ISSN 2527-497X
JURNAL
INFRASTRUKTUR Vol. 2 No. 01 April 2017
PUSDIKLAT MANAJEMEN DAN PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT
Vol. 2 No. 01 April 2017
JURNAL
INFRASTRUKTUR Vol. 2 No. 01 April 2017
Susunan Redaksi Jurnal Infrastruktur
Pengarah
:
Dr. Ir. Andreas Suhono, M.Sc. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Penanggung Jawab
:
Ir. Asep Arofah Permana, MT., MM.
Mitra Bestari
:
Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng Subagio, DEA (Institut Teknologi Bandung) Prof. Dr. Muhammad Yamin Jinca, MS.Tr. (Universitas Hasanuddin Makassar) Dr.techn. Umboro Lasminto, ST., M.Sc (Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)
Redaktur
:
Ir. Yusdiana Caya, M.Si
Dewan Penyunting
:
Drs. Haris Marzuki Susila Diana Febrianti, S.Kom., MMT Luthfi Ainuddin, ST
Redaksi Desain
:
Lamtiur Gustina, A.Md
Fotografer
:
Imam Syahid Izzatur Rahim, A.Md
Sekretariat
:
Mardian Syah, A.Md Rosna Kumala Sary, SE Dini Prilia Gamarlin, S.Sos., M.Si
Website
:
bpsdm.pu.go.id/jurnal
Email
:
[email protected]
Alamat
:
Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jl. Sapta Taruna Raya Komplek PU Pasar Jumat Jakarta Selatan 12330 Telp. 021-759 08822
ii
Jurnal
Volume
No
Hal
Jakarta
ISSN
INFRASTRUKTUR
2
01
001 - 112
April 2017
2527-497X
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
DAFTAR ISI
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii
Pengantar Redaksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iv
1. ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA JASA KONSTRUKSI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI
1-1
Henny Yunita dan Anton Soekiman 2. KAJIAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN DINI PERKERASAN JALAN LENTUR DAN PENGARUHNYA TERHADAP BIAYA PENANGANAN
1-9
Nurrela Arifah Munggarani 3. KAJIAN RISIKO TAHAP PELAKSANAAN KONSTRUKSI PROYEK PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI BENDUNG LEUWIGOONG
1 - 19
Tatan Rustandi 4. PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MENCAPAI MUTU PEKERJAAN KONSTRUKSI JALAN LENTUR
1 - 31
Adiwijaya 1 - 40
5. ANALISIS KORELASI MATURITAS MANAJEMEN RISIKO UNTUK ORGANISASI PUBLIK PENGGUNA JASA DAN KINERJA Virgeovani Hermawan dan Andreas Wibowo 6. ANALISIS FAKTOR PENYEBAB CALON PENYEDIA JASA MELAKUKAN PENDAFTARAN LELANG TETAPI TIDAK MELANJUTKAN MEMASUKAN DOKUMEN PENAWARAN PADA PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH
1 - 49
Syafran Noferi dan Andreas Wibowo 1 - 62
7. KONSEPSI KEAMANAN BENDUNGAN DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN BENDUNGAN Joko Mulyono 8. IDENTIFIKASI RISIKO DALAM PEMBANGUNAN JEMBATAN BENTANG PANJANG (STUDI KASUS PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA)
1 - 70
Aceng Maulana 9. ANALISIS TINGKAT PEMAHAMAN PEMANGKU KEPENTINGAN TERKAIT PENERAPAN KONSEP JALAN BERKELANJUTAN (GREEN ROAD) DI KOTA KUPANG
1 - 83
Karlina J. Faah dan Anton Soekiman 10. MENINGKATKAN NILAI KUAT TEKAN BEBAS (UCS) TANAH MANYAWANG DISTABILISASI DENGAN SEMEN
1 - 94
Bambang Raharmadi Lampiran Abstrak
.....................................................
1 - 103
Lampiran Pedoman Penulisan Jurnal Infrastruktur . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1 - 113
JURNAL INFRASTRUKTUR
iii
Vol. 2 No. 01 April 2017
PENGANTAR REDAKSI Alhamdulillah kami panjatkan, karena hanya berkat karunia dan pertolongan-Nya saja kami dapat menerbitkan Jurnal Infrastruktur untuk edisi yang keempat. Pada edisi kali ini, kami tetap berupaya menghadirkan ke ruang baca Anda kesatuan gagasan tentang upaya menghadirkan tulisan bidang infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat melalui sepuluh ragam karya ilmiah buah tangan para Pejabat Fungsional dan Karyasiswa dari lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Karya ilmiah dalam Jurnal Infrastruktur kali ini lebih banyak mengangkat permasalahan konstruksi yang meliputi tingkat kepuasan pengguna, pembiayaan manajemen resiko, tenaga konstruksi dan proses pengadaan barang dan jasa dengan judul – judul sebagai berikut : Analisis Tingkat Kepuasan Pengguna Jasa Konstruksi Terhadap Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 di Perusahaan Jasa Konstruksi, Kajian Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Dini Perkerasan Jalan Lentur dan Pengaruhnya Terhadap Biaya Penanganan, Kajian Risiko pada Tahap Pelaksanaan Konstruksi Proyek Peningkatan Jaringan Irigasi Pada Bendung Leuwigoong, Pengaruh kualitas Sumber Daya Manusia dalam mencapai Mutu Pekerjaan Konstruksi Jalan Lentur, Analisis Korelasi Maturitas Manajemen Risiko untuk Organisasi Publik Pengguna Jasa dan Kinerja, Analisis Faktor Penyebab Calon Penyedia Jasa Melakukan Pendaftaran Lelang tetapi tidak Melanjutkan Memasukan Dokumen Penawaran Pada Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah. Sedangkan kajian lainnya terdiri dari: Bidang Sumber Daya Air akan diwakili tulisan yang membahas tentang Konsepsi Keamanan Bendungan dalam Pembangunan dan Pengelolaan Bendungan. Untuk kajian Bidang Jalan dan Jembatan, menyajikan tentang Pekerjaan Perkerasan Lentur untuk Mempertahankan Umur Rencana Jalan, dan Meningkatkan Nilai Kuat Tekan Bebas (UCS) Tanah Manyawang Distabilisasi Dengan Semen, Analisis Tingkat Pemahaman Pemangku Kepentingan Terkait Penerapan Konsep Jalan Berkelanjutan (Green Road) Di Kota Kupang, serta Identifikasi Risiko dalam Pembangunan Jembatan Bentang Panjang (Studi Kasus Pembangunan Jembatan Selat Sunda). Semoga tema – tema yang diangkat pada Jurnal Infrastruktur edisi keempat ini dapat memenuhi kebutuhan informasi tentang perkembangan dan permasalahan infrastruktur di Indonesia. Sebagai upaya untuk memudahkan para pembaca dalam mengakses jurnal ini, selain dalam versi cetak, kami juga telah meluncurkan Jurnal Elektronik atau e-Jurnal Infrastruktur yang dapat diakses di alamat : bpsdm.pu.go.id/jurnal. Untuk itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor yang telah merelakan tulisannya kami muat pada jurnal ini, juga kepada para Mitra Bestari dari berbagai akademisi yang dengan tekun memeriksa naskah yang kami sampaikan. Terima kasih juga kami sampaikan pada seluruh kerabat pengelola Jurnal Infrastruktur yang tak henti berupaya untuk menerbitkan edisi pertama hingga edisi ketiga. Semoga seluruh upaya kita dan seluruh pengorbanan kita dalam menghadirkan Jurnal Infrastruktur ini mendapatkan balasan kebaikan dan keberkahan dari Allah SWT. Aamiin. Pada kesempatan berikutnya kami senantiasa akan selalu mengajak seluruh pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, khususnya para Pejabat Fungsional untuk dapat memanfaatkan jurnal ini sebagai sarana untuk meningkatkan kompetensi taknis sehingga dapat mengoptimalkan perannya sebagai Pejabat Fungsional dalam penyelenggaraan infrastruktur PUPR melalui karya tulis atau karya ilmiah. Akhir kata, saya ucapkan selamat membaca jurnal ini, semoga bermanfaat. Kritik dan saran guna penyempurnaan jurnal ini, sangat kami nantikan. Sekian dan terima kasih.
Redaksi Jurnal Infrastruktur
iv
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA JASA KONSTRUKSI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI Henny Yunita1
Anton Soekiman2 Mahasiswa Magister Teknik Sipil1, Kepala Program Doktor dan Magister Teknik Sipil2 1,2 Universitas Katolik Parahyangan Email:
[email protected],
[email protected] Abstract Infrastructure development in many areas in indonesia appear as demonstrate the seriousness of the government in increasing its capacity and capabilities budget.The form of the seriousness of the government can also be seen from trend the realization budget infrastructure that increased by 120 percent of the budget infrastructure 2010. Meanwhile, the era asean economic community (MEA) also emerge as another challenge to cope service industry indonesian construction. Hence, the company construction services are required to have always been able to produce products quality. The project owner require contractors who was elected must have a system to ensure that every stage activity his project implemented as planned the project, a system that is known as a quality management system (SMM) ISO 9001: 2008 with trust and satisfaction construction users is one benefit can be felt and up to now there are about 1.196 contractors who have applied (SMM) ISO 9001:2008. For it , need to study how the level of satisfaction users construction against the implementation of SMM ISO 9001: 2008 and factors priority anything that needs to be repaired with increased. So that it can be known how performance the application of SMM ISO 9001: 2008 that is in contractors now. Based on the calculation of Customers Satisfaction Index (CSI), indicates that users construction in the water resources scope of work are satisfy to SMM ISO 9001: 2008 that had been implemented by contractors by index satisfaction of 72.05%. Meanwhile, based on diagram kartesius Importance Performance Analysis (IPA), speed in responding to demand the project owner, timeliness of completion of projects and the speed resolve the current shortage of handover become priority indicators that need to be improved in order to achieve better customers satisfaction. Keywords: construction, construction quality assurance, ISO 9001:2008, construction users satis Abstrak Pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di Indonesia muncul sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas konstruksinya. Bentuk keseriusan pemerintah juga terlihat dari trend realisasi anggaran infrastruktur yang mengalami peningkatan sebesar 120% dari anggaran infrastruktur tahun 2010. Sementara itu, berlakunya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga muncul sebagai tantangan lain yang harus dihadapi industri jasa konstruksi Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan jasa konstruksi dituntut untuk selalu mampu menghasilkan produk yang bermutu. Pemilik proyek mewajibkan kontraktor yang terpilih harus memiliki suatu sistem yang mampu menjamin bahwa setiap tahapan aktivitas proyeknya dilaksanakan sesuai rencana mutu proyek, sistem itulah yang dikenal dengan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 dengan kepercayaan serta kepuasan pengguna jasa konstruksi menjadi salah satu manfaat yang dapat dirasakan dan sampai dengan saat ini sudah terdapat sekitar 1.196 kontraktor yang telah menerapkan SMM ISO 9001:2008. Untuk itu, perlu diteliti bagaimana tingkat kepuasan pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2008 dan faktor prioritas apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sehingga dapat diketahui bagaimana kinerja penerapan SMM ISO 9001:2008 yang ada di perusahaan jasa konstruksi saat ini. Berdasarkan Perhitungan Customers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa pengguna jasa konstruksi pada lingkup pekerjaan bidang Sumber Daya Air sudah merasa puas terhadap SMM ISO 9001:2008 yang sudah diterapkan oleh perusahaan jasa konstruksinya yang dibuktikan dengan indeks kepuasan sebesar 72.05%. Sementara itu, berdasarkan diagram Kartesius Importance Performance Analysis (IPA), kecepatan dalam merespon permintaan pemilik proyek, ketepatan waktu penyelesaian proyek dan kecepatan menyelesaikan kekurangan pada saat serah terima hasil pekerjaan menjadi indikator prioritas yang perlu ditingkatkan demi mencapai kepuasan pengguna jasa yang lebih baik lagi. Kata Kunci: konstruksi, jaminan kualitas konstruksi, ISO 9001:2008, kepuasan pengguna konstrksi, importance performance analysis (IPA)
JURNAL INFRASTRUKTUR
1-1
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Di Indonesia, pembangunan infrastruktur di berbagai daerah muncul sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas konstruksi untuk menjadi pondasi pembangunan ekonomi nasional. Data Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa peningkatan yang terjadi ini terlihat dari capaian kontribusi sektor jasa konstruksi nasional terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang mengalami peningkatan sejak tahun 2009-2013 dengan rata-rata peningkatan sebesar 6.81% pertahun, sehingga di tahun 2013 mencapai sekitar 182 triliun rupiah dengan ratarata kontribusi sebesar 6.49%. Peningkatan volume pembangunan ini juga terlihat dari trend realisasi anggaran infrastruktur pada APBN yang mana pada tahun 2015, realisasi anggaran infrastruktur pada APBN mencapai nilai sebesar 189.7 triliun rupiah, nilai ini mengalami peningkatan sebesar 103.7 triliun rupiah atau naik sebesar 120% bila dibandingkan dengan anggaran infrastruktur tahun 2010 yang hanya sebesar 86 triliun rupiah. Berlakunya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak akhir Desember 2015 muncul sebagai tantangan lain yang harus dihadapi industri jasa konstruksi Indonesia. Industri jasa konstruksi Indonesia dituntut harus tetap berupaya menjaga dan meningkatkan mutu produk dan jasa konstruksi agar tidak ditinggalkan oleh pengguna jasanya. Proyek konstruksi dikatakan bermutu, apabila terdapat jaminan dari kontraktor bahwa proyek yang dilaksanakan akan tepat waktu, sesuai spesifikasi teknis serta adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dan untuk mewujudkan hal tersebut serta untuk menjamin konsistensi pelaksanaan proyeknya pemilik proyek mempersyaratkan kontraktor yang terpilih harus memiliki suatu sistem yang mampu menjamin bahwa setiap tahapan aktivitas proyeknya akan dilaksanakan sesuai rencana mutu proyek. Sistem itulah yang lebih dikenal dengan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008). Pemilik proyek selaku pengguna jasa baik dari pihak pemerintah maupun perusahaan swasta akan mensyaratkan bukti adanya penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 dalam persyaratan tender karena ketepatan memilih kontraktor akan mempengaruhi baik buruknya kinerja proyek. Sementara itu, penerapan SMM berbasiskan ISO 9001:2008 di perusahaan jasa konstruksi sudah menjadi prioritas utama mengingat penerapannya sendiri telah menjadi kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sejak tahun 2001 dengan tujuan untuk mengupayakan dan mewujudkan kualitas produk hasil pekerjaan konstruksi yang sesuai harapan dan kebutuhan pengguna jasa atau pemilik proyek (Mulia, 2011). Untuk itu, perlu diteliti bagaimana tingkat kepuasan 1-2
JURNAL INFRASTRUKTUR
pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2008 dan faktor prioritas apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sehingga dapat diketahui bagaimana kinerja penerapan SMM ISO 9001:2008 yang ada di perusahaan jasa konstruksi saat ini. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pelayanan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, disebutkan bahwa Jasa konstruksi merupakan layanan jasa yang mencakup layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Kotler (1994) dalam Putra (2011) mendefinisikan: “A service is any act performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to physical product. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Gronroos (1990): “A service is an activity or series of acivities of more or less intangible nature normally, but not necessarily, take place interaction between the customer and service employee and/or physical resource or goods and/or systems of the service provider, which are provided as solution to customer problems. Pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam kegiatan pelayanan terkandung suatu kondisi atau keterampilan keahlian di bidang tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebutlah, pihak yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan tertentu sehingga mampu memberikan bantuan dalam menjelaskan suatu keperluan, kebutuhan individu atau perusahaan dan pelayanan dinilai memuaskan bila perusahaan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. 2.2. Teori Kepuasan Kepuasan pemilik proyek konstruksi selaku pelanggan bergantung pada kualitas produk dan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan jasa konstruksinya (kontraktor) oleh karena itu, kepuasan pemilik proyek merupakan prioritas paling utama sehingga perusahaan jasa konstruksi dituntut untuk selalu dapat menerapkan prinsip fokus pada pelanggan. Kotler (2002) dalam Sumaga (2013) menyatakan bahwa kepuasan dinyatakan sebagai perasan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk/jasa dan harapan-harapannya, sehingga hubungannya dapat menghasilkan persamaan:
Vol. 2 No. 01 April 2017
standar meliputi standar pengelolaan sumber daya, realisasi produk, pengukuran dan evaluasi serta sistem dokumentasi.
..........................................(1) 2.3. Metode Pengukuran Tingkat Kepuasan Secara teknis kepuasan pengguna jasa konstruksi dinilai dalam bentuk angka dan dalam dunia konstruksi kepuasan konsumen menjadi salah satu indikator keberhasilan proyek. Salah satu metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan pengguna jasa adalah metode Customer Satisfaction Index (CSI) atau indeks kepuasan pengguna jasa dengan hasil perhitungan berupa angka yang menunjukkan indeks kepuasan pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahaan jasa konstruksi. 2.4. Pengertian Mutu
Gaspersz (2002) dalam Santosa (2013) menjelaskan beberapa manfaat dari penerapan SMM ISO 9001:2008 yang salah satunya adalah mampu meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui jaminan kualitas yang terorganisasi dan sistematik melalui proses pemenuhan persyaratan SMM ISO 9001:2008 yang tertuang dalam 8 bentuk klausul meliputi: A. Klausul 1, mengenai ruang lingkup B. Klausul 2, mengenai acuan normatif C. Klausul 3, mengenai istilah dan definisi D. Klausul 4, mengenai sistem manajemen mutu E. Klausul 5, mengenai tanggung jawab manajemen
Mutu atau yang sering disebut kualitas memiliki makna yang berlainan bagi setiap orang karena memiliki banyak kriteria yang berubah secara terus menerus. Definisi kualitas dalam konstruksi sangat sulit ditentukan karena terdapat keunikan metode konstruksi, produk dan tenaga kerja yang terlibat
F. Klausul 6, mengenai pengelolaan sumber daya G. Klausul 7, mengenai realisasi produk
H. Klausul 8, mengenai pengukuran, pemantauan, analisis dan perbaikan Tabel 1. Penjelasan Definisi Kualitas Dalam Industri Konstruksi
di dalamnya. Salah satu konsep mutu yang sering digunakan dalam dunia konstruksi disampaikan oleh Arditi dan Gunaydin (1997), yang mendefinisikan mutu dalam industri konstruksi Tabel 1 sebagai proses. 2.5. Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 ISO 9001:2008 muncul sebagai salah satu standar yang paling dikenal dari seri ISO 9000 yang mensyaratkan sebuah organisasi agar memiliki
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan berdasarkan 6 tahapan sistematis yang terdiri dari: 3.1. Tahap Perumusan Masalah Pada penelitian ini permasalahan yang menjadi dasar penelitian adalah bagaimana kinerja perusahaan jasa konstruksi yang telah menerapkan SMM ISO 9001:2008 berdasarkan pencapaian tingkat kepuasan pengguna jasanya. JURNAL INFRASTRUKTUR
1-3
Vol. 2 No. 01 April 2017
3.2. Tahap Kajian Pustaka
dengan klausul 8 seperti yang ada pada Tabel 2.
Kajian pustaka dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur terkait kinerja proyek konstruksi, implementasi SMM ISO 9001:2008 pada perusahaan jasa konstruksi, aspek pengendalian mutu konstruksi serta kepuasan pengguna jasa konstruksi.
3.4.
3.3. Tahap Identifikasi Variabel dan Indikator Pada tahapan ini dilakukan identifikasi variabel dan indikator yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan yang kemudian dikelompokkan berdasarkan persyaratan SMM ISO 9001:2008 yang dimulai dari klausul 4 sampai
Tahap Penyusunan Kuesioner
JURNAL INFRASTRUKTUR
Penyebaran
Kuesioner disusun dalam format structured questions dan penyebaran dilakukan di Satuan Kerja (Satker) Pelaksanaan Jaringan Sumber Air, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane dengan skor kepuasan dan kepentingan pengguna jasa dijelaskan pada Tabel 3. Pada penelitian ini uji validitas yang dilakukan adalah uji validitas konstruksi (construct validity) dengan menghitung korelasi Pearson Product Moment.
Tabel 2. Persyaratan SMM ISO 9001:2008
1-4
dan
Vol. 2 No. 01 April 2017
Target responden adalah sebanyak 14 (empat belas) Tabel 3. Skor Penilaian
Keterangan: N : Jumlah responden Yi : Nilai kepentingan faktor ke-i Xi : Nilai kinerja faktor ke-i
orang responden yang terdiri dari pihak-pihak yang memiliki pengetahuan dan pengalaman bekerjasama dengan kontraktor yang telah bersertifikasi SMM ISO 9001:2008 dan pernah melaksanakan proyek infrastruktur pemerintah.
B. Membuat Weight Factor (WF), bobot ini merupakan presentase nilai MIS per atribut terhadap total MIS seluruh atribut.
.............................(5) Keterangan:
3.5. Tahap Analisis dan Pembahasan
p : Jumlah atribut kepentingan
Analisis data dilakukan dengan menggunakan dua metode, yang pertama adalah metode Customer Satisfaction Index (CSI) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan metode Indeks Kepuasan Pengguna (IKP). Sementara itu, metode kedua yang digunakan adalah metode Importance Performance Analysis (IPA). CSI dihitung dengan menggunakan rumus:
i : Faktor pelayanan ke-i
Perhitungan
keseluruhan
CSI
menurut
Bhote
..........................................(2) (1996) diilustrasikan pada Tabel 4. Nilai rata-rata pada kolom kepentingan (I) dijumlahkan sehingga diperoleh Y dan juga hasil kali I dengan P pada kolom skor (S) dijumlahkan dan diperoleh T. Tabel 4. Perhitungan Indeks Kepuasan Pengguna (IKP)
Sementara itu, Dickson (1994) dalam Fitriana et al. (2014) terdapat empat langkah dalam perhitungan CSI antara lain:
a. Membuat Weighting Score, bobot ini merupakan perkalian antara Weight Factor (Wf) dengan rata-rata tingkat kepuasan MSS. WSi = Wfi x MSSi
.............................(6)
Keterangan: i : Atribut pelayanan b. Menentukan CSI. Skala kepuasan pelanggan yang umum dipakai dalam interpretasi indek adalah skala nol sampai satu atau nol sampai seratus.
.............................(7) Berdasarkan dari penjelasan Bhote (1996) dan Dickson (1994) di atas terlihat ada perbedaan langkah dalam menghitung indeks kepuasan, namun keduanya saling mendukung dan memberikan hasil perhitungan yang sama jika digunakan. Dalam penelitian ini, hasil perhitungan diperoleh berdasarkan Dickson (1994) dan untuk memudahkan penilaian skala nilai CSI dibagi ke dalam lima skala penilaian seperti yang ada pada Tabel 5. Tabel 5. Skala Nilai CSI
A. Menentukan Mean Importance Score (MIS) dan Mean Satisfaction Score (MSS). Nilai ini berasal dari rata-rata tingkat kepentingan dan kinerja tiap responden.
..........................................(3)
..........................................(4)
Metode kedua yaitu metode IPA memberikan hasil berupa interpretasi pengklasifikasian kinerja perusahaan jasa konstruksi dalam menerapkan SMM ISO 9001:2008 ke dalam 4 kuadran Kartesius meliputi kuadran A (prioritas utama perbaikan), Kuadran B (pertahankan kinerja), Kuadran C
JURNAL INFRASTRUKTUR
1-5
Vol. 2 No. 01 April 2017
(priortas rendah untuk perbaikan) dan Kuadran D (kinerja berlebihan). Tahapan analisis diharapkan dapat memberikan keluaran yang dapat mencapai tujuan penelitian dengan diperolehnya kesimpulan mengenai tingkat kepuasan pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahaan jasa konstruksi. Saran dapat diberikan berupa rekomendasi bagi perusahaan jasa konstruksi yang telah menerapkan SMM ISO 9001:2008 untuk mempertahankan bahkan meningkatkan tingkat kepuasan pengguna jasanya. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan pada Tabel 6 menunjukkan CSI penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahaan jasa konstruksi pada lingkup pekerjaan SDA adalah sebesar 72.05%. Hasil ini diperoleh berdasarkan distribusi 44 (empat puluh empat) kuesioner yang dinyatakan valid. Nilai ini berada pada rentang nilai CSI antara 68% < CSI ≤ 83%, yang mana kondisi ini menyatakan bahwa pengguna jasa konstruksi sudah merasa puas terhadap kinerja perusahaan jasa konstruksi dalam menerapkan SMM ISO 9001:2008.
klausul sehingga dapat diketahui indeks kepuasan secara detail terhadap kinerja setiap klausulnya yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. CSI sebesar 72.05% sebagai angka yang sangat diperlukan dalam mencapai perbaikan yang berkesinambungan, karena dalam metode CSI pengukuran tingkat kepuasan adalah sebuah proses yang bersifat kontinu. Hal ini sejalan dengan persyaratan SMM ISO 9001:2008 klausul 8, yang menyatakan bahwa perusahaan harus tetap memantau informasi yang berkaitan dengan persepsi pengguna jasa apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan atau belum, karena prinsipnya SMM ISO 9001:2008 hanyalah sebagai tools untuk memastikan bahwa perusahaan jasa konstruksi telah menerapkan sistem standar mutu untuk mencapai keunggulan kompetitif.
Berdasarkan pada Gambar 1, klausul 5 (tanggung jawab manajemen) adalah klausul dengan kinerja yang paling memuaskan. Kondisi ini sejalan dengan hasil perhitungan metode IPA berupa sebaran indikator yang tertuang dalam sebuah diagram Kartesius seperti yang ada pada Gambar 2 dengan rincian indikator di masing-masing kuadran dijelaskan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 7 inilah Perhitungan CSI juga dilakukan terhadap setiap dapat diketahui bahwa variabel tanggung jawab Tabel 6. Hasil Perhitungan CSI Lingkup Pekerjaan SDA
Tabel 7. Sebaran Indikator Diagram Kartesius
Gambar 1. CSI Klausul Pada Lingkup Pekerjaan Sumber Daya Air Sumber: Hasil Perhitungan
1-6
JURNAL INFRASTRUKTUR
manajemen (klausul 5) memang menjadi klausul dengan kinerja yang memuaskan terlihat dari sebaran indikatornya yang berada di kuadran B dan kuadran D, yang artinya secara keseluruhan klausul memiliki kinerja yang memuaskan melebihi persepsi kepentingan/harapan pengguna jasanya.
Vol. 2 No. 01 April 2017
Gambar 2. Diagram Kartesius Kinerja Penerapan SMM ISO 9001:2008di Perusahaan Jasa Konstruksi Lingkup Pekerjaan SDA Sumber: Data Primer yang diolah 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal: A. Secara keseluruhan penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahan jasa konstruksi pada lingkup pekerjaan SDA dikatakan baik dan pengguna jasa konstruksi sudah merasa puas. Kondisi ini dibuktikan dengan Customer Satisfaction Index sebesar 72.05%, yang mana nilai ini berada dalam rentang nilai CSI antara 68%
dan pengendalian mutu proyek serta kecepatan menangani masalah di lapangan. C. Berdasarkan respons pengguna jasa konstruksi terhadap kinerja penerapan SMM ISO 9001:2008 di perusahaan jasa konstruksi pada lingkup pekerjaan SDA juga terdapat indikator-indikator yang memiliki kinerja yang memuaskan yang dibuktikan dengan terdapatnya beberapa indikator yang berada di kuadran B dan kuadran D. 5.2. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberikan beberapa saran yaitu: A. Memperbaiki komunikasi antara kontraktor dan pengguna jasa dengan menerapkan prinsip owner oriented, melakukan komunikasi dengan pengguna jasa konstruksi mengenai kendala request, mengevaluasi metode kerja, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kurva-s, memastikan ketersediaan sumber daya, mengevaluasi penerapan prosedur perbaikan kekurangan, melaksanakan pemilihan supplier dan subkontraktor sesuai prosedur, mengupayakan mengajukan shop drawing di awal masa konstruksi, mengupayakan proses administrasi yang sesuai dengan prosedur, mengupayakan kedisiplinan terhadap prosedur dan instruksi kerja, menetapkan kompetensi yang diperlukan, melakukan pengajuan izin pelaksanaan pekerjaan beserta dengan metode kerja serta mengupayakan pendelegasian
JURNAL INFRASTRUKTUR
1-7
Vol. 2 No. 01 April 2017
pekerjaan dengan tepat menjadi usulan rekomendasi terhadap indikator-indikator dengan status prioritas perbaikan. B. Dalam penelitian selanjutnya dapat dikembangkan penelitian untuk membahas tingkat kepuasan pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2015 di perusahaan jasa konstruksi sebagai versi standar terbaru dari ISO 9001, sehingga dapat mengetahui dan menganalisis perbedaan tingkat kepuasannya. DAFTAR PUSTAKA Arditi, D., & Gunaydin, H. (1997). “TQM in Construction Process”, International Journal of Project Management, Col. 15, 4, 235236. Badan Standarisasi Nasional. (2001). PT. Bika Solusi Perdana. (2016). Implementasi ISO 9001 pada Industri Konstruksi 2. Jakarta. PT. Bika Solusi Perdana. Dewan Perwakilan Rakyat. (2015). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Infrastruktur 2015. Jakarta. Dewan Perwakilan Rakyat. Fitriana, D., Florencia, Dwi, J., dan Tanto. (2014). “Pengukuran Kepuasan Kontraktor Terhadap Kinerja Klien Pada Proyek Konstruksi Swasta”, Jurnal Karya Teknik Sipil, Vol. 3, 1, 283-295. Mulia, T. (2011). “Implementasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 Pada Perusahaan Jasa Konstruksi”, Skripsi Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Putra, C. (2011). “Analisis Kepuasan Pelanggan Pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Di Kabupaten Jembrana”, Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Udayana, Denpasar. Santosa, M., Widhiawati, I., dan Diputra, G. (2013). “Penerapan Standar Sistem Manajemen Mutu (ISO) 9001:2008 Pada Kontraktor PT. Tunas Jaya Sanur (Studi Kasus Proyek Proyek Pembangunan Apartment dan Shopping Arcade Sea Sentosa Hotel”, Jurnal Ilmiah Elektronik Infrastruktur Teknik Sipil, Vol. 2, 1. Sumaga, A. (2013). “Analisis Kepuasan Pengguna Jasa Terhadap Penerapan Manajemen Rekayasa Konstruksi Profesional Ruko di Kawasan Bussiness Park Kota Gorontalo”, Jurnal Ilmiah Media Engineering, Vol. 3, 1, 6-13. 1-8
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
KAJIAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN DINI PERKERASAN JALAN LENTUR DAN PENGARUHNYA TERHADAP BIAYA PENANGANAN Nurrela Arifah Munggarani Teknik Jalan dan Jembatan Ahli Pertama Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Handling damage construction of the pliable road pavement whether its maintenance, improvement and rehabilitation could not be done maximally. This probably happens because of the maintenance is done toward the physical damage only without further evaluation of other factors possibility that have to be anticipated to avoid the same damage. This paper will explain the road damages and other damage factors in several regions in Indonesia and also its relationship with the handling costs. The analysis is based on the literature study method and base on that analysis, known that the damage often happened is damage of defect the surface and cracking. Meanwhile, the main road damage factor is the impact of drainage maintenance which is not done properly and regularly so there blockage by garbage or plants growing on drainage. Therefore, proper maintenance of the road and other road pavement complementary buildings will reduce the total cost of damage handling, because the type, the severity and the number of the occurred damage will determine the cost to be covered for the maintenance. The more significant the type, the severity and the number of road pavement damaged, the more lot of the cost to be. Keywords: road damage, pliable road, handling costs and maintenance Abstrak Penanganan kerusakan konstruksi perkerasan jalan lentur baik yang berupa pemeliharaan, peningkatan maupun rehabilitasi belum dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini kemungkinan terjadi karena pemeliharaan hanya dilakukan terhadap kerusakan secara fisik saja tanpa mengevaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan faktor penyebab lain yang harus diantisipasi agar perkerasan jalan tidak mengalami kerusakan yang sama. Tulisan ini akan menguraikan kerusakan-kerusakan jalan dan berbagai faktor penyebab terjadinya kerusakan tersebut pada beberapa daerah di Indonesia serta hubungan antara kerusakan jalan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Analisis dilakukan melalui metode riset pustaka/kajian dari riset terkait/ terdahulu. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa kerusakan yang dominan terjadi adalah kerusakan berupa cacat permukaan dan retak. Sementara itu, faktor penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jalan tersebut adalah akibat pemeliharaan drainase yang tidak dilakukan dengan baik dan rutin sehingga terjadi penyumbatan oleh sampah atau tanaman yang tumbuh pada drainase. Oleh karena itu, pemeliharaan yang baik terhadap badan jalan maupun bangunan pelengkap perkerasan jalan lainnya, maka akan dapat menekan biaya total penanganan jalan yang harus dikeluarkan karena jenis, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan yang terjadi menentukan biaya yang harus ditanggung untuk kegiatan pemeliharaan. Semakin signifikan tipe, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan perkerasan jalan, maka akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Kata Kunci: kerusakan jalan, jalan lentur, biaya penanganan dan pemeliharaan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1-9
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Jalan raya merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan yang sangat penting dalam sektor perhubungan, terutama untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa maupun perpindahan manusia yang dianggap paling efisien dan murah. Keberadaan jalan raya sangatlah diperlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi, pertanian, sosial, budaya dan sektor lainnya. Oleh karenanya, pemerintah dewasa ini terus meningkatkan dan mengembangkan pembangunan infrastruktur terutama jalan dengan harapan tidak lagi ada daerah yang terisolasi dan kesejahteraan di setiap daerah akan meningkat. Namun sering kali pembangunan jalan tidak disertai dengan pemeliharaan yang baik, sehingga menimbulkan berbagai macam permasalahan. Kerusakan jalan merupakan salah satu permasalahan kompleks yang terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Tidak jarang kerusakan jalan ini terjadi sebelum masa akhir rencana umur jalan dan pada umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi merupakan gabungan dari faktor penyebab yang saling terkait. Oleh karena itu, kelalaian atas kerusakan yang kecil akan menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar. Kerugian yang diderita akibat dari kerusakan jalan sungguh besar terutama bagi pengguna jalan, seperti terjadinya waktu tempuh yang lama, kemacetan, kecelakaan lalu lintas dan lain-lain. Kerugian secara individu tersebut akan menjadi akumulasi kerugian ekonomi global bagi daerah tersebut. Selain itu, kerusakan jalan akan mengakibatkan biaya pemeliharaan menjadi tinggi jika dibiarkan terus menerus sehingga porsi anggaran pembangunan infrastruktur jalan terserap banyak untuk kegiatan pemeliharaan. Padahal di sisi lain, kemampuan pembiayaan pemerintah untuk infrastruktur jalan sangat terbatas dan cenderung semakin berkurang sehingga mengakibatkan terbengkalainya kegiatan pemeliharaan jalan, apalagi pembangunan jalan baru. Besarnya investasi untuk sektor jalan dapat dihemat apabila kualitas infrastruktur jalan yang dibangun mampu dipertahankan dalam kondisi baik sehingga tujuan pemerintah dalam penyediaan akses kepada masyarakat secara lebih luas dan merata dapat tercapai. Namun, sejauh ini penanganan kerusakan konstruksi perkerasan jalan baik yang bersifat pemeliharaan, peningkatan maupun rehabilitasi, belum dapat dilakukan secara maksimal. Segala upaya yang telah dilakukan dengan terjadinya kerusakan terkesan seolah-olah saling mengejar. Hal ini kemungkinan terjadi karena pemeliharaan hanya dilakukan terhadap kerusakan secara fisik saja tanpa mengevaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan faktor penyebab lain yang harus diantisipasi agar perkerasan jalan tidak mengalami kerusakan yang sama. 1 - 10
JURNAL INFRASTRUKTUR
Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan diuraikan kerusakan-kerusakan jalan dan berbagai faktor penyebab terjadinya kerusakan tersebut pada beberapa daerah di Indonesia berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Selanjutnya data yang terhimpun akan disimpulkan sehingga diperoleh kerusakan paling dominan terjadi dan faktor-faktor penyebab paling utama dalam kerusakan dini serta usulan penanganan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Selain itu, tulisan ini akan mengulas mengenai hubungan kerusakan perkerasan jalan dengan biaya penanganan berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Namun, tulisan ini dibatasi kerusakan terhadap perkerasan lentur saja. Berdasarkan analisis dan usulan solusi yang dihasilkan, diharapkan dapat membantu pemerintah agar mampu mempertahankan mutu perkerasan jalan selama masa layanannya sehingga mengurangi biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan dan kerugian yang mungkin terjadi. 2. TINJAUAN PUSTAKA Perkerasan lentur yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya dimana konstruksi perkerasan terdiri dari lapisanlapisan perkerasan yang dihampar diatas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan-lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Lapisan pada perkerasan jalan lentur terdiri dari (Manurung, 2011): A. Lapisan permukaan (Surface Course), terdiri dari Lapis aus (wearing course) dan Lapis antara (binder course); B. Lapisan pondasi atas (Base Course); C. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) D. Lapisan tanah dasar (Subgrade) Menurut Departemen Pekerjaan Umum dalam Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur No. Pt T-01-2002-B, umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah waktu dihitung sejak jalan tersebut mulai dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu diberi lapis permukaan yang baru. Selama umur rencana, harus dilakukan pemeliharaan agar perkerasan jalan dapat tetap berfungsi dengan baik dan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan. Umur rencana untuk pembangunan baru perkerasan jalan lentur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No. 22.2/KPTS/Db/2012 dalam Manual Desain Perkerasan Jalan adalah 20 tahun, sedangkan umur rencana perkerasan untuk peningkatan jalan yaitu 10 tahun. Umur rencana perkerasan jalan tersebut ditetapkan oleh Bina Marga dengan pertimbangan bahwa umur rencana yang lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis jika dilihat dari proses konstruksi baik dalam
Vol. 2 No. 01 April 2017
perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharaan (Gelenteng, 2012).
tentang tata cara pemeliharaan dan penilikan jalan (seperti dikutip Manurung, 2011) adalah :
Kondisi pelayanan perkerasan jalan dapat dikategorikan sebagai perkerasan jalan mantap, tidak mantap, dan kritis. Kategori tersebut didefinisikan sebagai berikut (Asriadi, 2011):
A. Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun.
A. Kondisi Pelayanan Mantap Kondisi pelayanan sejak konstruksi masih baru sampai dengan kondisi pelayanan pada batas kemantapan (akhir umur rencana) dan penurunan nilai kemantapan wajar seperti yang diperhitungkan. Termasuk dalam kondisi ini adalah jalan dengan kondisi baik dan sedang. B. Kondisi Pelayanan Tidak Mantap Kondisi pelayanan berada di antara batas kemantapan sampai dengan batas kritis. Termasuk dalam kondisi ini adalah jalan dengan kondisi rusak atau kurang baik. C. Kondisi Kritis Kondisi pelayanan dengan nilai kemantapan mulai dari batas kekritisan sampai dengan tidak terukur lagi, dimana kondisi tersebut menyebabkan kapasitas jalan menurun. Termasuk dalam kondisi ini adalah jalan dengan kondisi rusak berat atau buruk. Kinerja perkerasan jalan akan menurun seiring dengan bertambahnya umur jalan. Penurunan kondisi jalan selama waktu pelayanan dan hubungannya dengan kebutuhan pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan Kondisi Jalan pada Masa Pelayanan dengan Pemeliharaan (Asriadi, 2011) Dalam mempertahankan kinerja perkerasan jalan agar mampu memberikan pelayanan hingga akhir umur yang telah direncanakan sebelumnya, maka diperlukan beberapa tindakan perbaikan kerusakan berupa pemeliharaan jalan. Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan ditinjau dari waktu pelaksanaannya berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 13/PRT/M/2011
B. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan pada waktuwaktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kekuatan struktural. C. Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Dalam melakukan perbaikan terhadap perkerasan jalan maka dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu perbaikan struktural dan perbaikan fungsional. Perbaikan fungsional dapat dilakukan dengan metoda perbaikan standar sesuai dengan Manual Pemeliharaan Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Propinsi, Departemen Pekerjaan Umum No. 002/T/ Bt/1995. 3. METODE PENELITIAN Metode penulisan yang digunakan dalam studi ini adalah dengan mengambil data sekunder yaitu kajian literatur dengan cara mengumpulkan, membandingkan dan menginventarisasi penelitianpenelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai kerusakan-kerusakan perkerasan jalan, faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan jalan beserta penanganan yang tepat dalam mengatasi kerusakan-kerusakan tersebut khususnya pada daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa sumber lain baik berupa tesis, skripsi dan kaya ilmiah lainnya sebagai panduan penulis dalam membuat kajian pustaka yang terkait dengan studi ini. Berdasarkan metode penulisan yang digunakan, maka penulisan terbatas pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, pemaparan kerusakan-kerusakan perkerasan jalan dan faktor-faktor penyebab kerusakan jalan terbatas pada daerah-daerah yang menjadi objek dalam penelitian tersebut. Selain itu, jalan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah jalan dengan perkerasan lentur. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Kerusakan Perkerasan Jalan Kerusakan perkerasan jalan lentur yang paling dominan dipilih berdasarkan frekuensi kemunculan JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 11
Vol. 2 No. 01 April 2017
Perkerasan Jalan dan Penanganannya
dan persentase yang signifikan ataupun peringkat tertinggi suatu jenis kerusakan jika dibandingkan dengan kerusakan lainnya dari data hasil penelitian terdahulu. Tabel 1 menyajikan kesimpulan jenisjenis kerusakan yang terjadi pada beberapa daerah di Indonesia yaitu Kabupaten Kubu raya Provinsi Kalimantan Barat, Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Melawi Kalimantan Barat.
Sebelumnya telah dianalisis bahwa kerusakan perkerasan jalan yang cukup dominan terjadi di Indonesia berupa cacat permukaan dan retak. Selanjutnya diuraikan faktor-faktor penyebab terjadinya kedua jenis kerusakan tersebut dalam rangka mengidentifikasi faktor penyebab kerusakan yang paling dominan agar dapat dilakukan antisipasi sehingga kedua jenis kerusakan tersebut dapat
Tabel 1. Perbandingan Kerusakan Berdasarkan Penelitian Terdahulu
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Kerusakan Jalan Cacat Permukaan Retak Distorsi Kegemukan Jalur/bahu turun Tambalan Gerusan Tepi
Tingkat Kerusakan (%) Mardianus (2013)
Djalante (2011)
47,15% 43,24% 4.41% 0,19% 5,01% ---
63.8 % 64,2% 5.8% 2,9% 3,5% 8,5% --
Mbolian, et al. (2012) 41,73% 38,27% 13,33% -3,22%) -3,45%
Peringkat Kerusakan Jalan Mukti (2009) 1 2 3 -----
Catatan: Peringkat kerusakan jalan pada hasil penelitian Mukti (2009) dilakukan berdasarkan kekerapan munculnya suatu jenis kerusakan pada setiap type kerusakan perkerasan jalan menurut asumsinya (1=sering terjadi; 3=jarang terjadi) Pada Tabel 1 dapat terlihat bahwa kerusakan berupa cacat permukaan dan retak secara konsisten selalu muncul di setiap daerah yang diteliti dan memiliki persentase tingkat kerusakan yang cukup mendominasi jika dibandingkan dengan jenis-jenis kerusakan lainnya. Hal tersebut juga didukung oleh persepsi pakar yang menganggap bahwa cacat permukaan dan retak adalah faktor dominan kerusakan perkerasan jalan pada ruas jalan nasional dan jalan propinsi di Indonesia (Mulyono, 2006). 4.2. Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan
diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Berdasarkan hasil penelitian pada Kabupaten Kubu raya Provinsi Kalimantan Barat, Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah dan Kabupaten Melawi Kalimantan Barat di Indonesia dan data lainnya, maka faktor penyebab kerusakan jalan dapat dipetakan dengan menggunakan teknik diagram fishbone seperti ditunjukkan oleh Gambar 2. Diagram fishbone biasa disebut juga dengan diagram Ishikawa.
Perencanaan daya dukung tanah dasar kurangtTepat Perencanaan
Beban kendaraan Berlebih (overloading) dan berulang (repetition)
Pelaksanaan
Pembangunan Utilitas
Pemeliharaan
Suhu udara ekstreem
Sifat tanah dasar ekspansif
Pengaruh air laut Curah hujan tinggi Naiknya air karena kapilaritas
Kerusakan Perkerasan Jalan Pemilihan bahan material yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan Kualitas bahan material tidak sesuai dengan spesifikasi
Gambar 2. Diagram Fishbone Penyebab Kerusakan Perkerasan Jalan
1 - 12
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Selanjutnya untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kerusakan perkerasan jalan yang paling utama, maka diidentifikasi kemunculannya pada setiap kerusakan yang terjadi di beberapa daerah sesuai hasil penelitian terdahulu seperti terlihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa faktor penyebab yang selalu muncul pada setiap kerusakan jalan di beberapa daerah di Indonesia yaitu pemeliharaan drainase yang kurang baik. Hal ini di dukung pula oleh persepsi para pakar yang menyatakan hal yang sama untuk penyebab kerusakan dini perkerasan jalan pada masa pemeliharaan (Mulyono, 2006).
