Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
79
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI ALGA SEBAGAI SUMBER BAHAN MAKANAN POTENSIAL UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT PESISIR ADITYA RINUS P PUTRA, MUHAMMAD IQBAL
Rinus P Aditya Putra adalah seorang mahasiswa dari jurusan Teknik Bioproses Fakultas Teknik Universitas Indonesia, lahir pada tanggal 2 Mei 1989 di kota Raman. Ia memulai studinya pada tahun 2008. Untuk berkorespodensi dengan penulis, dapat melalui alamat email
[email protected] Muhammad Iqbal adalah seorang mahasiswa dari jurusan Teknik Bioproses Fakultas Teknik Universitas Indonesia, lahir pada tanggal 23 April 1991 di kota Jakarta. Ia memulai studinya pada tahun 2008. Untuk berkorespodensi dengan penulis, dapat melalui alamat email
[email protected]
80
Volume 1, Desember 2010
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI ALGA SEBAGAI SUMBER BAHAN MAKANAN POTENSIAL UNTUK PENINGKATAN PEREKONOMIAN MASYARAKAT PESISIR Aditya Rinus P Putra, Muhammad Iqbal
Abstract Indonesia is an archipelago consisting of over 17,000 islands, Indonesian maritime territory is 5.8 million km2 and reaches 81.000 km coastline long and has huge resources and various kinds as well as its potential to be processed. Ironically, the coastal communities are poor. The number of Indonesian fishermen is about 6 million people and 60% of them have an income below average If we look deeper into the condition of the coastal communities, we can found that they have low levels of health, in addition to the lack of medical personnel and supplies of drugs. They have no knowledge about the culture of healthy life due to the implications of the absence of cost and lack of education. Therefore, we need the existence of a “Strategic Plan” from the government to immediately address these issues. So, this paper provides inspiration for the re-tapped the potential of algae or seaweed as a food ingredient to improve the welfare of coastal communities. We chose the algae technology for several reasons, partly because the algae is the best plant species live in tropical areas like Indonesia and has a good nutrition to be processed into various products such as, food, beverages, cosmetics to fuel bioenergy, and easy to be applied in “home industry” coastal community. Beside that, utilizing our algae has also been actively involved in solving environmental problems, because algae consume CO2 that is one of global warmingcausing compounds.
Keywords: Alga (Algae), makanan (food), masyarakat pantai (coastal community), kesejahteraan (welfare), produk (product).
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
PENDAHULUAN Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari lebih 17.000 pulau, dan memiliki wilayah kelautan Indonesia yang Iuasnya 5,8 juta km2 dan panjang pantainya mencapai 81.000 km serta memiliki sumber daya yang sangat besar dan beragam jenis maupun potensinya untuk diolah. Ironisnya, masyarakat pesisir pantai adalah masyarakat miskin. Jumlah nelayan indonesia sekitar 6 juta orang dan 60%nya memiliki penghasilan dibawah rata-rata. Bahkan, menurut sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Ir. Ali Supardan, M.Sc “Kemiskinan masyarakat pesisir Indonesia sudah mencapai angka cukup tinggi yakni sekitar 80 persen dengan pendidikan rendah”. Kondisi ini diperparah dengan sulitnya akses barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti air bersih, makanan, sabun, pakaian, papan, dan berbagai kebutuhan hidup lainya. Hal ini mengakibatkan harga kebutuhan pokok manusia di pesisir menjadi lebih mahal di tengah perekonomian yang konstan pada pedapatan perkapita rendah Rp 25.000/ hari. Kita semua dapat merasakan dan membayangkan penderitaan rakyat pesisir ditengah kondisi yang demikian. Untuk bertahan hidup sulit, apalagi harus menanggung beban pendidikan yang biayanya semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh sebab itu, masuk akal masalah masyarakat pesisir memiliki pendidikan yang rendah. Jika kita melihat lebih dalam, kondisi masyarakat pesisir pun memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Selain karena kurangnya tenaga medis dan persedian obat-obatan yang minim,
81
