Ingat Transportasi, Ingat Jasa Raharja EFENDI AKIL HU PEKANBARU MX Siapa yang tak terharu, pada saat terjadi kemalangan tiba-tiba datang orang yang memberikan bantuan. Meski masih menangis, tapi setidaknya tangisan itu bukan sepenuhnya berisi kepedihan, sebab telah bercampur dengan sedikit harapan untuk masa depan. MASNAH, wanita berusia 37 tahun ini pernah merasakan hal tersebut. Meski kejadiannya sudah lama, namun janda beranak dua itu mengaku, hingga kini kenangan itu masih melekat diingatannya. Kini Masnah yang tinggal di Desa Pulau Kijang, Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil,), Riau itu, hidup berbahagia berkat santunan Jasa Raharja. Masnah, adalah potret kecil bagaimana Jasa Raharja memberikan pelayanan pada klaimnya. Saya bertemu Ibu Masnah kembali, ketika menghadiri pesta salah seorang kerabat di desa tempat tinggalnya beberapa waktu lalu. Masih ingat ketika peristiwa itu terjadi enam tahun silam. Saat saya baru terjun di dunia jurnalistik, dan mendapat posko liputan di Jasa Raharja. Bekerja di koran kriminal bernama Pekanbaru Pos (Group Jawa Pos), hubungan saya dengan Jasa Raharja cukup dekat. Sebagai mitra, saya sering bertukar informasi berbagai kejadian di lapangan yang saya liput, terutama yang berhubungan dengan kecelakaan transportasi. Tahun 2004, ketika Humas Jasa Raharja Cabang Riau adalah Bapak M. Nasir Hakam, sekarang saya tidak tahu sudah bertugas dimana yang jelas ketika itu beliau pamit, terakhir akan ditugaskan di Jasa Raharja Pusat, sejak saat itu kami tidak pernah berjumpa lagi.
.
Tapi yang ingin saya kisahkan di sini, bukanlah soal ibu Masnah atau humas Jasa Raharja yang dekat dengan saya, namun soal kinerja Jasa Raharja yang membuat saya amat terkesan. Bahkan dibilang inilah satu-satunya perusahaan yang akan menjadi bintang di masa depan. Malam itu saya mendapat telepon dari Pak Nasir Hakam. Beliau mengajak saya untuk ikut meliput penyerahan bantuan Jasa Raharja pada korban speed boat yang tenggelam di Desa Pulau Kijang. Lama saya terbayang, apakah Jasa Raharja serius akan menyerahkan langsung bantuan itu kepada ahli waris korban.
Soalnya, Desa Pulau Kijang itu merupakan desa terpencil yang berada di pesisir selatan Provinsi Riau. Jaraknya dari Pekanbaru, ibu kota provinsi sekitar 460 km, harus ditempuh dengan kondisi jalan yang cukup melelahkan. Memang ada dua jalan alternatif jika hendak ke Desa Pulau Kijang, pertama menempuh jalur darat hingga ke Kota Tembilahan sebagai ibu kota Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Untuk sampai di Kota Tembilahan, mobil harus menyeberang pakai rakit di Desa Rumbai Jaya. Menyeberang ini juga memakan waktu dua hingga tiga jam, karena memang harus antrian. Jika sampai ke Tembilahan, perjalanan dilanjutkan melalui jalur laut menaiki speed boat. Untuk ikut transportasi andalan di wilayah kepulauan ini, penumpang harus pandai menghitung waktu yang tepat. Sebab speed boat di wilayah itu hanya beroperasi setengah hari saja. Jadi kalau tiba di Tembilahan siang atau menjelang sore, alamat penumpang harus menginap terlebih dahulu di Kota Tembilahan. Alternatif kedua, mobil bisa langsung sampai ke Desa Pulau Kijang melalui Jalan Lintas Timur (Jalintim) menuju Kota Jambi. Hanya saja setelah keluar dari Jalintim, medan yang ditempuh juga tidak kalah beratnya. Sebab jalan yang dilalui harus melalui perkebunan warga. Dimana kondisi jalan tidak beraspal dan hanya proses pengerasan seadanya tanpa pasir dan batu. Boleh jadi, jika jalan alternatif kedua ini yang diambil, bisa-bisa rombongan tidur di jalan kalau mobil yang dibawa masuk ke lumpur. Setelah saya tanya, ternyata Pak Nasir Hakam menyebutkan rombongan akan berangkat dengan mobil melalui Jalintim. Keputusan itu kata Pak Nasir Hakam setelah diambil berbagai pertimbangan, dimana jika melalui jalan laut, khawatir karena gelombang cukup besar sebab sedang musim angin utara. Jika dipaksakan lewat jalur laut, bisa-bisa rencana kedatangan ke Desa Pulau Kijang untuk menyerahkan santunan, berubah menjadi penerima santunan. Tapi jika lewat Jalintim, ini jelas mengurangi resiko bagi rombongan. Sebagai wartawan kriminal (sebutan untuk wartawan yang meliput kriminal) bagi saya tak ada persoalan, sebab di lapangan berbagai tantangan sering saya hadapi. Jadi saya pun memutuskan untuk ikut setelah kantor memberikan izin. Hari yang ditentukan tiba, saya tidak sendiri masih ada rekan-rekan wartawan lain yang ternyata juga ikut dalam rombongan. Ketika itu ada kru RRI, TVRI dan juga Harian Riau Pos (Group Jawa Pos) yang juga diajak melakukan peliputan.
