110 S U Vol. R V33,ENo. I 1, 2014 Prisma Prisma
Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014 Tulisan ini membahas pemilihan umum di Indonesia pada 2014 yang dilaksanakan dua tahap, yaitu pemilihan anggota parlemen (pemilihan legislatif, Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menempati urutan pertama disusul Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pada Pileg 2014. Pada Pilpres 2014 muncul dua koalisi, yakni koalisi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB, partai nonparlemen) yang menjagokan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa berhadapan dengan koalisi PDI-P, Partai Nasional Demokrat (Partai NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI, partai nonparlemen) yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
I
ndonesia adalah negara ketiga terbesar di dunia yang dikategorikan sebagai negara demokratis. Selama 32 tahun Indonesia berada di bawah kekuasaan Orde Baru Soeharto, namun berhasil melengserkan rezim otoriter itu lewat reformasi politik tahun 1998. Salah satu hasil reformasi adalah perubahan sistem pemilihan umum (pemilu) dari terkendali menjadi lebih bebas, jujur dan adil. Pemilu era Reformasi setidaknya telah diselenggarakan empat kali, yakni pada 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sejak Pemilu 2004, Presiden tidak dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu dilaksanakan dua tahap, yakni memilih anggota parlemen (pemilihan legislatif; pileg) dan memilih presiden dan wakil presiden (pemilihan presiden; pilpres). Pileg dilaksanakan lebih awal, karena partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu berhak mengajukan kandidat presiden dan wakil presiden pada pilpres tiga bulan kemudian.
Artikel ini membahas Pileg dan Pilpres 2014 di Indonesia, termasuk naik-turunnya suara partai serta koalisi partai politik yang mengusung calon presiden dan wakil presiden. Apakah terjadi perubahan suara yang signifikan dalam Pileg 2014? Apa dampak perolehan suara Pileg 2014 terhadap konstelasi kekuatan partai politik di Indonesia pada Pilpres 2014? Koalisi seperti apa yang terbangun pada Pilpres 2014? Artikel ini mencoba-jawab persoalan itu dengan menganalisis tiga aspek secara terpisah, yaitu proses dan hasil pileg; turun-naiknya suara partai pada Pileg 2014 serta wajah lama dan baru anggota parlemen periode 2014-2019, dan; koalisi partai politik pada Pilpres 2014.
Proses dan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014
Meski ada berbagai kekurangan di sana-sini, secara umum pemilihan umum legislatif di Indonesia pada 9 April 2014 berjalan aman dan tertib. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
(KPU), sebanyak 186.569.233 jiwa terdaftar 1 sebagai pemilih dalam Pileg 2014. Namun, hanya 124.972.491 jiwa saja (67,99%) yang suaranya dianggap sah, sedangkan suara 61.596.742 jiwa (33,01%) dianggap tidak sah, bahkan Golput. Angka partisipasi pemilih dalam Pileg 2014 tampak menurun jika dibanding 2 pemilu-pemilu sebelumnya. Ada beberapa catatan penting terkait proses Pileg 2014. Pertama, mengemukanya masalah distribusi logistik, mulai dari belum sampainya surat suara, kurang, hilang, tidak lengkap, rusak, hingga surat suara tertukar dengan Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain. Keterlambatan logistik mengakibatkan pileg tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan KPU, seperti yang terjadi di 36 distrik di Kabupaten 3 Yahukimo, Provinsi Papua. Pelaksanaan pileg di Kabupaten Yahukimo terlambat dan tertunda karena, menurut Komisioner KPU Arief Budiman, “.... cuacanya buruk, minimnya transTempo, 12-18 Mei 2014, hal. 49. Angka partisipasi pemilih cenderung menurun dari pemilu ke pemilui. Pada Pemilu 1999, persentase partisipasi rakyat sebesar 90 persen, turun menjadi 80 persen pada Pemilu 2004, dan 70 persen pada Pemilu 2009. Pada Pileg 2014, angka partisipasi rakyat sebesar 67,99 persen. 3 Menurut Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (kemudian diamandemen menjadi UU Nomor 8 tahun 2012), “surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu harus sudah diterima PPS dan PPLN selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum pemungutan suara.” Pada 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 45 Ayat (3) Perppu tersebut menegaskan, “Surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu harus sudah diterima PPS dan PPLN selambat-lambatnya 1 (satu) hari sebelum pemungutan suara.” Dengan demikian, KPU terhindar dari tindakan yang menyalahi undang-undang. 4 Lihat, www.bbcin/1jE8Kp7 (diakses 15 April 2014). 1 2
S U R V E I
111
portasi, dan curamnya medan, jadi (logistik) baru terkirim kemarin (13 April 2013, penu4 lis)”. Tidak serentaknya penyelenggaraan pileg sesungguhnya bertentangan dengan Pasal 148 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 yang mengamanatkan: “Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak.” Terkait dengan tertukar atau hilangnya surat suara di beberapa daerah, KPU terpaksa menggelar Pemungutan Suara Susulan (PSS) di 5 500 TPS. Pemilu ulang itu hanya 0,09 persen (500 dari 545 ribu TPS di seluruh Indonesia). KPU menganggap hal tersebut masih dalam batas kewajaran, karena kurang dari 1-2 persen. Sebaliknya, sebagian kalangan menganggap itu sebagai bukti ketidakseriusan KPU dalam mempersiapkan segalanya. Pada 15 April 2014, Kepala Bagian Inventarisasi Sarana dan Prasarana Biro Logistik KPU Susila Hery Prabowo mengoreksi jumlah TPS yang harus menyelenggarakan PSS karena surat suara tertukar: bukan 500, tetapi 770 TPS yang tersebar di 107 6 kabupaten/kota di 30 provinsi. 5
6
Lihat, pemilu.inilah.com/read/detail/2091102/ pemilu-ulang-hanya-009-dari-seluruh-tps?utm_ source=twitterfeed&utm_medium=twitter (diakses 12 April 2014). Keterlambatan logistik dan surat suara yang tertukar menyebabkan Pileg 2014 tidak bisa dilaksanakan serentak pada 9 April. KPU harus menyelenggarakan pemilu dan pemungutan suara susulan di Kabupaten Sikka, Flores Timur, Sumba Timur, Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Jayawijaya (Papua), Kabupaten Maluku Tengah, dan banyak lagi; lihat, www.bbcin/1jE8Kp7 15 April 2014; www.kom.ps/AFfjdY (diakses 17 April 2014). Sementara itu, surat suara yang tertukar banyak terjadi di sejumlah TPS, misalnya, di Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Karanganyar dan Sragen (Jawa Tengah), Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kota Denpasar (Bali); lihat, Kompas, 10 April 2014. Lihat, “770 TPS Harus Gelar Pemungutan Suara Ulang”, dalam http://nasional.kompas.com/ read/2014/04/15/1117481/770.TPS.Harus. Gelar.Pemungutan.Suara.Ulang (diakses 17 April 2014).
