INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM
MURTAIP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM
MURTAIP
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Induksi Senyawa Gaharu Melalui Kombinasi Senyawa Kimia dan Acremonium adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2010 Murtaip G351070141
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ABSTRACT MURTAIP. Induction of Agarwood Formation by Combination of Acremonium and Chemical Treatments. Under supervision of GAYUH RAHAYU and TRIADIATI Agarwood is an aromatic resin produced by Aquilaria spp. The resin was formed as a response to fungal infection, mechanical damage or chemical treatment. This research was aiming at evaluation of the effectivity of single induction agent (salicylic acid (A), methyl jasmonate (M), Acremonium (F)) and in comparison to combination of induction agents. Trunks of Aquilaria crassna (±10 years old) was induced by either a single induction agents (A, M or F) or its combination (AF, AM, MF or AMF). Acremonium was given as pellets, while A and M were given at 100 mM and 750 mM, respectively. The tree was first drilled (4 mm diam. and one third diameter of the stem), with 20 cm distance between holes. The trunk was then injected with A, subsequently with M and inoculated with F, with a week interval of teratments. Agarwood quality criteria such as wood discoloration, fragrance level, and also terpenoid accumulation were observed monthly for four months periode. The results indicated that intensity of wood discoloration of all treatments ranges from brownish white to dark brown with AMF combination gave highest intensity. Fragrance did not induce by all treatments with AMF combination given highest mean score, but on the base at percentage of point induction, MF and F were more effective to induce fragrance. All of treatments induced terpenoids formation. AM and F treatments induced high triterpenoid accumulation with concentration 268.25 ppm. Wood discoloration was not correlated with fragrance level, but it was correlated with terpenoid accumulation. AMF stimulated wood discoloration and its fragrance level was better than the other treatments. However, only MF and F were effective to induce spesific agarwood fragrance. Keywords : Aquilaria crassna, Acremonium, salycilic acid, methyl jasmonate, discoloration, fragrance level, terpenoid
RINGKASAN MURTAIP. Induksi Senyawa Gaharu Melalui Kombinasi Senyawa Kimia dan Acremonium. Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan TRIADIATI Gaharu atau gubal gaharu (agarwood, eaglewood, aloeswood) merupakan hasil hutan bukan kayu yang berupa damar wangi (aromatik resin) dari pohon Aquilaria spp. dan genus lain dari Thymeleaceae. Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik dan obat-obatan. Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti gangguan fisik, infeksi patogen, atau perlakuan kimiawi. Di antara molekul-molekul sinyal yang terlibat di dalam mengaktifkan respons pertahanan adalah asam salisilat, jasmonat, metil jasmonat, etilen, hidrogen peroksida dan superoksida radikal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penginduksi tunggal asam salisilat, metil jasmonat (MeJA) dan Acremonium sp. serta kombinasinya. Penginduksi asam salisilat (A), MeJA (M) dan Acremonium sp. IPBCC07525 (F) diberikan secara tunggal atau kombinasinya pada batang A. crassna berukuran 20 cm (diam), umur 10 tahun. Penginduksi tunggal terdiri dari A, M atau F, kombinasi ganda terdiri dari AM, AF dan MF, sedangkan kombinasi tiga penginduksi yaitu AMF. Penginduksi pertama diberikan sesaat setelah pelubangan. Penginduksi kedua diberikan 1 minggu setelah penginduksi pertama dan penginduksi ke tiga diberikan 1 minggu setelah penginduksi kedua. Batang yang hanya dibor dijadikan kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap gejala pembentukkan gubal gaharu (perubahan warna kayu dan tingkat wangi) serta kandungan terpenoidnya. Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap dan diolah dengan SAS. Secara umum semua penginduksi merangsang perubahan warna dengan intensitas dan ukuran zona perubahan warna berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan pelubangan (K+), sehingga semua penginduksi dinyatakan efektif dalam merangsang perubahan warna. Pelukaan, pemberian asam salisilat, MeJA dan inokulasi Acremonium sp. atau kombinasinya menyebabkan perubahan warna kayu dari putih menjadi gelap. Perubahan warna ini terjadi akibat adanya akumulasi senyawa gaharu hasil induksi. Oleh sebab itu, perubahan warna kayu merupakan respon non spesifik dari pohon gaharu. Penginduksi tiga kombinasi (AMF) menghasilkan intensitas perubahan warna yang tidak berbeda nyata dengan penginduksi ganda AM tetapi panjang dan lebar zona perubahan warnanya berbeda nyata. Tidak berbedanya intensitas perubahan warna antara penginduksi AMF dengan AM diduga karena akumulasi senyawa gaharunya tidak cukup untuk memberikan kesan intensitas yang berbeda. Intensitas warna berkorelasi dengan akumulasi terpenoid. Adanya penambahan panjang dan lebar zona perubahan warna penginduksi AMF, kemungkinan disebabkan oleh pengaruh inokulasi Acremonium sp. pada penginduksi tiga kombinasi AMF tersebut. Acremonium sp. merupakan salah satu cendawan patogen pada berbagai tanaman termasuk pohon gaharu. Cendawan ini dapat menginduksi terbentuknya senyawa gaharu (senyawa fitoaleksin) pada pohon gaharu A. crassna dan A. microcarpa. Acremonium sp. diduga dapat bertahan hidup dan mengkolonisasi
daerah sekitar inokulasi serta turut merangsang pohon untuk memberikan respon. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Acremonium sp. dapat merangsang pembentukkan senyawa gaharu (terpenoid dan sterol). Senyawasenyawa ini diakumulasi pada jaringan included phloem, parenkima jejari, empulur dan trakea xilem. Intensitas dan zona perubahan warna penginduksi AMF berbeda nyata dengan penginduksi tunggalnya A, M dan F. Hal ini menunjukkan penginduksi A, M dan F dalam bentuk kombinasi (AMF) bersinergi dalam merangsang perubahan warna kayu. Penginduksi ganda (AF dan MF) menghasilkan intensitas perubahan warna yang tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dalam panjang zona perubahan warnanya. Zona perubahan warna pada AF lebih panjang daripada MF. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuan asam salisilat dan MeJA dalam mempengaruhi aktivitas Acremonium sp. dan adanya perbedaan ketahanan (kebugaran) masing-masing individu pohon gaharu A. crassna. Selain itu, disebabkan juga oleh adanya perbedaan migrasi senyawa kimia dalam jaringan tumbuhan dan oleh sifat Acremonium sp. yang lebih bersinergi dengan asam salisilat daripada metil jasmonat. Semua penginduksi menyebabkan perubahan aroma kayu, namun tingkat aromanya sangat rendah. Aromanyapun sangat bervariasi. AMF menginduksi wangi dengan tingkat wangi tertinggi, namun aromanya bukan wangi khas gaharu. Secara umum hanya AMF dan F yang dapat merangsang munculnya wangi khas gaharu pada kategori agak wangi (skor mendekati 1). Munculnya aroma wangi pada kayu gaharu setelah diinduksi tentu disebabkan oleh adanya senyawa gaharu yang terakumulasi pada kayu gaharu tersebut. Tidak semua senyawa gaharu akan memberikan aroma wangi. Penelitian lain menyebutkan bahwa salah satu senyawa metabolit sekunder yang beraroma wangi adalah sesquiterpenoid (sesquiterpenoid aromatik). Dengan demikian pada penginduksi AMF dan F diduga jumlah senyawa sesquiterpenoid yang terakumulasi lebih tinggi daripada penginduksi yang lain. Berdasarkan pada frekuensi titik induksi yang wangi, pemberian inokulan MF dan F lebih efektif dalam menginduksi wangi bila dibandingkan dengan penginduksi yang lain. Namun intensitas warna kayu lebih rendah dari penginduksi AMF. Hal ini menunjukkan bahwa aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan intensitas warna kayu. Pada semua penginduksi baik penginduksi tunggal maupun penginduksi kombinasi terjadi pembentukan senyawa terpenoid. Hasil uji kandungan senyawa terpenoid menunjukkan bahwa endapan ekstrak kayu memiliki warna mulai dari hijau, hijau kekuningan, kuning, coklat, coklat kemerahan sampai coklat kehitaman. Warna-warna ini mengindikasikan bahwa yang terbentuk adalah senyawa sterol dan triterpenoid. Sterol merupakan senyawa terpenoid yang terikat asam lemak. Dari bulan pertama sampai bulan ke empat masa induksi terjadi peningkatan jumlah ekstrak kayu gaharu yang endapannya berwarna coklat. Semua penginduksi, kecuali AF, berpotensi menyebabkan ekstrak kayu membentuk endapan coklat. Warna coklat menunjukkan terdeteksinya senyawasenyawa dalam kelompok triterpenoid. Dengan demikian semua penginduksi, kecuali AF, dapat menginduksi terbentuknya senyawa triterpenoid.
Penginduksi AM dan F menghasilkan senyawa terpenoid tertinggi (268,25) bila dibandingkan dengan penginduksi yang lain pada pohon yang berbeda selama 4 bsi. Hal ini diduga terkait dengan perbedaan respon masingmasing individu pohon gaharu A. crassna. Selain itu, kombinasi dari dua jenis senyawa kimia (asam salisilat dan MeJA) yang tergolong senyawa elisitor fitoaleksin dapat mendorong produksi senyawa fitoaleksin (senyawa terpenoid). Inokulasi Acremonium sp. dilakukan setelah selesai pelubangan yang memungkinkan cendawan ini dapat segera tumbuh dan melakukan infeksi yang berdampak pada produksi senyawa terpenoid yang lebih tinggi. Baik intensitas warna maupun tingkat wangi tidak berkorelasi dengan konsentrasi senyawa terpenoid selama 4 bsi, sehingga intensitas warna, tingkat wangi dan konsentrasi terpenoid merupakan kriteria yang independen dalam penentuan mutu gaharu. Kombinasi tiga penginduksi (AMF) merupakan penginduksi yang paling efektif dalam menginduksi pembentukkan senyawa gaharu (gubal gaharu) pada pohon A. crassna selama 4 bsi. Intensitas warna kayu, luas zona perubahan warna kayu dan aroma yang dihasilkan menunjukkan nilai tertinggi. Namun wangi khas gaharu hanya diinduksi oleh MF dan F. Semua penginduksi efektif dalam merangsang pembentukkan terpenoid dengan variasi konsentrasi terpenoid yang tinggi pada setiap pohon. Kombinasi asam salisilat dengan MeJA dan penginduksi tunggal Acremonium sp. menghasilkan triterpenoid dengan konsentrasi tertinggi yaitu 268,25 ppm pada 4 bulan setelah induksi.
Kata kunci : Aquilaria crassna, asam salisilat, metil jasmonat, Acremonium sp., perubahan warna, zona perubahan warna, tingkat wangi, terpenoid.
Judul : Induksi Senyawa Gaharu Melalui Kombinasi Senyawa Kimia dan Acremonium Nama : Murtaip NRP
: G351070141 Disetuji Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Gayuh Rahayu) Anggota
( Dr. Dra. Triadiati, M.Si ) Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
(Dr. Ir. Gayuh Rahayu)
(Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.)