Kami berangkat dari Kantor Jasa Raharja Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, sekitar pukul 13.30 WIB. Dua mobil, satu mobil berisi rombongan dari Jasa Raharja, termasuk Kepala Cabang, dan satu mobil lagi saya dan rekan-rekan wartawan, serta Pak Nasir Hakam yang setia mengajak kami bertukar pikiran sepanjang perjalanan. Sekitar pukul 18.30 WIB kami tiba di Kota Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Karena hari sudah menjelang malam, rombongan memutuskan untuk menginap di hotel yang ada di Kota Rengat. Paginya sekitar pukul 10.00 WIB, setelah sarapan, perjalanan kami lanjutkan dengan menuju jalan Lintas Timur ke arah Provinsi Jambi. Sekitar tiga jam perjalanan, rombongan sampai di persimpangan Desa Kemuning, jalan menuju Desa Pulau Kijang. Jarak dari Jalintim ke Desa Pulau Kijang itu masih ada sekitar 110 kilo meter lagi. Dari sinilah kami mulai merasakan medan yang berat itu. Dimana jalan tanah berdebu menghadang; supir memperlambat laju kendaraan. Sebab kondisi jalan yang labil dan bergelombang membuat kendaraan yang kami tumpangi mulai tidak seimbang. Menempuh jarak 30 kilo meter di jalan tanah, medan semakin tak terkendali. Dimana kendaraan mulai masuk jalan yang melintasi perkebunan warga. Kali ini jalan yang merupakan timbunan tanah rawa mengancam kepiawaian sang supir untuk memilih landasan yang tepat agar ban mobil tidak terpuruk lumpur. Beruntung selama perjalanan tidak turun hujan, sehingga perjalanan jauh yang melelahkan itu dapat ditempuh tanpa hambatan yang berarti. Memang beberapa kali mobil sempat terpuruk ke dalam lumpur, namun tidak sampai menghambat perjalanan. Pukul 18.30 WIB, ketika itu menjelang adzan magrib, kami tiba di tempat yang dituju, Desa Pulau Kijang, Kecamatan Reteh, Inhil. Karena hari menjelang gelap, rombongan mencari hotel untuk istirahat. Di Desa Pulau Kijang, muncul persoalan baru. Dimana rombongan kebingungan hendak menginap. Namanya kecamatan terpencil jelas tidak ada hotel. Setelah mencari informasi, kami pun dapat penginapan yang boleh dikatakan sederhana. Sebuah rumah tua bertingkat dua yang bangunannya didominasi kayu. Beruntung untuk rombongan kepala cabang ada penginapan yang sedikit baik, hanya saja karena kamarnya yang terbatas kami dengan beberapa orang lainnya terpaksa tidur di penginapan yang tua ini. Saya dapat kamar di lantai dua, namun pada malam hari ketika saya hendak tidur, hujan disertai angin melanda desa itu. Posisi desa yang berada di pesisir pantai membuat
angin dari laut berhembus kencang. Kamar yang saya tempati bergoyang-goyang, saya ketakutan memilih pindah ke kamar teman yang ada di lantai bawah. Paginya usai sarapan saya sudah bersiap-siap untuk melakukan liputan. Soalnya rombongan Jasa Raharja yang akan menyerahkan santunan telah menuju aula kantor Camat Reteh. Disana juga sudah hadir seluruh Upika, seperti Camat, Kapolsek serta Danramil. Begitu juga para keluarga ahli waris, yang semuanya berjumlah delapan orang mewakili 12 orang korban speed boad yang tenggelam. Ketika acara dimulai dengan berbagai sambutan, santunan pun diserahkan. Salah seorang penerima santunan ketika itu adalah Ibu Masnah. Dia ini menangis sejadi-jadinya. Wanita ini tidak pernah menduga kalau ia bakal menerima santunan dari Jasa Raharja. Ibu Masnah ini adalah ahli waris dari suaminya turut menjadi korban speed boad yang terbalik di perairan Kuala Enok yang berbatasan dengan Kuala Tungkal, Jambi. “Kami ini orang kampung yang tidak tahu apa-apa. Makanya ketika dikabari ada santunan dari Jasa Raharja saya sempat tidak percaya,” katanya ketika bertemu saya beberapa waktu lalu, saat dia bercerita kesannya waktu menerima santunan dari Jasa Raharja. Dengan uang santunan itu, Ibu Masnah memulai hidupnya dengan berjualan barang harian, hingga bisa menyekolahkan dua anak yang ditinggalkan suaminya. “Sekarang setiap kali naik angkutan baik transportasi laut atau darat, saya selalu bertanya asuransi Jasa Raharjanya.” Ujar wanita itu polos. Itu diyakini Ibu Masnah karena hanya Jasa Raharja yang