112
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Kedua, lebih kurang 0,5 persen dari 186 juta warga negara yang sudah memenuhi syarat memilih belum terdaftar dalam daftar pemilih. Ada juga yang sudah terdaftar, namun tidak 7 memperoleh kartu pemilih. Bahkan, satu pekan sebelum Pileg 2014 diselenggarakan, masih ada pemilih yang belum terdaftar dalam 8 daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini dinilai banyak pihak sebagai cermin kerja KPU yang kurang serius dalam proses pelaksanaan pemilu. Hilangnya hak pilih para pemilih dapat dikatakan merupakan sebuah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya dalam konteks penegakan kedaulatan rakyat. Jauh sebelum pelaksanaan pileg, dugaan hilangnya hak pilih itu terungkap saat verifikasi DPT. Ada perbedaan antara daftar yang dibuat KPU dengan daftar pemilih di beberapa daerah. Bahkan, DPT versi KPU tidak sama dengan data di Kementerian Dalam Negeri—program Single Identity Number (SIN) melalui Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP. Tak pelak, beberapa partai politik melancarkan protes keras. Mereka menganggap selisih atau perbedaan jumlah pemilih itu akan dimanfaatkan oleh partai “berkuasa” dengan memanipulasi data perolehan suara, baik saat pileg maupun pilpres. Ketiga, sistem pemberian suara pada surat 9 suara yang menyulitkan para pemilih. Pemilih harus sekaligus memilih empat orang calon, yaitu calon anggota DPR, DPRD tingkat provinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota, dan ang-
gota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kesulitan pemilih kian bertambah karena mereka harus “memerhatikan” sekian banyak nama calon anggota legislatif (caleg) pada kertas suara. Pada Pileg 2014, sekitar 200.000 orang terdaftar sebagai caleg di semua tingkatan, sedangkan yang diperebutkan 19.699 kursi (560 kursi DPR, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD provinsi, dan 16.895 kursi DPRD kabupaten/ kota).10 Pemilih pun cenderung tidak memilih nama calon, tetapi lambang partai. Secara tidak langsung hal itu merugikan si pemilih, karena caleg ditentukan bukan berdasarkan mekanisme first past the post (FPTP), tetapi nomor urut calon. Merujuk Pemilu 2009, sebanyak 59 persen pemilih tidak memilih nama calon anggota parlemen yang seharusnya mereka pilih, tetapi mencentang lambang partai. Hal itu dilakukan karena terlalu rumitnya memadankan antara nama caleg dengan lambang partai. Kejadian tersebut terulang pada Pileg 2014. Keempat, ketidaksinkronan penghitungan suara di tingkat KPU provinsi dengan kelompok pemungutan suara di tingkat bawah. Berdasarkan UU No. 8 tahun 2012, Bab XI tentang Penghitungan Suara bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilakukan secara manual mulai dari tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)/Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPU Kabu11 paten/Kota, KPU Provinsi hingga KPU pusat. 10
7
8 9
Wawancara dengan narasumber dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, Bandung, 23 April 2014. Narasumber melakukan pemantauan di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebelum dan selama pileg berlangsung serta menemukan pelanggaran tersebut. Lihat, Kompas, 20 Maret 2014. Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012 menandaskan, “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.”
11
Lihat, Tempo, 14-20 April 2014, hal. 40. KPPS dibentuk PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS. KPPSLN dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) untuk melaksankaan pemungutan suara di TPS luar negeri. PPS dibentuk KPU kabupaten/kota untuk melaksankaan pemilu di desa atau kelurahan, sedangkan PPK dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan pemilu di kecamatan atau nama lain. Tata urutan penghitungan perolehan suara adalah sebagai berikut: KPPS/KPPSLN membuat berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara di tingkat TPS dan dikirimkan ke PPS atau PPLN PPS dan S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
Masalah muncul ketika penghitungan suara pada Formulir C1 di tingkat KPPS tidak sama dengan penghitungan suara di tingkat KPU Provinsi. Dengan kata lain, ada penggelembungan atau penggembosan suara di setiap tingkat penghitungan suara. Penggelembungan atau penggembosan suara pada saat proses penghitungan suara umumnya berkait dengan jual-beli suara dan politik uang yang melibatkan “oknum” panitia pemilihan di setiap tingkatan. Jual-beli suara jauh lebih sederhana ketimbang mekanisme politik uang. Namun, politik uang senantiasa menimbulkan keretakan di dalam internal partai. Jual-beli suara biasanya dilakukan oleh “pemilik suara kecil”, “pemilik suara sedang”, dan ‘calon setengah jadi.” Pemilik suara kecil dan sedang “menjual” suara yang mereka peroleh kepada calon setengah jadi. Penambahan suara itu tentunya mengubah perolehan suara 12 calon setengah jadi menjadi “calon jadi”. Mekanisme tersebut tidak hanya terjadi antar sesama anggota partai saja, tetapi juga antara anggota berbeda partai—calon anggota legisPPLN kemudian membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat desa/kelurahan dan luar negeri berdasarkan seluruh sertifikat hasil penghitungan suara di tingkat TPS yang terdapat di wilayahnya dan menyerahkannya kepada PPK. Berdasarkan seluruh sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara PPS yang terdapat di wilayahnya, PPK membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan dan menyerahkan ke KPU Kabupaten/Kota. Kemudian KPU Kabupaten/Kota membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota dan menyerahkan ke KPU Provinsi dan KPU. KPU Provinsi membuat sertifikat rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi dan menyerahkan ke KPU. 12 Wawancara dengan seorang narasumber dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Bandung, 23 April 2014. Narasumber melakukan pemantauan pemilu di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta sebelum dan selama pemilihan umum legislatif berlangsung dan menemukan pelanggaran tersebut. S U R V E I
113
latif partai A “menjual” perolehan suaranya ke calon anggota legislatif partai politik B . “Kasus” Nurul Arifin dari Partai Golkar dan Eva Kusuma Sundari dari PDI-P yang merasa dicurangi oleh kawan separtai adalah cermin karut-marut penghitungan suara bertingkat itu.13 Sebagaimana dituturkan Nurul kepada Tempo, “suara yang diperolehnya dialihkan ke calon lain.” Dia menuding kawan separtainya “main mata” dengan petugas pemilihan. Satu hal yang dapat disimpulkan, semua mekanisme yang melibatkan panitia pemungutan suara di semua tingkatan membuat Pemilu 2014 boleh jadi bisa disebut “rezim kejahatan pemilu.” Meski terdapat berbagai kekurangan dalam proses dan penyelenggaraan Pileg 2014, sebagian besar rakyat Indonesia menerimanya sebagai pemilu yang legitim. Bahkan, beberapa lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) mereka tidak lama setelah proses penghitungan suara selesai. Lembaga-lembaga survei tersebut adalah Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kompas (Litbang Kompas), Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) & Cyrus Media, Radio Republik Indonesia (RRI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Saiful Mujani Research & Consulting (SRMC) yang menyatakan bahwa Pileg 2014 tidak menghasilkan pemenang mayoritas mutlak (50% + 1). Hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei berbeda satu dengan yang lain, namun PDI-P memenangi Pileg 2014 seolah tak terbantah14 kan (lihat, Tabel 1). Hitung cepat ketujuh lembaga survei tersebut menunjukkan bahwa partai berlambang banteng moncong putih itu meraih kemenangan, meski tidak mutlak. 13 14
Lihat, Tempo 5-11 Mei 2014, hal. 36. Pada 9 April 2014 malam, Aburizal Bakrie mengucapkan selamat kepada PDI-P dan Megawati Soekarnoputri yang memenangi Pileg 2014. Artinya, kredibilitas lembaga survei sangat dipercaya oleh Ketua Umum Partai Golkar itu.
114
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Tabel 1 Hitung Cepat Beberapa Lembaga Survei (dalam persen)
Sumber: @EepSFatah (10 April 2014).
