Indonesia Mengajar, Si Listrik dan Si Sinyal Masih Abseni Tema : Peran operator dalam memajukan pendidikan dan perekonomian di daerah pinggiran kota dan pedalaman Oleh : Akmal (Kategori Umum) … Di desa Indong, tidak ada jaringan PLN, Telkom, PAM, jalanan aspal, atau tabung gas 3 kg yang bahkan ada di desa paling terpencil di pulau Jawa. Di sini, listrik adalah kemewahan, yang hanya hanya bisa dinikmati di malam hari di rumah-rumah yang memiliki genset. Untuk sarana komunikasi, sinyal Telkomsel bisa dinikmati di beberapa hotspot, tempat-tempat yang dekat dengan laut, tanah yang lebih tinggi atau terbuka, karena jauh dari halangan bangunan desa. Untuk air bersih, penduduk memanfaatkan pipa air yang terbentang sejauh lebih dari 3 km untuk mengantarkan air sungai ke tiap rumah, bahkan 1 keran dibagi untuk beberapa rumah sekaligus. Untuk memasak, penduduk desa menggunakan kayu bakar yang harus ditebang dahulu dari pohon-pohon di hutan. Seperti inilah kondisi Indonesia sebenar-benarnya. Indonesia bukanlah hingar bingar gemerlap lampu kota dan rimba mall dengan midnite sale setiap minggunya. Indonesia bukanlah apartemen yang menjulang tinggi dengan fasilitas mentereng. Indonesia bahkan bukan pemukiman kumuh di bantaran sungai kali Ciliwung yang masih mendapatkan listrik PLN dan air PAM. Indonesia adalah desa Indong, desa Pelita, desa Bajo, desa Sawangakar, desa Belang-Belang, desa Indomut, dan desa-desa lain yang tingkat kemajuannya tidak jauh berbeda sejak Indonesia merdekaii. … Sepenggal cerita di atas adalah salah satu potongan tulisan yang berjudul “Sekardus Buku untuk Indonesia”, ditulis oleh salah seorang Pengajar Muda Indonesia Mengajar (PMIM). Potret Pendidikan Dunia pendidikan merupakan urat nadi suatu bangsa. Hal ini senada bahwa pendidikan menjadi penopang sektor-sektor dalam negeri. Tak heran jika dikatakan, pendidikan bermutu adalah cermin kualitas bangsa. Karena pendidikan menjadi pondasi dasar dalam menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan
1
kompetitif di kancah globalisasi. Pendidikan pun merupakan janji kemerdekaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 20% dari total APBN di tahun 2009, seakan menjadi “angin segar” bagi masyarakat, terlebih bagi mereka yang memandang bahwa pendidikan terbilang mahal. Bagaimana tidak, masih banyak anak-anak yang belum bisa mencicipi bangku sekolahan ditambah mereka yang harus putus sekolah. Dalam konteks yang sama, naiknya anggaran pendidikan masih belum bisa meredam “suara-suara” yang bergema jauh di balik bukit sana, lintas pulau, dan di pelosok pedalaman. Sangat jauh dari tempat saya menulis dan anda membaca tulisan ini. Sehingga tidak sempat menggetarkan gendang telinga kita. Ketimpangan atau tidak meratanya pembangunan masih menjadi salah satu permasalahan Ibu Pertiwi hinga detik ini. Hal berbanding lurus pun terjadi di dunia pendidikan pedalaman. Berbagai hambatan dan masalah pendidikan yang membuat bangsa masih “gigit jari”. Fasilitas sekolah yang minim, bahkan ada murid yang hanya harus menggunakan gubuk sebagai sekolah mereka. Kurangnya tenaga pengajar serta sarana atau fasilitas yang menunjang proses belajar mengajar masih menjadi dilema terbesar dunia pendidikan di pedalaman. Fakta yang ditemukan oleh Tim Gerakan Indonesia Mengajar menunjukkan bahwa di daerah terpencil, sebanyak 66 persen sekolah kekurangan guru. Di sisi lain, 68 persen sekolah di perkotaan justru mengalami kelebihan guru. Ketika