Karena pentingnya fungsi drainase terhadap kinerja perkerasan jalan, maka drainase harus dibangun dengan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang tepat dan pemeliharaan yang baik. Selanjutnya agar drainase dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuannya, maka drainase harus dipelihara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat empat macam pekerjaan pemeliharaan drainase diantaranya: A. Pemeliharaan rutin, merupakan pemeliharaan drainase yang selalu dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu, misalnya mengangkut sampah yang hanyut disaluran dan membuang tumbuh-tumbuhan (gulma), dapat dilakukan setiap hari
Tabel 2. Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya Kerusakan Jalan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 13
Vol. 2 No. 01 April 2017
B. Pemeliharaan berkala, merupakan pemeliharaan yang dilakukan pada waktu tertentu, misalnya mengangkat sedimen yang ada di saluran, dapat dilakukan setiap minggu sekali atau bulan atau tahun C. Pemeliharaan khusus, merupakan pemeliharaan drainase yang dapat dilakukan apabila saluran mengalami kerusakan yang sifatnya mendadak D. Rehabilitasi, dilakukan apabila saluran mengalami kerusakan yang menyebabkan aliran tidak sesuai lagi dengan debit banjir Informasi lebih lengkap mengenai drainase dan pemeliharaannya, dapat dilihat pada Lampiran III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/ PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Selain keempat pekerjaan pemeliharaan tersebut di atas, menurut Sulistiyatno, et al. (2012) perlu dilakukan evaluasi terhadap drainase-drainase yang tidak berfungsi dengan baik untuk mengidentifikasi kemungkinan perlunya perencanaan ulang drainase yang sudah terbangun. Perencanaan ulang drainase permukaan dapat dilakukan jika ruas jalan telah memenuhi faktor-faktor berikut ini: A. Ruas jalan dengan tingkat kerusakan yang tinggi B. Ruas jalan dengan frekuensi terjadinya banjir kategori tinggi (kategori sering dan selalu) C. Ruas jalan dengan luas genagan banjir >10% D. Beban kendaraan tinggi atau rendah. Namun diprioritaskan pada beban kendaraan rendah. Hal ini dikarenakan pada ruas jalan dengan beban kendaraan tinggi, faktor penyebab dominan lebih dikarenakan oleh beban kendaraan, bukan karena pengaruh air Faktor penyebab kerusakan jalan yang berada pada peringkat kedua setelah drainase yang tidak berfungsi dengan baik yaitu komposisi bahan material yang tidak sesuai persyaratan. Komposisi material untuk perkerasan jalan harus diperhitungkan terlebih dahulu untuk mendapatkan perkerasan jalan yang mantap selama umur layanan jalan dimana biasanya dilakukan melalui uji laboratorium. Namun terkadang terdapat kesalahan dalam menentukan komposisi material dalam campuran baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Kesalahan komposisi material yang sering terjadi yaitu kadar aspal yang rendah. Menurut Suroso (2008), bila kadar aspal kurang dari persyaratan kebutuhan pencampuran, maka aspal yang melapisi agregat menjadi tipis sehingga pengerasan aspal menjadi lebih cepat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya retak, pengelupasan, pelepasan butiran maupun lubang sebagai akibat dari proses oksidasi pada aspal. Oksidasi terjadi pada lapisan lima 1 - 14
JURNAL INFRASTRUKTUR
micron, maka sebaiknya aspal yang digunakan pada perkerasan memiliki tebal lebih besar dari lima micron. Namun, perlu diingat pula bahwa kadar aspal juga tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menyebabkan permukaan jalan menjadi licin sehingga terjadi kerusakan berupa keriting (corrugation), kegemukan (bleeding), gelombang dan lubang. Oleh karena itu, komposisi aspal harus dihitung secara benar dan diimplementasikan dengan baik. Selain kurangnya kadar aspal dalam campuran, sering pula terjadi terlalu banyaknya butiran halus yang digunakan dalam campuran. Menurut Sumiati et al. (2013) butiran halus yang digunakan dalam campuran aspal sebaiknnya ≤ 15%. Jika butiran yang digunakan melebihi persyaratan, maka dapat mengakibatkan butiran dan aspal tidak saling mengikat dengan baik karena butiran pasir mempunyai permukaan licin sehingga dapat menimbulkan terlepasnya ikatan antar agregat dan terjadinya gelombang. 4.3. Hubungan Kerusakan Perkerasan Jalan dengan Biaya Penanganan Jalan Dalam rangka mengembalikan permukaan perkerasan jalan yang telah mengalami kerusakan menjadi seperti semula, maka dapat dilakukan berbagai macam tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan terhadap kerusakan perkerasan jalan dapat dilakukan dengan tindakan perbaikan per segmen dan tindakan perbaikan keseluruhan. Tindakan perbaikan per segmen dapat dilakukan sesuai dengan acuan metode perbaikan standar seperti yang diuraikan pada Manual Pemeliharaan Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Provinsi, Departemen Pekerjaan Umum No. 002/T/Bt/1995. Sedangkan perbaikan secara keseluruhan dapat dilakukan dengan pemberian lapis tambah (overlay) maupun rekonstruksi perkerasan. Namun, jika perbaikan telah dilakukan secara berkelanjutan tetapi dalam waktu yang tidak lama jalan tersebut mengalami kerusakan kembali, maka direkomendasikan untuk menggunakan perkerasan kaku. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/PRT/M/2011 tentang tata cara pemeliharaan dan penilikan jalan, terdapat ketentuan penanganan pemeliharaan jalan seperti ditampilkan dalam Tabel 3. Sementara menurut Elka, et al. (2012), waktu yang tepat untuk memprediksi pemeliharaan rutin jalan adalah ketika nilai SDI < 50 dan nilai IRI antara 4-8 m/Km di mana IRI (International Roughness Index) merupakan parameter kekasaran yang dihitung dari jumlah kumulatif naik turunnya permukaan arah profil memanjang pada jarak permukaan yang diukur. Nilai IRI dinyatakan dalam satuan meter
Vol. 2 No. 01 April 2017
per kilometer (m/Km). Selanjutnya SDI (Survey Distress Index) diartikan sebagai indeks kondisi jalan yaitu skala dari tingkat kenyamanan atau
merupakan fungsi utama dalam penyelesaian pekerjaan, sehingga tidak perlu dilakukan analisis yang mendalam.
Tabel 3. Penentuan Penanganan Pemeliharaan Jalan Berpenutup Aspal/Beton Semen
kinerja dari jalan yang biasanya diperoleh dari hasil pengukuran melalui pengamatan secara visual. Penilaian SDI menurut Elka ditampilkan pada Tabel 4 dan peringkat kerusakan jalan berdasarkan nilai IRI dan nilai SDI ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan pemaparan diatas terdapat batasbatas tertentu dimana perkerasan jalan harus mulai mendapatkan penanganan. Setiap kerusakan yang terjadi menentukan penanganan yang harus dilakukan. Lebih lanjut setiap penanganan yang dilakukan akan menimbulkan biaya yang harus dikeluarkan. Andriyanto (2010) menguraikan analisis biaya pemeliharaan sebagai berikut: A. Analisis Peralatan Biaya untuk peralatan terdiri dari dua komponen Tabel 4. Nilai Survey Distressed Index
Harga satuan tenaga = Jumlah Upah Tenaga / Produksi Pekerjaan………………..(2) C. Analisis Bahan Analisis kebutuhan bahan sangat diperlukan, karena keterlambatan pekerjaan biasanya disebabkan keterlambatan dalam penyediaan bahan yang digunakan. Analisis juga diperlukan, karena pada perhitungan volume pekerjaan kondisinya adalah padat, sedangkan bahan dipasaran ditawarkan dalam kondisi tidak padat. Harga satuan tenaga = Jumlah harga satuan bahan penyusun x Kuantitas….(3) D. Biaya-Biaya Lain Biaya-biaya lain yang harus diperhitungkan adalah biaya-biaya tidak langsung , misalnya administrasi kantor, alat-alat komunikasi, kendaraan kantor, pajak, asuransi, serta biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan, walaupun biaya tersebut tidak secara langsung terlibat dalam proses pelaksaanaan pekerjaan. Biaya penanganan kerusakan jalan akan optimal
Tabel 5. Peringkat Kerusakan Jalan
utama yaitu pemilikan dan biaya pengoperasian. Harga satuan alat = Jumlah biaya alat / Produksi Pekerjaan……………………………(1) B. Analisa Tenaga Kerja Tenaga kerja pada pekerjaan jalan pada umumnya hanyalah sebagai pembantu pekerjaan alat yang
apabila penanganan kerusakan jalan dilaksanakan pada saat kerusakan jalan masih memiliki tingkat keparahan rendah (nilai kondisi excellent dan very good) (Arizona dan Mulyono, 2015). Gambar 3 memperlihatkan sebuah contoh perbandingan biaya yang harus dikeluarkan berdasarkan tingkat kerusakan pada ruas jalan nasional di Demak.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 15
Vol. 2 No. 01 April 2017
Berdasarkan gambar, dapat diketahui bahwa semakin parah kerusakan pada perkerasan jalan, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan tindakan perbaikan untuk setiap 100 meter. Oleh karena itu, hubungan antara kerusakan dan biaya ditunjukkan pada Gambar 4. Terdapat dua langkah yang dapat dilakukan dalam
Gambar 3. Perkiraan Kebutuhan Biaya (Rp/100 m2) Berdasarkan Penilaian Kondisi Ruas Jalan Bypass Demak (Arizona dan Mulyono, 2015) mengatasi kemungkinan terjadinya kerusakan perkerasan jalan berdasarkan Gambar 4, yaitu: A. Melakukan pencegahan terjadinya kerusakan jalan Langkah ini merupakan langkah preventif dimana
kemungkinan dapat dicontoh dan dilakukan di negara Indonesia. Cara yang mereka lakukan yaitu setiap hari mereka naik sepeda disepanjang ruas jalan tersebut untuk memeriksa kondisi jalan dan menjaga drainase agar tetap berfungsi dengan baik kemudian setiap sore memberikan data kerusakan kepada penanggung jawab untuk segera mendapat penanganan. Dengan cara ini, maka setiap kerusakan kecil akan segera terdeteksi dan genangan air yang merupakan faktor penyebab utama terjadinya kerusakan akibat tersumbatnya drainase dapat teratasi. B. Membiarkan terjadi kerusakan lalu kemudian dilakukan perbaikan Langkah ini biasanya dilakukan ketika jalan yang telah dibangun dibiarkan begitu saja karena dianggap masih dalam kondisi baik dan nyaman. Setelah muncul kerusakan-kerusakan baik kecil maupun besar, baru mulai diperbaiki. Biaya perbaikan yang harus dikeluarkan bergantung pada jenis pemeliharaan yang akan dilakukan, dan jenis pemeliharaan bergantung pada tipe kerusakan, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa dana yang telah dikeluarkan untuk membangun perkerasan jalan sebagai sarana transportasi bagi penggunanya tidak sedikit dan sumber pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah sangatlah terbatas sehingga prasarana jalan yang telah dibangun dengan segala
Gambar 4. Hubungan Kerusakan Jalan Dengan Biaya Penanganan Perkerasan Jalan (Rp/100 m2) pemeliharaan dimulai dari awal pembangunan sehingga adanya kerusakan kecil dapat langsung ditanggulangi. Langkah ini bukan berarti tidak mengeluarkan biaya, namun biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perbaikan setelah terjadi kerusakan jalan. Seperti cerita didalam laporan akhir Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara tahun 2010 mengenai cara penilik jalan di Cina mengawasi ruas jalan yang menjadi tanggung jawabnya yang
1 - 16
JURNAL INFRASTRUKTUR
keterbatasannya perlu dipelihara dengan baik agar tidak menimbulkan biaya pemeliharaan yang tinggi pula.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
analisis
data
dari
berbagai
Vol. 2 No. 01 April 2017
sumber yang telah dihimpun dalam tulisan ini, maka diperoleh beberapa kesimpulan terkait kerusakan perkerasan jalan dan biaya perbaikannya, sebagai berikut: A. Kerusakan perkerasan jalan yang dominan adalah kerusakan cacat permukaan dan retak. B. Faktor penyebab terjadinya kerusakan jalan yang paling utama yaitu pemeliharaan drainase yang tidak dilakukan dengan baik dimana biasanya terjadi penyumbatan sampah maupun tanaman yang tumbuh pada drainase. C.
Kerusakan perkerasan jalan dengan biaya penanganan jalan yang harus dikeluarkan memiliki hubungan yang sangat erat dimana setiap kerusakan yang terjadi dilihat dari jenis, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan jalan menentukan biaya yang harus dikeluarkan.
5.2. Saran Perlu dilakukan pemeliharaan tidak hanya difokuskan pada pemeliharaan fisik perkerasan jalan saja, namun pemeliharaan terhadap faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan, dalam hal ini pemeliharaan drainase. DAFTAR PUSTAKA Andriyanto, Carto. (2010). Pemilihan Teknik Perbaikan Perkerasan Jalan Dan Biaya Penanganannya (Studi Kasus Pada Ruas Jalan Nguter – Wonogiri). Skripsi Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta. Arizona; F., dan Mulyono A.T. (2015). Biaya Penanganan Jalan Nasional Berdasarkan Kondisi Kerusakan Jalan Dan Modulus Efektif Perkerasan Pada Ruas Jalan Nasional Di Demak. Jurnal Transportasi Volume 15 No. 2. 79-88. Asriadi. (2011). Evaluasi Kegiatan Pemeliharaan Jalan Ditinjau Dari Jenis Perkerasan Dan Pola Penanganan Di Kabupaten Selayar. Magister Teknik Sipil Konsentrasi Teknik Rehabilitasi Dan Pemeliharaan Bangunan Sipil Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Rutin untuk Jalan Nasional dan Jalan Propinsi Nomor 002/T/Bt/1995. Departemen Pekerjaan Umum Direktur Jenderal Bina Marga. (2012). Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 22.2/KPTS/Db/2012. Direktur Jenderal Bina Marga. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Djalante, S. (2011). Evaluasi Kondisi dan Kerusakan Perkerasan Lentur di Beberapa Ruas Jalan Kota Kendari. Jurnal Mekanika Teknik Tahun XIII Volume 13 Nomor 1. Elka, V. A., Lulie, Y. (2012). Model Biaya Pemeliharaan Rutin Terhadap Kerusakan Jalan pada Jalan Arteri Utara Barat Yogyakarta. Universitas Trisakti, Jakarta. Geleteng, A. K. (2012). Analisis Kelebihan Muatan Pada Kendaraan Angkutan Barang Di UPPKB Kalitirto. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Kementerian Pekerjaan Umum. (2011). Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13/ PRT/M/2011. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum. (2014). Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014. Jakarta. Mbolian, Y., Jinca, Y., Kasnawi, T. (2012). Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Kebijakan Penanganan Pemeliharaan Prasarana Jalan Kabupaten Banggai Kepulauan. Teknik Perencanaan Prasarana Universitas Hasanudin, Makassar. Manurung, M.A. (2011). Evaluasi Tingkat Kerusakan Jalan Sebagai Dasar Penentuan Perbaikan Jalan. Tugas Akhir Departemen Teknik Sipil. Universitas Sumatera Utara, Medan. Mardianus. (2013). Studi Penanganan Jalan Berdasarkan Tingkat Kerusakan Perkerasan Jalan (Studi Kasus: Jalan Kuala Dua Kabupaten Kubu Raya). Jurnal Teknik Sipil Volume 13 Nomor 1, 149-160.
Penelitian dan Pengembangan Propinsi Sumatera Utara. (2010). Laporan Akhir Kajian Sistem Pendanaan Pemeliharaan Jalan di Sumatera Utara. Badan Penelitian
Mukti, E.T (2009). Tinjauan Kerusakan Jalan Provinsi pada Ruas Nanga Pinoh - Sokan Kabupaten Melawi. Jurnal Teknik Sipil Volume 9 Nomor 1, 125-138.
Departemen Pekerjaan Umum. (2002). Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Nomor Pt T-01-2002-B. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Mulyono, A.T. (2006). Kinerja Pemberlakuan Standar Mutu Perkerasan Pada Peningkatan dan Pemeliharaan Jalan Nasional – Propinsi. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil Volume 14 Nomor 3 Edisi XXXVI, 309-328.
Badan
Direktorat Bina Teknik. (1995). Manual Pemeliharan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 17
Vol. 2 No. 01 April 2017
Sulistiyatno, A., Fajri, M. D. S. R., Mochtar, I. B., Kartika, A. A. G., Maulana, M. A. (2012). Studi Pengaruh Genangan Air Terhadap Kerusakan Jalan Aspal Dan Perencanaan Subdrain Untuk Ruas Jl. Rungkut Industri Raya, Jl. Rungkut Kidul Raya, Jl. Jemur Sari, Jl. Nginden Raya, Jl. Manyar dan Jl. Mulyosari Raya. Jurnal Teknik Pomits Volume 1 Nomor 1, 1-6. Sumiati., Hasan, A. (2013). Kerusakan Dini Lapisan Perkerasan Aspal Beton AC-BC. Jurnal Teknik Sipil Volume 9 Nomor 2, 111-117. Suroso, T. W. (2008). Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Dini pada Perkerasan Jalan. Puslitbang Jalan dan Jembatan, Bandung.
1 - 18
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
KAJIAN RISIKO TAHAP PELAKSANAAN KONSTRUKSI PROYEK PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI BENDUNG LEUWIGOONG Tatan Rustandi Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Katolik Parahyangan Email:
[email protected] Abstrack Activities to increase irrigation network project on construction of weirs, also poses risks both from the pre-construction, construction and post-construction. Risks that occur in the project faced by the parties involved in the implementation of the project which the project owners, contractors, consultants and people who feel the disorder as a result of project implementation. Improved irrigation dam jarigan is intended to meet the needs of well water for irrigation water and agricultural potential that can be developed and managed properly. This study aims to gain risk factors, the most dominant influence on irrigation dam project development area. And how much impact during construction implemented. The method is performed through a survey to know the different possibilities of construction risk and how much risk the consequences or impacts during the construction. Data were analyzed using descriptive method with the following stages: risk identification, risk assessment and risk handling. The results showed that the risk of the most have the greatest probability and impact of risk factors uncertainty field conditions with the value of the risk factor of 0.83. Keywords: risk management, irrigation, identification, assessment, treatment Abstrak Kegiatan peningkatan proyek jaringan irigasi pada konstruksi bendung, juga menimbulkan berbagai risiko baik sejak pra konstruksi, pelaksanaan konstruksi maupun pasca konstruksi. Risiko-risiko yang terjadi pada proyek ini dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanan proyek ini yaitu pemilik proyek, kontraktor, konsultan dan masyarakat yang merasakan ganguan akibat pelaksanaan proyek. Peningkatan jarigan irigasi pada bendungan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air baik untuk air bersih maupun irigasi agar potensi pertanian dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor risiko, yang paling dominan mempengaruhi pembangunan proyek daerah irigasi bendung. Serta berapa besar dampak yang ditimbulkan saat konstruksi dilaksanakan. Metode yang dilakukan melalui survai untuk mengetahui berbagai kemungkinan risiko konstruksi serta berapa besar konsekuensi atau dampak risiko pada saat konstruksi tersebut. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskritif dengan tahapan sebagai berikut : Indentifikasi risiko, Penilaian risiko dan Penanganan risiko. Hasil penelitian menunjukan bahwa risiko yang paling memiliki probabilitas dan dampak terbesar adalah faktor risiko ketidakpastian kondisi lapangan dengan nilai faktor risiko 0,83. Kata Kunci: manajemen risiko, jaringan irigasi, identifikasi, penilaian, penanganan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 19
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Proyek konstruksi merupakan suatu bidang yang dinamis dan mengandung risiko. risiko dapat memberikan pengaruh terhadap produktivitas, kinerja, kualitas dan batasan biaya dari proyek. (labombang, Mastura. 2011). Risiko dapat dikatakan merupakan akibat yang mungkin terjadi secara tak terduga. Walaupun suatu kegiatan telah direncanakan sebaik mungkin, namun tetap mengandung ketidakpastian bahwa nanti akan berjalan sepenuhnya sesuai rencana. (Labombang, Mastura. 2011). Risiko pada proyek konstruksi bagaimanapun tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikurangi atau ditransfer dari satu pihak kepihak lainnya (Kangari, 1995). Karena sifat risiko yang inharent atau bawaan yang tidak dapat dihindarkan dan bila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai kerugian terutama pada biaya, mutu, dan waktu, maka tujuan penelitian ini merasa penting untuk meneliti risiko apa saja yang potensial terjadi pada proyek peningkatan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong Kabupaten Garut, sehingga dapat disiapkan penanganan atau mitigasinya jika risiko tersebut terjadi. Berdasarkan latar belakang dan melihat kondisi di lapangan secara langsung proyek pembangunan Jaringan Irigasi Bendung Leuwigoong, sehingga rumusan permasalahan yang teridentifikasi adalah sebagai berikut: A. Risiko apa saja yang mungkin terjadi atau potensial terjadi dalam pelaksanaan proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong. B. Seberapa besar pengaruh dari dampak terjadinya suatu risiko proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong C. Strategi apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi jika risiko tersebut terjadi. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: A. Mengkaji dan menilai risiko-risiko yang mungkin atau potensial terjadi dalam pelaksanaan proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong. B. Mengetahui sedini mungkin dampak dari suatu risiko yang biasa terjadi pada proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung leuwigoong. C. Menentukan tindakan yang harus diambil guna mencegah dan menangani risiko yang terjadi pada pelaksanaan proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung leuwigoong. 2. TINJAUAN PUSTAKA Proyek konstruksi merupakan suatu hal yang unik, spesifik dan dinamik, maka setiap proyek memiliki 1 - 20
JURNAL INFRASTRUKTUR
identifikasi risikonya masing-masing, dan respon risiko yang berbeda-beda untuk meminimalisasi dampak risikonya. Secara umum jenis proyek konstruksi terdiri atas tiga jenis proyek, yaitu proyek gedung, proyek sipil dan proyek industri. Proyek jaringan irigasi merupakan salah satu bagian dari jenis proyek sipil. Sesuai dengan karakteristrik sebuah proyek, proyek jaringan irigasi ini juga bersifat sementara yang berarti awal dan akhirnya kegiatan adalah pasti. Jika tujuan dari proyek telah dicapai maka kegiatan proyek akan berakhir. Demikian juga produk yang dihasilkan maupun unsur-unsur didalam kegiatannya adalah unik atau berbeda satu dengan yang lainya walupun proyek yang dikerjakan adalah sama yaitu proyek irigasi. 2.1. Pengertian Risiko Risiko adalah suatu variasi dari hasil-hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu pada kondisi tertentu (Halpin, D. W and Woodhead, R.W., 1998). Analisis risiko adalah metode untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko, pengembangan, seleksi dan program manajemen untuk menghadapi risiko tersebut dalam sebuah cara yang terorganisir. Hal ini meliputi tiga aspek yaitu: identifikasi risiko, penilaian risiko dan pengelolaan risiko (Smith, 1995, dan Sandhyavitri, 2002). 2.2. Identifikasi dan Klasifikasi Risiko pelaksanaan Konstruksi Menurut Flanagan dan Norman (1993) untuk dapat mengenali risiko secara komprehensif dapat dilakukan dengan mengenali dari sumbernya (source), kejadiannya (event), dan akibatnya (effect). Sumber risiko adalah kondisi-kondisi yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya risiko. Event adalah peristiwa yang menimbulkan pengaruh (effect) yang sifatnya dapat merugikan dan menguntungkan. Lebih lanjut Godfrey (1996) berpandangan bahwa dalam melakukan indentifikasi risiko terlebih dahulu diupayakan untuk menentukan sumber risiko itu sendiri secara komprehensif. Risiko dapat bersumber dari politis (political), lingkungan (environmental), perencanaan (planning), pemasaran (market), ekonomi (economic), keuangan (financial), proyek (project), teknik (tecnical), manusia (human), kriminal (criminal), dan keselamatan (safety). 2.3. Manajemen Risiko Secara sederhana pengertian manajemen risiko adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi /perusahaan, keluarga dan masyarakat Jadi mencangkup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin atau mengkoordinir dan mengawasi (termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko. (Djojosoedarso, 1999). Manajemen risiko bertujuan untuk mengidentifi-
Vol. 2 No. 01 April 2017
kasi sumber risiko dan ketidakpastian, menentukan pengaruhnya dan menentukan responnya dengan tepat. Tujuan dari manajemen risiko tidak hanya untuk mengurangi risiko, tetapi manajemen risiko dapat digunakan oleh seorang pengambil keputusan dalam memperkirakan risiko dan keuntungan yang dapat mengubah risiko menjadi pendapatan yang besar. 2.4. Risiko-risiko Umum Tahap Pelaksanaan Konstruksi Menurut Dwi Sri Wiyanti, 2009, Perlu dipahami bahwa selama tahap pelaksanaan konstruksi risiko terhadap kecelakaan, kematian dan kerugian atau kehilangan harta benda (termasuk, tanpa pembatasan, pekerjaan, peralatan instalasi, bahan dan peralatan)
faatkan jasa asuransi konstruksi, dalam beberapa kontrak konstruksi memasukan asuransi yang diwajibkan kepada kontraktor. Oleh karena itu kontraktor harus menyediakan, atas nama kontraktor dan pemilik, asuransi selama masa pelaksanaan konstruksi yaitu sejak Tanggal Mulai Kerja sampai Berita Acara Penyelesaian Akhir diterbitkan. 3. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan pada proses konstruksi jaringan irigasi DI Leuwigoong ini menggunakan metode wawancara dan survey yang bertujuan untuk mendapatkan opini dari responden mengenai risiko-risiko yang mungkin terjadi pada konstruksi sebuah jaringan irigasi. proses penelitian ini dapat dilihat pada diagram penelitian pada gambar 1.
Gambar 1. Alur Pikir Penilitian selama pelaksanaan konstruksi yang sepenuhnya merupakan merupakan risiko kontraktor. Untuk menjamin dapat dicapainya tujuan proyek, terhindar dari risiko - risiko yang mungkin terjadi sehingga proyek dapat mengalami kegagalan dapat meman-
3.1. Identifikasi dan Klasifikasi Faktor Risiko Pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang faktor risiko apa saja yang relevan dan mungkin terjadi pada proyek konstruksi di bidang sumber daya air, berdasarkan dari beberapa sumber diantaranya JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 21
Vol. 2 No. 01 April 2017
data skunder didapatkan dari literatur penelitian terdahulu, dan data primer dilakukan survai atau kuesioner kepada stakeholders dilapangan. 3.2. Pengumpulan dan Analisis Data Pada tahap pengumpulan data melalui kuesioner atau survai dilakukan 2 tahap, tahap pertama dilakukan untuk mengetahui faktor risiko apa saja yang relevan atau potensial terjadi di lapangan berdasarkan presepsi stakeholders, setelah itu data diolah dan dilakukan survai atau kuesioner tahap 2 untuk menilai setiap faktor risiko dan dampaknya terhadap kinerja proyek di jaringan irigasi Leuwigoong. Setelah itu data dianalisis menggunakan metode (severity) index untuk pemeringkatan faktor risiko, dan dibuat peta dalam matriks.
bila variabel risiko itu terjadi terhadap dampak biaya dan waktu. Dalam perhitungan Severity adalah sebagai berikut:
Index,
rumusnya
Dimana : ai = Konstanta penilai xi = Frekuensi responden
3.3. Pengumpulan dan Analisis Data
I = 0,1,2,3,4,……..n
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengunakan kuesioner mengenai penilaian risiko (risk assessment) tentang opini responden baik mengenai kemungkinan kejadian (likelihood to accurrence) maupun pengaruh (potensial consequences) risiko.
x0, x1, x2, x3, x4, = respon frekuensi responden
3.4. Teknis Analisis Data
x1 = frekuensi responden “sangat rendah/kecil” dari survey, maka a1=1
A. Analisis data hasil kuesioner 1 berdasarkan survai lapangan 1 Pada analisis ini digunakan skala guttman, yaitu skala yang digunakan untuk jawaban yang bersifat jelas (tegas) dan konsisten. (Ridwan, 2010:89). Dimana dalam skala guttman ini untuk menentukan relevan atau tidak relevannya variabel risiko dengan mengunakan penilaian Iya/Tidak yaitu jika jawaban Iya = Skor 1, dan jika jawaban Tidak = Skor 0, dan untuk kumulatif perhitungan data hasil kuesioner menggunakan rumus: P x 100% dimana: P = presentase F = frekuensi jawaban N = jumlah responden Setelah data dianalisis dan diketahui mana saja faktor risiko yang relevan, selanjutnya dilakukan survai ke 2 untuk mengetahui tingkat probabilitas dan dampaknya risiko tersebut terhadap biaya dan waktu (penilaian risiko). B. Analisis data hasil kuesioner 2 berdasarkan survai lapangan 2: Setelah data dari kuesioner ke 2 dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan severity index (SI), FI menunjukkan indeks frekuensi dari kemunculan faktor-faktor risiko yang potensial terjadi pada pelaksanaan peningkatan jaringan irigasi, dan SI menunjukkan indeks dampak setiap faktor-faktor risiko
1 - 22
JURNAL INFRASTRUKTUR
a0 =0, a1=1, a2=2, a3=3, a4=4 x0 = frekuensi responden “sangat rendah/kecil” dari survey, maka a0=0
x2 = frekuensi responden “rendah/kecil” dari survey, maka a2=2 x3 = frekuensi responden “tinggi/besar” dari survey, maka a3=3 x4 = frekuensi responden “sangat tinggi/besar” dari survey, maka a4=4 3.5. Analisis dan Hasil Faktor Risiko Data hasil survai kedua dilakukan analisis secara menyeluruh menggunakan skala penilaian dan dampak (Tabel 1) dan diperoleh faktor risiko yang relevan beserta probabilitas dan dampaknya, disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6. Tabel 1. Klasifikasi Skala Penilaian dan Dampak No 1 2 3 4 5
Kriteria Kuantitatif
Kriteria Kualitatif
Cenderung tidak mungkin Kemungkinan Terjadi ≤ 20% terjadi 20% < Kemungkinan terjadi Kemungkinan kecil terjadi <40% 40% < Kemungkinan terjadi Sama kemungkinannya terjadi <60% & tidak terjadi 60% < Kemungkinan terjadi Kemungkinan besar terjadi <80% 80% < Kemungkinan terjadi Sangat mungkin pasti <100% terjadi/sering
Rating Sebutan Kode Sangat SK Kecil
Nilai 1
Kecil
K
2
Sedang/ Cukup
C
3
Besar
B
4
Sangat Besar
SB
5
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 2. Faktor Risiko Yang Relevan Beserta Probabilitas dan Kategori Berdasarkan Skala Penilaian KLASIFIKASI RISIKO
FAKTOR RISIKO 1
A
B
Risiko Fisik
Risiko Tenaga Kerja dan Tenaga ahli
C
Risiko Kontraktor
D
Risiko Konsultan
E
F
Risiko Owner
Risiko Material
2
Risiko Peralatan
5 3
Produktivitas
4 1 2 4 5 6 7 1 2 1 2 3 1 2 1 2 3 4 1
H
Risiko Lokasi Proyek
J
Risiko K3
Risiko Politik
4 5
1 2 3 4 5 1 2 3 2 3 1
Risiko Ekonomi
Pertengkaran pekerja
Kurangnya jumlah pekerja Pemogokan tenaga kerja
Kemampuan Kontraktor Terhambatnya keuangan pihak kontraktor Kesalahan desain dari
Change order
Keterlambatan pengiriman
Kerusakan pada saat pengiriman saat Kerusakan pada penyimpanan Rendahnya kualitas material Produktivitas dan effisiensi
Masalah Koordinasi
Jumlah nyata pekerja
memecahkan Keterlambatan masalah dalam kontraktor Akses ke lokasi proyek Kemacetan lalu lintas Gangguan keamanan
Kurangnya alat dan material Ditutupnya Lokasi Material Oleh Pemda Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Peraturan safety yang dilanggar
Perubahan peraturan pemerintah
Kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan terhentinya proyek Rumitnya masalah perijinan Ketidakstabilan moneter
Penambahan biaya sewa alat
7 8
Fluktuasi
Harga material lebih mahal Upah pekerja lebih mahal
5
SR
R
C
T
ST
7
2
7
Biaya pemeliharaan alat tinggi
0
0.32 0.50
C
3
0
1
1
5
0
0.64
B
4
3
0
0
3
0.54
1 1 1
1 1 1 4
3
7
2
0
7
1
7
5
7 7
2
3
5 2
0
1
0
0
4
1
1
0
0.32
K
2
2 3
1
3
2 1
1
1
2 2
1
7 7 7 7
1
3
3
2
0
0.43
1
1
3
1
0
0
2
7
4
7
2
7
4
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
4 4
3
4
3
4
4 5 4
5
2 2
0 2 1
0
0 0
0 0
0.29 0.21
0
0.36
0
0.29
4
2
1
4
1
3
2
2
0
2 2 2 2
2
0
3
3 4
4 4 2
Sumber: Hasil data olahan
2
K
2
K
2
SK
1
0.46
K C
0
0.32
K
1
0
1 1 2
2 1
0 0 0
SK
0
0.14
SK
1
0.25
K
1
0
2
1 0
0 1
2 2 2
0.18
K
0.18
0
1
0.25
0
0
0 0
0 0 0 0 0
0 0 0
2
K
1
0
1
2 2
2
1
1
K
SK
0
2
1
2
0.25
0
2
K
0.21
0
1
1
SK
0
0
3
0.14
0.32
1
3
C
0
0
K
3
0.43
1
2
K
0.18
1
0
0
SK
0
1
0
0
K
1
1
1
0
0
0
K
0
2 1
0
1
3
SK
2
0
1
1
0.14
0.11
0
4
2
1
1
0
0
4
2
4 1
SK
0.29
2
2
0.11
0.29
0
2
2
0
0
0.39
1
2
C
SK
1
0
5
0.43
C
0.11
0
2
2
1
0.14
0
K
2
SK
0
2
K
3
3
1
0
K
4
C
0.46
0
C
C
0
2
B
0.57
2
3 4
0
3
3
7 7
3
0
1
7
4
4
7 7
1
1 2
0.21
0
2
0
1
0.39
0.21
0
7
0
0.43
0
4
2
0
0.61
1
0
2
0
0
0
7
2
3
3
7
3
4
0
4 1
3
3
7 7
K
C
2
3
C
2
0.54
7
4
0.50
K
3
0
7
0
0.25
0
1
7
0
0
1
1
0
3
5
7
2
2
7 7
K
4
1
7
NILAI
1
7
7
KATEGORI /KLASIFIK ASI
0
1
7
SI (%)
2
7
7
6
5
4
7
3 4
3
7
Kurang kompaknya tim kerja
Ketersediaan Dana Keterlambatan pembayaran oleh pemilik Inflasi
2
2
7
Metode pelaksanaan yang salah
2
4
L
Kedisiplinan
Data desain tidak lengkap Terlambatnya informasi perencana Kegagalan keuangan owner
1
7
6
3
1 K
Keterampilan dan Keahlian
3
2
7 I
di
Kurangnya jumlah peralatan Kondisi peralatan yang tidak layak pakai Kerusakan alat pada pekerjaan Perubahan sulit kontruksi akibat dilaksanakan Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik Masalah Komunikasi
1 Risiko Proses Kontruksi
Kondisi Muka Tanah
Kondisi muka air tanah Ketidakpastian kondisi lapangan Cuaca
3
5 G
Bencana Alam
Probabilitas
Responden U/probabil itas
0.14
0.21
0.36 0.29
SK
0.36 0.29
1 2 2
1 1 1
2
K
K
0.36
3
K
0.25 0.32
2
2
SK
0.25
1
K
0.18 0.21
3
2 2
1
K
2
K
2
K K K K
JURNAL INFRASTRUKTUR
2
2
2 2 2
1 - 23
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 3. Faktor Risiko Dengan Penilaian Dampak Terhadap Waktu KLASIFIKASI RISIKO 1 A
Risiko Fisik
2 3 4 5 1
B
Risiko Tenaga Kerja dan Tenaga ahli
C
Risiko Kontraktor
D
Risiko Konsultan
E
Risiko Owner
F
Risiko Material
2 3
Risiko Peralatan
Risiko Proses Kontruksi
Pemogokan tenaga kerja
1 2 1 2 3 1 2 1 2 3 4 1 2 3
2 3 4 5 6
1
J
Risiko Lokasi Proyek
Risiko K3
2 3 4 5 1 2 3 1
K
Risiko Politik
2 3 4 1 2
L
Risiko Ekonomi
3 4 5 6 7 8
1 - 24
Kondisi muka air tanah Ketidakpastian kondisi di lapangan Cuaca Keterampilan dan Keahlian Kedisiplinan
7
6
7
I
Kondisi Muka Tanah
5
4
1
H
Bencana Alam
Produktivitas Kurang kompaknya kerja Pertengkaran pekerja
5 G
Responden U/Waktu
FAKTOR RISIKO
tim
Kurangnya jumlah pekerja Kemampuan Kontraktor Terhambatnya keuangan pihak kontraktor Kesalahan desain Data desain tidak lengkap Terlambatnya informasi dari perencana Kegagalan keuangan owner Change order Keterlambatan pengiriman
Kerusakan pada saat pengiriman Kerusakan pada saat penyimpanan Rendahnya kualitas material Produktivitas dan effisiensi Kurangnya jumlah peralatan Kondisi peralatan yang tidak layak pakai Kerusakan alat Perubahan pada pekerjaan kontruksi akibat sulit dilaksanakan Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik Masalah Komunikasi Masalah Koordinasi
Jumlah nyata pekerja Metode pelaksanaan yang salah Keterlambatan memecahkan masalah dalam kontraktor Akses ke lokasi proyek Kemacetan lalu lintas
Gangguan keamanan Kurangnya alat dan material Ditutupnya Lokasi Material Oleh Pemda Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Peraturan safety yang dilanggar peraturan Perubahan pemerintah Kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan terhentinya proyek Rumitnya masalah perijinan Ketidakstabilan moneter Ketersediaan Dana
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik Inflasi
Fluktuasi Harga material lebih mahal Penambahan biaya sewa alat Upah pekerja lebih mahal Biaya pemeliharaan alat tinggi
JURNAL INFRASTRUKTUR
7 7
Waktu 1
2
3
4
5
SR
R
C
T
ST
3
1
0
3
0
3
0
3
1
0
SI (%)
KATEGORI /KLASIFIK ASI
NILAI
0.36
K
2
0.32
K
7
3
3
1
0
0
0.18
SK
7
1
1
4
1
0
0.43
C
7 7 7 7
0
3 3 2
1
3 2 1
4
0.18
K
2
2
0
0.39
C
2 2
7
0
5
1
7 7 7
3 1 0
3 2 2
0
1
2 3
1
2
7
2
1
2
7 7 7
6 5 3
1 1 2 2
1
1
2 2
0
1
7 7
3 0
1
2
0
1
1
1
K
0.36 0.39 0.04
0.18
0
4
0.39
0.50
0
0
0 0
0
0.21
C
2
SK
1
0.21
K
0.21
K
0
0
0.21
K
K
2
7
0
5
0
2
0
0.39
1
0
0
0
0.04
SK
0
0
0.25
7 7
4 6
0
2
3
0
7
2
5
0
7
2
3
2
7 7 7 7
4 0
1 4
3 5
5 2
7
4
3
7
3
2
7 7 7
4 4
5
2
0
1
0 0
1
0.11
1
0
0.18
0
1
0
0
0
0.18
0.32
0
0
0
0.18
0
2
1
0
0 0 0
0
0
1
0.25 0.11 0.21
0.29
1 1
SK
3 4
2
SK
0.07
0.25
2
K
0
0
3
1
SK
1
1
3
SK
K
0.14
0
2
2
0
1
2
K
7 7
1
0
0
K
C
0
2
K
0.43
0.07
1
7
2
0
5
3
K
0
7
3
0
3
0.36
0 2
7
0
2 2
0.21
0
3
2
K
0
0
K
3
0.32
0.29
0
0
1
0.21
0
2
2
1 2
0
0
4 5
0
2
7 7
C
0
2 3
0.54
0
2 2
0
1
7 7
2
2
1
K
1 2 2
2 2
2
K
2
K
2
K
2
K K
K
SK
SK K
K
1
2 2 2 1 1 2
2
3
0
0
0
0.11
SK
1
1
1
0
0
0.11
SK
1
7
5
1
0
1
0
0.14
SK
1
7
5
0
0
1
1
0.25
K
2
7
7
5
4
1
1
1
1
0
1
0
0
0.11
0.21
7
2
3
2
0
0
0.25
7
5
1
1
0
0
0.11
7 7 7 7 7 7 7
4 4 3 2 3 3 5
2 3 3 5 4 4 2
1 0
0 0
1
0
0
0
0 0 0
Sumber: Hasil data olahan
0
0 0
0 0 0 0 0 0 0
SK
K
2
SK
1
SK
0.11
SK
0.18 0.14 0.14 0.07
2
K
0.14
0.18
1
1 1
SK
2
SK
1
SK SK SK
2 1 1
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 4. Faktor Risiko Dengan Penilaian Dampak Terhadap Biaya Biaya KLASIFIKASI RISIKO 1 A
B
C
Risiko Fisik
Risiko Tenaga Kerja dan Tenaga ahli
Risiko Kontraktor
D
Risiko Konsultan
E
Risiko Owner
F
Risiko Material
2 3
Risiko Peralatan
Risiko Proses Kontruksi
2
Kedisiplinan
1 3 4 5 6 7 1 2 1 2 3 1 2 1
J
Risiko K3
Risiko Politik
Terhambatnya keuangan pihak kontraktor Kesalahan desain
Data desain tidak lengkap Terlambatnya informasi dari perencana Kegagalan keuangan owner Change order
2 3
2 3 4 5
1 2 3 4 5 1 2 3
2 3 1
Produktivitas dan effisiensi
Kondisi peralatan yang tidak layak pakai Kerusakan alat Perubahan pada pekerjaan sulit kontruksi akibat dilaksanakan Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik Masalah Komunikasi Masalah Koordinasi
Jumlah nyata pekerja yang Metode pelaksanaan salah Keterlambatan memecahkan masalah dalam kontraktor Akses ke lokasi proyek Kemacetan lalu lintas Gangguan keamanan
Kurangnya alat dan material Material Ditutupnya Lokasi Oleh Pemda Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Peraturan safety yang dilanggar Perubahan peraturan pemerintah Kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan terhentinya proyek Rumitnya masalah perijinan Ketidakstabilan moneter
3
Ketersediaan Dana Keterlambatan pembayaran oleh pemilik Inflasi
6
Penambahan biaya sewa alat
2 Risiko Ekonomi 4 5 7 8
Fluktuasi
5
SI (%)
KATEGORI /KLASIFIK ASI K
C
T
ST
1
2
1
0
0.29
7
0
5
1
0
1
0.39
7
1
4
0
0
0
0.14
SK
0.32
K
7 7 7 7 7
7 7
7
7
7
7 7 7
3 4 1 1 1 2 2 1 4 2 2 2 2 4 6
1 3 3
2 0
2
1 0 1
0 0 0
0.29
SK
0.36
K
5
0
0
0
0.18
3
1
1
0
0.29
2 2 4
2 2 0
1 1
0.25
1
0
0.32
1
3
1
3
0
2 2
3
0
3
0
0
0.32
0
0
2
0
1
2 2
0
1
0 0 1
0
K
0.11
K
K
K K K
0.18
SK
0
0.36
K
0
0.29
0
0.29
0
0.21
0
0.11
K K K
K
SK
7
4
3
0
0
0
0.11
SK
7
6
1
0
0
0
0.04
SK
7
5
1
0
1
0
0.14
SK
7
7 7 7 7 7 7
5
6
5 4 4 5 3
1
1
1
1
0
0
2
0
0
1
2 3
0 1
0
0
0
0
0.11
0.04
0
1
0.18
0
1
0.21
0
1 0
1
0 0
0.21 0.18
1
0.18
7
4
2
1
0
0
0.14
7
4
1
1
0.25
7
3
3
0
1
0
0
0
0
0
K
SK
K
0
0
K
SK
0
2
SK
0.07
1
5
SK
SK
4
7
SK
0.18
7
0.11
K
SK
SK
7
4
2
1
0
0
0.14
SK
7
5
1
1
0
0
0.11
SK K
7 7 7
1 5 4
5
0
2
4
2
7
5
1
7 7
5 5
1
2
7
1 1
0
0
0.25
0
0
0.07
0
0
1
0.21
1
0
0
0.11
0 0
0
0
1 0
1
0 1
0.21
0.14 0.18
K
SK K
SK SK
SK
7
7
0
0
0
0
0.00
SK
7
4
3
0
0
0
0.11
SK
7 7 7
5 2 4
0 4 2
1 1 0
1 0
1
7
5
1
0
0
7
3
3
1
0
7
Harga material lebih mahal
7
Biaya pemeliharaan alat tinggi
7
Upah pekerja lebih mahal
4
R
7
Kemampuan Kontraktor
3
3
Pemogokan tenaga kerja
Kurangnya jumlah pekerja
2
SR
7
Pertengkaran pekerja
1
7
Kurang kompaknya tim kerja
Kurangnya jumlah peralatan
4
L
Produktivitas
1
1 K
Keterampilan dan Keahlian
4
3
7 Risiko Lokasi Proyek
di
Keterlambatan pengiriman Kerusakan pada saat pengiriman Kerusakan pada saat penyimpanan Rendahnya kualitas material
2
6
I
Kondisi Muka Tanah
5
4
1
H
Bencana Alam
Kondisi muka air tanah Ketidakpastian kondisi lapangan Cuaca
5 G
Responden U/Biaya
FAKTOR RISIKO
7 7
4 2 3 3 5
Sumber: Hasil data olahan
3
4 3 3 1
0
0 0 0 0
0 0
0
K
SK
SK
0
0.18
SK
1
0
1
0.18
0.18
0
1
0.21
SK
1
0
1
0.18
0 0 0
0.11
0.25 0.21 0.21 0.14
SK K K K
SK
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 25
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 5. Ranking FR Terhadap Waktu TOTAL PENILAIAN FAKTOR RISIKO
Waktu
FR DW
Rank
A4
Ketidakpastian kondisi di lapangan
0.64
0.54
0.83
1
C1
Kemampuan Kontraktor
0.21
0.43
0.80
4
C2
A5 B3
D1 D3
Terhambatnya keuangan pihak kontraktor
0.57
Cuaca
0.50
Produktivitas
Kesalahan desain
0.61 0.43
0.43 0.39 0.39
0.80 0.78 0.78
3 5 6
0.39
0.78
8
A2
Kondisi Muka Tanah
0.39 0.50
0.36
0.77
10
0.76
13
D2 B4
Kurangnya jumlah pekerja Data desain tidak lengkap
B5
Kurang kompaknya tim kerja Keterlambatan memecahkan kontraktor Pertengkaran pekerja
H6
Metode pelaksanaan yang salah
H7 I5
G2 I1
Kondisi peralatan yang tidak layak pakai
K4 F1
Keterlambatan pengiriman
B2 B7 F5
G1 G3 I4
K3 A3 B1 F2
H2 H4 I2
L4 L5 F4 J3
L1 L6 L7
H5 I3 J1 J2
K1 L2 L3 E2
F3 L8 E1
H3
dalam
Ditutupnya Lokasi Material Oleh Pemda
Akses ke lokasi proyek Kebijaksanaan pemerintah terhentinya proyek Ketidakstabilan moneter
K2
masalah
yang
menyebabkan
Kedisiplinan
Pemogokan tenaga kerja
Produktivitas dan effisiensi
Kurangnya jumlah peralatan Kerusakan alat
Kurangnya alat dan material
Rumitnya masalah perijinan Kondisi muka air tanah
Keterampilan dan Keahlian
Kerusakan pada saat pengiriman
Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik Masalah Koordinasi
Kemacetan lalu lintas Fluktuasi
Harga material lebih mahal
Rendahnya kualitas material
Peraturan safety yang dilanggar Ketersediaan Dana
Penambahan biaya sewa alat Upah pekerja lebih mahal Jumlah nyata pekerja Gangguan keamanan
Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Perubahan peraturan pemerintah
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik Inflasi
Change order
Kerusakan pada saat penyimpanan Biaya pemeliharaan alat tinggi Kegagalan keuangan owner Masalah Komunikasi
JURNAL INFRASTRUKTUR
0.46 0.43
0.36 0.36 0.32 0.32
0.78
2
0.43
0.32
0.39
0.82
A1 B6
0.43
0.50
Terlambatnya informasi dari perencana Perubahan pada pekerjaan kontruksi akibat sulit dilaksanakan Bencana Alam
H1
1 - 26
P
0.77 0.77 0.76
7 9
11 12
0.46
0.32
0.76
14
0.32
0.29
0.74
16
0.32 0.21 0.32 0.25
0.29 0.25 0.25 0.25
0.74 0.73 0.73 0.73
15 17 18 19
0.25
0.25
0.73
20
0.54
0.21
0.72
22
0.29 0.21 0.39 0.14 0.29 0.29 0.18 0.36 0.25 0.39 0.29 0.36 0.29 0.18 0.25 0.32 0.11 0.14 0.18 0.36 0.36 0.21 0.25 0.18 0.14 0.21 0.21 0.25 0.11 0.11 0.29 0.14 0.14
0.25 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 0.14 0.14 0.14 0.14 0.14 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.07 0.07 0.07 0.04 0.04
Sumber: Hasil data olahan
0.73 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.71 0.69 0.69 0.69 0.69 0.69 0.68 0.68 0.68 0.68 0.68 0.68 0.68 0.67 0.67 0.67 0.66 0.66
21 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 6. Ranking FR Terhadap Biaya TOTAL PENILAIAN FAKTOR RISIKO
P
Biaya
FR DB
A4
Ketidakpastian kondisi di lapangan
0.64
0.39
0.78
A5
Cuaca
0.50
0.36
0.68
B3 C2
A2 B2
D2 B4
D1 D3 B6
Produktivitas
Terhambatnya keuangan pihak kontraktor Kondisi Muka Tanah Kedisiplinan
Kurang kompaknya tim kerja Kesalahan desain
Terlambatnya informasi dari perencana
L7
Upah pekerja lebih mahal
B5 L6
H6 L5
B1
H2 C1 I5
F1
G1 K4 I1
K3
G3
H4 L8
Pertengkaran pekerja
Penambahan biaya sewa alat
Keterampilan dan Keahlian
Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik Kemampuan Kontraktor
Ditutupnya Lokasi Material Oleh Pemda Keterlambatan pengiriman
Kurangnya jumlah peralatan Ketidakstabilan moneter
Rumitnya masalah perijinan
L4
Biaya pemeliharaan alat tinggi Kebijaksanaan pemerintah yang terhentinya proyek Fluktuasi
I4
Kurangnya alat dan material
K2 G2 B7 L2
A3 L3 L1 F2 I3
H5 F5 J1 J3 I2
E1
F4 J2
K1
H3 E2
F3
Kondisi peralatan yang tidak layak pakai Pemogokan tenaga kerja
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik Kondisi muka air tanah Inflasi
Ketersediaan Dana
Kerusakan pada saat pengiriman Gangguan keamanan
Jumlah nyata pekerja
Produktivitas dan effisiensi
Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Peraturan safety yang dilanggar Kemacetan lalu lintas
Kegagalan keuangan owner
Rendahnya kualitas material
Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Perubahan peraturan pemerintah Masalah Komunikasi Change order
Kerusakan pada saat penyimpanan
0.46 0.43 0.32 0.32 0.36 0.32 0.39 0.36 0.21 0.32
0.29 0.29 0.21 0.14 0.18 0.29 0.29 0.21 0.21 0.25 0.25 0.14 0.18 0.32 0.21
0.39
0.11
0.25
0.25
0.29
0.29 menyebabkan
0.18
0.25
0.43
0.36
Kerusakan alat
0.29
0.39
0.43
0.29
Akses ke lokasi proyek
0.36
0.32
0.32
Harga material lebih mahal
0.32
0.43
0.36
Metode pelaksanaan yang salah
Masalah Koordinasi
0.50 0.46
A1
H1
0.57 0.54
Data desain tidak lengkap
Kurangnya jumlah pekerja Keterlambatan memecahkan masalah dalam kontraktor Perubahan pada pekerjaan kontruksi akibat sulit dilaksanakan Bencana Alam
H7
0.61
0.29 0.29 0.25 0.25 0.21 0.21 0.18 0.21 0.25 0.25 0.18
0.21 0.21 0.11 0.18 0.14 0.14 0.18 0.18 0.21 0.18 0.21 0.18 0.11 0.11 0.18
0.29
0.04
0.14
0.18
0.25 0.21 0.18 0.14 0.18 0.14 0.11 0.14 0.21 0.14 0.11 0.11
Sumber: Hasil data olahan
0.07 0.11 0.14 0.18 0.11 0.11 0.14 0.11 -
0.07 0.11 0.04
0.73 0.72
Rank 1 2 3 4
0.64
5
0.61
8
0.62 0.62 0.59
6 7
9
0.55
10
0.54
12
0.54
11
0.53
13
0.52
15
0.52 0.49 0.49 0.49 0.49 0.48
14
16 17 18 19 20
0.47
21
0.46
24
0.47 0.47 0.44 0.44 0.44 0.43 0.41
22 23
25 26 27 28 29
0.39
30
0.38
32
0.39 0.38 0.38 0.35 0.35 0.35
31
33 34 35 36 37
0.33
38
0.31
41
0.33 0.33 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30
39 40
42 43 44 45 46
0.27
47
0.23
50
0.23 0.23 0.21 0.20 0.20 0.14
48 49
51 52 53 54
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 27
Vol. 2 No. 01 April 2017
3.6. Risk Rangking
3.7. Matriks Risiko
Risk ranking berikut adalah hasil pengolahan data berdasarkan waktu (Gambar 2) dan biaya (Gambar 3) yang dilakukan pada tahap analisis data menggunakan persamaan faktor risiko yang didefinisikan sebagai perkalian antara besaran masing-masing dampak dan probabilitas kejadian risiko (2005, Pusjatan), yang dihitung dari persamaan berikut ini yaitu :
Kategori Risiko dibagi atas 4 kuadran, yaitu; (i) risiko rendah, dimana risiko biasanya diabaikan karena probabilitas kejadiannya relatif rendah dan kalaupun terjadi, maka dampaknya relatif kecil, (ii dan iii) risiko sedang, dimana salah satu dari probabilitas ataupun dampaknya relatif rendah, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi untuk mengelolanya, dan (iv) risiko tinggi, dimana probabilitas kejadiannya dan dampaknya relatif tinggi. sehingga perlu dibuat rencana pengelolaan dan penurunan risiko yang mungkin terjadi.