Kalaupun ada selisih (naik atau turun) dengan hitungan resmi KPU, kesalahan tersebut tidak lebih 2 persen dari angka hitung cepat mereka (sampling error 2%). Dengan demikian, jika merujuk hasil hitung cepat ketujuh lembaga survei itu, urutan lima besar pemenang Pileg 2014 adalah sebagai berikut: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (Demokrat atau PD), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Satu bulan kemudian (9 Mei 2014), KPU mengeluarkan Surat Edaran No. 411/ kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (lihat, Tabel 2). Hasil rekapitulasi perhitungan suara resmi KPU tidak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat ketujuh lembaga survei di atas.
Dua partai politik peserta Pileg 2014 tidak lolos ambang batas parlemen (parliament threshold). Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 2008 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Kedua partai yang perolehan suaranya di bawah 3,5 persen adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Jika kedua partai hendak mengikuti pemilu berikutnya pada 2019, sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 UU No. b/2012, mereka harus melalui persyaratan verifikasi faktual oleh S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
Tabel 2 Hasil Rekapitulasi Resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) No
Partai Politik
Perolehan Suara Resmi
Persentase
Kursi Parlemen
1
NasDem
8.402.812
6,72
35
2
PKB
11.298.957
9,04
47
3
PKS
8.480.204
6,79
40
4
PDIP
23.681.471
18,95
109
5
Golkar
18.432.312
14,75
91
6
Gerindra
14.760.371
11,81
73
7
Demokrat
12.728.913
10,19
61
8
PAN
9.481.621
7,57
49
9
PPP
8.157.488
6,53
39
10
Hanura
6.579.498
5,26
16
11
PBB*
1.825.750
1,46
0
12
PKPI*
1.143.094
0,91
0
* = Tidak lolos ambang batas 3,5 persen Sumber: Diolah dari KPU dan pelbagai sumber.
KPU, seperti halnya partai politik baru yang dibentuk setelah tahun 2014.
Perolehan Suara dan Wajah Anggota DPR
Hasil rekapitulasi resmi KPU sangat menarik untuk ditelaah. Politik Indonesia pasca-Orde Baru tidak pernah berhasil memunculkan partai politik dengan perolehan suara mayoritas mutlak. Sejak Pemilu 1999, tidak satu pun partai yang memenangi pemilihan umum memperoleh suara lebih dari 50 persen. Bahkan, perolehan suara partai pemenang cenderung anjlok setiap kali penyelenggaran pemilu. Pada Pemilu 1999, misalnya, PDIP hanya memperoleh 15 33,73 persen suara. Sementara persentase suara Golkar pada Pemilu 2004 dan Partai
Demokrat pada Pemilu 2009 masing-masing turun dibanding suara yang diperoleh pada pemilu lima tahun sebelumnya. Golkar memperoleh 23,27 persen pada Pemilu 2004 dan Partai Demokrat memperoleh 20,85 persen pada 16 Pemilu 2009. Pada Pileg 2014, persentase suara partai pemenang pemilu hanya sebesar 18,95 persen. Sebanyak 15 partai politik telah dinyatakan lolos verifikasi KPU dan berhak mengikuti Pemilu 2014. Dua belas partai politik adalah peserta pemilu nasional dan tiga lainnya adalah partai politik lokal. Jumlah partai politik peserta Pemilu 2014 merupakan yang terendah di era Reformasi. Pada Pemilu 1999, jumlah pesertanya 48 partai. Pada Pemilu 2004 turun separuh menjadi 24 partai, dan kembali naik menjadi 38 partai plus 6 partai lokal pada Pemilu 2009. Kedua belas partai peserta Pemilu 2014 berdasarkan nomor urut adalah Partai Nasional Demokrat (Partai NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Partai NasDem adalah satu-satunya partai politik yang baru terbentuk menjelang Pemilu 2014. Hasil rekapitulasi resmi KPU menunjukkan perolehan suara setiap partai sebagai berikut: Partai Nasdem 6,72 persen, PKB 9,04 persen, PKS 6,79 persen, PDI-P 18,95 persen, Golkar 14,75 persen, Gerindra 11,81 persen, Partai Demokrat 10,19 persen, PAN 7,57 persen, PPP 6,53 persen, Hanura 5,26 persen, PBB 1,46 persen, dan PKPI 0,91 persen (lihat, Tabel 2). Ada beberapa hal menarik dari per16
15
Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2002), hal. 103.
S U R V E I
115
Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih: Analisis Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”, dalam Poelitik 5 (10), 2009, hal. 574, 575.
116
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
sentase suara yang diperoleh masing-masing partai. Pertama, Partai Demokrat gagal mempertahankan suara yang diperoleh pada pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat meraup 20,81 persen suara, melonjak 13,36 persen dari 7,45 persen suara yang diper17 olehnya pada Pemilu 2004. Namun, pada Pileg 2014, perolehan suara partai berlambang tiga berlian itu anjlok lebih dari 10 persen menjadi 10,19 persen. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat merosot drastis. Selain kasus rasuah yang menerpa beberapa kader Partai Demokrat, anjloknya perolehan suara juga mengindikasikan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja kabinet Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, meningkatnya perolehan suara partai oposisi Gerindra dan PDI-P karena rakyat menganggap keduanya mampu memberi solusi alternatif bagi perbaikan bangsa. Penurunan perolehan suara bukan hanya dialami Partai Demokrat saja, tetapi juga PKS dan PBB. Namun, persentase penurunan suara kedua partai bernafaskan Islam tersebut tidak lebih dari 1,5 persen. Sebagai contoh, PKS pada Pemilu 2009 memperoleh 7,89 persen suara, sedangkan pada Pemilu 2014 turun 1,1 persen menjadi 6,79 persen. Sementara PBB hanya turun 0,33 persen dari 1,79 persen pada Pemilu 2009 menjadi 1,46 persen pada Pemilu 2014. Penurunan suara PKS sebesar 1,1 persen kemungkinan besar diakibatkan oleh kabar “miring” akan sepak-terjang partai itu, khususnya terkait dengan kasus impor daging sapi. Walaupun demikian, secara keseluruhan PKS tampak stabil pada kisaran angka 6-7 persen yang merupakan captive voters partai berlambang bulan sabit dan padi itu. Sepanjang pemilihan umum era Reformasi, PKS memang selalu bertahan di angka 6-7 persen. Pada Pemilu 2004, PKS memperoleh 7,34 persen. Lima tahun kemudian 7,89 persen dan pada Pemilu 17
Agustino dan Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih...”, hal. 575.