di perkotaan telah menggunakan sistem kurikulum yang disusun dan direkomendasikan oleh pemerintah (Depdiknas), belum tentu ini bisa dijalankan di pedalaman. Bukan karena malasnya para murid, melainkan terhambatnya media atau sarana pendukung pembelajaran yang hampir tidak ada. Lebih ironis, kebutuhan primer dalam proses belajar-mengajar seperti buku pelajaran, buku bacaan dan alat tulis sulit ditemui. Selain karena akses yang jauh, juga karena belum tersedianya infrastruktur yang bisa mewadahi. Ke semua itu mengarah pada idealisme guru yang goyah. Diduga kesenjangan menjadi
2
penyebab, sehingga kesejahteraan guru yang kurang dihadapkan pada lemahnya infrastruktur di pedalaman akibatnya akses masih dalam tahap “lampu merah” alias “jalan ditempat”. "Siapa yang mau mengajar dipedesaan, jika semakin hari semakin jauh tertinggal, setidaknya ini menjadi alasan yang dapat diterima oleh akal sehat kita. Seyogyanya film Laskar Pelangi yang mengisahkan sebuah sekolah yang tetap harus “hidup” dan seorang guru yang tetap setia mengajar murid-muridnya, meski dihadapkan pada terbatasnya tenaga pengajar, sedikit memberikan gambaran pendidikan di pedalaman. Ini hanya sebuah film, namun ini adalah realita di pelosok-pelosok pedalaman sana dan hampir tidak pernah terdengar dan terlihat oleh mata kepala kita. Potret kurangnya tenaga pengajar di pedalaman menjadi tantangan untuk bisa menciptakan medan magnet pendidikan di pedalaman. Bantuan yang seharusnya terfokus pada peningkatan mutu pendidikan di pedalaman secara khusus dan masyarakat secara umum, masih terbilang lamban. Seperti inilah potret pendidikan di pedalaman sana, dan saya yakin bukan seperti itu yang dicitacitakan oleh negeri ini.
Teropong Anak Negeri Belakangan ini, beberapa komunitas atau organisasi memilih melangkah untuk berkontribusi di dunia pendidikan pedalaman. Salah satunya adalah Indonesia Mengajar, suatu organisasi yang dirintis oleh Anies Baswedan bersama rekan-rekannya. Indonesia Mengajar (IM) adalah sebuah inisiatif untuk menggalang putraputri terbaik bangsa untuk ikut membantu mengisi kekurangan guru berkualitas khususnya
di
daerah
di
Indonesia,
sekaligus
menjadi
wahana
untuk
mengembangkan jiwa kepemimpinan dan pengabdian. Mereka disebut sebagai PMIM (Pengajar Muda Indonesia Mengajar). Organisasi ini telah mengirim 51 pengajar muda ke daerah-daerah pelosok, seperti Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Tulang Bawang (Lampung), Kabupaten Paser (Kalimantan Timur), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara) pada 10 November 2010. Para pengajar muda ini akan mengabdi kepada masyarakat di daerah terpencil dengan harapan bahwa mereka bisa menjadi
3
motivator dan teladan bagi masyarakat disana, terutama murid-murid SD yang mereka ajar. Ini adalah program yang sangat perlu dirangkul dan dikembangkan. Setidaknya program ini akan menjadi salah satu solusi dalam mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah terpencil, membangun jaringan untuk peningkatan pendidikan di daerah, serta meningkatkan kualitas pengajaran di sekolah dasar. Sungguh ide yang amat mulia ditengah setumpuk problema yang memusatkan perhatian kepada permasalahan yang tak kunjung reda di Ibu kota. Sebagai sarana komunikasi, PMIM ini dilengkapi Notebook, Modem GPRS, dan dukungan VSAT (Very Small Aperture Terminal) bagi mereka yang menempati daerah yang akses komunikasinya sangat susah. Mereka diharapkan melakukan komunikasi