FR = (L+I) – (LxI) Dengan : FR
= Faktor risiko, dengan skala 0-1,
L
= Probabilitas kejadian risiko (0 – 100%),
I
= Besaran dampak risiko
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 7. Faktor Risiko Yang Relevan NO
A
B
C D E
Gambar 2. Risk Matrik Faktor Waktu Sumber: Hasil data olah
KATEGORI
Risiko Fisik
Risiko Tenaga Kerja dan Tenaga ahli Risiko Kontraktor Risiko Konsultan
Risiko Owner
F
Risiko Material
G
Risiko Peralatan
H
Risiko Proses Kontruksi
FAKTOR RISIKO 1
Bencana Alam
4
Ketidakpastian kondisi di lapangan
2 3 5 1 2 3 4 5 6 7 1
I
J
K
Risiko K3
Risiko Politik
Gambar 3. Risk Matrik Faktor Biaya Sumber: Hasil data olah
Risiko Ekonomi
Cuaca
Keterampilan dan Keahlian Kedisiplinan
Produktivitas
Kurang kompaknya tim kerja Pertengkaran pekerja
Kurangnya jumlah pekerja Pemogokan tenaga kerja
1 1
Kegagalan keuangan proyek
2 3 2 1 2 3 4 5 1 2 3
Data desain tidak lengkap
Terlambatnya informasi dari perencana Change order
Keterlambatan pengiriman
Kerusakan pada saat pengiriman
Kerusakan pada saat penyimpanan Rendahnya kualitas material Produktivitas dan effisiensi
Kurangnya jumlah peralatan
Kondisi peralatan yang tidak layak pakai
2
Kerusakan alat Perubahan pada pekerjaan kontruksi akibat sulit dilaksanakan Kualitas (mutu) pekerjaan kurang baik
5
Jumlah nyata pekerja
1 3 4 6
Masalah Komunikasi Masalah Koordinasi
1
Metode pelaksanaan yang salah Keterlambatan memecahkan masalah dalam kontraktor Akses ke lokasi proyek
4
Kurangnya alat dan material
2 3 5 1 2 3 1
Kemacetan lalu lintas Gangguan keamanan
Ditutupnya lokasi oleh Pemda Mesin tidak diperiksa sebelum beroperasi Pekerja tidak dilengkapi alat pelindung Peraturan safety yang dilanggar
3
Perubahan peraturan pemerintah Kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan terhentinya proyek Rumitnya masalah perijinan
2
Keterlambatan pembayaran oleh pemilik
2 4 1
L
Kondisi muka air tanah
Kemampuan Kontraktor Terhambatnya keuangan pihak kontraktor Kesalahan desain
2
7 Risiko Lokasi Proyek
Kondisi Muka Tanah
3 4 5 6 7 8
Ketidakstabilan moneter Ketersediaan Dana Inflasi
Fluktuasi
Harga material lebih mahal
Penambahan biaya sewa alat Upah pekerja lebih mahal
Biaya pemeliharaan alat tinggi
Sumber: Data hasil olahan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan menilai risiko-risiko yang mungkin atau potensial terjadi dalam pelaksanaan proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong guna menentukan 1 - 28
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
tindakan yang harus diambil guna mencegah dan menangani risiko yang terjadi pada pelaksanaan proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong. Dari hasil analisis didapatkan 12 (dua belas) kategori risiko dan 54 (lima puluh empat) faktor risiko yang relevan terjadi pada proyek pembangunan jaringan irigasi Bendung Leuwigoong antara lain lihat Tabel 7.
risiko tersebut, sehingga dengan demikian kerugian akibat terjadinya risiko tersebut dapat dikendalikan dengan optimal data alokasi disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10. Alokasi Faktor Risiko Terhadap Waktu ALOKASI FAKTOR RISIKO A4 Ketidakpastian kondisi di lapangan
0.83
C1
0.80
C2
Terhambatnya keuangan pihak kontraktor
A5 Cuaca
4.1. Deskristif hasil Analisis Berdasarkan hasil dari analisis terhadap 54 (lima puluh empat) faktor risiko diatas didapatkan rangking terbesar faktor risiko yang memiliki probabilitas dan dampak waktu dan biaya terbesar yaitu lihat Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8. Rangking 10 Besar Faktor Risiko Terhadap Waktu
Kemampuan Kontraktor
B3 Produktivitas
D1 Kesalahan desain
D3 Terlambatnya informasi dari perencana Perubahan pada pekerjaan kontruksi akibat sulit H1 dilaksanakan A1 Bencana Alam B6 Kurangnya jumlah pekerja
Ketidakpastian kondisi di lapangan Terhambatnya keuangan C2 pihak kontraktor A5 Cuaca A4
C1
Kemampuan Kontraktor
B3 Produktivitas
D1 Kesalahan desain Terlambatnya informasi D3 dari perencana Perubahan pada pekerjaan H1 kontruksi akibat sulit dilaksanakan A1 Bencana Alam B6 Kurangnya jumlah pekerja
P 0.64 0.57 0.5
0.21 0.61 0.43 0.43 0.43 0.32 0.39
Waktu FR DW 0.54
1 2 3
0.8
0.43
0.8
0.39
0.78
0.39
0.78
0.39
4 5
0.78
0.39
6 7
0.78
0.36
8
0.77
0.36
9
0.77
Sumber: Data hasil olahan
10
Tabel 9. Rangking 10 Besar Faktor Risiko Terhadap Biaya TOTAL PENILAIAN FAKTOR RISIKO
Rank
P
Biaya
FR DB
Ketidakpastian kondisi di A4 lapangan
0.64
0.39
0.78
1
B3
0.61
0.32
0.73
2
C2
Produktivitas Terhambatnya pihak kontraktor
keuangan
0.57
0.36
0.72
3
A5 Cuaca
0.5
0.36
0.68
4
A2 Kondisi Muka Tanah
0.5
0.29
0.64
5
B2
Kedisiplinan
0.80
√
0.78
√
0.78
0.54
0.18
0.62
6
D2 Data desain tidak lengkap
0.46
0.29
0.62
7
B4
Kurang kompaknya tim kerja
0.43
0.32
0.61
8
D1 Kesalahan desain Terlambatnya informasi dari D3 perencana
0.43
0.29
0.59
9
0.43
0.21
0.55
10
Sumber: Data hasil olahan
4.2. Alokasi Risiko Pada dasarnya risiko-risiko yang diperkirakan terjadi untuk setiap elemen risiko sebaiknya dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelola
√ √ √ √ √
√
0.78 0.78 0.77
√
√
0.77
√ √
Tabel 11. Alokasi Faktor Risiko Terhadap Biaya ALOKASI FAKTOR RISIKO
0.82
0.43
0.82
Rank
0.83
0.5
Pengguna Penyedia Jasa Jasa
Sumber: Data hasil olahan
TOTAL PENILAIAN FAKTOR RISIKO
FR DW
FR DW
Pengguna Penyedia Jasa Jasa
A4 Ketidakpastian kondisi di lapangan
0.78
A5 Cuaca
0.68
√
0.62
√
0.55
√
B3 Produktivitas C2
Terhambatnya keuangan pihak kontraktor
A2 Kondisi Muka Tanah B2 Kedisiplinan
0.73 0.72 0.64 0.62
D2 Data desain tidak lengkap
B4 Kurang kompaknya tim kerja D1 Kesalahan desain
D3 Terlambatnya informasi dari perencana
0.61 0.59
√
√ √
√ √ √ √ √ √
Sumber: Data hasil olahan
4.3. Mitigasi Risiko Setelah seluruh elemen-elemen risiko dapat diidentifikasi dan di ukur, maka tahap selanjutnya dalam manajemen risiko adalah memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengelola risiko tersebut jika terjadi. Data mitigasi disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13. Tabel 12. Mitigasi Risiko Terhadap Dampak Waktu FAKTOR RISIKO
MITIGASI Melakukan rekayasa lapangan antara penguna jasa, pengawas, dan penyedia jasa pihak Membuat jaminan dari bank terkait dengan keadaan keuangan dari pihak kontraktor
A4 Ketidakpastian kondisi di lapangan C2
Terhambatnya kontraktor
C1
Kemampuan Kontraktor
A5 Cuaca
keuangan
B3 Produktivitas
D1 Kesalahan desain Terlambatnya informasi dari D3 perencana Perubahan pada pekerjaan kontruksi H1 akibat sulit dilaksanakan A1 Bencana Alam B6 Kurangnya jumlah pekerja
Mendapatkan data terkait cuaca dari BMKG pada lokasi proyek Klarifikasi mengenai kompetensi kontraktor Penyedia SDM, alat (sumber daya) Mematangkan perencanaan desain
Meningkatkan koordinasi antara para pihak terkait
Mematangkan perencanaan desain Asuransi
Penyedia SDM, alat (sumber daya)
Sumber: Data hasil olahan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 29
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 13. Mitigasi Risiko Terhadap Dampak Biaya FAKTOR RISIKO A4 B3 C2
A5 A2 B2
MITIGASI Melakukan rekayasa lapangan antara penguna jasa, pengawas, dan penyedia jasa Penyedia SDM, alat (sumber daya) pihak Membuat jaminan dari bank terkait dengan keadaan keuangan dari pihak kontraktor
Ketidakpastian kondisi di lapangan Produktivitas Terhambatnya kontraktor Cuaca
keuangan
Mendapatkan data terkait cuaca dari BMKG pada lokasi proyek Melakukan rekayasa lapangan antara penguna jasa, pengawas, dan penyedia jasa kesesuaian tugas fungsi dan schedule
Kondisi Muka Tanah Kedisiplinan
D2 Data desain tidak lengkap B4
Kurang kompaknya tim kerja
D1 Kesalahan desain Terlambatnya informasi D3 perencana
Mematangkan perencanaan desain dari
Meningkatkan koordinasi antara para pihak terkait Mematangkan perencanaan desain
Meningkatkan koordinasi antara para pihak terkait
Sumber: Data hasil olahan
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan A. Identifikasi awal faktor risiko pada pelaksanaan kontruksi jaringan irigasi di Bendung Leuwigoong diperoleh 54 faktor risiko yang mungkin terjadi, dan dari hasil analisis diperoleh 10 faktor risiko yang paling besar probabilitas dan dampaknya baik terhadap waktu yaitu: 1) ketidakpastian kondisi dilapangan 0.83, 2) terhambatnya keuangan pihak kontraktor 0.82, 3) cuaca 0.80. dan terhadap biaya yaitu: 1) ketidakpastian kondisi dilapangan 0.78, 2) Produktivitas 0.73, 3) terhambatnya keuangan pihak kontraktor 0.72. B. Setiap elemen risiko sebaiknya dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelola risiko tersebut yaitu: 1) ketidakpastian kondisi dilapangan oleh penyedia jasa, 2) terhambatnya keuangan pihak kontraktor oleh penyedia jasa, 3) cuaca oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, 4) produktivitas oleh penyedia jasa. C. Didalam memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengelola risiko yang terjadi yaitu: 1) melakukan rekayasa lapangan antara penguna jasa, pengawas dan penyedia jasa, 2) membuat jaminan dari bank terkait dengan keadan keuangan dari pihak kontraktor, 3) mendapatkan data terkait cuaca dari BMKG pada lokasi proyek, 4) penyediaan SDM dan alat. Sehingga segala jenis risiko yang akan terjadi bisa di identifikasi sedini mungkin. 5.2. Saran Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa sehingga faktor-faktor risiko yang berakibat kegagalan konstruksi bisa dihindari dan pekerjaan selesai sesuai dengan jadwal dalam menyelesaikan suatu proyek baik biaya, waktu dan mutu.
1 - 30
JURNAL INFRASTRUKTUR
DAFTAR PUSTAKA Djojosudarso, soeisno, (1999). Prinsip-prinsip Manajemen Risiko dan ansurasi cetakan ke 1 Jakarta:Salemba empat, 1999, 200 hlm; 4-5. Flanagan, R. dan Norman, G. 1993. Risk Management and Construction. Cambridge : University Press. Godfrey, P.S., Sir William Halcrow and Partners Ltd. 1996. Control of Risk A Guide to Systematic Management Of Risk from Construction. Wesminster London : Construction Industry Research and Information Association (CIRIA). Halpin, D. W., Woodhead, R. W. (1998). Construction Management. John Wiley & Sons, Inc.,New York, NY. Kangari, R 1995. Risk Management Perceptions and Trends of U.S Construction. Journal of Construction Engineering and Management. ASCE Desember. Labombang, Mastura SMARTek Vol 9, No 1 (2011) Manajemen Risiko Dalam Proyek Konstruksi Pusjatan, 2005. Pedoman Penilaian Risiko Investasi Jalan Tol, Bandung. Sandhyavitri, A. And Young, R. J., 2004, Risk Management in Water Supply, 27 th of WEDC Conference, Vientien. Wiyanti, Sri Dwi.2009. Kajian Manajemen Risiko Proyek Pemeliharaan Berkala Jalan KrewengLebeng Kabupaten Cilacap. Teodolita Vol. 10 No.1., Juni 2009 : 24-33
Vol. 2 No. 01 April 2017
PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MENCAPAI MUTU PEKERJAAN KONSTRUKSI JALAN LENTUR Adiwijaya Widyaiswara Utama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract The road is used as the mobility and accessibility of all citizens who use vehicles or public transport. The quality of good roads must be obtained for determining the road user’s activities. Sub base is a part of a flexible pavement structure located between the subgrade and the foundation layer which serves to support and spread the load wheels for pedestal, so that comfort and road safety can be maintained. Strength sub base layer is affected by the implementation of employment procedure starts from the preparation, implementation and post implementation of the work performed in accordance with standard operating procedures. Implementation of good pavement construction can maintain the road life. Road life is affected by five factors, namely human resources that are reliable, use of materials and processing, provision and use of equipment in accordance with procedures, quality control, and the environment. This study aims to identify the factors that could keep life of the road by using flexible pavement made from aggregate consisting of fine grained material. Keywords: foundation layer, flexible pavement, road life, road, foundation Abstrak Jalan digunakan sebagai mobilitas dan aksebilitas seluruh warga masyarakat yang menggunakan kendaraan sendiri maupun angkutan publik. Kualitas jalan yang baik adalah hak yang harus diperoleh pengguna jalan karena menentukan kelancaran aktivitas. Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi atas yang berfungsi untuk mendukung dan menyebar beban roda agar tumpuan tidak membebani badan jalan, sehingga kenyamanan dan keamanan jalan dapat terjaga. Kekuatan lapis pondasi bawah dipengaruhi oleh prosedur pelaksanaan pekerjaan dimulai dari persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur pelaksanaan pekerjaan. Pelaksanaan konstruksi perkerasan jalan yang baik dapat mempertahankan umur rencana jalan. Umur rencana jalan dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu sumber daya manusia yang handal, penggunaan bahan material dan proses pengolahan, penyediaan dan penggunaan peralatan yang sesuai prosedur, pengendalian mutu, dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang dapat mempertahankan umur rencana jalan dengan menggunakan perkerasan lentur berbahan agregat yang terdiri dari bahan berbutir. Kata Kunci: lapis pondasi, perkerasan lentur, umur jalan, jalan, pondasi
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 31
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Jalan adalah prasarana transportasi yang mempengaruhi usaha perkembangan perekonomian. Jalan yang baik adalah jalan yang penggunanya merasa aman, nyaman dan berdaya guna bagi masyarakat. Performansi jalan dinilai dari daya tahan, nilai ekonomis, umur rencana, kenyamanan, fleksibilitas, aplikabilitas dan sebagainya (Dirjen Bina Marga, 2010). Setiap komponen dalam pengerjaan jalan mempengaruhi kualitas pelayanan jalan terhadap lalu lintas. Pelayanan jalan yang berkualitas dapat dicapai apabila proses pelaksanaan pekerjaan jalan dilaksanakan sesuai dengan standar dan peraturan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bina Marga (2010). Struktur perkerasan jalan terdiri dari pekerjaan tanah dasar (subgrade), lapis pondasi, dan lapis penutup (lapis permukaan). Lapis pondasi (perkerasan berbutir) merupakan bagian yang berada diantara tanah dasar dan lapis penutup (lapis permukaan jalan). Lapis penutup yang biasa digunakan di Mesir adalah Aspal Beton(Elbheiry, et. al., 2011). Umur perkerasan yang sebenarnya biasanya sangat kurang dari yang diharapkan, sehingga akan menyebabkan biaya tambahan untuk mengembalikan perkerasan yang memenuhi kepuasan pengguna jalan (Elbheiry, et., al, 2011). Lapis perkerasan berbutir yang berada pada perkerasan lentur berfungsi untuk menyebarkan beban kendaraan agar tegangan yang sampai ke tanah dasar tidak melampaui tegangan yang dapat menimbulkan deformasi berlebih. Lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah pada perkerasan lentur harus mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap deformasi letaknya di bawah lapis permukaan sehingga menerima tegangan yang besar akibat beban roda kendaraan. Lapis pondasi bawah dapat mempunyai mutu yang lebih rendah daripada mutu untuk lapis pondasi atas dan di buat dari berbagai jenis bahan, tergantung pada ketersediaan bahan, efisiensi pengerjaan serta fungsi lainnya. Mulyono (2007) menyimpulkan bahwa dalam memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pekerjaan perkerasan jalan, yaitu syarat berlalu lintas dan syarat kekuatan fungsional. Syarat berlalu lintas menurut Sukirman (1992), antara lain: (i) permukaannya rata; (ii) permukaan cukup kaku; (iii) permukaan kesat untuk menghindari selip; dan permukaan tidak silau karena pantulan sinar matahari. Sedangkan syarat kekuatan struktural antara lain: (i) ketebalan yang mampu mendistribusikan beban lalulintas ke tanah dasar; (ii) air tidak mudah meresap ke lapisan di bawahnya; (iii) permukaan tidak terjadi genangan air hujan di atasnya; dan (iv) kekakuan yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi. Terdapat penemuan jalan yang rusak sebelum 1 - 32
JURNAL INFRASTRUKTUR
waktunya (jalan tersebut baru berumur setengah dari masa rencananya). Keadaan ini ditemui pada jalan perkerasan lentur yang rentan terhadap kerusakan. Hal ini terjadi karena pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bina marga. Menurut Aly (2006) dan Mulyono & Suraji (2005), menyimpulkan bahwa terdapat penyimpangan prosedur selama pelaksanaan penghamparan dan pemadatan bahan agregat berbutir, antara lain: (i) pelanggaran komitmen trial penghamparan dan pemadatan, yaitu dengan mengurangi jumlah passing alat pemadat dan ketidaktepatan kadar air optimum walaupun kepadatannya memenuhi syarat, sehingga akan menghasilkan lapisan yang bersifat padat sementara waktu, ketika beban lalu lintas bekerja maka lapisan tersebut akan mengalami penurunan volume; (ii) menggunakan alat pemadat yang kurang layak sehingga hasil pemadatannya tidak sempurna. Penurunan nilai struktural diindikasikan karena terjadinya kerusakan dini perkerasan di awal umur pelayanan, seperti retak (cracking), lubang (pothole), penurunan (deformation), bekas alur roda kendaraan (rutting), pelepasan butiran permukaan perkerasan (ravelling) dan permukaan yang keriting (corrugation). Performansi permukaan jalan dalam melayani lalu lintas kendaraan dengan aman dan nyaman yang meliputi aspek-aspek teknis: kerataan, kekesatan dan kemiringan permukaan. Penurunan performansi diindikasikan dengan penurunan tingkat keamanan dan kenyamanan berkendaraan karena hasil pemeliharaan berkala maupun peningkatan jalan kurang memenuhi standar indeks performansi yang disyaratkan (Mulyono, 2007). Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement) menggunakan aspal sebagai bahan pengikat yang lapisan – lapisannya berrsifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Bahan susunan perkerasan lentur (fleksible) terdiri atas berbagai ukuran butiran agregat pecah yang diselimuti aspal, yang kekuatannya ditentukan oleh internal friction antar butiran dan modulus elastisitas aspal serta jumlah rongga dalam campuran agregat yang terisi aspal. Aspal merupakan bahan rheologic dan thermoplasthic yang sifat fisiknya sangat dipengaruhi oleh perubahan beban dan temperatur udara serta temperatur pencampurannya dengan butiran agregat (Mulyono, 2007; Balitbang Departemen PU, 2005). Apabila standar prosedur tidak dilakukan dengan baik maka akan mengakibatkan jalanan cepat rusak, berlubang dan tergenang air. Jalan tersebut akan sulit untuk dilalui oleh kenderaan beroda dan pejalan kaki, terutama pada saat turun hujan sehingga pada akhirnya akan mengurangi umur rencana jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mereview dan mengidentifikasi faktor – faktor yang dapat mempertahankan umur rencana jalan dengan menggunakan perkerasan lentur berbahan agregat yang terdiri dari bahan berbutir sehingga dapat memperpanjang umur jalan. Penelitian ini juga menggunakan referensi
Vol. 2 No. 01 April 2017
penelitian terdahulu dalam memperpanjang umur jalan. Adapun faktor penentu umur jalan yang dibahas pada penelitian ini meliputi SDM, bahan, peralatan, pengendalian mutu dan lingkungan. 2. TINJAUAN PUSTAKA pengalaman empiriknya menyimpulkan bahwa utilisasi alat pemadat perkerasan berbutir pada umumnya kurang optimal, disebabkan oleh: (i) sebagian besar alat berat memiliki umur operasional lebih panjang daripada umur kalendernya dan diperparah minimumnya biaya perawatan rutin maupun berkala; (ii) sertifikasi kalibrasi presisi komponen alat berat sudah tidak diperbaiki lagi ketika pekerjaan pemadatan sudah selesai. Hal tersebut yang menyebabkan produktifitasnya rendah dan hasil pemadatan kurang mencapai mutu yang diharapkan. Penurunan kinerja pemadatan yang disebabkan kurangnya utilisasi alat berat akan berdampak terjadinya konsolidasi bahan berbutir sehingga volumenya menjadi berkurang dan tidak mampu menerima desakan vertikal beban lalu lintas melalui lapisan permukaan. Penurunan kinerja pemadatan tersebut mengakibatkan hasil pekerjaan tidak memenuhi standard AASHTO yang dipakai di Indonesia. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement) merupakan perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Perkerasan lentur (fleksible) bahan susunnya terdiri atas berbagai ukuran butiran agregat pecah yang diselimuti aspal, yang kekuatannya sangat ditentukan oleh internal friction antar butiran dan modulus elastisitas aspal serta jumlah rongga dalam campuran agregat yang terisi aspal. Aspal merupakan bahan rheologic dan thermoplasthic yang sifat fisiknya sangat dipengaruhi oleh perubahan beban dan temperatur udara (Mulyono, 2007) serta temperatur pencampurannya dengan butiran agregat (Balitbang Departemen PU, 2005). Fungsi lapis pondasi bawah antara lain: 1) bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda; 2) mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisanlapisan atas dapat dikurangi ketebalannya dan dapat menghemat biaya konstruksi; 3) mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi; 4) sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar. Lapis pondasi bawah diperlukan untuk membantu daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca. Terdapat berbagai jenis lapis pondasi bawah yaitu: pondasi bawah yang menggunakan batu pecah dan balas pasir; pondasi bawah yang menggunakan sirtu yang mengandung tanah; menggunakan tanah pasir; menggunakan aggregate; menggunakan material ATSB (Asphalt Treated Sub-Base); menggunakan
stabilitas tanah. Namun dalam tulisan ini, pekerjaan lapis pondasi bawah yang dibahas dibatasi pada pekerjaan lapis pondasi bawah yang menggunakan agregat. Dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : 1) bahan material, 2) peralatan, dan 3) standard serta persyaratan mutu pelaksanaan pekerjaan. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian studi literatur dan pengalaman empirik melalui observasi langsung pada pelaksanaan proyek peningkatan jalan Nasional Seksion Rantau Prapat-Kotapinang pada tahun1986 dimana saat itu penulis sebagai Supervision Engineer serta hasil peninjauan lapangan pada saat membawa peserta diklat Pengawasan Pekerjaan Konstruksi Jalan pada proyek pembangunan jalan di Makassar tahun 2013. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Jalan digunakan sebagai mobilitas dan aksesibilitas masyarakat. Keselamatan pengguna jalan, keamanan dan kelancaran ditentukan oleh kualitas jalan. Di beberapa negara, sekitar 80% pergerakan orang dan barang dilakukan menggunakan modal angkutan yang menggunakan jalan, oleh karena itu, keberadaan jalan yang berkualitas menjadi harapan masyarakat. Peranan pengawas lapangan dilakukan untuk mengawasi pekerjaan lapangan agar pekerjaan dilaksanakan mengikuti prosedur-prosedur pelaksanaan pekerjaan. Untuk menghasilkan kualitas jalan yang baik, maka diperlukan pekerjaan pondasi bawah yang sesuai dengan prosedur yaitu persiapan pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan, dan pasca pelaksanaan pekerjaan (Dirjen Bina Marga, 2010). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dilihat dari kondisi kerusakan fungsional dan struktural. Kerusakan fungsional meliputi perkerasan yang tidak dapat berfungsi sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai adanya kerusakan pada bagian dari struktur perkerasan jalan. Kerusakan fungsional bergantung pada derajat kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar yang disebabkan oleh lima faktor yaitu SDM, bahan, peralatan, pengendalian mutu, dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ankit et.al (2012), bahwa SDM dalam pekerjaan perkerasan tidak hanya merancang dan membangun saja namun juga untuk memantau kinerja jalan dalam pelayanan sehingga dapat mengatur jadwal pemeliharaan jalan. Ankit et.al (2012) juga menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi jalan adalah cuaca, JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 33
Vol. 2 No. 01 April 2017
bahan material yang digunakan, jumlah kendaraan yang menggunakan jalan, struktur perkerasan dan keadaan perkerasan pada saat pekerjaan dilakukan. Faktor tersebut juga yang menyebab kan kegagalan jalan raya yang terjadi di Nigeria berdasarkan hasil penelitian Okigbo (2012). 4.1. Sumber daya Manusia (SDM) Perencanaan dan pelaksanaan jalan dilakukan oleh manusia, oleh karena itu SDM memiliki peran penting dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi jalan. Pelaksana pekerjaan jalan sangat mempengaruhi mutu dan kualitas pekerjaan jalan. SDM pelaksana dalam hal ini adalah seorang kontraktor dan pengawas lapangan. Untuk dapat mempertahankan umur rencana jalan, maka SDM yang meliputi kontraktor dan pengawas pekerjaan harus mengikuti standar dan operasi prosedur yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Dirjen Bina Marga. Kontraktor sebagai unsur pelaksana jalan melibatkan orang-orang yang akan dipekerjakan dilapangan, seperti operator mesin dan peralatan serta pengolah bahan dan material yang dipergunakan dalam pekerjaan jalan. Kontraktor menjamin pemberi tugas dan konsultan pengawas bahwa semua bahan dan perlengkapan yang digunakan adalah baru dan kontraktor menyetujui kontrak yang berisi pekerjaan akan dilaksanakan tanpa cacat teknis dan estetis serta sesuai dengan perjanjian. Selanjutnya, kontraktor mampu menyediakan bukti – bukti yang ada dalam kontrak. Apabila para pekerja melakukan pekerjan sesuai dengan prosedur dan persyaratan pekerjaan, maka hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya operator yang menggunakan peralatan bekerja maksimal ataupun kemampuannya dalam menggunakan peralatan memenuhi persyaratan, maka hasil yang dihasilkan sesuai dengan standar dan selanjutnya kontraktor memiliki tanggung jawab terhadap hasil pekerjaan tersebut sekaligus memberikan laporan kepada pengawasan jalan. Untuk mengatasi penggunaan material yang tidak sesuai dengan ukuran, pengawas lapangan sangat berperan dalam mengawasi pekerjaan tersebut. Jika pengawas lapangan tidak bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya maka hasil pekerjaan akan mengakibatkan menurunnya umur rencana jalan. Seorang pengawas lapangan harus menguasai spesifikasi yang telah ditentukan dalam kontak kerja dan mengetahui standar operasional prosedur pekerjaan. Dengan demikian kualitas pekerjaan dapat terjaga sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pengawasan jalan meliputi kegiatan evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan, pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan dan pemenuhan standar pelayanan minimal. Pengawas jalan melaksanakan pengawasan setiap hari mulai pekerjaan pengujian, analisa data hasil pengujian mutu, memeriksa
1 - 34
JURNAL INFRASTRUKTUR
material/bahan yang didatangkan dan digunakan dan menyediakan laporan hasil pekerjaan. Seorang pengawas pekerjaan jalan harus pernah mengikuti dan mendapatkan sertifikasi pengawas lapangan pekerjaan jalan yang dilaksanakan oleh BNSP. Adapun keahlian yang harus dimiliki seorang pengawas jalan agar dapat meningkatkan umur rencana jalan adalah mampu memeriksa pekerjaan tanah, memeriksa pekerjaan pondasi jalan, memeriksa pekerjaan perkerasan, memeriksa pekerjaan bangunan pelengkap dan pelengkap jalan, memeriksa pekerjaan drainase dan memeriksa laporan kemajuan setiap kegiatan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2016). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Visintine et.al (2015), yang menyatakan bahwa dalam pekerjaan konstruksi, pengalaman kontraktor dan SDM pengerjaan merupakan penentu dalam keberhasilan pekerjaan jalan. Faktor utama yang menyebabkan kegagalan adalah kelalaian kontraktor dalam menerapkan Spesifikasi yang telah ditentukan baik mengenai bahan, alat, dan prosedur pekerjaannya sehingga menurunkan mutu (ketahanan terhadap beban roda). Oleh karena itu, kontraktor harus memperhitungkan pekerjaan lapis demi lapis pada perkerasan lentur. 4.2. Bahan Persyaratan bahan dalam pekerjaan pondasi bawah dijelaskan dalam Dokumen Pelelangan Nasional Penyediaan Pekerjaan Konstruksi untuk Kontrak Harga Satuan (2010). Apabila persyaratanpersyaratan bahan tersebut tidak dipenuhi maka akan menyebabkan kerusakan jalan dan penurunan umur rencana jalan. Misalnya gradasi agregat tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan ataupun dalam proses pencampuran bahan, kadar air yang digunakan tidak mengikuti batas optimum yang telah ditentukan, hal inilah yang menyebabkan kerusakan jalan terjadi sebelum batas umur yang direncanakan. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai pengikat menyebabkan beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Susunan lapis penutup pada perkerasan lentur (fleksible) terdiri atas berbagai ukuran butiran agregat pecah yang diselimuti aspal, yang kekuatannya sangat ditentukan oleh internal friction antar butiran dan modulus elastisitas aspal serta jumlah rongga dalam campuran agregat yang terisi aspal. Aspal memiliki sifat elastisitas yang disebabkan bahan rheologic dan thermoplasthic yang sifat fisiknya sangat dipengaruhi oleh perubahan beban dan temperatur udara (Mulyono, 2007) serta temperatur pencampurannya dengan butiran agregat (Balitbang Departemen PU, 2005). Pada Gambar 1 menggambarkan konstruksi perkerasan
Vol. 2 No. 01 April 2017
lentur terdiri dari lapisan permukaan/penutup, lapisan pondasi atas, lapisan pondasi bawah dan lapisan tanah dasar.
Bahan material untuk perkerasan lentur, yang utama terdiri atas bahan pengikat dan bahan pokok berupa pasir, kerikil, batu pecah/ agregat dan lainlain. Sedangkan untuk bahan pengikat perkerasan bergantung dari jenis perkerasan jalan yang akan digunakan berupa tanah liat, aspal/ bitumen, portland cement, atau kapur/ lime. Persyaratan bahan perkerasan lentur terbuat dari bahan batu pecah dengan ukuran yang bervariasi membentuk gradasi tertutup serperti yang ditampilkan dalam Tabel 1.
Gambar 1. Lapisan Perkerasan Lentur (flexible pavement) Tabel 1. Persyaratan Gradasi Butiran Agregat sebagai Bahan Susun Lapis Pondasi Jalan
Sumber: Dirjen Bina Marga (2010) Lapis permukaan adalah bagian perkerasan yang terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas. Sedangkan, lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar. Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi dan terdiri atas lapisan dari material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan tanah yang distabilisasi. Tanah dasar adalah lapisan tanah asli yang memiliki kedalaman 80 - 100 cm di bawah lapis pondasi bawah atau tanah timbunan dimana diatasnya diletakkan struktur perkerasan jalan.
Agregat sebagai komponen utama dari lapisan perkerasan jalan mengandung 90% – 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% – 85% agregat berdasarkan persentase volume (Sukirman, 1999). Pemilihan jenis agregat untuk digunakan pada konstruksi perkerasan dipengaruhi oleh gradasi, kekuatan, bentuk butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat kimia. Jenis dan campuran agregat mempengaruhi daya tahan suatu perkerasan jalan (Mulyono, 2007). Agregat dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu berdasarkan proses pengolahan, berdasarkan ukuran partikel dan berdasarkan bentuk agregat. Asal batuan yang digunakan dari sumber material batu andesit yang dapat diuji kekuatannya dengan pengujian keausan agregat. Bahan susun butiran tiap kelas lapis pondasi memiliki dua fraksi agregat, yaitu fraksi agregat kasar dan fraksi agregat halus.
Tabel 2. Sifat Fisik Agregat sebagai Bahan Susun Lapis Pondasi Jalan
Sumber : Dirjen Bina Marga (2010)
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 35
Vol. 2 No. 01 April 2017
Ketentuan agregat kasar adalah agregat kasar (tertahan pada ayakan 4,75 mm) yang terdiri dari partikel yang keras dan awet; agregat kasar Kelas A yang terdiri dari batu kali harus 100 % mempunyai paling sedikit dua bidang pecah; agregat kasar Kelas B yang terdiri dari batu kali harus 65 % mempunyai paling sedikit satu bidang pecah; dan agregat kasar Kelas C terdiri dari kerikil (Dirjen Bina marga, 2010). Agregat yang digunakan bebas dari bahan organik dan gumpalan lempung atau bahanbahan lain yang tidak dikehendaki dan memenuhi standar mutu, gradasi butiran agregat dan sifat-sifat fisik agregat. Sifa-sifat fisik agregat sebagai bahan susun lapis pondasi jalan dapat ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 3 menunjukkan faktor konversi yang digunakan pada pengerjaan jalan.
Jalan Raya Honolulu (2002), perbedaan jenis agregat menyebabkan perbedaan kapasitas ketahanan terhadap traffic, oleh karena itu harus memperhitungkan ketebalan struktur dan pengerjaannya berbeda untuk perkerasan lentur atau perkerasan kaku. Agregat lapisan pondasi bawah terdiri dari 6 lapisan, dan kombinasi lapisan garnular dengan pemisah permiabel dapat berfungsi sebagai sistem pengamanan yang dapat mencegah intrusi bahan halus dari sekitar tanah kedalam lapisan permiabel (Departemen Transportasi Jalan Raya Honolulu, 2002).
Tabel 3. Faktor Konversi Aspal
Sumber : Elbheiry, et.al (2011) Pada saat pencampuran, tidak boleh menggunakan motor grader, loader atau backhoe kecuali dengan alat khusus pulvi mixer. Homogenitas campuran dicapai dengan instalasi pemecah batu atau pencampur yang menggunakan pemasok mekanis terkalibrasi untuk memperoleh aliran yang menerus dari komponen-komponen campuran dengan proporsi yang benar dan tepat sesuai dengan yang tercantum pada Tabel 1 dan 2. Berdasarkan Manual desain Perkerasan Departemen Transportasi
Pada Gambar 2 menunjukkan proses pengerjaan lapis penutup pada tahapan Breakdown Rolling. Dari gambar tersebut dapat diperoleh bahwa keadaan pengerjaan, bahan material yang digunakan dan SDM menentukan kinerja jalan. Seperti yang terjadi di beberapa lokasi di Medan, Sumatera Utara, khususnya jalan Amaliun dan Laksana, dengan bahan pondasi bawah dan dasar yang tidak sesuai standar, jumlah kendaraan yang banyak dan kondisi drainase yang tidak baik, serta banyaknya jumlah kendaraan pengguna jalan menyebabkan perkerasan jalan mudah rusak, sehingga umur jalan tidak seperti yang diperkirakan. Kondisi jalan di lokasi tersebut banyak ditemui retakan dan lobang, dan telah dilakukan upaya pemeliharaan dan perbaikan, namun kinerja jalan masih rendah dan umur jalan hanya mencapai <1 bulan. 4.3. Peralatan
Gambar 2. Proses Pemadatan tahap Breakdown Rolling (Sumber Ojt Diklat Pengawasan Jalan di Makassar)
1 - 36
JURNAL INFRASTRUKTUR
Peralatan dan laboratorium yang digunakan harus memiliki sertifikat kalayakan dan bukti kalibrasi presisi yang dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi dalam Jaringan Kalibrasi Nasional (JKN). Persyaratan peralatan yang harus dipenuhi adalah menggunakan labiratorium terakreditasi, peralatan dalam laboratorium teruji kalibrasinya minimal satu kali setiap enam bulan. Selanjutnya, mendapatkan penilaian kelayakan alat uji mutu dan alat berat lapangan yang meliputi (i) jumlah, jenis
Vol. 2 No. 01 April 2017
dan spesifikasi kebutuhan; (ii) sejarah kerusakan dna pemeliharaan rutin; (iii) kemampuan teknisi/ operator; (iv) tersedia suku cadang jika alat mengalami kerusakan; (v) umur pemakaian alat uji; (vi) kesesuaian manual alat uji dan (vii) proses pengadaan alat uji. Peningkatan kemampuan SDM seiring kemajuan teknologi. Ketersediaan peralatan dan bahan material yang canggih, menuntut SDM yang ahli dalam penggunaannya. Keterampilan dan pendidikan SDM yang mampu menerapkan standar mutu produk AASHTO yang tepat di Indonesia perlu ditingkatkan mengingat peralatan penghamparan dan pemadatan yang tersedia sangat terbatas di wilayah kerja serta kondisi temperatur udara yang jauh lebih tinggi daripada negara asal pembuat standar tersebut. Soenarno (2006) menyimpulkan bahwa utilisasi alat pemadat perkerasan berbutir pada umumnya kurang optimal karena (i) alat berat memiliki umur operasional lebih panjang daripada umur kalendernya dan minimumnya biaya perawatan rutin maupun berkala; (ii) ketika pekerjaan pemadatan sudah selesai, sertifikasi kalibrasi presisi komponen alat berat sudah tidak diperbaharui. Hal tersebut yang menyebabkan produktifitasnya rendah dan hasil pemadatan kurang mencapai mutu yang diharapkan. Penurunan kinerja pemadatan yang disebabkan kurangnya utilisasi alat berat akan berdampak terjadinya konsolidasi bahan berbutir sehingga volumenya menjadi berkurang dan tidak mampu menerima desakan vertikal beban lalu lintas melalui lapisan permukaan. 4.4. Pengendalian Mutu Dalam mengendalikan mutu pekerjaan, pemborong diwajibkan meyerahkan contoh (sampel) dari material yang akan dipakai, untuk mendapat persetujuan. Bahan dapat digunakan setelah mendapat persetujuan dari Direksi Teknis atas mutu bahan Lapis Fondasi Agregat yang diusulkan. Apabila pengendalian mutu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka pelaksanaan pekerjaan jalan akan menghasilkan kualitas yang baik. Pengendalian mutu ini dapat dilaksanakan oleh pengawas lapangan dimulai dari persiapan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan standar-standar yang telah ditetapkan oleh peraturan menteri pekerjaan umum dan dirjen Bina Marga. Untuk pekerjaan perkerasan jalan khususnya pekerjaan lapis pondasi bawah, pengendalian mutu yang dilakukan misalnya ukuran pemadatan dan kerataan pondasi telah ditetapkan batas toleransinya, maka pengawas lapangan harus memperhatikan hal tersebut. Begitu juga dalam pencampuran bahan, batas kadar air optimum yang diperbolehkan harus diperhatikan agar tidak mnyebabkan kerusakan jalan lebih cepat dari batas waktu yang ditentukan. Berdasarkan
Adlinge
dan
Gupta
(2013),
menyatakan bahwa kinerja perkerasan bergantung pada apa, kapan dan bagaimana pengendalian dan pemeliharaan dilakukan. Perkerasan akan mengalami kerusakan seiring waktu, oleh karena itu penentuan waktu pemeliharaan menjadi sangat penting, hal ini dilakukan agar dapat menambah 10% umur jalan dan dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan (Adlinge & Gupta, 2013). 4.5. Lingkungan Kerusakan yang diakibatkan oleh faktor lingkungan dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, yaitu: A. Lalu lintas Peningkatan mobilisasi lalu lintas yang meningkat menyebabkan terjadi peningkatan dan repetisi beban terhadap badan jalan. B. Air Air yang berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik dan naiknya air akibat kapilaritas menyebabkan meningkatnya kadar air setelah proses pelaksanaan pekerjaan jalan. C. Iklim atau cuaca. Iklim tropis di Indonesia merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan, hal ini karena suhu udara dan curah hujan yang tinggi. D. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil disebabkan oleh sistem pelaksanaan yang kurang baik, atau sifat tanah dasaryang kurang bagus. Oleh karena itu, keadaan lingkungan harus diperhatikan dalam pengerjaan jalan. Lapis pondasi agregat tidak boleh ditempatkan, dihampar atau dipadatkan pada masa hujan turun dan pemadatan tidak boleh dilaksanakan setelah hujan atau dalam keadaan kadar air bahan tidak berada dalam rentang 3% di bawah kadar air optimum sampai 1% di atas kadar air optimum (SNI 1743, 2008). Menurut Ankri et.al (2012), kondisi lingkungan sangat menentukan dampak terhadap kinerja perkerasan lentur. Faktor eksternal seperti curah hujan, suhu, kelembapan dan kedalaman muka air menjadi faktor utama dalam mempengaruhi kinerja perkerasan. Sedangkan yang menjadi faktor internal adalah kerentanan terhadap
Gambar 3. Parameter cuaca pada permukaan tanah (Ankit et.al., 2012) JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 37
Vol. 2 No. 01 April 2017
kelembapan, petensi infiltrasi. Terdapat enam aspek iklim utama yang mempengaruhi kinerja perkerasan yaitu curah hujan, kecepatan angin, suhu udara, kelembapan relatif, tekanan atmosfer dan radiasi panas serta peningkatan kapiler tanah. Gambar 3 menunjukkan parameter suhu pada permukaan tanah. Pada umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul dan menyebabkan penurunan umur rencana jalan disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan yang saling berkaitan. Sebagai contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh kurangnya stabilitas lereng dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal dengan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan melemahkan daya
3. Pada kenyataannya standard operasional prosedur ini tidak sepenuhnya diikuti oleh penyedia jasa karena lemahnya kemampuan SDM kontraktor maupun pengawas pekerjaannya 4. Ketidak sesuaian pelaksanaan ini mengakibatkan singkatnya umur rencana jalan,dengan kata lain umur rencana paska konstruksi tidak dapat dipenuhi 5.2. Saran Agar umur rencana jalan paska konstruksi dapat dipenuhi, maka diperlukan SDM pelaksana dan pengawas yang memiliki kemampuan dan konsisten dalam menerapkan standar operasional prosedur pelaksanaan pekerjaan.