Tabel 3 Perbandingan Perolehan Suara Partai pada Pemilu 2009 dan 2014
No
Partai Politik
Perolehan Suara Pemilu (%)
Perubahan Suara (%)
2009
2014
0
6,72
(+) 6,72
1
Nasdem
2
PKB
4,95
9,04
(+) 4,09
3
PKS
7,89
6,79
(-) 1,1
4
PDIP
14,01
18,95
(+) 4,94
5
Golkar
14,45
14,75
(+) 0,30
6
Gerindra
4,46
11,81
(+) 7,35
7
Demokrat
20,81
10,19
(-) 10,62
8
PAN
6,03
7,57
(+) 1,54
9
PPP
5,33
6,53
(+) 1,2
10
Hanura
3,77
5,26
(+) 1,49
11
PBB
1,79
1,46
(-) 0,33
12
PKPI
0,9
0,91
(+) 0,01
Sumber: Diolah dari pelbagai sumber
2014 memperoleh 6,79 persen. Sementara itu, turunnya persentase suara PBB disebabkan oleh tidak adanya pemilih setia dan simpatisan partai berlambang bulan dan bintang selain pemilih saat ini. Dengan keadaan seperti itu, dan jika hendak mengikuti kontestasi Pemilu 2019, perolehan suara PBB setidaknya berkisar di angka 1-1,5 persen saja. Kedua, banyak partai politik peserta Pileg 2014 memperoleh suara lebih tinggi dibanding pemilu lima tahun sebelumnya. Mereka adalah Partai Gerindra yang naik 7,35 persen dari 4,46 persen pada Pemilu 2009 menjadi 11,81 persen pada Pileg 2014; PDIP naik 4,94 persen dari 14,01 persen menjadi 18,95 persen; PKB naik 4,09 persen dari 4,95 persen menjadi 9,04 persen; PAN naik 1,54 persen dari 6,03 persen menjadi 7,57 persen; PPP naik 1,2 persen dari 5,33 persen menjadi 6,53 persen; Partai Hanura naik 1,49 persen dari 3,77 persen menjadi 5,26 persen; Partai Golkar naik 0,30 persen dari 14,45 persen menjadi 14,75 persen; dan PKPI S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
naik 0,01 persen dari 0,90 persen menjadi 0,91 persen (lihat, Tabel 3). Kenaikan yang signifikan terjadi pada Partai Gerindra, PDI-P dan PKB. Partai NasDem adalah satu-satunya partai yang perolehan suaranya pada Pileg 2014 tidak bisa diperbandingkan dengan suara yang diperoleh pada Pemilu 2009, karena ia baru terbentuk sebagai partai politik pada 2013. Meningkatnya perolehan suara Gerindra yang sangat besar dapat dikatakan karena “faktor” Prabowo Subianto. Sebagian besar rakyat Indonesia agaknya merindukan seorang pemimpin yang tegas dan mampu menciptakan stabi18 litas ekonomi dan politik. Rakyat kebanyakan umumnya menghendaki turunnya harga bahan kebutuhan pokok, kenaikan subsidi untuk sebagian besar rakyat kecil termasuk petani dan nelayan, penggelontoran dana subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya. Oleh sebab itu, sosok Prabowo yang identik dengan sifat tegas (berlatar belakang militer) dan kerap dikaitkan dengan “keluarga Cendana” (pernah menikah dengan salah seorang putri Soeharto) menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih awam—kelak muncul istilah “Prabowo efek.” Begitu pula Partai Golkar. Partai ini kerap melontarkan slogan “bernada” Orde Baru, namun Aburizal Bakrie sebagai pemimpin partai berlambang pohon beringin itu tidak merepresentasikan kepemimpinan Orde Baru. Rakyat kebanyakan justru mengenali Aburizal Bakrie sebagai seorang pengusaha yang selalu bermain dalam logika homo economicus. Karena itu, 18
Dalam platform Partai Gerindra tertuang “Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra (2014-2019)” mencakup: (i) membangun ekonomi yang kuat berdaulat, adil dan makmur; (ii) melaksanakan ekonomi kerakyatan; (iii) membangun kedaulatan pangan dan energi serta pengamanan sumber daya air; (iv) meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya serta olahraga, (v) membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan; (vi) membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif.
S U R V E I
117
slogan “Rindu Orde Baru’ yang didengungkan Partai Golkar selama masa kampanye tidak berbuah manis terhadap perolehan suara Golkar. Perolehan suara Partai Golkar berhenti di kisaran angka 14-15 persen. Sementara itu, suara pemilih yang mengalir cukup deras ke Partai Gerindra membuat partai berlambang kepala garuda ini menjadi partai papan atas yang patut diperhitungkan dalam Pilpres 2014. Banyak lembaga survei memprediksi PDIP akan memperoleh suara cukup signifikan dalam Pileg 2014, melampaui perolehan suara Partai Demokrat yang ditimpa banyak masalah, terutama kasus korupsi wisma atlet di Hambalang, Bogor. Susilo Bambang Yudhoyono sendiri juga tidak bisa dimajukan lagi sebagai calon presiden dari Partai Demokrat pada Pilpres 2014, karena terbentur persyaratan masa jabatan—dia telah menjabat presiden selama dua periode berturut-turut, 20042009 dan 2009-2014. Perolehan suara Partai Demokrat pun turun cukup drastis. Menariknya, sebagian perolehan suara Partai Demokrat tampak mengalir deras ke partai-partai “nasionalis” lainnya, seperti Partai Gerindra, 19 PDI-P, dan Partai NasDem. Di sisi lain, peningkatan perolehan suara PKB pada Pemilu 2014 tidak bisa sepenuhnya diartikan sebagai pulihnya kepercayaan rakyat terhadap partai yang pembentukannya diprakarsai oleh Abdurrahmad Wahid (Gus Dur). Ada faktor penarik lain di partai itu, yaitu keberadaan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan Rhoma Irama. Selain digadang-gadang sebagai calon presiden dari PKB pada masa kampanye Pileg 2014, kedua 19
Partai nasionalis yang dimaksud adalah partai politik yang tidak memiliki hubungan dengan organisasi Islam, memperjuangkan tegaknya negara dan pemerintahan bebas dari pengaruh agama, dan menolak formalisasi syariah dalam hukum negara. Tentang partai nasionalis, islamis atau partai Islam-inklusif, dan sebagainya; lihat, Luthfi Assyaukanie, Islam and the Secular State in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009).
118
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
tokoh yang memiliki pengaruh dan massa cukup besar dan setia itu berhasil mendongkrak perolehan suara PKB. Pada Pemilu 1999, PKB memperoleh suara 12,66 persen dan berada di peringkat ketiga setelah PDI-P dan Partai Golkar. Sementara pada Pemilu 2004 dan 2009, suara PKB turun menjadi 10,57 persen dan 4,98 20 persen. Penyebab utama turunnya suara PKB pada Pemilu 2009 adalah karena keterbelahan partai ini menjadi kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid). Namun, setelah PKB menggadang-gadang Mahfud MD dan Rhoma Irama sebagai calon presiden, perolehan suara partai ini meningkat cukup signifikan. Ketiga, Partai NasDem yang diprediksi banyak lembaga survei tidak akan mendapatkan suara, ternyata meraih 6,72 persen. Kemunculan NasDem pada Pemilu 2014 mirip kehadiran Partai Demokrat pada Pemilu 2004. Perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen, sedangkan PDI-P 18,53 persen—anjlok dari perolehan suara sebelumnya pada Pemilu 1999 sebesar 33,73 persen. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat nyaris tidak diperhitungkan sama sekali. Namun, dengan mengedepankan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden, Partai Demokrat mampu meraih suara cukup besar—seperti dialami Partai NasDem pada Pileg 2014. Perolehan suara Partai Demokrat juga ditopang oleh sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi “korban penindasan” setelah dikucilkan dari kabinet oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Peminggiran dari kabinet justru membuat SBY mendapat simpati luar biasa besar yang secara tidak langsung mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat menjadi 7,45 persen. Hal demikian mirip dengan pengalaman Megawati yang terpinggir dan “ditindas” semasa pemerintahan Soeharto. 20
Suryadinata, Elections and Politics..., hal. 103; Agustino dan Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih...”, hal. 574, 575.