Tanggal Ujian : 23 Desember 2010
Tanggal Lulus :
Penguji luar komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Widodo, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak April sampai Desember 2009 ini adalah induksi gubal gaharu, dengan judul Induksi Senyawa Gaharu Melalui Kombinasi Senyawa Kimia dan Acremonium. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Ibu Dr. Dra. Triadiati, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan saran, koreksi, motivasi, bimbingan, dan fasilitas yang diberikan selama pengerjaan tesis ini serta ucapan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Widodo, M.Si selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran dan kepada Saudari Lia Yunita, S.Si, yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada DIKTI melalui program hibah kemitraan HI-LINK 2009 yang telah mendanai penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2010 Murtaip
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lombok Tengah tahun 1980 dari Bapak H. Arifudin dan ibu Ayunim. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri I Praya, pada tahun 2003 lulus S1-Pendidikan Biologi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram dan Tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Sekolah Pascasarjana IPB yang disponsori oleh Departemen Agama RI. Penulis memilih mayor Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ iii DAFTAR GAMBAR--------------------------------------------------------------------- iv DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------- v 1 PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------- 1 1.1 Latar Belakang -------------------------------------------------------------------- 1 1.2 Tujuan ----------------------------------------------------------------------------- 3 1.3 Hipotesis --------------------------------------------------------------------------- 3 1.4 Manfaat ---------------------------------------------------------------------------- 3 2 TINJAUAN PUSTAKA -------------------------------------------------------------- 4 2.1 Gaharu : Prospek dan Permasalahannya --------------------------------------- 4 2.1.1 Gaharu dan Pohon Penghasilnya ----------------------------------------- 4 2.1.2 Manfaat Gaharu ----------------------------------------------------------- 4 2.1.3 Permasalahan dalam Mendapatkan Gubal Gaharu di Alam ----------- 5 2.1.4 Pembentukkan Gubal Gaharu dan Indikasinya ------------------------- 5 2.1.5 Kandungan Terpenoid pada Gubal Gaharu ------------------------------ 6 2.1.6 Mutu Gubal gaharu --------------------------------------------------------- 9 2.2 Cendawan Penginduksi Pembentukkan Gubal Gaharu --------------------- 11 2.3 Jasmonat -------------------------------------------------------------------------- 13 2.4 Asam salisilat -------------------------------------------------------------------- 14 3 BAHAN DAN METODE ----------------------------------------------------------- 16 3.1 Waktu dan Tempat -------------------------------------------------------------- 16 3.2 Alat dan Bahan------------------------------------------------------------------- 16 3.3 Metode --------------------------------------------------------------------------- 16 3.3.1 Persiapan Inokulan Acremonium ---------------------------------------- 16 3.3.2 Induksi Pembentukkan Gubal Gaharu ---------------------------------- 17 3.3.3 Pembuatan Larutan Metil Jasmonat dan Asam Salisila -------------- 17 3.3.4 Uji Terpenoid dengan Metode Lieberman-Burchard------------------ 19 3.4 Analisis Data -------------------------------------------------------------------- 19 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ----------------------------------------------------- 20 4.1 Hasil ------------------------------------------------------------------------------- 20 4.1.1 Gejala Pembentukkan Gubal Gaharu ------------------------------------ 20 4.1.2 Pembentukkan Senyawa Terpenoid ------------------------------------- 25 4.2 Pembahasan ---------------------------------------------------------------------- 28 4.2.1 Induksi Gejala Pembentukkan Gubal Gaharu -------------------------- 28 4.2.2 Pembentukkan Senyawa Terpenoid ------------------------------------- 34 5 SIMPULAN DAN SARAN --------------------------------------------------------- 37 5.1 Simpulan -------------------------------------------------------------------------- 37 5.2 Saran ------------------------------------------------------------------------------ 37
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------- 38 LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------------ 43
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kandungan sesquiterpen pada gubal gaharu ------------------------------------ 9 2 Klasifikasi produk gaharu dan sejenisnya ---------------------------------------- 10 3 Persyaratan mutu gubal gaharu ---------------------------------------------------- 10 4 Persyaratan mutu kemedangan ----------------------------------------------------- 11 5 Persyaratan mutu abu gaharu------------------------------------------------------- 11 6 Perlakuan inokulasi pada pohon gaharu ------------------------------------------ 17 7 Skor perubahan warna dan tingkat wangi gaharu ------------------------------- 18 8 Frekuensi titik induksi yang wangi ------------------------------------------------ 25 9 Warna endapan ekstrak kayu gaharu selama 4 bulan pengamatan ------------ 27 10 Konsentrasi terpenoid ekstrak kayu A. crassna --------------------------------- 28
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Biosintesis pada kelompok terpenoid ------------------------------------------------ 7 2 Jalur utama biosintesis metabolit sekunder ------------------------------------------ 8 3 Lubang induksi pada batang A. crassna ------------------------------------------- 18 4 Panjang dan Lebar zona perubahan warna pada batang A. crassna ------------ 18 5 Warna kayu gaharu setelah diberi berlakuan ------------------------------------- 20 6 Intensitas warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi----------- 21 7 Intensitas warna kayu A. crassna selama 4 bulan pengamatan ----------------- 21 8 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi --------------------------------------------------------------------------- 22 9 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna selama 4 bulan pengamatan ---------------------------------------------------------------------------- 22 10 Lebar zona perubahan warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi --------------------------------------------------------------------------- 23 11 Lebar zona perubahan warna kayu A. crassna selama 4 bulan pengamatan -- 23 12 Tingkat wangi kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi ------------ 24 13 Tingkat wangi kayu A. crassna selama 4 bulan pengamatan-------------------- 25 14 Hasil uji Lieberman-Burchard pada ekstrak kayu A. crassna pada bulan ke-4 masa induksi ----------------------------------------------------------------- 26
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Sidik Ragam Intensitas Prubahan Warna --------------------------------------- 43 2 Sidik Ragam Panjang Zona Perubahan Warna---------------------------------- 43 3 Sidik Ragam Lebar Zona Perubahan Warna ------------------------------------ 43 4 Sidik Ragam Tingkat Wangi Kayu A. crassna---------------------------------- 44 5 Nilai Absorbansi Ekstrak Kayu A. crassna ------------------------------------- 45 6 Konsentrasi Terpenoid Ekstrak Kayu A. crassna ------------------------------ 46 7 Kurva Standar Minyak Gaharu --------------------------------------------------- 47
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gaharu atau gubal gaharu (agarwood, eaglewood, aloeswood) merupakan hasil hutan bukan kayu yang berupa damar wangi (aromatik resin) dari pohon Aquilaria spp. dan genus lain dari Thymeleaceae (Whitmore 1980). Gaharu juga didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas serta memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional Indonesia 1999). Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, diantaranya digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Senyawa gaharu terbentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen, atau perlakuan senyawa kimia (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Pertahanan dapat bersifat pasif yaitu pertahanan sudah ada sebelum datangnya gangguan dan bersifat aktif yaitu pertahanan yang dipicu oleh datangnya gangguan (Goodman et al. 1986, Agrios 2005). Tanaman secara umum memiliki mekanisme sistem pertahanan yang diaktivasi ketika tanaman diinfeksi oleh mikroorganisme patogen seperti bakteri, cendawan dan virus. Secara umum interaksi tanaman dan patogen menimbulkan suatu tanggapan hipersensitif sistemik dan lokal yang dikendalikan oleh suatu mekanisme molekular yang kompleks yang ditimbulkan oleh molekul-molekul sinyal (Creelman & Mullet 1997). Di antara molekul-molekul sinyal yang terlibat di dalam mengaktifkan respon pertahanan adalah asam salisilat, jasmonat, etilen, hidrogen peroksida dan superoksida radikal (Vijayan et al. 1998). Yang et al. (1997) juga menyatakan bahwa metil jasmonat (MeJA), asam salisilat dan etilen merupakan senyawa sinyal bagi pertahanan pohon. Cendawan patogen yang dapat menginfeksi berbagai tanaman termasuk pohon gaharu adalah dari kelompok Acremonium dan Fusarium. Infeksi cendawan patogen ini melibatkan beberapa mekanisme. Williams (1979) mengemukakan mekanisme itu mencakup kekuatan mekanik, enzim dan toksin.
2
Semua mekanisme tersebut akan berhadapan dengan sistem pertahanan pasif dan aktif pohon inang. Salah satu sistem pertahanan aktifnya adalah dengan menghasilkan senyawa fitoaleksin (Goodman et al. 1986; Harbone 1988). Fitoaleksin merupakan senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi dan cekaman (Mert-Turk 2002). Michiho (2005) menjelaskan bahwa, senyawa fitoaleksin ini diduga memberikan aroma pada gaharu. Sebelumnya Yuan (1995) melaporkan bahwa salah satu senyawa fitoaleksin yang menyebabkan gaharu memiliki aroma wangi yang khas adalah termasuk dalam senyawa sesquiterpen. Senyawa fitoaleksin yang dibentuk oleh tanaman termasuk pohon gaharu dalam sistem pertahanannya selain dipengaruhi oleh infeksi cendawan juga diaktifkan oleh adanya molekul sinyal. Franceschi et al. (2002) melaporkan bahwa molekul sinyal yang dapat merangsang pembentukan senyawa fitoaleksin adalah metil jasmonat (MeJA). Kemudian Yukie & Michiho (2009) melaporkan kembali bahwa molekul sinyal yang dapat merangsang pembentukan senyawa fitoaleksin adalah metil jasmonat (MeJA) dan asam salisilat. Michiho (2005) melaporkan bahwa pemberian MeJA 0,1 mM dapat menginduksi terbentuknya senyawa terpenoid pada kalus A. sinensis, dan pemberian satu kali MeJA 750 mM juga mampu menginduksi pembentukan senyawa terpenoid pada A. crassna. Pemberian asam salisilat pada konsentrasi 100 mM dapat merangsang perubahan warna kayu, menginduksi akumulasi terpenoid tetapi tidak merangsang pembentukkan wangi (Rahayu 2010). Selanjutnya Yukie & Michiho (2009) melaporkan bahwa, pemberian asam salisilat pada konsentrasi 1 mM dan 10 mM serta inokulasi MeJA pada konsentrasi 300 mM dapat menginduksi pembentukkan senyawa wangi pada kultur A. crassna dan A. sinensis. Penelitian menggunakan kombinasi antara cendawan dengan agen penginduksi telah mulai dilakukan. Pemberian MeJA 750 mM seminggu setelah inokulasi Acremonium sp. efektif dalam meningkatkan kemampuan Acremonium sp. dalam membentuk gejala gubal gaharu selama 3 bulan induksi pada A. microcarpa (Rahayu at al. 2009a). Acremonium merupakan salah satu jenis cendawan yang telah terbukti mampu menginduksi pembentukkan senyawa gaharu. Induksi Acremonium yang
3
dikombinasikan dengan MeJA belum menghasilkan gaharu pada tingkat gubal, induksi ini baru menghasilkan kemedangan tingkat IV (Rahayu et al. 2009a). Penggunaan cendawan patogen untuk menginduksi pembentukkan gaharu bila diaplikasikan dalam jangka waktu lama dikhawatirkan dapat menimbulkan suatu permasalahan baru. Kemungkinan permasalahan yang muncul adalah terjadinya mutasi pada patogen yang sengaja diaplikasikan yang akan mengakibatkan pada peningkatan patogenitas. Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan alternatif penginduksi dengan menggunakan senyawa kimia seperti asam salisilat dan MeJA, sehingga kekhawatiran akan adanya mutasi pada patogen dapat dihindari. Disamping untuk menghindari hal tersebut di atas, diharapkan aplikasi penginduksi senyawa kimia yang akan dikombinasikan dengan Acremonium sp. dapat meningkatkan mutu gaharu. Oleh sebab itu penelitian mengenai induksi senyawa gaharu melalui kombinasi Acremonium, MeJA dan asam salisilat perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas gaharu.
1.2 Tujuan Berdasarkan pada permasalahan yang dihadapi di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penginduksi tunggal asam salisilat, metil jasmonat (MeJA) dan Acremonium sp. serta kombinasinya dalam pembentukkan senyawa gaharu.
1.3 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu penginduksi kombinasi yaitu Acremonium, MeJA dan asam salisilat efektif dalam menginduksi pembentukkan senyawa gaharu.
1.4 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberikan informasi cara-cara meningkatkan mutu gaharu atau gubal gaharu. 2. Memberikan informasi mengenai mekanisme pembentukkan gubal gaharu 3. Menyediakan bahan rujukan bagi para peneliti selanjutnya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaharu : Prospek dan Permasalahannya 2.1.1 Gaharu dan Pohon Penghasilnya Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria spp. (Dewan SNI 01-5009.11999). Gaharu atau gubal gaharu sebagai resin dari pohon gaharu terdeposit di dalam jaringan kayu, deposit resin ini mengakibatkan adanya perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat kehitaman sampai hitam yang tersebar tidak menentu di dalam pohon gaharu (Scuitemaker 1933). di Indonesia ada 8 genus tanaman penghasil gaharu yaitu Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Gonystylus, Wikstroemia, Grynops, Delbergia dan Excoccaria (Sumarna 2002). Aquilaria memiliki 6 spesies penghasil gaharu yaitu A. beccariana, A. cumingiana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono 1997).
2.1.2 Manfaat Gaharu Gaharu telah banyak digunakan selama ribuan tahun yang lalu. Masyarakat cina telah memanfaatkan gaharu untuk obat-obatan (Barden et al. 2000). Gaharu yang berkualitas baik dipergunakan untuk membuat obat beberapa penyakit yang berbahaya seperti asma, radang selaput dada, sakit perut dan untuk memperkuat vitalitas (Lam 2003). Umboh (1998) menambahkan bahwa gaharu juga digunakan sebagai obat rematik, malaria, hamil dan sesudah melahirkan. Selain manfaat di atas, gaharu juga banyak dimanfaatkan untuk keperluan yang lain. Barden et al. (2000) menjelaskan bahwa gaharu dibakar selama festival atau upacara tradisional di Taiwan dan pada upacara koh doh di Jepang. Lam (2003) menambahkan bahwa gaharu digunakan sebagai bahan untuk membuat parfum, sampo, dan sabun kelas tinggi serta dipergunakan untuk dibakar dan membuat dupa (kemenyan).