melalui SMS, e-mail, facebook, twtiter, forum khusus, dan blog. Media-media inilah yang mereka gunakan untuk berkomunikasi baik sesama PMIM, maupun dengan tim IM yang berpusat di Jakarta serta masyarakat luar (netizen). Namun permasalahannya sekarang adalah persebaran daerah PMIM tidak semua memiliki aliran listrik. Sebagai contoh, sebuah daerah di Kabupaten Majene, PMIM ini harus menuruni bukit sejauh 5 km hanya untuk mengecas notebook dan HP karena tidak adanya aliran listrik ke daerah penugasannya. Di sisi lain, beberapa daerah memiliki aliran listrik, namun itu hanya berfungsi di malam hari dan pada rumah-rumah tertentu. Hal ini dikarenakan listrik masih menjadi kebutuhan mewah. Sejalan dengan itu, sinyal turut bermasalah. Untuk pemenuhan SMS atau telepon, PMIM harus ke tempat-tempat tertentu di daerah tersebut, bahkan ada yang sama sekali tidak bisa mendapatkan sinyal, akibatnya komuikasi dengan Tim IM di Jakarta terhambat, sehingga sesama PMIM harus punya inisiatif untuk mem-forward informasi ke PMIM lain yang bisa diakses melalui daerah penugasannya. Ironis lagi, sinyal juga turut menganggu aktifitas koneksi internet. Keberadaan sinyal di beberapa tempat belum tentu membuat koneksi internet bisa diakses. Akibatnya, proses komunikasi melalui via internet masih terhambat. Itu terbukti dari masih kosongnya beberapa blog PMIM yang seharusnya diharuskan untuk memposting kegiatan mereka, fasilitas e-mail dan lainnya turut terhambat.
4
Rahman Adi Pradana adalah satu PMIM yang ditempatkan di Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, tepatnya di desa Indong yang merupakan ibukota kecamatan Mandioli Selatan. Goresan tulisan menghiasi blognya, termasuk potongan tulisan yang saya kutip di awal tulisan ini. Meskipun terhambat oleh listrik dan hanya berfungsi di malam hari, tapi keberadaan sinyal masih bisa ia temukan walaupun di tempat-tempat tertentu. Bercerita akan pengalaman di desa yang ditempuh selama 3 jam di pesawat, menginap di kapal dari Ternate ke Laboha, dan hampir 4 jam mengarungi laut dengan speed boat. Rasa harus turut merapat tatkala saya membaca rentetan tulisan yang menyentuh sanubari. Demi Mereka Monster Kecilku, Desa itu Bernama Indong, Indonesia itu Masih Ada di SDN Indong, Sekardus Buku untuk Indonesia adalah sederet tulisan yang kutemui di media sosial rintisan Indonesia Mengajar itu. Sedikit gambaran mulai diterjemahkan oleh pikiran saya akan kehidupan disana. Ia ditempatkan mengajar di SDN Indong yang terdiri dari atap-atap seng yang kehilangan beberapa lapis di sana sini. Dinding kayu dengan cat putih yang menguning dan terkelupas, berlubang-lubang sebesar ukuran badan anak kecil. Jendelanya berupa kusen tak berkaca, entah pecah atau memang dibuat seperti itu. Pintunya sebagian dipalang karena sudah rusak, sebagian terbuka karena tak bergagang. Hanya sebuah tiang bendera yang gagah berdiri di halaman yang berlapis pagar kayu lapuk di sisi Barat. SD ini merupakan gedung lama yang konon dibuat sejak tahun 1952, dibangun sendiri dengan swadaya masyarakat Desa Indong. Gedung ini awalnya dibangun untuk Madrasah Diniyah Al-Khairat, namun kemudian dihibahkan kepada SD. Sekolah ini hanya memiliki 5 ruangan, 4 ruangan untuk kelas 1 sampai kelas 4, dan satu ruang kantor yang hanya berisi 2 lemari lapuk dan satu papan kayu yang diletakkan di atas kursi. Papan berisi jadwal pelajaran semua kelas tahun ajaran 2006/2007 yang terus dipakai sampai sekarang. Tiap ruangan kelas hanya dipisahkan oleh sekat kayu tipis, terbuka di bagian kanan sebagai pintu kelas dan di atas untuk sirkulasi udara. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya kegiatan belajar mengajar di SDN Indong. Para murid kelas 3 bisa dengan mudah keluar masuk kelas 4 dan kelas 2 lewat“pintu” di samping atau mengintip ke kelas