Megawati mendapat simpati dan dukungan rakyat serta dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru Soeharto. Pada 23 Juli 2001, Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Surya Paloh memang bukan “korban penindasan oleh penguasa”, namun politik Indonesia menjelang Pileg 2014 mirip keadaaan politik sebelum Pemilu 2004. Ketika itu PDI-P tengah “diadili” rakyat akibat kebijakan tidak populer yang diambil Presiden Megawati. Pada 2014, giliran Partai Demokrat dikecam rakyat karena tindakan rasuah sebagian kader-kadernya. Perolehan suara Partai Demokrat anjlok dari 20,81 persen pada Pemilu 2009 menjadi 10,19 persen pada Pemilu 2014 (lihat, Tabel 3). Jika dicermati, sirkulasi perolehan suara Partai Demokrat sebagian besar mengalir ke Partai NasDem. Partai NasDem dinilai sebagai partai nasionalis baru sama seperti Partai Demokrat, dan dianggap partai yang tidak terkontaminasi virus korupsi seperti halnya partai-partai lama.21 Keempat, bila merujuk pada persyaratan parliament threshold, hanya sepuluh partai politik saja yang diperkenankan aktif di Senayan mewakili rakyat Indonesia hingga lima tahun mendatang. Mereka adalah PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, Partai NasDem, PKS, PPP, dan Partai Hanura. Sementara PBB dan PKPI tidak lolos ambang batas parlemen. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa sejak pemilu pertama era Reformasi, masyarakat Indonesia masih terfragmentasi secara politik yang pada gilirannya membawa dampak negatif terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Karena tidak ada kekuatan politik mayoritas mutlak di parlemen, maka tidak satu pun partai “berani” menjalankan roda pemerintahan tanpa menjalin koalisi dengan partai lain.22 Wawancara dengan beberapa pemilih pemula (terutama mahasiswa) di Kota Bandung, 9, 10, 11, dan 14 April 2014. 22 Lihat, Kuskridho Ambardi, “The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized 21
S U R V E I
119
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
Kelima, hasil Pileg 2014 aganya mampu mengubah wajah parlemen Indonesia secara signifikan. Komposisi anggota DPR-RI periode 2014-2019 cukup berimbang antara wajah lama 23 atau petahana (incumbent) dan wajah baru. Berdasarkan penghitungan perolehan kursi oleh KPU, PDI Perjuangan mendapat jatah kursi terbanyak, yaitu 109 kursi, diikuti Partai Golkar (91), Partai Gerindra (73), Partai Demokrat (61), PAN (49), PKB (47), PKS (40), PPP (39), Partai NasDem (35), serta Partai Hanura (16). Dari 560 anggota DPR-RI periode 2014-2019, terdapat 323 orang wajah baru atau 57,7 persen dan 237 orang wajah lama atau 42,3 persen (lihat, Tabel 4). Di antara wajah baru terdapat nama seperti Nico Siahaan (artis) dari PDIP, Yayuk Basuki (atlet) dan Dessy Ratnasari (artis) dari PAN, Dave Laksono (anak Agung Laksono petinggi Golkar) dan Siti Hediati Soeharto (putri mantan Presiden Soeharto) dari Partai Golkar, Kartika Yudisthi (artis) dan Nurhayati (istri Suharso Monoarfa (mantan Menteri Perumahan)) dari PPP, Prananda Paloh (putra Surya Paloh pendiri NasDem) dari Partai NasDem, Aryo Djojohadikusumo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (keponakan pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto sekaligus putra Hashim Djojohadikusumo), Moreno Soeprapto (pembalap nasional) dari Partai Gerindra, Arief Suditomo (news anchor di salah satu media) dari Partai Hanura, Iyeth Party System and Its Origin”. Disertasi PhD, Ohio State University, USA, 2008. 23 Wajah baru anggota parlemen juga terlihat di aras lokal, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. Misalnya, dari 55 kursi DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, 44 kursi (80%) diisi wajah baru; dari 100 kursi DPRD Provinsi Jawa Barat, 72 kursi (72%) diduduki pendatang baru; di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dari 65 kursi DPRD, 44 kursi (68%) dipegang wajah baru; anggota DPRD Lampung Selatan, 80 persen (40 orang) adalah wajah baru, dan anggota parlemen daerah Sampang, 53 persen (24 orang) adalah pendatang baru. Penulis mengolah semua data dan informasi itu dari pelbagai media daring (online). S U R V E I
Tabel 4 Perbandingan “Wajah Lama” dan “Wajah Baru” di DPR No
Partai Politik
Jumlah Kursi Parlemen
Wajah Lama
Wajah Baru
1
NasDem
35
0
35
2
PKB
47
18
29
3
PKS
40
30
10
4
PDIP
109
56
53
5
Golkar
91
42
49
6
Gerindra
73
12
61
7
Demokrat
61
33
28
8
PAN
49
22
27
9
PPP
39
20
19
10
Hanura
16
4
12
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/ pemilu/wakil-rakyat/14/05/15/n5m1xz kualitaswajah-baru-dpr-diragukan.
Bustami (penyanyi) dan Krisna Mukti (artis) dari PKB, dan lain-lain. Kehadiran wajah baru di parlemen agaknya membangkitkan harapan baru bahwa akan terjadi perubahan konstruktif sebagaimana yang mereka janjikan ketika berkampanye. Yang pasti mereka belum terkontaminasi aksi rasuah seperti sebagian anggota “lama” yang telah menjadi terdakwa ataupun terpidana. Beberapa wajah lama di DPR-RI periode 20142019, antara lain, Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informasi) dan Mohammad Sohibul Imam (Wakil Ketua DPR-RI) dari PKS; Edhie Baskoro Yudhoyono (Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, anak SBY), Jero Wacik (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), Evert Everest Mangindaan (Menteri Perhubungan), Melani Leimena Suharli (Wakil Ketua MPR-RI), dan Nurhayati Ali Assegaf (Ketua Fraksi Demokrat) dari Partai Demokrat; Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan), dan Taufik Kurniawan (Wakil Ketua DPR-RI) dari PAN; Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) dan Helmi Faisal Zaini (Menteri Pem-
120
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
bangunan Daerah Tertinggal) dari PKB; Suryadarma Ali (mantan Ketua Umum PPP), Lukman Hakim Saifuddin (Wakil Ketua MPRRI), dan Hazrul Azwar (Ketua Fraksi PPP) dari PPP; Aburizal Bakrie (Ketua Umum Golkar) dan Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar) dari Partai Golkar, dan lain-lain. Sementara dari partai oposisi yang tetap bertahan di Senayan, antara lain, Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-P), Puan Maharani (Ketua Fraksi PDI-P) dan Pramono Anung Wibowo (Wakil Ketua DPR-RI) dari PDI-P; Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) dan Saifuddin Sudding (Ketua Fraksi Hanura) dari Partai Hanura, dan beberapa nama lainnya. Di samping nama-nama “besar” di atas, beberapa nama lain justru gagal kembali ke Senayan. Di antaranya ialah Suswono (Menteri Pertanian) dari PKS; Marzuki Alie (Ketua DPRRI), Amir Syamsudin (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Roy Suryo (Menteri Pemuda dan Olahraga), Nova Riyanti Yusuf (Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI), Soetan Bhatugana dari Partai Demokrat; Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR-RI), Nurul Arifin (artis dan aktivis), Hajriyanto Y Thohari (Wakil Ketua MPR-RI) dari Partai Golkar; Ahmad Yani (Ketua Dewan Pakar PPP) dari PPP; Eva Kusuma Sundari dari PDI-P, dan beberapa nama besar lainnya. Kegagalan mereka lebih disebabkan oleh pelbagai hal, antara lain, politik uang yang “berjalan” sejak masa kampanye, masa tenang, hingga peng24 hitungan suara. Namun, politik uang bukan satu-satunya faktor yang mengganjal para peta24
Eva Kusuma Sundari, misalnya, mengatakan bahwa upaya membangun komunitas yang dlakukannya selama dua tahun sebelum Pileg kandas akibat “serangan fajar” yang dilancarkan para pesaingnya, baik separtai maupun partai lain. “Semua dirontokkan pembagian uang oleh pesaing yang sama sekali tidak pernah datang ke daerah pemilihan,” pungkasnya. Selain itu, Eva menyatakan sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak menjadi penyebab utama maraknya politik uang pada Pemilu 2014; lihat, Tempo 5-11 Mei 2014, hal. 36.