5
2.1.3 Permasalahan dalam Mendapatkan Gubal Gaharu di Alam Gaharu dengan produk gubalnya telah lama diperdagangkan sebagai komoditas elit untuk keperluan industri. Sampai saat ini hampir semua produk gaharu di Indonesia diperoleh dari alam, terutama di daerah Sumatera, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku (Amirudin 2001), padahal gaharu yang ditemukan di alam hanya dalam presentase kecil dari pohon gaharu yang ada. LaFrankie (1994) melaporkan bahwa hanya 10 % di antara pohon gaharu dewasa berdiameter lebih dari 20 cm yang memproduksi gaharu dan umumnya pohon tersebut sudah berumur 20-50 tahun. Barden et al. (2000) menjelaskan bahwa permintaan gaharu masih di atas persediaan yang ada. Kenyataannya produksi gaharu masih sangat tergantung pada hasil hutan. Sampai saat ini eksploitasi pohon gaharu masih berlangsung. Penebangan pohon gaharu bahkan sudah mencapai hutan yang paling dalam dengan wilayah perburuan gubal bergeser dari Sumatera dan Kalimantan ke Irian Jaya. Pengumpul gubal sudah mulai merasakan sulitnya mencari pohon gaharu di hutan dengan kualitas gubal yang baik. Pencarian gaharu di hutan semakin intensif dan penebangan pohon dilakukan secara serampangan tanpa diimbangi dengan penanaman kembali. Akibatnya, semakin sulit memperoleh gaharu di alam. Pemanfaatan gaharu dewasa ini dan pada masa yang akan datang akan semakin meningkat, sedangkan persediaan di alam terbatas karena produksinya di alam cukup lama (Susmianto 2001). Peningkatan perdagangan gaharu di pasar internasional makin memicu kehawatiran akan punahnya spesies tanaman ini, jika produksi, perdagangan, dan pemanfaatan tidak segera diatur.
2.1.4 Pembentukkan Gubal Gaharu dan Indikasinya Gaharu atau gubal gaharu terbentuk sebagai respon pohon gaharu terhadap infeksi patogen yang mengakibatkan keluarnya resin. Resin yang terbentuk tidak dikeluarkan dari pohon, melainkan disimpan pada jaringan kayu sehingga jaringan kayu putih yang bertekstur halus menjadi gelap dan keras (Situmorang & Rahayu 2004). Menurut Ng et al. (1997) bahwa pembentukkan gaharu berkaitan dengan gejala patologis yang diawali dengan serangan cendawan.
6
Acremonium sp. merupakan salah satu cendawan yang terbukti dapat menginduksi terbentuknya senyawa gaharu pada pohon Aquilaria (Rahayu et al. 1999). Ramadani et al. (2005) juga melaporkan bahwa pelet Acremonium sp. dapat menginduksi pembentukkan gubal gaharu pada pohon A. crassna umur 1 sampai 3 tahun. Gaharu biasanya terbentuk setelah satu periode yang lama setelah terinfeksi. Bentuk dan ukuran gaharu pada A. crassna tergantung pada ukuran luka akibat infeksi dan waktu infeksinya (Lam 2003). Terjadi perubahan warna kayu dari putih menjadi coklat pada cabang yang telah diinduksi dengan Acremonium sp. selama 3 bulan (Ramadani et al. 2005). Pada pohon gaharu umur 4-7 tahun, gejala pembentukkan gubal terlihat setelah 1 tahun induksi dan pada pohon gaharu yang lebih muda (umur 2 tahun), induksi pembentukkan gubal memerlukan periode inkubasi antara 2 – 4 bulan (Rahayu et al. 1999). Jika pohon gaharu terinfeksi cendawan patogen selama 8 bulan maka akan terbentuk kemedangan, jika berlangsung 10-12 bulan maka akan terbentuk gubal gaharu dan jika berlangsung selama 2 tahun akan terbentuk gaharu kelas super (Anonim 1995). Parman & Rachman (1996) menyatakan pohon gaharu umur 3-4 tahun yang diinokulasi dengan Fusarium lateritium selama 2 bulan menunjukkan adanya gejala gaharu walaupun kadarnya masih rendah. Pohon gaharu yang telah terinfeksi Acremonium sp. akan mengalami klorosis pada daun di bagian apikal pada cabang yang terinfeksi. Klorosis merupakan gejala awal dalam pembentukkan gubal gaharu (Rahayu et al. 2001). Hal yang sama juga dilakporkan oleh Ramadani et al. (2005) bahwa terjadi klorosis daun pada cabang
A. crassna pada satu dan dua minggu setelah
diinokulasi dengan pelet Acremonium sp. Selain itu menurut Agrios (2005) infeksi cendawan dapat mengakibatkan klorosis pada daun dan nekrosis pada daerah terinfeksi.
2.1.5 Kandungan Terpenoid pada Gubal Gaharu Salah
satu
senyawa
terpenoid
komponen
gubal
gaharu
adalah
sesquiterpenoid (Ishihara et al. 1991). Sesquiterpen adalah salah satu metabolit sekunder golongan terpen yang mengandung 15 atom karbon dalam bentuk tiga
7
unit fusi C 5 (Taiz & Zeiger 2002). Sesquiterpen (sesquiterpenoid) merupakan salah satu dari beberapa metabolit sekunder dari kelompok terpenoid yang berasal dari biosintesis isopentenil dan dimetilalil pirofosfat (Gambar 1) (Brown 1999). Sesquiterpenoid pada pohon gaharu dibentuk
melalui jalur asam mevalonat
(Gambar 2) (Huang 2001).
Isopentenil pirofosfat Dimetilalil pirofosfat
Geranil pirofosfat (C10)
Farnesil pirofosfat (C15)
Geranil -geranil pirofosfat l (C20)
Diterpenoids (C20) (Giberilin, resin asid)
Monoterpenoid (C10)
Monoterpen laktosa (iridoid)
Sesquiterpenoid
Sesquiterpen laktosa
Triterpenoid (C30)
Limonoid, cardenolides, quassinoid, bi i
Saponins, phytosterols
Gambar 1. Biosintesis pada kelompok terpenoid (Brown 1999)
8
CO2 + H2O
Jalur pentose phosphate
Karbohidrat
Senyawa aromatic (fenolik) Jalur asam sikimat
Glikolisis
Asam piruvat
Asetil Co A
Jalur asam malonat
Asam lemak
fenol
Siklus TCA
Asam amino
Jalur asam mevalonat
Asam mevalonat
Isopentenil pirofosfat
Monoterpen
Geranil pirofosfat
Sesquiterpen
Farnesil pirofosfat
Diterpen
Triterpen
Gambar 2. Jalur utama biosintesis metabolit sekunder (Huang 2001)
Terpen berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan merupakan prekursor terhadap biosintesis asam absisat. Salah satu contoh senyawa terpen adalah sesquiterpen. Senyawa ini berfungsi sebagai materi
9
pertahanan (toksin) terhadap cendawan patogen dan bakteri serta menghasilkan aroma wangi sehingga dikenal sebagai sesquiterpen aromatik (Taiz & Zeiger 2002). Pada umumnya setiap tanaman menghasilkan sesquiterpen aromatik yang berbeda-beda. Pada kapas dihasilkan sesquiterpen aromatik yang dikenal sebagai “gossipol” (Picman 1986), sedangkan pada gaharu dikenal sebagai ”jinkohol” (Nakanishi et al. 1981). Hasil percobaan Yoneda et al. (1984) menunjukkan bahwa sesquiterpen yang dihasilkan pada A. malaccensis lebih lengkap dan mengandung agarospirol serta jinkohol yang lebih tinggi dibandingkan A. agallocha asal India (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan sesquiterpen pada gubal gaharu (Yoneda et al. 1984) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komponen β – Agarofuran α – Agarofuran Non- ketoagarofuran (-)-10-Epi-y-eudesmol Agarospirol Jinkohol I Jinkohol-eremoi Kusunol Dihydrokaranone Jinkohol II Oxo-agarospirol
Persentasi Minyak Esensial A. agallocha 0,6 0,6 4,7 4,0 2,9 2,4 5,8
A. malaccensis 1,3 6,2 7,2 5,2 3,7 3,4 5,6 3,1
2.1.6 Mutu Gubal gaharu Dalam dunia perdagangan, produk gaharu bisa berupa bagian kayu, serbuk dan kadang berupa cairan atau minyak. Warna bagian kayu bervariasi dari coklat sampai gelap atau mendekati hitam. Produk yang lebih gelap mengandung minyak lebih banyak atau kualitasnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan produk gaharu yang warnanya lebih terang (coklat). Pembagian kelompok produk gaharu yang menggambarkan kualitas (mutu) ternyata berbeda-beda antar daerah. Soehartono dan Mardiastuti (1997) memberikan contoh bahwa di Kalimantan Barat pengelompokkan gaharu menjadi 9 kelompok yaitu dari kualitas super A sampai kemedangan kropos/ terburuk. Di Kalimantan Timur dan Riau gaharu dibagi menjadi 8 kelompok mulai dari mutu super A sampai mutu kemedangan
10
(terburuk). Klasifikasi dan standar mutu gaharu telah ditetapkan beberapa kriteria berdasarkan SNI (01-5009.1-1999). Dalam standar tersebut produk gaharu dan sejenisnya (Tabel 2) dikelompokkan berdasarkan kriteria mutu yang telah ditentukan (Tabel 3–5). Tabel 2. Klasifikasi produk gaharu dan sejenisnya No 1
2
3
Jenis
Ket. Mutu
Gubal Gaharu : Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua Kemedangan : Mutu pertama Mutu kedua Mutu ketiga Mutu keempat Mutu kelima Mutu keenam Mutu ketujuh Abu gaharu : Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua
Mutu super Mutu AB Mutu sabah super Mutu TGA atau TK.I Mutu SB.I Mutu TAB Mutu TGC Mutu M1 Mutu M2 Mutu M. Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua
Lambang U I II I II III IV V VI VII U I II
Tabel 3. Persyaratan Mutu Gubal Gaharu No
Karakteristik
1 2
3
Bentuk Ukuran P L T Warna
4-15 cm 2-3 cm ≥ 0,5 cm Hitam merata
4 5 6 7
Kandungan damar wangi Serat Bobot Aroma (dibakar)
Tinggi Padat Berat Kuat
U -
Mutu I -
II -
4-15 cm 2-3 cm ≥0,5 cm Hitam kecoklatan Cukup Padat Agak berat Kuat
≥ 15 cm Hitam kecoklatan Sedang Padat Sedang Agak kuat
11
Tabel 4. Persyaratan Mutu Kemedangan No
Mutu
Karakater
I
II
IV
V
Kecoklatan bergaris putih tipis
Kecoklatan bergaris putih lebar
Cukup
Coklat bergaris putih tipis Sedang
Sedang
Sedang
Agak padat Agak berat Agak kuat
Agak padat Agak berat Agak kuat
Kurang padat Agak berat Agak kuat
1
Warna
Coklat kehitaman
Coklat bergaris hitam
2
Tinggi
3
Kandungan damar wangi Serat
Agak padat
4
Bobot
Agak berat
5
Aroma (dibakar)
Agak kuat
II
VI
Putih kebiuan
Kurang padat Ringan
Jarang
Jarang
Ringan
Ringan
Kurang kuat
Kurang kuat
Kurang kuat
Tabel 5. Persyaratan Mutu Abu Gaharu No
karakter
1
Warna
2
Mutu Utama Hitam
Pertama Coklat kehitaman Sedang
Kedua Putih kecoklatan/kekuningan Kurang
Kandungan Tinggi damar wangi 3 Aroma Kuat Sedang Kurang (dibakar) Sumber : Klasifikasi dan persyaratan mutu produk gaharu (SNI 01-5009.11999). 2.2 Cendawan Penginduksi Pembentukkan Gubal Gaharu
Berbagai macam penyakit pada tumbuhan termasuk pohon gaharu disebabkan oleh berbagai jenis mikroba patogen. Agrios (2005) menjelaskan bahwa patogen-patogen tersebut terdiri dari
cendawan, bakteri, virus dan
protozoa. Richard (2003) menyebutkan bahwa cendawan dari kelompok Chytridiomycetes, Deuteromycetes, Ascomycetes dan Basidiomycetes banyak menimbulkan gangguan pada tanaman tertentu. Acremonium dan Fusarium merupakan cendawan busuk batang yang telah terbukti dapat menginduksi pembentukkan gaharu atau gubal gaharu (Rahayu 2007). Fusarium lateritium dapat menginduksi pembentukkan gubal gaharu pada Aquilaria sp. setelah diinokulasikan satu tahun namun kualitasnya rendah (Subeham et al. 2005).
VII
Kebirubiruan bergaris hitam tipis Kurang
Acremonium telah dilaporkan mempunyai kemampuan
untuk menginduksi pembentukkan senyawa aromatik pada kalus dan pohon
A.