Gambar 4. Contoh Kerusakan jalan (Sumber: Antara Foto) dukung lapisan dibawahnya. Kerusakan utama yang dapat mengurangi umur jalan adalah karena keadaan lingkungan, perubahan kondisi lingkungan tergantung pada modulus tanah. Pada pengerjaan diperlukan perhitungan suhu, struktur lapisan tanah dan drainase. Gambar 4 menunjukkan keadaan kerusakan jalan. Berdasarkan gambar diperoleh bahwa material pada pondasi bawah pada perkerasan lentur yang buruk didukung dengan keadaan cuaca dan keadaan pada saat pengerjaan dapat menimbulkan kerusakan prematur pada jalan, hal ini yang mengakibatkan umur jalan tidak sesuai dengan perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Adlinge, S., S., & Gupta, A., K. (2013). Pevement Deterioration and its Causes. Journal of Mechanical & Civil Engineering. Second International Conference on Emerging trends in Engineering, p. 9 – 15.
5.1. Kesimpulan Dari uraian artikel diatas dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1. Pekerjaan konstruksi jalan yang baik dapat dihasilkan dari penggunaan material dan peralatan yang sesuai dengan persyaratan, tetapi kondisi muka air tanah harus dipastikan berada diluar elevasi terendah dari lapisan subgrade. 2. Kesesuaian bahan dan alat harus dikerjakan mengikuti standard operasional prosedur pelaksanaan pekerjaan. 1 - 38
JURNAL INFRASTRUKTUR
Direktorat Jenderal Bina Marga. (2006). Manual Pekerjaan Lapis Pondasi Jalan 002-01/ BM/2006, Direktorat Jenderal Direktorat Jenderal Bina Marga. (2011). Dokumen Pelelangan Nasional Pekerjaan Jasa Pelaksananan Konstruksi (Pemborongan) Untuk kontrak Harga Satuan, BAB VII Spesifikasi Umum Divisi 5 Perkerasan Berbutir. Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta.
Aly, A. (2006). Air dan Bencana Bagi Konstruksi Jalan. Majalah Teknik Jalan dan Transportasi, No.107, Tahun XXV, hal. 40-43, Jakarta. Ankit, G., Kumar, P., & Rastogi, R. (2012). Proceeding, 8th International Conference on Managing Pavement Assets: Effect of Environmental Factors on Flexible Pavement Performance Modeling. Santiago, Chile, November 15-19.
Vol. 2 No. 01 April 2017
Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen Pekerjaan Umum (PU). (2005). Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan. Bandung: Pusat Litbang Prasarana Transportasi. Departemen Transportasi Jalan Raya Honolulu. (2002). Manual Desain Perkerasan. Honolulu. Honolulu. p.8. Dirjen Bina Marga, 2010, Statistik Jalan Nasional dan Propinsi. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Elbheiry, M., Khaled, A. Kandil, & Akram, S., Kotb. Invetigation of Factors Affecting Pevement Roughness. Engineering Research Journal, 132 (December 2011) C1 – C13. Mulyono, A.T., 2007. Variabel Pengaruh yang Dominan terhadap Subsistem Input Pemberlakuan Standar Mutu Perkerasan Jalan, Media Komunikasi Teknik Sipil, Tahun 15, No. 2, hal. 117-136, BMPTTSSI-PII, Semarang. Mulyono, A.T., & Suraji, A. (2005). Prosiding pada Peringatan 25 Tahun Pendidikan MRK di: Indonesia Pemodelan Monitoring dan Evaluasi Pemberlakuan Standar Mutu Jalan Raya. Bandung: ITB. Mulyono, A.T, (2007), Model Monitoring dan Evaluasi Pemberlakuan Standar Mutu Perkerasan Jalan Berbasis Pendekatan Sistemik (Disertasi S3, Universitas Diponegoro, 2007). Okigo, N. (2012). Causes of Highway Failures in Nigeria. International Journal of Engineering Science and Technology, 4(11), 4695 – 4703. Soenarno, (2006), Pengembangan Bahan dan Peralatan Konstruksi, Majalah Teknik Jalan dan Transportasi, No.107, Tahun XXV, hal. 60-64, Jakarta. Sukirman, S. (1999). Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung Indonesia. Visintine, B., A., Gary, R., H., Cheng, D., Elkins, G., E., & Groeger, J. (2015). Proceeding 9th International Conference on Managing Pavement Assets: Factors Affecting the Performance of Pavement Preservation Treatments. Washington, D.C.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 39
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS KORELASI MATURITAS MANAJEMEN RISIKO UNTUK ORGANISASI PUBLIK PENGGUNA JASA DAN KINERJA Virgeovani Hermawan1 Andreas Wibowo2 Mahasiswa Magister Manajemen Konstruksi1, Peneliti Utama2 1 Universitas Katolik Parahyangan 2 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected],
[email protected] Abstract Construction activity is an activity that is different from the activities performed in other industries, so that the more risky construction projects. Risk management has a very important role in the course of a construction project, because it will determine whether the project is having problems, failures and successes. Maturity of risk management in an organization has an important role to the success of the project. In an effort to determine the successful implementation of risk management maturity of an organization it is necessary to measure the maturity assessment or risk management. In addition, correlation risk and performance management maturity is still little researched, especially in government organizations. The purpose of this study was to determine the correlation between the maturity of risk management and performance have been applied to the service user organizations, especially construction unit construction work related to government organizations (Ministry PUPR). The method used is descriptive analysis by measuring and analyzing the correlation test using SPSS 20. Based on the analysis that has been done, there is no statistically significant correlation risk management maturity and performance, but if the analysis of correlation test deeper then there is a correlation between the maturity criteria of organizational culture with the performance criteria of budget absorption, but its nature is very weak. Keywords: correlation, risk management maturity, performance Abstrak Kegiatan konstruksi merupakan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada industri lainnya, sehingga proyek konstruksi lebih berisiko. Manajemen risiko mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan suatu proyek konstruksi, karena hal tersebut akan menentukan apakah proyek tersebut mengalami masalah, kegagalan dan keberhasilan. Tingkat maturitas manajemen risiko pada suatu organisasi mempunyai peran yang penting terhadap keberhasilan proyek. Dalam usaha mengetahui keberhasilan penerapan dari maturitas manajemen risiko pada suatu organisasi maka perlu dilakukan penilaian atau pengukuran maturitas manajemen risiko. Selain itu, korelasi maturitas manajemen risiko dan kinerja masih sedikit di teliti khususnya pada organisasi pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara maturitas manajemen risiko dan kinerja yang telah diterapkan pada organisasi pengguna jasa konstruksi khususnya satuan kerja terkait konstruksi pada organisasi pemerintah (Kementerian PUPR). Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan melakukan pengukuran dan analisis uji korelasi menggunakan bantuan software SPSS 20.Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, secara statistik tidak terdapat korelasi maturitas manajemen risiko dan kinerja, tetapi jika di analisis uji korelasi yang lebih mendalam maka terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran, namun sifatnya sangat lemah. Kata Kunci: korelasi, maturitas manajemen risiko, kinerja
1 - 40
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Proyek konstruksi merupakan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada industri lainnya, sehingga proyek konstruksi lebih berisiko. Proyek adalah kegiatan sementara yang dilakukan untuk menghasilkan produk yang unik, layanan atau hasil (Project Management Institute (PMI), 2013). Proyek konstruksi identik dengan banyaknya kegiatan/item pekerjaan, tingginya tingkat kesulitan, berbagai ketidakpastian, banyak jalur komunikasi dan terbatasnya sumber daya (Suanda, 2011). Proyek konstruksi sarat dengan risiko dan ketidakpastian. Proyek tidak bisa terlepas dari risiko (Wijaya, 2013). Risiko adalah bagian penting dari bisnis karena perusahaan tidak dapat beroperasi tanpa mengambil risiko (Fadun, 2013). Oleh karena itu diperlukan suatu kemampuan untuk dapat mengantisipasi setiap perubahan dan ketidakpastian yang sedang terjadi maupun yang akan terjadi di industri konstruksi (Taufik, 2015). Manajemen risiko mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan suatu proyek konstruksi, karena hal tersebut akan menentukan apakah proyek tersebut mengalami masalah, kegagalan dan keberhasilan. Manajemen risiko merupakan salah satu faktor kesuksesan dalam menjamin pencapaian tujuan dari suatu proyek untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Wijaya, 2013). Dalam menerapkan maturitas manajemen risiko, maka setiap elemen dalam suatu organisasi telah memahami dan menerapkan manajemen risiko pada setiap tahapan pekerjaan yang terkait dengan proyek konstruksi. Menurut Hillson (1997), untuk mengetahui, menetapkan, dan meningkatkan proses pelaksanaan manajemen risiko pada suatu organisasi diperlukan suatu proses pengukuran tingkat maturitas (maturity assessment). Organisasi pemilik proyek (pengguna jasa) pemerintah mempunyai share yang signifikan dalam pasar konstruksi nasional dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah yang terbesar. Korelasi maturitas manajemen risiko organisasi pengguna jasa dan kinerja, dalam hal ini Kementerian PUPR, belum pernah diteliti sebelumnya untuk konteks Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasinya maturitas manajemen risiko dan kinerja yang telah diterapkan pada organisasi pengguna jasa konstruksi khususnya organisasi pemerintah. Hasil penelitian ini yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi terhadap maturitas manajemen risiko dan kinerja yang telah diterapkan pada organisasi pengguna jasa konstruksi di instansi pemerintah. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Maturitas Manajemen Risiko
Maturitas (maturity) adalah tingkat perkembangan kemampuan organisasi yang mempresentasikan tingkat keefektifan dan keefisiensian proses kerja organisasi (Risk and Insurace Management Society (RIMS), 2012). Dalam menghadapi risiko dan ketidakpastian yang sedang dan akan terjadi pada saat pencapaian tujuan organisasi, maka diperlukan maturitas manajemen risiko dalam menghadapi permasalahan pada organisasi tersebut. Penerapan model maturitas dapat membantu organisasi dalam upaya penerapan manajemen risiko secara formal dan meningkatkan proses pelaksanaan eksisting, akan tetapi bagaimanakah model maturitas tersebut dapat diaplikasikan untuk maksud tersebut (Hillson 1997). Hilson (1997) merupakan seorang penemu pertama yang menciptakan Risk Maturity Model (RMM), model ini kemudian berkembang menjadi berbagai model maturitas lainnya. RMM disusun untuk membantu organisasi yang ingin mengimplementasikan pendekatan manajemen risiko secara formal untuk meningkatkan proses pelaksanaan manajemen yang ada. RMM mempunyai tujuan untuk menyediakan framework yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan manajemen risiko. Selain itu, model ini dapat membantu menilai tingkat maturitas risiko yang ada, mengidentifikasi target perbaikan, dan untuk menyediakan skema startegi dalam upaya peningkatan dan pengembangan menuju level maturitas/maturitas pada tahap berikutnya. RMM mempunyai empat tingkatan/level (Hillson, 1997): A. Tingkat pertama – Naif (Naive, lv.1), menggambarkan tingkat ini sebagai kondisi di mana organisasi belum menyadari akan manfaat dari manajemen risiko dan tidak memiliki pendekatan yang terstruktur dalam menangani risiko. B. Tingkat kedua – Pemula (Novice, lv.2), menggambarkan pada tingkat ini organisasi telah bereksperimen dalam pelaksanaan manajemen risiko, walaupun tidak konsisten dan masih belum mengikuti standar proses manajemen risiko. C. Tingkat ketiga – Membiasakan (Normalised, lv3), menggambarkan sebagai kondisi di mana organisasi telah melaksanakan proses manajemen risiko secara formal pada setiap kegiatannya, dengan menggunakan sistem manajemen risiko yang umum digunakan. D. Tingkat keempat – Sudah Terbiasa (Natural, lv.4), menggambarkan organisasi telah memiliki budaya peduli risiko dengan pendekatan manajemen risiko yang proaktif pada semua proyek dan kegiatan organisasi. Penelitian Taufik (2015) dilakukan dengan membuat model pengukuran tingkat maturitas manajemen risiko pada organisasi pemerintah. Tingkat maturitas terdiri dari 4 tingkatan yang merupakan hasil modifikasi dari tingkat maturitas pada penelitian JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 41
Vol. 2 No. 01 April 2017
Hillson (1997) yang telah disesuaikan dengan keadaan organisasi pemerintah di Indonesia. Penilaian dan tingkatan maturitas manajemen risiko yang telah dijelaskan sebelumnya dibagi menjadi empat tingkatan di mana rentang nilai maturitasnya dimulai dari nol (0) hingga 100. Selain itu, Taufik (2015) juga telah menghasilkan empat kriteria maturitas manajemen risiko yaitu budaya organisasi, proses manajemen risiko, sumber daya manajemen risiko dan pelaksanaan manajemen risiko. 2.2. Pengertian Kinerja Dalam mencapai suatu tujuan dari suatu organisasi maka akan diperlukan kinerja dari setiap elemen yang terlibat dalam organisasi tersebut. Menurut Bernardin dan Russel dalam Ruky (2002), kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama kurun waktu tertentu. Kinerja adalah pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu (Simanjuntak, 2005). Dengan kinerja yang baik maka suatu organisasi dapat berjalan dan mencapai tujuan secara optimal. Dalam usaha mencapai tujuan dari organisasi maka karyawan perlu diberikan acuan dalam bekerja sehingga tujuan yang ingin dicapai menjadi lebih terarah. Selain itu, dari sudut pandang kegunaan kinerja, menurut Siagian (2002), menjelaskan bahwa bagi individu penilaian kinerja berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur rencana dan pengembangan karirnya. Bagi organisasi penilaian sangat berperan penting dalam kaitannya mengevaluasi kinerja organisasi dan pengambilan keputusan yang penting dan strategis dalam usaha meningkatkan kemajuan dan mencapai tujuan organisasi tersebut. Bila penilaian telah dilakukan secara obyektif, maka hasil dari evaluasi tersebut akan memberikan sisi positif untuk dapat melakukan perbaikan terhadap kekurangan yang ada pada organisasi secara kontinu. Pengukuran kinerja dalam kegiatan proyek konstruksi dapat dilihat dari empat faktor penting yaitu ruang lingkup, jadwal, biaya, dan kualitas (Project Management Institute (PMI), 2013). Keempat faktor tersebut sangat berpengaruh dalam pelaksanaan proyek konstruksi di lapangan mencapai tujuan akhir dan mempunyai kinerja baik. 2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu tentang maturitas manajemen dan korelasinya dengan kinerja telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Wijaya (2013) melakukan penelitian hubungan antara tingkat maturitas manajemen risiko, kompleksitas proyek, dan kinerja perusahaan ditinjau dari perspektif kontinjensi. Pada penelitian ini menggunakan responden yaitu praktisi yang merepresentasikan perusahaan yang ada di Indonesia berjumlah 130 responden 1 - 42
JURNAL INFRASTRUKTUR
dengan teknik sampling. Wijaya (2013), menjelaskan untuk mengetahui tingkat maturitas manajemen risiko proyek dan level kompleksitas proyek telah berhasil dikembangkan dan diuji lebih lanjut dengan metode analisis faktor konfirmator serta telah melewati uji validitas dan reliabilitas. Semakin tinggi level maturitas manajemen risiko proyek maka semakin tinggi kinerja perusahaan. Selain itu, terdapat efek moderasi yang terbentuk antara level kedewasaan manajemen risiko proyek terhadap kinerja perusahaan dengan kompleksitas proyek sebagai variabel moderasi. Selain itu, Dwiandari (2016), telah melakukan penelitian korelasi antara manajemen proyek dan kinerja pada unit organisasi pengguna yang menghasilkan kesimpulan bahwa pencapaian kinerja pada unit organisasi pengguna bersifat mutlak, entah itu dipengaruhi oleh maturitas manajemen proyek ataupun tidak. 3. METODE PENELITIAN Responden yang dilibatkan pada penelitian ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian PUPR yang telah bekerja lebih dari dua tahun. Responden tersebut telah bekerja pada satuan kerja yang sangat erat dengan kegiatan kesatkeran konstruksi infrastruktur di Kementerian PUPR. Penyebaran kuesioner dilakukan mulai dari Maret sampai dengan Juli 2016. Responden yang terlibat dalam penelitian ini berasal dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Jenderal Cipta karya, Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, dan Inspektorat Jenderal, sehingga semuanya berjumlah 65 orang responden. Analisis korelasi dilakukan pada penelitian ini untuk mengetahui korelasi antara maturitas manajemen risiko organisasi publik pengguna jasa (X) dengan kinerja (Y). Kriteria maturitas manajemen risiko adalah budaya organisasi, proses manajemen risiko, sumber daya manajemen risiko dan pelaksanaan manajemen risiko. Kriteria kinerja adalah penyerapan, keterlambatan, perubahan lingkup kerja, dan kualitas pekerjaan. Analisis korelasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS 20. Selain itu, analisis korelasi dilakukan pada setiap kriteria pada maturitas dan kriteria pada kinerja, sehingga dapat diketahui hubungan antara kriteria maturitas dengan kinerja, maturitas dengan kriteria kinerja dan antara kiteria maturitas dengan kriteria kinerja. Analisis korelasi yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Hipotesa yang dibangun pada penelitian ini adalah: A. H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja organisasi. B. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja. Menurut Sujarweni (2015), nilai korelasi antara dua
Vol. 2 No. 01 April 2017
variabel yaitu variabel (X) dan (Y) dapat dilihat pada nilai signifikan, dengan syarat:
B. 0,21 sampai 0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah.
A. Jika sig. > 0,05 maka H0 diterima artinya tidak terdapat hubungan.
C. 0,41 sampai 0,70 berarti korelasi memiliki keeratan kuat.
B. Jika sig. < 0,05 maka H0 ditolak artinya terdapat hubungan.
D. 0,71 sampai 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat.
Menurut Sujarweni (2015), Selain itu, sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
E. 0,91 sampai 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan kuat sekali
A. 0,00 sampai 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah.
F. 1,00 berarti korelasi memiliki keeratan sempurna. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Maturitas Manajemen Risiko dan Kinerja Korelasi
Hipotesis
Pearson
Nilai Sig
Keputusan
0,034
0,790
Ho diterima
0,242
0,052
Ho diterima
0,040
0,751
Ho diterima
-0,072
0,570
Ho diterima
-0,075
0,552
Ho diterima
0,141
0,264
Ho diterima
-0,017
0,895
Ho diterima
H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas
X–Y
manajemen risiko dan kinerja . H1 : Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas
X1 – Y
budaya organisasi dan kinerja. H1 : Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kinerja. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas
X2 – Y
proses manajemen risiko dan kinerja. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas
X3 – Y
sumber daya manajemen risiko dan kinerja. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kinerja. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas
X4 – Y
pelaksanaan manajemen risiko dan kinerja. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kinerja. H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan
X – Y1
anggaran. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan anggaran. H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja
X – Y2
keterlambatan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja keterlambatan.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 43
Vol. 2 No. 01 April 2017 Korelasi
Hipotesis
Pearson
Nilai Sig
Keputusan
0,018
0,884
Ho diterima
-0,103
0,415
Ho diterima
0,255
0,041
Ho ditolak
0,151
0,229
Ho diterima
0,065
0,610
Ho diterima
0,071
0,574
Ho diterima
0,210
0,093
Ho diterima
H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja perubahan
X – Y3
lingkup kerja. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja perubahan lingkup kerja. H0: Tidak terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja kualitas
X – Y4
pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja penyerapan
X1 – Y1
anggaran. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja penyerapan anggaran. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja
X1 – Y2
keterlambatan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja keterlambatan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja perubahan
X1 – Y3
lingkup pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja kualitas
X1 – Y4
pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja
X2 – Y1
penyerapan anggaran.. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan anggaran.
1 - 44
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017 Korelasi
Hipotesis
Pearson
Nilai Sig
Keputusan
0,065
0,610
Ho diterima
0,071
0,574
Ho diterima
0,210
0,093
Ho diterima
-0,021
0,869
Ho diterima
-0,031
0,809
Ho diterima
-0,120
0,342
Ho diterima
-0,004
0,976
Ho diterima
H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja perubahan
X1 – Y3
lingkup pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja kualitas
X1 – Y4
pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara tingkat kriteria maturitas budaya organisasi dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja
X2 – Y1
penyerapan anggaran.. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan anggaran. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja
X2 – Y2
keterlambatan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja keterlambatan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja
X2 – Y3
perubahan lingkup pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja
X2 – Y4
kualitas pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas proses manajemen risiko dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria
X3 – Y1
kinerja penyerapan anggaran. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan anggaran.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 45
Vol. 2 No. 01 April 2017 Korelasi
Hipotesis
Pearson
Nilai Sig
Keputusan
-0,102
0,417
Ho diterima
0,063
0,617
Ho diterima
-0,141
0,262
Ho diterima
0,039
0,759
Ho diterima
-0,073
0,561
Ho diterima
-0,030
0,812
Ho diterima
-0,149
0,236
Ho diterima
H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria
X3 – Y2
kinerja keterlambatan.. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria kinerja keterlambatan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria
X3 – Y3
kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria
X3 – Y4
kinerja kualitas pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas sumber daya manajemen risiko dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria
X4 – Y1
kinerja penyerapan anggaran. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria kinerja penyerapan anggaran. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria
X4 – Y2
kinerja keterlambatan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria kinerja keterlambatan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria
X4 – Y3
kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria kinerja perubahan lingkup pekerjaan. H0: Tidak terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria
X4 – Y4
kinerja kualitas pekerjaan. H1: Terdapat korelasi antara kriteria maturitas pelaksanaan manajemen risiko dan kriteria kinerja kualitas pekerjaan.
1 - 46
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 1 menunjukkan hasil analisis uji korelasi pearson dengan menggunakan bantuan software SPSS 20. Variabel (X) merupakan maturitas manajemen risiko dan variabel (X1, X2, X3 dan X4) adalah kriteria maturitas manajemen risiko. variabel (Y) merupakan kinerja dan variabel (Y1, Y2, Y3, dan Y4) adalah kriteria kinerja. Nilai hasil uji korelasi Pearson dan signifikasi (sig.) pada penelitian ini adalah 0,034 dan 0,790. Nilai koefisien korelasi antara maturitas manajemen risiko dengan kinerja sebesar 0,034 berarti korelasi keeratan sangat lemah. Nilai sig. 0,790 > 0,05, maka menghasilkan keputusan H0 diterima dan H1 ditolak, artinya korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja tidak signifikan secara statistik. Selain itu, analisis korelasi juga dilakukan juga antara kriteria maturitas dengan kinerja, antara maturitas dengan kriteria kinerja, dan antara tiap kriteria maturitas dengan kriteria kinerja. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar nilai sig. nya > 0,50, sehingga menghasilkan keputusan H0 diterima dan H1 ditolak. Temuan pada penelitian ini dengan sendirinya sejalan dengan Dwiandari (2016), bahwa pencapaian kinerja pada unit organisasi pengguna bersifat mutlak, entah itu dipengaruhi oleh maturitas manajemen proyek ataupun tidak. Dari sekian banyak kriteria maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja yang diuji korelasinya terdapat satu korelasi kriteria maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja yaitu antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran dengan nilai koefesien sebesar 0,255 dan nilai sig. sebesar 0,041. Meski secara statistik signifikan, koefisien korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran dinyatakan sangat lemah. Temuan tersebut menunjukkan bahwa adanya budaya organisasi Kementerian PUPR yang berkontribusi bagi baiknya penyerapan anggaran. Hal ini menjadi salah satu bukti dengan menerapkan budaya organisasi yang efektif dan efesien, serta selalu mengevaluasinya akan mempengaruhi kinerja dari organisasi tersebut. Menurut Siagian (2002), bagi organisasi penilaian sangat berperan penting dalam kaitannya mengevaluasi kinerja organisasi dan pengambilan keputusan yang penting dan strategis dalam usaha meningkatkan kemajuan dan mencapai tujuan organisasi tersebut. Bila penilaian telah dilakukan secara obyektif, maka hasil dari evaluasi tersebut akan memberikan sisi positif untuk dapat melakukan perbaikan terhadap kekurangan yang ada pada organisasi secara kontinu. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil uji korelasi yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi antara tingkat maturitas manajemen risiko dan kinerja tidak signifikan secara statistik. 2. Dari sekian kriteria maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja yang diuji korelasinya terdapat satu korelasi kriteria maturitas manajemen risiko dan kriteria kinerja yaitu antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran dengan nilai koefesien sebesar 0,255 dan nilai sig. sebesar 0,041. Meski secara statistik signifikan, koefisien korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran dinyatakan sangat lemah. 5.2. Saran Penelitian ini masih belum sempurna dan memiliki beberapa keterbatasan akibat dari jumlah responden, cakupan responden kurang luas, dan keterbatasan data. Studi ini juga masih dapat dikembangkan dalam menentukan faktor lain di luar penelitian ini yang sangat mempengaruhi korelasi antara maturitas manajemen risiko dan kinerja. DAFTAR PUSTAKA Dwiandari, Veronica. (2016), “Mengukur Level Maturitas Manajemen Proyek Dan Korelasinya Terhadap Kinerja Pada unit Organisasi Pengguna”. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Fadun, Olajide Solomon. (2013). “Risk management and Risk Management Failure: Lesson for Business Enterprises’’. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences. February 2013, Vol 3, No. 2. ISSN:2222-6990. http://www.hmars.com/ journals. Hillson, D.A. (1997), ”Toward a risk maturity model” International Journal of Project & Bussiness Risk Management, Vol. 1, No. 1, 35-45. Project Management Institute. (2013), “Project Management Body of Knowledge 5th Edition”, Amerika. Risk and Insurace Management Society (RIMS) Org. (2012). “RIMS Risk Maturity Model (RMM) for Enterprise Risk Management”. Risk and Insurance Management Society Inc. https://www. rims.org/Pages/Default.aspx. Diakses pada 10 September 2015.
5.1. Kesimpulan
Ruky, Ahmad. (2002). “Sistem Manajemen Kinerja”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan,
Siagian, Sondang. (2002), “Manajemen SDM”. JaJURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 47
Vol. 2 No. 01 April 2017
karta : Bumi Aksara. Simanjuntak, Payaman J. (2005), “Manajemen dan Evaluasi Kerja”. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Suanda, B. (2011),”Penyelesaian Masalah Rumit di Proyek”, (Online), (http://manajemenproyekindonesia.com/?m=201111, diakses 28 April 2014). Sujarweni, V. Wiratna (2015),”SPSS untuk Penelitian”. Pustaka Baru Press. Bantul, Yogyakarta. Taufik, Januar. (2015), “Model Asesmen Maturitas Manajemen Risiko Untuk Organisasi Pengguna Jasa Konstruksi Pemerintah”. Program Pascasarjana Teknik Sipil. Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung. Wijaya, Deo Fani Nur. (2013). “Hubungan Antara Level Kedewasaan Manajemen Risiko, Kompleksitas Proyek, Dan Kinerja Perusahaan ditinjau Dan Perspektif kontinjensi”. Tesis. Program Pascasarjana Teknik Industri. Jurusan Teknik Mesin Dan Industri. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
1 - 48
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB CALON PENYEDIA JASA MELAKUKAN PENDAFTARAN LELANG TETAPI TIDAK MELANJUTKAN MEMASUKAN DOKUMEN PENAWARAN PADA PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH Syafran Noferi1 Andreas Wibowo2 Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi1, Peneliti Utama2 1 Universitas Katolik Parahyangan 2 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The procurement for goods and services based on Presidential Regulation No. 4 2015 ,must be undertaken in efficient, effective, transparent, open, competitive, fair and accountable. However practice often suggest that some problems in the procurement of goods and services. One of them is that there are many service providers who register auction at a work package but only a few are continuing to bid submission. The research objective is to identify and analyze the factors that cause prospective service providers to register the auction but did not enter the bidding documents. A total of 21 and 58 attributes were first identified based on the literature review for these two decisions, respectively. The method used in this study is a survey method by distributing questionnaires to the service providers qualified construction of small and non-small in Bangka Belitung Province. The total sample consisted of 97 respondents. Data were analyzed by using factor analysis. The results of the factor analysis service providers registering candidates consists of three factors in the order (1) Gain prospective service providers, the weight of 4.18 (2) Laws and regulations, weighs 3.63 (3) Luck, a weight of 2.38. While the analysis of factors prospective service providers do not bid submission consisted of 5 factors in the order (1) time and job information, weighting 3.98 (2) The ability of service providers, weighs 3.25 (3) The auction process and conspiracy, weight 3,23 (4) others, the weight of 3,18 (5) Administration and LPSE, a weight of 3.11. Keywords: e-procurement, registered but-not- submitting attributes, factor analysis Abstrak Prinsip-prinsip E-Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor. 4 Tahun 2015 adalah efesien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Meski demikian kejadian yang sering terjadi adalah ditemukannya beberapa masalah dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satunya adalah terdapat banyak penyedia jasa yang melakukan pendaftaran lelang pada suatu paket pekerjaan tetapi hanya sedikit yang melanjutkan sampai ke pemasukan penawaran. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang tetapi tidak memasukan dokumen penawaran. Berdasarkan identifikasi dari penelitian yang relevan terdapat 21 variabel yang menyebabkan calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang dan 58 variabel yang menyebabkan calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan cara menyebarkan kuesioner kepada penyedia jasa kontruksi kualifikasi kecil dan non kecil yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jumlah sampel terdiri dari 97 responden. Data kemudian dianalisa dengan menggunakan analisis faktor. Hasil analisis faktor calon penyedia jasa melakukan pendaftaran terdiri dari 3 faktor dengan urutan (1) Keuntungan calon penyedia jasa, bobot 4,18 (2) Hukum dan peraturan, bobot 3,63 (3) Keberuntungan, bobot 2,38. Sementara analisis faktor calon penyedia jasa tidak melakukan pemasukan penawaran terdiri 5 faktor dengan urutan (1) waktu dan informasi pekerjaan, bobot 3,98 (2) Kemampuan penyedia jasa, bobot 3,25 (3) Proses lelang dan pesekongkolan, bobot 3,23 (4) lain-lain, bobot 3,18 (5) Administrasi pelelalngan dan LPSE, bobot 3,11. Kata Kunci: e-procurement, mendaftar tapi tidak menawar, analisis faktor
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 49
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Prinsip-prinsip E-Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor. 4 Tahun 2015 adalah efesien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Meski demikian kejadian yang sering terjadi adalah ditemukannya beberapa masalah dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satunya adalah terdapat banyak penyedia jasa yang melakukan pendaftaran lelang pada suatu paket pekerjaan tetapi hanya sedikit yang melanjutkan sampai ke pemasukan penawaran. Berdasarkan data dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di provinsi kepulauan Bangka Belitung dari tahun 2011 sampai 2015 bahwa rasio antara penyedia jasa yang melakukan pendaftaran lelang dengan penyedia jasa yang melakukan pemasukan penawaran berkisar antara 18,72% sampai dengan 23,72 % saja. Sedikitnya jumlah penawaran yang masuk justru akan mengurangi tingkat persaingan pelelangan, sehingga Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (POKJA ULP) akan sulit mendapatkan alternatif penawaran yang benar-benar kompetitif, apalagi jika dikaitkan dengan sistem pelelangan yang berlaku. Dalam sistem pelelangan di Indonesia yang menggunakan evaluasi sistem gugur dengan evaluasi harga terendah tentunya diharapkan diperoleh harga penawaran yang serendah mungkin yang sama atau lebih rendah dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Berdasarkan data pengadaan berbasis elektronik penuh (full e-procurement) di Provinsi Bangka Belitung dari tahun 2011 sampai 2015 telah dikontrakkan 147 paket pekerjaan di sektor kebinamargaan dengan nilai mencapai Rp. 1.16 triliun yang dibiayai APBN dan APBD. Rasio antara harga penawaran dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) antara 0,80 sampai 0,99. Rasio tersebut masih dianggap di luar nilai kewajaran yang diharapkan yaitu antara 0.65–0.84 (Wibowo, 2015). Untuk mendapatkan harga yang wajar dari calon penyedia jasa diperlukan iklim pelelangan yang kompetitif, di mana semua pendaftar lelang melakukan pemasukan penawaran, sehingga peluang untuk mendapatkan harga yang wajar semakin besar. Dengan demikian, kemungkinan pemerintah menikmati best value for money (i.e., mendapatkan manfaat sebesar-besarnya untuk setiap rupiah yang dikeluarkan) semakin besar untuk setiap pengadaan jasa konstruksi yang diselenggarakan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang tetapi tidak memasukan dokumen penawaran serta memberikan solusi kepada pengambil kebijakan. Sementara hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi 1 - 50
JURNAL INFRASTRUKTUR
pengembangan dan pencerahan kepada penyedia jasa konstruksi serta dapat menjadi referensi bagi para pelaku jasa konstruksi dan memberikan masukan kepada pengambil kebijakan dalam memperbaiki sistem pelelangan secara elektronik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya dan di Indonesia umumnya. Secara teoretis, penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan dalam memerkaya body of literature tentang pengadaan publik di Indonesia yang spesifik dan relatif terbatas. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem E-Procurement E-procurement merupakan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi akan lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barang dan jasa, karena penyedia jasa tidak perlu lagi datang ke kelompok kerja pejabat pengadaan dan cukup dengan melihat ke website yang mengadakan pelelangan secara elektronik dan mendaftar secara on-line (Sutedi, 2012). Dasar hukum pelaksanaan e-procurement adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasnsaksi Elektonik. Proses Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah secara elektronik ini diharapkan akan lebih meningkatkan dan menjamin terjadinya efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pembelanjaan uang negara. Selain itu, proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara elektronik ini juga dapat lebih menjamin tersedianya informasi yang real time , kesempatan usaha, serta mendorong terjadinya persaingan yang sehat dan terwujudnya keadilan (non discriminative) bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang Pengadaan Barang/Jasa (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2011). 2.2. Skala Pengukuran Maksud dari skala pengukuran ini untuk mengklasifikasikan variabel yang akan diukur supaya tidak terjadi kesalahan dalam menentukan analisis data dan langkah penelitian selanjutnya. Jenis -jenis skala pengukran ada empat yaitu : Skala Nominal, Skala Ordinal, Skala Interval, Skala Ratio. Bentuk - bentuk skala sikap yang perlu diketahui dan sering dipergunakan dalam melakukan penelitian ada 5 macam yaitu: Skala Likert, Skala Guttman, Skala Simantict Defferensial, Rating Scale, Skala Thurstone (Sugiyono, 2011). Skala Likert yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang/kelompok tentang kejadian atau gejala sosial dimana tiap-tiap sampel mempunyai jarak (interval; Alma, 2010). Jumlah titik respon genap lebih disarankan daripada jumlah titik respon ganjil karena bias sosial
Vol. 2 No. 01 April 2017
dapat dikurangi. Bias sosial yang dimaksud adalah keinginan untuk menyenangkan interviewer atau perasaan agar dianggap penolong oleh interviewer karena mau menjadi responden. Responden akan cenderung menjawab dengan memilih netral (titik ditengah) (Garland, 1991). Sementara itu menurut Preston et al (2000) jumlah titik kurang dari 5 mempunyai kriteria yang jelek dalam hal reliabilitas, validitas, kekuatan diskriminasi dan stabilitas. 2.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas digunakan untuk menunjukkan tingkat keandalan dan kesahihan suatu alat ukur. Alat ukur yang kurang valid berarti memiliki tingkat validitas rendah.Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan sebelum penyebaran instrumen penelitian kepada seluruh responden. Untuk menguji validitas digunakan rumus Pearson Product Moment (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas merupakan uji kemantapan atau konsistensi suatu alat ukur dalam hal ini kuesioner. Kuesioner dinyatakan mantap apabila dalam pengukuran secara berulang-ulang dapat memberikan hasil yang sama (konsisten). Untuk mengukur reliabilitas kuisioner dapat menggunakan rumus Cronbach Alpha (Alma, 2010). 2.4. Analisis Faktor Analisis faktor digunakan untuk mencari faktor-faktor yang mampu menjelaskan hubungan atau korelasi antara berbagai varaibel independen yang diobservasi. Dengan demikian, variabel-variabel dalam satu faktor mempunyai korelasi yang kuat, sedangkan korelasi dengan variabel-variabel pada faktor lain relatif lemah. Tiap-tiap kelompok dari variabel mewakili suatu konstruksi dasar yang disebut faktor. Dalam analisis faktor dikenal ada dua pendekatan utama, yaitu exploratory factor analysis dan confirmatory factor analysis. Kita menggunakan exploratory factor analysis bila banyaknya faktor yang akan terbentuk tidak ditentukan terlebih dahulu, sebaliknya confirmatory factor analysis digunakan apabila faktor yang terbentuk telah ditetapkan terlebih dahulu (Yamin et al,2009) CFA memungkinkan peneliti untuk menguji hipotesis bahwa tedapat hubungan antara variabel yang diamati yang mendasari terbentuknya faktor (konstruksi laten) menggunakan pengetahuan teori, penelitian empiris, atau keduanya dan membuat pola hubungannya serta kemudian menguji hipotesis statistik. (Suhr, 2013). 3. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan melakukan identifikasi faktor-faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran dan tidak memasukan dokumen penawaran dari hasil studi pustaka dan penelitian sebelumnya. Faktor dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua kelompok yaitu faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran (Tabel 1) dan faktor penyebab calon penyedia jasa didak memasukan dokumen penawaran (Tabel 2) Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner kepada responden. Penyebaran kuesioner dilakukan secara langsung maupun melalui email kepada penyedia jasa konstruksi kualifikasi kecil dan non-kecil yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kuesioner yang dikirim langsung ke kontraktor pelaksana sebanyak 120 set dan kuesioner diisi dan dikembalikan sebanyak 68 set. Kuesioner yang dikirim melalui email menggunakan aplikasi google form sebanyak 70 dan kuesioner yang dikembalikan sebanyak 29. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner menggunakan skala likert. Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala Likert (Tabel 3), responden menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia yaitu: Kuesioner yang terkumpul dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji Validitas dilakukan dengan membandingkan korelasi antara variabel/item dengan skor total variabel dilakukan dengan mengambil sampel responden dengan signifikansi 0,05. Kriteria pengujian adalah, jika r hitung > r tabel maka instrumen dinyatakan valid dan jika r hitung < r tabel maka instrumen dinyatakan tidak valid. Uji reliabilitas pada penelitian ini digunakan koefesien Alpha Cronbach, menyatakan bahwa nilai suatu instrumen dikatakan reliabel bila nilai Alpha Cronbach ≥ 0,6 Setelah variabel dilakukan uji validitas dan reabilitas, selanjutnya dilakukan analisis faktor dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPPS) sebagai berikut (Taurano, 2013): A. Tahap awal dalam metode Analisis Faktor adalah menyusun matriks data awal. Data awal bagi penyusunan matriks diperoleh dari data kuesioner. Rekapitulasi data kuesioner disusun menjadi suatu orde matriks m x n, dimana m menunjukan jumlah responden dan n menunjukan jumlah varibel penelitian. B. Pembentukan matrik korelasi. Matriks yang memuat koefisien korelasi dari semua penelitian ini digunakan untuk mendapatkan nilai kedekatan hubungan antar variable penelitian. Nilai kedekatan ini dapat digunakan untuk melakukan beberapa pengujian untuk melihat kesesuaian dengan nilai korelasi yang diperoleh dari analisis faktor. Beberapa pengukuran yang dapat dilakukan antara lain dengan memperhatikan angka Kaiser Meyer Oikin (KMO) and Bartlet”s test dan nilai Measure of sampling Adequancy (MSA). 1. Barlett Test of Sphericity digunakan untuk mengetahui korelasi signifikan antar variable. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 51
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 1. Faktor Alasan Calon Penyedia Jasa Melakukan Pendaftaran Lelang
Tabel 2. Faktor Alasan Calon Penyedia Jasa tidak memasukan dokumen penawaran
1 - 52
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 53
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 3. Skala Jawaban dalam Kuesioner
2. Uji Keiser Meyers Oikin (KMO) bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan. Nilai KMO harus lebih besar dari 0,5 dengan signifikansi < 0,05 memberikan indikasi bahwa korelasi diantara pasangan variabel dapat dijelaskan oleh variabel lainnya, sehingga analisis faktor layak digunakan. Sebaliknya nilai KMO yang lebih kecil dari 0,5 memberikan indikasi bahwa korelasi diantara pasangan-pasangan variabel tidak dapat dijelaskan oleh variabel lainnya sehingga analisis faktor tidak layak digunakan. 3. Measure of Sampling Adequancy (MSA) bertujuan untuk menentukan apakah proses pengambilan sampel telah memadai atau tidak. Menurut Santoso (2012) angka MSA berkisar antara 0 sampai dengan 1, dengan kriteria yang digunakan untuk interpretasi adalah sebagai berikut: a. Jika MSA = 1, maka variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel yang lainnya. b. Jika MSA lebih besar dari setengah (>0,5) maka variabel tersebut masih dapat diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut. c. Jika MSA lebih kecil dari setengah ( < 0,5 ) 1 - 54
JURNAL INFRASTRUKTUR
dan atau mendekati nol (0), maka variabel tersebut tidak dapat di analisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari variabel lainnya C. Ekstraksi variabel. Setelah sejumlah variabel terpilih maka dilakukan ekstraksi terhadap variabelvariabel tersebut sehingga terbentuk beberapa kelompok faktor. Metode yang digunakan adalah Principal Component Analysis (PCA). Penentuan terbentuknya jumlah kelompok faktor dilakukan dengan melihat nilai eigen (Eigenvalue) yang menyatakan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varian dari variabelvariabel yang dianalisis. Eigenvalue di bawah 1 tidak dapat digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk. D. Rotasi faktor. Setelah faktor-faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi sejumlah variabel , mungkin saja sebuah variabel sulit untuk ditentukan akan masuk ke dalam faktor yang mana. Jika yang terbentuk dari proses factoring hanya satu faktor, bisa saja sebuah variabel diragukan apakah layak dimasukkan dalam faktor yang terbentuk atau tidak. Untuk mengatasi hal tersebut, bisa dilakukan proses rotasi pada faktor yang terbentuk, sehingga memperjelas posisi sebuah variabel, apakah dimasukkan pada faktor yang satu atau kefaktor lainnya. Beberapa metode rotasi yang popular dilakukan: d. Orthogonal Rotation, yakni memutar sumbu 90°. Proses rotasi dengan metode orthogonal masih bisa dibedakan menjadi: Quartimax,Varimax dan Equimax. e. Oblique Rotation, yakni memutar sumbu ke kanan, namun tidak harus 90°. Poroses rotasi dengan metode oblique masih bisa dibedakan menjadi oblimin, promax, orthoblique dan lainnya.
Vol. 2 No. 01 April 2017
Metode varimax adalah metode yang paling sering digunakan dalam praktik. Angka loading faktor menunjukkan besar korelasi antara suatu variabel dengan faktor-faktor yang terbentuk. Proses penentuan variabel mana akan masuk ke faktor yang mana dilakukan dengan melakukan perbandingan besar korelasi antara variabel dengan faktor yang terbentuk. Variabel dengan faktor loading di bawah 0,5 dikeluarkan dari model.
penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang terdapat 5 variabel yang tidak valid yaitu A1, A3, A12, A13 dan A14 dengan nilai r 0,101, 0,168, 0,062, 0,167, dan 0,05, karena nilai r hitung lebih kecil dari nila r tabel. Hasil uji validiitas faktor faktor penyebab calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran terdapat 4 variabel yang tidak valid yaitu B2, B4, B47 dan B52 dengan nilai r 0,199, 0,180, 0,074, dan 0,080.
E. Penamaan faktor. Faktor yang terbentuk. diberikan nama-nama berdasarkan faktor loading suatu variabel terhadap faktor terbentuknya. Dengan demikian diperoleh beberapa faktor baru dari variabel-variabel yang ada.
Hasil uji reliabilitas faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang terdapat 2 variabel yang tidak valid yaitu A4 dan A5 dengan nilai r 0,115 dan 0,106. Hasil uji reliabilitas faktor penyebab calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran terdapat 2 variabel yang tidak reliabel yaitu B6 dan B46 dengan nilai r 0,180, 0,183.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. KMO and Bartlett’s Test
4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dilakukan terhadapl 97 sampel responden. Dengan tingkat signifikansi 0,05 n=97 didapatkan r tabel sebesar 0,1975. Hasil uji validiitas faktor
Tabel 5. Total Variance Explained
Tabel 6. Rotated Component Matrix
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 55
Vol. 2 No. 01 April 2017
4.2. Analisis Faktor Penyebab Calon Penyedia Jasa Melakukan Pendaftaran Lelang Jumlah variabel yang lolos uji validitas dan reliabilitas sebanyak 14. Selanjutnya dilakukan uji KaiserMeyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA) . Hasil komputasi menunjukan nilai KMO MSA sebesar 0,706 dengan signifikansi 0,000. Nilai MSA 0,706 lebih besar dari 0,5 maka variabel yang ada dapat dianalisis lebih lanjut. Hasil komputasi KMO MSA dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Dari hasil ektraksi variabel terbentuk 3 faktor, hal ini diketahui melalui angka initial eigenvalues seperti tetera pada Tabel 4. Angka Initial Eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians keseluruhan variabel yang dianalisis. Component menunjukkan jumlah faktor. Jumlah faktor yang terbentuk dilihat pada angka Initial Eigenvalues terkecil yang lebih besar dari 1. Setelah jumlah faktor terbentuk telah diketahui, dilanjutkan dengan melakukan proses rotasi, hasilnya tetera pada Tabel 6. Angka-angka yang tertera pada tiap kolom component pada Tabel 6 disebut factor loading, yang menunjukkan korelasi antara suatu variabel dengan masing-masing faktor yang terbentuk. Masing-masing variabel dikelompokkan ke dalam faktor menurut angka factor loading terbesarnya. Sebagai contoh, variabel A2 mempunyai factor loading sebagai berikut: 0.583 (pada component 1), 0.159 (pada component 2) dan 0.393 (pada component 3). Factor loading terbesarnya adalah 0.583 (pada com-
ponent 1), yang berarti bahwa variabel A2 tersebut termasuk dalam kelompok component 1 (keberuntungan). Cara pengelompokkan ini berlaku juga untuk variabel-variabel yang lain. Setelah masing-masing variabel tersebut dikelompokkan ke dalam component (faktor) berdasarkan angka factor loading terbesarnya, selanjutnya dilakukan pemberian nama faktor menurut kesesuaian dengan variabel-variabel di dalamnya, sehingga didapat hasil yang ditunjukkan pada Tabel 7. Untuk mendapatkan peringkat faktor dilakukan dengan analisis deskriptif, yang dalam hal ini dihitung statistik purata (mean) dan simpangan baku (standard deviation). Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang yaitu (1) Keuntungan penyedia jasa, bobot 4,184 (2) Hukum dan peraturan, bobot 3,63 dan (3) Keberuntungan, bobot 2,379. Faktor keuntungan perusahaan di peringkat pertama. Hal ini sangat wajar kalau dilihat dari perspektif penyedia jasa karena keuntungan merupakan salah satu syarat supaya perusahaan bisa tetap beroperasi dan berkompetisi. 4.3. Analisis Faktor Penyebab Calon Penyedia Jasa Tidak Memasukan Dokumen Penawaran Jumlah variabel yang lolos uji validitas dan reliabilitas sebanyak 47. Selanjutnya dilakukan uji KaiserMeyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA) . Hasil komputasi menunjukan nilai KMO MSA sebesar 0,706 dengan signifikansi 0,000. Nilai MSA 0,760 lebih besar dari 0,5 maka variabel yang ada
Tabel 7. Pemberian Nama Faktor
1 - 56
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 8. KMO and Bartlett’s Test
yang terbentuk adalah sejumlah 5 faktor. Setelah jumlah faktor terbentuk telah diketahui, dilanjutkan dengan melakukan proses rotasi, hasilnya tetera pada Tabel 10.