benar-benar dapat dipercaya dan bisa memberikan jaminan pada keluarga korban transportasi, jika satu waktu terjadi halhal yang tidak diinginkan. Namun di balik harapan Ibu Masnah itu, saya banyak mendapat pelajaran bagaimana Jasa Raharja menjalankan amanah pemerintah, terutama yang berkaitan dengan UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 dimana semua masyarakat yang mengalami musibah kecelakaan transportasi, baik darat, laut maupun udara akan mendapatkan santunan dari Jasa Raharja dengan jumlah yang bervariasi. Tidak saja pada korban yang meninggal dunia, namun juga pada korban yang mengalami cacat akan dinilai sesuai kecacatan yang dideritanya. “Memang tidak semua kecelakaan dijamin oleh UU No. 33 dan 34 Tahun 1964. Yang dijamin UU No. 33 Tahun 1964 adalah setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum, sedang yang dijamin UU No. 34 Tahun 1964 adalah setiap korban yang tertabrak oleh kendaraan bermotor,” terang Drs. H. Wan Anwar, Kepala Cabang Jasa Raharja Riau, Senin (20/12).
Sosialisasi Jitu Perjalanan tiga hari dua malam dengan medan berat membuat saya termenung sepanjang perjalanan pulang kembali ke Pekanbaru. Begitu besar tanggung jawab Jasa Raharja dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Sehingga pantaslah jika BUMN ini akhirnya memperoleh penghargaan sertifikat ISO : 9001, yang merupakan pengakuan dunia di bidang pelayanan. Di sisi lain saya menilai, inilah sosialisasi jitu yang benar-benar menyentuh di hati masyarakat. Seperti dikatakan Ibu Masnah, meski santunan itu ia terima enam tahun silam, namun hingga kini hal itu masih menjadi kenangan. Ini bukan berarti sosialisasi yang dilakukan Jasa Raharja seperti di sekolah-sekolah, terminal dan tempat lainnya dengan mengadakan pengobatan gratis, tes urine, dan sebagainya, itu sia-sia. Namun dari segi kemanusiaan hal itu kurang berkesan. Sebab itu sama saja dengan khutbah para ustadz di masjid setiap Jumat, dimana selesai khutbah maka tak ada satupun jemaah yang mengingatnya. Berbeda jika santunan itu diserahkan pada saat si tertanggung dalam kesusahan, maka ini jelas akan membekas di pikiran. Dari si ahli waris itu pula akan tersebar dari mulut ke mulut bagaimana ia merasa terbantu dengan adanya santunan yang diberikan Jasa Raharja. Intinya, Jasa Raharja harus mempercepat waktu penyerahan santunan dengan musibah yang dialami tertanggung. Jika perlu untuk kasus-kasus tertentu, Jasa Raharja bersedia memberikan jaminan jika kelengkapan syarat-syarat ahli waris masih kurang untuk mendapatkan santunan tersebut. Misalnya syarat itu bisa dilengkapi beberapa hari kemudian setelah santunan diberikan. Pelayanan sistem jemput bola seperti dilakukan Jasa Raharja Riau sebagaimana saya paparkan di atas, hendaknya bisa terus tertahankan. Hal itu berguna untuk meningkatkan kepercayaan Jasa Raharja sehingga muncul trust yang baik di masyarakat. Munculnya calo-calo yang mengaku bisa mengurus dana santunan untuk tertanggung juga perlu perhatian serius. Jika itu terjadi jelas dapat merugikan para ahli waris karena dana yang mereka terima terima bisa tidak utuh lagi, sebab sudah ada bagian dari para calo. Untuk itu Jasa Raharja jangan sampai kecolongan, apa lagi sampai dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Rendahnya kesadaran pengusaha angkutan untuk membayar premi juga perlu disiasati. Misalnya dengan memberikan sanksi tidak akan membayar klaim jika terjadi kecelakaan bagi pemilik angkutan yang nakal.
Dengan demikian, para penumpang bisa menuntut atau mempertanyakan pada pengusaha angkutan tentang jaminan keselamatan mereka selama dalam perjalanan. Kalau ini terjadi, bukan tidak mungkin usaha ketajutan ditinggalkan konsumen, sebab penumpang takut karena tidak ada jaminan bagi mereka. Akhirnya kami mengucapkan selamat Milad ke 50 tahun Jasa Raharja, semoga amanah UU No. 33 dan 34 Tahun 1964 dapat terus menerus dijalankan. Tentunya masyarakat berharap yang terbaik. Khairunnas anfa’uhum linnas. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” (H.R. Bukhari).***