Kurang
12
crassna, A. malaccensis, dan A. microcarpa yang berumur sekitar 2 tahun (Khayrunnisa et al. 1999; Rahayu et al. 1999). Hasil induksi tunas A. crassna (klon AC 8 dan AC 14) dan A. filaria (klon Afl. 8) dengan Acremonium (isolat F, G, L, dan M) menunjukkan bahwa hanya isolat F dan M yang mampu menginduksi pembentukkan senyawa aromatik pada media Murashige Skoog modifikasi 50, 75, dan 100 % (Isnaini 2003). Hasil uji laboratorium terhadap kultur tunas 13 klon Aquilaria spp. (A. crassna, A. filaria, A. malaccensis, dan A. microcarpa) yang diinduksi dengan Acremonium isolat (F dan M) secara kultur ganda pada media dasar MS mod dengan konsentrasi atau pH berbeda menunjukkan bahwa klon A. malaccensis (Ama 7, Ama 13), dan A. microcarpa (Ami 2064) berpotensi menghasilkan metabolit sekunder yang lebih harum daripada klon-klon lain (Isnaini 2004). Hasil penelitian lain juga memperjelas bahwa Acremonium mampu menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Inokulasi Acremonium sp. pada A. malaccensis (klon Ama1, Ama 7 dan Ama 13), A. microcarpa (klon Ami 5, Ami 8 dan P6), A. crassna (klon Ac 14) dan Gyrinops verstegii (klon Af1.8) mampu mempengaruhi kebugaran dan menginduksi wangi pada semua tunas gaharu tersebut (Rahayu & Situmorang 2004). Cendawan yang menginfeksi tanaman dan menyebabkan penyakit dapat mengganggu aktivitas bahkan mematikan jaringan atau sel-sel tanaman dengan beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut mencakup kekuatan mekanik, enzim, dan toksin (Williams 1979). Kekuatan mekanik terutama digunakan oleh patogen dalam proses infeksi menembus permukaan tubuh inang (Brown 1980). Enzim-enzim hidrolitik yang menghidrolisis pektin, selulosa, lemak, dan protein menjadi monomernya, berperan dalam proses infeksi. Cendawan patogen mensekresikan enzim ekstraseluler yang cukup untuk memaserasi jaringan pada stadia infeksi lanjut. Di antara enzim hidrolitik, pektinase merupakan enzim yang dihasilkan oleh hampir seluruh cendawan patogen (Williams 1979). Aktivitas suatu enzim hidrolitik sering didukung oleh beberapa enzim. Sebagai contoh, glukanase, glukan-selobiohidrolase (CBH), dan β-glukosidase (βG) merupakan enzim-enzim yang berperan dalam degradasi selulosa. Glukanase sendiri terdiri atas eksoglukanase dan endoglukanase (EG). Enzim-enzim pektin
13
metil esterase (PME), poligalakturonase (PG), pektin metil galaktorunase (PMG), pektin transeliminase (PTE) dan pektin acid transeliminase (PATE) merupakan pendukung aktivitas pektinolitik (Goodman et al. 1986 ; Dahm & Strzelczyk 1987). Toksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan cendawan patogen yang berpengaruh merusak terhadap satu atau lebih fungsi penting dalam sel-sel tanaman inang. Toksin ada yang bekerja mengubah fungsi membran plasma sehingga mengakibatkan kebocoran elektrolit dari dalam sel, ada pula yang mempengaruhi fungsi kloroplas atau aktivitas mitokondria. Jenis-jenis Fusarium dilaporkan menghasilkan toksin yang berbeda-beda (Williams 1979; Goodman et al. 1986). Semua cendawan-cendawan patogen termasuk Fusarium dan Acremonium menghasilkan suatu senyawa toksin (mikotoksin) yang sangat kuat yang dapat mematikan sel-sel inang (pohon) (Richard 2003). Mikotoksin yang dihasilkan oleh cendawan patogen termasuk Fusarium dan Acremonium merupakan senyawa yang amat membahayakan pohon inang termasuk jika masuk ke dalam tubuh hewan dan manusia (Agrios 2005). Jadi mikotoksin yang dihasilkan oleh Fusarium dan Acremonium akan mengganggu bahkan mematikan sel atau jaringan pohon gaharu sehingga pohon gaharu
akan
melakukan
pertahanan
dengan
mengeluarkan
senyawa
sesquiterpenoid yang merupakan senyawa gaharu atau gubal gaharu yang memiliki aroma wangi. 2.3 Jasmonat Jasmonat khususnya asam jamonat dan metil ester (metil jasmonat) merupakan penghubung antara serangga (patogen lain) dan ketahanan (resisten) terhadap penyakit (William et al. 2004). Menurut Babst et al. (2005), metil jasmonat (MeJA) merupakan fitohormon endogen. MeJA memiliki peran dalam meregulasi beberapa proses fisiologis tanaman, misalnya merangsang pertumbuhan akar dan transportasi karbon tanaman (Babst et al. 2005), induksi pematangan buah, sinyal regulasi ekspresi gen pada proses penuaan daun dan bunga (Srivastava 2002), dan sinyal transduksi respon ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang et al.
14
1997). MeJA akan menjadi komponen yang lebih aktif jika diberikan dalam bentuk fitohormon eksogen (Srivastava 2002). MeJA dan etilen berperan sebagai komponen sinyal kunci untuk menginduksi mekanisme pertahanan dan pertahanan sistemik meliputi lintasanlintasan fenilpropanoid dan terpenoid resin pada konifer (Hudgins & Franceschi 2004). Michiho (2005) melaporkan bahwa pemberian MeJA 0,1 mM dapat menginduksi terbentuknya senyawa terpenoid pada kalus A. sinensis, kemudian Rahayu et al. (2009a) melaporkan bahwa pemberian satu kali MeJA 750 mM cenderung mendorong untuk meningkatkan intensitas perubahan warna, memperpanjang dan memperlebar zona perubahan warna, serta kandungan sterol pada A. microcarpa.
2.4 Asam Salisilat Asam salisilat merupakan derivat senyawa fenolik tanaman yang terdistribusi pada berbagai bagian penting tanaman budidaya, dan mempunyai peran penting dalam pengaturan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Raskin 1995). Asam
salisilat dilaporkan memenuhi kriteria sebagai hormon
tumbuhan dan dapat merangsang pertumbuhan tunas kultur kulit tembakau (Salisburry & Ross 1985; Davies 1995). Asam salisilat diidentifikasi sebagai senyawa
florigen
yang
dapat
memacu pembentukan
batang dan bunga Sauramatum guttatum, meningkatkan toleransi panas pada bibit mustard dan memberikan perlindungan terhadap tekanan temperatur rendah pada jagung. Asam salisilat yang dikombinasikan dengan kinetin dan Indole Acetic Acid (IAA) dapat merangsang pertumbuhan tunas dan umbi kentang (Davies 1995). Penelitian Raskin (1995) menunjukkan bahwa asam salisilat juga dapat meningkatkan aktivitas nitrat reduktase pada semaian bibit jagung. Asam salisilat dan 100 mM Na dapat meningkatkan aktivitas isoenzim aldehidoksidase pada aklimatisasi tanaman tomat. Peranan asam salisilat yang diberikan secara eksogen dalam memacu pertumbuhan bibit pisang Ambon Curup diduga mengikuti peran yang ditunjukkan oleh aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT). Asam salisilat dengan konsentrasi antara 124,48 mM - 211,58 mM mampu
15
meningkatkan pertumbuhan bibit pisang Ambon Curup (Mukhtasar et al. 2004). Asam salisilat selain memiliki fungsi di atas, juga mempunyai fungsi yang lain. Conrath et al. (1995) menyebutkan bahwa asam salisilat atau 2-hidroksibenzoat merupakan salah satu molekul signal untuk terjadinya aktivasi sistem pertahanan tanaman.
16
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di kebun gaharu, Jabon-Parung, Bogor mulai dari bulan April sampai dengan Desember 2009.
3.2 Alat dan Bahan Alat Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, erlemeyer, penangas, sendok (makan dan teh), jarum inokulasi, lampu bunsen, laminar flow, autoklaf, panci, kompor gas, botol selai, bor listrik dan matanya yang berdiameter 4 mm, jenset, pipet mikro, pipet, penggaris, meteran, pisau, martil (palu), pahat, gelas kimia, kertas saring, tabung reaksi, spektofotometer dan alat timbangan.
Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain; biakan murni Acremonium sp. IPBCC 07525, Potato Dekstrosa Agar (PDA), alkohol 70 %, alkohol absolut 98 %, aquades, metil jasmonat (MeJA) 750 mM dalam air, asam salisilat 100 mM dalam alkohol 98 %, bahan inokulan , air, pohon gaharu (A. crassna) berdiameter ± 20 cm, asam asetat anhidrat, dietil eter, H 2 SO 4 dan etanol absolut. 3.3 Metode 3.3.1 Persiapan Inokulan Acremonium Kultur stok Acremonium sp. diremajakan dan biakan yang berumur 7 hari menjadi sumber inokulan. Acremonium sp. dibiakan kembali dalam media jagung pecah steril selama 2 minggu dan dijadikan sumber inokulum bagi pembuatan inokulan (pelet). Acremonium sp. pada media jagung dibiakkan pada media serbuk gergaji (Rahayu, komunikasi pribadi, 8 Februari 2008) dan diinkubasi selama 2 sampai 4 minggu dan kemudian dibentuk berupa pelet.
17
3.3.2 Pembuatan Larutan MeJA dan Asam Salisilat Larutan MeJA yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah MeJA dengan konsentrasi 750 mM, sebagai pelarutnya adalah aquades steril. Sementara larutan asam salisilat yang akan digunakan adalah larutan asam salisilat dengan konsentrasi 100 mM, sebagai pelarutnya adalah alkohol absolut 98 %.
3.3.3 Induksi Pembentukkan Gubal Gaharu Induksi pembentukkan gubal gaharu dilakukan pada pohon gaharu (A. crassna) yang berumur ± 10 tahun dan berdiameter ± 20 cm dengan berbagai perlakuan penginduksi pembentukkan gubal gaharu menggunakan senyawa kimia dan Acremonium sp. (Tabel 6). Batang pohon pada ketinggian ± 70 cm di atas permukaan tanah dilubangi dengan mata bor berdiameter 4 mm sampai kedalaman ± 1/3 dari diameter batang (Gambar 3). Sederetan lubang (20 lubang/pohon) dibuat dengan jarak arah vertikal ± 15 cm dan jarak ke arah horizontal ± 5 cm. Pada perlakuan ganda (Tabel 6), lubang-lubang ini diberi berurut-turut dengan 1 ml asam salisilat, 1 ml MeJA dengan jarak pemberian 1 minggu bergantung jenis kombinasinya.
Tabel 6. Perlakuan inokulasi pada pohon gaharu. Kode
Perlakuan
AMF AM AF MF A M F K+
Kombinasi asam salisilat, MeJA, Acremonium IPBCC 07525 Kombinasi asam salisilat dan MeJA Kombinasi asam salisilat dan Acremonium IPBCC 07525 Kombinasi MeJA dan Acremonium IPBCC 07525 Asam salisilat MeJA Acremonium IPBCC 07525 Batang pohon gaharu yang dibor saja (sebagai kontrol)
Pengamatan terhadap pembentukan gubal (warna kayu dan tingkat wangi kayu ketika kayu dibakar) dilakukan setiap bulan setelah induksi (bsi) selama 4 bulan pada lubang induksi yang berbeda. Perubahan warna kayu meliputi tingkat perubahan dan luas zona perubahan warna kayu. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (Tabel 7) dan dinyatakan dalam rataan skor dari tiga responden. Zona perubahan warna kayu dinyatakan dalam panjang dan
18
lebar zona (Gambar 4). Tingkat wangi ditetapkan berdasarkan sistem skor (Tabel 7) dan dinyatakan dalam rataan nilai skor dari tiga responden.
Gambar 3. Lubang Induksi pada batang pohon A. crassna
P L
Gambar 4. Pengukuran panjang (P) dan lebar (L) zona perubahan warna pada batang A. crassna Table 7. Skor perubahan warna dan tingkat wangi (Rahayu, Santosa & Ririn 2009) Skor Perubahan Warna Aroma 0 1 2 3
Putih Putih kecoklatan Coklat Coklat kehitaman
Tidak wangi Agak wangi Wangi Sangat wangi
19
3.3.4 Uji Terpenoid dengan Metode Lieberman-Burchard Bagian kayu yang menunjukkan perubahan warna dari satu sampel dipisahkan dari bagian kayu yang tidak menunjukkan perubahan warna. Kayukayu yang menunjukkan perubahan warna dan merupakan hasil dari satu perlakuan digabungkan. Sebanyak ± 0,4 gram kayu yang berubah warna tersebut direndam dalam 5 ml etanol absolut panas (didihkan) kemudian disaring dan diuapkan hingga kering sampai terbentuk endapan berwarna kuning. Endapan tersebut kemudian ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenisasi. Setelah endapan dihomogenisasi selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat. Warna merah kecoklatan atau ungu yang terbentuk pada endapan menunjukkan adanya senyawa triterpenoid. Warna hijau sampai kuning kehijauan mengindikasikan sterol. Ke dalam larutan ekstrak gaharu tersebut, ditambahkan sebanyak 5 ml etanol absolut kemudian absorbansinya diukur dengan spektrofotometer pada λ 268 nm. Nilai absorbansi tersebut dipergunakan untuk menentukan konsentrasi senyawa terpenoid melalui konversi kurva standar terpenoid dari minyak gaharu alami. 3.4 Analisis Data Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap dan dianalisis menggunakan program SAS, dan diuji ANOVA pada α = 5 %. Bila perlakuan berpengaruh nyata maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf uji 5 %. Transformasi dilakukan pada menunjukkan koefisien variasi yang besar.
data
yang
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL 4.1.1 Gejala Pembentukkan Gubal Gaharu Gejala pembentukkan gubal ditandai oleh adanya perubahan warna kayu dan munculnya aroma wangi ketika bagian kayu yang berubah warnanya itu dibakar. Semua kayu gaharu yang diinduksi mengalami perubahan warna (Gambar 5 dan 6) dan mengeluarkan beragam aroma. Perubahan warna kayu dipengaruhi oleh jenis penginduksi dan masa induksi. Sedangkan interaksi jenis penginduksi dan masa induksi tidak berpengaruh terhadap perubahan warna (Lampiran 1). Secara umum semua penginduksi merangsang perubahan warna dengan intensitas yang berbeda nyata dibanding perlakuan pelubangan (K+), sehingga semua penginduksi efektif dalam merangsang perubahan warna. Induksi ganda cenderung tidak menyebabkan perubahan warna dengan intensitas lebih tinggi daripada penginduksi tunggal, tetapi kombinasi tiga penginduksi (AMF) menunjukkan intensitas warna yang secara nyata lebih gelap daripada penginduksi tunggal (Gambar 6). Intensitas warna juga meningkat secara nyata pada 3 bsi pada semua penginduksi (Gambar 7).
