BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Imunisasi Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Sarimin, 2013). Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap serangan penyakit infeksi dengan menggunakan vaksin yang aman. Namun sebagian orang dapat mengalami reaksi setelah imunisasi yang bersifat ringan (demam), kejang dan kelumpuhan (Diana, 2013). Program Imuisasi yang dilakukan adalah untuk memberikan kekebalan kepada bayi sehingga bisa mencegah penyakit dan kematian serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering terjangkit (Hidayat, 2008). Secara umum tujuan imunisasi dibagi menjadi tiga adalah sebagai berikut: 1.
Imunisasi dapat menurunkan angka morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada bayi dan batita.
2.
Imunisasi sangat efektif untuk mencegah penyakit menular
3.
Melalui imunisasi tubuh tidak akan mudah terserang penyakit menular.
7
8
Adapun dua jenis kekebalan dalam tubuh bayi atau anak (Yuni, 2014) yaitu sebagai berikut: 1.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat sendiri oleh tubuh untuk menolak terhadap suatu penyakit tertentu dimana prosesnya lambat tetapi dapat bertahan lama. Kekebalan aktif ini terbagi menjadi dua yaitu : a. Kekebalan aktif alamiah, dimana tubuh anak membuat kekebalan sendiri setelah mengalami atau sembuh dari suatu penyakit misalnya anak telah menderita campak. Setelah sembuh anak tidak akan terserang campak lagi, karena tubuhnya telah membuat zat penolakan terhadap penyakit tersebut. b. Kekebalan aktif buatan, dimana kekebalan yang dibuat tubuh setelah mendapatkan vaksin (imunisasi) misalnya anak diberikan vasksin BCG, DPT, HB, Hib, Polio dan lainnya.
2.
Kekebalan Pasif yaitu tubuh anak tidak membuat zat kekebalan sendiri tetapi kekebalan tersebut diperoleh dari luar setelah memperoleh zat penolakan, sehingga proses cepat tetapi tidak tahan lama. Kekebalan pasif ini terjadi dengan 2 cara yaitu sebagai berikut : a. Kekebalan pasif alamiah/ kekebalan pasif bawaan kekebalan yang diperoleh bayi sejak lahir dari ibunya. Kekebalan ini tidak berlangsung lama (kira-kira hanya sekitar 5 bulan setelah bayi lahir) misalnya difteri, morbili, dan tetanus. b. Kekebalan pasif buatan dimana kekebalan ini diperoleh setelah mendapat suntikan zat penolakan. Pemberian imunisasi DPT-HB-Hib merupakan bagian dari pemberian
imunisasi dasar pada bayi sebanyak tiga dosis. Vaksin DPT-HB-Hib merupakan pengganti vaksin DPT-HB, sehingga memiliki jadwal yang sama dengan DPT-HB (Dinkes Provinsi Bali, 2013). Jadwal pemberian imunisasi dasar sebagai berikut:
9
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Umur Jenis Imunisasi 0 bulan Hepatitis B 0 1 bulan BCG, Polio 1 2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2 3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3 4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4 9 bulan Campak Sumber : Dinkes Provinsi Bali, 2013
2.2
Imunisasi Pentavalen Imunisasi pentavalen adalah gabungan vaksin DPT-HB ditambah Hib.