hana untuk beranjak ke Senayan. Faktor lain tak kalah penting adalah “hukuman sosial” kepada calon legislatif wajah lama karena perilaku mereka yang tidak dapat diterima oleh masyarakat pemilih. Terkait dengan wajah baru dan lama yang hadir di Senayan, jumlah calon legislatif perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR-RI periode 2014-2019 sebanyak 97 orang atau setara dengan 17,32 persen. Jumlah perempuan anggota DPR periode 2014-2019 itu menurun ketimbang periode 2009-2014 yang berjumlah 103 orang. Penurunan jumlah perempuan anggota DPR itu berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan. Pada Pemilu 2009, tingkat pencalonan hanya 33,6 persen, sedangkan pada 25 Pemilu 2014 mencapai 37 persen. Kemungkinan menurunnya bilangan perempuan di parlemen disebabkan mekanisme first past the post yang “mengharuskan” berada lebih dekat dengan konstituen masing-masing. Selain itu, modal finansial amat sangat menentukan apakah seorang perempuan politikus terpilih atau tidak menjadi anggota legislatif; para pemilih semakin “pragmatis.”
Koalisi Partai dan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.” Sementara Pasal 9 undang-undang yang sama mengamanatkan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.” 25
Lihat, “Jumlah Perempuan di DPR 2014-2019 Berkurang”, dalam Kompas, 13 Mei 2014. S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
Sebagaimana diketahui, berdasarkan rekapitulasi KPU terhadap hasil Pileg 2014, tidak satu pun partai dapat memenuhi ambang batas minimal untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Karena semua partai peserta pemilu tidak dapat memenuhi ambang batas itu, sangat jelas koalisi partai—gabungan partai politik menurut Pasal 9 UU No. 42/2008—tak terhindarkan lagi. Secara teoretis, koalisi partai bukan hanya solusi atas minimnya perolehan suara partai yang dapat mengajukan kandidat pada bursa calon pemilihan presiden, tetapi juga sebagai wilayah bagi penciptaan stabilitas politik, terutama, 26 pemerintahan. Sejak Indonesia menerapkan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai, sejak itu pula negeri ini masuk dalam arena—meminjam istilah pakar politik Jose Antonio Cheibub dan kawan-kawan—minority 27 government. Dengan semakin sedikitnya kontestan pemilu dan berkurangnya kompetitor, partai yang bertarung seharusnya makin mudah meraup suara. Namun, selain tetap sulit terkonsentrasi di kutub tertentu, suara pemilih tetap tersebar. Suara yang berhasil diraih pemenang pemilu dalam tiga pemilu terakhir masing-masing 33,73 persen (Pemilu 1999), 23,27 persen (Pemilu 2004), dan 20,85 persen (Pemilu 2009), 28 bukan suara mayoritas mutlak. Jika diasumsikan bahwa banyak partai tidak ingin bergabung dengan partai pemenang pemilu, maka pemerintah akan menjadi pemerintah yang minoritas (minority government). Kombinasi presidensialisme-multipartai membuat demokrasi cenderung tidak stabil, karena eksekutif dan legislatif dikuasai partai yang berbeda. Hal tersebut menyulitkan pemerintah dan parlemen
untuk mencapai konsensus, dan kerap menciptakan konflik berkepanjangan bahkan political deadlock. Karena sebagian besar kursi parlemen dikuasai partai oposisi, setiap program kebijakan yang diajukan pemerintah bisa dihadang dan digoyang parlemen, bahkan presiden terancam pemakzulan (impeachment). Karena itu, solusi agar tidak terjadi political deadlock, partai politik pemenang pemilu harus melakukan kolaborasi dalam bentuk koalisi.29 Sebelum koalisi pencapresan 2014 terbentuk, setidaknya ada tiga partai politik menyodorkan nama yang akan dicalonkan sebagai presiden. Ketiga partai itu adalah PDI-P yang menjagokan Joko Widodo, Partai Golkar memajukan Aburizal Bakrie, dan Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto. Namun, pada masa kampanye Pileg muncul beberapa nama kandidat presiden Indonesia periode 2014-2019. Mereka ialah Hatta Rajasa (PAN), Wiranto (Partai Hanura), Surya Paloh (Partai NasDem), Rhoma Irama dan Mahfud MD (PKB), Anis Matta, Hidayat Nurwahid, dan Ahmad Heryawan (PKS), Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung (Partai Golkar), bahkan Abraham Samad (Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi). Akan tetapi, semua itu hanyalah gimmick partai politik untuk meraup sebanyak-banyaknya suara pemilih yang bersimpati kepada masing-masing tokoh yang mereka ajukan. Sebagai contoh, “memanfatkan” pengaruh Rhoma Irama dan Mahfud MD, yang dicalonkan PKB sebagai kandidat presiden, sebagai pendulang suara (vote getter). Hasilnya memang luar biasa; perolehan suara PKB berada di atas 9 persen, namun petinggi partai ini menampik relatf tingginya suara itu karena hasil Rhoma Irama dan Mahfud MD effect. 29
Robert Elgie, “From Linz to Tsebelis: Three Waves of Presidential/Parliamentary Studies”, dalam Democratization 32 (2), 2005, hal. 107. 27 Lihat, Harun Husein, “Pemilu 2014 di Bawah Kutukan Minority Government”, dalam Republika, 7 April 2014, hal. 27 28 Agustino dan Yusoff, “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih...”, hal. 574, 575. 26
S U R V E I
121
Tentang koalisi partai politik periode 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014; lihat, Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Jakarta: Gramedia, 2010); Djayadi Hanan, “Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesia Democracy”. Disertasi PhD, Ohio State University, USA, 2012; Ambardi, “The Making of the Indonesian Multiparty System...”.