0
1
2
3
Gambar 5. Warna kayu gaharu A. crassna setelah diberi perlakuan (0 = Putih, 1 = Putih kecoklatan, 2 = coklat dan 3 = Coklat kehitaman) setelah 4 bulan induksi.
21
Gambar 6. Intensitas warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE
Gambar 7. Intensitas warna kayu A. crassna selama 4 bulan pengamatan. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE Selain intensitas warna, luas perubahan warna kayu, baik panjang maupun lebar zona perubahan warna kayu pada semua penginduksi dipengaruhi oleh jenis penginduksi dan masa induksi. Sedangkan interaksi jenis penginduksi dan masa induksi tidak berpengaruh terhadap panjang dan lebar zona perubahan warna (Lampiran 2 dan 3). Panjang zona perubahan warna pada semua penginduksi berbeda nyata dari perlakuan pelubangan (K+), sehingga semua penginduksi mempengaruhi panjang zona perubahan warna. Secara umum rata-rata panjang zona perubahan warna pada penginduksi ganda relatif sama dengan penginduksi tunggalnya, tetapi kombinasi tiga penginduksi (AMF) menunjukkan rata-rata panjang zona perubahan warna yang secara nyata lebih panjang daripada penginduksi tunggal (Gambar 8).
22
Gambar 8. Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE Rata-rata panjang zona perubahan warna mulai meningkat pada 3 bsi dan berbeda nyata dengan panjang zona perubahan warna pada 1 dan 2 bsi pada semua perlakuan (Gambar 9).
Gambar 9. Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna selama 4 bulan. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE Semua penginduksi mempengaruhi lebar zona perubahan warna dan berbeda nyata dengan perlakuan pelubangan (K+). AMF memberikan zona perubahan warna terlebar dan berbeda nyata dengan semua penginduksi. Perlakuan pelubangan (K+) menginduksi zona perubahan warna terendah, sedangkan F merupakan penginduksi tunggal yang menyebabkan zona perubahan warna terendah dan berbeda nyata dari penginduksi ganda dan penginduksi tunggal lainnya kecuali dengan penginduksi MF (Gambar 10). Lebar zona perubahan warna pada 1 – 3 bsi lebih lebar dan berbeda nyata dengan 4 bsi pada
23
semua perlakuan (Gambar 11). Panjang zona perubahan warna berkorelasi dengan lebar zona perubahan warna kayu gaharu (r = 0,523, p<0,05).
Gambar 10. Lebar zona perubahan warna kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE
Gambar 11. Lebar zona perubahan warna kayu A. crassna selama 4 bulan. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE Tingkat wangi dipengaruhi oleh jenis penginduksi dan masa induksi (Lampiran 4). Interval untuk rataan skor tingkat wangi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu; 0 (tidak wangi), >0 - ≤1 (agak wangi), >1 - ≤2 (wangi) dan >2 - ≤3 (sangat wangi). Semua penginduksi menyebabkan perubahan aroma kayu, namun tingkat wanginya sangat rendah. Secara umum AMF dan F dapat merangsang munculnya wangi pada kategori agak wangi (skor mendekati 1) (Gambar 12).
24
Gambar 12. Tingkat wangi kayu A. crassna pada masing-masing penginduksi. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE Selama masa pengamatan, kayu gaharu pada titik induksi menunjukkan tingkat wangi yang bervariasi mulai tidak wangi (skor 0) sampai sangat wangi (skor 3). Wangi dibagi dalam tiga kategori yaitu agak wangi, wangi dan sangat wangi. Induksi pada kategori sangat wangi, hanya diperoleh dari penginduksi MF dan F, meskipun frekuensinya rendah yaitu berturut-turut 22,2 % dan 11,1 % pada 3 bsi dan 4 bsi (Tabel 8). Semua penginduksi dapat merangsang munculnya aroma kayu yang berbeda dari aroma kayu sehat. Aroma ini dapat mirip dengan bau karet terbakar, bau kopi sampai aroma khas gaharu. Aroma khas gaharu hanya terdeteksi pada titik induksi F. Penginduksi F mengeluarkan aroma khas gaharu yang mulai terdeteksi pada bulan ke satu induksi dengan frekuensi 11,1 % (tingkat wangi berada pada kategori agak wangi). Frekuensi ini meningkat menjadi 2-3 kali pada bulan-bulan berikutnya. Peningkatan skor wangi pada 2 – 4 bsi dan berbeda nyata dengan tingkat wangi pada 1 bsi, namun peningkatan ini tidak mencapai wangi pada katagori agak wangi pada semua penginduksi (Gambar 13). Intensitas warna tidak berkorelasi dengan tingkat wangi kayu gaharu (r = 0,022, p<0,05).
25
Tabel 8. Frekuensi titik induksi yang wangi Penginduksi AMF AM AF MF A M F
AW 11,1 22,2 11,1 11,1 22,2 11,1
1 W -
SW -
K+
-
-
-
Frekuensi Titik Induksi Kategori Wangi 2 3 AW W SW AW W SW AW 44,4 11,1 44,4 22,2 44,4 33,3 22,2 22,2 11,1 11,1 22,2 11,1 11,1 22,2 33,3 22,2 11,1 22,2 33,3 11,1 33,3 33,3 11,1 22,2 -
-
-
33,3
-
-
-
Keterangan : Agak wangi (AW), wangi (W) dan sangat wangi (SW)
Gambar 13. Tingkat wangi kayu A. crassna selama 4 bulan. Data menunjukkan nilai rata-rata ± SE
4.1.2 Pembentukkan Senyawa Terpenoid Hasil uji kandungan senyawa terpenoid, menunjukkan bahwa endapan ekstrak kayu gaharu memiliki warna mulai dari hijau, hijau kekuningan, kuning, coklat, coklat kemerahan sampai coklat kehitaman (Gambar 14).
4 W 11,1 11,1 11,1 11,1 22,2
SW 11,1
-
-
26
AMF
AM
AF
MF
A M F K+ Gambar 14. Hasil Uji Lieberman-Burchard pada ekstrak kayu A. crassna pada bulan ke-4 masa induksi Ekstrak gaharu pada umumnya menunjukkan warna hijau sampai hijau kekuningan pada 1 bsi (Tabel 9). Endapan berwarna coklat terdeteksi pada beberapa penginduksi seperti pada penginduksi AMF, MF, F dan K+ pada 2 bsi. Semakin banyak penginduksi yang ekstrak kayunya menunjukkan endapan berwarna coklat terjadi pada 3 bsi. Selama masa induksi, semua penginduksi berpotensi untuk menyebabkan ekstrak kayu membentuk endapan coklat, kecuali AF. Warna coklat sampai coklat kehitaman menunjukkan terdeteksinya senyawasenyawa dalam kelompok triterpenoid, sedangkan warna hijau menunjukkan bahwa pada endapan terdapat senyawa sterol. Warna-warna selain warna hijau dan coklat sampai coklat kehitaman menunjukkan dalam endapan tersebut terdapat senyawa-senyawa lain yang tidak diketahui. Endapan hasil ekstrak menunjukkan kepekatan yang berbeda-beda. Hasil pengukuran kadar senyawa triterpenoid berdasarkan konversi dengan kurva standar minyak gaharu menunjukkan bahwa penginduksi AM dan F memiliki kandungan triterpenoid dengan konsentrasi tertinggi yaitu 268,25 ppm kemudian diikuti oleh penginduksi MF (213 ppm), A (202,17 ppm), AMF (191,17 ppm), K+ (139,33 ppm) dan M (108,58 ppm) pada pohon dan bulan yang berbeda (Tabel 10). Dalam penentuan konsentrasi senyawa gaharu, yang dipakai sebagai pembanding adalah minyak gaharu asal Kalimantan. Ketika diuji dengan metode Liberman-Burchad, minyak gaharu tersebut menampakkan warna coklat kemerahan dengan nilai absorbansi 3,010. Warna yang ditimbulkan ini menunjukkan bahwa di dalam endapannya mengandung senyawa triterpenoid.
27
Inokulasi
penginduksi
yang
sama
pada
pohon
yang
berbeda
memperlihatkan respon yang berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan warna ekstrak pada uji senyawa terpenoid dan perbedaan konsentrasi senyawa yang dikandungnya. Konsentrasi senyawa terpenoid yang tinggi tidak menunjukkan bahwa di dalam endapan ekstrak tersebut mengandung senyawa triterpenoid (Tabel 10).
Tabel 9. Warna endapan ekstrak kayu selama 4 bulan pengamatan Pengamatan bulan ke2 3
Perlakuan
Pohon
AMF
1
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
2
Hijau kekuningan
Coklat
Coklat
Coklat
3
Hijau
Coklat Kehitaman
Coklat Kehitaman
Hijau
4
Hijau
Kuning
Hijau
Coklat
5
Hijau kekuningan
Hijau
Coklat
Hijau
6
Hijau
Hijau
Hijau
Coklat
7
Hijau
Hijau
Hijau kekuningan
Hijau
8
Hijau kekuningan
Kuning
Hijau
Hijau
9
Hijau
Kuning
Hijau
Hijau
10
Hijau kekuningan
Coklat
Coklat Kehitaman
Coklat
11
Hijau
Hijau kekuningan
Hijau
Hijau
12
Hijau kekuningan
Coklat
Coklat kemerahan
Coklat
13
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
14
Hijau kekuningan
Kuning
Coklat
Hijau
15
Hijau
Hijau
Coklat
Coklat
16
Hijau
Kuning
Coklat
Coklat
17
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
18
Hijau
Kuning
Kuning
Hijau kecoklatan
19
Hijau
Kuning kecoklatan
Hijau
Coklat
20
Hijau kekuningan
Hijau
Kuning kecoklatan
Hijau
21
Hijau
Kuning kecoklatan
Kuning kecoklatan
Coklat
22
Hijau kekuningan
Coklat
Coklat
Coklat
23
Hijau
Kuning
Coklat
Coklat
24
Hijau
Kuning
Kuning kecoklatan
Coklat
AM
AF
MF
A
M
F
K+
1
4
Keterangan : Warna hijuau menunjukkan sterol, warna coklat-coklat kehitaman menunjukkan triterpenoid sedangkan warna-warna yang lain kemungkinan mengandung senyawa lain.
Intensitas warna tidak berkorelasi dengan konsentrasi senyawa terpenoid (r = 0,063), demikian juga tingkat wangi tidak berkorelasi dengan konsentrasi senyawa terpenoid (r = 0,049).
28
Tabel 10. Konsentrasi terpenoid ekstrak kayu A. crassna Penginduksi
AMF
AM
AF
MF
A
M
F
K+
Pohon 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1 64,25* 89,17 66,67* 105,42* 100,08 111,08* 11,67* 53,92 21,42* 143,25 57,33* 140,42 31,67* 88,58 69,42* 43,42* 52,25* 58,67* 26,08* 90,33 5,58* 98 33,5* 47,83*
Pengamatan Bulan Ke2 3 * 74,67 16,42* 175,42** 152,25** 191,17** 182,75** 3,58 81,5* 47,75* 196,83** 24,83* 16,25* 3,42* 45,75 45,67 16,67* 36,42 19,17* 158** 184,08** 56,33 75,08* 97** 167,42** 30,5* 26,58* 75 71,83** 62,17* 173,25** 61,25 106,67** 80,5* 70,08* 66,83 124,42 108,33 27,83* 114,58* 113 50,67 163,58 ** 136,17 136,58** 64,08 170,75** 61,25 43,58
4 118,42* 159** 152,58* 268,25** 105,33* 127,67** 94,42* 36* 98,42* 137,92** 88,17 213** 47,75* 70,58* 202,17** 108,58** 160,08* 171,75 213** 187,08* 268,25** 139,33** 97** 40,67**
Keterangan : Angka yang diikuti oleh (*) = sterol, Angka yang diikuti oleh (**) = triterpenoid sedangkan angka yang tidak ditandai diduga adalah senyawa lain.