5
sebelah melalui “jendela” di atas atau dinding-dinding yang berlubang hampir di setiap bagian kelas. 29 November 2010, menjadi hari bersejarah bagi SDN Indong. Untuk pertama kali sejak lebih dari satu tahun, akhirnya upacara bendera diadakan di lapangan SD, meskipun mendadak, tanpa perencanaaan, dan tanpa latihan sama sekali namun berlangsung penuh khidmat. Tidak ada guru yang hadir, kecuali Adi (nama panggilan Rahman Adi Pradana) karena saat itu pemerintah daerah sedang membuka lowongan CPNS, jadi para guru honorer serta merta ikut mendaftar di ibukota kabupaten. Antusiasme anak-anak SDN Indong begitu besar, apalagi saat menyambut sekardus buku dan majalah yang Adi bawa dari Jakarta, mereka seakan “haus” pengetahuan yang sulit mereka temui sebelumnya, sejak ia mengenakan seragam putih-merah hingga sekarang. Sepertinya bagi mereka buku adalah suatu kemewahan yang jarang ada. Sekilas gambaran, namun sejuta arti yang bisa membuat kita memahami kehidupan pendidikan di sana. Di setiap akhir tulisan, gemuruh keoptimisan masih bertabur pada pengajar muda (baca: Adi). Ia tak mampu berbuat banyak selain menjalankan tugasnya sebagai pengajar dan bercerita tentang kehidupan disana. Hal-hal yang dianggap remeh di kota, ternyata bisa menjadi begitu bermakna di desa, padahal sama-sama berada di wilayah yang kita sebut Indonesia. Jika kita jeli, ini bisa menjadi bahan untuk menggapai mereka yang jauh dari megahnya metropolitan. Itulah sekilas kehidupan yang jauh dari jangkauan kota. Sebuah realita kehidupan pendidikan di pedalaman Indung sana. Deskripsi di atas setidaknya menjadi pijakan bahwa ini hanya satu dari sekian banyak Sekolah Dasar (SD) dan daerah yang persis sama atau bahkan lebih dibawah dari itu. Apa yang saya gambarkan hanya sebagian kecil dari celotehan PMIM ini, belum memawadahi ke 50 PMIM lainnya yang bahkan beberapa harus mengembang tugas tanpa kehadiran listrik. Keoptimisan dan tekad yang luar biasa untuk membuat masyarakat dan anak-anak pedalaman terlepas dari belenggu keterbelakangan akan terus berkobar. Namun haruskah keoptimisan itu luntur ketika dihadapkan pada sarana (listrik, sinyal, dan sebagainya) serta infrastruktur sekolah yang tidak mendukung ? Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua
6
ini ? Apa beban itu hanya harus dipikul oleh rakyat yang berpenghuni di sana ? Atau anak-anak SD yang perlu membangun sendiri desanya dimana sarana sekolahnya sendiri masih terbaikan ? Atau mungkin semuanya harus menjadi tanggung jawab PMIM ? Cerita Adi setidaknya mewakili realita yang terabaikan dan membuat kita terperangah. Kita seakan telah puas karena pendidikan telah dinyatakan berhasil yang dibuktikan dengan torehan medali emas di ajang Internasional. Siapa lagi yang akan meneriakkan dan membangunkan kita, kalau bukan anak bangsa kita sendiri. Sungguh ironis, ketika bangsa ini beteriak lantang akan kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum dirasakan oleh masyarakat pedesaan. Sungguh menyedihkan ketika anggaran pendidikan dinaikkan, namun pendidikan bekualitas masih belum dirasakan oleh anak-anak SD Indong.