122
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Konfigurasi nama-nama calon presiden di atas berubah seiring dengan perhitungan final KPU pada 9 Mei 2014. Menariknya, kendati suara pemilih tersebar di beberapa partai politik, PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra tetap “ngotot” memajukan kandidat masing-masing dalam bursa pemilihan calon presiden 9 Juli 2014. Ketiga partai kemudian melakukan lobi secara intensif untuk menggenapi syarat 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional. Sementara itu, sembilan partai politik (Partai NasDem, PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, dan PKPI) mengurungkan niat memajukan kandidat masing-masing dalam kompetisi pemilihan presiden. Satu minggu setelah Pileg, muncul gagasan membentuk “Poros Islam” di antara partai-partai Islam. Tujuan koalisi itu jelas: mengajukan nama lain di luar calon yang diajukan PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Jika semua partai Islam (PKB, PKS, PPP, PBB dan PAN) berkoalisi, gabungan suara mereka berjumlah 31,81 persen, dan lebih dari cukup untuk memajukan nama kandidat presiden. Namun, muncul persoalan ketika Ketua Umum PPP Suryadharma Ali menyatakan hen30 dak menjalin koalisi dengan Partai Gerindra. Langkah Suryadharma Ali yang mendahului elite partai Islam lainnya itu mengakibatkan koalisi Poros Islam gagal terbentuk. Setelah Poros Islam gagal terbentuk, elite politik mencoba membangun koalisi yang lebih realistis dalam menghadapi Pilpres 9 Juli 2014. Beberapa tokoh PDI-P, Partai Golkar, dan Partai NasDem melakukan lobi secara intensif, yang akhirnya mengerucut pada dua nama calon, yakni Joko Widodo dari PDI-P dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Konfigurasi tersebut merupakan dampak langsung dari konstruksi beberapa lembaga survei yang memprediksi bahwa hanya dua kandidat itu yang memiliki “daya magis” dalam Pilpres 2014. Meskipun Partai Golkar telah “menyodorkan” 30
Tentang konflik internal PPP menyangkut koalisi “prematur” dengan Partai Gerindra; lihat, Kompas 25 April 2014.
Aburizal Bakrie sebagai calon presiden sejak rapat pimpinan nasional partai pada 2012, nama Ketua Umum Partai Golkar ini tenggelam di balik bayang-bayang dua kandidat dari PDI-P dan Partai Gerindra. Beberapa lembaga survei juga menunjukkan bahwa elektabilitas Aburizal Bakrie tidak pernah meningkat, bahkan cenderung stagnan. Pada 18 Mei 2014, PDI-P dan Partai Gerindra telah memiliki sejumlah nama partai yang bersedia menjalin kolaborasi konstruktif dengan mereka. Partai-partai yang kemudian berkoalisi dengan PDI-P adalah Partai NasDem (35 kursi di DPR-RI atau setara dengan 6,3%), PKB (47 kursi atau 8,4%) dan Partai Hanura (16 kursi atau 2,9%). Sementara Prabowo didukung PAN (49 kursi atau 8,8%), PKS (40 kursi atau 7,1%), dan PPP (39 kursi atau 7%). Jika diakumulasi, koalisi yang dibangun PDI-P menguasai 207 kursi di parlemen atau setara dengan 37 persen, sementara koalisi Partai Gerindra menguasai 201 kursi atau 35,9 persen. Artinya, kedua koalisi tersebut telah memenuhi syarat minimal UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk mengajukan kandidat mereka dalam Pilpres 2014. Partai Golkar dan 31 Partai Demokrat belum menentukan sikap. Beredar spekulasi bahwa akan muncul poros ketiga, yakni koalisi Partai Golkar dan Partai Demokrat (total kursi mereka di parlemen sebanyak 152 atau setara 27,1 persen). Namun, spekulasi tersebut terbantah setelah Partai Golkar menyatakan bergabung dengan koalisi Partai Gerindra, PAN, PKS, dan PPP serta PBB (partai nonparlemen)—yang menamakan diri “Koalisi Merah Putih.” Jalan berliku menuju koalisi partai berakhir pada 19 Mei 2014, satu hari sebelum pandaftaran calon presiden dan wakil presiden di KPU ditutup. Dengan demikian, hanya ada dua gabungan partai (baca: koalisi) dalam menghadapi kontestasi Pilpres 2014. Koalisi pertama terdiri 31
Lebih lanjut mengenai sikap politik Partai Golkar soal koalisi; lihat, Tempo, edisi 19-25 Mei 2014 dan 26 Mei-1 Juni 2014. S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
dari Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Partai Golkar, dan PBB—memiliki 292 kursi di DPRRI (52%) serta meraup 48,93 persen suara sah nasional (61.137.746 suara). Koalisi ini mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara koalisi kedua terdiri dari PDI-P, Partai NasDem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI yang menjagokan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Koalisi ini menguasai 207 kursi DPRRI (37%) dengan dukungan suara sah nasional 39,97 persen (49.962.738 suara) (lihat, Tabel 5). Hanya Partai Demokrat saja yang sampai tenggat akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden bersikap netral, meski perolehan suara mereka mencapai 11 persen (61 kursi di parlemen). Konfigurasi “Koalisi Merah Putih” mirip gabungan partai politik yang dibangun Partai Demokrat pada periode 2009-2014. Ketika itu, koalisi yang dibangun Partai Demokrat mencakup PAN, PKS, PPP, Partai Golkar, dan PKB. Sementara Koalisi Merah Putih yang diprakarsai Partai Gerindra pada 2014 juga didukung PAN, PKS, PPP, dan Partai Golkar, minus PKB yang memilih berkoalisi dengan PDI-P. Hal yang cukup menarik, selaku calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo mengingatkan bahwa sejak awal tidak berminat dengan koalisi yang dibangun berdasarkan kesepakatan bagi-bagi kursi kabinet—seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Dia menghendaki koalisi yang dibangun lebih berdasarkan kesamaan platform. Sebaliknya dengan Koalisi Merah Putih. Partai Golkar, partai peraih suara terbesar kedua setelah PDI-P, dijanjikan mendapat 8 kursi menteri ditambah satu kursi “Menteri Utama”, PKS dan PAN 3-5 kursi menteri, dan 2-3 kursi menteri untuk PPP.32 Dua koalisi yang bersaing dalam Pilpres 2014 (head to head) juga bersaing mempere32
Tentang hal ini; lihat, ‘Transaksi Kursi Pengikat Koalisi”, dalam Tempo, 26 Mei-1 Juni 2014, hal. 42-44.
S U R V E I
123
Tabel 5 Koalisi Partai Politik pada Pemilu 2014 si ali i Ko arta P
Partai Politik
Perolehan Suara Resmi
1
Gerindra
14.760.371
73 (13%)
PAN
9.481.621
49 (8,8%)
PPP
8.157.488
39 (7%)
PKS
8.480.204
40 (7,1%)
Golkar
18.432.312
19 (16,3%)
PDIP
23.681.471
109 (19,5%) 207 (37%)
2
NasDem PKB Hanura Demokrat*
Kursi Parlemen
8.402.812
35 (6,3%)
11.298.957
47 (8,4%)
6.579.498
16 (2,9%)
12.728.913
61 (10,9%)
Total
292 (52%)**
61 (11%)**
Keterangan: Nomor urut sesuai dengan ketetapan KPU. * Dalam data KPU, Partai Demokrat tidak masuk dalam Koalisi Merah Putih ** Angka pembulatan. Sumber: Diolah dari pelbagai sumber.