mereka pun belum memiliki pengetahuan tentang budaya hidup sehat dikarenakan implikasi dari ketidakadaan biaya dan kurangnya pendidikan. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan tanpa ada perubahan dan tindakan nyata dari pemerintah, maka akan menimbulkan potensi disintegerasi bangsa, terutama untuk penduduk di pesisir daerah pulau-pulau terluar, seperti, Pulau Rote di ujung NTT, Pulau Bepondi di ujung Papua, Pulau Selaru, Pulau Sebatik ataupun Pulau Sabang. Penduduk disana pasti berpikir bahwa pemerintah tidak memperhatikan dan menjanjikan kesejahteraan hidup mereka. Untuk itu perlu adanya suatu “Renstra” dari pemerintah untuk segera mengatasi permasalahan ini. Oleh karena itu, jurnal ini, memberikan inspirasi untuk kembali memanfatkan potensi alga atau rumput laut sebagai bahan makanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dengan meningkatnya kehidupan masyarakat pesisir, kemungkinan untuk menghindari disintegrasi bangsa juga akan dapat di tekan. Penulis memilih teknologi alga karena beberapa alasan, antara lain alga merupakan spesies tumbuhan yang paling baik hidup di daerah tropis seperti Indonesia dan memiliki nutrisi yang sangat baik untuk diolah menjadi berbagai produk seperti, makanan, minuman, kosmetik hingga bahan bakar bioenergi, serta mudah untuk diaplikasikan di “home industry” masyarakat pesisir, contohnya pembudidayaan dan pemanfatan rumput laut. Indonesia merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di dunia. Di data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, tercatat tahun 2009 produksi
82
Volume 1, Desember 2010
salah satu spesies alga, yaitu rumput laut tercatat sebesar 2,57 juta ton, naik jauh dari tahun 2005 dengan hanya 910,6 ribu ton. Tahun 2009 ekspor mencapai 102 ribu ton rumput laut kering dengan nilai US$124 juta. Tahun 2008, total produksi rumput laut sekitar 2.145.060 ton. Target produksi tahun 2010 sekitar 2,6 juta ton. Angka ini akan sangat berpotensi menjadi pendapatan besar bagi Indonesia pada umumnya dan bagi masyarakat pesisir pada khususnya. Dengan pengembangbiakan alga dan memanfatkannya secara tidak langsung, Indonesia juga telah berkontribusi secara aktif membantu menyelamatkan lingkungan dari ancaman global warming, dikarenakan alga mampu mengkonversi CO2 sebagai zat penyebab global warming terbesar menjadi sumber C (karbon) untuk keberlangsungan hidupnya. TUJUAN Berdasarkan pendahuluan diatas, tujuan penulisan jurnal ini adalah 1. Analisis potensi alga sebagai bahan pangan yang dapat menningkatkan perekonomian masyarakat pesisir di Indonesia, 2. Mengetahui proses pemanfaatan alga sebagai bahan pangan yang bergizi dan menyehatkan, 3. Mengajak masyarakat pesisir membudidayakan alga sebagai bahan pangan sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan perekonomian warga, 4. Memberikan inspirasi salah satu tools untuk menjaga keutuhan NKRI, dan 5. Penanganan masalah lingkungan berbasis social
entreprenuer. METODE PENULISAN Jurnal ini ditulis berdasarkan studi literatur dari berbagai jurnal, buku, media cetak dan online yang terkait dengan pemanfaatan alga dan permasalahan sosial di masyarakat pesisir dan juga ditulis berdasarkan ekskursi/ kunjungan ke beberpa pantai yang memiliki dominasi penduduk miskin tinggi. Profil Kemiskinan Masyarakat Pesisir Indonesia memiliki panjang pantai yang sangat luar biasa, mengingat wilayah perairan negeri ini mencapai 2/3 dari total luas wilayah. Panjang pantai Indonesia mencapai kira-kira 81.000 km, dan secara logika berarti hampir 81.000 km pantai Indonesia dihuni oleh masyarakat, yang biasa disebut dengan masyarakat pesisir. Walaupun masyarakat pesisir mendapat anugrah dari lautan, namun saat ini banyak sekali permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir, sehingga menyebabkan tingkat kesejahteraan mereka menjadi rendah sekali. Faktanya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau sekitar 48 juta penduduk justru berada di bawah garis kemiskinan, dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Salah satu permasalahan terbesar
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