Tabel 9. Total Variance Explained
dapat dianalisis lebih lanjut. Hasil komputasi KMO MSA dapat dilihat pada Tabel 8. Dari hasil ektraksi variabel terbentuk 5 faktor, hal ini diketahui melalui angka initial eigenvalues seperti tertera pada Tabel 9 Angka Initial Eigenvalues menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians keseluruhan variabel yang dianalisis. Component menunjukkan jumlah faktor. Jumlah faktor
Angka-angka yang tertera pada tiap kolom component pada Tabel 10 disebut factor loading, yang menunjukkan korelasi antara suatu variabel dengan masing-masing faktor yang terbentuk. Masingmasing variabel dikelompokkan ke dalam faktor menurut angka factor loading terbesarnya. Sebagai contoh, variabel B3 mempunyai factor loading sebagai berikut: 0,014 (pada component 1), 0.165 (pada component 2), 0,465 (pada component 3), 0,274 (pada component 4) dan 0,044 (pada comJURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 57
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 10. Rotated Component Matrix
1 - 58
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 11. Pemberian Nama Faktor
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 59
Vol. 2 No. 01 April 2017
ponent 5) . Factor loading terbesarnya adalah 0,465 (pada component 3), yang berarti bahwa variabel B3 tersebut termasuk dalam kelompok component 3 (kemampuan penyedia jasa/perusahaan). Cara pengelompokkan ini berlaku juga untuk variabelvariabel yang lain.
akhir tahun menyebabkan kesulitan dalam melakukan pembayaran untuk pekerjaan yang melakukan penambahan waktu (addendum) yang melewati tahun anggaran.
Setelah masing-masing variabel tersebut dikelompokkan ke dalam component (faktor) berdasarkan angka factor loading terbesarnya, selanjutnya dilakukan pemberian nama faktor menurut kesesuaian dengan variabel-variabel di dalamnya, sehingga didapat hasil yang ditunjukkan pada Tabel 11.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Untuk mendapatkan peringkat faktor dilakukan dengan analisis deskriptif, yang dalam hal ini dihitung statistik purata (mean) dan simpangan baku (standard deviation). Hasil analisis deskriptif menunjukan bahwa faktor penyebab calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran yaitu (1) waktu dan informasi pekerjaan, bobot 3,982 (2) kemampuan penyedia jasa, bobot 3,250, (3) proses pelelaangan dan persekongkolan, bobot 3,328, (4) lain-lain, bobot 3,177 dan (5) administrasi pelelangan dan LPSE, bobot 3,106. Faktor waktu dan informasi pekerjaan berada di peringkat pertama. Waktu pelaksanaan pekerjaan pada akhir tahun anggaran sangat mempengaruhi pada faktor ini. Hal ini disebabkan curah hujan yang tinggi pada bulan Desember menjadi kendala dalam menyelesaikan pekerjaan pada akhir tahun anggran sehingga dikhawatirkan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan melewati tahun anggaran. Sementara sistem pembayaran yang ditutup pada
1 - 60
JURNAL INFRASTRUKTUR
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: A. Hasil identifikasi faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang sebanyak 21 variabel dan calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran sebanyak 58 variabel. Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas hanya terdapat 14 calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang variabel dan 52 variabel calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran yang lolos uji. B. Hasil analisis faktor calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang menghasilkan 3 faktor dengan peringkat (1) keuntungan penyedia jasa/ perusahaan, (2) hukum dan peraturan, (3) keberuntungan. Sementara faktor yang menyebabkan calon penyedia jasa tidak melakukan pemasukan penawaran menghasilkan 5 faktor dengan peringkat (1) waktu dan informasi pekerjaan, (2) kemampuan penyedia jasa/perusahaan, (3) proses pelelangan dan persekongkolan, (4) lain-
Vol. 2 No. 01 April 2017
lain dan (5) administrasi pelelangan dan LPSE 5.2. Saran A. Penelitian ini dilakukan terhadap responden penyedia jasa pemborongan. Untuk mengetahui perbedaan variabel yang digunakan antara jasa pemborongan dan jasa konsultansi maka perlu dilakukan penelitian serupa dengan target responden penyedia jasa konsultansi. B. Dalam penelitian ini menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA). Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan kajian lebih mendalam dengan metode Confirmatory Factor Analysis (CFA). DAFTAR PUSTAKA Alma, B. (2010). Metode dan teknik menyusun tesis, Edisi Ke-8, Alfabeta, Bandung. Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Edisi Kelima, Rineka Cipta, Jakarta. Eadie, R., Perera, S., Heaney, G., dan Carlisle, J. (2007), ”Drivers and barriers to public sector e-procurement within northern ireland’s construction industry”, ITcon 12, 103-120. Garland, R. (1991). ”The mid-point on a rating scale : is it desirable?”, Marketing Bulletin Research Note, 91(2), 66-67 Julita, R., dan Soekiman, A. (2016), ”Faktor-faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran tetapi tidak melanjutkan memasukan dokumen penawaran”. Studi Independen Jurusan Manajemen Proyek Konstruksi, Universitas Parahyangan Bandung.
Rinasari (2010), ”Upaya pencegahan persekongkolan dalam proses pengadaan barang/ jasa pemerintah”, Tesis Jurusan Manajemen Proyek Konstruksi, Universitas Parahyangan Bandung. Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian.Cetakan ke -18. Bandung: Alfabeta. Suhr, D.D., (2013).”Exploratory or Confirmatory factor analysis?, Statistic and Data Analysis, Sugi 31, 1-17 Sutedi, A., (2012). ”Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya”. Sinar Grafika, Jakarta. Taurano, G.A., (2013). ”Analisis faktor penyebab klaim pada proyek konstruksi yang menggunakan FIDIC conditions of contract for plant and design build”, Tesis Jurusan Manajemen Proyek Konstruksi, Universitas Parahyangan Bandung. Wibowo, A. (2014), ”Menentukan kewajaran harga penawaran relatif terhadap Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Konferensi Nasional Teknik Sipil, 8, 253-260 Yamin, S., dan Kurniawan, H. (2009). SPSS Complete Teknik Analisis Statistik Terlengkap Dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek. Peraturan Presiden No.4 tahun 2015, Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). (2011), Majalah Pengadaan Indonesia Kredibel Edisi 01 bulan Oktober 2011–Desember 2011, (http://www.khalidmustafa.info, diakses tanggal 20 Mei 2016) Martin, J. (2008), ”Web-based electronic bidding united kingdom, practical experience”, AACE International Transactions, Proquest Science Journals, IT 03, 1-10 Maslani., dan Siswanto. (2011), ”Audit pengadaan barang/jasa: mengenal risiko penyimpangan untuk pencegahan”, Jurnal Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 1(1), 58-75. Preston, C.C., dan Colman, A.M. (2000). ”Optimal number of response categories in rating scales: reliability, validity, discriminating power, and respondent preferences. Acta Psychologica,104, 1-15
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 61
Vol. 2 No. 01 April 2017
KONSEPSI KEAMANAN BENDUNGAN DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN BENDUNGAN Joko Mulyono Teknik Pengairan Ahli Madya Balai Bendungan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Helpful dam construction to support the promotion of socio-economic status with the fulfillment of self-sufficiency, irrigation, conservation, hydropower, flood control, tourism and many other benefits. But in fact the dam also holds the potential of considerable danger if not managed properly. As mentioned in the Minister of Public Works and Housing number 27 / PRT / M / 2015, Article 2 stated that the construction of Dams and Their Management conducted based on a conception of Safety of Dams which consists of three pillars, namely: (a) security structures be safe against the failure of structural, secure against hydraulic failure, and secure against seepage failure (b) the operation, maintenance and monitoring, and (c) follow emergency preparedness. Until now it has built 214 dams that are scattered throughout Indonesia, in general terms is already above 50 years of age, which means that the service life as well as the management of the side benefit has been greatly decreased. Nawacita and in accordance with the current administration will be built as many as 65 dams, so that the dam will be built and existing ones maintained properly and not cause problems then need the right treatment based on the conception of Safety of Dams. Keywords: conceptions of safety of dams, dam development and management, hydraulic failure securing, seepage failure security, structural failure safety Abstrak Pembangunan bendungan bermanfaat untuk menunjang peningkatan status sosial ekonomi dengan pemenuhan swasembada pangan, irigasi, upaya konservasi, PLTA, pengendalian banjir, pariwisata dan banyak manfaat lain. Namun sebenarnya bendungan juga menyimpan potensi bahaya yang cukup besar jika tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 27/PRT/M/2015, pasal 2 dinyatakan bahwa Pembangunan Bendungan dan Pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan pada Konsepsi Keamanan Bendungan yang terdiri dari 3 pilar, yaitu : (a) keamanan struktur berupa aman terhadap kegagalan stuktural, aman terhadap kegagalan hidraulis, dan aman terhadap kegagalan rembesan (b) operasi, pemeliharaan dan pemantauan dan (c) kesiapsiagaan tindak darurat. Sampai saat ini telah dibangun sebanyak 213 bendungan yang tersebar diseluruh Indonesia, secara umum dari sisi usia sudah diatas 50 tahun, yang berarti masa layanan serta pengelolaan dari sisi manfaat sudah sangat menurun. Dan sesuai dengan Nawacita pemerintahan saat ini akan dibangun sebanyak 65 bendungan, maka agar bendungan yang akan dibangun maupun yang sudah ada tetap terjaga dengan baik serta tidak menimbulkan masalah maka perlu penanganan yang tepat berdasarkan Konsepsi Keamanan Bendungan. Kata Kunci: konsepsi keamanan bendungan, pembangunan dan pengelolaan dam, pengamanan kegagalan hidrolik, keamanan kegagalan rembesan, keselamatan kegagalan struktur
1 - 62
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Bendungan merupakan salah satu bangunan infrastruktur bidang sumber daya air yang penting dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Dengan tampungannya yang besar dapat mengurangi tingkat kekritisan air yang semakin terasa di berbagai daerah, saat ini di pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT ketersediaan air sudah kritis, diperparah lagi dengan kondisi iklim yang fluktuatif antara debit hujan yang besar dan air yang semakin hari semakin menurun, maka peranan infrastruktur sumber daya air semakin penting dan sangat perlu dibutuhkan. Saat ini masyarakat sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa ketersediaan sumber daya air sudah sangat kritis. Dan salah satu penanganan yang terbaik adalah dengan pendekatan struktural, yaitu membangun penampung – penampung air seperti waduk atau bendungan, yang mempunyai berbagi macam manfaat diantaranya menampung air, irigasi, air baku, tenaga listrik, pengendali banjir, perikanan, pariwisata dan konservasi. Namun selain manfaat yang besar, bendungan juga menyimpan potensi bahaya besar yang dapat mengancam kehidupan manusia dengan kerugian materiil serta jiwa manusia. Dan merupakan permasalahan klise dalam membangun sebuah bendungan adalah masalah sumber daya manusia, biaya, pembebasan tanah serta pengelolaan bendungan setelah terbagunnya bendungan. Sejak Pemerintahan Hindia Belanda sampai saat ini Pemerintah Indonesia telah membangun bendungan sebanyak 213 buah yang tersebar di seluruh Indonesia, secara umum bendungan sudah menurun dalam pemanfatannya. Sesuai program pemerintah mencanangkan pembangunan bendungan sebanyak 65 buah merupakan tantangan yang besar, Khusus pengelolaan bendungannya kurang diperhatikan dengan kata lain kita pintar membangun tapi tidak pintar merawat, sehingga tampungannya menjadi tidak maksimal dan mengurangi umur bendungan itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak terawatnya bendungan juga disebabkan oleh kurangnya dana pemeliharaan bendungan, akan tetapi dengan berjalannya waktu mulai saat ini terkait dana operasi dan pemeliharaan bendungan sudah disiapkan oleh pengelolanya pada saat awal perencanaan. Sesungguhnya bendungan telah didesain dengan aman terhadap banjir boleh jadi, aman terhadap gempa, aman terhadap rembesan. Dalam kurun waktu terjadi keruntuhan atau jebolnya bendungan terjadi karena kurang paham dan sadar, kurang peduli terhadap keamanan bendungan. Maksud dan Tujuan dari tulisan ini adalah dalam rangka memperbaiki pengelolaan bendungan yang sudah ada serta mengantisipasi rencana pembangunan bendungan baru dengan tujuan agar dalam pengelolaan bendungan mengikuti kaidah Konsepsi Keamanan Bendungan. Konsepsi Keamanan Bendungan adalah dalam rangka melindungi masyarakat dari ancaman potensi bahaya bendungan, maka pembangunan dan pengelolaan bendungan
perlu diatur secara khusus. Untuk itu Menteri Pekerjaan Umum pada tahun 1997 telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 72/ PRT/1997 tentang Keamanan Bendungan, kemudian pada tahun 2010 Pemerintah mengeluarkan : PP no. 37 tahun 2010 tentang Bendungan. Dikarenakan adanya pembatalan Undang Undang SDA tahun 2004 oleh Mahkamah Agung maka pengganti Peraturan Pemerintah telah disyahkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan yang mengatur mengenai antara lain : Pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri PUPR nomor 27/PRT/M/2015, pasal 2 dinyatakan bahwa Pembangunan Bendungan dan Pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan pada Konsepsi Keamanan Bendungan yang terdiri dari 3 pilar, yaitu : (a) keamanan struktur berupa aman terhadap kegagalan stuktural, aman terhadap kegagalan hidraulis, dan aman terhadap kegagalan rembesan (b) operasi, pemeliharaan dan pemantauan dan (c) kesiapsiagaan tindak darurat. Oleh karena itu perlu memahami Konsepsi Keamanan Bendungan, Peduli terhadap kemanan bendungan dan selalu memantau memelihara dan mengoperasikan bendungan dengan baik. 2. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi bendungan di Indonesia saat ini yang tersebar diseluruh Indonesia, secara umum dari sisi usia sudah diatas 50 tahun, yang berarti masa layanan serta pengelolaan dari sisi manfaat sudah sangat menurun. Secara garis besar dapat dikelompokkan kondisi bendungan adalah sebagai berikut : Umur bendungan banyak > 50 tahun; Kondisi dan fungsi menurun; Perencanaan & pembangunan bendungan/embung ada yg belum sesuai kaidah dan persyaratan keamanan; Alokasi anggaran OP tidak memadai; OP Bendungan belum dijadikan prioritas;SDM/Unit Pengelola tidak memadai;Rencana Tindak Darurat (RTD) tidak ada;Pelaksanaan Operasi tidak sesuai pola;Manual OP umumnya tidak tersedia; Pemeriksaan, pemantauan & evaluasi kondisi bendungan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dalam pengelolaan, agar bendungan yang akan dibangun maupun yang sudah ada tetap terjaga dengan baik serta tidak menimbulkan masalah maka perlu penanganan yang tepat berdasarkan Konsepsi Keamanan Bendungan, yang terdiri dari 3 pilar, yaitu : (a) keamanan struktur berupa aman terhadap kegagalan stuktural, aman terhadap kegagalan hidraulis, dan aman terhadap kegagalan rembesan (b) operasi, pemeliharaan dan pemantauan dan (c) kesiapsiagaan tindak darurat.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 63
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 1. Data bendungan yang sudah dibangun tiap Propinsi (milik PU maupun non PU):
Sumber: Profil Subdit. OP Bendungan dan Danau Tahun 2016 Direktorat Bina Operasi dan Pemeiharaan. Ditjen SDA
Gambar 1. Peta sebaran bendungan yang sudah dibangun sebagaimana terlampir Sumber: Profil Subdit. OP Bendungan dan Danau Tahun 2016 Direktorat Bina Operasi dan Pemeiharaan. Ditjen SDA
1 - 64
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 2 : Program Pembangunan Bendungan 2014 – 2019 di tiap pulau sebaga berikut:
Sumber : Pembangunan Bendungan 2014 - 2019, April 2016 Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Gambar 2. Total Rencana Bendungan 3. METODE PENELITIAN Sejarah pembangunan bendungan besar di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda yang diawali dengan pembangunan bendungan Nglangon di Jawa Tengah dan dilanjutkan pembangunan sampai saat ini, serta dari beberapa data yang tercatat dari beberapa sumber Sejarah Pembangunan Bendungan Indonesia yang diterbitkan Komite Nasional Indonesia untuk Bendungan Besar. Serta kajian awal dari beberapa pengamatan terjadinya kegagalan bendungan yang masih dalam ingatan seperti pada saat pembangunan pada cover dam bendungan Sempor Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah. Dan evaluasi akibat kegagalan Situ Gintung yang terletak pada anak sungai Pesanggrahan di Kampung Gintung, Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten, Kejadiannya diawali terjadinya hujan lebat pada tanggal 26 Maret
2009 dan pada tanggal 27 Maret sekitar pukul 04.30 WIB telah terjadi keruntuhan tanggul dibagian ten-
Gambar 3. Contoh Kegagalan Bendungan Situ Gintung JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 65
Vol. 2 No. 01 April 2017
gahnya berikut bangunan pelimpah, yang mengakibatkan kerusakan parah di daerah hilir dan menimbulkan banyak korban jiwa. Lebar bagian tanggul yang runtuh termasuk pelimpah sekitar kurang lebih 70 meter. Situ Gintung ini tidak dilengkapi Rencana Tindak Darurat. Dan juga ada bendungan alami Way Ella, yang terbentuk akibat adanga longsoran tebing yang mengakibatkan terbentuknya bangunan yang melintang sungai dan adanya tampungan. Pada bendungan Way Ella ini sempat mengalami kegagalan pada saat awal pembuatan spillway, akan tetapi resiko korban jiwa hanya 2 orang dan sebelumnya bendungan Way Ella sudah dilengkapi Rencana Tindak Darurat. Dari kejadian situ Gintung dan Way Ella merupakan bukti kejadian nyata. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
suk tubuh bendungan, pondasi, abutmen (bukit tumpuan) dan lereng sekeliling waduk, harus selalu aman pada: 1. semua kondisi dan kombinasi beban yang bekerja (termasuk kondisi gempa bumi dan banjir) dan 2. semua kondisi operasi (operasi normal, banjir, darurat,luar biasa) C. Aman terhadap kegagalan hidrolis(hydraulic failure)Bendungan harus: 1. dilengkapi pelimpah yang mampu melewatkan banjir desain dengan aman, memiliki tinggi jagaan yang cukup, 2. aman terhadap erosi eksternal/erosi permukaan (puncak dan lereng harus diproteksi), gerusan/scouring, dll. D. Aman terhadap kegagalan rembesan (seepage failure), Bendungan harus aman terhadaperosi buluh/piping, boiling, uplift, erosi internal, rekahhidrolik, arching, dan pelarutan soluble material. 4.2. Pilar II: Pemantauan dan Pemeliharaan
Gambar 4. Konsepsi Keamanan Bendungan Dari contoh kegagalan bendungan yang sudah disebutkan, maka bendungan dianggap aman, apabila pelaksanaan pembangunan dan pengeloaan (Operasi dan Pemeliharaan bendungan telah dilaksanakan sesuai dengan Konsepsi Keamanan Bendungan dan Kaidah keamanan bendungan yang tertuang dalamNSPM (Norma/peraturan perundang-undangan, Standar (SNI), Pedoman dan Manual Konsepsi Keamanan Bendungan memiliki 3 pilar sebagai berikut: 4.1. Pilar I: Keamanan Struktur A. Bendungan harus didesain dan dibangun sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga aman untuk semua kondisi dan kombinasi beban kerja serta aman dioperasikan pada semua kondisi operasi (normal , luar biasa, darurat) à harus memenuhi kreteria desain. Agar keamanan struktur terpenuhi, bendungan harus didesain berdasar 3 kriteria pokok berikut: 1. aman terhadap kegagalan struktural dan operasional 2. aman terhadap kegagalan hidrolis 3. aman terhadap kegagalan rembesan B. Aman terhadap kegagalan stuktural dan operasional: Bendungan secara keseluruhan, terma-
1 - 66
JURNAL INFRASTRUKTUR
Bendungan harus selalu dipelihara dengan baik dan dipantau sehingga dapat diketahui sedini mungkin setiap problem yang sedang berkembang sebelum menjadi ancaman yang nyata dan selalu dipelihara shg selalu siap dioperasikan pada segala kondisi operasi. Pengukuran dan pembacaan instrumen, terutama ditujukan untuk mengetahui kondisi didalam tubuh bendungan dan pondasi. Pengukuran dan pembacaan dilakukan terhadap aspek perilaku /kreteria keamanan bendungan dan terhadap beban luar, yang terdiri dari: A. Aspek perilaku bendungan, minimal: 1. Deformasi 2. Rembesan 3. Tekanan Pori dan Gaya angkat (up lift) B. Beban luar: 1. Elevasi muka air waduk, 2. Elevasi sedimen 3. Data meteorology (hujan, suhu udara) C. Hasil pembacaan dicatat oleh petugas lapangan, kemudian secara berkala dikirim kekantor induk untuk dievaluasi oleh engineer yang berpengalam-an dan setiap tahun sekali dibuat laporan perilaku bendungan tahunan,
Vol. 2 No. 01 April 2017
4.3. Pemeriksaan
4.5. Pemeriksaan Besar
Tujuan pemeriksaan, secara umum adalah untuk mengetahui perilaku bendungan dan status/kondisi keamanan bendungan (dengan didukung evaluasi yang memadai).
Pemeriksaan besar adalah pemeriksaan secara menyeluruh terhadap aspek teknis dan non teknis dalam rangka evaluasi keamanan bendungan. Pemeriksaan besar dilakukan oleh Tim tenaga ahli bendungan (expert) yang paling tidak terdiri dari seorang dam engineer dan seorang geologist. Tujuan pemeriksaan besar, adalah untuk:
Kegiatan pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Pemilik atau Pengelola bendungan adalah: A. Pemeriksaan rutin, tujuannya untuk mengetahui tanda-tanda perilaku bendungan. Dilakukan dalam interval waktu pendek, yaitu : Harian, Mingguan, Bulanan. B. Pemeriksaan Berkala: Setengah Tahunan (tiap satu tahun dirangkum dalam laporan tahunan), Pemeriksaan besar minimal 1 x / 5 tahun C. Pemeriksaan luar biasa, dilakukan sebelum dan sesudahhujan badai dan setelah gempa bumi D. Pemeriksaan khusus: dilakukan setelah terjadinya kondisi khususyang dapatmengancam keamanan bendungan, seperti : adanya perubahan perilaku bendungan yang mencolok, longsoran besar, retakan besar, amblesan pada puncak bendungan, dll. 4.4. Pemeriksaan Tengah Tahunan. Pemeriksaan dilakukan secara khusus (diluar pemeriksaan rutin) pada:saat kemarau saat muka airwaduk terendahdengan perhatian khusus pada lereng hulu bendungan dan saat musim hujansaat muka air waduk maksimum dengan perhatian khusus pada lereng hilir. Hasil pemantauan selama setahun termasuk hasil pemeriksaan tengah tahunan saat kemarau dan saat musim hujan serta hasil pelaksanaan operasi dan pemeliharaan kemudian dievaluasi dan dirangkum dalam laporan tahunan, yang isinya meliputi antara lain: A. Hasil pemeriksaan visual termasuk identifikasi komponen/bagian-bagian bendungan yang memerlukan perbaikan B. Hasil pemantauan perilaku bendungan C. Perbandingan hasil pemantauan dengan nilai desain D. Kondisi instrumentasi E. Kondisi operasi F. Peristiwa, musibah, kejadian luar biasa G. Kegiatan studi, pekerjaan perbaikan, inspeksi dan pemeriksaan (besar, khusus, luar biasa) yang dilakukan pada tahun tersebut.
A. Mengetahui status/kondisi keamanan bendungan berkaitan dengan keamananstruktural dan operasional,hidrolis serta rembesan. B. Meng-identifikasi problem yang sedang berkembangdan menetapkan usulan tindak lanjut untuk peningkatan keamanan bendungan yang dapat berupa : pembatasan operasi, perbaikan, studi lanjutan atau studi khusus (special study) untuk memecahkan masalah yang ada. 4.6. Langkah-langkah Kegiatan Pemeriksaan Besar: A. Langkah Pertama: Kaji semua data yang ada, antara lain: 1. Kaji /pelajari desain dan data desain bendungan dan bangunan pelengkap, untuk menilai performance aktual dengan membandingkannya dengan performance yang direncanakan dalam desain. Bandingkan desain dengan NSPM terbaru. 2. Kaji laporan (data dan rekaman) pelaksanaan konstruksi.Apakahbangunan dikonstruksi sesuai desain? Adakah revisi desain yang dibuat untuk mengatasi kondisi yang tidak biasa (unusual) atau kondisi diluar perkiraan (unanticipated) 3. Kaji riwayat OP bendungan dan bangunan pelengkapnya, sehingga Tim Inspeksi/Pemeriksa benar-benar memahami penuh bendungan dan riwayat operasi serta pemeliharaannya B. Pelajari perilaku dan kondisi bendungan Untuk itu lakukan pemeriksaan bendungan secara menyeluruh (bendungan dan waduk, diatas air dan bawah air) untuk mengidentifikasi semua potensi masalah:yang dampaknya merugikan terhadap keamanan bendungan,daerah hulu dan hilir bendungan, sertaperiksa kecukupan bendungan dan bangunan pelengkapnya untuk memenuhi fungsinya, dengan didukung:data yang relevan, pertimbangan dan analisis teknis diantaranya denganmembandingkan perilaku bendungan aktual dengan perilaku yang direncanakan dalam desain.Dari evaluasi langkah pertama akan diperoleh indikasi adanya kelainan/kelemaham/problem /ancaman terhadap bendungan tersebut. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 67
Vol. 2 No. 01 April 2017
C. Langkah Lanjutan Lakukan analisis teknik untuk menilai status/tingkat keamanan bendungan berdasar keadaan aktual seperti: adanya perubahan sifat material, adanya perubahan geometri bendungan, pola banjir terbaru, kapasitas tampung waduk terbaru, hasil studi gempa terbaru serta NSPM terbaru, ditinjau dari: 1. Aspek struktur: periksa stabilitas tubuh bendungan termasuk stabilitas terhadap gempa pada kondisi normal dan luar biasa, minimal pada potongan: - bagian yang perilakunya menyimpang - bagian tertinggi, dan - bagian yang geometrinya berubah cukup besar dan bagian kritis lainnya. 2. Aspek hidrolik (kecukupan kapasitas pelimpah berdasar hasil banjir desain dan kapasitas waduk terbaru, tinggi jagaan, dll). 3. Aspek rembesan (erosi internal, piping, boiling, uplift, pelarutan materil bendungan dan pondasi, dan lain-lain), berdasar data-data yang tersedia.
F. Saran tindak lanjut dapat berupa: 1. pembatasan operasi, 2. perbaikan, 3. studi lanjutan atau studi khusus (special study) untuk memecahkan masalah yang ada. 4.7. Pilar III: Konsepsi dan kesiagaan tanggap darurat Pemilik/Pengelola bendungan harus selalu siap menghadapi kondisi terburuk dari bendungan yang dimiliki/dikelolanya. Penanganan pada kondisi darurat tidak dibenarkan dilakukan dengan cara ”improvisasi” / coba-coba tetapi harus berdasar-kan Rencana Tindak Darurat yang telah disiapkan secara matang. Berdasarkan peraturan yang berlaku setiap bendungan harus dilengkapi Rencana Tindak Darurat (RTD), Penyiapan RTD suatu bendungan bukan karena bendungan akan runtuh atau jebol tapi karena merupakan kewajiban bagi Pemilik/Pengelola Bendungan. Rencana Tindak Darurat harus selalu ditinjau ulang pada kurun waktu sekurang kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun dan pada masa itu juga dilakukan koreksi perbaikan terhadap pejabat yang berwenang sesuai dengan pedoman yang sudah disiapkan pemilik/pengelola bendungan.
D. Buat kesimpulandan Laporan Dari pemeriksaan dan analisa data tersebut maka status/tingkat keamanan bendungan dan saran tindak lanjut yang diperlukan. E. Tingkat keamanan bendungan: 1. Baik: aman pada beban normal, luarbiasa dan bebanekstrim/gempa dan banjir 2. Cukup :aman pada beban normal, indikasi tidak aman padabeban ekstrim. 3.
Kurang :keamanan struktur disangsikan, perilaku struktural mengkhawatirkan,
4. Buruk :bendungan tidak aman pada beban normal
Gambar 6. Konsepsi Penanganan Kondisi Darurat 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Memperhatikan jumlah bendungan yang sudah dibangun di beberapa lokasi dengan jumlah yang relatif besar, dalam pengelolaan bendungan saat ini seperti: A. Fungsi dan kondisi bendungan telah mulai menurun perlu dilakukan pemeliharaan berkala dan rehabilitasi; B. Kurang intensif pemantauan terhadap perilaku bendungan agar sesuai kaidah teknis keamanan bendungan;
Gambar 5. Pemantauan dan Pengamatan 1 - 68
JURNAL INFRASTRUKTUR
C. Anggaran Operasi dan Pemeliharaan secara ber-
Vol. 2 No. 01 April 2017
tahap sudah ditingkatkan; D. Operasi dan Pemeliharaan Bendungan belum menjadi prioritas dalam rangka pemenuhan target swasembada pangan;
Direktorat Jenderal Pengairan. (1998). Pedoman Penyiapan Rencana Tindak Darurat, Keputusan Direktur Jenderal Pengairan, Nomor 94/ KPTS/A/1998, tanggal 30 Juli 1998. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum.
E. Kapasitas Sumber Daya Manusia yang terbatas akan ditindaklanjuti melalui pelatihan dan sertifikasi;
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. (2013). Draft Pedoman Penyusunan Rencana Tindak Darurat. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum.
F. Terbatasnya Manual OP, RTD, dan Pola Operasi Waduk sebagai kewajiban pengelola bendungan;
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. (2016). Profil Subdirektorat Operasi dan Pemeliharaan Bendungan dan Danau Tahun. Jakarta. Direktorat Bina Operasi dan Pemeiharaan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.
G.
Permasalahan sedimentasi akan dilakukan pengerukan (dredging) dan upaya vegetatif;
H. Masih relatif kecil Pengembangan, Pemanfatan bendungan u keperluan PLTM/PLTA. 5.2. Saran Dengan diselenggarakan pembangunan bendungan pada periode 2014 – 2019 maka dalam pengelolaan perlu diperhatikan hal-hal antara lain:
Direktorat Jendeal Sumber Daya Air. (2016). Pembangunan Bendungan 2014-2019. Jakarta. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air . PT. Dehas Inframedia Karsa, PT. Indra Karya Wilayah 3. (2014). Laporan Rencana Tindak Darurat Bendungan Mamak. Jakarta. PT. Dehas Inframedia Karsa, PT. Indra Karya Wilayah 3.
A. Pembangunan 65 bendungan baru harus berkoordinasi intensif dengan instansi lain dan masyarakat terdampak (permasalahan sosial lebih dominan); B. Pengelolaan bendungan untuk 65 bendungan yang akan dibangun harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik agar tidak terulang pengalaman masa lalu; C. Kegiatan pengelolaan bendungan harus didukung oleh: 1. institusi pengelola bendungan yang handal, 2. tenaga yang profesional, 3. dana dan peralatan OP yang memadai, 4. manual OP yang komprehensif serta manajemen OP yang baik; 5. partisipasi masyarakat dan swasta D. Untuk Pengelolaan Bendungan kita perlu slogan Aware (sadar), Care (peduli), Share (berbagi) Tanggungjawab sehingga bendungan Aman. DAFTAR PUSTAKA Kementerian Pekerjaan Umum. (1997). Peraturan Menteri PU Nomor 72/PRT/1997 Tentang Keamanan Bendungan. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2015). Peraturan Menteri PUPR No. 27/PRT/2015 tentang Bendungan. Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 69
Vol. 2 No. 01 April 2017
IDENTIFIKASI RISIKO DALAM PEMBANGUNAN JEMBATAN BENTANG PANJANG (Studi Kasus Pembangunan Jembatan Selat Sunda) Aceng Maulana Karim Penelaah Standar dan Pedoman Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Long Span Bridge Construction in Indonesia is quite a lot of progress. It is characterized by the development of several types of long-span bridge connecting an island with another island, like Suramadu (SurabayaMadura), Bridge Barelang (Riau), and the plan of the Sunda Strait Bridge that will connect Java and Sumatra islands. In practice, the construction of long-span Bridge has a lot of risks that can affect the project cycle, either directly or indirectly to influence it so that it will result in a project to be hampered in its completion. There are quite a lot of risks that may occur from planning, implementation, to maintenance, so that the necessary knowledge and understanding of risk management, so that the risks will occur can be minimized or eliminated. Risk in general can affect the cost, time and quality in construction projects, so that needs to be studied more deeply for Long Span Bridge project, especially in the Sunda Strait bridge construction project. The purpose of this study was to identify the risks that may occur in the bridge construction project, especially for bridges with long spans. This needs to be done so that potential risks can be well controlled, and can be transferred to the parties who are able to manage these risks. Project Delivery System to be used in the project. Project Delivery System is recommended for use in the Sunda Strait Bridge project is the type of PDS Turn Key. However, it is still necessary to examine other types of PDS may be better suited for applications in the Sunda Strait Bridge project, one of which is the PublicPrivate Partnerships (PPP) if the government plans to offer Sunda Strait Bridge project to private investors. Keywords: bridges, construction project risk, cost, time Abstrak Pembangunan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia cukup banyak mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan dibangunnya beberapa tipe jembatan bentang panjang yang menghubungkan suatu pulau dengan pulau yang lain, seperti Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), Jembatan Barelang (Kepri), dan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera. Dalam pelaksanaannya, pembangunan jembatan bentang panjang memiliki banyak risiko-risiko yang dapat mempengaruhi siklus proyek baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhinya sehingga akan mengakibatkan proyek jadi terhambat dalam penyelesaiannya. Terdapat cukup banyak jenis risiko yang mungkin terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemeliharaan, sehingga diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengelolaan risiko, sehingga risiko-risiko yang akan terjadi bisa diminimalisir atau dihilangkan. Risiko pada umumnya dapat mempengaruhi biaya, waktu, dan mutu dalam proyek konstruksi, sehingga perlu dikaji lebih dalam untuk proyek Jembatan Bentang Panjang, khususnya pada proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi pada proyek pembangunan jembatan, khususnya untuk jembatan dengan bentang panjang. Hal ini perlu dilakukan agar risiko yang mungkin terjadi dapat dikendalikan dengan baik, dan dapat ditransfer kepada pihak-pihak yang mampu dalam mengelola risiko tersebut. Project Delivery System yang akan digunakan dalam proyek tersebut. Project Delivery System yang disarankan untuk digunakan dalam proyek Jembatan Selat Sunda yaitu tipe PDS Turn Key. Namun, masih dirasa perlu untuk mengkaji tipe PDS lain yang mungkin lebih sesuai diterapkan pada proyek Jembatan Selat Sunda, salah satunya yaitu dengan Public-Private Partnerships (PPP) apabila pemerintah berencana untuk menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Kata Kunci: jembatan, proyek konstruksi, risiko, biaya, waktu
1 - 70
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Jembatan bentang panjang di Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hal ini terlihat dari beberapa tipe jembatan yang dibangun dengan bentang (span) lebih dari atau sama dengan 150 m. Jembatan dengan bentang panjang biasanya memiliki struktur desain yang kompleks, sehingga membutuhkan identifikasi risiko lebih dalam tahap awal perencanaan. Risiko-risiko yang telah diidentifikasi kemudian akan dituangkan dalam kontrak untuk mengatur pihak-pihak mana saja yang harus menanggung risiko tersebut. Jembatan Selat Sunda merupakan salah satu proyek terbesar, pembuatan jembatan yang melintasi Selat Sunda sebagai penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, proyek Jembatan Selat Sunda masih dalam tahap kajian dan Feasibility Study (FS). Sehingga diperlukan identifikasi risiko dalam setiap tahap siklus proyek yang ada. Identifikasi diperlukan agar dalam pelaksanaannya, pihak-pihak yang terkait dapat mengelola risiko tersebut agar dapat meminimalisir dampak yang terjadi dengan upaya mitigasi.
tipe kontrak yang ditawarkan yaitu, turn key tendering, build operate transfer tendering (BOT), design build tendering, private public participation tendering (PPP), partly detailed design tendering, fully detailed tendering, dan BOT modified (COWI Consultants dalam Vaza, 2012). Tipe-tipe kontrak tersebut masih dalam kajian pemerintah, sehingga dirasa perlu untuk melakukan identifikasi risiko-risiko kemudian menentukan tipe kontrak yang sesuai agar risiko yang ada dapat dikelola dengan baik. Perbedaan dari proyek konstruksi pada umumnya, proyek jembatan bentang panjang memiliki risiko yang tinggi dari segi geografis dan aplikasi teknologi. Hal ini juga menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut, mengingat kondisi geografis di Indonesia yang beragam. Teknologi pun menjadi salah satu permasalahan tersendiri, sehingga risiko yang mungkin terjadi akan berbeda untuk setiap jenis teknologi yang ada. Dari penjelasan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji ini adalah : A.
Risiko-risiko yang mungkin terjadi pada pembangunan jembatan bentang panjang;
Pembangunan jembatan bentang panjang memiliki beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek. Diantara risiko-risiko yang ada, akan berpengaruh terhadap pemilihan tipe Project Delivery System (PDS) yang akan digunakan Dalam pembangunan jembatan bentang panjang. Dimana PDS sendiri merupakan sistem pelaksanaan dari seluruh tahapan yang terkait dengan pihakpihak yang terlibat dalam setiap tahapan tersebut. Tipe PDS yang tepat akan mempengaruhi biaya, mutu, dan waktu pelaksanaan. Sehingga pemilihan tipe PDS untuk pembangunan jembatan bentang panjang perlu dilakukan kajian lebih dalam.
B. Bagaimana alokasi yang tepat untuk setiap risiko yang ada;
Kontrak digunakan sebagai sarana untuk mengatur risiko-risiko yang ada, namun apabila kontrak tidak disusun menggunakan tata cara yang benar maka akan menjadi sumber risiko yang mempengaruhi kinerja proyek.
C. Menentukan sistem pelaksanaan proyek (Project Delivery System) yang akan digunakan dalam proyek pembangunan bentang panjang
Menurut Flanagan dan Norman tahun 1993 dalam Budisuanda (2011), jenis-jenis kontrak yang memiliki risiko yang lebih besar terdapat di kontraktor yaitu design and built, turn key, package deal, lump sum fixed price, lump sum fluctuating price, cost plus fee with a target price, dan management fee with a quaranteed maximum price. Apabila terdapat risiko yang besar dalam pelaksanaan kontrak kerja yang harus ditanggung oleh penyedia jasa, maka penyedia jasa akan mengajukan penawaran dengan mempertimbangkan tipe kontrak yang sesuai untuk mengelola risiko-risiko tersebut. Pada proyek jembatan bentang panjang (contoh kasus Jembatan Selat Sunda), terdapat beberapa
C. Pemilihan sistem pelaksanaan proyek (Project Delivery System) yang akan digunakan sesuai dengan identifikasi risiko yang telah dilakukan. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: A. Mengetahui risiko-risiko pada pembangunan jembatan bentang panjang B. Mengetahui alokasi risiko berdasarkan identifikasi risiko yang telah dilakukan
Diharapkan dengan kajian tersebut maka dapat memberikan alternatif dalam pemilihan tipe kontrak yang sesuai untuk proyek pembangunan jembatan bentang panjang. 2. TINJAUAN PUSTAKA Bentuk atau tipe jembatan bentang panjang di Indonesia cukup bervariasi, mulai dari tipe cable stayed, gantung, dan pelengkung baja atau beton. Tipe-tipe tersebut digunakan tergantung dari kondisi geografis yang ada. Semakin panjang rintangan atau hambatan yang akan dilalui, maka semakin panjang bentang jembatan yang harus digunakan. Dengan kondisi tersebut, maka jembatan bentang panjang akan memiliki tingkat kesulitan yang unik dibandingkan dengan jembatan lainnya. Sehingga risiko yang mungkin JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 71
Vol. 2 No. 01 April 2017
terjadi dalam siklus proyeknya mungkin akan berbeda tergantung dari kondisi dilapangan. Jembatan Selat Sunda merupakan rencana pemerintah untuk menghubungkan kedua pulau yaitu pulau Sumatera (Lampung) dan Jawa (Banten). Gagasan untuk menghubungkan Sumatera dan Jawa yang terpisahkan oleh Selat Sunda sudah muncul sejak tahun 1960. Berikut ini adalah pembicaraan soal proyek Jembatan Selat Sunda dari masa ke masa. Menurut Angreni (2013), pendanaan proyek JSS berkisar senilai Rp 200 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek yang memakan waktu pelaksanaan hingga 14 tahun itu visibel dan APBN mampu mendanainya, karena dalam setahun dana yang diperlukan tidak lebih dari Rp 20 triliun, atau tidak lebih dari 10% dari dana untuk subsidi BBM yang selama ini sudah didanai oleh APBN hingga Rp 200 triliun. Proyek Jembatan Selat Sunda diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian dikedua wilayah yang saling terhubung. Selain itu perpindahan lalulintas darat akan lebih mudah baik angkutan penumpang maupun barang (logistik), sehingga beban angkutan penyebrangan yang melalui jalur laut dapat berkurang, mengingat kapasitas angkut kendaraan yang menggunakan jasa ferry sangatlah terbatas. 2.1. Permasalahan dalam Pembangunan Jembatan Terdapat beberapa permasalahan dalam pembangunan jembatan, terutama jembatan bentang panjang yang cukup sering terjadi. Permasalahan tersebut dapat terjadi pada setiap siklus proyek yang ada mulai dari perencanaan, pelelangan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan. Dalam tahap permasalahan
perencanaan, terdapat beberapa yang ada, diantaranya yaitu:
A. Pelaksanaan Feasibility Study (FS) yang kurang baik, sehingga informasi yang diperoleh menjadi sedikit dan akan berpengaruh untuk desain jembatan yang dipilih. B.
Pengambilan nilai-nilai dan asumsi untuk melakukan desain jembatan, dimana setiap nilai yang dimasukan kedalam perhitungan desain sebagai faktor yang dapat mempengaruhi desain jembatan tersebut. Nilai-nilai yang biasanya dijadikan dasar dalam desain jembatan bentang panjang sepeti kondisi tanah, kecepatan angin, kegempaan, tipikal lalulintas kendaraan yang melintas, dan lain-lain. Seringkali nilai-nilai tersebut tidak didapatkan secara langsung.
C. Asumsi nilai proyek yang sangat tinggi, dimana hal ini dipengaruhi oleh kekurangan informasi dilapangan akibat dari kekurangan informasi dilapangan (seperti: asumsi waktu pelaksanaan, 1 - 72
JURNAL INFRASTRUKTUR
harga/biaya
setiap
item
pekerjaan).
D. Kurangnya sumber daya manusia yang baik dalam hal melakukan desain jembatan bentang panjang. E. Aplikasi teknologi jembatan bentang panjang yang tidak didukung dengan penelitian yang disesuaikan dengan kondisi. Pada tahap lelang, terdapat beberapa permasalahan yang ada, yaitu; A. Metode pelaksanaan proyek jembatan bentang panjang yang tidak disampaikan secara detail kepada peserta lelang, sehingga menyebabkan kesalahan dalam melakukan penawaran harga. B.
Informasi mengenai penggunaan teknologi jembatan yang tidak didefinisikan secara baik.
Pada tahap pelaksanaan terdapat permasalahan yang ada, yaitu:
beberapa
A. Terjadinya keterlambatan pengiriman material ke site akibat lokasi proyek yang jauh. B. Selimut beton yang terlalu tipis, terutama pada bagian bawah gelagar jembatan (cor ditempat) akibat kesalahan pada saat pemasangan bekisting. C. Terjadinya segregasi pada beton akibat kesalahan prosedur pada saat pengecoran dilapangan. D. Proses penarikan tendon/kabel dilapangan yang kurang baik. E. Proses curing beton tidak dilakukan dengan baik, sehingga menyebabkan terjadinya retak susut pada yang dapat mempercepat proses terjadinya korosi pada tulangan beton. F. Kesalahan prosedur dalam pemerapan metode pelaksanaan dilapangan. G. Kerusakan pada lingkungan sekitar pembangunan proyek jembatan. Pada tahap operasi dan pemeliharaan terdapat beberapa permasalahan yang ada, yaitu: A. Akses pemeriksaan yang sulit/ tidak tersedia, sehingga akan menyulitkan pemeriksa untuk melakukan obervasi kerusakan. B. Tidak dilakukannya perbaikan pada kerusakankerusakan minor, yang dapat memicu terjadinya kerusakan yang lebih besar, seperti retak pada beton, dan karat pada tulangan beton. C. Vandalisme pada peralatan monitoring jembatan, sehingga early warning system tidak dapat berjalan dengan baik. Menurut Li (2013), terdapat beberapa risiko yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan proyek
Vol. 2 No. 01 April 2017
jembatan skala besar sepeti pada Tabel 1. Tabel 1. Risiko dalam pelaksanaan proyek jembatan skala besar (Li, 2013)
2.2. Risiko Risiko merupakan suatu ukuran dari probabilitas dan konsekuensi dari tidak tercapainya suatu sasaran proyek yang telah ditentukan. Manajemen risiko adalah suatu pengertian yang telah diorganisir dari pengidentifikasian dan pengukuran risiko dan pengembangan, pemilihan, dan mengatur tindakan-tindakan untuk menangani risikorisiko tersebut (Flanagan, dalam Mikaela, 2006). Keadaan dalam pengambilan keputusan dapat dibagi menjadi tiga bagian (Flanagan, dalam Mikaela B., 2006): A. Kepastian (certainty) B. Risiko (risk) C. Ketidakpastian (uncertainty) Pengertian risiko dalam konteks proyek dapat didefinisikan sebagai suatu penjabaran terhadap konsekuensi yang tidak menguntungkan, secara finansial maupun fisik, sebagai hasil keputusan yang diambil atau akibat kondisi lingkungan di lokasi suatu kegiatan. Jika dikaitkan dengan konsep peluang, “risiko” adalah peluang/ chance JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 73
Vol. 2 No. 01 April 2017
terjadinya kondisi yang tidak diharapkan dengan semua konsekuensi yang mungkin muncul yang dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan proyek (Gray dan Larson, dalam Rica, 2009). Menurut Fisk (dalam Rica, 2009), Risiko merupakan variasi dalam hal-hal yang mungkin terjadi secara alami di dalam suatu situasi, tak ada yang dapat mengetahui kapan risiko akan terjadi, karena itu risiko dapat diartikan pula sebagai probabilitas kejadian yang timbul selama suatu periode waktu. Terdapat beberapa tahapan dalam mengelola risiko, dimana tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu bagian dari manajemen proyek berdasarkan PMBOK Guide, dimana tertulis dalam buku Project Risk Management A Proactive Approach oleh Royer (2002) yaitu: A.