4.2 PEMBAHASAN 4.2.1 Induksi Gejala Pembentukkan Gubal Gaharu Secara umum semua penginduksi merangsang perubahan warna dengan intensitas dan zona perubahan warna yang berbeda nyata dibanding perlakuan pelubangan (K+), sehingga semua penginduksi efektif dalam merangsang perubahan warna. Pelukaan, pemberian asam salisilat, MeJA dan inokulasi Acremonium sp. atau kombinasinya menyebabkan perubahan warna kayu dari
29
putih menjadi gelap. Perubahan warna ini terjadi akibat adanya akumulasi senyawa gaharu yang berhasil diinduksi oleh semua perlakuan tersebut di atas. Perubahan warna kayu telah dilaporkan dapat disebabkan oleh pelukaan, serangan patogen (cendawan), dan penggunaan senyawa kimia (Walker et al. 1997). Pemberian MeJA secara berulang dan pelukaan dapat menyebabkan perubahan warna kayu gaharu Aquilaria crassna yang berkisar dari putih kecoklatan sampai coklat kehitaman (Hamim et al. 2009). Pemberian etepon 0,5 %, 1,5 % dan 2,5 % serta inokulasi Acremonium sp. dapat menginduksi perubahan warna pada kayu gaharu A. microcarpa (Rahayu et al. 2009b). Perubahan warna kayu merupakan respon non spesifik dari pohon gaharu. Hal ini dibuktikan oleh semua penginduksi dan pelukaan dapat menyebabkan perubahan warna pada kayu gaharu. Penginduksi tiga kombinasi (AMF) menghasilkan intensitas perubahan warna yang tidak berbeda nyata dengan penginduksi ganda (AM), tetapi panjang dan lebar zona perubahan warnanya berbeda nyata. Tidak berbedanya intensitas perubahan warna antara penginduksi AMF dengan AM diduga karena akumulasi senyawa gaharunya tidak cukup untuk memberikan kesan intensitas yang berbeda. Adanya penambahan panjang dan lebar zona perubahan warna yang dihasilkan penginduksi
AMF,
kemungkinan
disebabkan
oleh
pengaruh
inokulasi
Acremonium sp. pada penginduksi tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Putri et al. (2008) bahwa inokulasi Acremonium sp. menghasilkan panjang dan lebar zona perubahan warna yang lebih besar dibandingkan dengan penginduksi senyawa kimia saja. Acremonium sp. merupakan salah satu cendawan patogen pada berbagai tanaman termasuk pohon gaharu. Cendawan ini pada pohon gaharu dapat menginduksi terbentuknya senyawa gaharu (senyawa fitoaleksin). Rahayu et al. (1999) melaporkan bahwa Acremonium sp. merupakan salah satu cendawan yang terbukti dapat menginduksi terbentuknya senyawa gaharu (senyawa fitoaleksin) pada pohon Aquilaria. Ramadani et al. (2005) juga melaporkan bahwa pelet Acremonium sp. dapat menginduksi pembentukkan gubal gaharu pada pohon A. crassna umur 1 sampai 3 tahun. Ditambahkan oleh Rahayu et al. (2009c) bahwa inokulasi Acremonium sp. dan Fusarium sp. dalam bentuk inokulan tunggal atau inokulan ganda dapat merangsang pohon gaharu A. microcarpa membetuk
30
senyawa fitoaleksin yang merupakan senyawa terpenoid. Sebelumnya Putri et al. (2008) juga melaporkan bahwa inokulasi Acremonium sp. pada A. crassna terbukti dapat merangsang pembentukkan senyawa fitoaleksin (senyawa gaharu). Inokulasi Acremonium sp. yang berbentuk pelet pada pohon gaharu yang sebelumnya telah dilubangi akan memberi kemudahan pada cendawan ini untuk tumbuh, khususnya dengan adanya air, unsur hara dan metabolit primer yang tersedia pada pohon gaharu tersebut. Tersedianya faktor ini mendukung propagul infektif (konidia dan askospora) dari Acremonium sp. untuk berkecambah membentuk hifa. Hifa cendawan ini selanjutnya akan melakukan penetrasi ke sel dan jaringan dari pohon gaharu melalui ruang antar sel (lamela) atau penetrasi langsung dengan melisis dinding sel dan membran sel, yang lambat laun akhirnya akan menginfeksi. Williams (1979) menjelaskan bahwa, infeksi cendawan patogen termasuk Acremonium sp. melibatkan beberapa mekanisme diantaranya kekuatan mekanik, enzim dan toksin. Infeksi Acremonium sp. pada pohon gaharu A. crassna akan meluas karena adanya penyebaran propagul infektif (askospora dan konidia) dari Acremonium sp. melalui berkas pembuluh ke bagian tubuh tumbuhan A. crassna yang lain sehingga zona infeksi dari Acremonium sp. akan bertambah luas. Penyebaran propagul infektif Acremonium sp. akan terjadi seperti pada cendawan patogen yang lain. Agrios (2005) menjelaskan bahwa cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. lycopersicum yang patogen pada cabai dan Fusarium oxysporum f.sp. zingiberi pada jahe masuk melalui akar yang luka, kemudian melakukan penetrasi ke jaringan pembuluh melalui parenkim dan berkembang di xilem, di bagian ini dimungkinkan propagul infektif akan menyebar ke bagian tubuh tumbuhan yang lain. Adanya penambahan luas zona infeksi dari cendawan ini berpengaruh terhadap luasan dari zona akumulasi senyawa gaharu (senyawa fitoaleksin) yang mengakibatkan penambahan zona perubahan warna. Asam salisilat dan MeJA merupakan senyawa kimia yang juga berperan penting dalam menginduksi pembentukan senyawa fitoaleksin. Klessig et al. (2001) menjelaskan bahwa asam salisilat berperan penting dalam memberikan isyarat untuk mengaktifkan tanggapan pertahanan tanaman yang mengikuti infeksi patogen. Asam salisilat
31
bersama metil jasmonat juga merupakan elisitor kimiawi yang merangsang pembentukan senyawa fitoaleksin (Franceschi et al. 2002; Taiz & Zeiger 2002). Pemberian asam salisilat dan metil jasmonat secara eksogen ditambah dengan inokulasi Acremonium sp. (kombinasi tiga penginduksi AMF) pada pohon gaharu A. crassna merupakan faktor penentu dalam penambahan zona akumulasi senyawa fitoaleksin pada jaringan kayu gaharu A. crassna tersebut. Situmorang & Rahayu (2004) menjelaskan bahwa senyawa gaharu yang merupakan resin dari pohon gaharu yang terbentuk tidak dikeluarkan dari pohon, melainkan disimpan pada jaringan kayu sehingga jaringan kayu putih yang bertekstur halus menjadi gelap dan keras. Hamim et al. (2009) melaporkan bahwa akumulasi senyawa gaharu pada A. crassna terjadi pada jaringan parenkim jejari, unsur trakea xilem dan empulur. Rahayu & Situmorang (2006) menjelaskan bahwa, senyawa fitoaleksin pada gaharu diduga dideposit pada kayu dan berkaitan dengan perubahan warna. Semakin luas zona infeksi dan semakin banyak senyawa fitoaleksin yang terdeposit di kayu gaharu akan berdampak pada zona perubahan warna yang semakin tinggi. Intensitas dan zona perubahan warna penginduksi AMF berbeda nyata dengan penginduksi tunggalnya A, M dan F. Hal ini diduga terkait dengan kemampuan pengiduksi A, M dan F dalam bentuk kombinasi (AMF) lebih kuat bila dibandingkan dengan penginduksi tersebut diberikan secara tunggal. Hal ini sesuai dengan laporan Rahayu et al. (2009a) bahwa, inokulasi Acremonium sp. yang dikombinasikan dengan pemberian MeJA lebih efektif dalam menginduksi perubahan warna kayu gaharu A. microcarpa dengan intensitas dan zona perubahan warna yang lebih tinggi dan lebih besar bila dibandingkan dengan penginduksian secara sendiri-sendiri selama 3 bulan induksi. Penginduksi ganda AF dan MF menghasilkan intensitas perubahan warna yang tidak berbeda nyata, tetapi berbeda dalam panjang zona perubahan warnanya, meskipun intensitas dan zona perubahan warna perlakuan tunggalnya tidak berbeda. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuan asam salisilat dan MeJA dalam mempengaruhi aktivitas Acremonium sp. dalam menginduksi panjang zona perubahan warna dan adanya perbedaan ketahanan
32
(kebugaran) masing-masing individu pohon gaharu A. crassna yang diinduksi dalam penelitian ini. Perbedaan
kemampuan
antara
asam
salisilat
dan
MeJA
dalam
mempengaruhi aktivitas Acremonium sp. diduga terkait dengan adanya perbedaan zona penyebaran (migrasi) antara kedua senyawa tersebut dan oleh sifat Acremonium sp. yang lebih bersinergi dengan asam salisilat daripada metil jasmonat. Transportasi asam salisilat dan MeJA terjadi melalui berkas pembuluh, baik xilem maupun floem menuju daerah basal dan apeks dari tanaman. Rocher et al. (2006) melaporkan bahwa transportasi asam salisilat ke akar melalui berkas pembuluh xilem dan ditransportasikan kembali ke bagian tanaman yang lain melalui berkas pembuluh floem. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, penginduksi AF menghasilkan panjang zona perubahan warna yang lebih panjang daripada penginduksi MF. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Rahayu (2010) bahwa panjang zona perubahan warna kayu gaharu A. crassna yang diinduksi oleh asam salisilat dengan konsentrasi 100 mM yang diamati pada hari ke-10 setelah induksi adalah 11 cm dan panjang perubahan warna ini terus bertambah seiring bertambahnya masa induksi, sedangkan Hamim et al. (2009) melaporkan bahwa pemberian pertama MeJA dengan konsentrasi 750 mM pada perlakuan secara berulang yang diamati pada 10 hari setelah induksi memperlihatkan panjang zona perubahan warnanya adalah 3,8 cm dan panjang zona perubahan warna ini terus bertambah seiring bertambahnya masa induksi. Dengan memperhatikan panjang zona perubahan warna dari kedua jenis penginduksi tersebut, kemungkinan zona penyebaran asam salisilat lebih luas daripada zona penyebaran MeJA. Perbedaan jangkauan (zona penyebaran) asam salisilat dan MeJA pada pohon gaharu A.crassna akan berpengaruh terhadap jumlah sel yang akan terinduksi untuk memproduksi senyawa fitoaleksin dan jumlah sel yang pengakumulasi. Jumlah sel pengakumulasi senyawa fitoaleksin yang berbeda, akan mempengaruhi zona perubahan warna. Berbeda dengan perubahan warna, semua penginduksi menyebabkan perubahan aroma kayu, namun tingkat wanginya sangat rendah. Aromanyapun sangat bervariasi. AMF menginduksi wangi dengan tingkat wangi tertinggi,
33
namun aromanya bukan wangi khas gaharu. Secara umum hanya AMF dan F yang dapat merangsang munculnya wangi pada kategori agak wangi (skor mendekati 1). Penginduksi tunggal F menghasilkan aroma yang wanginya khas gaharu. Munculnya aroma wangi pada kayu gaharu setelah diinduksi disebabkan oleh adanya senyawa gaharu yang terakumulasi pada kayu gaharu tersebut. Tidak semua senyawa gaharu akan memberikan aroma wangi. Taiz & Zeiger (2002) melaporkan bahwa salah satu senyawa metabolit sekunder yang beraroma wangi adalah sesquiterpenoid yang dikenal dengan istilah sesquiterpenoid aromatik. Dengan demikian pada penginduksi AMF dan F diduga jumlah senyawa sesquiterpenoid yang terakumulasi lebih tinggi daripada penginduksi yang lain. Berkaitan dengan hasil penelitian untuk tingkat wangi di atas, Rahayu et al. (2009a) melaporkan bahwa, pada perlakuan kombinasi, tingkat wangi yang dihasilkan cenderung lebih tinggi daripada perlakuan tunggal. Kemudian Rahayu et al. (2009c) kembali melaporkan bahwa inokulasi Acremonium sp. yang dikombinasikan dengan Fusarium sp. lebih efektif dalam menginduksi wangi daripada penginduksi tunggal Acremonium sp., Fusarium sp. , pemberian larutan gula atau pelubangan. Berdasarkan persentase titik induksi pada kategori sangat wangi, penginduksi MF dan F lebih efektif dalam menginduksi wangi bila dibandingkan dengan penginduksi yang lain. Rahayu et al. (2009a) melaporkan bahwa perlakuan kombinasi Acremonium sp. dan MeJA dapat meningkatkan frekuensi titik induksi pada kategori sangat wangi. Kemudian Rahayu et al. (2009c) juga melaporkan bahwa aroma wangi dan frekuensi wangi pada pemberian inokulan ganda Acremonium sp. dan Fusarium sp. relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Masing-masing penginduksi dapat merangsang titik induksi wangi dengan kategori yang berbeda-beda yaitu agak wangi, wangi dan sangat wangi mengindikasikan bahwa wangi merupakan respon spesifik kayu gaharu terhadap bentuk gangguan. Rahayu et al. (2007) menjelaskan bahwa wangi ini merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan. Aroma wangi dan frekuensi wangi pada pemberian inokulan MF dan F lebih efektif dalam menginduksi wangi bila dibandingkan dengan penginduksi yang lain. Namun intensitas warna kayu lebih rendah dari penginduksi AMF. Hal
34
ini menunjukkan bahwa aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan intensitas warna kayu. Sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1999) bahwa terjadinya pembentukkan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Intensitas warna tidak berkorelasi dengan tingkat wangi kayu gaharu (r = 0,022) selama 4 bsi. Hal ini menunjukkan bahwa, intensitas warna yang tinggi tidak memberikan aroma wangi yang tinggi, sehingga warna dan wangi merupakan kriteria yang independen dalam penentuan mutu gaharu. Lama induksi berpengaruh terhadap intensitas warna, panjang dan lebar zona perubahan warna serta tingkat wangi kayu gaharu. Selain intensitas warna, terjadi penurunan ukuran panjang dan lebar zona perubahan warna serta rata-rata skor tingkat wangi pada 4 bsi. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan akumulasi senyawa gaharu yang disebabkan oleh berkurangnya aktivitas Acremonium sp. dalam menginduksi terbentuknya senyawa gaharu atau pertahanan pohon gaharu semakin meningkat. Penurunan aktivitas Acremonium sp. diduga berkaitan dengan semakin meningkatnya aktivitas pertahanan pohon gaharu. Peningkatan pertahanan (kebugaran) pohon gaharu dapat menurunkan produksi senyawa fitoaleksin (senyawa gaharu), begitu pula sebaliknya, jika terjadinya penurunan kebugaran pohon gaharu maka dapat meningkatkan produksi senyawa fitoaleksin. Rahayu et al. (2009c) menyatakan bahwa, peningkatan produksi senyawa gaharu (senyawa fitoaleksin) pada pohon gaharu A. microcarpa yang diinduksi dengan Acremonium sp. dan Fusarium sp. diduga karena terjadi penurunan kebugaran pohon tersebut.