Sebatas Estimologi Tak dapat dipungkiri, estimologi tentang pedalaman dan perkotaan memang telah menjadikan suatu kesenjangan yang besar. Ketika pertanyaan diajukan kepada banyak orang akan istilah perkotaan dan pedalaman. Maka jawaban apa yang muncul ? Pedalaman identik “kampungan”, tidak ada kendaraan, sekolah sebatas “gubuk bisu”, tidak ada listrik, apalagi sinyal. Sedangkan perkotaan identik dengan gedung-gedung megah menjulang dan apapun yang dicari ada di kawasan ini. Itulah sebuah persepsi yang melekat pada mayoritas orang. Bahkan ada yang beranggapan jika tidak ada orang miskin, maka orang kaya takkan pernah ada, tidak ada pedalaman maka perkotaan juga takkan pernah ada. Artinya pedalaman akan tetap ada, walaupun tidak harus pada konteks pada apa yang dipersepsikan oleh mayoritas orang. Pedalaman tidak butuh mall-mall yang berjejer serta gedung-gedung perhotelan yang menjulang tinggi. Pedalaman cukup memerlukan kebutuhan dasar nasional, meliputi listrik, sarana dan prasarana yang bisa menunjang aktifitas masyarakat dan proses pendidikan anak-anak SD. Penghuni perkotaan mungkin tidak akan bisa bertahan hidup tanpa listrik atau penerangan, bahkan mati suri tanpa telecommunication mobile. Anak-anak sekolah di perkotaan belum bernafas lega ketika belum melihat notifikasi dan update status di facebook atau berkicau di twitter dalam sehari. Namun bagi
7
masyarakat di pedesaan, ke semua itu masih menjadi kebutuhan mewah (luxury), bahkan mereka tidak pernah mendengar istilah-istilah itu sebelumnya, apa sejenis makanan atau minuman. Apakah ini bukan suatu kesenjangan yang “menggila” ? Pemberdayaan poteni sumber daya lokal harus digencarkan, seakan hanya menjadi sentence of powerfull semata. Bagaimana mungkin masyarakat bisa membangun tanpa “tiang-tiang” penyanggah yang kokoh ? Bagaimana mungkin anak–anak bangsa (baca SD) bisa terberdayakan tanpa sarana dan prasana pembelajaran ? bagaimana mungkin mereka bisa lebih terdidik jika dihadapkan terbatasnya pengajar ? bahkan pengajar pun harus terbatasi oleh sarana infrastruktur. Kita tidak menginginkan generasi yang hanya sebatas “robot-robot kehidupan” di belantara Ibu Pertiwi, sehingga sekarang saatnya menepis estimologi dan membuka cakrawala itu. Membuka Cakrawala Lintas Pulau Kembali ke poin dasar bahwa Indonesia mengajar setidaknya membuka lebar mata batin bangsa bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di negeri ini. Kemiskinan sering bermuara di pedalaman karena mereka terisolasi dengan dunianya sendiri. Kualitas pendidikan di pedalaman tak akan pernah beranjak selama pembenahan infrastruktur tidak pernah dilakukan. Minimal infrastruktur seperti listrik dan telekomunikasi yang bisa menghubungkan mereka dengan dunia luar. Jika mindset kita terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi untuk mengejar Cina atau bergabung dengan BRIC sekalipun, maka hasil survey International
Telecommunication
Union
(ITU)
pun
menyatakan
bahwa
pertumbuhan sektor telekomunikasi sebesar 1 persen akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3 perseniii. Jadi tidak ada alasan lagi untuk berkata “t.i.d.a.k”. Cerita dalam film laskar pelangi atau yang lebih nyata lagi cerita Rahman Adi Pradana di Desa Indung telah cukup membuat kita terbelanga akan masih jauhnya tercapainya cita-cita kemerdakaan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 UUD 1945 bahwa semua warga negara berhak memperoleh pengajaran 8