Initiating processes - Project opportunity assessment Examining the high-level requirements of the project opportunitiy to define risks versus opportunities in order to make a decision to proceed or not to proceed with the endeavor.
B.
Planning processes - Risk management planning Identifying risks and developing mitigation strategies and contingency plans to minimize their impact
C. Executing processes - Project risk audit - Auditing the effectiveness of project management processes D. Controlling processes - Continuing risk management - Monitoring identified project risk to trigger the implementation of risk mitigation strategies and contingency plans; identifying new risks E. Closing processes - Risk knowledge transfer - Capturing lessons learned in the mitigation of project risks for use in future projects.
Gambar 1. Grafik peristiwa risiko Risiko dapat diidentifikasi melalui berbagai aspek dan sudut pandang tertentu, dimana menurut Rica (2009) terdapat beberapa klasifikasi risiko yang ada diantaranya yaitu; A. Risiko Politik (Political Risk), adalah risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan/tindakan/keputusan sepihak dari Pemerintah atau Negara yang secara langsung dan signifikan berdampak pada kerugian financial badan usaha, yang meliputi risiko pengambilan aset, huru hara, risiko perubahan peraturan perundang-undangan, dan risiko pembatasan konversi mata uang. B. Risiko Kinerja Proyek (Project Performance Risk), adalah risiko yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek, yang antara lain meliputi risiko lokasi dan risiko operasional. C. Risiko Ekonomi (Economical Risk), adalah risiko dimana meskipun operasi yang ada dapat menghasilkan output yang dibutuhkan, namun tidak dapat mencapai tingkat pendapatan yang diharapkan berkaitan dengan pelaksanaan proyek. D. Risiko Hukum (Law Risk), adalah risiko akibat adanya perubahan hukum seperti peubahan undang-undang, termasuk kebijakan yang dapat mempengaruhi tingkat kelayakan proyek. E.
2.3. Identifikasi Risiko Langkah pertama dalam proses manajemen risiko yaitu dengan melakukan identifikasi risiko dalam suatu proyek. Identifikasi risiko dilakukan untuk menemukan sumber-sumber risiko yang memiliki kemungkinan dapat menghambat jalannya proyek. Menurut Budisuanda (2011), tahap-tahap awal dari proyek menunjukan periode ketika ada kesempatan untuk memperkecil dampak atau pekerjaan di sekitar risiko potensial. Dan sebaliknya, ketika proyek berlangsung separuh jalan, biaya peristiwa risiko yang terjadi meningkat dengan cepat (Gambar 1). Mengenali peristiwa risiko proyek dan memutuskan respons sebelum proyek dimulai adalah pendekatan yang lebih bijaksana daripada tidak mencoba untuk mengelola risiko.
1 - 74
JURNAL INFRASTRUKTUR
Risiko Keuangan (Monetary Risk), adalah risiko dimana anggaran konstruksi yang disepakati untuk pelaksanaan proyek tidak mencukupi sehingga menyebabkan tambahan biaya selama pelaksanaan. Tambahan biaya tersebut dapat diakibatkan oleh kenaian harga-harga, niyai mata uang, inflasi.
F. Risiko Sosial (Social Risk), adalah risiko yang timbul akibat pembangunan suatu proyek, dimana proyek tersebut menimbulkan gejolak di masyarakat, dengan adanya demo menolak proyek tersebut. G. Risiko Lingkungan (Enviromental Risk), adalah risiko yang ditimbulkan oleh adanya dampak keberadaan proyek terhadap lingkungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Vol. 2 No. 01 April 2017
Pengelompokan risiko dapat dibagi menjadi 3 tahap yang terdiri dari: A. Tahap pra konstruksi meliputi; 1. Perizinan 2. Studi kelayakan
atau lembaga pemerintah, seperti yang sudah direncanakan. Apabila risiko tidak dialokasikan dalam kontrak maka akan timbul perselisihan antara pengguna jasa dan kontraktor. Apabila hal tersebut terjadi, maka seorang arbitor atau hakim kemungkinan besar akan menentukan pihak mana yang paling sesuai untuk alokasi resiko (Bunni, 2005). Tabel 2. Alokasi risiko berdasarkan tipe kontrak (Flanagan & Norman 1993)
3. Desain 4. Pembebasan lahan B. Tahap konstruksi meliputi; 1. Pembiayaan 2. Pembangunan 3. Peralatan 4. Force majeur C. Tahap pasca konstruksi 1. Operasi dan pemeliharaan
*) Nilai persentase merupakan nilai perkiraan
2. Force majeur
Flanagan & Norman (1993), menjelaskan alokasi risiko untuk beberapa tipe kontrak, seperti terihat pada Tabel 2.
2.4. Alokasi Risiko Menurut Bunni (2005), ketika suatu peristiwa yang diinginkan atau tidak diinginkan di identifikasi, kemudian dinilai dan dianalisis, pengelola suatu kegiatan dapat mengalokasikan peristiwa tersebut ke berbagai pihak. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan suatu peristiwa agar tidak menjadi berbahaya. Alokasi peristiwa (risiko) perlu dikendalikan untuk mengurangi risiko negatif dan meningkatkan risiko positif. Alokasi risiko (Risk Allocation) merupakan bagian dari peran manajemen namun tetap harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. (Bunni, 2005) Berdasarkan sebuah makalah terbaru mengenai aturan dalam alokasi risiko dalam proyek konstruksi, menjelaskan kemapuan pihak untuk: A.
mengendalikan perjanjian yang mungkin diperlukan untuk menangani bahaya atau pemicu insiden yang berkaitan dengan proyek konstruksi
B. mengendalikan risiko atau untuk mempengaruhi salah satu efek yang dihasilkan C. melakukan tugas yang berkaitan dengan proyek, seperti mendapatkan penggantian dari asuransi D. mendapatkan keuntungan dari proyek Di sisi lain, aturan untuk alokasi risiko dapat berada disekitar kebijakan dalam sebuah organisasi
2.5. Sistem Pelaksanaan Proyek (Project Delivery System) Setiap proyek melalui suatu daur hidup proyek, yang dimana sistem pelaksanaan seluruh yang terkait dengan pihak-pihak yang terlibat dalam setiap tahapan disebut Project Delivery System (PDS) atau sistem pelaksanaan proyek. PDS ditentukan oleh pemilik proyek (owner) yang didasarkan oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut, yaitu: A.
pengalaman/kebiasaan, dalam pemilihan pelaksanaan proyek. Dengan pengalaman, maka risiko-risiko yang akan dihadapi dalam proyek dapat diidentifikasi lebih awal.
B. saran konsultan, konsultan dalam hal ini telah melakukan perhitungan baik secara struktur maupun biaya, sehingga saran-saran yang diajukan oleh konsultan dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan sistem pelaksanaan proyek. C. sumber dan kendala pembiayaan, dalam suatu proyek yang memiliki tingkat risiko yang besar, terutama dengan biaya yang besar, akan memberikan pengaruh dalam pemilihan sistem pelaksanaan proyek yang tepat. D. Penggunaan sumber daya yang dimiliki, pemilihan sistem pelaksanaan proyek dapat dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya manusia, alat, maupun material yang ada. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 75
Vol. 2 No. 01 April 2017
E. Keinginan stakeholder dari proyek, berdasarkan dari tingkat kesulitan proyek yang ada atau alasan lain yang telah disampaikan stakeholder. 2.6. Bentuk Swakelola (Owner-Provided Delivery) Swakelola dilakukan jika lingkup pekerjaan sesuai dengan keahlian, pengalaman, dan sumber daya yang dimiliki oleh owner. Dalam penggunaannya, swakelola dapat dilakukan baik untuk perancangan maupun pelaksanaan proyek. Bentuk swakelola sendiri memungkinkan untuk pemilik proyek (owner) untuk menambahkan sumber daya pada bagian perancangan dari seorang ahli perancangan. Pemilik proyek berlaku sebagai General Contractor yang mengelola beberapa sub kontraktor yang dipilih. Untuk melakukan swakelola, maka pemilik proyek perlu memiliki izin praktek dan juga setifikat yang memadai. Sebagai contoh, Bina Marga melakukan swakelola untuk pekerjaan pemeliharaan jalan dan jembatan. 2.7. Bentuk Perencanaan Pelelangan Pelaksanaan (Design-Bid-Build) Bentuk sistem pelaksanaan proyek Design-Bid-Build telah ditetapkan oleh perundangan untuk pelaksanaan proyek pemerintah. Beberapa pemilik proyek swasta juga menggunakan sistem pelaksanaan ini. Dalam bentuk ini proses pelaksanaan proyek melalui tiga tahap, dimana tahap-tahap tersebut meliputi tahap perencanaan (Design), tahap pelelangan (Bid), dan tahap konstruksi (Build). Tahap konstruksi hanya
karena itu, sering digunakan nama konsultan manajemen proyek (KMP). Penggunaan CM diperlukan untuk proyek-proyek sedang atau besar, di mana pemilik proyek tidak memiliki sumber daya internal atau staf pengelola yang dibutuhkan. 2.9. Bentuk Perencanaan- Pelaksanaan (Design- Build) Design and Built adalah sistem pelaksanaan proyek yang memiliki hanya satu entitas yang bertanggung jawab untuk perancangan dan pelaksanaan konstruksi sekaligus. Pemilihan Design Builder oleh pemilik proyek dapat dilakukan dengan kompetitif maupun negosiasi. Dengan Design and Build, maka pemilik proyek hanya akan berhubungan dengan satu pihak untuk dua tahapan proyek, dan menghindari ketidaksepahaman antara perancang dengan pelaksana. Bentuk hubungan kerjasama seperti ini dipergunakan untuk memperpendek waktu pelaksanaan proyek dan memberikan fleksibilitas kepada pemilik proyek untuk melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan selama pelaksanaan proyek (Iman Soeharto, 2001). Hubungan dari ketiga pelaku pembangunan proyek dapat dilihat pada Gambar. 3
Gambar 3. Bentuk Design - Build (Iman Soeharto, 2001) Gambar 2. Bentuk Design-Bid-Build (Iman Soeharto, 2001) dapat dilaksanakan bila tahap pelelangan selesai. Demikian juga dengan tahap pelelangan dapat dilaksanakan jika tahap perencanaan sudah selesai (Iman Soeharto, 2001). Hubungan dari ketiga pelaku pembangun proyek dapat dilihat pada Gambar 2. 2.8. Bentuk Manajemen Konstruksi (Construction Management) Pengertian dari manajemen konstruksi (Construction Management-CM) adalah proses di mana pemilik membuat ikatan kerja dengan agen yang disebut manajer konstruksi, dengan tugas mewakili pemilik untuk mengkoordinasikan kegiatan penyelenggaraan proyek terutama pada tahap konstruksi. (Soeharto, 2001). Menurut Soeharto (2001), CM tidak terbatas hanya mengurusi konstruksi, tetapi meliputi aspek yang luas, mulai dari tahap konseptual atau studi kelayakan sampai kepada menutup proyek. Oleh 1 - 76
JURNAL INFRASTRUKTUR
2.10. Bentuk Turnkey/EPC Karakteristik Turnkey adalah sama dengan and Build tapi ditambahkan tanggung operasi dan pemeliharaan proyek kepada and Builder. Beberapa jenis Turnkey,
Design jawab Design yaitu:
A. Design-Build-Operate-Transfer: waktu operasi pendek (1 tahun). B. Design-Build-Operate-Maintain: dikenal dengan super turnkey, waktu operasi dan pemeliharaan yang lama (10-15 tahun) C.
Design-Build-Own-Operate-Transfer: lebih luas cakupannya dan lebih lama operasi dan pemeliharaannya. Biasanya untuk infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan tol. Dapat pula dikembangkan dengan skema pendanaan oleh pihak swasta atau developer.
2.11. Bentuk Build Operate Transfer (BOT) Menurut Soeharto (2001), bentuk lalin dari hubungan
Vol. 2 No. 01 April 2017
peserta proyek, dalam hal ini antara pemilik, promotor, dan kontraktor adalah mengadakan kerjasama yang dikenal sebagai Build Operate Transfer (BOT). Dalam hal ini, promotor bertindak aktif sekaligus menyiapkan dana, membangun proyek serta mengoperasokan dan menerima dana hasil operasi fasilitas yang telah selesai dibangun. Kemudian pada akhir jangka waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian) menyerahkannya kepada pemilik proyek. Adakalanya promotor memberikan kegiatan implementasi fisik kepada kontraktor tertentu. Namun, ada pula keadaan di mana kontraktor yang cukup bonafid bertindak menjadi promotor. Hubungan dari ketiga pelaku pembangunan proyek dapat dilihat pada Gambar 4.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan data sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan. Selain itu datadata juga diperoleh melalui kajian literatur serta informasi-informasi yang ada berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa ahli struktur jembatan. Data-data yang diperoleh berupa identifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi pada proyek jembatan bentang panjang, serta alokasi risikonya. Kemudian data-data yang ada dikelompokan agar lebih mudah dalam melakukan analisis. Hasil akhir dalam penelitian ini berupa penentuan sistem pelaksanaan proyek (project delivery system) yang sesuai untuk digunakan dalam proyek jembatan bentang panjang. Metodologi penelitian secara garis besar seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Bentuk Build - Operate - Transfer (Iman Soeharto, 2001) 2.12. Bentuk Public-Private Partnerships (PPP) Pada dasarnya, skema Kerjasama Pemerintah Swasta atau Public-Private Partnerships (PPP) adalah skema yang memungkinkan penyediaan infrastruktur Pemerintah untuk dikembangkan dan dikelola oleh investor swasta. Skema ini akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian atau, dalam kasus tertentu, perusahaan milik negara selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) mewakili pihak publik/Pemerintah dan investor swasta dalam pembangunan proyek infrastruktur. (Roesly, 2011). 2.13. Bentuk Cost Plus Fee Menurut Isnanto (2009), Cost Plus Fee adalah kontrak pelaksanaan pegadaan barang/jasa pemborongan dimana kontraktor yang bersangkutan menerima imbalan jasa yang nilainya tetap disepakati oleh kedua belah pihak. Pada kontrak jenis ini, konsultan mendapatkan pembayaran atas dasar time based rate bagi waktu yang digunakan untuk menyelesaikan lingkup kerja plus sejumlah fee. Kontrak jenis ini umumnya digunakan untuk pekerjaan penelitian dan pengembangan. 2.14. Bentuk Lumpsum Bentuk kontrak lumpsum merupakan kontrak dengan harga tetap, dalam arti konsultan mendapatkan jumlah harga tetap berdasarkan keluaran (output) tertentu yang telah disepakati. Pada kontrak jenis ini, pemilik tidak menanggung risiko mengenai kenaikan jumlah jam-orang atau satuan harga per jam orang yang mungkin timbul. (Soeharto, 2001).
Gambar 5. Metodologi Penelitian 4. ANALISA DAN PEMBAHASAN Identifikasi risiko dilakukan untuk mengetahui risiko-risiko yang mungkin terjadi pada siklus hidup proyek jembatan bentang panjang. Proses identifikasi risiko ini dilakukan dengan cara melakukan pengelompokan risiko sesuai dengan tahapan siklus hidup proyek, dimana di dalam siklus hidup suatu proyek terdapat 4 tahap yaitu inisiasi, perencanaan, eksekusi (pelaksanaan proyek.), serta operasional dan pemeliharaan. Risiko-risiko yang ada didapatkan berdasarkan hasil wawancara ahli. 4.1. Tahap Inisiasi Dalam proyek jembatan bentang panjang, dilakukan studi kelayakan untuk mengidentifikasi masalah dan solusi secara detail dan menyeluruh sehingga memberikan luaran mengenai manfaat proyek dan perkiraan biaya yang dikeluarkan. Dalam tahap ini, studi mengenai lingkungan perlu dilakukan sebelum perencanaan dilakukan. Hal ini dilakukan sebagai JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 77
Vol. 2 No. 01 April 2017
langkah awal untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar proyek, apakah terdapat kawasan yang dilindungi oleh pemerintah atau tidak. Risiko yang mungkin timbul yaitu setelah dilakukannya studi lingkungan yaitu perlu dilakukan perizinan mengenai pelepasan fungsi lahan yang ada, dimana proses perizinan tersebut dapat memakan waktu yang cukup lama. Dalam melakukan Feasibility Study, perlu dilakukan identifikasi mengenai halhal yang sifatnya tidak dapat dikuantifikasi secara teknis. Untuk melakukan indentifikasi tersebut, maka perlu adanya penelaahan sustainiblity proyek dan dampaknya dalam segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu FS sebaiknya dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor: 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
permukaan laut dengan dasar laut (seabed level) dengan kedalaman air yang cukup tinggi.
4.2. Tahap Perencanaan
Tahap terakhir dari siklus proyek yaitu operasional dan pemeliharaan, dimana dalam tahap ini perlu dilakukan peninjauan apakah seluruh proyek telah dilaksanakan dengan baik. Peninjauan tersebut meliputi identifikasi seluruh aktivitas proyek, risiko-risiko yang terjadi, serta isu-isu yang terkait dengan proyek.
Terdapat risiko dalam tahap perencanaan yaitu perencana yang kurang berpengalaman dalam melakukan desain jembatan bentang panjang. Didalam buku BMS (Bridge Management System) disampaikan mengenai Quality Control Design untuk perencana jembatan, didalamnya terdapat penjelasan tingkatan-tingkatan perencana, sehingga diperlukan perencana yang berpengalaman dalam desain jembatan bentang panjang. Selain itu, terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam perencanaan metode pelaksanaan, sehingga dirasa perlu untuk melakukan perencanaan terhadap metode pelaksanaan dilapangan dengan baik sesuai dengan kebutuhan proyek tersebut. Risiko lain yang mungkin terjadi pada tahap perencanaan yaitu, kekurangan data lapangan seperti kondisi tanah, potensi gempa, dan kondisi cuaca. Hal ini akan berdampak terhadap desain jembatan tersebut, karena apabila terjadi kekurangan data lapangan, maka akan digunakan asumsi-asumsi dalam melakukan desain. Asumsi tersebut sebaiknya berdasarkan kondisi lapangan yang aktual, akan menjadi tidak valid apabila data lapangan yang ada tidak lengkap/kurang. Apabila terdapat kekurangan data lapangan maka struktur tidak dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan geografis yang ada. 4.3. Tahap Eksekusi Risiko yang mungkin terjadi pada tahap eksekusi proyek yaitu risiko kontraktual, bentuk kontrak yang salah atau kurang sesuai akan mempengaruhi pelaksanaan proyek. Selain itu, metode pelaksanaan dilapangan yang tidak direncanakan dengan baik, akan menimbulkan risiko. Metode pelaksanaan yang buruk akan menyebabkan meningkatnya biaya dan bertambahnya waktu pelaksanaan dilapangan. Dalam tahap pelaksanaan, disampaikan bahwa pekerjaan yang memiliki risiko terbesar yaitu struktur pondasi. Kondisi kontur tanah di sekitar lokasi Jembatan Selat Sunda memiliki kedalaman yang berbeda-beda, terutama pada batas antara
1 - 78
JURNAL INFRASTRUKTUR
Selain itu, risiko mungkin muncul pada saat melakukan Quality Control dalam pelaksanaan, apabila hal tersebut tidak dilakukan secara benar, maka kemungkinan tejadinya kesalahan pada tahap pelaksanaan akan semakin tinggi. Selain itu, Indonesia masih kekurangan sumber daya dalam melakukan pengawasan konstrksi terutama dalam konstruksi jembatan bentang panjang. Diperlukan ahli-ahli yang lebih berpengalaman baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan kontrol kualitas pekerjaan, agar pelaksanaan proyek dapat berjalan dengan baik. 4.4. Tahap Operasional dan Pemeliharaan
Sistem operasional pemeriksaan jembatan perlu dipenuhi dalam tahap pemeliharaan, agar risiko dalam tahap ini dapat berkurang. Dalam sistem pemeriksaan jembatan, juga perlu didukung alat-alat pemeriksaan sebagai contoh seperti Structure Health Monitoring System (SHMS) yang sudah diterapkan pada Jembatan Bentang Panjang Suramadu. SHMS tersebut perlu didukung dengan akses pemeliharaan peralatan atau sensor-sensor yang terpasang pada jembatan. Akses tersebut dibuat untuk memudahkan pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan struktur jembatan serta pengecekan alat-alat dan sensor-sensor yang terpasang. 4.5. Risiko Eksternal Risiko dalam pembangunan jembatan bentang panjang seperti Selat Sunda, tidak hanya terjadi pada setiap tahapan siklus hidup proyek. Terdapat juga risiko eksternal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek tersebut. Risiko yang mungkin terjadi yaitu adanya perubahan kondisi iklim dan cuaca disekitar lokasi proyek. Hal ini menjadi sumber risiko terbesar yang dapat mempengaruhi pelaksanaan proyek di lapangan, karena berada diluar kendali manusia. Gempa merupakan risiko yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan dan operasional berjalan. Lokasi Jembatan Selat Sunda yang berada di sekitar Gunung Krakatau dapat menggangu struktur jembatan tersebut. Perlu dilakukan perencanaan struktur jembatan tahan gempa, sesuai dengan kondisi kegempaan aktual disekitar lokasi jembatan. 4.6. Alokasi Risiko Dalam
pembangunan
mega
proyek
Jembatan
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 3 Risiko, Dampak, dan Mitigasi dalam proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda
akan disampaian dalam workshop yang dihadiri Tabel 4. Alokasi risiko pada proyek Jembatan Selat Sunda
oleh para ahli dan pihak-pihak terkait untuk menilai sejauh mana persiapan/kesiapan proyek tersebut. Setelah FS dilakukan, maka dilanjutkan dengan melakukan Desain Awal dan Detailed Engineering Design (DED) berdasarkan hasil-hasil yang didapat dalam proses FS. Pemilik proyek dalam fase ini berperan sebagai Design Checker untuk melakukan kontrol terhadap desain yang dilakukan oleh pihak ketiga, agar sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Turn Key sendiri memiliki beberapa bentuk atau variasi diantaranya yaitu: A. Design-Build-Operate-Transfer B. Design-Build-Operate-Maintain C. Design-Build-Own-Operate-Transfer
Gambar 6. Perkiraan persentase alokasi risiko pada Jembatan Selat Sunda
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 79
Vol. 2 No. 01 April 2017
Selat Sunda, pemerintah rencananya akan menyerahkan sepenuhnya proyek kepada pihak ketiga yaitu konsultan perencana, kontraktor dan pengelola. Konsultan perencana akan melakukan perencanaan jembatan dan melakukan persiapan Detailed Engineering Design (DED) untuk nantinya dituangkan kedalam kontrak. Kontraktor dalam hal ini bertanggung jawab dalam mengelola seluruh risiko yang mungkin terjadi selama siklus proyek berjalan. Pengelola bertanggung jawab untuk melakukan operasional dan pemeliharaan pada Jembatan Selat Sunda. Hal ini akan berpengaruh pada pemilihan Project Delivery System yang akan diterapkan pada proyek tersebut. Berikut ini adalah gambaran mengenai alokasi risiko yang akan dilakukan untuk proyek Jembatan Selat Sunda berdasarkan asumsi dari hasil wawancara ahli.
Dari ketiga bentuk variasi yang ada, maka tipikal proyek Jembatan Selat Sunda lebih sesuai menggunakan Design-Build-Own-Operate-Transfer (DBOOT). A.
Design - Pemilik (Owner) menyerahkan (lelang) desain sepenuhnya kepada pihakpihak yang dipercaya/ahli dalam melakukan perencanaan Jembatan Selat Sunda.
B. Build - Pemilik (Owner) menyerahkan (lelang) pelaksanaan proyek sepenuhnya kepada pihak kontraktor yang menjadi pemenang lelang. C. Own - Pemerintah sebagai pemilik dari lokasi/site proyek, sedangkan bangunan jembatan dimiliki sementara oleh pihak operator sampai masa pencapaian/pengembalian investasi terpenuhi. D.
4.7. Pemilihan Project Delivery System
Operate - Pemilik (Owner) menyerahkan pengoperasian dan Jembatan Selat Sunda dan pemeliharaan kepada pihak-pihak yang
Tabel 5. Alokasi risiko berdasarkan tipe PDS Turn Key Sumber : COWI Consultants dalam Vaza, 2012 Jembatan Selat Sunda memerlukan biaya yang cukup besar, dimana hal ini sangat terkait dengan risiko-risiko yang mungkin terjadi pada masa siklus proyek. Rencananya, Jembatan Selat Sunda akan beroperasi sebagai Jalan Tol (Toll Road) dengan tarif yang akan disesuaikan dengan rencana pengembalian modal berdasarkan hasil kajian. Dalam proyek Jembatan Selat Sunda, risiko-risiko tersebut akan diserahkan seluruhnya untuk dikelola pihak ke-3 dalam hal ini adalah tim ahli, konsultan, maupun kontraktor, dengan pengguna jasa sebagai pengawas dan penasihat (Adviser) selama siklus proyek berlangsung. Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka tipe Turn Key Tendering merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi diatas. Dalam PDS tipe Turn Key, pemilik proyek (Owner/ Employer) berperan sebagai pencetus ide (Idea Concept) pembangunan Jembatan Selat Sunda yang kemudian akan menyiapkan tender untuk Desain Awal (Basic Design), dan Feasibility Study (FS) yang akan dilakukan oleh pihak ketiga, dan penyiapan spesifikasi yang dibutuhkan. Selama Desain FS dilakukan, pemilik proyek akan berperan sebagai pendamping (Tender Assisteance). Hasil dari FS
1 - 80
JURNAL INFRASTRUKTUR
dianggap mampu untuk mengelola Jembatan Selat Sunda atau juga dapat dikelola sendiri oleh Pemerintah sebagai pemilik (Owner). E.
Transfer - Keseluruhan fisik proyek serta tugas operasi dan pemeliharaan diserahkan kepada Pemerintah setelah pencapaian/ pengembalian investasi terpenuhi.
Dengan Project Delivery System Turn Key, diharapkan risiko-risiko yang ada dalam proyek Jembatan Selat Sunda dapat sepenuhnya dikelola oleh pihak-pihak yang tepat, agar proyek dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana. Biaya untuk proyek Jembatan Selat Sunda sangatlah besar, sehingga ada kemungkinan tidak dibiayai secara langsung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan adanya kemungkinan tersebut, maka terdapat alternatif lain dalam pemilihan Project Delivery System, yaitu dengan menerapkan Public-Private Partnerships (PPP). Tipe PDS ini dapat digunakan apabila Pemerintah menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Skema ini
Vol. 2 No. 01 April 2017
akan mencakup kerja sama antara Pemerintah Daerah, Kementerian, dan investor swasta dalam pembangunan proyek jembatan tersebut. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
baik untuk menghadapi risiko eksternal yang mungkin terjadi selama masa pelaksanaan proyek. Salah satunya dengan cara mengidentifikasi risiko-risiko eksternal yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan proyek Jembatan Selat Sunda.
5.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Jembatan Selat Sunda merupakan mega proyek yang diperkirakan membutuhkan biaya proyek yang cukup besar, sehingga diperlukan pengelolaan risiko yang baik agar tidak terjadi keterlambatan, kegagalan mutu, dan pembengkakan biaya pada saat pelaksanaan proyek berlangsung dimana, pengelolaan risiko yang ada terkait pada pemilihan Project Delivery System yang akan digunakan dalam proyek tersebut. Pemerintah akan mengalokasikan risiko-risiko yang ada kepada pihak ke-3 dalam hal ini konsultan perencana dan kontraktor pelaksana. Sedangkan Pemerintah akan berperan sebagai pengawas dan penasihat selama proyek berlangsung. Risiko-risiko yang ada dalam proyek Jembatan Selat Sunda berbeda dengan jembatan lain karena kondisi geografis disekitar lokasi proyek tersebut yang berbeda dengan kondisi pada jembatan lainnya. Feasibility Study merupakan proses penting dalam tahap inisiasi, sebagai ruang untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai kondisi aktual yang ada dilapangan sebelum dilakukan tahap perencanaan/desain. Namun pada proyek Jembatan Selat Sunda, pihak-pihak terkait masih berjalan secara individu, sehingga informasi belum terdistribusi dengan baik. Sumber daya dalam hal perencanaan, pengawasan pekerjaan dilapangan, dan monitoring untuk jembatan bentang panjang dilapangan masih terbatas. Risiko eksternal seperti kondisi cuaca yang buruk dan gempa mungkin terjadi selama proyek pelaksanaan jembatan dilakukan. Hingga saat ini pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda masih dalam tahap mengkaji kemungkinan adanya dampak akibat risiko eksternal tersebut.
Angreni, Angra. (2013). Pathologies Of Planning (Studi kasus: Jembatan Selat Sunda). Program Studi Perancangan Perkotaan, Universitas Indonesia.
5.2. Saran
Gajewska, E., & Ropel, M. (2011). Risk Management Practices in a Construction Project. Departement of Civil and Enviromental Engineering. Chalmers University Of Technology, Sweden.
Project Delivery System yang disarankan untuk digunakan dalam proyek Jembatan Selat Sunda yaitu tipe PDS Turn Key. Namun, masih dirasa perlu untuk mengkaji tipe PDS lain yang mungkin lebih sesuai diterapkan pada proyek Jembatan Selat Sunda, salah satunya yaitu dengan Public-Private Partnerships (PPP) apabila pemerintah berencana untuk menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Perlu dilakukan Feasibility Study yang lebih mendalam, salah satunya dengan cara mengadakan workshop antara pihak-pihak yang terkait, agar data-data yang diperlukan dalam perencanaan dapat terpenuhi dan terdistribusi dengan baik. Perlu dilakukan pemenuhan sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan proyek Jembatan Selat Sunda, agar proses perencanaan, pengawasan dan monitoring dapat dilakukan dengan baik. Perlu dilakukan perencanaan yang
Banaitiene, N., & Banaitis, A. (2012). Risk Management in Construction Projects. Banaitiene and Banaitis, licensee InTech. Batubara, Dahlan. (2013). Keterlambatan Tender Proyek Akibat Intervensi. mandailingonline. com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Budisuanda. (2011). Kontrak adalah Sumber Risiko Terbesar...Awas!!!. manajemenproyekindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013. Budisuanda. (2011). 25 Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek. manajemenproyekindonesia.com. Diakses pada tanggal 10 Desember 2013. Flanagan R., & Norman, G. (1993). Risk Management and Construction. Blackwell Science Ltd. Festiani, Satya. (2013). BI: Risiko Ekonomi pada 2014 Masih Besar. www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Friedlander, M.C. (2003). Risk Allocation in DesignBulild Construction Projects. Schiff Hardin LLP. Chicago.
Godfrey, Patrick S. (1996). Control Of Risk, A Guide to the Systematic Management of Risk from Cnstruction. Construction Industry Research And Information Association (CIRIA). London. Ida. (2013). Resiko Politik Masih Menghadang Kelangsungan Proyek Infrastruktur di Indonesia. energitoday.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Isnanto. (2009). Kontrak Proyek. masisnanto. blogdetik.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 81
Vol. 2 No. 01 April 2017
Jardine, Scott. (2007). Manging Risk in Construction Projects. PricewaterhouseCoopers. Kurniawan, Akbar T. (2012). Sejarah Kontroversi Proyek Jembatan Selat Sunda. www.tempo.co. Diakses pada tanggal 12 Desember 2013. Li, Qing-Fu., Zhang, P., & Fu, Yan-Chao.(2013). Risk Identification for the Construction of the Large Bridge Based on WBS-RBS. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 6(9): 1523-1530, 2013. Mousa, JHA. (2005). Risk Management in Construction Projects from Contractors and Owners Prespectives. The Islamic University of Gaza, Palestine. Mikaela, Betty. (2006). Analisis Risiko Proyek Konstruksi Gedung Penyakit Dalam RSUP. DR. Hasan Sadikin Bandung Dari Sudut Pandang Pemilik Proyek. Program Magister Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 86 Tahun 2001. Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda. Rica, Frima N. (2009). Upaya Pengendalian Risiko Melalui Penyusunan Kontrak (Studi Kasus Kontrak Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Selatan. Program Magister Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ritz, George J. (1994). Total Construction Project Management. McGraw-Hill, Inc. Roesly, Sinthya. (2011). Pengelolaan Risiko Dalam Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan. Pusat Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum. Romadoni, Ahmad. (2013). Kontras: Rekayasa Kasus Marak, Aturan Hukum Harus Jelas. news.liputan6.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Soeharto, Iman. (2001). Manajemen Proyek (Dari Konseptual Sampai Operasional). Jilid 2. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sumpeno, Wahjudin. (2012). Social Risk Analysis dan Penerapan ISO 31000. wahjudinsumpeno. wordpress.com. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013. Suryo, Taufiq. (2010). Mengapa “harus” Jembatan Selat Sunda. taufiqsuryo.wordpress.com. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013. Sutianto, Feby D. (2013). Djoko Kirmanto Janji 50% Anggaran PU untuk Bangun Jalan dan Jembatan di 2014. finance.detik.com. Diakses 1 - 82
JURNAL INFRASTRUKTUR
pada tanggal 11 Desember 2013. Vaza, Herry. (2012). Persiapan Pembangunan Jembatan Selat Sunda. Kementerian Pekerjaan Umum. Yates, A., & Sashegyi, B. (2001). Effective Risk Allocation in Major Projects: Rhetoric or Reality?. Institution of Engineers, Australia & Chamber of Commerence and Industry of Western Australia. Zou, PXW., Zhang, G., and Wang, J.(2006). Identifying Key Risks in Construction Projects: Life Cycle and Stakeholder Prespectives. International Journal of Project Management. Volume 25, Issue 6, August 2007, Pages 601614.
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS TINGKAT PEMAHAMAN PEMANGKU KEPENTINGAN TERKAIT PENERAPAN KONSEP JALAN BERKELANJUTAN (GREEN ROAD) DI KOTA KUPANG Karlina J. Faah1 Anton Soekiman2 Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi1, Kepala Program Doktor dan Magister Teknik Sipil2 1,2 Universitas Katholik Parahyangan, Bandung Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The construction industry is one of the largest a contributor pollution, depeletion resources, waste, global warming and climate change. The road construction every year increased. In the new road construction, the emission inflicted begins production (asphalt material, aggregate, asphalt mixture, asphalt emulsion), the process of transportation of materials, the construction and waste posed by the process of transportation. In minimizing the negative impact on the environment and the welfare of social and economic, the construction industry has adopted the concept of sustainable entire life cycle project. One effort to realize the concept of sustained by the application of sustainable road (green road). This study aims to analyze understanding concerning the sustainable road by the related parties in such the owners, contractors, planners and academics/experts. This study is descriptive quantitative through literature using severity index methods and statistical tests. The result shows the level of understanding between contractors and academics is still low on implementation category of construction activity and the pavement technology category while consultants and owners already understand about the whole category of sustainable road. Different test result shows a significant difference in understanding among contractors, consultants, academics and owners on construction activity category. Keywords: green road, environment, sustainable development, the construction industry Abstrak Sektor industri konstruksi merupakan salah satu kontributor polusi terbesar, penipisan sumber daya, limbah, pemanasan global dan perubahan iklim. Konstruksi Jalan setiap tahun mengalami peningkatan. Dalam proses kontruksi jalan baru, besarnya emisi yang ditimbulkan bersumber dari produksi material (aspal, agregat, aspal mixture, aspal emulsi), proses transportasi material, proses konstruksi, dan waste yang ditimbulkan oleh proses transportasi. Dalam meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi, industri konstruksi telah mengadopsi konsep berkelanjutan dalam seluruh siklus hidup proyek. Salah satu usaha untuk mewujudkan konsep berkelanjutan yaitu dengan penerapan jalan berkelanjutan (green road). Penelitian ini bertujuan menganalisis pemahaman mengenai jalan berkelanjutan oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini Owner, Kontraktor, Perencana maupun Akademisi/Pakar. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui kajian literatur menggunakan metode severity index dan uji statistik. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pemahaman Kontraktor dan Akademisi masih rendah terkait Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi dan Kategori Teknologi Perkerasan sedangkan Konsultan dan Owner sudah paham mengenai keseluruhan Kategori dari Jalan Berkelanjutan. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan pemahaman yang signifikan diantara kontraktor, konsultan, akademisi dan owner pada kategori aktivitas pelaksanaan konstruksi. Kata Kunci: green road, lingkungan, pembangunan berkelanjutan, industri konstruksi
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 83
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tuntutan pembangunan berkelanjutan salah satunya mensyaratkan adanya kepedulian terhadap lingkungan dan sektor industri konstruksi merupakan salah satu kontributor polusi terbesar, penipisan sumber daya, limbah, pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global sektor konstruksi mengkonsumsi 50% sumber daya alam, 40% energy, dan 16% air (Widjanarko, 2009 dalam Ervianto 2013). Konstruksi Jalan setiap tahun mengalami peningkatan. Kawakami, A. et al.,(2010) menyatakan bahwa dalam proses kontruksi jalan baru, aktivitas penghasil emisi bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil. Secara berurutan besarnya emisi yang ditimbulkan bersumber dari produksi material (aspal, agregat, aspal mixture, aspal emulsi), proses transportasi material, proses konstruksi, dan waste yang ditimbulkan oleh proses transportasi. Horvath dan Hendrickson melaporkan bahwa membangun typikal jalan perkerasan lentur dua jalur dengan panjang 1 km mengkonsumsi 6 TJ (terajoule) energi. Salah satu usaha dalam mengatasi permasalahan tersebut diatas yaitu dengan penerapan jalan berkelanjutan atau green road di Indonesia.
Greenroads (2011) sebagai lembaga penilai jalan berkelanjutan menyatakan bahwa Green road adalah proyek jalan yang dirancang dan dilaksanakan ke tingkat keberlanjutan yang lebih tinggi dari proyek jalan biasa. Tingkat keberlanjutan yang dikembangkan oleh Greenroads merupakan berbagai kegiatan dari perencanaan, perancangan jalan, konstruksi, dan pemeliharaan. Kriteria sebagai Green road dibagi menjadi persyaratan utama dan praktek berkelanjutan yang dapat dilakukan secara sukarela. Persyaratan utama Green road adalah pemilihan kegiatan terkait lingkungan dan ekonomi, partisipasi masyarakat, perancangan jangka panjang untuk kinerja lingkungan, perencanaan konstruksi, perencanaan jenis monitoring dan pemeliharaan.
Green Road Construction adalah gerakan keberlanjutan yang mencita-citakan terciptanya konstruksi jalan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemakaian produk konstruksi yang ramah lingkungan, efisien dalam pemakaian energi dan sumber daya, serta berbiaya rendah (Mohammad Hasan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, 2011 dalam pembukaan International Seminar On The Green Road Construction and International Workshop on The Vetiver Systems). Manfaat jalan hijau setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: (a) manfaat bagi lingkungan (ekosentris) adalah mengurangi penggunaan material, bahan bakar fosil, air, polusi udara, emisi gas rumah kaca, polusi air, limbah padat, dan mampu memulihkan/membentuk habitat. (b) manfaat bagi manusia (antroposentris) adalah meningkatkan akses, mobilitas, kesehatan dan keselamatan manusia, ekonomi lokal, kesadaran, estetika, dan mereduksi biaya daur hidup (Greenroads, 2012). Agar konsep jalan berkelanjutan ini dapat diterapkan maka kriteria jalan hijau perlu didesiminasikan kepada seluruh pemangku kepentingan diantaranya Owner (Pihak Pemerintah), Konsultan Perencana, Kontraktor, serta pihak Akademisi. Pemahaman pihak-pihak tersebut perlu diketahui sehingga dapat dilihat sejauh mana kesiapan daerah dalam menindaklanjuti pembangunan jalan yang berkelanjutan. Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyusun strategi dalam penerapan jalan berkelanjutan di Indonesia.
Dalam menilai seberapa “hijau” suatu infrastruktur jalan dibutuhkan instrumen penilai yang sesuai dengan kondisi lokal. Terdapat berbagai sistem pemeringkatan berupa Pedoman (manual) yang telah dipublikasikan di berbagai negara diantaranya Cequeel version 4 (2008), Greenlites (2010), I-Last (2010), Greenroads (2011) dan INVEST 1.0 (2012). Masing-masing sistem pemeringkatan mempunyai kecenderungan yang berbeda satu sama lain dalam menentukan indikator sebagai instrumen penilainya. Di Indonesia sendiri telah dikembangkan sistem penilaian jalan hijau oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan yang disebut dengan Sistem Rating Jalan Hijau yang memuat persyaratan yang wajib dipenuhi dalam suatu proyek jalan yang akan dinilai yaitu: A. Laporan Life Cycle Cost Analysis dokumen laporan pra studi kelayakan;
(LCCA),
B. Ijin lingkungan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup
oleh
C. Laporan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKLUPL). Selain persyaratan tersebut diatas, kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu proyek jalan untuk mendapatkan nilai yang bersifat sukarela terdiri dari 5 (lima) kategori. Masing-masing kategori dibagi ke dalam beberapa Sub Kategori. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat 37 sub kategori dan 5 Kategori Jalan Berkelanjutan secara keseluruhan, namun yang digunakan dalam penelitian ini hanya 33 sub kategori sedangkan 4 sub kategori lainnya tidak digunakan, diantaranya: A. TM-7, Sub Kategori Penyediaan Fasilitas Pemandangan yang Menarik: dikarenakan sulitnya penilaian dalam mendefinisikan parameter yang menarik. B. TM-8, Sub Kategori Penataan Ornament dan
1 - 84
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 1. Kategori, Sub Kategori Sistem Rating Jalan hijau di Indonesia
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, 2014 Lansekap Jalan: dikarenakan telah menjadi bagian dalam Sub Kategori Akses dan Fasilitas Pejalan Kaki, Pesepeda, dan angkutan umum. C. TP-4 Sub Kategori campuran dingin dan TP-5 Sub Kategori permukaan perkerasan yang dapat mengurangi kebisingan: dikarenakan Sub Kategori TP-1, TP-2 dan TP-3 sudah cukup menggambarkan Kategori Teknologi Perkerasan. 3. METODE PENELITIAN
melakukan tahapan pengumpulan data, analisis data, kesimpulan dan saran. Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Kategori dan Sub Kategori dari Sistem Rating Jalan Hijau yang dikembangkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan. Variabel tersebutlah yang menjadi acuan dalam penyusunan kuesioner dengan pengembangan pernyataan kuesioner berdasarkan indikator/kriteria dari masing-masing sub kategori. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Survei dilakukan melalui pembagian kuesioner kepada responden yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi jalan diantaranya kontraktor, konsultan, Tabel 2. Kategori, Sub Kategori dan Indikator dalam Quisioner
Metode dan strategi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, penentuan variabel penelitian,
Sumber: Hasil Olahan JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 85
Vol. 2 No. 01 April 2017
Akademisi, serta Owner. Penelitian ini menggunakan skala likert 1 - 5 dalam menentukan tingkat persetujuan. Responden diminta untuk memberikan jawaban tingkat persetujuan dari pernyataan kuesioner yang ada (1 = sangat tidak setuju; 2 = tidak setuju, 3 = tidak tahu, 4 = setuju; 5 = sangat setuju). Jawaban kuesioner responden kemudian diberikan skor berdasarkan kesesuaian dengan kunci jawaban kuesioner. Dimana Skor jawaban yang benar bernilai 5 dan skor terendah bernilai 1. Setelah semua data dari responden terkumpul maka dilakukan analisis data yang dibagi dalam dua tahapan yaitu: A. Analisis tingkat pemahaman dari masing-masing pemangku kepentingan dilakukan dengan menggunakan metode severity index yang juga
Teknik ini digunakan untuk menguji signifikansi hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2012, p. 322). Dikatakan terdapat perbedaan secara signifikan jika signifikansi nilai kritis < 0.05, dan sebaliknya apabila signifikansi nilai kritis > 0.05. b. Kruskal-Wallis Uji Kruskal-Wallis adalah uji yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok data sampel. Ho dalam uji Kruskal Wallis adalah bahwa k sampel berasal dari populasi yang sama (Hidayat dan Istiadah, 2011, p.134). Dikatakan terdapat perbedaan yang signifikan jika signifikansi nilai kritis <0.05 (Ho ditolak). 3. Jika data terdistribusi normal maka digunakan uji paramaterik, diantaranya:
didiskusikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Abd. Majid dan McCafer, 1997. Dimana:
= Severity Index = 1,2,3,4,5 = Jumlah frekuensi responden
Severity Index dari keseluruhan indikator dihitung berdasarkan skor setiap responden. Sementara itu, nilai severity index pada Sub Kategori diperoleh dari nilai rata-rata dari setiap indikator pada sub kategori. Nilai Maksimum dari severity index yaitu 1 yang berarti paham dan nilai minimunnya yaitu 0.2 yang berarti
Gambar 1. Skala Evaluasi tidak paham. Adapun 4 (empat) skala tingkat pemahaman ditentukan dengan interval 0.2. Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 1. B. Melakukan uji beda persepsi diantara masingmasing pemangku kepentingan terkait pemahaman jalan berkelanjutan dengan metode analisis statistik inferisial menggunakan software IBM SPSS statistics 22. Adapun tahapannya: 1. Uji Normalitas menggunakan Saphiro Wilk (jumlah sampel > 50) 2. Jika data terdistribusi tidak normal maka dilakukan uji beda non-parametrik, diantaranya: a. Mann-Whitney U-Test
1 - 86
JURNAL INFRASTRUKTUR
a. Independent t test Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai tengah antara dua kelompok adalah uji t dua sampel (independent sample t-Test). Menentukan kriteria pengujian atau keputusan Ho ditolak jika signifikansi t hitung < 0.05, yang berarti terdapat perbedaan secara signifikan. b. Analisis Varian Satu Jalan One Way ANOVA Analisis of variance atau ANOVA merupakan salah satu teknik analisis multivariate yang berfungsi untuk membedakan rerata lebih dari dua kelompok data dengan cara membandingkan variansinya (Ghozali, 2009). One way ANOVA dilakukan untuk menguji perbedaan tiga kelompok atau lebih berdasarkan satu variabel independen. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasrkan hasil survey, jumlah kuesioner yang dikembalikan dan terisi yaitu sebesar 38 (tiga puluh delapan) dari 50 (lima puluh) total kuesioner yang disebarkan. Untuk lebih jelasnya mengenai data demografi responden dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. 4.1. Analisis Severity Index Skor jawaban dari responden pada setiap indikator dihitung menggunakan rumus severity Index. Selanjutnya nilai pada setiap sub kategori diperoleh dari nilai rata-rata indikator pada Setiap Sub Kategori. Adapun hasil Severity Index untuk setiap Sub Kategori pada Kategori Konservasi Lingkungan, Air, Udara dan Alam untuk masing-masing pemangku kepentingan dapat dilihat pada Tabel 5.