4.2.2 Pembentukkan Senyawa Terpenoid Pada semua penginduksi baik penginduksi tunggal maupun penginduksi kombinasi terjadi pembentukkan senyawa terpenoid. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Rahayu et al. (2009a) bahwa semua penginduksi baik penginduksi tunggal maupun penginduksi kombinasi merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Hal ini ditunjukkan oleh adanya aroma wangi ketika kayu gaharu tersebut dibakar. Hasil uji kandungan senyawa terpenoid juga menunjukkan bahwa endapan ekstrak kayu gaharu memiliki warna mulai dari hijau, hijau
35
kekuningan, kuning, coklat, coklat kemerahan sampai coklat kehitaman. Warnawarna ini mengindikasikan bahwa yang terbentuk adalah senyawa-senyawa sterol dan triterpenoid. Sterol merupakan salah satu senyawa yang tergolong dalam senyawa terpenoid (Harborne 1987). Sterol adalah terpenoid yang terikat asam lemak. Pada tumbuhan senyawa ini dihasilkan dari biosintesis senyawa triterpenoid sikloartenol (Lenny 2006). Sterol memiliki peranan penting dalam fungsi biologis organisme yaitu mempertahankan integritas struktural membran dan permeabilitas membran dalam regulasi berbagai ion (Mann 1987). Selama masa induksi terjadi peningkatan jumlah ekstrak kayu gaharu yang endapannya berwarna coklat. Semua penginduksi kecuali AF menyebabkan ekstrak kayu membentuk endapan coklat. Warna coklat menunjukkan terdeteksinya senyawa-senyawa dalam kelompok triterpenoid. Dengan demikian semua penginduksi, kecuali AF, dapat menginduksi terbentuknya senyawa triterpenoid. Senyawa terpenoid yang beraroma wangi tergolong dalam senyawa sesquiterpenoid yang dikenal dengan istilah sesquiterpen aromatik. Metabolisme isopentenil pirofosfat sebagai prekursor pembentukkan terpenoid mungkin tidak berhenti pada produk sesquiterpenoid tetapi dapat masuk dalam jalur metabolisme selanjutnya. Pada penelitian ini senyawa triterpenoid dan sterol juga terdeteksi pada semua penginduksi pada bulan yang berbeda, kecuali AF yang hanya mengiduksi sterol dari 1-4 bsi. Hal ini mengindikasikan bahwa metabolisme terpenoid
dapat
berlangsung
terus
dan
berakhir
pada
produk
selain
sesquiterpenoid ketika dipanen. Penginduksi AM dan F menghasilkan senyawa terpenoid tertinggi bila dibandingkan dengan penginduksi yang lain dengan konsentrasi 268,25 ppm pada pohon yang berbeda selama 4 bsi. Hal ini diduga terkait dengan perbedaan ketahanan masing-masing individu pohon gaharu A. crassna. Ketahanan pohon gaharu sangat berpengaruh terhadap jumlah senyawa gaharu (senyawa terpenoid) yang akan diproduksi. Jika ketahanan pohon gaharu meningkat maka produksi senyawa terpenoid semakin sedikit dan begitu pula sebaliknya, jika ketahanan pohon gaharu menurun maka produksi senyawa terpenoid semakin meningkat. Rahayu et al. (2009c) menyatakan bahwa, peningkatan produksi senyawa gaharu
36
(senyawa fitoaleksin) pada pohon gaharu A. microcarpa yang diinduksi dengan Acremonium sp. dan Fusarium sp. diduga karena terjadi penurunan kebugaran pohon tersebut. Di samping alasan di atas, tingginya konsentrasi senyawa terpenoid dari penginduksi AM dan F disebabkan oleh; (1) AM merupakan kombinasi dari dua jenis senyawa kimia yang tergolong senyawa elisitor fitoaleksin yang dapat mendorong diproduksinya senyawa fitoaleksin (senyawa terpenoid) dan (2) inokulasi Acremonium sp. dilakukan setelah selesai pelubangan yang memungkinkan Acremonium sp. dapat segera tumbuh dan melakukan serangan (infeksi) yang berdampak pada produksi senyawa terpenoid yang tinggi. Intensitas warna dan tingkat wangi tidak berkorelasi dengan konsentrasi senyawa terpenoid selama 4 bsi, sehingga intensitas warna yang tinggi belum tentu sangat wangi dan memiliki konsentrasi terpenoid yang
tinggi. Jadi
konsentrasi terpenoid seperti halnya intensitas warna dan tingkat wangi merupakan kriteria yang independen dalam penentuan mutu gaharu.
37
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN Kombinasi asam salisilat, MeJA dan Acremonium sp. merupakan penginduksi yang paling efektif dalam menginduksi pembentukkan senyawa gaharu (gubal gaharu) pada pohon A. crassna selama 4 bsi. Perlakuan tersebut memberikan nilai intensitas warna kayu, luas zona perubahan warna kayu dan aroma tertinggi. Wangi khas gaharu hanya diinduksi oleh kombinasi MeJA dengan Acremonium sp. dan penginduksi tunggal Acremonium sp. Semua penginduksi efektif dalam merangsang pembentukkan terpenoid dengan variasi konsentrasi terpenoid yang tinggi pada setiap pohon. Kombinasi asam salisilat dengan metil jasmonat, dan penginduksi tunggal Acremonium sp. menghasilkan triterpenoid dengan konsentrasi tertinggi yaitu 268,25 ppm pada pohon yang berbeda selama 4 bsi.
5.2 SARAN Efektifitas induksi kombinasi asam salisilat, MeJA dan Acemonium sp. perlu diamati dengan jangka masa induksi yang lebih lama dan diamati pada titik induksi yang sama.
38
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. United State of America: Elsevier Academy Press. Amirudin. 2001. Analisis usaha tani dan permasalahan gaharu. Di dalam: Anonim. Kumpulan Makalah Lokakarya dan Konsultasi Investasi dan Peluang Usaha Budidaya Gaharu; Mataram. Biro Kerjasama Luar Negeri dan Investasi Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Mataram, 17-18 Okt 2001. hlm 1-17. Anonim. 1995. Pengenalan Gaharu di Nusa Tenggara Barat. Mataram : Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Babst BA, Ferrie RA, Gray DW. 2005. Jasmonic acid induces rapid change transport and partitioning in Populus. Am J Phytol 167 : 63-72. Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M. 2000. Hearth of the Matter Agarwood: Use and Trade and CITES Implementation for Aquilaria malacensis. Cambridge: Traffic International. Brown JF. 1980. The Infection Process and Host-Pathogens Relationship. Di dalam: Brown JF, editor. Plant Protection. Melbourne: Australian ViceChancellors Committee. 238-253 p. Brown D. 1999. Chemicals From Perspectives of Plant Secondary Products Plant. London: Impercial College Press. Conrath U, Chen Z, Malamy J, Duener J, Hennig J, Sanches-Casas P, Silva H, Ricigliano J, Klessig DF. 1995. The Salisilic Acid Signal for the Activation of Plant Disease Resistance: Induction, Modification, Perception and Transduction. Di dalam: Russell H Lyr PE, Sisler HD, editor. Modern Fungicides and Antifungal Compounds. Andover : Intercept Ltd. Creelman RA, Mullet J E.. 1997. Biosynthesis and action of jasmonates in plants. Plant Mol Biol 48: 355-381. Dahm H, Strzekzyk E. 1987. Cellulolytic and pectinolytic activity of Cylindrocarpon destructans (Zins.) Scholt. isolates pathogenic and non pathogenic to fir (Abies alba Mill.) and pine (Pinus sylvestris L.). J Phytopathol 118 : 76-83. Davies PJ, editor. 1995. Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Ed ke2. Netherlands: Kluwer Academic Publish. 833 p. Dewan Standar Nasional. 1999. SNI 01/5009.1- 1999 Gaharu. Jakarta : Dewan Standar Nasional. Franceschi VR, Trygve K, Erik C. 2002. Application of methyl jasmonate on Picea abies (Pinaceae) stem induces defence related in phloem and xylem. Am J Bot 89 : 578-586. Goodman R.N, Kiraly Z, Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Columbia : University of Missouri- Press. Hamim, Rahayu G, Rosita R. 2009. Efektivitas pemberian metil jasmonat secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu (A. crassna). Di dalam : Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari Kumpulan Makalah Seminar Nasional I Gaharu; Bogor, 12 Nov 2009. hlm. A5.
39
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Sudiro I, penerjemah; Bandung: Institut Tehnologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Harbone JB. 1988. Introduction to Ecological Biochemistry. London: Academic Press. Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-Microbe Interaction. London: Kluwer Academy Publisher. Hudgins JW, Franceschi VR. 2004. Methyl jasmonate-induced ethylene production is responsible for conifer phloem defence responses and reprogramming of stem cambial zone for traumatic resin duct formation. Cell Biol Online 135: 2134-2149. Ishihara M, Tsuneya T, Shiga M, Uneyama K. 1991. Three sesquiterpenes from agarwood. Phytochem 30 (2): 563-566. Isnaini. 2003. Respons tunas gaharu (Aquilaria crassna dan A. filaria) terhadap inokulasi Acremonium pada tiga konsentrasi medium kultur. Makalah disampaikan pada Kongres XVII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Bandung, 6-8 Agu 2003. Isnaini. 2004. Induksi produksi gubal gaharu melalui inokulasi cendawan dan aplikasi faktor abiotik [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khayrunnisa S, Rahayu G, Umboh MIJ, Affandi H. 1999. Senyawa gaharu hasil induksi elisitor Acremonium sp. pada kalus Aquilaria cassna. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Purwokerto, 16-18 Sep 1999. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. hlm. 582-589. Klessig DF, Yang T, Shah J. 2001. Salicylic acid-and nitric oxide-mediated signal tranduction in disease resistance. Di dalam: Sopory. Signal Tranduction in Plant; New Delhi, 4-6 Okt 2005. hlm 201-207. LaFrankie JV. 1994. Population dinamies of some tropical trees that yield nontimber forest product. Econ Bot 48 (3) : 301-309. Lam NH. 2003. Some factor influencing natural agarwood formation process from Aquilaria tree and the use of a new biological product for stimulating agarwood formation in the trunk of Aquilaria tree (A. crassna Pierre) in Vietnam. Paper presented in 1st International Confrence on Agarwood. Ho Chi Minh City, 9-15 Nov 2003. Lenny. 2006. Senyawa terpenoida dan steroida. Medan: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatra Utara. Mann J. 1987. Secondary Metabolism. New York : Oxford University Press. Mert-Turk F. 2002. Phytoalexin : defence or just respon to stress ? J Cell Mol Biol 1 : 1-6. Michiho I. 2005. Induction of Sesquiterpenoid Production by Methyl Jasmonate in Aquilaria sinensis Cell Suspension Culture. Essential Oil Research. http//www.findarticles. com [12 Februari 2006].