yang dialami masyarakat pesisir adalah fenomena kerusakan daerah pesisir yang disebabkan oleh sampah rumah tangga, limbah industri dan perusakan hutan bakau, yang menyebabkan perkembangan biota-biota laut sumber mata pencaharian mereka menjadi menurun drastis. Kondisi masyarakat pesisir yang minim dengan pendidikan dan infrastruktur wilayah pesisir yang amat jauh tertinggal membuat kondisi ekonomi masyarakat pesisir semakin terpuruk. Kebiasaan untuk tidak menyimpan uangnya setelah panen besar dan menghabiskannya dengan hura-hura juga menjadi alasan penyebab masyakat pesisir masih miskin. Alga dan Kandungannya Alga (jamak Algae) adalah sekelompok organisme autotrof yang tidak memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki ”organ” seperti yang dimiliki tumbuhan (akar, batang,daun, dan sebagainya) sehingga disebut juga dengan tanaman tingkat rendah. Oleh karena itu, alga pernah digolongkan pula sebagai tumbuhan bertalus. Secara sederhana, alga dikelompokkan dalam 2 kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu mikroalga atau alga yang berukuran renik dan makroalga atau alga yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Jurnal ini akan lebih menekankan pemanfaatan makroalga yang merupakan makhluk yang biasa kita sebut sebagai rumput laut. Dalam artikelnya, Michael Briggs mengatakan bahwa alga adalah tumbuhan yang paling efektif proses fotosintesisnya. Hal ini karena alga mampu mengoptimalkan sinar matahari
83
dalam proses fotosintesis, walaupun sinar matahari terhalang oleh permukaan air (Briggs, 2004). Menurut Sheehan dkk (1998) dari Departemen Energi Amerika Serikat, ada 3 komponen zat utama yang terkandung dalam alga, yaitu (1) karbohidrat, (2) protein, dan (3) Triacyglycerols. Ketiga makronutrien itu menjadikan alga sebagai sumber makanan yang layak Selain itu, alga mengandung berbagai mineral esensial seperti besi, yodium, aluminium, mangaan, kalsium, nitrogen, fosfor, sulfur, klor, silikon, rubidium, strontium, barium, titanium, kobalt, boron, copper, sena kalium. (bataviase.co.id) Alga juga merupakan sumber protein yang sangat baik. Kadar protein alga berbeda-beda tergantung dari jenis alga itu sendiri. Kadar protein alga terendah terdapat pada alga coklat dimana protein yang dikandung 5-11% dari berat kering alga, tetapi kadar tersebut masih sebanding dengan tanaman polong-polongan. Alga merah mengandung protein 30-40% dari berat kering, sedangkan alga hijau mengandung kurang lebih 20% dari berat kering. (Dharmananda, 2002) Manfaat Alga Alga dapat diproduksi menjadi makanan yang dikonsumsi manusia, makanan ternak, dan pupuk. Alga sangat besar perananya dalam biogeochemistry, yaitu sebagai bagian penting dari siklus N (nitrogen), O (oksigen), S (Belerang), P (phosphate), dan C (karbon). Alga memainkan peranan penting dalam bioteknologi, seperti menyerap polusi dan pencemaran yang berlebihan (Graham dan Wilcox,
84
Volume 1, Desember 2010
2000). Alga juga dapat dimanfaatkan pada bidang farmasi sebagai bahan pembuatan obat-obatan (Cohen, 1999), seperti adanya kandungan zat anti HIV dan anti Herves (Catie, 1998). Ugensi Pemanfatan Alga Sebagai Bahan Makanan Alternatif di Indonesia, Terutama Oleh Masyarakat Pesisir. Ada beberapa urgensi yang menyebabkan betapa berharganya pengembangan pemanfaatan alga sebagai makanan di Indonesia . Berikut ini beberapa alasannya: 1.
Komponen nutrien alga yang sangat mengagumkan Seperti yang telah disinggung sebelumnya, alga dari divisi chlorophyta, rhodophyta, dan phaeophyta, atau yang biasa disebut dengan rumput laut, memiliki potensi nutrien yang luar biasa. Mereka memiliki komposisi makronutrien dan mikronutrien yang jauh lebih lengkap dibandingkan bahan makanan dari tumbuhan tingkat tinggi. Alga mengandung keseluruhan asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Karakteristik ini sangat luar biasa mengingat tak ada bahan makanan lain yang memiliki kandungan asam amino esensial selengkap ini. Bukan hanya komponen asam aminonya yang lengkap, namun juga konsentrasi protein dalam tubuh makroalga pun juga sangat berpotensi. Alga juga mengandung kandungan asam lemak yang baik, termasuk omega-3 dan omega-6. Selain itu, makroalga juga mengandung banyak karbohidrat baik yang sederhana maupun
yang kompleks, yang turut membantu penyuplaian energi bagi tubuh. Selain makronutriennya, kandungan mikronutrien makroalga juga amat menakjubkan. Makroalga mengandung berbagai vitamin, poliphenol dan lebih dari 60 unsur makro dan mikro, termauk kalium, klorin, kalsium, natrium, sulfur, nitrogen, magnesium, besi, dll. Gabungan dari seluruh kandungan nutrien ini menjadikan makroalga sebagai bahan makanan alternatif yang luar biasa berpotensi untuk menghasilkan makanan masa depan yang lebih sehat. 2.
Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang belum dibudidayakan Makroalga merupakan suatu komoditas yang amat melimpah di Indonesia, namun pemanfaatannya di Indonesia saat ini belum merata. Ada daerah-daerah pesisir Indonesia yang saat ini telah menjadi pusat budidaya alga seperti di pulau Sulawesi, namun masih banyak daerah di Indonesia saat ini yang belum memiliki budidaya rumput laut. Dengan potensi fotosintesis Indonesia yang sangat tinggi, hal ini tentunya amat disayangkan. Seperti halnya kita tidak mengambil emas yang sudah ada di depan mata. Apalagi potensi plasma nutfah Indonesia juga sangat besar, sehingga budidaya rumput laut di daerah lainnya di Indonesia akan sangat mungkin menghasilkan potensi yang berbeda. 3.
Membantu pengembangan masyarakat pesisir Budidaya rumput laut ini juga akan memberikan dampak positif bagi masyarakat pesisir yang selama ini identik
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
dengan kemiskinan. Usaha pembiakan rumput laut yang akan dilakukan secara in-situ pasti akan membuat lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat pesisir. Potensi pengembangan masyarakat pesisir ini akan dijelaskan lebih lanjut di bagian berikutnya. 4.
Membantu mengurangi global warming dan kerusakan lingkungan Sebagai makhluk autotrof, seharusnya sudah tidak aneh bahwa budidaya rumput laut memiliki potensi yang tinggi dalam hal pencegahan global warming. Udara saat ini yang sudah dipenuhi dengan gas karbondioksida dapat dengan mudah didaur ulang oleh proses alami yang dilakukan rumput laut. Selain itu, rumput laut (makroalga) memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan tanaman darat. Pertama, mereka tidak membutuhkan air bersih, bahkan mereka tumbuh di air dengan salinitas tinggi. Oleh sebab itu, pembiakannya tidak akan menghabiskan cadangan air seperti tanaman pada umumnya. Kedua, mereka tidak membutuhkan tanah untuk tumbuh. Hal ini berarti tak akan ada proses pembukaan lahan hutan untuk budidaya alga, sehingga kita dapat menyelamatkan hutan di bumi, tak seperti tanaman lainnya. Yang terakhir, mereka tidak membutuhkan pupuk dan bahan kimia lainnya yang berpotensi mencemari lingkungan. Dari pemaparan ini, dapat kita lihat seberapa besar potensi lingkungan yang dibawa rumput laut (makroalga) sehingga harus mulai dipertimbangkan untuk menggantikan pertanian darat dalam hal pemasokan bahan pangan.
85
Analisis Potensi Perkembangbiakan Alga di Pantai-Pantai Indonesia Indonesia merupakan negara kelautan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau. Luas laut Indonesia adalah 5,8 juta km2 dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan microalgae. Namun, ironisnya pesisir pantai dan laut Indonesia ini belum termanfatkan secara optimal. Faktanya sekitar 78% dari masyarakat pantai adalah masyarakat miskin (sensus penduduk 2008). Kondisi ini diperparah dengan akses masuknya komoditas keperluan hidup masyarakat sangat sulit, terutama di pulau-pulau terluar indoensia seperti di Pulau Selaru, Rote, Bepondi, Sebatik. Kondisi ini membuat harga-harga keperluan hidup lebih mahal dibandingkan dengan wilayah dekat perkotaan, ditambah kondisi warga pesisir pantai memiliki penghasilan yang “pas-pasan” dengan rata-rata penghasilan Rp 20.000/hari (data dari sensus 2008). Kondisi ini menimbulkan potensi disintegerasi bangsa, lebih ekstrimnya masyarakat di pesisir pantai ataupun pulau-pulau terluar merasa kurang diperhatikan. Alga merupakan salah satu spesies yang dapat berkembang baik di lingkungan laut. Hampir semua jenis alga dapat hidup di laut Indonesia, dikarenakan lokasi indonesia yang berada di daerah tropis dan dilewati garis khatulistiwa, sehingga memiliki intensitas penyinaran matahari yang baik. Intensitas cahaya ini digunakan oleh alga untuk bermetabolisme dengan proses fotosintesis yang merupakan sumber kehidupannya. Seperti kita ketahui bersama, faktor-faktor di dalam