Vol. 2 No. 01 April 2017
Tabel 3. Data Demografi Responden
Sumber: Hasil Olahan Tabel 4. Data Kepemilikan Perusahaan Kontraktor beserta Kepemilikan Sertifikat ISO
Sumber: Hasil Olahan Tabel 5. Nilai Severity Index setiap Pemangku Kepentingan (Kategori Konservasi Lingkungan Air, Udara dan Alam)
Sumber: Hasil olahan Berdasarkan hasil analisis, Setiap pemangku kepentingan dalam hal ini Kontraktor, Konsultan, Akademisi dan Owner sudah paham mengenai Konservasi Lingkungan Air, Udara dan Alam. Dari 9 (sembilan) Sub Kategori yang ada, hanya terdapat 2 (dua) kategori yang kurang dipahami oleh pemangku kepentingan, yaitu: A. Sub Kategori KL 2, Upaya Penyediaan System Drainase. Pemahaman kontraktor mengenai upaya system penyediaan drainase untuk jalan berkelanjutan masih kurang, dikarenakan pengetahuan mereka mengenai fungsi drainase yaitu hanya
sebatas untuk mengalirkan air hujan yang berupa limpasan (run-off) secepat-cepatnya ke penerima air/badan air terdekat. Sedangkan fungsi drainase yang berwawasan lingkungan dan bersifat berkelanjutan bukan hanya sebatas mengalirkan air permukaan secepatnya namun juga dapat berfungsi dalam menampung air sementara dan atau meresapkan air sebanyakbanyaknya kedalam tanah sehingga air dapat digunakan kembali dan ketersediaan air tanah dapat terjaga contohnya: Bioswales adalah saluran bervegetasi yang dapat mengalirkan air hujan sembari berfungsi sebagai area infiltrasi (Widyaputra, 2014). JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 87
Vol. 2 No. 01 April 2017
B. Sub Kategori KL 3, Upaya Mitigasi Banjir Lingkungan Berdasarkan hasil analisis, pemahaman pemangku kepentingan terkait upaya mitigasi banjir lingkungan masih kurang. Dalam upaya memitigasi banjir lingkungan pembuatan sumur resapan ataupun lubang biopori lebih efektif dibandingkan kolam drainase sementara, karena dapat meresapkan aliran air permukaan (run off) kedalam tanah dan juga berfungsi sebagai tempat penampungan sementara. Berdasarkan jawaban responden, kolam drainase sementara lebih baik dibandingkan dengan pembuatan sumur resapan dalam upaya mitgasi banjir lingkungan. Nurhikmah, et al (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sumur resapan dan biopori merupakan metode yang dinilai cukup berhasil mengelola limpasan air permukaan agar tidak langsung dialirkan ke saluran drainase utama.
Dari 6 (enam) sub kategori yang dimiliki, hanya 1 (satu) sub kategori yang masih kurang dipahami oleh Pemangku Kepentingan dalm hal ini Kontraktor. Adapun Sub Kategori tersebut yaitu TM 2 terkait Akses dan Fasilitas Pesepeda. Kontraktor kurang memahami tentang pentingnya pemberian marka pada jalur pesepeda, dikarenakan di Kota Kupang sendiri belum ada pembuatan khusus jalur pesepeda pada badan jalan. Atensi masyarakat dalam menggunakan sepeda sebagai salah satu alternatif transportasi masih sangat kurang. Bersepeda bagi masyarakat Kota Kupang, merupakan aktivitas berolahraga dan hanya dilakukan pada waktuwaktu tertentu. Dalam upaya mengurangi emisi dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan maka aktivitas bersepeda maupun pejalan kaki harus lebih ditingkatkan dibandingkan dengan penggunaaan kendaraan bermotor.
Konsultan dan Owner memiliki pemahaman rata-rata yang baik terkait Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi sedangkan Kontraktor dan Akademisi memiliki rata-rata pemahaman yang kurang mengenai kategori tersebut. Hasil analisis Severity Index untuk kategori aktivitas Pelaksanaan konstruksi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6. Nilai Severity Index setiap Pemangku Kepentingan (Kategori Transportasi dan Masyarakat)
Analisis tingkat pemahaman untuk Kategori Transportasi dan Masyarakat pada Jalan Berkelanjutan menunjukkan setiap pemangku kepentingan sudah paham, ditunjukkan dengan nilai Severity Index pada Tabel 6.
Sumber: Hasil Olahan Tabel 7. Nilai Severity Index setiap Pemangku Kepentingan (Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi)
Sumber: Hasil Olahan 1 - 88
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Aktivitas Pelaksanaan Konstuksi memiliki 10 (sepuluh) sub kategori yang mana 4 (empat) sub kategori yang masih kurang dipahami oleh pemangku kepentingan, diantaranya: A. Sub Kategori AK 2, Rencana Daur Ulang dilokasi Pekerjaan, Pemangku kepentingan yang kurang paham mengenai rencana Daur Ulang dilokasi Pekerjaan berdasarkan hasil analisis yaitu Kontraktor, Akademisi, dan Owner. Responden masih kurang memahami terkait material yang dapat digunakan kembali. Dapat dilihat dari jawaban responden yang memiilih material kayu sebagai formwork yang dapat digunakan kembali dibandingkan formwork metal. Di Kota Kupang, formwork kayu lebih banyak digunakan dibandingkan penggunaan formwork metal. Dikarenakan formwork kayu lebih mudah dibentuk dibandingkan formwork metal. Selain itu formwork metal memiliki biaya yang lebih besar karena harus difabrikasi terlebih dahulu. Pemangku kepentingan juga kurang memahami mengenai penggunaan ulang air hasil dewatering. Fungsi dewatering selain untuk menstabilkan tanah dan mengendalikan air atau genangan agar tidak mengganggu pekerjaan struktur dibawah muka air tanah juga memiliki fungsi daur ulang, dimana air hasil dewatering tersebut dapat digunakan kembali untuk kegiatan lapangan. Upaya daur ulang dilokasi pekerjaan dimaksudkan untuk mengurangi sampah dan material yang terbuang. Ada baiknya pekerjaan konstruksi diarahkan untuk menggunakan material-material yang dapat didaur ulang. Contoh: penggunaan formwork metal dibandingkan formwork kayu. B. Sub Kategori AK 3, Pengurangan Emisi dari Bahan Bakar Peralatan Berdasarkan hasil analisis, Kontraktor dan Akademisi kurang memahami upaya pengurangan emisi dari bahan bakar peralatan, terkait penggunaan batubara sebagai bahan bakar AMP (Asphalt Mixing Plant) yang mana bahan bakar batu bara jika digunakan menyisakan limbah
abu batu bara yang sangat banyak dan menjadi masalah bagi lingkungan. Di kota Kupang, bahan bakar yang digunakan untuk Unit AMP yaitu solar namun ada juga unit AMP yang sudah dimodifikasi agar dapat menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Ada baiknya upaya mengurangi polusi udara dari abu batu bara dilakukan dengan mendaur ulang abu sisa pembakaran batu bara menjadi filler pada campuran beraspal, beton aspal lapis aus (asphalt concretewearing course/ AC-WC) dalam batas tertentu sehingga mencapai gradasi agregat yang dikehendaki (Syaiful dan Mulyawan, 2013). C. Sub Kategori AK 4, Pengurangan Emisi pada saat Penghamparan Campuran Beraspal Pemahaman pemangku kepentingan terkait pengurangan emisi pada saat penghamparan campuran berasapal masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya pengembangan teknologi perkerasan di Kota Kupang yang dapat mengurangi emisi. Sebagian besar pekerjaan jalan di kota Kupang menggunakan hotmix sebagai lapisan perkerasan. Teknologi pegolahan aspal dengan metode warmmix belum dilakukan di Kota Kupang. Proses pencampuran dengan temperatur rendah menbuat aspal hangat (warmmix asphalt) membutuhkan energi lebih sedikit untuk pemanasan selama proses produksi. Penggunaan bahan bakar tak terbaharui berkurang dan emisi gas rumah kaca akibat hasil pembakaran bahan bakar fosil dapat ditekan (http://ddscivilengineering.blogspot. co.id/2013/08/aspal-campuran-hangat-warmmix-asphalt.html). D. Sub Kategori AK 10, Penggunaan ulang material perkerasan lama (re-use) Dalam hal ini kontraktor dan akademisi memiliki kesamaan pemahaman yang kurang, dimana kontraktor dan akademisi memilih untuk membuang sisa material yang tidak terpakai pada lahan yang tidak terbangun. Berdasarkan pengamatan dilapangan, kontraktor di Kota Kupang kurang memiliki keinginan untuk
Tabel 8. Nilai Severity Index setiap Pemangku Kepentingan (Kategori Material dan Sumberdaya)
Sumber: Hasil Olahan JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 89
Vol. 2 No. 01 April 2017
menggunakan kembali sisa material yang tidak terpakai. Penyebabnya, yaitu material yang tidak terpakai tersebut tidak dapat digunakan kembali dan atau kontraktor lemah dalam pengadaan dan penataan material sehingga terkadang terdapat sisa material. Untuk meminimalisir hal tersebut, maka perlu adanya manajemen limbah yang baik terkait material oleh kontraktor. Analisis pemahaman pemangku kepentingan untuk kategori Material dan Sumber Daya Alam pada Jalan berkelanjutan berdasarkan nilai Severity Index, rata-rata menunjukkan interpretasi paham. Dari 5 (lima) sub kategori, hanya 1 (satu) sub kategori yang kurang dipahami oleh Akademisi maupun Owner yaitu Sub Kategori MS 4 terkait Keseimbangan Galian-Timbunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 8. Akademisi maupun Owner kurang memahami pentingnya keseimbangan galian dan timbunan. Dengan adanya perhitungan yang akurat mengenai keseimbangan galian dan timbunan dapat mengurangi pekerjaan pemindahan tanah dan sekaligus mengurangi pekerjaan stabilitas tanah dasar. Sedangkan Owner masih memiliki pemahaman yang kurang terkait Penggunaan Material Daur Ulang dalam hal ini RAP (Reclaimed Asphalt Pavement) dan Jarak pengambilan material lokal. Berdasarkan hasil analisis Kategori Teknologi Perkerasan untuk jalan Berkelanjutan menunjukkan rata-rata pemahaman pemangku kepentingan dalam hal ini konsultan dan Owner mempunyai pemahaman yang cukup baik sedangkan Kontraktor
dan Akademisi masih kurang paham terkait teknologi perkerasan tersebut. Terdapat 2 (dua) sub kategori yang kurang dipahami, diantaranya: sub kategori TP 2, Perancangan perkerasan berumur panjang dan sub kategori TP 3, permukaan perkerasan porus. Kekurang pahaman ini disebabkan teknologi perkerasan tersebut belum pernah diterapkan di Kota Kupang dan membutuhkan biaya awal yang besar dalam menerapkan inovasi tersebut. Kota kupang sendiri, masih belum bisa menerapkan inovasi permukaan berporos karena karakeristik tanah di Kota Kupang pada beberapa titik kawasan dilalui oleh lempengan kompleks Bobonaru yang mempunyai sifat slacking yaitu mengembang (swelling) apabila kena air dan susut (shrinkage) jika kering. Jika teknologi perkerasan permukaan berporos diterapkan pada daerah yang memiliki lempengan ini maka jalan didaerah tersebut akan rentan untuk retak dan rusak. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil analisa Severity Index Kategori Teknologi Perkerasan dapat dilihat pada Tabel 9. Agar inovasi teknologi perkerasan dapat dilakukan maka dibutuhkan dukungan dana terkait pengadaan peralatan pengolah selain itu perlu diadakannya pelatihan terkait metode kerja teknologi perkerasan bagi pelaku konstruksi dalam meningkatkan pemahaman mereka. Teknologi perkerasan yang dikembangkan juga nantinya harus disesuaikan dengan karakteristik fisik daerah. Dari keseluruhan 33 (tiga puluh tiga) sub kategori terdapat 10 sub kategori atau 30% yang kurang dipahami oleh kontraktor.
Gambar 2. Grafik Tingkat Pemahaman Pemangku Kepentingan Terkait Jalan Berkelanjutan Tabel 9. Nilai Severity Index setiap Pemangku Kepentingan (Kategori Teknologi Perkerasan)
Sumber: Hasil Olahan 1 - 90
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
Berdasarkan Grafik 2 dapat dilihat bahwa Konsultan dan Owner sudah paham mengenai keseluruhan kategori Jalan Berkelanjutan sedangkan Kontraktor dan Akademisi masih kurang paham terkait Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi dan Teknologi Perkerasan. Tingkat pemahaman yang baik antara Konsulltan dan Owner dikarenakan kedua pelaku konstruksi tersebut mempunyai masukan informasi yang lebih banyak dibandingkan kontraktor dan akademisi. Hal ini didukung dengan banyaknya panduan teknis dan pedoman serta kebijakan terkait pembangunan berkelanjutan sebagai panduan owner. Konsultan juga dituntut mempunyai pemahaman yang baik yang dapat mendukung mereka dalam membuat dokumen perencanaan.
Uji normalitas dilakukan sebelum dilakukan uji beda yang bertujuan mengetahui apakah data yang diperoleh terdistribusi normal. Uji Normalitas menggunakan uji Saphiro Wilk. Adapun hasilnya terdapat 2 kategori yang terdistribusi normal yaitu Kategori Transportasi dan Masyarakat serta Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi sedangkan 3 kategori lainnya seperti Kategori Konservasi lingkungan, air dan udara, Kategori Material dan Sumberdaya serta Kategori Teknologi Perkerasan tidak terdistribusi normal. Hasil ini mendasari untuk uji beda yang digunakan adalah uji beda parametrik untuk kategori yang terdistribusi normal, sedangkan kategori yang tidak terdistribusi normal harus menggunakan uji beda non-parametrik (Tabel 10).
4.2. Analisis Statistik Inferensial (Uji Beda 4.3. Uji Beda Non Paramterik-Kruskall Wallis Persepsi) Tabel 10. Hasil Uji Normalitas
Tabel 11. Hasil Uji Kruskall Wallis terhadap 3 (tiga) Kategori yang Terdistribusi Normal
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 91
Vol. 2 No. 01 April 2017
Dikatakan terdapat perbedaan yang signifikan jika signifikansi nilai kritis < 0,05 (Ho ditolak). Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan pemahaman yang signifikan antara setiap pemangku kepetingan terhadap Kategori Konservasi Lingkungan Air, Udara dan Alam, Kategori Material dan Sumberdaya serta Kategori Teknologi Perkerasan (Tabel 11). 4.4. Uji Beda Parametrik-Analisis Varian Satu Jalan One Way ANOVA One way ANOVA dilakukan untuk menguji perbedaan tiga kelompok atau lebih berdasarkan satu variabel independen. Dalam hal ini hipotesis yang akan diuji adalah: H0
=
Tidak ada perbedaan rata-rata tingkat pemahaman masing-masing pemangku kepentingan terhadap kategori jalan berkelanjutan (Sama)
H1 = Ada perbedaan rata-rata tingkat pemahaman masing-masing pemangku kepentingan terhadap kategori jalan berkelanjutan. (Tidak Sama) Untuk menentukan Ho atau H1 yang diterima maka ketentuan yang harus diikuti adalah sebagai berikut: Jika signifikan atau probabilitas > 0.05, maka H0 diterima Jika signifikan atau probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak Berdasarkan hasil uji ANOVA, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata tingkat pemahaman setiap pemangku kepentingan terhadap
Kategori dari Jalan Berkelanjutan. Terdapat perbedaan pemahaman yang signifikan diantara pemangku kepentingan terkait sub kategori Aktivitas Pelaksanaan konstruksi. Terdapat 10 sub kategori atau 30% yang kurang dipahami oleh Pemangku kepentingan dan perlu menjadi perhatian untuk didesiminasikan yaitu Upaya penyediaan sistem drainase, Upaya Mitigasi Banjir Lingkungan, Akses dan Fasilitas Pejalan Kaki, Rencana Daur Ulang di Lokasi Pekerjaan, Pengurangan Emisi dari Bahan Bakar Peralatan, Pengurangan Emisi pada saat Penghamparan Campuran Beraspal, Penggunaan ulang material perkerasan lama (reuse), Keseimbangan galian-timbunan, Perancangan perkerasan berumur panjang minimum 40 tahun dan Permukaan Perkerasan Poros. 5.2. Saran Untuk meningkatkan pemahaman perlu dilakukan desiminasi terkait Jalan Berkelanjutan dan juga pengadaan pelatihan terkait konstruksi yang berkelanjutan agar dapat meningkatkan kesadaran dan wawasan lingkungan serta mampu mengidentifikasi metode praktis terbaik untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan. Agar Konsep berkelanjutan dapat diterapkan perlu dilakukan pengawasan melekat salah satunya dengan pembentukan panitia khusus untuk menilai konstruksi berkelanjutan.Pemberian insentif berupa kredit poin lebih pada saat mengikuti pelelangan bagi setiap pelaku konstruksi yang pernah mengerjakan konstruksi berkelanjutan diperlukan untuk memotivasi pelaku konstruksi dalam pelaksanaan aktivitas konstruksi yang berlandaskan prinsip lingkungan.
Tabel 12. Hasil Uji ANOVA Kategori Transportasi Masyarakat dan Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi
Kategori Transportasi dan Masyarakat. Sedangkan pada Kategori Pelaksanaan Konstruksi terdapat perbedaan pemahaman yang signifikan diantara pemangku kepentingan (Tabel 12). 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan tingkat pemahaman Kontraktor dan Akademisi masih rendah terkait Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi dan Kategori Teknologi Perkerasan sedangkan Konsultan dan Owner sudah paham mengenai keseluruhan 1 - 92
JURNAL INFRASTRUKTUR
DAFTAR PUSTAKA CEEQUAL, Ltd. (2008). CEEQUAL scheme description and assessment process handbook, Version 4 – Web Download Copy. www.ceequal.com Ervianto. W. I. (2013). Kajian Green Construction Infrastruktur Jalan Dalam Aspek Konservasi Sumberdaya Alam. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 Universitas Sebelas Maret (UNS-Solo). Surakarta. 24-25 Oktober 2013 Federal Highway Administration. (2012). INVEST
Vol. 2 No. 01 April 2017
1.0. Washington DC: FHWA.
Maret, 24-26 Oktober 2013, Surakarta.
Greenroads Foundation. (2011). Greenroads Manualv1.5. Washington: Greenroads Foundation. Ghozali, Imam. (2009). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Semarang: BP UNDIP. Hendrickson, C dan Horvath, A. (2000) : Resource use and environmental emissions of U.S. construction sectors’. Journal Construction Engineering Management. 126 (1): 38-44.
Widyaputra k Primanda. (2014). Pengembangan Infrastruktur Hijau Di Berbagai Negara, Menyongsong Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Lingkungan www.pu.go.id/main/view_pdf/6969 http://ddscivilengineering.blogspot.co.id/2013/08/ aspal-campuran-hangat-warm-mix asphalt. html
Hidayat, T., & Istiadah, N. (2011). Panduan lengkap menguasai SPSS 19 untuk mengolah data statistik penelitian. Jakarta: Mediakita. IDOT & IJSG (2010) I-Last - Illinois Livable and Sustainable Transportation Rating System and Guide [WWW document]. URL http:// www.dot.state.il.us/green/documents/ILASTGuidebook.pdf Kawakami, A., Nitta, H., Kanou, T., Kubo, K., (2010),Study on CO2 emisiion of pavement recycling methods. Nurhikmah, Nursetiawan, Akmalah Emma (2016). Pemilihan Metode Sistem Drainase Berkelanjutan Dalam Rangka Mitigasi Bencana Banjir Di Kota Bandung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional. Vol (3). September 2016 NYSDOT. (2010). GreenLITES Certification Program
Project
Design
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan (2014) Rancangan Pedoman Jalan Hijau. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum. Republik Indonesia. (2011). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 05 /PRT/M/2015 tentang Pedoman Umum Implementasi Konstruksi Berkelanjutan pada Penyelenggaraan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum dan Permukiman. Berita Negara RI Tahun 2015, No. 430. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Syaiful dan Mulyawan, S. (2013), Studi Penambahan Debu batubara Sebagai Filler Pada Campuran Beraspal, Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 Universitas Sebelas
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 93
Vol. 2 No. 01 April 2017
MENINGKATKAN NILAI KUAT TEKAN BEBAS (UCS) TANAH MANYAWANG DISTABILISASI DENGAN SEMEN Bambang Raharmadi Teknik Jalan dan Jembatan Ahli Muda Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Lungkuh Layang Roads - Buntok 64.69 Km is the Central Axis National road linking the capital of Central Kalimantan province with 4 (four) Districts in Barito watersheds namely South Barito, East Barito, North Barito and Murung Raya. The unavailability of materials resource that qualify for the foundation of the pavement become a problem in the construction of this road. As an alternative, they use materials that are available around the Manyawang Village by improved physical properties and mechanical ground. Repair method used is with the added material (ie cement) in order to qualify as a foundation layer. The success of this project depends on the procedures, materials, and tools used. To determine the physical and mechanical characteristic a test has been held against the local soil and soil-cement mixture in the form of a standard compaction and Unconfined Compression Strength (UCS) 7 days. The purpose of this study was to determine the effect of the added material (cement) to Unconfined Compression Strength (UCS) to improve the quality of Manyawang soil to be used as a substitute for base course of pavement. The result of the Manyawang soil material againts grain size distribution test fulfilled the permitted qualification to be used as material soil stabilization cement, including the CL-ML is silt was organic, silt loam with low plasticity based on land classification system USCS while according to the soil classification system AASHTO included in the group A-4 is silt loam soil with low plasticity to the plasticity index 6.21% ≤ 10% requirement specified. The maximum dry bulk density (ydmax) of land 1.855 t / m3, once stabilized with cement rose to become ydmax1,858 t / m3, 1.860 t / m3, 1.863 t / m3, 1.872 t / m3, 1.883 t / m3, and the optimum water content (Wopt) of land Wopt 13.0% to 12.5%, 11.8%, 11.6%, 11.5% and 11.0%. Increasing the value of Unconfined Compression Strength (UCS) of Manyawang land 3.524%, after stabilized with cement increased to be 18.16 kg / cm2, 23.82 kg / cm2, 33.80 kg / cm2, 44.05 kg / cm2, and 46.52 kg / cm2, along with the increasing of cement content. With UCSOpt 24 kg / cm2 PCOpt gained 5.8%, ydmax 1.859 t / m3, and Wopt 12.1%. Keywords: UCS, manyawang soil, stabilized, cement Abstrak Ruas jalan Lungkuh Layang – Buntok sepanjang 64,69 Km merupakan jalan Nasional Poros Tengah yang menghubungkan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah dengan 4 (empat) Kabupaten di daerah aliran sungai Barito yaitu Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara dan Murung Raya. Tidak tersedianya sumberdaya material yang memenuhi syarat untuk pondasi perkerasan jalan menjadi masalah dalam pembangunan ruas jalan ini. Sebagai alternatif, digunakan material yang tersedia disekitar lokasi yaitu dusun Manyawang dengan dilakukan perbaikan sifat-sifat fisik dan mekanik tanah. Metode perbaikan yang digunakan adalah dengan bahan tambah (yaitu semen) agar memenuhi syarat sebagai lapis pondasi. Keberhasilan usaha ini tergantung kepada prosedur, bahan, dan alat yang digunakan. Untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik dilakukan uji terhadap tanah lokal dan campuran tanah-semen berupa pemadatan standar, dan kuat tekan bebas (UCS) pemeram 7 hari. Tujuan dari penyusunan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan tambah (semen) terhadap nilai kuat tekan bebas (UCS) untuk meningkatkan mutu tanah Manyawang agar dapat digunakan sebagai pengganti lapis pondasi perkerasan jalan. Hasil uji material tanah Manyawang terhadap pengujian distribusi ukuran butir memenuhi syarat yang diijinkan untuk digunakan sebagai material stabilisasi tanah semen, termasuk kelompok CL-ML yaitu lanau tak organik, lempung kepasiran dengan plastisitas rendah berdasarkan klasifikasi tanah sistem USCS sedangkan menurut klasifikasi tanah sistem AASHTO termasuk pada kelompok A-4 yaitu tanah lempung lanau dengan plastisitas rendah dengan indek plastisitas 6,21% ≤ 10% syarat yang ditentukan. Berat isi kering maksimum dari tanah 1,855 t/m3, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 858 t/m3, 1,860 t/m3, 1,863 t/m3 , 1,872 t/m3 , 1,883 t/m3, dan kadar air optimum (Wopt) dari tanah 13,0% menjadi Wopt 12,5%, 11,8%, 11,6%, 11,5%, dan 11,0%. Peningkatan nilai kuat tekan bebas (UCS) dari tanah Manyawang 3,524%, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 18,16 kg/cm2, 23,82 kg/cm2, 33,80 kg/cm2 , 44,05 kg/cm2, dan 46,52 kg/cm2, seiring dengan bertambahnya kadar semen. Dengan UCSOpt 24 kg/cm2 didapat PCOpt 5,8%, ydmax 1,859 t/m3, dan Wopt 12,1%. Kata Kunci : UCS, tanah Manyawang, distabilisasi, semen
1 - 94
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
1. PENDAHULUAN Jalan sebagai sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh kesatuan, memantapkan pertahanan dan keamanan nasional serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Ruas jalan Lungkuh Layang - Buntok sepanjang 64,890 Km merupakan jalan Nasional Poros Tengah yang menghubungkan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah dengan 4 (empat) Kabupaten di daerah aliran sungai Barito yaitu Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara dan Murung Raya. Dalam pembangunan ruas jalan ini yang menjadi permasalahan tidak tersedianya sumberdaya alam yang memenuhi syarat, terutama batu pecah untuk pondasi perkerasan jalan yang harus didatangkan dari luar daerah, seperti Pelaihari dan Merak. Sebagai alternatif memanfaatkan material lokal yang distabilisasi dengan semen untuk membaikan sifat-sifat fisik dan mekanik tanah agar memenuhi persyaratan Spesifikasi Umum 2010 (revisi 3), nilai kuat tekan bebas (UCS) target adalah ≥ 24 kg/ cm2 dengan umur pemeraman 7 hari (SNI 03-68872002) sebagai lapis pondasi perkerasan. Stabilisasi dengan bahan tambah akan memperbaiki sifat teknis tanah, seperti kekuatan dan plastisitas (Hardiyatmo, 2010) Dengan menggunakan stabilisasi tanah lokal dengan semen ini di harapkan dapat membantu mengatasi salah satu permasalah dalam pembangunan ruas jalan Lungkuh Layang – Buntok.
nilai UCS untuk meningkatkan mutu tanah lokal agar dapat digunakan sebagai pengganti lapis pondasi perkerasan jalan C. Untuk mengetahui terhadap nilai UCS.
kadar
semen
optimum
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan bubuk halus yang bila dicampur dengan air akan menjadi ikatan yang akan mengeras, karena terjadi reaksi kimia sehingga membentuk suatu massa yang kuat dan keras, yang disebut hidroulic cement. Menurut Spesifikasi Umum 2010 (revisi 3), semen yang digunakan untuk Lapis Pondasi Semen Tanah adalah semen portland tipe I yang memenuhi ketentuan SNI 152049-2004. Menurut Hardiyatmo (2010), SNI 033438-1994 mensyaratkan semen yang digunakan untuk stablisasi semen adalah semen tipe I, sesuai SII-13-1977. 2.2 Air Air yang digunakan dalam stabilisasi tanah-semen mempunyai dua fungsi, yaitu untuk memungkinkan terjadinya reaksi kimia dengan semen selama proses pengerasan dan sebagai bahan pelumas antara campuran tanah-semen, sehingga memudahkan pelaksanaan. Air yang digunakan dalam pekerjaan haruslah air tawar dan bebas dari endapan maupun larutan atau bahan suspensi yang mungkin dapat merusak pembuatan lapis pondasi tanah semen seperti yang ditentukan dan harus memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalan SNI 03-6817-2002 (Spesifikasi Umum 2010, revisi 3). Menurut Hardiyatmo (2010), SNI 03-3438-1994 mesyaratkan air untuk stabilisasi dengan semen adalah seperti dijelaskan dalam Tabel 1.
Perumusan masalah ini lebih di fokuskan untuk untuk mengetahui seberapa besar pengaruh semen terhadap nilai kuat tekan bebas (UCS) untuk meningkatkan mutu tanah lokal agar bisa digunakan sebagai lapis pondasi perkerasan jalan Tabel 1. Persyaratan Air Untuk Stabilisasi Dengan Semen
Sumber: Hardiyatmo (2010) Tujuan dari penelitian ini adalah: A. Untuk mengetahui klasifikasi tanah quari Manyawang menurut Unified Soil Classification System (USCS), American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO), ukuran butiran dan batas-batas Atterberg agar bisa digunakan sebagai bahan stabilisasi semen B. Untuk mengetahui pengaruh semen terhadap
2.3. Tanah Tanah sebagai bahan yang terdiri dari agregat mineralmineral padat yang tidak terikat secara kimia antara satu sama lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk yang berpartikel padat disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel partikel padat tersebut (Das, 2008). A. Pengujian Distribusi Ukuran Butir JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 95
Vol. 2 No. 01 April 2017
Distribusi ukuran butir adalah pengelompokan besar butir analisa agregat kasar dan agregat halus menjadi komposisi gabungan yang ditinjau berdasarkan saringan. Menurut Spesifikasi Umum 2010, revisi 3 adalah tanah yang cocok digunakan untuk lapis pondasi semen tanah harus sesuai dengan ukuran partikel yang ditentukan yaitu ukuran yang paling besar dari partikel batu harus lebih kecil dari 75 mm dan kurang dari 50% melewati saringan No. 200 dengan cara pengayakan basah. Porland Cement Association (1979), mensyaratakan tanah yang distabilisasi dengan semen sebaiknya tanah-tanah berpasir dan berkerikil dengan gradasi ukuran butir seperti pada Tabel 2.
Reclamation (USBR) tahun 1952. Sistem ini mengelompokkan tanah dalam dua kelompok besar, yaitu: 1. Tanah Berbutir Kasar ( coarse-grained-soil ), yaitu: tanah kerikil dan pasir dimana kurang dari 50% berat total contoh tanah lolos saringan nomer 200. 2. Tanah Berbutir Halus ( fine-grained-soil ), yaitu tanah dimana lebih dari 50% berat total contoh tanah lolos saringan nomer 200. Cara menentukan klasifikasi tanah berdasarkan Unified Soil Classification System seperti pada
Tabel 2. Gradasi Ukuran Butir Tanah Semen
Sumber : Hardiyatmo (2010) B. Sistem klasifikasi tanah Group symbol 1
Typical names
GW
Well graded gravels, gravelsand mixtures, little or no fines
Laboratory classification criteria
Information required for describing soils
Predominantly one size or a range of sizes with some intermediate sizes missing
GP
Non-plactic fines (for identification procedure see ML below)
GM
Silty gravels, poorly graded gravel sand silt mixtures
Plastic fines (for identification procedure CL below)
GC
Clayey gravels, poorly graded gravel-sand-clay mixtures
Wide range in grain sizes and substantial amounts off all intermediate particle sizes
SW
Well graded gravels, gravelly sands little or no fines
Predominantly one size or a range of sizes with some intermediate sizes missing
SP
Poorly graded gravels, gravelly sands little or no fines
Non-plactic fines (for identification procedure see ML below)
SM
Silty gravels, poorly graded sand silt mixtures
Plastic fines (for identification procedure CL below)
SC
Clayey sands, poorly graded sand clay mixtures
Give typical names: indicate approximate percentages of sand and gravel: maximum size: angularity, surface condition, and hardness of the coarse grains local or geological name and other pertinent descriptive information and symbol in parentheses.
Poorly graded gravels, gravels- For undisturbed soils add sand mixtures, little or no fines information on satisfaction, degree of compactness, cementation, moisture conditions and drainage characteristic. Exampel : Silty sand, gravelly, about 20% hard angular gravel particles 12,5 mm maximum siz; rounded and subangular sand grains coarse to fine, about 15% non-plastic lines with low dry strenght; well compacted and moist in places; alluvial sand; (SM)
Identification procedure on fraction smaller than .475 mm sleve size Delaten Dry cy strength Toughness (reacti crushing (consistency near on to plastics limit) characteris shaking tics ) None to slight
Quick None to slow
None Medium to to very Medium high slow Slight to medium
Slow
Slight to medium
Slow to Slight to medium none
High to None very high
Slight
High
None Medium to to very Slight to medium high high Readily identify by colour, odour, spongy feel, and frequently by fiberous
Inorganic salts and very fine sands, rock flour, salty or claryey fine sands with slight plasticity Inorganic clays of low to medium plasticity, gravelly CL, CI clays, sandy, clays, salty clays, lean clays ML
OL
Organic silts and organic silt clays of low plasticity
MH
Inorganic silts, micaceous or dictomaceus fine sandy or silty sods, elastic silts
CH
Inorganic clays of high plasticity, fat clays
OH
Organic clays of medium to high plasticity
Pt
Peat and other highly organic soils
Give typical names: indicate degree and character of plasticity, amount and maximum size of coarse grains; colour in wet condition odour if any, local or geological name, and other pertinent descriptive information, and symbol in parentheses
Determine percentages of gravel and sand from grain size curve. Depending on percentages of fines (fraction smallest than 0.75 mm sleve size) coarse grained soils are classfied as follows Less than 5% GW, GP, SW, SP More than 12% GM, GC, SM, SC 5% to 12% Borderline cases requiring use of dual sy
Clean gravels (fade of no fines) Gravels with fines (appreciable amount of fines) Clean sands (fade of no fines) Sands with fines (appreciable amount of fines)
Gravels More than half of coarse fraction is larger than 236 mm Sands More than half of coarse fraction is larger than 236 mm
Coare grained soils More than half of material is large than 075 mm sleve size
High organics soils
Wide range of grain size and subtantial amount of all intermediate particle sizes
Use grain size curve in identifying the fractiones as given under field identification
Silty and clays liquid limit less than 50 Silty and clays liquid limit less than 50
Fire grained soils More than half of materials is smaller than 0.75 mm sleve size
The .075 mm sleve size is about the smallest particle visible to the naked eye
Field identification procedure (Excluding particles larger than 75mm and basing fractions on estimated weight)
𝐶𝑈 =
𝑐𝐶 =
𝐷60 𝐷30
Greater than 4 𝐷30 2 𝐷10 𝑥𝐷60 Between 1 and 3
Not Meeting all gradation requirement for GW
Atterberg limits below "A" line or P1 less then 4 Above "A" line with P1 between 4 and 7 are borderline cases requiring use of dual symbols Atterberg limits below "A" line or P1 less then 7
𝐶𝑈 = 𝑐𝐶 =
𝐷60 𝐷30
Greater than 4
𝐷30 2 Between 1 and 3 𝐷10 𝑥𝐷60
Not Meeting all gradation requirement for SW
Atterberg limits below "A" line or P1 less then 4 Above "A" line with P1 between 4 and 7 are borderline cases requiring use of dual symbols Atterberg limits below "A" line or P1 less then 7
For undisturbed soils add information on structure, stratification, consistency and undisturbed and remoulded states, moisture and drainage conditions Example: Clayer silt brown, slightly plastic: small percentage of fine sand: numerous vertical root holes: firm and dry in places loess. (ML)
Gambar 1. Klasifikasi Tanah Sistem USCS Sumber : Hendarsin (2000) Sistem Klasifikasi Tanah Berdasarkan Unified Soil Classification System (USCS) diperkenalkan oleh Cassagrande tahun 1942 yang selanjutnya disempurnakan oleh Unites States Bureau Of
1 - 96
JURNAL INFRASTRUKTUR
Gambar 1. Sistem Klasifikasi Tanah American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO) membagi tanah kedalam 8 kelompok, A-1 sampai
Vol. 2 No. 01 April 2017
(Hardiyatmo, 1996). B. Indeks Plastisitas (Plasticity Index) Indeks plastisitas (PI) adalah selisih batas cair dan Tabel 3. Nilai indeks plastisitas dan macam tanah
Sumber : Hardiyatmo (1996) Gambar 2. Nilai-nilai Batas-batas Atterberg Untuk Subkelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7 Sumber : Hardiyatmo (1996) A-8 termaksud sub-subkelompok. Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dengan rumus-rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya analisis saringan dan batas-batas Atterberg. Bila nilai indeks kelompok semakin tinggi, makin berkurang ketepatan penggunaan tanahnya. Tanah granular diklasifikasikan ke dalam klasifikasi A-1 sampai A-3. tanah A-1 granular yang bergradasi baik, sedang A-3 adalah pasir bersih yang bergradasi buruk. Tanah A-2 termasuk tanah granular (kurang dari 35% lewat saringan no. 200), tetapi masih terdiri atas lanau dan lempung. Tanah berbutir halus diklasifikasikan dari A-4 sampai A-7, yaitu tanah lempung-lanau. Perbedaan keduanya berdasarkan pada batas-batas Atterberg seperti pada Gambar 2. A. Batas – batas Konsentensi Batas konsintensi adalah kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu. Konsintensi tergantung pada gaya tarik antara partikel mineral lempung. Cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangklan kandungan kadar airnya. Batas-batas tersebut yaitu : 1. Batas Cair (Liquid Limit) Batas cair (LL), didefinisikan sebagai kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis. Porsentase kadar air dibutuhkan untuk menutup celah sepanjang 12,7 mm pada dasar cawan, sesudah 25 kali pukulan didefinisikan sebagai batas cair tanah tersebut (Hardiyatmo, 1996). 2. Batas Plastis (Plastic Limit). Batas plastis (PL), didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat, yaitu persentase kadar air di mana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai retak-retak ketika digulung
batas plastis (Hardiyatmo, 1996) dengan Persamaan 1 berikut : PI = LL – PL ................................ (1) Tabel 4. Petunjuk Awal Untuk Pemilihan Metode Stabilisasi.
Sumber : Hardiyatmo ( 2010) Indeks plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis. Batasan mengenai indeks plastis, sifat, macam tanah dan kohesif oleh Atterberg terdapat dalam Tabel 3. Menurut Hicks (2002), distribusi ukuran butir dan batas-batas Atterberg digunakan sebagai dasar penilaian macam stabilisasi yang akan digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Petunjuk dari Tabel 4 hanya sebagai pertimbangan awal, dan dapat digunakan untuk maksud modifikasi tanah. Lapis Pondasi Tanah Semen Lapis Pondasi Tanah Semen adalah lapis pondasi yang terbuat dari tanah yang distabilisasi dengan semen. Menurut Manual Konstruksi dan Bangunan Lapis Pondasi Tanah Semen (2006), stabilisasi tanah dengan semen adalah campuran tanah dengan semen dan air dengan komposisi tertentu sehingga tanah tersebut memeliki sifat atau daya dukung yang lebih baik dari semula. Hardiyatmo (2010), Stabilisasi dengan menggunakan bahan tambah atau sering juga disebut stabilisasi kimiawi bertujuan untuk memperbaiki sifat-sifat teknis tanah, dengan cara mencampur tanah dengan menggunakan bahan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 97
Vol. 2 No. 01 April 2017
tambah dengan perbandingan tertentu.
Pengujian
ini
merupakan
cara
dilakukan
di
B. Pengujian Pemadatan Ringan di Laboratorium Pemadatan adalah suatu proses memadatnya partikel tanah sehingga terjadi pengurangan volume udara dan volume air dengan memakai cara mekanis. Kepadatan tanah tergantung banyaknya kadar air, jika kadar air tanah sedikit maka tanah akan keras begitu pula sebaliknya bila kadar air banyak maka tanah akan menjadi lunak atau cair. Pemadatan tanah dapat dilaksanakan di lapangan maupun di laboratorium. Dilapangan biasanya tanah akan digilas dengan mesin penggilas yang didalamnya terdapat alat penggetar, getaran akan menggetarkan tanah sehingga terjadi pemadatan. Sedangkan dilaboratorium menggunakan pengujian ringan (standart), yang disebut dengan uji Proctor, dengan cara suatu palu dijatuhkan dari ketinggian tertentu beberapa lapisan tanah di dalam sebuah mold. Dengan dilakukannya pengujian pemadatan tanah ini, maka akan terdapat hubungan antara kadar air dengan berat volume. Derajat kepadatan tanah diukur dari berat volume keringnya, hubungan berat volume kering (yb ), berat volume basah (yb ) dan kadar air (w) dinyatakan dengan Persamaan 2. Gambar 3. Diagram Alir Tahapan Penelitian .................................... (2)
Untuk mengetahui kadar air yang optimum pada tanah, maka dilakukan pengujian pemadatan , pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Apabila diketahui berat tanah basah didalam cetakan yang volumenya diketahui, maka berat isi basah dapat langsung dihitung dengan Persamaan 3. .............................. (3)
laboratorium untuk menghitung kekuatan geser tanah. Uji kuat tekan bebas ini mengukur seberapa kuat tanah menerima kuat tekan yang diberikan sampai sampel tanah berbentuk silinder yang bebas bagian sampingnya tersebut terpisah dari butiranbutirannya (pecah) juga mengukur regangan tanah akibat tekanan. Pengujian kuat tekan ini dilakukan pada tanah asli dan juga pada tanah yang sudah diberi campuran semen. Namun untuk tanah yang sudah diberi campuran semen, pengujian dilaksanakan pada waktu peram 7 hari. Pembacaan tegangan pada pengujian kuat tekan bebas ini dibatasi sampai regangan 20%. Nilai kuat tekan bebas (UCS) untuk lapis pondasi tanah semen disyaratkan (Spesifikasi Umum 2010, revisi 3), seperti ditunjukkan didalam Tabel 5. 3. METODE PENELITIAN
γbasah adalah perbandingan berat tanah basah dalam cetakan dengan volume cetakan, kadar air diperoleh dari tanah yang dipadatkan. C. Uji Kuat Tekan Bebas (UCS)
Pengujian dilakukan terhadap tanah lokal (existing) dalam kondisi terganggu (disturbed) quari desa Manyawang pada ruas jalan Lungkuh Layang – Buntok. Tahapan pengujian dilaksanakan sesuai dengan bagan alir seperti pada Gambar 3.
Tabel 5. Kriteria Kekuatan Lapis Pondasi Tanah Semen
Sumber : Spesifikasi Umum 2010, revisi 3
1 - 98
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 2 No. 01 April 2017
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Sifat Fisik Tanah
Dalam penelitian ini mengulas tentang lapis pondasi tanah semen yang sudah distabilisasi dengan semen kadar semen 5%, 6%, 7%, 8% dan 9% dengan pengujian sifat fisik dan mekanik di laboratorium.
1. Analisis Uji Analisa Saringan
4.1. Hasil Pengujian Material 4.2. Semen
Gradasi ukuran butir material tanah lokal sangat penting dan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadapat kekuatan. Berdasarkan hasil analisis uji distribusi ukuran butir dapat di lihat pada Gambar 4.
Semen yang digunakan tipe I merk Tonasa dengan hasil uji berat jenis diperoleh 3,12 gr/cc dan menurut Suci Wulandari Indah Pratama dkk, ikatan awal 45 menit dan ikatan akhir 375 menit dari hasil pengujian Vicat. 4.3. Air
Gambar 6. Diagram Plastisitas Tanah Berbutir Halus Sistem USCS Sumber : Hendarsin (2000)
Gambar 4. Hasil Uji Distribusi Ukuran Butir Material Tanah Manyawang Air yang digunakan adalah air dari PDAM dengan hasil uji PH 5,10, berdasarkan SNI 03-3438-1994 (PH 4,5 – 8,5) memenuhi syarat untuk digunakan dalam Lapis Pondasi Tanah Semen.
Dari hasil pengujian distribusi ukuran butir yang dapat dilihat pada Gambar 5 menunjukan material untuk pekerjaan Lapis Pondasi Tanah Semen memenuhi persyaratan yang di ijinkan (Porland Cement Association ,1979).
4.4. Tanah Pengujian dilakukan terhadap tanah yang diambil di quari Dusun Mayawang, Timpah, pada ruas jalan Lungkuh Layang – Buntok dalam kondisi terganggu (disturbed). Pengujian yang dilakukan ini dibagi
Gambar 7. Nilai-nilai Batas-Batas Atterberg untuk Subkelompok A-4, A-5,A-6 dan A-7 Sumber : Hendarsin (1996) 2. Analisis Uji Batas-batas Atterberg Gambar 5. Hasil Pengujian Batas Cair Material Tanah Manyawang
Dari analisis pengujian batas-batas Atterberg material tanah lokal dapat di lihat pada Gambar 5.
menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu uji sifat fisik dan sifat mekanis tanah.
Tanah Manyawang termasuk golongan plastisitas rendah (PI) 6,21% ≤ 10% syarat JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 99
Vol. 2 No. 01 April 2017
B. Hasil Uji Sifat Mekanik Tanah 1. Analisis Uji Pemadatan Ringan Hasil uji pemadatan ringan tanah didapat grafik hubungan antara berat isi kering maksimum (ydmax) dan kadar air optimum (Wopt) seperti pada Gambar 8. 2. Analisis Uji Kuat Tekan Bebas (UCS)
Gambar 8. Hubungan Kadar Air dengan Berat Isi Kering yang ditentukan (Hicks 2002). Klasifikasi Tanah Sistem USCS berdasarkan hasil batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI), yang diplotkan dengan diagram plastisitas, termasuk pada kelompok CL-ML yaitu lanau tak organik, lempung kepasiran
Gambar 11. Hubungan Kadar Semen dengan Kadar Air Optimum Hasil uji pemadatan standar dan uji UCS tanah, hubungan antara kedua pengujian tesebut diplotkan dalam grafik yang akan menghasil nilai UCS seperti pada Gambar 9. 4.5. Pengaruh Semen Terhadap Tanah Lokal A. Analisis Uji Pemadatan Ringan Gambar 9. Hasil Uji Kuat Tekan Bebas Tanah dengan plastisitas rendah dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO dan hasil pengujian batas cair (LL) serta indek plastisitas (PI), termasuk pada kelompok A-4 yaitu lempung lanau dengan plastisitas rendah dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 10. Hubungan Kadar Air dengan Berat Isi Kering
1 - 100
JURNAL INFRASTRUKTUR
Hasil pengujian pemadatan ringan terhadap lapis pondasi tanah semen dengan kadar semen yang bervariasi didapat grafik hubungan antara kadar air dengan berat isi kering didapat seperti pada Gambar 10. Dari Gambar 10 dapat disimpulkan peningkatan berat isi kering maksimum dari tanah lokal 1,855 t/
Gambar 12. UCS
Vol. 2 No. 01 April 2017
m3, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 858 t/m3, 1,860 t/m3, 1,863 t/ m3 , 1,872 t/m3 dan 1,883 t/m3, seiring dengan bertambahnya kadar semen. Dari hasil pengujian pemadatan ringan dengan kadar semen yang bervariasi dapat diplotkan dalam satu grafik hubungan antara kadar semen dengan kadar air optimum didapat seperti pada Gambar 11. Dari Gambar 11 dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar air optimum (Wopt) dari tanah lokal 13,0% menjadi Wopt 12,5%, 11,8%, 11,6%, 11,5%, dan 11,0%, seiring dengan bertambahnya kadar semen. Peningkatan berat isi keringnya dan/atau menurunkan kadar air optimum (Wopt) dari tanah dikarenakan pengaruh penambahan semen yang mengisi rongga pori tanah, pada saat kondisi tanah berisi air dan udara. Akibat adanya penambahan semen yang mengisi dalam rongga pori tanah, persentasi air yang dikandung tanah menjadi berkurang. Peningkatan partikel padat (semen) berdampak pada peningkatan berat isi keringnya dibandingkan pada kondisi tanah semula.