40
Mukhtasar, Hanom D. 2004. Pertumbuhan bibit pisang ambon curup pada berbagai konsentrasi dan lama perendaman dalam larutan asam salisilat. Akta Agrosia 7 : 67-71. Nadarajah K, Turner JG. 2003. The role of jasmonate in plant pathogen intractions in Arabidopsi thaliana. Jurnal Teknol 39 : 9-16. Nakanishi T, Yamagata E, Yoneda K, Miura I. 1981. Jinkohol, a prezizane sesquiterpene alcohol from agarwood. Phytochem 20 : 1597-1599. Ng LT, Chang YS, Kadir A. 1997. A review on agar (gaharu) producing Aquilaria species. Trop Forest Prod 2 :272-285. Nobuchi T, Siripatanadilok S. 1991. Preliminary observation of Aquilaria crassna wood associated with the formation of aloewood. Bull of Kyoto Univ. Forest 63 : 226-235. Parman, Ranchman MYA. 1996. Studi etiologi gubal gaharu pohon ketimunan (Aqularia filaria). Makalah disampaikan pada temu pakar gaharu di Kanwil Departemen Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram, 11-12 Apr 1996. Picman A.K. 1986. Biological activities of sesquiterpene lactones. Biochemistry. 14:255-281 Putri AL, Rahayu G, Juliarni. 2008. Induksi pembentukan senyawa terpenoid pada pohon (Aquilaria crassna) dengan Acremonium sp. dan metil jasmonat. Enviagro 2:23-28. Rahayu G, Isnaini Y, Umboh MIJ. 1999. Potensi beberapa hifomiset dalam induksi gejala pembentukan gubal gaharu. Di dalam: Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Purwokerto, 16-18 Sep 1999. Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman. hlm 579-581. Rahayu G, Isnaini Y, Situmorang J. 2001. Ciri isolat Acremonium dari pohon gaharu : morfologi, pola isozim, dan kepekaannya terhadap benomil. Di dalam: Purwantara A, Sitepu D, Mustika I. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia; Purwokerto, 22-24 Agu 2001. Purwokerto: Himpunan Fitopatologi Indonesia. hlm 455-461. Rahayu G, Situmorang J. 2004. Menuju produksi senyawa gaharu secara lestari Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI. Bogor: Lembaga Penelitian Masyarakat IPB. Rahayu G, Situmorang J. 2006. Menuju produksi senyawa gaharu secara lestari. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI. Bogor: Lembaga Penelitian Masyarakat IPB. Rahayu G. 2007. Menuju produksi gubal gaharu secara lestari di Provinsi Bangka Belitung. Laporan Akhir Tahun I Program Hibah Kemitraan Institut Pertanian Bogor. Bogor : Lembaga Penelitian Masyarakat IPB. Rahayu G, Santoso E, Yunita L. 2009a. Interaksi Acremonium sp. dan metil jasmonat dalam pembentukan gubal gaharu pada Aquilaria microcarpa. Di dalam : Proceedings and Seminar Program International Seminar and the 20th National Congress of Indonesian Phytopathological Society; Makasar, 4-7 Agu 2009. Makasar: Universitas Hasanuddin. hlm 18. Abstr No.PPI 01.
41
Rahayu G, Santoso E, Widyastuti FR. 2009b. Efektivitas etilen dalam menginduksi pembentukan senyawa terpenoid pada pohon gaharu (A. microcarpa). Di dalam: Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari Kumpulan Makalah Seminar Nasional I Gaharu; Bogor, 12 Nov 2009. hlm A6. Rahayu G, Santoso E, Wulandari E. 2009c. Efektivitas dan interaksi antara Acremonium sp. dan Fusarium sp. dalam pembentukan gubal gaharu pada A. microcarpa. Di dalam: Kumpulan Makalah Workshop Pengembangan Teknologi Produksi Gubal Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam ITTO PD 425/06 Rev. 1 (I); Bogor, 29 Apr 2009. hlm 1. Rahayu G. 2010. Modification of wood characteristic of Aquilaria crassna by application of salicylic acid in comparison to Acremonium inoculation. Di dalam: Proceedings Meeting of the Association for Tropical Biology and Conservation; Sanur, Bali, Indonesia, 19-23 jul 2010. Ramadani CH, Juliarni, Rahayu G. 2005. Jaringan pengakumulasi resin gaharu pada A. crassna. Seminar Nasional Gaharu Peluang dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia. Bogor, 1-2 Des 2005. Bogor. hlm 72-73. Raskin I. 1995. Salicylic Acid. Di dalam : Davies PJ, Editor. 1995. Plant Hormones : Physiology, Biochemistry and Molecular Biology. Ed ke-2. Boston: Kluwer Acad. Publish. Richard NS. 2003. Introduction to Plant Pathology. India: Pondicherry India Printed. Rocher F, Chollet JF, Jousse C, Bounnemain JL. 2006. Salicylic acid, an ambimobile molecule exhibiting a high ability to accumulate in the phloem. Plant Physiol 141 : 1684-1693. Salisbury FB, CW Ross. 1985. Plant Physiology. Ed ke-3. California: Wadsworth Publishing. Scuitemaker JF. 1933. Het garoehout van West Borneo. Teciona 26: 851-982. Situmorang J & Rahayu G. 2004. Menuju produksi senyawa gaharu secara lestari. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing XI Tahun 2004. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Soehartono T, Mardiastuti A. 1997. The current trade in gaharu in West Kalimantan. Biodivers Indo. 1 : 1-10. Sumarna Y. 2002. Budidaya Gaharu. Jakarta : Penebar Swadaya. Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. United State of America: Academic Press. Subeham, Junya U, Fujino H, Attamimi F, Kadota S. 2005. As field survey of agarwood in Indonesia. J of Trad Med 22: 244-251. Susmianto A. 2001. Kelemahan dan peluang usaha investasi komoditi gaharu. Di dalam: Anonim, editor. Kumpulan Makalah Lokakarya dan Konsultasi Investasi dan Peluang Usaha Budidaya gaharu; Mataram, 17-18 Okt 2001. Mataram: Biro Kerjasama Luar Negeri dan Investasi Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
42
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Ed ke-3. Sunderland, Massachusett: Sinauer Associates Publishers. Inc. Umboh MIJ, Rahayu G. Affandi H. 1998. Upaya peningkatan produksi gubal gaharu: mikropropagasi Aquilaria malaccensis Lamk. dan jenis kayu gaharu lainnya serta upaya peningkatan bioproses gubal gaharunya. Laporan Riset Unggulan Terpadu (1997 – 1998). Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Dewan Riset Nasional. Vijayan, Shockey J, Levesque CA, Cook RJ, Browse J. 1998. A role for jasmonate in pathogen defence of Arabidopsis. Proc Natl Acad Sci 95: 7209-7214. Walker D, Taylor RW, Mulrooney RP. 1997. Diagnosis field crop problems. [terhubung berkala]. http://ag.udel.edu/extension. [12 Nov 2009]. Whitmore TC. 1980. Thymeleaceae. Di dalam: Whitmore TC, editor. Tree Flora of Malaya. Vol. 2. Kepong: Forest Research Institute. hlm 383-391. Williams PH. 1979. How Fungi Induce Disease. Di dalam: Horsfaal JG, Cowling EB, editor. Plant Disease: An Advanced treatise. Vol IV. New York: Academic Press. hlm 163-179. Williams PH, Hopkins, Norman. 2004. Introduction to Plant Physiology. Ed ke-3. United State of America: John Wiley & Sons, Inc. Yang Y, Shah J, Klessing DF. 1997. Signal perception and tranduction in plant defense response. Rev Gen and Dev 11: 1621 – 1639. Yoneda K, Yamagata E, Nakanishi T, Nagashima T, Kawasaki I, Yoshida T, Mori H, Miura I. 1984. Sesquiterpenoids in two different kinds of agarwood. Phytochem 23 (9) : 2068-2069. Yuan QS. 1995. Aquilaria species: in vitro culture and the production of eaglewood (agarwood). Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry 33 : Medicinal and Aromatic Plant VIII. Berlin: Springer. 36-46 p. Yukie O, Michiho I. 2009. Production of agarwood fragrant constituents in Aquilaria calli and susupension cultures. Plant Biotecnol 26:307-315.
ii DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------- 38 LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------------ 43
43
Lampiran 1 Sidik Ragam Intensitas Prubahan Warna Sumber Variasi Koreksi Model Penginduksi Bulan Penginduksi*Bulan Galat Total
JK 3,43756957 2,2198128 0,22547917 0,1958151 2,44063521 8,51931185
df 63 7 3 21 224 318
KT 0,0545646 0,31711611 0,07515997 0,00932453 0,01089569
F hit 5,01 29,1 6,9 0,86
Pr > F < ,0001 <,0001 0,0002 0,6484
F hit 2,7 13,55 5,8 1,26
Pr > F < ,0001 <,0001 0,0008 0,2062
F hit 4,35 24,07 4,43 0,35
Pr > F < ,0001 <,0001 0,0047 0,144
Lampiran 2 Sidik Ragam Panjang Zona Perubahan Warna Sumber Variasi Koreksi Model Penginduksi Bulan Penginduksi*Bulan Galat Total
JK 4,30763889 2,40152778 0,44069444 0,66875 5,67222222 13,4908333
df 63 7 3 21 224 318
KT 0,06837522 0,3430754 0,14689815 0,03184524 0,02532242
Lampiran 3 Sidik Ragam Lebar Zona Perubahan Warna Sumber Variasi Koreksi Model Penginduksi Bulan Penginduksi*Bulan Galat Total
JK 0,41468750 0,25468750 0,02010417 0,04295139 0,33861111 1,07104167
df 63 7 3 21 224 318
KT 0,00658234 0,03638393 0,00670139 0,0020453 0,00151166
44
Lampiran 4 Sidik Ragam Tingkat Wangi Kayu A. crassna Sumber Variasi Koreksi Model Penginduksi Bulan Penginduksi*Bulan Galat Total
JK 3,43756957 2,2198128 0,22547917 0,1958151 2,44063521 8,51931185
df 63 7 3 21 224 318
KT 0,0545646 0,31711611 0,07515997 0,00932453 0,01089569
F hit 5,01 29,1 6,9 0,86
Pr > F < ,0001 <,0001 0,0002 0,6484
45
Lampiran 5 Nilai Absorbansi Ekstrak Kayu A. crassna Penginduksi
Pohon 1
AMF
AM
AF
MF
A
M
F
K+
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Pengamatan Bulan Ke1
2
3
4
0,767 1,066 0,796 1,261 1,197 1,329 0,136 0,643 0,253 1,715 0,684 1,681 0,376 1,059 0,829 0,517 0,623 0,7 0,309 1,08 0,063 1,172 0,398 0,57
0,892 2,101 2,29 0,039 0,569 0,294 0,037 0,544 0,433 1,892 0,672 1,16 0,362 0,896 0,742 0,731 0,962 0,798 1,296 1,371 0,604 1,63 0,765 0,731
0,193 1,823 2,189 0,974 2,358 0,191 0,545 0,196 0,226 2,205 0,897 2,005 0,315 0,858 2,075 1,276 0,837 1,489 0,33 1,352 1,959 1,635 2,045 0,519
1,417 1,904 1,827 3,215 1,26 1,528 1,129 0,428 1,177 1,651 1,054 2,552 0,569 0,843 2,422 1,299 1,917 2,057 2,552 2,241 3,215 1,668 1,16 0,484
46
Lampiran 6 Konsentrasi Terpenoid Ekstrak Kayu A. crassna Penginduksi
Pohon 1
AMF
AM
AF
MF
A
M
F
K+
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Pengamatan Bulan Ke1
2
3
4
64,25 89,17 66,67 105,42 100,08 111,08 11,67 53,92 21,42 143,25 57,33 140,42 31,67 88,58 69,42 43,42 52,25 58,67 26,08 90,33 5,58 98 33,5 47,83
74,67 175,42 191,17 3,58 47,75 24,83 3,42 45,67 36,42 158 56,33 97 30,5 75 62,17 61,25 80,5 66,83 108,33 114,58 50,67 136,17 64,08 61,25
16,42 152,25 182,75 81,5 196,83 16,25 45,75 16,67 19,17 184,08 75,08 167,42 26,58 71,83 173,25 106,67 70,08 124,42 27,83 113 163,58 136,58 170,75 43,58
118,42 159 152,58 268,25 105,33 127,67 94,42 36 98,42 137,92 88,17 213 47,75 70,58 202,17 108,58 160,08 171,75 213 187,08 268,25 139,33 97 40,67
47
Lampiran 7 Kurva Standar Minyak Gaharu