butkan “tiket dukungan” dari para pendulang suara (vote getter). Koalisi Merah Putih tampak lebih lugas dalam menyambangi beberapa vote getter yang akhirnya bergabung dengan koalisi ini, di antaranya Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pernah diajukan PKB sebagai calon presiden) yang ditunjuk sebagai ketua tim sukses Koalisi Merah Putih, Rhoma Irama (artis karismatik dan juga pernah diajukan PKB sebagai calon presiden), Ahmad Dani (artis/pemusik), dan lain-lain. Tokoh lain yang dianggap memiliki banyak pendukung ialah Ali Masykur Musa (anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama). Sikap berbeda ditunjukkan sastrawan Goenawan Mohamad yang mundur dari PAN setelah partai yang didirikannya bersama beberapa kawan di awal Reformasi itu menyatakan resmi mendukung Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai
124
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Gerindra. Sementara pendulang suara untuk koalisi PDI-P antara lain Anies Rasyid Baswedan (peserta konvensi capres Partai Demokrat dan Rektor Universitas Paramadina) yang diangkat menjadi juru bicara koalisi PDI-P, Dahlan Iskan (pemenang konvensi capres Partai Demokrat, Menteri BUMN, dan mantan Direktur Utama Jawa Pos Group), Syafii Maarif (mantan Ketua Umum Muhammadiyah), Soetrisno Bachir (mantan Ketua Umum PAN), grup musik Slank, dan lain-lain. Bukan hanya mencari dukungan dari tokoh berpengaruh dan artis atau selebritas kondang, kedua koalisi partai peserta Pilpres juga melakukan pendekatan kepada petinggi organisasiorganisasi Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah. Koalisi Merah Putih, misalnya, mengangkat Mahfud MD sebagai ketua tim kampanye dan Ali Masykur Musa sebagai anggota Dewan Pakar Tim Prabowo-Hatta bukan tanpa alasan. Selain memiliki rekam-jejak cukup bersih dan pendukung setia, kedua orang itu dikenal sebagai tokoh Islam yang sangat dekat dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Tidak berhenti di sana. Kepala daerah yang berasal dari partai pengusung capres dan cawapres juga ”diberi” tugas meraup sebanyak mungkin suara rakyat di daerah masing-masing. Misalnya, Ahmad Heryawan (Gubernur Jawa Barat), Alex Noerdin (Sumatera Selatan), dan Soekarwo (Jawa Timur) diimbau oleh pimpinan partai tempat mereka bernaung untuk aktif terlibat dalam kampanye Pilpres. Kampanye hitam dan kampanye negatif merebak beberapa hari sebelum pencoblosan pada 9 Juli 2014. Isu yang diangkat dalam kampanye gelap itu umumnya berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (Sara), serta hak asasi manusia (HAM). Kampanye hitam terkait Sara banyak diarahkan ke pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Joko Widodo dituding non-Muslim (Kristen), keturunan Tionghoa, dan penghamba ajaran komunis. Kampanye hitam yang ditujukan kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dilancarkan melalui pelbagai media, baik online (twitter dan facebook) maupun offline (tabloid
Obor Rakyat).33 Berbagai upaya dilakukan untuk menangkal kampanye gelap tersebut Khofihah Indar Parawansa, salah seorang anggota tim kampanye Jokowi-JK, misalnya, menyematkan gelar “Kyai Haji” kepada Joko Widodo agar semua orang mahfum bahwa Joko Widodo adalah muslim dan sudah berhaji. Kampanye gelap tidak hanya menerpa Joko Widodo, tetapi juga Prabowo Subianto, terutama soal kasus penculikan aktivis dan kerusuhan Mei 1998. Untuk menghadapi tudingan tersebut, tim pemenangan Prabowo-Hatta merangkul beberapa tokoh, salah seorang di antaranya Marzuki Darusman—bekas Ketua Komnas HAM periode 1998-2003 dan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan (TGPF) Mei 1998. Di dalam majalah Tempo, Marzuki menegaskan, “Walaupun Prabowo diduga memainkan peranan yang signifikan, rekomendasi tim kami (TGPF) tidak 34 menyatakan Prabowo bersalah”. Pernyataan tersebut secara tidak langsung mementahkan kampanye gelap yang dilontarkan lawan-lawan Prabowo; bersih dan tak terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Bagaimanapun juga, pemungutan suara Pilpres yamg berlangsung pada 9 Juli 2014 berlangsung relatif tertib dan aman. Hal yang menarik dari Pilpres 2014 adalah kehadiran 12 lembaga survei yang melakukan hitung cepat dengan hasil berbeda secara diametral (lihat, Tabel 6). Empat lembaga survei yang mengunggulkan pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta) adalah Pusat Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara Indonesia, Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Indonesia Research Center (IRC). Sedangkan 8 lembaga survei mengunggulkan pasangan nomor urut 2 (Jokowi-JK) adalah Litbang Kompas, Radio ReUntuk mengkonter pemberitaan Obor Rakyat, Media Center Jokowi-JK menerbitkan dan menyebarluaskan tabloid Pelayan Rakyat, wartawan Grup Jawa Pos yang tergabung dalam relawan Jokowi-JK menerbitkan Rakhmatanlilalamin, Pusat Informasi Relawan menerbitkan Jokowi-JK adalah Kita, dan lain-lain. 34 Tempo, 2-8 Juni 2014, hal. 48. 33
S U R V E I
Leo Agustino, Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014
125
Tabel 6 Hasil Hitung Cepat Pilpres 2014 Persentase No
Lembaga Survei
No 1
No 2
TPS
Margin error (±) (%)
Selisih Suara (%)
1
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis)
52,05
47,95
1.250
1
4,10
2
Jaringan Suara Independen (JSI)
50,14
49,86
2.000
1
0,28
3
Lembaga Survei Nasional (LSN)
50,56
49,44
-
-
1,12
4
Indonesia Reserach Center (IRC)
51,11
48,89
-
-
2,22
5
Litbang Kompas
47,66
52,34
2.000
1
4,68
6
RRI (Radio Republik Indonesia)
47,29
52,71
2.000
1
5,42
7
Saiful Mujani Research & Consulting*
47,09
52,91
4.000
0,68
5,82
8
CSIS-Cyrus Network
48,90
52,10
2.000
1
3,20
9
Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
46,43
53,37
2.000
1
6,74
10
Indikator Politik Indonesia
47,20
52,47
2.000
1
5,27
11
Poltracking Institute
46,63
53,37
2.000
1
6,74
12
Populi Center
49,05
50,95
2.000
1
1,90
Sumber: Kompas, 10 Juli 2014.
publik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), CSIS-Cyrus Network, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indikator Politik Indonesia (Indikator), Poltracking Institute, dan Populi Center. Komisi Pemilihan Umum sendiri melakukan penghitungan suara secara berjenjang mulai dari tingkat TPS hingga nasional. Di tingkat nasional, KPU melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara (real count) dan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 sejak 20 Juli sampai 22 Juli 2014. Sekitar pukul 20.00 WIB, KPU mengumumkan hasil finalnya. Ketua KPU Husni Kamil Manik membacakan Keputusan KPU Nomor 535/KPP4/KPU/2014 tentang penetapan hasil perolehan suara dan hasil Pilpres 2014. Pada butir ketiga surat keputusn itu tersua kalimat-kalimat, “Menetapkan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil S U R V E I
Presiden Tahun 2014 sebagai berikut: a) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 1 Sdr. H. PRABOWO SUBIANTO dan Sdr. Ir. H.M. HATTA RAJASA sebanyak 62.576.444 (Enam Puluh Dua Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Enam Ribu Empat Ratus Empat Puluh Empat) suara atau sebanyak 46,85% dari suara sah nasional; b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Sdr. Ir. H. JOKO WIDODO dan Sdr. Drs. H.M. JUSUF KALLA sebanyak 70.997.833 (Tujuh Puluh Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Tujuh Ribu Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga) suara atau sebanyak 53,15% dari suara sah nasional.” Singkat kata, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangi kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Leo Agustino