pada Kantor Urusan Agama di Kota Bekasi. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi dan manfaat bagi beberapa pihak baik manfaat teoritis maupun manfaat pragmatis. Secara
10
teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademisi untuk memperkaya literatur mengenai pengendalian internal dan juga sistem pengendalian intern pemerintah. Secara pragmatis hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pejabat Kementerian Agama RI dan Kantor Urusan Agama untuk meningkatkan good governance sehingga diharapkan dapat mengambil kebijakan yang mendukung tujuan organisasi. 1.5 SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penelitian ini, peneliti membagi sistematika penulisan menjadi 5 bab, yaitu: 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini meliputi latar belakang masalah penelitian ini diangkat, apa saja yang menjadi rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, apa saja yang menjadi batasan masalah supaya peneliti lebih fokus kepada rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang menjabarkan gambaran besar cara penulisan dalam penelitian ini. 2. BAB II LANDASAN TEORI Bagian ini merupakan penjabaran dari teori-teori yang terkait dengan tema besar penelitian ini yaitu mengenai pengendalian internal. Selain itu, landasan teori ini juga mencakup informasi-informasi penting untuk dasar dalam memberikan alternatif rekomendasi mengenai fungsi pengendalian internal.
11
3. BAB
III
GAMBARAN
UMUM
ENTITAS
DAN
METODE
PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan profil singkat mengenai entitas yang menjadi objek penelitian, metode penelitian apa yang diambil untuk menyelesaikan masalah yang timbul, sumber data apa saja yang diperlukan, bagaimana metode pengumpulan data yang efektif, apa yang menjadi objek penelitian, bagaimana teknik atau cara menganalisis data yang ada, dan siapa saja narasumber atau informan yang akan dimintai keterangan untuk memperoleh serta mengkonfirmasi data yang diperoleh. 4. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini meliputi pembahasan dan pengolahan data, serta analisis data-data yang telah diperoleh untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan. 5. BAB V PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan akhir dari penelitian sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah ditetapkan, keterbatasan penelitian, serta saran-saran yang ditujukan kepada entitas tentang risiko, kepatuhan, dan fungsi pengendalian internal.
12