Sebelumnya kombinasi ini hanya terdiri dari DPT dan HB (DPT combo). Sesuai dengan kandungan vaksinnya, imunisasi pentavalen mencegah beberapa jenis penyakit, antara lain difteri, batuk rejan atau batuk 100 hari, tetanus, hepatitis B, serta radang otak (meningitis) dan radang paru (pneumonia) yang disebabkan oleh kuman Hib (Haemophylus influenzae tipe b) (Dinkes Provinsi Bali, 2013). Imunisasi Hib (Haemophilus influenza tipe b) merupakan imunisasi yang diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit influenza tipe b. Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit yang tergolong berat seperti meningitis (radang selaput otak). Pada meningitis bakteri tersebut akan menginfeksi selaput pelindung otak dan saraf otak yang akan menimbulkan radang paru-paru (pneumonia). Bakteri Hib yang dapat menyebabkan septisemia (keracunan darah dan dapat merupakan infeksi yang lebih tersebar luas ke seluruh tubuh) (Yuni, 2014). Dua penyebab paling umum dari meningitis bakteri yang parah pada anakanak, Haemophilus influenzae tipe B ( Hib ) dan Streptococcus pneumoniae, yang dapat dicegah dengan vaksin yang ada semakin tersedia di negara-negara berkembang (Davis et al, 2013). Streptococcus pneumoniae adalah bakteri tunggal penyebab yang paling signifikan dari invasif (meningitis dan bakteremia) dan non-
10
invasif (pneumonia dan otitis media) penyakit pada anak usia kurang dari 5 tahun di seluruh dunia (Che et al, 2014). Pada tahap awal DPT-HB-Hib hanya diberikan pada bayi yang belum pernah mendapatkan imunisasi DPT-HB pada umur 2,3,4 bulan sebanyak tiga kali. Apabila sudah pernah mendapatkan imunisasi DPT-HB sampai dengan dosis ketiga. Untuk mempertahankan tingkat kekebalan dibutuhkan imunisasi lanjutan kepada anak batita sebanyak satu dosis, dengan jadwal sebagai berikut : Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi Lanjutan Pada Anak Batita Interval minimum setelah Umur Jenis Imunisasi imunisasi dasar 1,5 tahun DPT-HB-Hib 12 bulan dari DPT-HB(18 bulan) Hib 3 2 tahun Campak 6 bulan dari campak dosis (24 bulan) pertama Sumber : Dinkes Provinsi Bali, 2013 Kontra indikasi pada pemberian imunisasi pentavalen yaitu anak panas tinggi dengan suhu 380C disertai batuk dan pilek yang keras. Selain itu pada anak yang memiliki riwayat kejang demam pada pemberian imunisasi DPT-HB atau DPT-HBHib sebelumnya, maka imunisasi selanjutnya agar diberikan oleh dokter ahli (Dinkes, Provinsi Bali, 2013), Dosis pemberian imunisasi pentavalen yaitu 0,5 ml, cara penyuntikan intramuskular. Suntikan diberikan pada paha anterolateral pada bayi dan di lengan kanan atas pada anak batita saat imunisasi lanjutan. Bayi atau anak dipangku dengan posisi menghadap ke depan, pegang lokasi suntikan dengan ibu jari dan jari telunjuk. Suntikkan vaksin dengan posisi jarum suntik 90o terhadap permukaan kulit. Suntikkan pelan-pelan untuk mengurangi rasa sakit (Dinkes Provinsi Bali,2013) Efek samping setelah pemberian imunisasi ini biasanya sakit, bengkak dan kemerahan berlaku ditempat suntikan. Biasanya berlaku 3 hari, kadang demam juga
11
bisa terjadi. Efek samping ini tergolong ringan, jika dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh Hib ( Mulyani, 2013). Jenis dan angka kejadian reaksi yang berat tidak berbeda secara bermakna dengan vaksin DPT, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara terpisah. Beberapa reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi suntikan disertai demam dapat timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-kadang reaksi berat seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel), dan menangis dengan nada tinggi dapat terjadi dalam 24 jam setelah pemberian. Episode hypotonic-hyporesponsive pernah dilaporkan. Kejang demam telah dilaporkan dengan angka kejadian 1 kasus per 12.500 dosis pemberian. Pemberian asetaminofen pada saat dan 4-8 jam setelah imunisasi mengurangi terjadinya demam (Dinkes Provinsi Bali, 2013)
2.3
Determinan Perilaku Manusia Menurut Teori Snehandu B. Kar dalam Notoatmodjo (2012), perilaku
kesehatan yang dianalisis dengan bertitik tolak bahwa perilaku sebagai fungsi memiliki lima faktor penentu yaitu niat, dukungan sosial, informasi kesehatan, otonomi pribadi dan situasi. Begitu pula dengan perilaku kesehatan ibu dalam mengimunisasikan pada anaknya, ditentukan oleh faktor penentu tersebut, antara lain: a.
Niat (behavior itention) Niat merupakan suatu keinginan kuat dari dalam hati untuk melakukan sesuatu.
Aspek niat ada 3 hal yaitu diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dalam bentuk perbuatan atau tindakan.
12
b.
Dukungan sosial (social-support) Adanya suatu dukungan dari orang-orang disekitar mampu mempengaruhi
perubahan perilaku kesehatan pada seseorang. Menurut Cohenn & Syme dalam Setiadi (2008), dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya sehingga orang tersebut mengetahui ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mecintainya. c.