hanya menjadi lakon tertulis selama permasalahan di atas masih menggerogoti pedalaman. Listrik dan jaringan telekomunikasi setidaknya bisa menjadi penggerak roda kehidupan masyarakat. Akses Untuk membangun pendidikan yang bermutu, anak-anak yang bisa menggenggam masa depannya sehingga mengarah pada terciptanya masyarakat desa yang maju. Indonesia Mengajar bisa dijadikan sebagai batu loncatan untuk menjalarkan “sinyal-sinyal” pendidikan di pedalaman. Ini akan sangat membantu dalam pemerataan pendidikan. Pemerintah perlu menyediakan sarana yang menunjang proses pendidikan di pedalaman seperti penyediaan listrik yang bisa meng-cover aktifitas-aktifitas masyarakat di pedalaman. Karena hanya ada satu alasan yang sangat mendasar mengapa pendidikan di pedalaman tertinggal, yaitu sarana infrastruktur yang sangat minim, dalam hal ini adalah kebutuhan dasar listrik dan sarana telekomunikasi. Listrik adalah kebutuhan dasar yang menunjang tumbuhnya telekomunikasi, jika listrik tidak ada maka telekomunikasi takkan pernah tumbuh. Jika telekomunikasi tidak tumbuh, maka dapat dipastikan pendidikan di pedalaman akan jauh tertinggal. Sekarang saatnya membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional. Belum memadainya jaringan transmisi dikarenakan jalur transmisi listrik kita masih terlalu kecil dan kurang efisien, harus juga menjadi prioritas. Dan yang perlu ditekankan bahwa tidak hanya sebatas menambah pembangkit saja karena kalau pembangkit ditambah tanpa saluran distribusi, maka sama saja dengan “nol besar”. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan rasio Desa Berlistrik 94% pada 2010 memang sebuah langkah yang bagus iv, namun yang terpenting adalah pelayanan. Artinya, Desa berlistrik tidak hanya sebatas label yang pada akhirnya listrik hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu, seperti yang terjadi di Desa Indung (hanya ada listrik di malam hari). Jika kapasitas listrik tidak mampu mewadahi atau menjangkau kawasan tersebut, seperti yang terjadi di salah satu daerah penugasan PMIM di Kabutapen Majene, saatnya untuk menciptakan alternatif pembangkit listrik misalnya pemanfaatan tenaga air, ombak (kusus untuk desa pesisir) dan sebagainya.
9
Pihak-pihak terkait harus turut serta menyokong program Indonesia Mengajar ini, minimal dengan melakukan distrubusi buku pelajaran misalnya atau alat tulis menulis. Jauhnya akses wilayah ke pedalaman seharusnya membuat kita lebih keras untuk menjembatani permasalahan tersebut, bukan menjadikannya sebagai alasan klasik untuk tidak terjangkaunya oleh “tangan-tangan” yang seharusnya menjangkaunya. Menyangkut infrastruktur telekomunikasi, maka perusahaan operator bisa memperluas akses ke pedalaman-pedalaman. Menciptakan sistem atau menambah jaringan yang bisa membantu PMIM secara khusus, dan guru secara umum dalam melakukan pertukaran informasi sesama sekolah di pedalaman, bahkan dengan perkotaan sekalipun. Minimal peningkatan layanan operator seperti sinyal dengam menambah BTS di daerah-daerah yang menjadi tempat PMIM. Ini bisa disikapi dengan bermitra dengan PMIM sehingga terjadi optimalisasi yang turut mendukung pembangunan di pedalaman. Karena sejauh ini, Indonesia Mengajar belum ada mitra dari pihak operator telekomunikasi, padahal ini sebuah peluang untuk meningkatkan layanan di darah terpencil. Berdasarkan paparan Pak Khidmat Hardono (Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar) bahwa jika operator mau membantu (bermitra), minimal dalam penyediaan transmisi data yang menunjang akes informasi PMIM sehingga komunikasi data bisa berjalan lancar. Sekarang saatnya perusahaan menunjukkan tekadnya untuk berkonstibusi kepada masyarakat di pedalaman. Ini juga bisa menjadi aktifitas CSR (corporate social responsibility) sebenarnya yang memiliki kontribusi tinggi terhadap pembangunan bangsa. Ketika sarana (listrik dan telekomunikasi) tersebut telah menjalar dengan baik, maka saatnya beranjak menuju revolusi teknologi pedalaman yang harus menjadi bagian integral dari sekolah dan pelajaran di kelas. Karena disinilah kompetensi ditantang dan diperluas dengan cepat. Artinya, model pembelajaran tidak sekedar “jalan ditempat” atau hanya sebatas membaca dan menulis. Sistem jaringan telecomputing yang menghubungkan antar kelas dan sekolah-sekolah bisa merambah ke pedalaman. Minimal penggunaan paket CD-