86
Volume 1, Desember 2010
proses fotosintesis yang paling penting adalah intensitas cahaya, karbondioksida dan air. Indonesia sendiri sangatlah potensial untuk perkembangbiakan alga. Data di Kementrian Kelautan dan Perikanan mencatat tahun 2009 produksi salah satu spesies alga, yaitu rumput laut sebagai berikut, produksi rumput laut tercatat sebesar 2,57 juta ton, naik jauh dari tahun 2005 hanya 910,6 ribu ton. Tahun 2009 ekspor mencapai 102 ribu ton rumpt laut kering dengan nilai US$124 juta. Tahun 2008, total produksi rumput laut sekitar 2.145.060 ton. Target produksi tahun 2010 sekitar 2,6 juta ton. Sebagian besar alga yang dihasilkan di Indonesia paling banyak disumbangkan oleh wilayah Sulawesi Selatan, yang menyumbang lebih dari 70% dari total produksi rumput laut Indonesia. Kita semua dapat membayangkan bila di seluruh pesisir pantai Indonesia, dilakukan pemaksimalan pembudidayaan alga, maka akan sangat membantu perekonomian masyarakat pesisir. Ironisnya, meskipun Indonesia tercatat sebagai negara penghasil alga kedua di dunia, Indonesia hanya mengekspor alga keringnya bukan alga olahan. Sebagai contoh, pada bulan Juni 2010 kemarin, Pemerintah Indonesia melalui Pemda Sulsel telah menandatangi MOU ekspor 60 ton alga kering. Seandainya, Indonesia dapat mengolah alga keringnya menjadi produk yang lebih bernilai tambah, seperti makanan, minuman dan food supplement, maka ini akan sangat menguntungkan Indonesia dan tentunya berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat pantai.
Strategi Implementasi Pemanfatan Alga di Maysarakat Pesisir Alga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Hal ini dikarenakan makroalga memiliki andungan beta karoten, chlorophylla dengan kandungan tinggi dan juga mengandung zat esensil CGF yang tersusun dari glukoprotein yang berperan dalam penyembuhan tumor, protein, lemak serta vitamin B, C, dan lainnya yang dapat diabsorsi tubuh manusia dengan baik. Pemerintah bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga setempat untuk melakukan pelatihan dan monitoring kelompokkelompok pemuda di masyarakat pesisir untuk mengembangkan pembudidayaaan alga. Berikut langkahlangkah yang ditempuh : a. Membangun daerah pantai percontohan (template) Memilih suatu daerah binaan di salah satu pesisir Indonesia yang berpenduduk miskin dan kehidupan nelayannya kurang berpendidikan. dan membentuk kelompok-kelompok kecil petani alga. Kelompok ini dapat memanfatkan pemuda-pemuda yang masih pengangguran dan belum bekerja. Kelompok ini juga akan diberikan fasilitas mentor untuk membimbing dan tempat berdiskusi. Tentunya, proses mentor ini harus dibimbing orang yang ahli dan memiliki pengetahun yang mendalam. Harapannya agar setiap anggota kelompok dapat menyerap nilai-nilai yang mentor berikan dan pada akhirnya setiap anggota mentor dapat menjadi seorang mentor juga. Kemudian, pemerintah juga mencari mitra kerja sama untuk membantu membimbing dan menfasilitasi penciptaan pasar dari
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
produk mereka. Jika strategi ini berhasil, maka cara ini akan dapat diterapkan di seluruh pantai Indonesia karena setiap pantai memiliki variabel yang tidak jauh berbeda. Kemudian, akan diberikan tahapan pelatihan antra lain : Tahap I Pembiakan Alga Membuat kolam alga di pesisir pantai dengan dimensi 5 x 5 x 5 meter. Pembibitan makroalga dilakukan di pantai tanpa treatment.