Gambar 14. Hubungan Kadar Semen dengan Berat Isi Kering Maksimum semakin besar pula kekuatan campuran tanahsemen.
b. Analisis Uji Kuat Tekan Bebas (UCS) Hasil - hasil pengujian kuat tekan bebas (UCS) terhadap lapis pondasi tanah semen dengan kadar semen yang bervariasi dapat diplotkan dalam satu grafik hubungan antara kadar air dengan berat isi kering didapat seperti pada Gambar 12. Dari Gambar 12 dapat disimpulkan peningkatan
Gambar 15. Hubungan Kadar Semen dengan Kadar Air Optimum 4.6. Kadar Semen Optimum Lapis Pondasi Tanah Semen
Gambar 13. Hubungan Kadar Semen dengan Kadar Air Optimum UCS7hari dari tanah Manyawang 3,524%, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 18,16 kg/cm2, 23,82 kg/cm2, 33,80 kg/cm2 , 44,05 kg/cm2, dan 46,52 kg/cm2, seiring dengan bertambahnya kadar semen. Kuat tekan bebas (UCS) bertambah karena rongga pori tanah seluruh atau sebagian besar terisi oleh pasta semen dan partikel-partikel tanah secara meluas, terikat oleh semen pada titik-titik kontak yang menyebabkan butiran saling bersinggungan dan rongga porinya semakin kecil, maka semakin besar aksi sementasi
Salah satu tujuan dari penelitian ini, untuk mengetahui kontribusi semen terhadap parameterparameter kuat tekan bebas (UCS) untuk meningkatakan mutu tanah Manyawang agar bisa digunakan sebagai lapis pondasi perkerasan yang ideal sesuai dengan syarat-syarat spesifikasi teknik atau referensi yang ada. Berdasarkan hal tersebut di atas dan hasil penelitian di laboratorium, kadar semen optimum (PCopt) yang digunakan terhadap nilai UCS seperti pada Gambar 13. Berdasarkan hasil pengeplotan pada Gambar 13 didapat nilai UCSMin 20 kg/cm2 dengan PCMin 5,3%, UCSOpt 24 kg/cm2 dengan PCOpt 5,8% dan UCSMax 35 kg/cm2 dengan PCMax 7,1% (nilai UCS sesuai dengan Spesifikasi Umum 2010, revisi 3), umur pemeraman 7 hari. Dengan PCMin 5,3%, PCOpt 5,8% dan PCMax 7,1% , maka didapat ydmax 1,858 t/m3, 1,859 t/m3 dan 1,865 t/m3 seperti pada Gambar 14. Dengan PCMin 5,3%, PCOpt 5,8% dan PCMax 7,1%, maka didapat kadar air seperti pada Gambar 15. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 101
Vol. 2 No. 01 April 2017
Berdasarkan hasil pengeplotan pada Gambar 15 didapat nilai Wopt 12,3%, 12,1% dan 11,6%. 5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kuat Tekan Bebas Campuran Tanah-Semen (SNI 03-6887-2002). Jakarta Badan
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, maka dapat simpulkan sebagai berikut : A. Uji distribusi ukuran butir tanah quari dusun Manyawang memenuhi persyaratan yang di ijinkan. B. Indek plastisitas tanah quari Manyawang memenuhi syarat yang diijinkan sebagai material stabilisasi tanah semen yaitu 6,21% ≤ 10% (Hicks,2002) dan klasifikasi tanah sistem USCS termasuk pada kelompok CL-ML yaitu lanau tak organik, lempung kepasiran dengan plastisitas rendah dan AASHTO termasuk pada kelompok A-4 yaitu lempung lanau dengan plastisitas rendah. C. Berat isi kering maksimum (ydmax) dari tanah 1,855 t/m3, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 1,858 t/m3, 1,860 t/m3, 1,863 t/m3 , 1,872 t/m3 , 1,883 t/m3, dan kadar air optimum (Wopt) dari tanah 13,0% menjadi Wopt 12,5%, 11,8%, 11,6%, 11,5%, dan 11,0%,. D. Nilai UCS tanah Manyawang 3,524%, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 18,16 kg/cm2, 23,82 kg/cm2, 33,80 kg/ cm2 , 44,05 kg/cm2, dan 46,52 kg/cm2, seiring dengan bertambahnya kadar semen E. Dengan UCSOpt 24 kg/cm2 didapat PCOpt 5,8%, ydmax 1,859 t/m3, dan Wopt 12,1%. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan dari penyusunan penelitian ini, maka di saran dalam pemilihan sumber material (quari) secara visual dipilih yang tanah berbutir (berpasir dan berkerikil). DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional, (2008). Cara Uji Penentuan Batas Cair Tanah (SNI 1967-2008). Jakarta Badan Standar Nasional, (2008). Cara Uji Penentuan Batas Plastisitas dan Indeks Plastisitas Tanah (SNI 1966-2008). Jakarta Badan Standar Nasional, (2008). Cara Uji Analisis Butir Tanah (SNI 3423-2008). Jakarta Badan Standar Nasional, (2089). Cara Uji Kepadatan Ringan Untuk Tanah (SNI 03-1742-1989). Jakarta Badan Standar Nasional, (2002). Metode Pengujian 1 - 102
JURNAL INFRASTRUKTUR
Standar Nasional, (1994). Tata Cara Pembuatan Stabilisasi Tanah Dengan Semen Portland Untuk Jalan (SNI 03-3438-1994). Jakarta
Badan Standar Nasional, (2002). Metode Pengujian Hubungan Antara Kadar Air Dan Kepadatan Pada Campuran Tanah-Semen (SNI 03-68862002). Jakarta Das.
(2008). Advanced Soil Mechanics. Third Edition. Publishing by Taylor & Francis. New York, U.S.A
Hardiyatmo, (1996). Mekanika Tanah I. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Hardiyatmo, H.C, (2010), Stabilisasi Tanah Untuk Perkerasan Jalan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Hendarsin, (2000). Perencanaan Teknik Jalan Raya. Penerbit Politeknik Negeri Bandung Kementerian Pekerjaan Umum (2006), Manual Konstruksi dan Bangunan Lapis Pondasi Tanah Semen Pusat
Litbang Prasarana Transportasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum, (2014). Spesifikasi Umum 2010 (revisi 3), Jakarta
SNI 1965:2008, Cara Uji Penentuan Kadar Air Untuk Tanah dan Batuan di Laboratorium Suci W. I. P dkk, (2000). Pembuatan dan Pengujian Kualitas Semen Portland Yang Diperkaya Silikat Abu Ampas Tebu. Jurnal Jurusan Fisika FMIPA Universitas Hasanuddin
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PENGGUNA JASA KONSTRUKSI TERHADAP PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI Henny Yunita1
Anton Soekiman2 Mahasiswa Magister Teknik Sipil1, Kepala Program Doktor dan Magister Teknik Sipil2 1,2 Universitas Katolik Parahyangan Email:
[email protected],
[email protected] Abstract Infrastructure development in many areas in indonesia appear as demonstrate the seriousness of the government in increasing its capacity and capabilities budget.The form of the seriousness of the government can also be seen from trend the realization budget infrastructure that increased by 120 percent of the budget infrastructure 2010. Meanwhile, the era asean economic community (MEA) also emerge as another challenge to cope service industry indonesian construction. Hence, the company construction services are required to have always been able to produce products quality. The project owner require contractors who was elected must have a system to ensure that every stage activity his project implemented as planned the project, a system that is known as a quality management system (SMM) ISO 9001: 2008 with trust and satisfaction construction users is one benefit can be felt and up to now there are about 1.196 contractors who have applied (SMM) ISO 9001:2008. For it , need to study how the level of satisfaction users construction against the implementation of SMM ISO 9001: 2008 and factors priority anything that needs to be repaired with increased. So that it can be known how performance the application of SMM ISO 9001: 2008 that is in contractors now. Based on the calculation of Customers Satisfaction Index (CSI), indicates that users construction in the water resources scope of work are satisfy to SMM ISO 9001: 2008 that had been implemented by contractors by index satisfaction of 72.05%. Meanwhile, based on diagram kartesius Importance Performance Analysis (IPA), speed in responding to demand the project owner, timeliness of completion of projects and the speed resolve the current shortage of handover become priority indicators that need to be improved in order to achieve better customers satisfaction. Keywords: construction, construction quality assurance, ISO 9001:2008, construction users satis Abstrak Pembangunan infrastruktur di berbagai daerah di Indonesia muncul sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas konstruksinya. Bentuk keseriusan pemerintah juga terlihat dari trend realisasi anggaran infrastruktur yang mengalami peningkatan sebesar 120% dari anggaran infrastruktur tahun 2010. Sementara itu, berlakunya era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga muncul sebagai tantangan lain yang harus dihadapi industri jasa konstruksi Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan jasa konstruksi dituntut untuk selalu mampu menghasilkan produk yang bermutu. Pemilik proyek mewajibkan kontraktor yang terpilih harus memiliki suatu sistem yang mampu menjamin bahwa setiap tahapan aktivitas proyeknya dilaksanakan sesuai rencana mutu proyek, sistem itulah yang dikenal dengan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 dengan kepercayaan serta kepuasan pengguna jasa konstruksi menjadi salah satu manfaat yang dapat dirasakan dan sampai dengan saat ini sudah terdapat sekitar 1.196 kontraktor yang telah menerapkan SMM ISO 9001:2008. Untuk itu, perlu diteliti bagaimana tingkat kepuasan pengguna jasa konstruksi terhadap penerapan SMM ISO 9001:2008 dan faktor prioritas apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sehingga dapat diketahui bagaimana kinerja penerapan SMM ISO 9001:2008 yang ada di perusahaan jasa konstruksi saat ini. Berdasarkan Perhitungan Customers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa pengguna jasa konstruksi pada lingkup pekerjaan bidang Sumber Daya Air sudah merasa puas terhadap SMM ISO 9001:2008 yang sudah diterapkan oleh perusahaan jasa konstruksinya yang dibuktikan dengan indeks kepuasan sebesar 72.05%. Sementara itu, berdasarkan diagram Kartesius Importance Performance Analysis (IPA), kecepatan dalam merespon permintaan pemilik proyek, ketepatan waktu penyelesaian proyek dan kecepatan menyelesaikan kekurangan pada saat serah terima hasil pekerjaan menjadi indikator prioritas yang perlu ditingkatkan demi mencapai kepuasan pengguna jasa yang lebih baik lagi. Kata Kunci: konstruksi, jaminan kualitas konstruksi, ISO 9001:2008, kepuasan pengguna konstrksi, importance performance analysis (IPA)
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 103
Vol. 2 No. 01 April 2017
Lampiran
KAJIAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN DINI PERKERASAN JALAN LENTUR DAN PENGARUHNYA TERHADAP BIAYA PENANGANAN Nurrela Arifah Munggarani Teknik Jalan dan Jembatan Ahli Pertama Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Handling damage construction of the pliable road pavement whether its maintenance, improvement and rehabilitation could not be done maximally. This probably happens because of the maintenance is done toward the physical damage only without further evaluation of other factors possibility that have to be anticipated to avoid the same damage. This paper will explain the road damages and other damage factors in several regions in Indonesia and also its relationship with the handling costs. The analysis is based on the literature study method and base on that analysis, known that the damage often happened is damage of defect the surface and cracking. Meanwhile, the main road damage factor is the impact of drainage maintenance which is not done properly and regularly so there blockage by garbage or plants growing on drainage. Therefore, proper maintenance of the road and other road pavement complementary buildings will reduce the total cost of damage handling, because the type, the severity and the number of the occurred damage will determine the cost to be covered for the maintenance. The more significant the type, the severity and the number of road pavement damaged, the more lot of the cost to be. Keywords: road damage, pliable road, handling costs and maintenance Abstrak Penanganan kerusakan konstruksi perkerasan jalan lentur baik yang berupa pemeliharaan, peningkatan maupun rehabilitasi belum dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini kemungkinan terjadi karena pemeliharaan hanya dilakukan terhadap kerusakan secara fisik saja tanpa mengevaluasi lebih lanjut mengenai kemungkinan faktor penyebab lain yang harus diantisipasi agar perkerasan jalan tidak mengalami kerusakan yang sama. Tulisan ini akan menguraikan kerusakan-kerusakan jalan dan berbagai faktor penyebab terjadinya kerusakan tersebut pada beberapa daerah di Indonesia serta hubungan antara kerusakan jalan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Analisis dilakukan melalui metode riset pustaka/kajian dari riset terkait/ terdahulu. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa kerusakan yang dominan terjadi adalah kerusakan berupa cacat permukaan dan retak. Sementara itu, faktor penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jalan tersebut adalah akibat pemeliharaan drainase yang tidak dilakukan dengan baik dan rutin sehingga terjadi penyumbatan oleh sampah atau tanaman yang tumbuh pada drainase. Oleh karena itu, pemeliharaan yang baik terhadap badan jalan maupun bangunan pelengkap perkerasan jalan lainnya, maka akan dapat menekan biaya total penanganan jalan yang harus dikeluarkan karena jenis, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan yang terjadi menentukan biaya yang harus ditanggung untuk kegiatan pemeliharaan. Semakin signifikan tipe, tingkat keparahan dan jumlah kerusakan perkerasan jalan, maka akan semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Kata Kunci: kerusakan jalan, jalan lentur, biaya penanganan dan pemeliharaan
1 - 104
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
KAJIAN RISIKO TAHAP PELAKSANAAN KONSTRUKSI PROYEK PENINGKATAN JARINGAN IRIGASI BENDUNG LEUWIGOONG Tatan Rustandi Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi Universitas Katolik Parahyangan Email:
[email protected] Abstrack Activities to increase irrigation network project on construction of weirs, also poses risks both from the pre-construction, construction and post-construction. Risks that occur in the project faced by the parties involved in the implementation of the project which the project owners, contractors, consultants and people who feel the disorder as a result of project implementation. Improved irrigation dam jarigan is intended to meet the needs of well water for irrigation water and agricultural potential that can be developed and managed properly. This study aims to gain risk factors, the most dominant influence on irrigation dam project development area. And how much impact during construction implemented. The method is performed through a survey to know the different possibilities of construction risk and how much risk the consequences or impacts during the construction. Data were analyzed using descriptive method with the following stages: risk identification, risk assessment and risk handling. The results showed that the risk of the most have the greatest probability and impact of risk factors uncertainty field conditions with the value of the risk factor of 0.83. Keywords: risk management, irrigation, identification, assessment, treatment Abstrak Kegiatan peningkatan proyek jaringan irigasi pada konstruksi bendung, juga menimbulkan berbagai risiko baik sejak pra konstruksi, pelaksanaan konstruksi maupun pasca konstruksi. Risiko-risiko yang terjadi pada proyek ini dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanan proyek ini yaitu pemilik proyek, kontraktor, konsultan dan masyarakat yang merasakan ganguan akibat pelaksanaan proyek. Peningkatan jarigan irigasi pada bendungan ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air baik untuk air bersih maupun irigasi agar potensi pertanian dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor risiko, yang paling dominan mempengaruhi pembangunan proyek daerah irigasi bendung. Serta berapa besar dampak yang ditimbulkan saat konstruksi dilaksanakan. Metode yang dilakukan melalui survai untuk mengetahui berbagai kemungkinan risiko konstruksi serta berapa besar konsekuensi atau dampak risiko pada saat konstruksi tersebut. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode deskritif dengan tahapan sebagai berikut : Indentifikasi risiko, Penilaian risiko dan Penanganan risiko. Hasil penelitian menunjukan bahwa risiko yang paling memiliki probabilitas dan dampak terbesar adalah faktor risiko ketidakpastian kondisi lapangan dengan nilai faktor risiko 0,83. Kata Kunci: manajemen risiko, jaringan irigasi, identifikasi, penilaian, penanganan
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 105
Vol. 2 No. 01 April 2017
Lampiran
PENGARUH KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MENCAPAI MUTU PEKERJAAN KONSTRUKSI JALAN LENTUR Adiwijaya Widyaiswara Utama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract The road is used as the mobility and accessibility of all citizens who use vehicles or public transport. The quality of good roads must be obtained for determining the road user’s activities. Sub base is a part of a flexible pavement structure located between the subgrade and the foundation layer which serves to support and spread the load wheels for pedestal, so that comfort and road safety can be maintained. Strength sub base layer is affected by the implementation of employment procedure starts from the preparation, implementation and post implementation of the work performed in accordance with standard operating procedures. Implementation of good pavement construction can maintain the road life. Road life is affected by five factors, namely human resources that are reliable, use of materials and processing, provision and use of equipment in accordance with procedures, quality control, and the environment. This study aims to identify the factors that could keep life of the road by using flexible pavement made from aggregate consisting of fine grained material. Keywords: foundation layer, flexible pavement, road life, road, foundation Abstrak Jalan digunakan sebagai mobilitas dan aksebilitas seluruh warga masyarakat yang menggunakan kendaraan sendiri maupun angkutan publik. Kualitas jalan yang baik adalah hak yang harus diperoleh pengguna jalan karena menentukan kelancaran aktivitas. Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi atas yang berfungsi untuk mendukung dan menyebar beban roda agar tumpuan tidak membebani badan jalan, sehingga kenyamanan dan keamanan jalan dapat terjaga. Kekuatan lapis pondasi bawah dipengaruhi oleh prosedur pelaksanaan pekerjaan dimulai dari persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur pelaksanaan pekerjaan. Pelaksanaan konstruksi perkerasan jalan yang baik dapat mempertahankan umur rencana jalan. Umur rencana jalan dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu sumber daya manusia yang handal, penggunaan bahan material dan proses pengolahan, penyediaan dan penggunaan peralatan yang sesuai prosedur, pengendalian mutu, dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang dapat mempertahankan umur rencana jalan dengan menggunakan perkerasan lentur berbahan agregat yang terdiri dari bahan berbutir. Kata Kunci: lapis pondasi, perkerasan lentur, umur jalan, jalan, pondasi
1 - 106
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS KORELASI MATURITAS MANAJEMEN RISIKO UNTUK ORGANISASI PUBLIK PENGGUNA JASA DAN KINERJA Virgeovani Hermawan1 Andreas Wibowo2 Mahasiswa Magister Manajemen Konstruksi1, Peneliti Utama2 1 Universitas Katolik Parahyangan 2 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected],
[email protected] Abstract Construction activity is an activity that is different from the activities performed in other industries, so that the more risky construction projects. Risk management has a very important role in the course of a construction project, because it will determine whether the project is having problems, failures and successes. Maturity of risk management in an organization has an important role to the success of the project. In an effort to determine the successful implementation of risk management maturity of an organization it is necessary to measure the maturity assessment or risk management. In addition, correlation risk and performance management maturity is still little researched, especially in government organizations. The purpose of this study was to determine the correlation between the maturity of risk management and performance have been applied to the service user organizations, especially construction unit construction work related to government organizations (Ministry PUPR). The method used is descriptive analysis by measuring and analyzing the correlation test using SPSS 20. Based on the analysis that has been done, there is no statistically significant correlation risk management maturity and performance, but if the analysis of correlation test deeper then there is a correlation between the maturity criteria of organizational culture with the performance criteria of budget absorption, but its nature is very weak. Keywords: correlation, risk management maturity, performance Abstrak Kegiatan konstruksi merupakan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang dilakukan pada industri lainnya, sehingga proyek konstruksi lebih berisiko. Manajemen risiko mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan suatu proyek konstruksi, karena hal tersebut akan menentukan apakah proyek tersebut mengalami masalah, kegagalan dan keberhasilan. Tingkat maturitas manajemen risiko pada suatu organisasi mempunyai peran yang penting terhadap keberhasilan proyek. Dalam usaha mengetahui keberhasilan penerapan dari maturitas manajemen risiko pada suatu organisasi maka perlu dilakukan penilaian atau pengukuran maturitas manajemen risiko. Selain itu, korelasi maturitas manajemen risiko dan kinerja masih sedikit di teliti khususnya pada organisasi pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara maturitas manajemen risiko dan kinerja yang telah diterapkan pada organisasi pengguna jasa konstruksi khususnya satuan kerja terkait konstruksi pada organisasi pemerintah (Kementerian PUPR). Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan melakukan pengukuran dan analisis uji korelasi menggunakan bantuan software SPSS 20.Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, secara statistik tidak terdapat korelasi maturitas manajemen risiko dan kinerja, tetapi jika di analisis uji korelasi yang lebih mendalam maka terdapat korelasi antara kriteria maturitas budaya organisasi dengan kriteria kinerja penyerapan anggaran, namun sifatnya sangat lemah. Kata Kunci: korelasi, maturitas manajemen risiko, kinerja
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 107
Vol. 2 No. 01 April 2017
Lampiran
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB CALON PENYEDIA JASA MELAKUKAN PENDAFTARAN LELANG TETAPI TIDAK MELANJUTKAN MEMASUKAN DOKUMEN PENAWARAN PADA PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PEMERINTAH Syafran Noferi1 Andreas Wibowo2 Mahasiswa Magister Manajemen Proyek Konstruksi1, Peneliti Utama2 1 Universitas Katolik Parahyangan 2 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The procurement for goods and services based on Presidential Regulation No. 4 2015 ,must be undertaken in efficient, effective, transparent, open, competitive, fair and accountable. However practice often suggest that some problems in the procurement of goods and services. One of them is that there are many service providers who register auction at a work package but only a few are continuing to bid submission. The research objective is to identify and analyze the factors that cause prospective service providers to register the auction but did not enter the bidding documents. A total of 21 and 58 attributes were first identified based on the literature review for these two decisions, respectively. The method used in this study is a survey method by distributing questionnaires to the service providers qualified construction of small and non-small in Bangka Belitung Province. The total sample consisted of 97 respondents. Data were analyzed by using factor analysis. The results of the factor analysis service providers registering candidates consists of three factors in the order (1) Gain prospective service providers, the weight of 4.18 (2) Laws and regulations, weighs 3.63 (3) Luck, a weight of 2.38. While the analysis of factors prospective service providers do not bid submission consisted of 5 factors in the order (1) time and job information, weighting 3.98 (2) The ability of service providers, weighs 3.25 (3) The auction process and conspiracy, weight 3,23 (4) others, the weight of 3,18 (5) Administration and LPSE, a weight of 3.11. Keywords: e-procurement, registered but-not- submitting attributes, factor analysis Abstrak Prinsip-prinsip E-Procurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor. 4 Tahun 2015 adalah efesien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Meski demikian kejadian yang sering terjadi adalah ditemukannya beberapa masalah dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satunya adalah terdapat banyak penyedia jasa yang melakukan pendaftaran lelang pada suatu paket pekerjaan tetapi hanya sedikit yang melanjutkan sampai ke pemasukan penawaran. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang tetapi tidak memasukan dokumen penawaran. Berdasarkan identifikasi dari penelitian yang relevan terdapat 21 variabel yang menyebabkan calon penyedia jasa melakukan pendaftaran lelang dan 58 variabel yang menyebabkan calon penyedia jasa tidak memasukan dokumen penawaran. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan cara menyebarkan kuesioner kepada penyedia jasa kontruksi kualifikasi kecil dan non kecil yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jumlah sampel terdiri dari 97 responden. Data kemudian dianalisa dengan menggunakan analisis faktor. Hasil analisis faktor calon penyedia jasa melakukan pendaftaran terdiri dari 3 faktor dengan urutan (1) Keuntungan calon penyedia jasa, bobot 4,18 (2) Hukum dan peraturan, bobot 3,63 (3) Keberuntungan, bobot 2,38. Sementara analisis faktor calon penyedia jasa tidak melakukan pemasukan penawaran terdiri 5 faktor dengan urutan (1) waktu dan informasi pekerjaan, bobot 3,98 (2) Kemampuan penyedia jasa, bobot 3,25 (3) Proses lelang dan pesekongkolan, bobot 3,23 (4) lain-lain, bobot 3,18 (5) Administrasi pelelalngan dan LPSE, bobot 3,11. Kata Kunci: e-procurement, mendaftar tapi tidak menawar, analisis faktor
1 - 108
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
KONSEPSI KEAMANAN BENDUNGAN DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN BENDUNGAN Joko Mulyono Teknik Pengairan Ahli Madya Balai Bendungan, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Helpful dam construction to support the promotion of socio-economic status with the fulfillment of self-sufficiency, irrigation, conservation, hydropower, flood control, tourism and many other benefits. But in fact the dam also holds the potential of considerable danger if not managed properly. As mentioned in the Minister of Public Works and Housing number 27 / PRT / M / 2015, Article 2 stated that the construction of Dams and Their Management conducted based on a conception of Safety of Dams which consists of three pillars, namely: (a) security structures be safe against the failure of structural, secure against hydraulic failure, and secure against seepage failure (b) the operation, maintenance and monitoring, and (c) follow emergency preparedness. Until now it has built 214 dams that are scattered throughout Indonesia, in general terms is already above 50 years of age, which means that the service life as well as the management of the side benefit has been greatly decreased. Nawacita and in accordance with the current administration will be built as many as 65 dams, so that the dam will be built and existing ones maintained properly and not cause problems then need the right treatment based on the conception of Safety of Dams. Keywords: conceptions of safety of dams, dam development and management, hydraulic failure securing, seepage failure security, structural failure safety
Abstrak Pembangunan bendungan bermanfaat untuk menunjang peningkatan status sosial ekonomi dengan pemenuhan swasembada pangan, irigasi, upaya konservasi, PLTA, pengendalian banjir, pariwisata dan banyak manfaat lain. Namun sebenarnya bendungan juga menyimpan potensi bahaya yang cukup besar jika tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 27/PRT/M/2015, pasal 2 dinyatakan bahwa Pembangunan Bendungan dan Pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan pada Konsepsi Keamanan Bendungan yang terdiri dari 3 pilar, yaitu : (a) keamanan struktur berupa aman terhadap kegagalan stuktural, aman terhadap kegagalan hidraulis, dan aman terhadap kegagalan rembesan (b) operasi, pemeliharaan dan pemantauan dan (c) kesiapsiagaan tindak darurat. Sampai saat ini telah dibangun sebanyak 213 bendungan yang tersebar diseluruh Indonesia, secara umum dari sisi usia sudah diatas 50 tahun, yang berarti masa layanan serta pengelolaan dari sisi manfaat sudah sangat menurun. Dan sesuai dengan Nawacita pemerintahan saat ini akan dibangun sebanyak 65 bendungan, maka agar bendungan yang akan dibangun maupun yang sudah ada tetap terjaga dengan baik serta tidak menimbulkan masalah maka perlu penanganan yang tepat berdasarkan Konsepsi Keamanan Bendungan. Kata Kunci: konsepsi keamanan bendungan, pembangunan dan pengelolaan dam, pengamanan kegagalan hidrolik, keamanan kegagalan rembesan, keselamatan kegagalan struktur
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 109
Vol. 2 No. 01 April 2017
Lampiran
IDENTIFIKASI RISIKO DALAM PEMBANGUNAN JEMBATAN BENTANG PANJANG (Studi Kasus Pembangunan Jembatan Selat Sunda) Aceng Maulana Karim Penelaah Standar dan Pedoman Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Long Span Bridge Construction in Indonesia is quite a lot of progress. It is characterized by the development of several types of long-span bridge connecting an island with another island, like Suramadu (SurabayaMadura), Bridge Barelang (Riau), and the plan of the Sunda Strait Bridge that will connect Java and Sumatra islands. In practice, the construction of long-span Bridge has a lot of risks that can affect the project cycle, either directly or indirectly to influence it so that it will result in a project to be hampered in its completion. There are quite a lot of risks that may occur from planning, implementation, to maintenance, so that the necessary knowledge and understanding of risk management, so that the risks will occur can be minimized or eliminated. Risk in general can affect the cost, time and quality in construction projects, so that needs to be studied more deeply for Long Span Bridge project, especially in the Sunda Strait bridge construction project. The purpose of this study was to identify the risks that may occur in the bridge construction project, especially for bridges with long spans. This needs to be done so that potential risks can be well controlled, and can be transferred to the parties who are able to manage these risks. Project Delivery System to be used in the project. Project Delivery System is recommended for use in the Sunda Strait Bridge project is the type of PDS Turn Key. However, it is still necessary to examine other types of PDS may be better suited for applications in the Sunda Strait Bridge project, one of which is the PublicPrivate Partnerships (PPP) if the government plans to offer Sunda Strait Bridge project to private investors. Keywords: bridges, construction project risk, cost, time Abstrak Pembangunan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia cukup banyak mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan dibangunnya beberapa tipe jembatan bentang panjang yang menghubungkan suatu pulau dengan pulau yang lain, seperti Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), Jembatan Barelang (Kepri), dan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang akan menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera. Dalam pelaksanaannya, pembangunan jembatan bentang panjang memiliki banyak risiko-risiko yang dapat mempengaruhi siklus proyek baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhinya sehingga akan mengakibatkan proyek jadi terhambat dalam penyelesaiannya. Terdapat cukup banyak jenis risiko yang mungkin terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemeliharaan, sehingga diperlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai pengelolaan risiko, sehingga risiko-risiko yang akan terjadi bisa diminimalisir atau dihilangkan. Risiko pada umumnya dapat mempengaruhi biaya, waktu, dan mutu dalam proyek konstruksi, sehingga perlu dikaji lebih dalam untuk proyek Jembatan Bentang Panjang, khususnya pada proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang mungkin terjadi pada proyek pembangunan jembatan, khususnya untuk jembatan dengan bentang panjang. Hal ini perlu dilakukan agar risiko yang mungkin terjadi dapat dikendalikan dengan baik, dan dapat ditransfer kepada pihak-pihak yang mampu dalam mengelola risiko tersebut. Project Delivery System yang akan digunakan dalam proyek tersebut. Project Delivery System yang disarankan untuk digunakan dalam proyek Jembatan Selat Sunda yaitu tipe PDS Turn Key. Namun, masih dirasa perlu untuk mengkaji tipe PDS lain yang mungkin lebih sesuai diterapkan pada proyek Jembatan Selat Sunda, salah satunya yaitu dengan Public-Private Partnerships (PPP) apabila pemerintah berencana untuk menawarkan proyek Jembatan Selat Sunda kepada investor swasta. Kata Kunci: jembatan, proyek konstruksi, risiko, biaya, waktu
1 - 110
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
ANALISIS TINGKAT PEMAHAMAN PEMANGKU KEPENTINGAN TERKAIT PENERAPAN KONSEP JALAN BERKELANJUTAN (GREEN ROAD) DI KOTA KUPANG Karlina J. Faah1 Anton Soekiman2 Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Konsentrasi Manajemen Proyek Konstruksi1, Kepala Program Doktor dan Magister Teknik Sipil2 1,2 Universitas Katholik Parahyangan, Bandung Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The construction industry is one of the largest a contributor pollution, depeletion resources, waste, global warming and climate change. The road construction every year increased. In the new road construction, the emission inflicted begins production (asphalt material, aggregate, asphalt mixture, asphalt emulsion), the process of transportation of materials, the construction and waste posed by the process of transportation. In minimizing the negative impact on the environment and the welfare of social and economic, the construction industry has adopted the concept of sustainable entire life cycle project. One effort to realize the concept of sustained by the application of sustainable road (green road). This study aims to analyze understanding concerning the sustainable road by the related parties in such the owners, contractors, planners and academics/experts. This study is descriptive quantitative through literature using severity index methods and statistical tests. The result shows the level of understanding between contractors and academics is still low on implementation category of construction activity and the pavement technology category while consultants and owners already understand about the whole category of sustainable road. Different test result shows a significant difference in understanding among contractors, consultants, academics and owners on construction activity category. Keywords: green road, environment, sustainable development, the construction industry Abstrak Sektor industri konstruksi merupakan salah satu kontributor polusi terbesar, penipisan sumber daya, limbah, pemanasan global dan perubahan iklim. Konstruksi Jalan setiap tahun mengalami peningkatan. Dalam proses kontruksi jalan baru, besarnya emisi yang ditimbulkan bersumber dari produksi material (aspal, agregat, aspal mixture, aspal emulsi), proses transportasi material, proses konstruksi, dan waste yang ditimbulkan oleh proses transportasi. Dalam meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi, industri konstruksi telah mengadopsi konsep berkelanjutan dalam seluruh siklus hidup proyek. Salah satu usaha untuk mewujudkan konsep berkelanjutan yaitu dengan penerapan jalan berkelanjutan (green road). Penelitian ini bertujuan menganalisis pemahaman mengenai jalan berkelanjutan oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini Owner, Kontraktor, Perencana maupun Akademisi/Pakar. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui kajian literatur menggunakan metode severity index dan uji statistik. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pemahaman Kontraktor dan Akademisi masih rendah terkait Kategori Aktivitas Pelaksanaan Konstruksi dan Kategori Teknologi Perkerasan sedangkan Konsultan dan Owner sudah paham mengenai keseluruhan Kategori dari Jalan Berkelanjutan. Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan pemahaman yang signifikan diantara kontraktor, konsultan, akademisi dan owner pada kategori aktivitas pelaksanaan konstruksi. Kata Kunci: green road, lingkungan, pembangunan berkelanjutan, industri konstruksi
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 111
Vol. 2 No. 01 April 2017
Lampiran
MENINGKATKAN NILAI KUAT TEKAN BEBAS (UCS) TANAH MANYAWANG DISTABILISASI DENGAN SEMEN Bambang Raharmadi Teknik Jalan dan Jembatan Ahli Muda Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract Lungkuh Layang Roads - Buntok 64.69 Km is the Central Axis National road linking the capital of Central Kalimantan province with 4 (four) Districts in Barito watersheds namely South Barito, East Barito, North Barito and Murung Raya. The unavailability of materials resource that qualify for the foundation of the pavement become a problem in the construction of this road. As an alternative, they use materials that are available around the Manyawang Village by improved physical properties and mechanical ground. Repair method used is with the added material (ie cement) in order to qualify as a foundation layer. The success of this project depends on the procedures, materials, and tools used. To determine the physical and mechanical characteristic a test has been held against the local soil and soil-cement mixture in the form of a standard compaction and Unconfined Compression Strength (UCS) 7 days. The purpose of this study was to determine the effect of the added material (cement) to Unconfined Compression Strength (UCS) to improve the quality of Manyawang soil to be used as a substitute for base course of pavement. The result of the Manyawang soil material againts grain size distribution test fulfilled the permitted qualification to be used as material soil stabilization cement, including the CL-ML is silt was organic, silt loam with low plasticity based on land classification system USCS while according to the soil classification system AASHTO included in the group A-4 is silt loam soil with low plasticity to the plasticity index 6.21% ≤ 10% requirement specified. The maximum dry bulk density (ydmax) of land 1.855 t / m3, once stabilized with cement rose to become ydmax1,858 t / m3, 1.860 t / m3, 1.863 t / m3, 1.872 t / m3, 1.883 t / m3, and the optimum water content (Wopt) of land Wopt 13.0% to 12.5%, 11.8%, 11.6%, 11.5% and 11.0%. Increasing the value of Unconfined Compression Strength (UCS) of Manyawang land 3.524%, after stabilized with cement increased to be 18.16 kg / cm2, 23.82 kg / cm2, 33.80 kg / cm2, 44.05 kg / cm2, and 46.52 kg / cm2, along with the increasing of cement content. With UCSOpt 24 kg / cm2 PCOpt gained 5.8%, ydmax 1.859 t / m3, and Wopt 12.1%. Keywords: UCS, Manyawang soil, stabilized, cement Abstrak Ruas jalan Lungkuh Layang – Buntok sepanjang 64,69 Km merupakan jalan Nasional Poros Tengah yang menghubungkan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah dengan 4 (empat) Kabupaten di daerah aliran sungai Barito yaitu Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara dan Murung Raya. Tidak tersedianya sumberdaya material yang memenuhi syarat untuk pondasi perkerasan jalan menjadi masalah dalam pembangunan ruas jalan ini. Sebagai alternatif, digunakan material yang tersedia disekitar lokasi yaitu dusun Manyawang dengan dilakukan perbaikan sifat-sifat fisik dan mekanik tanah. Metode perbaikan yang digunakan adalah dengan bahan tambah (yaitu semen) agar memenuhi syarat sebagai lapis pondasi. . Untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik dilakukan uji terhadap tanah lokal dan campuran tanah-semen berupa pemadatan standar, dan kuat tekan bebas (UCS) pemeram 7 hari. Tujuan dari penyusunan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan tambah (semen) terhadap nilai kuat tekan bebas (UCS) untuk meningkatkan mutu tanah Manyawang agar dapat digunakan sebagai pengganti lapis pondasi perkerasan jalan. Hasil uji material tanah Manyawang terhadap pengujian distribusi ukuran butir memenuhi syarat yang diijinkan untuk digunakan sebagai material stabilisasi tanah semen, termasuk kelompok CL-ML yaitu lanau tak organik, lempung kepasiran dengan plastisitas rendah berdasarkan klasifikasi tanah sistem USCS sedangkan menurut klasifikasi tanah sistem AASHTO termasuk pada kelompok A-4 yaitu tanah lempung lanau dengan plastisitas rendah dengan indek plastisitas 6,21% ≤ 10% syarat yang ditentukan. Berat isi kering maksimum dari tanah 1,855 t/m3, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 858 t/m3, 1,860 t/m3, 1,863 t/m3 , 1,872 t/m3 , 1,883 t/m3, dan kadar air optimum (Wopt) dari tanah 13,0% menjadi Wopt 12,5%, 11,8%, 11,6%, 11,5%, dan 11,0%. Peningkatan nilai kuat tekan bebas (UCS) dari tanah Manyawang 3,524%, setelah distabilisasi dengan semen meningkat menjadi menjadi 18,16 kg/cm2, 23,82 kg/cm2, 33,80 kg/cm2 , 44,05 kg/cm2, dan 46,52 kg/cm2, seiring dengan bertambahnya kadar semen. Dengan UCSOpt 24 kg/cm2 didapat PCOpt 5,8%, ydmax 1,859 t/m3, dan Wopt 12,1%. Kata Kunci : UCS, tanah Manyawang, distabilisasi, semen
1 - 112
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
PEDOMAN PENULISAN JURNAL INFRASTRUKTUR JUDUL ARTIKEL (HURUF KAPITAL, Verdana, 12 pt, bold, centered, tidak lebih dari 12 kata) (satu baris spasi kosong, 12 point font) Penulis Pertama1), Penulis Kedua2), dst (Verdana, 10 pt, bold, centered, dengan gelar) (satu baris spasi kosong, 10 point font) Institusi (Verdana, 10 pt) Institusi (Verdana, 10 pt) E-mail:
[email protected] (Verdana, 10 pt) (satu baris spasi kosong, 10 point font) 1 2
Abstract (Verdana, 9 pt, bold, at most 200 words) (satu baris spasi kosong, 9 point font) Abstract should be written in English. The abstract is written with Verdana size 9, and single spacing. The abstract should summarize the content of the paper, including problems, the aim of the research, research method, and the results, and the conclusions of the paper. It should not contain any references or displayed equations. The abstract should be no more than 200 words. (satu baris spasi kosong, 9 point font) Keywords: up to 5 keywords in English (Verdana, 9 pt, italics) (dua baris spasi kosong, 9 point font) Abstrak (Verdana, 9 pt, bold) (satu baris spasi kosong, 9 point font) Abstrak dalam Bahasa Indonesia. Ditulis dengan font Verdana size 9 dan single spacing. Abstrak harus merangkum isi makalah, termasuk permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil, dan kesimpulan dari makalah. Abstrak tidak mengandung referensi dan/atau persamaan.Tidak boleh lebih dari 200 kata. (satu baris spasi kosong, Verdana, 9 point font) Kata Kunci: terdiri dari 5 kata kunci (Verdana, 9 pt, italics) (dua baris spasi kosong, Verdana, 9 point font) 1. PENDAHULUAN Template ini digunakan sebagai pedoman penulisan Jurnal Infrastruktur di Pusdiklat Manajemen dan Pengembangan Jabatan Fungsional Badan Pengembangan Sumbar Daya Manusia Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Artikel harus memuat Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode penelitian, Hasil dan Pembahasan, Simpulan, serta Daftar Pustaka. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia menggunakan jenis huruf Verdana, font size 9, spasi 1.5, rata kiri kanan, margin kiri – kanan – atas – bawah masing-masing 3 cm, menggunakan kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm). Panjang naskah 8 – 12 halaman, termasuk gambar dan tabel. Bagian pendahuluan meliputi: latar belakang, rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian. Penulisan bagian-bagian dari pendahuluan ini tanpa menggunakan subbab/subjudul. Sumber referensi berasal dari sumber-sumber primer (jurnal) terbitan 5 tahun terakhir. Sumber acuan yang dicantumkan di awal kalimat ditulis menggunakan sistem Nama (tahun), sedangkan bila dicantumkan di akhir kalimat menggunakan sistem (Nama, tahun). Kutipan langsung lebih dari 3 baris, ditulis menggunakan spasi 1, indentasi kiri-kanan. 2. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan topik/ masalah yang dibahas (dapat berupa definisi), yang digunakan untuk menjawab masalah yang dibahas. Tinjauan Pustaka tidak sekedar berisi kutipan dari berbagai sumber, tetapi harus ditarik benang merahnya sehingga penulis mempunyai kesimpulan sendiri. Dalam Tinjauan Pustaka, dapat disertakan hipotesis yaitu jawaban sementara atas masalah yang dibahas (jika diperlukan). 3. METODE PENELITIAN Metode Penelitian setidak-tidaknya menguraikan pendekatan yang digunakan dalam penelitian, populasi dan sampel penelitian, menjelaskan definisi operasional variabel beserta alat pengukuran data atau cara mengumpulkan data, dan metode analisis data. Apabila alat pengukuran data menggunakan kuesioner, maka perlu dicantumkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Cara penyajian pada bagian ini dapat dilakukan: 1) pembahasan terpisah dari hasil atau 2) pembahasan menyatu dengan penyajian hasil. Hasil yang dimaksud adalah rangkuman hasil-hasil analisis data, bukan hasil penelitian dalam bentuk data mentah. Hasil analisis data dari software pengolah data statistik, disajikan dengan mengetik ulang dalam tabel yang disesuaikan dengan kebutuhan, bukan dengan cara meng-copy output hasil analisis. Contoh penyajian data dalam bentuk tabel seperti Tabel 1. (Lampiran tidak diperbolehkan ada dalam jurnal ini. Jika ada lampiran, mohon disertakan ke dalam Hasil dan Pembahasan)
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 113
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017 Tabel 1. Pengungkapan Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Sumber: Data sekunder yang diolah, Tahun 2015
Contoh penyajian data dalam bentuk gambar, grafik dan sejenisnya seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil Uji Structural Equation Model (SEM)
Sumber: Data primer yang diolah, 2015
5. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan merupakan ringkasan atas temuan penelitian dan implikasinya. Saran diberikan untuk pengembangan dan penelitian lanjutan. Saran dibuat berdasarkan kelemahan, pengalaman, kesulitan, kesalahan, temuan baru yang belum pernah dibahas dan berbagai kemungkinan arah pembahasan selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka merupakan bagian akhir dari makalah, ditulis dalam urutan alfabetis mengikuti APA Style (http://www.apastyle.org/). Susunannya memuat: nama penulis, tahun publikasi, judul paper atau textbook, nama jurnal atau penerbit, dan halaman. Berikut ini beberapa contoh cara penulisan daftar pustaka menurut APA Style. Daftar Pustaka : Berdasarkan Jumlah Penulis Jika ada 2 (dua) Orang Penulis. Wegener, D. T., & Petty, R. E. (1994). Mood management across affective states: The hedonic contingency hypothesis. Journal of Personality & Social Psychology, 66, 1034-1048. Jika ada 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) Orang Penulis. Kernis, M. H., Cornell, D. P., Sun, C. R., Berry, A., Harlow, T., & Bach, J. S. (1993). There’s more to self-esteem than whether it is high or low: The importance of stability of self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 65, 1190-1204. Jika ada lebih dari 7 (tujuh) Orang Penulis. Miller, F. H., Choi, M. J., Angeli, L. L., Harland, A. A., Stamos, J. A., Thomas, S. T., . . . Rubin, L. H. (2009). Web site usability for the blind and low-vision user. Technical Communication 57, 323-335. Jika Organisasi sebagai Penulis. American Psychological Association. (2003). Jika Penulis tidak diketahui. Merriam-Webster’s collegiate dictionary (10th ed.).(1993). Springfield, MA: Merriam-Webster. Jika ada 2 (dua) atau lebih Buku/Jurnal dengan Penulis yang sama. Berndt, T. J. (1981). Berndt, T. J. (1999). Berndt, T. J. (1999). Friends’ influence on students’ adjustment to school. Educational Psychologist, 34, 15-28. Berndt, T. J., & Keefe, K. (1995). Friends’ influence on adolescents’ adjustment to school. Child Development, 66, 1312-1329. Wegener, D. T., Kerr, N. L., Fleming, M. A., & Petty, R. E. (2000). Flexible corrections of juror judgments: Implications for jury instructions. Psychology, Public Policy, & Law, 6, 629-654. Wegener, D. T., Petty, R. E., & Klein, D. J. (1994). Effects of mood on high elaboration attitude change: The mediating role of likelihood judgments. European Journal of Social Psychology, 24, 25-43.
1 - 114
JURNAL INFRASTRUKTUR
Lampiran
Vol. 2 No. 01 April 2017
Jika ada 2 (dua) atau lebih Buku/Jurnal dengan Penulis yang sama di tahun yang sama. Berndt, T. J. (1981a). Age changes and changes over time in prosocial intentions and behavior between friends. Developmental Psychology, 17, 408-416. Berndt, T. J. (1981b). Effects of friendship on prosocial intentions and behavior. Child Development, 52, 636-643. Jika pustaka diambil dari Pendahuluan, Kata Pengantar, Dan Penutup. Funk, R., & Kolln, M. (1998). Introduction. In E.W. Ludlow (Ed.), Understanding English Grammar (pp. 1-2). Needham, MA: Allyn and Bacon. Daftar Pustaka : Artikel dalam Periodik Artikel dalam Jurnal berdasarkan Volume. Harlow, H. F. (1983). Fundamentals for preparing psychology journal articles. Journal of Comparative and Physiological Psychology, 55, 893-896. Artikel dalam Jurnal berdasarkan Terbitan. Scruton, R. (1996). The eclipse of listening. The New Criterion, 15(30), 5-13. Artikel dalam Majalah. Henry, W. A. (1990, April 9). Making the grade in today’s schools. Time, 135, 28-31. Artikel dalam Koran. Schultz, S. (2005, December 28). Calls made to strengthen state energy policies. The Country Today, pp. 1A, 2A. Review Baumeister, R. F. (1993). Exposing the self-knowledge myth [Review of the book The self-knower: A hero under control ]. Contemporary Psychology, 38, 466-467. Daftar Pustaka : Sumber-Sumber lain Ensiklopedia. Bergmann, P. G. (1993). Relativity. In The new encyclopedia britannica (Vol. 26, pp. 501-508). Chicago: Encyclopedia Britannica. Abstrak dalam Disertasi. Yoshida, Y. (2001). Essays in urban transportation (Doctoral dissertation, Boston College, 2001). Dissertation Abstracts International, 62, 7741A. Dokumen Pemerintahan. National Institute of Mental Health. (1990). Clinical training in serious mental illness (DHHS Publication No. ADM 901679). Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Prosiding Seminar. Schnase, J. L., & Cunnius, E. L. (Eds.). (1995). Proceedings from CSCL ‘95: The First International Conference on Computer Support for Collaborative Learning. Mahwah, NJ: Erlbaum. Daftar Pustaka : Sumber Non-Cetak lain Interview, Email, dan Komunikasi Personal. (E. Junaedi, Interview, 4 January 4, 2008). A. Herman mengklarifikasi terkait kesalahan dalam pembangunan Jalan Tol di Gresik (Interview, 10 Desember, 2008).
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 115