10
ROM untuk mengeksplorasi suatu objek tertentu. Pengggunanan ini menghasilkan pembelajaran yang lebih exploratif dan interaktif. Dilema dengan banyak guru yang tidak memiliki pengetahuan memadai mengoperasikan komputer setidaknya masih perlu disikapi. Saatnya sekolah-sekolah di pedalaman mengadakan workshop pelatihan untuk guru, minimal interaksi informal di ruang kantor yang dimotori oleh rekan guru yang memiliki pengetahuan lebih dalam komputer, misalnya dalam hal ini adalah PMIM. Mereka bisa melakukan sharing knowledge dengan para guru (informal) dan kemudian transformation process ke muridmurid. SD River Oaks di Oaksville, Ontario, Kanada, merupakan contoh tentang SD yang dibangun dengan visi khusus untuk memasuki era informasi instan dengan penuh keyakinanv. Setiap murid di setiap kelas berkesempatan untuk berhubungan dengan seluruh jaringan komputer sekolah. CD-ROM sebagai perpustakaan atau media penyimpanan informasinya. Saya tidak menawarkan SD Indung dan semua SD di pedesaan seperti itu, karena ini butuh proses dan keseriusan. Namun mau tidak mau, perkembangan teknologi yang demikian pesat pada saatnya akan merambah ke komponen-komponen pedalaman, termasuk dunia pendidikan Sekolah Dasar sekalipun. Internet dimanfaatkan untuk mendorong belajar bersama, membantu menavigasi dan mengintegrasikan pengetahuan, dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman guru. Untuk memperluas aksesibilitas siswa dan guru terhadap informasi dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi (information gap), sehingga terjadi peningkatan jaringan pendidikan (education network) di desadesa. Dengan demikian, inkonsistensi akan distribusi infrastruktur komunikasi karena adanya kesenjangan yang sangat besar antara infrastruktur di wilayah perdesaan dan perkotaan tidak ada lagi. Penggunaan strategi pendidikan yang tepat secara developmental akan membuahkan sebuah hasil yang diharapkan dengan tetap perlu mensinergikan pendidikan moral dan pendidikan karakter. Menciptakan atmosfer yang hidup di SD pedalaman dimana orang tua tetap menjadi pengawas sekaligus pendamping.
11
Jauhnya wilayah di pedalaman untuk perbaikan infrastruktur harus menjadi alasan mendasar dan kuat untuk pembangunan jaringan. Ini akan menciptakan “multiplier effect” di segala bidang (termasuk pendidikan) sehingga kemakmuran seluruh pelosok Indonesia dapat dinikmati secara merata hingga sampai ke desa-desa. Kita pun berharap ini tidak sebatas angan-angan belaka, karena kapan lagi kalau bukan sekarang. Dimana momen PMIM menjadi motivator dan pengarah masyakarat. Artinya, PMIM dikirim bukan sebatas sebagai sebagai pengajar (guru SD) melainkan melakukan pendidikan masyarakat, mendorong perluasan jaringan serta advokasi pendidikan masyarakat. Sehingga kedepannya, diharapkan pedalaman bisa berkembang menjadi desa-desa yang semakin menunjukkan karakteristik otonom, mandiri oleh karena pilar utama yakni pendidikan berkualitas telah dinikmati oleh anak-anak Indung dan anakanak di belantara pedalaman Ibu Pertiwi, itu karena infrastruktur yang telah menjalar dan terbangun kokoh di seberang sana.