Gambar 7.1 Budidaya Alga (Rumput Laut) Sumber : jasuda.net
b. Tahap II Kultivasi Alga Alga-alga yang sudah dibiakkan siap dipanen. Langkah pertama, alga diangkat dari laut ke daratan, kemudian di jemur hingga kering. Setelah kering, bergantung dengan treatment yang akan kita lakukan, bisa langsung diekspor, digiling untuk dijadikan tepung, ataupun diekstraksi untuk diambil asam amino tertentu dari alga sebagai bahan pembuat agar-agar, ataupun food supplement c. Tahap III Maksimalisasi Alga Menjadi
87
Bahan Makanan Berikut berbagai jenis makanan yang dapat diproduksi secara home industry di pantai-pantai Indonesia sebagai pemasukan tambahan masyarakat pesisir yang potensial : - Pembuatan biskuit dan brownies dari Alga Alga dari berbagai spesies di bentuk menjadi powder atau tepung sebagai pengganti tepung dalam komposisi pembuatan biskuit ataupun brownies. Contoh; rumput laut dikeringkan setelah diangkat dari laut, kemudian direndam dengan alkohol agar pigment warna pada alga/ rumput laut terlarut. Kemudian dikeringkan kembali dan digiling hingga menjadi serbuk tepung. Tepung ini dapat digunakan sebagai adonan kue. Tepung dari alga ataupun rumput laut memiliki nutrisi yang jauh lebih lengkap dibandingkan tepung dari golongan serealia, sehingga penggunaan tepung ini sangat berpotensi untuk menggantikan penggunaan tepung golongan serealia. Ditambah dengan kalori tepung alga yang tidak sebesar tepung serealia, maka bahan tepung alga ini dapat digunakan untuk diet makanan ataupun bagi vegetarian. Bahkan, hasil fermentasi alga jenis chlorella yang menghasilkan tepung alga dan minyak alga dapat digunakan untuk mengganti tepung, telur dan mentega pada pembuatan kue ini (Mark Edwards). Hal ini disebabkan komposisi minyak alga yang sangat lengkap dan bernutrisi (mengandung Omega 3 & Omega 6) -
Pembuatan dodol rumput laut Rumput laut merupakan salah satu hasil perikanan yang cukup penting
88
Volume 1, Desember 2010
di Indonesia, baik sebagai sumber pendapatan nelayan/petani maupun sebagai sumber devisa negara. Selain sebagai bahan baku industri, rumput laut dapat diolah menjadi berbagai makanan siap saji seperti dodol, puding, tangkue, dan manisan. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan antara lain; kondisi masyarakat pesisir pantai 78% adalah masyarakat miskin dengan tingkat pendidikan dan kesehatan rendah, serta kebijakan pemerintah untuk masyarakat peisisir masih seperti anak tiri yang mendapatkan perlakuan kurang adil meskipun potensi laut dan peisisr indonesia sangat besar. Alga sangat mudah dibudidayakan di daerah pesisir, terutama makroalga seperti rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan bernutrisi tinggi, seperti sumber pembuat tepung yang kaya protein, dan juga dodol serta agar-agar. Strategi penerapan teknologi pengolahan alga di masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan membuat daerah percontohan/binaan yang terdiri dari kelompok kecil yang diberikan mentor, diadakan pelatihan dan monitoring serta pemerintah membantu menciptakan pasar bagi produk dari alga. Proses pembuatan dan maksimalisasi alga menjadi sumber makanan sangat mudah dan memiliki potensi untuk menjadi “home industry” oleh masyarakat peisisir. Dengan penerapan teknologi alga untuk masyarakat pesisir, diharapkan selain potensi masalah kemiskinan teratasi, potensi permasalahan lingkungan global warming juga dapat dilakukan.
SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis menyarankan agar pemerintah menyadari kondisi masyarakat pesisir dan mengupayakan solusi bagi kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat pesisir. Salah satunya dengan maksimalisasi alga sebagai bahan makanan bernutrisi tinggi untuk meningkatkan perekonomian warga pesisir dengan cara membuat kelompok-kelompok binaaan.
Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi
89
DAFTAR ACUAN Dave, M.J. and R.G. Parekh. 1975. Protein Content of Green Seaweeds From the Sourashtra Coast. SaltNResearch India, 11(2): 41-44. Dam, R., S. Lee, P.C. Fry and H. Fox. 1986. Utilization of Algae As A Protein Source For Humans. J. Nutrition, 65: 376-382. Jorgensen, J., and J. Convit. 1953. Cultivation of Complexes of Algae With Other Fresh Water Microorganisms In The Tropics. In: Algal Culture from Laboratory to Pilot. Katayama, A. 1962. Volatile Constituents. In (R. A. Lewin, Ed.) Physiology and Biochemistry of Algae. New York: Academic Press. Ryther, J.H. 1981. Cultivation of Macroscopic Marine Algae. Proceedings of the July 1981 Subcontractor’s Review Meeting, Aquatic Species Program, Solar Energy Research Institute, Golden, Colorado, SERI/CP-624-1228, pp. 111-118.