Informasi (information) Informasi kesehatan merupakan hal yang dapat mempengaruhi perubahan
perilaku kesehatan seseorang. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yaitu petugas kesehatan, teman, keluarga, serta media massa. Individu yang telah memahami informasi yang telah diberikan canderung akan memberikan presepsi yang lebih baik dibandingkan yang memperoleh informasi. Seseorang yang mempunyai sumber informasi lebih banyak pengetahuan yang lebih luas (Purwaningsih, 2013). Informasi kesehatan merupakan hal yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku kesehatan seseorang. Dengan adanya suatu informasi kesehatan seseorang akan berpikir dan berupaya untuk merubah atau mengambil keputusan dalam berperilaku kesehatan sebab dengan informasi yang ada seseorang akan menjadi tahu dan akan berupaya untuk melakukan perubahan dalam berperilaku sesuai dengan informasi yang ada (Anggraeni, 2013). Dalam penelitian Rahayu (2014), didapatkan hasil 68% ibu mendapatkan informasi tentang imunisasi pentavalen dari tenaga kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan merupakan keterjangkauannya fasilitas kesehatan yang dibutuhkan seseorang. Jika tempat tinggal seseorang jauh dari fasilitas kesehatan tentunya hal ini akan menjadi penghambat bagi seseorang tersebut
13
untuk melakukan suatu perilaku kesehatan (Anggraeni, 2013). Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi hasil kegiatan petugas imunisasi. Kondisi sarana dan prasarana yang baik antara lain lengkap, modern, berkualitas, dan jumlah cukup akan memberikan kepuasan karyawan yang kemudian dapat meningkatkan kinerjanya (Rahmawati, 2007). d. Otonomi pribadi (personal autonomy) Otonomi pribadi adalah suatu kebebasan seseorang untuk memutuskan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan perilaku kesehatan karena setiap orang memiliki hak penuh akan dirinya untuk memilih keputusan yang akan dilakukan dan mempertanggungjawabkan tindakan yang telah dilakukan. jika seseorang tidak memiliki kebebasan atas dirinya maka segala tindakannya akan berdasarkan pada kehendak orang lain dan bergantung pada orang lain. e. Situasi (action situation) Situasi adalah suatu keadaan yang terjadi di sekitar manusia yang dapat mempengaruhi sikap dan
tingkah lakunya dan berpengaruh terhadap perilaku
kesehatannya. Situasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu situasi kebersamaan dan situasi sosial. Situasi kebersamaan merupakan suatu kondisi dimana berkumpulnya sejumlah individu, sedangkan situasi sosial merupakan situasi dimana berkumpulnya sejumlah individu yang dapat saling mempengaruhi satu sama lainnya Menurut Teori Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior causer) dan faktor dari luar perilaku (non behavior causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu : 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), adalah suatu keadaan yang dapat mempermudah dalam mempengaruhi individu untuk berperilaku yang
14
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, faktor demografi seperti status ekonomi, umur, pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman. 2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya Puskesmas, obat- obatan, dan lain-lain 3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainlain. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut : B = F (PF, EF, RF) Dimana : B
= Behavior
PF = Predisposing factors
RF= Reinforcing factors f = fungsi
EF = Enabling factors Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya (predispossing factors). Atau mungkin juga karena rumahnya jauh dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors).
15
Sebab lain, mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain di sekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors). Beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan individu dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya, faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Umur Semakin tua umur seseorang, maka pengalaman akan bertambah sehingga akan
meningkatkan pengetahuannya akan suatu objek. Seseorang yang berumur muda cenderung memiliki daya ingat yang kuat dan semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kecakapan seseorang akan lebih besar dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya (Nursalam, 2008). Umur merupakan lama waktu hidup/ada sejak dilahirkan dimana umur menggambarkan kematangan fisik, psikis, dan sosial mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi yang pada akhirnya berpengaruh pada pengetahuan seseorang (Giantiningsih, 2013). Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Wawan, 2010). 2.
Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang
16
yang pendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula (Notoatmodjo, 2007). 3.
Paritas Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang ibu. Paritas
sangat berpengaruh sekali terhadap penerimaan seseorang terhadap pengetahuan, dimana semakin banyak pengalaman seorang ibu maka penerimaan akan semakin mudah (Nursalam, 2008). Beberapa istilah yang berkaitn dengan paritas, yaitu nullipara merupakan seseorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi, primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi hidup untuk pertama kali, multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi sampai 5 kali, dan grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih hidup atau mati (Lubis, 2013). 4.
Pekerjaan Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, pencaharian.