i ii
Naskah ini diikutsertakan dalam lomba karya tulis XL Award 2010(Esay ke dua) http://blog.indonesiamengajar.org/adipradana/2010/12/18/sekardus-buku-untuk-indonesia/
iii
http://sdplusrahmatkdr.wordpress.com/2007/09/04/teknologi-informasi/
iv
http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/2351-desdm-targetkan-rasio-desa-berlistrik-94pada-2010.html v
http://sdplusrahmatkdr.wordpress.com/2007/09/04/teknologi-informasi/
12
Daftar Pustaka Adi, Rahman Pradana. 2010. “Sekardus Buku untuk Indonesia” . Blog Pengajar Muda Indonesia Mengajar (PMIM). 2010. http://blog.indonesiamengajar.org/adipradana/2010/12/18/sekardus-bukuuntuk-indonesia/ (diakses tanggal 16 Desember 2010, pukul 09.00 WIB) Adi, Rahman Prdana. “Indonesia itu Masih ada di SDN Indong”. Blog Pengajar Muda Indonesia Mengajar (PMIM). 2010. http://blog.indonesiamengajar.org/adipradana/2010/12/18/indonesia-itumasih-ada-di-SDN-Indong/ (diakses tanggal 16 Desember 2010, pukul 09.00 WIB) “DESDM Targetkan Rasio Desa Berlistrik 94 persen pada 2010”. http://www.esdm.go.id/berita/listrik/39-listrik/2351-desdm-targetkan-rasiodesa-berlistrik-94-pada-2010.html (diakses tanggal 16 Desember 2010, pukul 09.00 WIB) “Teknologi Informasi”. http://sdplusrahmatkdr.wordpress.com/2007/09/04/teknologi-informasi/ (diakses tanggal 16 Desember 2010, pukul 09.00 WIB) Referensi Danjaya, Utomo. 2010. Media Pembelajaran Aktif. Jakarta : Nuansa Wawancara langsung dengan Anies Baswedan (Pendiri/penggagas Indonesia Mengajar), Khidmat Hartono (Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar)
13
BIODATA PENULIS Akmal, lahir di Barombong, 23 Februari 1991 Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sekarang menempuh kuliah di Universitas Paramadina jurusan Manajemen dan Bisnis. Mendapatkan Paramadina Fellowship dengan donor PT. Trimegah Securities tbk sebagai salah satu perusahaan broker di Indonesia. Berikut sebagian dari tulisan yang pernah saya buat 1. Minyak Biji kelumpang (Sterculia foetida), Energi Alternatif dan pemanfaatan cangkang sebagai briket dengan penerapan dwifunction tools menggunakan prinsip double gear (Juara I Lomba penelitian Inovasi Pemberdayaan Industry tk. Nasional oleh Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta 2008) 2. Analisis Keterkaitan antara Berkurangnya Pembuat Gula Merah dengan Meningkatnya Peredaran Ballo’ di Dusun Kantisang (Juara III Siswa Berprestasi tk. Provinsi Sulawesi Selatan 2008) 3. Bushido, Sebuah Transformasi Nilai Karakter Bangsa melalui Jalan Hidup Samurai (refleksi untuk Indonesiaku), (Juara III Lomba penulisan Esay Jepang tk. Nasional oleh The Japan Foundation dengan KAPPIJA 21, 2009) 4. Microfinance, Power brand, and a basis step : Solusi memajukan UMKM menuju optimistis ACFTA ( 5 Besar Finalis karya Tulis pada Konferensi Mahasiswa Bisnis Indonesia (KMBI) di Lampung, 2010) 5. ACFTA (Asean China free trade agreement) : antara Peluang, tantangan dan ekspektasi (Essay pada Perbanas Inovative Seminar, 2010) 6. Meneropong “Si Hitam” Sang Enviromentalis (Karya tulis terbaik pada Lomba Karya Tulis Lingkungan hidup oleh kementerian lingkungan hidup dan media Indonesia, 2010) 7. Karena Wanita Ingin Dimengerti (Pemenang Pertama December Online Contest oleh Marketeers (Marklplus), Januari 2011) 8.
14