Dewasa ini perempuan mendapat kesempatan bekerja yang semakin terbuka. Alasan yang mendasar seseorang perempuan untuk memiliki pekerjaan tidak sama antara satu dengan yang lain. Alasan yang umum dijumpai adalah karena kebutuhan keuangan untuk memperkaya pengalaman dan pengetahuan pribadi, hasrat pribadi (Priyoto, 2014) Status pekerjaan ibu berkaitan dengan kesempatan dalam mengimunisasi anaknya. Seorang ibu yang tidak bekerja akan mempunyai kesempatan untuk mengimunisasikan anaknya dibanding dengan ibu yang bekerja pada ibu-ibu yang bekerja diluar rumah sering kali tidak mempunyai kesempatan untuk datang ke pelayanan imunisasi karena mungkin saat dilakukan pelayanan imunisasi ibu masih
17
bekerja ditempat kerjanya. Sering juga ibu yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya lupa akan jadwal imunisasi anaknya (Mulyanti, 2013). Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Wawan, 2010). Pekerjaan merupakan faktor predisposisi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Status dan jenis pekerjaan ibu berpengaruh dengan pemberian imunisasi pada anaknya. Situasi kerja akan menimbulkan kesibukan dalam pekerjaan sehingga seseorang ibu akan menimbulkan kesibukan dalam pekerjaan sehingga seorang ibu cenderung memiliki waktu terbatas untuk merawat anaknya (Yanti, 2013).
2.4
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian Rahayu (2014) dinyatakan bahwa 44% ibu memiliki pengetahuan cukup mengetahui tentang imunisasi pentavalen. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yakni: 1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
18
kembali (recall) suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah; 2. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui,
dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari; 3. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya); 4. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain; 5. Sintesis (synthesis) menunjukan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya dengan rumusan-rumusan yang telah ada; 6. Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.
19
Menurut Arikunto (2006), untuk mengevaluasi pengetahuan adalah dengan membuat pertanyaan atau pernyataan, hasilnya dapat ditentukan dengan kriteria sebagai berikut : a. Baik
: bila menjawab benar : 76% - 100%
b. Cukup
: bila menjawab benar : 56% - 75%
c. Kurang
: bila menjawab benar : < 56%
2.5
Sikap Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2012), salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi
Stimulus Rangsangan
Proses Stimulus
Reaksi Tingkah Laku (Terbuka)
Sikap (Tertutup) Sumber : Notoatmodjo, 2012 Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu sebagai berikut :
20
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2012) Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan (Notoatmodjo, 2012) yaitu sebagai berikut: 1. Menerima (Receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespons (Responding) merupakan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (valuing) merupakan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. 4. Bertanggung jawab (responsible) merupakan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2012)
21
2.6
Peran Petugas Kesehatan Menurut UU
Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, dimana tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan, memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan. Tenaga Kesehatan adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang kesehatan. Peran tenaga kesehatan yaitu memberikan informasi tentang imunisasi, manfaat dan pentingnya imunisasi lanjutan untuk anak serta memberikan Konseling, Informasi dan Edukasi (KIE) yang jelas pada ibu dan keluarga.
2.7
Peran Tokoh Masyarakat Di sebuah masyarakat apa pun, baik pedesaan, perkotaan maupun pemukiman
elit atau pemukiman kumuh, secara alamiah, akan terjadi kritalisasi adanya pemimpin atau tokoh masyarakat. Pemimpin atau Tokoh Masyarakat (Toma) ini dapat bersifat formal (Camat, Lurah, Ketua RW/RT) maupun informal (Ustad, Pendeta, Kepala Adat, dan sebagainya) (Notoadmodjo, 2012). Pada tahap awal pemberdayaan masyarakat maka petugas atau provider kesehatan terlebih dahulu melakukan pendeketan-pendekatan kepada para tokoh masyarakat (Toma) terlebih dahulu. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa masyarakat kita masih paternalistic atau masih berpola (menganut) kepada seseorang atau “sosok” tertentu di masyarakatnya, yakni tokoh masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat akan diikuti atau dianut oleh bawahan atau masyarakat. Sebagai petugas atau provider kesehatan harus memanfaatkan para tokoh masyarakat ini sebagai potensi yang harus dikembangkan untuk pemberdayaan masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
22
Masyarakat selalu memandang tokoh masyarakat (formal dan informal) sebagai panutannya atau acuannya. Artinya, apa pun yang dilakukan tokoh masyarakat, termasuk perilaku kesehatan akan ditiru atau dicontoh oleh masyarakat sekitarnya. Misalnya ibu-ibu akan mengimunisasikan anak batitanya, apabila ibu-ibu tokoh
atau
istri-istri
(Notoatmodjo, 2012).
tokoh
masyarakat
telah
mengimunisasikan
anaknya